Anda di halaman 1dari 6

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Judul Modul : ALQUR’AN HADITS


B. Kegiatan Belajar : KEDUDUKAN HADITS DAN FUNGSINYA TERHADAP
AL-QUR’AN (KB.4)
C. Refleksi

BUTIR
NO RESPON/JAWABAN
REFLEKSI
KONSEP KEDUDUKAN HADITS DAN FUNGSINYA TERHADAP
AL-QUR’AN

Konsep
(Beberapa
1 istilah dan
definisi) di
KB

1. Urgensi Keberadaan Hadis Secara umum hadis (sunnah) merupakan


penjelas (bayân) terhadap makna Al-Qur‟an yang umum, global dan mutlak.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Nahl ayat 44: Artinya: “Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”. Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Rasulullah ditugaskan
untuk memberikan penjelasan atas kalam Allah. Imam Ahmad
menandaskan bahwa seseorang tidak akan dapat memahami Al-Qur‟an
secara keseluruhan tanpa melalui hadis. Imam al-Syathibi mengungkapkan
hal sama, bahwa kita tidak akan bisa mengambil dan menentukan hukum
dari Al-Qur‟an secara langsung tanpa penjelasan hadis (Fikri, 2015: 180).
Dengan demikian, jelaslah bahwa kehadiran hadis sangat penting dalam
syariat Islam. Argumen Imam Ahmad di atas hendaknya tidak dipahami
bahwa semua ayat al-Quran pasti ada penjelasannya dalam Sunnah.
Pemahaman bahwa semua ayat harus dijelaskan oleh hadis akan
melahirkan sikap rigid dalam memahami ayat- ayat al-Qur‟an. Hadis-hadis
yang dianggap sebagai penjelasan suatu ayat, khususnya yang terkait
dengan problematika sosial-budaya (bukan dalam hal pokok urusan ibadah
simbolik, akidah, dan akhlak) tidak semuanya harus dijadikan standar final
yang bersifat universal dan tidak bisa diinterpretasi ulang dalam memahami
ayat itu. Hadis-hadis tersebut tetap harus dikaji dengan piranti keilmuan di
atas untuk dijadikan inspirasi dalam mengamalkan Islam dalam konteks
kehidupan yang dinamis. Sebagai inspirasi, penjelasan itu bisa saja tetap
relevan untuk konteks kekinian, namun bisa pula kita posisikan hadis
tersebut sebagai respon zaman kala itu yang harus dicarikan benang
merah moral dan substansinya dengan kondisi saat ini.
Argumen Imam Ahmad di atas hendaknya tidak dipahami bahwa semua
ayat al-Quran pasti ada penjelasannya dalam Sunnah. Pemahaman bahwa
semua ayat harus dijelaskan oleh hadis akan melahirkan sikap rigid dalam
memahami ayat-ayat al-Qur‟an. Hadis-hadis yang dianggap sebagai
penjelasan suatu ayat, khususnya yang terkait dengan problematika sosial-
budaya (bukan dalam hal pokok urusan ibadah simbolik, akidah, dan
akhlak)
tidak semuanya harus dijadikan standar final yang bersifat universal
dan tidak bisa diinterpretasi ulang dalam memahami ayat itu. Hadis-hadis
tersebut tetap harus dikaji dengan piranti keilmuan di atas untuk dijadikan
inspirasi dalam mengamalkan Islam dalam konteks kehidupan yang
dinamis. Sebagai inspirasi, penjelasan itu bisa saja tetap relevan untuk
konteks kekinian, namun bisa pula kita posisikan hadis tersebut sebagai
respon zaman kala itu yang harus dicarikan benang merah moral dan
substansinya dengan kondisi saat ini.
Mengingat sunah adalah Inspirasi bagi umat untuk mengamalkan alQur‟an,
dimana ia memberikan contoh-contoh penerapan ajaran Islam dalam
kehidupan nyata, hal itu mengantarkan hadis kepada posisi penting dalam
syariat Islam. Dalam hal penjelasan tentang hukum agama, hadis
menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur‟an sebagai sumber hukum
Islam yang kemudian disusul ijma dan qiyas. Terdapat beberapa
argumentasi yang menegaskan kedudukan hadis ini baik secara naqli
(riwayat) maupun „aqli (nalarlogis). Pertama, Al-Qur‟an menyebutkan dalam
banyak ayat terkait kewajiban untuk memercayai dan menerima segala
yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman
hidup. Perintah ini ditunjukkan dalam QS. Ali „Imran (3): 23 dan 179, QS. Al-
Nisa (4): 59 dan 136,
QS. Al-Maidah (5): 92, QS. Al-Nur (24): 54, QS. Al-Hasyr (59): 7 dan
banyak lagi yang lainnya. Kedua, hadis sendiri dalam beberapa riwayat
secara tersurat menegaskan pentingnya hadis dalam kehidupan. Di
antaranya ditunjukkan dalam riwayat Imam Malik nomor 1395 berikut:
Artinya: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak
akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab
Allah dan sunnah rasul-Nya.” Hadis lain memerintahkan untuk berpegang
teguh terhadap sunnah Nabi dan sunnah Khulafa al-Rasyidin yang telah
mendapat petunjuk, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibn Majah
nomor 42 ini:
Artinya: “Pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di tengah-tengah kami.
Baginda memberi nasihat yang sangat menyentuh, membuat hati menjadi
gemetar, dan air mata berlinangan. Lalu dikatakan; “Wahai Rasulullah,
engkau telah memberikan nasihat kepada kami satu nasihat perpisahan,
maka berilah kami satu wasiat.” Baginda bersabda: “Hendaklah kalian
bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kepada seorang
hamba Habasyi. Dan sepeninggalku nanti, kalian akan melihat perselisihan
yang sangat dahsyat, maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku
dan sunnah para khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah
sunnah itu dengan gigi geraham, dan jangan sampai kalian mengikuti
perkara-perkara (bid‟ah) yang dibuat-buat, karena sesungguhnya semua
bid‟ah itu adalah sesat.”
Hadis berikutnya yang lazim menjadi argumentasi tentang kedudukan hadis
ini adalah peristiwa pengutusan Rasul kepada Mu‟adz Ibn Jabal untuk
menjadi penguasa di Yaman. Saat itu, Mu‟adz ditanya tentang sikapnya jika
dimintai penetapan hukum suatu persoalan. Secara berurutan ia menjawab
berdasarkan Kitab Allah, sunnah Rasulullah, dan ijtihad pendapatnya jika ia
tidak mendapatkan petunjuk dari masing-masingnya. Hadis-hadis di atas
cukup menjadi penjelas tentang posisi hadis yang memiliki kedudukan
penting dalam syariat. Sekalipun argumentasi ini lahir dari dalam, tetapi
secara ilmiah dapat diterima karena faktualnya hadis mengambil peran
sebagai sumber kedua dalam penetapan hukum Islam. Ketiga, ijmak ulama
bahwa hadis ditetapkan sebagai sumber hukum kedua dalam syariat
Islam.
Beberapa peristiwa yang menjadi argumentasi hal tersebut di antaranya
saat Umar Ibn Khattab yang menegaskan kepada hajar aswad bahwa
keberadaannya hanyalah batu yang secara logika tidak layak untuk
dimuliakan. Tetapi karena Rasul mengecupnya, maka ia mengikuti sunnah.
Keempat, nalar logis akal menunjukkan kebutuhan manusia terhadap hadis.
Al-Qur‟an sebagai sumber hukum yang global membutuhkan seperangkat
penjelas dan perinci agar pesannya sampai kepada komunikan (manusia).
Kemudian, dari sisi keimanan, apabila Nabi sudah diakui dan dibenarkan,
maka konsekuensi logisnya adalah kepatuhan terhadap segala ketentuan
yang disampaikan (Suparta, 2016: 49-57). Seluruh argumentasi di atas
sangat cukup menjadi dalil kuat bahwa keberadaan hadis penting bahkan
menempati kedudukan kedua setelah untuk memahami model pemahaman
dan pengamalan Al-Qur‟an yang dicontohkan oleh Nabi, khususnya dalam
penetapan aturan hukum . Urgensi dan kedudukan hadis ini akan semakin
terlihat dalam fungsinya terhadap Al-Qur‟an yang akan dipaparkan berikut.
2. Ragam Fungsi Hadis Beserta Contohnya
Membahas ragam fungsi hadis terhadap Al-Qur‟an, banyak sekali istilah yang
digunakan para ulama. Mereka membagi fungsi hadis ini cenderung
berbeda- beda dengan istilah yang tidak sama. Namun demikian, antara
pembagian ulama satu dan lainnya menunjukkan maksud yang serupa.
Imam Malik berpendapat bahwa hadis memiliki lima fungsi terhadap
AlQur‟an yakni bayan taqrir, bayan tawdhih, bayan tafshil, bayan tabsith dan
bayan tasyri‟. Imam berpandangan bahwa fungsi hadis terdiri dari empat,
yaitu bayan tafshil, bayan takhshish, bayan ta‟yin, ˆdan bayan tasyri‟.
Sementara menurut Ibn alQayyim fungsi hadis ada lima, yakni bayan ta‟kid,
bayan tafsir, bayan tasyri‟, bayan takhsis dan bayan taqyid.
Sekalipun berbeda-beda, secara lebih rinci fungsi penjelasan (bayan) hadis
terhadap Al-Qur‟an, dikelompokkan sebagai berikut:
1. Bayan Taqrir : Posisi hadis sebagai penguat (taqrir/ta‟kid)
keterangan Al-Qur‟an
2. Bayan Tafsir : Bayan tafsir yaitu hadis berfungsi sebagai penjelas
terhadap Al-Qur‟an. Fungsi inilah yang terbanyak pada umumnya
dilakukan hadis terhadap AlQur‟an. Bayan tafsir ini terdiri dari tiga
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Tafshil al-Mujmal : Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada
ayat-ayat Al-Qur‟an yang masih global, baik menyangkut masalah
ibadah maupun hukum.
b. Takhshish al-`Amm : Pada fungsi ini, hadis mengkhususkan
(mengecualikan) ayat-ayat Al-Qur‟an yang bersifat umum
c. Taqyid al-Muthlaq : adalah hadis berfungsi membatasi kemutlakan
ayat-ayat Al-Qur‟an.
3. Konsep Islam dalam menanggung anak yatim

Hak-Hak Anak Yatim Dalam Islam


Islam telah mengajarkan kita untuk memuliakan anak yatim, banyak sekali
ayat-ayat Al-Qur‟an yang memerintah kan kita untuk berlaku baik kepada
mereka. Salah satu ayat yang memerintahkan kita untuk berlaku baik kepada
mereka yaitu terdapat dalam surah (QS. Al Ma'un: 1-7). yang berbunyi
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya‟ dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.”

Orang yang memuliakan anak yatim akan mendapatkan keistimewaan


tersendiri dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, keistimewaan
tersebut telah disebutkan dalam hadits beliau. Rasulullah saw. bersabda, “Aku
dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini,”
kemudian beliau shallallahu „alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan
jari tengah beliau shallallahu „alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan
keduanya” (HR. Bukhari, Shahih Bukhari, Sahl bin Sa‟ad As-Sa‟idiy: 5304).

Tahukah sahabat apa saja hak-hak anak yatim dalam pandangan islam! yuk
simak penjelasan berikut:
1. Diperlakukan dengan baik

“Maka terhadap seorang anak yatim piatu maka janganlah engkau berlaku
sewenang wenang. Dan terhadap pengemis janganlah menghardik”.(QS. Ad
Dhuha: 9 – 10). Dari ayat di atas tampak jelas bahwa Allah telah melarang kita
untuk berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, hal tersebut merupakan
perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasulnya.

2. Mendapatkan kecukupan makan dan kebutuhan

Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw bersabda : barang siapa yang memberi
makan dan minum individu seorang anak yatim piatu diantara kaum muslimin,
maka Allah akan memasukkannya kedalam surga, kecuali dia melakukan satu
dosa yang tidak diampuni.

3. mendapatkan perlindungan

Mendapatkan perlindungan merupakan hak yang harus kita berikan kepada


mereka, Allah memerintahkan kita untuk memberikan makan kepada anak
yatim yang terdapat dalam surah Al Insan ayat 8, begitu juga dengan
perlindungan kepada meraka Allah juga berfirman dalam surah Ad Dhuha ayat
6 “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.”

4. Mendapatkan pendidikan

Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap orang, tidak terkecuali


dengan adik-adik yatim dan dhuafa. Mereka sudah sepatutnya kita bantu untuk
mendapatkan pendidikan yang baik, kecintaan kita kepada mereka akan
membawakan keberkahan untuk kita dan keluarga. Sebagaimana dengan
hadits nabi diatas yang berbunyi “Aku dan orang yang menanggung anak yatim
(kedudukannya) di surga seperti ini,” kemudian beliau shallallahu „alaihi wa
sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu „alaihi wa
sallam, serta agak merenggangkan keduanya”

5. Hak harta

Hak yang dimaksud tersebut, yaitu, larangan untuk membelanjakan harta yang
ia miliki di luar tujuan kemaslahatannya. Ini sesuai dengan firman Allah yang
berbunyi : “Dan janganlah kamu dekati harta seorang anak yatim piatu, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.” (QS. al An‟am
[6]: 152).
Daftar materi
1. Istilah-istilah hadits
pada KB
2
yang sulit
2. Kelebihan dan kekurangan ragam fungsi hadits
dipahami

Daftar materi
yang sering
mengalami 1. Menentukan metode penafsiran alqur‟an dengan penjelasan dari hadits
3
miskonsepsi 2. Kesalahpahaman di dalam memahami hak anak yatim
dalam
pembelajaran

Anda mungkin juga menyukai