Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ASBABUL WURUD HADIST

Diajukuan Sebagai Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits

Disusun oleh :

Ibrahim Ali

1134010055

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM


FAKULTASDAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
BANDUNG
2016/1438
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Asbabul Wurud Hadist
Makalah ini berisikan tentang Pengertian Asbab Wurud Al Hadits, Sejarah Asbab Wurud Al
Hadits , Pembagian Asbab Wurud Al Hadits, Cara mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits ,
Faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits, serta Kesimpulan dari pembahasan tersebut.
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan Makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.... i

DAFTAR ISI.. ii

BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................................
.. 1
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Asbab Wurud Al Hadits... 2
1.2 Sejarah Asbab Wurud Al Hadits .... 3
1.3 Pembagian Asbab Wurud Al Hadits... 4
1.4 Cara mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits .. 6
1.5 Faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits... 7

BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan.. 10
2.2 Daftar Pustaka..11
BAB I
Pendahuluan
Hadis atau sunnah merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki posisi
sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural menduduki
posisi kedua setelah al-Quran, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan
bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Quran yang bersifat am (umum), mujmal (global)
atau mutlaq. Secara tersirat, al-Quran-pun mendukung ide tersebut, antara lain firman Allah
SWT:


Dan kami turnkan al-Quran kepadamu (Muhammad) agar kamu menjelaskan kapada umat
manusia apa yang telah diturunkan untuk mereka, dan supaya mereka memikirkan.. (QS.
An-Nahl 44)
Adanya perintah agar Nabi SAW. Menjelaskan kapada umat manusia mengenai al-
Quran, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya, dapat diartikan bahwa Hadis berfungsi
sebagai bayan (penjelas) terhadap al-Quran.
Oleh karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika kemudian Imam al-Auzai pernah
berkesimpulan bahwa al-Quran sesungguhnya lebih membutuhkan kepada al-Hadis daripada
sebaliknya. Sebab secara tafshili (rinci) al-Quran masih perlu dijelaskan dengan Hadis.
Disamping sebagai bayan terhadap al-Quran, Hadis secara mandiri sesungguhnya
dapat menetapkan suatu ketetapan yang belum diatur dalam al-Quran. Namun persoalannya
adalah bahwa untuk memahami suatu Hadis dengan baik, tidaklah mudah. Untuk itu,
diperlukan seperangkat metodologi dalam memahami Hadis.
Ketika kita mencoba memahami suatu Hadis, tidak cukup hanya melihat teks
Hadisnya saja, khususnya ketika Hadis itu mempunyai asbabul wurud, melainkan kita harus
melihat konteksnya. Dengan lain ungkapan, ketika kita ingin menggali pesan moral dari suatu
Hadis, perlu memperhatikan konteks historitasnya, kepada siapa Hadis itu disampaikan Nabi,
dalam kondisi sosio-kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya. Tanpa
memperhatikan konteks historisitasnya (baca: asbabul wurud) seseorang akan mengalami
kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu Hadis, bahkan ia dapat terperosok
ke dalam pemahaman yang keliru.
Itulah mengapa asbabul wurud menjadi sangat penting dalam diskursus ilmu Hadis, seperti
pentingnya asbabun nuzul dalam kajian tafsir al-Quran.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua Hadis mempunyai asbabul
wurud. Sebagian Hadis mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas, namun sebagian
yang lain tidak. Untuk katagori pertama, mengetahui asbabul wurud mutlak diperlukan, agar
terhindar dari kesalahpahaman (misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu Hadis.
Sedangkan untuk Hadis-Hadis yang tidak mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai
alternatifnya, kita dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau
bahkan pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam memahami Hadis. Hal ini
didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi SAW tidak mungkin berbicara dalam kondisi
yang vakum historis dan hampa kultural.

BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Asbab Wurud Al Hadits

Kata Asbab adalah bentuk jamak dari kata Sabab (Arab: Asbab = sebab). Menurut
ahli bahasa diartikan dengan Al Habl (tali) yang menurut lisan arab berarti saluran yang
artinya segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda yang lainnya. Para ahli
istilah memaksudkannya sebagai segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.
Ada juga yang mendefinisikan dengan, jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa
adanya pengaruh apapun dalam hukm itu.
Adapun arti wurud (sampai, muncul) adalah sebagai berikut:
Para ahli mengatakan bahwa al-wurud berarti air yang memancar, atau air yang mengalir.
Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuthi memaparkan pengertian asbab wurud al-hadits
dengan, Sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkaitan, dengan arti umum atau
khusus, mutlak atau muqqayad, dinasakhkan, dan seterusnya, atau suatu arti yang dimaksud
oleh sebuah hadits saat kemunculannya.
Dari pengertian asbab wurud al hadits seperti di atas, dapat disimpulkan pengertian ilmu
Asbab Wurud Al Hadits, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Rasulullah SAW
menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda Rasulullah SAW tentang
suci dan mensucikannya air laut, yaitu Laut itu suci airnya dan halal bangkainya . Hadits
ini dituturkan oleh Rasulullah ketika seorang sahabat yang sedang berada di tengah laut
mendapatkan kesulitan untuk berwudhu.
Urgensi Asbab Wurud Al Hadits terhadap hadits sebagai salah satu jalan untuk memahami
kandungan hadits, sama halnya dengan urgensi Asbab Nuzul Al Quran terhadap Al Quran.
Penting diketahui, karena ilmu ini menolong kita dalam memahami hadits, sebagaimana ilmu
Asbabu Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran.
Tidak semua hadits mempunyai asbabul wurud, sebagian hadits ada yang mempunyai asbabul
wurud khusus, tegas dan jelas na.mun sebagain lainnya tidak. Untuk kategori pertama
mengetahui asbabul wurud mutlak di perlukan agar terhindar dari kesalafahaman dalam
menangkap maksud hadits .

1.2 Sejarah Asbab Wurud Al Hadits


Memperhatikan atsar (data) yang diperoleh dari para ulama salaf, semenjak masa
sahabat sampai masa kita dewasa ini, jelaslah sudah bahwa ilmu itu terhitung telah lama ada
Kuat dengan bahwasanya ilmu ini telah ditanamkan benih-benihnya di masa sahabat dan
tabiin.
Kisah yang dituturkan oleh Az Zarkasyi dalam al Burhan-nya yang berkenaan dengan firman
Allah: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh
lantaran telah memakan makanan mereka dulu (QS Al Maidah: 92) makin memperjelas
kenyataan itu .
Az Zarkasyi menuturkan, disebut sebut bahwa Qudamah bin Mazhun dan Amr bin
Madikarib berkata: Khamr itu mubah dan mereka berdua beralasan dengan ayat tersebut di
atas yang mereka ketahui sebab turunnya ayat tersebut, yang sesungguhnya menolak
pendapat mereka yakni, apa yang dikemukakan oleh al Hasan dan ulama lainnya berikut ini:
Di saat turun ayat yang mengharamkan khamr, para sahabat bertanya-tanya: Bagaimana
halnya dengan saudara-saudara kita yang telah meninggal dan mereka pernah minum khamr,
sedangkan Allah telah mengemukakan bahwa khamr itu haram. Maka Allah pun
menurunkan ayat: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang shalih lantaran telah memakan makanan mereka dulu (QS. Al Maidah:92)
Bertolak dari riwayat tersebut, maka jelaslah kebenaran pernyataan As Sayuthi, yakni
bahwasanya objek kajian ini merupakan salah satu di antara Ilmu-ilmu Hadits yang sejak
awal telah memperoleh perhatian baik dari para ulama.
Mengenai kapan dimulainya penyusunan buku-buku yang berkenaan dengan masalah
ini, maka hal itu merupakan suatu persoalan yang hanya dapat kita jawab melalui referensi-
referensi yang mat langka sekali, sebab Thas Kubri Zadah penulis kitab Miftah al Saadah
menuturkan bahwa ada beberapa karya tulis dalam disiplin ilmu ini, namun ia sendiri belum
pernah melihatnya.
Hanya saja, As Sayuti menuturkan dengan menukil adz Dzahabi dan Ibnu Hajar yang
menyatakan adanya beberapa obyek ini, yakni:
1. Karya Abi Hafsh al Akbari (wafat 399 H) yang sampai saat ini belum diketahui sdikitpun
kecuali hanya namanya saja.

2. Karya Abu Hamid Abdul Jalil al Jubari yang juga sampai saat ini hanya diketahui namanya
saja.
Dalam point yang dikemukakan oleh As Sayuti yang berkenaan dengan jenis-jenis ilmu,
yakni dalam jinis ke-89 disebut-sebut ilmu Asbab Wurud al Hadits (Sebab Lahirnya
sebuah Hadits): Cabang ilmu ini disebutkan al Balqini dalam Mahasin al Ishtilah dan oleh
Syeikhul Islam dalam an-Nukhah, dimana dalam ilmu ini ada karya Abu Hafs al Akbari dan
Abu Hamid bi Kutah al Jubari, dan tidak ada yang lebih tua lagi dari karya itu.

3. Karya As Sayuti, al- Luma Fi Asbab Wurud al Hadits, yakni risalah yang kami edit dan
kaji ini.
4. Karya Abi Hamzah al Dimayqi, al Bayan Wa at-Tarif Fi Asbab Wurud al Hadits asy-
Syarif.
1.3 Pembagian Asbab Wurud Al Hadits
Dengan mengikuti uraian tentang Asbab Wurud munculnya suatu hadits, dapat
disimpulkan bahwa penyebab-penyebab itu terbagi dalam beberapa bagian berikut ini:

Bentuk Pertama: Berupa Ayat Al Quran


Hal ini disebabkan turunnya ayat-ayat Al Quran yang memiliki bentuk umum, namun yang
dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus semisal yang terdapat dalam firman Allah ini:
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan
kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan, dan mereka itulah orang-
orang yang mendapat petunjuk. (QS Al Anam:82)
Sementara sahabat Rasulullah saw memahami ayat ini dengan menganggap bahwasanya yang
dimaksud dengan zhulm (dzalim) di situ adalah aniaya dan melanggar batas ajaran agama.
Lantaran itulah mereka lalu mengadu kepada Rasulullah saw, maka beliau menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan itu adalah syirik (menyekutukan Allah).

Imam Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Malik dalam Al
Muwatha meriwayatkan dari Abdullah bin Masud:
Ketika turun ayat: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan
dengan kezhaliman...(QS Al Anam:82 di atas), maka para sahabat merasa berat dan berkata:
Siapa pula diantara kita yang tidak merasa mencampur adukkan keimanan dengan
kedzaliman? Lalu Rasulullah mengatakan: Bukan itu maksudnya, tidakkah kamu sekalian
pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya bahwa: sesungguhnya syirk itu adalah
kedzaliman yang amat besar (QS. Luqman:13)
Atau lantaran adanya kemusykilan yang membutuhkan penjelasan, semisal hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah terdahulu.

Bentuk kedua : Berupa Hadits


Ini dapat ditemukan dalam ucapan Rasulullah saw yang sulit dipahami oleh sementara
sahabat, lalu beliau menjelaskannya melalui hadits lain yang menjawab kemusykilan itu.
Untuk menjelaskan hal itu dikemukakan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al Hakim dari
Anas ra. Katanya:
Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat di dunia yang berbicara melalui lisan
anak-cucu Adam tentang apa yang baik dan buruk dalam diri seseorang.
Hadits yang bentuk redaksinya seperti ini sangat sulit dipahami, sebab bagaimana cara
malaikat itu berbicara di dunia tentang baik dan burunya seseorang. Oleh sebab itu, sebab-
sebab munculnya hadits lain di bawah ini, mengandung maksud menjelaskan kemusykilan
itu.
Dari Anas ra. Katanya: Tatkala ada prosesi jenazah lewat dihadapan beliau dan para sahabat
memuji-muji kebaikan orang yang meninggal itu. Maka Rasulullah saw berkata: Ya, mesti
demikian, mesti demikian, mesti demikian.. Lalu lewat pulalah jenazah yang lain dan para
sahabat membicarakan kejelekan orang yang meninggal itu. Maka Rasulullah saw pun
berkata pula:Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.
Mendengar itu para sahabat lalu bertanya kepada beliau: Ya Rasulullah apa makna ucapan
tuan tentang jenazah tadi? Ketika yang seorang dipuji kebaikannya dan seorang lagi disebut-
sebut keburukannya, tuan mengatakan: Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.
Maka Rasulullah saw menjawab:
Memang benar Ya Abu Bakar, Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat di dunia
yang berbicara melalui lisan anak-cucu Adam tentang apa yang baik dan buruk dalam diri
seseorang.

Bentuk Ketiga: Merupakan persoalan yang berkenaan dengan penjelasan bagi para sahabat
yang mendengarkan saat itu.
Ini dapat ditemukan misal dalam persoalan yang berkenaan dengan As Suraid yang datang
kepada Rasulullah saw ketika pembebasan kota Makkah (Fath Makkah) lalu berkata kepada
beliau: Saya bernadzar manakala Allah memberikan keberhasilan kepada tuan dalam
membebaskan kota Makkah, saya akan shalat di Baitul Maqdis. Mendengar itu Rasulullah
pun berkata: Shalat di sini jauh lebih baik. Kemudian beliau mengatakan:
Demi dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau seandainya engkau shalat di
mesjid ini, niscaya diperbolehkan. Lalu selanjutnya beliau berkata pula: Shalat di mesjid ini
(Masjidil Haram) seratus ribu kali lipat lebih baik dibanding shalat di mesjid-mesjid lain.

Bila ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadits satu sama lain, maka Wurud al Hadits ini
dapat dibagi dalam dua jenis:

Bila Asbab Wurud al Hadits ini bersambung dengan haditsnya, maka ia dinukil dari hadits
itu. Tentang ini, Al Balqini mengatakan mengatakan: semisal hadits yang berkenaan dengan
pertanyaan malaikat Jibril.
Bila Wurud al Hadits nya terpisah dari hadits itu, maka ia dinukil melalui jalan yang lain.
Tentang ini Al Balqini mnegatakan pula : Dan keadaan semacam inilah yang mesti
diperhatikan dengan cermat. Lalu dicontohkannya hadits al-kharaj (pajak tanah) dengan
adh-dhiman (jaminan).

1.4 Cara mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits


Di antara maudlu pokok dalam ilmu Asbab Wurud Al Hadits, ialah pembicaraan
tentang cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits.
Cara-cara mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu hanya dengan jalan riwayat saja.
Karena tidak ada jalan lain bagi logika.
Menurut penelitian Al Bulqiny, bahwa sebab-sebab lahirnya hadits itu ada yang sudah
tercantum di dalam hadits itu sendiri dan adapula yang tidak tercantum dalam hadits sendiri,
tapi tercantum di hadits lain.
Menurut As-suyuthi ada tiga metode dalam mengetahui asbabul wurud:
1. Dengan mengetahui sebab yang berupa ayat Al-Quran.
2. Sebab yang berupa hadits itu sendiri.
3. Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat

Sebagai contoh Asbab Wurud Al Hadits yang tercantum dalam hadits itu sendiri, seperti
hadits Abu Dawud yang tercantum dalam kitab sunannya, yang diriwayatkan oleh Abu Said
al Khudry. Kata Abu Said:
Bahwa beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan Rasulullah
SAW : Apakah Tuan mengambil air wudhu dari sumur Budlaah, yakni sumur yang dituangi
darah, daging anjing, dan barang-barang busuk? Jawab Rasulullah: Air itu suci, tak ada
sesuatu yang menjadikannya najis.
Sebab Rasulullah saw. bersabda, bahwa air itu suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat,
tentang hukum air yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang
persoalan itu dilukiskan dalam rangkaian hadits itu sendiri.
Contoh Asbab Wurud yang tidak tercantum dalam rangkaian hadits itu sendiri, tetapi
diketahui dari hadits yang terdapat di lain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti hadits
Muttafaq-alaih tentang niat dan hijrah, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a:
...Barangsiapa yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang
bakal dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada yang diniatkannya saja.
Asbab Wurud dari hadits tersebut di atas, kita temukan pada hadits yang di takhrijkan oleh
At-Thabrany yang bersanad tsyiqoh dari Ibnu Masud r.a ujarnya:
Konon pada jamaah kami terdapat seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan
yang bernama Ummu Qais. Tetapi perempuan itu menolak untuk dinikahinya, kalau laki-laki
pelamar itu enggan berhijrah ke Madinah. Maka ia lalu hijrah dan kemudian menikahinya.
Kami namai laki-laki itu, Muhajir Ummi Qais.
1.5 Faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits
Dari definisi yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui faedah-faedah mempelajari
Asbab Wurud Al Hadits,.yakni membatasi arti suatu nash hadits dalam segi-segi berikut ini:

a. Takhshish al- Am (Mentakhsiskan (mengkhususkan) arti yang umum)


Ini terlihat dalam hadits dibawah ini:
Pahala orang yang shalat dengan duduk, setengah dari shalat orang yang berdiri.
Makna yang terkandung dalam hadits ini bersifat umum, untuk semua orang yang shalat.
Padahal kalau kita lihat sebab-sebab lahirnya hadits tersebut melalui riwayat Abdullah Ibnu
Umar yang artinya:
Kami memasuki kota Madinah, dan secara mendadak kami diserang perasaan letih yang
demikian hebat. Maka sebagian besar dari kami shalat di tempat shalat kami masing-masing
dengan duduk. Kemudian keluarlah Rasulullah SAW di terik matahari yang menyengat itu,
sementara orang-orang tetap shalat ditempatnya masing-masing dengan duduk. Lalu beliau
pun bersabda: Pahala orang yang shalat dengan duduk setengah dari pahala orang yang
shalat dengan berdiri.
Dari hadits ini jelas bahwa hadits tersebut mengandung maksud khas yang ditujukan kepada
mereka yang mampu berdiri.
Sejalan dengan itu, ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Samurah, ia
berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat dengan duduk hanya disaat menjelang wafat
beliau.
Hal serupa itu, kita temukan pula pada hadits Nabi yang berkenaan dengan pelarangan beliau
terhadap menyewakan ladang-ladang, yang kalau tidak telusuri sebab-sebab munculnya
hadits ini, niscaya kita tetap menetapkan hukum umum pada hadits tersebut, dan ini pasti
akan membuat susah semua orang.
Hadits yang dimaksud diatas, adalah diriwayatkan oleh Ahmad dari Urwah Ibn az-Zubair, ia
berkata:
Zaid bin Tsabit berkata: Semoga Allah mengampuni Rafi bin Khudaij, saya, Demi Allah,
adalah orang yang lebih tahu tentang hadits itu. Sesungguhnya telah datang dua orang yang
habis berkelahi kepada Rasulullah SAW. Maka beliau pun lalu berkata: Kalau demikian
kalian, maka janganlah kalian menyewakan ladang-ladang.
b. Taqyid al-Muthlaq (Membatasi arti yang mutlak)
Ini dapat ditemukan dalam hadits berikut:
Barangsiapa merintis perbuatan yang baik, lalu diamalkannya, dan diamalkan oleh orang-
orang yang sesudahnya, maka ia akan memperoleh pahala untuk itu, ditambah pula dengan
pahala orang-orang yang mengamalkan sunahnya itu sesudah ia, tanpa dikurangi barang
sedikit pun. Dan barangsiapa merintis perbuatan jahat, lalu ia kerjakan, dan dikerjakan pula
oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan memperoleh dosa untuk itu, ditambah dengan
dosa-dosa yang melakukan perbuatan itu sesudahnya, tanpa dikurangi sedikit pun.
Sunnah (perbuatan) yang dimaksud hadits tersebut di atas, baik sifatnya baik maupun
buruk, adalah bersifat mutlak, mencakup perbuatan-perbuatan yang memiliki nash landasan
hukum dalam ajaran agama dan yang tidak ada landasan hukumnya. Lalu sebab-sebab
munculnya hadits ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan sunnah(perbuatan)
dalam hadits tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang ada nash-nya dalam Islam.

c. Tafshil al-Mujmal (Merinci yang mujmal (global)


Ini dapat ditemukan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Anas, ia berkata: Rasulullah memerintahkan kepada Bilal agar menggenapkan adzan dan
mengganjilkan iqomah (qamat). Manthuq(redaksi) hadits ini tidak sesuai dengan kesepakatan
para ulama tentang jumlah takbir yang empat kali, dan dua kali dalam iqamat.
Akan tetapi setelah kita temukan sebab-sebab munculnya hadits ini yang diperoleh dari
riwayat Abu Daud dalam sunan-nya, dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari hadits
Abdullah bin Zaid maka menjadi jelaslah persoalannya.
Jadi setelah kita temukan sebab-sebab munculnya hadits ini, nyatalah bahwa kandungan
artinya bersifat mujmal (global), serta menunjukkan prinsip yang dipegangi para ulama,
dalam pandangan mereka tentang mengulang takbir empat kali dalam adzan, dan dua kali
dalam iqamat.

d. Menentukan persoalan naskh dan menjelaskan nasikh dan mansukh


Hal seperti ini ditemukan dalam hadits sebagai berikut:
Imam itu untuk diikuti, oleh sebab itu janganlah kamu sekalian mendahuluinya. Jika ia
takbir, maka takbirlah kamu sekalian, dan jika ia ruku,ruku pulalah kalian. Dan manakala ia
megucapkan samiallahu liman hamidah maka ucapkanlah: Allahumma Rabbana lakal
hamd. Lalu jika ia sujud, maka sujudlah kamu sekalian, dan kalau ia shalat dengan duduk,
maka shalat pulalah kamu sekalian dengan duduk.
Tentang hadits tersebut di atas, Imam Syafii berpendapat bahwa hadits ini dihapus
(mansukh) oleh hadits lain yang diterima dari Aisyah yang menyatakan bahwasanya
Rasulullah SAW shalat bersama kaum Muslimin pada saat beliau sakit menjelang wafatnya
dengan duduk, sedangkan kaum Muslimin shalat dengan berdiri.
Padahal Asbab Wurud Hadits ini jelas meniadakan hukum naskh (penidakberlakuan) pada
hadits tersebut.
Imam Muslim dalam Shahih-nya mengeluarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas, ia
berkata: Nabi SAW terjatuh dari kudanya sehingga terkelupas kulit betis beliau yang sebelah
kanan. Kami lalu menjenguk beliau dan waktu shalat pun tiba. Maka beliau lalu mengimami
shalat bersama kami dengan duduk, sedangkan kami tetap shalat dengan duduk pula. Dan
seusai shalat, beliau bersabda:
Sesungguhnya Imam itu untuk diikuti, oleh sebab itu janganlah kamu sekalian
mendahuluinya. Jika ia takbir, maka takbirlah kamu sekalian, dan jika ia ruku,ruku pulalah
kalian. Dan manakala ia megucapkan samiallahu liman hamidah maka ucapkanlah:
Allahumma Rabbana lakal hamd. Lalu jika ia sujud, maka sujudlah kamu sekalian, dan
kalau ia shalat dengan duduk, maka shalat pulalah kamu sekalian dengan duduk.
Dengan tiada naskh ini, maka berlaku pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang
mempertemukan dua hadits tersebut dengan mengemukakan dua alternatif berikut:
Pertama : Manakala imam yang biasa diikuti itu memulai shalatnya dengan duduk lantaran
sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya, maka saat itu makmum harus shalat
dengan duduk.
Kedua : Kalau imam yang diikuti itu sejak semula shalat dengan berdiri, baik dalam
kenyataannya nanti ia shalat dengan duduk ataukah berdiri, lantaran sakit yang tidak bisa
diharapkan kesembuhannya seperti yang terdapat dalam hadits yang berkenaan dengan sakit
beliau menjelang wafatnya. Ketetapan yang diberikan oleh Rasulullah SAW agar para
sahabatnya tetap shalat dengan berdiri di saat beliau sakit menjelang wafatnya itu,
membuktikan bahwa Nabi tidak memerintahkan mereka shalat dengan duduk, sebab saat itu
Abu Bakar memulai shalatnya dengan berdiri, yang berbeda dengan situasi yang terdapat
dalam hadits pertama dimana shalat itu dimulai dengan duduk, yang karena itu pula di saat
para sahabat shalat dengan berdiri, beliau pun melarangnya.
Sejalan dengan itu, asy-Syaukani menegaskan pendapatnya dengan mengatakan:
Mempertemukan kedua hadits itu (al-jamu)menguatkan pendapat bahwa secara prinsipil
tidak ada naskh disini, apalagi dalam keadaan ini diberlakukan dua kali naskh, sebab dalam
prinsipnya seorang yang mampu shalat sambil berdiri tidak dibenarkan shalat dengan duduk.
Pendapat di atas telah menidakberlakukan shalat makmum yang duduk di belakang imam
yang duduk, lalu sesudah itu, ia dinaskh pula dengan hadits lain yang melarang shalat dengan
duduk, sehingga terjadi dua kali penidakberlakuan, dan ini jelas tidak mungkin bisa diterima.
e. Menerangkan illat (alasan) suatu hokum
Hal seperti ini dapat ditemukan misalnya dalam hadits yang berkenaan dengan pelarangan
Rasulullah SAW terhadap minum air langsung dari mulut bejana.
Adapun sebabnya adalah : Suatu saat disampaikan kepada Rasulullah bahwa ada seorang
laki-laki minum langsung dari mulut bejana, lalu ia pun sakit perut (mules-mules). Maka
beliau pun lalu melarang minum langsung dari mulut bejana.

f. Menjelaskan Kemusykilan
Ini dapat ditemukan dalam hadits berikut ini:
Barangsiapa yang mempercayai perhitungan, niscaya disiksa di hari kiamat.
Adapun sebab-sebab munculnya hadits ini adalah bahwa Aisyah meriwayatkan, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang dihisab, niscaya ia disiksa di hari kiamat. Lalu
Aisyah berkata: Bukankah Allah berfirman: Maka ia akan dihitung dengan perhitungan
yang mudah? Dan beliau menjawab: Bukan, itu hanya formalitas. Jadi, Barangsiapa
dihisab, ia akan disiksa.
Dari uraian faedah-faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits di atas dapat disimpulkan
antara lain, sebagai berikut:

1. Untuk menolong memahami dan menafsirkan hadits. Sebab sebagaimana diketahui bahwa
pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu merupakan sarana untuk mengetahui
musabab (akibat) yang ditimbulkannya. Seseorang tidak mungkin mengetahui penafsiran
suatu hadits secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab dan keterangan-keterangan tentang
latar belakang.

2. Sebagaimana diketahui dalam lafadz nash itu kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang
bersifat umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang men-
takhsiskannya. Akan tetapi dengan diketahui sebab-sebab lahirnya nash itu, maka takhsis
yang menggunakan selain sebab, harus dihilangkan. Sebab memasukkan takhsis yang
terbentuk sebab ini adalah qathi, sedang mengeluarkan takhsis sebab, adalah terlarang secara
ijma.
3. Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat (hukum-hukum)

4. Untuk mentakhsiskan hukum, bagi orang yang berpedoman kaidah Ushul-Fiqih al-ibratu
bikhusushis sabab (mengambil suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus).
Biarpun menurut pendapat Ushuliyun berpedoman dengan al-ibratu biumumil-lafadh, la
bikhususis sabab(mengambil suatu ibarat itu hendaknya berdasar pada lafadz yang umum,
bukan sebab-sebab yang khusus).
BAB III

PENUTUP
2. 1 Kesimpulan

Asbabul Wurud : ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-
masanya Nabi menuturkan itu.
Faedah Asbab Wurud al Hadits, antara lain mentakhsis arti umum, membatasi arti yang
mutlak, menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan
menunjukkan illat suatu hukum.
Cara-cara mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu hanya dengan jalan riwayat saja.
Karena tidak ada jalan lain bagi logika.
Pembagian atau bentuk-bentuk Asbab Wurud al Hadits :

Bentuk Pertama: Berupa Ayat Al Quran


Bentuk kedua : Berupa Hadits
Bentuk Ketiga: Merupakan persoalan yang berkenaan dengan penjelasan bagi para
sahabat yang mendengarkan saat itu

Memperhatikan atsar (data) yang diperoleh dari para ulama salaf, semenjak masa sahabat
sampai masa kita dewasa ini, jelaslah sudah bahwa ilmu itu terhitung telah lama ada
2.2 DAFTAR PUSTAKA

Al hafidz Jalaludin As-Sayuthi. 1406 H-1985 M. Asbab Wurud Al-Hadits Proses Lahirnya
Sebuah Hadits. Bandung: Pustaka
Fatchur Rahman, 1974.Ikhtisar Musthalahul Hadits.Bandung:PT Al Maarif
Mudasir &Maman Abdul Djaliel.1999.Imu Hadits.Badung:CV.Pustaka setia
Munzier Suparta&Utang Ranuwijaya.1996.Ilmu Hadits.Jakarta:PT. Raja Gafindo
Persada
Muhamad Ahmad&M.Mudzakir.2000.Ulumul Hadis.Bandung:CV Pustaka Setia
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--
sitifatima-2712
http://insansejati.com/ilmu-hadits/54-asbabul-wurud.html
http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/56
http://kampungsunnah.org

Anda mungkin juga menyukai