Anda di halaman 1dari 16

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN

A. ASY’ARIYYAH
B. MATURIDIAH

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, taufik
dan hidayah-nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca untuk mengetahui Al-asy’ary dan Al-
maturidi.

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga ALLAH memmberikan imbalan yang setimpal pada
mereka yang memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah,
Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Sangatta, 16 Maret 2022

penyusun

Haliza yusuf
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Didalam makalh ini terdapat teologi-teologi ahlu sunnah, baik menurut Al-Asy’ary maupun menurut
Al-Maturidi. Dengan mempelajarinya, maka kita dapat mengetahui pendapat-pendapat atau pemikiran
mereka ( Al-Asy’ari dan Al-Maturidi). Kita juga dapat mengetahui dimana letak kesalahan atas
pemikiran-pemikiran yang salah, terutama pemikiran tentang Tuhan. Untuk itu, teologi pemikiran ahlu
sunnah sangat penting untuk dipelajari sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.

Didalam mempelajari suatu ilmu, termasuk tentang tologi pemikiran Ahlu Sunnah ini, nantinya akan
ada persoalan yang akan dibahas dalam makalah ini. Dengan demikian, pembahasan mengenai   teologi-
teologi tersebut akan  membantu kita untuk lebih memahami tentang pemikiran-pemikiran atau teologi-
teologi yang benar, yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammah SAW.

B.     Rumusan masalah

1.      Apa pendapat Al-Asy’ari dan Maturidi tentang keadilan Tuhan

2.      Apa pendapat Al-Asy’ari dan Maturidi tentang Qadha dan Qadar

3.      Apa pendapat Al-asy’ari dan Maturidi tentang sifat kalam

4.      Apa pendapat al-Asy’ari dan Maturidi tentang Dosa besar

C.      Tujuan

1.      Untuk mengetahui teologi atau pemikiran Al-Asy’ari dan Maturidi tentang keadilan Tuhan

2.      Untuk mengetahui teologi atau pemikiran Al-Asy’ari dan Maturidi tentang Qadha dan Qadar

3.      Untuk mengetahui teologi atau pemikiran Al-Asy’ari dan Maturidi tentang tentang sifat kalam Allah
SWT

4.      Untuk mengetahui teologi atau pemikiran Al-Asy’ari dan Maturidi tentang Dosa besar
BAB II

PEMBAHASAAN

A. ASY’ARIYYAH

Abu al Hasan ‘Ali Ibn Isma’il al-Asy’ari  lahir di Basrah pada tahun 873 M dan wafat di Bagdad
pada tahun 935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Jubbai’i dan salah seorang terkemuka dalam
golongan mu’tazilah sehingga menurut al Husain Ibn Muhammad al-Askari’ , al-Jubba’i berani
mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.  Al-asy’ari telah puluhan tahun menganut
paham mu’tazilah. Dan akhirnya beliau meninggalkan aliran  tersebut. Karena pada suatu malam beliau
bermimpi, dalam mimpinya itu, Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli
Hadits-lah yang benar, dan mahzab Mu’tazilah yang salah. Sebab lain dari itu adalah pada suatu ketika
Al-Asy’ari berdebat dengan gurunga Al-Jubba’i dan dalam perdebatan tersebut guru tidak dapat
menjawab tantangan murid. 

Menurut Ahmad Mahmud subhi perasaan syak yang timbul dalam diri Al-Asy’ari yang kemudian
mendorongnya untuk meninggalkan paham mu’tazilah itu karena Al-Asy’ari menganut mahzab al-Syafi’i.
Al-Syafi’i mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran mu’tazilah, misalnya Al-
Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan melainkan bersifat Qadim dan bahwa Tuhan dapat
diliaht di Akherat nanti.

Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meningalkan paham mu’tazilah ketika golongan itu berada
dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakil membatalkan putusan al-Ma’mun
tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mahzab negara, kedudukan Mu’tazilah mulai menurun.
Umat islam yang tak setuju dengan ajaran-ajaran mu’tazilah selama ini mulai merasa bebas untuk
menyerang mereka, kemudian timbulah perpecahan di dalam golongan Mu’tazilah sendiri. 

Bahkan sebagian pemuka Mu’tazilah meninggalkan barisan Mu’tazilah seperti, Abu’Isa al-warraq
dan abu al-Husain Ahmad Ibn al-Rawandi. Dalam suasana inilah Al-Asy’ari meninggalkan mu’tazilah
tersebut dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada
hadits.  Namun yang menjadi sebab utama Al- Asy’ari meninggalkan aliran Mu-tazilah ialah karena
adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka jika tidak segera
diakhiri. Sebagai seorang muslim yang sangat gairah terhadap keutuhan kaum muslimin, ia sangat
mengkhawatirkan Qur’an dan hadits menjadi korban paham-paham kaum mu’tazilah, yang menurut
pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran, sebagaimana
dikhawatirkan  menjadi korban sikap ahli hadits anthropomorphis yang hanya memegangi nas-nas
dengan meninggalkan jiwanya dan hampir-hampir menyeret islam kepada kelemahan, kebekuan yang
tidak dapat dibenarkan agama. Al-Asy’ari karenanya mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis
dan golongan tekstualis dan ternyata jalan tersebut dapat diterima oleh  mayoritas kaum muslimin. 

Ajaran-ajaran Al-Asy’ari dapat diketahui dari buku-buku yang ditulisnya, terutama dari kitab al-
Luma’ Fi al-Rad ‘ala Ahl al-Ziagh wa al- Bida’  dan al-Ibanah ‘an Usul al-Dianah disamping buku-buku
yang ditulis oleh para pengikutnya. Mustahil kata al-Asyari Tuhan mengetahui dengan dzat-Nya, karena
dengan demikian dzat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan
pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuan-Nya bukanlah dzat-Nya. Demikian dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa,
mendengar dan melihat. 

1.              Pemikiran Tentang keadilan Tuhan.

Aliran  Al-Asy’ariyah mrngemukakan dua alasan, yaitu:

a.       Jika baik dan buruk berdiri sendiri dan terdapat pada suatu perbuatan, tentulah tidak berubah-ubah
sifat-nya, sedangkan kita melihat pandangan orang selalu berbeda-beda, menurut perbedaan keadaan.
Sekarang dipandanya baik, besok dipandang buruk. Misalnya membunuh orang adalah buruk, tetapi bisa
menjadi baik apabila untuk menjalankan hukuman Qisas.

b.      Norma-norma akhlak (etika) adalah relatif, yang dapat berbeda-beda menurut perbedaan
limgkungan dan agama. Norma tersebut tidak tetap, tetapi selalu berubah dan berkembang, karena
norma-norma tersebut hanya buatan manusia.

Dengan perkataannya tersebut, Al-Asy’ari hendak mengadakan pemisahan antara alam lahir dan
alam Ghaib. Jika dalam alam lahir manusia tunduk kepada Syariat dan hukum, maka tidak demikian
halnya bagi perbuatan Tuhan yang tidak berlaku pada-Nya hukum baik dan buruk serta Syariat apapun
juga. Akan tetapi dengan pendapatnya tersebut dengan tidak sengaja ia telah mempersamakan Tuhan
dengan raja diktator yang memiliki hak menghidupkan atau mematikan rakyatnya, meskipun demikian
tindakannya diatas undang-undang. Bukankah dengan demikian telah mempersaakan alam Ghaib
dengan alam lahir?

Al-Kusyairi hendak membela Al-Asy’ari dengan mengatakan bahwa ia tidak pernah mengatakan
demikian, akan tetapi kitab-kitabnya sendiri yang mengatakan pendapatnya tersebut. Dalam kitabnya ia
juga mengatakan bahwa Tuhan bisa memberikan kewajiban diluar kesanggupan manusia, Tuhan tidak
perlu mengutus utusan-utusan-Nya. 

Al-Asy’ari juga mengingkari orang yang berlebih-lebihan menghargai akal pikiran, yaitu golongan
Mu’tazilah. Karena golongan ini tidak mengakui sifat-sifat Tuhan, maka dikatakan telah sesat, sebab
mereka telah menjauhkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya dan meletakan-Nya dalam bentuk yang tidak dapat
diterima akal. Juga karena mereka mengingkari kemungkinan terlihatnya Tuhan dengan mata kepala.
Apabila pendapat ini dibenarkan, maka akan berakibat tidak mengakui hadits-hadits Nabi Muhammad
SAW, yang sebagai salah satu tiang agama.
Menurut pendapat Al-Asy’ari bahwa Tuhan dapat dilihat di Akherat kelak. Diantara alasan-
alasan yang dikemukakannya ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah
sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak
membawa kepada hal ini, karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti
bersifat diciptakan. Dengan demikian jika dikataan Tuhan dapat dilihat , itu tidak mesti berarti bahwa
Tuhan harus bersifat diciptakan.

a.       Al-Asy’ari dan teori baik dan terbaik

Jika Tuhan berbuat  segala sesuatu didalam miliknya sendiri dengan bebas, maka tidak
seorangpun mewajibkan Ia mengerjakan yang baik dan yang terbaik. Perbuatan-perbuatan Tuhan tidak
diadakan karena mencapai sesuatu tujuan. Sebagai bukti ialah bahwa tidak semua alam ini baik, tetapi
banyak keburukan-keburukannya. Menurut pendapat Al-Asy’ariyah, aliran Mu’tazilah telah membuat
kesalahan ketika mengukur perbuatan-perbuatan Tuhan dengan perbuatan manusia dan mengatakan
bahwa orang yang bijaksana ialah yang mengerjakan yang baik-baik dan yang terbaik. Bagi Tuhan
tentunya lebih lagi dari itu. Ukuran ini tidak tepat, karena tujuan-tujuan atau hikmah-hikmah perbuatan
Tuhan tidak perlu diukur dengan pertimbangan akal pikiran manusia.

b.      Al-Asy’ari dan teori keburukan dunia

Persoalan ini bertalian dengan iradah Tuhan yang mutlak. Tuhan menghendaki apa yang ada,
dan menghendaki apa yang tidak ada. Dengan kata lain apa yang ada artinya dikehendaki dan apa yang
tidak ada artinya tidak dikehendaki. Karena keburukan ada, maka berarti Tuhan menghendakinya. Tuhan
menghendaki kekafiran bagi manusia yang sesat dan menghendaki iman bagi manusia yang mendapat
petunjuk. Tuhan menghendaki baik dan buruk karena segala yang terjadi karena iradah Allah SWT,
karena kafir, sesat dan sebagainya adalah hal-hal yang baru dan untuk wujudnya menghendaki iradah
Tuhan.

Bahkan Al-Asy’ari lebih jauh lagi pendapatnya. Ia mengatakan bahwa Tuhan sengaja membuat
manusia sebagian untuk neraka, dan sebagian untuk surgha. Untuk tidak mengingkari arti pahal dan
siksa, ia mengatakan bahwa Tuhan mengadakan jalan kebaikan dan jalan keburukan. Tuhan mengetahui
ada orang-orang yang akan di siksa, karena mereka akan lebih condong kepada segi keburukan,
disamping orang lain yang akan mendapat kenikmatan karena mereka memilih jalan kebaikan. Tuhan
telah mengajak mereka ke arah petunjuk-Nya, Al- Qur’an sendiri menjadi petunjuk bagi orang-orang
kafir yang menolaknya. Al-Asy’ari sendiri mengakui bahwa ajakan iblis kepada kekafiran menyesatkan
orang-orang kafir yang mau menerima, bukan orang-orang mukmin yang menolaknya.  

2.        Pemikiran tentang Qadha dan Qadar

Al-Asy’ari membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang timbul
dengan sendirinya dan perbuatan yang timbul karena kehendak. Dalam perbuatan yang timbul karena
kehendak, manusia merasa sanggup mengerjakannya, suatu tanda bahwa ia mempunyai kekuasaan
( kemampuan/kesanggupan ) yang dapat dipergunakannya. Kekuasaan ini didahului dengan kehendak
(iradah). Dan dengan kesanggupan inilah ia mendapatka perbuatan. Mendapatkan pekerjaan inilah yang
dinamakan kasb.

Al-asy’ari dan pengikut-pengikutnya mengatakan bahwa Kasb adalah “Berbarengnya kekuasaan


manusia dengan perbuatan Tuhan.”.Artinya apabila seseorang hendak mengadakan suatu perbuatan,
maka pada saat itu juga Tuhan mengadakan (menciptakan) kesanggupan manusia untuk mewujudkan
perbuatan tersebut. Dengan perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak
menciptakannya.

Jadi, kekuasaan manusia tidak lain hanyalah alat yang dipergunakan kekuasaan Tuhan untuk
mewujudkan perbuatan yang dikehendaki manusia. Dengan kata lain, kekuasaan manusia bisa
berpengaruh atas terwujudnya perbuatan dengan syarat penggabungan kekuasaan Tuhan pada
kekuasaannya sebagai penolong. Meskipin manusia bisa mengerjakan atau meninggalkan suatu
perbuatan, namun ketika kwtika terjadinya perbuatan, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan tersebut.
Pada akhirnya kekuasaan manusia tidak mempunyai pengaruh sama sekali. 

Ringkasnya Al-Asyari mengatakan bahwa perbuatan perbuatan manusia diciptakan Tuhan,


bukan oleh manusia, yang terjadi ketika terdapat kekuasaan manusia dan kehendaknya, tetapi bukan
sebagai akibat kekuasaan dan kehendak manusia tersebut. Jadi berbarengnya kekuasaan manusia
dengan penciptaaan atau wujud perbuatan tidak berguna, selama tidak menjadi sebab wujudnya. Dalam
memperkuat pendapatnya, Al-Asy’ari tidak menggunakan ayat-ayat penguat adanya kasb yang
diciptakannya itu, tetapi mempergunakan ayat-ayat yang dipakai aliran jabariyah sebelumnya,
seperti  ayat-ayat:

                                    “Adakah pencipta selain Allah SWT?” ( Q.S. Fatir, 35:3)

“Apakah Zat  yang menciptakan sama dengan mereka yang tidak menciptakan?”  ( Q.S. An-Nahl, 16:17)

“Bukankah mereka itu dijadikan dari tiada? Ataukah mereka itu menjadikan?” ( Q.S. At-Tur, 52:35)

Akan tetapi ayat tersebut sebenarnya tidak meniadakan sama sekali kesanggupan manusia
mengadakan perbuatannya, tetapi yang ditiadakannya ialah mengadakan dari tiada yang hanya dimiliki
oleh Allah SWT  semata. 

Perbuatan-perbuatan manusia, bagi Al-Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri,


seperti pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan kufr adalah buruk, tetapi orang
kafir ingin supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tidak
dapat diwujudkan . perbuatan iman bersifat baik, tetapi berat dan sulit.orang mukmin ingin supaya
perbuatan iman itu janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang dikehendakinya itu tak dapat diwujudkan.
Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan kufr itu bukanlah orang kafir yang tak sanggup membuat
kufr bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak
supaya kufr bersifat buruk. Demikian pula, yang mencitakan pekerjaan iman bukanlah orang mukmin
yang tak sanggup membuat iman bersifat tidak berat dan sulit, tetapi Tuhanlah yang menciptakannya
dan Tuhan memang menghendaki supaya iman bersifat berat dan sulit. 

3.        Pemikiran tentang sifat kalam

Imam Al-Asy’ari membagi perkataan Tuhan menjadi dua bagian:

b.      Perkataan yang ada pada Zat-Nya (kalam Nafsi). Sifat ini adalah sifat Zat dan Qadim.

c.       Perkataan yang terdiri dari kata-kata dan huruf. Perkataan ini baru dan makhluk ( diadakan).

Dalam pendapat diatas tersebut, pendirian Al-Asy’ari sama dengan pendirian Mu’tazilah. Jika
dikatakn “ kalam itu Qadim”, maka yang dimaksud ialah perkataan macam pertama. Jika dikatakan baru,
maka yang dimaksud ialah perkataan yang kedua.

Dalam Al-Qur’an ada ayat yang menunjukan bahwa perkataan Allah SWT baru, seperti surat Al-Anbiya’,
21:2, yaitu “Tiada datang kepada mereka peringatan yang baru ( Qur’an) dari Tuhan, melainkan mereka
dengarkan, serta mereka permainkan”

Dan dalam Qur’an Surat An-Nisa’, 4:87, yaitu “Siapakah orang yang lebih benar perkataannya daripada
perkataan Allah SWT”

Dalam ayat tersebut Qur’an dinyatakan dengan perkataan Dzikir (peringatan) dan Hadits ( baru)
dan dinyatakan kebaharuannya ialah yang berupa kata-kata, huruf dan suara yang menjadi tanda
Qur’an, firman Tuhan yang ada pada Dzat-Nya ( kalam Nafsi) dan yang qadim, tanpa perselisihan lagi.

Ke-Qadiman kalam Nafsi tersebut ialah karena ia adalah salah satu sifat Tuhan, sedangkan sifat-sifat
Tuhan Qadim semua, maka sifat kalam pun harus Qadim pula.  

5.      Pemikiran Tentang Dosa Besar

Menurut Al-asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi
karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq.sekiranya orang yang berdosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman, dengan demikian
bukanlah ia atheis dan bukan pula monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal seperti ini tidak
mungkin. Oleh karena itu, tidak pula mungkin bahwa orang berdosa besar bukan mukmin   dan pula
bukan kafir.

Abu Hamid Al-Ghazali adalah pengikut Al-Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya
pada umat islam yang beraliran Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Al-Ghazali seperti a-Asy’ari yang tetap
mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat Qadim yang tidak identik dengan Dzat-Nya  dan
mempunyai wujud di luar dzat-Nya.    Selanjutnya Al-Ghazaki memounyai paham yang sama dengan Al-
Asy’ari tentang Beautific vision yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud
dapat dilihat. Atas pengaruh Al-Ghazali, ajaran Al-Asy’ari yang serupa inilah yang meluas di kalangan
islam Ahli Sunnah Wal Jama’ah . aliran Al-Asy’ariah muncul sewaktu aliran mu’tazilah sedang dalam
keadaan jatuh, tidak cepat meluas didunia islam bahkan pemuka-pemukanya pernah mengalami
tindasan dari pihak penguasa-penguasa islam.

B. MUTURIDIAH

Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi lahir di samarkad pada
pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal pada tahun 944M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah
dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu
Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli
Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidi. Keterangan-keteranagn mengenai pendapa-pendapat   al-
seperti Isyarat al-Maram oleh Al-Bayadi dan Usul al-Din oleh al-Badzawi.

Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan  keagamaannya, al-
Maturidi banya pula memakai akal dalam sistem teologinya. Oleh karena itu, antara teologinya dengan
teologi Al-Asy’ari terdapat perbedaan. Al-Maturidi mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-aosal
kepercayaan kepada pikiran-pikiran imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya Al-Fiqh al-Akbar
dan Al-Fiqh al-Absat dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut. Al-Maturidi
meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan sebagian besarnya dalam lapangan ilmu tauhid.

1.         Pemikiran tentang keadilan Tuhan

Dalam soal sifat-sifat Tuhan terhadap persamaan antara Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Baginya
Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-
Nya  dan berkuasa bukan dengan dzat-Nya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, karena kekuasaan-
Nya bukanlah kekuasaan semena-mena, sebagaimana yang digambarkan Al-Asy’ari, tetapi suatu
kekuasaan mutlak atas alam ini, namun tidak boleh dikatakan bahwa ia boleh mengerjakan sesuatu yang
menurut pertimbangan akal pikiran buruk, seperti menyiksa orang baik. Perbuatan tersebut tidak
mungkin terjadi, sebab berarti menghapuskan segala norma-norma akhlak dan akal pikiran dan
berlawanan pula dengan  ketentuan Syara’ sendiri yang menetapkan kebijaksanaan Tuhan dan keadilan-
Nya.

Tuhan dalam perbuatan-perbuatan-Nya mesti memegangi prinsip keadilan dan anugerah. Istilah
mesti tidak banyak berbeda dengan istilah wajib yang digunakan Mu’tazilah. Adil ialah mengambil yang
baik ( salah), sedangkan anugerahialah mengambil atau memberikan yang terbaik.

a.       Maturidi dan teori baik dan terbaik

Seperti Mu’tazilah, ia mengakui bahwa  baik dan buruk terdapat pada suatu perbuatan. Perintah
dan larangan syara’ hanya mengikuti sifat tersebut. Memang akal pikiran tidak selamanya dapat
mengetahui baik dan burruk. Karena itu datanglah syara’ untuk menolong akal manusia dan menerangi
jalan hidupnya.  Menurut Maturidi yang dimaksud dengan perkataan yang terbaik itu kebijaksanaan,
maka tidak ada perbedaan pendirian. Akan tetapi apabila yang dimaksud perkataan tersebut ialah “
lebih berguna” maka tidak sama pendapatnya. Namun soal “lebih berguna” juga dipeganginya, karena ia
mengatakan bahwa keadilan adalah perbuatan yang memberi kesempurnaan bagi orang lain, artinya
yang ada gunanya. Dengan demikian, maka tidak ada perbedaan sama sekali antara maturidi dan
mu’tazilah. 

b.      Maturidi dan teori tentang keburukan dunia

Dalam soal keburukan dunia Maturidi telah dapat memperbaiki pendapat Mu’tazilah. Ia
mengatakan bahwa baiknya  alam ini memerlukan adanay kebaikan dan keburukan bersama-sama. Akan
tetapi tidak berarti bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, sebagaimana yang dikatakan
Mu’tazilah.

Kita harus mengartikan bahwa Tuhan menghendaki keburukan untuk mewujudkan


kebaikan.  Maturidi tidak dapat menyetujui pendapat Al-Asy’ari bahwa Tuhan boleh menyiksa orang
mukmin, sesuai dengan iradah-Nya yang mutlak. Sebab hal itu akan berarti menyalahi  janji yang telah di
berikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh. Satu hal yang tidak bisa masuk akal, Tuhan
menyalahgunakan kekuasaan-Nya tersebut. Akan tetapi kekuasaan-Nya yang mutlak tersebut dapat
digunakan untuk mengampuni orang-orang yang dikehendakinya, sebab pengampunan disini tidak akan
menyinggung ketentuan-ketentuan ancaman-Nya dan sesuai pula dengan belas kasih sayang-Nya.

2.         Pemikiran tentang Qadha dan Qadar

Maturidi sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa kekuasaan manusia
bisa digunakan untuk dua hal yang berlawanan, seperti ketaatan dan manusia bebas mengarahkan atau
menggunakan kekuasaannya tersebut. Selama manusia itu dijadikan Tuhan, maka perbuatan-
perbuatannya juga dijadikan tuhan. Karena itu semua perbuatan manusia, berupa gerak, diam, taat dan
maksiat sebenarnya mereka sendiri yang mengerjakannya, tetapi dijadikan Tuhan. 

Maturidi menggunakan kata-kata penciptaan (khalaq) untuk macam pertama saja, sedang aliran
Mu’tazilah menggunakan kata-kata tersebut untuk kedua macam penciptaan, akan tetapi baik Maturidi
dan Mu’tazilah tidak mengatakan bahwa manusia dapat menciptakan sesuatu dari tiada. Jadi hanya
berbeda istilah, namun pengertiannya atau isinya sama saja. Dalam soal perbuatan-perbuatan manusia,
al-Maturidi sependapat dengan golongan mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian ia mempunyai paham Qadariah dan  atau bukan paham
jabariyah atau kasb Asy’ari.

Sama dengan Al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaran mu’tazilah tentang al-salah wa’ al-aslah,
tetapi disamping itu, al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.
Al-Maturidi juga tidak sepaham dengan mu’tazilah tentang masalah Al-Qur’an. Sebagaimana Al-Asy’ari,
ia mengatakan bahwa kalam tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.
3.       Pemikiran tentang sifat kalam

pendapat maturidi terhadap soal Qur’an sama dengan pendapat Al-Asy’ari yaitu dengan
memandang perkataan Tuhan  dari dua segi, yaitu:

a.       Kalam Nafsi yang ada pada Zat Tuhan dan Qadim, bukn sejenis perkataan manusia, berhuruf dan
bersuara. Kalam nafsi tersebut menjadi sifat Tuhan sejak zama azali. Kita tidak mengetahui hakikatnya,
tidak bisa di dengar atau dibaca, kecuali dengan perantara. Nabi musa as. Tidak mendengar perkataan
Tuhan yang sebenarnya, tetapi hnya mendengar suara yang menyatakan si kalam tersebut.[17]

b.      Kalam (perkataan) yang terdiri dari huruf dan suara. Kalam ini sudah terang, baru dan diadakan.

Menurut Maturidi, kesalahan Mu’tazilah ialah karena mereka dalam soal kalam (perkataan)
disini hendak mempersamakan kalam Tuhan dengan kalam manusia, suatu pengecualian, dari prinsip
yang selalu mereka pegangi selama ini, yaitu tidak mempersamakan alam Ghaib dengan alam lahir.[18]

4.        Pemikiran tentang dosa besar

Mengenai dosa besar al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari bahwa orang yang berdosa
besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di Akherat.  Tetapi
dalam soal al-wa’d wa al-wa’id al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-
ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga dalam soal anthropomorphisme al-
Maturidi sealiran dengan mu’tazilah. ia tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat  yang
menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut
pendapatnya tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi arit majazi atau kiasan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat Al-Asy’ari dan Maturidi ada yang sama dan juga
ada yang berlawanan, kesimpulan pendapat dari masing-masing tokoh yaitu:

1.      Pendapat Al-Asy’ari
a.       Bahwa keadilan Tuhan didasarkan atas pikiran mereka tentang iradah ( kehendak Tuhan).
b.      Bahwa kehendak Tuhan adalah mutlak atau bebas. Kelanjutannya ialah menurut
mereka,Tuhan bisa bertindak semena-mena, perbuatan-Nya diadakan bukan karena tujuan atau karena
kepentingan manusia, bisa menyiksa oran-orang baik, Tuhan menghenaki keburukan untuk hamba-
hambanya.
c.       Bahwa kalam Tuhan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu perkataan yang ada
pada Zat-Nya ( sifat Zat dan Qadim), yang kedua yaitu perkataan yang terdiri dari kata-kata dan hutuf.
Perkataan ini baru dan makhluk (diadakan).
d.      Bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan
ditentukan Tuhan kelak di Akherat.

2.      Pendapat Maturidi
a.       Bahwa Tuhan dalam perbuatan-perbuatan-Nya mesti memegangi prinsip keadilan dan
anugerah. Istilah mesti ini tidak banyak berbeda dengan istilah wajibyang digunakan aliran Mu’tazilah.
Dil ialah mengambil yang baik (salah), sedangkan anugerah ialah mengambil atau memberikan yang
terbaik
(aslah)
b.      Bahwa kehendak Tuhan tidak semena-mena dipergunakan, tetapi selalu dibarengi dengan
kebijaksanaan dan perhatian.
c.       Bahwa kalam Tuhan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu kalam nafsi yang ada
pada Zat Tuhan dan Qadim, bukan sejenis perkataan manusi, berhuruf dan bersuara. Yang kedua yaitu
kalam (perkataan) yang terdiri dari huruf dan suara. Kalam ini sudah terang, baru dan diadakan.
d.      Bahwa mengenai dosa besar al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari, yang berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan
kelak di Akherat.

B.     Saran
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat Al-Asy’ari dan Maturidi ada yang sama dan juga
ada yang berlawanan, kesimpulan pendapat dari masing-masing tokoh yaitu:

1.      Pendapat Al-Asy’ari
a.       Bahwa keadilan Tuhan didasarkan atas pikiran mereka tentang iradah ( kehendak Tuhan).
b.      Bahwa kehendak Tuhan adalah mutlak atau bebas. Kelanjutannya ialah menurut mereka,
Tuhan bisa bertindak semena-mena, perbuatan-Nya diadakan bukan karena tujuan atau karena
kepentingan manusia, bisa menyiksa oran-orang baik, Tuhan menghenaki keburukan untuk hamba-
hambanya.
c.       Bahwa kalam Tuhan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu perkataan yang ada
pada Zat-Nya ( sifat Zat dan Qadim), yang kedua yaitu perkataan yang terdiri dari kata-kata dan hutuf.
Perkataan ini baru dan makhluk (diadakan).
d.      Bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan
Tuhan kelak di Akherat.

2.      Pendapat Maturidi
a.       Bahwa Tuhan dalam perbuatan-perbuatan-Nya mesti memegangi prinsip keadilan dan
anugerah. Istilah mesti ini tidak banyak berbeda dengan istilah wajibyang digunakan aliran Mu’tazilah.
Dil ialah mengambil yang baik (salah), sedangkan anugerah ialah mengambil atau memberikan yang
terbaik
(aslah)
b.      Bahwa kehendak Tuhan tidak semena-mena dipergunakan, tetapi selalu dibarengi dengan
kebijaksanaan dan perhatian.
c.       Bahwa kalam Tuhan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu kalam nafsi yang ada
pada Zat Tuhan dan Qadim, bukan sejenis perkataan manusi, berhuruf dan bersuara. Yang kedua yaitu
kalam (perkataan) yang terdiri dari huruf dan suara. Kalam ini sudah terang, baru dan diadakan.
d.      Bahwa mengenai dosa besar al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari, yang berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan
kelak di Akherat.

B.     Saran

Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari adanya banyak kesalahan dan kekurangan,
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya bisa lebih baik lagi.
Disamping itu, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat Al-Asy’ari dan Maturidi ada yang sama dan juga
ada yang berlawanan, kesimpulan pendapat dari masing-masing tokoh yaitu:

1.      Pendapat Al-Asy’ari
a.       Bahwa keadilan Tuhan didasarkan atas pikiran mereka tentang iradah ( kehendak Tuhan).
b.      Bahwa kehendak Tuhan adalah mutlak atau bebas. Kelanjutannya ialah menurut mereka,
Tuhan bisa bertindak semena-mena, perbuatan-Nya diadakan bukan karena tujuan atau karena
kepentingan manusia, bisa menyiksa oran-orang baik, Tuhan menghenaki keburukan untuk hamba-
hambanya.
c.       Bahwa kalam Tuhan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu perkataan yang ada
pada Zat-Nya ( sifat Zat dan Qadim), yang kedua yaitu perkataan yang terdiri dari kata-kata dan hutuf.
Perkataan ini baru dan makhluk (diadakan).
d.      Bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan
ditentukan Tuhan kelak di Akherat.

2.      Pendapat Maturidi
a.       Bahwa Tuhan dalam perbuatan-perbuatan-Nya mesti memegangi prinsip keadilan dan
anugerah. Istilah mesti ini tidak banyak berbeda dengan istilah wajibyang digunakan aliran Mu’tazilah.
Dil ialah mengambil yang baik (salah), sedangkan anugerah ialah mengambil atau memberikan yang
terbaik
(aslah)
b.      Bahwa kehendak Tuhan tidak semena-mena dipergunakan, tetapi selalu dibarengi dengan
kebijaksanaan dan perhatian.
c.       Bahwa kalam Tuhan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu kalam nafsi yang ada
pada Zat Tuhan dan Qadim, bukan sejenis perkataan manusi, berhuruf dan bersuara. Yang kedua yaitu
kalam (perkataan) yang terdiri dari huruf dan suara. Kalam ini sudah terang, baru dan diadakan.
d.      Bahwa mengenai dosa besar al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari, yang berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan
kelak di Akherat.

B.     Saran

Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari adanya banyak kesalahan dan kekurangan,
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya bisa lebih baik lagi.
Disamping itu, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat Al-Asy’ari dan Maturidi ada yang sama dan juga
ada yang berlawanan, kesimpulan pendapat dari masing-masing tokoh yaitu:

1.      Pendapat Al-Asy’ari
a.       Bahwa keadilan Tuhan didasarkan atas pikiran mereka tentang iradah ( kehendak Tuhan).
b.      Bahwa kehendak Tuhan adalah mutlak atau bebas. Kelanjutannya ialah menurut mereka,
Tuhan bisa bertindak semena-mena, perbuatan-Nya diadakan bukan karena tujuan atau karena
kepentingan manusia, bisa menyiksa oran-orang baik, Tuhan menghenaki keburukan untuk hamba-
hambanya.
c.       Bahwa kalam Tuhan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu perkataan yang ada
pada Zat-Nya ( sifat Zat dan Qadim), yang kedua yaitu perkataan yang terdiri dari kata-kata dan hutuf.
Perkataan ini baru dan makhluk (diadakan).
d.      Bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan
ditentukan Tuhan kelak di Akherat.

2.      Pendapat Maturidi
a.       Bahwa Tuhan dalam perbuatan-perbuatan-Nya mesti memegangi prinsip keadilan dan
anugerah. Istilah mesti ini tidak banyak berbeda dengan istilah wajibyang digunakan aliran Mu’tazilah.
Dil ialah mengambil yang baik (salah), sedangkan anugerah ialah mengambil atau memberikan yang
terbaik
(aslah)
b.      Bahwa kehendak Tuhan tidak semena-mena dipergunakan, tetapi selalu dibarengi dengan
kebijaksanaan dan perhatian.
c.       Bahwa kalam Tuhan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu kalam nafsi yang ada
pada Zat Tuhan dan Qadim, bukan sejenis perkataan manusi, berhuruf dan bersuara. Yang kedua yaitu
kalam (perkataan) yang terdiri dari huruf dan suara. Kalam ini sudah terang, baru dan diadakan.
d.      Bahwa mengenai dosa besar al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari, yang berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan
kelak di Akherat.

B.     Saran

Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari adanya banyak kesalahan dan kekurangan, sehingga
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya bisa lebih baik lagi. Disamping
itu, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari adanya banyak kesalahan dan kekurangan,
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya bisa lebih baik lagi.
Disamping itu, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2010

Ahmad Hanafi, M.A., Teologi Islam Ilmu Kalam, Jakarta: PT. Bulan Bintang,2010

Anda mungkin juga menyukai