Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEHUJJAHAN DAN PERAN HADITS BAGI AL-QUR`AN


Menurut Abdul Wahhab khallaf
Disusun untuk memenuhi tugas presentasi mata kuliah Ulumul Hadits
Dosen pengampu ust.KINKIN SYAMSUDIN,M.AG

Oleh : MUFTI 202305005


PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSATUAN ISLAM GARUT
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya karena dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Adapun dalam penulisan makalah ini, materi yang akan
dibahas adalah:

“KEHUJJAHAN DAN PERAN HADITS BAGI AL-QUR`AN menurut Abdul


Wahhab Khallaf”

.Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan penulisan makalah ini. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing mata
kuliah yang bersangkutan.

Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah wawasan
kita dalam mempelajari “Ulumul Hadits” serta dapat digunakan sebagaimana mestinya.

GARUT, 10 OKTOBER 2023

PENYUSUN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pembahasan

Hadits atau sunnah memiliki posisi yang cukup sentral dalam terminologi ahli
hadits. Ia tidak hanya berperan sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an, tetapi juga
menempati tempat khusus dalam fungsinya terhadap sumber pertama yakni al-qur`an.
Ia tidak dapat dipungkiri adalah wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Nabi
saw,karena dalam al-Qur’an sendiri banyak kita jumpai ayat-ayat yang melegitimasi
otoritas Nabi saw sebagai penetap hukum syar’i yang diberi hak istimewa oleh Allah
SWT.

Allah SWT memerintahkan ummat Islam untuk mentaati-Nya dan mengikuti jejak
Rasul-Nya sebagai manifestasi kepatuhan kepada-Nya,sehingga hadits mempunyai
konsekuensi yang serius bagi kaum muslimin.
Penolakan atau pengamalan terhadap hadits sama artinya dengan penolakan atau
pengamalan terhadap hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'an. Allah SWT
juga telah menegaskan kepada umat Islam untuk mengikuti apa-apa yang
diperintahkan oleh Rasul-Nya dan juga meninggalkan apa-apa yang dilarangnya,
seperti tertuang dalam al-Qur’an surat al-Hasyr Ayat 7:
‫َو َم ٓا َء اَتٰىُك ُم ٱلَّرُس وُل َفُخ ُذ وُه َو َم ا َنَهٰىُك ْم َع ْنُه َفٱنَتُهو۟ا‬
Artinya: “Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu terimalah, dan apa-apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”
Hadits dan Al-Qur'an memiliki kaitan yang sangat erat, karena untuk memahami dan
mengamalkan keduanya,antara al-Qur'an dan hadits tidak dapat dipisah-pisahkan,
pemahamannya maupun pengamalannya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Hal itu
disebabkan karena al-Qur'an merupakan dasar hukum pertama yang di dalamnya
berisi garis-garis besar syariat Islam. Sedangkan hadits merupakan penjelas terhadap
al-Qur'an dan memberikan gambaran konkrit tentang batas-batas yang dinyatakan
oleh al-Qur'an.

Dengan kata lain, hadits berfungsi untuk menjelaskan mengenai kemusykilan


disekitar makna-makna dalam Al-Qur’an. dan menunjukkan kewahyuan statemen
yang diutarakannya.

Dalam teori Ilmu Ushul Fiqih seorang ulama yang bernama Abdul Wahhab khallaf
telah membagi Al-adillah Assyariyyah bil ijmali (referensi pedoman beragama
secara umum) kepada dalil secara teks dan dalil dengan akal.teks berisi al-qur`an lalu
hadits,adapun akal adalah ijma (akal kolektif,konsensus) dan qiyas (akal
individual,analogi).bagaimana beliau menempatkan hadits di urutan kedua setelah al-
qur`an sebagai landasan hukum beragama.Artinya apabila kemusykilan dan
kesamaran bahkan kebuntuan terjadi saat memahami al-qur`an maka jalan selanjutnya
bisa menempuh jalan hadits.Bahkan beliau pun menambahkan peran penting hadits
bagi keseimbangan al-qur`an sebagai landasan hukum yang pertama.

Sebagai contoh dalam al-qur`an disebutkan perintah shalat 62 kali,akan tetapi


tidak menjelaskan nama shalatnya,dan berapa kali pelaksanaannya sehari semalam
tidak tertuang secara tekstual dalam al-quran akan tetapi penjabarannya ada pada
hadits.
Nama Syaikh Abdul Wahhab Khallaf di kalangan para pembelajar ilmu ushul
fiqih tentu tidak asing lagi. Beliau adalah penulis Kitab Ilmu Ushul al-Fiqh yang
menjadi buku pegangan wajib di setiap kampus yang berlebel Islam, khusunya
Fakultas Syari'ah yang sekarang telah berubah menjadi Fakultas Hukum. Selain pakar
di bidang Ushul Fiqih, beliau adalah pakar hukum tata negara, bahasa Arab dan
yurisprudensi. walaupun begitu dalam salah satu maha karyanya Ilmu Ushul Al-fiqh
beliau memaparkan tentang kedudukan hadits juga peranan penting hadits apabila
disingkronkan dengan al-qur`an.

Bahasan-bahasan beliau ini masih sangat relevan dan dapat dijadikan rujukan
sehingga Dengan latar belakang di atas, secara khusus penyusun memutuskan untuk
melakukan penelitian mengenai pemikiran Abdul wahhab Khallaf tentang kehujjahan
hadits dan peranan hadits bagi al-qur`an.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang dapat kita ungkapkan dalam pembahasan ini adalah,
sebagai sebagai berikut berikut :
1. Bagaimana Dalil - Dalil Kehujjahan Hadis ?
2. Bagaimana Pembagian Hadits ?
3. Bagaimana Fungsi - Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an ?

1.3. Tujuan Masalah

1. Untuk Mengetahui Dalil - Dalil Kehujjahan Hadits


2. Untuk Mengetahui Pembagian Hadits
3. Untuk Mengetahui Fungsi - Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Dalil - Dalil Kehujjahan Hadits

Kata “kehujjahan” merupakan kata berimbuhan yang berasal dari kata


hujjah.Secara etimologi, hujjah berarti alasan. Sedangkan secara terminologi hujjah
berarti alasan yang harus dikemukakan untuk menetapkan atau mempertahankan
pandangan yang diajukan.Kata “hujjah” disebut juga dengan dasar penetapan hukum.
Imbuhan ke dan an pada kata “kehujjahan” berarti keadaan. Dengan demikian, kata
“kehujjahan” berarti keadaan dari alasan yang dikemukakan,yang berarti adalah
keadaan yang dijadikan dasar penetapan hukum. Adapun hadits adalah perkataan,
perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW, mencakup pula sifat-sifat beliau.
Dengan demikian, kehujjahan hadits maksudnya adalah hadits dapat dijadikan dasar
atau alasan dalam penetapan hukum (Islam).
Seluruh umat islam sepakat bahwa hadits (sunnah) merupakan salah satu sumber
hukum Islam di mana umat Islam diwajibkan mengikuti nya sebagaimana wajibnya
mengikuti Alquran. Bagi mereka yang telah beriman terhadap AlQur’an sebagai
sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga
merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits
sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa,tetapi juga murtad
hukumnya.
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena untuk
memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan
secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber
hukum utama. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an hanya berbicara secara global dan umum
dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.
Apabila hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan
mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar
dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam,dapat dilihat
dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli. Banyak ayat Al-Qur’an
yang menerangkan tentang menerangkan tentang kewajiban kewajiban mempercayai
dan mempercayai dan menerima menerima segala yang datang dari Rasulullah Saw
untuk dijadikan pedoman hidup.
Diantaranya adalah :
Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran:
َ‫ُقْل َأِط يُعو۟ا ٱَهَّلل َو ٱلَّرُس وَل ۖ َفِإن َتَو َّلْو ۟ا َفِإَّن ٱَهَّلل اَل ُيِح ُّب ٱْلَٰك ِفِر ين‬
Artinya: “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling,maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran : 32)
Dari beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi
dengan perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya umat muslim
dilarang durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.
Selain itu, terdapat dalil hadits yang didalamnya terdapat salah satu pesan yang
disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai
pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:
‫َتَر ْك ُت ِفْيُك ْم َأْم َر ْيِن َلْن َتِض ُّلوا َم ا َتَم َّس ْكُتْم ِبِهَم ا ِكَتاَب ِهللا َو ُس َّنَة َنِبِّيِه‬
Artinya : “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan
tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik).
Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup
setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segala hal yang berkaitan
dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
1. Kesepakatan Ulama’ ( Ijma’ )
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an.Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan
sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaur rosyidin hingga masa-
masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.

2. Sesuai dengan Petunjuk Akal ( Ijtihad )


Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam.Di
dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang
dari Allah,baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan
bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil
ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu.

Dalam kitab ilmu al-ushul al-fqh sendiri Abdul Wahhab Khallaf menyatakan dengan
poin-poin penting tentang kedudukan hadits :
a. Nash Al-Qur`an
sesungguhnya Allah swt dalam kebanyakan ayat-ayat al-Qur`an memerintahkan
untuk taat kepada rasul dan menjadikan taat kepada rasulnya itu bukti ketaatan
kepadanya.Ia juga memerintahkan kepada orang-orang muslim apabila
berseteru,berkonflik,berbenturan dalam sesuatu hal maka mereka harus segera
kembali kepada allah dan rasulnya.Dan tidak memberikan alternatif bagi seorang
mu`min apabila allah dan rasulnya sudah menetapkan sebuah perintah,juga akan
ditolak keimanannya dari orang yang merasa tidak ada ketenangan dan tidak
menerima pada keputusan rasul. Ini semua menjadi poin penting dalil-dalil dari allah
bahwasanya hadits adalah tasyri`ul rasul huwa tasyri`un ilahiyyun wajibun
itba`uhu (syariat dari ilahi yang wajib diikutinya) juga dilalatan qothi`ah ala
annalloha yujibu itba`arrosuli fi ma syaro`ahu (dalil yang pasti atas
mewajibkannya allah mengikuti rasul dalam urusan bersyariat)
b. Ijma` Sahabat
Baik rasul masih ada atau sudah wafat mereka Para sahabat Ra telah sepakat
bahwa wajib mengikuti sunnah rasul yaitu hadits.mereka menegakkan hukum-hukum
rasul pada saat beliau masih hidup,mengikuti aspek perintah,larangan,halal dan
haram.tidak membeda-bedakan dalam urusan wujubul itba` baik itu hukum yang
diwahyukan kepada rasul ataupun hukum yang datang dari rasul sendiri.
Oleh karena itu mu`ad bin jabal pernah berkata :
Artinya : apabila aku tidak mendapati satu hukum dalam kitab allah yang bisa
dijadikan pedoman,maka aku akan menetapkan hukum melalui sunnah rasul atau
hadits.begitupun setelah rasul wafat,para sahabat melakukan hal yang sama seperti
apa yang diakukan sahabat mu`ad.
Apabila sahabat abu bakar mengalami sebuah insiden dan sahabat abu bakar tidak
hafal haditsnya maka segera keluar dari rumahnya dan menghampiri para sahabat.lalu
bertanya : apakah diantara kalian ada yang hafal hadits nabi dari kejadian ini?
Seperti itupun apa yang dilaksanakan oleh sahabat umar dan yang lainnya.
c. Penelitian
Dalam al-Qur`an sendiri ada beberapa kewajiban dari allah bagi manusia yang
wajib untuk dilaksanakan. yakni tentang sholat dan zakat,diwajibkannya
berpuasa ,ibadah haji, belum di jelaskan secara gamblang baik itu hukum dan tata
cara.lalu hadirlah rasul menerangkan masing-masing secara terperinci dan sistematis
baik itu qouliyyah ataupun pi`liyyah.apa jadinya apabila sunnah rasul ini tidak
menjadi hujjah bagi orang muslim,dan landasan hukum yang wajib diikutinya maka
tidak mungkin kewajiban yang tertuang dalam al-qur`an bisa terlaksanakan dan tidak
ada satupun yang mengikuti hukum-hukumnya.
2.2. MACAM-MACAM HADITS

Sunnah atau hadits versi ahli ushul fiqih, ditinjau dari segi penunjukannya
terhadap hukum, terbagi dalam dua bagian besar, yaitu sunnah tasyrî‘iyyah dan
sunnah ghayru tasyrî‘iyyah. Sunnah tasyrî‘iyyah adalah sunnah yang berdaya
hukum yang mengikat (legal binding) untuk diikuti. Sementara sunnah ghairu
tasyrî‘iyyah adalah sunnah yang tidak berdaya hukum, yakni sunnah yang tidak
harus diikuti dan karenanya tidak mengikat. Penjabarannya menjadi urgen (penting)
dipahami. Sunnah tasyrî‘iyyah adalah sunnah yang berasal dari Nabi SAW baik
berupa ucapan, perbuatan, maupun persetujuan beliau sebagai wujud penyampaian
titah Tuhan/risalah (wajhut tablîgh, tablîghur risâlah), dengan sifat atau
kedudukannya:
(1) sebagai seorang rasul yang wajib diikuti dan harus diamalkan ketentuan-
ketentuan hukumnya (imtitsâlan), misalnya menghalalkan sesuatu atau
mengharamkannya; perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukannya; dan
penjelasan perintah ibadah (seperti shalat, zakat dan haji); pengaturan transaksi
(muamalat);
(2) sebagai imam atau pemimpin umat Islam, seperti menggunakan baitul māl (kas
negara), mengikat perjanjian dan perbuatan lainnya;
(3) sebagai hakim yang memutuskan hukum di antara manusia.

Tipe pertama merupakan ketentuan yang bersifat permanen dan berlaku umum
untuk semua orang mukallaf (baligh dan berakal sehat), yang dalam pelaksanaannya
tidak tergantung kepada sesuatu selain pengetahuan terhadap sunnah itu.
Tipe kedua tidak berlaku umum untuk semua orang, dan dalam pelaksanaannya
tergantung pada persetujuan atau izin imam/pemimpin.
Tipe ketiga tidak bersifat umum dan dalam pelaksanaannya dapat dilakukan oleh
perseorangan dengan ada mandat (penunjukan) dari imam/pemimpin.
Sunnah tasyrî‘iyyah ini dapat juga disebut sunnah wahyu. Adapun sunnah ghayru
tasyrî‘iyyah adalah sunnah yang berasal dari Nabi SAW baik berupa ucapan,
perbuatan, maupun persetujuannya, bukan sebagai wujud penyampaian titah Tuhan
(ghayru wahjut tablîgh). Sunnah dalam tipe ini terdiri atas dua macam. Pertama,
sunnah yang bersumber pada tabiat/tradisi dan kebutuhan kemanusiaan, seperti tata
cara makan dan minum, makan menggunakan jari-jari dan tangan kanan, tata cara
berpakaian (seperti memakai gamis dan serban), dan cara berjalan. Kedua, sunnah
yang bersumber dari pengalaman dan eksperimen dalam kehidupan dan pertimbangan
individual terhadap konteks tertentu (tanpa terkait intervensi wahyu atau kenabian
dan risalah), seperti urusan dagang, pertanian, dan cara memelihara ternak. Ketiga,
sunnah menurut estimasi (perkiraan) atau kebijaksanaan individual nabi terhadap
konteks situasi dan kondisi tertentu, seperti strategi perang dan penempatan pasukan.
Sunnah ghayru tasyri‘iyyah dapat juga disebut sunnah non wahyu, tidak mempunyai
kekuatan atau daya hukum mengikat yang memuat tuntutan atau larangan, sehingga
kita dapat mengikutinya tetapi sifatnya tidak mengikat (tidak wajib/tidak harus).

Abû Syaibah menjelaskan klasifikasi (pembagian) perbuatan Nabi Muhammad


SAW, secara terperinci menjadi tujuh macam.
Pertama, perbuatan Nabi SAW yang sampai kepada kita, sejak pertama kalinya,
merupakan bentuk melaksanakan perintah Allah SWT atas beliau dan kita (imtitsâl),
yaitu perbuatan yang ada dalilnya mengenai persamaan hukum di antara kita dan
beliau, seperti bersyahadat dan menunaikan rukun-rukun Islam, seperti shalat dan
zakat.
Kedua, perbuatan beliau yang terjadi secara alami, sesuai hukum kebiasaan
kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, tidur, naik kendaraan, dan bepergian. Terkait
jenis perbuatan ini, beliau dan umatnya memiliki kedudukan yang sama. Contohnya,
Nabi SAW senang makanan yang manis, dingin, minuman manis dan madu, termasuk
cara berpakaian, cara makan dan minum, dan cara berjalan, serta mengenai
kepribadiannya, yang tidak tampak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada
Allah (qurbah).
Ketiga, perbuatan yang berasal dari Nabi SAW, dan merupakan kekhususan baginya,
seperti boleh nikah lebih dari empat istri, kewajiban qiyamul lail, dan boleh
menyambung puasa.
Keempat, perbuatan yang dilakukan sebagai penjelas hukum (bayân) terhadap
ketentuan hukum yang masih bersifat global dalam Al-Qur’an, seperti tentang tata
cara ibadah.
Kelima, perbuatan Nabi SAW yang sejak awal bukan untuk bayân, bukan pula
melaksanakan perintah, tidak pula kekhususan baginya, bukan pula kebiasaan
kemanusiaannya, tetapi diketahui sifat perbuatan itu wajib atasnya seperti qiyamul
lail dan shalat dhuha, atau sunah seperti shalat Id, atau qadhâ’ seperti dua rakaat
ba’da shalat ashar, dan sebagainya, yang merupakan sifat-sifat perbuatan yang
diperintahkan karena Syâri‘ (Allah SWT).
Keenam, perbuatan yang tidak diketahui sifatnya, tetapi mutlak dihubungkan kepada
kita yang tampak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya (qurbah),
hukumnya sunnah muakkad (lebih baik) diikuti, seperti mengangkat tangan dalam
shalat ketika takbiratul ihram, rukuk, bangun dari rukuk dan dari rakaat kedua.
Ketujuh, perbuatan yang tidak tampak dimaksudkan untuk qurbah, tetapi sebaiknya
diikuti (sunnah), seperti meletakkan jari-jari tangan kanan saat tasyahhud. Implikasi
klasifikasi sunnah tasyrî‘yyah dan sunnah ghayru tasyrî‘iyyah tersebut menunjukkan
bahwa tidak semua sunnah atau perbuatan Nabi SAW bermakna tasyrî‘ (ketentuan
berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti)
2.3. FUNGSI-FUNGSI HADITS BAGI AL-QUR`AN

Al-`quran merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
Nabi Muhammad saw yang digunakan untuk penyempurna agama dan kitab-kitab
yang pernah diturunkan sebelumya. Al-qur`an dan hadis merupakan pedoman -
pedoman umat muslim dalam syariat syariat dan pokok ajaran pokok ajaran islam
yang ada. Adapun fungsi hadis terhadap al-qur`an menurut teori ushul fiqh ditinjau
dari hukum-hukum yang ada didalamnya adalah sebagai berikut :

a.Hadits berfungsi sebagai penegas dan penguat segala hukum yang ada dalam
Al-Quran seperti perintah shalat, puasa, zakat dan haji.
Abdul Wahab Khallaf mengatakan:
‫إما أن تكون سنة مقررة ومؤكدة حكما جاء في القرآن‬
Artinya, “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penegas dan penguat terhadap hukum
yang ada dalam Al-Quran.
Contoh firman allah :
‫َفَم ْن َش ِهَد ِم ْنُك ُم الَّش ْهَر َفْلَيُص ْم ُه‬
Barangsiapa yang menyaksikan bulan ramadlan maka hendaklah shaum. Ditegaskan
oleh Rasulullah SAW:
‫ُص وُم وا ِلُر ْؤ َيِتِه َو َأْفِطُر وا ِلُر ْؤ َيِتِه َفِإْن ُغ ِّمَي َع َلْيُك ْم َفَأْك ِم ُلوا اْلَعَدَد‬
Berpuasalah karena rukyat dan berbukalah karena rukyat,apabila tidak berhasil
silahkan sempurnakan bilangannya
b.Hadits juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir segala hukum yang
bersifat global dalam Al-Quran, seperti menjelaskan tatacara shalat, puasa, zakat
dan haji.
‫إما أن تكون سنة مفصِّلة ومفِّس رة لما جاء في القرآن‬
Artinya, “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penjelas dan penafsir terhadap hukum
global/umum yang disebutkan dalam Al-Quran.
c.Hadits juga berfungsi sebagai pembuat serta memproduksi hukum yang
belum dijelaskan oleh Al-Quran seperti hukum mempoligami seorang perempuan
sekaligus dengan bibinya, hukum memakan hewan yang bertaring, burung yang
berkuku tajam dan lain sebagainya.
Khallaf kembali mengatakan sebagai berikut.
‫وإما أن تكون سنة مثِبَتة ومنِش َئة ُح كما سكت عنه القرآن‬
Artinya, “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penetap dan pencipta hukum baru
yang belum disebutkan oleh Al-Quran. Dengan demikian, karena begitu pentingnya
posisi hadits dalam konsepsi hukum Islam, maka seseorang yang akan berkecimpung
di dalamnya diharuskan untuk mengenal istilah dasar dalam ilmu hadits, menguasai
kaidah-kaidah takhrij dan kajian sanadnya, serta mengetahui seluk beluk dan tatacara
memahami redaksinya. Pembacaan yang tidak paripurna serta serampangan terhadap
hadits akan membuat seseorang keliru dan bahkan juga membuat keliru orang lain

BAB III
KESIMPULAN

Hadits dalam hukum Islam dianggap sebagai mashdarun tsanin (sumber kedua)
setelah Al-Quran. Ia berfungsi sebagai penjelas dan penyempurna ajaran-ajaran Islam
yang disebutkan secara global dalam Al-Quran. Bisa dikatakan bahwa kebutuhan Al-
Quran terhadap hadits sebenarnya jauh lebih besar ketimbang kebutuhan hadits
terhadap Al-Quran. Kendati demikian, seorang Muslim tidak dibenarkan untuk
mengambil salah satu dan membuang yang lainnya karena keduanya ibarat dua sisi
mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mengeluarkan hukum Islam, pertama
kali para ulama harus menelitinya di dalam Al-Quran. Kemudian setelah itu, baru
mencari bandingan dan penjelasannya di dalam hadits-hadits Nabi karena pada
dasarnya tidak satupun ayat yang ada dalam Al-Quran kecuali dijelaskan oleh hadits-
hadits Nabi. Pembagian hadits itu sendiri ada yang berdaya hukum mengikat dan
tidak mengikat. Perannya pun bagi al-qur`an sangatlah besar ia adalah
penegas/penguat,penjelas dan pembuat hukum yang belum dijelaskan dalam al-
Qur`an.

Anda mungkin juga menyukai