Anda di halaman 1dari 18

ALIRAN JABARIYAH

A. Jabariyah

Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti “memaksa”. Kalau dikatakan
Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), artinya Allah Maha
Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa
manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik
menjadi Jabariah (dengan menambah ya nisbah), artinya adalah suatu kelompok atau
aliran (isme). Asy-Syahratsany menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan
perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah
SWT. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Dalam bahasa inggris, Jabariah disebut fatalism atau predestinational, yaitu paham
bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan..

Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 124
H) yang kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari Khurasan. Dalam sejarah
teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam
kalangan Murji’ah. Ia duduk sebagai sekretaris Suraih bin Al-Haris dan menemaninya
dalam gerakan melawan kekuasaan bani Umayyah. Dalam perkembangannya, paham al-
jabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh di atas. Masih banyak tokoh-tokoh lain
yang berjasa dalam mengembangkan paham ini, di antaranya adalah Al-Husain bin
Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dira.

Mengenai kemunculan paham al-jabar, para ahli sejarah mengkajinya melalui


pendekatan geokultural bahasa Arab. Salah satu ahli mengutarakan kehidupan bangsa
Arab dikungkung oleh gurun pasir. Memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup
mereka. Ketergantungan mereka pada alam sahara yang ganas menimbulkan sikap
berserah diri kepada alam.

Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian,


masyarakat Arab tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka
sesuai dengan keinginannya. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak kuasa dalam
menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada
kehendak alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalisme.
Sebenarnya, benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua
tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini.

a. Suatu ketika, Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah
takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri.
Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata, ”Tuhan telah menentukan aku mencuri”.
Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta
kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada
pencuri. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera
karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang
kadar (ketentuan) Tuhan dan kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu
bertanya, “Apabila perjalanan (menuju perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha dan
qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya.” Kemudian Ali menjelaskan
bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan
siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Ali selanjutnya menjelaskan,
sekiranya qadha dan qadar merupakan paksaan, batal lah pahala.

B. Pemikiran dan Tokoh-Tokoh Aliran Jabariyah


Menurut Asy-Syahrastani, Jabariyah itu dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, Jabariah yaitu ekstren dan mederat. Di antara doktrin Jabariyah ekstren
adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan
yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.
Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas
kehendak sendiri, melainkan karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki
demikian. Di antara pemuka Jabariah ekstren adalah sebagai berikut.

i. Jahm bin Shafwan

Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak usaha yang
dilakukan Jahm, antara lain menyebarkan doktrinnya ke berbagai tempat, seperti ke
Tirmidz dan Balk.

ii. Ja’ad bin Dirham

Berbeda dengan Jabariyah ekstren, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan


menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi
manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.

iii. Adh-Dhirar

Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yaitu


bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya.

C. Pokok pemikiran Jabariyah

Manusia dalam paham ini memang benar melakukan suatu perbuatan, akan tetapi
perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa. Paham Jabariah ini diduga telah ada sejak lama,
dikalangan masyarakat Arab sebelum agama Islam datang, karena paham ini lebih banyak
dibentuk oleh alamiah Jazirah Arab. Aliran Jabariah ini selanjutnya mengembangkan
pahamnya sejalan dengan perkembangan masyarakat pada masa itu. Sebagaimana telah
disebutkan bahwa Jabariyah mengajarkan paham, jika manusia dalam melakukan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Manusia dianggap tidak mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat pada kehendak
mutlak Tuhan.

Dalam sejarah tercatat, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyah
di kalangan umat Islam adalah al-Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Ja’ad ini
kemudian disebarluaskan oleh pengikutnya, seperti Jahm bin Safwan. Manusia dalam paham
Jabariyah adalah sangat lemah, tak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari aturan, skenario, dan
kehendak Allah. Segala akibat baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan
hidupnya merupakan ketentuan Allah. Hal ini bisa menimbulkan paham seolah-olah Tuhan
tidak adil jika ia menyiksa orang yang berbuat dosa, sedangkan perbuatan dosa yang
dilakukan orang itu adalah kehendak Tuhan.
ALIRAN ASY'ARIYAH

    Abu Hasan Asy’ari dan Pemikirannya.

1.      Riwayat singkat Al-Asy’ari


Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismai’l bin Ishaq bin Salim
bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.
Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika
berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324
H/935 M.[1] Beliau masih keturunan Abu Musa Al-Asy’ari seorang sahabat dan perantara
dalam sengketa antara Ali r.a dan Mu’awiyah r.a. Pada waktu kecilnya, Al-Asy’ari berguru
pada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal, Abu Ali al-Jubba’I, untuk mempelajari ajaran-ajaran
Mu’tazilah dan memahaminya. Aliran ini dianutnya sampai ia  berusia 40 tahun dan tidak
sedikit dari umurnya digunakan untuk mengarang buku-buku ke-Mu’tazilahan.[2]
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu,
secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah mesjid Bashrah bahwa dirinya telah
meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu
Asakir yang dikutip oleh Rosihon. Yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham
Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rosulullah saw. Sebanyak
tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20,dan  ke-30 bulan Ramadan. Dalam tiga mimpinya
itu, Rosulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela
faham yang telah diriwayatkan oleh beliau.[3]
Sebab lain bahwa al-Asy’ari berdebat dengan gurunya al-Jubba’i dan dalam
perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid. Salah satu perdebatan itu menurut
al-Subki seperti yang dikutip oleh Harun Nasution adalah:
Al-Asy’ari          :Bagaimana kedudukan ke tiga orang berikut: mukmin, kafir, dan anak kecil
di akhirat?
Al-Jubba’I        :Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka,
dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari         :Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga,
mungkinkah itu?
Al-Jubba’I        :Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya
kepada Tuha. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.
Al-Asy’ari           :Kalau anak itu mengatakan kepada tuhan: itu bukanlah salahku. Jika
sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik
seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’I         :Allah akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau
akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku
cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab,
Al-Asy’ari         :Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku
sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga
kepentinganku?
Di sini Al-Jubba’I terpaksa diam. Jelas, kelihatannya al-Asy’ari sedang dalam
keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya
selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy’ari
mengasingkan diri di rumah selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran
Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke masjid, naik mimbar dan menyatakan
bahwa dirinya keluar dari Mu’tazilah.[4]
2.      Pemikiran Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis
antara formulasi ortodokx ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di lain sisi. Maksudnya, dari
segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan aktualitas
formulasinya jelas menampakan sifat reaktif terhadap mu’tazilah, suatu reaksi yang tak dapat
dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab
(tokoh sunni yang wafat pada 854 M). Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang
reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Adapun
pemikiran yang terpenting adalah:
a.      Sifat
Pendapat al-Asy’ari dalam soal sifat terletak di tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah
disatu pihak dan aliran Hasywiyah dan Muassimah di lain pihak. Aliran Mu’tazilah tidak
mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa, dan wahdaniah (ke-Esaan). Sifat zat yang lain,
seperti sama’, basher dan lain-lain tidak lain hanya Zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiyah
dan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari
dalam pada itu mengakui sifat-sifat Tuhan yang tersebut yang sesuai dengan Zat Tuhan
sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Tuhan mendengar, tetapi tidak
seperti kita mendengar dan seterusnya.
b.      Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Pendapat al-Asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariyah dan
aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan
perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Menurut aliran
Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan/ menciptakan sesuatu, tidak memperoleh
(kasb) sesuatu, bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian kemari menurut arah angin yang
meniupnya. Datanglah al-Asy’ari untuk mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa
menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.
c.       Melihat Tuhan Pada Hari Kiamat
Menurut aliran Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan
demikian, mereka mena’wilkan ayat-ayat yang mengatakan adanya ru’yat, di samping
menolak hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat, karena tingkatan hadits tersebut
menurut mereka adalah Ahad (hadits perseorangan). Menurut golongan Musyabbihah, Tuhan
dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Dengan menempuh jalan
tengah antara kedua golongan tersebut, al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat,
tetapi tidak menurut cara tertentu dan tidak pula  pada arah tertentu.
d.      Dosa Besar
Aliran Mu’tazilah mengatakan, apabila pembuat dosa besar tidak bertaubat dari
dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran
Murji’ah mengatakan, siapa yang iman kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepada-Nya,
maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakaanya, namun tidak akan mempengaruhi
imannya, datanglah Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang Mu’min yang mengesakan Tuhan
tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuniNya dan langsung masuk surga,
ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya., tetapi kemudian dimasukkanNya ke dalam surga.
[5]
e.       Iman
Agak pelik untuk memahami makna Iman yang diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-
Asy’ari sebab, di dalam karya-karyanya seperti Maqalat, Al-Ibanah dan Al-Luma, ia
mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa,
iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-luma, iman
diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya, bahwa kata mukmin seperti
disebutkan dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 7 memilki hubungan makna dengan
kata sadiqin dalam ayat itu juga. Dengan demikian, menurut Al-Asy’ari, iman adalah tashdiq
bi al qalb (membenarkan dengan hati).[6]
Definisi Iman menurut salah seorang teolog Asy’ariyah, yaitu Asy-Syahrastani
adalah;
“Al-Asy’ari berkata, “…Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan
(membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’ (qawl) dengan lisan dan melakukan
berbagai kewajiban utama (amal bi al-arkan) hanyalah merupakan furu (cabang-cabang)
iman. Oleh sebab itu, siapapun yang membenarkan keesan Tuhan dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusanNya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman orang
semacam itu merupakan iman yang shahih… Dan keimanan seorang tidak akan hilang
kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”[7] 
f.       Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan
wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mu’tazilah
mengutamakan akal. Dalam menentukan baik burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara
mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan kepada wahyu,
sedangkan Mu’tazilah mendasarkan pada akal.[8] Munculnya Asy’ari bukan tanpa tentangan
dari para ulama Salaf. Kaum Salaf meragukan kebenaran pendirian beliau itu dan banyak
diantaranya yang menyerang aqidahnya yang demikian itu, sehingga pengikut-pengikut
mazhab Hambali mengkafirkan pendirian itu dan menghalalkan darah orang yang
menganutnya. Sebaliknya, kemudian beliau dibela oleh suatu jamaah ulama-ulama
terkemuka, diantaranya seperti Abu Bakar Al-Baqillani, Imam Haramain, Imam al-
Asfaraini, dan lain-lain.[9]

B.       Riwayat Beberapa Tokoh Asy’ariyah dan Pemikirannya (Al-Baqilani, Al-Juwaini,


dan Al-Ghazali)

Salah satu unsur penting bagi kemajuan aliran ini adalah adanya tokoh-tokoh yang
cukup masyhur dan kemudian mengkonstruksi aliran ini dalam perkembangannya. Diantara
tokoh-tokoh Asy’ariyah adalah:
1.        Al-Baqillani
Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat
kelahiran gurunya, yaitu al-Asy’ari. Ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya
dalam pembelaan agama. Bukunya yang terkenal ialah “At-Tahmid”, yang berarti
“Pengantar” atau “Pendahuluan”. Dalam buku ini ia antara lain membicarakan hal-hal yang
perlu dipelajari sebelum memasuki Theologi Islam, diantaranya tentang Jauhar-Fard (atom),
‘aradh dan cara-cara pembuktian (istidlal).[10]
Dalam beberapa hal Al-Baqillani tidak sefaham dengan Asy’ari , diantaranya tentang
sifat Tuhan. Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi Al-Baqillani bukanlah sifat,
tetapi hal, sesuai dengan pendapat yang sebaliknya. Adapun tentang tentang perbuatan
manusia, menurutnya; Manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan
perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia adapun
bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Denngan lain kata, gerak
dalam diri manusia mengmbil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan
sebagainya.[11]
2.        Al-Juwaini
Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah
besar pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. Kegiatan ilmiahnya
meliputi Usul Fiqih dan theology Islam, ia mengikuti jejak al-Baqillani dan al-Asy’ari dalam
menjunjung tinggi kekuasaan akal pikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli
hadits kepadanya. Akhirnya ia terpaksa meninggalkan Bagdad, menuju Hejaz dan bertempat
tinggal di Mekkah kemudian ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia
mendapat gelar “Imamul Haramain”.
Dalam bukunya, “al-irsyad”, yang berisi pokok-pokok kepercayaan ia menandaskan
bahwa kewajiban seorang muslim dewasa ialah mengadakan penyelidikan akal pikiran yang
bisa membawa kepada keyakinan bahwa alam semesta ini baru, dan kalau baru tentu ada
yang menjadikannya, itulah Tuhan.[12]
Pendapat Al-Juwaini tentang anthropomorphisme adalah; Tuhan harus diartikan
(ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan
diartikan wujud tuhan. Dan keadaan Tuhan duduk di atas takhta kerajaan diartikan Tuhan
Berkuasa dan Maha Tinggi. Sedangkan tentang perbuatan manusia, menurutnya daya yang
ada pada manusia juga mempunyai efek  Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat
antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada manusia, wujud
daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab
lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu
Tuhan.[13]
3.        Al-Ghazali
Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Gazali, lahir 450 H, di Tus kota
kecil di Churrasan (Iran). Perkataan “al-Ghazali” kadang-kadang diucapkan “al-Ghazzali”
(dua kali z). “Al-Ghazzali”, dengan menduakalikan z diambil dari perkataan “Ghazzala”,
artinya tukang pemintal benang wool, sedang “al-Ghazali”, dengan satu z, diambil dari
perkataan “Ghazalah”, nama kampong kelahiran al-Ghazali. Ayah al-Ghazali, adalah seorang
tasawuf yang saleh dan meninggal dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil.
Akan tetapi sebelum wafat ia telah menitipkan kedua anak tersebut kepada seorang tasawuf
pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.
Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Tus, kemudian meneruskan ke
Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada
tahun 505 H/ 1111 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nizamul Mulk di kota Mu’askar, dan
di sini ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar daripadanya, sehingga ia
tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/ 1090 M ia diangkat menjadi guru
di sekolah Nizamiah Bagdad. Selama waktu itu ia tertimpa kerahu-raguan tentang kegunaan
pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat
lahiriah (physiotherapy). Pekerjaannya itu kemudian ditinggalkan pada tahun 488 H untuk
menuju Damsyik, dan di kota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih
dua tahun, dengan mengambil Tasawuf sebagai jalan hidupnya.[14]
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai nafas
panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya, meliputi berbagai
lapangan ilmu, antara lain; Theologi Islam, hukum Islam, tasawuf, tafsir, akhlak, dan adab
kesopanan, sebagian besar dari buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan yang lain
ditulisnya dalam bahasa Persi. Diantara kitabnya yang terbesar adalah “Ihya Ulumuddin”
yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan yang dikarangnya beberapa tahun
dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Jerussalem, Hejaz, dan Tus dan berisi paduan
yang indah antara fiqih, tasawuf, dan filsafat. Buku yang lain yaitu, “al-Munqidz
minaddhalal” (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan
mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu serta jalan untuk
mencapai Tuhan.[15]
Pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan
penuh kegoncangan batin, sehingga kita sukar untuk mencapai kesatuan dan kejelasan corak
pemikirannya, adapun contoh pemikirannya adalah sebagai berikut:
a.      Sikapnya terhadap filosof-filosof
Menurut Hanafi, dalam bukunya “Tahafutul-Falasifah” dan “al-Munqidz mina
Dhalal” al-Ghazali menentang filosof-filosof Islam, bahkan mengafirkan mereka dalam  tiga
soal, yaitu; Alam kekal dalam arti tidak bermula, Tuhan tidak mengetahui perincian dari
segala yang terjadi di alam, pembangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi dalam kitabnya
yang lain, yaitu “Mizanul-‘ama” dikatakan bahwa ketiga-tiga persoalan tersebut menjadi
kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Masih kutipan Hanafi dalam bukunya “al-Madhnun
ala ghairi ahlihi”ia mengakui qadimnya alam. Kemudian dalam “al-Munqiz minad Dhalal” ia
menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah kepercayaan orang-orang tasawuf.
Al-Ghazali menentang tiga persoalan dalam beberapa bukunya dan mempercayainya
juga dalam buku-bukunya yang lain. Menurut Dr. Zaki Mubarak dalam bukunya “al-akhlak
‘indal Ghazali” yang dikutip oleh Hanafi mengatakan; perbedaan pendapat tersebut
disebabkan karena perkembangan pikiran al-Ghazali, mulai dari seorang murid biasa,
kemudian menjadi murid yang cemerlang, namanya meningkat, menjadi guru yang benar-
benar kenamaan. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat, menguasai dan menyingkap
bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia
dengan pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya.[16]
b.      Beberapa pemikirannya tentang faham Theologi
Berlainan dengan gurunya al-Juwaini, faham teologi yang dimajukannya boleh
dikatakan tidak berbeda dengan faham-faham al-Asy’ari. Al-Ghazali, seperti al-Asy’ari tetap
mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan
dan mempunyai wujud di luar zat. Juga al-Quran dalam pendapatnya bersifat qasim dan tidak
diciptakan. Mengenai perbuatan manusia, ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia
lebih dekat menyerupai impotensi.[17]
 Selanjutnya menurut al-Ghazali Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai
wujud dapat dilihat. Demikian pula penolakan terhadap faham keadilan yang ditimbulkan
oleh kaum Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan manusia, tidak
wajib memberi upah atau ganjaran pada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan
boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia. Tuhan berkuasa muthlak dan
tidak akan bertentangan dengan sifat-sifat  ke Tuhanannya.[18]

C.      Perkembangan Aliran Asyariyah Di Lihat Secara Kronologis Tahun

1.        Tahun 873: M atau bertepatan dengan 260 H, Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asyari lahir di
Basra. Ia dididik dan dibesarkan di kalangan Muktazilah. Dan menghabiskan sebagian besar
masa hidupnya di kota Baghdad, Irak.
2.        Tahun 912 M al-Asyari memutuskan keluar dari Muktazilah, setelah bergumul dalam
kelompok itu selama kurang lebih empat puluh tahun. Kemudian ia merumuskan pandangan
teologi (kalam) Islam yang berseberangan dengan pandangan Muktazilah. Kelompok al-
Asyari ini dikenal dengan Asyariyah.
3.        Tahun 935 M al-Asyari wafat. Perjuangannya memperkuat paham Ahlus Sunnah wa al-
Jamaah dilanjutkan oleh murid-muridnya. Di antarannya adalah al-Juwaini, al-Ghazali, dan
al-Sanusi. Tahun 1028 M lahir seorang tokoh Asyariyah bernama Abdul Malik bin AbduHah
bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayyuwiyah al-Juwaini al-Nisaburi, atau yang
dikenal dengan Al-Juwaini. Ia menjadi pengajar di Madrasah Nizamiyah Nisyapur selama 23
tahun. Madrasah ini menjadikan teologi Islam aliran Asyariyah sebagai kurikulum resmi.
Salah satu murid Al-Juwaini yang terkenal adalah Al-Ghazali.
4.        Tahun 1058 M. Lahir Abu Hamid al-Ghazali, yang kemudian menjadi pembela aliran
Asyariyah paling berpengaruh sepanjang sejarah pemikiran Islam. Al-Ghazali juga pernah
menjadi guru di Madrasah Nizamiyah. Sejak saat itu aliran Asyariyah menyebar ke seluruh
pelosok dunia Islam, dari Andalusia hingga Indonesia.
5.        Tahun 1067 M Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Dinasti Seljuk, mendirikan Madrasah
Nizamiyah. Madrasah ini memiliki cabang di berbagai kota penting dalam wilayah kekuasaan
Dinasti Abbasiyah.Tahun 1427 M. lahir tokoh Asyariyah yang lain, yaitu Abu Abdullah
Muhammad bin Yusuf as-Sanusi. Imam yang satu ini, punya pengaruh yang besar di
Indonesia, terutama konsepnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya.[19]

D.      Perkembangan Asy’ariah Selanjutnya Sebagai Aliran Sunni.

Secara faktual, tidak dapat dipungkiri bahwa awal mula terjadinya perpecahan
masyarakat Islam dimulai dari Khalifah ‘Utsman bin Affan RA dan hampir melembaga pada
periode Ali bin Abi Thalib KW. Perpecahan tersebut berlanjut pada persoalan akidah.
Perbedaan tersebut berlangsung terus menerus secara pasang surut, terkadang volumenya
kecil, terkadang juga membesar. Pada masa Abbasiyah berkuasa, sebelum periode al-
Mutawakkil, terjadi keresahan yang luar biasa (mihnah) di kalangan umat Islam, akibat
pemaksaan paham akidah Mu’tazilah oleh penguasa. Dalam situasi kacau dan resah itulah
muncul Imam Abu Hasan al-Asy’ari menawarkan rumusan teologi sesuai dengan nash
Qur’an dan hadits yang telah tersusun rapi. Kemudian oleh para ulama’ disepakati sebagai
paham teologi Aswaja. Makin lama pengikut paham ini makin besar. Sementara di daerah
lain, yakni Samarqand Uzbekistan dan di Mesir, Imam Abu Manshur al-Maturidi dan at-
Thahawi, juga berhasil menyusun rumusan teologi yang pararel dengan rumusan Imam al-
Asy’ari, semuanya mempunyai orientasi yang sama, yaitu menjawab persoalan-persoalan
Islam yang sangat meresahkan pada waktu itu.
Pikiran-pikiran imam al-Asy’ari, seperti yang terlihat dalam contoh di atas,
merupakan jalan tengah antara golongan-golongan yang berlawanan, atau antara aliran
rasionalis dan tektualis. Dalam mengemukakan dalil dan alasan, ia juga memakai dalil-dalil
akal dan naqal bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Quran dan hadits, ia mencari
alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya. Jadi ia tidak menganggap akal pikiran
sebagai hakim atas nas-nas agama untuk mena’wilkan dan melampaui ketentuan arti lahirnya,
melainkan dianggapnya sebagai pelayan dan penguatan arti lahir nas tersebut.
Aliran ini sepeninggal pendirinya sendiri mengalami perkembangan dan perubahan
yang cepat, karena pada akhirnya aliran Asy’ariah lebih condong kepada segi akal pikiran
murni, mendahulukannya sebelum nas dan memberinya tempat yang lebih luas daripada
tempat untuk nas-nas itu sendiri. Al-Juwaini sudah berani memberikan ta’wilan terhadap
ayat-ayat mutasyabihat. Bahkan menurut al-Ghazali pertalian antara dalil akal dengan dalil
syara’, ialah kalau dalil akal merupakan fondamen bagi suatu bangunan, maka dalil syara’
merupakan bangunan itu sendiri.[20]
Penyebutan Ahlussunah sudah dipakai sejak sebelum al-Asy’ari, yaitu terhadap
mereka yang apabila menghadapi suatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi Quran
dan Hadits, dan apabila tidak didapatinya maka mereka diam saja, karena tidak berani
melampauinya. Mereka lebih terkenal dengan sebutan ahli hadits. Berbeda dengan ahli ra’yi
yang selalu menggunakan akal pikiran untuk menyelesaikan persoalan. Meskipiun pada
waktu itu sudah ada orang yang selalu terikat dengan hadits dalam lapangan fiqih, namun
mereka tidak dikenal dengan sebutan “ahlussunah”.[21]
Perkembangan aliran Asy’ariah juga mengalami beberapa fase, setelah Mu’tazilah
dijatuhkan Mutawakkil sebagai ideologi Negara, aliran tersebut mendapat kesempatan untuk
berkuasa setelah Dinasti Buwaih yang beraliran Syi’ah menguasai Bagdad. Persamaan faham
yang menggunakan akal pikiran dalam penyelesaian persoalan menjadi kuncinya. Begitu juga
setelah Buwaih dijatuhkan oleh Tugril dari dinasti Saljuk Mu’tazilah tidak pula ikut hancur,
hal ini karena Tugril memiliki perdana menteri yang beraliran Syi’I bernama al-Kunduri
(416-456 H). Pada masa ini Mu’tazilah tetap dalam keadaan baik sebaliknya ahli Sunnah
mengalami kesukaran, bahkan atas usul al-Kunduri, Tugrul memerintahkan untuk
menangkapi aliran Asy’ariah.
Asy’ariyah mulai mengalami jalan mudah ketika Tugril wafat (1063), dan digantikan
oleh Alp Arselan (1063-1092) yang mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-
Kunduri. Perdana menteri baru itu adalah penganut aliran Asy’ariah dan atas usahanya pula
aliran ini cepat berkembang, sedang aliran Mu’tazilah mulai mundur kembali. Ia mendirikan
sekolah-sekolah yang diberi nama al-Nizamiah, diantaranya di Bagdad di mana al-Ghazali
pernah mengajar. Di sekolah-sekolah ini dan sekolah lain diajarkan teologi Asy’ariah.
Pembesar-pembesar Negara juga menganut aliran Asy’ariah. Dengan demikian faham-faham
Asy’ariah meluas bukan hanya di daerah kekuasaan Saljuk, tetapi juga di dunia Islam
lainnya.[22]
ALIRAN MA’TURIDIYAH

A.    Sejarah Munculnya Paham Ma’turidiyah


Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi. Ian dilahirkan
disebuah kota kecil didaerah Samarkhan yang bernama Maturid, di wilayah Temsoxiana di
Asia Tengah di daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui
pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H / 944
M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi yang bernama Nasyir bin Yahya Al-Balakhi, ia
wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang
memerintah pada tahun 232-274 H / 847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih
dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh. Pemikiran-pemikirannya
banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-
Qur’an Makhas Asy-syara’I, Al-Jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga
ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-Aqaid dan Syarah Fiqh.
    Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah Al-jamaah, yang tampil dengan
Asy’ariyah. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang
sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk
menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis, dimana yang berada paling depan.
    Menurut ulama-ulama Hanafiah, hasil pemikiran Al-Maturidi dalam bidang aqidah sama
besar dengan pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah sebelum terjun
dalam fiqh dan menjadi tokohnya, telah lama berkecimpung dalam bidang aqidah serta
bamyak pula mengadakan tukar pendapat dan perdebatan-perdebatan seperti yang
dikehendaki oleh suasana zamannya, dan salah satu buah karyanya dalam bidang aqidah ialah
bukunya yang berjudul “Al-Fiqhul Akbar”. 
    Al-maturidi dinilai sebagai ilmu kalam sunni yang menghidupkan aqidah ahlu assunnah
dengan metode akal. Meskipun al-maturidi hidup semasa dengan al-asy’ari tetapi antara
keduanya tidak ada komunikasi dan saling mengenal pendapatnya. Jadi, meskipun keduanya
terdapat banyak kesamaan dalam tujuan dan cara menuju tujuan, tetapi al-maturidi
mempunyai cara yang berbeda dengan asy’ari. Latar belakang fiqih ikut berpengaruh. Al-
asy’ari bermadzhab syafi’I yang dikenal moderat, tetapi dekat dengan tradisionalis, banyak
terikat kepada nash nash naqli, sedang al-maturidi bermadzhab fiqih Imam Abu Hanifah yang
dikenal ahl ra’yi lebih cenderung rasionalis. 
    Dalam pemikiran itu ternyata, bahwa pikiran-pikiran al-maturidi sebenarnya berintikan
pikiran-pikiran Abu Hanifah dan merupakan penguraiannya yang lebih luas. Kebanyakan
ulama-ulama maturidiyah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih hanafiah, seperti
Fahrudin Al-Bazdawi, At-Taftazani, An-Nasafi, Ibnul Hammam, dll.
    Memang aliran asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran mu’tazilah.
Seperti yang kita ketahui, al-maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang
penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah dan asy’ariyah sekitar masalah
kemampuan akal manusia. Maka dari itu, al-maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu
dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara
aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
    Pemikiran- pemikiran AL-Mathuridi bertujuan untuk membendung paham Mu’tazilah
seperti jga aliran Asy-‘Ariyah. Namun demikian tidak seluruh pemikirannya bertentangan
dengan Mu’tazilah. Bahkan dalam beberapa hal pemikirannnya hampir sama dengan
pendapat Mu’tazialh. Oleh karena itu, sering kali Al-Maturidi disebut “Berada diantara
teologi dan mu’tazilah dan Asy’ariyah.   Dalam perkembangan sejalanjutnya aliran Maturidi
menjadi terbagi dua sekte yakni Sekte Al-Maturidiyah Samarkhan (Abu Mansur Al-
Maturidiyah) dan Al-Maturidiyah Al-Bukhoro (Abu Al-Alyusr Muhammad Bazdawi).
B.    Tokoh – tokoh Al – Ma’turidiyah
1.    Tokoh al Maturidiyah Samarkhan
Nama aslinya Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Abu Mansur al Maturidi.
Asalanya dari Maturidi yaitu sesuatu daerah yang di Samarkhan. Sehingga terkadang
namanya disandarkan pada samarkhan dan biasa dipanggil Abu Mansyur Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi as-Samarkhan.  Beliau dilahirkan
tepatnya di Maturid, Uzbekistan para paruh kedua abad ke 9 M.  Sebenarnya tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun Muhammad Ab Zahrah menuliskan,
diperkiirakan pada pertengahan abad ke 3 H. karena beliau mereguk ilmu fikih madzhab
Hanafi dan ilmu kalam dari Nasr Ibn Yahya al-Baikhi yang wafat pada tahun 268 H.
Abu Mansur al-Maturidi merupakan seorang teologian (mutakallimin) pembentuk ilmu kalam
dari Nasr Ibn Yahya al-Balkhi yang wafat pada tahun 268 H. Pandangan lain mengatakan
bahwa Abu Mansur al-Maturidi merupakan seorang teologian (mutakillimin) pembentuk ilmu
kalam (teologi Islam) yang wafat pada tahun 333 H./944 M.  Beliau hidup pada sekitar abad
ketiga dan keempat Hijriyah atau pada pertengahan abad kesembilan sampai dengan
pertengahan abad kesepuluh Masehi.
Semasa hidupnya al-Maturidi menerima ilmu dari banyak guru, di antaranya dari Abu Nashr
Ahmad ibn al-Abbas al-Bayadi, Ahmad ibn Ishak al-Jurjani dan Nashr ibn Yahya al-Balkhi
yang merupakan ulama terkemuka dalam mazhab Hanafiah.
Al-Maturidi dalam bidang yang dikajinya menyusun sejumlah kitab yang cukup banyak. Di
antaranya adalah : “Kitab Ta‘wil al-Qur’an, Kitab al-Ma‘khuz al-Syara‘i, Kitab al-Jadal,
Kitab al-Usul fi Usul al-Din, Kitab al- Maqalat fi al-Kalam, Kitab Radd Tahdzib al-Jadal li
al-Ka’bi, Kitab Radd al-Usul al-khamsah li Abi Muhammad al-Babili, Radd Kitab al-Imamah
li Ba’dhi al-Rawafid dan al-Radd ‘ala al-Qaramitah”
Al-Maturidi merupakan pengikut setia dari Abu Hanifah yang terkenal ketat dengan
keabsahan pendapat akal. Sehingga al-Maturidi banyak memakai komparasi akal dalam
penyelesaikan problem keagamaan (teologi). Pengikut dari al-Maturidi, salah satunya adalah
Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi merupakan murid dari
al-Maturidi, dan ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham
dengan al-Maturidi. Perbedaan pendapat di antara mereka menyebabkan aliran al-Maturidi
terbagi menjadi dua golongan, golongan Samarkhan dan golongan Bukhara.
2. Tokoh al-Maturidiyah Bukhara
Al-Bazdawi lahir di Hudud sebuah negeri di Bazdah akhir 400 H/1010 M. Nama lengkapnya
Ali ibn Abi Muhammad ibn al-Husaein ibn Abd al- Karim ibn Musa ibn Isa ibn Mujahis al-
Bazdawi. Al-Bazdawi adalah seorang tokoh besar yang berpengaruh pada zaman itu. Hal ini
terlihat dengan keberhasilannya menjadi sub aliran Maturidiyah yang kemudian di kenal
dengan nama Maturidiyah Bukhara. Di samping itu, al-Bazdawi memiliki beberapa gelar
yaitu al-Mujtahid fi al-Masail (mujtahid yang tidak berjtihad sepanjang masih ada pendapat
imamnya, tetapi apabila ada masalah hukum yang belum dibahas oleh imamnya, maka
mereka berjitihad untuk memecahkannya), huffadz al-mazhab al-Hanafi (pelestari mazhab
Hanafi), kebanggan Islam, dan Abu al-Usr’ (bapak kesulitan).
Keberhasilan-keberhasilan itu dicapainya dengan menorehkan beberapa hasil pemikirannya
sesuai dengan bidang ilmu yang diketahuinya, di antaranya sebagai berikut:
a.    Menurutnya ilmu terbagi atas 2 yakni pertama, ilmu tauhid dan sifat, ilmu ini pada
prinsipnya berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadis serta menghindari dari hawa nafsu dan
bid’ah. Umat Islam harus mengikuti terikat (cara-cara yang ditempuh) sunnah atau jamaah
yang ditempuh oleh sahabat, tabi’in dan orang-orang saleh, sebagaimana diajarkan oleh
ulama sebelumnya. Kedua, ilmu syariat dan hukum.
b.    Bidang usul fikih, al-Bazdawi mengajukan pemikiran di sekitar ijma’. Baginya ada
beberapa tingkatan ijma’, yakni 1). Ijma’ sahabat, kedudukannya sama dengan ayat dan
khabar mutawatir , 2). Ijma’ orang-orang sesudah sahabat, kedudukannya sama dengan hadis
masyhur, dan 3). Ijma’ mujtahid, yakni pada masa salaf, kedudukannya sama dengan hadis
ahad. Menurutnya ijmak dapat dinasakh oleh ijma’ yang setaraf. Inilah yang membuat
perbedaan dengan ulama-ulama usul fikih lainnya yang menyatakan bahwa ijma’ tidak dapat
dibatalkan dengan ijma’.
c.    Dalam bidang fikih, bahwa fikih dari tiga sumber yaitu kitab, sunnah dan ijma’,
sedangkan qiyas di istinbat-kan dari asal yang tiga tersebut. Hukum-hukum syara’ hanya
diketahui dengan mengetahui peraturan dan pengertian (nazham wa al-ma’na) yang terdiri
dari empat bagian. Pertama, dalam bentuk peraturan adalah sighat dan bahasa. Kedua,
penjelasan peraturan, ketiga mempergunakan peraturan dalam bab bayan (penjelasan), dan
keempat, mengetahui batas maksud dan makna karena keluasannya dan banyak
kemungkinannya.  Dalam bidang ilmu fikih, al-Bazdawi termasuk pengikut mazhab Hanafi
yang ditempatkan pada posisi paling tinggi. Karena Imam Hanafi menurutnya berani
menasakh al-Qur’an dengan hadis dan mengamalkan hadis mursal dan beranggapan beramal
dengan hadis mursal lebih baik dari pada beramal dengan ra’yi (pemikiran hasil ijtihad).
d.    Pemikirannya yang sulit dipahami oleh Abdul Azis Bukhari ketika menulis Kasyf al-
Asrar adalah ungkapan wa lamma haza al-kitab kasyifan ‘an sammaituhu ghawamid
muhtajibah ‘an alabsar, nasib ‘an sammaituhu kasyif al-asrar. (berhubung karena kitab ini
berfungsi sebagai usaha untuk menyikap masalah yang tidak terjangkau oleh pengertian [sulit
sekali], maka tepatlah apabila aku memberinya judul Menyingkap Rahasia.
Selain dari itu, al-Bazdawi semasa hidupnya memiliki karya-karya yang terbilang tidak
sedikit jumlahnya antara lain :1). Al-Mabsut (yang terbentang), 2). Syar Jami’ al-Kabir
(komentar terhadap al-Jami’ al-Kabir karangan al-Syaibani), 3). Syarh al-Jami’ al-Sagir
(komentar terhadap al-Jami’ al-Sagir karangan al-Syaibani). 4). Syarh al-Ziyadah al-Ziyadat
(komentar terhadap buku Ziyadah al-Ziyadat karangan al-Syaibani, 5). Usul al-Bazdawi
(pokok-pokok pikiran al-Bazdawi). 6). Usul al-Din (pokokpokok agama), 7). Kasyf al-Asrar
fi Tafsir al-Qur’an (menyikap tabir dalam tafsir al-Qur’an), 8). Amali Tafsir al-Qur’an
(beberapa ide tentang tafsir al-Qur’an), 9). Sirah al-Mazhab fi Sifah al-Adab, (tentang
sejarah, tokoh, dan aliran sastra), 10). Syarh Taqwim al-Adillah (komentar terhadap buku
Taqwim al-Adillah), 11). Syarh al-Jami’ al-Sahih li al-Fuqaha (senandung ahli fikih) dan 13).
Al-Waqiat (buku yang berisi mengenai keputusan pengadilan).
Al-Bazdawi semasa hidupnya pernah menjabat sebagai hakim dan mengajarkan ilmunya
kepada para murid-muridnya, salah satu muridnya ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi
(460-573 H.) serta mengajarkan ajarannya terutama mengenai teologi Maturidiyah Bukhara
sampai menjelang tutup usia pada tahun 493 H.

C.    Pengaruh Pemikiran Ma’turidiyah


a. Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal
ini, ia sama denggan Al-Asy’ari. Akan tetapi, porsi yang diberikan pada akal lebih besar
daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui
dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-
Qur’an yang mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang
mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan
memperoleh pengetahuan tersebut, Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk
melakukannya. Orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan
pengetahuan mengenai Allah berarrti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat
tersebut. Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya,
kecuali dengan bimbingan dari wahyu. Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkitan dengan
akal pada tiga macam, yaitu:
1) Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2) Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburuksn sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran
wahyu.
Mengetahu kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan
Mu’Tazilah. Perbedaannya, Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah kewajiban melakukan
yang baik dan meninggalkan yang buruk didasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi
mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu. Dalam
persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik
atau buruk tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik atau buruk
karena perintah syara’ dan dipandang buruk karena larangan syara’. Jadi, yang baik itu baik
karena perintah Allah dan yang buruk karena larangan Allah. Pada
konteks ini, ternyata Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al- Asy’ari.
b. Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam
wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan
keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar)
agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dappat dilaksanakan.
Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan
qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam
diri manusia dan manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut diciptakan dengan
perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang
menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian,
karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan
manusia dalam arti yang sebenarnya sehingga daya itu daya manusia. Berbeda dengan Al-
Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia
memandang perbuatan manuisa adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah
yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Dalam hal pemakain daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya
masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan), kebebasab manusia dalam melakukan baik ataun
buruk tetap dalam kehendak Tuhan. Tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak diridai-
Nya. Manuisa berbuat baik atas kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak
Tuhan, tetapi tidak ada kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham Al-Maturidi
tidak sebebas manusia dalam pahara Mu’tazilah.
c. Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang
baik atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi
bukan berate Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta sekehendak-
Nya, karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut),tetapi perbuatan dan kehendak-
Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
d. Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-
Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat, seperti sama’bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-
Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al- Asy’ari mengartikan sifat
Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat. Menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai
esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan Tuhan itu mulazamah (ad bersama, baca inherent) dzat tanpa
terpisah (innaha lam takun ‘ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah
tidak harus membawa pada pengertian antropomorfisme karena sifat tidak berwujud yang
terdiri dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang
qadim(taaddud al-qudama).i
Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham
Mu’tazilah. Perbedan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-
sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e. Tuhan
Melihat Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat
Tuhan ini dibeeritakan oleh Al-Qur’an, diantara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah
ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bajwa Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap dengan
penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak
di akhirat tidak meperkenalkan bentuknya (bila kaifa) karena keadaan diakhirat tidak sama
dengan keadaan di dunia.
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan
kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim
bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu(hadis). Al-
Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam
nafsi dan manusia tidak dapat mendengar atau membacanya, kecuali dengan perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun dari huruf-
huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandang nya dari segi makna abstrak.
Berdasarkan setiap pandangan tersebut, kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan sifat-Nya dan
bukan pula lain dari dzat-Nya.
Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang diciptakan Tuhan dan
tidak bersifat kekal. Pendapat Mu’tazilah ini diterima Al-Maturidi, tetapi Al-Maturidi lebih
suka menggunakan istilah hadis sebagai ganti Makhluk untuk sebutan Al-Quran. Dalam
konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga ada kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi karena
yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak, tidak lain dari kalam nafsi
menurut Al-Maturidi dan itu sifat kekal Tuhan.
g. Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semua adalah
dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau membatasinya,
kecuali ada hikmah dan keadiln yang ditentukan oleh kehendak-Nya. Oleh karena itu, Tuhan
idak wajib bagi-Nya berbuat ash-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap
perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada
manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban
tersebut antara lain.
(1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi
Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan perbuatannya.
(2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan tuntutan
keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h. Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada
manusia, seperti kewajiban mengetahui hal baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari
syariat yang dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan
bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi,
pengutusan Rasul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa
mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul, berarti manusia membebankan akalnya
pada sesuatu yang berada diluar kemampuannya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah Kewajiban Tuhan,
agar manuisa dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan ajaran para Rasul.
i. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa tidak kafir dan tidak kekal didalama
neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan
akan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah
balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan
kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidak menjadikan
seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar.
Adapun amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau
mengurangi esesnsi iman, kecuali menambah atau mengurangi pada sifatnya.

Anda mungkin juga menyukai