Anda di halaman 1dari 16

Makalah

SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Siyono, M.Pd.I.

Oleh:
Kelompok 01
Muhammad Amir Azza 23010210055
Ahmad Afdaul Falah 23010210060
Muhammad Fakhrul Mufid 23010210100

KELAS 4A
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SALATIGA
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu
tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Siyono, M.Pd.I. sebagai
dosen pengampu mata kuliah usul fiqih yang telah membantu memberikan arahan
dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa
yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Salatiga, 07 Maret 2023

Kelompok 01 4A

ii
DAFTAR ISI
Hlm
COVER…………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… iii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 1
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………….......... 1
BAB II: PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih Pada Masa Rasuluallah…..........… 3

B. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih Pada Masa Sahabat……………..... 5

C. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih Pada Masa Mutaqaddimin ..…….. 7

D. Pembukuan Ushul Fiqh………………………………………………… 9

E. Aliran-Aliran Dalam Ushul Fiqih……………………………………… 10

BAB III: PENUTUP


A. Kesimpulan……………………………………………………………. 13
B. Saran…………………………………………………………………… 14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih
berkembang dengan tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah, ushul
fiqih tidak muncul dengan sendirinya, tetapi asal mulanya sudah ada sejak
zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul
fiqih seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman
Rasulullah, sahabat dan tabiin.

Menurut sejarahnya, fiqih merupakan suatu ilmu ijtihad yang lebih dulu
dikenal dan dibukukan dibanding dengan ushul fiqih, akan tetapi jika suatu
ilmu telah ada maka tidak mungkin tidak ada pembuatnya. Ilmu fiqih tidak
mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul fiqih. Oleh karena itu, pembahasan
pada makalah ini mengenai sejarah perkembangan ilmu ushul fiqih. Sehingga
kita biasa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqih itu ada serta macam
macamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan ushul fiqih pada masa Rasulullah?
2. Bagaimana sejarah perkembangan ushul fiqih pada masa Sahabat ?
3. Bagaimana sejarah perkembangan ushul fiqih pada masa Tabi’in?
4. Bagaimana sejarah perkembangan ushul fiqih setelah dibukukan?
5. Apa saja aliran-aliran dalam ushul fiqih?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui tentang sejarah perkembangan ushul fiqih pada masa
Rasulullah.
2. Untuk mengetahui tentang sejarah perkembangan ushul fiqih pada masa
Sahabat.
3. Untuk mengetahui tentang sejarah perkembangan ushul fiqih pada masa
Tabi’in.
4. Untuk mengetahui tentang sejarah perkembangan ushul fiqih setelah
dibukukan.
1
5. Untuk mengetahui aliran-aliran yang ada dalam ushul fiqih.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih Pada Masa Rasuluallah

Ushul fiqih sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan
ushul fiqih sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Ushul fiqih baru lahir pada abad
kedua hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan umat Islam semakin luas dan banyak orang
yang bukan arab memeluk agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran
dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang
dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqih, yang menjadi
penuntun dalam memahami nash.1 Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqih
dan fiqih?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan
pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu ayam atau telur.

Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqih ada sebelum
fiqih. Alasannya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqih
merupakan bangunan yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah tentu ushul
fiqih ada mendahului fiqih.2 Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqih sebelum adanya
fiqih.

Jawaban demikian benar apabila ushul fiqih dilihat sebagai metode pengambilan
hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat,
misalnya dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat al-Qur’an atau
mencari jawaban dari Rasulullah saw., maka hal itu bisa dipandang sebagai metode
memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus
dicari dari al-Qur’an atau bertanya kepada Rasulullah saw. Akan tetapi, cara pemecahan
demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah
prototipe (bentuk dasar) ushul fiqih, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk
disebut sebagai ilmu ushul fiqih.

Metode pengembangan ushul fiqih demikian tentu telah ditemukan pada masa
hidup Rasulullah saw. sendiri. Rasulullah saw. dan para sahabat berijtihad dalam
1
A. Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 45-46
2
Muhammad Sa‘id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-
Fuqaha (Beirut: Muassassah al-Risalah, 1994) 122-123
3
persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih
dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang
dirumuskan para ulama dikemudian hari.

Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat
bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk
wudlu. Keduanya lalu bertayamum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat.
Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang
shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. dan
menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang, Rasulullah bersabda:
“Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang
berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala”.

Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan


ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayamum. Mereka berbeda
dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada
yang tidak. Akhirnya, Rasulullah saw. membenarkan hasil ijtihad dua sahabat tersebut.

Ushul fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada
saat itu ushul fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori ushul
fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka
pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika
dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.3

B. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih Pada Masa Sahabat

Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya
bimbingan Rasulullah saw. kepada masa Rasulullah saw. tidak lagi mendampingi umat
Islam. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber penting
dalam pemecahan hukum, yaitu al- Qur’an, sunnah, dan ra’yu (nalar).

Meninggalnya Rasulullah saw. memunculkan tantangan bagi para sahabat.


Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan
kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal
memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab,
3
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih, ( Jakarta:
PT. Grafindo Persada, 2002 ), cet. VIII, hlm. 11.
4
Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka
berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah saw.
Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada
hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqih sebagai alat untuk berijtihad. Hanya
saja, ushul fiqih yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan
belum banyak terungkap dalam rumusan- rumusan sebagaimana yang kita kenal
sekarang.4
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para
sahabat telah mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana
hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah5.
Pertama, khalifah biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama
tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam
bidang hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang
lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’
sahabat, yang di kemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam
Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma’ yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan ra’yu (akal), yang berupa qiyas
dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas
dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah
saw. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum
yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqih sahabat. Umar bin
Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan
pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan
maslahah tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf,
pengucapan talak tiga kali dalam satu majlis dipandang sebagai talak tiga, tidak
memberlakukan hukuman potong tangan di waktu paceklik, penggunaan kharaj (pajak
tanah), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud
oleh al-Qur’an dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus

4
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 21.
5
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2005), 17.
5
pemahaman ayat iddah dalam QS. al-Baqarah 228: “Perempuan-perempuan yang ditalak
hendaknya menunggu selama tiga quru.
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci
dan haid. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Utsman, dan Abu Musa al-Asy’ari
mengartikanquru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haid, sedangkan Aisyah, Zaid bin
Tsabit, dan Ibn Umar mengartikannya dengan suci. Itu berarti ada perbedaan mengenai
persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh pada era
sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda
pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog
semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang
metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk
menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas
kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai
kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.
Pada zaman sahabat dan tabi’in, pengetahuan mereka sempurna tentang hukum-
hukum yang terdapat di dalam Al-Quran dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya,
serta rahasia syariat dan tujuan karena pergaulan mereka pada zaman nabi saw. Karena
itu mereka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil suatu hukum.
Mereka tidak menggunakan pengetahuan Ushul Fiqh dalam teori, tetapi dalam praktek
sesungguhnya ilmu ini telah diterapkan dan menjadi teladan bagi umat sesudahnya6.

C. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih Pada Masa Mutaqaddimin (Tabiin dan


Tabi’ Tabi’in)

Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan
belajar kepada sahabat. Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan
meluas disebabkan bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru
yang muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri
untuk berfatwa dan berijtihad, antara lain Sa’id ibn al-Musayyab di Madinah dan
Alqamah ibn al-Qays serta Ibrahim al-Nakha’i di Irak.
Metode istinbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istinbath
sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting: 1).

6
Mohammad Rifa’i, Ushul Fiqih, ( Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973), hlm. 9.
6
Pemalsuan hadits. 2). Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan
kelompok Irak (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas
disertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fuqaha) berdasarkan wilayah geografis.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi
tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para
pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah,
mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi,
ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah
dihasilkan oleh generasi sahabat.7
Masa tabi’in banyak yang melakukan istinbath dengan berbagai sudut pandang
dan akhirnya juga mempengarhi konsekuensi hukum dari suatu masalah. Contohnya;
ulama fiqih Irak lebih dikenal dengan penggunaan ar ra’yu, dalam setiap kasus yang
dihadapi mereka mencari illatnya, sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan
hukum kasus yang dihadapi dengan kasus yang sudah ada nashnya. Adapun para ulama
Madinah banyak menggunakan hadits-hadits Rasulullah SAW, karena mereka dengan
mudah melacak sunnah Rasulullah di daerah tersebut. Disinilah awal perbedaan dalam
mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqih. Akibatnya, muncul tiga kelompok
ulama’, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah Al- Madinah8. Pada
perkembangan selanjutnya madrasah al-iraq dan madrasah al-kufah dikenal dengan
sebutan madrasah al-ra’yi, sedangkan madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan
madrasah al- hadits.
Pada masa tabiin, tabi’ al-tabiin dan para imam mujtahid, kekuasaan Islam meluas
ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan berbahasa Arab atau bukan
bangsa Arab, kondisi budayanya cukup berbeda-beda. Banyak di antara ulama yang
bertebaran ke daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit pula penduduk daerah tersebut
yang masuk Islam. Semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum yang ketetapannya
tidak di jumpai di dalam al-quran dan hadis. Karena itu ulama-ulama yang tinggal di
daerah tersebut melakukan ijtihad, mencari ketetapan hukumnya berdasarkan penalaran
mereka terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi. Ditambah pula dengan pengaruh

7
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, 23
8
Muhammad Ma’ruf Al-Dawalibi, Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh (Damaskus:
Universitas Damaskus, Cet. II, 1959), hal. 93
7
kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya pada masa itu, kegiatan ijtihad
menjadi maju pesat.9

D. Pembukuan Ushul Fiqh

Perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, yang tidak jarang menyebabkan
timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya, mendorong
diperlukannya pembukuan Ushul Fiqih. Secara historis, yang pertama berbicara tentang
Ushul Fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi'in. Hal ini tidak
diperselisihkan lagi. Namun, yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula
mengarang kitab Ushul Fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum
dan mencakup segala aspeknya.
Untuk itu, terlebih dahulu akan dikemukakan teori-teori penulisan dalam ilmu
Ushul Fiqih. Secara garis besar, ada dua teori penulisan yang dikenal. Pertama,
merumuskan kaidah kaidah fiqihiyah bagi setiap bab-bab fiqih dan menganalisisnya serta
mengaplikasikan masalah furu' atas kaidah-kaidah tersebut. Misalnya, kaidah-kaidah jual
beli secara umum, atau kaidah-kaidah perburuhan. Kemudian menetapkan batasan-
batasannya dan menjelaskan cara-cara mengaplikasikannya dalam kaidah-kadiah itu.
Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk
mengistinbath hukum dari sumber hukum syar'i, tanpa terikat oleh pendapat seorang
faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara
inilah yang ditempuh al-Syafi'i dalam kitabnya al-Risalah, suatu kitab yang tersusun
secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab semacam ini belum
pernah ada sebelumnya menurut ijma' ulama dan catatan sejarah.
Berdasarkan teori kedua di atas, Jalalluddin al-Suyuti menyatakan bahwa al-
Syafi’i adalah peletak batu pertama pada ilmu ushul fiqih Dia orang yang pertama-tama
berbicara tentang itu dan menulisnya secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-
Muwaththa' hanya menunjukkan sebagian kaidah-kaidahnya, demikian pula para ulama
lain semasanya, seperti Abu Yusuf dan Muhamamd al-Hasan. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpilkan bahwa kitab al-Risalah merupakan kitab yang pertama-tama tersusun
secara sempurna dalam ilmu Ushul Fiqih. Kitab ini tersusun dengan metode tersendiri,

9
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih ( Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2009 ), cet.
III, hlm. 32
8
objek pembahasan dan permasalahannya juga tersendiri, tanpa terkait dengan kitab-kitab
fiqih manapun.10

E. Aliran-Aliran Dalam Ushul Fiqih

Sejarah perkembangan Ushul fiqih menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak


berhenti melainkan berkembang secara dinamis, ada beberapa aliran metode penulisan
Ushul fiqih yang saat ini dikenal secara umum. Para ahli membagi aliran penulisan Ushul
fiqih menjadi dua yaitu mutakallimin dan aliran fuqaha, dari aliran tersebut lahirlah aliran
gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Aliran Mutakallimin

Aliran mutakallimin disebut juga aliran Syafi'iyah, alasan penamaan


tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya Ushul fiqih aliran
mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi'iyah aliran ini membangun
ushul fiqih secara teoritis, murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah
cabang keagamaan, begitu pula dalam menetapkan kaidah. Aliran ini
menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli tanpa dipengaruhi
masalah furu’ dan mazhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai
dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah dalam aliran ini.
Mereka mempelajari ilmu ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu yang
terlepas dari pengaruh mazhab atau furu’ faktornya yaitu: 11

a. karena Imam Syafi'i sendiri yang menetapkan bahwa dasar-


dasar tasyri itu memang terlepas dari pengaruh furu’.

b. Mereka berkeinginan untuk mewujudkan pembentukan kaidah-


kaidah atas dasar yang kuat tanpa terikat dalam furu’ atau
mazhab.

c. Mereka membuat penguat kaidah-kaidah yang telah dibuatnya


dengan menggunakan berbagai macam dalil tanpa

10
Irwansyah Syaputra, Perkembangan Usul Fiqih,Vol 1, Jurnal Syariah Hukum Islam, 2018, 38-
49.
11
Muhammad Masum Zain, Ilmu Usul Fiqih (Jombang : Darul Hikmah, 2008), hal. 39
9
menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat mazhab
atau justru melemahkannya.

Aliran mutakallimin lebih berorientasi kepada hal-hal berikut


yakni:

A. Analisis kasus-kasus

B. Formulasi kaidah-kaidah hukum Al-qawaid

C. Aplikasi qias yang disertai penalaran rasio Sejauh


Mungkin

D. Mengkonstruksi isu-isu fundamental teori hukum tanpa


terikat dengan fakta hukum yang kasuistis dalam pikiran
hukum mazhab fiqih yang ada

2. Aliran Fuqaha

Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh
para ulama mazhab Hanafi, dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem
penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqih dalam bermuskan
kaidah-kaidah ushul fiqih. Mereka berpedoman pada pendapat-pendapat
fiqih Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta
melengkapinya dengan contoh-contoh. Cara yang digunakan dengan
istiqra’(induksi) terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya. Metode
yang  dipakai oleh aliran Hanafiyah ini dalam menyusun kaidah-kaidah
ditempuh berdasarkan asumsi bahwa para imamnya terdahulu telah
menyandarkan ijtihadnya pada kaidah-kaidah ini atau bahasan-bahasan
ushuliyah ini. Jadi, semata-mata perhatian mereka itu tertuju kepada
masalah ushul fiqih para Imamnya yang diambil dari masalah-masalah
furu’ dalam melakukan istinbat.12

3. Aliran Gabungan
12
Asmawi, Perbandingan Usul Fiqih (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 8
10
Aliran gabungan pada perkembangannya muncul tren untuk
menggabungkan kitab ushul fiqih aliran Mutakallimin dan Hanafiah atau
aliran fuqaha. Metode penulisan ushul fiqih aliran gabungan adalah dengan
membumikan kaidah-kaidah dalam realitas persoalan-persoalan fiqih,
persoalan hukum yang dibahas imam-imam mazhab diulas dan
ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya. Karya-karya gabungan
lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi'iyah dari
kalangan Hanafi lahir kitab badi Al nadzom Al jami' Bayan kitabi Al
basdawi wa ihkam yang merupakan gabungan antara kitab usul karya
basdawi dan Al Hikam karya Al-amidi.13

BAB III
PENUTUP
13
Masykur Anhari, Usul Fiqih (Surabaya: Diantama, 2008) hal. 10
11
A. Kesimpulan
Usul fiqih sebelum dibukukan meliputi masa sahabat, masa tabi’in, dan mujtahid
sebelum imam Syafi’I, Sumber hukum pada masa sahabat meliputi al-Qur’an dan
Hadits tetapi di tambah dengan ijtihad sahabat. Kemudian masa tabi’in, tabi’ al-tabi’in
serta imam-imam mujtahi. Pada masa ini, istinbat sudah mengalami perluasan
dikarenakan banyaknya kejadian yang muncul akibat bertambah meluasnya wilayah
kekuasaan Islam, sumber hukum yang digunakan meliputi al-Qur’an, sunah Rasulullah,
fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah.
Periode pembukuan ushul fiqih. Perkembangan wilayah Islam yang semakin
luas, yang tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum
diketahui kedudukan hukumnya, hal inilah yang mendorong diperlukannya pembukuan
ushul fiqih. Secara umum ada tiga aliran usul fiqih yaitu aliran mutakallimin (Imam
Syafi’, aliran fuqoha’, dan aliran gabungan. Aliran mutakallimin disebut juga aliran
Syafi'iyah, alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya Ushul fiqih
aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi'iyah.
Hanafiyah (ahnaf) atau fuqaha, dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah, disebut juga
dengan aliran fuqaha (ahli fiqih). Dalam merumuskan kaidah ushul fiqih, mereka
berpedoman kepada pendapat fiqih Abu Hanifah dan pendapat para muridnya serta
melengkapinya dengan contoh-contoh. Campuran ialah gabungan antara metode
Mutakallimin dan metode Hanafiyah. Metode yang ditempuh yaitu dengan cara
mengkombinasikan antara kedua aliran diatas.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini,
akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki.
Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

DAFTAR PUSTAKA
12
Al-Dawalibi, M. M. (1959). Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh. Damaskus:
Universitas Damaskus.

Al-Khinn, M. S. (1994). Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf


al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah.

Anhari M. ( 2008). Usul Fiqih . Surabaya: Diantama

Dahlan, A. R. (2011). Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.

Karim, S. (2006). Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.

Khallaf, A. W. (2002). Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih. Jakarta:


PT Grafindo Persada.

Koto, A. (2009). Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Zain M. M. (2008). Ilmu Usul Fiqih. Jombang : Darul Hikmah

Rifa`i, M. (1973). Ushul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma`arif.

Syaputra I. (2018). Perkembangan Usul Fiqih,Vol 1: Jurnal Syariah Hukum


Islam.

Zain, S. E. (2005). Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.

Penanya:
Nur Annisa Ramadhani 23010210117
Abdul Rozaq 23010210047
Muhammad Ashfi Hammi 23010210064
Moh Khusnul Abid 23010210005

13

Anda mungkin juga menyukai