ASBABUN WURUD
DOSEN PEMBIMBING :
Hendrizal Hadi, Lc, MA
DISUSUN OLEH :
Rendi Permana
(1903112399)
BIOLOGI (B)
UNIVERSITAS RIAU
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
2019/2020
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “MENGENAL LEBIH
DEKAT ASBABUN NUZUL DAN ASBABUN WURUD”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
(i)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………..……..ii
BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………..…..1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………….…..1
1.2 Rumusan masalah………………………………………………………………………….…..2
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………………………….…2
BAB 2 PEMBAHASAN…………………………………………………………………………….….……..3
2.1 Apa itu Asbabun Nuzul?………………….……………………….……………….……….3
2.2 Apa itu Asbabun Wurud ? ……………………………………………………..….………7
BAB 3 PENUTUP…………………………………………………………………………………………..17
3.1Kesimpulan……………………………………………………………………………….………17
DAFTARPUSTAKA……………………………………………………………………………………………18
(ii)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.3 Tujuan
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan
dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada
saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-Shabuni
3. Subhi Shalih
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau
beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai
respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa
itu terjadi”
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
(QS. Al-Isra’ : 85)
Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak
benar bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya,
bagaimanpun sebagian kisah al-qur’an tidak dapat dipahami tanpa
pengetahuan tentang sebab turunnya.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul dapat dibagi
kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu
dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun
satu ) dan ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ini persoalan yang terkandung
dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab
turunnya satu ).
(5)
sebab turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau tunggal bila
riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu ayat atau sekelompok ayat
yang turun disebut ta’addud al-nazil.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan
masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang
disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis,
permasalahannya ada empat bentuk: Pertama, salah satu dari keduanya
shahih dan lainnya tidak. Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya
mempunyai penguat ( Murajjih ) dan lainnya tidak. Ketiga, keduanya shahih
dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat ( Murajjih ). Akan tetapi,
keduanya dapat diambil sekaligus. Keempat, keduanya shahih, tidak
mempunyai penguat ( Murajjih ) dan tidak mungkin mengambil keduanya
sekaligus.
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya
suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطالق أوتقييد أونسخ أونحو
ذالك.
Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu Hadis yang
bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan
ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu Hadis.
(8)
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi lebih
mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-Hadis, yakni untuk menentukan
takhsis (pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta
untuk menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan untuk
merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said Agil Husin
Munawwar untuk merumuskan pengertian asbabul wurud, kita perlu mengacu
kepada pendapat hasbi ash-shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul wurud
sebagai berikut :
علم يعرف به السبب الذي ورد ألجله الحديث والزمان الذي جاء به
Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul wurud, agak
mirip dengan pengertian asbabun-nusul, yaitu:
Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwaasbabul
wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau
pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat Hadis itu disampaikan oleh
Nabi SAW.
(9)
Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah Hadis itu
bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan
lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah
tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (washilah) untuk
memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu Hadis.
Menurut imam as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga
macam, yaitu: 1) sebab yang berupa ayat al-Qur’an, 2) sebab yang berupa
Hadis itu sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para
pendengar dikalangan sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut,
yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu
menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya
antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم األمن وهم مهتدون
2. Sebab yang berupa Hadis. Artinya pada waktu itu terdapat suatu Hadis,
namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka
kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap
Hadis tersebut. Contoh adalah Hadis yang berbunyi:
إن هلل تعالى مالئكة في األرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin
Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau
pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat
Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi
berssabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW
lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-
Nya,seandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah
mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda
lagi: “Shalat Dimasjid Ini, Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari
Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq Dalam
Kitab Al-Mushannafnya)
Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:
“shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat
sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat
berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya,
maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu
adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud
dengantakhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat
umum, dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.
(13)
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan
penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para
sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi
kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat
tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda :” shalat orang yang
sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”.
Mendengar pernyataan nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit
memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya
adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah
sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat
dengan beridiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat
sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat fardhu atau shalat sunnat,
lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang
disebut-sebut dalam hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan
separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh
melakukanrukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi
pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi:
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا و من
سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا
“barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang
baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan
mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang
siapayang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk)
(14)
lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa
mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R.
Muslim)
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar
membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka.
Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat
yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda :
(15)
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan
melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya
hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum
pada matanhadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain.
Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas
dasar pemberitaan para sahabat.
Ilmu mengenai asbabul wurud al-hadis ini sebenarnya telah ada sejak zaman
sahabat. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu
bentuk kitab-kitab. Demikian kesimpulan as-Suyuthi dalam al-Luma’ fi Asbabi
wurud al-hadis. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan dunia
keilmuan waktu itu, ilmu asbab al-wurud menjadi berkembang. Para ulama ahli
hadis rupa-rupanya merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri
mengenai asbabul wurud.
Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbabul wurud antara lain
adalah:
1. Asbabu wurud al-Hadis karya Abu hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun
sayang kitab tersebut tidak dapat sampai ke tangan kita.
2. Asbabu wurud al-hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil Al-Jabari. Kitab
tersebut juga tidak sempat sampai ketangan kita.
3. Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab Wurudil
hadis, karya Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut sudah
ditahqiq oleh Yahya Ismail Ahmad.
4. Al-Bayan wa at-Ta’rif karya Ibnu Hamzah Al-Husaini ad-Damasyqi
(w.1110 H.)
(16)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
(17)
DAFTAR PUSTAKA