Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH AGAMA TENTANG IHSAN (AKHLAK)

DOSEN PENGAMPU :

DR.Abdul Gafar,Lc.MA

Disusun oleh :

Kelompok 6
Miftakhul Hasanah
Niken Falderina Sorumba
Amanda
Alfiana ayuningsih

POLTEKKES KEMKES KENDARI

DII KEPERAWATAN

2023
Bab I
Pendahuluan

Ajaran Islam yang bersifat universl harus bisa diaktualisasikan dalam kehidupan individu,
masyarakat, berbangsa dan bernegara secara maksimal. Aktualisasi tersebut tentu terkait
dengan pelaksanaan hak dan krwajibannya seseorang kepada Tuhan, rasulNya, manusia dan
lingkungannya. Khusus aktualisasi akhlak ( hak dan kewajiban ) seorang hamba kepada
Tuhannya terlihat dari pengetahuan, sikap, prilaku dan gaya hidup yang dipenuhi dengan
kesadaran tauhid kepada Allah SWT, Hal itu bisa dibuktikan dengan berbagai perbuatan amal
shaleh, ketaqwaan, ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT secara ikhlas. Untuk itulah dalam
menata kehidupan, diperlukan norma dan nilai, diperlukan standard an ukuran untuk
menentukan secara obyektif apakah perbuatan dan tindakan yang dipilih itu baik atau tidak,
benar atau salah, sehingga yang dilihat bukan hanya kepentingan diri sendiri, melainkan juga
kepentingan orang lain, kepentingan bersama, kepentingan umat anusia secara keseluruhan.
Dan untuk itulah setiap individu dituntut memiliki komitmen moral, yaitu spiritual pada
norma kebajikan dan kebaikan.

A. Latar belakang
Seringkali didapati diantara masyarakat memahami Iḥsan dengan ruang
lingkup yang sempit dan tidak menyeluruh sehingga mereka beranggapan bahwa yang
disebut dengan Iḥsan yaitu sebagai mana yang diisyaratkan oleh nabi yang
disampaikan oleh Malaikat Jibril bahwa Iḥsan adalah “an ta’budallah ka’annaka
tarâhu fa in lam takun tarahu fa innahu yarâka”. (beribadahlah kepada Allah seolah-
olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak bisa melihatnya sesungguhnya Ia
melihatmu).Maka dari hadist tersebut ihsan menjadi tingkatan tertinggi dari sebuah
akhlak yang mulia. Yaitu selalu menghadirkan Allah disetiap ruang lingkup kehidupan
manusia. Oleh sebab itu untuk mengetahui makna Iḥsan secara konseptual maka perlu
adanya penelitian. Untuk dapat di aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari
perlunya ada pemahaman mengenai kata Iḥsan tersebut, sehingga tidak terkesan sulit
untuk direalisasikan.2Alquran yang menjadi dasar dan pentujuk bagi seluruh manusia
maka tentu harus memiliki perhatian lebih salah satunya dalam mengkaji ayat-
ayatnya. Ihsan dalam bahasa Arab yang berarti berbuat kebajikan atau kebaikan (Q.S.
an-Nahl:90).
Ihsan dalam arti yang khas sering disamakan dengan akhlak, yaitu sikap dan
perbuatan (budi pekerti) yang baik menurut Islam. Terkadang diartikan dengan suatu
kesempurnaan. Ihsan menurut pengertian syari’at telah dirumuskan oleh Nabi SAW
sendiri dalam sabdanya, “ Ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan
engkau melihat Allah, apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Ia
melihat engkau.” 3 Sebagaimana yang disampaikan Ali As Shabuni dalam Tafsirnya
Sofwatu Tafasir
Menurut Abudi Nata, menggambarkan gejala keruntuhan pada masa kini
sudah menghawatirkan, kejujuran, kebenaran, keadilan, saling tolong-menolong
sudah tertutup oleh penyelewengan, penindasan, penipuan dan saling merugikan.
Maka semua itu menjadi alasan betapa pentingnya pendidikan karakter, dan
pengetahuan mengenai akhlak-akhlak dalam Alquran sebagai dasar pendidikan
karakter yang paling penting.

B. Rumusan masalah
1. Pengertian akhlak kepada allah dan rasul
2. Cara memperlakukan alam semesta
3. Pengertian akhlak kepada alam, akhlak pada sesama, dan akhlak kepada manusia

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian kepada allah dan rasul
2. Mengetahui cara memperlakukan alam semesta
3. Mengetahui akhlak alam, sesama dan kepada manusia
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian akhlak kepada allah dan rasul

Akhlak Kepada Allah dan Rasul


Mengutip dari buku Prof. Yunahar Ilyas, disebutkan bahwa akhlak manusia
kepada Allah adalah diwujudkan melalui takwa. Takwa merupakan konsep konkret
hubungan antara Sang Pencipta yakni Allah dengan manusia sebagai hamba-Nya.
Hubungan tersebut bersifat hubungan aktif yang menimbulkan konsekuensi logis
berupa hubungan manusia dengan sesama dan terhadap alam lingkungannya.
Dalam Ruh ad-Din al-Islam, ulama mendefinisikan takwa sebagai upaya
manusia dalam menanamkan rasa takut terhadap hal-hal yang dimurkai Allah. Selain
itu, takwa juga berfungsi sebagai benteng penjagaan atau proteksi diri dari azab Allah.
Berbicara mengenai takwa, disebutkan dalam surah al-Baqarah: 177 dengan
istilah “al-birru” yang berarti kebaikan. Ayat tersebut mengandung empat komponen
takwa, di antaranya; pertama, mengimani adanya Allah, hari kiamat, malaikat, kitab
dan para nabi-Nya sebagai bentuk hubungan vertikal manusia kepada Allah. Kedua,
berinfak atau bersedekah kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-
minta dan hamba sahaya sebagai bentuk hubungan horizontal manusia terhadap
sesama. Ketiga, bentuk religiusitas seorang hamba yang diwujudkan dengan ibadah
(melaksanakan salat, menunaikan zakat) serta amanah dalam menepati janji.
Keempat, bersikap sabar dalam kemelaratan dan penderitaan sebagai bentuk
mentalitas seseorang yang bertakwa. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa takwa
adalah suatu integrasi hubungan antara iman (kepada Allah), Islam (bentuk ibadah
mahdah) dan ihsan (sosial kemasyarakatan).
Takwa ini juga disinggung dalam surah Ali-Imran: 102 yang mana Allah
memerintahkan orang-orang mukmin supaya bertakwa dengan “sebenar-benar
takwa”. Merujuk pada hadis masyhur Nabi, “bertakwalah kamu kepada Allah dimana
saja kamu berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan
menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”, dipahami bahwa
maksud sebenar-benar takwa adalah suatu bentuk perilaku yang melampui dimensi
ruang dan waktu, dengan kata lain bukan parsial (setengah-setengah). Sebagai contoh
orang yang sholeh ketika di dalam masjid, namun rendah moralnya ketika berada di
ruang publik belum dapat disebut dengan takwa yang sesungguhnya.

a. Identifikasi Takwa
Di antara perwujudan orang bertakwa adalah sebagaimana yang disebutkan
dalam surah al-Anfal: 29 berupa “furqan”. Di era ketika kebenaran tidak lagi
dikembalikan pada validitas wahyu melainkan justru disandarkan kepada nalar
manusia, sangat diperlukan kecerdasan mental spritual, intelektual dan emosional
untuk memilah antara haq dan yang batil. Dengan kata lain, orang bertakwa
dengan kemampuan furqan-nya akan mampu mengambil posisi yang tepat dari
berbagai persoalan ambigu.

Dalam surah al-A’raf: 96 disinggung pula bahwa makna takwa adalah suatu
hal yang memunculkan keberkahan dalam arti kebermanfaatan bagi lingkungan.
Ketika takwa sudah terinstal atau tertanam pada diri manusia, maka akan selalu
didapati kemudahan, solusi dalam kehidupan dan tentunya ampunan terhadap
dosa-dosa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, puncak keimanan kepada Allah
adalah melalui ketakwaan.

b. Akhlak kepada Rasul


Bentuk akhlak kepada Rasul adalah mengimani terhadap seluruh apa yang
terdapat pada diri Nabi Muhammad Saw. Nabi merupakan sosok yang hadir dari
kalangan manusia, bukan malaikat. Sosok yang memiliki empati luar biasa
terhadap kondisi umat manusia, sudah sepantasnya menjadi tauladan dan inspirasi.
Cara sederhananya adalah merasakan keberadaan beliau dari dalam diri, sehingga
ketika disebut nama Rasulullah sudah otomatis mengantarkan shalawat atasnya.

2. Akhlak kepada orangtua


Akhlak kepada orang tua adalah sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh seseorang terhadap orangtuanya. Dengan demikian dalam Islam, di
samping berkewajiban berakhlak yang baik kepada Allah dan kepada diri sendiri,
manusia juga memiliki kewajiban berakhlak baik kepada orangtua.
Para Ulama’ Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik atau berbakti pada
kedua orang tua hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-
ibarat atau contoh pengamalannya misalnya mengenai orang anak yang mengatakan
“uh” atau “ah” ketika di suruh oleh kedua orang tua tersebut. Pendapat Ibnu Hazm
menganai hukum birrul walidain, menurutnya birul walidain adalah fardhu a’in yaitu
wajib bagi masing-masing individu. Sedangkan menurut Al-Qadli Iyyad birrul
walidain adalah wajib kecuali terhadap perkara yang haram.
Dalam video ini ibu Ermita Susanti, S.Pd.I. akan menguraikan hal-hal terkait
tentang bagaimana seharusnya kita memiliki akhlak yang baik terhadap orang tua.
Semoga bermanfaat, selamat menyaksikan.

3. Akhlak antar sesama


Islam mengajarkan agar sesama manusia saling menjalin kasih sayang dan
atau mencintai. Dalam sebuah hadits nabi dikatakan bahwa, tidak sempurna iman
seseorang hingga yang bersangkutan sanggup mencintai orang lain sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri. Seseorang tidak akan mungkin mau dirinya susah,
menderita, menanggung kerugian, dan apalagi celaka. Begitu pula, sebagai bentuk
kecintaan terhadap sesama, semestinya orang lain pun tidak boleh menanggung
perasaan yang ia sendiri membencinya itu.
Antar sesama semestinya saling mencintai, hormat menghormati, bekerjasama
dalam menjalankan kebaikan, dan bertolong menolong.
Nilai-nilai agung dan mulia itu ternyata belum selalu tampak dalam kehidupan
sehari-hari. Setelah shalat, berpuasa, dan ibadah haji lewat, maka seolah-olah nilai
ajaran itu juga boleh dilewatkan. Padahal seharusnya, semua kegiatan ritual itu
membekas dalam kehidupan sosialnya. Orang mengatakan kesalehan ritual
seharusnya diikuti oleh kesalehan sosial dan bahkan juga kesalehan intelektual.
Namun nyatanya, kesenjangan itu masih ada di mana-mana.
Perpecahan dan permusuhan tidak lagi menjadi fakta baru di lapangan.
Dewasa ini, masyarakat tampak lebih mudah tersulut emosi yang kemudian berujung
pada cacian dan hinaan hanya karena masalah-masalah furu‘. Perbedaan golongan,
instansi, suku, atau bahkan mazhab yang dianut menjadi ranah sensitif yang rentan
terjadi gesekan karena perbedaan pendapat. Ini adalah satu masalah besar yang harus
mendapat atensi dari kaum muslimin.
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam
kehidupan bermasyarakat. Saling memberi, menerima kekurangan dan kelebihan
masing-masing sebagai sesama makhluk Tuhan merupakan satu cara untuk menjaga
keberlangsungan hidup. Namun perlu disadari, ketergantungan dengan orang lain
tidak akan langgeng bila hanya berdasarkan unsur kepentingan. sikap seorang muslim
terhadap sesama muslim.
Sikap-sikap dalam usaha untuk menjaga dan memelihara ukhuwah
islamiyah tersebut antara lain:
a. Mencintai bagi saudaranya sebagaimana mencintai diri sendiri dan
membenci bagi saudaranya apa-apa yang dibenci bagi dirinya. (HR
Bhukari dan Muslim) Merendah diri di hadapan saudaranya dan tidak
bersikap sombong dan angkuh. (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
b. Tidak mencaci saudaranya dan tidak menghinanya dengan bentuk apapun.
(QS Al-Hujarat 11)
c. Tidak dengki dan iri kepada saudaranya. ((HR Bukhari dan Muslim)
d. Memperlakukan saudaranya dengan baik dan menahan diri dari segala hal
yang menyakitinya. (HR Al-Hakim dan Tarmidzi)Memelihara jiwa, harta
dan kehormatan saudaranya. (HR Muslim).

4. Akhlak pada manusia


Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna
dibandingkan makhluk ciptaan Allah yang lainnya, perbedaan yang sangat mendasar
terlihat pada akal. Manusia diberikan akal oleh Allah sedangkan makhluk Allah yang
lain tidak diberikan akal, setiap manusia juga diberikan potensi yang berbeda-beda
oleh Allah.
Manusia pada hakekatnya sama dengan makhluk hidup lainnya, yaitu
memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan didukung oleh
pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya terletak pada dimensi
pengetahuan, kesadaran dan tingkat tujuan.
Ada 4 macam makhluk yang diciptakan oleh Allah menurut imam Al-Ghazali.
Pertama yaitu makhluk yang diberi Allah akal tetapi tidak diberikan hawa nafsu, hal
ini disebut dengan Pertama yaitu makhluk yang diberi Allah akal tetapi tidak
diberikan hawa nafsu, hal ini disebut dengan malaikat.
Kedua, makhluk yang diberi oleh Allah hawa nafsu tetapi tidak dengan akal, maka hal
ini dikenal dengan hewan atau binatang. Ketiga, Allah juga menciptakan makhluk
yang tidak diberikan hawa nafsu maupun akal, maka dikenal dengan benda mati.
Terakhir, yaitu makhluk yang diberi akal dan hawa nafsu yaitu manusia,” terang Ustaz
Budi Jaya Putra, S.Th.I.,
Ustaz Budi melanjutkan, manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang
sempurna daripada makhluk lainnya. Dalam Q.S. At-Tin ayat 4 memberikan
pandangan bahwa manusia memiliki kelebihan dan keistimewaan. Jika dilihat secara
kasat mata fisik manusia tentu berbeda dengan makhluk lainnya. Namun, tidak hanya
itu Allah Swt. menurunkan kepada manusia sebuah keistimewaan, yakni manusia
memiliki 2 anugerah yang Allah berikan yaitu akal pikiran dan hawa nafsu.

5. Akhlak pada alam semesta


Alam adalah segala sesuatu yang ada atau yang dianggap ada oleh manusia di
dunia ini, selain Allah beserta Dzat dan sifat-Nya. Alam dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, di antaranya adalah alam ghoib dan alam syahadah yang dalam bahasa
sehari-hari disebut sebagi alam semesta.
Alam semesta merupakan ciptaan Allah yang diurus dengan kehendak dan
perhatian Allah. Allah menciptakan alam semesta ini dengan susunan yang teratur
dalam aspek biologi, fisika, kimia, dan geologi beserta semua kaidah sains. Definisi
dari alam semesta itu sendiri adalah segala sesuatu yang ada pada diri manusia dan di
luar dirinya yang merupakan suatu kesatuan sistem yang unik dan misterius.
Menurut pandangan Al Quran, penciptaan alam semesta dapat dilihat pada
surat Al Anbiya ayat 30. “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian
kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup.
Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari,
bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam.
Bumi sebelumnya adalah planet yang mati dan Allah menghidupkannya dengan
menurunkan air dari langit. “Dan Allah menurunkan dari langit air dan dengan air itu
dihidupkannya bumi sesudah matinya.” (QS`An Nahl ; 65).

Bagaimana kita harus memperlakukan alam semesta ini?

a. Prinsip Tanggung Jawab


Manusia mempunyai tanggung jawab baik terhadap alam semesta seluruhnya dan
integritasnya, maupun terhadap keberadaan dan kelestariannya. Setiap bagian dan
benda di alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan dengan tujuannya masing-
masing, terlepas dari apakah tujuan itu untuk kepentingan manusia atau tidak.
Oleh karena itu, manusia sebagai bagian dari alam semesta, bertanggung jawab
pula untuk menjaga dan melestarikannya.
b. Prinsip Solidaritas
Manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Lebih dari itu, dalam perspektif
ekosentrisme, manusia mempunyai kedudukan sederajat dan setara dengan alam
dan semua makhluk lain di alam ini. Kenyataan ini membangkitkan dalam diri
manusia perasaan solider, perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan
sesama makhluk hidup lain.
c. Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian terhadap Alam
Apabila sudah tertanam prinsip ini pada setiap hati manusia, maka pastilah yang
ada hanya rasa untuk mencintai, menyayangi, dan melestarikan alam semesta dan
seluruh isinya, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi. Kasih sayang dan
kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa semua makhluk hidup
mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat.

Anda mungkin juga menyukai