Anda di halaman 1dari 3

1.

latar belakang kemunculan aliran asy’ariyah ( lanjutan)


Al-juba’i : tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada
tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.
Al-asy’ari: kalau anak itu mengatakan kepada tuhan: itu bukanlah salahku. Jika sekiranya engkau
bolehkah aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan
orang mukmin itu.
Al-juba’i: Allah akan menjawab: “ aku tau bahwa jika engkau terus hidup engkau akan berbuat
dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum
engkau sampai kepada umur tanggung jawab.”
Al-asy’ari: sekiranya yang kafir mengatakan: “ engkau ketahui masa depanku sebagaimana
engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya engkau tidak jaga kepentinganku?”
Setelah dialog terakhir tersebut, al-juba’i terdiam dan tidak bisa menjawab pertanyaan Al-asy’ari
sehingga beliau merasa tidak puas dengan jawaban guru beliau dan mulai meragukan ajaran
mu’tazilah. Akibat keraguannya itu, Al-asy’ari bermunajat untuk memohon kepada Allah swt. Dan
tidak keluar rumah selama 15 hari. Kemudian setelah 15 hari, beliau pergi ke masjid Bashrah untuk
mengumumkan keteguhannya dalam meninggalkan aliran mu’tazilah.
Beliau memiliki pengikut dan pendukung yang banyak karena Pemikiran kalam beliau mudah
dipahami banyak orang. Alasan lain beliau keluar dari ajaran mu’tazilah adalah sikap mu’tazilah yang
lebih mementingkan pendekatan akal daripada menggunakan Alquran dan hadis sehingga Al-Asy’ari
mengembangkan ajaran teologinya dengan mendahulukan dalil naqli yaitu Alquran dan hadis dan
membatasi penggunaan logika filsafat. Sehingga banyak dari masyarakat yang kesulitan memahami
dan mengikuti mu’tazilah yaitu memakai alur pemikiran filsafat yang rumit.
Nama beliau mahsyur sebagai ulama tauhid yang mana dapat menundukkan dan menghancurkan
paham mu’tazilah dengan berjuang melawan menggunakan lisan dan tulisan serta berdebat dan
bertanding dengan kaum mu’tazilah.1
Karena aliran teologinya menggunakan Al-sunnah dalam merumuskan doktrin kalamnya, maka dari
itu alirannya disebut dengan ahlus sunah wal jama’ah . kemudian pemikiran-pemikiran Al-Asy’ariyah
dikembangkan lagi oleh generasi selanjutnya yaitu Imam Al-Ghazali, Imam Fakhrurrazi dst. 2

2. tokoh- tokoh asy’ariyah


Aliran asy’ariyah ini berkembang pesat di Iraq lalu berkembang di mesir pada masa Salahuddin Al-
Ayyubi dengan dukungan Nurudin Zanki, di Maghribi dengan dukungan Abdullah bin Muhammad, di
turki dengan dukungan Utsmaniah dan daerah lainnya.
Lahir tokoh-tokoh yang menyambung faham ini seperti Abu Abdullah bin Mujahid, Abu Hasan Al-
Basri, Abu Bakar bin Al-Taib Al- Baqillani, Abu Bakar bin Furak, Abu Ishak Al-Juwaini, Imam Al-
Ghazali, dan Imam Fakhruddin Al-Razi. Ideology ini juga didukung dengan sarjana-sarjana di
kalangan madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali beberapa diantara mereka adalah Al-Asfaraini,
Al-Qafal, Al-Jarjani dan lainnya hingga sekarang.3
1
Tim Humas, sejarah Asy’ariyah, https://an-nur.ac.id/sejarah-asyariyah/#:~:text=Dinamakan%20aliran
%20Asy'ariyah%20karena,Jubbai%20yang%20beraqidah%20Mu'tazilah, 1 Maret 2024
2
Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM ALIRAN-ALIRAN SEJARAH ANALISA PERBANDINGAN, ( Jakarta: UI-Press,
2008), hal. 66-67
3
Hadi Rafitra Hasibuan, “ ALIRAN ASY’ARIYAH ( kajian historis dan pengaruh aliran kalam Asy’ariyah) “, volume II
no. 02 ( 2017) : 437
3. doktrin-doktrin aliran maturidiyah
Beberapa diantaranya adalah :
A. Akal dan wahyu
Menurut Al-Maturidi mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan
akal. Mengetahui kedua hal tersebut dengan kemampuan akal sesuai dengan ayat-ayat Alquran
yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan
keimananya terhadap Allah swt. Melalui pengamatan dan pemikiran yang medalam tentang
makhluk ciptaan Allah. Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Alquran dan
akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari namun, porsi yang diberikannya kepada
akalnlebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ariyah.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya itu
terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti
ketentuan akal. Beliau mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik
dan buruknya sesuatu yang mana dalam kondisi tersebut wahyu diperlukan untuk dijadikan
pembimbing.
Beliau membagi kaitan sesuatu dengan akal pada 3 macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran
wahyu.

B. Perbuatan manusia
Menurut beliau perbuatan manusia adalah ciptaan tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, beliau mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan
manusia dan qudrat tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya dalam
diri manusia yang mana manusia tersebut bisa menggunakannya dengan bebas. Daya-daya
tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Kemudian karena daya diciptakan
dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti
yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia. Al-Asy’ari mengatakan hal yang
berbeda dengan Al-Maturidi, yaitu bahwa daya tersebut adalah daya tuhan karena ia memandang
bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan.
Kemudian Al-Maturidi juga membawa faham Abu Hanifah yaitu, adanya kehendak dan kerelaan.
Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak
tuhan, tetapi ia dapat memilih dengan diridai-Nya atau tidaknya. Manusia berbuat baik atas
kehendak dan kerelaan tuhan dan berbuat buruk jua kehendak tuhan, akan tetapi tidak dalam
kerelaan-Nya.

C. Kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan


Telah disebutkan diatas bahwasanya segala sesuatu yang baik maupun buruk adalah ciptaan
tuhan. Akan tetapi, bukan berarti tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang dan
sekehendak-Nya semata. Hal ini karena qudrat tuhan itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan
keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.4

4
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, ( Bandung: PUSTAKA SETIA, 2012), hal. 125-128

Anda mungkin juga menyukai