Anda di halaman 1dari 10

ALIRAN ASY’ARIYAH

Asy'ariyah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imam Abul Hasan al-Asy'ari
(w.323 H/935 M)
Aliran Asy'ariyah disebut juga sebagai aliran Ahlus Sunnah wa al Jamaah yang
kemunculannya mengatasi berbagai faham yang berkembang di kalangan umat islam dan
menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat. Aliran Asy'ariyah
merupakan jalan tengah antara aliran rasionalis (qadariyah-mu'tazilah) dan tekstualis
(jabariyah).
Dalam mengemukakan dalil dan alasan Asy'riyah juga memakai dali-dalil akal dan dalil
naqli bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi al-qur'an dan hadis, ia juga mencari
alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya.
Jadi ia tidak menganggap bahwa akal pikiran sebagai hakim atas nash agama untuk
menakwilkan dan melampaui ketentuan arti lahirnya, melainkan sebagai penguat arti lahir
nash tersebut. Ia tidak meninggalkan cara yang lazim dipakai oleh filsafat dan logika, sesuai
dengan alam pikiran dan selera masanya.

A. Pendiri aliran Asy'riyah

Pendiri aliran teologi Asy'ari'ah adalah Imam Abu Hasan al-Asy'ari yang bernama
lengkap Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin
Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari - seorang sahabat Rasulullah
saw.-
Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia
menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal
dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi,
seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari
ayah tirinya Abu Ali Al-Jubbai, salah seorang tokoh Mu'tazilah di Bashrah.
Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai
betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah
kelompok Mu'tazilah.

B. Sejarah Berdirinya
Asy’ariyah

Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah
dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke
dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab
argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab
argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau
kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik
terhadap paham Mu'tazilah yang berkembang pada saat itu.
Kesalahan dasar Mu'tazilah di mata Al-Asy’ari adalah bahwa mereka begitu
mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan
dikompromikan.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu'tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah.
Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu'tazilah.
Sumber lain menyebutkan bahwa penyebab keluarnya Al Asy'ari dari mu'tazilah adalah
perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan al ashlah
(kemaslahatan dan yang lebih maslahat).
Sumber lain mengatakan, peyebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat
Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, bahwa madzhab-madzhab yang mengambil
riwayat dariku, itulah madzhab yang benar.”
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan
Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan sepuluh hari yang ketiga pada
bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari
menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal
itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan
salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan
pada pendirian barunya.
Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin
Hambal. Abul Hasan al Asy'ri menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Mu'tazilah,
qadariyah, Jahmiyah ( jabariyah), Hururiyah ( khawarij), Rafidhah (syi'ah), dan Murjiah.
Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang
diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.

C. Periodisasi Pemikiran Al-Asy’ari.

Ibnu Katsir menyatakan dalam muqadimah Kitab Al-Ibanah bahwa para ulama
menyebutkan: " Syaikh Abul Hasan memiliki tiga fase pemahaman yang merupakan
perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah" :
● Periode Pertama, Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran
Mu'tazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung
kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk
akidah Mu'tazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.

● Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Mu'tazilah
yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau
merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama
hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan
mengkritik balik pemikiran akidah mu'tazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk
Allah lewat logika akal, yaitu:

1. Al-Hayah (hidup)
2. Al-Ilmu (ilmu)
3. Al-Iradah (berkehendak)
4. Al-Qudrah (berketetapan)
5. As-Sama’ (mendengar)
6. Al-Bashar (melihat)
7. Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah,
tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta’wilkannya.
Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya
kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran.
Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan
lainnya.

● Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah
yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan,
tanpa takyif, ta’thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah,
tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
● takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah.
● ta’thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki.
● tamtsil:menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu.
● tahrif:menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya “Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah.” Di
dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa
buku, menurut satu sumber mencapai sekitar tiga ratus.

D. Penyebab Asy’ary Keluar dari Mu’tazilah

Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari aliran mu’tazillah antara lain:

1. Pengakuan Al-Asy’ari telah bertemu Rasulullah SAW sebanyak 3 kali. yakni pada
malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. dalam mimpinya itu Rasulullah
memperingatkannya agar meninggalkan paham Mu’tazillah.
2. Al-Asy’ari merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah dalam soal – soal
yang diperdebatkan antara Asy'ari dan gurunya Abu Ali Al Jubai.
3. Dari segi politik sebagian kalangan berpendapat bahwa beliau kalah pamor dengan
Abu Hasyim, murid al-Juba’I yang lain.
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, tidak dapat
menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. ia menentang dengan
kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama atau membahas soal-
soal yang tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu kesalahan.
Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran,
sampai tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.

E. Kisah perdebatan
Asy’ari dan Abu
Ali Al Jubai

Contoh perdebatan antara Al-asy’ari dengan Abu Ali Al-Jubai:


Abu Hasan Al-Asy’ari bertanya: “Bagaimana menurut pendapatmu tentang tiga orang
yang meninggal dalam keadaan berlainan, mukmin, kafir dan anak kecil?”.

Al-Jubai: “Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil
selamat dari neraka”.

Al-Asy’ari: “Apabila anak kecil itu ingin meningkat masuk surga, artinya sesudah
meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu mungkin?”

Al-Jubai: “Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai
dengan taat kepada Allah, sedangkan Engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu”.

Al-Asy’ari: “Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat. seandainya aku
dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat seperti amalnya orang mukmin”.

Al Jubai: Allah menjawab: “Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur
dewasa, niscaya engkau bermaksiat dan engkau disiksa. Karena itu Aku menjaga
kebaikanmu. Aku mematikan mu sebelum engkau mencapai umur dewasa”.

Al-Asy’ari: “seandainya si kafir itu bertanya: Engkau telah mengetahui keadaanku


sebagaimana juga mengetahui keadaannya, mengapa engkau tidak menjaga
kemashlahatanku, seperti halnya kepada anak kecil tadi ?”

Maka Al-Jubai diam saja, tidak meneruskan jawabannya

F. PEMIKIRAN
ALIRAN ASY’ARIYAH

Al-Asy’ari merumuskan pandangan teologinya dalam kitab al-Luma’ Fi ar-Radd ’ala ahl
az-Ziyag wa al-Bida’ Pemikiran-pemikiran pokok al-Asy’ariy ada tujuh:

1. Tentang sifat Allah SWT


Bagi al-Asy’ari Allah SWT. mempunyai sifat seperti al-’Ilm (mengetahui), al-
Qudrah (kuasa), al-Hayah (hidup), as-Sama’ (mendengar), dan al-Bashar (melihat).
● Sifat-sifat tersebut berada di luar Zat Tuhan dan bukan Zat Tuhan itu sendiri. Oleh
karena itu, Tuhan mengetahui bukan dengan Zat-Nya, melainkan mengetahui
dengan pengetahuan-Nya. Begitu pula dengan sifat-sifat lainnya
2. Tentang Kedudukan
al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT dan bukan makhluk dalam arti
diciptakan. Karena al-Qur’an adalah firman Allah SWT maka pastilah al-Qur’an
bersifat Qadim.
Pandangan Asy`ariyah mengatakan, bahwa Al-quran itu Kalam Allah Yang
Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-
Quran itu makhluq.

3. Tentang Melihat Allah SWT di akhirat


Allah SWT akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah
mempunyai wujud.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dalil Asy’ariyah untuk menyakinkan
pendapatnya adalah:
a. QS. Ar-Rum ayat 25 :

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi
dengan iradah-Nya. kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi,
seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur). (QS. Ar-Rum ayat 25)[9]

b. QS Yasiin ayat 82 :

Artinya : Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah


berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia. (QS Yasiin ayat 82)[10].

c. QS Al-A’raaf ayat 54

Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy[548]. Dia menutupkan
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula)
matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya.
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan
semesta alam. (QS Al-A’raaf ayat 54)[11].
d. QS Al-Kahfi ayat 109

Artinya : Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat


Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS Al-Kahfi
ayat 109)[12].

e. QS Al-Mukmin ayat 16

Artinya :(yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari Keadaan
mereka yang tersembunyi bagi Allah. (lalu Allah berfirman): “Kepunyaan siapakah
kerajaan pada hari ini?” kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.
(QS Al-Mukmin ayat 16)

f. QS Al-A’raaf ayat 54

Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy[548]. Dia menutupkan
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula)
matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya.
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan
semesta alam. (QS Al-A’raaf ayat 54)[14].
g. QS Al-Kahfi ayat 109

Artinya : Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat


Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS Al-Kahfi
ayat 109)[15].

h. QS Al-Mukmin ayat 16

Artinya :(yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari Keadaan
mereka yang tersembunyi bagi Allah. (lalu Allah berfirman): “Kepunyaan siapakah
kerajaan pada hari ini?” kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.
(QS Al-Mukmin ayat 16)[16].

4. Tentang Perbuatan
Manusia
Pebuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT. Walaupun al-Asy’ary
mengakui adanya daya dalam diri manusia, daya itu tidak efektif. Paham ini dikenal
dengan istilah al-kasb

5. Tentang Rupa
Tuhan

Akidah al-Asy'ariah sangat menentang dan menolak pemahaman "al-Mujassimah"


(antropomorfisme) yaitu pemahaman yang menyerupakan Allah dengan sifat
makhluk atau sifat kebendaan lainnya,seperti paham yang menyatakan ; Allah
berada di langit, Allah turun ke langit dunia dan Allah memiliki wajah, mata, tangan
dan sifat lainya yang menyerupai makhluk. Padahal Allah tidak menyerupai apa pun,
baik dalam bentuk tashawuri, maupun dalam bentuk takhayyuli.
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami sifat-sifat yang wajib bagi
Allah, Imam Abu Hasan al-Asy'ari melakukan interpretasi ulang (takwil) dalam
menjelaskan ayat-ayat atau hadits tekstual yang berkenaan denan sifat-sifat
mutasyabihat bagi Allah dengan pendekatan logika, semisal: "Tangan Allah" Imam
Abu Hasan Al-Asy'ari mentakwilkan bahwa yang dimaksud "Tangan" di sani bukan
dalam pengertian Hakiki, seperti tangan manusia, melainkan sebagai Majaz atau
bentuk kiasan kebahasaan. Kemudian, Imam Abu Hasan al-Asy'ari mentakwilkan
"Yadun" sebagai "Al-Qudrah" atau kekuasaan bagi Allah.
Jika dipahami tanpa takwil, maka akan rancu pemahamannya, sebab mustahil
bagi Allah memiliki 'tangan', karena jika Allah memiliki tangan sebagaimana makhluk
berarti Allah menyerupai makhluk. Hal itu jelas mustahil dan bertentangan dengan
nash al-Qur'an,
‫ليس كمثله شيء‬
"Dia Tidak Menyerupai Sesuatu Apapun".

Pemahaman ini juga dianut oleh sebagian para imam dan ulama besar
sesudahnya, seperti Imam Ghazali, Imam Ibnu Katsir, Imam Nawawi, hingga para
imam muhaditsin lainnya yang populer dalam karya-karya mereka.
6. Tentang Dosa
Besar
Orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin selama ia masih
beriman kepada Allah SWT dan Rosul-Nya. Ia hanya digolongkan sebagai orang
durhaka. Tentang dosa besarnya diserahkan kepada Allah SWT, apakah akan
diampuni atau tidak.
Sedangkan muktazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar berada pada
manzilah baina manzilataini[18].

7. Tentang Keadilan
Allah SWT
Allah SWT adalah pencipta seluruh alam. Dia memiliki kehendak mutlak terhadap
ciptaan-Nya. Karena itu Ia dapat sekehendak-Nya. Ia dapat saja memasukkan
seluruh manusia kedalam surga, sebaliknya dapat pula memasukkan seluruh
manusia kedalam neraka.

G. PERKEMBANGAN
ALIRAN ASY’ARIYAH

Aliran Asy’ariyah berkembang pesat mulai abad ke-11 M. Bersama menyebarnya


Tasawuf (sufi) dan mendapat dukungan para penguasa di beberapa pemerintahan Islam.
Salah satunya aliran Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada
abad 11-12 M yang menyebabkan pemahaman ini dapat menyebar dari India, Pakistan,
Afghanistan, hingga ke Indonesia.
Dinasti Seljuk pada abad 11-14 M. Khalifah Aip Arsalan beserta Perdana menterinya,
Nizam al-Mulk sangat mendukung aliran Asy’ariyah. Sehingga pada masa itu, penyebaran
paham Asy’ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat utamanya melalui lembaga
pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk.
Aliran asy’ariyah dapat berkembang secara luas pada kalangan masyarakat karena
dianggap dapat menengahi pendapat antara aliran Jabariyah dan aliran Qodariyah secara
arif.

Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang,
meski pada masa itu aliran Mu'tazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah.
Sementara itu paham Mu'tazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad,
tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa.

H. TOKOH-TOKOH ALIRAN ASY’ARIYAH

Tokoh-tokoh besar yang mempunyai andil dalam menyebarluaskan dan memperkuat


madzhab ini adalah sebagai berikut:

1. Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)


Namanya lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga kelahiran kota
Basrah, tempat kelahiran gurunya, yaitu Al-Asy’ari. ia terkenal cerdas otaknya,
simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama.
Al-Baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran mu’tazillah
sebagai dasar penetapan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas.
Jauhar adalah suatu hal yang mungkin adanya dan juga mungkin tidak ada,
seperti halnya aradh, bahwa tiap-tiap aradh mempunyai lawan.
Disinilah terjadi adanya mukjizat, karena mukjizat tidak lain hanyalah penyimpangan
dari kebiasaan.

2. Abdul Ma’ali bin Abdillah Al-Juwaini


Nama lengkapnya adalah Abu Al-Ma'ali Abd Al-Malik Bin Abu Muhammad Abdullah
Bin Yusuf Bin Abdullah Bin Yusuf Bin Muhammad Bin Hayyuyah Al-juwaini.
Dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah besar pergi kekota Mu’askar dan
akhirnya tinggal di kota Bagdad.
a. Ia mengikuti jejak Al-Baqillany dan Al-Asy'ary yaitu menjunjung setinggi-tingginya
kekuatan akal-fikiran, yang menyebabkan ahli-ahli hadis marah. Dia terpaksa
meninggalkan Baghdad menuju Hijaz yang tinggal di Mekkah dan Medinah untuk
memberikan pelajaran di sana. Atas dasar aliran Asy'ary Ia pertama kali membentuk
fikih Syafi'i, yang ditulis dalam kitab al-Irsyad, berisi pokok pokok kepercayaan.
Menurut nya bahwa ‫( يد هللا‬tangan Tuhan) harus diartikan kekuasaan Tuhan. Mata
Tuhan diartikan penglihatan Tuhan. Dan ‫( وجه هللا‬wajah Tuhan) diartikan wujud Tuhan.
Dan ‫( استوى على العرس‬duduk di atas tahta kerajaan) diartikana Tuhan berkuasa dan
maha tinggi.
Al-Juwaini melakukan takwil terhadap sifat Allah dan menggunakan prinsip pokok
(ushul) akidah Mu'tazilah ke dalam mazhabnya.
Metode Takwil Al Juwaini seperti yang disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab
Takwil dan Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga
dilakukan oleh Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, bahwa takwil-takwil
tersebut bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah.

3. Al-Ghazali (450-505 H/
1058-1111M)
Nama lengkapnya Muhammad Bin Ahmad Al-Ghazali,lahir di thus kota kecil di
Churassan (Iran) pada tahun 450 H.
Gurunya antara lain al-Juwainy. Ia pernah mengajar di sekolah Nizamiyah
Baghdad. Kedudukan al-Ghazali dalam aliran Asy'ariyah sangat penting, karena ia
telah meninjau semua persoalan yang telah ada dan memberikan pendapat-
pendapatny, hingga kini masih dipegangi ulama-ulama Islam, sehingga ia mendapat
gelar "Hujjatul-Islam" (tokoh Islam).
Al-Ghazali adalah ahli pikir islam yang memiliki puluhan karya seperti Ihya
Ulumuddin,Teologi islam, Hukum islam, dll
Paham teologinya tidak berbeda dengan paham-paham Asy'ari.
Menurut Al-Ghazali bahwa;
1. Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Ia ciptakan dengan kehendak
dan kekuasaannya,karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang
ada.
2. perbedaan dalam soal – soal kecil baik yang bertalian dengan soal – soal
aqidah atau amalan, bahkan pengingkaran terhadap soal khilafah yang sudah
disepakati oleh kaum muslimin tidak boleh dijadikan alasan untuk
mengkafirkan orang.
4. Al-Imam
Al-Fakhrurrazi
(544-606H/ 1150-1210)

Penulis tafsir Mafaatihul Ghaib, Fakhruddin ar-Razi, lahir pada tahun 544 H, dia
ahli di bidang ilmu kalam atau filsafat, dan wafat pada tahun 606 H.
Setelah berkutat dengan ilmu kalam dan menyelaminya selama bertahun-tahun,
Fakhrurrazi menulis kitab Aqsaamul Ladzdzaat. Di dalam bukunys Fakhrurrazi
menuliskan pengakuannya tentang kerusakan filsafat.
Katanya, “Aku telah mencermati berbagai metode yang ditawarkan oleh ilmu
Kalam dan Filsafat (tentang ketuhanan). Ternyata, keduanya sama sekali tidak
menyirnakan dahaga orang yang kehausan. Kudapati, metode yang paling baik
adalah metode al-Qur`an bahkan satu-satunya metode yang benar.

5. Al-Sanusy ( 833-895
H. / 1427 -- 1490 M.).

Nama lengkapnya yaitu Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf. Lahir di Tilimsan, kota di
al-Jazair. Ia belajar pada ayahnya sendiri dan orang-orang lain yang ada di
negerinya, kemudian ia melanjutkan pelajarannya di kota Al-Jazair pada seorang
alim yaitu Abd. Rahman al-Tsa'laby. Kitab-kitabnya antara lain:
a) Akidat Ahli at Tauhid (disebut juga akidah tauhid besar) dan syarahnya
berjudul "Umdah ahl al-Taufiq wa al-Tasdid" (Pegangan Ahli Kebenaran
Maksudnya Ahli Sunnah),
b) Ummu al-Barahin (disebut juga akidah tauhid kecil) atau "Risalah al-
Sanusiyyah".

I. Ciri-ciri penganut aliran Asy’ariyah

Diantara ciri-ciri penganut aliran Asy'riyah adalah bahwa, Iman adalah membenarkan
dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbuat baik dan terbaik bagi manusia.
dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar. Kehadiran Tuhan dalam konsep
Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.
Namun demikian beberapa pendapat asy’ari ini tidak lepas dari koreksi oleh generasi
penerusnya, namun koreksi-koreksi ini tidak lain merupakan penyempurnaan yang dilakukan
oleh penganut madzhab ini. Di antaranya:

b. Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-
ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-
Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat
Abu Hasyim dari Mu'tazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia
bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia
mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah
hanya memberikan potensi dalam diri manusia.

c. Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Tentang
anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus
diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai
penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya.
Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pun, seperti dikatakan Asy’ari.
d. Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-
paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan
danmempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan
perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat
dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah)
manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan
boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.

J. Ulama Indonesia yang Berpaham Asy-‘ariyah.

Kebanyakan para ulama di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung
menyatakan dirinya sebagai penganut aliran Asy’ariyah.
Mereka mengamini pendapat Imam Asy’ariyah bahwa :
a) Al-Qur’an itu Qadim,
b) manusia dapat melihat Tuhannya kelak di surga,
c) mukmin yang melakukan dosa besar tidak serta merta menjadi kafir.
Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlatul
Ulama menandaskan: bahwa “Ciri Ahlussunah wal Jama‘ah, adalah mereka yang di bidang
tauhid mengikuti Imam Abu Hasan Al’asy’ari atau Abu Mansur Al Maturidi; di bidang fiqh
mengikuti madzhab empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin Idris atau Ahmad
bin Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid Albaghdadi dan Imam
Alghazali. Wa Allahu 'Alamu bi ash shawab

Anda mungkin juga menyukai