Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SEJARAH TEOLOGI ASY’ARIYAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Tengah Mata Kuliah: Theologi Islam

Dosen Pengampu: Bapak Misbah Khoiruddin Zuhri MA.g

Disusun Oleh:

Dimas Sabda Nugraha


NIM : 2204036022

JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM


NEGRI WALISONGO

SEMARANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beragam aliran teologi yang berdiri memiliki sejarah yang cukup panjang,
semuanya tidak terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang
menyertai sampai pada para pengikutnya yang memilki loyalitas terhadap
aliran tersebut.
Makalah ini akan membahas tentang aliran Asy’ariyah yang berkembang
pada abad ke-4 dan ke-5/ke-10 dan ke-11. Aliran ini merupakan salah satu
aliran yang muncul atas reaksi terhadap Mu’tazilah sebagai paham yang
memprioritaskan akal sebagai landasan dalam beragama. Ketidak sepakatan
terhadap doktrin-doktrin Mu’tazilah tersebut memunculkan aliran Asy’ariyah
yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Doktrin-doktrin yang
dikemukan beliau dan para pengikutnya merupakan penengah diantara aliran-
aliran yang ada pada saat itu.
Al-Asy’ariyah adalah pengikut Abu Hasan Ali bin Isma'il al-Asy’ari, yang
kemudian berkembang menjadi salah satu aliran teologi yang penting dalam
Islam, selanjutnya dikenal dengan aliran al-Asy’ariyah, yaitu nama yang
dinisbahkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari sebagai peletak dasar-dasar aliran
ini. Al-Asy’ari hidup antara tahun 260-324 H. atau lahir akhir abad III dan
awal abad IV H.1
Pada abad ini dikenal ada tiga aliran dalam peta sejarah pemikiran Islam,
yaitu pertama, Aliran Salafiah, yang dipelopori oleh al-Imam Ahmad bin
Hanbal. Aliran ini dikenal sangat tekstual, yaitu menjadikan nash sebagai
satu-satunya poros dan alat dalam memahami aqidah-aqidah Islam. Kedua,
Aliran Filosof Islam yang memahami aqidah-aqidah Islam dan membelanya
harus berdasarkan akal dan naql dengan bertolak pada kebenaran-kebenaran
akal sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Ketiga, aliran Mu'tazilah,
aliran yang memadukan antara akal dan naql dengan tetap menjadikan akal
sebagai penentu bila lahiriah nash bertentangan dengan kebenaran-

1
Ibnu Katsir,  al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. (Beirut: Dar al-Fikr. 1996), Cet. I, hal
581
1
2

kebenaran akal (dalil-dalil logika).2


Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab
tantangan akidah dengan menggunakan rasio telah menjadi beban. Karena
pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat
Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam
mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang
bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam
menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah
metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara
dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari
ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Mu’tazilah yang berkembang
pada saat itu. Kesalahan dasar Mu’tazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa
mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan
dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Al-Asy’ari pada mulanya termasuk pengikut aliran Mu'tazilah sampai
beliau berumur 40 tahun. dan pada akhirnya beliau membentuk corak
pemikiran yang berbeda dari ketiga aliran tersebut, beliau berusaha
memadukan keduanya dengan tetap berpedoman bahwa akal harus tunduk
pada nash.
Metode al-Asy’ari ini, diikuti oleh ulama yang datang setelahnya dan
menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada al-Asy’ariyah, mereka inilah
yang berperan dalam mengembangkan pendapat-pendapat al-Asy’ari dengan
menggunakan dalil-dalil logika yang rasional menghampiri kerasionalan
Mu'tazilah.3 Tokoh tersebut ialah al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali.
Berdasarkan latar belakang di atas, pembahasan ini difokuskan pada keempat
tokoh yang menjadi pelopor aliran Asy’ariyah tersebut yang meliputi riwayat
hidup, peran dan pandangan teologi mereka dalam pengembangan teologi
Asy’ariyah.

2
Muhammad Imarah, Tarayat al-Fikr al-Islamiy, (Cairo: Dar al-Syuruq, 1991), hal 165
3
Ibid, hal 171
3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah?
2. Bagaimana Riwayat Hidup Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan Pemikirannya?
3. Bagaimana Riwayat Hidup Al-Baqillani dan Pemikirannya?
4. Bagaimana Riwayat Hidup Al-Juwaini dan Pemikirannya?
5. Bagaimana Riwayat Hidup Al-Ghazali dan Pemikirannya?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah
2. Untuk mengetahui Riwayat Hidup Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan
Pemikirannya
3. Untuk mengetahui Riwayat Hidup Al-Baqillani dan Pemikirannya
4. Untuk mengetahui Riwayat Hidup Al-Juwaini dan Pemikirannya
5. Untuk mengetahui Riwayat Hidup Al-Ghazali dan Pemikirannya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah


Al-Asy’ari telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya
meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Al-Subki dan Ibn Asakir, mengatakan
bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi, dalam mimpi itu Nabi
Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah
yang benar dan mazhab Mu’tazilah salah.4 Menurut pendapat ini al-
Asy’ari berbelok arah dari Mu’tazilah dikarenakan diberikan mimpi tentang
aliran yang benar.
Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya   al-Asy’ari
dari Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-
Jubba’iy, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy,
tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak
kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala.
al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan:
“Itu bukan kesalahanku, sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku
beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-
Jubba’iy, Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya
engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi kepentinganmu
sendiri, Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa”. al-
Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau
mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan
anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak
menjaga kepentinganku?”.  Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.5 Karena
perdebatannya sehingga al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah.
Aliran al-Asy’ari awalnya muncul setelah kemunduran aliran
Mu’tazilah. Eksistensi aliran ini mempunyai pengaruh besar tatkala
Mu’tazilah mengalami degradasi yang berarti dengan implikasi mihnah.

4
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet.V, (Jakarta:
UI-Press, 1986), hal 66
5
Hamka Haq, Dialog: Pemikiran Islam  (Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000), hal 12
4
5

Pergerakan al-Asy’ari mulai pada abad ke 4 H setelah ia terlibat dalam


konflik dengan kelompok-kelompok lain, khususnya dengan Mu’tazilah. 6
Aliran al-Asy’ari merupakan bentuk dari pemahaman yang tidak sepihak
dengan aliran pemikiran Mu’tazilah yang dianggap hanya mengandalkan
rasional saja. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan pada umat, karena
orang-orang awam tidak mampu berfikir terlalu rasional seperti kaum
mu’tazilah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar belakang
timbulnya aliran al-Asy’ariah dipengaruhi oleh kekhawatiran Abu al-Hasan
al-Asy’ari bahwa al-Quran dan Hadis Nabi akan diabaikan oleh umat Islam. 
Kemudian dalam pengembaraan dan pengalaman spiritualnya tidak menutup
kemungkinan telah menemukan kebenaran yang hakiki yang terpancar dalam
hatinya, ketika hal itu telah ditemukan yang menurut dia itulah suatu
kebenaran yang harus dimunculkan kepada umat Islam kala itu.

B. Riwayat Hidup Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan Pemikirannya


1. Riwayat Hidup Abu Al-Hasan al-Asy’ari
Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan aliran
Asy’ariyah. Nama lengkap beliau adalah Ali Bin Ismail Bin Ishak Bin
Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin
Abu Musa al-Asy’ari.7 Beliau adalah putra Abu Musa al-Asy’ari, salah
seorang sahabat Nabi Saw yang menjadi mediator dalam sengketa antara
Ali dan Mu’awiyah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H
(873 M) dan wafat di Baqdad pada tahun 324 H (935 M). Sejak kecil ia
berguru kepada seorang pengikut aliran Mu’tazilah terkenal yaitu al-
Juba’iy, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya terus
sampai usia 40 tahun. Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah,
maka ia pergi ke kota Baqdad, ibukota khalifah Islamiyyah saat itu dan
meneruskan belajar disana. Ia belajar ilmu Kalam menurut paham

6
Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teory Filsafat Islam, (Jakart: Bumi Aksara, 1995), hal 65
7
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1986), hal 66
6

Mu’tazilah, maka beliau termasuk pendukung dan orang mu’tazilah yang


tangguh.8 Jadi Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah sudah belajar dari
masa kecilnya tentang aliran Mu’tazilah.
Kehidupan al-Asy’ari kecil tidak seberuntung masa kanak-kanak pada
umumnya. Karena sejak kecil dia telah ditinggalkan oleh ayah
kandungnya. Dan ibunya kemudian dinikahi oleh Abu Ali al-Juba’iy,
seorang tokoh kenamaan Mu’tazilah. Maka dalam pelukan ayah tiri inilah
al-Asy’ari dididik dan dibesarkan.9 Bisa dikatakan lingkungan yang
dibawa ayah tirinya membuatnya belajar tentang Mu’tazilah.
2. Pemikiran Abu Al-Hasan al-Asy’ari
Pada dasarnya kaum Asy’ariah merupakan aliran moderat yang
berusaha mengambil sikap penengah antara dua kutub Aqal dan Naql,
antara kaum Salaf dan Mu’tazilah. Asy’ariah bercorak perpaduan antara
pendekatan tekstual dan kontekstual. Awal mula proses  pemikiran ajaran
al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam dirinya al-Asy’ari di rumah dengan
berusaha mencari dasar pemikiran untuk mencoba membandingkan dalil-
dalil antara kelompoknya dan Mu’tazilah. Hal itu ia lakukan dalam rangka
menjawab pemikiran kaum Mu’tazilah.
Perkembangan  selanjutnya al-Asy`ari keluar menemui masyarakat
dan mengundang mereka untuk berkumpul di Mesjid pada hari Jum’at di
Bashrah. Al-Asy’ari berbicara, (saya) pernah mengatakan bahwa al-Qur’an
adalah Makhluk, bahwa Allah tidak terlihat oleh indra penglihatan kelak
pada hari qiamat. Dan perbuatan-perbuatan saya yang tidak baik, maka
saya sendirilah yang melakukannya, kini saya bertobat dengan pendapat
itu dan menolak ajaran tersebut (Mu’tazilah). 10 Jadi setelah mendapatkan
kemantapan hati maka al-Asy`ari mengumumkan bahwa dia bertobat.
Kemudian pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yaitu:
a. Wajibul Wujud, bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan
yang mempunyai sifat-sifat yang Qadim. Oleh karena kaum Asy’ariah
adalah kaum Sifatiyah. Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa
8
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan..., hal 70
9
Karsidi Diningrat, Sekte-Sekte Islam, (Bandung: Pustaka, 1999), hal 125
10
Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
(Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hal 189
7

dengan sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah al-‘Ilmu (Maha


mengetahui) al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup) dan
lain-lain. Semua ini adalah sifat-sifat Azali dan abadi. Hal ini pula
menunjukkan kemutlakan kekuatan Tuhan untuk berbuat atau tidak
berbuat.
b. Keadilan Tuhan, Asy`ariyah bertentangan dengan Mu’tazilah, karena
al-Asy’ari memakai pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak.
Jadi Tuhan bertindak semaunya terhadap ciptaannya atas dasar
kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan salah jika seandainya
Tuhan memasukkan orang kafir kedalam surga atau sebaliknya, semua
tergantung dari Allah.
c. Al-Qur’an, bahwasanya Qur’an itu sepenuhnya bukan makhluk
termasuk suara dan hurufnya, hanya perwujudan dalam bentuk suara
dan huruf adalah makhluk dan yang bersifat Qadim hanya esensi al-
Qur’an itu sendiri. Menyangkut tentang Akal dan Wahyu, menurut
Asy’ariah, akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui
Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu,
wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa
ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima
kebenaran itu.11 Dengan demikian al-Asy’ari memberikan posisi wahyu
lebih tinggi tingkatannya  dibanding akal.
d. Iman, bagi al-Asy’ari Iman adalah Tasdiq dan Ikrar, ‘Amal bukanlah
kategori Iman tapi perwujudan dari pada Tasdiq. Tasdiq artinya
membenarkan sesuatu sebagaimana dengan yang dibenarkan Allah
SWT dan Nabi Muhammad SAW, sedangkan Ikrar artinya dua kalimat
syahadat, yang mana syahadat sendiri bukan merupakan hakikat iman
melainkan hanya sebagai syarat untuk melakukan segala hukum
Islam. Jadi al-Asy’ari berpendirian bahwa Iman adalah keyakinan
bathin (Inner belief) baik iman secara lisan atau secara praktis
(perbuatan) keduanya merupakan cabang Iman. Dengan demikian siapa
saja yang beriman pada hatinya (mengakui ke-Esaan Allah dan
11
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1996), hal 17
8

Rasulnya serta dengan ikhlas mempercayai segala apa yang mereka


terima darinya). Iman orang seperti ini sah, jika dia mati ia akan selamat
dari neraka. Tidak ada sesuatu apapun yang membuat orang tidak
beriman (hilang Imannya) kecuali kalau menolak salah satu dari
kebenaran-kebenaran yang dua itu. Jadi siapa saja yang beriman dalam
hatinya maka jika ia mati maka akan selamat dari neraka. Dengan
demikian  kata al-Asy’ari siapa saja yang melakukan dosa besar lalu
mati sebelum bertobat dari dosa itu, maka keputusannya (apakah ia
masuk surga atau neraka) ada ditangan Allah SWT. Jadi inti dari Iman
adalah meyakini dalam hati keberadaan Allah dan Nabi Muhammad
dan karena keyakinan dalam hati itu suatu hal yang tersembunyi maka
perlu adanya pembuktian keyakinan dalam hati dengan cara diikrarkan
melalui dua kalimat syahadat.
e. Melihat Tuhan, ia berpendapat bahwa setiap yang ada dapat dilihat,
Allah juga ada maka dengan demikian dia dapat dilihat, ini dapat
diketahui dari wahyunya bahwa kaum Mukmin akan melihatnya dihari
akhir nanti, sebagaimana Allah katakan “Dihari itu wajah mereka (yang
beriman) akan berseri-seri melihat Tuhan mereka (Q.S. al-Qiyamah/75:
22).12 Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak memerlukan
ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti kita),
sebab itu mustahil. Al-Asy’ari juga dikenal karena
doktrin Kasyab (perolehan) kaitannya dengan perbuatan manusia.
Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat
ujung jari adalah ciptaan Tuhan, namun hal itu diperoleh manusia untuk
dipertanggungjawabkan. Doktrin ini sarana untuk menggambarkan
kebebasan kehendak manusia, sehingga manusia harus
mempertanggungjawabkannya. Juga sekaligus menyandarkan
sepenuhnya terhadap daya dan kekuatan Tuhan semata.
C. Riwayat Hidup Al-Baqillani dan Pemikirannya
1. Riwayat Hidup Al-Baqillani

12
Departemen Agama RI, Mushaf al-Qur’an Terjemah (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2002), hal 579
9

Nama lengkapnya adalah Al-Qadi Abu Bakr Muhammad bin Thayyib


bin Muhammad bin Ja'far bin al-Qasim Abu Bakr al-Baqillani, yang lebih
dikenal dengan al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani sebagai ahli ushul fikih,
lahir di Bashrah dan menetap di Baqdad, tentang tahun kelahirannya tidak
ada sumber yang pasti menyebutnya.13
Al-Baqillani berguru dari sejumlah ulama di berbagai disiplin ilmu,
antara lain: Abu Abdullah bin Muhammad bin Ya'kub bin Mujahid al-Thai
al-Maliki (sahabat dan murid al-Asy’ari), Abu Bakr Ahmad bin Ja'far bin
Malik al-Qathi'i, Abu Bakr Muhammad bin Abdullah al-Abhari" seorang
ahli faqih bermazhab Maliki. Adapun karya beliau, Ibn Katsir
menyebutkan, bahwa beliau tidak tidur setiap malam, kecuali setelah
menulis 20 lembar dan tercatat hasil karya beliau antara lain; kitab al-
Tabshirah, Daqaiq al-Haqaiq, al-Tamhid fi Ushul al-Fiqh, Syarh al-
Ibanah, dan lain-lain. Al-Qadhi 'Ayyadh menyebutkan bahwa karya al-
Baqillani ada 99 kitab dalam masalah teologi, ushul, fikih, dan I'jaz al-
Qur'an, tapi yang ada sampai saat ini hanya sebagian kecil. Al-Baqillani
wafat pada tahun 403 H di Baqdhad dan dimakamkan di samping makam
Ahmad bin Hambal di pekuburan Bab al-Harb.
2. Pemikiran Al-Baqillani
a. Fungsi akal dan wahyu
Dalam aliran Mu’tazilah memandang akal dapat mengetahui
adanya kewajiban-kewajiban dan mengetahui baik dan buruk,
sedangkan wahyu sekedar melengkapi temuan-temuan dari akal
tersebut. Dengan kata lain, fungsi akal bagi aliran Mu’tazilah bersifat
informatif, sedang wahyu bersifat konfirmatif.14 Aliran ini lebih
mengutamakan akal dari pada wahyu. Mu’tazilah mengemukakan
anggapan bahwa akal sebagai penemu dan wahyu adalah konfirmasi.
Berbeda dengan al-Asy’ari, fungsi akal dalam mengetahui
kewajiban-kewajiban serta baik dan buruk bersifat konfirmatif dari
informasi yang dibawa wahyu. Akal manusia tidak dapat mengetahui

13
Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Al-Fath al Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyin, juz 1 (Cairo: Abd
al-Hamid Hanafi, t.t)hal 233
14
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996), hal 129
10

kewajiban-kewajiban sebelum turunnya wahyu. Semua kewajiban


adalah berdasarkan wahyu. Akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan
keburukan. Demikian pula pemberian pahala bagi orang yang taat dan
pemberian siksa bagi yang berbuat maksiat adalah berdasarkan wahyu,
bukan pada akal.
Al-Baqillani berpendapat bahwa akal tetap berperan terhadap
masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan pahala dan siksa.
Misalnya, walaupun akal tidak dapat mengetahui secara spontan mana
makanan yang sehat dan mana yang mengandung racun, tetapi akal
dapat mengetahuinya melalui eksperimen.15 Berdasarkan pendapat di
atas, dapat dipahami bahwa fungsi akal dan wahyu dalam perspektif al-
Baqillani agak berbeda dengan al-Asy’ari, tetapi juga tidak sama
dengan Mu’tazilah. Akal hanya mampu mengetahui baik  dan buruk
yang berada di luar bingkai syar’I, sedang baik dan buruk yang
berkenaan dengan pahala dan dosa, wahyulah yang menentukan.
b. Tentang sifat-sifat Tuhan
Menurut pandangan aliran al-Asy’ari  bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat yang lain dari zat-Nya. Menurutnya Allah mempunyai ilmu
karena alam yang diciptakan demikian teratur tidak tercipta kecuali
diciptakan oleh Tuhan yang mempunyai ilmu. Demikian pula
menurutnya Allah mempunyai qudrat (Allah dapat menciptakan alam
semesta ini pastilah sesuatu yang memiliki kekuasaan yang agung),
hayat (Allah yang menciptakan alam ini pastilah sesuatu yang hidup)
dan sebagainya. Jadi menurut aliran ini bahwa bumi ini diciptakan oleh
Tuhan yang memiliki ilmu.16
c. Perbuatan Manusia
Dalam pandangan al-Asy’ari, manusia tidak punya pilihan di dalam
perbuatannya sebab semua yang dilakukan manusia berdasarkan
ketentuan Tuhan. Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
manusia, sehingga manusia sama sekali tidak mempunyai kebebasan

15
A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980), hal.115
16
Ibid., hal.117
11

dalam melakukan perbuatannya. Tuhan pemegang semua kekuasaan


sehingga manusia tidak mempunyai daya untuk menentang.
Berbeda dengan al-Asy’ari, menurut al-Baqillani ada perbuatan
yang terjadi berdasarkan pilihan manusia dan ada pula perbuatan yang
manusia terpaksa melakukannya. Menurutnya, manusia mampu berdiri,
duduk dan berbicara dengan kehendaknya sendiri. Tetapi manusia tidak
mampu bergerak ketika lumpuh dan sakit.17 Dengan demikian, manusia
mempunyai kebebasan kehendak dalam menentukan perbuatannya
sendiri. Ada perbuatan yang dilakukan manusia berdasarkan
kehendaknya sendiri dan ada juga perbuatan yang terpaksa dilakukan
oleh manusia karena kehendak Tuhan.

D. Riwayat Hidup Al-Juwaini dan Pemikirannya


1. Riwayat Hidup Al-Juwaini
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf  bin
Muhammad bin Abdullah bin Hayawi al-Juwaini. Nama al-Juwaini
dinisbahkan pada kota tempat kelahirannya, Juwaini termasuk wilayah
Naisabur, Khurasan. Juga dikenal dengan gelaran Abu al-Ma’ali, yang
menunjukkan keutamaan yang dimilikinya sebagai ilmuwan, agamawan,
dan pemuka masyarakat. Di samping itu ia lebih masyhur dengan Imam al-
Haramain, gelar yang diberikan setelah mengajar selama empat tahun di
dua kota. Mekkah dan Madinah (447-451).18
Al-Juwaini pertama mempelajari agama dari ayahnya, Syekh Abu
Bakr Muhammad. Ayahnya adalah ahli dalam bidang fiqh dan usul al-fiqh,
nahwu dan sastra. Kemudian dia berguru kepada Abu al-Qasim al-Iskafiy
al-Isfiray di Madrasah al-Baihaqi. Dan ketika pertentangan antara aliran
Asy’ariyah dengan aliran Mu’tazilah memuncak, dia pergi ke Baghdad
dan disana dia belajar pada beberapa orang ulama besar. Dia berdiskusi
serta berguru kepada mereka sehingga nama al-Juwaini populer
dikalangan mereka. Al-Juwaini mengikuti jejak al-Baqillani dalam

17
Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan..., hal 215
18
Yudian Wahyudi Asmin, Aliran .., hal.87
12

menjunjung tinggi argumentasi akal, bahkan pergi lebih jauh dari al-
Baqillani. 
2. Pemikiran Al-Juwaini
a. Fungsi akal dan wahyu
Tidak jauh berbeda dengan umumnya kaum Asy’ari. al-Juwaini
memandang akal tidak mampu menjangkau adanya kewajiban-
kewajiban, baik dan buruk dalam syariat atau hukum Tuhan sebelum
turunnya wahyu. Semua hal tersebut hanya bisa didapat melalui
perantaraan wahyu Tuhan. Namun demikian, al-Juwaini tidak
selamanya sependapat dengan al-Asy’ari, dia berpendapat bahwa baik
dan buruk yang tidak berhubungan dengan pahala dan dosa dapat
dijangkau oleh akal. Dengan demikian, fungsi akal bagi al-Juwaini
tidak selamanya bersifat konfirmatif atas informasi yang didatangkan
wahyu, tetapi juga bersifat informatif. Sebaliknya wahyu juga tidak
selamanya berfungsi informatif, tetapi terkadang bersifat konfirmatif.
b. Perbuatan Manusia
Bagi al-Juwaini, manusia bebas dalam menetukan kehendak dan
perbuatannya. Daya yang ada pada manusia menurutnya mempunyai
efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan
musabab. Wujud perbuatan bergantung pada daya yang ada pada
manusia. Wujud daya itu bergantung pula pada sebab lain dan wujud
sebab itu bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikian seterusnya
sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.19
Jadi menurut al-Juwaini, manusia punya andil dalam mewujudkan
perbuatannya, sebab daya yang ada pada manusia mempunyai efek saat
terjadi perbuatan. Sehingga perbuatan yang dilakukan oleh manusia
bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi perbuatan manusia sendiri.
c. Sifat-sifat Tuhan
Al-Juwaini membagi sifat-sifat Tuhan menjadi dua kelompok, yakni
:

19
Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan..., hal 230
13

1) Sifat nafsiyah. Yakni sifat isbat bagi zat yang selalu ada selama zat


itu ada, tanpa disebabkan oleh sesuatu yang ada pada zat yaitu
sifat: qidam, baqa, qiyamuhu binafsihi, mukhalafah li al-
hawadis dan wahdaniyah.
2) Sifat ma’nawiyah, ialah sifat yang timbul (ada) karena sesuatu illat
yang ada pada zat. Sifat yang selalu tetap ada pada zat Allah dan
tidak mungkin pada suatu ketika Allah tidak bersifat demikian.
seperti: qadir, murid, ‘aliman, hayyan, sami’an, bashiran,
mutakaliman.20

Adapun wujud Tuhan menurut al-Juwaini tidak termasuk sifat


tetapi merupakan zat Tuhan sendiri.
E. Riwayat Hidup Al-Ghazali dan Pemikirannya
1. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Al-Gazali lahir di Gazalah, sebuah kota kecil yang terletak didekat
Tus (wilayah Kurasan) pada tahun 450 H/1058 M dan wafat pada tahun
505 H/19 Desember 11 M. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad
al-Tawus Abu Hamid Imam al-Gazali, digelari hujjat al-Islam. Al-Gazali
dinisbahkan kepada ayahnya sebagai gazal-pemintal kain. Hujjat al-
Islam adalah penghargaan yang pantas disandangnya. Sebab, selain
sebagai representasi kaum sunni, juga karena kecermatan dan
kecemerlangan tiap argumentasi yang mendasari pemikirannya.21
Masa kecilnya dilewati dengan suasana keagamaan yang sederhana di
Tawus, kota kedua sesudah Naisaburi di Khurasan. Mula-mula ia belajar
fiqh dari Ahmad bin Muhammad al-Razikaniy. Di usia menjelang 20
tahun ia mempelajari selain agama, bahasa Persia dan Arab pada al-
Isma’ili di Jurjan. Beberapa tahun sesudahnya ia berguru kepada al-
Juwaini yang menjadi pembina Madrasah Nizamiyah di Naisaburi,
terutama ilmu fiqh Syafi’i dan kalam Asy’ari. 22 Jadi beliau sudah belajar
pada masa kecilnya dengan berbagai ilmu.
2. Pemikiran Al-Ghazali
20
Karsidi Diningrat, Sekte-Sekte .., hal.146
21
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan ..., hal.21
22
Muhammad Yasin Nasution, Manusia menurut al-Gazali (Jakarta: Rajawali, 1988), hal.129
14

a. Fungsi Akal dan Wahyu


Akal dalam pandangan al-Gazali bisa menjangkau wujud Tuhan
melalui pemikiran tentang alam yang bersifat dijadikan. Hal ini
diperkuat oleh keterangan al-Gazali selanjutnya, bahwa objek
pengetahuan terbagi tiga: yang dapat diketahui dengan akal saja, yang
dapat diketahui dengan wahyu saja, dan yang dapat diketahui dengan
akal dan wahyu. Wujud Tuhan dimasukkan dalam kategori pertama,
yaitu kategori yang dapat diketahui dengan akal tanpa wahyu. 23 Oleh
karena akal dan wahyu saling menunjang satu sama lain.
Akan tetapi akal tidak bisa menjangkau adanya kewajiban-
kewajiban bagi manusia, kewajiban hanya bisa ditentukan oleh wahyu.
Juga akal tidak bisa mengetahui baik dan buruk. Baik dan buruk hanya
bisa ditentukan oleh wahyu. Demikian pula dengan pahala dan dosa,
akal sama sekali tidak punya kemampuan untuk mencapainya. Pahala
dan dosa hanya bisa diperoleh melalui wahyu.
b. Perbuatan Manusia
Mengenai perbuatan manusia, al-Gazali berpendapat bahwa
Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya yang terdapat
dalam diri manusia tidak efektif dalam mewujudkan perbuatan, tetapi
lebih bersifat impotensi.24 Dengan demikian, manusia tidak punya
kebebasan dalam mewujudkan perbuatannya, ia sangat bergantung pada
daya yang diciptakan Tuhan.
Dalam menjelaskan mengenai perbuatan manusia ini, al-Gazali
menyatakan bahwa perbuatan adalah bagian dari gerak yang bila
dihubungkan dengan manusia, maka ada gerak yang tidak disadari (al-
tabi’iyah) dan gerak yang disadari (al-iradiyah). Perbuatan-perbuatan
yang disadari terjadinya, melalui proses tertentu dalam jiwa manusia
yang disebut dengan ikhtiar. Dan perbuatan semacam ini melalui tiga
tahap dalam diri manusia, yaitu pengetahuan (al-ilm),kemauan (al-

23
Ibid, hal 131
24
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.83
15

iradah), dan kemampuan (al-qudrah).25 Jadi perbuatan yang dilakukan


manusia itu, berdasarkan pandangan al-Gazali diatas pada hakekatnya
adalah perbuatan Tuhan dan manusia hanya melakukan secara majaz,
bukan sesungguhnya.
c. Sifat-sifat Tuhan
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan, al-Gazali berbeda dengan
gurunya al-Juwaini, dan lebih sejalan dengan pandangan al-Asy’ari. Ia
menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak
identik dengan zat Tuhan dan sifat-sifat itu mempunyai wujud diluar
zat-Nya. 26

25
Muhammad Yasin Nasution, Manusia menurut.., hal 134
26
Karsidi Diningrat, Sekte-Sekte .., hal.150
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini ditarik suatu kesimpulan bahwa  secara
histories timbulnya aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya
keinginan untuk kembali pada pemahaman yang semula yaitu pemikiran
Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam pemikirannya al-Asy’ari masih
menggunakan metode yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah, yaitu
menggunakan kemampuan akal menganalisis nash-nash al-Qur’an.
Kaum Mu’tazilah selalu mengedepankan akal pikiran untuk memahami
wahyu, berangkat dari akal kemudian wahyu. Tapi al-Asy’ari sebaliknya
mengedepankan wahyu dibanding akal, menggunakan akal seperlunya saja.
Sehingga tidak heran al-Asy’ari dalam pemikirannya selalu
mengkompromikan pemahaman Ahlussunnah Waljammah dengan kaum
rasionalis tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada setiap pokok-pokok
pemikirannya.
Riwayat hidup tokoh-tokoh Asy’ariyah diantaranya,  pertama, Muhammad
bin Thayyib bin Muhammad bin Ja'far bin al-Qasim, yang lebih dikenal
dengan al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, di samping sebagai mutakkalim,
beliau juga ahli ushul fikih, lahir di Bashrah dan menetap di Baqdad. Kedua,
Al-Iman al-Juwaini yang juga dikenal dengan nama Imam al-Haramaen,
mempunyai nama lengkap Abu al-Ma'ali Abd al-Malik bin Abu Muhammad
Abdullah bin Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyuyah
al-Juwaini. Seorang ahli ushul dan fikih, beliau bermazhab Syafi'i. Ketiga,
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, beliau bergelar Hujjat al-
Islam dan Zain al-Din al-Syarif, Thusiy dan dipanggil dengan Abu Hamid,
beliau lahir di Thus tahun 450 H. Beliau hidup dalam keluarga yang sangat
sederhana tapi teguh dalam prinsip-prinsip Islam.

16
17

B. Saran
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua, dan menjadikan kita
semua golongan orang-orang yang terus belajar. Karena semakin kita banyak
belajar, maka kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi kita juga
orang lain. Dengan mempelajari dan mengetahui sejarah pemikiran Islam
tentang Al-Asy’ariyah yang ada dalam makalah ini, kita semakin bisa untuk
berfikir lebih maju dalam menyikapinya, karena pengetahuan yang kita dapat
dari makalah ini dapat dijadikan sebagai pegangan dan bahan referensi dalam
kehidupan kita selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Abdullah Musthafa. T.t Al-Fath al Mubin fi Tabaqat al-


Ushuliyyin. juz 1. Cairo: Abd al-Hamid Hanafi

Asmin, Yudian Wahyudi. 1995. Aliran dan Teory Filsafat Islam. Jakart: Bumi
Aksara

Dahlan Abdurrahman dan Ahmad Qarib. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam
Islam. Jakarta: Logos Publishing House

Departemen Agama RI. 2002. Mushaf al-Qur’an Terjemah. Jakarta: Pena Pundi


Aksara

Diningrat, Karsidi. 1999. Sekte-Sekte Islam. Bandung: Pustaka

Hanafi, A. 1980. Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna

Haq, Hamka. 2000. Dialog: Pemikiran Islam. Makassar: Yayasan Al-Ahkam

Hasyim, Umar. 1986. Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal


Jama’ah. Surabaya: PT. Bina Ilmu

Imarah, Muhammad. 1991. Tarayat al-Fikr al-Islamiy. Cairo: Dar al-Syuruq

Katsir,  Ibnu. 1996. al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. Beirut: Dar al-Fikr

Mudhofir, Ali. 1996. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa


Perbandingan. Cet.V. Jakarta: UI-Press

________. 1996. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan

________. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press

Nasution, Muhammad Yasin. 1988. Manusia menurut al-Gazali. Jakarta: Rajawali

18

Anda mungkin juga menyukai