Anda di halaman 1dari 14

ASWAJA PADA MASA NABI DAN SAHABAT

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ke-NU-an

Dosen Pengampu: Achmad Abdul Azis, M.Pd.

Oleh:
1. Abdul Nggoni (2220151169)
2. Muchammad Ali Hisyam (2220151217)
3. Febrina Setyaningrum (2220151225)
4. Desi Nistal Sari (2220151310)

ROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM KHOZINATUL ULUM BLORA


2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq,
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Aswaja Pada Masa
Nabi dan Sahabatnya” sebagai tugas dari mata kuliah Ke-Nu-an.

Makalah ini kami susun dengan bantuan beberapa pihak sehingga dapat
terselesaikan dengan baik. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu kami bapak Achmad Abdul Azis, M.Pd. yang telah membantu
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Selanjutnya, kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa kita sebutkan satu
persatu yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini. Untuk itu, kami mengajak pembaca untuk memberikan kritik dan saran
agar makalah ini bisa tersusun lebih sempurna. Akhir kata, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami khususnya dan bermanfaat bagi pembaca umumnya.

Blora, 15 Maret 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3


A. Aswaja Pada Masa Nabi dan Sahabatnya ..................................................... 3

B. Aswaja Sebagai Paham atau Aliran .............................................................. 5

C. Dasar Hukum Keberadaan Aswaja ............................................................... 6

D. Contoh Amalan Dari Nabi Muhammad Kepada Para Sahabat..................... 9

BAB III PENUTUP ..................................................................................................9


A. KESIMPULAN ............................................................................................. 9

B. SARAN ....................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi “Ma Ana ‘Alaihi wa


Ashabi” seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah hadist
yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa: Bani
Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah
menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu golongan”.
Kemudian para sahabat bertanya ; “Siapakah mereka itu wahai rasululloh?”,lalu
Rosululloh menjawab : “Mereka itu adalah Maa Ana ‘Alaihi wa Ashabi” yakni
mereka yang mengikuti apa saja yang aku Lakukan dan juga dilakukan oleh para
sahabatku.

Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang


selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululloh dan
para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual,
tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka
“Maa Ana ‘Alaihi wa Ashabi” atau Ahli Sunnah Waljama’ah lebih kita artikan
sebagai “Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha” (metode atau cara
memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).

Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4
Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan
kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari (Wafat : 935 M) dan
Imam Abu Mansyur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai
golaongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj
atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi
oleh kepentingan- Kepentingan politik dan kekuasaan.

1
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Aswaja pada masa nabi dan sahabatnya?
b. Bagaimana Aswaja sebagai paham atau aliran?
c. Apa dasar hukum dari Aswaja ?
d. Apa contoh amalan dari nabi kepada para sahabat ?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui Aswaja pada masa nabi dan sahabatnya
b. Untuk mengetahui Aswaja sebagai paham atau aliran
c. Untuk mengetahui dasar hukum keberadaan Aswaja
d. Untuk mengetahui contoh amalan dari nabi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aswaja Pada Masa Nabi dan Sahabatnya


Agama islam yang dibawa oleh Rosulullah SAW, merupakan satu kasatuan
dari 3 unsur dasar yaitu, Iman, Islam, Ihsan. Setelah Rosulullah SAW wafat, bibit
perselisihan diantara ummat islam mulai tampak. Menurut para ahli sejarah firqoh-
firqoh dalam islam timbul pada akhir pemerintahan sayyidina utsman bin affan.
Pertama-tama Abdullah bin saba’ mempropagandakan suatu aliran yang diberi
nama “Mazhab Wishayati yang berhasil mempengaruhi para pendukung Ali bin Abi
Thalib. Disamping itu di propagandakan pula aliran-aliran. Hak Ilahi untuk
memperkuat kedudukan Sayyidina Ali. Propagandakan Abdullah ibn Saba’
berjalan secara intensif dan berhasil memperoleh dukungan dan kaum muslimin.
Pada tahun 37 H terjadi Perang Sifin antara tentara Khalifah Ali dengan tentara
Muawiyyah bin Abi Sufyan. Kelompok Ali yang tidak menghendaki perdaiman
membentuk barisan memisahkan diri dari kelompok Ali, lambat laun golongan
Khawarij menjadi beberapa Sekte. Selain itu, timbul kelompok yang menamakan
diri “Murjiah” di pimpin oleh Hasan bin Bilal al-Muzni. Adalagi kelompok yang
namanya “Jabariyah” tokohnya bernama Jahmbih Satwan. Faham fatalisme yang
di bawah oleh Jahm ini ternyata mendapat perlawanan kelas dari golongan
Wahdaniyah di pimpin Ma’bad Al-Juhaini. 1
Pada abad 2 H muncullah golongan “Mu’tazilah” di pimpin Wasik bin Atha’.
Golongan Mu’tazilah dengan faham kebebasan rasio perlahan lahan memperoleh
pengaruh dalam masyarakat Islam. Beberapa golongan atau firqoh diatas adalah

1
Yusran Asmun, Pengantar Studi Sejarah kebudayaan dan Pemikiran Islam, PT. Raja
Grafindo Persada,(Jakarta 2016)hal. 56.

3
tumbuh dan berkembang karena persoalan politik. Banyaknya firqoh sudah barang
tentu menjadi bara api perselisihan semakin berkobar. Pada saat demikian, ajaran
Aswaja mutlak di populerkan kembali sehingga ummat Islam dapat terbebaskan
dari ajaran sesat. Jadi aswaja muncul bukanlah satu ajaran yang muncul sebagai
reaksi dan timbunya aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni, tetapi
Aswaja benar-benar sudah ada sejak Zaman Nabi dan justru aliran-aliran itulah
yang menodai kemurnian ajarannya. Aswaja sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Didalam buku Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti Sheikh Sayid


Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, bahwa ada 72 firqah yang
sesat bertumpu pada 7 firqah yaitu:

a. Faham Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi
Thalib. Mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin yang lain seperti
Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu Khattab dan
Khalifah Utsman bin Affan. Kaum Syi’ah terpecah menjadi 22 aliran,
termasuk di antaranya adalah Kaum Bahaiyah dan Kaum Ahmadiyah Qad-
yan.
b. Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci
Saidina Ali bin Abi Thalib, bahkan di antaranya ada yang mengkafirkan
Saidina Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa
besar menjadi kafir. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran.
c. Faham mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa tuhan tidak
mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri, tuhan
tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, orang yang mengerjakan dosa
besar di letakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhammad SAW
hanya dengan roh saja, dll. Kaum Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran,
termasuk di antaranya adalah kaum qadariyah.
d. Kaum Murijah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat
(kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya
membuat kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika kafir. Kaum ini
terpecah menjadi 5 aliran.

4
e. Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan
manusia adalah makhluk, yaitu di jadikan tuhan, tetapi mereka
berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah terpecah
menjadi 3 aliran.
f. Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia
“majbur”, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama
sekali. Kau mini hanya 1 aliran.
g. Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada
kesurupan tuhan dengan manusia, missal Batangan, berkaki, duduk di
kursi, naik dan turun tangga dll. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam
golongan ini, dan kaum pelaksanaan dari faham Ibnu Taimiyah.

B. Aswaja Sebagai Paham atau Aliran


Aswaja adalah aliran keagamaan yang diikuti oleh mayoritas umat Islam
Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Aswaja NU terkenal dengan nama Aswaja
Nahdliyah, yaitu Aswaja yang menjadi keyakinan dan dasar utama bagi warga NU
dalam semua bidang, agama, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, dan politik.
Namun sayang, mayoritas warga NU belum memahami secara mendalam apa itu
Aswaja? apa yang membedakan Aswaja dengan aliran lain? dalil-dalil yang
menjadi dasar amaliyah warga NU seperti tahlilan, manakiban, yasinan, dan lain-
lain? Apakah benar amaliyah warga NU termasuk bid’ah dhalalah (sesat)? kalau
tidak, apakah termasuk kategori sunnah? Wacana bid’ah selalu dijadikan senjata
untuk menyerang amaliah warga NU secara terus menerus. Pelurusan wacana
sangat penting dan mendesak, supaya warga NU bisa mengamalkan tradisinya
secara nyaman dan tenang.
Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte,
ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah
doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini
menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan
apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan
menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di

5
kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit
menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.

Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU


dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja
(harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari,
ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan
dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.
Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin
aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer
di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan
mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho’if) dan atsar
sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara
global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan
persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat,
penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.
Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun
sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan,
tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para
penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah 2daur ulang atas pemahaman ulama-ulama
klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.

C. Dasar Hukum Keberadaan Aswaja

Ungkapan Ahlussunnah wal jama'ah terdiri dari tiga kata bahasa Arab, yaitu
ahl, sunnah dan al-jama'ah. Ahli berarti keluarga, kelompok dan golongan, sunnah
berarti sunnah atau hadits Nabi SAW. Al-Jama'ah berarti para sahabat pada zaman
Rasulullah yang, maksudnya golongan yang tetap berpegang pada sunnah Nabi

2 Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah wal-jama’ah, Pustaka Tarbiyah Baru (Jakarta ,2008) Hal.
201.

6
SAW dan para sahabat. Istilah ini berhubungan dengan hadits yang artinya,
“Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu
golongan, yaitu ahlussunnah waljama'ah. Dari pemahaman hadits tersebut maka
turun istilah di Indonesia, Aswaja yang maksudnya Ahlussunnah wal jama'ah.
Ahlussunnah wal jama'ah berlangsung dari awal Islam. Karena itu, disebutkanlah
al-Hasan Al-Basri dan Ahmad bin Hambal sebagai tokoh-tokoh ahlussunnah wal
jama'ah. Akan tetapi, dalam perkembangan kemudian terdapat dua tokoh yang
mengembangkan ahlussunnah wal jama'ah yaitu Abu al-Maturidi, sehingga mereka
disebut sebagai pendiri ahlussunnah wal jama'ah.
Secara umum , ada dua hal yang membedakan Ahlussunnah dari aliran lainnya.
Pertama, Ahlussunnah berpendapat bahwa penilaian baik dan buruk didasarkan
pada syariat. Kedua, paham ahlussunnah wal jama’ah dianut mayoritas umat Islam,
dengan dasr pemikiran bahwa berwenang menilai tahsin dan menilai tagbih
diserahkan kepada syariat, maka ahlussunnah wal jama’ah berbeda dengan
mu’tazilah yang meyakini bahwa menilai tahsin dan menilai tagbih diserahkan
kepada Akal (rasio).
Imam mazhab empat dalam menentukan suatu hukum tidaklah semata-mata
mengikuti kehendak suara hatinya sendiri, akan tetapi selalu berdasarkan petunjuk
dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam menentukan pilihan dasar hukum yang
dijadikan pegangan utama, para imam Mazhab empat berpedoman pada ayat 59
dalam surat An-Nisaa’ yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
SWT dan taatilah Rasulullah dn Ulil Amri di antara kalian. Kemudian jika kamu
kembalikan ia kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. 3
Dengan demikian sumber hukum dasar yang dijadikan sebagai landasan
pengambilan hukum oleh para imam mazhab empat adalah:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah hukum dasar yang pertama dan utama dalam Islam. Karena
itu setiap muslim harus menerima bahwa asas yang pertama dan terkuat untuk
hukum Islam adalah Al-Qur’an.

3 Sirajuddin Abbas, KH,I'tiqad Ahlussunah wal-jama'ah, Pustaka Tarbiyah Baru, Jakarta,


2008. Hal. 202.

7
2. Al-Hadits atau As-Sunnah
Al-hadits atau As-Sunnah meliputi sunnah Qauliyan, Fi’liyah, dan sunnah
Taqririyah. Dalam agama Islam al-Hadits atau as-Sunnah mempunyai peran yang
sangat penting dan merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
3. Ijma’
Yaitu kesepakatan para ulama’ mujtahid mengenai suatu hukum ijma’ baru
dapat dipergunakan sebagai dalil terhadap suatu perkara sesudahnya ternyata tidak
ditemkan nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Ijma’, ada beberapa macam
diantaranya ijma’ sharih, ijma’ sukuni, ijma’ sababy, ijma’ khalifah empat, dan lain-
lainnya.
4. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan suatu masalah yang belum diketahui hukumnya,
karena diantaranya terdapat kesamaan (illat) yang menjadi dasar penentu hukum.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dalam mengqiyask an suatu hukum harus
diperhatikan empat hal, yaitu:
a. Asal, yaitu sesuatu yang sudah ada nash hukumnya yang menjadi ukuran
atau tempat menyerupakan .
b. Far’un adalah sesuatu yang belum diketahui hukumnya dan tidak dapat
diukur atau diserupakan dengan hukum asal.
c. Hukum asal yaitu hukum syara’ yang terdapat pada asal dan dimaksudkan
menjadi hukum bagi far’un.
d. Illat yaitu sebab yang menggabungkan atau menghubungkan antara asal
(pokok) dengan far’un (cabang).

Dengan kata lain, Illat merupakan sifat atau keadaan yang melandasai hukum
asal karena sifat atau keadaan itu pada far’un, maka menyebabkan jual beli
hukumnya. Selain keempat dasar hukum tersebut, Imam Hanafi menambahkan satu
dasar lagi yaitu istihsan sedangkan Imam Malik menambah dengan maslahah
mursalah.

8
D. Contoh Amalan Dari Nabi Muhammad Kepada Para Sahabat

Doa Qunut Subuh

Menurut mazhab Imam Syafi’I, yang kami anut dan yang dianut oleh Ulama’-
ulama’ besar dalam mazhab Syafi’I, seperti Imam Ghozali, Imam Nawawi, Imam
Ibnu Hajar al-Haitami, Imam ar-Ramli, Imam Khatrib Syarbaini, Imam Zakaria Al-
Anshari dan lain-lain, bahwa hukum membaca do’a qunut dalam sembahyang
Subuh pada I’tidal raka’at kedua adalah sunnat ‘aba’ad, diberi pahala yang
mengerjakannya dan tidak diberi pahala sekalian orang yang meninggalkannya.
Imam Sindi, pengarang Hasyiyah Salih Bukhari mengatakan bahwa menurut
sebagian qunut itu sudah dinasikkan semuanya tetapi ada sebagian yang
mengatakan bahwa qunut dalam sembahyang subuh tidak dinasikhkan.
Nabi Muhammad SAW, Mendo’a Qunut pada sembahyang subuh dan sembahyang
Maghrib. Teranglah bahwa ada Nabi qunut pada sembahyang subuh dan Maghrib,
maka barang siapa yang mengatakan bahwa do’a qunut itu bid’ah tandanya ia tidak
mengetahui hadits Bukhari ini. 4

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Agama Islam yang dibawa oleh Rosulallah SAW, merupakansatu kesatuan dari
unsur dasar yaitu Iman, Islam, Ihsan. Pada tahun 37 H terjadi perang Sifin antara
tentara Khalifah Ali dengan tentara Muawiyyah bin Abi Sufyan sehingga
menimbulkan perpecahan dan menimbulkan beberapa golongan diantaranya ada
Murji’ah yang dipimpin oleh Hasan Bin Bilal al Muzni Jabariyah tokohnya
Jahmbih Satwan dan pada abad ke 2 muncul Mu’tazilah dipimpin oleh Wasik bin
Atha’. Pada saat demikian, ajaran aswaja mutlak di populerkan kembali sehingga
umat islam dapat terbebaskan dari ajaran sesat.

4 Sirajuddin Abbas, KH,I’tiqad Ahlussunah wal-jama’ah, Pustaka Tarbiyah Baru, Jakarta,


2008. Hal. 201.

9
Sebagai paham atau aliran Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan
Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja,
bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan
atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu
di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-
Junaidi. tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan
apa yang menjadi doktrin Aswaja.
Sumber hukum dasar yang dijadikan sebagai landasan pengambilan hukum
oleh para imam mazhab empat adalah Al Qur’an, Al hadits dan Al Sunnah, Ijma,
dan Qiyas. Do’a qunut merupakan salah satu conto amalan dari Nabi Muhammad
kepada para sahabat.

B. Saran

Seharusnya kita harus mengupayakan pemahaman yang lebih menyeluruh dan


mendalam terhadap Aswaja. Khususnya terhadap apa yang telah kami sajikan di
sini, yang sangat membutuhkan banyak masukan.

DAFTAR PUSTAKA

Yusran Asmun, Drs., Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan dan Pemikiran


Islam , PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 1996.

Sirajuddin Abbas, KH, I'tiqad Ahlussunah wal-jama'ah , Pustaka Tarbiyah


Baru, Jakarta, 2008.

10

Anda mungkin juga menyukai