Anda di halaman 1dari 5

Jawaban:

( 5 ) Jelaskan pengertian muhkamat dan mutasyabihat secara umum dan


khusus. Bagaimana cara mengkompromikan dua pendapat dalam
memahami makna ta'wil, terkait surat Ali Imran ayat tujuh (dalam dua waqaf
yang berbeda)?

Jelaskan pula tentang mereka yang condong pada kesesatan, yang suka
mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk mencari fitnah dan mencari ta'wil.
Siapakah mereka, dan berikan pendapat dan kesesatan mereka?

Secara Umum:

Muhkam adalah kata yang berasal dari akar kata yang berkaitan dengan
pengertian hakim atau pembuat keputusan. Secara umum, muhkam merujuk
pada ayat-ayat Al-Qur'an yang kokoh, fasih, dan dapat membedakan antara
yang benar dan yang salah, serta antara yang benar dan yang dusta. Ayat-ayat
muhkam dalam Al-Qur'an adalah ayat-ayat yang bersifat kokoh, jelas, dan
mendalam, yang memberikan petunjuk dan hukum yang tegas.
Mutasyabih, merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki kemiripan atau
kesesuaian dalam perkataan dan makna, meskipun mungkin berbeda dalam
lafazh (kata-kata) yang digunakan. Ayat-ayat mutasyabih ini mengandung
kesamaan dalam makna dan kesesuaian dalam perkataan, yang dapat
memberikan pemahaman mendalam tentang berbagai aspek ajaran Al-
Qur'an.
Secara Khusus:

Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan


mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu segi, sedangkan
mutasyabih mengandung banyak segi.
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung,
tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak demikian; ia
memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.

Mengkompromikan Dua Pendapat dalam Surat Ali-Imran Ayat 7:

Dengan merujuk kepada makna takwil, maka akan jelas bahwa antara kedua
pendapat di atas tidak terdapat pertentangan, karena lafazh “takwil” digunakan
untuk menunjukkan tiga makna:

1. Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang
lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian
takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.
2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pembicaraan
untuk menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahami.
3. Takwil adalah pembicaraan tentang substansi (hakekat) suatu lafazh.

Maka, takwil tentang zat dan sifat-sifat Allah ialah tentang hakekat zat-Nya itu
sendiri yang kudus dan hakekat sifat-sifatNya. Dan takwil tentang Hari Kemudian
yang diberitakan Allah adalah substansi yang ada pada Hari Kemudian itu sendiri.
Dengan makna inilah diartikan ucapan Aisyah; “Rasulullah mengucapkan di dalam
ruku’ dan sujudnya, “Subhanaka Allhumma rabbana wa bi hamdika
Allahummaghfirli.” Bacaan ini sebagai takwil beliau terhadap Al-Qur`an, yakni
firman Allah, “Fa sabbih bi hamdi rabbika wastaghfirhu, innahu kana
tawwaba.”(An Nashr: 3)
Golongan yang berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya’lamu
ta`wilahu illallah” dan menjadikan “war rasikhuna fil ‘ilmi,” sebagai isti’naf
(permulaan kalimat) mengatakan, “takwil” dalam ayat ini ialah takwil dengan
pengertian yang ketiga, yakni hakekat yang dimaksud dari sesuatu perkataan.
Karena itu hakekat zat Allah, esensi-Nya, makna nama dan sifat-Nya serta hakekat
Hari Kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri.

Sebaliknya, golongan yang mengatakan waqaf pada lafazh “War rasikhuna fil
‘ilmi.” dengan menjadikan “wawu” sebagai hurufathaf, bukan isti`naf, memaknai
kata takwil tersebut dengan makna kedua, yaitu tafsir, sebagaimana dikemukakan
Mujahid, seorang ahli tafsir terkemuka. Mengenai Mujahid ini Ats-Tsauri berkata,
“Jika dikatakan, ia mengetahui yang mutasyabih, maka maksudnya ialah bahwa ia
mengetahui tafsirannya.”

Dengan pembahasan ini maka jelaslah bahwa pada hakekatnaya tidak ada
pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya ini hanya
berkisar pada perbedaan arti takwil.
Siapa Mereka yang Condong pada Kesesatan saat Menakwil:

Mereka adalah sebagian besar ulama mutaakhirin (ulama belakangan) secara


berlebihan, dengan tujuan untuk lebih memahasucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dari keserupaan-Nya dengan makhluk seperti yang mereka sangka. Dugaan ini
sungguh batil karena dapat menjatuhkan mereka ke dalam kekhawatiran yang
sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu.

Contoh Kesesatan Mereka saat Menakwil:

Mereka ketika menakwilkan “tangan” (al-yad) dengan kekuasaan (al-qudrah).


Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan “tangan” bagi Khaliq
mengingat makhluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafazh al-yad ini bagi
mereka menimbulkan kekaburan maka ditakwilkanlah dengan al-qudrah. Hal ini
mengandung kontradiktif, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu
makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan,
mengingat makhluk pun mempunyai kekuasaan, pula. Apabila qudrah yang
mereka tetapkan itu betul dan mungkin, maka penetapan tangan bagi Allah pun
tidaklah salah dan mungkin. Sebaliknya, jika penetapan “tangan” dianggap batil
dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka
penetapan “kekuasaan” juga batil dan terlarang. Dengan demikian, maka tidak
dapat dikatakan bahwa lafazh ini ditakwilkan, dalam arti dipalingkan dari makna
yang rajih kepada makna yang marjuh.

Celaan terhadap para penakwil yang datang dari para ulama salaf dan lainnya itu
ditujukan kepada mereka yang menakwilkan lafazh-lafazh yang kabur maknanya
bagi mereka, tetapi tidak menurut takwil yang sebenarnya, sekalipun yang
demikian tidak kabur bagi orang lain.
Pendapat Kepada Mereka yang Condong pada Kesesatan saat Menakwil:

Berikut adalah pendapat mengenai kesesatan mereka:

Takwil tercela seringkali mencakup pandangan yang tidak diterima secara luas
dalam tradisi tafsir Islam dan tidak diakui oleh mayoritas ulama. Ini adalah
sebuah penyimpangan.
Mengabaikan prinsip-prinsip metodologi tafsir yang telah ditetapkan dalam
Islam, seperti memahami konteks, menggunakan dalil yang sahih, dan
memperhitungkan naskh (pembatalan ayat oleh ayat lain). Ini adalah sebuah
pengabaian terhadap metodologi tafsir.
Dapat berdampak negatif, seperti menciptakan konflik atau kerancuan dalam
pemahaman Islam, dan bisa digunakan oleh kelompok-kelompok ekstremis
untuk mendukung agenda mereka.
Penafsiran yang salah atau takwil yang tidak sah dapat dianggap sebagai
tindakan yang merusak pemahaman yang benar tentang agama. Ini
merupakan hal yang dilarang dalam Islam.

Oleh karena itu, penting untuk memahami Al-Qur'an dengan rasa tawadhu dan
dengan mengikuti metode tafsir yang benar yang didasarkan pada pengertian
ulama yang terpercaya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai