Anda di halaman 1dari 6

*Hukum Zakat Fitrah dalam Bentuk Uang*

Ada perbedaan pendapat antara jumhur (mayoritas) ulama di masa lalu dengan mazhab Al-
Hanafiyah. Rinciannya sebagai berikut :

*1. Jumhur Ulama : Tidak Boleh*

Mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah yang merupakan tiga mazhab besar dan bisa
kita sebut sebagai jumhur (mayoritas) ulama, telah sepakat mengatakan bahwa zakat al-fithr itu
harus dikeluarkan sebagaimana aslinya, yaitu dalam bantuk makanan pokok yang masih mentah.

Apabila hanya diberikan dalam bentuk uang yang senilai, maka dalam pandangan mereka, zakat itu
belum sah ditunaikan. Istilah yang digunakan adalah lam yujzi’uhu (‫)لم يجزئه‬.

Al-Imam Ahmad rahimahullah memandang bahwa hal itu menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Suatu
ketika pernah ditanyakan kepada beliau tentang masalah ini, yaitu bolehkah zakat al-fithr diganti
dengan uang saja, maka beliau pun menjawab,”Aku khawatir zakatnya belum ditunaikan, lantaran
menyalahi sunnah Rasulullah SAW”.

Orang yang bertanya itu penasaran dan balik bertanya,”Orang-orang bilang bahwa Umar bin Abdul
Aziz membolehkan bayar zakat al-fithr dengan uang yang senilai”. Al-Imam Ahmad pun
menjawab,”Apakah mereka meninggalkan perkataan Rasulullah SAW dan mengambil perkataan si
fulan?”. Beliau pun membacakan hadits Ibnu Umar tentang zakat al-fithr.

‫س صَ اعًا مِنْ َتمْ ٍر أَ ْو صَ اعًا مِنْ َش ِعي ٍْر عَ لىَ ُك ِّل حُرٍّ أَ ْو عَ ْب ٍد َذ َك ٍر أَ ْو أ ُ ْن َثى مِنَ المـسْ لِمِين‬
ِ َّ ‫هللا َز َكا َة الف ِْط ِر مِنْ رَ مَضَ انَ عَ لىَ النا‬
ِ ‫َفرَ ضَ رَ سُو ُل‬
_Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW memfardhukan zakat fithr bulan
Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa' kurma atau sya'ir, yaitu kepada setiap orang
merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah
dari hadits Ibnu Umar)._

Setelah itu beliau pun membacakan ayat Al-Quran :


‫أَطِ يعُوا هللاَ َوأَطِ يعُوا الرَّ سُو َل‬
_Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya.(QS. An-Nisa’ : 59)_

*Ibnu Hazm Juga Melarang*


Di antara mereka yang menolak kebolehan zakat al-fithr dengan uang adalah Ibnu Hazm. Beliau ini
termasuk rujukan di kalangan ahli Dzhahir.

Beliau berhujjah bahwa memberikan zakat al-fithr dengan uang tidak sebagaimana yang diperintah
oleh Rasulullah SAW.
Lagi pula dalam urusan mengganti nilai uang atas suatu harta itu tidak boleh ditentukan secara
sepihak, melainkan harus dengan keridhaan kedua belah pihak, yaitu muzakki dan mustahiq.

*2. Mazhab Al-Hanafiyah : Boleh*


Mazhab Al-Hanafiyah memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan
pokok yang wajib dibayarkan.

Selain mazhab Al-Hanafiyah secara resmi, di antara para ulama yang sering disebut-sebut
membolehkan penggunaan uang antara lain Abu Tsaur, Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-
Bashri, Abu Ishak, Atha’.

Abu Yusuf, salah satu pentolan ulama di kalangan mazhab ini menyatakan,"Saya lebih senang
berzakat fitrah dengan uang dari pada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat
mengenai kebutuhan miskin".

*Pendapat Pertengahan*
Di masa sekarang ini, Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya menyatakan, "Yang saya anggap
baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti
kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang
(harganya)".

Tokoh ini membolehkan zakat fitrah dengan uang, dan di dalam bukunya tersebut memang tidak
dijelaskan berapa ukuran sha’ menurutnya. Namun sebagai tokoh Hanafiyyah, mereka kemungkinan
kecil untuk memakai ukuran madzhab lain (selain Hanafi).

Kalau ada uang, belum tentu segera bisa dibelikan makanan. Bayangkan di zaman itu tidak ada
restoran, rumah makan, mall, super market 24 jam dan sebagainya. Padahal waktu membayar zakat
fitrah itu pada malam lebaran. Bisa-bisa di hari raya, orang miskin itu punya uang tapi tidak bisa
makan. Ini hanya sebuah analisa.

*Dr. Yusuf Al-Qaradawi*


Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam kitab Fiqhuz-Zakatnya mengasumsikan kenapa dahulu Rasulullah
SAW membayar zakat dengan makanan, yaitu karena dua hal :

*Pertama,* karena uang di masa itu agak kurang banyak beredar bila dibandingkan dengan
makanan. Maka membayar zakat langsung dalam bentuk makanan justru merupakan kemudahan.
Sebaliknya, di masa itu membayar zakat dengan uang malah merepotkan.
Pihak muzakki malah direpotkan karena yang dia miliki justru makanan, kalau makanan itu harus
diuangkan terlebih dahulu, berarti dia harus menjualnya di pasar. Pihak mustahiq pun juga akan
direpotkan kalau dibayar dengan uang, karena uang itu tidak bisa langsung dimakan.

Hal ini mengingatkan kita pada cerita para dokter yang bertugas di pedalaman, dimana para pasien
yang datang berobat lebih sering membayar bukan dengan uang melainkan dengan bahan
makanan, seperti pisang, durian, beras atau ternak ayam yang mereka miliki. Apa boleh buat,
makanan berlimpah tetapi uang kurang banyak beredar.

Dan jangan membayangkan keadaan sekarang dengan masa lalu. Di masa itu kita tidak bisa
menemukan pasar setiap saat. Jakarta beberapa puluh tahun yang lalu pun cuma pasar seminggu
sekali. Adanya nama pasar sesuai nama hari, kalau ditelusuri disebabkan pasar itu hanya eksis
pada hari pasarnya. Pasar Minggu berarti pasar itu hanya ada di hari Minggu. Pasar Senen hanya
ada di hari Senin. Dan begitu juga dengan Pasar Rabu, Pasar Jumat, dan seterusnya.

Di luar hari pasaran, pasar itu tidak ada. Bisa dibayangkan kalau harus menjual beras dulu biar bisa
jadi uang, maka harus menunggu seminggu. Lalu uang itu diserahkan kepada fakir miskin. Tetapi
tidak bisa langsung dimakan, karena harus menunggu lagi seminggu agar bisa untuk beli beras.
Nah, kalau yang berzakat punya beras dan yang diberi zakat butuh beras, kenapa harus dikonversi
dua kali jadi uang?

*Kedua,* karena nilai uang di masa Rasulullah SAW tidak stabil, selalu berubah tiap pergantian
zaman. Hal itu berbeda bila dibandingkan dengan nilai makanan, yang jauh lebih stabil meski zaman
terus berganti.

*Penamaan Baku : Zakat Fithr Bukan Zakat Fitrah*


Istilah zakat yang baku untuk zakat ini sebenarnya bukan zakat fitrah, melainkan zakat al-fithr.

Zakat ini dinamakan al-fithr (‫ )زكاة الفطر‬yang mengacu kepada kata fithr (‫ )فطر‬yang artinya adalah
makan.

Kata fithr ini bila dibentuk menjadi kata lain, bisa menjadi ifthar (‫)إفطار‬, yang maknanya adalah makan
untuk berbuka puasa. Dan bisa diubah menjadi kata fathur (‫)فطور‬, yang artinya sarapan pagi.

Dinamakan zakat fithr karena terkait dengan bentuk harta yang diberikan kepada mustahiknya, yaitu
berupa makanan. Selain itu zakat ini dinamakan fithr juga karena terkait dengan hari lebaran yang
bernama fithr. Kita di Indonesia sering menyebutnya dengan Iedul Fithr, yang artinya hari raya fithr.
Dan di hari Iedul Fithr itu kita diharamkan berpuasa, sebaliknya wajib berbuka atau memakan
makanan. Oleh karena itulah hari raya itu disebut dengan hari Iedul Fithr. Dan arti secara
bahasanya adalah hari raya makan-makan.

Namun ada juga sebagian orang yang menyebutkan dengan zakat fitrah. Penyebutan ini
sebenarnya kurang tepat, karena yang menjadi inti dari zakat ini memang makanan, dan bukan
fitrah.

Kata fithr (‫ )فطر‬meskipun mirip namun punya makna yang jauh berbeda dengan kata fithrah (‫)فطرة‬.
Fithrah seringkali dimaknai dengan kesucian, kemurnian bahkan juga bisa diartikan sebagai Islam.
Di dalam salah satu sabda Nabi SAW, kita menemukan kata fithrah dengan makna Islam :

‫مَا مِنْ م َْولُو ٍد إِالَّ وُ لِدَ عَ لىَ الف ِْطرَ ِة أَب ََواهُ ُيهَوِّ دَ ا ِن ِه َو ُي َنصِّرَ ا ِن ِه َو ُيمَجِّ سَ ان ِِه ِه‬
_Tidak ada kelahiran bayi kecuali lahir dalam keadaan fitrah (muslim). Lalu kedua orang tuanya
yang akan menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi. (HR. Muslim)._

Wallahu a'lam bishshawab,

*Hukum Zakat Fitrah dalam Bentuk Uang*

*Terma melalui uang itu artinya Mblo,,, alat tukar tersebut hanya sebagai perantara saja*
sehingga penyaluran zakat tetap dalam bentuk makanan pokok.

Di sini panitia menjelaskan bahwa konsep-konsep tersebut sesuai dengan ketentuan syariat, tapi
masyarakat tetap dimudahkan yaitu bisa berangkat dari rumah dengan membawa uang menuju
stand/pos zakat setempat. 

*Pertama,* panitia zakat menyuplai beras dengan membeli atau bermitra kepada salah satu toko
penyedia beras di mana setiap muzakki yang datang membawa uang akan dilayani jual beli
murni dengan beras yang disediakan oleh panitia terlebih dahulu. Setelah muzakki menerima
beras, transaksi penerimaan zakat baru kemudian dijalankan sebagaimana biasanya. 

Sementara ini, ada beberapa tempat yang sudah menjalankan sistem jual beli mirip seperti di
atas, namun kesalahannya terletak pada beras yang dibuat transaksi jual beli bukan beras murni
persediaan panitia, tapi beras yang telah diterima panitia dari hasil zakat beras orang lain yang
terlebih dahulu datang kemudian beras zakat itu dijual kembali kepada muzakki lain yang datang
kemudian. Menjual beras zakat seperti ini tidak diperbolehkan. 

*Kedua,* panitia yang tidak resmi mendapat SK dari pemerintah tidak dinamakan sebagai amil,
mereka hanya berlaku sebagai relawan saja. Artinya semua operasional tidak boleh
dibebankan/diambilkan dari zakat. Panitia seperti ini bisa mengambil untung dari hasil jual beli
beras yang memang murni untung jual beli untuk kepentingan operasional.

Contoh, panitia mengumumkan, masyarakat yang ingin menyalurkan zakat melalui panitia
dengan membawa beras silahkan datang dengan membawa beras 2,5 kg (ada pendapat yang 2,7
kg, silakan memilih). Bagi yang ingin membawa uang, besar nominalnya adalah Rp. 25.000,- 

Jika sekarang beras standar diasumsikan dengan besaran harga Rp. 8.400,-/kg, maka setiap kali
ada muzakki yang datang membawa uang, panitia akan untung Rp. 4.000,-/muzakki. Dengan 4
ribu inilah roda operasional panitia berjalan tanpa mengganggu harta zakat sama sekali. Jika ada
100 orang saja yang datang membawa uang, maka uang Rp. 400.000 sudah cukup untuk
operasional panitia yang meliputi pembelian kantong plastik, konsumsi, transport dan lain
sebagainya. 

*Ketiga,* karena ini menyangkut jual beli murni, jual beli tidak diperkenankan digelar di masjid.
Panitia harus mendirikan stand tersendiri di bagian yang terpisah dari masjid atau
diselenggarakan di ruang serbaguna, madrasah, pesantren atau rumah warga.

*Keempat,* secara umum Syafi’iyyah memandang bahwa kiai atau ustadz bukan bagian dari
sabilillah, mustahiq zakat. Mereka tidak berhak menerima zakat kecuali jika kebetulan mereka
termasuk golongan/ashnaf lain selain sabilillah. Seperti kebetulan mereka fakir atau miskin,
maka mereka berhak menerima zakat atas nama dia sebagai fakir miskin bukan kapasitasnya
sebagai kiai atau ustadz. Hanya ada satu pendapat lemah dari kutipan Imam Qaffal yang
mengatakan guru mengaji dan sejenisnya termasuk sabilillah yang berhak menerima zakat.

‫) وواجب الفطــرة لكــل واحــد صــاع من غــالب قــوت بلــد المــؤدى عنــه وإن كــان‬270 ‫ ص‬/ 1 ‫ (ج‬- ‫كاشفة السجا لنووي الجــاوي‬-
‫المؤدي بغيرها من جنس واحد‬
‫ ( فــرع ) قــال أصــحابنا ال يجــوز لإلمــام وال للســاعى بيــع شــىء من مــال الزكــاة من غــير‬ 175 : ‫المجموع الجــزء الســادس ص‬-
‫ضرورة بل يوصلها إلى المستحقينـ بأعيانهاـ ألن أهـل الزكـاةـ أهـل رشـد ال واليـة عليهم فلم يجـز بيـع مـالهم بغـير إذنهم فـإن وقعت‬
‫ضرورة بأن وقف عليه بعض الماشية أو خاف هالكه أو كان فى الطريق خطر أو احتاج إلى رد جبران أو إلى مؤنة النقل أو قبض‬
‫بعض شاة وما أشبهه جاز البيع للضرورة كمــا سـبق فى آخــر بـاب صـدقة الغنم إنــه يجـوز دفـع القيمــة فى مواضـع للضــرورة قــال‬
‫أصحابنا ولو وجبت ناقة أو بقرة أو شاة واحدة فليس للمالك بيعها وتفرقة ثمنهاـ على األصــناف بال خالف بــل يجمعهم ويــدفعها إليهم‬
‫وكذا حكم اإلمام عند الجمهور وخالفهم البغوى فقال إن رأى اإلمام ذلك فعله وأن رأى البيع وتفرقة الثمن فعلــه والمــذهب األول قــال‬
‫أصحابنا وإذا باع فى الموضع الذى ال يجوز فيه الــبيع فــالبيع باطــل ويســترد المــبيع فــإن تلــف ضــمنه وهللا أعلم ‪ .‬روضــة الطــالبين‬
‫ين‪ ،‬إِاَّل إِ َذا‬ ‫صلُ َها ِب َحالِ َهــا إِلَى ْالم ُْسـ َت ِح ِّق َ‬ ‫يع َش ْي ًئا م َِن َّ‬
‫الز َكاةِ‪َ ،‬ب ْل ي َُو ِّ‬ ‫الثالِ َث ُة‪ :‬اَل َيجُو ُز لِإْل ِ َم ِام َواَل لِلسَّاعِ ي أَنْ َي ِب َ‬
‫وعمدة المفتين (‪/2‬ـ ‪َّ   )337‬‬
‫ـل‪،‬‬ ‫َ‬
‫ان‪ ،‬أ ْو إِلَى م ُْؤ َنـ ِة َن ْقـ ٍ‬ ‫ـاج إِلَى َر ِّد ِجـ َ‬
‫ـير ٍ‬ ‫َ‬
‫ـق َخ َطـ ٌر‪ ،‬أ ِو احْ َتـ َ‬ ‫َّ‬
‫ـان فِي الط ِريـ ِ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫اشـ َي ِة َعلَى ال َهاَل كِ أ ْو َكـ َ‬ ‫ْ‬
‫ت َبعْ ضُ ال َم ِ‬ ‫ُورةٌ‪ِ ،‬بأَنْ أَ ْشـ َر َف ْ‬
‫ضر َ‬ ‫ت َ‬ ‫َو َق َع ْ‬
‫َفحِي َن ِئ ٍذ َي ِبيعُ‪.‬‬
‫‪-‬عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال‪« :‬نهى رسول هللا صلى هللا عليه وســلم عن الشــراء والــبيع في المســجد‪ ،‬وأن تنشــد فيــه‬
‫األشعار» (رواه الترمذي وأبو داود وغيرهما)‬
‫‪-‬المجموع شرح المهذب ‪( -‬ج ‪ / 5‬ص ‪ { )428‬الشرح } اتفقت نصوص الشـافعي رضـى هللا عنـه انـه ال يجـوز اخـراج القيمـة في‬
‫الزكاةـ وبه كذا في االصل والصواب عليهن قطع المصنف وجماهير االصحاب وفيه وجــه ان القيمــة تجــزئ حكــاه وهــو شــاذ باطــل‬
‫ودليل المذهب ما ذكره المصنف (وأما) إذا اخرج سنا اعلي من الــواجب كبنت لبــون عن بنت مخــاض ونظــائره فتجزئــه بال خالف‬
‫لحديث ابى السابق ولما ذكــره المصــنف (وأمــا) إذا اخــرج تــبيعين عن مســنة فقــد قطـع المصــنف بجــوازه وهـو المــذهب وبــه قطــع‬
‫الجماهير وفيه وجه سبق في باب زكاة البقر وهللا تعالي اعلم‬
‫ص ُل ِب ْالقِي َم ِة َك َمــا‬ ‫از عِ ْندَ َنا ؛ أِل َنَّ ْالمُعْ َت َب َر ُحصُو ُل ْال ِغ َنى َو َذل َِك َيحْ ُ‬ ‫‪-‬المبسوط ‪( -‬ج ‪ / 4‬ص ‪َ ( )141‬قا َل ) ‪َ :‬فإِنْ أَعْ َطى قِي َم َة ْال ِح ْن َط ِة َج َ‬
‫ُ‬ ‫َ‬ ‫هَّللا‬
‫ان أبُو َبك ٍر ا عْ َمشُ َر ِح َم ُه ُ َت َعالى َيقـو ُل‬ ‫َ‬ ‫أْل‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ص ُل ِب ْال ِح ْن َط ِة ‪َ ،‬وعِ ْندَ ال َّشافِعِيِّ َر ِح َم ُه هَّللا ُ َت َعالَى اَل َيجُو ُز ‪َ ،‬وأَصْ ُل ْال ِخ فِ فِي الز َكا ِة َو َك َ‬
‫َّ‬ ‫اَل‬ ‫َيحْ ُ‬
‫ـان ْال َفقِيـ ُه أَ ُبــو‬
‫َ َ‬ ‫ـ‬ ‫َ‬
‫ك‬ ‫و‬ ‫‪،‬‬ ‫ه‬
‫ِ‬ ‫ـ‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ ‫ُ‬
‫ـاط‬ ‫ـ‬‫ي‬ ‫ت‬
‫ِ‬
‫َ اِل َ‬‫حْ‬ ‫ا‬ ‫ان‬ ‫َ‬
‫ك‬ ‫َ‬
‫ف‬ ‫ء‬ ‫ا‬
‫َ ِ‬ ‫م‬ ‫َ‬ ‫ل‬ ‫ع‬
‫ُ‬ ‫ْ‬
‫ال‬ ‫فِ‬ ‫اَل‬ ‫ت‬
‫ِ‬ ‫ْ‬
‫اخ‬ ‫نْ‬‫ع‬ ‫د‬
‫ِ َ َ َ‬‫ُ‬ ‫ْع‬‫ب‬‫َ‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ر‬ ‫مْ‬‫َ‬ ‫أْل‬ ‫ا‬ ‫ال‬
‫ِ‬ ‫َ‬
‫ث‬ ‫ت‬
‫ِ‬ ‫امْ‬ ‫ى‬ ‫َ‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫بُ‬ ‫ر‬
‫َ‬ ‫ْ‬
‫ق‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫ه‬
‫ُ‬ ‫َّ‬
‫ن‬ ‫َ‬ ‫؛‬
‫َ أِل‬ ‫ة‬
‫ِ‬ ‫م‬ ‫ِي‬ ‫ق‬ ‫ْ‬
‫ال‬ ‫ء‬‫ِ‬ ‫دَا‬‫َ‬ ‫أ‬ ‫ِنْ‬
‫م‬ ‫ل‬
‫ُ‬ ‫ض‬
‫َ‬ ‫ْ‬
‫ف‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫ة‬
‫ِ‬ ‫َ‬
‫ط‬ ‫ْ‬
‫ن‬ ‫ح‬
‫ِ‬ ‫ْ‬
‫ال‬ ‫ء‬
‫ُ‬ ‫‪ :‬أَدَ ا‬
‫ال َما َيحْ َتا ُج إلَ ْي ِه ‪َ ،‬وال َّت ْنصِ يصُ َعلَى‬ ‫ْ‬
‫ِير َفإِ َّن ُه َي ْش َت ِري ِب ِه لِل َح ِ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫هَّللا‬
‫ض ُل ؛ أِل َّن ُه أ ْق َربُ إلَى َم ْن َف َع ِة ال َفق ِ‬ ‫َجعْ َف ٍر َر ِح َم ُه ُ َت َعالَى َيقُو ُل ‪ :‬أدَ ا ُء القِي َم ِة أ ْف َ‬
‫َ‬ ‫أْل‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫ان ؛ أِل َنَّ ْال ِب َي َ‬
‫ال‬ ‫ُّ‬
‫ِي أ َعـ ز ا مْ ـ َو ِ‬ ‫ُ‬ ‫ُّ‬
‫ات تجْ ـ َرى ِبــالنقو ِد ‪َ ،‬وه َ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬
‫اع ـ‬ ‫َ‬
‫ارنا ال ِب َي َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬
‫ت ِبال َمدِين ِة َيكونُ ِب َها فأمَّا فِي ِد َي ِ‬ ‫َ‬ ‫ت فِي َذل َِك ال َوق ِ‬
‫ْ‬ ‫اعا ِ‬ ‫ِير َك َـ‬‫ْال ِح ْن َط ِة َوال َّشع ِ‬
‫ض ُل ‪.‬‬‫َفاأْل َدَ ا ُء ِم ْن َها أَ ْف َ‬
‫‪-‬تفسير المنير الجزء األول ص ‪ 244‬ونقل القفال عن بعض الفقهاءـ فهم أجازوا صرف الصدقات الى جميع الوجوه الحير من تكفين‬
‫الموتى وبناء الحصون وعماره المسجد لألن قوله في سبيل هللا عام في الكل‪.‬‬

Anda mungkin juga menyukai