Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH MADZAHIB MUASHIROH I

ASY'ARIYAH

Dosen Pengampu: Ustadz Adib Sami'un Jazuli, M.Pd.

Disusun Oleh:

Khodamul Hasanah (22011041)

Nurjanah (22011029)

Rafiqa Suhayla (22011167)

Rahmatusyifa (22011149)

Program Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir

Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Daarul Hikmah 2023


A. Pengertian dan sejarah Asy’ariyah

Aliran Asy’ariah merupakan salah satu paham teologi Islam yang muncul pada abad ke-3
Hijriyah. Ajaran Asy’ariyah ini muncul setelah umat Islam terbebas dari belenggu ajaran
Mu’tazilah. Aliran Asy’ariyah dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari, yang muncul di negeri
Basrah. Pada awalnya Abu Hasan al-Asy’ari mengikuti ajaran Mu’tazilah, namun kemudian ia
menghindari dan meninggalkan ajaran tersebut.

Abu Hasan al-Asy’ari lahir pada tahun 260 H di Bashrah dan wafat pada tahun 324 H. Ada
tiga periode yang dilewati oleh Abu Hasan al-Asy’ari semasa hidupnya yang merupakan
perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah :

a. Periode pertama

Abu Hasan al-Asy’ari hidup di bawah pengaruh al-Jubba’i, yaitu syaikh aliran Mu’tazilah.
Bahkan sampai menjadi orang kepercayaan al-Jubba’i. Periode ini berlangsung selama kurang
lebih 40 tahun, sehingga membuat al-Asy’ari sangat memahami seluk beluk akidah aliran
Mu’tazilah, baik dari sisi kelebihan maupun kelemahannya.

b. Periode kedua

Abu Hasan al-Asy’ari berbalik pemikiran yang berseberangan dengan pemikiran aliran
Mu’tazilah. Hal ini terjadi setelah ia merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran dan
pemahaman aliran Mu’tazilah selama 15 hari, ia juga beristikharah kepada Allah Swt. untuk
mengevaluasi dan mengkritik akidah aliran Mu’tazilah.

Pada periode ini al-Asy’ari menetapkan 7 sifat untuk Allah Swt. lewat logika akal, yaitu :

 Al-Hayah ( hidup )
 Al-Ilmu ( ilmu )
 Al-Irodah ( berkehendak )
 Al-Qudroh ( berketetapan )
 As-Sama’ ( mendengar )
 Al-Bashar ( melihat )
 Al-Kalam ( berbicara )

Sedangkan untuk sifat-sifat Allah yang bersifat khobariyah, seperti Allah mempunyai
wajah, tangan, kaki, betis dan lain sebagainya, pada periode ini al-Asy’ari masih dalam proses
mena’wilkannya, ia masih belum mengatakan bahwa Allah mempunyai semua itu. Karena
logikanya mustahil Alah yang maha sempurna memiliki tangan, wajah, kaki dan lainnya
tersebut.

c. Periode ketiga

Pada periode ini al-Asy’ari tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah
yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Al-Asy’ari menerima bahwa Allah mempunyai
wajah, tangan, kaki, betis dan sebagainya. Namun ia tidak melalukan :

 Takyif : yaitu menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki


Allah
 Ta’thil : menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
 Tamtsil : menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
 Tahrif : menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan
makna lainnya.

Pada periode ini, al-Asy’ari menulis kitabnya yang berjudul Al-Ibanah ‘an Ushuliddiniyah.
Yang di dalamnya ia merinci akidah salaf dan manhajnya.

Metode dan pemikiran al-Asy’ari ini kemudian diikuti oleh ulama’ yang datang setelahnya
dan menisbatkan pendapat-pendapat mereka kepada Asy’ariyah. Mereka berperan dalam
mengembangkan pendapat-pendapat al-Asy’ari. Mereka adalah al-Baqilani, al-Juwani dan al-
Ghazali

B .PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN AKIDAH

Asy’ariyah dalam mengimani sifat-sifat Allah, masih diselimuti oleh keragu-raguan dan
penyelewengan-penyelewengan, sehingga sangat tidak mungkin untuk masuk kedalam
madzhab Ahlus Sunnah secara sempurna. Bila Ahlus Sunnah menetapkan suatu masalah , justru
mereka menyelisihnya. Hal ini sebagaimana pula terjadi atas Mu’tazilah yang sering ada
kesesuaian dengan ahlus sunnah dan sering pula berselisih. Begitu pun antara Asy’ariyah dan
Mu’tazilah ada kesamaannya.

Asy’ariyah (Orang-orang Asy’ariyah) telah membagi sifat-sifat Allah dalam lima bagian :
Wahdaniyatullah (keesaan Allah), Baqa (Kekal), Qadam (yang lebih dahulu), Mukholafatu
Lilhawadisi (berebeda dengan makhluknya), dan qiyamuhu binafsihi (Berdiri Sendiri).
Sebagaimana pula mereka telah membagi sifat Allah menjadi 7 Bagian. Yang kemudian sifat
tujuh ini dikembangkan oleh Syaikh Maturidiyah menjadi 13 sampai 20 sifat sebagagaimana
berkembang di Indonesia hari ini.

Pembagian di atas jelas tidak berdasarkan kepada Al-qur’an dan As-Sunnah, tapi
berdasarkan pada akal semata, padahal akal tidak berhak untuk membicarakannya.

C. BEBERAPA POKOK PERBEDAAN ASY’ARIYAH DENGAN AHLUS SUNNAH

1. Asy’ariyah tenggelam dalam takwil sifat-sifat Allah yang telah dilarang oleh para salafus
shalih
2. Mendahulukan akal yang mereka istilahkan dengan kepastian-kepastian akal dari pada Al-
kitab dalan As-Sunnah dalam perkara-perkara ghaib, I’tiqad, dan sifat-sifat Allah.
3. Penafsiran makna tauhid yang dibatasi pada tauhid Rububiyah dan kelalaian mereka dari
tauhid Uluhiyah dan ibadah.
4. Perbedaan lain antara Asy’ariyah dan Ahlus Sunnah adalah dalam permasalahan Al-qur’an
kalamullah, iman, qadar, dan nubuwwah.

D. SYUBHAT-SYUBHAT AKIDAH ASY’ARIYAH DAN BANTAHANNYA

1. Mereka tidak berani menetapkan sifat-sifat Allah

Menurut keyakinan mereka, jika menetapkan sifat akan terjadi Tasybih (penyerupaan
terhadap makhluk). Berdasarkan kaidah mereka setiap sesuatu yang diberi sifat pasti berjism
(memiliki raga), dan jisim-jisim itu memiliki keserupaan.

Pernyataan mereka terbantahkan dengan beberapa alasan;

a. Allah menyifati Al-Asma Al-Husna dan Allah telah memerintahkan untuk berdoa dengan
nama-namanya tersebut, sebagimana tercantum dalam surat Al-A’raf [7]: 180,
‫َو ِهّٰلِل اَاْلْس َم ۤا ُء اْلُحْس ٰن ى َفاْدُع ْو ُه ِبَهۖا َو َذ ُروا اَّلِذ ْيَن ُيْلِح ُد ْو َن ِفْٓي َاْس َم ۤا ِٕىٖۗه َس ُيْج َز ْو َن َم ا َك اُنْو ا َيْع َم ُلْو نا‬

Hanya milik Allah-lah nama-nama yang baik, maka bermohonlah kepadanya dengan menyebut
Asmaul Husna itu.

Ini menunjukan bahwa nama (Allah) tersebut mempunyai arti yang agung. Kalau tidak,
untuk apa Allah menyuruh berdoa dengan menyebut nama-nama-Nya.

b. Sesungguhnya Allah telah menetapkan nama-nama dan sifat-sifatnya bagi dirinya, b aik secara
global maupun terperinci. Tetapi dalam hal ini pun secara tegas Allah menyatakan, bahwa
nama-nama dan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan makhluk. Allah berfirman;

‫َلْيَس َك ِم ْثِلِهۦ َش ْى ٌء‬


Tidak ada satu pun yang serupa dengan dia ( Asy-Syura :11 ).

Ayat ini meunjukan bahwa menetapkan sifat tidak berarti tasbih, Kalaupun terjadi tasbih
berarti kalam Allah saling bertentangan. Hal ini mustahil terjadi.

Asy’ariyah dan pengikut-pengikutnya seperti Maturidiyah dan lain-lainnya dalam


mengimani asma’ dan sifat Allah, adalah dengan cara menetapkan nama-nama Allah dan
sebagian sifatnya serta menafikan sebagian besar. Mereka tolak nash-nash yang mungkin
bisa ditolak, dan mereka takwilkan nash-nash yang tidak mungkin atau tidak bisa di tolak.

2. Mereka menetapkan sifat tujuh bagi Allah

Yaitu Al-iradah (Berkehendak), Al-Qudrah (Berkuasa), Al-Ilmu (Mengetahui), Al-hayah


( Hidup), Al-Bashrah (Melihat), As-Sam’u (Mendengar) Al-kalam (Berbicara).

Sedang sifat Allah yang lainnya mereka tolak atau mereka takwilkan. Syubhat di atas
dapat dibantah dengan alasan-alasan sebagai berikut.

a. Sesungguhnya menetapkan asma’ dan sifat dengan akal adalah menyelisihi para
salafus shalih. Maka jika mereka hendak kembali kepada Al-Qur’an dan Assunnah,
seharusnya menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah sebagaimana Allah dan
Rasulnya tetapkan. Yaitu, dengan tanpa Tamtsil (menyerupai), Ta’thil (menafikan),
takyif (menanyakan bagaimana), dan tahrif (menyimpangkan dari makna aslinya).

b. Bila masalah (ghaib) ini dikembalikan kepada akal pasti akan terjadi ikhtilaf
(perselisihan) dan berlawanan.

c. Apabila mereka mena’wilkan nash dari makna dzahir kepada makna yang sesuai
dengan akal mereka, untuk hal ini perlu dilihat contoh sebagai berikut;

Aapabila mereka berkata yang dimaksud dengan tangan Allah itu adalah kekuatan (Al-
Quwwah) dan bukan tangan yang sebenarnya, dengan alasan jika tangan diartikan dengan tangan
sebenarnya, maka akan terjadi tasybih dengan makhluk karena makhluk mempunyai tangan.

E. Perkembangan mazhab Asy’ariyah

Mazhab ibnu kilab dalam menyikapi sifat dan kalam ALLAH tau pendapat dengan mazhab
Abu Hasan Al-Asy’ari, karena Asy’ari termasuk murid ibnu killab, maka perkembangan
Asy’ariyah tidak terlepas dari dua hal:

- Dilihat dari hakikatnya, madzhab Asy’ariyah tidaklah disebabkan Abu Hasan Al-asy’ari,
melainkan lebih di sebabkan oleh Ibnu kilab dan madrasah Al-kilabiyah.
- Dilihat dari penamaan madzhab, lebih dikaitkan kepada Abu Hasan Al-Asy’ari dan
murid-murid setelahnya.
-
F. Sebab penisbatan madzhab kepada Asy’ari

Penisbatan kepada Abu Hasan Al-asy’ari ini disebabkan oleh beberapa alasan:

1. Bahwa Imam Al-Asy’ari tidak mengikuti orisinilitas (secara murni) ajaran yang dibawa
Ibnu Kilab. Walaupun ia mengikuti Ibnu Kilab dalam beberapa ajarannya, tapi bukan
berarti mengikutinya dalam semua ajaran yg dibawa Ibnu Kilab.
2. Bahwa Ibnu Kilab Hidup di masa terujinya Ahlus Sunnah di hadapan Mu'tazilah. Maka
ketika fitnah Mu'tazilah itu sudah tiada, nampaknya di tengah-tengah umat Islam seorang
alim dari kalangan Ahlus Sunnah, yaitu Imam Ahmad. Mengenai keberadaan Ibnu Kilab
dan para pengikutnya, oleh umat Islam dikategorikan ke dalam kelompok Mu'tazilah dan
Jahmiyah. Karena walaupun mereka memiliki argumen-argumen yang kuat, tetapi masih
mencampurkannya dengan kebid'ahan, sehingga kalangan ulama dari Ahlus Sunnah,
seperti Imam Ahmad, telah memberikan peringatan kepada mereka. Maka tidak
diragukan lagi, bahwa kemampuan Ibnu Kilab untuk mempengaruhi umat Islam sangat
terbatas pada masalah tertentu. Adapun Abu Hasan Al-Asy'ari hidup setelah hudu'u-
Asifah dan ketika Ahlus Sunnah mendapatkan dukungan terbanyak dari umat Islam dan
paling berkuasa. Sehingga ketika Asy'ari membuat bantahan atas pemikiran Mu'tazilah,
muncul dukungan dari umat Islam dan ulama Ahlus Sunnah kepada beliau.
3. Perpindahan Asy'ari dari madzhab Mu'tazilah ke pangkuan madzhab Salaf. Padahal
Asy'ari termasuk orang yang disegani di kalangan Mu'tazilah sehingga ia termasuk salah
satu dari ulamanya. Beliau sangat sering mengadakan pengajaran- pengajaran dan
diskusi-diskusi tentang ajaran Mu'tazilah. Beliau pun telah mengarang beberapa kitab
yang dijadikan sandaran oleh pengikut-pengikut Mu'tazilah, sehingga beliau mengatakan
bahwasanya tidak ada satu kitab pun yang menandingi kitab tersebut.
4. Banyaknya buku-buku yang ia karang, sehingga tercatat jumlahnya sampai tiga ratus
buku. Berbagai pertanyaan pun tidak hanya datang dari kalangan awam, tapi juga dari
para alim di masa itu. Sehingga tertulis berbagai macam bentuk karya beliau yang sangat
cepat sekali tersebar dan terkenal. Lain halnya dengan Ibnu Kilab yang sangat sedikit
sekali memiliki karya-karya tulisan
5. Besarnya peran murid-murid Asy'ari dalam menyebarkan ajaran Asy'ariyah kepada umat
Islam. Qadhi Iyadh berkomentar mengenai Asy'ari, "Maka ketika menyebarkan karya-
karya dan fatwa-fatwa beliau dan nampaknya pembelaan beliau kepada sunnah-sunnah
Rasul, mulai para ulama Ahlus Sunnah mengambil pemikiran-pemikirannya dari kitab-
kitab yang telah beliau karang.

G. Sebab sebab Berkembangnya Madzhab Asy’ariyah

Walaupun sebenarnya banyak kritikan terhadap ulama- ulama Asy'ari, tetapi madzhab
Asy'ariyah tetap berkembang pesat di kalangan umat Islam, bahkan mendapat banyak dukungan
dari kalangan Ulama Fiqh dan Ulama Hadits? Mengapa demikian?

Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan jawaban dengan beberapa alasan:

Pertama, masih banyaknya kandungan kebenaran yang mereka bawa dan banyaknya hadits
nabawi yang mereka pegangi.

Kedua, mahirnya dalam membungkus kebenaran dengan qiyas aqli, baik yang bersumber dari
ajaran Shabi'ah atau dari sesuatu yang baru dalam Islam.

Ketiga, lemahnya atsar Nabi yang digunakan untuk membendung syubhat-syubhat dan untuk
memberi penjelasan menuju jalan yang benar bagi mereka.

Keempat, melemahnya kekuasaan Mu'tazilah di tengah-tengah kejayaan pemikiran Asy'ariyah.

Kelima, perkembangan madzhab di tengah ibu kota kekuasaan khilafah Abbasiyah di Baghdad.
Dan perhatian umat Islam di seluruh pelosok negeri tertuju kepada tempat berkuasanya
kekhalifahan yang di dalamnya banyak terdapat para Fuqaha', Ahli Hadits dan Qurro'. Begitu
juga Baghdad merupakan salah satu kota terpenting, tempat berkembangnya para ulama untuk
mengambil suatu riwayat hadits dan menyampaikan suatu hadits. Maka ketika kondisi demikian
maraknya, pertumbuhan madzhab Asy'ariyah semakin pesat seiring dengan banyaknya ulama
yang mengambil pendapat-pendapat Asy'ariyah dan disebarkannya ke banyak tempat.

Keenam, adanya dukungan dari beberapa amir dan wazir khalifah Abbasiyah terhadap
Asy'ariyah. Yang paling terkenal di antaranya: Al-wazir Nidlamul-Mulk, Al-Mahdi bin Tumir,
Nuruddien bin Mahmud bin Zanky dan Shalahuddin Al-Ayubi

Ketujuh, banyaknya ulama yang mendukung dan menolongnya, terutama para Fuqaha'
Mutaakhirin dari kalangan Syafi'iyah dan Malikiyah. Mereka itu di antaranya: Al-Baqlani, Ibnu
Faruq, Al-Baihaqi, Al-Isfirayaini, Asy-Syirazi, Al-zuwaini, Al-Qusyairi, Al-Baghdadi, Al-
Ghazali, Ar-Razi, Al-Amidi, Al- Izz Ibnu Abdus-Salam, Badaruddin Ibnu Jama'ah, dan As-
Subqi. Mereka tidak hanya sebatas mendukung, bahkan sampai pada taraf menulis buku-buku
dan mengajak pada madzhab tersebut

Kesimpulan:

Aliran asy'ariyah merupakan salah satu paham teologi Islam yang muncul pada abad ke-3
Hijriyah. Aliran ini mengembangkan paham teologi Islam yang lebih mengutamakan dalil naqli
dan membatasi menggunakan penggunaan logika filsafat. Aliran asy'ariyah dinisbatkan kepada
abu Hasan Al Asy'ari yang muncul di negeri Basrah.

Ada tiga periode yang dilewati oleh abu Hasan Al Asy'ari yang pertama Abu Hasan Al Asy'ari
hidup di bawah pengaruh AL juba'i yaitu syekh aliran mu'tazilah. Yang kedua abu Hasan Al
Asy'ari berbalik pemikiran yang berseberangan dengan pemikiran mu'tazilah. Yang ketiga
periode Al Asy'ari tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah tetapi semua sifat yang bersumber dari
nash-nash yang sahih.

Asy'ariyah dalam mengimani sifat-sifat Allah masih diselimuti oleh keragu-raguan dan
penyelewengan sehingga sangat tidak mungkin untuk masuk ke dalam mazhab ahlussunnah
secara sempurna.

Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa As’ariyah tidak ada bedanya dengan Mu’tazilah, karena
sama-sama menetapkan akidah dengan prediksi akal, walaupun Asy’ariyah sebenarnya lebih
dekat kepada Ahlus Sunnah. Kalau Mu’tazilah, akal merupakan sumber pijakan pertama, adapun
As’ariyah tidak, hanya saja, apabila ada pertentangan antara nash dan akal, mereka akan lebih
mendahulukan akal, dengan istilah lain “Taqdimu al-aql ala an-naql”.

Anda mungkin juga menyukai