1. LATAR BELAKANG
Aliran Ahlussunah Wal Jamaah merupakan aliran yang dijanjikan Rasulullah akan masuk
kedalam surga. Dalam masalah Aqidah Menurut Abdul Qahir termasuk dalam tujuh puluh
tiga golongan tersebut yaitu Rowafidl terbagi menjadi dua puluh, Khawarij terbagi menjadi
dua puluh, Qadariyah terbagi menjadi dua puluh, Murji’ah terbagi menjadi dua puluh,
Najariyah terbagi menjadi tiga, Bakriyah, Dlororiyah, Jahmiyah, Karamiyah, Dan yang
terakhir yaitu Ahlussunah Wal Jamaah. Berdasarkan Muktamar Internasional Ulama Islam,
untuk memperingati haul al-Syahid Presiden Syaikh Ahmad Haji Kadyrov dengan tema:
“Siapakah Ahlussunnah Wal Jamaah? Penjelasan Manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah; Akidah,
Fikih dan Akhlak serta Dampak Penyimpangan darinya di Tataran Realitas.” Pada malam
Kamis 21 Dzulqa’dah 1437 H (25 Agustus dua puluh16. Memutuskan bahwa Ahlussunnah
Wal Jamaah adalah Asyairah dan Maturidiyah dalam akidah, empat mazhab Hanafi, Maliki,
Syafii dan Hambali dalam fikih, serta ahli tasawuf yang murni –ilmu dan akhlak—sesuai
manhaj Imam Junaeid dan para ulama yang meniti jalannya. Itu adalah manhaj yang
menghargai seluruh ilmu yang berkhidmah kepada wahyu (Al-Quran dan Sunnah), dan telah
benar-benar menyingkap tentang ajaran-ajaran agama ini dan tujuan-tujuannya dalam
menjaga jiwa dan akal, menjaga agama dari distorsi dan permainan tangan-tangan jahil,
menjaga harta dan kehormatan manusia, serta menjaga akhlak yang mulia
Dari keputusan tersebut bisa diambil pengertian bahwa golongan Ahlussunah Wal Jamaah
yaitu golongan yang dalam teologi(Aqidah) mengikuti faham As’ariyah atau Maturidliyah,
dalam bidang Fiqh Mengikuti salah satu dari Madzahibul Arbaah yaitu Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iah dan Hanabalah. Sedangkan dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Junaidi, atau
yang sepaham dengan beliau, yang masyhur yaitu mengikuti Imam Al-Ghazali.
Aqidah (عقيدة, keyakinan[5]) dalam Islam bisa dikelompokan menjadi 6 pembahasan, yaitu :
tentang Ketuhanan, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir dan Qada’ qadar[6]. Hal ini
berdasarkan dengan Hadist Nabi :
قال رسول هللا صلى هللا قال أبي هريرة عن أبي زرعة عن عمارة وهو ابن القعقاع عن جرير حدثنا زهير بن حرب حدثني
ال تشرك باهلل شيئا وتقيم عليه وسلم سلوني فهابوه أن يسألوه فجاء رجل فجلس عند ركبتيه فقال يا رسول هللا ما اإلسالم قال
قال صدقت قال يا رسول هللا ما اإليمان قال أن تؤمن باهلل ومالئكته وكتابه ولقائه الصالة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان
ورسله وتؤمن بالبعث وتؤمن بالقدر كله قال صدقت قال يا رسول هللا ما اإلحسان قال أن تخشى هللا كأنك تراه فإنك إن ال تكن
تراه فإنه يراك قال صدقت
Jadi pembahasan aqidah (teologi) meliputi keyakinan mengenai Ketuhanan beserta sifat-
sifatNya, Malaikat beserta tugas-tugasnya, Kitab Suci beserta sifat kewahyuanya, Rasul, Hari
Akhir dan takdir Allah, yang baik maupun yang buruk. Qada’ qadar.
1. AL-ASYARIYAH
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali Bin Ismail bin Abi Bisyr bin Salim bin Ismail bin Musa
bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asyari. Nama al-Asyari
merupakan nisbat terhadap Asy’ar, nama seorang laki-laki dari suku Qahthan yang
kemudian menjadi nama suku dan tinggal di Yaman. Negri Yaman yang memiliki peradaban
yang relatif lebih maju pada masa awal-awal Islam, melebihi daerah lain di semenanjung
Arabia, memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan kultur dan karakter penduduk
Yaman, yang mudah mematuhi dan menerima kebenaran, menaruh perhatian terhadap
ilmu pengetahuan dan selalu berpikir positif terhadap keadaan yang dihadapi. Ia lahir di
Basrah pada tahun 260 H/873 M, setelah berusia lebih dari 40 tahun ia hijrah ke kota
Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M.
Al-Asyari mengikuti aliran Mu’tazilah hingga berusia 40 Tahun. Namun kemudian setelah
sekian lama menjadi tokoh Mu’tazilah dan tidak jarang mewakili gurunya Ali al-Jubba’i
dalam forum-forum perdebatan, akhirnya ia keluar dari Aliran Mu’tazilah dan kembali pada
aliran Aswaja. Ia mengumumkan di hadapan jamaah Masjid Bashrah bahwa dirinya telah
meninggalkan Mu’tazilah dan akan menunjukan keburukan-keburukanya.
Tuhan dan sifatNya. Al-Asyari dihadapkan pada dua pandangan yang extrem,
yakni sifatiyah (Pemberisifat), mujasimiyah (antropomosif),dankelompok musyabihin
(penyamaan). Disisi lain ia berhadapan dengan Mu’tazilah yang tidak mempercayai
sifat Allah. Al-Asyari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat, tetapi sifat-sifat allah
tidak seperti makhluknya. Sedangkan sifat yang disebutkan dalam alQuran hanya
sebagai simbolis. Seperti makna yadullah secara harfiyah bermakna tangan Allah,
akan tetapi yang dimaksud kata tersebut yaitu kekuasaan Allah, kata tangan sebagai
simbol dari kuasa Allah.
2. AL-MATURIDLIYAH
Pendiri aliran ini adalah Abu Manshur ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi. Yang mana
nisbat dari nama beliau menjadi nama dari faham yang ia bawa. Madzhab ini berhadapan
langsung dengan berbagai faham kelompok-kelompok yang banyak. Seperti Mu’tazilah,
Mujasimiyah, Qaramithhah dan juga Jahmiyah. Juga kelompok non muslim seperti Yahudi,
Majusi dan Nasani.
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi dilahirkan di sebuah
kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturidi, di wilayah Transoziana di Asia
Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahiranya tidak diketahui secara
pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad k3-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333
H/944 M. Gurunya di bidang fiqh dan teologi adalah Nasyr bin Yahya al-Balakhi. Al-Maturidi
hidup pada masa Khalifah al-Muawakil yang memerintah pada tahun 232-274 H.
Pada prinsipnya aqidah Maturidi memiliki keselarasan dengan konsep aqidah Asyariyah.
Yang sedikit membedakan antara keduanya yakni bahwa Asyariyah fiqnya
menggunakan Madzhab Imam Syafi’i dan Imam Maliki, sedangkan Maturidi
menggunakan Madzhab Imam Hanafi.
Berikut beberapa pokok pemikiran Imam al-Maturidi dalam aqidahnya:
Akal dan Wahyu. Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal. Dalam bab ini,
pandanganya hampir sama dengan Asyari. Maturidi berpendapat bahwa suatu
kesalahan jika kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql), sama juga
salah apabila larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio (akal). Jadi konsep
yang diiambil oleh al-Maturidli adalah pendamaian/penyeimbangan antara akal dan
wahyu (naqli dan ‘aqli), walaupun al-Maturidi tetap berpendapat bahwa wahyu
harus diterima secara penuh, tapi penggunaan akal sama pentingnya untuk
mendalami wahyu dan kuasa Allah.
Perbuatan Manusia. Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Allah,
karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaanNya. Dalam hal ini al-Maturidi
mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qadrat Allah sebagai
pencipta perbuatan manusia. Jadi al-Maturidi merumuskan bahwa manusia diberi
kehendak bebas (ikhtiar) untuk memilih dan berbuat, akan tetapi semua hal tersebut
tidak lepas dari qadrat
Sifat Allah. Kepercayaan Al-Maturidi mengenai sifat-sifat Allah sama dengan al-
Asyari, yakni Allah memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan. Tetapi mengenai
pengertian sifat menurut al-Asyari dan al-Maturidi sedikit berbeda, menurut al-
Asyari, sifat Allah adalah sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat.
Sedangkan menurut al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensiNya dan bukan
pula lain dari esensiNya mulazamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah. Perbedaan
tersebut hanya dalam memaknai letak sifat Allah, tapi keduanya sama-sama
meyakini bahwa Allah memiliki sifat.
Melihat Allah. Al-Maturidi juga mempercayai bahwa di akhirat nanti, seorang hamba
mampu melihat tuhanya. Namun tidak dalam sebuah bentuk atau gambaran, karena
kehidupan akhirat berbeda dengan dunia.
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat kalam Allah itu tidak berupa huruf, kata,
maupun suara. Berbeda dengan kalam manusia yang membutuhkan kata atau suara.
Kalam Allah ini disebut sebagai kalam nafsi. Sedangkan kalam yang membutuhkan
kata atau suara disebut kalam hadits.
Pelaku dosa besar tidak termasuk orang kafir dan tidak kekal dalam neraka,
walaupun ia mati sebelum bertaubat.
Pengutusan Rasul. Al-Maturidi berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-
tengah umatnya adalah kewajiban Allah agar manusia dapat berbuat baik dan
terbaik dalam kehidupan. Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi.
Hukum syariat islam bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah yang mana keduanya turun
beangsur-angsur berdasarkan kebutuhan masyarakat ketika itu. Ketika Rasulullah masih
hidup jika ada permasalahan agama bisa langsung diselesaikan dihadapan Rasulullah.
Setelah Rasulullah wafat, banyak terdapat permasalahan yang belum dijelaskan secara tegas
dalam al-Quran dan al-Sunnah, untuk memecahkan persoalan tersebut perlulah dilakukan
ijtihad untuk istimbath hukum. Orang yang mampu berijtihad biasa
disebut mujtahid, seorang yang mampu berijtihad secara mandiri dan mampu mempolakan
pemahaman (manhaji) tersendiriterhadap sumber pokok islam, yakni al-Quran dan al-
Sunnah disebut mujtahid muthlaq mustaqil. Pola pemahaman ajaran islam dengan melalui
ijtihad para mujtahid lazim disebut madzhab.pola pemahaman dengan metode, prosedur,
dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat Islam yang tidak mampu melaksanakan ijtihad
sendiri karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Orang yang mengikuti hasil
ijtihad para mujtahid muthlaq disebut bermadzhab atau taqlid. Dengan sistem bermadzhab
ini ajaran Islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah
oleh semua lapisan masyarakat.
Dalam bidang fiqih dan amaliyah faham Aswaja mengikutipola bermadzhab dengan
mengikuti salah satu madzhab fiqih yang di deklarasikan oleh para ulama’ yang mencapai
tingkatan mujtahid mutlaq. Beberapa madzhab fiqih yang pernah eksis dan diikuti oleh
kaum muslim Aswaja ialah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Sufyan al-Tsauri, Sufyan
bin Uyainah, Ibn Jarir, Dawud al-Zahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, Abu Tsaur dan lain-lain.
Akan tetapi seiring perkembangan zaman, dari sekian banyak madzhab fiqih hanya empat
yang tetap eksis digunakan oleh aliran Aswaja, yaitu madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Hanbali. Alasan kenapa empat madzhab ini yang tetap dipilih oleh Aswaja yaitu:
1. Hanafiyah
Madzhab Hanafi didirikan oleh al-Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit al-Kufi. Beliau
lahir pada tahun 80 H, dan wafat pada 150 H di Baghdad. Abu Hanifah berdarah Persia.
Imam Hanifah digelari al-Imam al-A’zham (Imam Agung), Beliau menjadi tokoh panutan di
Iraq. Menganut aliran ahl al-ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya. Diantara manhaj
istinbathnya yang terkenal adalah Istihsan. Fiqih Abu hanifah yang menjadi rujukan
Madzhab Hanafiyah ditulis oleh dua orang murid utamanya, yitu Abu Yusuf Ibrahim dan
Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Pada mulanya madzhab ini diikuti oleh kaum
muslim yang tinggal di Irak, daerah tempat kelahiran Imam Abu Hnifah. Setelah muridnya,
Abu Yusuf menjabat sebagai hakim agung pada masa Daulah Abasiyyah, madzhab Hanafi
menjadi populer di negara-negara Persia, Mesir, Syam, dan Maroko. Dewasa ini, madzhab
Hanafi diikuti oleh kaum Muslim di negara-negara Asia Tengah, yang dalam refrensi klasik
dikenal dengan negri sebrang Sungai Jihun (Sungai Amu Daria dan Sir Daria), negara
Pakistan, Afganistan, India, Banglades, Turki, Albania, Bosnia dan lain-lain. Dalam bidang
teologi mayoritas pengikut madzhab Hanafi mengikuti madzhab al-Maturidi.
2. Malikiyah
Madzhab maliki dinisbatkan kepada pendirinya, yaitu al-Imam Malik bin al-Ashbahi. Beliau
lahir pada tahun 93 H, dan wafat pada 173 H di madinah. Imam Malik dikenal sebagai
“Imam Dar al-Hijrah”. Imam Malik adalah seorang ahli hadits sangat terkenal, sehingga kitab
monumentalnya yang berjudul al-Muwatha’ dinilai sebagai kitab hadits hukum yang
paling shahih sebelum adanya kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Imam Malik juga
mempunyai manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang, Kitabnya berjudul al-
Mahlahah al-Mursalah dan ‘Amal al-Ahl al-Madinah. Madzhab ini diikuti mayoritas kaum
Muslim di negara-negara Afrika seperti Libia, Tunisia, Maroko, Aljazair, Sudan, Mesir dan
lain-lain. Dalam bidang teologi seluruh Madzhab Maliki mengikuti faham al-Asyari, tanpa
terkecuali. Berdasarkan penelitian al-Imam Tajuddin al-Subki.
3. Syafi’iyah
Madzhab ini didirikan oleh al-Imam Abu ‘Abdillah muhammad bin Idris al-Syafi’i. Lahir pada
150 H di Gaza, dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam Syafi’i mempunyai latar belakang
keilmuan yang memadukan antara Ahl al-hadits dan Ahl al-Ra’yi. Karena cukup lama
menjadi murid Imam Maliki dan Imam Muhammad bin Hasan (Murid besar Imam hanafi) di
Baghdad. Metodologi istinbathnya ditulis menjadi buku pertama dalam bidang Ushul al-
Fiqh yang berjudul al-Risalah. Pendapat Imam Syafi’i ada dua macam, yang disampaikan
selama di Baghdad disebut al-Qoul al-Qadim (pendapat lama), dan yang disampaikan di
mesir disebut al-qaul al-Jadid (pendapat baru). Madzhab Syafi’i diakui sebagai madzhab
fiqih terbesar jumlah pengikutnya diseluruh dunia, yang diikuti oleh mayoritas kaum muslim
Asia Tenggara, seperti Indonesia, India bagian selatan seperti daerah Kirala dan Kalkutta,
mayoritas negara syam seperti Siria, Yordania, Lebanon, Palestina, sebagian besar penduduk
Yaman, mayoritas penduduk Kurdistan, kaum Sunni Iran, mayoritas penduduk mesir dan
lain-lain. Dalam bidang teologi mayoritas pengikut madzhab Syafi’i mengikuti al-Asyari,
sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Imam Tajuddin al-Subki.
4. Hanabali
Imam Ahmad ibn Hambal, biasa disebut Imam Hambali, lahir pada tahun 164 H, di Baghdad.
Imam Hambali terkenal sebagai tokoh Ahl al-Hadits. Beliau merupakan murid Imam Syafi’i
selama di Baghdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Imam Hambali mewariskan
sebuah kitab hadist yang terkait dengan hukum Islam berjudul Musnad Ahmad. Madzhab ini
paling sedikit pengikutnya, karena tersebarnya madzhab ini berjalan setelah madzhab-
madzhab lain tersosialisasi dan mengakar di tengah masyarakat. Madzhab ini diikuti oleh
mayoritas penduduk Najd dan sebagian kecil penduduk Mesir dan Syam. Dalam bidang
teologi mayoritas ulama’ Hambali mengikuti aliran al-Asyari.
Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan pedoman bagi kaumnya.
Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, dimana Aswaja mengambil posisi yang
moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.
Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan berarti meninggalkan
urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib diutamakan ketimbang kepentingan
dunia, namun kehidupan dunia juga tidak boleh disepelekan. Dalam emenuhi urusan dunia
dan akhirat mesti seimbang dan proporsional. Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat
Makrifat namun meninggalkan al-Qur’an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan
Aswaja. Meski Aswaja mengakui tingkatan-tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi
Aswaja menentang jalan rohani yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fikih telah
merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf telah
merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang akan
menemukan kebenaran.” Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan
menghayati pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama
kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian
diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’insampai pada para ulama sufi hingga sekarang.
Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu,
dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-
zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan
dzikir yang dilakukan mereka. Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan
berhubungan dengan sesama manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan
semata hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia
lainnya.
Kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang moderat, yakni
tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan aqidah sebagaimana sudah dicontohkan al-
Ghazali, Junaid al-Baghdadi, juga Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Beliau lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini termasuk
wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint al-Syekh Abdullah Sumi merupakan
keturunan Rasulullah Saw., melalui cucu terkasihnya Husain. Suatu ketika Ibunya berkata,
“Anakku, Abdul Qadir, lahir di bulan Ramadhan pada siang hari bulan Ramadhan, bayiku itu
tak pernah mau diberi makan.”
Ketika berusia 18 tahun, beliau pergi meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad. Di
Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama, antara lain Ibnu Aqil, Abul
Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimiseim. Beliau menimba ilmu
pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-
perbedaan pendapat para ulama. Selanjutnya, pada tahun 521 H/1127 M, Syekh Abdul
Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat. Tidak
butuh waktu lama beliau segera dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, beliau
menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal
oleh dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri Tarekat Qodiriyah, sebuah istilah yang
tidak lain berasal dari namanya. Tarekat ini terus berkembang dan banyak diminati oleh
kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tarekat
tersebut, namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti Yaman,
Turki, Mesir, India, hingga sebagian Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Khazzaz
al-Qowariri al-Nahawandi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan di kota Baghdad tanpa diketahui
secara pasti tahun kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang barang pecah belah, sementar
Ibunya merupakan saudara kandung Sari bin al-Mughallis al-Saqathi (w.235 H/867M),
seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak menjadi gurunya. Al-Junaid dikenal cerdas, dan
pada usia dua puluh tahun bela telah mampu mengeluarkan fatwa. Semua kalangan
menerima madzhab yang dibangunnya, dan beliau disepakati sebagai penyandang gelar
“Syekh al-Thaiifah al-Shufiyyah wa Sayyiduha” (Tuan Guru dan Pemimpin kaum sufi).
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali Al-Thusi. Beliau dilahirkan di kota Thus (daerah Khurasan) tahun 450 H/1058M.
Beliau dikenal dengan al-Ghazali karena berasal dari desa Ghazalah, atau ada yang
menganggap bahwa sebutan al-Ghazali melekat karena ayahnya bekerja sebagai pemintal
tenun wol. Masa kecil dan masa muda al-Ghazali dipenuhi dengan belajar ilmu agama, dari
satu tempat ke tempat lain dan dari satu guru ke guru lain. Ia pernah belajar kepada Ahmad
bin Muhammad al-Radzikani al-Thusi, Imam Abu Nashr al-Isma’ili, Syekh Yusuf al-Nassaj,
Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdllah al-Juwaini yang merupakan ulama terkemuka
Madzhab Syafi’i.
Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada dasar aslinya seperti
yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ia telah menulis puluhan kitab, dan yang
paling terkenal adalah Ihya Ulumiddin (Menghidupkan kembali ajaran Islam). Melalui kitab
tersebut al-Ghazali memberikan pegangan dan pedoman perkembangan tasawuf Islam, dan
menjadi rujukan bagi mereka dalam mengembangkan paham positifisme yang sesusi
dengan akidah dan syariah.
Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Junaid al-Baghdadi, kaum
Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat
menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus
dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal semacam ini
pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Secara individu, para
wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka selalu
membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam
dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan
ketertundukan.