Anda di halaman 1dari 14

AL ASY’ARIYAH

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Ilmu Kalam”

Dosen pengampu:
Moh. Hasan Fauzi, S.TH.I., MA.

Disusun oleh :
Rudy Dwi Kusuma (04)
Amin Dwi Khalifah (05)

PROGAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM (KPI)


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM (FDKI)
INSTITUT AGAMA ISLAM
PANGERAN DIPONEGORO NGANJUK
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas izin Allah swt akhirnya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
ini sebagai bentuk tanggung jawab kami sebagai mahasiswa terhadap tugas yang diberikan oleh
dosen mata kuliah Ilmu Kalam. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda
Rasulullah saw, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.
Aamiin.
Makalah ini berjudul “AL ASY’ARIYAH” kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan karena terbatasnya ilmu dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang sifatnya membangun amat kami hargai dan perlukan demi sempurnanya susunan
makalah yang sederhana ini.
Dalam kesempatan ini kami sebagai penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah banyak membantu selama penyusunan makalah ini terutama kepada
Bapak Moh. Hasan Fauzi, S.TH.I., MA. selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam yang telah tulus
ikhlas mengajarkan saya ilmu pengetahuan memberikan bimbingan dan saran-sarannya.
Terakhir kami sebagai penyusun makalah ini berharap, semoga makalah ini bermanfaat bagi
penulis sendiri terutamanya dan bagi pembaca lainnya. Aamiin.

Nganjuk, 04 November 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ------------------------------------------------------------- ii


Daftar Isi -------------------------------------------------------------------- iii

BAB I PENDAHULUAN ------------------------------------------------- 1


A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1

BAB II PEMBAHASAN -------------------------------------------------- 2


A. Sejarah Timbulnya Aliran Asy’Ariyah 2
B. Perkembangan Aliran Asy’Ariyah 3
C. Pokok – Pokok Pemikiran Asy’Ariyah 4
BAB III PENUTUP -------------------------------------------------------- 10
A. Kesimpulan 10
DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------ 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beragam aliran teologi yang berdiri memiliki sejarah yang cukup panjang, semuanya tidak
terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang menyertai sampai pada para pengikutnya
yang memilki loyalitas terhadap aliran tersebut. Aliran ini muncul sebagai respons terhadap
Mu'tazilah, yang menekankan peran akal sebagai dasar dalam kehidupan beragama. Ketidaksetujuan
terhadap doktrin-doktrin Mu'tazilah menciptakan aliran Asy'ariyah yang didirikan oleh Abu Al-Hasan
Al-Asy'ari.
Al-Asy’ariyah adalah pengikut Abu Hasan Ali bin Isma'il al-Asy’ari, yang kemudian
berkembang menjadi salah satu aliran teologi yang penting dalam Islam, selanjutnya dikenal
dengan aliran al-Asy’ariyah, yaitu nama yang dinisbahkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari sebagai
peletak dasar-dasar aliran ini. Al-Asy’ari hidup antara tahun 260-324 H. atau lahir akhir abad III
dan awal abad IV H.1
Al-Asy'ari memiliki peran krusial dalam menanggapi serangan argumen Barat terhadap akidah
Islam. Oleh karena itu, metode akidah yang dikembangkannya merupakan hasil gabungan antara bukti
naqli (dalil dari Al-Quran dan hadis) dan bukti aqli (akal). Kemunculan kelompok Asy'ariyah ini timbul
karena ketidakpuasan dan kritik terhadap Mu'tazilah yang berkembang pada masa itu. Al-Asy'ari melihat
kesalahan pokok Mu'tazilah terletak pada pemahaman mereka terhadap hubungan antara Tuhan dan
manusia, di mana kekuasaan dan kehendak Tuhan dianggap terkompromi.
Metode al-Asy’ari ini, diikuti oleh ulama yang datang setelahnya dan menisbahkan
pendapat-pendapat mereka kepada al-Asy’ariyah, mereka inilah yang berperan dalam
mengembangkan pendapat-pendapat al-Asy’ari dengan menggunakan dalil-dalil logika yang
rasional menghampiri kerasionalan Mu'tazilah.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Timbulnya Aliran Asy’Ariyah?
2. Bagimana Perkembangan Aliran Asy’Ariyah?
3. Apa Saja Pokok – Pokok Pemikiran Asy’Ariyah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Sejarah Timbulnya Aliran Asy’Ariyah
2. Untuk mengetahui Perkembangan Aliran Asy’Ariyah
3. Untuk mengetahui Pokok – Pokok Pemikiran Asy’Ariyah
1
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. Beirut: Dar al-Fikr. 1996, Cet.1 hal 581
2
Muhammad Imarah, Tarayat al-Fikr al-Islamiy, Cairo: Dar al-Syuruq, 1991 hal 171
1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Aliran Asy’Ariyah

Al-Asy’ari telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya


meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Al-Subki dan Ibn Asakir, mengatakan bahwa
pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi, dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW,
mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar dan mazhab
Mu’tazilah salah.3 Menurut pendapat ini al-Asy’ari berbelok arah dari Mu’tazilah
dikarenakan diberikan mimpi tentang aliran yang benar.

Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya al-Asy’ari dari
Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy,
tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil
di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal
saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya,
bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku,
sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang
dilakukan oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy, Tuhan akan berkata:
“Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti
masuk neraka, maka demi kepentinganmu sendiri, Aku cabut nyawamu sebelum
engkau menjadi orang dewasa”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang
kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau
mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku
hidup) tidak menjaga kepentinganku?”. Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.4

Aliran al-Asy’ari awalnya muncul setelah kemunduran aliran


Mu’tazilah. Eksistensi aliran ini mempunyai pengaruh besar tatkala Mu’tazilah
mengalami degradasi yang berarti dengan implikasi mihnah. Pergerakan al-Asy’ari
mulai pada abad ke 4 H setelah ia terlibat dalam konflik dengan kelompok-
kelompok lain, khususnya dengan Mu’tazilah.5 Aliran al-Asy’ari merupakan
bentuk dari pemahaman yang tidak sepihak dengan aliran

3
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet.V, Jakarta: UI-Press,
1986, hal 66
4
Hamka Haq, Dialog: Pemikiran Islam, Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000, hal 12
5
Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teory Filsafat Islam, Jakart: Bumi Aksara, 1995, hal 65
2
pemikiran Mu’tazilah yang dianggap hanya mengandalkan rasional saja. Hal ini
dapat menimbulkan kebingungan pada umat, karena orang-orang awam tidak
mampu berfikir terlalu rasional seperti kaum mu’tazilah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa munculnya aliran


Asy'ariyah dipengaruhi oleh kekhawatiran Abu al-Hasan al-Asy'ari terhadap
potensi pengabaian terhadap Al-Quran dan Hadis Nabi oleh umat Islam. Melalui
perjalanan spiritualnya, kemungkinan besar dia telah menemukan kebenaran yang
hakiki dalam hatinya. Ketika kebenaran itu ditemukan, menurutnya, itu adalah
suatu kebenaran yang harus diungkapkan kepada umat Islam pada waktu itu.

B. Perkembangan Aliran Asy’Ariyah

Pikiran-pikiran Imam al-Asy'ari, merupakan jalan tengah antara golongan-


golongan berlawanan atau antara aliran rasionalis dan tekstualis. Dalam
mengemukakan dalil dan alasan, ia juga memakai dalil-dalil akal dan naqli bersama-
sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Qur'an dan al-Hadits, ia mencari alasan-alasan
dari akal pikiran untuk memperkuatnya. Jadi ia tidak menganggap akal pikiran
sebagai hakim atas nash-nash agama untuk mena‟wilkan dan melampaui ketentuan
arti lahirnya, melainkan dianggapnya sebagai pelayan dan penguat arti lahir nash
tersebut. Ia tidak meninggalkan cara yang lazim dipakai oleh ahli filsafat dan logika,
sesuai dengan alam pikiran dan selera masanya. Meskipun demikian, Imam al-Asy'ari
tetap menyatakan kesetiaanya kepada Imam Ahamd bin Hanbal atau aliran ahlus
sunnah yaitu suatu aliran yang menentang aliran Mu‟tazilah sebelum al-Asy'ari,
bahkan ia mengikuti jejak ulama salaf yaitu sahabat-sahabat dan tabi‟in-tabi‟in,
terutama dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, di mana mereka tidak
memerlukan pena‟wilan, pengurangan atau melebihkan atau melebihkan arti
lahirnya.6

Namun, setelah wafatnya pendiri aliran Asy'ariyah, aliran ini mengalami


perkembangan dan perubahan yang signifikan. Pada akhirnya, Asy'ariyah cenderung
lebih menekankan aspek yang mendahulukan alasan (akal) daripada teks-teks (nash)
itu sendiri. Al-Juwaini bahkan berani memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat
mutasyabihat. Al-Ghazali, dalam pandangannya, menyatakan bahwa hubungan
antara bukti akal dan bukti syariah (nash) adalah seperti hubungan fondasi dengan

6
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003., hal. 152
3
bangunan; bukti akal adalah fondasi, sedangkan bukti syariah adalah bangunan yang
dibangun di atasnya. Menurutnya, fondasi tidak memiliki makna tanpa adanya
bangunan di atasnya, dan sebaliknya, bangunan tidak akan kokoh tanpa fondasi.

Dalam karyanya yang lain, yaitu "al-Iqtishad," al-Ghazali bermaksud untuk


menyajikan keyakinan (aqidah) yang berada di tengah-tengah antara golongan yang
terlalu mengandalkan akal, seperti golongan filsuf dan Mu'tazilah, sehingga
pemikiran-pemikiran mereka bertentangan dengan teks-teks yang sudah pasti. Al-
Ghazali berpendapat bahwa kedua sifat ekstrem ini, yang hanya memihak pada satu
aspek, tidak dapat dibenarkan. Menurutnya, seperti seseorang yang melihat dengan
baik membutuhkan mata yang sehat dan sinar matahari bersama-sama. Meskipun
demikian, bukunya sendiri, "al-Iqtihad," yang berarti metode tengah, cukup
menunjukkan keyakinan yang diadopsi oleh pengarangnya, yaitu keyakinan dari
kalangan ahlussunnah. Dengan demikian, pada akhirnya, aliran Asy'ariyah
cenderung mendekati Mu'tazilah, karena keduanya menekankan prinsip bahwa:
“pengetahuan yang didasarkan atas unsur-unsur naqli (tradisional) tidak
memberikan keyakinan kepada kita”. Mereka memandang bahwa pengetahuan
tersebut tidak mempunyai nilai kebenaran mutlak (absolut), kecuali dalam hal-hal
yang bertalian dengan amalan-amalan syara‟ (fiqih), sedang untuk masalah aqidah
hanya bisa mencapai nilai sekunder. Karena itu hanya dalil-dalil akal pikiran saja
yang memungkinkan kita mencapai keyakinan.7

C. Pokok Pokok Pemikiran Al Asy’Ariyah

Al-Asy'ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu‟tazilah, tidak dapat
menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang dengan
kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal
agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung oleh rasul
merupakan suatu kesalahan. Sahabat-sahabat nabi sendiri, sesudah beliau wafat,
banyak membicarkan soal-soal baru dan meskipun demikian mereka tidak disebut
orang-orang yang sesat (bid‟ah). Ia menentang keras orang yang berkeberatan
membela agama dengan ilmu kalam (teologi Islam) dan argumentasi pikiran, keberatan
mana tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan Hadits. Di samping itu, ia juga
mengingkari orang-orang yang berlebihan menghargai akal pikiran yaitu aliran
Mu‟tazilah. Karena aliran ini tidak mengakui sifat-sifat Tuhan, maka dikatakannya

7
Yusuf Musa, et al, al-Aqidah Wasyari‟ah fil Islam, Cet. 2, Dar al-Kutub al-Haditsh, 1959, hal. 128
4
telah sesat, sebab mereka telah menjauhkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya dan
menempatkan-Nya dalam bentuk yang tidak dapat diterima akal, selain karena mereka
mengingkari kemungkinan terlihat Tuhan dengan mata kepala. Apabila pendapat ini
dibenarkan, maka akan berakibat penolakan hadits- hadits nabi yang merupakan salah
satu tiang agama.8 Dengan demikian jelaslah kedudukan Imam al-Asy'ari, seperti yang
dilukiskan oleh pengikut- pengikutnya sebagai seorang muslim yang ikhlas membela
kepercayaan dan mempercayai isi al-Qur'an dan al-Hadits, dengan menempatkannya
sebagai dasar (pokok), di samping menggunakan akal pikiran, di mana tugasnya tidak
lebih daripada memperkuat nas-nas tersebut.

Al-Asy'ari pada dasarnya, dari segi intelektual dan pandangannya, adalah seorang
Mu'tazilah. Namun, karena merasa kecewa terhadap beberapa konsep Mu'tazilah yang
tidak memuaskan pikirannya, ia kemudian meninggalkan aliran tersebut dan memulai
pengembangan aliran yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariyah. Meskipun pernah
menjadi Mu'tazilah, ia masih menggunakan metode filsafat, ilmu kalam, dan
argumentasi dalam pemikirannya. Hal ini kadang membuatnya tampak mencurigakan
di mata banyak orang. Salah satu karyanya yang terkenal, "Risalah fi Istihsan Ahaudel
fi Illmi Kalam," memberikan gambaran tentang bagaimana al-Asy'ari membela diri dari
berbagai kritik dan bagaimana ia, dalam perjuangannya, mengkonsolidasi pemahaman
kaum Sunni. Dalam risalah tersebut, ia menekankan pentingnya mempelajari ilmu
kalam sebagai suatu disiplin berpikir.

Beberapa pokok pemikiran Asy'ariyah antara lain :

a. Wujud, Sifat dan Kekuasaan Tuhan

Kita wajib percaya bahwa Tuhan adalah wajib al-wujud, karena adanya berita
wahyu dan perintah Tuhan dan hal itu dapat ditangkap oleh akal pikiran kita. Bukti
wujudnya Tuhan adalah adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakannya, yaitu
Allah SWT.

Tuhan sebagai Zat yang Wajibul Wujud yang Qodim mempunyai sifat yang
Qodim pula, karena Sifatnya adalah Zatnya, dimana antara sifat dan zat tidak bisa
dipisahkan. Ini bukan berarti“mutaaddidul qudama” (berbilangnya yang qodim),
karena sifatnya adalah juga zatnya. Menurut al-Asy‟ari, memang benar bahwa sifat-
sifat Tuhan seperti yang banyak disebut baik di dalam al-Qur‟an maupun hadits, akan

8
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003., hal. 132
5
tetapi sifat-sifat itu adalah sifat yang sesuai bagi zat Tuhan sendiri dan sama sekli tidak
menyerupai sifat makhluk. Tuhan mendengar tetapi tidak seperti kita mendengar.
Bagaimana Tuhan mendengar maupun melihat dan sebagainya. Seorang Islam wajib
percaya dan menerimanya tanpa menanyakan bagaimana caranya dan sebagainya.
Konsepsi sifat Tuhan ini kemudian dikembangkan sehingga menjadi akidah
Ahlussunnah Wal-Jamaah, dimana Tuhan mempunyai sifat Jamal (keindahan),
Jalal(kebesaran) dan Kamal(kesempurnaan). Selanjutnya sifat-sifat Tuhan tersebut
dibagi menjadi sifat yang wajib, mustahil dan jaiz. Sehingga ada 20 sifat yang wajib
dan mustahil bagi Tuhan, yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Konsep sifat 20 ini
adalah konsepsi As-Sanusi, Tokoh Ay'ariyah.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Asy'ariyah prinsip teologinya
adalah kekuasaan mutlak bagi Tuhan. Kehendak dan perbuatan-Nya tak bisa diganggu
gugat oleh siapapun. Dari prinsip ini maka mereka mempercayai :

1. Adanya syafaat, bantuan pertolongan pengampunan kepada siapa yang dikehendaki-


Nya.

2. Tuhan dapat dilihat di Hari Akherat dengan mata kepala. Karena Tuhan adalah
wujud adanya, sehingga sesuatu yang wujud pasti apat dilihat. Demikian pula kalau
Tuhan menghendaki apa salahnya dan apa pula susahnya Tuhan menampakkan diri
pada manusia sehingga dapat dilihat dengan mata kepala.

3. Mu'jizat, sebagai sesuatu yang “khoriqul adah” sebagai bukti kebenaran kenabian
atau kerasulan seorang utusan. Demikian pula mereka percaya kepada shirotol
mustaqim, Al-Mizan, siksa kubur, karena disebutkan dalam Al-Qur‟an.

Dari konsepsinya tentang sifat Tuhan yang Qodim, maka Asy'ariyah percaya
bahwa Kalamullah adalah juga Qodim, sehingga dengan demikian maka Al-Qur‟an
sebagai Kalamullah yang Qodim, maka Qodim pula. Adapun Qodimnya Al-Qur‟an itu
adalah pada aslinya firman itu sebelum dituliskan dan diucapkan. Tatkala telah
dituliskan dan diucapkan, yang kita dengar dan kita baca itu adalah pemberitahuan atau
pernyataan dari firman yang asli itu. Pemberitahuan dan pernyataan itu adalah identik
dengan firman Allah yang asli yang tersimpan di dalam “Lauh mahfud”.

b. Kemampuan akal dan perbuatan manusia

Sebagai seorang yang sebelumnya menganut Mu'tazilah, al-Asy'ari juga mengakui

6
nilai akal. Namun, pandangan tersebut menyatakan bahwa kemampuan akal manusia
hanya sebatas untuk menyadari keberadaan Tuhan, dan perannya hanyalah sebagai
saksi yang memperkuat apa yang diungkapkan melalui wahyu. Al-Asy'ari meyakini
bahwa akal tidak memiliki hak untuk menghakimi wahyu. Jika terdapat pertentangan
antara nash (teks wahyu) dengan akal, maka nash harus diterima tanpa dicoba
diartikan. Mereka meyakini bahwa keterbatasan akal manusia membuatnya tidak
mampu memahami wahyu secara sepenuhnya dan sempurna.

Sama halnya dalam hal kebaikan dan keburukan, kewajiban untuk melakukan
yang baik dan meninggalkan yang dilarang, serta tanggung jawab manusia terhadap
Tuhan, akal manusia tidak mampu memahaminya tanpa penerangan dan penjelasan
dari wahyu. Oleh karena itu, kapasitas akal manusia sangat terbatas, sedangkan wahyu
dianggap sebagai sumber dan standar moral. Dengan demikian, manusia tidak
memiliki kekuasaan untuk menciptakan sesuatu, karena jika dikatakan manusia dapat
mencipta, hal ini akan menunjukkan adanya dua pencipta, yang dianggap sebagai
bentuk kesyirikan. Tindakan manusia pun tidak memiliki kekuatan untuk menciptakan,
melainkan hanya memiliki kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan atau tindakan

Bertitik tolak dari corak pemikiran Asy'ariyah, maka paham Asy‟ariyah disebut
pula paham “Ahlussunnah Wal-Jamaah”. Sebutan ini berlaku pula bagi paham
Maturidiyah dan siapa saja yang menentang paham Mu'tazilah. Diketahui bahwa Imam
Al-Asy'ari mendapat kedudukan yang tinggi, mempunyai banyak pengikut dan
pendapat bantuan dari para penguasa pemerintahan. Lebih dari itu, pendapat-
pendapatnya disebut “pendapat Ahlussunnah Wal-Jamaah9 atau Ahlussunnah (tanpa
waljamaah) dan sebutan ini yang banyak dipakai atau sebutan “Madzahibus Salaf wa
Ahlussunnah “.10 Penyebutan Ahlussunnah sudah dipakai sejak sebelum Al-Asy'ari,
yaitu terhadap mereka yang apabila menghadapi sesuatu peristiwa, maka dicari
hukumnya dari bunyi Al-Qur‟an dan al-Hadits, apabila tidak didapatinya maka mereka
diam saja, karena tidak berani melampaui. Mereka lebih dikenal sebagai Ahlul Hadits,
yang sudah ada sejak zaman sahabat dan berlanjut hingga masa Tabi'in. Sebaliknya,
ada kelompok yang disebut sebagai "Ahlur-Ra'yi" (pemegang pendapat atau
pemikiran), yang ketika dihadapkan pada situasi yang sama, mereka tidak berhenti
tetapi berusaha menggunakan akal pikiran mereka untuk menemukan hukum dari

9
Muhammad ibn „Abd Al-Karim Ahmad Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal Aliran-Aliran Teologi dalam
Islam, terj. Syuaidi Asy‟ari, PT.Mizan, Pustaka Anggota IKAPI Bandung 2004, hal 151
10
Hanafi ,Pengantar Teologi Islam, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003 hal 155-156
7
peristiwa tersebut melalui metode qiyas, istihsan, dan sejenisnya.

Pada masa munculnya aliran Mu'tazilah yang menekankan rasionalisme dalam


bidang aqidah dan cenderung menolak hadits-hadits yang tidak sesuai dengan akal atau
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, muncul pula aliran lain yang tetap memegang
teguh dan mempertahankan hadits-hadits yang ditolak oleh Mu'tazilah. Kelompok ini
dikenal sebagai Ahlussunnah, yang berusaha mengikuti jejak ulama Salaf dalam
menghadapi nash-nash yang mutasyabihat.

Salah satu ulama Salaf yang terkenal, yaitu Imam Malik bin Anas, menyatakan
pendiriannya terkait ayat "ar-Rahman 'alal-'arsyistawa" bahwa makna "bertempat"
sudah jelas, tetapi caranya tidak diketahui. Iman terhadap tempat Tuhan dianggap
sebagai kewajiban, sementara terus-menerus bertanya tentang cara tersebut dianggap
sebagai bid'ah. Pendirian serupa juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hambal, Sufyan
Atsauri, Dawud bin Ali Adzahri, dan lain-lain. Mereka tidak menggunakan ilmu kalam
untuk memperkuat pendapat mereka, berbeda dengan ulama Salaf berikutnya seperti
al-Harits bin Asad al-Muhasibi, yang mengadopsi Ilmu Kalam. Kemudian, muncul
Imam al-Asy'ari, yang setelah berdebat dengan gurunya, mengambil posisi di antara
pendekatan rasionalis Mu'tazilah dan tradisional Ahlussunnah, mencoba
menyelaraskan ajaran Islam dengan akal pikiran tanpa mengabaikan warisan hadits dan
nash-nash Salaf.

c. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘An Al Munkar Menurut Asy’ariyah

Amar ma‟ruf nahi munkar, di dalam al-Qur'an disebut dengan al-amr bi ma‟ruf
wa an nahy an munkar (suruhan untuk berbuat baik serta mencegah dari perbuatan
yang jahat), merupakan tema sentral dan panggilan Islam terhadap manusia. Istilah
tersebut dijumpai dalam sembilan tempat dalam al-Qur'an, yakni surat Ali Imran ayat
104, 110 dan 114, surat al-A‟raf ayat 157, surat at-Taubah ayat 67, 71 dan 112, surat
al-Hajj ayat 41 dan surat Luqman ayat 17.

Adapun obyek atau sasaran amar makruf nahi mungkar, dalam garis besarnya
terbagi dua:11

Pertama, umat Islam mengajak umat-umat lain untuk berbuat kebaikan dan
menjauhi perbuatan jahat dengan niat yang tulus untuk menyebarkan cahaya dan

11
M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup, Jilid III, Ramadhani, Sala, tt, hal 37
8
petunjuk ilahi di seluruh permukaan bumi. Dalam ajakan ini ditegaskan bahwa sumber
kebaikan yang menjanjikan kebahagiaan, baik secara rohaniah maupun jasmaniah,
dalam kehidupan dunia maupun akhirat, adalah ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu,
umat-umat lain diharapkan untuk mengikuti agama Islam. Ajakan semacam ini
dianggap sebagai tanggung jawab utama bagi seorang Muslim sesuai dengan peran
kaum Muslimin yang seharusnya menjadi umat yang memberikan keseimbangan.

Kedua, umat Islam mengajak sesama Muslim untuk saling mengingatkan sebagai
saudara, mendorong satu sama lain untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah
perbuatan yang buruk. Dalam pelaksanaannya, terdapat dua metode, yaitu metode
umum dan metode khusus. Metode umum berlaku untuk orang awam atau kebanyakan
orang, yaitu dengan memberikan penjelasan yang sesuai dengan tingkat
pemahamannya. Ini dilakukan dengan memberikan contoh perbandingan yang dapat
mempengaruhi hatinya dan menciptakan kesan yang mendalam sesuai dengan
keadaan, situasi, dan kondisinya.

Adapun yang dimaksudkan dengan jalan yang kedua, jalan yang khas, yaitu ajakan
yang dilakukan antara beberapa orang dengan terbatas. Antara dua orang yang
bersahabat, umpamanya, yang seorang memperingati kawannya ketika berpaling dari
perbuatan yang makruf atau ketika melakukan pekerjaan yang munkar. Semau ini
adalah juga dalam rangka nasehat menasehati dengan kebenaran, dan nasehat
menasehati dengan kesabaran. Masing-masing melakukan menurut kemampuan dan
kesanggupannya.12

12
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jilid 4, al-Manar, Kairo, 1367 H, hal. 28
9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Asy'ari, setelah lama mengikuti paham Mu'tazilah, mengubah


keyakinannya karena dipengaruhi oleh mimpi di mana Nabi Muhammad SAW
menyampaikan bahwa mazhab Ahli Hadis adalah yang benar dan Mu'tazilah keliru.
Selain itu, perdebatan dengan gurunya, al-Jubba'iy, mengenai tempat anak kecil di
akhirat juga memainkan peran penting dalam keputusannya meninggalkan
Mu'tazilah. Secara keseluruhan, perubahan aliran al-Asy'ari dipengaruhi oleh
kekhawatiran terhadap potensi pengabaian terhadap Al-Quran dan Hadis Nabi oleh
umat Islam. Melalui perjalanan spiritualnya, dia menemukan kebenaran yang hakiki
dalam hatinya dan merasa kewajiban untuk menyampaikan kebenaran tersebut
kepada umat Islam pada saat itu
Setelah wafatnya al-Asy'ari, aliran Asy'ariyah mengalami perkembangan
dan perubahan. Pada akhirnya, ada kecenderungan untuk lebih menekankan aspek
akal daripada teks-teks agama itu sendiri. aliran Asy'ariyah awalnya menciptakan
keseimbangan antara rasionalitas dan tradisi, tetapi kemudian cenderung mendekati
Mu'tazilah dengan menekankan peran akal dalam mencapai keyakinan. Asy'ariyah
mengakui kemampuan akal manusia, namun membatasinya hanya pada pemahaman
akan keberadaan Tuhan. Mereka meyakini bahwa jika terdapat pertentangan antara
akal dan wahyu, wahyu harus diterima tanpa dicoba diartikan, karena keterbatasan
akal manusia. Al-Asy'ari juga mengakui nilai akal dalam hal kebaikan dan
keburukan, tetapi memandang bahwa akal tidak mampu memahaminya sepenuhnya
tanpa penerangan dari wahyu.
Dalam konteks amar ma'ruf nahi munkar, Asy'ariyah mendukung ajakan
umat Islam kepada umat-umat lain untuk berbuat kebaikan dan menjauhi perbuatan
jahat. Mereka juga mengajak sesama Muslim saling mengingatkan. Aliran ini
memandang bahwa pemahaman terhadap tindakan baik dan buruk, serta tanggung
jawab manusia terhadap Tuhan, memerlukan penerangan dari wahyu, dan akal
manusia memiliki keterbatasan dalam hal ini.
Dengan demikian, Asy'ariyah berusaha menjaga keseimbangan antara akal
pikiran dan ajaran Islam, mempercayai bahwa akal adalah alat yang berguna untuk
memahami wahyu, tetapi tetap meletakkan wahyu sebagai sumber otoritatif.
10
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Al-Syahrastani Muhammad ibn Abd Al-Karim, al-Milal wa al-Nihal Aliran-Aliran


Teologi dalam Islam, terj. Syuaidi Asy‟ari, PT.Mizan, Pustaka Anggota IKAPI
Bandung 2004
Hanafi ,Pengantar Teologi Islam, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003

Haq Hamka, Dialog: Pemikiran Islam, Makassar, Yayasan Al-Ahkam, 2000

Imarah Muhammad, Tarayat al-Fikr al-Islamiy, Cairo, Dar al-Syuruq, 1991

Katsir Ibnu, al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII, Cet.1, Beirut, Dar al-Fikr. 1996

Musa Yusuf, al-Aqidah Wasyari‟ah fil Islam, Cet. 2, Dar al-Kutub al-Haditsh, 1959

Nasution Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet.V, Jakarta,
UI-Press, 1986
Nasution M. Yunan, Pegangan Hidup, Jilid III, Ramadhani, Sala, tt

Rasyid Ridha Muhammad, Tafsir al-Manar, jilid 4, al-Manar, Kairo, 1367 H

Wahyudi Asmin Yudian, Aliran dan Teory Filsafat Islam, Jakart, Bumi Aksara, 1995

11

Anda mungkin juga menyukai