A. Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti “memaksa”. Kalau dikatakan
Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), artinya Allah Maha
Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa
manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik
menjadi Jabariah (dengan menambah ya nisbah), artinya adalah suatu kelompok atau
aliran (isme). Asy-Syahratsany menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan
perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah
SWT. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Dalam bahasa inggris, Jabariah disebut fatalism atau predestinational, yaitu paham
bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan..
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 124
H) yang kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari Khurasan. Dalam sejarah
teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam
kalangan Murji’ah. Ia duduk sebagai sekretaris Suraih bin Al-Haris dan menemaninya
dalam gerakan melawan kekuasaan bani Umayyah. Dalam perkembangannya, paham al-
jabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh di atas. Masih banyak tokoh-tokoh lain
yang berjasa dalam mengembangkan paham ini, di antaranya adalah Al-Husain bin
Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dira.
a. Suatu ketika, Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah
takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri.
Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata, ”Tuhan telah menentukan aku mencuri”.
Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta
kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada
pencuri. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera
karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang
kadar (ketentuan) Tuhan dan kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu
bertanya, “Apabila perjalanan (menuju perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha dan
qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya.” Kemudian Ali menjelaskan
bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan
siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Ali selanjutnya menjelaskan,
sekiranya qadha dan qadar merupakan paksaan, batal lah pahala.
Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak usaha yang
dilakukan Jahm, antara lain menyebarkan doktrinnya ke berbagai tempat, seperti ke
Tirmidz dan Balk.
iii. Adh-Dhirar
Manusia dalam paham ini memang benar melakukan suatu perbuatan, akan tetapi
perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa. Paham Jabariah ini diduga telah ada sejak lama,
dikalangan masyarakat Arab sebelum agama Islam datang, karena paham ini lebih banyak
dibentuk oleh alamiah Jazirah Arab. Aliran Jabariah ini selanjutnya mengembangkan
pahamnya sejalan dengan perkembangan masyarakat pada masa itu. Sebagaimana telah
disebutkan bahwa Jabariyah mengajarkan paham, jika manusia dalam melakukan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Manusia dianggap tidak mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat pada kehendak
mutlak Tuhan.
Dalam sejarah tercatat, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyah
di kalangan umat Islam adalah al-Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Ja’ad ini
kemudian disebarluaskan oleh pengikutnya, seperti Jahm bin Safwan. Manusia dalam paham
Jabariyah adalah sangat lemah, tak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari aturan, skenario, dan
kehendak Allah. Segala akibat baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan
hidupnya merupakan ketentuan Allah. Hal ini bisa menimbulkan paham seolah-olah Tuhan
tidak adil jika ia menyiksa orang yang berbuat dosa, sedangkan perbuatan dosa yang
dilakukan orang itu adalah kehendak Tuhan.
ALIRAN ASY'ARIYAH
Salah satu unsur penting bagi kemajuan aliran ini adalah adanya tokoh-tokoh yang
cukup masyhur dan kemudian mengkonstruksi aliran ini dalam perkembangannya. Diantara
tokoh-tokoh Asy’ariyah adalah:
1. Al-Baqillani
Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat
kelahiran gurunya, yaitu al-Asy’ari. Ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya
dalam pembelaan agama. Bukunya yang terkenal ialah “At-Tahmid”, yang berarti
“Pengantar” atau “Pendahuluan”. Dalam buku ini ia antara lain membicarakan hal-hal yang
perlu dipelajari sebelum memasuki Theologi Islam, diantaranya tentang Jauhar-Fard (atom),
‘aradh dan cara-cara pembuktian (istidlal).[10]
Dalam beberapa hal Al-Baqillani tidak sefaham dengan Asy’ari , diantaranya tentang
sifat Tuhan. Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi Al-Baqillani bukanlah sifat,
tetapi hal, sesuai dengan pendapat yang sebaliknya. Adapun tentang tentang perbuatan
manusia, menurutnya; Manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan
perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia adapun
bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Denngan lain kata, gerak
dalam diri manusia mengmbil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan
sebagainya.[11]
2. Al-Juwaini
Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah
besar pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. Kegiatan ilmiahnya
meliputi Usul Fiqih dan theology Islam, ia mengikuti jejak al-Baqillani dan al-Asy’ari dalam
menjunjung tinggi kekuasaan akal pikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli
hadits kepadanya. Akhirnya ia terpaksa meninggalkan Bagdad, menuju Hejaz dan bertempat
tinggal di Mekkah kemudian ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia
mendapat gelar “Imamul Haramain”.
Dalam bukunya, “al-irsyad”, yang berisi pokok-pokok kepercayaan ia menandaskan
bahwa kewajiban seorang muslim dewasa ialah mengadakan penyelidikan akal pikiran yang
bisa membawa kepada keyakinan bahwa alam semesta ini baru, dan kalau baru tentu ada
yang menjadikannya, itulah Tuhan.[12]
Pendapat Al-Juwaini tentang anthropomorphisme adalah; Tuhan harus diartikan
(ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan
diartikan wujud tuhan. Dan keadaan Tuhan duduk di atas takhta kerajaan diartikan Tuhan
Berkuasa dan Maha Tinggi. Sedangkan tentang perbuatan manusia, menurutnya daya yang
ada pada manusia juga mempunyai efek Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat
antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada manusia, wujud
daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab
lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu
Tuhan.[13]
3. Al-Ghazali
Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Gazali, lahir 450 H, di Tus kota
kecil di Churrasan (Iran). Perkataan “al-Ghazali” kadang-kadang diucapkan “al-Ghazzali”
(dua kali z). “Al-Ghazzali”, dengan menduakalikan z diambil dari perkataan “Ghazzala”,
artinya tukang pemintal benang wool, sedang “al-Ghazali”, dengan satu z, diambil dari
perkataan “Ghazalah”, nama kampong kelahiran al-Ghazali. Ayah al-Ghazali, adalah seorang
tasawuf yang saleh dan meninggal dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil.
Akan tetapi sebelum wafat ia telah menitipkan kedua anak tersebut kepada seorang tasawuf
pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.
Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Tus, kemudian meneruskan ke
Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada
tahun 505 H/ 1111 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nizamul Mulk di kota Mu’askar, dan
di sini ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar daripadanya, sehingga ia
tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/ 1090 M ia diangkat menjadi guru
di sekolah Nizamiah Bagdad. Selama waktu itu ia tertimpa kerahu-raguan tentang kegunaan
pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat
lahiriah (physiotherapy). Pekerjaannya itu kemudian ditinggalkan pada tahun 488 H untuk
menuju Damsyik, dan di kota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih
dua tahun, dengan mengambil Tasawuf sebagai jalan hidupnya.[14]
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai nafas
panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya, meliputi berbagai
lapangan ilmu, antara lain; Theologi Islam, hukum Islam, tasawuf, tafsir, akhlak, dan adab
kesopanan, sebagian besar dari buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan yang lain
ditulisnya dalam bahasa Persi. Diantara kitabnya yang terbesar adalah “Ihya Ulumuddin”
yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan yang dikarangnya beberapa tahun
dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Jerussalem, Hejaz, dan Tus dan berisi paduan
yang indah antara fiqih, tasawuf, dan filsafat. Buku yang lain yaitu, “al-Munqidz
minaddhalal” (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan
mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu serta jalan untuk
mencapai Tuhan.[15]
Pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan
penuh kegoncangan batin, sehingga kita sukar untuk mencapai kesatuan dan kejelasan corak
pemikirannya, adapun contoh pemikirannya adalah sebagai berikut:
a. Sikapnya terhadap filosof-filosof
Menurut Hanafi, dalam bukunya “Tahafutul-Falasifah” dan “al-Munqidz mina
Dhalal” al-Ghazali menentang filosof-filosof Islam, bahkan mengafirkan mereka dalam tiga
soal, yaitu; Alam kekal dalam arti tidak bermula, Tuhan tidak mengetahui perincian dari
segala yang terjadi di alam, pembangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi dalam kitabnya
yang lain, yaitu “Mizanul-‘ama” dikatakan bahwa ketiga-tiga persoalan tersebut menjadi
kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Masih kutipan Hanafi dalam bukunya “al-Madhnun
ala ghairi ahlihi”ia mengakui qadimnya alam. Kemudian dalam “al-Munqiz minad Dhalal” ia
menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah kepercayaan orang-orang tasawuf.
Al-Ghazali menentang tiga persoalan dalam beberapa bukunya dan mempercayainya
juga dalam buku-bukunya yang lain. Menurut Dr. Zaki Mubarak dalam bukunya “al-akhlak
‘indal Ghazali” yang dikutip oleh Hanafi mengatakan; perbedaan pendapat tersebut
disebabkan karena perkembangan pikiran al-Ghazali, mulai dari seorang murid biasa,
kemudian menjadi murid yang cemerlang, namanya meningkat, menjadi guru yang benar-
benar kenamaan. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat, menguasai dan menyingkap
bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia
dengan pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya.[16]
b. Beberapa pemikirannya tentang faham Theologi
Berlainan dengan gurunya al-Juwaini, faham teologi yang dimajukannya boleh
dikatakan tidak berbeda dengan faham-faham al-Asy’ari. Al-Ghazali, seperti al-Asy’ari tetap
mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan
dan mempunyai wujud di luar zat. Juga al-Quran dalam pendapatnya bersifat qasim dan tidak
diciptakan. Mengenai perbuatan manusia, ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia
lebih dekat menyerupai impotensi.[17]
Selanjutnya menurut al-Ghazali Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai
wujud dapat dilihat. Demikian pula penolakan terhadap faham keadilan yang ditimbulkan
oleh kaum Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan manusia, tidak
wajib memberi upah atau ganjaran pada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan
boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia. Tuhan berkuasa muthlak dan
tidak akan bertentangan dengan sifat-sifat ke Tuhanannya.[18]
1. Tahun 873: M atau bertepatan dengan 260 H, Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asyari lahir di
Basra. Ia dididik dan dibesarkan di kalangan Muktazilah. Dan menghabiskan sebagian besar
masa hidupnya di kota Baghdad, Irak.
2. Tahun 912 M al-Asyari memutuskan keluar dari Muktazilah, setelah bergumul dalam
kelompok itu selama kurang lebih empat puluh tahun. Kemudian ia merumuskan pandangan
teologi (kalam) Islam yang berseberangan dengan pandangan Muktazilah. Kelompok al-
Asyari ini dikenal dengan Asyariyah.
3. Tahun 935 M al-Asyari wafat. Perjuangannya memperkuat paham Ahlus Sunnah wa al-
Jamaah dilanjutkan oleh murid-muridnya. Di antarannya adalah al-Juwaini, al-Ghazali, dan
al-Sanusi. Tahun 1028 M lahir seorang tokoh Asyariyah bernama Abdul Malik bin AbduHah
bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayyuwiyah al-Juwaini al-Nisaburi, atau yang
dikenal dengan Al-Juwaini. Ia menjadi pengajar di Madrasah Nizamiyah Nisyapur selama 23
tahun. Madrasah ini menjadikan teologi Islam aliran Asyariyah sebagai kurikulum resmi.
Salah satu murid Al-Juwaini yang terkenal adalah Al-Ghazali.
4. Tahun 1058 M. Lahir Abu Hamid al-Ghazali, yang kemudian menjadi pembela aliran
Asyariyah paling berpengaruh sepanjang sejarah pemikiran Islam. Al-Ghazali juga pernah
menjadi guru di Madrasah Nizamiyah. Sejak saat itu aliran Asyariyah menyebar ke seluruh
pelosok dunia Islam, dari Andalusia hingga Indonesia.
5. Tahun 1067 M Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Dinasti Seljuk, mendirikan Madrasah
Nizamiyah. Madrasah ini memiliki cabang di berbagai kota penting dalam wilayah kekuasaan
Dinasti Abbasiyah.Tahun 1427 M. lahir tokoh Asyariyah yang lain, yaitu Abu Abdullah
Muhammad bin Yusuf as-Sanusi. Imam yang satu ini, punya pengaruh yang besar di
Indonesia, terutama konsepnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya.[19]
Secara faktual, tidak dapat dipungkiri bahwa awal mula terjadinya perpecahan
masyarakat Islam dimulai dari Khalifah ‘Utsman bin Affan RA dan hampir melembaga pada
periode Ali bin Abi Thalib KW. Perpecahan tersebut berlanjut pada persoalan akidah.
Perbedaan tersebut berlangsung terus menerus secara pasang surut, terkadang volumenya
kecil, terkadang juga membesar. Pada masa Abbasiyah berkuasa, sebelum periode al-
Mutawakkil, terjadi keresahan yang luar biasa (mihnah) di kalangan umat Islam, akibat
pemaksaan paham akidah Mu’tazilah oleh penguasa. Dalam situasi kacau dan resah itulah
muncul Imam Abu Hasan al-Asy’ari menawarkan rumusan teologi sesuai dengan nash
Qur’an dan hadits yang telah tersusun rapi. Kemudian oleh para ulama’ disepakati sebagai
paham teologi Aswaja. Makin lama pengikut paham ini makin besar. Sementara di daerah
lain, yakni Samarqand Uzbekistan dan di Mesir, Imam Abu Manshur al-Maturidi dan at-
Thahawi, juga berhasil menyusun rumusan teologi yang pararel dengan rumusan Imam al-
Asy’ari, semuanya mempunyai orientasi yang sama, yaitu menjawab persoalan-persoalan
Islam yang sangat meresahkan pada waktu itu.
Pikiran-pikiran imam al-Asy’ari, seperti yang terlihat dalam contoh di atas,
merupakan jalan tengah antara golongan-golongan yang berlawanan, atau antara aliran
rasionalis dan tektualis. Dalam mengemukakan dalil dan alasan, ia juga memakai dalil-dalil
akal dan naqal bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Quran dan hadits, ia mencari
alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya. Jadi ia tidak menganggap akal pikiran
sebagai hakim atas nas-nas agama untuk mena’wilkan dan melampaui ketentuan arti lahirnya,
melainkan dianggapnya sebagai pelayan dan penguatan arti lahir nas tersebut.
Aliran ini sepeninggal pendirinya sendiri mengalami perkembangan dan perubahan
yang cepat, karena pada akhirnya aliran Asy’ariah lebih condong kepada segi akal pikiran
murni, mendahulukannya sebelum nas dan memberinya tempat yang lebih luas daripada
tempat untuk nas-nas itu sendiri. Al-Juwaini sudah berani memberikan ta’wilan terhadap
ayat-ayat mutasyabihat. Bahkan menurut al-Ghazali pertalian antara dalil akal dengan dalil
syara’, ialah kalau dalil akal merupakan fondamen bagi suatu bangunan, maka dalil syara’
merupakan bangunan itu sendiri.[20]
Penyebutan Ahlussunah sudah dipakai sejak sebelum al-Asy’ari, yaitu terhadap
mereka yang apabila menghadapi suatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi Quran
dan Hadits, dan apabila tidak didapatinya maka mereka diam saja, karena tidak berani
melampauinya. Mereka lebih terkenal dengan sebutan ahli hadits. Berbeda dengan ahli ra’yi
yang selalu menggunakan akal pikiran untuk menyelesaikan persoalan. Meskipiun pada
waktu itu sudah ada orang yang selalu terikat dengan hadits dalam lapangan fiqih, namun
mereka tidak dikenal dengan sebutan “ahlussunah”.[21]
Perkembangan aliran Asy’ariah juga mengalami beberapa fase, setelah Mu’tazilah
dijatuhkan Mutawakkil sebagai ideologi Negara, aliran tersebut mendapat kesempatan untuk
berkuasa setelah Dinasti Buwaih yang beraliran Syi’ah menguasai Bagdad. Persamaan faham
yang menggunakan akal pikiran dalam penyelesaian persoalan menjadi kuncinya. Begitu juga
setelah Buwaih dijatuhkan oleh Tugril dari dinasti Saljuk Mu’tazilah tidak pula ikut hancur,
hal ini karena Tugril memiliki perdana menteri yang beraliran Syi’I bernama al-Kunduri
(416-456 H). Pada masa ini Mu’tazilah tetap dalam keadaan baik sebaliknya ahli Sunnah
mengalami kesukaran, bahkan atas usul al-Kunduri, Tugrul memerintahkan untuk
menangkapi aliran Asy’ariah.
Asy’ariyah mulai mengalami jalan mudah ketika Tugril wafat (1063), dan digantikan
oleh Alp Arselan (1063-1092) yang mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-
Kunduri. Perdana menteri baru itu adalah penganut aliran Asy’ariah dan atas usahanya pula
aliran ini cepat berkembang, sedang aliran Mu’tazilah mulai mundur kembali. Ia mendirikan
sekolah-sekolah yang diberi nama al-Nizamiah, diantaranya di Bagdad di mana al-Ghazali
pernah mengajar. Di sekolah-sekolah ini dan sekolah lain diajarkan teologi Asy’ariah.
Pembesar-pembesar Negara juga menganut aliran Asy’ariah. Dengan demikian faham-faham
Asy’ariah meluas bukan hanya di daerah kekuasaan Saljuk, tetapi juga di dunia Islam
lainnya.[22]
ALIRAN MA’TURIDIYAH