OLEH
Nama lengkap Al-asyari adalah Abu Al Hasan Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim
bin ismail bin Abdilah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah bin Abi Musa Al-asyari.
Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 / 875 M. Di umur 40 tahun beliau hijrah di
kota Baghdad dan beliau wafat disana di tahun 324 H/935M.1
Menurut ibnu Asyakir, ayah dari imam asyari adalah seorang yang berpaham
Ahlulsunnah dan Ahli hadist, beliau wafat saat imam Al Asyari masih kecil.
Sebelum wafatnya ayah imam Al-asyari berwasiat kepada seoarang sahabat yang
Bernama Zakaria bin Yahya As-saji agar mendidik Al-asyari. Ibu dari Al-asyari
setelah meninggalnya ayah Al-asyari menikah lagi dengan seorang tokoh dari
Mu’tazilah yang Bernama abu Ali Al-Jubai’ (w.303H/915M.).
Al-asyari mengawali belajar ilmu kalam dari ayah tirinya yang bernama Ali Al-
juba’i
Yang berakidah mu’tazilah. Dengan demikian al-asyari memiliki paham Bersama
dengan gurunya yaitu mutazilah, aliran ini di yakininya sampai usia 40 tahun.
Beliau sangat giat dan serius dalam mendalaminya, sehingga sampain suatu saat
terjadi dialog atau debat yang serius antara al-asyari dan al-juba’i.
1
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, ilmu Kalam, ( Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2012), hal.
119
Al-Juba’i : menjawab yang mukimin mendapat tempat yang baik di
syurga, yang kafir
masuk neraka, dan yangkecil terlepas dari bahaya
al-Asyari : berkata lagi kalua yang kecil ingin memperoleh tempat yang
lebih tinggi di
syurga “apakah mungkin?
Al-juba’i: Allah akan menjawab: “ aku tau bahwa jika engkau terus hidup
engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk
kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur
tanggung jawab.”
Setelah dialog terakhir tersebut, al-juba’i terdiam dan tidak bisa menjawab
pertanyaan Al-asy’ari sehingga beliau merasa tidak puas dengan jawaban guru
beliau dan mulai meragukan ajaran mu’tazilah. Akibat keraguannya itu, Al-asy’ari
bermunajat untuk memohon kepada Allah swt. Dan tidak keluar rumah selama 15
hari. Kemudian setelah 15 hari, beliau pergi ke masjid Bashrah untuk
mengumumkan keteguhannya dalam meninggalkan aliran mu’tazilah.
Beliau memiliki pengikut dan pendukung yang banyak karena Pemikiran kalam
beliau mudah dipahami banyak orang. Alasan lain beliau keluar dari ajaran
mu’tazilah adalah sikap mu’tazilah yang lebih mementingkan pendekatan akal
daripada menggunakan Alquran dan hadis sehingga Al-Asy’ari mengembangkan
ajaran teologinya dengan mendahulukan dalil naqli yaitu Alquran dan hadis dan
membatasi penggunaan logika filsafat. Sehingga banyak dari masyarakat yang
2
Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM ALIRAN-ALIRAN SEJARAH ANALISA PERBANDINGAN, ( Jakarta:
UI-Press, 2008), hal. 66-67
kesulitan memahami dan mengikuti mu’tazilah yaitu memakai alur pemikiran
filsafat yang rumit.
Nama beliau mahsyur sebagai ulama tauhid yang mana dapat menundukkan dan
menghancurkan paham mu’tazilah dengan berjuang melawan menggunakan lisan
dan tulisan serta berdebat dan bertanding dengan kaum mu’tazilah.3
A. Perkembangan Asy’ariyah
3
Tim Humas, sejarah Asy’ariyah, https://an-nur.ac.id/sejarah-asyariyah/#:~:text=Dinamakan
%20aliran%20Asy'ariyah%20karena,Jubbai%20yang%20beraqidah%20Mu'tazilah, 1 Maret 2024
4
Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM ALIRAN-ALIRAN SEJARAH ANALISA PERBANDINGAN, ( Jakarta:
UI-Press, 2008), hal. 66-67
1. Al-Baqilani (403 H).
Al-Baqilani sebagai pengikut mazhab dalam beberapa hal tertentu tidak
sepaham dengan al-Asy’ari, diantaranya :
a. Sifat Allah. Bagi al-Baqilani, bukanlah sifat sebagaimana pendapat
Asy’ari melainkan hal sebagaimana pendapat Abu Hashim dari
golongan Mu’tazilah.
b. Perbuatan manusia. Bagi al-Asy’ari, perbuatan manusia diciptakan
Allah seluruhnya dan daya manusia dalam al-Kasb tidak mempunyai
efek, sedangkan menurut al-Baqilani, manusia mempunyai daya
sumbangan efektif dalam perwujudan manusianya.
2. Al-Juwayni (478 H).
Al-Juwayni juga mengikuti jejak al-Baqilani dalam menjunjung tinggi akal
dan rasio, ia dalam beberapa hal tidak sepaham dengan ajaran yang
ditinggalkan al-Asy’ari, diantaranya :
a. Anthropomorphisme.
Bagi al-Juwayni, tangan Tuhan harus dita’wilkan kekuasaan, mata
Tuhan diartikan penglihatan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan, dan
keadaan Tuhan bersemayam diatas ‘Arsh diartikan Tuhan berkuasa
Maha Tinggi. Bagi al-Asy’ari, masalah ta’wil ayat semacam itu adalah
sesuatu hal yang secara tegas ditolak.
b. Perbuatan manusia.
Bagi al-Juwayni, daya yang ada pada manusia mempunyai efek, tetapi
efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebabmusabab.
Dengan demikian al-Juwayni berada jauh dari paham al-Asy’ari dan
lebih dekat dengan paham Mu’tazilah tentang kausalitas.5
5
Jurnal Al-‘Adl: Al-Asy’ariyah (2008:2), Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari dilahirkan di
daerah Bashrah (Irak) pada tahun 873 M/260 H.
B. Doktrin-doktrin asy’ariyah
Pandangan dari asy’ariah berbeda dengan pandangan paham mu’tazilah
ada beberapa paham asy’ariah yaitu :6
1. Sifat tuhan
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari berpendapat, mustahil tuhan
mengetahui dengan DzatNya, dengan demikian Dzad Nya adalah
pengetahuan dan tuhan sendiri adalah pengtahuan, padahal tuhan
bukan lah pengetahuan melainkan tuhan adalah yang mengetahui.
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuanNya bukanlah
dzatNya. Didalam paham mu’tazilah berbanding terbalik karena tuhan
mengetahui dzat Nya bukan dengan sifat Nya.
2. Kebebasan dalam berkehendak ( free will
Pada dasarnya al-Asy’ari, menggambarkan manusia sebagai
seorang yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa
disaat berhadapan dengan kekuasaan absolut mutlak. Karena manusia
dipandang lemah, maka paham al- Asy’ari dalam hal ini lebih dekat
kepada faham Jabariyah (fatalisme) dari faham Qodari ah.
Al-Kasb adalah sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia
dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang faham
kasb ini, al- Asy’ari memberi penjelasan yang sulit ditangkap. Di satu
pihak ia ingin melukiskan peran manusia dalam perbuatannya. Namun
dalam penjelasannya tertangkap bahwa kasb itu pada hakekatnya
adalah ciptaan Tuhan. Jadi, dalam teori kasb manusia tidak mempunyai
pengaruh efektif dalam perbuatannya.
Kasb, kata al-Asy’ari, adalah sesuatu yang timbul dari yang
berbuat (al-muhtasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan. Jadi
dalam paham al-Asy’ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah
6
Supriadi, Al-asyariyah(Sejarah singkat, Abu al-Hasan al-Asy’ari dan doktrin-doktrin teologiny,
jurnal Pendidikan, VOL. 9 tahun 2014
diciptakan tuhan. Dan tidak ada pembuat (agen) bagi kasb kecuali
Allah. Dengan perkataan lain, yang mewujudkan kasb atau perbuatan
manusia, menurut al-Asy’ar, sebenarnya adalah Tuhan sendiri. Bahwa
perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Allah, dapat dilihat
dari pendapat al-Asy’ari tentang kehendak dan daya yang
menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy’ari menegaskan
bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki.
3. Akal dan Wahyu
Dalam paham asy'ariyah dan mu'tazilah terdapat paham tentang
akal dan wahyu tetapi berbeda pendapat tentang menghadapi persoalan
akal dan wahyu. Di dalam paham Al asy'ariyah lebih mengemukakan
tentang Wahyu daripada akal Sedangkan mu'tazilah menggunakan
akal.7 Mu’tazilah memandang bahwa mengetahui Tuhan, kewajiban
mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah dapat
diketahui lewat akal tanpa membutuhkan wahyu. Sementara dalam
pandangan al-Asya’ariyah semua kewajiban agama manusia hanya
dapat diketahui melalui informasi wahyu.
Akal menurut al-Asya’ariyah tidak mampu menjadikan sesuatu
menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang
baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Wajib
mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu hanyalah sebagai alat untuk
mengenal, Sedangkan yang mewajibkan mengenal Allah ditetapkan
melalui wahyu. Bahkan dengan wahyu pulalah untuk dapat
mengetahui ganjaran kebaikan dari Tuhan bagi yang berbuat ketaatan,
serta ganjaran keburukan bagi yang tidak melakukan ketaatan. Dalil
yang dikemukakan al-Asy’ariyah dalam melegitimasi argumen ini,
Antara lain adalah firman Allah dalam QS. Al-Isra’/17: 15.
4. Al-Qur’an bukan diciptakan
7
Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, pustaka setia (Bandung, 2012),hal.121
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Allah (al-Qur’an) ini
dibedakannya menjadi dua, Kalam Nafsi yakni firman Alla>h yang
bersifat abstrak tidak berbentuk yang ada pada Z|at (Diri) Tuhan, Ia
bersifat Qadim dan Azali serta tidak berubah oleh Adanya perubahan
ruang, waktu dan tempat. Maka al-Qur’an sebagai kalam Tuhan dalam
artian ini bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah kalam
Allah yang diturunkan kepada para Rasul yang dalam bentuk huruf
atau kata-kata yang dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh
makhluk-Nya, yakni berupa al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari.
Maka kalam dalam artian ini bersifat hadist(baru) dan termasuk
makhluk.
Dapat dipahami bahwa kalam Allah, menurut aliran Asy’ariyah
adalah sifat, dan sebagai sifat Allah, maka mestila Ia kekal. Namun,
untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak boleh bersifat
kekal atau qadim, seperti yang dikemukakan Mu’tazilah, al-Asy’ariyah
memberikan dua defiisi yang berbeda. Kalam yang tersusun disebut
sebagai firman dalam arti kiasan (kalam lafz}i). Sedangkan kalam
yang sesungguhnya adalah apa yang terletak di balik yang tersusun
tersebut (kalam nafsi).8
Lahir tokoh-tokoh yang menyambung faham ini seperti Abu Abdullah bin
Mujahid, Abu Hasan Al-Basri, Abu Bakar bin Al-Taib Al- Baqillani, Abu
Bakar bin Furak, Abu Ishak Al-Juwaini, Imam Al-Ghazali, dan Imam
Fakhruddin Al-Razi. Ideology ini juga didukung dengan sarjana-sarjana di
8
Nunu Bahrudin, Ilmu Kalam dari Tauhid Keadilan , (Jakarta;Kencana Prendamedia,2016)
kalangan madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali beberapa diantara
mereka adalah Al-Asfaraini, Al-Qafal, Al-Jarjani dan lainnya hingga
sekarang.
9
Ilmu Kalam, Jamaluddin, Shabri Shaleh Anwar.
1. Kelompok Samarkand adalah pengikut Abu Mansur Muhammad al-
Maturidi (w. 944 M) di mana paham-paham teologinya lebih dekat
kepada Mu’tazilah yang rasional.
2. Kelompok Bukhara adalah pengikut dari Yusar Muhammad al-
Bazdawi (w.1100 M) yang pemikiran-pemikiran teologinya lebih
cenderung kepada pemikiran al-Asy’ariyah yang tradisional.
Dengan demikian sejarah perkembangan teologi Islam sebagai
fakta dan realita yang mengungkapkan pemikiran-pemikiran tokoh itu
tidak selamanya sama dengan pengikutnya. Dengan kata lain tidak
mutlak antara seorang murid dengan gurunya mempunyai pemikiran
yang selalu sama.
Pada perkembangan berikutnya, muncul seorang murid al-
Bazdawi, Najm al-Din Muhammad al-Nasafi, lahir di Nasaf tahun
460/1068 dan wafat di Samarqand tahun 537/1142. Beliau termasuk
ulama besar pada masanya, tulisannya yang terkenal adalah alAqa’id Al-
Nasafiyah yang dari segi metode dan materinya sangat jelas dipengaruhi
oleh pemikiran al-Maturidi. Buku ini bukan hanya menarik bagi para
tokoh Maturidiyah tetapi juga tokoh-tokoh Asy‟ariyah, al-Taftazani
misalnya, menulis sebuah komentar atas buku Tersebut. Tokoh
Maturidiyah yang juga dikenal dengan al-Nasafi adalah “Abd al-Mu‟in
Maymun ibn Muhammad al-Makhuliy al-Nasafi (w.508/1114). Karyanya
antara lain Tabsirah al-Adillah, Tamhid li Qawa‟id al-Tauhid, dan Bahr
al-Kalam. Selanjutnya muncul „Ala al-Din Abu Bakr Muhammad al-
Samarqandi (w.540/1145), Nur al-Din Muhammad al-Shabuni
(w.580/1185), Hafizh al-Din Abu al-Barakat „Abdullah al-Nasafi
(w.710/1310), „Ubaid Allah shadr al-Shari‟ah al-Mahbubi (w.747-1348),
„Ala al-Din „Abd al-Aziz al-Bukhari(w.730/1329), Ali al-Sayyid al-
Sharif al-Jurjani (w.816/1413), Kamal Al-Din Muhammad ibn Humamah
(w.861/1455), Ahmad ibn Sulayman al-Rumi Shams al-Din Kamal Pasa
(w.940/1533), Ali ibn Sulthan Muhammad al-Makki Mula „Ali al-Qari
(w.1014), Kamal al-Din Ahmad al-Bayadi (w.1083/1672), dan Hasan
Kafia Pruscak Basnawi (w.1025/1616). Mereka itulah yang berjasa besar
dalam menyebarkan dan mengembangkan paham Maturidiyah dari masa
ke masa.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik
dan buruknya itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau
larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal. Beliau mengakui bahwa
akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruknya sesuatu
yang mana dalam kondisi tersebut wahyu diperlukan untuk dijadikan
pembimbing.
Menurut beliau perbuatan manusia adalah ciptaan tuhan karena segala sesuatu
dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, beliau mempertemukan
antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat tuhan sebagai pencipta
perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia yang mana
manusia tersebut bisa menggunakannya dengan bebas. Daya-daya tersebut
diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Kemudian karena daya
diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan
manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya
manusia. Al-Asy’ari mengatakan hal yang berbeda dengan Al-Maturidi, yaitu
bahwa daya tersebut adalah daya tuhan karena ia memandang bahwa
perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan.
Telah disebutkan diatas bahwasanya segala sesuatu yang baik maupun buruk
adalah ciptaan tuhan. Akan tetapi, bukan berarti tuhan berbuat dan
berkehendak dengan sewenang-wenang dan sekehendak-Nya semata. Hal ini
karena qudrat tuhan itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang
sudah ditetapkan-Nya sendiri.10
10
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, ( Bandung: PUSTAKA SETIA, 2012), hal. 125-128
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Al-‘Adl: Al-Asy’ariyah (2008:2), Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari
dilahirkan di daerah Bashrah (Irak) pada tahun 873 M/260 H.