Anda di halaman 1dari 13

ASBAB AL-NUZUL

DAN POSISINYA DALAM PENAFSIRAN AL-QURAN1


Oleh: Luthfi Taufiq
Satu hal yang menjadi perdebatan panjang umat islam hingga saat ini
adalah pandangan bahwa wahyu (al-Quran), sebagaimana dikemukakan Hasan
Hanafi, bukanlah sesuatu yang berada diluar konteks yang kokoh dan tidak
berubah, melainkan ada dalam konteks yang mengalami perubahan demi
perubahan.2 Pandangan Hasan Hanafi ini menegaskan tesa bahwa al-Quran
bukanlah wahyu yang jauh mengawang diatas langit yang terlepas sama sekali
dari konteks dan realitas sosial di masyarakat. Tetapi sebaliknya, wahyu hadir
mengiringi peristiwa-peristiwa masyarakat sebagai bentuk respon dan jawaban
atas problematika serta kebutuhan yang sedang dihadapi.3
Persinggungan antara wahyu dengan realitas juga mengantarkan Nasr
Hamid Abu Zaid berpadangan bahwa al-Quran pada dasarnya merupakan produk
budaya (muntaj ast-staqafi).4 Bahwa, al-Quran terbentuk dalam realitas dan
budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun selama masa kenabian
Muhammad Saw. Artinya, meskipun al-Quran diyakini sebagai kalamullah
dengan segala sisi metafisisnya, akan tetapi fakta historis akan masuknya alQuran dalam ruang-ruang realitas sosial dan kebudayaan masyarakat tidak bisa
dihindari.
Pandangan semacam ini dikuatkan dikuatkan oleh beberapa argumen,
pertama, ketika al-Quran diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw, Allah Swt
memilihkan bahasa (bahasa arab) kepada penerima pertamanya (Muhammad Saw,
masyarakat arab).5 Ketika al-Quran masuk pada sistem bahasa dan kebudayaan
manusia (arab), maka tidak dinafikan bahwa al-Quran adalah produk dari sebuah
1

Makalah sebagai bahan diskusi pada perkuliahan Studi al-Quran Pasca Sarjana IAIN
Walisongo Semarang yang dibimbing oleh Dr. Muh. Syaifuddin, Jumat 19 September 2014
2
Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyah, Mesir: Maktabah al-Anjelu al-Misriyah, 2000, h. 71
3
Lihat Abdul Moqsith Ghozali dkk, Metodologi Studi al-Quran, Jakarta; PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2009, h. 142
4
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-nash; Dirasah fi Ulum al-Quran, Kairo: Haiah alMishriyah alAmmah li al-Kitab, 1993, h. 27
5
Ibid, h. 71.

kebudayaan. Dengan kata lain, al-Quran sebagai sarana komunikasi Tuhan


haruslah tunduk pada bahasa manusia agar kalamnya mudah difahami.6
Kedua, keterlibatan nabi Muhammad Saw sebagai penerima pertama
disatu sisi dan sekaligus sebagai penafsir disisi yang lain-juga penyampai alQuran- ikut menentukan proses pengujaran dan tekstualisasi al-Quran. 7 Ketiga,
prinsip gradualisme dan berangsur-angsur (al-tanjim), yang ditempuh al-Quran
didalam mencicil ajaran-ajarannya.8
Keempat, proses penurunan al-Quran melalui seraangkaian dialog dengan
realitas. Banyak peristiwa yang mengiringi turunnya (selanjutnya disebut asbab
al-nuzul) ayat dan merupakan jawaban atas pertanyaan umat pada masa itu. Hatim
Ghazali mengatakan, tidak ada ayat satu pun di dalam al-Quran yang tidak
memiliki asbab al-nuzul. Ayat-ayat al-Quran yang selama ini dipandang oleh
sebagian ulama klasik tidak memiliki asbab al-nuzul, sebenarnya hadir ke bumi,
dengan beberapa istilah dan dialog dengan fundamental values saat itu. Tak ada
satu ayatpun yang tidak mengenal konteks dalam bahasa M. Arkoun disebut
Syan al-nuzul.9
Dari analisa sederhana diatas, kiranya realitas sebagai titil awal penafsiran
al-Quran tidak sepatutnya untuk dilupakan. Bahwa seseorang, sebagaimana
dikatakan al-Wahidi, tidak mungkin dapat memahami ayat tanpa mengetahui
realitas dan sebab turunya ayat.10 Pun Ibn Daqiq al-id mengatakan, sebagaimana
dikutip al-Suyuthi, memahami asbab al-nuzul merupakan pranata yang kuat untuk
memahami makna al-Quran.11
6

Pandangan ini berdasarkan pada firman Allah Swt, wa ma arsalna min rasulin ila bi
lisani qaumihi liyubayina lahum (QS. Ibrahim:7)
7
Abd. Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi al-Quran, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2009, h. 143. Perlu dikemukakan disini bahwa terdapat perdebatan antar ulama al-Quran
akan mekanisme pewahyuan al-Quran; pertama, bahwa baik teks maupun makna al-Quran sejak
dari lauh mahfudz, dan Jibril mendengarkan (simaan) langsung dari Allah Swt kemudian
disampaikan nabi Muhammad Saw. Kedua, Jibril sebagai perantara wahyu menghafalkan teks alQuran dengan dirinya sendiri di lauh mahfudz. Ketiga, bahwa pewahyuan al-Quran hanya pada
makna sedangkan teks al-Quran oleh Jibril atau Muhammad. Lihat, Mana al-Qattan, Mabahist Fi
Ulum al-Quran, Mansyurat al-Ashri al-Hadist, h. 35-36
8
Ibid, h. 144
9
Hatim Ghazali, Autensitas dan Lokalitas Islam, Media Indonesia, 23 Mei 2003.
10
Dikutip oleh Jalaludin Abi Abdurrahman al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul,
Beirut: Muasasah al-kutub al-Tsaqafiyah, 2000, h. 7.
11
Ibid.

Bagi kita yang terbiasa bergaul dengan kajian metodologi penafsiran alQuran (ulumul quran) mendapati terminologi asbab al-nuzul bukanlah suatu
yang baru. Begitu pentingnya ilmu asbab al-nuzul sebagai salah satu metode
penafsiran al-Quran menjadikan ulama al-Quran baik klasik maupun
kontemporer menaruh perhatian yang sangat luar biasa. Karenanya, hampir dapat
dipastikan, bahwa dalam setiap pengkajian atas ulumul quran, pembahasan
asbab al-nuzul tidak pernah terlupakan. Bahkan dalam urutan pengkajiannya,
asbab al-nuzul menempati posisi yang istimewa yaitu berada pada posisi
pertama dalam metode penafsiran al-Quran.12 Pun banyak ulama klasik menulis
buku yang secara khusus membahas asbab al-nuzul, misalnya, al-Wahidi menulis
buku Asbab al-Nuzul al-Quran, juga al-Suyuthi menulis buku Lubab al-Nuqul Fi
Asbab al-Nuzul.
Setelah mencermati beberapa konsepsi yang dihasilkan ulama al-Quran
mengenai asbab al-nuzul sebagaimana terdapat dalam buku-buku ulum al-quran,
sesungguhnya kajian tentang asbab al-nuzul bukanlah sederhana sebagaimana kita
duga. Disana banyak dijumpai berbagai pandangan dan konsepsi yang variatif
bahkan bertolak belakang diantara ulama mulai dari pendefinisian, urgensitas dan
signifikasi, implikasi hingga kedudukannya dalam penafsiran al-Quran. Oleh
karenanya, dalam makalah sederhana ini, kami ingin memperkenalkan sekelumit
kajian dan pandangan ulama akan konsepsi asbab al-nuzul.
Kami ingin memulai diskusi seputar asbab al-nuzul dengan kalimat yang
disampaikan oleh Nasr Hamid Abu Zaid, bahwa ilmu asbab al-nuzul termasuk
diantara ilmu-ilmu penting, ilmu ini menunjukan dan menyingkapkan hubungan
dialektika antara teks dan realitas. Asbab al-nuzul membekali kita materi baru
yang memandang teks sebagai respon atas realitas, baik dengan cara menguatkan
ataupun menolak, dan menegaskan hubungan dialogis dan dialektika antara teks
dan realitas.13

12
Lihatnya misalnya, Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim
al-Zarqani, al-Itqan Fi Ulum al-Quran karya Jalaluddin al-Syuyuthi, al-Burhan Fi Ulum alQuran karya Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi.
13
Nasr Hamid, h. 109

Didalam mendiskusikan asbab al-nuzul, ulama al-Quran tidak hanya


berhenti pada tataran hubungan antara teks dengan realitas, sebab andaikata
berhenti dampai disitu saja, maka mereka mereka akan tetap jatuh pada fakta
historis yang tidak bermakna. Tetapi lebih jauh dari itu, ulama al-Quran
menyadari betul bahwa struktur teks juga mempunyai efektifitas yang dapat
melampaui batas-batas realitas partikular yang diresponnya. Karenanya, untuk
mentransformasikan peran asbab al-nuzul dalam penafsiran al-Quran haruslah
juga mendasarkan pada

tanda-tanda yang terdapat dalam struktur teks. Dari

gambaran inilah muncul perbedaan pandangan misalnya jika ayat yang turun
memiliki struktur teks umum al-lafdzi (ungkapan umum), sementara disisi lain
memiliki khusus al-sabab (sebab-sebab yang melatarbelakanginya bersifat
khusus). Dengan bahasa lain, bagaimana mentranformasikan asbab al-nuzul
mikro (kondisi lokal ketika ayat diturunkan) kepada asbab al-nuzul makro
(kondisi masyarakat secara keseluruhan saat al-Quran diturunkan). Inilah
beberapa poin yang akan kita diskusikan dalam makalah ini.
A. Pengertian Asbab al-Nuzul
Tentang pengertian asbab al-nuzul secara bahasa,14 barangkali tidak ada
persoalan. Tetapi dari pengertian secara terminologislah kita akan melihat
bahwa asbab al-nuzul mendapat sambutan yang beragam dari kalangan ulama alQuran. Al-Zarqani mendefinisikan asbab al-nuzul sebagai suatu kejadian yang
menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat
dijadikan petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat. 15 Peristiwaperistiwa bisa berbentuk pertanyaan yang diajukan kepada kepada Nabi kemudian
turunlah ayat sebagai jawaban dan respon atas problem yamg diajukan.16 Selain
al-Zarqani, sebenarnya banyak ulama al-Quran yang mendefinisikan asbab al14

Secara bahasa (etimologis) kata asbab al-nuzul terdiri dari dua suku kata,
yaitu asbab dan al-nuzul. Kata asbab adalah bentuk plural dari kata sabab yang berarti sebab atau
alasan. Sedangkan kata al-nuzul adalah bentuk masdar dari kata nazala yang berarti turun . Lihat
Ahmad Warson Muawwir, Kamus al-Munawwir,Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997, h. 602 dan
1409.
15
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahilul Irfan Fi Ulum al-Quran, Dar al-Kitab
al-Arabi, Juz I, h. 89
16
Ibid.

nuzul, meskipun dengan redaksi yang berbeda akan tetapi subtansi yang
dimaksudkan adalah sama.
Dari pengertian diatas, sekilas kita memandang sebagai hal yang wajar,
kerena bagitu banyaknya ulama al-Quran yang mendefinisikan demikian. Akan
tetapi jika kita mencermati diksi yang dipilih adalah suatu kejadian yang
menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat.... maka akan menimbulkan
implikasi yang debatable bagi kajian al-Quran selanjutnya. Pertama, akan
munculkan pandangan akan hubungan kausalitas (sabab-musabab), bahwa seolaholah ayat Al-Quran diturunkan hanya karena untuk menjawab atau merespon
peristiwa dan pertanyaan yang ada, maka atas dasar analisa ini Nasr Hamid Abu
Zaid, al-Quran merupakan produk kebudayaan yang masuk dalam ruang
kebudayaan masyarakat (muntaj al-Tsaqafi). 17
Kedua, asbab al-nuzul tidaklah dipahami sebagai hubungan kausalitas,
sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Chirzin, Asbab al-nuzul menggambarkan
bahwa memang ayat-ayat Al-Quran memiliki hubungan dialektis dengan
fenomena sosio kultural masyarakat. Namun demikian, perlu ditegaskan
bahwa asbab al-nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang
bersangkutan. Artinya tidak bisa diterima pernyataan bahwa jika suatu sebab tidak
ada, maka ayat itu tidak akan turun.18
Adanya

perbedaan

pandangan

akan

pengertian

asbab

al-nuzul

sebagaimana diatas selanjutnya akan sangat kentara pada pandangan-pandangan


lain yang kian menarik untuk didiskusikan.
B. Signifikansi asbab al-nuzul
Mengenai diskusi tentang signifikansi asbab al-nuzul dalam penafsiran,
kami melihat ada dua macam pandangan yang berbeda. Pertama, bahwa asbab alnuzul sangat
17

signifikan

dalam

penafsiran,

tanpa

mengetahui asbab

al-

Pengertian yang demikian itu juga akan memunculkan perbedatan teologis seperti
muncul pertanyaan semacam seandainya sebab-sebab tidak ada, apakah lantas Al-Quran tidak jadi
turun? Apakah Al-Quran itu qadim ataukah tidak? Layakkah Tuhan terdekte oleh realitas? Dan
lain sebagainya
18
lihat Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran, Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1998, h. 31

nuzul tidaklah mungkin untuk memahami al-Quran. Ulama yang masuk dalam
pandangan pertama ini adalah al-Wahidi. Menurutnya, tidak mungkin dapat
menafsirkan ayat tanpa pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya.19 Artinya, dalam
pandangan al-Wahidi, asbab al-nuzul menjadi mutlak penting dan tidak boleh
dieliminir dalam menafsirkan al-Quran. Dalam hal ini, sebetulnya pendapat alWahidi tersebut menyisakan pertanyakan karena tidak semua ayat Al-Quran
mempunyai sebab turun.
Kedua, pandangan yang menempatkan asbab al-nuzul hanya sebagai alat
bantu dalam memahami ayat. Ulama yang masuk dalam kelompok ini adalah
Ibnu Taimiyah, ibn Daqiq al-Id dan Abu al-Fatah al-Qusyairi. Menurut Ibnu
Taimiyah, Pengetahuan mengenai asbab al-nuzul dapat membantu memahami
ayat karena pengetahuan tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan
tentang yang disebabkan (akibat).20 Sementara al-Id mengatakan, jelasnya
sabab al-nuzul adalah pranata yang kuat dalam memahami makna Al-Quran. 21
Abu

al-Fatah

Al-Qusyairi

tidak

berbeda

dengan

al-Id.

Menurutnya,

mengetahui asbab al-nuzul adalah metode yang kuat dalam memahami maknamakna Al-Quran.22
Al-Zarqani dalam bukunya Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur;an
menyebutkan tujuh signifikansi dari asbab al-nuzul dalam penafsiran al-Quran;
(1) pengetahuan akan asbab al-nuzul membawa kepada pengetahuan akan hikmah
rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyariatkan agama-Nya melalui alQuran,

(2)

membantu

dalam

memahami

ayat dan

menghindarkan

kesulitannya, (3) menolak dugaan adanya hasr (pembatasan) dalam ayat yang
menurut lahirnya mengandung hasr, (4) dapat mengkhususkan (takhsis) hukum
pada sebab bagi ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah
kekhususan sebab dan bukan keumuman kata, (5) mengetahui bahwa sebab turun
ayat tidak penah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut
19

Pandangan al-Wahidi dikutip dari Jalaludin Abi Abdurrahman al-Suyuthi, al-Itqan fi


Ulum al-Quran, Beirut, Jami al-Huqud Makhfudz li al-Nasyir, 2002, h. 71
20
Ibid,
21
Ibid,
22
Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan Fi Ulum al-Quran, Kairo:
Maktabah Dar al-Turats, h. 22

sekalipun datang mukhasis-nya (yang mengkhususkannya), (6) mengetahui orang


yang dengan ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi
kesamaran, dan (7) pengetahuan asbab al-nuzul akan mempermudah orang
menghafal ayat-ayat Al-Quran serta memperkuat keberadaan wahyu dalam
ingatan orang yang mendengarkannya jika ia mengetahui sebab turunnnya.23
Ulama al-Quran kontemporer banyak yang mendukung keterkaitan
realitas yang tidak mungkin bisa dipisahkan dari penafsiran teks, diantara mereka
adalah Nasr Hamid Abu Zaid. Dalam hal ini dia mengatakan, bahwa usaha
menemukan makna teks tidak harus memisahkan teks dari realitas yang
diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak benar apabila dikatakan usaha penemuan
tersebut berhenti dan terpaku pada peristiwa-peristiwa itu saja, tanpa memahami
karakteristik ujaran bahasa dalam teks serta kemampuannya melampaui realitasrealitas partikular. Kajian atas asbab al-nuzul akan memberi ahli fiqh pengetahuan
tentang illat (sebab) di balik hukum-hukum teks. Melalui illat itu, ia dapat
menggeneralisasikan hukum terhadap realitas-realitas lain yang serupa.24
Tentang asbab al-nuzul ini, dalam persoalan signifikansi, dapat dikatakan
kedua sama-sama menganggap asbab al-nuzul signifikan. Hanya saja tingkat
signifikansinya berbeda antara keduanya, di mana dalam pandangan yang kedua,
signifikansi dari asbab al-nuzul dapat dibilang lebih rendah dibanding pada
kelompok pertama. Dalam pandangan yang pertama, dalam memahami ayat, tidak
dapat tidak, harus diketahui asbab al-nuzul karena tanpanya ayat dianggap tidak
akan mungkin dapat dipahami. Sementara bagi kelompok kedua, asbab alnuzul sifatnya hanyalah membantu dalam memahami ayat. Jadi, sungguhpun
kedua kelompok ini sama-sama menganggap penting asbab al-nuzul, tetapi
tingkat signifikansi dari keduanya berbeda. Sampai di sini menjadi jelas sejauh
mana signifikansi dari asbab al-nuzul dapat mempengaruhi penafsiran al-Quran
.
C. Cara Menentukan Asbab al-Nuzul

23
24

Lihat al-Zarqani, ibid, h. 91-95


Nasr Hamid, ibid, h. 117

Sungguhpun asbab al-nuzul sedemikian pentingnya dalam menyingkap


makna al-Quran, namun mengetahui secara pasti dan meyakinkan sebab-sebab
sejumlah besar teks al-Quran bukanlah perkara mudah. Sejumlah pakar ulum alQuran menetapkan beberapa cara untuk menentukan asbab al-nuzul sebuah ayat,
diantaranya;
Pertama, penentuan asbab al-nuzul ditentukan setelah melalui verifikasi
periwayatan. Al-Wahidi mengatakan tidak diperbolehkan berpendapat mengenai
sebab-sebab turunnya Al-Quran kecuali melalui periwayatan, mendengarkan
berita dari seseorang yang menyaksikan turunnya, memahami secara pasti sebabsebab, menguasai keilmuan asbab al-nuzul serta yang mempelajarinya secara
serius dan mendalam.25
Menentukan asbab al-nuzul dengan periwayatan ini sama dengan halnya
menentukan keshahihan sebuah hadist nabi Muhammad Saw. Penentuanya harus
melalui sebuah per-tarjih-an atas riwayat-riwayat yang ada dengan sejumlah
kriteria, ukuran dan persyaratan yang ada dalam ulum al-hadist.
Kedua, adanya pernyataan tegas yang menerangkan bahwa suatu peristiwa
adalah merupakan asbab al-nuzul ayat. Dalam hal ini asbab al-nuzul disebutkan
dengan ungkapan yang jelas, seperti asbabu nuzuli hadzihil ayati kadza atau
nazalat hazihil ayati fi kadza atau ahsibu hadzihil ayati fi kadza atau ma ahsibu
hadzihil ayati nazalat illa fi kadza. Ungkapan seperti ini juga menunjukkan
bahwa peristiwa itu adalah sebab bagi turunnya ayat tersebut. Jika redaksinya
berbentuk demikian maka secara definitif dianggap menunjukkan sabab alnuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.26
Ketiga, pembacaan teks secara benar. Maksud dari membaca teks secara
benar bukanlah meralat, men-tashih teks, akan tetapi memberikan orientasi yang
tepat terhadap makna dari kata dan ungkapan.27 Nasr Hamid memberikan contoh
dari bacaan Abu Ubaidah;

25
Abi al-Hasan bin Ali al-Wahidi, Asbab al-Nuzul al-Quran, Beirut: Dar al-Kitab alIlmiah, 1991, h. 10
26
Lihat, Mana al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Quran, Mansyurat al-Ashri al-Hadist, h.
85
27
Nasr Hamid, ibid. 123


apabila kami ingin mengjancurkan sebuah negeri maka kami memperbanyak
orang dzalim didalamnya, kemudian mereka membuat keji sehingga mereka
berhak mendapatkan keputusan siksa, lalu kami binasakan
Abu Ubaidah membaca kata kerja (amara) dengan bentuk wazan afala
(menjadi aamara). Kata tersebut berasal dari tiga huruf yang ber-wazan amira
dengan arti bertambah. Ini dilakukan untuk menghindari pengertian bahwa Allah
Swt memerintahkan perbuatan jahat, maksudnya untuk menghindari lahiriyah
teks.28
Keempat, dengan cara ber-ijtihad yang berdasar pada konteks sosial
terbentuknya teks. Cara yang ketiga ini adalah kelanjutan dari cara yang pertama,
tarjih riwayat. Upaya tarjih riwayat dengan segala kriteria dan prasyaratnya,
sebagaimana dikatakan Nasr Hamid, merupakan upaya ijtihad yang dilakukan
oleh ulama. Atas dasar ini, para sarjana kontemporer harus menikmati hak ijtihad
melakukan tarjih riwayat-riwayat yang berbeda dengan cara yang lebih signifikan,
yaitu berdasar pada sejumlah unsur-unsur dan tanda-tanda eksternal dan internal
yang membentuk teks.29
D. Al-Ibrah Bi Umum Al-Lafdzi Atau Bi Khushushi Sabab
Hal yang tak kalah menarik untuk didiskusikan bersama dalam kaitan asbab
al-nuzul adalah pembahasan mengenai pilihan antara al-Ibrah Bi Umum Al-Lafdzi
(keumuman kata) atau hanya berpedoman pada al-ibrah bi khushusi sabab (sebabsebab khusus). Apakah dalalah ayat itu dipahami dari keumuman katanya
sementara ayat tersebut memiliki sebab-sebab yang melatarbelakangi bersifat
khusus ataukah sebaliknya dengan memahami ayat berdasarkan kekhususan ayat
itu sendiri? Disinilah nanti kita akan melihat perdebatan antar ulama al-Quran
akan dalalah asbab al-nuzul.

28
29

Ibid,
Ibid, h. 125-126.

Menjawab pertanyaan diatas, Mana al-Qattan memberikan dua pandangan


yang saling bertentangan. Pertama adalah pandangan yang berpegang pada
keumuman kata, bukan pada kekushusan sebab (al-ibrah bi umum al-lafdzi la bi
khushus al-sabab). Menurut mereka, hukum yang dihasilkan dari umum al-lafdzi
itu melampaui bentuk sebab yang khusus hingga pada hal-hal yang serupa dengan
itu.30 Ulama yang berpegang pada pendapat ini ada al-Suyuti, 31 Mana al-Qattan
sendiri mengikuti pandangan ini.32
Kedua, adalah pandangan yang berpegang pada kekhususan sebab serta
tidak pada keumuman kata (al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-ladzi).33
Menurut pandangan ini, memegang keumuman kata dan mengabaikan kekhususan
sebab dalam menghadapi semua teks al-Quran akan membawa konskuensikonsekuensi yang sulit diterima oleh pemikiran agama. Akibat yang paling serius
yang disebabkan oleh sikap berpegang pada keumuman kata dengan mengabaikan
kekhushusan sebab adalah bahwa sikap ini menyebabkan hikmah tasyri
diturunkannya secara bertahan, seperti masalah halam-haram, terutama masalah
makanan dan minuman akan terabaikan. Selain itu, bahwa memegang keumuman
kata dalam menghadapi teks yang khusus berkaitan dengan hukum akan
menghancurkan hukum itu sendiri.34
Maka bagi Nasr Hamid, usaha menemukan makna teks tidak harus
memisahkan teks dari realitas yang diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak benar,
menurutnya, apabila dikatakan usaha penemuan tersebut berhenti dan terpaku
pada peristiwa-peristiwa itu saja, tanpa memahami karakteristik ujaran bahasa
dalam teks serta kemampuannya melampaui realitas-realitas partikular.35
Adanya pandangan akan al-ibrah bi khususi al-sabab la bi umum al-lafdzi
dalam memahami sebuah teks sesungguhnya memberikan peluang kepada kita
untuk melakukan semacam generalisasi pesan ayat ke dalam realitas dan peristiwa
yang berbeda dengan realitas dan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat.
30

Mana al-Qattan, ibid. h.83-84


Lihat al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran, h. 73
32
Lihat Mana al-Qattan, ibid. 84
33
Ibid, 85
34
Nasr Hamid, ibid. h. 117
35
Ibid, h. 116-117
31

Juga melihat kondisi lokal asbab al-nuzul (asbab al-nuzul mikro) dengan realitas
sosial yang membentuk asbab al-nuzul (asbab al-nuzul makro). Sebab, peristiwaperistiwa tertentu lahir dari realitas sosial tertentu secara determinan. Tidak
mungkin terjadi sebuah peristiwa yang lepas dari determinan sosial. Dalam hal ini
adalah kondisi sosial dan kebudayaan Mekah dan Madinah secara keseluruhan
dimana kondisi keduanya yang membentuk realitas atau peristiwa yang
menyebabkan turunya al-Quran.36
Realitas tidak terhingga jumlahnya. Realitas senantiasa bergerak dan
mengalir terus. Sementara itu, teks disisi lain sangat terbatas meskipun ia mampu
menjangkau realitas-realitas tersebut, karena bahasa memiliki generalisasi dan
abstraksi. Kemampuan teks menjangkau realitas harus didasarkan pada tandatanda, mungkin dalam struktur teks, dan mungkin juga dalam konteks sosial
yang menjadi sasarannya.37 Dari sini muncullah pertanyaan, apakah sebuah ayat
harus dipahami berdasarkan asbab al-nuzul semata (asbab al-nuzul mikro), atau
dipahami berdasarkan realitas dimana asbab al-nuzul terjadi (asbab al-nuzul
makro)?
Konsepsi akan asbab al-nuzul makro bermula dari fakta historis yang
menunjukan bahwa tidak semua ayat memiliki asbab al-nuzul tertentu
sebagaimana kita lihat dibanyak buku yang menuturkan asbab al-nuzul sebuah
ayat. Sehingga untuk memahami sebuah ayat al-Quran tidak cukup hanya dengan
mempelajari situasi dan masalah lokal saat ini sebagai latar belakang turunya ayat,
akan tetapi harus memahami situasi dan kondisi masyarakat secara keseluruhan
ketika al-Quran diturunkan.
Oleh karena itu, menurut kami, kaidah al-ibrah bi khususi al-sabab la bi
umum al-lafdzi lebih penting sebagai alternatif memahami al-Quran. Sebab
dengan kaidah ini, kita dapat mengambil pesan-pesan yang lebih universal alQuran

dalam

merespon

realitas-realitas

baru.

Tentunya,

dengan

mempertimbangan asbab al-nuzul mikro untuk mendapatkan pemahaman yang


lebih komprehensif, karenanya akan menjadi al-Quran sebagai pedoman praksis
36

Lihat Aksin Wijaya, Arah Baru Studi al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h.

141-142.
37

Nasr Hamid, h. 117

bagi umat sebagai dasar pijakan dalam kehidupan hingga masa yang tak
terhingga.
Demikianlah paparan tentang asbab al-nuzul dengan segala pandaangan
serta perdebatan astaanya yang dapat dijadikan sebagai overview (gambaran
umum) bagaimana posisi atau signifikansi asbab al-nuzul dalam penafsiran AlQuran. Sungguhpun ada perbedaan pandangan dari para ulama dalam
menentukan dalalah asbab al-nuzul, namun gaung asbab al-nuzul terasa sekali
dalam penafsiran Al-Quran. Minimal, ia telah menarik perhatian begitu banyak
ulama yang konsen akan ulum al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qattan, Mana, Mabahist Fi Ulum al-Quran, Mansyurat al-Ashri al-Hadist,
al-Suyuthi, Jalaludin Abi Abdurrahman, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul,
Beirut: Muasasah al-kutub al-Tsaqafiyah
---------------------------------------------------, al-Itqan Fi Ulum al-Quran Beirut,
Jami al-Huqud Makhfudz li al-Nasyir, 2002
al-Wahidi, Abi al-Hasan bin Ali, Asbab al-nuzul al-Quran, Beirut: Dar al-Kitab
al-Ilmiah, 1991
al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Quran, Dar
al-Kitab al-Arabi
al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah, al-Burhan Fi Ulum al-Quran,
Kairo: Maktabah Dar al-Turats
Chirzin, Muhammad Al-Quran dan Ulumul Quran, Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1998
Ghazali, Hatim, Autensitas dan Lokalitas Islam, Media Indonesia, 23 Mei 2003.
Ghozali, Abdul Moqsith dkk, Metodologi Studi al-Quran, Jakarta; PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2009
Hanafi, Hasan Dirasat Islamiyah, Mesir: Maktabah al-Anjelu al-Misriyah, 2000
Mishriyah alAmmah li al-Kitab, 1993
Muawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir,Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997

Wijaya, Aksin, Arah Baru Studi al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2009
Zaid, Nasr Hamid Abu, Mafhumun an-nash; Dirasah fi Ulum al-Quran,
Kairo: Haiah al-Mishriyah al-ammah li al-kitab.

Anda mungkin juga menyukai