Anda di halaman 1dari 52

Ahmad Sarwat, Lc.

, MA

Ikhtilaf Fiqhiyah
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT)
Ikhtilaf Fiqhiyah
Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA
52 hlm

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang


mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Judul Buku
Ikhtilaf Fiqhiyah
Penulis
Ahmad Sarwat, Lc. MA
Editor
Fatih
Setting & Lay Out
Fayyad & Fawwaz
Desain Cover
Faqih
Penerbit
Rumah Fiqih Publishing
Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan
Setiabudi Jakarta Selatan 12940

Cetakan Pertama
April 2020
5

Daftar Isi

Daftar Isi ............................................................................ 5


Segmen 1: ......................................................................... 6
Segmen 2 ........................................................................ 15
Segmen 3 ........................................................................ 24
Segmen 4 ........................................................................ 33
Segmen 5 ........................................................................ 42
6

Segmen 1:

(H)Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Para pemirsa yang dirahmati Allah swt.


Alhamdulillah, bersyukur dan senang sekali akhirnya
saya, Sutomo bin Abi Nasr, bisa hadir kembali untuk
menemani Anda semua dalam program yang selalu
kita tunggu bersama, Sekolah Fikih.

Saat ini kita masih berada di level satu, dengan mata


kuliah Pengantar Ilmu Fikih. Dan pengantar ilmu fikih
kali ini sudah sampai pada episode ke 8, dan di
episode yang ke 8 ini kita akan membincang atau
membahas satu hal yang cukup menarik dan cukup
penting yaitu tentang Fikih Ikhtilaf.

Sebagaimana yang sudah kita bahas dalam


beberapa episode sebelumnya, salah satu hal yang
sering dituduhkan dan sikritisi oleh beberapa
kalangan tentang fikih adalah banyaknya
perbedaan-perbedaan di dalam fikih yang kemudian
menyebabkan perpecahan di tengah-tengah umat.
Nah, apakah demikian? Sudah dijawab secara
7
singkat dalam beberapa episode itu, dan kita akan
membahas lebih luas lagi, lebih dalam lagi, tentang
fikih ikhtilaf ini dalam episode ke 8 ini.

Masih bersama narasumber dan dosen kita untuk


mata kuliah Pengantar Ilmu Fikih ini, Ustadz Ahmad
Sarwat, Lc., MA., yang alhamdulllah sudah hadir di
kelas dan studio kita. Kita sapa sejenak beliau,
Assalamu’alaikum ustadz,

Wa’alaykumussalam warahmatullahi
wabarakatuh..

(H) Alhamdulillah kita sudah sampai di episode ke 8


dan sekarang kita bicara lebih dalam lagi tentang
perbedaan di dalam fikih, yang itu disebut sebagai
fikih ikhtilaf. Nah, pertanyaan pertama, mengungkit
tentang pengertiannya. Sebab sebagaimana yang
sering kita dengar, ada ikhtilaf, ada khilaf,
sebenernya dua hal yang mungkin bersinonim atau
berbeda atau bagaimana pengertian tentang ikhtilaf
itu sendiri.

Bismillah, alhamdulillah.

Ustadz : Para pemirsa yang dirahmati Allah. Istilah


ikhtilaf dengan khilaf ini punya persamaan
dan sering kali orang menggunakannya
untuk satu istilah atau makna yang sama
yang, dia khilafiyyah, dia ikhtilaf, atau dia
khilaf, hampir-hampir sama, bersinonim.
Walaupun nanti ada sebagian ulama yang
tetap mengatakan keduanya ada bedanya.
8
Sebagian bilang itu sama saja seperti
muslim dengan mukmin, seperti fakir
dengan miskin, ya sama dengan ikhtilaf
dan khilaf, atau khilafiyyah, gitu ya. Itu
dianggap sama oleh sebagian ulama.
Tetapi ada juga yang mengatakan nggak
sama, ada perbedaannya.

Coba kalau ktia lihat dari sisi bahasa,


ikhtilaf itu kan lawan dari kata
ittifaq.Lawan katanya. Ittifaq itu kan
sepakat. Ittafaqal fuqaha, para fuqaha
telah bersepakat. Jadi lawan katanya
adalah ikhtafal fuqaha. Begitu. Atau
dikatakan kullu ma yatasawa, segala hal
yang tidak sama, segala hal yang berbeda.

Sedangkan kata khilaf itu kalau secara


bahasa artinya adalah al mudlodah.
Almudlodah itu artinya sesuatu yang
berlawanan. Lawannya didldlu. Didldlu itu
lawan. Atau, dikatakan khoolafahu
‘ashoohu. Menentang maksiat. Hampir
mirip-mirp lah, tidak ta’at. ‘ashoohu lawan
kata dari taat, maksiat.

Nanti para ulama, katakanlah seperti


Mu’allif dari kitab Fatul Qadir, kemudian
juga Ibnu Abdin dalam kitabnya
Hasyiyyahnya itu juga memberikan definisi
yang agak berbeda. Jadi, mereka
membedakan antara khilaf dengan ikhtilaf.
9
Jadi, ikhtilaf itu dalam pandangan mereka
adalah perbedaan pendapat di antara
ulama yang masih ada dalilnya. Jadi,
dalilnya ada. Tapi mungkin nanti mereka
menarik kesimpulannya berbeda. Begitu.
Kalau khilaf itu adalah perbedaan
pendapat yang dalilnya memang sudah
tidak ada. Karena tidak ada dalilnya jadi
mereka kemudian berijtihad mencari apa
yang begitu kemudian sekiranya nanti bisa
menjadi dasar, tapi dalilnya memang
sebenarnya memang tidak ada.

Tidak ada dalil yang shahih tentang itu. Itu


namanya khilaf. Kalau yang ada dalilnya itu
ikhtilaf. Ini menurut Ibnu Abdin..yaa..
ulama-ulama Hanafi menggunakan istilah
ikhtilaf dan khilaf itu berbeda.

Nanti ath Thahthawi itu mengatakan


bahwa khilaf itu berbeda dengan ikhtilaf.
Biasanya khilaf itu digunakan untuk
menyebutkan ada pendapat yang berbeda
tapi dia marjuh. Gitu. Jadi, disebutkan,
katakanlah, misalnya ulama ini
mengatakan begini begini begini wa qiila
khilafuhu/ ada yang mengatakan nggak
begitu.

Itu biasanya kalau udah dikatakan wa qiila


khilafuhu, itu maksudnya adalah, ‘ooo ini
ada juga yang mengatakan pendapat yang
berbeda, tapi pendapat itu marjuh’.
10
Pendapat marjuh dalam arti tidak dipakai,
menyendiri, atau ya.. tidak rajih. Tidak
banyak disepakati ulama, hanya beberapa
gelintir saja yang menggunakannya.

Itu perbedaan antara ikhtilaf dengan


khilaf. Tapi secara umum, kita hampir
menyamakan antara keduanya itu karena
memang ya berdekatan sekali maknanya.
Dan sering terpakai mungkin karena tidak
sengaja. Kan kita bilang, ‘Ooohh.. itu
masalah khilafiyyah, dimana para ulama
berikhtilaf’.. aaaa..

(H) Padahal itu yang tepat adalah ikhtilaf. Tapi itu


katakanlah sudah dimaafkan sekali. Ternyata di
dalam ikhtilaf saja terdapat khilaf.

Bicara khilafiyyah saja sudah khilafiyyah,


gitu kan.

(H) Iya, itu dari sisi bahasa ya tadz. Apakah ada


perbedaan lain antara ikhtilaf dengan khilaf?

Ustadz : Ya, secara umum memang begitu. Nanti


kalaupun ada perbedaan, ini yang lebih
penting lagi, yang harus kita bedakan,
adalah antara ikhtilaf dengan iftiraq. Ini
memang berbeda tapi orang sering
menganggap sama.

(H) Kalau yang tadi sebenarnya bisa dibedakan tapi


kita anggap sama, kalau yang ini memang
seharusnya berbeda, gitu ya.
11
Ustadz : Iya memang dia berbeda, ikhtilaf dengan
iftiraq. Tapi orang sering menganggapnya
sama. sehingga akhirnya, hukumnya pun
dianggap sama.

Ada sebagian ulama yang mengatakan


tidak boleh kita ikhtilaf, kan kita tidak
boleh berpecah-belah. Padahal ikhtilaf
maknanya bukan berpecah belah. Ikhtilaf
maknanya berbeda pendapat dan bukan
berpecah belah. Sedangkan berpecah
belah itu namanya iftiraq.

(H) Dan itu yang dilarang mungkin..

Ustadz : Betul

(H) Jadi, ikhtilaf sama iftiraq, itu yang harus benar-


benar dibedakan. Kalau yang ada di dalam fikih
itulah ikhtilaf, tetapi yang dilarang dalam agama
adalah iftiraq atau berpecah belah. Itu perbedaan
antara ikhtilaf dengan iftiraq. Ikhtilaf itu yang ada di
dalam fikih, yang nanti dibedakan dengan khilf,
khilafiyah, dan ikhtilaf.

Ustadz : Kalau ikhtilaf itu kan ada di dalam ilmu fikih,


kalau iftiraq itu bukan di dalam fikih. Itu di
jalanan. Orang tawuran itu iftiraq itu
namanya, berpecah belah, saling
menghujat, saling memaki, saling mencaci,
dan sebagainya, dan itu tidak ada di dalam
ilmu fikih.

Para ulama yang tidak ada yang, istilahnya,


12
mereka berpecah belah dalam arti mereka
bentrok, saliang mnghujat, saling
mencaci, saling mencemooh, saling
membid’ahkan, saling menuduh kafir,
saling.. itu bukan sifatnya para ulama. gitu.
Ulama haqiqi itu santun, beradab, punya
aturan ketika mereka berbeda pendapat.
Iya mereka berbeda pendapat, tapi ketika
menampakkan perbedaannya itu, pertama
dia berbeda dengan dasar ilmu yang jelas.
Ilmiyah. Jadi, boleh saja kan seorang murid
tidak sepakat dengan gurunya. Imam
Syafi’i itu sering kali berbeda pendapat
dengan gurunya, imam Malik, beliau juga
sering berbeda dengan gurunya lagi dari
mazhab Hanafi, Muhammad bin Hasan Asy
Syaibani, dan banyaklah yang beliau itu
berbeda. Tetapi, perbedaan itu tidka
lantas membuat dia membenci, mencaci,
apalagi berpecah belah. Tidak ada iftiraq.
Kalau ikhtilaf ya sudah pasti, tidak mungkin
tidak.

Para sahabat nabi juga saling berbeda


antara satu dengan yang lain, bahkan
mereka kadang-kadang punya pendapat
yang tidka sama dengan pendapat
Rasulullah saw.Imam Ahmad bin Hanbal
itu murid dari imam Syafi’i. Di dalam
mazhab Hanbali, banyak hal-hal yang tidka
sama dengan mazhab Syafi’i. Apakah imam
Ahmad bin Hanbal itu membenci mazhab
13
Syafi’i? Tidak. Justru dalam banyak hal
sangat menghormati walaupun berbeda
dengan pendapat beliau sendiri.

(H) Berarti yang dilarang adalah iftiraq itu.

Ustadz : Iya. Berpecah belah itu kan jelas di dalam al


quran disebutkan, “Kalian
berpegangteguhlah pada tali Allah
semuanya dan janganlah kalian berpecah
belah”. Dalam ayat yang lain, yang panjang
itu saya ambil singkatnya, “Tegakkan
agama dan janganlah kalian berpecah
belah.”

Artinya, gondok-gondokkan, hantam-


hantaman, tawuran, dan sebagainya...
Berbeda silahkan tapi ada aturannya, ada
ilmunya, ada ketentuan-ketentuannya,
ada etikanya, ada akhlaknya, ada adabnya.

(H) Itu dalil, jelas di dalam Al Quran bahwa iftiraq itu


dilarang.

Ustadz : Sedangkan ikhtilaf boleh. Diperbolehkan,


dan memang itu sebuah keniscayaan yang
mau tidak mau pasti akan terjadi. Ada
banyak dalil tentang bolehnya ikhtilaf.
Nanti akan saya sebutkan bagaimana para
sahabat berbeda, para nabi berbeda satu
sama lain, bahkan malaikat dengan
malaikat pun berbeda.
14
(H) Ok.. Sepertinya itu perlu dijelaskan, tapi itu di
segmen berikutnya tadz, karena waktu kita di
segmen satu ini sudah habis.

Para pemirsa, seperti apa dalil untuk kebolehan


berikthilaf? Kalau beriftiraq tadi secara jelas, nyata,
memang dilarang di dalam al Quran dari dua ayat
yang tadi disebutkan. Tapi, kalau ikhtilaf, apakah
dalilnya kira-kira? Kita akan simak jawabannya di
segmen berikutnya. Jangan kemana-mana, tetap
saksikan sekolah fikih...
15

Segmen 2

(H) Para pemirsa yang dirahmati Allah swt, kita


sekarang masuk ke segmen yang kedua, dan di
segmen yang kedua ini kita akan lanjutkan
pembahasan tentang dalil untuk ikhtilaf. Tadi kalau
dalil iftiraq sudah jelas dalam Al Quran bahwa iftiraq,
yaitu berpecah belah, bertikai, dan seterusnya,
dilarang di dalam al Quran. Kalau ikhtilaf, berbeda-
beda, ini ternyata tadi dibolehkan. Nah, kira-kira
dalilnya apa, pembolehan itu ustadz?

Ustadz : Banyak sekali kejadian di masa nabi dimana


para sahabat itu mereka punya pandangan
yang berbeda dan justru nabi sendiri yang
mengajak mereka untuk bertukar
pandangan yang berbeda itu.

Saya mungkin sudah pernah menyebutkan


di forum ini juga, bahwa ketika mau terjadi
perang Badar, Rasulullah itu mengajak
para sahabat untuk bermusyawarah.
Beliau awalnya memutuskan,

“Pokoknya posisi kita disini”,


16
Ternyata ada sahabat yang mengatakan,
“Ya Rasul. Ini wahyu apa ini cuma
pemikiran Anda sendiri?”

“Pemikiran saya sendiri”

Sahabat itu mengatakan, “Kalau memang


bukan wahyu dan itu pemikiran sendiri,
mohon maaf, saya punya pandangan yang
berbeda ya Rasul”. Berbeda tuh dengan
nabi.

“Ok. Apa yang menjadi pandangan kamu?”

“Bagaimana kalau kita posisinya jangan


disini ya Rasul tapi disana, di tempat
sumur-sumur Badar itu. Sebab, kita kan
nanti mau perang dan kita butuh
persediaan air. Nah, jadi gimana kalau kita
kuasai air dulu dan kemudian air buat
musuh, sumur-sumur yang buat musuh itu
kita timbun.”

“‘Oohh.. iya.. tipu daya. Bagus. Pendapat


kamu ini menarik.”

Lihat, bagaimana Rasulullah


bermusyawarah dengan para sahabatnya.
Dan musyawarah itu tidak bisa lahir kalau
orang sependapat semua, ya tidak perlu
musyawarah kalau seperti itu.
Musyawarah itu justru beda ra’yi, karena
beda masing-masing pendapat lalu kita uji,
kita tes. Di situ bukan mencari
17
pembenaran, tetapi untuk mencari mana
yang paling tepat, mencari kata mufakat.

Itu contoh sederhana saja.Di zaman rasul ada


ikhtilaf yang terjadi bukan hanya antara sahabat dan
bukan juga antara sahabat dengan nabi, bahkan
antara nabi dengan nabi, mereka kan orang yang
seharusnya mendapat wahyu kan, maksum lagi. Tapi,
dalam beberapa hal, nabi dengan nabi itu sering
berbeda pendapat. Liat bagaiman nabi Sulaiman as
memecahkan masalah di tengah umatnya yang
berbeda dengan apa yang sudah dipecahkan oleh
ayahandanya sendiri, nabi Daud as, mereka berbeda
pendapat. Nabi Musa as dengan nabi Khidir, di dalam
surat Al Kahfi, itu mereka juga berbeda pendapat.
Nabi Musa dengan nabi Harun, dalam memanage
kaumnya, mereka juga sering kali bertengkar,
seringkali berbeda, dan sebagainya.

(H) Dan kisah-kisah perbedaan itu benar-benar


ditampilkan di dalam al quran gitu ya.

Ustadz : Betul. Jadi kita bisa tahu bahwa perbedaan


itu benar-benar terjadi. Bahkan, yang
menarik, bukan hanya para sahabat, bukan
hanya nabi dengan nabi, malaikat dengan
malaikat pun berbeda. Padahal malaikat
itu kan mereka nggak punya hawa nafsu,
nggak punya kepentingan terpendam,
nggak punya motivasi apapun, tapi dalam
melaksanakan tugasnya, kadang-kadang
satu malaikat dengan malaikat yang lain itu
berbeda.
18
Pernah denger kisah orang yang
membunuh 99 nyawa. Lalu
menambahkannya satu nyawa lagi
sehingga menjadi 100. Pada saat dia mau
tobat, dia maupindah dari kampung
sebelumnya ke kampung yang baru,
ternyata Allah tekdirkan orang itu
meninggal di tengah jalan. Lalu, terjadilah
perdebatan antara dua malaikat, satu
malaikat adzab yang ingin membawa ke
neraka, satu lagi malaikat rahmat yang
ingin membawa ke surga. Mereka berbeda
pendapat.

Bayangkan, malaikat-dengan malaikat pun


berbeda pendapat. Ya, kita nggak tahu
bagaimana cara mereka berbeda
pendapat, tetapi akhirnya mereka tidak
bisa menemukan jalan keluar selain
mereka ngadu kepada Allah, “Ya Allah, ini
bagaimana?” Allah kasih perintah, “Ukur
saja jaraknya mana yang lebih dekat,
antara tempat dia mati ke rumah
sebelumnya, apa ke tempat tujuannya.
Kalau lebih dekat ke tempat tujuannya
maka bawalah ke surga. Tapi kalau masih
jauh dari tempat tujuan, maka bawalah ke
neraka.” Diukur akhirnya.Sama. Kata Allah,
“Ya udah liat aja, itu muka madep ke
mana.” Ooo ternyata ngadep ke rumah
yang baru, ke tempat tujuannya. Itu cuman
gara-gara nengok saja, dia masuk surga itu.
19
(H) Intinya, berbeda pendapat, atau yang dalam fikih
disebut dengan ikhtilaf, itu jelas-jelas diperbolehkan.

Ustadz : Diperbolehkan tapi tentu saja ada syarat-


syaratnya. Ada jenisnya, dan
ketentuannya. Tidak semua ikhtilaf itu
boleh. Ada yang diperbolehkan tentu saja
dengan syarat-syaratnya, dan ada juga
yang tidak diperbolehkan.

Berarti kita masuk kepada jenis-jenisnya ya


tadz..

Ya.. jadi, khilafiyyah itu, kalau kita boleh


bagi dalam tema-tema besar kita..Kita kan
mengenal ada dua tema besar nih di dalam
agama islam. Ada yang kita sebut dengan
masalah akidah atau masalah tauhid, yang
menjadi dasar keislaman setiap orang,
keyakinan kita. Dan ada juga tema-tema
yang bersifat syari’ah, ‘ubudiyah, atau
muamalah. Jadi, ada akidah, ada syariah,
biasanya kita membagi.

Di dalam dua bidang kehidupan kita itu,


sebenernya bisa saja di dalam masalah
akidah tu ada perbedaan pendapat, ada
ikhtilaf. Tidak melulu yang namanya akidah
itu harus satu. Ada juga yang sifatnya furu’.
Furu’ itu artinya cabang. Wilayahnya,
temanya, masih tema akidah, tapi
bobotnya itu hanya furu’iyyah saja, hanya
cabang-cabangnya saja.
20
(H) Dan, kalau akidah yang sifatnya furu’iyyah ini ada
perbedaan gitu ya tadz..

Ustadz : Ya tentu. Akidah kan ada masalah usul dan


ada masalah furu’. Sebagaimana juga
dalam masalah syariah itu ada masalah
usul dan masalah furu’. Nah, ini kita juga
harus tahu dimana kita masih boleh
berikhtilaf, dimana kita juga tidak boleh.
Gitu.

(H) Artinya, tidak mentang-mentang ikhtilaf itu


dibolehkan, di dalam ayat-ayat, cerita para sahabat,
nabi, malaikat, itu tadi berbeda, kemudian
membolehkan kita berbeda dalam semua hal gitu
ya... hanya diperbolehkan dari hal-hal yang sifatnya
furu’iyyah saja.

Yang sifatnya furu’iyyah. Kalau boleh, saya bagi dua


dulu ya. Jadi, masalah agama ini kita bagi
jadi dua bagian besar. Yang pertama
masalah akidah, yang sering orang bilang
sebagai fundamen, sebagai dasar dari
keimanan kita. Nah, akidah itupun masih
bisa kita bagi, ada masalah-maslaah yang
sifatnya ushulliyah, yang sangat
fundamental, yang dimana di situ kita tidak
boleh berbeda pendapat. Nah, yang ushul
itu sebenernya sederhana sekali.

Ketika kita mengucapkan dua kalimat


syahadat, ‘Aku bersaksi tiada tuhan selain
Allah dan aku bersaksi bahwa nabi
21
Muhammad adalah utusan Allah’, itu
masalah fundamental. Wilayahnya tidak
boleh ada yang berbeda.

Dalam hal ini tidak boleh ada yang


berbeda. Itu masalah dua kalimat
syahadat. Atau, kalau boleh kita
sederhanakan juga, pokoknya kita
mengakui keberadaan Allahdengan segala
sifat-sifat-Nya, kita mengakui adanya
malaikat, kita mengakui adanya kitab-kitab
yang diturunkan, kita mengakui adanya
rasul-rasul yang diutus, mengakui adanya
hari akhir, dan mengakui ada takdir baik
dan takdir buruk.

(H) Pokoknya rukun iman gitu ya tadz..

Ustadz : Nah, rukun iman, keberadaannya itu usul.


Tapi nanti, dari rukun iman itu ada detail-
detailnya. Misalnya, kita beriman kepada
Allah. Apa yang harus kita imani dari Allah?
Allah itu ada. Allah itu sembahan kita, tidak
boleh menyembah kecuali hanya kepada
Allah. Dia Esa, tidak boleh ada berbilang,
dan seterusnya-dan seterusnya.

Tapi, nanti, kalau masuk kepada hal yang


lebih furu’, apa contohnya? Contohnya kan
kalau kita baca di Al Quran, Allah seringkali
menyebutkan dirinya itu dengan segala
sifat-sifat yang mirip manusia. Allah itu
punya tangan, misalnya. Yang kemudian
22
orang jadi bertanya-tanya, ‘Allah kok
punya tangan sih?’, nah kan, ‘Allah kok
punya wajah sih?’, ‘Allah kok istawa’al
‘arsy’ Istawa itu apa?

Apakah duduk seperit kita duduk ini, atau


seperti bagaimana. Itu sebenarnya
masalah furu’, yang para ulama sendiri
pun, dari zaman dulu sampai gini hari itu
pun mereka masih berbeda pendapat, dan
ini tidak lah sampai pada titik yang
menggurkan keislaman kita. Itu furu’.

Contohnya lagi misalnya, di dalam akidah


kita, bahwa setiap orang beriman itu nanti
kan masuk surga dan salah satu
kenikmatan yang paling tinggi adalah bisa
melihat wajah Allah, ru’yatullah. Nah, itu
gimana? Begitu kan. Apakah ini menjadi
akidah yang paling dasar atau tidak, tentu
saja ini adalah masalah furu’iyyah.

Di masa lalu sampai terjadi pertumpahan


darah gara-gara seperti itu, pembagian
ilmu tauhid. Iya kan? Ada kalangan asy Ari
Matturidi, dengan sifat 20 yang wajib, sifat
20 yang mustahil, kan ada sifat jaiz, gitu, ini
kan semua tentang Allah. Nanti ada Ibnu
Taymiyyah, atau ada Abdul Wahhab
misalnya yang membagi sifat-sifatnya Allah
itu ada sifat rububiyyah, uluhiyyah, asma
wa sifat. Nah, itu semua adalah wilayah-
wilayah yang sebenernya itu masalah
23
furu’iyyah. Metodelogi pembelajaran
tauhid saja.

Itu akidah.

Sedangkan syari’ah juga sama, ada usulnya


ada furu’nya.

(H) Tapi, nanti penjelasan tentang usul-furu’ syariah


ini, bisa dilanjutkan lagi di segmen berikutnya,
karena waktu kita terbatas.

Ustadz : Para pemirsa, seperti apa perbedaan yang


ada di dalam syariah, baik dari sisi usulnya
maupun dari sisi furu’nya, kita akan
menyimaknya di segmen berikutnya.
Tetap bersama sekolah fikih.
24

Segmen 3

(H) Kembali lagi para pemirsa yang dirahmati Allah


swt, bersama Sekolah Fikih. Dan sekarang kita
berada di segmen yang ketiga. Nah, kita masih
melanjutkan pembahasan tentang fikih ikhtilaf.
Kalau tadi kita berbicara dan membahas tentang
ikhtilaf yang diperbolehkan di dalam akidah, yaitu di
wilayah furu’iyyah, dan juga ikhtilaf yang memang
dilarang, sudah masuk ke wilayah-wilayah
kesepakatan, tidak boleh berbeda, yaitu yang
wilayah usuliyyah.

Ustadz : Nah, ternyata di sisi syari’ah juga terdapat


hal yang sama. Ada furu’iyyah ada
usuliyyah. Nah, usuliyyahnya kira-kira apa
saja dan demikian juga furu’iyyahnya tadz?

Jadi, kalau kita bicara tentang wilayah


syariah, wilayah ibadah, dan muamalah
lah, kita bagi dua juga. Ada yang temanya
masih sekitar masalah yang fundamental,
sama seperti yang di akidah ada yang
fundamental ada yang cabang-cabangnya.
Dalam masalah syari’ah ada masalah yang
25
fundamental dan cabang-cabang, usul dan
furu’.

Kalau yang terkait dengan usul atau


fundamentalnya, itu sekedar mengakui
adanya rukun islam. Bahwa rukun islam
yang 5 itu wajib untuk dikerjakan. Shalat,
zakat, puasa, haji.. tidak boleh
mengingkarinya. Begitu ya.. itu sudah jadi
kesepakatan, itu sifatnya fundamental.

Orang kalau sampai mengingkari salah


satu dari rukun islam yang 5, itu sudah out,
sudah bukan muslim lagi dia. Mengingkari.

Tapi, bahwa dia mengakui adanya


kewajiban shalat tapi kemudian dia
kadang-kadang shalat kadang-kadang
nggak, itu cuma dosa besar tapi tidak
keluar dari agama islam. Jadi, kalau
mengakui keberadaan rukun islam yang 5
itu, itu sudah usuliyyah. Sudah
fundamental.

Tidak boleh berbeda. Berbeda berarti


keluar. Tidak ada ikhtilaf tengan
kewajibannya. Puasa bulan Ramadhan itu
wajib, zakat itu wajib, haji itu wajib. Itu.

Nah, tapi, nanti kalau kita sudah masuk


kepada detil-detilnya, bagaimana tata cara
shalat yang seperti nabi, itu sudah pasti
terjadi ikhtilaf. Kalau shalat seperti nabi
26
ya.. coba sebutkan, siapa sih ulama yang
niat shalatnya saja dari awal, ‘Saya nggak
mau shalat kayak nabi, saya mau shalat
kayak orang lain aja!’

Coba sebutkan, siapa, ada ulama, dimana,


ada orang islam, yang kalau shalat itu,
‘Saya nggak mau kayak nabi, saya mau
bikin shalat sendiri,’ itu nggak ada loh.
Nggak ada. Semuanya sepakat bahwa
shalat itu harus kayak nabi. Sebab, nabi kan
sudah mengatakan, ‘Shallu kama ra aytu
muni ushlolliy’. Yang jadi masalah, nabi itu
tangannya goyang apa nggak?

Aaaa... kalaupun goyang, itu atas bawah,


apa kanan kiri, atau mix antara keduanya
diputer begini, atau mungkin malah begini
begini (campuran)? Tangannya di dada,
atau di bawah dada, atau di bawahnya lagi,
atau lurus begini? Ketika tekbiratul ihram
jempolnya nyentuh kuping atau make
pundaknya ini?

Kalau sujud itu lutut yang nyentuh tanah


duluan, tangan yang nyentuh tanah
duluan, atau jidatnya duluan? Itu kan
semuanya furu’. Dalam arti... semuanya
kan mengaku bahwa, ‘inilah yang kayak
nabi’, dan semuanya sepakat bahwa shalat
itu harus kayak nabi. Nggak ada shalat itu
kayak Umar, itu nggak ada.
27
(H) Nah, pengakuan yang seperti itulah yang
melahirkan ikhtilaf.

Ustadz : Nah, nanti kan, ternyata kan, kita


menemukan hadist yang ternyata
berbeda-beda riwayatnya/ baik kekuatan
dari sisi validitasnya, keshahihannya, atau
dari juga kekuatan dilalahnya artinya ini
hadist tepat nggak untuk masalah ini,
cocok apa nggak. Kan dikatakan, ‘Sesudah
nabi bangun dari ruku’, maka semua
anggota tubuhnya kembali seperti semula.

Semula itu maksudnya tangannya ke dada,


atau tangannya lurus lagi? Gitu kan. waktu
i’tidal itu. Nah, itu wilayah khilafiyyah yang
nggak akan ada selesainya, karena
sedemikian banyak penyebab terjadinya
ikhtilaf, baik dari sumbernya, Al Quran,
maupun juga dari hadistnya, maupun dari
meraih kesimpulannya, daaaann
sebagainya. Semuanya itu wilayah ikhtilaf.

(H) Tapi, sebelum kita masuk kepada penyebab


terjadinya ikhtilaf itu, ada pertanyaan tentang
apakah, seperti yang sering kita dengar dalam
berbagai referensi, ikhtilaf itu adalah rahmat? Nah,
bener apa nggak nih ikhtilaf = rahmat? Sebab kalau
perbedaan atau ikhtilaf itu rahmat, maksudnya
persatuan itu .. gimana ini..

Ustadz : Yah.. jadi begini.. kalau boleh kita buka


literatur ya, tentang masalah hukum
28
berikhtilaf apakah dia rahmat atau bukan
rahmat, atau sebagian rahmat sebagian
bukan rahmat, memang para ulama
sendiri sudah ikhtilaf lagi bahwa dia
rahmat apa bukan. Kita menemukan
banyak ulama yang setuju dengan
esensinya, bahwa di balik masalah ikhtilaf
itu ada rahmat, ada kasih sayang. Tentu
saja bukan berartu mafhum mukhallafah,
berarti kalau nggak ikhtilaf tidak rahmat?

Nggak. Tidak segala sesuatu itu bisa dibalik


logikanya, di mafhum mukhallafah, kalau
begitu kan gampang kan, Allah kan
mengharamkan daging babi, berarti kalau
bukan daging kan boleh. Tentu tidak
sesederhana itu. Tapi, kita melihat
kenyataan bahwa para ulama itu banyak
yang mendukung pendapat yang
mengatakan bahwa ikhtilaf itu adalah
rahmatterlepas dari masalah status
hadistnya.

Memang ada hadist yang mengatakan,


“Inna ashhabi bi manzilati annujumi fis
sama/ Sesungguhnya para sahabatku itu
ibarat bintang-bintang yang bertaburan di
langit,fa ayyuma akhodz tum bihi
ihtadaitum/ yang mana pun dari mereka
(dari para sahabat itu) kamu jadikan
rujukan, kamu sudah mendapatkan
petunjuk dari nabi, wa ikhtilaf wa ash habi
29
rahmatun/ dan ikhtilafnya para sahabatku
adalah rahmat.”

Cuman, kan yang menjadi masalah, ini


hadist shahih apa enggak. Ikhtilaf lagi, gitu
kan. Memang hadist ini banyak jalur
riwayatnya, di antaranya hadist dari
riwayat imam al Baihaqi menyebutkan hal
ini. Tapi sebgian mengatakan ini sanadnya
dha’if, sanadnya lemah, bahkan ada yang
mengatakn ini palsu dan sebagainya.

Kemudian kita juga menemukan hadist


yang lain, misalnya, “Telah dijadikan
perbedaan umatku itu sebagai rahmat,
sedangkan buat umat sebelumku khilaf itu
menjadi adzab.” Lagi-lagi hadist ini juga
diperselisihkan keshahihannya. Sebagian
mengatakan hadist ini nggak bisa dipakai.

Tetapi, lepas dari hadistnya shahih atau


tidak, esensinya para ulama banyak yang
menyepakatinya. Misalnya Al Qasim bin
Muhammad itu pernah mengatakan,
“Allah pernah memberi manfaat yang
sangat besar dengan adanya ikhtilaf di
kalangan sahabat rasulullah saw.”

Manfaatnya sangat besar. Kenapa? Ya


tentu islam jadi luas. kita tidak berada pada
tempat yang sempit, yang kita nggak muat.
Bisa menjadi pilihan.
30
Contoh yang sederhana misalnya, ketika
nabi haji wada’, ini banyak orang yang
kemudian kalau haji pinginnya kayak nabi,
tetapi di zaman nabinya sendiri itu banyak
yang hajinya nggak kayak nabi, dalam arti
rutenya nggak sama, berhentinya nggak
sama, tempat-tempat yang ditempatinya
juga nggak sama, tapi hajinya bersama
nabi, dan nabi ada di situ, dan nabi tidak
melarang.

(H) Artinya, perbedaa itu disetujui oleh nabi..

Ustadz : Disetujui oleh nabi. Sehingga, kalaulah


memang itu salah, atau keliru, tentu nabi
harusnya menegur. Tidak mungkin nabi itu
mendiamkan, karena itu amanat di pundak
beliau, kalau ada yang salah, ‘Ehh.. nggak
boleh begitu harus begini’, kan gitu. Tapi,
di sini nabi malah membolehkan,
‘Silahkan.. silahkan..’

Sehingga, jalur hajinya nabi itu sangat luas


bahkan para ulama sampai hari ini belum
sepakat. Nabi itu, hajinya itu, pakai haji
tamatu’ apa haji qiran, atau haji ifrad?
Nggak ada yang sepakat itu. Yang hobinya
tamatu’, ‘Ohhh.. nabi hajinya tamatu’’,
‘Nggak. Qirannnn’, satu lagi bilang, ‘Gua..
Ifrad.’

(H) Makanya tadi Al Qasim bin Muhammad


menyampaikan ini menjadi keluasan bagi kita.
31
Ustadz : Menjadi keluasan bagi kita untuk memakai
yang mana saja. sebagaimana Umar bin
Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz itu
mengatakan, ‘Saya nggak suka kalau
sahabat itu nggak khilaf’.

Malah pinginnya khilaf. ‘Saya pinginnya


kalau sahabat itu khilaf aja. Jadi kita jadi
luas. kalau cuman ada satu pendapat, ya
pastilah islam tu sempit’. Itu kata Umar bin
Abdul Aziz.

(H) Selain Al Qasim, Umar, terus ada siapa lagi


ustadz?

Ustadz : Ada banyak yang lain yang mengatakan,


seperti Yahya bin Sa’id, beliau
mengatakan, “Ikhtilafnya para ahli ilmu itu
adalah keluasan.” Jadi, kita seneng lah
dengan adanya khilaf.

Karena yang berikhtilaf itu bukan orang


sembarangan, mereka adalah orang yang
nabi kasih jalur kalau mau nanya ama
mereka. Kalau jawabannya beda-beda, ya
itu alhamdulillah.

(H) Itu yang mengatakan kalau istilah adalah


rahmat.

Nanti seperti apa istilah yang tidak bisa


disebut rahmat itu mungkin ada ya tadz
ya.. kita akan menyimak jawabannya nanti
di sesi berikutnya.
32
Para pemirsa, tetap bersama di sekolah
fikih.
33

Segmen 4

(H) Para pemirsa yang dirahmati Allah swt,


alhamdulillah kita sekarang sudah sampai di segmen
yang keempat. Tadi, di segmen akhir dari segmen
yang ketiga kita berbicara tentang para ulama yang
mendukung bahwa ikhtilaf adalah rahmat, seperti
tadi ada Umar bin Abdul Aziz, kemudian Yahya bin
Sa’id, dan juga ada al Qasim bin Muhammad. Nah,
kira-kira, itu para ulama terdahulu, para ulama
salaf. Kalau ulama yang mungkin hidup di abad-abad
sudah di atas abad 10, tahun 1000 ke atas lah, kira-
kira ada nggak, para ulama yang mendukung ikhtilaf
adalah rahmat itu?

Ustadz : Ya.. tetap saja pendapat yang mengatakan


bahwa ikhtilaf adalah rahmat itu ada
sampai sekarang bahkan. Sampai hari akhir
juga tetep akan ada, dan tetap banyak
yang mengatakan hal seperti itu. Sebutlah
misalnya salah stunya Ibnu Abdin dalam
Hasyiyyahnya itu beliau jelas menyebutkan
bahwa, “ikhtilaf di antara para mujtahid
34
dalam masalah furu’ itu adalah ciri dari
rahmat.” Ya.. ikhtilaf mereka itu kemudian
dikata rahmat? Karena memberikan
keluasan buat semua orang. Nggak bisa
pakai ini, bisa pakai itu.

Nggak bisa pakai itu, bisa pakai yang lain.


Dan sebagainya. Dan para fuqaha
sepanjang zaman membolehkan. Tidak
ada di antara para ulama di masing-masing
mazhab itu yang mengatakan, ‘kalau kamu
sudah ngaji sama saya, harus pakai mazhab
saya terus, tidak boleh pakai yang lain.’, itu
nggak ada.

(H) Artinya, dari abad ke abad pun terbukti


bahwa mereka selalu ikhtilaf itu.

Ustadz : Selalu ada ikhtilaf dan memberikan keluasan


dan menganggap keluasan itu adalah
sesuatu yang kemudian bisa disebut
sebagai rahmat. Bahkan, tidak ada yang
tersinggung. Ketika imam Malik
rahimahullah mengetahui bahwa
muridnya, Syafi’i, itu ngaji sama orang lain,
ia tidak bilang, ‘Sudahlah, putus hubungan
kita.

Kalau kamu memilih yang lain, ya sudah,


kita sudah putus hubungan.’ Tidak seperti
itu. Karena apa? Karena mereka
menganggap bahwa ikhtilaf adalah
rahmat. Makin banyak bertemu dengan
35
pendapat yang berbeda makin besar
rahmat yang didapatkan. Jadi bener kata
Ibnu Abdin, makin banyak ikhtilaf, makin
banyak rahmat.

Walaupun memang kita juga harus jujur


bahwa ada juga di antara para ulama yang
mengatakan, ‘Tidak. Ikhtilaf itu bukan
rahmat’. Banyak juga. Ya bolehlah saya
sebut Ibnu Wahhab misalnya. Beliau
mengatakan, ‘Tidak ada keluasan dalam
beda pendapat di antara para sahabat
karena kebenaran itu cuman satu’, ini
munurut beliau.

Artinya begini, kan ada pendapat para


ulama, ini dikuatkan oleh hadist, bahwa
“Kalau ada seorang yang berijtihad
kemudian dia benar dalam ijtihadnya,
maka dia dapat dua pahala.

Tapi kalau dia keliru berarti dia dapat satu


pahala.” Berarti kan kebenaran cuman 1,
ada yang benar dan ada yang keliru.
Cuman, yang keliru itu ya tidak dosa
bahkan masih tetep dapet pahala, tapi kan
tetep aja salah. Gitu kan. berarti ada yang
benar. Jadi, tidak mungkin semuanya
benar.

Kalau menurut pendapat yang kedua ini,


ikhtilaf itu bukan rahmat, ikhtilaf itu ya..
namanya juga ikhtilaf, berarti itu
36
kekeliruan, kesalahan, berarti itu harus
dicari yang benarnya. Ini banyak pendapat
yang mengatakan seperti itu, termasuk al
Imam al Muzani, muridnya al Imam Syafi’i
sendiri mengatakan, “Allah itu mencela
ikhtilaf dan memerintahkan kita kembali
kepada al Kitab dan sunnah”. Itu al Imam
Al Muzani sendiri, muridnya imam Syafi’i.

Jadi, ikhtilaf itu rahmat atau bukan rahmat


memang para ulama sendiri juga berbeda
pendapat, ada yang bilang rahmat, ada
yang bilang bukan rahmatk, dan ada
pendapat yang ketiga.

Yang ketiga itu mengatakan, dalam kasus


tertentu bisa saja ikhtilaf jadi rahmat, tapi
dalam kasus yang lain bisa saja ikhtilaf
bukan rahmat. Posisioningnya, ya kan?
Tidak mutlak dia rahmat tidak mutlak dia
adzab.

Tergantung seperti apa khilafnya. Ini di


antaranya yang berpendapat seperti ini
adalah ibnu Taymiyyah. Ibnu Taymiyyah
mengatakan, “Khilaf bisa menjadi rahmat
tapi kadang-kadang bisa juga jadi bukan
rahmat.” Tergantung.

Jadi begini, pertama, kalau kita boleh sebut


ya, mana ikhtilaf yang jadi rahmat, mana
yang tidak,
37
(1) itu nomor satu kita bicara tentang
objek yang mau diikhtilafkan dulu. Wilayah
yang diikhtilafkan itu apa. tadi kan kita
sudah bicara di segmen sebelumnya, ada
masalah usul ada masalah furu’. Kalau usul
kan sudah tidak boleh lagi ada ikhtilaf.
Kalau usulnya saja masih dipermasalahkan
ya itu sudah rahmat lagi. ‘Apakah Allah itu
satu apa dua?’

Nggak boleh. Apakah yang benar itu


cuman islam atau agama yang lain itu juga
benar dan mendapat ridha dari Allah dan
juga bisa masuk surga? Itu usul! Dan usul
itu tidak boleh ada khilaf seperti itu.

Objeknya harus yang furu’ yang memang


dibolehkan adanya ikhtilaf. Kalau yang
sudah ijma’ itu sudah tidak boleh lagi. Para
ulama sudah ijma’ ehh masih ada yang
bilang, ‘Nggak. Saya nggak seperti itu’. ini
sudah ijma’, sehari itu kita shalat 5 waktu,
27 rakaat, ijma’, eh tiba-tiba ada yang
bilang, ‘Eh Enggak deng. 12 aja! Bukan 5
tapi 6’

Nah, itu namanya sudah bukan ikthilaf.


Kalau pun itu terjadi ikhtilaf itu yang
dibilang bukan rahmat. Objeknya tidak
boleh pada yang usul, harus pada yang
furu’.

(2) Yang kedua, ikthilaf itu sebenarnya


38
hanya boleh dilakukan oleh mereka yang
ekspert, ahlinya. Tadi kan objeknya,
sekarang ahlinya.

Maksud saya begini.. jadi, kalau dokter ahli


kandungan, sesama dokter ahli kandungan
mereka berbeda pendapat tentang, ‘Ini
bagusnya langsung dibedah aja, disesar
atau engga?’ sesama dokter kandungan,
ya silahkan saja, mereka memang
ekspertnya, mereka memang ahlinya.

Tapi kalau berbedanya antara dokter ahli


kandungan dengan dokter beranak, ini
sudah nggak selevel, tidak apple to apple.
Artinya, dukun beranak silahkan saja dia
mau punya pendapat, tapi kita tidak bisa
menerima bahwa ini masih ada khilafiyah.
Khilafiyah antara siapa? ‘Ya antara dukun
beranak dengan dokter.’ Ya.. dukun
beranaknya minggir lah.

Tidak bisa disebut rahmat, artinya dia


bukan ahlinya kok sok tahu. Nah, ini bukan
khilafiyah. Bukan khilafiyah. Kalaupun
masih mau dibilang khilafiyah, ini bukan
khilafiyah yang diizinkan, bukan yang
rahmat. Tentunya yang dimenangkan
adalah dokternya, karena memang dia
yang ekspert di bidang itu.

Kalau kita terapkan, ini mujtahid mutlak


mustaqil, ya kan.. Imam Abu Hanifa, imam
39
Malik, imam Asy Syafi’i, imam Ahmad bin
Hanbal, itu seluruh ulama sepanjang
zaman sepakat bahwa mereka itu mujtahid
mutlak mustaqil, yang dari mereka itulah
kita mengambil kesimpulan hukum dalam
masalah fikih.

Terus, tiba-tiba ada anak kemaren sore,


baru saja belajar fa’ala yaf’ulu fa’lan
fahuwa fa’ilun, tiba-tiba dia mengatakan,
‘Hum rijal wa nahnu rijal’.

Nah.. ini bukan khilafiyah, dan kalaupun


mau dianggap khilafiyah, ini bukan
khilafiyah yang dibenarkan, bukan yang
rahmat itu. Tidak apple to apple. Ini imam
Syafi’i dibandingin sama anak yang baru
saja kemaren sore belajar ilmu agama, kan
nggak bisa. Jadi, harus sesama ekspert.

(3) Kalau yang ketiga dilihat dari sisi etika,


attitude, adab. Artinya, ikhtilaf itu jadi
rahmat kalau para ekspertnya tadi juga
cara berikhtilafnya itu santun. Lihat
bagaimana imam Ahmad itu memegang
ekor untanya imam Syafi’i.

Lihat dari mana mereka berperilaku. Cara


mereka berdebatnya itu bagus, tidak
mencaci, tidak mencela, tidak mencari aib-
aib, dan sebagainya, karena itu udah
keluar dari objek apa yang diikhtilafkan.
40
(4) Kemudian, yang keempat adalah motif.
Maksudnya begini. Ini berbeda pendapat
ini judulnya mau cari kebenaran apa mau
cari ketenaran? Mau cari kebenaran apa
mau cari pembenaran? Dari gengsinya dia,
justifikasi, agar bisa dibilang sama orang
lain,

‘Wohh.. dia bisa ngelawan loh..’,


‘Wooohh.. dia pinter juga lohh..’, ‘Woohh..
dia ahli agama juga loh...’ Kemudian dia
pingin tampil, gitu kan.

Pingin dikenal. Itu memang ada dalam kota


Arab, Kholiftu Arab, ‘Kalau kamu memang
mau ngetop seantero dunia, gampang...
kencingin aja itu mata air zam-zam.’

(H) Ya.. menarik sekali apa yang disampaikan oleh


Ibnu Taymiyyah tadi, bahwa khilaf bisa jadi rahmat,
bisa juga jadi adzab, tergantung 4 hal.

Pertama tergantung dilihat dari objek ikhtilafnya


apakah dia termasuk dalam wilayah usul atau furu’,
kalau di wilayah furu’ itu diperbolehkan.

Kemudian dari sisi pelakunnya, antara mujtahid atau


bukan, kalau bukan antara mujtahid maka tidak
boleh atau tidak dianggap ikhtilafnya.

Kemudain yang ketiga, dilihat dari sisi etikanya,


akhlaknya, adabnya, attitudenya. Kemudian yang
keempat, adalah dilihat dari sisi motifnya, apakah
perbedaan ini karena memang motif ingin mencari
41
yang benar, ilmiah, yang sesuai dengan kaidah, atau
sekadar hawa nafsu saja.

Ustadz : Itu adalah jenis-jenis ikhtilaf yang rahmat


atau bukan. Ada yang mengatakan mutlak
rahmat, ada yang mengatakan bukan
rahmat, dan ada yang mengatakan
tergantung seperti apa bentuk ikhtilafnya.

Nah, nanti di segmen yang terakhir,


segmen yang kelima, kita masih
membahas lagi tentang fikih ikhtilaf. Apa
yang akan kita bahas? Tetap bersama
Sekolah Fikih.
42

Segmen 5

(H) Para pemirsa yang dirahmati Allah swt,


alhamdulillah, kita akhirnya sampai juga di segmen
yang terakhir, atau segmen yang kelima, dan di
segmen yang kelima ini, kalau tadi di segmen yang
pertama, kedua, ketiga, keempat, kita baru saja
tentang apa itu ikthilaf, definisinya, jenis-jenisnya.

Kemudian apakah ikhtilaf itu rahmat atau bukan


rahmat atau ternyata ada yang rahmat ada yang
tidak tergantung dengan bagaimana bentuk
ikhtilafnya.

Nah, sekarang kita akan membahas tentang


penyebabnya. Kenapa Al Quran yang satu dan hadist
yang sumbernuya, rasul, juga satu, kok terjadi ikhtilaf
di kalangan para ulama.

Kita belajar tentang asbabul ikhtilaf, atau penyebab-


penyebab ikhtilaf. Nah, kira-kira penyebabnya ada
berapa dan apa saja tadz?

Ustadz : Ya.. kalau disebutkan ada berapa ya.. ada


43
banyak.. banyak sekali yang
menyebabkannya. Mulai dari hulu sampai
hilir, semua itu sangat potensial menjadi
penyebab ikhtilaf di antara para ulama.
dari hulu sampai hilir.

Dari hulu maksudnya apa? Dari Al


Qurannya sendiri, sebelum ditafsirkan dan
sebagainya, sudah sangat berpotensi.
Bukankan kita tahu bahwa ayat Quran itu
satu ayat dengan ayat yang lainnya saling
menasakh.

Awalnya Allah masih membolehkan loh


yang namanya minum khamr, tapi
kemudian ayat turun lagi, turun lagi, turun
lagi, awalnya masih juga haram ketika baru
shalat saja, ‘Laa takrobu shalata wa antum
sukaron’, gitu kan.. kalau lagi nggak shalat
ini masih boleh minum.

(H) ini ayatnya masih ada di dalam Al Quran ya tadz..

Ustadz : Masih kita baca. Dan nanti baru ayat (akan


pengharaman khamr) yang terakhir turun,
‘Innamal khamru wal maisiru wal anshobu
wal azlamu rijsun min amalaisy syaiton
fajtanibuhi’, kan begitu.

Nah, itu kalau orang sekarang baca


keempat ayat yang berbeda itu, dan
ditafsirkan, itu hasilnya beda-beda. Ya
kan? Ketika baca ayat yang pertama, Allah
44
masih membolehkan kita membuat khamr
dan bahkan menjualnya menjadi rizqan
khasanah, surat An Nahl 67 kan
mengatakan, “Dari buah kurma dan buah
anggur, kamu bisa membuatnya menjadi
minuman yang memabukkan,..” dan
terusannya itu yang bikin kita kaget, “..dan
menjadi sumber rizki yang baik.”

Ini kalau ayat ini kita baca begitu aja, tanpa


dibandingkan dengan ayat yang lainnya,
uhh, ‘berarti bisnins minuman keras itu
rizqan khasanah loh itu’..

Nah, ini kan, sumber Al Qurannya sendiri


sudah memungkinkan (adanya
perbedaan), kenapa? Kan syariat islam kan
turun berangsur-angsur, ada tahapan, ada
masa makiyyah, ada masa madaniyyah,
dan seterusnya kan.. Nah, ini kalau kita
nggak ngerti tentang ulumul quran..

Sumbernya saja kita harus paham dengan


benar, apalagi nanti kita mengenal ada
qiraat yang berbeda-beda.

Ada yang baca wa arjulakum, ada yang


baca waarjulikum, ini dalam masalah bab
wudhu kan, kalau wa arjulakum itu kan
berarti kakinya harus dicuci, kalau yang
membaca wa arjulikum ini ikutnya bukan
pada dicuci tapi diusap, tidak dicuci. Itu
ayatnya saja sudah memungkinkan
45
terjadinya perbedaan.

Belum nanti ketika para ulama beda


pendapat, apa makan quru’. Kalau orang
yang ditalak oleh suaminya itu kan harus
mengalami masa ‘iddah selama tiga kali
quru’.

Quru’ itu dalam sisi bahasa ada yang


mengatakan maksudnya adalah masa haid,
tapi sebagian lagi mengatakan itu adalah
masa suci dari haid antara satu haid ke
haid yang berikutnya. Dan, hasilnya jadi
berbeda. Sumbernya saja itu bisa berbeda.

Bicara al Quran sendiri saja itu masih


berbeda. Dan sampai hari ini kita nggak
sepakat loh berapa jumlah ayat al Quran..
Jangankan itu, bismillah itu bagian dari al
Fatihah atau bukan itu saja para ulama
masih berbeda pendapat.

(H) Kalau dirumuskan, yang tadi antum sebutkan


tentang perbedaan-perbedaan itu, penyebabnya
kira-kira..

Ustadz : Ya.. (1) yang nomor satu itu dari hulu, dari
sumbernya sendiri. Dari al qurannya
sendiri itu sudah sangat potensial untuk
terjadi yang namanya perbedaan.

(2) Yang kedua itu dari cara menarik


kesimpulannya. Qurannya sama, ayatnya
sama, tidak ada perbedaan qiraat, dan
46
semua mengacu pada ayat yang sama.
Kalau tadi kan saya mengatakan untuk ini
ada ayat yang mana, ini ayat yang mana,
ayat yang mana, kita ambil yang ini, gitu ya.
Ini enggak.

Semua ulama sepakat ayat ini lah yang


menjadi dalilnya. Cuman, ketika menarik
kesimpulannya, ada yang menafsirkannya
secara makna haqiqi tapi ada juga yang
melakukan secara majazi.

(H) Contohnya?

Ustadz : Au la mastumun nisa. Semua sepakat. Ini kan


masalahnya begini.. Sentuhan kulit antara
laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram, termasuk suami istri, apakah itu
membatalkan wudhu atau tidak? Ini
ayatnya. Au la mastumunnisa.

Umumnya para ulama mengatakan la


mastum itu maknanya hakiki, nyentuh
secara fisik, kulit dengan kulit, itu
membatalkan wudhu. Berdasarkan ayat
ini.

Tapi, nanti ada mazhab yang lain, mazhab


Hanafi mengatakan, ‘Nggak. Itu lamastum
di situ maknanya bukan hakiki tapi majazi.

Maksudnya, bukan sentuhan kulit tapi al


jima’.’ Yang membatalkan wudhu,
termasuk juga membuat kita berhadast
47
besar itu adalah jima’. Ini... Satu ayat yang
sama, sepakat qiraatnya tidak berbeda,
tapi menarik kesimpulan hukumnya
berbeda.

(H) itu karena au la mastumunnisa ada yang


memaknainya secara hakiki ada yang majazi.

Ustadz : Ada contoh yang lain lagi misalnya ketika


Allah swt berfirman, ‘La yamassuhu illa
muthahharun’, ini bicara tentang boleh
nggak orang masih dalam keadaan
berhadast, tidak suci, entah itu hadast kecil
atau besar, ataukah itu wanita haid atau
nifas, boleh nggak tangannya itu
menyentuh mushaf?

Semua sepakat ayatnya adalah, ‘La


yamassuhu illa muthaharun’, satu ayat.
Jumhur ulama mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hanbali, itu semuanya
berpendapat, tidak boleh orang yang tidak
suci menyentuh mushaf, karena ayatnya
adalah, ‘laa yamassuhu illa muthahharun’.

Tetapi ada ulama, di antaranya, Ibnu


Hazm, beliau agak berbeda nih dengan
jumhur ulama. Beliau bilang, ‘Bolehh
menyentuh’, dan beliau ini menggunakan
ayat yang sama.

Kalau dia pake hadist atau ayat yang lain,


mungkin lah ya.. Ini, dia menggunakan ayat
48
yang sama, ‘La yamassuhu illa
muthahharun’, dia bilang, ‘Itu bukan la
dalam arti tidak boleh atau jangan, itu
artinya tidak saja.

Jadi, tidaklah menyentuhnya kecuali orang


yang suci’. Itu kan, tidak disitu bukan
larangan, kata dia. Tidak itu cuman
memberi tahu saja, bahwa ada orang yang
suci yang tidak menyentuhnya, tapi bukan
berarti tidak boleh.

(H) Itu yang ditafsirkan mungkin hanya para malaikat


karena mereka yang suci.. gitu ya..

Ustadz : Itu nanti cerita yang lain. Tapi, dalam hal ini,
Ibnu Hazm itu tidak menafsirkan menjadi
tafsir ini adalah malaikat, nggak, dia tetap
menyatakan ini memang muthahharun di
sini maksudnya orang yang tidak
berwudhu tetapi kok tidak boleh megang
mushaf?

Karena ini bukan larangan, hanya sekadar


informasi.

Itu dari Al Quran.

Kemudian, kalau kita bicara hulu yang


kedua yaitu hadist nabi, tentu yang paling
sangat sering terjadi itu karena terjadinya
perbedaan dalam menshahihkan hadist.

Ini hadistnya shahih kata A, tidak shahih


49
kata B.

Contohnya gampang lah, qunut subuh.


Mazhab Syafi’i seluruhnya sepakat bahwa
nabi, ‘lam ya zal yaqnutu fii alfajri hatta
faraqad dun ya’, itu dalam pandangan
ulama mazhab Syafi’i, termasuk imam
Baihaqi dan sebagainya, bilang itu
hadistnya shahih seshahih-shahihnya dan
sanadnya muttashil dan tidak bisa
dipungkiri bahwa nabi sampai akhir
hayatnya melaksanakan qunut subuh.

Tetapi, ulama Hanfiyyah misalnya,


mengatakan, ‘Kami tidak menerima hadist
ini sebagai hadist yang shahih’.

(H) Itu karena perbedaan menshahihkan ya..

Ustadz : Perbedaan menshahihkan. Atau ada juga,


sama-sama shahihnya, tapi dua hadist itu
berbeda. Ta’arub, saling berbeda.

Contohnya misalnya dalam masalah


apakah kita baca basmalah ketika dalam
fatihah. Ada yang memulai shalat itu
langsung dengann alhamdulillahi
rabbil’alamin, ada yang baca basmalah
dulu. Dan kita menemukan dua hadist yang
berbeda, sama-sama shahihnya.

Dari Anas bin Malik mengatakan, “saya


sepanjang hidup saya shalat di belakang
Nabi, Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, dan
50
saya tidak pernah mendengar mereka
memulai dengan bismillah”, langsung pada
alhamdulillahirabbil’alamin. itu Anas bin
Malik.

Tapi, nanti, Abu Hurairah shalat dengan


membaca fatihah dengan baca bismillah
dikeraskan, dan beliau mengatakan,

“Demi Allah, orang yang paling mirip


shalatnya dengan rasul ya saya ini.”

Dia baca bismillah.

Artinya, itu kan hadistnya sama-sama


shahih, tapi terjadi perbedaan.

Jadi, dari hulunya saja sudah sangat


mungkin terjadi perbedaan.

(H) Artinya ketika kita kembali kepada Al Quran dan


sunnah, ternyata berbeda juga, gitu ya..

Ustadz : Jadi, kita perlu mengoreksi, dan


mengingatkan juga, ada orang
mengatakan, ‘Daripada ikhtilaf terus,
mendingan kembali saja kepada Quran
dan sunnah’.

Ya.... ini menarik. Kenapa? Justru karena


kita berpegang kepada Quran dan
sunnahlah maka terjadi perbedaan itu. Dia
fikir kalau sudah berpegang kepada Al
quran tidak ada khilafiyyah, justru.. Quran
51
itulah sumber khilafiyyahnya itu sendiri,
tapi (dengan catatan)Ikhtilaf itu kan boleh
terjadi. Gitu.

(H) itu kurang lebih perbedaan-perbedaan atau


penyebab terjadinya perbedaan di kalangan ulama.
Ya.. karena waktu kita sudah habis tadz, sayang
sekali, secara umum alhamdulillah untuk episode
yang ke delapan ini kita sudah tuntas berbicara
tentang fikih ikhtilaf.

Begitulah, para pemirsa sekalian, berbicara tentang


ikhtilaf dari sisi definisi, jenis-jenisnya, kemudian
apakah itu rahmat atau bukan, dan terakhir
penyebab-penyebabnya.

Akhirnya, bagi Anda, para pemirsa yang belum


tergabung bersama kami di Sekolah Fikih ini kami
persilahkan untuk melakukan registrasi di website
resmi kami, www.sekolahfiqih.com. Dan bagi Anda,
para pemirsa yang sudah terdaftar dan aktif menjadi
mahasiswa di sekolahfikih.com, kami persilahkan
juga untuk melakukan atau mengerjakan soal-soal
latihan yang sudah kami sediakan.

Akhirnya, saya, Sutomo bin Abi Nasr, beserta juga


narasumber kita, Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA.,
beserta seluruh kru dan kerabat kerja yang bertugas
mohon undur diri dari hadapan Anda semuanya.
Saksikan terus program kami, Sekolah Fikih.

Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.


52

Anda mungkin juga menyukai