Anda di halaman 1dari 22

ASAL USUL ASY’ARIYAH

• Nama ini diambil dari nama pendirinya yaitu Abu Hasan Ali bin
Ismail al-Asy‟ari (873 – 935 M). Dia adalah seorang pengikut
Mu‟tazilah, yakni murid dari al-Juba‟I (tokoh Mu‟tazilah).

• Alasan dia keluar dari Mu‟tazilah, tidak ada informasi yang tegas,
kecuali:

• 1. Suatu malam dia bermimpi ketemu Nabi Muhammad dan


mengatakan kepadanya bahwa aliran Mu‟tazilah salah, yang benar
aliran ahlu hadis. (ibnu Asakir).

• 2. Setelah berdebat dengan gurunya al-Juba‟i.


• Setelah perdebatan itu Asy‟ari mulai meragukan kayakinan
mu‟tazilah, dan secara perlahan-lahan dia meninggalkannya
dan mengganti dengan keyakinan yang dia bangun sendiri,
yang kemudian dikenal dengan nama aliran Asy‟ariyah.

• Keyakinan dia semakin mantap ketika aliran Mu‟tazilah


dilarang sebagai mazhab negara oleh al-Mutawakkil, dan
diganti dengan aliran yang dianut oleh Ahmad bin Hambal.

• Semenjak itulah dia semakin intens untuk merumuskan


keyakinan-keyakinan dalam aliran teologi baru yang dia
bangun.
ASY’ARIYAH
• Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap paham Mu‟tazilah
yang dianggap menyeleweng dan menyesatkan umat Islam.
Dinamakam aliran Asy‟ariyah karena dinisbahkan kepada
pendirinya, yaitu Abu Hasan Al-Asy‟ari, keturunan Abu Musa
Al-Asy‟ari.
• Al-Asy‟ari lahir pada tahun 324 H/935 M. Pada waktu kecil ia
berguru pada seorang pengikut Mu‟tazilah yang terkenal, yaitu
Al-Jubai. Aliran ini ia ikuti hingga usia 40 tahun dan tidak
sedikitpun dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-
buku tentang Mu‟tazilah.
PERIODISASI PEMIKIRAN AL-ASY’ARI
• Dalam kehidupan Asy‟ary terdapat tiga periode dalam hidupnya
yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam
masalah akidah.

• Periode Pertama

• Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran


Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya.
Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini
membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah,
hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
PERIODISASI PEMIKIRAN AL-ASY’ARI
• Periode Kedua

• Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-


paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya.
Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua
pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau
juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan
mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
PERIODISASI PEMIKIRAN AL-ASY’ARI
• Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7
sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
• Al-Hayah (hidup)
• Al-Ilmu (ilmu)
• Al-Iradah (berkehendak)
• Al-Qudrah (berketetapan)
• As-Sama‟ (mendengar)
• Al-Bashar (melihat)
• Al-Kalam (berbicara)
• Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya
wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih
menta‟wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan
bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya
dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha
Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
PERIODISASI PEMIKIRAN AL-ASY’ARI
• Periode Ketiga
• Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi
semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih.
Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta‟thil, tabdil, tamtsil
dan tahrif.
• Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya
wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
• takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah.
• ta‟thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki.
• tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu.
• tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan
makna lainnya.
• Pada periode ini beliau menulis kitabnya “Al-Ibanah „an Ushulid-
Diyanah.” Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-
Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
PENYEBAB ASY’ARY KELUAR DARI MU’TAZILAH
• Pengakuan Al-Asy‟ari telah bertemu Rasulullah SAW sebanyak 3
kali. yakni pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan.
dalam mimpinya itu Rasulullah memperingatkannya agar
meninggalkan paham Mu‟tazillah.

• Al-Asy‟ari merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran


Mu‟tazilahdalam soal – soal perdebatan yang telah ditulis diatas.

• Dari segi politik sebagian kalangan berpendapat bahwa beliau


kalah pamor dengan Abu Hasyim, murid al-Juba‟I yang lain
PENYEBAB ASY’ARY KELUAR DARI MU’TAZILAH
• Al-Asy‟ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu‟tazillah,
tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi
pikiran. ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan
bahwa akal pikiran dalam agama atau membahas soal-soal yang
tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu
kesalahan.

• Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan


menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.
TOKOH ASY’ARIYAH
• Abdul Hasan Al-Asy‟ari

• Al-Baqilany

• Al-Juwainy

• Al-Ghazali

• As-Sanusy
AJARAN ASY’ARIYAH
• Sifat Allah, menurutnya Allah SWT mempunyai sifat (sifat duapuluh)
sifat-sifat tersebut berada di luar zat Tuhan dan zat Tuhan itu sendiri.
Seperti al-‘ilm (mengetahui), al-qudrah (kuasa), al-hayah (hidup), as-sama’
(mendengar), al-basar (melihat), dan lainnya.
• Kedudukan Al-Qur‟an, Al-Qur‟an adalah firman Allah dan bukan
makhluk dalam arti baru dan diciptakan. Dengan demikian Al-Qur‟an
bersifat qadim (tidak baru).
• Melihat Allah di Akhirat, Allah dapat dilihat di akhirat dengan mata
karena Allah mempunyai wujud.
• Perbuatan manusia, perbuatan-perbuatan manusia itu diciptakan Allah.
• Antropomorfisme, Allah mempunyai mata, muka, dan tangan,
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Qamar ayat 14 dan QS. Ar-
Rahman ayat 27. Akan tetapi, bagaimana bentuk Allah tidak dapat
diketahui.
• Dosa besar, orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin
selama ia masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
• Keadilan Allah, Allah adalah pencipta seluruh alam. Dia memiliki
kehendak mutlak atas ciptaan-Nya.
KONSEP AKIDAHNYA
• Secara umum, konsep akidahnya lebih merupakan sebuah
antitesa dari akidah Mu‟tazilah, terutama berkaitan dengan
sifat Tuhan, hal melihat Tuhan, al-Qur‟an qadim, perbuatan
manusia, keadilan Tuhan, manzilah baina manzilatain.

• 1. Tentang sifat Tuhan, baginya Tuhan punya sifat. Karena


mustahil Tuhan bisa mengetahui tanpa pengetahuan, dan
pengetahuan itu adalah sifat Tuhan.

• 2. Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala pada hari akhirat,


karena tidak ada halangan untuk itu.
3. al-Qur‟an bersifat qadim, bukan diciptakan. Karena proses
penciptaan memerlukan proses kun, yang tidak berkesudahan,
sedang al-Qur‟an tidak mengalami hal tersebut.

4. Teori kasab, bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh


Tuhan (jabariyah). Manusia tidak punya kemampuan untuk
berbuat.

5. berkaitan dengan keadilan Tuhan, baginya Tuhan berkuasa


mutlak, dan tidak ada yang bisa mewajibkan sesuatu pada
Tuhan. Persoalan masuk sorga atau neraka adalah atas
kekuasaan Tuhan semata.
6. Manzilah baina manzilatain juga ditolak oleh Asy-ari,
karena mustahil terjadi seseorang tidak mukmin dan tidak
kafir, seperti posisi antara teman dan musuh.

7. Tidak ada larangan untuk mengatakan bahwa Tuhan


punya mata, telinga, tangan dan lainnya. Yang dilarang
adalah menanyakan mengapa dan bentuknya bagaimana.
• Tokoh lain dari aliran Asy‟ariyah adalah al-Baqilani. Pendapatnya
sedikit berbeda dengan Asy‟ari: 1) baginya sifat Tuhan disebut
dengan hal, 2) manusia punya andil dalam perbuatannya untuk
menentukan bentuk gerak yang diciptakan Tuhan.

• Tokoh berikutnya al-Juwaini. Pendapatnya: 1) pendapat bahwa


Tuhan punya tangan harus dita‟wil, 2) mengakui hukum
kausalitas.

• Tokoh lain adalah al-Gazali. Pendapatnya sama persis dengan


Asya‟ari. Karena itulah dalam sejarah disebutkan bahwa ditangan
al-Gazali aliran Asy‟ariyah berkembang luas.
ASY’ARIYAH TERMASUK AHLU SUNNAH?
• Ulama-ulama Syafi‟iyyah Menolak Dinisbatkan Kepada Asy‟ariyyah

• Kebanyakan orang mengira bahwa madzhab Al Asy‟ariyyah itu identik dengan


madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama‟ah. Ini sebuah kekeliruan fatal. Abul Hasan
sendiri telah kembali ke pangkuan manhaj Salaf, dan mengikuti aqidah Imam
Ahmad bin Hambal. Yaitu menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah
tetapkan untuk diriNya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits shahih, dengan tanpa takwil, tanpa
ta‟thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Jelas, Abul Hasan pada akhir hidupnya
adalah seorang salafi, pengikut manhaj salaf dan madzhab imam ahli hadits.
Sampai-sampai ulama-ulama Asy Syafi‟iyyah menolak dinisbatkan kepada
madzhab Asy‟ariyyah.
PERKEMBANGAN ALIRAN ASY’ARIYAH
• Aliran ini termasuk cepat berkembang dan mendapat dukungan
luas dikalangan sebelum meninggalnya pendiri Aliran Asy‟aiyah itu
sendiri yaitu Imam Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy‟ari, yang wafat
pada tahun 324 H/934 M.
• Sepeninggalnya Al-Asy‟ari sendiri mengalami perkembangan dan
perubahan yang cepat karena pada akhirnya Asy‟ariyah lebih
condong kepada segi akal pikiran murni dari pada dalil nash.
• Aliran asy‟ariyah dapat berkembang secara luas pada kalangan
masyarakat karena dianggap dapat menengahi pendapat
antara aliran Jabariyah dan aliran Qodariyah secara arif.
PERKEMBANGAN ALIRAN ASY’ARIYAH
• Pada dasarnya ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy‟ariyah adalah sebagai
berikut: Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah
kewajiban untuk berbaut baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka tidak
mengkafirkan orang yang berdosa besar. Kehadiran Tuhan dalam konsep
Asy‟ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.
• Namun demikian beberapa pendapat asy‟ari ini tidak lepas dari koreksi oleh
generasi penerusnya, namun koreksi-koreksi ini tidak lain merupakan
penyempurnaan yang dilakukan oleh penganut madzhab ini. Di antaranya ialah
sebagai berikut: Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja
menerima ajaran-ajaran Asy‟ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan
manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah,
sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan
bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat
Asy‟ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan
perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
PERKEMBANGAN ALIRAN ASY’ARIYAH
• Pengikut Asy‟ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah
Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478
H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan
bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan)
sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai
penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah,
dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa
pus, sepertidikatakan Asy‟ari.
PERKEMBANGAN ALIRAN ASY’ARIYAH
• Pengikut Asy‟ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada
umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-
Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-
paham Asy‟ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
• Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat
Tuhan danmempunyai wujud di luar zat.
• Al-Qur‟an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
• Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya
dan perbuatan
• Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti
dapat dilihat.
• Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal
ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan
bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada
manusia.
PERKEMBANGAN ALIRAN ASY’ARIYAH
• Berkat Al-Ghazali paham Asy‟ari dengan sunah wal jamaahnya
berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran
Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah
Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang
surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari
kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para
Ulama yang Berpaham Asy-„ariyah.
• Kebanyakan para ulama di Indonesia, baik secara langsung
maupun tidak langsung menyatakan dirinya sebagai penganut
aliran Asy‟ariyah. Mereka mengamini pendapat Imam
Asy‟ariyah bahwa Al-Qur‟an itu Qadim, bahwa manusia dapat
melihat Tuhannya kelak di surga, tentang bahwasanya mukmin
yang berdosa besar tidak serta merta menjadi kafir.

Anda mungkin juga menyukai