Anda di halaman 1dari 9

TAKHALLI, TAHALLI DAN TAJALLI

I. PENDAHULUAN

Tasawuf Akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang
diformulasikan pada pengaturan sifat mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat, guna
mencapai kebahagiaan yang optimal. Manusia harus mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri
ketuhanan melalui penyucian jiwa dan raga. Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu pembentukan
pribadi yang berakhlak mulia. Tahapan tahapan itu dalam ilmu tasawuf dikenal dengan takhalli
(pengosongan diri dari sifat sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat sifat terpuji),
tajalli(terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya
ketuhanan). [1]

Dalam makalah ini akan membahas pokok masalah tentang:

1. Apa itu Takhalli?

2. Apa itu Tahalli?

3. Apa itu Tajalli?

II. PEMBAHASAN

A. TAKHALLI

Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat
bathin.[2]Maksiat lahir, melahirkan kejahatan kejahatan yang merusak seseorang dan mengacaukan
masyarakat. Adapun maksiat bathin lebih berbahaya lagi, karena tidak kelihatan dan biasanya kurang
disadari dan sukar dihilangkan. Maksiat bathin itu adalah pembangkit maksiat lahir dan selalu
menimbulkan kejahatan kejahatan baru yang diperbuat oleh anggota badan manusia. Dan kedua
maksiat itulah yang mengotori jiwa manusia setiap waktu dan kesempatan yang diperbuat oleh diri
sendiri tanpa disadari. Semua itu merupakan hijab atau dinding yang membatasi diri dengan Tuhan.[3]

Sifat sifat yang mengotori jiwa manusia itu adalah seperti dzalim, bakhil, berbuat dosa besar, berlaku sia
sia, berlebih lebihan dalam segala hal, bermegah megah, khianat, dendam, dengki, dusta, kufur nimat,
bunuh diri, ria, mencuri, sombong dan meminum khamr.
Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela yang paling banyak
menyebabkan timbulnya akhlak tercela lainnya adalah ketergantungan pada kenikmatan duniawi.

Membersihkan diri sifat sifat tercela oleh kaum sufi dipandang penting karena sifat sifat ini merupakan
najis maknawi (najasah manawwiyah). Adanya najis najis ini pada diri seseorang, menyebabkannya
tidak dapat dekat dengan Tuhan. Hal ini sebagaimana mempunyai najis dzat(najasah dzatiayyah), yang
menyebabkan seseorang tidak dapat beribadah kepada Tuhan.

Dasar dari ajaran tasawuf tentang takhalli ini adalah firman Allah Qs Asy-syams 9-10:

Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,

Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.[4]

Dalam hal menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta mematikan hawa nafsu,
para sufi berbeda pendapat.

Sekelompok sufi yang modern berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi , yaitu
sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya, namun tidak meninggalkan duniawi sama sekali. Demikian
pula dengan pematian hawa nafsu itu cukup dikuasai melalui pengaturan disiplin kehidupan. Golongan
ini tetap memanfaatkan dunia sekedar kebutuhannya dengan mengontrol dorongan nafsu yang dapat
mengganggu stabilitas akal dan perasaan.

Sementara itu kelompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi merupakan racun
pembunuh kelangsungan cita cita sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan karena nafsu
yang bertendensi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju tujuan yaitu
memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.[5]

B. TAHALLI

Tahalli adalah upaya menghiasi diri dengan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah mengosongkan jiwa dari akhlak akhlak tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan
diatas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat luar maupun yang bersifat dalam. Kewajiban yang
bersifat luar adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, dan haji. Adapun kewajiban
yang bersifat dalam, contohnya yaitu iman, ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.

Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain,
sesudah tahap pembersihan diri dari segala sikap mental yang buruk dapat dilalui (takhalli), usaha itu
harus berlanjut terus ketahap berikutnya yang disebut tahalli. Sebab apabila satu kebiasaan telah
dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh
karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan harus segala di isi kebiasaan baru yang baik.[6]

Dasar dari tahalli ialah firman Allah Q.S An Nahl: 90:

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[7]

Menurut Al Ghazali, jiwa manusia dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan
kehendak manusia itu sendiri. Perbuatan baik yang sangat penting di isikan kedalam jiwa manusia dan
dibiasakan dalam perbuatan agar menjadi manusia paripurna (insane kamil). Perbuatan baik itu, antara
lain sebagai berikut:

a. Taubat

Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal dijalan menuju Allah. Pada tingkatan
terendah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan anggota badan. Pada tingkat menengah, taubat
menyangkut pangkal dosa dosa, seperti dengki, sombong, dan ria. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat
menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat
terakhir, taubat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada tingkat
ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan Allah.

Al Ghazali mengklasifikasikan taubat menjadi tiga tingkatan yaitu:

Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut
terhadap siksa Allah.

Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf
keadaan ini sering disebut dengan inabah
Rasa penyeslan yang dilakukan semata mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah hal ini
disebut aubah

b. Khauf dan Raja

Bagi kalangan sufi khauf dan raja berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Khauf adalah perasaan
takut seorang hamba semata mata kepada Allah, sedangkan Raja adalah perasaan hati yang senag
karena menati sesuatu yang diinginkan dan disenangi.

Menurut Al Ghazali, Raja adalah rasa lapang hati dalam menantikan hal yang diharapkan pada masa
yang akan datang yang mungkin terjadi. Raja merupakan sikap hidup yang selalu mendorong seseorang
untuk lebih banyak berbuat dan beramal shaleh sehingga menjadi taat kepada Allah dan Rasul NYA.

Biasanya orang yang memiliki sikap Raja juga memiliki sikap Khauf. Khauf dan raja saling berhubungan,
kekurangan Khauf akan menyebabkan seseorang lalai daan berani berbuat maksiat, sedangkan Khauf
yang berlebihan akan menjadikan seseorang menjadi putus asa dan pesimistis. Keseimbangan antara
Khauf dan Raja sama sama penting karena tanpa Raja, orang akan serba khawatir, tidak mempunyai
gairah hidup, serba takut, dan pesimistis. Dimilikinya Khauf dalam kadar sedang akan membuat orang
senatiasa waspada dan hati hati dalam berperilaku agar terhindar dari ancaman. Dengan dmikian dua
sikap tersebut merupakan sikap mental yang bersifat introspeksi, mawas diri, dan selalu memikirkan
kehidupan yang akan datang, yaitu kehidupan abadi di alam akhirat.

c. Zuhud

Zuhud yaitu ketidak tertarikan pada dunia atau harta benda. Zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu:

Zuhud yang terendah adalah menjauhkan diri dari dunia ini agar terhindar dari hukuman di
akhirat.

Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan akhirat

Merupakan maqam tertinggi adalah mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena
berharap, tetapi karena cinta kepada Allah.

Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak
mempunyai arti apa apa. Sesuai dengan pandangan sufi, hawa nafsu duniwilah yang menjadi sumber
kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang kepada hawa nafsu, mengakibatkan
kebrutalan dalam mengejar kepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan dunia
akan menimbulkan kesenjangan antar manusia dengan Allah.

Al Ghazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan kepada dunia untuk kemudian
menjauhinya dengan penuh kesadaran. Al Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu sikap menerima
rezeki yang diperolehnya. Jika kaya, ia tidak merasa bangga dan gembira. Sebaliknya, jika miskin iapun
tidak bersedih. Hasan Al Bashri mengatakan bahwa Zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia kerena
dunia itu seperti ular, licin jika dipegang tetapi racunnya dapat membunuh. Inti dan tujuan zuhud sama,
yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.

d. Fakir

Fakir bermakna tidak menuntut lebih banyak dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga
tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental fakir merupakan benteng pertahana yang kuat dalam
menghadapi pengaruh dalam menghadapi kehidupan materi. Hal ini karena sikap fakir dapat
menghindarkan seseorang dari semua keserakahan. Dengan demikian, pada prinsipnya sikap mental
fakir merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi,
sedangkan fakir hanya sekadar pendisiplinan diri dalam memanfaatkan fasilitas hidup. Sikap fakir dapat
memunuculkan sikap wara, yaitu sikap berhati hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas
masalahnya. Apabila bertemu dengan satu persoalan baik yang bersifat materi maupun non materi yang
tidak pasti hukumnya lebih baik dihindari.

e. Sabar

Menurut Al Ghazali, sabar adalah suatu kondidi jiwa yang terjadi karena adanya dorongan ajaran agama
dalam mengendalikan hawa nafsu. Dengan demikian, sabar berarti konsisten dalam melaksanakan
semua perintah Allah, menghadapi kesulitan, dan tabah dalam menghadapi cobaan selama dalam
perjuangan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri,
sikap dan emosi. Apabila seseorang telah mapu mengendalikan nafsunya, maka sikap sabar akan
tercipta.

Tercapainya karakter sabar merupakan respon dari keyakinan yang dipertahankan. Keyakinan adalah
landasan sabar, apabila seseorang telah yakin bahwa jlan yang ditempuhnya benar, maka ia akan teguh
dalam pendiriannya walaupun menghadapi tantangan.
Al Ghazali membedakan tingkatan sabar, menjadi iffah, hilm, qanaah dan syajaah. Iffah ialah
kemampuan mengatasi hawa nafsu. Hilm merupakan kesanggupan seseorang menguasai diri agar tidak
marah. Qanaah yaitu ketabahan hati untuk meneriman nasib. Adapun syajaah yaitu sifat pantang
menyerah.

f. Ridha

Menurut Ibnu Ajibah, ridha adalah menerima hal hal yang tidak menyenangkan dengan wajah senyum
ceria. Seorang hamba dengan senag hati menerima qadha dari Allah dan tidak mengingkari apa yang
telah menjadi keputusanNYA.[8] Sikap mental ridha merupakan perpaduan dari mahabbah dan sabar.
Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati untuk berkorban demi
yang dicintai. Seorang hamba yang ridha, ia rela menuruti apa yang dikehendaki Allah dengan senang
hati, sekaligus tidak dibarengi sikap menentang dan menyesal.

g. Muraqabah

Muraqabah adalah mawas diri. Muraqabah mempunyai arti yang mirip dengan introspeksi. Dengan kata
lain, muraqabah adalah siap dan siaga setiap saat untuk meneliti keadaan sendiri. Seorang calon sufi
sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Seluruh aktifitas
hidupnya ditujukan untuk berada sedekat mungkin denganNYA. Ia sadar bahwa Allah memandang
NYA. Kesadaran itu membawanya pada satu sikap mawas diri atau muraqabah.[9]

C. TAJALLI

Tajalli ialah hilangnya hijab dari sifat sifat kebasyariyyahan (kemanusiaan), jelasnya nur yang
sebelumnya ghaib, dan fananya segala sesuatu ketika tampaknya wajah Allah. Kata tajalli bermakna
terungkapnya nur ghaib.[10] Agar hasil yang telah diperoleh jiwa ketika melakukan takhalli dan tahalli
tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilkakukan dengan
kesadaran dan rasa cinta dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada NYA.

Dasar dari tajalli ini sebagaiman firman Allah, Q.S An Nur: 35 yang berbunyi:

Artinya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.[11]


Setiap calon sufi perlu mengadakan latihan latihan jiwa, berusaha membersihkan dirinya dari sifat sifat
tercela, mengosongkan hati dari sifat sifat hati, dan melepaskan segala sangkut paut dengan dunia.
Setelah itu mengisi dirinya dengan sifat sifat terpuji, segal tindakannya selalu dalam rangka ibadah,
memperbanyak zikir, dan menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri baik lahir
maupun bathin. Seluruh hati semata mata di upayakan untuk memperoleh tajalli dan menerima
pancaran nur ilahi. Apabila Tuhan telah menembus hati hambanya, dengan nur NYA maka berlimpah
ruahlah karunia NYA. Pada tingkat ini seorang hamba akan memperoleh cahaya yang terang benderang
dan dadanya lapang. Pada saat, jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terhalangi oleh
kekotoran jiwa.

Jalan menuju Allah menurut kaum sufi terdiri atas dua usaha, pertama mulazamah, yaitu selalu berzikir.
Kedua mukhalafah, selalu menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat melupakan NYA. Keadaan
ini dinamakan safar kepada Tuhan. Safar merupakan gerak dari satu pihak, tidak dari pihak yang datang
(hamba) dan tidak dari pihak yang di datang (Tuhan) tetapi pendekatan dari keduanya. Hal tersebut
sebagaiman firman Allah Q.S Qaaf: 16:

Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh
hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,

Para sufi sependapat bahwa satu satu cara untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa,
yaitu dengan mencintai Allah dan memperdalam rasa cinta tersebut. Dengan kesucian jiwa, jalan untuk
mencapai Tuhan akan terbuka.tanpa jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan dan
perbuatan yang dilakukanpun tidak dianggap sebagai perbuatan baik.

Dalam menempuh jalan (tarekat) untuk memperoleh kenyataan Tuhan (tajalli), kaum sufi berusaha
melalui ridha, latihan latihan dan muhajadah (perjuangan) dengan menempuh jalan, antara lain melalui
suatu dasar pendidikan tiga tingkat yang dinamakan: takhalli, tahalli dan tajalli.

Adapun menenmpuh jalan suluk dengan sistim yang dinamakan: muratabatu-thariqah yang terdiri dari
empat tingkat: (seperti sistim yang dipakai tarekat naqsabandiyah):

Taubat

Istiqamah: taat lahir dan bathin

Tahzib: yang terdiri daru beberapa riadah/latihan seperti puasa, mengurangi tidur dan
menyendiri

Taqarrub: mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan bershalawat dan zikir terus menerus.
III. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas kita bisa mengambil kesimpulan:

1. Takhalli adalah membersihkan diri dari sifat sifat tercela dan kotoran hati

2. Tahalli adalah mengisi diri dengan sifat sifat terpuji dan menyinari hati

Tahalli juga dibagi kedalam tujuh tingkatan:

Taubat

Khauf dan Raja

Zuhud

Fakir

Sabar

Ridha

Muraqabah

3. Tajalli adalah kenyataan Tuhan

IV. DAFTAR PUSTAKA

Al aziz, Moh. Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit Terang.

Munir Amin, Samsul. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Amzah.

Zahri, DR. Mustafa. 1973. Kunci Memahami ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

______________

[1] Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal 209.

[2] Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal 66.

[3] DR. Mustafa Zahri., Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1973), hal 74-75

[4] Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), hal
87
[5] Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal 213

[6] Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal 215

[7] Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), hal
94

[8] Abdul Mustaqim., Akhlak tasawuf, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hal 95

[9] Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal 214-220

[10] Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal 71

[11] Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), hal
95.

Anda mungkin juga menyukai