Anda di halaman 1dari 32

Fathur Rohman

Berilmu Amaliyah Beramal Ilmiyah

Asbabul Wurud
A. Pendahuluan

Hadis atau sunnah[1] merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki posisi sangat
signifikan, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural menduduki posisi kedua
setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan (eksplanasi)
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am (umum), mujmal (global) atau mutlaq.[2] Secara
tersirat, al-Qur’an-pun mendukung ide tersebut, antara lain firman Allah SWT:

َ‫اس َمانُ ِّز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫َوأَ ْن َز ْلنَا إِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬

“Dan kami turnkan al-Qur’an kepadamu (Muhammad) agar kamu menjelaskan kapada umat
manusia apa yang telah diturunkan untuk mereka, dan supaya mereka memikirkan.”. (QS. An-
Nahl 44)

Adanya perintah agar Nabi SAW. Menjelaskan kapada umat manusia mengenai al-Qur’an, baik
melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya, dapat diartikan bahwa Hadis berfungsi sebagai bayan
(penjelas) terhadap al-Qur’an.

Oleh karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika kemudian Imam al-Auza’i pernah berkesimpulan
bahwa al-Qur’an sesungguhnya lebih membutuhkan kepada al-Hadis daripada sebaliknya. Sebab
secara tafshili (rinci) al-Qur’an masih perlu dijelaskan dengan Hadis.[3]

Disamping sebagai bayan terhadap al-Qur’an, Hadis secara mandiri sesungguhnya dapat
menetapkan suatu ketetapan yang belum diatur dalam al-Qur’an. Namun persoalannya adalah
bahwa untuk memahami suatu Hadis dengan “baik”, tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan
seperangkat metodologi dalam memahami Hadis.

Ketika kita mencoba memahami suatu Hadis, tidak cukup hanya melihat teks Hadisnya saja,
khususnya ketika Hadis itu mempunyai asbabul wurud, melainkan kita harus melihat
konteksnya. Dengan lain ungkapan, ketika kita ingin menggali pesan moral dari suatu Hadis,
perlu memperhatikan konteks historitasnya, kepada siapa Hadis itu disampaikan Nabi, dalam
kondisi sosio-kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya. Tanpa memperhatikan
konteks historisitasnya (baca: asbabul wurud) seseorang akan mengalami kesulitan dalam
menangkap dan memahami makna suatu Hadis, bahkan ia dapat terperosok ke dalam
pemahaman yang keliru.[4] Itulah mengapa asbabul wurud menjadi sangat penting dalam
diskursus ilmu Hadis, seperti pentingnya asbabun nuzul dalam kajian tafsir al-Qur’an.[5]
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua Hadis mempunyai asbabul wurud.
Sebagian Hadis mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas, namun sebagian yang lain
tidak. Untuk katagori pertama, mengetahui asbabul wurud mutlak diperlukan, agar terhindar dari
kesalahpahaman (misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu Hadis. Sedangkan untuk
Hadis-Hadis yang tidak mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai alternatifnya, kita dapat
menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau bahkan pendekatan psikologis
sebagai pisau analisis dalam memahami Hadis. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi
SAW tidak mungkin berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan hampa kultural.

B. Pengertian Asbabul Wurud

Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata asbab
dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”. Menurut ahli bahasa
diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang
menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah :

‫كل شيء يتوصل به الى غا يته‬

“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”

Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa
ada  pengaruh apapun dalam hukum itu

Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :

‫الماء الذي يورد‬

“Air yang memancar atau air yang mengalir “[6]

Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab
datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadis, maka
asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang
( background ) munculnya suatu hadis.[7])

Menurut as-suyuthi, secara terminology asbabul wurud diartikan sebagai berikut :

‫ المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطالق أوتقييد أونسخ أونحو ذالك‬w‫أنه ما يكون طريقا لتحديد‬.

Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu Hadis yang bersifat umum, atau
khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam
suatu Hadis.

Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi lebih mengacu
kepada fungsi asbabu wurud al-Hadis, yakni untuk menentukan takhsis (pengkususan) dari yang
‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh mansukh
dalam Hadis dan lain sebagainya.
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan untuk merumuskan
pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said Agil Husin Munawwar untuk merumuskan
pengertian asbabul wurud, kita perlu mengacu kepada pendapat hasbi ash-shiddiqie. Beliau
mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut :

‫علم يعرف به السبب الذي ورد ألجله الحديث والزمان الذي جاء به‬

“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi
SAW. Menuturkannya”.

Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul wurud, agak mirip dengan
pengertian asbabun-nusul, yaitu :

‫ما ورد الحديث أيام وقوعه‬

“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang  terjadi pada


waktu Hadis itu disampaikan oleh nabi SAW.”

Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa asbabul wurud adalah
konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi
pada saat Hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk
menentukan apakah Hadis itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau
mansukh dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah tujuan (ghayah),
melainkan hanya sebagai sarana (washilah) untuk memperoleh ketepatan makna dalam
memahami pesan moral suatu Hadis.[8]

C.  Macam-Macam Asbabul Wurud

Menurut imam  as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu: 1)
sebab yang berupa ayat al-Qur’an, 2) sebab yang berupa Hadis itu sendiri 3) sebab yang berupa
sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.

Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:

1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab
Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang
berbunyi :

‫الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم األمن وهم مهتدون‬

“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan
kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang
yang mendapatkan petunjuk” (Q.S. Al-An’am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian al jaur yang berarti
berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa
yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik,
sebagaimana yang disebutkan  dalam surat al-Luqman:

‫إن الشرك لظلم عظيم‬

“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Q.S al-Luqman: 13)

1. Sebab yang berupa Hadis. Artinya pada waktu  itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian
sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain yang
memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut. Contoh adalah Hadis yang berbunyi:

‫إن هلل تعالى مالئكة في األرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر‬

“sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut
manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim)

Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka
bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat
sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika
Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian
memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar
pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi
SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat
mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi
berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).

Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !,
mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan
ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga kali.
Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya
Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan
menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)

Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan
tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan
bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.

1. 3. Sebab yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan
sahabat.

Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi.
Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW
seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat
tersebut, lalu Nabi berssabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW
lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat
disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”.
Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini, Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih
Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq
Dalam Kitab Al-Mushannafnya).[9]

D. Urgensi Asbabul Wurud dan Cara Mengetahuinya

Asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka memahami suatu hadis.
Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, cultural, bahkan temporal.
Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena
paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis.
Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara konteksnya kita
abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbabul
wurud akan cenderung bersfat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif
terhadap perkembangan zaman.

Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:

1. Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.


2. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
3. 3. Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalamsuatu hadis.
5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)

Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud hadis, yaitu
untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya hadis yang
berbunyi:

‫صالة القاعد على النصف من صالة القائم‬

“shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.”
(H.R. Ahmad)

Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat
fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa
yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang
dimaksud dengan takhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum,
dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.

Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan penduduknya sedang
terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah
sambil duduk. Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan
shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda :” shalat orang yang sambil
duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan nabi
tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.

Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
“shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang
sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala
separoh dari orang shalat sunnat dengan beridiri.

Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri
-mungkin karena sakit-, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan
duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut. Maka pahala
orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh
melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.

Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang
mutlak adalah hadis yang berbunyi:

‫من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا و من سن سنة سيئة فعمل بها‬
‫من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا‬

“barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah
itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala
yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya,
barang siapayang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu
diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa
mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)

Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat
berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah
merupakankata yang mutlaq baik yang mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.

Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-sama sahabat.
Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka
adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena
merasa empati, iba dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal
agar mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai
jama’ah shalat, Nabi SAW kenudian berpidato, yang inti pidatonya adalah menganjurkan agar
bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok
orang-orang miskin tersebut.

Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu
kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu
kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda :

‫ … الحديث‬ ‫من سن سنة حسنة‬


Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud sunnah dalam
hadis tersebut adalah sunnah yang baik.[10]

Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan melihat aspek riwayat
atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada
yang sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain.
Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan
para sahabat.[11]

E. Kitab-Kitab yang Berbicara tentang Asbabul Wurud

Ilmu mengenai asbabul wurud al-hadis ini sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat. Hanya saja
ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab. Demikian kesimpulan
as-Suyuthi dalam al-Luma’ fi Asbabi wurud al-hadis. Namun kemudian, seiring dengan
perkembangan dunia keilmuan waktu itu, ilmu asbab al-wurud menjadi berkembang. Para ulama
ahli hadis rupa-rupanya merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri mengenai
asbabul wurud.

Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbabul wurud antara lain adalah:

1. Asbabu wurud al-Hadis karya Abu hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun sayang kitab
tersebut tidak dapat sampai ke tangan kita.
2. Asbabu wurud al-hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil Al-Jabari. Kitab tersebut juga tidak
sempat sampai ketangan kita.
3. Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab Wurudil hadis, karya
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh Yahya Ismail
Ahmad.
4. Al-Bayan wa at-Ta’rif karya Ibnu Hamzah Al-Husaini ad-Damasyqi (w.1110 H.)

1. F. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Asbabul warud al-hadis merupakan konteks historisitas yang melatar belakangi


munculnya suatu hadis. Ia dapat berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat
hadis itu di sampaikan nabi SAW. Dengan lain ungkapan, asbabul wurud adalah faktor-
faktor yang melatar belakangi munculnya suatu hadis.
2. Sebagai salah satu disiplin ilmu dalam studi hadis, asbabul wurud mempunyai peranan
yang sangat signifikan dalam rangka memahami maksud suatu hadis secara lebih baik.
Pemahaman yang mengabaikan asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada arti
tekstual saja dan bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru.
3. Dari beberapa definisi asbabul wurud yang telah dikemukakan oleh para ulama dapat
disimpulkan bahwa pengertian asbabul wurud tersebut lebih mengacu pada asbabul
wurud khas (asbabul wurud mikro). Di antara fungsi dari mengetahui asbabul wurud
adalah untuk menentukan ada tidaknya takhsish dalam suatu hadis yang umum,
membatasi kemutlakan suatu hadis, merinci yang masih global, menentukan ada tidaknya
nasikh mansukh dalam hadis, mejelaskan ‘illat ditetapkannya suatu hukum, dan
menjelaskan hadis yang sulit dipahami (musykil).
4. Tampaknya perlu dikembangkan asbabul wurud ‘am (asbabul wurud makro), yaitu situasi
sosio-historis yang lebih bersifat umum di mana dan kapan Nabi SAW menyampaikan
sabdanya dan hal ini memerlukan kajin sejarah yang sangat detail.

Daftar pustaka

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001.

Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim,  Asbabul wurud Studi kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet 1

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: RajaGrafindo, 2008, Cet ke 5

Soetari, Endang, Ilmu hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997, Cet ke 2

[1] Jumhur ulama hadits menyamakan istilah hadits dengan sunnah. Lihat : Muhammad’Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25

[2]

[3] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study kritis hadits
nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar Hlm.05

[4] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study kritis hadits
nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar. Hlm 6

[5] Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , dalam muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab
Wurud Al- hadits Al-Syarif. Hlm 32

[6] Munzier Suparta, 2008 Ilmu Hadits  Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 38-.39

[7] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, ………………. Hlm.07

[8] Ibid. hlm 09

[9] Ibid . Hlm 09-12

[10] Ibid. hlm  13-16

[11] Endang soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997). Hlm 211
Huruf A
Ejaan Dalam
Istilah Arti/Pengertian Lihat Juga
Bahasa Indonesia
Kata 'adh-h memiliki arti yang sama dengan kata
'Adh-h idhah yang artinya adalah sihir, dusta; tindakan 'adhih
mengadu domba, menghasut dan memfitnah.
'Adhih Tukang sihir (ism fail). 'adh-h
'Adwa Penjangkitan atau penularan penyakit.
Pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki
‫العين‬ 'Ain ruqyah
seseorang melalui matanya; kena mata.
shallallahu
‫عليه‬ 'Alaihis Salam, Semoga salam sejahtera senantiasa dilimpahkan
'alaihi wa
‫السإلم‬ 'alaihissalam (Allah) kepadanya.
sallam
‫ هللا اكبر‬Allahu Akbar Allah Mahabesar. 'azza wa jalla
Atsar memiliki 2 (dua pengertian); (1) hadits, dan
hadits, nisbat,
Atsar (2) perkataan atau perbuatan yang dinisbatkan
sahabat, tabi'in
kepada sahabat atau tabi'in.
'Azimah lihat ruqyah. ruqyah
‫' عزوجل‬Azza wa Jalla Mahamulia dan Mahaagung. Allahu akbar

Huruf B
Ejaan Dalam Lihat
Istilah Arti/Pengertian
Bahasa Indonesia Juga
Alam ghaib setelah manusia meninggal dunia sampai hari ghaib,
Barzakh, barzah
Kiamat, atau alam kubur. kiamat

Huruf D
Ejaan Dalam Lihat
Istilah Arti/Pengertian
Bahasa Indonesia Juga
Nama satuan uang. Pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi
Dinar dirham
wa sallam terbuat dari emas.
Nama satuan uang. Pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi
Dirham wa sallam terbuat dari perak. Nilainya lebih kecil daripada dinar
dinar.
Dzatu Anwath Sebuah pohon bidara tempat dimana kaum musyrikin (pada
zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) bersemedi
dan menggantungkan senjata mereka di situ untuk mencari
berkah.

Huruf F
Ejaan Dalam Lihat
Istilah Arti/Pengertian
Bahasa Indonesia Juga
Harta yang diperoleh kaum muslimin dari musuh tanpa
Fai' melalui peperangan, karena harta tersebut ditinggal lari ghanimah
oleh musuh.
Fa'l Perasaan optimis; harapan bernasib baik dan sukses.

Huruf G
Ejaan Dalam Lihat
Istilah Arti/Pengertian
Bahasa Indonesia Juga
Harta yang diambil alih oleh kaum muslimin dari musuh
Ghanimah fai'
mereka ketika dalam peperangan; harta rampasan perang.
Ghul hantu (genderuwo), salah satu jenis jin. jin

Huruf H
Ejaan Dalam
Istilah Arti/Pengertian Lihat Juga
Bahasa Indonesia
Habib Kekasih. khalil
Tuntunan dan tradisi yang diajarkan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam melalui sabda, sikap,
perbuatan dan persetujuan beliau; sesuatu yang
Hadits rasullullah
dinisbatkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
baik berupa perkataan, perbuatan, sikap atau
persetujuan.
Hamah Burung hantu.
Satu tingkatan (derajat) hadits dibawah shahih. Sebuah
hadits digolongkan ke dalam tingkatan (derajat) hasan
dhaif, hadits,
apabila daya hafal atau kecermatan dan ketelitian orang
munkar,
Hasan yang meriwayatkannya (perawi) masih kurang. Akan
perawi,
tetapi apabila terdapat banyak atau ada berbagai jalan
shahih
dalam meriwayatkan hadits tersebut maka hadits
tersebut meningkat menjadi shahih.
Huruf I
Ejaan Dalam
Istilah Arti/Pengertian Lihat Juga
Bahasa Indonesia
Penghambaan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla dengan
mentaati segala perintahNya dan menjauhi segala
laranganNya, sebagaimana yang telah diajarkan oleh
Ibadah rasulullah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, disertai
dengan penuh rasa kerendahan hati dan penuh rasa
cinta.
Ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan,
diiringi dengan ketulusan niat karena Allah dan sunnah,
Iman
dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah rasulullah
RasulNya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Silsilah orang-orang yang meriwayatkan hadits dari
Isnad hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
tayammum,
Bersuci atau membersihkan diri setelah buang hajat
Istinja' thaharah,
kecil atau besar.
wudhu
Meramal alamat baik atau nasib dengan menerbangkan
burung, apabila terbang ke arah kanan berarti ada
alamat baik. Iyafah berbeda dengan thiyarah, karena
Iyafah thiyarah
thiyarah adalah meramal nasib buruk, atau merasa
bernasib sial dengan melihat burung, hewan lainnya
atau apa saja.

Huruf J
Ejaan Dalam Lihat
Istilah Arti/Pengertian
Bahasa Indonesia Juga
Kebodohan, sebutan untuk suatu zaman yang ciri
utamanya ialah mengagungkan selain Allah dengan
disembah, dipuja, dipatuhi dan ditaati; ciri lainnya dari
Jahiliyyah,
zaman ini adalah kebobrokan mental dan kerusakan
jahiliah
akhlak, seperti zaman sebelum agama Islam muncul
dengan dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Kata ja'iz memiliki arti yang sama dengan kata mubah
Ja'iz yaitu artinya adalah boleh, tidak dilarang dan tidak mubah
dianjurkan.
sanad,
Jayyid Satu tingkatan sanad di atas hasan.
hasan
Jibt Sihir; sebutan yang biasa digunakan untuk sihir, tukang 'adh-h,
'adhih,
sihir, tukang ramal, dukun, berhala dan sejenisnya.
thaghut
Semacam pajak yang dipungut dari orang-orang kafir yang
mampu dan telah dewasa, sebagai ganti dari zakat yang kafir, kafir
Jizyah dipungut dari orang-orang Islam, atas segala perlindungan, dzimmi,
keamanan dan ketentraman yang diberikan oleh kaum zakat
Muslimin kepada orang-orang kafir ini.

uruf K
Ejaan Dalam Lihat
Istilah Arti/Pengertian
Bahasa Indonesia Juga
Kekasih mulia, tingkatannya lebih tinggi daripada habib
Khalil (al-Khalil) habib
(kekasih).
Pakaian yang berbulu atau berbeludru; pakaian terbuat dari
Khamilah khamisah
wol.
Pakaian yang terbuat dari wol atau sutera dengan sulaman
Khamisah khamilah
yang indah lagi menarik.
Dibaca kun-yah, nama panggilan untuk kehormatan,
Kunyah seperti Abu al-'Abbas, Abu Abdillah, Abu Ahmad, dll.
Biasanya diambil dari nama anak yang pertama.

Huruf M
Ejaan Dalam
Istilah Arti/Pengertian Lihat Juga
Bahasa Indonesia
Sesuatu yang apabila dikerjakan kurang baik, tetapi haram, ja'iz,
Makruh
apabila ditinggalkan akan mendapatkan pahala. mubah, sunnah
Hadits yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, sesuatu yang dinisbatkan kepada hadits, mauquf,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baik itu nisbat,
Marfu'
berupa ucapan, perbuatan, sikap atau persetujuan, rasulullah,
meskipun yang menisbatkan itu seorang sahabat atau sahabat, tabi'in
tabi'in.
Sesuatu yang dinisbatkan kepada seorang sahabat,
hadits, marfu',
baik itu berupa ucapan, perbuatan atau persetujuan;
nisbat,
Mauquf perkataan yang diucapkan seorang sahabat atau
rasulullah,
perbuatan yang dilakukannya atau persetujuannya
sahabat, tabi'in
terhadap apa yang dilakukan seorang tabi'in.
Orang yang memberikan fatwa atau petunjuk atas
Mufti fatwa
suatu masalah.
Huruf N
Ejaan Dalam
Istilah Arti/Pengertian Lihat Juga
Bahasa Indonesia
Nadzar, nazar kaul
bintang; arti asalnya; tenggelam atau terbitnya suatu
Nau'
bintang.<
Tindakan untuk menyembuhkan atau mengobati
adh-h, adhih,
Nusyrah seseorang yang terkena sihir dengan mantera atau
ruqyah
jampi.

Huruf Q
Ejaan Dalam Lihat
Istilah Arti/Pengertian
Bahasa Indonesia Juga
Qadha' = qadar. Ketetapan Ilahi, artinya bahwa segala
Qadha' sesuatu yang terjadi di alam semesta ini diketahui, dicatat,
dikehendaki dan diciptakan oleh Allah 'Azza wa Jalla.
Qadar Lihat qadha. qadha
membaca do'a dalam shalat, dilakukan sebelum ruku' atau
Qunut sesudah ruku' pada rakaat terakhir, terutama pada waktu
nazilah (dalam keadaan ada bahaya).

Huruf R
Ejaan Dalam
Istilah Arti/Pengertian Lihat Juga
Bahasa Indonesia
'alaihis salam,
radiallahu 'anhu,
‫رضي هللا‬ Semoga Allah senantiasa melimpahkan radiallahu 'anhum,
Radiallahu 'anha
‫عنه‬ keridhaan kepadanya (seorang perempuan). rahimahullah,
shallallahu 'alaihi wa
sallam
'alaihis salam,
radiallahu 'anha,
‫رضي هللا‬ Semoga Allah senantiasa melimpahkan radiallahu 'anhum,
Radiallahu 'anhu
‫عنه‬ keridhaan kepadanya (seorang laki-laki). rahimahullah,
shallallahu 'alaihi wa
sallam
‫ رضي هللا‬Radiallahu 'anhum Semoga Allah senantiasa melimpahkan 'alaihis salam,
‫عنهم‬ keridhaan kepada mereka (dua orang atau radiallahu 'anha,
lebih). radiallahu 'anhu,
rahimahullah,
shallallahu 'alaihi wa
sallam
'alaihis salam,
radiallahu 'anha,
radiallahu 'anhu,
Rahimahullah [belum ada data yang shahih]
radiallahu 'anhum,
shallallahu 'alaihi wa
sallam
Risywah sogokan, uang semir atau pelicin.
Melakukan suatu amal dengan cara tertentu
supaya diperhatikan dan dipuji orang lain;
contohnya; seseorang melakukan shalat, lalu
Riya' sum'ah
memperindah shalatnya tatkala dia
mengetahui ada orang lain yang
memperhatikannya.
Usaha penyembuhan suatu penyakit dengan
Ruqyah pembacaan ayat-ayat al-Qur'an, do'a-do'a
atau mantera-mantera.

Huruf S
Ejaan Dalam
Istilah Arti/Pengertian Lihat Juga
Bahasa Indonesia
Sakratul maut, Rasa pedih dan sakit yang dirasakan
sakaratul maut seseorang ketika dicabut nyawanya; sekarat.
Sanad Lihat isnad. isnad
Bulan kedua dalam tahun Hijriyah, sesudah
bulan Muharram dan sebelum bulan Rabiul hijriyah, jumadil awal,
Awwal. Urutan-urutan bulan dalam tahun jumadil tsani,
Hijriyah adalah sebagai berikut; (1) muharram, rabiul
Shafar, shofar,
‫صفر‬ Muharram, (2) Shafar, (3) Rabiul Awwal, awwal, rabiul tsani,
safar, sofar
(4) Rabiul Tsani, (5) Jumadil Awal, (6) rajab, ramadhan,
Jumadil Tsani, (7) Rajab, (8) Sya'ban, (9) sya'ban, syawwal,
Ramadhan, (10) Syawwal, (11) Zulqaidah zulqaidah, zulhijjah
dan (12) Zulhijjah.
Hadits yang diriwayatkan secara
berkesinambungan (tidak terputus) oleh
orang-orang yang terpercaya (perilaku, daya
Shahih, sahih,
hafal dan kecermatannya) mulai dari awal hadits, sanad
shohih, shoheh
sanad sampai yang terakhir, bebas dari suatu
keganjilan atau penyakit atau sebab yang
menjadikan hadits tersebut lemah.
Shalawat, sholawat [belum ada data yang shahih]
Ejaan Dalam
Istilah Arti/Pengertian Lihat Juga
Bahasa Indonesia
Semoga Allah senantiasa melimpahkan
shalawat dan salam sejahtera kepada beliau.
‫ صلى هللا‬Shallallahu 'Alaihi Ini adalah sebuah shalawat yang diucapkan
shalawat
‫ عليه وسلم‬wa Sallam apabila seorang Muslim mendengar nama
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam disebutkan.
Mahasuci dan Mahatinggi. Allah Subhanahu
‫ سبحانه و‬Subhanahu wa 'asmaul husna,
wa ta'ala berarti Allah yang Mahasuci dan
‫تعالى‬ Ta'ala subhanallah
Mahatinggi.
'asmaul husna,
‫ سبحان هللا‬Subhanallah Mahasuci Allah.
subhanahu wa ta'ala
Bulan kedelapan dalam tahun Hijriyah,
sesudah bulan Rajab dan sebelum bulan
Ramadhan. Pada pertengahan bulan ini
terdapat nishfu sya'ban yaitu pada hari hijriyah, nishfu
kelima belas dalam bulan Sya'ban, dimana sya'ban, jumadil awal,
pada hari itu kaum muslimin dari kalangan jumadil tsani,
ahli bid'ah melaksanakan shalat nisfhu muharram, rabiul
‫ شعبان‬Sya'ban
sya'ban. Urutan-urutan bulan dalam tahun awwal, rabiul tsani,
Hijriyah adalah sebagai berikut; (1) rajab, ramadhan,
Muharram, (2) Shafar, (3) Rabiul Awwal, shafar, syawwal,
(4) Rabiul Tsani, (5) Jumadil Awal, (6) zulqaidah, zulhijjah
Jumadil Tsani, (7) Rajab, (8) Sya'ban, (9)
Ramadhan, (10) Syawwal, (11) Zulqaidah
dan (12) Zulhijjah.
Syafa'at Perantaraan, yaitu perantaraan yang akan
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala, dan hal itu dengan seizinNya,
untuk meringankan beban umat manusia
ketika di padang Mahsyar (pada hari
Kiamat) dan inilah yang disebut syafaa'at
kubra (terbesar) atau disebut juga al-Maqam
al-Mahmud, untuk memasukkan Surga bagi
mereka yang berhak mendapatkan Surga;
untuk tidak memasukkan ke Neraka bagi
ahli tauhid dari umatnya yang berdosa yang
semestinya masuk Neraka; untuk
mengeluarkan dari neraka orang-orang ahli
tauhid yang berdosa yang sudah masuk
Neraka; untuk menambahkan pahala dan
meningkatkan derajat bagi orang-orang
penghuni Surga; dan perantaraan kepada
Allah untuk meringankan siksa bagi
Ejaan Dalam
Istilah Arti/Pengertian Lihat Juga
Bahasa Indonesia
sebagian orang kafir dan ini khusus untuk
paman Beliau, Abu Thalib.
Persaksian dengan hati dan lisan "Tiada
sesembahan yang haq selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah," dengan
Syahadat
mengerti maknanya dan mengamalkan apa
yang menjadi tuntutannya, baik zhahir
maupun bathin.
Bulan kesepuluh dalam tahun Hijriyah,
sesudah bulan Ramadhan dan sebelum bulan
Zulqaidah. Pada bulan ini terdapat hari raya hijriyah, 'iedul fithri,
'Iedul Fithri yaitu pada hari pertama dalam jumadil awal, jumadil
bulan Syawwal. Urutan-urutan bulan dalam tsani, muharram, rabiul
‫شوال‬ Syawwal, syawal tahun Hijriyah adalah sebagai berikut; (1) awwal, rabiul tsani,
Muharram, (2) Shafar, (3) Rabiul Awwal, rajab, ramadhan,
(4) Rabiul Tsani, (5) Jumadil Awal, (6) shafar, sya'ban,
Jumadil Tsani, (7) Rajab, (8) Sya'ban, (9) zulqaidah, zulhijjah
Ramadhan, (10) Syawwal, (11) Zulqaidah
dan (12) Zulhijjah.

Huruf T
Ejaan Dalam
Istilah Arti/Pengertian Lihat Juga
Bahasa Indonesia
Subhanahu
‫تعالى‬ Ta'ala Mahatinggi.
wa Ta'ala
Meminta perlindungan kepada Allah dengan
Ta'awwudz mengucapkan "A'udzubillah min ..." (aku berlindung
kepada Allah dari ...).
Memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan
Tahmid mengucapkan "Alhamdulillah" (segala puji hanya milik takbir
Allah).
Menyelewengkan suatu nash dari al-Qur'an atau Hadits
dengan mengubah lafazhnya atau membelokkan
Tahrif maknanya dari makna yang sebenarnya (memberikan ta'thil, ta'wil
tafsiran yang menyimpang dari makna sebenarnya yang
dikandung oleh nash tersebut).
Mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan Allahu
Takbir
mengatakan "Allahu Akbar" (Allah Mahabesar). akbar
Mempertanyakan bagaimana sifat Allah itu; atau
tamtsil,
Takyif menentukan bahwa hakikat sifat Allah itu begini atau
ta'thil
begitu.
Sesuatu yang dikalungkan pada leher anak-anak sebagai
penangkal atau pengusir penyakit, pengaruh jahat yang
Tamimah wada'ah
disebabkan rasa dengki seseorang, dsb. Dan termasuk
dalam hal ini apa yang dinamakan haikal.
Tamtsil Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhlukNya. takyif, ta'thil
Berfirasat buruk, merasa bernasib sial; atau meramal
Tathayyur nasib buruk karena melihat burung, binatang lain atau iyafah
apa saja.
Mengingkari seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah.
Sedang perbedaannya dengan tahrif, bahwa ta'thil tidak
Ta'thil tahrif, ta'wil
mengakui makna sebenarnya yang dikandung oleh suatu
nash dari al-Qur'an atau Hadits.
Ta'wil memiliki tiga pengertian; (1) Hakikat atau
kenyataan yang sebenarnya dari sesuatu perkataan atau
berita. Seperti kata-kata ta'wil yang terdapat dalam al-
Qur'an surat al-A'raf : 3, az-Zumar : 10, an-Najm : 7 dan
sebagainya. (2) Tafsiran seperti kata-kata para ahli tafsir:
Ta'wil tahrif, ta'thil
"Ta'wil dari firman Allah...", artinya "tafsiran dari firman
Allah...". (3) Penyimpangan suatu kata dari makna yang
sebenarnya ke makna yang lain. Dan inilah yang
dimaksud dengan ta'wil yang disebutkan dalam
pembahasan teologis.
Guna-guna, sesuatu yang dibuat supaya seorang suami
Tiwalah
mencintai istrinya atau sebaliknya.
Setiap yang diagungkan selain Allah dengan disembah,
ditatati atau dipatuhi, baik yang diagungkan itu batu,
manusia atau setan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata;
"Thaghut adalah sesuatu yang membuat seorang hamba
melampaui batas terhadapnya, baik berupa sesembahan,
sesuatu yang diikuti ataupun ditaati." Thaghut itu sangat
‫ طاغوت‬Thaghut, thoghut
banyak jumlahnya. Gembong thaghut itu ada lima; (1)
Iblis la'anahullah, (2) yang disembah selain Allah dan ia
ridha dengan penyembahan tersebut, (3) sesuatu yang
disembah oleh manusia, (4) orang yang mengaku
mengetahui perkara yang ghaib, dan (5) orang yang
berhukum dengan hukum selain hukum Allah.
Meramal atau membuat garis di atas tanah. Caranya
antara lain, seperti dilakukanj orang-orang Jahiliyah,
yaitu dengan membuat garis-garis yang banyak secara
Tharq acak (sembarangan), kemudian dihapus dua-dua, apabila
yang tersisa dua garis maka itu tandanya akan sukses
atau bernasib baik, akan tetapi apabila tinggal satu garis
saja maka itu tandanya akan gagal atau bernasib sial.

Huruf U
Ejaan Dalam Lihat
Istilah Arti/Pengertian
Bahasa Indonesia Juga
Sebutan untuk ilmuwan dalam arti khusus, yaitu untuk
‫العلمؤ‬ Ulama' umara'
orang yang ahli dalam bidang agama.
Umara' Pemimpin, penguasa. ulama

Huruf W
Ejaan Dalam Lihat
Istilah Arti/Pengertian
Bahasa Indonesia Juga
Sesuatu yang diambil dari laut, menyerupai rumah kerang.
Wada'ah Menurut anggapan orang-orang Jahiliyyah bisa digunakan tamimah
sebagai penangkal penyakit.
KAMUS KECIL ISTILAH-ISTILAH ILMU HADITS
Adil (dalam periwayatan):
Orang yang selalu melaksanakan segala perintah agama, dan menjauhi segala larangan dalam
agama. Dan salah satu syarat hadis shahih ialah rowinya adil.
Ala SyartilBukhari:
Hadis yang dianggap sah karena memenuhi syarat-syarat Imam Bukhari, maksudnya rowi-rowi
pada hadis itu rowi-rowi yang dipakai oleh Imam Bukhari.
Ala SyartisSyaikhin:
Hadis yang dianggap sah karena memenuhi syarat-syarat dua syekh, yaitu Imam Bukhari dan
Imam Muslim. Maksudnya rowi-rowi pada hadis itu rowi-rowi yang dipakai oleh Imam Bukhari
dan Imam Muslim.
Ahwali:
Hadis yang menceritakan hal ihwal Rasulullah, misalkan keadaan fisik, sifat, dan karakter
Rasulullah Saw.
Atsar:
Sebagian ulama mengatakan bahwa atsar adalah hadis yang disandarkan kepada Sahabat
Rasulullah Saw.
Aushatut Tabi’in:
Tabi’in pertengahan, yaitu Tabi’in yang tidak terlalu banyak menerima hadits dari Sahabat.
Seperti: Kuraib dan Muhamad bin Ibrahim At-Taimi.
Aziz:
Hadis yang diriwayatkan melalui dua jalan sanad
Ahad:
Hadis yang jalan sanadnya kurang dari derajat Mutawatir, hadis ahad ada yang shahih, hasan,
dan dhaif. Yang termasuk ke dalam hadis ahad ialah hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis ghorib.
Bayan:
Menjelasakan, artinya hadis berfungsi untuk menjelaskan kandungan isi Al-Qur’an.
Bayan At-Taqrir:
Hadis berfungsi sebagai bayan at-taqrir, artinya hadis berfungsi untuk menetapkan dan
memperkuat apa yang diterangkan didalam Al-Qur’an.
Bayan At-Tafsir:
Hadis berfungsi sebagai bayan at-tafsir, artinya memberikan tafsiran terhadap ayat Al-Qur’an.
Dhabit:
Dia seorang perowi yang dhabit, artinya dia seorang periwayat hadis yang kuat hapalannya.
Dhaif:
Hadis yang lemah
Dirayatan:
Ilmu untuk menetapkan sah atau tidaknya suatu riwayat.
Fi’liyyah:
Hadis yang menerangkan keadaan/perbuatan Rasulullah Saw.
Gharib:
Hadis yang diriwayatkan hanya melalui satu jalan sanad
Hadist:
Sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan
taqrirnya.
Hasan:
Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sanadnya bersambung, tidak janggal, tidak
terrdapat illat (cacat), akan tetapi terdapat perowinya yang kurang kuat hapalannya.
Hammi:
Hadis yang menerangkan keinginan kuat Rasulullah Saw. akan tetapi tidak sempat terealisasi.
Ikhtisarul Hadis:
Meringkas hadis, misalkan dari hadis yang panjang diambil bagian yang dianggap perlu saja.
I’lam:
Memberi tahukan, yaitu seorang syekh memberi tahu kepada seorang rowi dengan tanpa disertai
ijin untuk meriwayatkan darinya.
Ijazah:
Mengijinkan, yaitu seorang guru mengijinkan muridnya untuk meriwayatkan hadis atau riwayat,
dengan cara memberi ijin dengan ucapan maupun tulisan.
Ikhtilat:
Kerusakan pada hapalan seorang rowi
Isnad:
Menyandarkan, misal Imam Muslim berkata, Abdun bin Humaid menceritakan kepadanya. Hal
seperti ini disebut Isnad, artinya Imam Muslim menyandarkan kepada Abdun bin Humaid.
Ittisal:
Persambungan sanad, dari awal sanad sampai akhir sanad.
Jarh:
Kecacatan pada perawi hadis karena sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitannya.
Khabar:
Khabar secara bahasa artinya berita, dan pengertiannya secara istilah para ulama berbeda
pendapat. Ada yang mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang dari Nabi, sahabat,
dan tabi’in. Ada pula yang mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari
Nabi Saw.
Kibarut Tabi’in:
Tabi’in besar, yaitu tabi’in yang banyak meriwayatkan hadist dari sahabat, seperti: Basyir bin
Nasikh As-Sadusi, Abul Aswad Ad-Dili, Rib,I bin Hirasy, Zaid bin Wahb Abu Sulaiman Al-
Kufi, Humaid bin Hilal Al-‘adwi, Said bin Al-Musaiyyab.
Ma’ruf:
Hadis yang diriwayatkan oleh rowi yang lemah serta menentang riwayat dari rowi yang lebih
lemah. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Ma’lul:
Hadis yang kelihatannya shah, akan tetapi setelah diperiksa terdapat cacat padanya. Hadis ini
tergolong hadis dhaif.
Majhul:
Hadis yang dalam sanadnya ada rowi yang tidak dikenal oleh ulama, dan hadisnya tidak
diketahui, melainkan dari jalan seorang rowi saja. Terdapat lima pandangan terhadap hadis ini.
Riwayatnya diterima dengan mutlak, tidak diterima riwayatnya dengan mutlak, riwayatnya
diterima apabila rowi yang meriwayatkannya meriwayatkan dari orang yang terpercaya, diterima
apabila rowinya dipuji oleh seorang ulama ahli Jarh dan Ta’dil, dan pandangan yang terakhir
diterima apabila rowi itu masyhur, dan kemasyhurannya selain masyhur dalam ilmu dan riwayat.
Maqlub:
Hadis yang pada sanad atau matannya ada pertukaran, terbalik. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Maqbul:
Hadis yang dapat diterima kehujjahannya, karena telah memenuhi syarat-syarat hadis shahih.
Maqtu’:
Hadis yang disandarkan kepada Tabi’in. Hadis ini ada yang shahih, hasan, dan dhaif. Akan tetapi
meskipun shahih, hadis maqtu’ tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil, sebab hadis maqtu bukan
perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi, melainkan Tabi’in.
Marfu’:
Hadis Marfu’ terbagi kepada dua jenis, yaitu tashrihan (secara terang-terangan/ secara langsung
menunjukan kepada marfu’) dan hukman (tidak secara langsung menunjukan kepada marfu’).
Contoh: “Abu Hurairah telah berkata, Rasulullah Saw. telah bersabda…”, Contoh ini disebut
marfu’ tashrihan, karena dalam contoh ini secara terang-terangan disebutkan “telah bersabda
Rasulullah”. Dan yang termasuk marfu’ hukman, misalkan: “Dari Umar, ia telah berkata: “Doa
itu terhenti antara langit dan bumi…”. Contoh ini disebut marfu, meskipun disitu tidak
dicantumkan nama Nabi. Sebab hal-hal tentang doa adalah sesuatu yang ghaib, hanya Allah yang
mengetahuinya, dan para Nabi melalui wahyu. Jadi secara tidak langsung Umar telah
mengatakan pengetahuannya dari Nabi. Hadis marfu ada yang shahih, hasan dan dhaif.
Mardud:
Hadis yang ditolak karena tidak memenuhi syarat-syarat hadis maqbul.
Masruq:
Masruq artinya yang dicuri, dan secara istilah para ahli hadis ialah suatu hadis yang ditukar
rawinya dengan rawi yang lain, supaya menjadi ganjil dan supaya diterima dan disukai hadisnya
oleh ahli hadis. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Masyhur:
Hadis yang jalan sanadnya cukup banyak, akan tetapi tidak memenuhi syarat mutawatir.
Matan:
Isi hadis, lafal-lafal hadis.
Matruk:
Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh berdusta, banyak kekeliruan, lalai, fasik.
Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Maudlu:
Hadits maudlu ialah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw., padahal Rasulullah Saw.
tidak pernah berkata atau berbuat demikian. Dalam kata lain hadis maudlu disebut juga hadis
palsu. Hadis ini tidak bisa dijadikan dalil.
Mauquf:
Hadis yang disandarkan kepada sahabat Rasulullah Saw. Hadis ini ada yang shahih, hasan, dan
dhaif, akan tetapi meskipun shahih, hadis ini tidak bisa dijadikan dalil.
Mubbayyin:
Yang memberikan penjelasan, dalam arti hadis sebagai mubbayyin terhadap Al-Qur’an.
Mubham:
Hadis yang pada matan atau sanadnya ada orang yang tidak disebut namanya. Hadis ini
tergolong hadis dhaif, akan tetapi seorang ulama mengatakan, bagi kitab bukhari sudah tidak bisa
dikatakan mubaham lagi pada hadis-hadis mubhamnya, sebab nama-nama itu sudah dijelaskan/
disebutkan oleh Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalaniy dalam kitab Fathul-Baari. Melainkan
hanya beberapa rowi mubham dalam matan saja.
Muharraf:
Hadis yang pada sanad atau matannya terjadi perubahan karena harakat, dengan tetap adanya
bentuk tulisan yang asal. Misalkan pada matan, “abiy” (bapakku), padahal yang sepenarnya,
“ubay” (nama salah seorang sahabat Rasulullah Saw. Hadis ini tergolong hadis dhaif. Diantara
ulama ada yang menganggap hadis Muharraf sama saja dengan hadis Mushahhaf. (Lihat
Mushahhaf dibawah pada jajaran Mus).
Muhmal:
Hadis yang pada sanadnya terdapat nama, gelar, sifat rowi yang memiliki kesamaan dengan rowi
yang lain, dan tidak ada perbedaan (dalam aspek peninjauan ilmu hadis). Misal dalam sebuah
hadis terdapat rowi yang bernama Ismail bin Muslim. Selain rowi itu, ada juga rowi lain yang
bernama Ismail bin Muslim. Sehingga tidak bisa ditentukan pada hadis itu yang meriwayatkan
Ismail bin Muslim yang mana. Maka dari itu hadis ini dinamakan hadis Muhmal, artinya
ditinggalkan dan dikategorikan hadis dhaif.
Mukhtalit:
Rowi yang mengalami kerusakan pada hapalannya dengan beberapa sebab, yakni berkurangnya
usia (bertambah tua), mengalami kebutaan, hilang kitab-kitabnya, hadis yang diriwayatkan rowi
tersebut dikategorikan dhaif, karena riwayat yang dia riwayatkan disertai keragu-raguan.
Mukhadramun:
Orang yang hidup separuh dijaman jahiliyah dan separuh di jaman Rasulullah Saw. serta masuk
Islam, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan Rasulullah Saw.
Mu’dlal:
Hadis yang ditengah sanadnya gugur dua orang rowi atau lebih. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Mu’annan:
Hadis yang pada sanadnya ada lafadz “anna” atau “inna”, misalkan “anna aisyata”
(sesungguhnya aishah). Lafadz seperti ini menunjukan bahwa dia tidak pernah bertemu dengan
Aisyah. Jika didalam bahasa Indonesia, biasanya dengan kata “bahwa”, misalkan si A berkata,
“Imam Ar-raghib menjelaskan bahwa asal arti dari kata fatana ialah….”. Kalimat seperti itu
menunjukan bahwa si A tidak pernah bertemu dengan Imam Ar-Raghib. Hadis ini tergolong
hadis dhaif, akan tetapi apabila rowi-rowinya ternyata orang-orang jujur, bukan mudallis, dan
ada keterangan yang menerangkan bahwa rowinya bertemu dengan orang yang disandarinya
dalam menerima hadis itu maka bisa hilang kelemahannya.
Mu’an’an:
Hadis yang pada sanadnya ada lafadz “an”. Keterangannya sama seperti hadis muannan, yaitu
tergolong hadis dhaif, kecuali ada syarat-sayarat yang terpenuhi sehingga hilang kelemahannya.
Mu’allaq:
Hadis yang tergantung. Hadis yang dari permulaan sanadnya gugur seorang rowi atau lebih
dengan berturut-turut. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Muddalas:
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rowi dari seseorang, yang mana rowi itu bertemu dan
sejaman dengannya. Akan tetapi sebenarnya dia tidak mendengar dari orang tersebut, dan ragu-
ragu, seolah-olah rowi itu merasa mendengar dari orang tersebut. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Muddalis:
Pelaku hadis Muddalas.
Mudawwin:
Sebutan bagi orang yang membukukan hadis, seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Mudraj:
Hadis yang sanad atau matannya bercampur dengan yang bukan dari bagiannya. Hadis ini
tergolong hadis dhaif.
Mudraj Matan:
Hadis yang tercampuri perkataan rowi, baik di awal matan, pertengahan matan, dan akhir matan.
Sehingga seolah-olah semuanya adalah sabda Nabi Saw. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Mudraj Isnad:
Hadis yang tercampuri pada sanad, misalkan ada dua hadis yang sama matannya akan tetapi
berbeda sanadnya. Lalu ada rowi yang meriwayatkan hadis tersebut dengan menyatukan dua
sanad yang berbeda tersebut. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Mudltharib:
Hadis yang sanad atau matannya, atau sanad dan matannya diperselisihkan, dan tidak bisa
diputuskan mana yang kuat. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Munkar:
Hadis yang diriwayatkan oleh rowi yang lemah dan bertentangan dengan riwayat yang lebih
ringan lemahnya, hadisnya tunggal, matannya tidak diketahui selain dari orang yang
meriwayatkannya, dan rowinya jauh daripada kuatnya hapalan. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Munqalib:
Sebenarnya munqalib sama seperti maqlub, akan tetapi hadis munqalib terjadi keterbalikannya
pada matan (isi hadis), jadi munqalib adalah hadis yang terbalik pada isinya sehingga berubah
maknanya. Hadis ini tergolong kepada hadis dhaif.
Munqhati:
Hadis yang di pertengahan sanadnya gugur seorang rowi atau lebih, tetapi tidak berturut-
turut.Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Mursal:
Hadis yang gugur sanadnya sebelum sahabat. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Mursal Al-Jali:
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rowi, yang mana dia meriwayatkan dari seseorang,
padahal rowi tersebut tidak sejaman dan tidak pernah bertemu dengan orang tersebut. Hadis ini
tergolong hadis dhaif.
Mursal Al-Khafi:
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rowi dari seseorang, dia sejaman dan bertemu dengan
orang tersebut, akan tetapi padahal dia tidak menerima hadis itu atau tidak pernah menerima
satupun hadis darinya. Atau Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rowi dari seseorang, dia
sejaman dengan orang tersebut, akan tetapi dia tidak pernah bertemu. Hadis ini tergolong hadis
dhaif.
Mushahhaf:
Hadis yang pada huruf sanad atau matannya terjadi perubahan karena titik dengan tetap adanya
bentuk tulisan yang asal. Misalkan pada matan, “Iddahinuw ghibbaan”, menjadi “idzhabuw
a’nnaa”. Pada contoh ini perubahan terjadi pada, dal yang ditambah titik menjadi dza, nun yang
berpindah titik menjadi ba, gha yang hilang titiknya menjadi ain, dan ba yang berpindah titik
menjadi nun. Hadis ini tergolong hadis dhaif.
Musnad:
Sebutan untuk kumpulan hadis dengan menyebutkan sanadnya. Sebutan untuk sebuah kitab yang
menghimpun hadis-hadis dengan cara penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat.
Mutafaqun Alaihi:
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Mutashil:
Orang yang tashahul (lihat tashahul dibawah)
Musnid:
Yang menyandarkan atau sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadis dengan menyebutkan
sanadnya.
Mutabi’:
Hadis yang sanadnya menguatkan sanad yang lain dalam hadis yang sama. Mutabi’ terbagi
kepada dua, yaitu:
Mutabi’ Tam:
Mutabi’ yang sempurna, yaitu apabila sanad itu menguatkan rowi yang pertama. Misal Imam
Bukhari meriwayatkan hadis dari A, A dari B, B dari C, C dari Nabi Saw. Lalu kita temukan
Imam Muslim meriwayatkan hadis yang serupa dengan jalan sanad yang sama, maka Imam
Muslim disebut Mutabi’ Tam, karena telah menguatkan rowi yang pertama yaitu Imam Bukhari.
Mutabi’ Qashir:
Mutabi’ yang kurang sempurna. Kembali pada contoh diatas, ternyata kita tidak menemukan
rowi lain yang menggantikan Imam Bukhari, melainkan yang kita temukan pengganti A,
misalkan M. Maka M disebut Mutabi’ qashir. Jadi hadis itu sanadnya selain yang diatas, ada juga
yang begini Imam Bukhari dari M, M dari B, B dari C, C dari Nabi Saw. Hadis Mutabi’ ada yang
shahih, hasan, dan dhaif.
Mutawatir:
Hadis yang diriwayatkan dengan banyak sanad, yang mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
Mutawatir Lafdzi:
Hadis yang mutawatir secara lafadz.
Mutawatir Ma’nawi:
Hadis yang berbeda akan tetapi makna dan tujuannya sama.
Riwayatan:
Ilmu untuk membicarakan riawayat yang sudah ditetapkan melalui Ilmu Dirayatan.
Sahabat:
Orang yang hidup sejaman dan bertemu dengan Rasulullah Saw, mengimani dan membenarkan
risalah Nabi (Islam).
Sanad:
Sandaran.
Shahih:
Hadits yang sah (tidak memiliki cacat) bisa diterima dan bisa dijadikan dalil. Karena
diriwayatkan oleh orang yang adil (taqwa), hapalannya baik, sanadnya bersambung, tidak
bercacat, dan tidak janggal.
Shahih lidzatihi:
Shahih karena dzatnya, bukan karena dibantu oleh riwayat lain yang serupa dengannya
Shahih lighoirihi:
Shahih karena dikuatkan oleh riwayat lain yang serupa dengannya.
Shigharut Tabi’in:
Tabi’in kecil, yaitu Tabi’in yang sedikit sekali meriwayatkan hadits dari sahabat. Seperti: Ma’ruf
bin Khurrabudz Al-Maki dan Al-Ja’d bin Abdurrahman.
Sima’:
Penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri perkataan gurunya.
Syadz:
Hadis yang isinya bertentangan dengan hadis atau dalil lain yang lebih kuat.
Ta’dil:
Kebalikan dari Jarh, artinya Ta’dil ialah upaya untuk menetapkan bahwa seorang rowi termasuk
bisa diterima hadisnya. Ada beberapa syarat seorang rowi bisa diterima hadisnya, yaitu: muslim,
baligh, berakal, adil, benar, bisa dipercaya, amanah, tidak suka maksiat, sadar, hafazh (dhabit),
tidak dungu, tidak pelupa, tidak berubah akalnya (ikhtilat), tidak sering salah, tidak sering
menyalahi orang lain dalam meriwayatkan, dikenal oleh ahli hadis, tidak menerima talqin, tidak
suka mempermudah, bukan ahli bid’ah yang menjadikan kekufuran. Untuk mengetahui apakah
syarat-syarat tersebut ada pada diri seorang rowi, diantaranya dengan ilmu ta’dil.
Tabi’in:
Orang yang hidup sejaman dan bertemu dengan Sahabat, serta beragama Islam.
Tabi’ut Tabi’in:
Pengikut tabi’in.
Tadlis:
Menyamarkan
Talqin:
Menerima hadis dengan cara diajarkan oleh seseorang untuk menyebutkan nama rowi-rowi yang
dia suka dalam sanadnya, padahal rowi itu tidak mendengar riwayat itu dari orang yang
disebutkan.
Tadwin:
Pembukuan atau penulisan hadis.
Taqrir:
Hadis yang berisi ketetapan atau tidak berkomentarnya Rasulullah Saw. terhadap apa yang
diperbuat oleh Sahabat.
Tashahul:
Mempermudah, maksudnya mempermudah suatu urusan. Dalam hadis, mempermudah suatu
riwayat. Orang yang selalu mempermudah suatu urusan sering kali keliru dan salah, maka dari
itu jika dalam suatu riwayat ada rowinya yang tasahul, maka riwayatnya di tolak/ lemah.
Tsiqoh:
Dia seorang rowi yang tsiqoh, artinya dia seorang rowi yang dapat dipercaya.

Kaidah-Kaidah dalam Ilmu Hadits


September 8, 2011 pukul 11:35 pm · Disimpan dalam Ilmu Hadits

KAIDAH-KAIDAH ILMU AL-HADITS (‘ULUMUL HADITS)


Pengantar Ilmu Hadits
1. Keharusan berpedoman kepada Al-Quran dan al-Hadits
2. Fungsi al-Hadits terhadap al-Quran
3. Sejarah singkat perkembangan hadits
4. Pembagian ilmu hadits
Ilmu Musthalah Hadits
1. Devinisi dan istilah-istilah dasar ilmu musthalah hadits
2. Klasifikasi ilmu musthalah hadits
3. Hadits-hadits ditinjau dari segi sanad
4. Hadits ahad
5. Hadits ditinjau dari segi periwayatan

I. PENGANTAR ILMU HADITS

1. KEHARUSAN BERPEDOMAN KEPADA AL-QURAN DAN AL-HADITS

        •


    
        
        
    •  •  
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang
berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu,
Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (Qs. Al Hasyr, 59 : 7)

     


Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Qs. Ali Imra, 3 : 132)

       


    
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu
kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang
berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih. |(Qs. An Nur, 24 : 63)

      •   


  
Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir”. (Qs. Ali Imran, 3 : 32)
        
         •
    •  
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka
sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (Qs. AL Ahzab, 33 : 36)
     
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Qs.
AL Anbiya, 21 : 107)

2. FUNGSI AL-QURAN TERHADAP AL-HADITS

ْ ‫ كاْ حديث ا‬.‫ما كان موافقا للكثاب موْ يد وموْ كدا ما جا ء فيه‬
‫المر با الصالة‬
Hadits sebagai penyesuaian terhadap Al-Quran dari segi penguat . seperti hadits perintah shalat

‫ كبيان كيفية الصالة‬.‫ما كان مبينا ومفسرا لما جا ء مجمال في القران الكريم‬

Hadits sebagai penjelas dan penafsir bagi Al-Quran yang masih global. Seperti penjelasan
tentang tata cara shalat

‫ كثحريم اكل الحمر االهلية‬.‫ فيما ليس فيه نص كثاب‬.‫ما سن رسول هللا ص‬
Hadits sebagai penentu hokum yang tidak eksplisit dalam Al-quran. Seperti pengharaman daging
keledai merah

DALIL-DALIL YANG MENUNJUKAN KEHUJJAHAN HADITS

a. Iman
.       
Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. (Qs. Al an’am, 6 : 124)

b. Al-Quranul karim
        
    •
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka. (Qs. An Nisa, 4 : 80)
       
    
    •
Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al
Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Albaqoroh, 2 : 129)
         
      
      
 
sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus
diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al
hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata. (Qs. Ali IMran, 3 : 164)
c. Hadits

)‫ كثا ب هللا وسنثي (رواه الحاكم‬: ‫ ثركث فبكم امرين لن ثضلوا ما ثمسكثم بهما‬: ‫عن ابي هريرة عن رسول هللا ص قال‬
Hadits diterima dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. Beliau bersabda : “ Telah aku tinggalkan
dua urusan yang apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya tidak akan tersesat selama-
lamanya; Al-Quran dan As Sunnah “. (HR. Abu Al HAkim)

)‫ اال انى اوثيث الكثاب ومثله معه (رواه ابو داود‬: ‫عن المقادم بن معد يكرب ض عن رسول هللا ص انه قال‬
Hadits diterima dari Muqodam bin Ma’di Yakrib ra. Dari Nabi saw. Beliau bersabda : “
Ketahuilah sesungguhnya aku telah diwahyukan Al-Quran dan yang semisalnya (As Sunnah)”.
( HR. Abu Daud)
‫ وعضوا‬,‫ ثمسكوا بها‬w‫ عليكم بسنثى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين‬: ‫عن العرباد بن سارية ض عن الرسول هللا ص انه قال‬
)‫عليها با النواجد (رواه ابو داود‬
Hadits diterima dari ‘Irbad bin Ssariyah ra. Dari NAbi saw. Beliau bersabda :” Wajib atas kalian
memegang sunnahku dan sunnah khulafa urrasyidin almahdiyin, dan gigit (peganglah sunnah
tersebut) walau dengan graham”. (HR. Abu Daud)

3. SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN HADITS

Mengingat pentingnya kedudukan serta fungsi hadits dalam amal seorang muslim, maka tak
kalah penting pula ilmu periwayatan dan penukilan khabar yang bersumber dari nabi saw. Ini
dimaksudkan lantaran keberadaan sabda nabi saw selalu mendapat ancaman dari para perombak
sunnah ataupun inkarussunnah (mengingkari eksistensi sunnah –hadits-). Hal ini berdasarkan
kepada ayat :
       
     • 
  
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. Al
Hujurat, 49 : 6)
Dan juga berdasarkan hadits nabi saw :

)‫نضر هللا امرأَسمع منا شيا ً فبلغه كما سمع منه فرب مبلغ اوعى من سامع (رواه الثرمدى‬
“Allah akan memberikan yang hijau-hijau (balasan surga) bagi siapa saja yang mendengar
sunnahku (Muhammad saw) kemudian dia menyampaikanya kembali sama seperti yang dia
dengar dariku. Sedikit orang yang menyampaikan lebih faham daripada orang yang
mendengaarkan (tapi tidak hadir)”. (HR. Al Tirmidzi)
Dua dalil diatas menjadi landasan tentang aturan didalam menerima khobar atau hadits, cara
menghafal dan menjaganya sehingga bisa tersampaikan kembali sama persis seprti yang
didengar.
Secara garis besar, sejarah ilmu hadits dibagi menjadi ; masa kemunculan, masa perkembangan,
masa kodifikasi, masa penyebaran dan masa kejumudan.
Dalam kaitan menerima dan menyampaikan hadits, didapti bahwa sahabat pernah melakukan
telusur sanad (orang yang menyampaikan hadits) untuk meyakinkan kebenaran apa yang
dibawanya itu. Secara eksplisit bahwa ilmu hadits telah lahir (terutama yang berkaitan dengan
ilmu sanad – urutan orang dalam menyampaikan hadits dan penilaian pribadi yang membawa
hadits-), namun hanya bersifat umum, sahabat melakukan hal demikian dalam rangka
mengindentifikasi antara hadits yang layak diterima atau ditolak. Dalam muqodimah kitab
shohih Muslim yang dinukil dari perkataan seorang tabi’in yang bernama ibnu sirin disebutkan :
para sahabat tidak menanyakan terkait isnad (urutan orang yang menyampaikan hadits) namun
setelah peristiwa fitnah (kasus tahkim dimasa kekholifahan Ali ra) maka mereka merasa penting
untuk menginvestigasi isnad dimaksud. Mereka hanya menerima hadits yang disampaikan oleh
ahli sunnah dan menolak hadits yang dibawa oleh ahli bid’ah atau syi’ah.
Sejak saat itulah mulai ditetapkan bahwa ketentuan hadits dapat diterima manakala telah
diketahui sanadnya. Dari sini pula muncul ketentuan ilmu jarah ta’dil (ilmu yang membahas
tentang metode penilaian rawi), sifat-sifat dan syarat-syarat rawi dalam menerima dan
menyampaikan hadits, aspek ketersambungan dan keterputusan sanad, dan pengkajian aspek
matan (redaksi) hadits. Kemudian ulama mengekspolasi terkait ilmu hadits -karena dianggap
perlu untuk menyelamatkan hadits- sehingga berkembanglah ilmu hadits dan lahir sfesifikasi
ilmu-ilmu hadits, seperti aspek hafalan rawi, kaifiyah menerima dan menyampaikan haditsdan
ilmu nasikh mansukh.
Tumbuh kembangnya ilmu-ilmu hadits seiring dengan bermunculannya ilmu-ilmu perangkat
keagamaan lain, seperti ilmu ushul, fiqih dan lain sebagainya. Peristiwa ini terjadi sekitar abad 4
hijrah. Ulama yang mula-mula membukukan ilmu mushthalah hadits secara sederhana yaitu Al
qodhi Abu Muhammad Al hasan bin Abdurrohman bin khilad Al Romahurmudzi (W. 360 H).
karyanya tersebut diberi nama Al Muhaddits Al Fashil Baina Al Rawi Wal Wa’i

4. PEMBAGIAN ILMU HADITS


Ilmu hadist dibagi menjadai dua bagian :
1. Ilmu Riwayah
Ilmu yang mangetahui perkataan, perbuatan takrir dansifat-sifat Nabi. Dengan kata lain ilmu
hadist riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi baik perkataan,
perbuatan, ataupun takrir.
2. Ilmu Dirayah
Ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-
cara menerima dan menyampaikan hadist dan sifat-sifat rawi. Oleh karena itu yang menjadi
objek pembahasan dari ilmu hadist dirayah adalah keadaan matan, sanad dan rawi hadist.

II. ILMU MUSTHOLAH HADITS


1. DEVINISI DAN ISTILAH-ISTILAH ILMU MUSTHOLAH HADITS
a. Ilmu mustholah hadits : yaitu ilmu yang paling mendasar serta kaidah-kaidah untuk
mengetahui hal ihwal sanad dan matan ditinjau dari segi diterima dan ditolaknya.
b. Pokok pembahasannya : yaitu sanad dan matan ditinjau dari segi diterima dan ditolaknya
c. Kegunaannya : untuk menjelaskan hadits yang kedudukannya shahih dan dha’if
d. Hadits :
• Menurut bahasa : yaitu baru
• Menurut istilah : apa-apa yang disandarkan kepada nabi saw berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan atau sifatnya
e. Khobar :
• Menurut bahasa : yaitu berita
• Menurut istilah : terdapat tiga makna; a) persamaan hadits, b) kebalikan dari hadits, c) lebih
umum daripada hadits
f. Atsar :
• Menurut bahasa : yaitu bekas atau jejak sesuatu
• Menurut istilah : terdapat dua makna; a) persamaan hadits, b) kebalikan dar hadits
g. Sanad :
• Menyandarkan sebuah berita kepada yang mengucapkannya langsung
• Silsilah rijal atau rowi yang menyampaikan redaksi hadits
h. Matan :
• Menurut bahasa : apa-apa yang menonjol atau meninggi dari permukaan tanah
• Menurut istilah : ucapan atau redaksi hadits yang disampaikan oleh para perowi berdasarkan
sanad
i. Muhaddits : yaitu orang yang sibuk dengan mengkaji ilmu hadits baik riwayat ataupun diroyat
j. Alhafidz ; yaitu orang yang hafal 100.000 Hdits lengkap dengan sanad dan matannya serta
ilmu haditsnya
k. Alhakim : yaitu orang yang hafal 300.000 Hdits lengkap dengan sanad dan matannya serta
ilmu haditsnya
l. Amirul mukminin fil hadits : yaitu orang yang paling tinggi derajatnya dalam dunia hadits dan
ilmu hadits, seperti imam al-Bukhori.

2. KLASIFIKASI ILMU MUSTHOLAH HADITS


1. Ilmu Riwayah ;
a. Adab dalam belajar hadits
b. Adab bagi para muhaddits
c. Metode mendengar (menerima), dan menjaga keaslian hadits
d. Sifat perowi hadits dan syarat-syarat menyampaikannya
e. Metode mencatat (kodifikasi) hadits dan menjaganya
2. Ilmu Diroyah ;
a. Ilmu Matan
 Matan hadits ditinjau dari segi yang berkatanya ; Hadits Qudsi, Hadits Marfu’, Hadits Mauquf
dan Hadits Maqtu’.
 Matan hadits ditinjau dari segi ilmunya ; Gharib Hadits, Sebab turunnya hadits, nasikh
mansukh, mukhtalif hadits, muhkam hadits
b. Ilmu Sanad
 Sanad ditinjau dari segi ketersambungan ; Hadits Musalsal, Hadits Muttashil, Hadits Musnad,
Hadits Mu’an‘an, Hadits Muannan, Hadits ‘Aliy, Hadits Nazil, Mazid Fi Muttashilil Asanid
 Sanad ditinjau dari segi keterputusan ; Hadits Munqothi’, HaditsMursal, HaditsMu’dhal,
Hadits Mu’allaq, Hadits Mursal Khofi, Hadits Mudallas
c. Ilmu yang berserikat antara sanad dan matan
 Kesendirian hadits ; Gharib, Afrod
 Keterbilangan hadits beserta sepakatnya atas keterbilangan tersebut ; hadits Mutawatir, Hadits
Masyhur, Hadits Mustafid, Hadits ‘Aziz, Hadits Tabi’, Hadits Syahid
 Pertentangan dalam periwayatan hadits ; Hadits Mu’allal, Ziyadatu Tsiqoh, Hadits Syadz dan
Mahfudz, Hadits Munkar dan Ma’ruf, Hadits Mudhthorib, hadits Maqlub, Hadits Mudroj, Hadits
Musohaf
d. Ilmu Rowi
 Ilmu yang berkaitan dengan hal ihwal rowi ; Sifat rowi yang diterima dan ditolak
periwayatannya, ilmu jarah (kritik) dan ta’dil (pambelaan) rawi, Ilmu tentang sahabat, ilmu yang
berkaitan dengan rowi yang tsiqoh (kuat) dan rowi yang dhoif (lemah), ilmu tentang rowi yang
diperkirakan kabur hafalannya di akhir hayatnya, ilmu wihdan, ilmu rowi-rowi yang mudallas
 Ilmu yang membahas tentang pribadi rowi ;
pertama, ilmu sejarah rowi ; sejarah para perawi, sejarah para tabi’in, riwayat sesama saudara/i,
riwayat rowi yang besar kepada rowi kecil, riwayat anak kepada bapaknya, thobaqoh rowi, para
atba’u (pengikut) tabi’in, riwayat mudabbaj dan aqron, riwayat lahiq dan sabiq, dan riwayat anak
dari bapak
Kedua ; Ilmu tentang nama-nama rowi ; Mubhamat, Mu’talif dan Mukhtalif, Muttafiq dan
Muftariq, Nama (saja) dan kunyah, Laqob-laqob, Keterbilangan nama rowi, Nama-nama dan
Kunyah, Nisbah selain kepada bapak, Nisbah kepada yang bukan dzahirnya, penyerupaan awal
dan akhir nama, Negara dan kampong rowi.
e. Ilmu hadits ditinjau dari segi diterima dan ditolak
 Macam-macam hadits yang diterima periwayatannya ; hadits Sohih, Hadits Hasan, hadits
Sohih Lighairihi, Hadits hasan Lighairihi
 Macam-macam hadits yang ditolak periwayatannya ;Hadits Shaif dan macam-macamnya,
Hadits Musohaf, Hadits matruk, Hadits matruh, hadits maudu’

UJIAN ITU AKAN SELALU ADA


Januari 30, 2009 pukul 2:07 am · Disimpan dalam Renungan

Oleh: Dede Komarudin Sholeh


Setiap detik yang kita lalui, itu adalah masa lalu. Betapa indahnya jika kita menggoreskan sejarah yang manis dalam
detik-detik itu. Sehingga detik-detik itu menjadi teladan bagi detik-detik selanjutnya. Karena kebaikanlah yang telah kita perbuat.
Tak ada dosa yang disengaja, tak ada iman dalam kepuraaan, dan tak ada amal yang sia-sia. Namun pada kenyataannya, kita
hanya bisa menjadi sejarawan yang mempelajari kisah-kisah teladan orang-orang terdahulu, tanpa menjadi pemeran.
Pada hari ini kita tak pernah tahu apa yang akan kita lalui esok hari, begitupun hari kemarin. Kita tak pernah tahu apa
yang akan terjadi pada hari ini. Akan tetapi, kita harus selalu tahu bahwa Allah Swt. selalu mengawasi setiap langkah-langkah
kita disetiap waktu yang kita jalani. Dia tak pernah tertidur sekejappun, Dia tak pernah malas untuk senantiasa menjadi
pengawas, dan Dia tak pernah lalai menjadi sutradara yang menilai aksi-aksi kita. Kita tak akan pernah bisa menghindar dari
sorotan kamera kekuasaan-Nya, dan kita tak akan bisa untuk mengundurkan diri sebagai pemeran skenario-skenario-Nya. Kita
terikat dengan-Nya selama-lama-Nya, karna Dia-lah yang menciptakan kita, Dia-lah yang menguasai kita, dan Dia-lah yang
mengatur segala kebutuhan kita.
Sebagai makhluk yang telah mengakui keberadaan dan mengimani ke-Tuhanan-Nya, maka hendaklah kita senantiasa
bersiap siaga dengan ilmu dan amal yang mendekatkan antara kita dengan-Nya. Karena, kata iman yang tertulis dalam hati kita,
bukanlah akhir segalanya. Keimanan kita akan senantiasa diuji oleh-Nya, Dia akan senantiasa menurunkan ujian dalam rupa
kenikmatan dan kesedihan. Ketika nikmat yang kita rasakan, disitu terdapat untaian soal ujian bagi kita. Bersyukurkah, atau
bahkan kufur akan nikmat dari-Nya. Pada kenyataannya, mengapa tak pernah tersirat satu senyuman saja yang dihiasi kata pujian
untuk-Nya ketika kebahagiaan menghiasi detik-detik kita. Ketika kepedihan menutupi senyuman kita, disitupun ada soal ujian
yang harus kita jawab dengan arif dan bijaksana. Bisakah kita untuk bersabar dalam menghadapinya, atau bahkan kelemahan
iman yang kita tunjukan.
Selama ini kita selalu berebut untuk menggapai satu rahmat yang Dia turunkan didunia ini, namun tak pernah terlintas
dalam benak kita, bagaimana agar kita bisa menggapai sembilan puluh sembilan rahmat-Nya di akhirat kelak. Beribu-ribu nikmat
yang telah kita rasakan, seolah begitu mudah hilang hanya dengan satu kesedihan saja. Seolah-olah kita tak pernah merasakan
nikmat-nikmat itu. Maka hendaklah kita senantiasa mengingat-Nya. Dengan mengingat-Nya, betapa kecil dunia ini dengan
berbagai permasalahannya, karna hanya Dia-lah yang Maha Besar. Dengan mengingat-Nya, betapa kecil masalah yang kita
hadapi di bandingkan nikmat-nikmat yang Dia berikan. Dan dengan mengingat-Nya hidup ini akan terasa tentram.
 Untuk menggapai suatu kebahagiaan didunia, mengapa selalu ada yang terluka. Ketika kita tersenyum, diluar sana
selalu ada yang menangis, ketika mata kita menatap kebahagiaan yang kita gapai, disebrang sana selalu ada mata yang berkaca
seri kecewa. Inilah soal ujian lain yang harus kita jawab. Tak ada jawaban yang paling tepat selain karena semua itu adalah
kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Namun kita sebagai hamba yang diberi hati dan akal oleh-Nya, maka hendaklah kita merasa
bahwa mereka adalah saudara kita, mereka adalah cermin kita, dan mereka menunggu kita untuk berbagi.
Namun pada kenyataannya, kita telah kehilangan cermin persaudaraan antara kita dengan mereka saudara seiman kita
yang dilanda cobaan. Kita tak pernah merasa bahwa mereka adalah kita, dan kita adalah mereka. Sehingga kita tak pernah bisa
ikut merasakan kepedihan yang mereka derita. Sehingga kita tak pernah bisa menatap mereka yang ada dibawah kita. Malah kita
selalu melihat kepada mereka yang ada di atas kita, yang akhirnya menjadikan kita hamba-hamba yang kufur akan nikmat-Nya
tatkala melihat mereka lebih bahagia dari kita. Namun ketika kita menatap mereka yang ada dibawah kita, kita hanya bisa
menjadi hamba-hamba yang merasa bangga. Rasulullah tidak pernah mengajarkan demikian, beliau dengan kerasulannya
mengajarkan kita untuk selalu menatap kebawah agar kita bersyukur, bukan menjadi hamba yang takabur.

Semoga kita selalu ingat bahwa ujian itu akan selalu ada, maka persiapkanlah diri kita untuk menjawab soal-soal ujian itu, agar
kita bisa menjawab dengan jawaban-jawaban yang diridhoi oleh Allah Sang Maha Penguji. Ketika langit mendung, burung-
burung menangis karna tak bisa mengepakan sayapnya. Tanpa ia sangka ternyata dengan hujan itu Allah bermaksud hendak
memberinya pelangi. Artinya, dengan berbagai ujian yang diberikan oleh Allah Swt terhadap kita, semua itu tiada lain untuk
kebahagiaan kita didunia dan diakhirat. Penutup, Imam Ar-Raghib Al-Asfahani didalam Kitab Mu’jamnya menjelaskan asal arti
daripada fitnah (ujian), yakni mutiara yang dimasukan kedalam api, agar hilang kotorannya. Maka bisa kita fahami, dengan
berbagai fitnah (ujian) yang Allah berikan kepada kita, semua itu sebagai sarana untuk kita membersihkan diri. Agar kita menjadi
yang terindah diakhirat kelak, seumpama indahnya mutiara. Wallahu a’lam bishowab.

Anda mungkin juga menyukai