Anda di halaman 1dari 19

PEMBAGIAN SIFAT-SIFAT ALLAH

• Sifat Allah dibagi menjadi dua, yaitu sifat ‘aqliyah (muhkamat) dan sifat khabariyah (mutasyabihat).
• Sifat aqliyah adalah sifat-sifat Allah yang ditetapkan dengan dalil naqli (al-Qur’an dan as-Sunnah)
dan dalil aqli (rasionalitas atau logis). Sementara sifat khabariyah hanya ditetapkan dengan dalil
naqli saja.
• Sifat ‘aqliyah seperti qudrat, iradat, sama’ bashar dan lain-lain wajib diberlakukan sebagaimana
zhahir bahasanya, tidak boleh ditafwidh makna atau dita’wil.
• Sifat khabariyah, seperti istawa, fissama’, fauqa, nuzul, yad, dan lain-lain, karena jika dimaknai
sesuai zhahir bahasanya akan melahirkan tasybih, maka makna zhahir bahasanya dihindari,
kemudian makna yang dikehendaki kita tafwidh kepada Allah atau kita ta’wil dengan makna yang ada
dalam Bahasa Arab serta disesuaikan dengan siyaqul kalam-nya.
• Dengan penjelasan tersebut, maka sifat-sifat Allah yang secara zhahir bahasanya menunjukkan
ketinggian tempat (jihah fisikal atau inderawi atau hissi), yang berarti serupa dengan sifat makhluk
(tasybih), maka makna zhahir tersebut kita hilangkan sebagaimana kesepakatan ulama’, kemudian
makna yang dikehendaki kita tafwidh atau ta’wil.
• KESIMPULAN: Sifat aqliyah wajib disesuaikan dengan zhahir bahasanya, karena ia tidak
menimbulkan tasybih, sementara sifat khabariyah tidak boleh dimaknai sesuai zhahir bahasanya.
MANHAJ SALAF DAN MANHAJ SALAFI WAHABI
• Ulama salaf memandang sifat khabariyah sebagai mutasyabihat (bukan muhkamat). Oleh sebab itu,
makna yang dikehendaki dari sifat tersebut tidak diketahui pasti. Hal ini berbeda dengan Ibn
Taimiyah dan Salafi Wahabi yang melihat sebagai muhkamat.
• Ulama’ salaf yang diikuti Asy’ariyah, Maturidyah dan Atsariyah (Hanabilah) sepakat tidak
memberlakukan sifat khabariyah sebagaimana zhahir lughawinya. Mereka juga memilih tafwidh
makna dan ta’wil sebagai pilihan manhaj dalam interaksinya dengan sifat khabariyah. Dan dua hal ini
diperselisihi Ibn Taimiyah dan Salafi Wahabi, yang memilih itsbat makna (zhahir lughawinya).
• Ayat atau hadits yang zhahirnya menunjukkan jihah atas bagi Allah adalah ditafwidh maknanya atau
dita’wil.
• Itsbat makna zhahir ala Ibn Taimiyah dan Salafi Wahabi dapat melahirkan tasybih, karena akan
memahamkan seakan-akan Allah mempunyai juz, tempat, jisim, arah dibawah, arah diatas, dan lain-
lain.
• Salafi Wahabi juga menetapkan jihah uluw (secara hissi/inderawi/fisikal) dengan bukti mereka
menetapkan lazimnya seperti memiliki jarak antara Allah dengan arsy/langit, Allah memiliki batas
(bawah dll), Allah bergerak dan berpindah dari atas kebawah, dan lain-lain.
Terjemahan ayat atau hadits sifat sangat berkait erat dengan:………




NASH ULAMA’ YANG MELARANG TERJEMAH
Imam Ibn Suraij asy-Syafi’i:

“Keyakinan kami dalam perkara ini dan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-
Qur’an adalah menerimanya, tidak menolaknya, tidak menta’wilnya
dengan ta’wilannya kaum yang menyelisih, tidak memaksudkan
sebagaimana tasybihnya kaum musyabbihah, serta tidak menterjemah
sifat-sifat Allah dengan bahasa selain selain Arabiyyah” (Al-Uluw Lil Aliyyil
Ghaffar, Li adz-Dzahabi, hlm. 207).
NASH ULAMA’ YANG MELARANG TERJEMAH
Imam Sufyan bin Uyainah:

“Apa yang disifatkan Allah Tabaraka wa Ta’ala pada dirinya sendiri didalam
kitab-Nya, maka bacaannya adalah tafsirnya. Tidak boleh bagi seseorang
menafsirinya dengan bahasa Arab juga bahasa Persia”. (Al-Asma’ wa ash-
Sifat, Li al-Baihaqi, hlm. 332)
NASH ULAMA’ YANG MELARANG TERJEMAH
Imam Muhammad bin al-Ala’ al-BukharI:

“Ketahuilah bahwa boleh mengucapkan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala


memiliki yad, wajh, ‘ain, janb, qadam, ushbu’, dan yamin dengan Bahasa
Arab. Tidak boleh dengan Bahasa Persia” (Risalah fi al-I’tiqad, hlm. 121)
ULAMA’ HANYA MENETAPKAN SIFAT YANG ALLAH
TETAPKAN TIDAK LEBIH
AL-BAIHAQI:




TIDAK MEMILIKI ARAH BERARTI TIDAK WUJUD?


KESEPAKATAN ULAMA’ ALLAH TIDAK MEMILIKI JIHAH ATAS
SECARA HISSI (INDERAWI)
Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.)

“Telah terjadi ijma’ bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak bersama kita dengan
tempat, jihah dan mengambil ruang kosong” (Tafsir ar-Razi, juz XXIX, hlm. 26)
Imam Ibn Hajar al-Asqallani (wafat 852 H.)

“Dengan hadits ini orang yang menetapkan jihah berdalil dan berkata: “Jihah
tersebut adalah jihah uluw”. Dan mayoritas ulama mengingkarinya, karena ucapan
seperti itu bisa menjatuhkan pada tahayyuz (mengambil ruang kosong)" (Fath al-
Bari, juz III, hlm. 37)
KESEPAKATAN ULAMA’ BAHWA ALLAH TIDAK
MEMILIKI JIHAH ATAS SECARA HISSI (INDERAWI)
Imam al-Khaththabi (wafat 383 H.)

“Makna ucapan kaum muslimin: “Sesungguhnya Allah beristiwa’ atas arsy” bukanlah Allah
menempel pada arsy, menetap didalamnya, dan mengambil tempat dari tempat-tempat
arsy, tetapi Allah berpisah dari semua makhluk-Nya”. (Ma’alim as-Sunan, juz II, hlm. 147)
Imam al-Baihaqi (wafat 458 H.)

"Kalian tidak akan dalam gelap saat melihat Allah sebab sebagian dari kalian melihat-Nya.
Kalian akan melihat Allah didalam arah kalian semuanya. Maha suci Allah dari arah". (al-
I’tiqad wa al-Hidayah, hlm. 81)
DALIL YANG DIYAKINI ALLAH DIATAS (1)
• Allah beristiwa’ atas arsy. Jika tafwidh, maka istiwa’ Allah adalah yang patut
bagi-Nya. Jika ta’wil, maka maksudnya Allah menguasai ‘arsy/Allah tinggi
urusan-Nya (irtifa’ amruhu).
• Allah ‘Uluw. Jika tafwidh, maka ‘uluw yang patut bagi Allah. Jika ta’wil,
maka maksudnya adalah ‘uluw makanah (ketinggian derajat atau kedudukan)
• Allah fauqa ‘arsy. Jika tafwidh, maka fauqiyah yang patut bagi Allah. Jika
ta’wil, maka maksudnya Allah tinggi menguasai.
(Tanbih) Narasi Allah fauqa ‘arsy tidak tsabit dari hadits yang shahih.
• Allah nuzul. Jika tafwidh, maka nuzul yang patut bagi Allah, bukan nuzul
bermakna berpindah atau bergerak dari posisi satu ke posisi yang lain atau
dari tempat atas ke tempat bawah. Jika ta’wil, maka maksudnya adalah
turun rahmat-Nya.
• Shu’ud (naik). Jika tafwidh, maka shu’ud yang patut bagi Allah. Jika ta’wil,
maka maksudnya adalah diterima amalnya.
• Hadits jariyah “Dimana Allah? dan kemudian dijawab: “Fissama’”. Terkait
hadits ini, ulama’ masih berbeda pendapat; ada yang mengatakan
derajatnya dhaif karena matannya mudhtharib dengan satu kejadian dan
dengan lafazh hadits yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan shahih.
Pendapat yang terakhir ini banyak diikuti ulama’. Dan andai benar shahih,
maka pilihannya adalah ditafwidh atau ta’wil.
• Allah fissama’. Jika kita ta’wil dengan fauqa, maka fauqiyah yang layak
bagi Allah. Jika kita ta’wil dengan ‘ala, maka tinggi menguasai atau tinggi
derajat.
• Perasaan Allah ada diatas. Perasaan bukan hujjah, karena hujjah terbatas
pada dalil naqli dan dalil aqli. Dan perasaan bukan dari keduanya. Perasaan
bisa saja adalah keyakinan ketinggan derajat Allah atau mengagungkan-
Nya, bukan arah atau tempat Allah.
• Allah sukun fissama’. Tidak ada hadits yang menyatakan demikian, tetapi
jika ada nash yang demikian, maka pilihannya adalah tafwidh atau ta’wil.
HUJJATUL ISLAM AL-GHAZALI

IMADUDDIN AL-WASITHI ASY-SYAFI’I (711 H.)


A. Kisah Imam al-Haramain yang dibuat bingung oleh ulama’ yang bernama al-Hamdzani
tentang perasaan manusia yang menunjuk Allah keatas adalah kisah yang hanya
diriwayakkan oleh Imam adz-Dzahabi dan Imam Ibn Taimiyah saja. Dan Imam
Tajuddin as-Subki sudah memberikan bantahan dan isyarat akan kelemahan riwayat
tersebut.
B. Adapun kisah Fir’aun yang membangun bangunan menjulang tinggi keatas untuk
membuktikan keberadaan Tuhan Allah, maka ada catatan berikut:


Salafi Wahabi menetapkan jihah hissi (inderawi/fisikal) dengan bukti:
SALAFI WAHABI, HANBALI MUTA’AKHIRIN DAN MANHAJ
IMAM ADZ-DZAHABI DALAM KITAB AL-ULUW


Syaikh Mahmud as-Subki:

“Adapun orang yang mengatakan Allah di dalam jihah fauqa (atas), maka jika maksud mereka adalah boleh
mensifati Allah berada didalam jihah fauqa, karena syara’ datang mengkhususkannya dan karena itu orang
menghadap ke atas saat berdoa, sebagaimana dikhususkannya ka’bah sebagai Baitullah Ta’ala, serta
mereka mentanzihkan Allah dari sifat-sifat makhluk dan menyerahkan pengetahuan hakikat fauqiyyah
kepada Allah Ta’ala, maka ini adalah madzhab salaf yang telah aku jelaskan dahulu. Adapun jika mereka
menghendaki Allah berada di dalam jihah atas dengan makna Dia berada di tempat di arah atas, maka ini
kekufuran yang nyata jika maksud mereka adalah tempat sebagaimana tempat makhluk. Bid’ah dan
kesesatan jika maksud mereka adalah tempat, tetapi tidak seperti tempat makhluk” (Ithaf al-Kainat bi
Bayan Madzhab as-Salaf wa al-Khalaf fi al-Mutasyabihat, hlm. 12)

Anda mungkin juga menyukai