Anda di halaman 1dari 11

PRINSIP/ETIKA KOMUNIKASI ISLAM

KELOMPOK 8:

DINA (220401005)
SAPIRA (22040104)
FAHRI AFRIZA (220401074)
MUHAMMAD KHATIBUL HAZMI YUSMAR (220401087)
RIZKI SAPUTRA (220401086)
KHALISH ILHAMI ( 220401085)

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY


BANDA ACEH
2022
PENDAHULUAN

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang bermakna karakter, kebiasaan, sifat,
akhlak, dan cara berpikir. Kata etika juga berkenaan dengan bagaimana seseorang berperilaku
atau bertindak. Pengertian ini dekat dengan ide tentang etika sebagai sesuatu yang internal
dari karakter positif yang memotivasi orang untuk bertindak secara benar. Secara intrinsik
ethic berkaitan dengan masalah perilaku yang benar atau correct conduct di tengah hidup
bermasyarakat. Sedangkan, secara etimologis, etik mengindikasikan suatu concern akan
virtuous people atau orang-orang baik, karakter yang handal (reliable character), dan perilaku
yang tepat (proper conduct).' Etika juga didefinisikan sebagai ajaran baik dan buruk yang
diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya.

Sedangkan etika komunikasi Islam, tentunya lebih dekat dengan perspektif religius yang
menjadikan Al-Qur'an, Hadis, Ijma Ulama, dan Qias, sebagai acuan dalam menentukan
masalah baik dan buruk. Termasuk perilaku yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan. Etika Komunikasi Islam, juga menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kejujuran,
tolong-menolong, kemanusiaan, persatuan, persa- maan derajat, kesejahteraan, kebahagiaan,
optimis, dan lain sebagainya.

Prinsip etika dalam komunikasi Islam membahas tentang nilai yang menjadi pegangan
komunikator (da'i) maupun komunikan (mad'u), mengenai apa yang baik dan buruk dalam
perspektif ajaran Islam. Oleh karenanya, Rasulullah diutus ke muka bumi tidak lain adalah
untuk memperbaiki akhlak umat manusia. Sebagaimana, Rasulullah bersabda, "Aku diutus
Allah untuk menyempurnakan akhlak dan menutup risalah kenabian." (HR. Bukhari). Dalam
ajaran Islam etika dikenal dengan istilah akhlak sebagai ilmu yang membahas tentang cara
berbuat berhubungan kepada Allah, meneladani akhlak Rasulullah, berbuat baik kepada
sesama manusia, dan memelihara alam semesta dari berbagai kerusakan dan kehancuran.
PEMBAHASAN

A. PRINSIP ETIKA MEMILIKI KAIDAH YANG BENAR


pembahasan komunikasi Islam adalah tentang akidah. Pembahasan tentang Akidah
merupakan upaya membangun kesadaran akan kehadiran Tuhan, yang melahirkan semangat
ilmiah. Orang yang memiliki akidah akan meyakini Keesaan Tuhan berarti meneguhkan
kebenaran bahwa Tuhan adalah Satu dalam esensi-Nya, dalam nama-nama dan sifat-
sifatnya-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Satu konsekuensi penting dari pengukuhan
kebenaran sentral ini adalah bahwa akidah orang yang memiliki iman dan tujuan hidup, harus
menerima realitas objektif kesatuan alam semesta. Sebagai sebuah sumber pengetahuan,
agama bersifat empatik ketika mengatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini saling
berkaitan dalam jaringan kesatuan alam melalui hukum-hukum kosmis yang mengatur
mereka."

Semangat ilmiah para ilmuwan dan sarjana Muslim pada kenya- taannya mengalir dari
kesadaran mereka akan akidah. Tak diragu- kan bahwa, secara religius dan historis, asal-usul
dan perkembangan semangat ilmiah dalam Islam berbeda dari asal-usul dan per- kembangan
hal yang sama di Barat. Tidak ada yang lebih baik dalam mengilustrasikan sumber religius
semangat ilmiah dalam Islam ini daripada fakta bahwa semangat ini pertama kali terlihat
dalam ilmu- ilmu agama.

B. PRINSIP ETIKA MENCINTAI ALLAH DAN RASULNYA


Sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa cinta. Rasa cinta itu,
menyatu dan mewarnai dalam setiap denyut jantung dan tarikan nafas setiap manusia yang
hidup. Cinta itu dapat berupa cinta terhadap keluarga yang bahagia, harta kekayaan yang
melimpah, rumah megah yang mempesona, kedudukan terhormat, dan pendidikan tinggi.
Tetapi cinta seseorang terhadap semua kenikmatan itu, tidak boleh melebihi rasa cinta pada
Allah dan Rasulullah Cinta kepada Allah dan Rasulullah, haruslah menjadi prioritas utama
dalam setiap pikiran, perasaan, dan tindakan seorang hamba.

Sejalan dengan cintanya kepada Allah, seorang mukmin akan mencintai Rasul dan jihad pada
jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan cinta utama. Sedangkan cinta kepada ibu bapak, anak-
anak, sanak saudara, harta benda, kedudukan dan segala macamnya adalah cinta menengah
yang harus berada di bawah cinta utama. Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau
diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan pelaksanaan cinta itu harus pula sesuai dengan
syariat yang telah diturunkan-Nya. Apabila cinta menengah diangkat melebihi cinta utama
maka cintanya jatuh menjadi hina, tidak ada nilainya. Inilah yang disebut dengan cinta paling
rendah. Jalinan cinta kasih persaudaraan yang disemai Rasulullah di antara para sahabatnya
telah membentuk suatu hubungan antarindividu yang saling menguatkan, menghormati,
menyayangi, dan semangat untuk maju bersama-sama. Situasi itulah yang ditunjukkan Sa'ad
bin Rabi' tatkala ia menghadapi masa-masa kritis. Meskipun dalam kondisi kritis, ia tetap
menunjukkan rasa persaudaraan yang tinggi. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Hisyam
bahwa Nabi pernah bertanya kepada para sahabatnya, siapa di antara kalian yang bersedia
mencari kabar di mana keberadaan Sa'ad bin Rabi' saat ini. Dia masih hidup atau sudah
meninggal. Salah seorang sahabat dari Anshar menyatakan kesediaannya untuk mencari di
mana keberadaan Sa'ad bin Rabi'. Setelah dicari sekian lama, akhirnya Sa'ad ditemukan
dalam keadaan terluka parah dalam kondisi kritis. Kemudian sahabat dari Anshar tersebut
memberi tahu Sa'ad bin Rabi', "Aku diperintahkan Rasulullah untuk mencari dirimu. Guna
memastikan apakah engkau masih hidup atau sudah meninggal dunia." Dalam keadaan
terluka parah Sa'ad menjawab, "Beri tahu Rasulullah bahwa aku sudah meninggal dan
sampaikanlah salamku pada beliau. Kemudian sampaikan juga pada beliau bahwa Sa'ad bin
Rabi' berharap, semoga Allah selalu melimpahkan kebajikan, kemuliaan, dan kemenangan
atas kepemimpinan Rasulullah.

C. PRINSIP ETIKA SEDERHANA DAN IKHLAS DALAM MEMPRAKTIKKAN


KOMUNIKASI ISLAM
Seorang komunikator dalam menjalankan komunikasi Islam diharus- kan dapat mengontrol
diri dari berbagai keinginan yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun
sayangnya, terkadang seorang komunikator (da'i) dalam menjalankan komunikasi Islam
justru seringkali terjebak pada pola hidup boros dan berlebihan. Kesederhaan seorang
komunikator dalam menjalankan komuni- kasi Islam, tidak berharap mendapatkan imbalan
atau pujian dari siapa pun pada saat menjalankan tugasnya dalam mengomunikasikan ajaran
Islam. Sebab ia bertugas menyampaikan suatu pesan yang benar, sehingga ia harus
melakukannya dengan tulus ikhlas karena Allah semata. Jika seorang da'i tidak memiliki hati
yang tulus ikhlas, maka praktik komunikasi yang dilakukannya tidak akan berguna sedikit
pun bagi para pendengarnya. Setiap komunikator (da'i) hendaknya merasa khawatir kalau
praktik komunikasinya tidak diiringi sikap tulus ikhlas, seperti pada saat dia sempat berharap
imbalan atau pujian dari objek komunikasinya. Dalam Al-Qur'an Allah mengingatkan,
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus..." (QS. Al- Bayyinah [98]: 5).

D. PRINSIP ETIKA MENJAUHI PRASANGKA NEGATIF


Dalam hadis Rasulullah juga mengingatkan, "Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka
buruk ucapan yang paling dusta, dan janganlah kalian saling mendiamkan, saling mencari
kejelekan, saling menipu dalam jual beli, saling mendengki, saling memusuhi dan janganlah
saling membe- lakangi, dan jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR.
Bukhari). Berbekal pikiran yang dimiliki, seseorang dapat mene- lusuri kehidupan masa lalu,
memikirkan banyak hal, bahkan dapat memikirkan à apa saja yang belum pernah terjadi pada
dirinya, namun pikiran yang begitu hebat, sering kali tidak dimanfaatkan secara baik.
Seseorang lebih sering memikirkan peristiwa negatif dalam ke- hidupannya. Padahal pikiran
negatif yang disimpan terus-menerus akan berdampak menjadi depresi yang berujung pada
sakit jiwa. Laksana seorang petani, dia yang bertanggung jawab menanam bibit buruk atau
bibit unggul dalam pikirannya. Jika dia memilih untuk memenuhi pikirannya dengan hal-hal
negatif, maka itulah yang akan diperolehnya. Sebaliknya, jika dia memenuhi pikirannya
dengan pikiran positif, tentu hidupnya akan lebih bermakna dan berarti.

E. PRINSIP ETIKA BERPRASANGKA BAIK KEPADA ALLAH


Penting bagi seorang komunikator (da'i) menyadari sepenuhnya bahwa hidup ini adalah
sebuah perjalanan singkat, pada akhirnya nanti dia pasti akan kembali kepada Allah. Saat
kembali menghadap Allah, dia akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya di
dunia ini. Saat hidup di dunia inilah, seorang komunikator (da'i) sebaiknya terus-menerus
berprasangka baik kepada Allah. Apabila telah berhasil, seorang komunikator (da'i) akan
menjadi hamba yang mene- barkan energi positif untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat
seki- tarnya, dan menerima ketentuan Allah dengan tulus ikhlas.

Dalam komunikasi Islam, orang yang berhasil merupakan mereka yang memiliki tujuan
untuk menjadi orang yang bertakwa, kemudian berusaha terus-menerus merealisasikan
tujuannya menjadi orang yang bertakwa tersebut. Selain itu, juga memiliki pemikiran dan
harapan yang positif terhadap kehendak Allah. Setiap saat seseorang menghadapi masalah
dan tantangan dalam hidup ini. Orang-orang yang berprasangka baik kepada Allah tentu
memiliki keyakinan bahwa bersama kesulitan terdapat kemudahan. Sebagaimana yang
tergambar dalam firman Allah, "Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS As-Syarh [94]: 5-6).

F. PRINSIP ETIKA MEMANFAATKAN WAKTU


Waktu menjalani hidup yang diberikan Allah kepada seseorang, tidak mungkin dapat terulang
dua kali. Sebab waktu terus berlari.

Dari detik berubah menjadi menit, dari menit berganti menjadi jam. Kemudian waktu
bergerak dari pagi berubah menjadi siang, dari siang bergulir menjadi sore. Selanjutnya, sore
menghilang berganti malam, yang pelan-pelan berubah menjadi fajar. Kemudian waktu
bergerak dari hari berganti minggu, dari minggu berganti bulan, dari bulan berubah menjadi
tahun. Begitulah waktu terus berlari dan tidak akan pernah kembali dan berhenti. Apabila
seseorang sudah melewatinya, maka dengan cara apapun waktu tidak akan dapat dipanggil
kembali.

Oleh karenanya, dalam perspektif komunikasi Islam, pemanfaatan waktu dilakukan oleh
semua stakeholder, baik oleh komunikator (da'i) maupun komunikan (mad'u). Rasulullah
mengingatkan, "Apabila kamu berada di sore hari janganlah menunggu melakukan sesuatu
sampai pagi menjelang. Apabila kamu berada di pagi hari janganlah menunggu melakukan
sesuatu hingga sore menjelang. Manfaatkanlah waktu sehatmu untuk menghadapi waktu
sakitmu, dan waktu hidupmu untuk menghadapi meninggalmu." (HR. Bukhari).

G. PRINSIP ETIKA MENGHORMATI SESAMA


Seorang komunikator (da'i) tidak dapat dikatakan memiliki keimanan yang benar, apabila
membiarkan ketidakadilan dan penderitaan berlangsung terus menerus di sekitarnya.
Perhatian terhadap sesama muslim maupun non muslim sangat fundamental dalam ajaran
Islam. Sebab itu, saat Khalifah Umar bin Khattab dan tentaranya, menaklukan kota Jerusalem
pada tahun 636 Masehi. Rumah-rumah ibadah umat. non muslim tidak boleh dihancurkan
bahkan dilindungi. Kaum Yahudi yang sebelumnya dilarang menetap di sana, diperkenankan
untuk kembali menetap dan beribadah di Jerusalem. Khalifah Umar Ibn Khattab menjamin
keamanan rumah-rumah ibadah dan simbol keagamaan. Selain itu, rumah ibadah juga tidak
diubah menjadi tempat pemukiman masyarakat. Properti kekayaan milik non muslim juga
dilindungi. Sebab itu, umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup rukun dan damai di sana.
H. PRINSIP ETIKA MENGHORMATI PEREMPUAN
Islam datang di saat banyak orang tidak menghargai keberadaan perempuan. Beberapa orang
ragu akan kemampuan perempuan. Sedangkan, sebagian lainnya mengakui keberadaannya,
tetapi meng- anggap perempuan sebagai pelayan laki-laki, keberadaannya dibawah kekuasaan
laki-laki. Dengan hadirnya Islam, keadaan berubah. Harga diri dan martabat perempuan
terangkat. Islam menegaskan perannya dalam menaati perintah Allah, tanggung jawabnya
untuk mencari jalan ke surga. Islam menempatkan perempuan sebagai manusia mulia. Dalam
Islam, posisi laki-laki dan perempuan sama. Keduanya berasal dari ayah dan ibu yang sama,
yaitu Adam dan Hawa. Asal-usul yang sama, memiliki sifat kemanusiaan yang sama,
tanggung jawab terhadap agama yang sama, baik dalam segi pemberian pahala ataupun siksa
serta ketentuan takdir yang sama-sama dari Allah. Persamaan- persamaan tersebut
membuktikan persamaan hak dan kewajiban laki- laki dan perempuan."

Suatu ketika, seseorang melukai kepala seorang budak perempuan dengan batu sampai
terluka. Kemudian salah seorang sahabat Nabi menanyai budak wanita tersebut, siapa yang
berbuat demikian kejam terhadapnya. Ketika disebutkan nama seseorang yang memukulinya.
Wanita tersebut menganggukkan kepalanya. Kemudian, orang yang melukai budak wanita
tersebut dihadapkan kepada Rasulullah, tetapi ia tidak mengakui perbuatannya sampai waktu
yang cukup lama.

I. PRINSIP ETIKA MENJAGA DAN MERAWAT ALAM


Ketika manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama manusia, hewan, dan alam
semesta, sering kali lupa akan tugas dan kewajibannya sebagai khalifah di muka bumi untuk
menjaga keseim- bangan ekosistem kehidupan di muka bumi. Sebab itu, Allah meng-
ingatkan manusia untuk memperlakukan apa saja yang ada di bumi dengan baik. Penyakit
serakah pada dasarnya bermuara dari sikap hidup berlebih-lebihan dalam penggunaan harta
benda dan kekayaan alam, tanpa memikirkan kehidupan selanjutnya di masa depan. Kese-
rakahan tidak hanya merugikan sesama manusia, tetapi juga dapat mengancam keseimbangan
ekosistem alam. Oleh karenanya, ajaran Islam mengingatkan manusia untuk memperlakukan
alam dengan sebaik mungkin. Hal ini terlihat ketika tentara Muslim memasuki sebuah
wilayah yang ditaklukkan. Salah satu larangan tegas yang dilarang adalah menebangi pohon
tanpa ada alasan yang benar. Peristiwa ini memperlihatkan Islam adalah agama yang ramah
terhadap lingkungan,
J. PRINSIP ETIKA YANG BENAR DALAM BERMUAMALAH
Kata muamalah berasal dari kata amala yang bermakna saling berbuat, bertindak, dan
mengamalkan. Kata muamalah menggambarkan kegiatan seseorang dengan orang lainnya
dalam rangka sama-sama memenuhi kebutuhan hidup bersama. Secara terminologi,
muamalah dapat dibagi dua, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan sempit. Pertama,
pengertian muamalah dalam arti luas yaitu aturan- aturan (hukum-hukum) Allah untuk
mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial. Kedua,
muamalah dalam arti sempit yaitu semua akad yang membolehkan manusia saling menukar
manfaatnya dengan cara-cara dan aturan- aturan yang telah ditentukan Allah dan manusia
wajib menaati-Nya.

Muamalah juga terkait dengan persoalan harta, hak milik, per- janjian, jual-beli, utang-
piutang, sewa-menyewa, pinjam-meminjam. Juga persoalan yang mengatur keuangan serta
segala hal yang merupakan hubungan manusia dengan sesamanya, baik secara individu,
kelompok, dan masyarakat. Tujuannya adalah agar tercapai suatu kehidupan yang tenteram,
damai, dan bahagia serta sejahtera.

K. PRINSIP ETIKA MENDAHULUKAN ILMU DARIPADA AMAL


Ilmu pengetahuan harus didahulukan dari amal perbuatan, karena ilmu pengetahuan yang
mampu membedakan antara yang benar dan salah dalam perkataan, antara perbuatan yang
dianjurkan dan dilarang dalam ibadah, antara yang baik dan buruk dalam muamalah, dan
antara perbuatan yang terpuji dan tercela dalam pergaulan sehari- hari. Khalifah Umar bin
Abdul Aziz mengemukakan, "Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu
pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia
perbaiki."

Situasi seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok umat Islam, yang tidak
kurang ketakwaan, keikhlasan, dan sema- ngatnya dalam beribadah. Akan tetapi mereka tidak
memiliki ilmu pengetahuan yang dalam terhadap ajaran Islam secara komprehensif. Seperti
itulah pemahaman agama kaum khawarij yang memerangi Ali bin Abi Thalib, yang banyak
memiliki kemuliaan. Ali bin Abi Thalib juga merupakan menantu Rasulullah. Kaum khawarij
menghalalkan darahnya dan darah umat Islam yang mendekatkan diri kepada Allah.
Setiap komunikator (da'i) yang mengajak pada kebaikan dan mengajak menjauhi keburukan
diwajibkan harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan dalam. Sebab, korelasi antara
ilmu penge- tahuan dan cara mempraktikkan komunikasi Islam sangat dekat. Karena seorang
da'i dituntut untuk memiliki keluasan pemahaman terhadap ajaran Islam. Sehingga dia dapat
menerangkan ajaran Islam secara gamblang dan mudah dipahami komunikannya. Jika tidak,
maka komunikasi yang dia sampaikan tidak banyak berfaedah, bahkan bisa jadi akan
menjadikan orang menjauh dari ajaran Islam yang disampaikannya. Sebab yang demikian itu,
tidak lain karena komunikatornya tidak menguasai ilmu pengetahuan untuk menerangkan
materi komunikasi Islam secara baik dan benar. Terlebih lagi Allah berjanji akan mengangkat
derajat orang orang yang berilmu.

PENUTUP

Prinsip etika dalam komunikasi Islam membahas tentang nilai yang menjadi pegangan
komunikator (da'i) maupun komunikan (mad'u), mengenai apa yang baik dan buruk dalam
perspektif ajaran Islam. Oleh karenanya, Rasulullah diutus ke muka bumi tidak lain adalah
untuk memperbaiki akhlak umat manusia. Sebagaimana, Rasulullah bersabda, "Aku diutus
Allah untuk menyempurnakan akhlak dan menutup risalah kenabian." (HR. Bukhari). Dalam
ajaran Islam etika dikenal dengan istilah akhlak sebagai ilmu yang membahas tentang cara
berbuat berhubungan kepada Allah, meneladani akhlak Rasulullah, berbuat baik kepada
sesama manusia, dan memelihara alam semesta dari berbagai kerusakan dan kehancuran
DAFTAR PUSTAKA

Muis, A., Islamic Mass Media and the Information Age, Jakarta: Library Panjimas, 1989,

Mulyana, Deddy, Communication Studies An Introduction, Bandung: Rosdaworks, 2000.

Munir and Wahyu Ilaihi, Da'wah Management, Jakarta: Prenada Group, 2015.

Murodi, Islamic Da'wah and Challenges of the Quraysh Community: A Study of the History
of Da'wah at the time of Rasulullah SAW, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013.

Muis, A., Islamic Mass Media and the Information Age, Jakarta: Panjimas Library, 1989.

Mulkhan, Abdul Munir, "Religion in Cultural Dialogue," In the Name of Religion: Conflict-
Free Dialogue, Bandung: Hidayah Library, 1998.

Najati, Mumammad Utsman Qur'anic Psychology: Psychology in the Perspective of the


Qur'an, Translator. Amirussodiq, Surakarta: Aulia Press Solo, 2008.

Nadjib, Emha Ainun, "Islamic Press Between Ideology, Distribution and Quality of Life."
Sahid Magazine, issue, December 8, 1991.

Nana Rukmana, Mosques and Da'wah: Planning, Building and Managing Mosques, Jakarta:
al- Mawardi, Cet. 1, 2002.

Nasr, Seyyed Hossein, Spirituality and Islamic Art, Bandung: Mizan, 1993.

Zain, Muhammad Basam Rusydi, Madrasatul Anbiya Tbar wal Adhwa, translator. Fadhilah
Ulfa and Ismail Jalili, Vol, 2 Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007.
Zulkarimein Nasution, Erika Journalism Basic Principles, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015.

Anda mungkin juga menyukai