Anda di halaman 1dari 38

Ahmad Sarwat, Lc.

, MA

Proses Terbentuknya
Hukum Fiqih
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT)
Proses Terbentuknya Hukum Fiqih
Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA
38 hlm

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang


mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Judul Buku
1-1-5-- Proses Terbentuknya Hukum Fiqih
Penulis
Ahmad Sarwat, Lc. MA
Editor
Fatih
Setting & Lay Out
Fayyad & Fawwaz
Desain Cover
Faqih
Penerbit
Rumah Fiqih Publishing
Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan
Setiabudi Jakarta Selatan 12940

Cetakan Pertama
April 2020
5

Daftar Isi

Daftar Isi ................................................................ 5


A. Proses Terbentuknya Hukum ............................ 8
B. Sumber Yang Statis ......................................... 13
1. Al-Quran dan As-Sunnah .......................... 13
2. Mutlak Kebenarannya ............................. 14
3. Statis ................................................... 14
C. Realitas Kehidupan Yang Dinamis ................... 17
1. Berbeda-beda ....................................... 17
2. Dinamis ................................................ 18
D. Ijtihad Ulama .................................................. 21
1. Ahli Fiqih .............................................. 21
2. Ilmu Istimbath Hukum ............................. 23
a. Ilmu Tafsir ................................................. 25
b. Ilmu Naqd Hadits ...................................... 25
c. Ilmu Bahasa Arab ...................................... 26
d. Ilmu Nasikh dan Mansukh ......................... 32
e. Sirah Nabawiyah ....................................... 33
f. Ilmu Fiqih .................................................. 34
g. Ilmu Ushul Fiqih ........................................ 35
............................................................................. 38
7

Proses Terbentuknya Al-Quran dan As-


Hukum Sunnah

Sumber Yang Statis Mutlak


Kebenarannya

Statis

Berbeda-beda

Dinamis

Realitas Kehidupan
DIjtihad Ulama
Yang Dinamis

Ahli Fiqih

Ilmu Istimbath
Hukum

Pada bab ini kita akan mempelajari lebih dalam


bagaimana hukum-hukum itu fiqih terbentuk, dari
asalnya berupa teks wahyu baik dalam format Al-
Quran maupun dalam bentuk sunnah nabawiyah,
kemudian menjadi produk hukum-hukum praktis
yang siap dipakai dalam kehidupan sehari-hari bagi
orang masyarakat awam.
8

A. Proses Terbentuknya Hukum

Hukum-hukum fiqih lahir dari beberapa proses


panjang yang disebut dengan istimbath al-ahkam.
Hukum-hukum fiqih itu bukan wahyu yang turun
begitu saja dari langit, tidak sebagaimana turunnya
ayat Al-Quran dan hadits nabawi
Meski bukan merupakan wahyu langsung, namun
hukum-hukum fiqih itu bukan sekedar rekaan atau
karangan manusia.
Dalam prosesnya, teks-teks wahyu dan juga
hadits-hadits nabawi dikomparasikan dengan realitas
atau kenyataan yang amat dinamis, dimana manusia
ditakdirkan hidup dengan realitas kehidupan sosial
yang berbeda-beda, baik secara adat, karakter,
budaya, tradisi, etika yang satu sama lain saling
berbeda. Dan itulah hakikat Ilmu Fiqih.
Namun satu hal yang sering luput dari perhatian
orang, tidak mentang-mentang fiqih itu hasil
istimbath manusia, lalu siapa saja berhak
melakukannya.
Para ulama sepakat bahwa tidak semua orang
boleh melakukan proses komparasi itu. Setidaknya
9
hanya mereka yang benar-benar memenuhi syarat
sebagai mujtahid saja yang diberi wewenang dan
otoritas untuk melakukannya. Itu pun dengan tetap
harus menggunakan kaidah-kaidah yang diterima
secara ilmiyah, nalar dan juga diakui secara sah
sebagai kaidah yang muktamad.
Barulah hasil akhirnya akan kita dapat berupa
hukum-hukum fiqih yang kita kenal sebagai wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Ibarat makanan, Ilmu Fiqih adalah hidangan siap
santap di atas meja yang mengundang selera. Buat
kita yang makan, mungkin tidak terbayang
bagaimana opor ayam itu sebelumnya mengalami
proses panjang dalam pembuatannya. Dan ternyata
proses itu pun tidak mudah. Dan tidak sembarang
orang bisa memasaknya dengan hasil yang
memuaskan.
Kalau kita perhatikan, hidangan opor ayam
sebelum sampai di meja makan kita itu, sebelumnya
telah mengalami proses dari bahan mentah, lalu
diolah sedemikian rupa oleh chef atau juru masak
yang berpengalaman, hingga akhirnya terhidang di
atas meja siap disantap.
Bahan baku utama opor ayam sebelum dimasak
tentu seekor ayam yang asalnya masih hidup di
peternakan. Ayamnya perlu dipilih yang sehat dan
baik, kemudian ditangkap, disembelih dengan benar,
dicabuti bulunya, dibersihkan isi perutnya, bagian
yang tidak perlu dibuang, lalu dimasak dasar.
Selain ayam, opor itu juga terbuat dari berbagai
10
ramuan khas serta bumbu-bumbu lainnya. Bumbu-
bumbu itu tentu sebelumnya masih di perkebunan.
Bumbunya yang utama adalah santan kelapa,
maka harus ada orang yang memanjat pohon kelapa
terlebih dahulu, lalu mengupasnya, memarutnya,
dan membuat santannya. Tentu bumbunya bukan
hanya santan, tetapi ada lusinan bumbu lainnya yang
juga harus dipetik dulu di kebun.
Semua bahan itu tidak akan tiba-tiba berubah
menjadi opor ayam begitu saja. Dalam hal ini kita
membutuhkan juru masak ahli dan berpengalaman
untuk memasak opor ayam, biar ayamnya empuk
tidak keras, bumbunya meresap, tidak hambar dan
juga tidak terlalu ekstrim. Tentunya dibutuhkan
keahlian tersendiri. Orang yang belum pernah
memasaknya, di awal pertama kali mencoba
memasaknya, pasti akan banyak melakukan
kesalahan.
Pendeknya, semua itu adalah proses pembuatan
opor ayam. Opor ayam tidak tiba-tiba turun dari
langit mendarat tepat di atas meja makan kita.
Lain halnya bila kita membeli opor ayam itu di
rumah makan, yang kita perlukan hanya uang
sebagai harga pembelian. Dan kita bisa langsung
duduk manis sambil melahapnya saat itu juga. Kita
yang beli jadi opor ayam adalah orang-orang yang
terima rapi saja, tidak perlu repot-repot memasak
dan memprosesnya.
Itulah perumpamaan sederhana, untuk
mendekatkan kita dengan kenyataan. Intinya, kita ini
11
umumnya adalah orang-orang awam dan bukan
mujtahid. Kita tidak melakukan semua proses ijtihad
di atas. Sebagai orang awam, kita hanya terima
bersih dan tinggal menggunakan saja hasil-hasil
ijtihad para ulama.
Dan akan terasa aneh kalau orang yang tidak
punya kapasitas ulama, tiba-tiba merasa dirinya
paling pintar bahkan merasa lebih pintar dari ulama.
13

B. Sumber Yang Statis

Di atas tadi sudah disebutkan bahwa Ilmu Fiqih


bersumber dari wahyu atau firman Allah SWT
1. Al-Quran dan As-Sunnah
Al-Quran maupun As-Sunnah adalah jalur resmi
datangnya wahyu dari Allah SWT
Sedangkan firasat, ilham, mimpi, kasysyaf,
wangsit dan lain-lainnya, mungkin saja datang dari
Allah SWT, namun semua jelas-jelas bukan wahyu
yang merupakan risalah yang formal dan resmi.
Semua itu tidak turun lewat jalur resmi, sebagaimana
wahyu yang lewat Malaikat Jibril serta lewat
mekanisme kenabian.
Karena itu hukum-hukum fiqih tidak boleh
didasarkan atas semua hal di atas, meskipun dialami
oleh orang shaleh sekalipun.
Wahyu yang yang dijadikan sumber hukum-
hukum fiqih adalah wahyu risalah yang resmi,
datangnya lewat Nabi Muhammad SAW, yaitu
berupa ayat-ayat Al-Quran dan sunnah Rasulullah
SAW.
14
2. Mutlak Kebenarannya
Baik Al-Quran maupun As-Sunnah yang shahihah,
keduanya adalah sumber syariah Islam yang bersifat
mutlak kebenarannya, karena ada jaminan atas hal
itu dari Allah SWT
Namun demikian, keduanya bersifat statis dan
tidak boleh mengalami perubahan, baik koreksi,
tambahan, pengurangan dengan cara apa pun,
sepeninggal Rasulullah SAW.
Kalau sampai berubah atau boleh diubah-ubah
oleh manusia, justru malah menjadi masalah. Karena
originalitasnya tentu akan sangat dipertanyakan,
sebagaimana tragedi yang menimpa agama-agama
samawi sebelum masa risalah Muhammad SAW.
Para pemuka agama baik yahudi maupun nasrani
dilaknat Allah SWT, karena mereka nekat mengubah
ayat-ayat Allah yang telah baku.

‫مِعنِمواضعه ِوي ُقولُونِمسعنا‬


ّ ‫ُِي ّرفُون ِالكل‬
ُ ‫هادوا‬
ُ ‫مِنِالّذين‬
ِ‫وعصينا‬
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah
perkataan dari tempat-tempatnya . Mereka
berkata : "Kami mendengar", tetapi kami tidak
mau menurutinya. (QS. An-Nisa’ : 46)
3. Statis
Karena Al-Quran dan As-Sunnah tidak boleh
mengalami revisi, pengeditan, penambahan, atau
pengurangan, maka otomatis keduanya bersifat
15
statis.
Walaupun teknik penulisan aksara Arab
mengalami perkembangan sepanjang waktu, namun
bunyi ayat Al-Quran itu tidak mengalami perubahan
apa pun. Dan sesungguhnya yang turun kepada
Rasulullah SAW dahulu bukan buku dengan tulisan
Arab, melainkan suara dari malaikat Jibril
alaihissalam kepada beliau SAW, yang merupakan
firman Allah SWT
Seandainya kita punya mesin waktu, dan kita
kirim anak-anak Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) ke
zaman dimana para shahabat Nabi dahulu hidup di
Mekkah dan Madinah, maka bacaan Al-Quran
mereka akan sama persis seperti bacaan para
shahabat Nabi ridhwanullahi ‘alaihim.
Apa yang ada di dalam Al-Quran tidak akan
mengalami perubahan sampai hari kiamat. Demikian
juga, apa yang tercatat di dalam hadits nabawi, juga
tidak akan mengalami perubahan apa pun sampai
akhir zaman.
Keduanya adalah kitab abadi, bahkan bahasa
yang digunakan pun tidak boleh diubah, atau
diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Kalau pun ada versi terjemahan, maka
terjemahan itu bukan wahyu, tetapi hasil karya
manusia. Sebuah buku yang isinya hanya terjemahan
30 juz Al-Quran tanpa menyertakan teks aslinya
dalam bahasa Arab, tidak diakui sebagai Al-Quran.
Jadi kalau pakai logika ini, maka Alkitab berbahasa
Indonesia yang rajin dibawa oleh para pastor itu
16
bukan wahyu Allah, melainkan 100% hasil karya
manusia.
17

C. Realitas Kehidupan Yang Dinamis

Meski Al-Quran dan As-Sunnah bersifat statis,


namun keduanya bukan musium yang hanya menjadi
saksi bisu atas apa yang pernah terjadi di masa
Rasulullah SAW.
Keduanya justru harus hidup sepanjang zaman, di
berbagai tempat di permukaan planet bumi ini,
menjadi petunjuk, pedoman, sumber rujukan
hukum, dan juga sebagai undang-undang yang
berlaku di semua negeri.
1. Berbeda-beda
Umat manusia diciptakan Allah SWT dengan
segala keragamannya. Dan keragaman ini melahirkan
perbedaan budaya, adat, etika, bahkan hukum,
konvensi dan aturan-aturan yang bersifat lokal ke
daerahan.
Apa yang dipandang baik oleh suatu bangsa,
boleh jadi oleh bangsa lain dianggap sangat tidak
baik.
Memegang kepala orang lain yang lebih tua dan
dihormati, bagi bangsa Arab dianggap kesopanan
18
dan akhlaq mulia. Menantu akan lebih disayang
mertua kalau memegang kepala mertua.
Tetapi jangan sekali-kali hal itu dilakukan di
negeri kita, bisa-bisa langsung ditempeleng mertua
dan dipecat jadi menantu. Sebab buat orang
Indonesia, kepala adalah organ yang terhormat, tiap
tahun dikeluarkan zakatnya, jadi jangan dipegang-
pegang kecuali orang tua mengelus kepala bayinya
sendiri.
Bangsa Tibet yang di mendiami pegunungan
Himalaya, 3.000 meter di atas permukaan laut,
punya kebiasaan aneh untuk menunjukkan tanda
kesopanan dalam menyambut tamu, yaitu mereka
akan menjulurkan lidahnya.
Maka para tamu harus membalas menjulurkan
lidah juga sebagai bentuk penghormatan. Jangan
sekali-kali hal itu kita lakukan di tempat lain, karena
bisa dianggap menghina dan mencemooh. Ujung-
ujungnya malah kita dikira mengajak adu jotos.
2. Dinamis
Selain berbeda-beda tolok ukur kebaikan,
kehidupan umat manusia pun sangat dinamis, setiap
saat mengalami perubahan.
Apa yang di suatu masa dianggap sebagai
kebaikan, belum tentu pada 20-30 tahun kemudian
masih dianggap baik. Dan sebaliknya, apa yang kita
anggap sebuah kedegilan di masa sekarang, mungkin
saja 50 tahun lagi dianggap perbuatan mulia.
Karya-karya di masa lalu yang dianggap sebagai
19
bagian dari idealisme seorang ilmuwan, seiring
dengan berjalannya waktu, di masa lain dianggap
realitas potensi kekayaan.
Di masa lalu ketika Al-Bukhari menuliskan kitab
Ash-Shahih, tidak pernah terbersit di kepalanya
untuk menjual kitabnya itu, sekedar untuk
mendapatkan uang. Di masa itu tidak dikenal hak
cipta dan hak kekayaan intelektual atas karya itu.
Tetapi hari ini, buku yang hanya 100-an halaman
saja, sedangkan isinya hasil cuplik sana sini, dianggap
sebagai hak kekayaan intelektual yang dilindungi
undang-undang dan menghasilkan sumber mata
pencaharian.
Bahkan bahasa yang digunakan suatu bangsa
akan berganti dengan bahasa lain seiring dengan
berjalannya waktu. Empat ratus tahun yang lalu tidak
ada orang berbicara dengan menggunakan bahasa
Indonesia di nusantara kita ini. Mereka mungkin
bicara dengan bahasa Sansekerta, Arab, atau
Mandarin. Andaikan mesin waktu bisa membawa
kita ke masa hidup Wali Songo, dipastikan kita tidak
bisa ngobrol dengan para wali itu.
Kenapa?
Soalnya, bahasa yang mereka pakai bukan bahasa
Indonesia, sedangkan kita justru tidak mengerti
bahasa mereka. Jadi mungkin kita akan pinjam
bahasa Tarzan alias pakai isyarat.
Dahulu orang Mesir punya bahasa purba, yang
juga punya aksara tersendiri. Orang Mesir hari ini
sayangnya tidak bisa membaca apa yang terukir di
20
Pyramid peninggalan nenek moyang mereka sendiri,
karena bahasa mereka sudah berubah menjadi
bahasa Arab.
Kalau kita buka arsip koran yang terbit tahun 50-
an, maka kita akan terpingkal-pingkal membacanya.
Bahasa memang bahasa Indonesia, tetapi susunan
bahasa dan redaksinya terasa aneh dan jenaka buat
ukuran di zaman sekarang ini.
Di masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar
radhiyallahuanhuma, kalau ada unta lepas dari
tuannya, hukum konvensi yang berlaku adalah
biarkan saja unta itu berkeliaran, sampai pemiliknya
menemukannya. Unta bisa bertahan hidup, dia akan
mencari makan dan minum sendiri.
Ketika masuk masa pemerintahan Amirul
Mukminin Ustman bin Al-Affan radhiyalahuanhu,
konvensinya berubah. Unta yang tersesat harus
diselamatkan oleh penemunya, dibawa pulang,
dipelihara, dikasih makan dan minum dan dilindungi.
Nanti bila pemiliknya datang mencari, baru
dikembalikan.
Hal itu karena masa itu sudah agak rawan dengan
pencurian. Kota Madinah tidak lagi seseteril
sebelumnya. Para shahabat yang mulai banyak yang
merantau jauh ke berbagai penjuru dunia,
sementara orang dari luar Madinah banyak yang
masuk dan tinggal disana.
21

D. Ijtihad Ulama

Hukum-hukum fiqih adalah perpaduan antara


dalil-dalil syar'i dengan realitas kehidupan. Namun
dalam prosesnya, produk hukum fiqih itu tidak akan
bisa lepas dua faktor utama, yaitu keberadaan para
ahli fiqih sebagai ahli yang bekerja dengan sungguh-
sungguh, serta adanya metodologi ijtihad yang
standar untuk digunakan sebagai media. Tanpa
keduanya, maka proses memproduksi hukum itu
akan bermasalah.
Ibarat sawah, tidak akan menghasilkan panen
kalau tidak ditanami oleh petani. Namun petani juga
butuh alat pertanian seperti pacul dan lainnya.
Ibarat perang, tidak akan berjalan kalau tidak ada
tentara yang terjun ke medan laga. Namun para
tentara juga butuh berbagai senjata dan
perlengkapan peperangan.
1. Ahli Fiqih
Memproduksi hukum-hukum fiqih adalah tugas
yang amat berat. Tugas yang amat berat ini tidak
mungkin dikerjakan oleh sembarang orang, kecuali
22
mereka yang terdidik dan terlatih secara profesional
di bidangnya. Mereka itu kita sebut ahli fiqih.
Kerja membakar sate tidak akan sempurna, kalau
tangan-tangan amatir yang melakukannya.
Walaupun hanya membakar sate, pekerjaan yang
kita anggap sepele, tetap saja butuh keahlian.
Maksudnya, agar satenya tetap enak dimakan, tidak
pahit karena terlalu gosong, tetapi juga tidak keras
karena masih terlalu mentah.
Apalagi kerja untuk menarik kesimpulan hukum,
tentu bukan hal yang sederhana. Kalau kita ibaratkan
dengan dunia kesehatan, ahli fiqih itu ibarat dokter
spesialis, yang tentunya harus merupakan lulusan
dari Fakultas Kedokteran, mulai dari jenjang S-1
sampai jenjang-jenjang berikutnya.
Meski menolong orang sakit itu sebuah ibadah
yang mendatangkan pahala dan disunnahan kepada
setiap orang, namun mengobati orang sakit tidak
boleh dikerjakan oleh sembarang orang. Karena ilmu
kesehatan itu amat kompleks dan serba rumit. Untuk
itu dibutuhkan keahlian di atas rata-rata.
Sejak dari masih calon mahasiswa fakultas
Kedokteran, sudah ada seleksi ketat. Hanya mereka
yang tahan begadang untuk belajar berjam-jam dan
benar-benar siap mental saja, yang berani
mendaftarkan diri. Mereka yang etos belajarnya
lemah dan terbelakang, biasanya sejak awal sudah
menghindari jauh Fakultas Kedokteran.
Kenyataannya, kuliah di Fakultas Kedokteran itu
memang teramat berat. Tidak semua lulusan SMU
23
dan sederajat boleh berhayal bisa masuk fakultas ini.
Para calon dokter itu kadang harus mengikuti
berbagai macam perkuliahan dan praktek yang amat
tidak manusiawi, mulai dari membedah kodok
sampai membedah mayat manusia yang sudah
busuk.
Lulus dari Fakultas Kedokteran, tidak lantas sudah
boleh praktek. Masih ada sekian banyak proses lain
yang wajib diikuti, sampai akhirnya resmi diberi izin
praktek.
Demikian juga dengan ahli fiqih, mereka hanya
berjumlah beberapa gilintir orang saja di tiap-tiap
zamannya. Mereka adalah orang-orang langka yang
hidup di masing-masing zamannya. Hal itu karena
pekerjaan mereka hanya bisa dikerjakan oleh orang-
orang yang amat terdidik dan terlatih secara ketat.
2. Ilmu Istimbath Hukum
Perbedaan orang awam yang bodoh dengan para
ulama yang ahli di bidang ijtihad adalah dalam
masalah penggunaan ilmu yang menunjang
metodologi yang benar, untuk bisa melakukan
istimbath hukum yang hasilnya juga benar.
Orang awam bertindak ceroboh dalam
mengambil kesimpulan hukum agama, sehingga
seringkali mereka malah menghalalkan yang haram
dan mengharamkan yang halal. Hal itu terjadi selain
karena umumnya mereka bekerja tanpa
keterampilan, juga tidak menggunakan alat-alat yang
mendukung.
Sedangkan para ulama, dalam memproduksi
24
hukum-hukum fiqih, bisa kita ibaratkan dengan para
pekerja profesional yang bekerja dengan sepenuh
keterampilan dan juga dengan menggunakan alat-
alat yang mumpuni.
Kita ibaratkan proses untuk menghasilkan
hukum-hukum fiqih ini dengan produksi kendaraan
bermotor.
Untuk memproduksi sebuah unit kendaraan
bermotor seperti mobil, bukan hanya dibutuhkan
seorang yang ahli di bidang perbengkelan. Kalau
modalnya hanya tang dan obeng, jelas tidak akan
bisa memproduksi.
Pabrik sepeda motor memiliki berbagai alat dan
mesin canggih yang mampu menghasilkan produksi
dalam jumlah besar dan tentunya berkualitas. Di
pabrik yang besar itu, ribuan unit sepeda motor bisa
diproduksi sejak dari kerangka hingga menjadi bisa
dipakai dalam sehari. Kalau pabrik itu hanya punya
tang dan obeng sebagai alatnya, meski pun punya
ribuan karyawan, sudah pasti tak satu pun sepeda
motor bisa diproduksi.
Perumpamaan seperti di atas kalau kita kaitkan
dengan Ilmu Fiqih, bahwa meski ada begitu banyak
tokoh agama dengan beragam sebutannya, tapi
kalau mereka tidak dibekali dengan alat yang
memadai, yaitu ilmu istimbath hukum, hasilnya akan
sia-sia belaka.
Kita ambil contoh yang lainnya. Seorang dokter
meski pun dia sangat pintar, tapi kalau dia berpraktek
di sebuah desa terpencil pada puncak sebuah
25
gunung, tentu tidak bisa berbuat banyak kalau
mendapatkan pasien yang menderita penyakit
dalam. Sebab dia tidak punya alat yang cukup.
Untuk itu biasanya kasus seperti ini, para dokter
akan merujukkan pasiennya kepada rumah sakit
dengan fasilitas yang memadai, untuk dilakukan
berbagai tindakan medis. Stateskop dan jarum suntik
milik dokter di desa tentu tidak akan banyak
bermanfaat, kalau pasiennya menderita penyakit
yang kompleks.
Lalu dalam urusan ijtihad, mesin dan alat itu apa
bentuknya?
Tidak lain dan tidak bukan adalah Ilmu Ushul Fiqih
dengan segala cabang-cabangnya sebagai pokok
utama metodologi istimbat hukum.
a. Ilmu Tafsir
Ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mujtahid
salah satunya adalah ilmu tafsir, yang sumber
utamanya tidak lain adalah Rasulullah SAW dan juga
para shahabatnya.
Mereka itulah generasi yang Allah SWT langsung
turunkan Al-Quran di tengah-tengah kehidupan
mereka. Tentu mereka pula generasi yang paling
tahu dan mengerti apa-apa yang diinginkan Allah
atas tiap ayat yang turun.
Tanpa penguasaan ilmu tafsir yang benar dan
cukup, seorang mujtahid tidak bisa bekerja dengan
baik.
b. Ilmu Naqd Hadits
26
Ilmu naqd (kritik) hadits adalah ilmu yang tidak
boleh luput dari kemampuan seorang mujtahid.
Sebab yang di-istimbath tidak lain adalah hukum-
hukum yang bersumber dari Rasulullah SAW. Kalau
jalur periwayatannya saja sudah bermasalah, maka
istimbath hukumnya sudah pasti bermasalah juga.
Maka sebelum menjadi seorang mujtahid,
seorang ulama harus menjadi ahli hadits (muhaddits)
terlebih dahulu. Setidaknya dia harus punya
kemampuan untuk memilah mana hadits yang bisa
dijadikan sandaran, dan mana yang tidak bisa
dijadikan sandaran.
Di antara paham yang keliru yang perlu
diluruskan dari persepsi orang-orang selama ini
adalah anggapan seolah-olah para ahli fiqih tidak
mengerti ilmu hadits. Sehingga mereka sering
dituduh hanya mengandalkan akal dan logika saja,
dengan menafikan hadits. Padahal, syarat untuk
menjadi ahli fiqih itu justru harus sudah lulus menjadi
ahli hadits. Dan tidak ada seorang pun dari para
ulama fiqih yang bukan ahli hadits.
c. Ilmu Bahasa Arab
Al-Quran tidak pernah diturunkan ke permukaan
bumi ini kecuali dalam bahasa Arab. Sebab Rasulullah
SAW sebagai penerima wahyu hanya bisa berbahasa
Arab.
Demikian juga sunnah nabawiyah, yang
merupakan perbuatan, perkataan dan iqrar
Rasulullah SAW, tidak lah sampai kepada kita lewat
rangkaian panjang periwayatan, kecuali redaksinya
27
selalu berbahasa Arab.
Maka bila seorang mujtahid ingin menarik
kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah,
mustahil bisa dilaksanakan bila dirinya tidak mengerti
bahasa Arab.
Maka syarat mutlak ilmu yang harus minimal
dikuasai oleh seorang mujtahid adalah ilmu tentang
bahasa Arab dengan segala cabang dan rantingnya.
Bahasa Arab memang tidak mudah
diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa
Indonesia. Tidak semua kata atau frasa ada
padanannya, sehingga bahasa terjemahan yang
harfiyah tentu tidak mampu menyampaikan isi pesan
yang seutuhnya.
Para penerjemah bahasa asing, khususnya dari
bahasa Arab memang harus pandai dan cerdas.
Selain harus mengerti betul gaya bahasa aslinya, juga
harus pandai mencarikan padanan kata atau
ungkapan yang punya makna setara atau minimal
agak mendekati aslinya. Kalau tidak demikian, maka
pada gilirannya malah bisa jadi malapetaka.
Ittaqillah
Dalam bahasa Arab, kalau ada orang berkata
kepada kita ittaqillah (‫للا اتق‬
‫) ه‬, maknanya bukan sekedar
bertaqwalah atau takutlah kepada Allah. Tetapi
kalimat itu sudah mengandung ancaman, atau
setidaknya sebuah tuduhan bahwa kita ini bersalah
dalam pandangannya.
Sehingga kalau sampai orang Arab bilang
28
ittaqillah kepada kita, harus dipahami bahwa orang
itu menyalahkan kita dan ungkapan dalam bahasa
kita kurang lebih menjadi 'jangan begitu', 'awas',
'hati-hati' dan sejenisnya.
Aku Mencintaimu di Jalan Allah
Menarik juga ungkapan yang dianjurkan oleh
Rasulullah SAW kepada kita untuk disampaikan
kepada sesama muslim, yaitu inni uhibbuka fillah (‫أنيه‬
‫) أحبكهفيه ه‬. Kalau kita menghormati seorang dosen atau
‫للا‬
tokoh ulama di kalangan orang-orang Arab, maka
ungkapan ini termasuk salah satu sopan santun yang
tinggi.
Tetapi jangan sekali-kali ungkapan itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara
harfiyah. Apalagi kalau sampai digunakan di tengah
pergaulan sesama anak bangsa. Sebab
terjemahannya akan jadi lain dan jauh sekali.
Kalau sampai ada seorang laki-laki berkata
kepada teman sesama laki-laki,"Aku mencintaimu
karena Allah", maka dahi temannya itu pasti akan
berkerut sepuluh lipatan tanda bingung. Dan boleh
jadi dalam hatinya dia curiga. Jangan-jangan orang ini
hombreng, masak sesama lelaki bilang cinta-cintaan
segala?
Yakhrabbetak
Orang Mesir punya makian khas kalau lagi
berseteru dengan sesama mereka. Bahasa itu tentu
saja ammiyah dan bukan bahasa fushah.
Yakhrab betak!!
29
Terjemahan apa adanya adalah rumahmu
musnah, rusak atau terbakar. Sebagaimana bisa kita
baca di dalam Al-Quran tentang rumah yang musnah
:

ِ‫ِوأَيدي‬
َ ‫ُِيربُو َنِ بُيُوََتُم ِِبَيديهم‬
ُ ِۚ‫عب‬
َ ‫ِالر‬
ُّ ‫ف ِِف ِقُلُوِب ُم‬َ ‫َوقَ َذ‬
َِ ‫املؤمن‬
‫ي‬
ُ
Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati
mereka. Mereka memusnahkan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mu'min. (QS. Al-Hasyr : 2)
Tentu saja makian atau umpatan itu tidak ada
kaitannya dengan rumah yang musnah. Itu hanya
bahasa ungkapan, ketika kita terjemahkan menjadi
rumahmu musnah tentu akan lucu dan tidak enak
didengar.
Barangkali mirip dengan makian khas Betawi.
Tidak mungkin makian pale lo ijo diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab dengan ra'suka ahdhar. Begitu
juga tidak mungkin menerjemahkan ungkapan muke
lu jauh dengan wajhuka ba'id.
Dan ungkapan khas orang Jawa mbok yo ngene
juga tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi ibu ya begini, atau ke dalam
bahasa Inggris menjadi mother yes like this, atau ke
dalam bahasa Arab menjadi ummu na'am ha kadza.
Terjemah Istilah Dalam Nash-nash Syariah
Terjemahan ungkapan ringan macam di atas, bila
hasilnya salah kaprah kita masih boleh senyum-
30
senyum. Tetapi bayangkan kalau kesalahan fatal itu
terjadi ketika memahami nash-nash syariah. Kalau
sampai salah kaprah, bisa-bisa yang haram jadi halal
dan sebaliknya yang halal jadi haram.
Menerjemahkan bahasa Arab modern kadang
kita masih kesulitan, apalagi menerjemahkan
ungkapan-ungkapan yang hanya digunakan pada 14
abad lampau, tentu lebih sulit lagi untuk dipahami.
Parahnya, tidak semua orang Arab hari ini bisa
paham ungkapan-ungkapan khas di masa Nabi SAW.
Taribat Yadaka
Seperti ungkapan Nabi SAW ketika menyebutkan
empat alasan memilih istri, dimana salah satunya
karena agamanya, lalu beliau mengatakan taribat
yadaaka (‫)تربتهيداك‬.
Apa maksud kalimat taribat yadaaka ini?
Kalau secara harfiyah kata taribat itu bentukan
dari kata turab yang artinya debu. Sedangkan
yadaaka artinya kedua tanganmu. Tetapi apa benar
taribat yadaaka itu berarti kedua tanganmu
berdebu? Apa hubungannya dengan memilih istri
karena faktor agama?
Bahasa Tubuh
Yang lebih sulit lagi untuk dipahami adalah
bahasa tubuh Nabi SAW. Kadang dalam memberi
fatwa, beliau tidak menggunakan kata secara verbal,
melainkan dengan menggunakan bahasa tubuh.
Salah satunya adalah tertawa hingga terlihat putih
giginya.
31
Kasusnya terjadi ketika Amar bin Ash berijtihad
meninggalkan mandi janabah dan menggantinya
dengan tayammum, karena alasan takut
mencelakakan dirinya saat di musim dingin.
Mendengar itjihad shahabatnya itu, beliau SAW pun
tertawa, hingga terlihat putih giginya.
Nah, yang ini jelas membingungkan sekali. Apa
makna tertawanya seorang Nabi SAW yang
berkebangsaan Arab dan hidup di abad keenam
Masehi. Masalahnya bahasa tubuh tiap bangsa itu
beda-beda.
Bisa saja beliau tertawa karena memang
mentertawakan tindakan shahabatnya itu yang
mungkin keliru. Seperti kita suka mentertawakan
orang-orang yang keliru dan bersalah. Itu budaya
kita, kalau lihat ada orang salah atau keliru, kita
terbiasa untuk mentertawakan.
Tetapi ternyata tertawanya Nabi SAW itu bukan
meledek atau mentertawai kekeliruan orang lain.
Tidak, justru tertawanya itu bermakna pembenaran
atas ijtihad meninggalkan mandi janabah menjadi
tayammum. Dan itulah yang secara umum dipahami
oleh para ulama sepanjang zaman.
Disinilah terbukti bahwa urusan memahami
syariat bukan sekedar menguasai bahasa saja.
Seorang asli Arab di zaman kita pun belum tentu
paham maksudnya. Kita harus belajar lebih dalam
ilmu bahasa Arab yang lebih klasik lagi, yang boleh
jadi di kamus-kamus modern tidak tercantum.
Dan lebih dari itu, kita perlu merujuk ke kitab-
32
kitab syarah hadits untuk mengetahui apa yang
dipahami para ulama di masa lalu tentang ungkapan
asing itu. Dan kalau ungkapan itu ada di dalam ayat
Al-Quran, tentu kita perlu membuka kitab tafsir.
Dan salah satu manfaat Ilmu Fiqih adalah
memahami makna tiap istilah yang digunakan dalam
nash-nash syariah secara lebih mendalam. Sebab
kekeliruan dalam memahaminya akan melahirkan
kekeliruan dalam menarik kesimpulan hukum.
Dan kekeliruan seperti itu sangat mungkin terjadi,
bila yang melakukannnya hanya orang yang awam
seperti kita yang bukan termasuk orang yang berada
dalam derajat para mujtahid.
d. Ilmu Nasikh dan Mansukh
Satu hal yang sering luput dari pengamatan kita
bahwa baik Al-Quran atau pun Sunnah, ternyata
keduanya sama-sama ditulis tanpa dilengkapi data
waktu turun atau wurudnya.
Kita tidak menemukan di dalam mushaf Al-Quran
data tentang pada hari apa, tanggal berapa, bulan
apa atau tahun kapan diturunkannya suatu ayat.
Hal yang sama juga ketika kita membuka kitab
Shahih Bukhari atau Shahih Muslim yang umat Islam
berijma' sebagai kitab tershahih kedua dan ketiga
setelah Al-Quran. Kedua kitab itu tidak
mencantumkan hari, tanggal, bulan atau tahun,
dimana Rasulullah SAW menyampaikan atau
melakukannya.
Maka kita yang hidup di masa sekarang ini nyaris
33
merasa seolah-olah semua ayat dan hadits itu
diturunkan atau disampaikan secara berbarengan.
Padahal di masa Rasulullah SAW, masing-masing
ayat turun satu persatu, tidak turun sekaligus, tetapi
seiring dengan proses pensyariatan (tasyri') yang
juga berjalan sesuai dengan urutan waktu.
Pada waktu tertentu ada ayat Al-Quran yang
masih membolehkan khamar, sehingga para
shahabat ridhwanullahi'alaihim masih meminumnya.
Maka disitulah letak pentingnya ilmu sirah
nabawiyah dalam menarik kesimpulan hukum.
Karena ternyata antara satu ayat yang turun terlebih
dahulu, dengan ayat lain yang turun kemudian bisa
saling menafikan atau membatalkan hukum.
Dan hal yang sama juga terjadi pada sunnah
nabawiyah. Ada begitu banyak hadits yang diucapkan
oleh Rasulullah SAW pada zaman dahulu ketika
masih di Mekkah. Kemudian setelah itu, beliau SAW
mengoreksi hukum dan memperbaharuinya, lewat
hadits-hadits yang datang kemudian.
Kalau seorang hanya mengandalkan ilmu hadits
saja, tanpa punya ilmu sirah nabawiyah, maka boleh
jadi dia menggunakan hadits yang sebenarnya sudah
dihapus dengan adanya hadits yang lain yang keluar
belakangan.
e. Sirah Nabawiyah
Salah satu kelebihan sirah nabawiyah
dibandingkan dengan hadits-hadits yang kita
temukan di dalam berbagai kitab susunan para ulama
34
terletak pada adanya informasi tentang konteks
kejadian, bahkan jalinan kisah sampai kepada alur
cerita.
Seringkali orang awam yang tidak mengerti
konteks dan realitas di masa Rasulullah SAW merasa
kebingungan ketika membaca suatu hadits yang
shahih.
Misalnya hadits yang menyebutkan kisah seorang
Arab dusun yang kencing di dalam masjid. Di dalam
hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW menyiram
bekas kencing itu dengan seember air. Bukankah hal
itu aneh buat kita?
Lantai masjid kita di zaman sekarang ini biasanya
terbuat dari keramik, dan seringkali digelari karpet.
Kalau air kencing hanya disiram dengan seember air,
maka pastilah najis air kencing itu akan menyebar
kemana-mana.
Ternyata dari sirah nabawiyah kita tahu, bahwa
lantai masjid di masa Rasulullah SAW itu tidak
terbuat dari keramik, juga tidak digelari karpet.
Lantai itu semata-mata hanya tanah atau pasir. Bila
ada air kencing, cukup disiram dengan seember air,
maka najis itu akan langsung terserap di dalam pasir.
Maka seorang mujtahid harus mengerti benar seluk-
beluk kehidupan di masa Rasulullah SAW, agar tidak
keliru dalam menarik kesimpulan hukum.
f. Ilmu Fiqih
Tetapi ilmu yang paling utama dari kebutuhan
untuk mengistimbath suatu hukum tidak lain adalah
Ilmu Fiqih dan ushul fiqih.
35
Ilmu Fiqih adalah produk akhir dari ilmu-ilmu
yang telah disebutkan di atas. Hasil akhir ini berupa
kesimpulan-kesimpulan hukum atas berbagai
masalah kehidupan. Orang-orang awam adalah
konsumen dari Ilmu Fiqih ini. Bahkan sebenarnya
ilmu ini memang ditujukan untuk dipelajari oleh
orang-orang awam. Para mujtahid kemudian
mengajarkan hasil-hasil ijtihad dan istimbath hukum
mereka lewat pengajaran Ilmu Fiqih ini.
g. Ilmu Ushul Fiqih
Pengertian ilmu ushul fiqih menurut para ulama
adalah :
ّّ ُ ُ ‫يتوس‬
ّ ّ ُ
‫الش ِع ّي ِة‬ ‫األحكام‬
ِ ‫نباط‬ ‫ت‬‫اس‬
ِ ِ ‫ِ ِي‬ ‫ف‬ ‫د‬ ‫جته‬ ُ
‫الم‬ ‫ها‬ ‫ب‬
ِّ ‫ل‬ ‫ت‬
‫القواعد ِ ي‬
‫ال‬ ِ
ّ‫فصي ِلي ِة‬ ّ ّ
ِ ‫العملي ِة ِمن ِأدل ِتها الت‬
ِ
Kaidah-kaidah yang mengantarkan mujtahid
dalam mengistinbat hukum-hukum syar’i terapan
dari dalil-dalilnya yang rinci.
Antara Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih terjalin
hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan.
Bahkan boleh dikatakan bahwa sebagian dari kedua
tubuh itu saling menyatu dan berbagi satu dengan
yang lain.
Keduanya bisa diibaratkan antara pohon dengan
akarnya. Dimana pohon itu tidak akan dapat tumbuh
dan tegak bila tidak ada akarnya. Akar pohon bukan
hanya berfungsi sebagai pondasi yang menopang
berat pohon itu, bahkan akar itulah yang
memberikan zat-zat yang dibutuhkan oleh pohon.
Bila akar pohon dilepaskan dari batangnya, maka
36
otomatis batang pohon itu akan mati dengan
sendirinya. Sebaliknya, bila batang suatu pohon
dipotong tanpa membuang akarnya, besar
kemungkinan dari akar itu akan tumbuh lagi pohon
yang baru.
Hubungan antara Ilmu Fiqih dengan Ilmu Ushul
Fiqih juga bisa diibaratkan antara sebuah produk
dengan pabriknya. Mobil yang kita kendarai setiap
hari tidak akan dapat meluncur di jalanan kalau tidak
ada pabrik yang memproduksi mobil itu. Mobil
adalah Ilmu Fiqih dan pabrik adalah Ilmu Ushul Fiqih.
Kalau belajar Ilmu Fiqih tentang halal dan haram,
serta hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram bisa kita ibaratkan dengan belajar mengemudi
mobil, maka setiap orang yang mengemudi mobil,
minimal harus pernah belajar tata cara
mengemudikan mobil. Dan untuk itu polisi
mewajibkan para pengemudi memiliki Surat Izin
Mengemudi (SIM).
Sedangkan belajar Ilmu Ushul Fiqih hukumnya
tidak wajib buat orang awam. Sebab Ilmu Ushul Fiqih
itu bisa kita ibaratkan seperti belajar ilmu untuk
memproduksi mobil. Tentu untuk bisa mengemudi
mobil tidak harus belajar cara bagaimana membuat
mobil itu. Membuat mobil adalah urusan pabrik
mobil, pengemudi hanya diwajibkan belajar
bagamana cara memakai produknya, yaitu belajar
mengemudi mobil yang jauh lebih sederhana.
Ilmu Ushul Fiqih secara mendalam pada
hakikatnya ilmu yang dibutuhkan oleh para mujtahid
37
dalam melakukan proses istimbath hukum dari dalil-
dalil syariah. Karena tidak semua orang wajib
menjadi mujtahid, maka hukum untuk mempelajari
Ilmu Ushul Fiqih ini pun juga tidak wajib.
Ruang lingkup pembahasan Ilmu Ushul Fiqih
sebenarnya cukup luas, mulai dari sumber-sumber
hukum fiqih hingga proses bagaimana kesimpulan
hukum itu diambil, lewat beragam metode yang ada.
Dalil-dalil hukum syariah ada yang muktamad
seperti Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas, dan ada juga
dalil yang mukhtalaf, seperti al-masalih al-mursalah,
al-istidlal, al-istish-hab, saddu adz-dzari’ah, istihsan,
'urf, syar'u man qablana, amalu ahlil madinah, qaul
shahabi dan lainnya.
Selain itu dalam ushul fiqih juga dikenal dalil
lafadz, yaitu al-amru wa an-nahyu, al-‘aam wal
khash, al-muthlaq wa al-muqayyad, al-manthuq wal
mafhum.
Ushul fiqih juga membahas berbagai jenis hukum,
baik berupa hukum taklifi atau pun hukum wadh'i.
Hukum Taklifi adalah hukum yang kita kenal sebagai
wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh atau
haram. Sedangkan hukum Wadh’i seperti as-sabab,
asy-syarth, al-mani’, ash-shihhah, a-fasad wal
buthlan.

38

Anda mungkin juga menyukai