Anda di halaman 1dari 4

B.

KONSEP DASAR Akidah dan Pemikiran Asyari'

A. Akidah

Secara umum akidah Asy’ariyah sama dengan dua aqidah Ahlussunnah yang lain yang merupakan
implementasi dari rukun iman yang enam yang disebut dalam hadits Jibril.[11]  Secara garis besar,
aqidah Asy’ariyah memiliki ciri khas sebagai berikut:

1.Argumen atau dalil yang digunakan Asy’ariyah dalam menyusun konsepnya adalah perpaduan
antara naqliyah (nash Al-Quran dan hadits) dan aqliyah yang bersifat saling mendukung pada dalil
naqliyah. Bagi Asy’ariyah, nash yang sharih (eksplisit) dan akal yang benar (sahih) tidak akan saling
berlawanan.[12]

2.Ilmu Kalam. Ulama Asy’ariyah menganggap mempelajari ilmu kalam itu tidak mendesak.
Khususnya apabila tidak ada aliran-aliran yang berbeda yang membutuhkan respons dengan
memakai ilmu kalam. Inilah juga yang dilakukan oleh kalangan Salafus Soleh yakni para Sahabat dan
Tabi’in di mana pada masa mereka tidak ada aliran dan pandangan yang berbeda dengan
Ahlussunnah Wal Jamaah seperti Muktazilah. Sehingga ulama generasi Salaf mengingatkan agar
tidak memakai ilmu kalam karena tidak adanya kepentingan dan kebutuhan ke arah itu. Ini menurut
pemahahaman Asy’ariyah. Namun setelah jelas muncul sejumlah aliran yang meragukan aqidah
Islam secara umum dan wujud Allah dalam aqidah Ahlussunnah secara khusus, maka sejumlah
ulama melihat perlunya memakai ilmu kalam untuk menghadapi pendapat-pendapat yang
meragukan tersebut.

3.Hukum Tahu Aqidah. Umumnya ulama Asy’ariyah berpendapat bahwa memahami aqidah Islam
beserta dalilnya secara rinci itu tidak wajib bagi muslim awam. Mereka cukup memahami aqidah
secara umum (mujmal). Ini pandangan Imam Ghazali dan sejumlah ulama yang lain. Pandangan ini
berbeda dengan Al-Isfirayini.[14]

4.Tafwid (Ta’wil Ijmali). Menurut Asy’ariyah, kalangan Salafus Salih yakni generasi Sahabat, Tabi’in
dan Tabi’it tabi’in, berpendapat bahwa mayoritas dari mereka menyikapi ayat dan hadits
mutasyabihat dengan cara tafwid atau takwil ijmali. Takwil ijmali adalah memalingkan nash yang
mengandung sifat Allah yang menyerupai (mutasyabihat) dengan makhluknya pada makna lain
secara ringkas (tidak detail). Misalnya, “Allah bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS Al-Araf 7:54) dimaknai
“Allah berkuasa atas Arasy.”[15] Tafwid menurut Al-Izz bin Abdissalam adalah perilaku generasi
Salaf. Sedangkan kalangan pasca-Salaf, lebih cenderung mentakwil karena adanya tuntutan
melakukan hal itu sebagai respons pada kalangan ahli bid’ah.

5.Takwil Tafshili. Pada dasarnya Asy’ariyah berpegang pada makna zhahir atas suatu nash Quran dan
hadits. Namun juga membolehkan memalingkan kata dari makna zhahirnya yang rajih (unggul) pada
makna marjuh (makna kedua) apabila ada dalil (qarinah) yang menyertai kata tersebut sehingga
dipalingkan dari makna zhahirnya. Sebagai contoh, dalam firman “Mereka telah lupa kepada Allah,
maka Allah melupakan mereka” (QS Taubat 9:67). Kata “Allah melupakan mereka” dialihkan
maknanya menjadi “Allah meninggalkan mereka”. Pengalihan arti “lupa” ke arti “meninggalkan”
karena ada dalil yakni mustahilnya sifat lupa bagi Allah. Dalam hal bolehnya ta’wil, Imam Syafi’i
sendiri menyatakan: “Sebagian nash Al-Quran mengandung makna yang dari susunan kalimatnya
bisa diketahui mengandung arti yang tidak sesuai dengan arti zhahirnya.”[17] Adapun mengalihkan
kata dari makna zhahirnya tanpa adanya dalil, maka hukumnya tidak boleh.

Refrensi :Desember 9, 2017 oleh A. Fatih Syuhud6.

6.Kalam Ilahi

Seperti telah disebut di atas Asy’ari meyakini bahwa bahwa al-Al-Qur`an adalah kalam Ilahi yang
bersifat qādim. Untuk mendukung pendapatnya, Asy’ari mengajukan argumentasi rasional,
disamping tentunya juga mengajukan argumen tekstual. Allah Berfirman:

ُ‫ِإ َّن َما َق ْولُ َنا لِ َشيْ ٍء ِإ َذا َأ َر ْد َناهُ َأنْ َنقُو َل لَ ُه ُكنْ َف َي ُكون‬

Sesungguhnya perkataan kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami Hanya
mengatakan kepadanya: kun (jadilah), Maka jadilah ia. (QS, 16:40)

Pengertian “sesuatu” pada ayat di atas bersifat umum, yang berarti mencakup juga al-Al-Qur`an
yang menurut mu’tazilah adalah makhluk. Berarti Al-Qur`an dalam pengertian Mu’tazilah juga
diciptakan dengan kalimat “jadilah”. Pada saat yang sama Mu’tazilah juga mengakui bahwa Al-
Qur`an adalah kalam Ilahi tetapi bersifat ḥadīs[20]. Jika demikian, maka mustahil Allah menciptakan
kalamNya dengan kalimat “jadilah”. Sebab kalimat “jadilah” juga kalam Allah yang berarti harus
diciptakan dengan kalimat “jadilah” lain, dan begitu seterusnya hinnga terjadi mata rantai “jadilah”
yang tak berujung. Dengan demikian tidak mungkin Al-Qur`an diciptakan dengan kalimat “jadilah”
seperti ciptaan-ciptaan lain. Dan jika Al-Qur`an tidak mungkin diciptkan dengan kalimat “jadilah”,
berarti Al-Qur`an tidak bersifat ḥadīs. Dan jika Al-Qur`an tidak bersifat ḥadīs , maka pastilah Al-
Qur`an bersifat qadīm.Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah yang qadīm pada Al-
Qur`an? Lafadz dan maknanya-kah? Atau hanya maknanya saja? Asy’ari berpendapat
bahwa kalām adalah sesuatu yang bertempat pada diri mutakallim (‫)قائم بذات المتكلم‬. Kalām dalam
pengertian ini berarti bukan huruf atau suara, melainkan kata yang berada di dalam diri. Kalām ini
diistilahkan dengan kalām nafsī[22].

Ada tiga kesimpulan yang bisa ditarik dari uraian diatas. Pertama, bahwa Asy’ari menolak huruf-
huruf yang terdapat dalam mushaf disebut kalam Ilahi yang qadīm. Dengan demikian, pendapat
Asy’ari tentang kalām berbeda dengan pendapat Hanabilah yang menganggap bahwa huruf-huruf
dalam mushaf juga termasuk kalam yang qadīm[23]. Justru sebaliknya, pendapat Asy’ari sama
dengan Mu’tazilah yang mengatakan mushaf dengan segala perangkat kerasnya bersifat ḥadīs.
Perbedaan Asy’ari dan Mu’tazilah terletak pada pengertian kalām nafsī yang disebut Asy’ari sebagai
bersifat qadīm.

Kedua, seperti telah disebutkan di atas, pendekatan Rasional Asy’ari dalam mendukung pendapat-
pendapat ulama salaf tidak akan terhindar dari benturan-benturan dengan pendapat ulama salaf itu
sendiri. Awalnya Asy’ari dapat menjelaskan secara rasional bahwa Al-Qur`an adalah kalam Ilahi yang
bersifat qadīm. Tetapi ketika memasuki pembahasan yang lebih detail tentang apakah
yang qadīm dari Al-Qur`an, Asy’ari harus berseberangan dengan Hanabilah yang merepresentasikan
pendapat ulama salaf. Sebab, mengatakan huruf-huruf dalam mushaf yang bisa dirusak dan dibakar
sebagai bersifat qadīm adalah hal yang konyol dan sama sekali tidak rasional.

Ketiga, Asy’ari telah memunculkankan terminologi baru yang disebut dengan kalām nafsī. Istilah ini
dimunculkan untuk menjembatani kerumitan-kerumitan terkait dengan hal-hal yang jelas-jelas
bersifat ḥadīs dan kalam Ilahi itu sendiri yang dipastikan bersifat qadīm.

7.Ru’yatullah

Rasulullah ditanya, apakah kita akan melihat Tuhan kita di hari kiamat. Rasulllah menjawab,
“iya” [24]. Berdasarkan hadis ini dan dalil-dalil lain dalam Al-Qur`an dan hadis, ulama salaf
berpendapat bahwa Tuhan akan dilihat oleh orang mu’min kelak di hari kiamat. Bagaimanakah
Asy’ari merasionalisasi keyakinan ini? Pertama-tama Asy’ari menjelaskan sebuah prinsip, yang
sebenarnya juga menjadi prinsip dari keseluruhan teologinya. Segala sesuatu yang tidak
mengakibatkan kebaruan Tuhan, kebaruan sifat yang ada pada Tuhan, kebendaan Tuhan,
keserupaan Tuhan dengan makhluk, berubahnya Tuhan dari hakikatNya, kedzaliman Tuhan dan
pendustaan kepada Tuhan, maka tidak dihukumi mustahil. Terlihatnya Tuhan tidak mengakibatkan
hal-hal tersebut. Oleh karena itu, terlihatnya Tuhan bukanlah perkara yang mustahil.

Kemudian Asy’ari menjelaskan bahwa terlihatnya Tuhan tidak mengakibatkan kebaruan Tuhan.
Sebab kalau yang terlihat itu bisa terlihat karena ia terbarukan, maka seharusnya semua yang
terbarukan bisa terlihat. Padahal menurut Mu’tazilah yang menjadi sasaran argumentasi ini, tidak
semua yang terbarukan bisa terlihat. Demikian pula, terlihatnya Tuhan tidak akan menimbulkan sifat
baru pada Tuhan. Sebab warna, yang merupakan sifat,  juga terlihat. Kalau terlihat menimbulkan
sifat baru pada sesuatu yang terlihat, maka melihat itulah yang akan menjadi sifat baru.

Telah dikemukakan di atas bahwa sepanjang teks-teks Al-Qur`an ataupun Hadis menunjuk pada
makna yang pasti, maka tidak ada jalan lain selain mengikuti makna tersebut tanpa ta’wīl. Dalam
penjelasannya tentang Ru’yatullah, Asy’ari menambahkan prinsip lain yang intinya, selama sebuah
penafsiran tidak mengakibatkan hal-hal yang mengurangi kesempurnaan Tuhan, maka penafsiran itu
dapat digunakan. Dan kedua prinsip ini diterapkan secara berurutan. Jika kedua prinsip tersebut
digabungkan dengan prinsip rasionalitas, maka pendekatan teologi Asy’ari dapat dirumuskan sebagai
berikut: suatu penafsiran yang rasional terhadap masalah-masalah aqidah dapat dilakukan
sepanjang tidak berbenturan dengan teks al-Qur`an ataupun hadis yang qaṭ’ī dan tidak pula
mengakibatkan pencideraan terhadap kesempurnaan sifat-sifat Tuhan.

Disamping itu, penjelasan di atas  sekali lagi memperlihatkan bagaimana Asy’ari kadang tergelincir
dalam menyusun argumentasinya. Mu’tazilah, yang menjadi sasaran penjelasan di atas tidak
mengatakan bahwa terbarukan adalah sebab, melainkan syarat dari melihat Tuhan. Sehingga
tidaklah benar kesimpulan Asy’ari, “…maka seharusnya semua yang terbarukan bisa terlihat”. Dan
pada kasus ini Asy’ari dapat dianggap gagal memberikan penjelasan rasional tentang ru’yatullah.

Anda mungkin juga menyukai