Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ALIRAN ASY’ARIYAH

Dosen Pengampu :

Dr. Abbas, S.Ag, M.A

Oleh:

Kelompok 4 :

Eny Wahyuni/ 2020010102003

Nadia Ayu Fajriyah/ 2020010102014

Rika Fira Aprilia/2020010102023

Andi Siti Nurhaliza Arif/2020010102026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KENDARI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
"As'ariyah”. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW., keluarganya, para sahabatnya, dan semoga sampai kepada kita sebagai umat beliau.

Makalah ini ditulis serta dibahas dengan tujuan untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata Kuliah Pemikiran Islam(Filsafat Islam,Ilmu Kalam,Ilmu Tasawuf). Pada kesempatan
ini pula dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, kami menyampaikan rasa terima kasih
yang tidak terhingga kepada yang terhormat Dr. Abbas S. Ag, M.A. selaku dosen pengampu
mata kuliah tersebut atas segala kesabaran dalam membimbing dan memberikan motivasi
kepada kami, serta beliau juga telah mengorbankan tenaga dan pikiran dalam mendidik kami.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna,
akan tetapi kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
berbagai pihak. Demikian pula, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun agar kami memiliki acuan dalam proses perbaikan nantinya. Terima kasih.

Penulis,

ttd

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I.........................................................................................................................

PENDAHULUAN.....................................................................................................

A. Latar Belakang..................................................................................................

B. Rumusan Masalah..............................................................................................

C. Tujuan................................................................................................................

BAB II........................................................................................................................

PEMBAHASAN........................................................................................................

A. Sejarah Aliran Asy’Ariyah………………………………………………………………………….

B. Pemikiran Aliran Asy’Ariyah………………………………………………………………………

C. Sebab-Sebab Meninggalkan Mu’tazilah……………………………………………………

D. Perkembangan Aliran Asy’Ariyah………………………………………………………………

BAB III......................................................................................................................

PENUTUP..................................................................................................................

A. Kesimpulan........................................................................................................

B. Saran..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membahas aliran-aliran dalam pemikiran Islam dan sejarahnya, maka tak lain membahas
agama Islam itu sendiri. Dalam sebuah perguruan tinggi, aliran-aliran atau ajaran ajaran itu biasa
disebut dengan studi Islam. Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar
permasalahan apakah studi Islam (agama) dapat dimasukkan kedalam bidang ilmu pengetahuan,
mengingat sifat karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.

Ilmu kalam, Fiqih dan tasawuf adalah ilmu yang dilahirkan dari persentuhan umat Islam
dengan berbagai masalah sosiokultural yang dihadapi oleh masyarakat sedang berkembang kala
itu mencari dan mempertahankan kebenaran. Dari itu pula lahirlah para pakar dunia yang telah
berhasil mempertahankan kebenaran mereka masing- masing, walaupun dengan cara atau jalan
yang ditempuh berbeda.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Aliran Asy’ariyah?

2. Bagaimana Pemikiran Aliran Asy’ariyah?

3. Apa sebab-sebab meninggalkan Mu’tazilah?

4. Bagaimana perkembangan Aliran Asy’ariyah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah aliran Asy’ariyah

2. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran aliran Asy’ariyah

3. Untuk mengetahui sebab-sebab meninggalkan aliran Mu’tazilah

4. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan aliran asy’ariyah


BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Aliran As'ariyah

Pendiri aliran ini yaitu Abdillah bin Qais Al-asy'ari.Nama lengkap pendiri aliran
asy'ariyah adalah Abu Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishak bin Salim bin Abdullah bin
Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi MusaNama as'ariyah di ambil dari nama Abu Musa
Al-asy'ari.Ia adalah cucu dari Abu Musa Al-asy'ari,sahabat nabi,Abu Musa dikenal sebagai juru
damai yang mewakili pihak Ali dalam peristiwa pentahkiman(arbitrase) pada perang Shiffin.

Asy'ari adalah penganut paham mu'tazilah,ia banyak belajar dari al-jubba'i,seorang


tokoh mu'tazilah yang terkenal,di Basrah.Awalnya al-asy'ari sangat serius dan bertanggung
jawab terhadap ajaran Mu'tazilah Sehingga al-Jubba'i banyak memberikan kepercayaan kepada
al-asyari untuk melakukan debat dalam menghadapi lawan-lawan mu'tazilah.

Pada suatu hari ketika terjadi sesuatu yang kontroversial,asy'ari membelot dan
meninggalkan ke mu'tazilahnya,meskipun aliran tersebut telah lama dianutnya.Puncak
pembelokan ini terjadi pada suatu ketika dia naik diatas mimbar mengumumkan pendapatnya
telah merenung selama 15 hari.Saat itu ia berkata;Hadirin sekalian, setelah saya meneliti dalil-
dalil yang digunakan masing-masing pendapat,ternyata dalil-dalil tersebut menurut saya sama
kekuatannya.Saya mohon kepada Allah agar diberi petunjuk jalan yang benar,oleh sebab itu,atas
petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan ajaran dan keyakinan yang lama dan menganut
keyakinan yang baru yang saya tulis dalam buku ini.Keyakinan lama saya lepaskan seperti saya
melucuti baju yang saya kenakan ini.

. Pergerakan Asy’ariyah Aliran Asy’ariyah muncul setelah kemunduran aliran Mu’tazilah


mengalami degradasi yang berarti dengan implikasi mihnah mulai pada abab ke-4 H setelah ia
terlibat dalam konflik dengan kelompok-kelompok lain, khususnya dengan Mu’tazilah. Aliran
Asy’ariyah merupakan bentuk dari pemahaman yang tidak sepihak dengan alira Mu’tazilah yang
dianggap hanya mengandalkan rasional saja. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan pada
umat, karena orang-orang awam tidak mampu berfikir terlalu rasional sperti kaum Mu’tazilah.
B. Pemikiran Aliran Asy’ariyah

Ada beberapa pemikiran Asy’ariyah yang terpenting diantaranya adalah :

1. Sifat-sifat Allah
Al-asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Allah swt
mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan sifat kudrah, hidup dengan hayah,
berkehendak dengan iradah, berkata dengan kalam, mendengar dengan sama’ melihat
dengan basyar, dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut adalah azali dan qadim yang berdiri
diatas zat Tuhan. Sifat-sifat tersebut bukanlah zat Tuhan, bukan pula lain dari sifatnya.
Disebut bukan zatnya karena sifat-sifatnya memang bukan zatnya. Disebut bukan lain
dari zat karena sifat-sifat itu melekat dan tak terpisahkan dari zat. Sifat-sifat itu tidak
berdiri sendiri, tetapi berdiri diatas zat tersebut. Karena zat Tuhan adalah azali dan qadim,
maka sifat Tuhan pun azali dan qadim.
Pendapat Al- Asy’ari ini bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazilah yang
mengatakan bahwa Allah swt. Tidak mempunyai sifat. Bagi Mu’tazilah apa yang disebut
sifat sebenarnya adalah zat (esensi) Tuhan itu sendiri. Abu Huzail Al-allaf seorang tokoh
Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan pengetahuannya dan
pengetahuannya adalah zat-Nya. Tuhan yang berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan
kekuasaan-Nya adalah zatnya. Tuhan hidup dengan hanyat-Nya adalah zat.
Menjawab hal tersebut, Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah tidak mungkin mengetahui
dengan pengetahuan-Nya, sebab apabila Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuanny adalah zat-Nya, berarti Allah adalah pengetahuan. Allah bukan
pengetahuan tetapi mengetahui dan Allah mengetahui dengan sifat ilmu-Nya, selanjutnya
Al-Asy’ari mempertanyakan, apakah layak kalau kita berdoa “ ya ilma Allah” ( wahai
pengetahuan Allah), ampunilah dosa-dosaku dan berilah rahmat padaku.
2. Al-Qur’an
Al- asy’ari berpendapat bahwa al-qur’an bersifat qadim, tidak diciptakan. Dasar
dari pendapat ini adalah firman Allah swt dalam QS. An-Nahl ayat 40. Menurut Al-
asy’ari, dalam setiap penciptaan sesuatu diperlukan kata kun(jadilah). Jika kun tersebut
diciptakan tentu untuk menciptakan kata kun diperlukan kun yang lain. Akibatnya,
terjadilah kata kun yang tidak berkesudahan (tasalsul). Hal ini tentu tidak mungkin,
karena al-qur’an tidak mungkin diciptakan.
Selanjutnya Al-asy’ari berpendapat bahwa al-qur’an adalah kalam Allah yang
bersifat qadim. Menurutnya orang yang mengatakan bahwa al-qur’an adalah makhluk
berarti mereka menyamakan Tuhan dengan patung yang tidak mempunyai kalam dan
tidak bertutur kata. Al-asy’ari juga mempersoalkan orang-orang tidak tegas pendiriannya
mengenai al-qur’an, yaitu orang tidak menyatakan bahwa jika sikap mereka itu
didasarkan pada alasan bahwa al-qur’an itu makhluk dan tidak pula menyatakan bahwa
al-qur’an adalah makhluk. Jika setiap mereka menyatakan demikian karena al-qur’an dan
hadits tidak menyinggung masalah tersebut, dan tidak ada kesepakatan umat islam
dengan hal ini, maka menurut Al-asy’ari, perlu dipertanyakan kembali kepada mereka.
3. Melihat Tuhan
Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat dihari akhirat kelak. Pendapat
ini didasarkan pada surah al-qiyamah ayat 22 dan 23. Kata nadzar pada ayat ini oleh al-
asy’ari diartikan dengan melihat dengan mata karena ada karinah, yaitu menyebutkan
nadzar berbarengan dengan penyebutan wajah, memang kata nadzar mempunyai
pengertian yang bermacam-macam, ia bisa berarti I’tibar, seperti pada surah al-ghasiyahn
ayat 17. Namun dalam ayat 23 surah al-qiyamah kata nadzar tidak cocok diartikan I’tibar.
Disamping itu kata I’tibar (berfikir) karena di akhirat bukanlah tempat untuk mengambil
I’tibar. Disamping itu, kata nadzar bisa juga berarti menunggu (intizar).
4. Perbuatan Manusia
Mengenai perbuatan manusia, Al-asya’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia
itu diciptakan oleh Tuhan. Ini bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazilah yang
mengatakan bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Untuk
menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan, Al’asy’ari menggunakan istilah al-kasb. Al-kasb adalah sesuatu yang timbul dari
al-muktasib. Yang dimaksud dengan kasb disini adalah berbarengnya kekuasaan manusia
dengan perbuatan Tuhan.
Al-asy’ari mengemukakan arti iktisab adalah bahwa sesuatu terjadi dengan
perantara daya yang diciptakan, dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang
yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. Kasb atau perolehan mengandung arti
keaktifan dan dengan demikian manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi
karena kasb adalah ciptaan Tuhan, ini menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga
manusia bersifat pasif dalam perbuatannya.
5. Keadilan Tuhan
Al-asy’ari tidak sepakat dengan pendapat Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan,
menurut mu’tazilah, Tuhan wajib berbuat adil, wajib memasukkan orang yang baik
kedalam syurga dan wajib memasukkan orang yang berbuat dosa kedalam neraka.
Sedang menurut Al-asy’ari tidak ada satupun yang wajib bagi Tuhan. Tuhan adalah
berkuasa mutlak, andaikan Tuhan memasukkan semua manusia kedalam syurga, hal ini
bukan berarti ia tidak adil, begitu pula sebaliknya. Tuhan adalah penguasa mutlak, dia
berbuat apa saja yang ia inginkan. Dengan demikian, maka Al-asy’ari juga menolak
pendapat Mu’tazilah tentang manzilatuh baina manzilatin.
Menurut Al-asy’ari, orang yang berdosa besar tetap mu’min, apabila perbuatan dosa
besar itu meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, hukumnya diserahkan kepada Allah
swt. Dengan beberapa kemungkinan :
a. Allah mengampuni pelaku dosa besar tersebut dengan rahmat-Nya, sehingga pelaku
dosa besar itu masuk ke surga.
b. Pelaku dosa besar itu mendapat syafaat dari Nabi.
c. Allah akan menghukum pelaku dosa besar itu kedalam neraka sesuai dengan dosa
yang dilakukannya. Kemudian Allah memasukkannya kedalam syurga.

Dengan demikian, menurut Al-asy’ari tidak mungkin pelaku dosa besar kekal didalam
neraka, karena tetap beriman.

C. Sebab-Sebab Meninggalkan Mu’tazillah

Semula Asy'ari adalah penganut paham mu'tazilah,ia banyak belajar dari al-
jubba'i,seorang tokoh mu'tazilah yang terkenal,di Basrah.Awalnya al-asy'ari sangat serius dan
bertanggung jawab terhadap ajaran mu'tazilah.Sehingga al-Jubba'i banyak memberikan
kepercayaan kepada al-asyari untuk melakukan debat dalam menghadapi lawan-lawan
mu'tazilah.
Sebab yang biasa dikemukakan adalah karena mimpi.Pada suatu malam As'ari bermimpi
bertemu dengan Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa mazhab asli hadislah yang
benar dan mazhab mu'tazilah adalah salah.

Menurut Subhi Shaleh,karena Al-jubba'i tidak dapat memberikan jawaban yang


memuaskan kepada Asy'ari mengenai pertanyaan yang dikemukakannya.

Diskusi tersebut diungkapkan sebagai berikut:

Al-asy'ari: Bagaimana kedudukan orang mukmin,kafir,dan anak kecil di akhirat?

Al-jubba'i: Yang mungkin mendapat kedidukan yang baik dalam surga,yang kafir masuk neraka
dan anak kecil terlepas dari neraka.

Al-asy'ari: Kalau yang kecil menginginkan tempat yang lebih tinggi di surga,mungkinkah itu?

Al-Jubba'i: Tidak mungkin,kepada anak kecil itu akan dikatakan,tempat yang baik disurga
didasarkan pada kepatuhan seseorang terhadap Tuhannya;sedangkan engkau hai anak,belum
mempunyai kepatuhan seperti itu.

Al-asy'ari: Andaikan anak kecil itu berkata, itu bukan salahku ya Tuhan sekiranya engkau
panjangkan umurku tentu aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan saleh seperti yang telah
mereka lakukan.

Al-jubba'i: Allah akan menjawab "Aku tahu jika kepanjangan umurmu,engkau akan berbuat
dosa,konsekhensinya engkau akan ku azab,maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu
sebelum sampai kepada usia taklif.

Al-asy'ari: Seandainya yang kafir berkata "Ya Allah,engkau mengetahui masa depan anak
itu,sebagaimana engkau mengetahui masa depanku.Mengapa engkau tidak memelihara
kepentinganku sebagaimana engkau memelihara kepentingannya".

Menghadapi pertanyaan ini al-jubba'i terdiam tidak bisa menjawab.Ahmad Mahmud Subhi
berpendapat bahwa keraguan asy'ari terhadap ajaran Mu'tazilah karena Asy'ari bermadzhab
Syafi'i.Teologi Syafii berbedadengan teologi Mu'tazilah
Keluarnya al Asy’ari dari Mu’tazilah adalah karena keraguan al Asy’ari dan ketidakpuasan
intelektual al Asy’ari terhadap Mu’tazilah. Ketidakpuasan al Asy’ari ini berkaitan dengan pola
pikir dan metodologi Mu’tazilah yang terlalu mengandalkan akal tanpa dukungan kecerahan
wahyu atau nash. Keluarnya al Asy’ari dari Mu’tazilah juga disebabkan karena tragedi Mihnah.
Di samping itu, saat dalam masa keraguan al Asy’ari mengasingkan diri (berkhalwat) selama 15
hari serta melakukan istikharah serta perenungan mendalam. Dalam pengasingannya tersebut,
konon al Asy’ari bermimpi bertemu Nabi SAW dan diperintahkan untuk meninggalkan
Mu’tazilah dan membela al Sunnah.

Abu Mansur al Maturidi lahir di Maturid-Samarkand pada 859 M dan wafat pada 944 M.
Dalam hal fikih, al-Maturidi adalah penganut madzhab Hanafi. Dia adalah murid dari
Muhammad bin Muqatil al Razi (w. 248 H) dan murid dari Nushair bin Yahya al Balkhi (w.228
H). Al Maturidi memiliki hubungan nasab dengan sahabat Nabi SAW, yaitu Abu Ayub al
Anshori.

Dalam doktrin al-Asy’ari ada beberapa hal, yaitu pertama, posisi akal (‘aql) dan nash
(naql). Menurut al Asy’ari iman (‘aqidah) yang mantap haruslah berdasarkan pada ilmu
pengetahuan. Iman tanpa ilmu seperti orang yang lumpuh sedangkan ilmu tanpa iman seperti
orang buta. Di samping itu, dalil-dalil naqli baru dapat dipahami dengan benar jika ditunjang
oleh ilmu. Menurutnya “aqal dan naql bukanlah hal yang harus dipertentangkan tetapi ‘aqal
seharusnya dipergunakan untuk memahami naql”.

Kedua, Al Asy’ari menolak ajaran Mu’tazilah yang tidak mengakui sifat-sifat Allah yang
berbeda dengan dzatnya.

Ketiga, al Asy’ari menolak faham Mu’tazilah tentang keadilan yang wajib bagi Allah.
Menurut al Asy’ari kekuasaan Allah bersifat mutlak, sehingga tidak ada sesuatupun yang wajib
bagi Allah. Sedangkan menurut Mu’tazilah, Allah berkewajiban mendatangkan yang baik
bahkan yang terbaik bagi manusia. Allah berkewajiban menurunkan lutf bagi manusia. Lutf
adalah semua hal yang akan membawa manusia pada ketaatan dan yang akan menjauhkan
manusia dari maksiat. Oleh karena itu, Allah berkewajiban menurunkan nabi atau rasul untuk
membawa petunjuk bagi manusia.
Keempat, menurut al-Asy’ari orang yang melakukan dosa besar tidak serta merta menjadi
golongan kafir, statusnya tetap mu’min namun karena dosa besarnya maka dia menjadi fasiq
(durhaka), dan apabila sampai mati dia tidak bertaubat maka nasibnya terserah kepada Allah,
apakah mau dimasukan kedalam surga karena kemurahan Allah atau dimasukan keneraka karena
kedurhakaanya. Pendapat ini menjadi antiteas dari pendapat Mu’tazilah serta Khawarij bahwa
pelaku dosa besar menjadi kafir karena perbuatan dosanya atau bukan kafir namun juga bukan
mu’min (fi al-manzilah baina al-manzilatain).

D. Perkembangan Aliran Asy’Ariyah

Asy-ariah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir sepuluh abad.
Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada, walaupun
harus menghadapi tekanan kira-kira 1½ abad. Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis,
yang diwakili khususnya oleh Mutazilah, akan tetapi kadang juga melawan naqliyin (tekstualis)
yang diwakili oleh salaf ekstrim dari kalangan Hanabilan dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-
ajaran aliran ini bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi negara di dunia Sunni, yang dalam
rangka itu ia ditopang oleh kondisi sosial-politik.

Teologi Asy'ariyah yang kemudian menjadi bibit dalam aliran Ahl al-Sunnah wal Jama'ah
ini, kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap faham golongan mu'tazilah dalam menyebarkan
ajaran-ajarannya, setelah al-Asy'ariy menjadi pengikut setiap dari golongan tersebut selama
kurang lebih 40 tahun, sebuah catatan waktu yang cukup panjang.

Abu Hasan Ibn Ismail al-Asy'ari menyatakan diri membelot dari golongan mu'tazilah dan
memproklamirkan sebuah ajaran teologi baru yang dinisbahkan dirinya sendiri (al-Asy'ariyah).Ia
tampil dan mengokohkan dirinya sebagai pemikir teologi dengan penalaran ortodoks di bidang
aqidah, penalaran ini lebih mengutamakan kepada sumber-sumber Islam sendiri seperti al-Qur'an
dan sunnah Nabi.

Aliran teologi al-Asy'ari yang tak lepas dari refleksi sosial dalam menyikapi kultur
masyarakat saat itu dengan menggambarkan bahwa daya beserta kekuatan yang dimiliki oleh
manusia di saat berhadapan dengan kekuatan yang absolut tidak akan berdaya sama sekali, di
samping menjadikan senjata dan kekuatan anggapan bahwa akal menusia itu mempunyai
keterbatasan. Kedatangan teologi ini, banyak diterima oleh masyarakat umum setelah
menyatakan bahwa ia merupakan golongan yang mengutamakan kepada sunnah dan sepaham
dengan Ahmad Ibn Hanbal.

Pada dasarnya al-Asy'ari mencoba menempuh jalan tengah antara dua ekstremitas, yaitu
para rasionalis mu'tazilah yang membuat wahyu di bawah penalaran, dan para eksternalis yang
berbeda pendekatannya yang menolak peranan nalar dan kembali bersandar pada makna ayat-
ayat al-Qur'an dan Hadis. Sementara itu, gologan mu'tazilah tidak begitu setia berpegang pada al-
Sunnah dikarenakan oleh keraguannya terhadap keorisinilan al-Sunnah tersebut sehingga
dianggap sebagai golongan yang tidak berpihak pada al-Sunnah. Sementara al-Asy'ari dalam
menguatkan pendapatnya terlebih dahulu merujuk kepada al-Sunnah (hadis). Dasar inilah yang
menjadi titik tolak bagi para pengikut al-Asy'ari sehingga aliran tersebut dinamakan ahl al-
Sunnah.

Pada saat masyarakat luas memberi respon yang sangat positif terhadap aliran al-
Asy'ariyah bahkan menyatakan sebagai pengikutnya, maka semenjak itulah ia menjadi golongan
yang mayoritas dan mu'tazilah menjadi golongan minoritas, apalagi setelah khalifah al-
Mutawakkil melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu dukungan mayoritas dari
masyarakat, sehingga dibatalkanlah aliran mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara, dan aliran ini
semakin lama semakin berkurang yang kemudian hampir hilang oleh dominasi al-Asy'ariyah.
Dari sinilah muncul term jama'ah al-muslimin.

Bertolak dari kedua hal tersebut di atas yaitu teologi al-Asy'ariyyah yang berpegang
teguh kepada al-sunnah, lalu dikatakanlah ahl al-Sunnah dan sisi lain sebagai golongan
mayoritas (al-Jama'ah) yang dianut oleh umat Islam. Penggabungan dari kedua hal tersebut
menjadi ahl al-Sunnah wa al-jama'ah.

Istilah ahl al-Sunnah wal Jamaah tidak dikenal, baik pada zaman Nabi saw. maupun pada
masa pemerintahan khulafa al-Rasyidin, bahkan tidak dikenal pada zaman pemerintahan Bani
Umaiyyah (41-133 H/611-750 M). Istilah ini untuk pertama kalinya dipakai pada masa
pemerintahan khalifah Abu Ja'far al-Mansur (137-159 H/754-775M) dan khalifah Harun al-
Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah ( 750-1258 M). Istilah ahl al-
Sunnah wal Jamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-
Ma'mun (198-218 H/813-833M.)

Penggunaan istilah ahl al-Sunnah wal Jamaah semakin populer setelah munculnya Abu
Hasan al-Asy'ari pada (260-324 H./873-935 M.) dan Abu Mansur al-Maturidi yang melahirkah
aliran Asy'ariah dan Maturidiyah di bidang teologi. Dengan demikian, bila dikatakan ahl al-
Sunnah wal-Jamaah maka yang dimaksudkan adalah penganut paham Asy'ariah atau
Maturidiyah di bidang teologi.

Istilah ahl al-Sunnah wal Jamaah atau Sunni tidak terbatas hanya bidang teologi saja,
tetapi meliputi semua aspek ajaran agama Islam, baik fiqh, tauhid, maupun tasauf.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. . Pergerakan Asy’ariyah Aliran Asy’ariyah muncul setelah kemunduran aliran Mu’tazilah


mengalami degradasi yang berarti dengan implikasi mihnah mulai pada abab ke-4 H
setelah ia terlibat dalam konflik dengan kelompok-kelompok lain, khususnya dengan
Mu’tazilah. Aliran Asy’ariyah merupakan bentuk dari pemahaman yang tidak sepihak
dengan alira Mu’tazilah yang dianggap hanya mengandalkan rasional saja. Hal ini dapat
menimbulkan kebingungan pada umat, karena orang-orang awam tidak mampu berfikir
terlalu rasional sperti kaum Mu’tazilah.
2. Ada beberapa pemikiran Asy’ariyah yang terpenting diantaranya adalah:
a) Sifat-sifat Allah Al-asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat.
Allah swt mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan sifat kudrah, hidup dengan
hayah, dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut adalah azali dan qadim yang berdiri
diatas zat Tuhan.
b) Al-Qur’an Al- asy’ari berpendapat bahwa al-qur’an bersifat qadim, tidak
diciptakan. Dasar dari pendapat ini adalah firman Allah swt dalam QS. An-Nahl
ayat 40.
c) Melihat Tuhan Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat dihari akhirat
kelak. Pendapat ini didasarkan pada surah al-qiyamah ayat 22 dan 23.
d) Perbuatan Manusia Mengenai perbuatan manusia, Al-asya’ari berpendapat bahwa
perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan
e) Keadilan tuhan menurut Al-asy’ari tidak ada satupun yang wajib bagi Tuhan.
Tuhan adalah berkuasa mutlak, andaikan Tuhan memasukkan semua manusia
kedalam syurga, hal ini bukan berarti ia tidak adil, begitu pula sebaliknya
3. Sebab-sebab Meninggalkan Mu'tazilah
Pertama, posisi akal (‘aql) dan nash (naql). Menurut al Asy’ari iman (‘aqidah)
yang mantap haruslah berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Iman tanpa ilmu seperti orang
yang lumpuh sedangkan ilmu tanpa iman seperti orang buta. Kedua, Al Asy’ari menolak
ajaran Mu’tazilah yang tidak mengakui sifat-sifat Allah yang berbeda dengan
dzatnya.Ketiga, al Asy’ari menolak faham Mu’tazilah tentang keadilan yang wajib bagi
Allah. Menurut al Asy’ari kekuasaan Allah bersifat mutlak, sehingga tidak ada
sesuatupun yang wajib bagi Allah. Sedangkan menurut Mu’tazilah, Allah berkewajiban
mendatangkan yang baik bahkan yang terbaik bagi manusia.
4. Asy-ariah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir sepuluh abad.
Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada,
walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1½ abad.Teologi Asy'ariyah yang
kemudian menjadi bibit dalam aliran Ahl al-Sunnah wal Jama'ah ini, kelihatannya timbul
sebagai reaksi terhadap faham golongan mu'tazilah dalam menyebarkan ajaran-ajarannya,
setelah al-Asy'ariy menjadi pengikut setiap dari golongan tersebut selama kurang lebih 40
tahun, sebuah catatan waktu yang cukup panjang.

B. Saran

Demikianlah pokok bahasan makalah ini yang dapat kami paparkan, besar harapan kami
makalah ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak. Karena keterbatasan pengetahuan dan
referensi, penulis menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi
lebih baik lagi dimasa yang akan datang

DAFTAR PUSTAKA
Al-Asy’ari,abu hasan.1950.Maqalat al-Islamiyah.Makhtabh al-Badlah al-
Misriyah.Kairo.
Al-Badawi,Abd Rahman.Mazahib al-Islamiyyin Dar al-'ilm li Al-malayin.Beirut.
Al-Asy'ari, Abu Hasan.1955.Kitab al-Luma' fi ar-Radd 'ala ahl az-zuyag wa al-Bida':
Syariqah Musamalah.Mesir.
Al-Minal-wa-al-Nihal.
Amin,Ahmad.1969.Zurh al-Islam.Beirut.
https://tebuireng.online/alasan-al-asyari-tinggalkan-mutazilah/
https://www.kompasiana.com/saefurrohman58648/601952dcd541df18831aa192/perkem
bangan-aliran-asy-ariyah

Anda mungkin juga menyukai