Anda di halaman 1dari 320

Ahmad Sarwat, Lc.

, MA

Seri Fiqih Kehidupan (1)


Muqaddimah

Rumah Fiqih Indonesia

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT)


Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqaddimah
Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA

710 hlm; 17,6x25 cm.


ISBN 978-602-1989-1-9

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian


atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Judul Buku
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqaddimah
Penulis
Ahmad Sarwat, Lc. MA
Editor
Fatih
Setting & Lay out
Fayyad & Fawwaz
Desain Cover
Faqih
Penerbit
Rumah Fiqih Publishing
Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan
Setiabudi Jakarta Selatan 12940

Cet : Feb 2020


23/07/2020
Pemesanan Langsung
Isnawati, Lc - 0821-1159-9103

Pengantar Penerbit
Bismillahirrahmahmanirrahim
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Rumah Fiqih Publishing
mempersembahkan salah satu karya di bidang Ilmu Fiqih buah pena Al-Ustadz Ahmad
Sarwat, Lc MA, yang diberi nama : Seri Fiqih Kehidupan.
Sebagai penerbit, tentu kami harus memberikan alasan-alasan apa saja yang membuat
buku ini jadi layak untuk dimiliki?
Bukan maksud kami ingin memuji buku ini dan melebihkannya dari buku yang lain.
Namun dalam kenyataannya, Seri Fiqih Kehidupan ini memang punya keunikan yang
membedakannya dengan kitab-kitab fiqih lainnya. Beberapa di antara kelebihan itu
adalah sebagai berikut :
1. Lengkap
Seri Fiqih Kehidupan adalah buku fiqih yang cukup dalam dan luas pembahasannya,
sehingga tebalnya mencapai 18 jilid dan jumlah total halamannya mencapai 7.100
halaman lebih. Boleh jadi buku ini satu-satunya buku fiqih yang ditulis aslinya
dalam Bahasa Indonesia dan bukan sekedar buku terjemahan dari bahasa Arab yang
paling tebal yang pernah disusun.
Sebenarnya kami sebagai penerbit agak ragu, apakah ketebalannya merupakan kelebihan
yang perlu dibanggakan ataukah justru merupakan kekurangan. Karean biasanya makin
tebal suatu buku, makin sulit untuk memasarkannya. Tapi untuk masalah yang satu
ini, biar para pembaca yang menilainya.
Yang jelas, buku ini adalah buku yang tebal dan banyak jilidnya, karena isinya
mencakup begitu banyak pendapat para ulama. Judul-judul pada ke-18 jilid
selengkapnya adalah sebagai berikut :
 Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqaddimah
 Seri Fiqih Kehidupan (2) : Thaharah
 Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat
 Seri Fiqih Kehidupan (4) : Zakat
 Seri Fiqih Kehidupan (5) : Puasa
 Seri Fiqih Kehidupan (6) : Haji & Umrah
 Seri Fiqih Kehidupan (7) : Muamalat
 Seri Fiqih Kehidupan (8) : Pernikahan
 Seri Fiqih Kehidupan (9) : Kuliner
 Seri Fiqih Kehidupan (10) : Pakaian, Perhiasan & Rumah
 Seri Fiqih Kehidupan (11) : Sembelihan
 Seri Fiqih Kehidupan (12) : Masjid
 Seri Fiqih Kehidupan (13) : Kedokteran
 Seri Fiqih Kehidupan (14) : Seni, Permainan & Hiburan
 Seri Fiqih Kehidupan (15) : Mawaris
 Seri Fiqih Kehidupan (16) : Jinayat
 Seri Fiqih Kehidupan (17) : Jihad
 Seri Fiqih Kehidupan (18) : Negara
2. Mewakili Banyak Mazhab
Salah satu alasan kenapa buku ini menjadi begitu tebal adalah karena di dalamnya
terdapat banyak pendapat yang mewakili banyak mazhab fiqih. Dan dalam kenyataannya,
Ilmu Fiqih yang tumbuh tersebar serta mencapai derakat muktamad itu cukup luas dan
banyak.
Di abad kedua dan ketiga hijriyah, setidaknya kita menemukan 13 mazhab yang
berbeda. Lalu sampai hari ini yang tersisa masih dijalani oleh umat Islam masih ada
empat yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah.
Maka kurang adil rasanya bila pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab fiqih yang ada
itu tidak terwakili. Dan buku ini mencoba untuk memberikan ruang kepada perbedaan-
perbedaan mazhab ini. Dan ini tentu memudahkan para pembaca juga, cukup dengan
membaca satu buku ini saja, maka gambaran umum tentang bagaimana perbedaan para
ulama di masing-masing mazhabnya sudah sedikit banyak terjawab.
3. Tidak Memihak
Salah satu ciri khas penulis buku ini adalah posisinya yang netral dan tidak
memihak, ketika menyampaikan berbagai pendapat ulama yang saling bertentangan.
Penulis tetap setia dengan amanat ilmiyah, tanpa harus terjebak dengan
pertentangan.
Semua pendapat yang ada, lepas dari apakah penulis setuju atau tidak dengan
pendapat itu, tetap dicantumkan dalam buku ini. Menurut kami sebagai penerbit,
justru pada titik itulah kita selama ini kehilangan perspektif. Kita lebih sering
terjebak dengan buku yang mengajak kepada satu pendapat, sambil menafikan pendapat
yang berbeda.
Buku ini jadi layak untuk dibaca karena posisinya yang netral di antara banyak
perbedaan, tidak memihak dan memenuhi rasa keadilan. Dibandingkan dengan kebanyakan
buku fiqih yang beredar yang biasanya lebih menekankan pada pendapat tertentu atau
mewakili sebagian pendapat saja, maka buku ini justru menjadi anti tesisnya.
Seringkali pula buku-buku fiqih yang beredar terjebak dengan sikap menafikan
berbagai pendapat fiqih yang ada. Dan acap kali pula langsung mengeluarkan vonis
bid’ah, sesat atau berbagai ungkapan lain yang menghabisi pendapat yang sekiranya
dianggap berbeda dengan ‘selera’ penulisnya.
Sehingga pola-pola seperti itu seringkali menimbulkan banyak pertentangan di tengah
umat, bahkan semakin menambah permasalahan dan menjauhkan persatuan dan kesatuan
umat Islam. Sungguh sayang sekali, keberadaan buku fiqih bukan mencerahkan tetapi
malah membingungkan, sekaligus menjadi bahan bakar pertentangan. Jangan-jangan
justru karena faktor itulah kita menemukan banyak kalangan yang agak alergi kalau
bicara masalah fiqih. Sebab yang terbayang di benak adalah hanya saling berbantah-
bantahan dengan sesama pencinta agama.
Tidak demikian halnya dengan buku ini. Pembaca tidak akan menemukan fanatisme
kepada kelompok tertentu bila membaca buku ini. Sebab isi buku ini merupakan
rangkuman dari berbagai hasil ijtihad fiqih yang berkembang di semua mazhab yang
muktamad.
Dan yang paling perlu dicatat bahwa Penulis pun tidak terlalu gatal untuk
menuliskan pendapat pribadinya dalam buku ini. Semua dikembalikan kepada tarjih
dari masing-masing mazhabnya. Sebab para ulama di masing-masing mazhab itu bukan
orang sembarangan, mereka adalah para mujtahid yang punya kapasitas dan otoritas
dalam mentarjih suatu pendapat. Pendapat yang sudah dirajihkan oleh ulama,
sebenarnya tidak perlu lagi dirajihkan ulang, apalagi orang yang kapasitasnya jauh
di bawahnya.
Dengan demikian, semua pembaca dari berbagai mazhab akan merasa aman dan tidak
terancam, dan tidak perlu ada pihak-pihak yang merasa dipojokkan atau
dipersalahkan. Sebab apa yang menjadi kecenderungan masing-masing pendapat, nyaris
sudah tertampung di buku ini.
Resikonya buku ini menjadi agak tebal, karena kebutuhan untuk memuat beberapa
pendapat sekaligus. Tetapi setidaknya pembaca akan mendapatkan perspektif yang
lebih luas. Maka buku ini cocok untuk digunakan oleh berbagai elemen umat Islam,
yang memang umumnya terdiri dari berbagai macam latar belakang mazhab dan paham.
4. Kuatnya Sumber Rujukan & Literatur
Salah satu kekuatan buku ini adalah lengkapnya buku rujukan dan literatur yang
digunakan. Tidaklah suatu pendapat dari sekian banyak pendapat fiqih dimuat di
dalam buku ini, kecuali penulisnya mencantumkan rujukan yang paling orisinil.
Maka membaca buku ini seperti kita membaca banyak buku-buku karya para ulama
klasik dan kontemporer, yang aslinya masih berbahasa Arab.
Dengan kata lain, kita tidak perlu memiliki langsung semua kitab peninggalan para
ulama yang begitu banyak. Cukup dengan membaca buku ini, kita seolah-olah sudah
membaca langsung karya mereka. Bahkan sudah dalam versi bahasa Indonesia yang mudah
dan ringan.
5. Buku Asli Indonesia Bukan Terjemahan
Apa lebihnya bila suatu buku betul-betul asli berbahasa Indonesia? Dan apa
kurangnya bila kita hanya membaca buku terjemahan?
Jawabnya adalah faktor cita rasa dan kebiasaan. Sebagai ilustrasi, ketika jamaah
haji kita menunaikan ibadah di tanah suci, mereka merasa lebih nikmat bila
menyantap menu masakan Indonesia. Meski harga menu Indonesia jauh lebih mahal,
restoran Indonesia tetap laris manis dikunjungi jamaah Indonesia.
Demikian juga dengan masalah bacaan. Buku asing yang diterjemahkan sering kali
kehilangan cita rasa di benak pembaca. Oleh karena itu meski sudah cukup banyak
kitab fiqih yang beredar di tengah masyarakat, namun kebanyakan kitab itu merupakan
terjemahan dari kitab yang aslinya berbahasa Arab.
Pengalaman membuktikan bahwa membaca buku terjemahan seringkali menimbulkan masalah
dari banyak sisi, baik yang terkait dengan rasa bahasa, atau pun juga masalah
dengan kedekatan realitas antara penulis dan pembacanya.
Sedangkan buku ini asli 100% disusun oleh orang Indonesia, ditulis juga dalam
bahasa Indonesia, dan terinspirasi dari realita yang berkembang di Indonesia.
Contoh-contoh masalah yang dimuat dalam buku ini berupa kejadian nyata yang kita
alami sehari-hari. Bahkan sebuah judul pada bab-bab di dalamnya, sangat boleh jadi
hanya ada di buku ini, dan tidak kita temukan seandainya buku itu terjemahan dari
penulis timur tengah.
Maka kelebihan buku ini adalah lebih cocok bila dibaca oleh orang Indonesia, karena
punya rasa dan selera ke-Indonesia-an yang khas.
6. Dijual per Jilid
Meski kalau dihitung total buku ini sangat tebal, namun kebijakan kami sebagai
penerbit, buku ini boleh dibeli secara terpisah, tidak harus dibeli secara lengkap.
Penulisnya sendiri sengaja memisahkan tiap jilid dengan judul yang berbeda. Cara
ini menurut kami memudahkan pembaca. Misalnya buat mereka yang ingin mendalami
masalah puasa saja, bisa mendapatkan jilid kelima, tanpa harus membeli jilid-jilid
yang lain. Dan yang ingin mendalami masalah Shalat, Zakat atau Haji, mereka bisa
membeli per buku yang sesuai dengan kebutuhan.
Sementara kitab-kitab fiqih yang tebal-tebal itu, nyaris tidak bisa dimiliki
kecuali bila kita beli seluruh jilidnya. Dan terkadang tiap jilid tidak mewakili
satu tema tertentu.
7. Pesan Online
Buku ini diserahkan oleh Penulis untuk kami terbitkan dengan tujuan agar bisa lebih
banyak dinikmati dan diambil manfaatnya oleh khalayak ramai dengan harga semurah-
murahnya. Maka visi kami sebagai penerbit adalah melaksanakan amanat tersebut,
yaitu untuk memfasilitasi para pembaca dan bukan sekedar mendapatkan keuntungan
secara finansial.
Maka cara yang kami tempuh dengan tidak menjual atau mempromosikan lewat jalur
distribusi yang biasa. Sebab cara yang demikian akan sangat membutuhkan banyak
biaya.
Agar tidak terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan, maka sebagai penerbit, kami
tetapkan bahwa kami harus memotong jalur distribusi yang terlalu panjang.
Oleh karena itu kebijakan yang kami ambil adalah melakukan penjualan langsung
kepada khalayak, baik lewat di berbagai even yang sengaja digelar, atau pun lewat
pemesanan via telepon atau online.
Alasannya antara lain untuk memangkas harga buku. Sebagaimana kita tahu bahwa harga
cetak satu buku jauh lebih murah dari harga jualnya di toko, antar 1/3 atau 1/4-
nya. Maka buku yang kita beli seharga 100 ribu rupiah di toko buku, ongkos cetaknya
barangkali hanya 25 sampai 30 ribu rupiah saja.
Kalau kita bisa memangkas semua biaya distribusi, tentu kita bisa mendapatkan buku
dengan harga jauh lebih murah. Di masa sekarang ini, kita bisa membeli buku tanpa
harus ke toko buku. Cukup kita buka situs yang menjual buku secara online, maka
dalam waktu singkat kita bisa mendapat buku itu.
Akhirnya, pembaca yang budiman, semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan dan
ampunan buat kita semua. Amien ya rabbal 'alamin.

Sutomo Abu Nashr

Direktur Rumah Fiqih Publishing

Pengantar Penulis
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, hidayah serta
ampunan dari-Nya.
Allah adalah Tuhan yang telah menciptakan alam semesta yang luas, yang belum
terukur secara pasti berapakah luas alam ini. Dia telah menciptakan aneka ragam
makhluk, baik berwujud nyata maupun ghaib, baik makhluk yang mati maupun yang
hidup.
Dan Dia telah menciptakan manusia dengan segala keutamaan dan kesempurnaan di atas
semua makhluk yang diciptakan sebelumnya. Dia telah mengangkat manusia menjadi
khalifah di muka bumi dan menyerahkan amanat yang gunung sekali pun tidak mampu
untuk memanggulnya.
Berjuta shalawat, salam dan penghormatan yang tinggi dan tulus kita haturkan
kehadirat Nabi Muhammad SAW, utusan Allah SWT terakhir, yang menjadi penutup dari
semua risalah samawi, dimana setelahnya tidak ada lagi risalah yang diberlakukan,
tidak ada lagi Nabi yang diutus, tidak ada lagi wahyu kenabian diturunkan buat
manusia. Kepadanya bermuara semua risalah samawi dan kepadanyalah semua Nabi dan
Rasul akan menjadi makmum.
Semoga limpahan salam ini juga terhatur kepada keluarga beliau yang suci, para
shahabat beliau yang mulia, serta para tabiin dan atbaut-tabiin yang shalih,
termasuk kepada seluruh umat beliau hingga akhir zaman nanti.
Islam sebagai agama yang diturunkan Allah sebagai aqidah dan syariat terakhir bagi
manusia. Karenanya, Allah menjadikan syariat itu lengkap, utuh dan komprehensif.
Syariat yang tak lekang oleh zaman dan patut menjadi pegangan hidup manusia.
Syariat yang merupakan undang-undang serta rujukan hukum manusia dimana pun dan
kapan pun berada. Syariat yang diciptakan sedemikian rupa oleh Allah sehingga
sesuai dengan kepentingan manusia dan realitas yang dihadapi.
Ilmu Fiqih adalah ruh dan spirit yang selama 14 abad lamanya telah menjaga bangunan
syariat sehingga tetap utuh dan kokoh dalam kondisi apa pun. Disamping itu, selama
rentang tersebut, Ilmu Fiqih menjadi unsur penopang dan pendukung bagi peradaban
dan kemajuan ilmu pengetahun karena selalu sinkron dan selaras.
Pembaca sekalian yang dimuliakan Allah,
Perkenankan Penulis mempersembahkan sebuah karya yang ditujukan untuk mendapatkan
ridha serta limpahan rahmat dari Allah SWT, berupa penulisan apa yang menjadi
daftar kehendak dan keinginan Allah SWT atas manusia, yang disarikan dari kalam-
Nya, dilengkapi dengan penjelasan resmi oleh utusannya, serta yang telah
diijtihadkan dengan sepenuh daya oleh para ulama penerima warisan dari sang rasul
Muhammad SAW.
Karya ini adalah karya yang menyimpan berbagai catatan penting atas penerapan agama
Islam oleh generasi terbaik, yaitu generasi para shahabat Nabi yang diridhai Allah.
Mereka adalah generasi yang langsung menjadi saksi hidup bagaimana ayat-ayat yang
merupakan mukjizat itu diturunkan dari langit. Mereka adalah generasi yang juga
menjadi objek dari turunnya ayat-ayat itu. Mereka juga menjadi generasi yang
langsung dikaruniai seorang Nabi terbesar dalam sejarah umat manusia, serta sejarah
semua agama samawi.
Mereka juga menjadi teman, shahabat, murid, anak buah, saudara, istri, anak, rakyat
dari sosok mulia yang menerima risalah kenabian. Di tangan mereka itulah dua sumber
agama, Al-Quran dan Sunnah Nabi, dijelaskan dengan detail dan tanpa sekat.
Mustahil Quran dan Sunnah bisa dipahami kalau tidak pernah dipraktekkan isinya. Dan
mereka adalah generasi yang mendapatkan kehormatan untuk mempraktekkan keduanya,
langsung di hadapan utusan resmi ilahi, Muhammad SAW.
Dari mereka pula catatan-catatan penting atas tiap detail ayat-ayat suci menjadi
semakin jelas, karena mereka yang langsung terlibat dengan semua yang turun itu.
Karya ini juga ikut mencatat bagaimana ilmu para shahabat itu kemudian dikembangkan
sesuai dengan realitas kehidupan yang mereka temui sepeninggal Rasulullah SAW
mulia.
Dan karya para ulama semakin mencapai puncaknya ketika lahir para imam besar yang
menancapkan tiang pancang kokoh sebagai penegak bangunan syariah yang kekar di atas
bumi. Bangunan itu bukan hanya layak dihuni, melainkan menjadi pelindung umat Islam
dari kemusnahan dan keropos oleh zaman. Bahkan bangunan megah itu menjadi
kebanggaan umat sepanjang zaman.
Kemajuan ilmu yang mereka kembangkan bahkan melebihi zaman dimana mereka hidup.
Apa-apa yang sekian abad lagi belum terjadi, mereka telah mengkajinya dengan detail
dan cermat. Bahkan di abad ke 21 ini pun apa yang mereka wariskan masih terasa
kemarin sore ditulisnya.
Sayangnya, karya-karya besar para ulama itu tersimpan rapi di dalam ratusan
perpustakaan besar dunia, dibaca dan ditahqiq sebagiannya oleh kalangan terbatas
saja, yaitu para profesor dan akademisi di bidang syariah.
Indonesia Hari Ini
Khusus buat keadaan Indonesia di masa sekarang, semangat berislam (baca :
menjalankan aturan dan syariah Islam) di era tahun 2000-an dan seterusnya ini
terasa semakin hari semakin besar. Fenomena yang nampak di banyak tempat turut
membantu membuktikan hal itu. Mulai dari maraknya bank yang bernuansa syariah
hingga busana muslimah yang kian membudaya setelah dahulu sempat dilarang-larang.
Dilanjutkan dengan layar kaca di bulan Ramadhan yang banyak memanfaatkan momen
bulan suci itu untuk ajang menarik banyak penonton. Bahkan seorang Obama yang
pernah menjadi Presiden Amerika pun banyak melirik dan mengelus-elus Islam setelah
Presiden sebelumnya lebih suka berprasangka buruk pada umat Islam.
Secara otomatis berbagai upaya untuk memperdalam pemahaman atas agama Islam semakin
terasa di berbagai tempat. Masjid sebagai pusat ibadah ritual di kota-kota besar
semakin rajin menggelar pengajian yang intinya adalah pengajaran ilmu-ilmu
keislaman. Bahkan perkantoran yang dulunya melulu urusan duniawi kini justru
semakin berlomba menggelar berbagai bentuk kegiatan ke-Islaman hingga berlomba
mendirikan masjid dengan bangunan yang megah nyaman dan indah.
Kebutuhan Atas Buku Rujukan
Seiring dengan itu kebutuhan umat Islam atas buku-buku rujukan tentang agama Islam
semakin terasa. Terutama yang terkait dengan sumber asli ilmu-ilmu keislaman yang
merupakan warisan abadi sejak awal mula dakwah Islam.
Sayangnya justru kebutuhan atas buku rujukan ini yang selalu kurang mendapat
perhatian. Sehingga mau tidak mau terpaksa untuk sementara ditutup dengan
menerjemahkan buku-buku dari bahasa Arab dengan segala suka dan dukanya.
Suka buat para penerbit buku yang bisa menerjemahkan dengan jalan 'membajak' dari
buku-buku bahasa Arab begitu saja dan dijual lalu keuntungannya masuk kantong.
Duka buat para pembaca karena kualitas penerjemahan seringkali mengalami distorsi
besar. Selain itu kondisi sosial dimana kitab berbahasa Arab itu ditulis dengan
kondisi sosial di negeri kita terkadang sering menyisakan jurang perbedaan yang
menganga.
Karena itu ketidak-sambungan antara isi buku terjemahan dengan realitas sosial yang
ada pada gilirannya seringkali menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.
Apalagi bila terkait dengan masalah pemahaman (baca: fiqih) atas teks syariah yang
sangat kompleks.
Boleh jadi apa yang dirasakan dan dialami oleh seorang mufti berkebangsaan Arab di
negerinya seringkali sangat jauh berbeda dengan apa yang kita temui di negeri ini.
Sehingga kualitas sebuah fatwa terkadang ikut terasa hambar dan hampa.
Kadang apa yang dinilai sebagai sebuah kebiasaan di negeri Arab dipandang aneh oleh
bangsa kita lantaran jurang perbedaan 'urf dan budaya.
Sering apa yang oleh kita sesuatu yang amat biasa dan tidak masalah dipandang oleh
'beliau-beliau' di tanah Arab sana sebagai hal yang sangat aib.
Semua itu akan bermuara kepada satu alternatif kita butuh jawaban dan solusi
syariah tidak hanya sekedar produk impor dari luar. Kita butuh sebuah kajian yang
ikut memasukkan faktor-faktor lokal di dalamnya. Dan sayangnya untuk ukuran negeri
kita hal itu masih terasa kosong.
Kita punya banyak ustadz yang melek syariah, namun sayangnya kita belum lagi
mendapatkan hadiah karya tulis mereka yang bisa langsung kita nikmati.
Kita cenderung lebih menikmati pekerjaan menerjemahkan karya orang lain ketimbang
memproduksi sendiri sebuah karya. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi.
Buku yang di tangan Anda ini barangkali diniatkan untuk menjawab pertanyaan besar
itu. Ini adalah karya asli seorang Indonesia yang hidup di Indonesia dengan
realitas sosial yang juga sangat Indonesia.
Buku ini insya Allah diniatkan untuk dijadikan salah satu rujukan melengkapi sekian
banyak rujukan Ilmu Fiqih yang sudah ada sebelumnya dalam bahasa Indonesia dengan
taste Indonesia.
Namun seberapa pun juga luhurnya niat dan cita-cita, Penulis tetap sadar bahwa buku
ini hanyalah sebuah catatan kecil dari samudera Ilmu Fiqih yang sesungguhnya amat
luas. Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid kitab
yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang
tidak pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di muka bumi.
Sayangnya kebanyakan umat Islam malah tidak dapat menikmati warisan itu, karena
keterpurukan umat Islam sendiri, dan juga karena kendala bahasa. Padahal tak satu
pun ayat Al-Quran yang turun dari langit kecuali dalam bahasa Arab. Dan tak secuil
pun huruf keluar dari lidah Nabi kita SAW kecuali dalam bahasa Arab.
Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa Indonesia ini menjadi upaya seadanya
untuk mendekatkan umat ini dengan warisan agamanya. Tentu saja buku ini juga
diupayakan agar masih dilengkapi dengan teks berbahasa Arab agar masih tersisa mana
yang merupakan nash asli dari agama ini.
Buku ini hanya buku kecil dibandingkan kitab-kitab fiqih yang telah pernah ditulis
para ulama. Meski kalau ditotal dari jilid 1 hingga jilid 18 mencapai 7.100-an
halaman, namun angka ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan kitab-kitab yang
telah ditulis oleh para ulama terdahulu.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili menulis kitab Al-Fiqihul Islami wa Adillatuhu yang fenomenal
itu sebanyak 11 jilid setebal lebih dari 8.000 halaman. Beliau bahkan dalam satu
kesempatan pertemuan langsung dengan Penulis pernah menyebutkan telah menulis
banyak kitab, dengan total jumlah halaman yang pernah beliau tulis tidak kurang
dari 50.000 ribu halaman buku. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas amal beliau
dan memberkahi ilmu yang beliau ajarkan.
Manhaj Muqaranah dan Wasathiyah
Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih yang umumnya merujuk ke satu mazhab
tertentu, baik secara jujur menyebutkannya atau tanpa penyebutan, manhaj yang kami
gunakan adalah manhaj perbandingan (muqaranah) dan menggunakan pendapat yang
tengah-tengah (wasathiyah).
Yang Penulis maksud dengan manhaj muqaranah adalah memberikan perbandingan mazhab
dalam berbagai perbedaannya. Penulis berusaha untuk jujur dalam menyampaikan amanat
ilmu, dengan tidak hanya mencantumkan pendapat yang sekiranya sesuai dengan selera,
keinginan atau mazhab Penulis, tetapi pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab atau
ulama yang lain dimana mungkin Penulis tidak suka pun tetap dituliskan.
Hal itu mengingat bahwa Ilmu Fiqih adalah padang pasir yang amat luas, sehingga
Penulis berpandangan bahwa akan menjadi sangat berharga bila kita bisa
mempersembahkan secara apa adanya di tengah umat.
Apapun yang pernah diijtihadkan oleh para ulama, suka atau tidak suka, cocok atau
tidak cocok, tidak menjadi masalah. Tuliskan saja apa adanya secara jujur, toh
tidak ada ruginya. Yang penting, apa yang Penulis sampaikan itu memang benar-benar
hasil ijtihad para ulama yang original dan telah memenuhi semua persyaratan sebagai
mujtahid.
Maka kalau ada diantara pembaca yang sampai pusing membacanya karena ternyata dalam
satu masalah terdapat begitu banyak pandangan hukum dan mazhab, rasanya memang
Penulis harus meminta maaf.
Penulis bermaksud tidak hanya memberikan satu pendapat saja, tapi berupaya
memberikan beberapa pendapat bila memang ada khilaf di antara para ulama tentang
hukum-hukum tertentu dengan usaha untuk menampilkan juga hujjah masing-masing. Lalu
pilihan akan Penulis serahkan kepada para pembaca.
Dan yang Penulis maksud dengan manhaj washathiyah atau pendapat tengah-tengah
adalah Penulis tidak ingin membela mati-matian salah satu pendapat dengan menafikan
atau malah menjelekkan pendapat yang lain. Sebab karakteristik Fiqih Islam memang
tidak saling mencerca pendapat yang berbeda, sebaliknya justru saling menghargai
bahkan memuji pendapat yang berbeda. Toh, tidak ada untungnya menjelekkan pendapat
orang lain, sebagaimana tidak ada ruginya merendahkan hati untuk tidak memaksakan
pendapat kita kepada orang lain.
Memang tidak mudah bersikap tengah-tengah di tengah arus kuat yang inginnya membawa
kepada satu pendapat saja. Tetapi rasanya memang harus segera diperkenalkan manhaj
pertengahan ini, mengingat umat Islam tumbuh dengan berbagai mazhab dan pendapat
para ulama. Penulis ingin agar umat Islam bisa mendapatkan bacaan yang sekiranya
dapat memberikan horizon pandangan yang agak luas. Bukan hanya sekedar membela
pendapat kelompok sendiri, tetapi juga belajar untuk bisa membaca dan menganalisa,
bahkan kalau perlu, meminjam jalan berpikir saudara sendiri sesama muslim.
Dahulu cara pandangan seperti inilah yang diajarkan oleh para mujtahid dan fuqaha.
Semakin tinggi dan luas ilmu mereka, semakin tawadhu' dan rendah hati. Sebuah sikap
yang agak jarang kita temukan di masa sekarang ini.
Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat buat kita semua, bukan karena
sekedar dimengerti isinya, tetapi yang lebih penting dari itu dapat diamalkan
sebaik-baiknya dengan hati yang ikhlas karena Allah SWT
Semoga buku ini bisa menjadi penambah berat amal Penulis serta menjadi hujjah di
depan mahkamah ilahiyah di hari kiamat bahwa sebagian dari kewajiban yang ada di
pundak penulis sebagai thalibul-ilm telah dilaksanakan.
Terakhir Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
para guru yang telah mengajarkan alif-ba-ta ilmu syariah ini. Di antaranya adalah
Prof. Said Agil Al-Munawwar, lc. MA, Dr. Ahsin Sakho, lc., MA, Prof. Dr. Huzaemah T
Yanggo, Dr. Anwar Ibrahim Nasution, Dr. Maghfur, Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, MA,
Dr. Muchlish Hanafi, Lc., MA, Dr. Ahmad Fatoni, Lc.,MA, Dr. Faizah Ali Sibromalisi,
Lc., MA, Dr. Salim Segaf Al-Jufri.
Tidak lupa Penulis juga ucapkan terima kasih kepada para dosen dan guru dari luar
negeri, diantaranya Dr. 'Atho Sya'ban (Mesir), Dr. Umar Ridhwan (Palestina), Dr.
Ahmad Al-Khatam (Sudan), Dr. Salim Salamah (Mesir), Dr, Abdul Latif AL-Asymawi
(Mesir), Dr. Murad Haedar (Mesir), Dr. Hasan Hitou (Suriah) dan yang lainnya.
Dan last but not least, terima kasih yang setinggi-tingginya terutama kepada orang
tua saya, Drs. KH. M Machfudz Basir (alm) dan Ibunda H. Chodidjah Djumali, MA
(alm). Mereka berdua telah sejak dini menumpahkan ilmu dan kasih sayang kepada
saya. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka dan menjadikan kubur mereka
raudhah min riyadhil jinan, Amein Ya Rabbal 'Alamin.
Al-Faqir ilallah

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Daftar Isi
Pengantar Penerbit 7
Pengantar Penulis 13
Daftar Isi 21
Bagian Pertama Ilmu Fiqih 43
Bab 1 : Pengertian Fiqih 45
A. Fiqih 45
1. Bahasa 45
2. Istilah 46
B. Syariah 51
1. Bahasa 51
2. Istilah 51
C. Perbedaan Fiqih dan Syariah 52
1. Ruang Lingkup 52
2. Syariah Bersifat Universal 53
3. Fiqih Adalah Apa Yang Dipahami 54
D. Perbedaan Ilmu Fiqih Dengan Ilmu Lainnya 54
1. Ushul Fiqih 54
2. Ilmu Tafsir 55
3. Ilmu Hadits 55
E. Fiqih di Zaman Nabi 56
1. Penggunaan Istilah Fiqih di Masa Nabi 56
2. Fiqih Sudah Ada Sejak Zaman Nabi 56
F. Fiqih Yang Bukan Fiqih 60
1. Fiqih Siyasah 61
2. Fiqih Muwazanah 61
3. Fiqih Aulawiyat 62
4. Fiqih Dakwah 62
5. Fiqih Sirah 63
Bab 2 : Keistimewaan Fiqih 65
A. Bersumber Dari Wahyu 65
B. Hukum Dari Allah 66
C. Mencakup Semua Aspek Kehidupan 68
1. Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah 68
2. Al-Ahkam Al-Madaniyah 68
3. Al-Ahkam Al-Jina’iyah 68
4. Al-Ahkam Al-Murafa’at 69
5. Al-Ahkam Ad-Dusturiyah 69
6. Al-Ahkam Ad-Dauliyah 69
7. Al-Ahkam Al-Iqtishadiyah Wa A-Maaliyah 69
D. Penjabaran Quran dan Sunnah 69
E. Memberi Kemudahan 70
1. Fiqih dan Tasawuf 70
2. Keringanan Seusai Porsi 71
F. Fiqih Adalah Khazanah Islam Yang Luas 71
G. Mengikuti Perkembangan Zaman 72
Bab 3 : Mengapa Kita Wajib Belajar Ilmu Fiqih 73
A. Dalil Al-Quran 74
1. Dalil Pertama 74
2. Dalil Kedua 75
3. Dalil Ketiga 75
4. Dalil Keempat 76
B. Dalil As-Sunnah 76
1. Hadits Dicabutnya Ilmu 76
2. Hadits Fadhilah Orang Berilmu 77
3. Perintah Belajar Ilmu Faraidh 80
C. Ilmu Yang Matang 81
1. Ilmu Siap Pakai 81
2. Teruji Sepanjang 14 Abad 81
D. Lengkap 82
1. Implementasi Islam Kaffah 82
2. Fiqih Adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam 83
3. Kesimpulan Aturan Allah Dalam Quran Sunnah 84
E. Nasihat Ulama 85
Bab 4 : Menjawab Tuduhan Terhadap Fiqih 89
A. Fiqih Memalingkan Kita Dari Al-Quran dan As-Sunnah 89
1. Ilmu Hadits Bersandar Kepada Ulama 91
2. Membaca Al-Quran Bersandar Kepada Ulama 92
3. Tafsir Al-Quran dan Terjemahnya Juga Bersandar Kepada Ulama 92
B. Para Ulama Tidak Dijamin Selalu Benar dan Bisa Salah 92
1. Nabi Bermuka Masam 93
2. Tawanan Perang Badar 93
C. Fiqih Mengajarkan Perbedaan dan Perpecahan 95
1. Jumlah Ayat dalam Al-Quran Adalah Perbedaan 96
2. Bismillah Termasuk Surat Al-Fatihah atau Bukan? 97
3. Perbedaan Qiraat 97
4. Perbedaan Satu Ayat Dengan Ayat Lain 97
5. Perbedaan Dalam Keshahihan Hadits 100
D. Fiqih Mengurusi Masalah Yang Remeh 101
1. Ilmu Ada Urutannya 102
2. Shalat Yang Akan Ditanya Pertama Kali 102
E. Fiqih Meninggalkan Ibadah Sunnah 102
1. Ketebalan Iman Tiap Orang Berbeda-beda 103
2. Semangat Ibadah Tidak Selalu Membara 103
3. Jangan Sampai Meninggalkan Wajib 104
4. Ulama Fiqih Rajin Mengerjakan Sunnah 105
Bab 5 : Proses Terbentuknya Hukum Fiqih 107
A. Proses Terbentuknya Hukum 108
B. Sumber Yang Statis 109
1. Al-Quran dan As-Sunnah 109
2. Mutlak Kebenarannya 110
3. Statis 110
C. Realitas Kehidupan Yang Dinamis 111
1. Berbeda-beda 111
2. Dinamis 112
D. Ijtihad Ulama 113
1. Ahli Fiqih 114
2. Ilmu Istimbath Hukum 115
Bab 6 : Tema-tema Besar Fiqih 125
A. Ruang Lingkup 125
B. Bagian Pondasi 127
1. Fiqih Thaharah 128
2. Fiqih Shalat 129
3. Fiqih Zakat 131
4. Fiqih Puasa 132
5. Fiqih Haji 133
C. Bagian Bangunan Islam 135
1. Fiqih Muamalat 136
2. Fiqih Pernikahan 137
3. Fiqih Kuliner 139
4. Fiqih Pakaian, Perhiasan & Rumah 140
5. Fiqih Sembelihan 142
6. Fiqih Masjid 143
7. Fiqih Kedokteran 144
8. Fiqih Seni, Olahraga dan Hiburan 145
9. Fiqih Mawaris 146
D. Bagian Atap atau Pelindung 147
1. Fiqih Jinayat 147
2. Fiqih Jihad 148
3. Fiqih Negara 149
Bab 7 : Ilmu Ushul Fiqih 151
A. Pengertian 152
1. Ushul 152
2. Fiqih 152
3. Ushul Fiqih 153
B. Hubungan Fiqih dengan Ushul Fiqih 156
1. Pohon dan Akarnya 156
2. Produk dan Pabriknya 156
C. Sejarah Ilmu Ushul Fiqih 157
1. Ushul Fiqih di Masa Nabi SAW 157
2. Ushul Fiqih di Masa Shahabat 160
3. Ushul Fiqih pada Masa Perkembangan Islam 161
D. Ruang Lingkup Ilmu Ushul Fiqih 162
1. Dalil-dalil Hukum Syariah 163
2. Dalil-dalil Lafadz 163
3. Hukum Taklifi 164
4. Hukum Wadh’i 165
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah 167
A. Pengertian 168
1. Qawaid 168
2. Kaidah Fiqih 168
B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih 171
C. Manfaat, Objek dan Keutamaan 177
1. Manfaat 177
2. Objek 177
3. Keutamaan 178
4. Hubungannya dengan Ilmu lain 178
5. Perkembangan Kaidah 178
D. Kaidah Kubra Pertama 179
1. Kaidah Turunan Pertama 179
2. Kaidah Turunan Kedua 179
3. Kaidah Turunan Ketiga 180
E. Kaidah Kubra Kedua 181
1. Kaidah Turunan Pertama 181
2. Kaidah Turunan Kedua 182
3. Kaidah Turunan Ketiga 182
4. Kaidah Turunan Keempat 182
5. Kaidah Turunan Kelima 183
F. Kaidah Kubra Ketiga 183
1. Kaidah Turunan Pertama 183
b. Kaidah Turunan Kedua 184
3. Kaidah Turunan Ketiga 184
4. Kaidah Turunan Keempat 185
5. Kaidah Turunan Kelima 185
G. Kaidah Kubra Keempat 186
1. Kaidah Turunan Pertama 186
2. Kaidah Turunan Kedua 187
3. Kaidah Turunan Ketiga 187
4. Kaidah Turunan Keempat 187
5. Kaidah Turunan Kelima 188
6. Kaidah Turunan Keenam 188
H. Kaidah Kubra Kelima 189
1. Kaidah Turunan Pertama 189
2. Kaidah Turunan Kedua 190
3. Kaidah Turunan Ketiga 190
4. Kaidah Turunan Keempat 191
5. Kaidah Turunan Kelima 191
Bagian Kedua Sumber-sumber Fiqih 193
Bab 1 : Sumber-sumber Fiqih 195
A. Pengertian 195
1. Dalil 195
2. Syar'i 196
B. Pentingnya Mempelajari Sumber Fiqih 196
1. Menguatkan Hasil Ijtihad 196
2. Mengenalkan Luasnya Syariah Islam 197
3. Kuatnya Dalil 197
4. Kebutuhan Zaman dan Luasnya Penyebaran Islam 197
C. Sumber Fiqih Yang Disepakati 198
1. Pengertian 198
2. Yang Termasuk Sumber Fiqih Yang Disepakati 199
D. Sumber Fiqih Yang Tidak Disepakati 199
1. Pengertian 199
2. Yang Termasuk Sumber Yang Tidak Disepakati 199
Bab 2 : Al-Quran 201
A. Definisi Al-Quran 201
1. Bahasa 201
2. Istilah 201
B. Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab? 205
1. Bahasa Abadi 205
2. Kaya Kosa Kata 206
C. Keaslian Al-Quran 207
1. Ditulis Sejak Turun 207
2. Dijilid Dalam Satu Bundel 208
3. Distandarisasi Penulisannya 208
4. Dihafal Berjuta Manusia 208
D. Ayat-ayat Hukum 209
1. Pengertian Ayat Hukum 210
2. Jumlah Ayat Hukum 210
E. Kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum 211
1. Kitab Tafsir Mazhab Al-Hanafiyah 211
2. Kitab Tafsir Mazhab Al-Malikiyah 212
3. Kitab Tafsir Mazhab Asy-Syafi’iyah 212
4. Kitab Tafsir Mazhab Al-Hanabilah 213
5. Kitab Tafsir Hukum Tanpa Mazhab 214
6. Kitab Tafsir Hukum Modern 214
Bab 3 : As-Sunnah 217
A. Pengertian 217
1. Bahasa 217
2. Istilah 218
3. Hakikat As-Sunnah Adalah Wahyu Allah 220
B. Penggunaan Istilah Sunnah dan Hadits 220
1. Pengertian Al-Hadits 221
2. Kesamaan & Perbedaan Al-Hadits dan As-Sunnah 221
C. Inkarus-Sunnah 222
D. Kitab-kitab Hadits 225
1. Kitab Al-Jawami’ 225
2. Kitab Al-Masanid 226
3. Kitab As-Sunan 227
4. Kitab Mushannafat 228
5. Kitab Al-Mustadrakat 228
E. Hadits Shahih Masih Butuh Istimbath Hukum 228
1. Tidak Ada Ta'arudh 229
2. Tidak Mansukh 230
3. Tidak Ada Khilaf dalam Keshahihannya 232
F. Ilmu Kritik Hadits 233
1. Kritik Sanad 233
1. Ketersambungan Sanad 235
2. Al-Adalah Bagi Perawi 235
3. Ad-Dhabtu bagi Perawi 235
4. Tidak Ada Syadz 236
5. Tidak Ada ‘Illat 236
Bab 4 : Pembagian Hadits 237
A. Berdasarkan Jumlah Perawi 237
1. Hadits Mutawatir 238
2. Hadits Ahad 239
3. Ketentuan Umum Hadits Ahad 240
B. Berdasarkan Kualitas Periwayatan 240
1. Shahih 240
2. Hasan 241
C. Berdasarkan Tertolaknya Periwayatan 243
1. Hukum Menggunakan Hadits Dhaif 243
2. Penyebab Dhaifnya Suatu Hadits 244
D. Hadits Yang Lemah Dari Sisi Periwayatan 245
1. Hadits Mu'allaq 245
2. Hadits Mursal 245
3. Hadits Mu'dhal 246
4. Hadits Munqathi' 247
5. Hadits Mudallas 247
6. Hadits Mursal Khafi 250
7. Hadits Mu'an-'an 250
8. Hadits Mu’annan 252
E. Hadits Yang Lemah Dari Sisi Perawi 252
1. Maudhu' 252
2. Matruk 255
3. Hadits Munkar 256
4. Hadits Ma'ruf 257
5. Hadits Mu'allal 258
6. Hadits Mukhalif li-tsiqah 258
7. Hadits Syadz 263
F. Berdasarkan Diterima Sebagian dan Ditolak Sebagian 264
1. Hadits Marfu' 264
2. Hadits Mauquf 267
3. Hadits Maqthu' 268
4. Hadits Musnad 268
5. Hadits Ziyadatusiqat 269
Bab 5 : Ilmu Hadits & Ilmu Fiqih 272
A. Pendahuluan 272
1. Latar Belakang 272
2. Perumusan Masalah 273
3. Tujuan dan Manfaat 273
B. Hadits Yang Diterima dan Ditolak 274
1. Hadits Yang Diterima Periwayatannya 274
2. Hadits Yang Tertolak 276
C. Para Fuqaha dan Ilmu Hadits 277
1. Tokoh Fiqih Adalah Pendiri Ilmu Hadits 277
2. Para Ahli Hadits Bermazhab Fiqih 280
D. Hadis Shahih yang Tidak Diamalkan 286
1. Lima Hukum Yang Berbeda 286
2. Penyebab Suatu Hadits Tidak Diamalkan 288
E. Hadis Dhaif Tapi Diamalkan Para Ulama 290
1. Hadits Muadz Dikirim ke Yaman 290
2. Hadits Tentang Pinjaman Uang Yang Memberi Manfaat 292
3. Hadits Jual Beli Kali’ Dengan Kali’ 293
4. Hadits Tidak Ada Wasiat Buat Calon Ahli Waris 294
Bab 6 : Ijma' 297
A. Pengertian 297
1. Bahasa 297
2. Istilah 297
B. Kedudukan dan Masyru’iyah 298
1. Al-Quran 298
2. As-Sunnah 299
C. Mungkinkah Terjadi Ijma’? 301
D. Kehujjahan Ijma’ 302
E. Sandaran Ijma’ 302
1. Nash Al-Quran 302
2. Nash Al-Hadits 302
3. Qiyas 303
4. Ijtihad 303
F. Ijma’ Di Zaman Modern 304
1. Kemajuan Teknologi 304
2. Tantangan 306
Bab 7 : Qiyas 309
A. Pengertian Qiyas 309
1. Bahasa 309
2. Istilah 310
B. Dasar Penggunaan Qiyas 311
1. Perintah Mengambil I’tibar 311
2. Perintah Kembali kepada Allah dan Rasul 311
3. Perintah Ikut Istimbath 312
4. Perintah Mengganti Dengan Yang Setara 312
5. Perintah Untuk Belaku Adil 313
6. Perumpamaan dan Perbandingan Dalam Al-Quran 313
C. Rasulullah SAW Sebagai Guru Besar Qiyas 314
1. Hadits Muadz 314
2. Kasus Umar Mencium Istri Lagi Puasa 315
3. Ibu Wafat Punya Hutang Puasa 315
4. Ibu Wafat Punya Nadzar Haji 316
D. Rukun Qiyas 316
1. Al-Ashlu 316
2. Al-Far'u 316
3. Al-Hukmu 317
4. Al-'Illat 317
E. Syarat Qiyas 317
1. Syarat al-Ashlu 317
2. Syarat Hukmu al-Ashli 317
3. Syarat al-Far'u 318
4. Syarat 'illat 319
F. Kehujjahan Qiyas 320
Bab 8 : Contoh-contoh Qiyas 325
A. Contoh Qiyas Dalam Thaharah 325
1. Babi Najis Mughallazhah 325
2. Istinja’ Pakai Tisu Qiyas atas Batu 326
3. Tayammum Dua Tepukan 327
4. Tayammum Mengusap Tangan Sampai Siku 327
5. Darah Mengalir Keluar Batal Wudhu 328
6. Hilang Akal Membatalkan Wudhu 328
7. Larangan Pada Wanita Nifas 329
8. Sunnah Mandi Id Qiyas Mandi Jumat 329
B. Contoh Qiyas Dalam Shalat 330
1. Imam Shalat Diutamakan Quraisy 330
2. Shalat Jumat Dengan Zhuhur 330
3. Shalat Tahiyatul Masjid 331
4. Shalat Setelah Tayammum 331
5. Shalat Faza’ Qiyas dari Khusuf 332
6. Khutbah Hari Raya Dengan Khutbah Jumat 333
7. Qiyas Pada Adzan 334
C. Contoh Qiyas Dalam Puasa 334
1. Mencium Istri Tidak Batalkan Puasa 334
2. Fidyah Puasa Bagi Yang Menunda Qadha Hingga Ramadhan Berikutnya 335
3. Wanita Yang Menginginkan Jima Ramadhan Terkena Kaffarat 335
4. Sengaja Makan di Ramadhan Kena Kaffarat 335
D. Contoh Qiyas Dalam Zakat 336
1. Qiyas Beras Kepada Gandum 336
2. Qiyas Uang Kertas Kepada Emas dan Perak 336
E. Contoh Qiyas Dalam Haji 337
1. Badal Haji 337
2. Larangan Potong Buku dan Kuku Qiyas Atas Rambut 338
3. Qiyas Miqat Dzatu ‘Irqin 338
F. Contoh Qiyas Dalam Kuliner 339
G. Contoh Qiyas Dalam Jinayat 340
1. Hudud Pelaku Seks Sejenis 340
2. Qiyas Pembunuh Sengaja Atas Kekeliruan 342
3. Qiyas Pencuri Kain Kafan 342
Bab 9 : Al-Masalih Al-Mursalah 343
A. Pengertian 343
1. Bahasa 343
2. Istilah 343
B. Jenis-Jenis Maslahat 344
1. Dilihat Dari Sisi Kekuatannya 344
2. Dari Sisi Diakui atau Tidak Diakuinya Oleh asy-Syari’ 345
C. Kehujjahan al-Mashalih al-Mursalah 347
1. Mazhab Al-Hanafiyah 347
2. Mazhab Al-Malikiyah 347
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah 348
4. Mazhab Al-Hanabilah 348
5. Mazhab Zahiri 348
6. Ulama Kontemporer 348
D. Argumetasi Masing-masing 349
1. Argumentasi Yang Menolak 349
2. Argumentasi Yang Menerima 351
E. Syarat-Syarat Al-Mashalih Al-Mursalah 352
1. Sesuai Dengan Tujuan Syariah 353
2. Bisa Diterima Akal 353
3. Berlaku Umum 353
Bab 10 : Al-Istishhab 355
A. Pengertian 355
1. Bahasa 355
2. Istilah 355
B. Beberapa Contoh Istishab 356
1. Tidak Batalnya Wudhu 356
2. Tetapnya Kegadisan Wanita 356
3. Tidak Wajib Puasa kecuali Ramadhan 357
C. Rukun Istishab 357
1. Hukum Asli Yang Diyakini Kekuatannya 357
2. Hukum Turunan Yang Diragukan Kekuatannya 357
3. Keterkaitan Antara Keduanya 357
D. Jenis Istishab 357
1. Istishab Al-Baraah Al-Ashliyyah 358
2. Istishab Al-Ibahah Al-Ashliyah 358
3. Istishab Al-Hukm 358
4. Istishab Wasaf 358
E. Kehujjahan Istishab 359
1. Hujjah Mutlak 359
2. Hujjah Tidak Mutlak 359
3. Hujjah Untuk Menolak Bukan Untuk Itsbat 360
F. Beberapa Qawaid Fiqih Yang Terkait Istishab 360
1. Pertama 360
2. Kedua 360
3. Ketiga 360
4. Keempat 360
5. Kelima 360
6. Keenam 361
7. Ketujuh 361
8. Kedelapan 361
9. Kesembilan 361
10. Kesepuluh 361
Bab 11 : Saddu Adz-Dzari’ah 363
A. Definisi 363
1. Makna umum 363
2. Makna khusus 363
B. Kehujjahan Sadd adz-Dzarai' 363
1. Sadd adz-Dzarai' Merupakan Dalil Fiqih 363
2. Sadd adz-Dzarai' Bukan Merupakan Dalil Fiqih 366
C. Pembagian Adz-Dzarai' 368
1. Ulama Menyepakati Keharusan untuk Menutup 368
2. Ulama Sepakat Bahwa Ia Tak Perlu Ditutup 368
3. Ulama Berbeda Pendapat Tentang Keharusan Ditutup atau Tidaknya 368
Bab 12 : Al-'Urf 371
A. Pengertian 371
1. Bahasa 371
2. Istilah 372
B. Antara ’Urf dengan Adat : Berbeda Atau Sama? 372
1 Urf Sama Dengan Adat 373
2. Urf Berbeda Dengan Adat 373
3. Urf Bagian Dari Adat 374
C. Ciri Khas Urf 374
1. Fenomena Sosial Tidak Individual 374
2. Kebanyakan Dalam Muamalat 375
3. Umumnya Hanya Yang Dianggap Baik 375
4. Urf Tidak Terkait Dengan Perayaan Agama dan Munasabat 375
D. Masyru’iyah 375
1. Al-Quran 375
2. As-Sunnah 380
E. Kaidah Fiqhiyah Terkait Dengan Urf 380
1. Mazhab Al-Hanafiyah 380
2. Mazhab Al-Malikiyah 381
3. Mazhab Asy-syafi’iyah 381
4. Mazhab Hambali 381
F. Pembagian Urf 381
1. Qauli dan Urf Amali 382
2. Urf Aam dan Urf Khash 383
3. Urf Shahih dan Urf Fasid 384
G. Kedudukan Urf Sebagai Dalil Yang Berdiri Sendiri 384
1. Jumhur Ulama : Berdiri Sendiri 384
2. Asy-Syafi’iyah : Perlu Didukung Dalil Lain 385
H. Contoh Implementasi ’Urf Sebagai Dalil Hukum 386
1. Nilai Nafkah 386
2. Istri Boleh Mengambil Sebagian Harta Suami 386
3. Nilai Mut’ah 387
4. Pemeliharan Anak Yatim Boleh Makan Sebagian Harta 387
5. Nilai Upah Mantan Istri Yang Menyusui Anak 387
Bab 13 : Qaul Shahabi 389
A. Pengertian 389
1. Makna Qaul 389
2. Makna Shahabi 389
3. Makna Qaul Shahabi 391
B. Pembagian Pendapat Shahabat 392
1. Berita 392
2. Riwayat atas Berita 392
3. Pemahaman 392
C. Kehujjahan Qaul Shahabi 392
1. Pendapat Pertama 393
2. Pendapat Kedua 395
3. Pendapat Ketiga 396
4. Pendapat Keempat 396
5. Pendapat Kelima 397
6. Pendapat Keenam 397
D. Beberapa Contoh Fatwa Shahabat 397
1. Fatwa Aisyah 397
2. Fatwa Anas bin Malik 397
3. Fatwa Umar bin Al-Khattab 397
4. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas 398
Bab 14 : Syar'u Man Qablana 399
A. Pengertian 399
1. Syariat 399
2. Man Qablana 399
B. Macam-Macam Syar’u Man Qablana 400
1. Tidak Terdapat Dalam Al-Quran dan As-Sunnah 400
2. Ada Kepastian Mansukh atau Tidak Mansukh 400
3. Tidak Ada Kejelasan Hukum 403
C. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana 404
1. Tetap Berlaku 404
2. Tidak Berlaku 405
Bab 15 : Istihsan 407
A. Pengertian 407
1. Bahasa 407
2. Istilah 407
B. Sejarah Istihsan 408
C. Perbedaan Ulama Dalam Menerima Istihsan 409
1. Kalangan Yang Menerima 409
2. Kalangan Yang Menolak : Asy-Syafi'iyah 410
D. Istihsan Berdasarkan Dalil Yang Melandasinya 411
1. Istihsan Dengan Nash 412
2. Istihsan Dengan Ijma’ 412
3. Istihsan Dengan Kedaruratan 412
E. Pembagian Istihsan Menurut Hanafi 413
Bagian Ketiga Mazhab Fiqih 417
Bab 1 : Ijtihad 419
A. Pengertian 419
1. Bahasa 419
2. Istilah 419
3. Hubungan Ijtihad dengan Fiqih 423
B. Mengapa Ijtihad Dibutuhkan? 424
1. Ijtihad Tidak Sesederhana Yang Kita Bayangkan 424
2. Perintah Untuk Berijtihad 425
2. Ijtihad Dilakukan Oleh Rasulullah SAW 426
3. Ijithad Dilakukan Oleh Para Shahabat 427
4. Perubahan Zaman 429
5. Semakin Luasnya Negeri Islam 431
6. Keterbatasan Sumber Syariah 431
7. Luasnya Bidang Kehidupan 433
8. Kritik Hadits 434
C. Masyru'iyah 434
1. Al-Quran 435
2. Sunnah 435
3. Ijma' 437
D. Hukum Ijtihad 437
1. Ijtihad Wajib 437
2. Ijtihad Haram 437
E. Syarat Mujtahid 438
1. Beragama Islam 438
2. Shahihul Fahmi 438
3. Punya Ilmu Tentang Sumber-sumber Hukum Islam 439
4. Punya Pemahaman Bahasa Arab Yang Mendalam 441
5. Punya Keahlian Dalam Ilmu Ushul Fiqih 441
F. Peringkat Mujtahid 442
1. Mujtahid Mutlak Mustaqil 442
2. Mujtahid Muthlaq Ghairu Mustaqil 443
3. Mujtahid Muqayyad 444
4. Mujtahid Tarjih 444
5. Mujtahid Fatwa 445
6. Muqallid 445
7. Tabel 446
Bab 2 : Taqlid 449
A. Gerakan Tajdid 449
1. Anjuran Berijtihad 449
2. Meninggalkan Sikap Taqlid 449
3. Dogma Keharaman Taqlid 450
B. Pengertian Taqlid 451
1. Bahasa 451
2. Istilah 451
C. Pendapat Yang Mengharamkan Taqlid 452
1. Allah Mencela Taqlid 452
2. Para Imam Melarang Orang Bertaqlid Kepada Mereka 453
D. Pendapat Yang Membolehkan Taqlid 453
1. Perintah Allah Dalam Al-Quran 453
2. Taqlid Sesuatu Yang Mustahil Dihindari 454
3. Para Shahabat dan Tabi'in Bertaqlid Juga 454
E. Pendapat Yang Pertengahan 455
1. Taqlid Yang Haram 455
2. Taqlid Yang Wajib 457
3. Taqlid Yang Boleh 457
F. Antara Taqlid Dengan Ittiba' 458
Bab 3 : Perbedaan Pendapat Fuqaha 459
A. Pengertian 459
1. Bahasa 459
2. Istilah 459
B. Bolehkah Terjadi Perbedaan? 460
1. Pendapat Yang Tidak Membolehkan 460
2. Pendapat Yang Membolehkan 461
C. Batas Kebolehan Perbedaan Pendapat 471
1. Masalah Cabang dan Bukan Fundamental 471
2. Beda Pendapat Bukan Perpecahan 472
3. Beda Pendapat Bukan Permusuhan 473
4. Adab dan Akhlaq Berbeda Pendapat 474
D. Sebab Perbedaan Pendapat 476
1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Nash 476
2. Perbedaan Riwayat 477
3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum 477
4. Perbedaan Kaidah Ushul Fiqih 477
5. Ijtihad dengan Qiyas 478
6. Pertentangan Antar Dalil 478
Bab 4 : Mazhab Fiqih 481
A. Pengertian Mazhab 481
1. Bahasa 481
2. Istilah 481
B. Mazhab Fiqih Bukan Mazhab Aqidah 483
1. Tema Pembahasan Ilmu Kalam 483
2. Tema Pembahasan Ilmu Fiqih 483
C. Tasykik Atas Mazhab 484
1. Taqlid 484
2. Bid'ah 485
3. Fanatisme dan Perpecahan 486
4. Ketinggalan Zaman 487
D. Mengapa Kita Bermazhab? 488
1. Sanad Bersambung 488
2. Makhdumah 489
3. Mudallalah 490
4. Punya Akar Kepada Imam 490
5. Kurikulum Berkesinambungan 491
6. Terkodifikasi 492
7. Cara Bertahan 492
Bab 5 : Hukum Bermazhab 495
A. Merujuk Kepada Banyak Pihak Atau Yang Termudah 496
B. Pendapat Yang Harus Diikuti 497
C. Memilih Hanya Pendapat Yang Paling Ringan 498
1. Pendapat Mazhab Al-Hanabilah dan Al-Malikiyah 498
2. Penegasan Mazhab Al-Hanabilah 499
3. Penegasan Al-Malikiyah 499
4. Pendapat Sebagian As-Syafi’iyah Dan Al-Hanabilah: 499
D. Setia Pada Satu Mazhab : Antara Kewajiban dan Kenyataan 500
1. Tidak Ada Narasumber Kompeten 501
2. Tidak Ada Kitab Mazhab Lain 501
3. Tidak Ada Institusi atau Lembaga Pengajaran 502
4. Tinggal di Negara Multiple Mazhab 502
Bab 6 : Paham Anti Mazhab 505
A. Pengertian 505
B. Kurang Mengerti Hakikat Mazhab 505
1. Tertipu Slogan Kembali Kepada Al-Quran dan Sunnah 505
2. Mazhab Dianggap Taqlid 506
3. Mengidentikkan Mazhab Dengan Tradisi Jahiliyah 510
4. Dangkalnya Ilmu Agama 511
C. Anti Mazhab Merobohkan Islam 511
Bab 7 : Talfiq Antar Mazhab 515
A. Pengertian 515
1. Bahasa 515
2. Istilah 515
B. Batasan Talfiq 518
1. Bukan Masalah Qath'i 518
2. Bukan Pindah Mazhab 518
3. Dalam Satu Masalah 519
C. Contoh Talfiq 519
1. Masalah Wudhu 519
2. Masalah Rukun Nikah 520
3. Masalah Talak 521
4. Masalah Mabit di Muzdalifah 521
D. Bukan Termasuk Talfik 521
1. Mura’at Al-Khilaf 521
2. Ihdats Qaul Tsalis 522
3. Tatabbu’ Ar-Rukhash 523
E. Hukum Talfiq Antar Mazhab 524
1. Haram 524
2. Halal 525
3. Ada Yang Haram Ada Yang Halal 525
F. Hujjah dan Argumentasi Masing-masing Pihak 526
1. Yang Mengharamkan 526
2. Yang Menghalalkan 527
Bab 8 : Sejarah Awal Mazhab Fiqih 529
A. Mazhab di Masa Shahabat 530
1. Jumlah Shahabat 530
2. Shahabat Yang Mujtahid 531
3. Tiga Level Mujtahid di Kalangan Shahabat 531
B. Mazhab di Masa Tabi’in 532
1. Madinah 533
2. Mekkah 533
3. Kufah 534
4. Bashrah 534
5. Syam 534
6. Mesir 534
7. Yaman 535
C. Mazhab di Masa Berikutnya 535
Bab 9 : Mazhab Al-Hanafiyah 539
A. Pendiri : Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) 539
1. Apakah Abu Hanifah Termasuk Tabi’in? 539
2. Kufah 540
3. Guru-guru Abu Hanifah 541
4. Murid-murid Abu Hanifah 542
B. Ushul Mazhab 543
1. Ketat Dalam Menerima Hadits 543
2. Luas Dalam Menggunakan Qiyas 544
3. Al-Istihsan 544
4. Hilah Yang Bersifat Syar’i 545
C. Istilah dalam Mazhab Hanafi 547
D. Pendapat Yang Menyendiri 548
1. Tidak Menjaharkan Lafadz Amin 549
2. Mata Kaki ke Bawah Bukan Aurat Buat Wanita 549
3. Najis Sebesar Uang Logam 549
4. Tayammum Pengganti Wudhu Secara Permanen 549
E. Kitab Utama 550
1. Al-Jami' Ash-Shaghir 550
2. Al-Mukhtashar Al-Quduri 551
3. Al-Mabsuth 552
4. Badai' Ash-Shanai' 552
5. Bidayatul Mubtadi dan Syarahnya Al-Hidayah 553
6. Fathul Qadir 554
7. Ad-Dur Al-Muhtar wa Radd Al-Mukhtar 557
F. Ulama Mazhab Hanafi 558
1. Abu Yusuf (113-182 H) 558
2. Muhammad (132-189 H) 559
3. Zufar (110-158 H) 559
4. Al-Hasan (133-204 H) 559
G. Negeri Bermazhab Hanafi 560
Bab 10 : Mazhab Al-Malikiyah 561
A. Pendiri 561
B. Ushul Mazhab 561
C. Istilah dalam Mazdhab Maliki 562
D. Pendapat Yang Menyendiri 563
1. Tubuh Babi Hidup Tidak Najis 563
2. Tidak Najisnya Tubuh Anjing Kecuali Liurnya Saja 563
3. Kulit Bangkai Bila Disamak Tidak Bisa Menjadi Suci 564
4. Boleh Melafazhkan Niat 566
5. Warus Mengusap Seluruh Kepala 566
6. Wajib Tadlik 567
7. Sentuhan Kulit Batalkan Wudhu Bila Dengan Ladzah 567
8. Tidak Ada Batas Waktu 3 Hari Untuk Mengusap Khuf 569
9. Meletakkan Tangan Dulu Baru Lutut Waktu Sujud 569
E. Kitab Utama Mazhab Maliki 570
1. Al-Mudawwanah 570
2. Al-Wadihah dan Al-‘Atabiyyah 570
3. An-Nawadir 570
4. Jami‘ al-Ummahat atau Al-Mukhtasar al-Far‘i 570
5. At-Taudih 571
F. Ulama Mazhab Maliki 571
1. Hijaz dan Iraq 571
2. Magharibah dan Afrika Utara 572
3. Mesir 572
G. Negeri Bermazhab Maliki 572
Bab 11 : Mazhab Asy-Syafi’iyah 575
A. Pendiri 575
B. Ushul Mazhab 577
C. Istilah dalam Mazhab Syafi'i 577
D. Pendapat Yang Menyendiri 578
1. Air Mani Bukan Najis 578
2. Sucinya Kulit Bangkai Kecuali Anjing dan Babi 579
3. Bolehnya Menyapu Hanya Sebagian Kepala 580
4. Wajibnya Berkhitan 580
E. Mata Rantai Kitab 581
1. Al-Umm 581
2. Mukhtashar Al-Muzani 581
3. Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab 581
4. Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz dan Al-Khulashah 581
5. Al-Muharrar 582
6. Minhajut Thalibin 582
7. Al-Manhaj 582
8. Al-Aziz 582
9. Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin 582
F. Kitab Mazhab Syariah Sepanjang Zaman 583
1. Karya-karya Al-Imam Asy-Syafi’i 583
2. Karya-karya Ulama Syafi’iyyah Generasi Pertama 584
3. Karya Ulama As-Syafi’iyyah Generasi Kedua 586
4. Karya-karya Fiqih Perbandingan 589
5. Kitab Dengan Tematis 589
6. Kitab Yang Tidak Termasuk Dari Semuanya 590
7. Karya-karya Akhir Zaman 593
G. Istilah-Istilah Dalam Madzhab Asy-Syafi’iyah 595
1. Al-Aqwal 595
2. Al-Qaul al-Qadim 595
3. Al-Qaul al-Jadid 595
4. Al-Wujuh atau al-Aujuh 596
5. At-Thuruq 596
6. Al-Adhhar 596
7. Al-Masyhur 596
8. Al-Ashah 596
9. Ash-Shahih 596
10. Al-Madzhab 597
11. Al-Asybah 597
12. An-Nash 597
13. Al-Ashhab 597
H. Ulama Mazhab Syafi'i 597
I. Negeri Bermazhab Syafi'i 597
Bab 12 : Mazhab Al-Hanabilah 599
A. Pendiri 599
1. Nama dan Kelahiran 599
2. Berguru dan Belajar ke Manca Negara 599
3. Menjadi Imam Muhaddits 600
4. Kondisi Politik di Baghdad Masa Imam Ahmad 600
B. Ushul Mazhab dan Banyak Ikhtilaf 601
1. Ushul Mazhab 601
2. Banyak Ikhtilaf 601
C. Pendapat Khas Mazhab Al-Hanabilah 602
1. Kencing dan Kotoran Hewan Tidak Najis 602
2. Batalnya wudhu Bila Makan Daging Unta 602
3. Pendapat Bahwa Istilahah Tidak Mensucikan Najis 603
4. Hukum Istinja' Adalah Wajib 604
5. Tidak Sah Wudhu Dengan Air Yang Tidak Halal 605
6. Berkumur Ketika Wudhu' Hukumnya Wajib 605
7. Wajib Membasahi Jenggot Saat Berwudhu' 605
8. Wajib Membasuh Telinga Dalam Wudhu 606
9. Menyentuh Lawan Jenis Dengan Syahwat Membatalkan Wudhu' 606
10. Tayammum Cukup Satu Kali Tepukan dan Wajib Basmalah 608
11. Durasi Minimal Suci Dari Haidh 13 Hari 609
12. Basmalah Bagian Dari Al-Fatihah Tapi Dibaca Sirr 609
13. Dua Salam Adalah Rukun Shalat 609
14. Gerakan Jari Saat Tahiyat 609
15. Tahajjud Berjamaah Tidak Makruh 609
16. Waktu Jumat Sejak Pagi Bukan Sejak Zhuhur 610
17. Shalat Jumat Tidak Boleh Dijamak Dengan Ashar 610
18. Gugur Kewajiban Shalat Jumat Bila Jatuh di Hari Raya 612
19. Shalat Tarawih Jangan Kurang Dari 20 Rakaat Tapi Boleh Lebih 612
20. Qunut Witir Tiap Malam 613
D. Kitab Utama 613
1. Al-Adab Asy-Syar'iyah 613
2. Al-Furu' 613
3. Kasysyaf Al-Qinna' 'an Matnil Iqna' 613
4. Syarah Muntahal Iradat 613
5. Al-Muqni' 613
6. Al-Mughni fi Ushul Al-Fiqhi 613
8. Al-Inshaf 613
9. Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha 614
E. Ulama Mazhab Hanbali 614
1. Shalih bin Ahmad bin Hanbal (w. 266 H) 614
2. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal 614
3. Al-Atsram (w. 273 H) 614
4. Abdul Malik bin Al-Humaid bin Mahran Al-Maimuni (w. 274 H) 614
5. Abu Bakar Al-Marwadzi (w. 274 H) 614
6. Harb bin Ismail Al-Handhzali Al-Karmani (w. 280 H) 614
7. Ibrahim bin Ishak Al-Harbi (w. 285 H) 615
8. Al-Qadhi Abu Ya'la (w. 451 H) 615
9. Ibnu Qudamah (w. 620 H) 615
10. Ibnu Taimiyah (w. 751 H) 615
F. Negeri Bermazhab Hanbali 615
Bab 13 : Mazhab Fiqih Lainnya 617
A. Mazhab Zhahiri 617
1. Pendiri 617
2. Prinsip 617
3. Pengikut 618
B. Mazhab Syiah Az-Zaidiyah 618
C. Mazhab Syiah Imamiyah 619
1. Pendiri 619
2. Kitab 619
3. Prinsip 620
4. Beberapa Perbedaan 620
D. Mazhab Ibadliyah 620
1. Pendiri 620
2. Pendapat 620
3. Kitab 621
Bagian Keempat Rujukan Fiqih 623
Bab 1 : Kitab-kitab Fiqih 625
A. Kitab Mazhab Hanafi 626
B. Kitab Mazhab Maliki 628
C. Kitab Mazhab Syafi'i 631
D. Kitab Mazhab Hanbali 633
E. Kitab Fiqih Modern 635
1. Al-Fiqihul Islami wa Adillatuhu 635
2. Ensiklopedi Fiqih Kuwait 636
3. Al-Mufashshal 639
4. Fiqhus Sunnah 640
F. Kitab Fiqih Modern Tematik 642
1. Karya Dr. Yusuf Al-Qaradawi 642
2. Karya Jadil Haq Ali Jadil Haq 643
3. Karya Syeikh Mustafa Az-Zarqa’ 643
G. Kitab Digital 644
1. Al-Maktabah Syamilah 644
2. Format PDF 644
Bab 2 : Lembaga Fiqih 645
A. Tingkat Dunia 645
1. Mesir 645
2. Saudi Arabia 649
3. India : Majma’ Fiqih Islami fil Hind 652
4. Eropa : Al-Majelis Al-Urubi li Al-Ifta’ wa Al-Buhuts 652
5. Amerika : Majma’ Fuqaha As-Syariah bi Amrika 653
B. Indonesia 654
1. Majelis Bahsul Masail Nahdlatul Ulama 654
2. Majelis Tarjih Muhammadiyah 655
3. Badan Hisbah PERSIS 661
4. Majelis Ulama Indonesia 664
Bab 3 : Qanun & Taqnin Syariah 669
A. Pengertian 669
1. Bahasa 669
2. Istilah 669
B. Keistimewaan Qanun 670
1. Sistematis 671
2. Bersifat Mengikat 671
3. Terukur dan Detail 672
4. Memiliki Satu Wajah Yang Pasti 672
C. Qanun dan Syariah 672
1. Perbedaan Qanun dan Syariah 672
2. Peninggalan Sejarah 673
D. Perbedaan Pendapat Tentang Taqnin 673
1. Pendapat Yang Menolak 673
2. Pendapat Yang Mendukung 675
Bab 4 : Fatwa 679
A. Pengertian 679
1. Fatwa 679
2. Mufti 680
3. Perbedaan Fatwa Dengan Qanun, Qadha’ dan Ijtihad 681
B. Masyru’iyah 683
1. Al-Quran 683
2. As-Sunnah 684
C. Kemuliaan Orang Yang Memberi Fatwa 684
1. Ikut Dapat Pahala 684
2. Lebih Utama Dari Mendapat Unta Merah 685
3. Tingginya Derajat Orang Berilmu 685
4. Dimintakan Ampun Atas Dosa-dosanya 686
D. Yang Diharamkan Memberi Fatwa 686
1. Sengaja Berniat Merusak Agama 686
2. Kurangnya Ilmu 687
E. Persyaratan Mufti 689
1. Islam 689
2. Aqil 689
3. Baligh 690
4. Al-’Adalah 690
5. Ijtihad 691
F. Adab-adab Mufti 691
1. Pakaian 692
2. Perilaku 694
3. Niat 695
4. Tidak Tertekan 696
G. Upah, Hadiah dan Tunjangan 700
1. Menerima Upah Dari Mustafti 700
2. Menerima Hadiah Dari Mustafti 701
Penutup 703
Pustaka 705
Tentang Penulis 709


Bagian Pertama
Ilmu Fiqih


Bab 1 : Pengertian Fiqih


A. Fiqih
1. Bahasa
Kata fiqih (‫ )فقه‬secara bahasa punya dua makna, yaitu :
a. Sekedar Tahu
Sekedar tahu atau al-fahmu al-mujarrad (‫المجرد‬ ّ ‫ )الفهم‬tidak terlalu mengerti secara
mendalam. Kata fiqih yang berarti sekedar mengerti atau memahami, disebutkan di
dalam ayat Al-Quran Al-Kariem, yaitu ketika Allah menceritakan kisah kaum Nabi
Syu’aib alaihissalam yang tidak mengerti ucapannya.
‫يرا ِم َّما تَقُول‬ً ‫يب َما نَفقَ ُه ك َ ِث‬
ُ ‫قَال ُوا يَا ُش َع‬
“Mereka berkata: "Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu
katakan itu (QS. Hud: 91)
Di ayat lain juga Allah SWT berfirman menceritakan tentang orang-orang munafik yang
tidak memahami pembicaraan.
‫ون َح ِديث ًا‬
َ ‫ون يَفقَ ُه‬ ُ ‫ال َهُؤ ال ِء القَو ِم ال يَك‬
َ ‫َاد‬ ِ ‫ف ََم‬
Maka mengapa orang-orang (munafik) itu nyaris tidak memahami pembicaraan sedikit
pun?” (QS. An Nisa: 78)

b. Tahu Secara Mendalam


Tahu secara mendalam itu disebut juga dengan al-fahmu ad-daqiq (‫)الفهم الدقيق‬. Jadi
benar-benar mengerti akan suatu hal dan memahaminya secara mendalam, sebagaimana
kita temukan di dalam Al-Quran Al-Karim pada ayat berikut ini :
‫ون‬َ ‫َيهم ل ََعل َّ ُهم يَحذ َُر‬ ِ ‫َوم ُهم ِإ ذَا َر َج ُعوا ِإ ل‬َ ‫نذ ُروا ق‬ِ ُ ‫ين َولِي‬
ِ ‫الد‬ ُ ‫ون ِليَن ِف ُروا ك َا ّفَ ًة َفل َوال نَفَ َر ِمن ك ّ ُِل ِفرقَةٍ ِم‬
ّ ِ ‫نهم َطاِئفَ ٌة لِيَتَفَقّ َُهوا ِفي‬ ِ
َ ُ ‫المؤمن‬ ‫َان‬
َ ‫َو َما ك‬
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya. Mengapa dari tiap-tiap golongan
di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah : 122)
Dalam prakteknya, istilah fiqih ini lebih banyak digunakan untuk ilmu agama secara
umum, dimana seorang yang ahli di bidang ilmu-ilmu agama sering disebut sebagai
faqih, sedangkan seorang yang ahli di bidang ilmu yang lain, kedokteran atau
arsitektur misalnya, tidak disebut sebagai faqih atau ahli fiqih.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, kata fiqih didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai
definisi yang berbeda-beda. Sebagiannya lebih merupakan ungkapan sepotong-sepotong,
tapi ada juga yang memang sudah mencakup semua batasan Ilmu Fiqih itu sendiri.
Al-Imam Abu Hanifah (w. 150 H) punya definisi tentang fiqih yang unik, yaitu :
‫َيها‬
َ ‫عل‬ َ ‫َفس َمال ََها َو َما‬ ِ ّ ‫عر َف ُة الن‬
ِ ‫َم‬
Mengenal jiwa manusia terkait apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
Sebenarnya definisi ini masih terlalu umum, bahkan masih juga mencakup wilayah
akidah dan keimanan dan juga termasuk wilayah akhlaq. Sehingga fiqih yang dimaksud
oleh beliau ini disebut juga dengan istilah Al-Fiqh Al-Akbar (‫)الفقه األكبر‬.
Ada pun definisi yang lebih mencakup ruang lingkup istilah fiqih yang dikenal para
ulama adalah :
ِ ّ‫ب ِمن َأ ِدل َّ ِت َها الت‬
‫َفصيلِي َّ ِة‬ ُ ‫الع َملِيّ َ ِة‬
ُ ‫المكتَ َس‬ َ ‫رعيّ َ ِة‬
ِ ‫الش‬ َّ ‫لم بِاألحك َا ِم‬ ِ
ُ ‫الع‬
”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang
diambil dari dalil-dalil secara rinci,”

Penjelasan definisi:
a. Ilmu :
Fiqih adalah sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis dan memiliki
obyek dan kaidah tertentu.
Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga
bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-ritual. Fiqih juga bukan
seni yang lebih bermain dengan rasa dan keindahan.
Fiqih adalah sebuah cabang ilmu yang bisa dipelajari, didirikan di atas kaidah-
kaidah yang bisa dipresentasikan dan diuji secara ilmiyah.
Selama ini fiqih bukan saja menjadi nama sebuah mata kuliah, tetapi bahkan sudah
menjadi fakultas tersendiri yang diajarkan di berbagai universitas. Fiqih adalah
salah satu cabang ilmu pengetahuan yang bersifat akademis dan diakui secara ilmiyah
di dunia pendidikan secara internasional.
b. Hukum-hukum
Ilmu Fiqih adalah salah satu cabang ilmu, yang secara khusus termasuk ke dalam
cabang ilmu hukum. Jadi pada hakikatnya Ilmu Fiqih adalah ilmu hukum.
Kita mengenal ada banyak cabang dan jenis ilmu hukum, misalnya hukum adat yang
secara tradisi berkembang pada suatu masyarakat tertentu. Selain hukum adat, kita
juga mengenal hukum barat yang umumnya hasil dari penjajahan Belanda.
c. Syar’iyah
Hukum yang menjadi wilayah kajian Ilmu Fiqih adalah hukum syariat, yaitu hukum yang
bersumber dari Allah SWT serta telah menjadi ketetapan-Nya, dimana kita sebagai
manusia, telah diberi beban mempelajarinya, lalu menjalankan hukum-hukum itu, serta
berkewajiban juga untuk mengajarkan hukum-hukum itu kepada umat manusia.
Dengan kata lain, Ilmu Fiqih bukan ilmu hukum yang dibuat oleh manusia. Fiqih
adalah hukum syariat, dimana hukum itu 100% dipastikan berasal dari Allah SWT
Keterlibatan manusia dalam Ilmu Fiqih hanyalah dalam menganalisa, merinci, memilah
serta menyimpulkan apa yang telah Allah SWT firmankan lewat Al-Quran Al-Kariem dan
juga lewat apa yang telah Rasulullah SAW sampaikan berupa sunnah nabawiyah atau
hadits nabawi.
d. Amaliyah
Yang dimaksud dengan al-’amaliah adalah bahwa hukum fiqih itu terbatas pada hal-hal
yang bersifat fisik jasadiyah dan badaniyah, bukan yang bersifat ruh, perasaan,
atau wilayah kejiwaan lainnya.
Sebagaimana kita tahu hukum syariah itu cukup banyak wilayahnya, ada wilayah akidah
yang lebih menekankan pada wilayah keyakinan dan pondasi keimanan. Ada hukum yang
terkait dengan akhlak dan etika.
Dalam hal ini ilmu hukum fiqih hanya membahas hukum-hukum yang bersifat fisik
berupa perbuatan-perbuatan manusia secara fisik lahiriyah. Tegasnya, fiqih itu
hanya menilai dari segi yang kelihatan saja, sedangkan yang ada di dalam hati, atau
di dalam benak, tidak termasuk wilayah amaliyah.
e. Sumber : Dalil-dalilnya Yang Rinci
Banyak orang beranggapan bahwa Ilmu Fiqih itu sekedar karangan atau logika para
ulama, yang menurut mereka bahwa ulama itu manusia juga. Sedangkan yang berasal
dari Allah hanyalah Al-Quran, dan yang berasal dari Rasulullah SAW adalah Al-
Hadits.
Cara pemahaman seperti ini mungkin maksudnya benar tetapi agak kurang tepat dalam
memahaminya. Sesungguhnya Ilmu Fiqih itu 100% diambil dari Al-Quran dan Sunnah
Nabawiyah, sebagai sumber rujukan utama. Rasanya tidak ada yang menyalahi hal
prinsip ini.
Namun kita tahu bahwa tidak mudah memahami Al-Quran atau Al-Hadits begitu saja,
khususnya buat orang-orang yang awam dan tidak mengerti ilmu-ilmu dalam memahami
keduanya.
Kalau yang melakukannya orang awam atau orang ajam, apalagi jarak antara kita hidup
dengan masa turunnya Al-Quran sudah terpaut 14 abad lamanya. Ditambah lagi kita
punya perbedaan budaya dengan Rasulullah SAW.
Maka harus ada ilmu dan metode yang baku dan bisa dipertanggung-jawabkan untuk bisa
mengeluarkan kesimpulan hukum dari Al-Quran dan Sunnah.
Kalau boleh dibuat perumpamaan, Ilmu Fiqih itu ibarat ilmu tentang prakiraan cuaca.
Ilmu ini tentu bukan ilmu ramal meramal dengan menggunakan kekuatan ghaib. Ilmu ini
mengandalkan data dan fakta dari gejala-gejala di alam, yang sebenarnya semua orang
bisa melihat atau merasakannya. Misalnya arah hembusan angin dan kecepatannya,
kelembaban udara, tekanan, suhu, dan lainnya.
Bagi orang awam, walaupun mereka bisa melihat atau merasakan semua gejala alam itu,
namun mereka tidak akan bisa mengetahui bagaimana mengolah data-data gejala alam
itu secara akurat. Yang bisa mengolah data-data itu hanya mereka yang belajar ilmu
itu secara serius.
Kalau kita buka kitab suci Al-Quran atau membolak-balik kitab Shahih Al-Bukhari,
sebenarnya yang kita lakukan barulah membaca data mentah.
Kalau kita tidak mengerti bahasa Arab dengan seluk beluk sastranya, maka kita tidak
akan mengerti makna dan maksud serta kandungan hukum yang terdapat pada setiap ayat
dan hadits secara tepat dan mendasar.
Kalau kita tidak tahu latar belakang kenapa ayat itu turun, dan juga tidak punya
informasi kenapa Nabi SAW bersabda, tentu saja kita tidak punya pegangan dasar
tentang tujuan masing-masing dalil itu.
Satu hal lagi yang amat fatal, yaitu seringkali secara sekilas kita melihat atau
menyangka telah terjadi ketidak-singkronan antara satu ayat dengan ayat lainnya,
juga antara hadits yang satu dengan hadits lainnya. Bahkan antara ayat dan hadits
pun terkadang terjadi hal yang sama. Maka buat orang awam, seringkali terjadi
kekeliruan yang amat fatal.
Padahal yang sesungguhnya terjadi bukan tidak singkron, tetapi karena kita tidak
tahu konteks dari masing-masing dalil. Atau boleh jadi Nabi SAW berbicara dalam
waktu dan situasi yang berbeda.
Nabi SAW pernah ditanya shahabat, amal apa yang paling utama di sisi Allah. Jawaban
beliau adalah jihad di jalan Allah. Tetapi pada kesempatan yang lain, ketika
diajukan pertanyaan yang sama, jawaban beliau adalah berbakti kepada orang tua.
Bahkan pernah juga beliau hanya berpesan untuk tidak pernah berdusta selama-
lamanya.
Tentu saja orang awam akan bingung kalau membaca hadits-hadits yang sekilas
kelihatan berbeda itu. Tetapi dengan Ilmu Fiqih, kita jadi tahu bahwa jawaban yang
berbeda-beda itu disebabkan orang yang bertanya berbeda-beda.
Ternyata beliau SAW menjawab setiap pertanyaan itu berdasarkan kondisi subjektif
masing-masing penanya. Mereka yang kurang berbakti kepada orang tua, maka nasihat
beliau adalah disuruh berbakti. Buat mereka yang rada pengecut dan kurang punya
nyali, beliau anjurkan untuk berjihad di jalan Allah. Sedangkan buat pedagang
banyak bohongnya, nasehat beliau adalah jangan berdusta.
Kesimpulan :
Secara sederhana kita bisa simpulkan bahwa fiqih adalah kesimpulan hukum yang
bersifat baku dan merupakan hasil ijtihad ulama, dimana sumbernya adalah Al-Quran,
As-Sunnah, Al-Ijma, Qiyas dan dalil-dalil lainnya.
B. Syariah
Selain istilah fiqih, kita juga sering mendengar istilah yang mirip dan dekat
sekali, yaitu ’syariah’. Seringkali orang menyamakan antara fiqih dan syariah. Dan
hal itu wajar karena keduanya memang punya arti yang dekat sekali.
Bila masing-masing disebutkan terpisah, maknanya bisa saja sama. Tetapi ketika
keduanya dipertemukan dan disandingkan, ternyata keduanya punya perbedaan yang
nyata. Kira-kira mirip dengan penyebutan antara faqir dan miskin. Keduanya nyaris
serupa, tapi ternyata tetap berbeda. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa fakir
itu orang yang sama sekali tidak punya pemasukan, sedangkan miskin adalah orang
yang kekurangan tetapi masih punya pekerjaan atau penghasilan.
Untuk mengetahui apa saja persamaan dan perbedaan antara keduanya, yaitu antara
istilah fiqih dan syariah, maka kita bahas pengertian istilah syariah secara lebih
mendalam, sebagaimana kita sudah bicara tentang makna istilah fiqih sebelumnya.
1. Bahasa
Makna syariah dalam bahasa Arab sebagaimana orang-orang Arab di masa lalu memaknai
kata syariah ini, yaitu metode atau jalan yang lurus (‫)الطريقة المستقية‬.
Di dalam Lisanul Arab, kata syariah bermakna :
‫رب‬ ِ ‫لش‬ ُّ ِ‫قص ُد ل‬ َ ُ‫ور ُد الما َ ِء ال ّ َ ِذي ي‬
ِ ‫َم‬
Sumber mata air yang dijadikan tempat untuk minum.
2. Istilah
Secara istilah dalam Ilmu Fiqih, Syariah didefinisikan oleh para ulama sebagai :
‫الحيَا ِة‬
َ ‫امال َِت َواَألخال َقِ َو ِنظا َ ِم‬ َ ‫الم َع‬
ُ ‫ات َو‬
َ ‫اد‬ ِ ‫ِي ِم َن األنبِيَا ِء َس َواءٌ َما يَتَ َعل ّ َ ُق باِالِع ِتقَا ِد َو‬
َ َ‫العب‬ ٌ ّ ‫اء ب َِها نَب‬ ‫َأل‬
َ ‫الله لِ ِعبَا ِد ِه ِم َن ا حك َا ِم ال ّ َ ِتي َج‬
ُ ‫ع ُه‬
َ ‫اش َر‬
َ ‫َم‬
Apa yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya dari hukum-hukum yang
telah dibawa oleh Nabi dari para nabi, baik yang terkait dengan keyakinan, ibadah
muamalah, akhlaq dan aturan dalam kehidupan.
C. Perbedaan Fiqih dan Syariah
Dari definisi tentang syariah di atas, secara sekilas a bisa lihat perbedaan
mendasar antara fiqih dan syariah, yaitu dari segi ruang lingkup, sifat dan hakikat
masing-masing istilah itu.
1. Ruang Lingkup
Dari segi ruang lingkup, ternyata syariah lebih luas dari ruang lingkup fiqih.
Karena syariah mencakup masalah akidah, akhlaq, ibadah, muamalah, dan segala hal
yang terkait dengan ketentuan Allah SWT kepada hambanya.
Sedangkan ruang lingkup fiqih terbatas masalah teknis hukum yang bersifat amaliyah
atau praktis saja, seperti hukum-hukum tentang najis, hadats, wudhu’, mandi
janabah, tayammum, istinja’, shalat, zakat, puasa, jual-beli, sewa, gadai,
kehalalan makanan dan seterusnya.

Objek pembahasan fiqih berhenti ketika kita bicara tentang ha-hal yang menyangkut
aqidah, seperti kajian tentang sifat-sifat Allah, sifat para nabi, malaikat, atau
hari qiyamat, surga dan neraka.
Objek pembahasan fiqih juga keluar dari wilayah hati serta perasaan seorang
manusia, seperti rasa rindu, cinta dan takut kepada Allah. Termasuk juga rasa
untuk berbaik sangka, tawakkal dan menghamba kepada-Nya dan seterusnya.
Objek pembahasan fiqih juga keluar dari pembahasan tentang akhlaq mulia atau
sebaliknya. Fiqih tidak membicarakan hal-hal yang terkait dengan menjaga diri dari
sifat sombong, riya’, ingin dipuji, membanggakan diri, hasad, dengki, iri hati,
atau ujub.
Sedangkan syariah, termasuk di dalamnya semua objek pembahasan dalam Ilmu Fiqih
itu, plus dengan semua hal di atas, yaitu masalah aqidah, akhlaq dan juga hukum-
hukum fiqih.
2. Syariah Bersifat Universal
Syariah adalah ketentuan Allah SWT yang bersifat universal, bukan hanya berlaku
buat suatu tempat dan masa yang terbatas, tetapi menembus ruang dan waktu.
Kita menyebut ketentuan dan peraturan dari Allah SWT kepada Bani Israil di masa
nabi-nabi terdahulu sebagai syariah, dan tidak kita sebut dengan istilah fiqih.
Misalnya ketika mereka melanggar aturan yang tidak membolehkan mereka mencari ikan
di hari Sabtu. Aturan itu di dalam Al-Quran disebut dengan istilah syurra’a (‫)ش ّ َرع‬ ُ
yang akar katanya sama dengan syariah.
ً ‫يهم ِحيتَان ُ ُهم يَو َم َسب ِت ِهم ُش َّرعا‬ِ ‫بت ِإ ذ تَأ ِت‬ ِ ‫الس‬
َ ّ ‫ون ِفي‬ َ ‫عد‬
ُ َ ‫حر ِإ ذ ي‬ ِ ‫ع ِن القَري َ ِة ال ّ َ ِتي ك َانَت َح‬
ِ َ‫اض َر َة الب‬ ُ ‫وا َسَأ‬
َ ‫لهم‬
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut
ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu. (QS. Al-A’raf : 163)
Di dalam ayat yang lain juga disebutkan istilah syariah dengan pengertian bahwa
Allah SWT menetapkan suatu aturan dan ketentuan kepada para Nabi di masa lalu.
‫يسى‬ َ ‫وسى َو ِع‬ َ ‫يم َو ُم‬ َ ‫َيك َو َما َو ّ َصينَا ب ِِه ِإ‬
ِ ‫بر‬
َ ‫اه‬ َ ‫وحا َوال ّ َ ِذي َأ‬
َ ‫وحينَا ِإ ل‬ ً ُ ‫ين َما َو ّ َصى ب ِِه ن‬ ّ ِ ‫َش َر َع لَك ُم ِ ّم َن‬
ِ ‫الد‬
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. (QS. As-Syura : 13)
Karena itulah maka salah satu istilah dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan dalil
syar’u man qablana (‫)شرع من قبلنا‬, bukan fiqhu man qablana. Apa yang Allah SWT
berlakukan buat umat terdahulu disebut sebagai syariah, tetapi tidak disebut dengan
istilah fiqih. Semua ini menunjukkan bahwa syariah lebih universal dibandingkan
dengan fiqih.
3. Fiqih Adalah Apa Yang Dipahami
Perbedaan yang juga sangat prinsipil antara fiqih dan syariah, adalah bahwa fiqih
itu merupakan apa yang dipahami oleh mujtahid atas dalil-dalil samawi dan bagaimana
hukumnya ketika diterapkan pada realitas kehidupan, pada suatu zaman dan tempat.
Jadi pada hakikatnya, fiqih itu adalah hasil dari sebuah ijtihad, tentunya yang
telah lulus dari penyimpangan kaidah-kaidah dalam berijtihad, atas suatu urusan dan
perkara. Sehingga sangat dimungkinkan hasil ijithad itu berbeda antara seorang
mujtahid dengan mujtahid lainnya.
Sedangkan syariah lebih sering dipahami sebagai hukum-hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT dalam kehidupan ini. Pembicaraan tentang syariah belum menyentuh
wilayah perbedaan pendapat dan pemahaman dari para ahli fiqih.
D. Perbedaan Ilmu Fiqih Dengan Ilmu Lainnya
Sekarang mari kita bahas perbedaan antara Ilmu Fiqih dengan ilmu-ilmu lainnya,
yaitu Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Tafsir d¬an juga Ilmu Hadits.
1. Ushul Fiqih
Ilmu Ushul Fiqih punya hubungan erat dengan Ilmu Fiqih, yaitu sebagai landasan atau
pondasi dari tegaknya bangunan Ilmu Fiqih.
 Pohon dan Buah : Kalau diibaratkan Ilmu Ushul Fiqih sebagai pohon, maka Ilmu
Fiqih adalah buahnya.
 Pabrik dan Kendaraan : Kalau diibaratkan Ilmu Ushul Fiqih sebagai pabrik
mobil, maka Ilmu Ushul Fiqih adalah kendaraan yang berseliweran di jalan.
 Pondasi dan Bangunan : Kalau diibaratkan Ilmu Ushul Fiqih sebagai pondasi,
maka Ilmu Fiqih adalah bangunan yang berdiri di atas pondasi.
Dengan demikian, Ilmu Fiqih tidak mungkin ada kecuali lewat proses dari ilmu ushul
fiqih.
2. Ilmu Tafsir
Ilmu Tafsir adalah salah satu bagian dari ilmu-ilmu Al-Quran (ulum Al-Quran), yang
membahas tentang penafsiran dari ayat-ayat Al-Quran, baik tafsir ayat dengan ayat
ataupun ayat dengan hadits.
Ruang lingkup Ilmu Tafsir sangat luas dan punya banyak cabang. Namun tidak keluar
dari pembahasan seputar ayat-ayat Al-Quran Al-Karim yang berjumlah 6.000-an ayat
lebih.
Di antara sekian banyak cabang ilmu tafsir ada yang disebut dengan Tafsir Ayat
Ahkam. Tafsir ini hanya membahas ayat-ayat tertentu yang di dalamnya terkandung
berbagai masalah hukum syariah. Pada wilayah tafsir ayat ahkam inilah ada kaitan
antara ilmu tafsir dengan Ilmu Fiqih. Namun biar bagaimana pun Ilmu Fiqih tetap
jauh lebih lengkap dan lebih detail ketika bicara masalah hukum ketimbang tafsir
ayat ahkam.
3. Ilmu Hadits
Ilmu hadits terdiri dari banyak cabang, namun yang paling dekat dan terkait dengan
Ilmu Fiqih adalah cabang Hadits Ahkam. Di dalam ilmu tentang hadits ahkam dibahas
hadits-hadits yang mengandung nilai hukum.
a. Ulama Fiqih Juga Ulama Hadits
Para ulama fiqih banyak sekal yang sebenarnya juga merupakan ulama hadits. Bahkan
Al-Imam Asy-Syafi’i disepakati sebagai peletak dasar Ilmu Hadits. Demikian juga
dengan Al-Imam Ahmad yang sebaigan orang lebih mengenalnya sebagai ahli hadits.
b. Semua Ulama Hadits Pasti Bermazhab
Di sisi lain kita temukan banyak sekali para ulama ahli hadits yang juga merupakan
tokoh ulama fiqih dari mazhab tertentu. Diantaranya Al-Bukhari (w. 256 H)Muslim (w.
261 H) , At-Tirmizy (w. 279 H), Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H), Ibnu Hajar Al-
Asqalani (w. 582 H), Ibnu Ash-Shalah (w. 643 H), An-Nawawi (w. 676 H), Adz-Dzahabi
(w. 748 H), Asy-Suyuthi (w. 911 H) dan lainnya.
c. Kitab Hadits Disusun Berdasarkan Bab Fiqih
Banyak sekali kitab hadits yang disusun dengan berdasarkan bab-bab fiqih, yaitu bab
thaharah, shalat, puasa atau zakat, haji dan seterusnya. Kitab seperti ini disebut
sunan, contohnya adalah Sunan An-Nasa’i, Sunan Abu Daud dan Sunan Ibnu Majah.
Selain itu juga ada kitab Bulughul Maram, karya Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (w.
852 H), yang kemudian dibuat syarahnya oleh para ulama lain, salah satunya adalah
kitab Subulus-Salam, karya Ash-Sha'ani (w. 1182 H). Dan ada juga kitab Nailul
Authar yang disusun oleh Asy-Syaukani (w. 1250 H). Kitab ini sebenarnya merupakan
syarah atau penjelasan dari kitab hadits yang berjudul Muntaqa Al-Akhbar.
E. Fiqih di Zaman Nabi
Sebuah pertanyaan menarik untuk dibahas, apakah di masa Rasulullah SAW sudah ada
Ilmu Fiqih? Sebab kalau tidak ada, maka Ilmu Fiqih bisa dikategorikan sebagai
sesuatu yang diadakan kemudian. Tetapi kalau memang sudah ada, maka ceritanya akan
menjadi lain.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa memilahnya menjadi dua. Pertama, fiqih
dalam arti istilah. Kedua, fiqih dalam arti esensi. Namun intinya tetap sama, yaitu
di masa Rasulullah SAW sudah ada fiqih.
1. Penggunaan Istilah Fiqih di Masa Nabi
Di masa Rasulullah SAW sudah ada fiqih dalam arti istilah, meski maknanya tidak
sesuai dengan apa yang dimaksud dengan Ilmu Fiqih di masa sekarang. Jika kita temui
istilah fiqih (‫ ) ِفقه‬di masa Rasulullah SAW dan masa generasi pertama Islam, maka
yang dimaksud adalah ilmu agama secara keseluruhan.
Seorang faqih (‫ ) َف ِقيه‬adalah orang memiliki ilmu yang mendalam dalam agamanya dari
teks-teks agama yang ada dan ia mampu menyimpulkan menjadi hukum-hukum, pelajaran-
pelajaran, faidah yang terkandung dalam teks agama tersebut. Disebutkan dalam salah
satu hadits shahih bahwa ciri luar seorang ahli fiqih adalah :
‫قه ِه‬ َ ّ ‫ول َصال ِة‬
ِ ‫الر ُج ِل َو ِق َص ِر ُخطبَ ِت ِه َمِئن َّ ٌة ِمن ِف‬ َ ‫ِإ َّن ُط‬
Panjangnya shalat seseorang dan singkatnya khutbahnya adalah bagian dari fiqihnya
(HR. Muslim)
Jadi makna fiqih di masa pertama Islam mencakup seluruh masalah dalam agama Islam,
baik yang mencakup masalah akidah, ibadah, muamalat dan lain-lain. Karenanya, Abu
Hanifah menamai tulisannya tentang akidah dengan ’Al-Fiqh Al-Akbar’ (‫)الفقه األكبر‬.
2. Fiqih Sudah Ada Sejak Zaman Nabi
Seperti yang diuraikan di atas, bahwa fiqih adalah bagaimana kita memahami teks
syariah, baik Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga dapat ditarik kesimpulan hukum.
Dengan pengertian seperti ini, jelas bahwa di masa Rasulullah SAW sudah ada
fenomena fiqih dan ilmunya.
Buktinya, tidak semua shahabat Nabi SAW adalah orang yang punya tingkat pemahaman
yang mendalam. Sebagian dari mereka adalah orang-orang awam, yang tidak bisa begitu
saja mengamalkan isi Al-Quran, kalau tidak bertanya dulu kepada mereka yang ahli
fiqih, baik Rasulullah SAW atau shahabat yang punya ilmunya.
Hanya sebagian saja dari shahabat Nabi SAW yang termasuk ke dalam kategori ahli
fiqih. Sebagiannya lagi meski tetap berstatus shahabat, namun tidak dikategorikan
sebagai ahli di bidang Ilmu Fiqih.
Yang paling utama tentu adalah keempat shahabat yang menjadi khalifah rasyidah,
yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Al-Affan dan Ali bin
Abi Thalib ridhwanullahi 'alaihim. Dan justru karena kefaqihannya itulah mereka
dijadikan khalifatu-rasulillah.
Selain itu juga ada Abdullah bin Al-Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud
serta Abdullah bin Amr bin Al-Ash. Meski mereka tidak menjadi khalifah, namun Ilmu
Fiqih mereka diakui oleh banyak shahabat dan para tabi'in sesudah mereka.
a. Ijtihad Nabi SAW
Kita mencatat bahwa Rasulullah SAW pun berijtihad dalam beberapa wilayah dimana
tidak ada wahyu yang turun, atau setidaknya ketika wahyu terlambat turun. Misalnya
tentang hukum tawanan dalam Perang Badar, juga tentang posisi umat Islam dalam
perang itu. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah melakukan apa yang
menjadi intisari dari fiqih, yaitu berijtihad.
Dan dalam kesehariannya, ijtihad banyak diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para
shahabat. Misalnya, ketika ada yang bertanya tentang hukum mencium istri di siang
hari bulan Ramadhan. Beliau SAW tidak langsung menjawab hukumnya dengan kata iya
atau tidak. Beliau SAW malah balik bertanya tentang hukum berkumur ketika sedang
berpuasa, apakah membatalkan atau tidak.
Ketika shahabat itu menjawab tidak, maka Beliau SAW membuatkan benang merah, bahwa
kalau berkumur saja tidak membatalkan, maka begitu juga dengan mencium istri,
hukumnya tidak membatalkan.
Ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ahli ilmu ke Yaman,
beliau SAW menguji terlebih dahulu shahabatnya itu dengan pertanyaan :
‫ول الله‬ ِ ‫في ُسن ّ َِة َر ُس‬ ِ ‫ َفِإن ل َم تَجِ د‬ ‫اب الله ؟‬ ِ ‫في ك ِت‬ِ َ ‫َوال‬
”Dengan apa kamu putuskan perkara di antara mereka bila tidak ada di dalam Al-Quran
dan As-Sunnah?”.
Maka Muadz pun menjawab bahwa dirinya akan melakukan ijtihad. Dengan demikian, maka
pada hakikatnya fiqih sudah ada di masa Rasulullah SAW dan beliau sendiri
mengajarkannya dan juga langsung melakukannya. Dan demikian juga dengan para
shahabat.
b. Ijtihad Shahabat
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ridhwanullahi ’alaihim ajma’in tidaklah diangkat
menjadi khalifah pengganti Rasulullah SAW, kecuali karena mereka adalah ahli fiqih.
Dari mereka itulah kita menemukan begitu banyak hasil ijtihad, yang belum kita
temukan di masa Rasulullah SAW.
 Pengumpulan Mushaf di Masa Abu Bakar
Adanya pengumpulan sekian banyak shuhuf dan diikat menjadi satu bundel, tidak lain
adalah hasil ijtihad Umar bin Al-Khattab di masa khilafah Abu Bakar
radhiyallahuanhuma. Sebelumnya mushaf Al-Quran hanya berupa tulisan yang berserakan
di kulit, pelepah kurma, batu, kayu dan lainnya. Nabi SAW sendiri tidak pernah
memerintahkan penulisan Al-Quran dalam satu bundel.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu menyebutkan tentang jasa Abu Bakar dalam
pengumpulan mushaf, sebagaimana disebutkan dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
‫أعظم الناس أجرا ً في المصاحف أبو بكر رحمة الله على أبي بكر هو أول من جمع بين اللوحين‬
Orang yang paling besar pahalanya dalam masalah mushaf adalah Abu Bakar. Semoga
Allah merahmatinya, beliaulah yang pertama kali menghimpun Al-Quran dalam dua
covernya.
 Shalat Tarawih Berjamaah di Masa Umar
Dihidupkannya kembali shalat tarawih berjamaah di masjid adalah hasil ijtihad Umar,
setelah sebelumnya shalat itu tidak pernah diadakan sejak bertahun-tahun sejak
Rasulullah SAW pertama kali melakukannya yang hanya tiga malam saja.
‫ِي‬
ُّ ‫لى النَّب‬َّ ‫ َص‬ ‫الراب َِع ِة‬ َّ ‫َاس ث ُّمَ اجتَ َم ُعوا ِم َن اللَّيل َِة الثَّالِث َِة َأ ِو‬ ُ ّ ‫لى ِم َن ال َقا ِبل َِة َوكَث َُر الن‬َ ّ ‫اس ث ُّمَ َص‬ ُ َ ‫لى ب َِصال َ ِت ِه ن‬ َ ‫في المـَسجِ ِد ذ‬
َّ ‫َات ل َيل َةٍ ف ََص‬ ِ
‫ول الله‬ ُ ‫َيهم َر ُس‬ ِ ‫خرج ِإ ل‬ ‫ي‬ ‫َم‬ ‫ل‬ ‫ف‬
َ . ‫ض‬َ َ ‫ر‬ َ ‫ت‬ ‫ف‬ُ ‫ت‬ ‫ن‬‫َأ‬ ‫يت‬
ُ ‫ش‬ ِ ‫خ‬
َ ‫ني‬ ‫َأ‬ َ ّ ‫ال‬ ‫ِإ‬ ‫ُم‬ ‫ك‬ ‫َي‬ ‫ل‬ ‫ِإ‬ ‫وج‬
ِ ‫ر‬ ‫الخ‬
ُ ‫ن‬
َ ‫م‬ِ ‫عني‬
ِ َ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫َم‬ ‫ل‬ ‫ف‬
َ ‫م‬ُ ‫ت‬ ‫ع‬َ ‫ن‬ ‫ص‬
َ ‫ي‬ ‫ذ‬ِ َ ّ ‫ل‬‫ا‬ ‫يت‬
ُ َ ‫َأ‬‫ر‬ ‫َد‬ ‫ق‬ : َ ‫َفل ََّما َأصبَ َح ق‬
‫َال‬
ُ َ ِّ ُ َ
‫في َر َم َضان‬ ِ ‫ َو َذلِ َك‬:‫عل َيك ُم ـ قال‬ َ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW pada suatu malam pernah
melaksanakan shalat, kemudian orang-orang shalat mengikuti beliau. Kemudian Beliau
SAW shalat lagi pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya tambah
banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat, namun
Rasulullah SAW tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Dan di pagi harinya,
Rasulullah SAW berkata, “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak
ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat) bersama kalian kecuali lantaran Akau
khawatir shalat itu diwajibkan.” Perawi hadits berkata, "Hal tersebut terjadi di
bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para shahabat yang lahir setelah peristiwa itu tidak mengalami adanya shalat
tarawih berjamaah di masjid. Keadaan itu terus berlangsung sampai beliau SAW wafat
menemui Allah SWT. Dua tahun selama masa pemerintahan Abu Bakar radhiyallahuanhu
juga tidak ada yang menjalankan shalat tarawih berjamaah di masjid.
Hingga datang masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahuanhu yang menghidupkan
lagi sunnah tersebut seraya mengomentari,”Ini adalah sebaik-baik bid'ah”. Maksudnya
bid‘ah secara bahasa yaitu sesuatu yang tadinya tidak ada lalu diadakan kembali.
Semenjak itu, umat Islam hingga hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan
sebutan shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam Ramadhan.
 Pemakaian Rasam Utsmani di Masa Utsman
Ijtihad di masa Utsman adalah distandarisasikannya tulisan atau rasam mushaf Al-
Quran dan disebut secara resmi dengan istilah rasam Utsmani. Dengan catatan apabila
ada perbedaan qiraat yang bersumber asli dari Rasulllah SAW, yang mana berarti itu
memang juga bersumber dari Allah SWT, maka tetap diadaptasi tulisannya sesuai
dengan qiraatnya yang berbeda-beda.
Sehingga kemudian dipatenkan 6 macam mushaf yang berbeda satu sama lain, karena
mengadaptasi qiraat yang berbeda tersebut. Masing-masingnya kemudian dikirim ke
berbagai negeri yang disesuaikan dengan ragam qiraat yang diajarkan oleh para aguru
qiraat masing-masing.
Di masa kepemimpinan Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu kita juga
menemukan banyak sekali ijtihad yang mereka lakukan. Semua membuktikan bahwa baik
di masa Rasulullah SAW maupun di masa para shahabat, fiqih sudah dipakai dan
dijalankan. Ini menegaskan bahwa fiqih bukan sesuatu yang baru datang kemudian.
c. Ijtihad di Masa Berikutnya
Kemudian di masa berikutnya, apa yang menjadi ijtihad selama ini kemudian disusun
sedemikian rupa, dibuatkan kaidah-kaidahnya, dan dibuatkan pula contoh-contoh
hasilnya dalam kitab yang tersusun rapi. Maka kemudian orang mengenal hal tersebut
sebagai sebuah cabang ilmu, yang kita kenal dengan Ilmu Fiqih. Masa ini adalah masa
dimana keempat imam mazhab itu hidup, mereka mencurahkan segala tenaga dan
pikirannya untuk menyusun bangunan Ilmu Fiqih secara modern.
Kemudian selama 14 abad berikutnya hingga sekarang ini, Ilmu Fiqih menjadi
referensi hukum yang sangat lengkap dan akan berlangsung hingga hari kiamat. Ini
karena Fiqih memiliki sifat universal dan komprehensip, sebab syariat Islam
merupakan agama terakhir di bumi.
F. Fiqih Yang Bukan Fiqih
Untuk lebih mendalami tentang apa yang dimaksud dengan ilmu fiqih dan membedakannya
dengan ilmu-ilmu lainnya, mari sejenak kita buat beberapa perumpamaan.
 Ilmu Siasat : Ilmu teknik bersiasat dan strategi menghadapi musuh, jelas
bukan wilayah bahasan ilmu fiqih. Hukum perang adalah objek kajian ilmu fiqih,
tetapi bagaimana teknis menembak musuh dan trik strategi perangnya, nah itu ada
disiplin ilmu tersendiri. Itu bukan fiqih.
 Ilmu Bermusik : Hukum main musik itu objek kajian ilmu fiqih. Tapi bagaimana
tehnik main drum, gitar dan bas, ilmu layak gitu namanya ilmu musik. Itu bukan ilmu
fiqih.
 Ilmu Memasak : Hukum makanan halal haram itu objek kajian ilmu fiqih. Tetapi
bagaimana trik memasak daging sapi beku bagi chef di dapur, ilmu namanya ilmu masak
memasak. Itu bukan fiqih.
 Ilmu Marketing : Hukum jual-beli barang itu objek kajian dalam ilmu fiqih.
Tapi bagaimana cara memasarkan dagangan biar cepat laris dan meluaskan area
pemasaran, itu namanya ilmu dagang dan marketing. Itu bukan ilmu fiqih.
Dewasa ini berkembang di tengah umat Islam beberapa kajian yang menggunakan
istilah fiqih, namun tidak mengacu kepada pengertian fiqih sebagai disiplin ilmu
hukum syariah praktis. Di antaranya fiqih siyasah, fiqih muwazanah, fiqih aulawiyah
dan juga fiqih dakwah.
1. Fiqih Siyasah
Banyak orang mengira kajian fiqih siyasah sebagai bagian dari ilmu hukum syariah
terkait dengan politik. Ternyata setelah diikuti, sama sekali tidak ada pembahasan
tentang hukum-hukum syariah. Yang ada sebenarnya diskusi-diskusi politik praktis
semata, seperti bagaimana memenangkan pemilu dan mendapatkan suara yang banyak.
Atau bagaimana bisa mendapatkan jabatan-jabatan politis dalam suatu pemerintahan.
Ada pun kajian fiqih dalam arti hukum-hukum syariah yang bersifat praktis, nyaris
tidak tersentuh. Sehingga bisa dikatakan meski menggunakan nama fiqih, sebenarnya
kajian ini bukan bagian cabang dari ilmu fiqih yang kita kenal secara baku.
2. Fiqih Muwazanah
Kita juga seingkali mendengar kajian yang diberi judul : fiqih muwazanah. Kata
muwazanah ini maksudnya tidak lain adalah pertimbangan-pertimbangan yang perlu
dijalankan dalam membuat keputusan. Kalangan yang biasa menggunakan istilah ini
umumnya bermaksud memberi berbagai pertimbangan dalam menetapkan arah misi gerakan
mereka.
Namun kita tidak akan mendapatkan pembahasan terkait dengan hukum-hukum halal haram
di dalam kajian fiqih muwazanah ini. Kita tidak akan menemukan status hukum wajib,
sunnah, mubah, makruh atau pun haram di dalamnya. Kita juga tidak akan menemukan
kutipan dari para ulama fiqih seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i atau pun
Hambali. Kita juga tidak akan menemukan rujukan sebagaimana kajian dalam ilmu
fiqih, seperti kitab-kitab fiqih para ulama dari masing-masing mazhabnya.
3. Fiqih Aulawiyat
Dr. Yusuf Al-Qaradawi punya sebuah buku yang diberi judul Fiqih Aulawiyat. Kalau
kita telaah dari awal hingga akhir buku itu, kita akan mendapatkan banyak sekali
kajian terkait bagaimana kita membuat skala prioritas dengan kriteria-kriteria
tertentu.
Namun prioritas ini sifatnya merupakan konsentrasi aktifitas dakwah dan pergerakan,
tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum syariah yang bersifat amaliyah sebagaimana
ruang lingkup baku disiplin ilmu fiqih.
Kesimpulannya, meskipun menggunakan kata fiqih, namun fiqih aulawiyat pada dasarnya
bukan bagian dari tema dalam disiplin ilmu fiqih yang kita kenal sepanjang sejarah.
4. Fiqih Dakwah
Istilah fiqih dakwah kebanyakan berisi prinsip-prinsip dalam berdakwah, tujuan umum
dan khusus, tata cara dan teknik berdakwah, marhalah serta metodologi dalam
berdakwah. Kadang juga bisa tentang problem-problem dakwah, tantangannya hingga
rahasia sukses dalam berdakwah.
Lagi-lagi tidak ada kajian yang terkait dengan hukum-hukum syariah praktis dalam
kajian fiqih dakwah ini.
5. Fiqih Sirah
Ada beberapa buku berjudul fiqih sirah yang ditulis beberapa penulis kontemporer.
Di antaranya fiqih Sirah yang ditulis oleh Dr. Muhammad Al-Ghazali, salah satu
aktifis ikhwan di Mesir.
Dilihat dari pembahasannya, bukunya itu lebih banyak berbicara dengan sejarah Nabi
Muhammad SAW, sebagaimana umumnya buku-buku sejarah beliau yang lain. Adapun kajian
tentang hukum-huku fiqihnya, justru kita tidak terlalu banyak menemukannya.
Agak sedikit berbeda dengan karya Dr. Said Ramadhan Al-Buthi, ketika kita baca buku
beliau yang juga berjudul Fiqih Siroh juga, kita menemukan ada beberapa kajian
tentang hukum-hukum fiqih di sepanjang perjalanan kehidupan Rasulullah SAW.

Bab 2 : Keistimewaan Fiqih


Ilmu Fiqih adalah ilmu yang istimewa, unik dan punya banyak kelebihan. Sayangnya
musuh-musuh Islam banyak yang menuding bahwa fiqih tidak lebih dari sekedar hasil
karangan manusia biasa, tanpa ada kaitannya dengan wahyu. Bahkan tidak jarang
mereka menuduh bahwa fiqih itu produk dari tarik menarik urusan politik, yang
dihasilkan sekedar untuk membela kepentingan satu pihak dan menjatuhkan pihak
lawannya. Seolah-olah fiqih itu sampah yang harus dibuang jauh dari wilayah agama.
Dalam bab ini kita akan membahas hal apa saja yang menjadi keistimewaan Ilmu Fiqih
ini.
A. Bersumber Dari Wahyu
Ilmu Fiqih bersumber dari wahyu Allah SWT dan bukan buatan manusia. Namun
sayangnya, para orientalis banyak mencoba menutupi realita ini. Mereka seringkali
menghujamkan tuduhan keji kepada Ilmu Fiqih dan para ulamanya dengan menuduh bahwa
Ilmu Fiqih tidak lebih sekedar hasil karya manusia biasa hidup jauh sepeninggal
Rasulullah SAW dan para shahabat.
Lebih jauh mereka bahkan sampai hati mencemooh para penyuusn kitab fiqih sebagai
para penjilat penguasa, yang dibayar dengan harga yang pantas untuk meligitimasi
kezaliman dan keangkara-murkaan para penindas rakyat.
Menurut mereka kelahiran Ilmu Fiqih baru muncul di masa kehidupan empat imam
mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah (70-150 H), Al-Imam Malik (93-179 H), Al-Imam
Asy-Syafi’I (150-202 H) dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H).
Tuduhan seperti ini -sayangnya- disenangi oleh banyak mahasiswa muslim yang
mendapat beasiswa untuk belajar di negeri para orientalis. Dan tanpa punya rasa
kritis dan cemburu sedikit pun, para mahasiwa yang lugu itu pun menjadi pemuja dan
pembela pemikiran para orientalis, bahkan membanggakan diri sebagai murid dan kader
mereka.
Dan yang paling menjadi korban atas tuduhan negatif ini tidak lain adalah umat
Islam sendiri, khususnya mereka yang kurang mendapatkan akses terhadap Ilmu Fiqih
sejak kecil. Mereka yang baru hijrah dan agak sedikit lebih sadar mendekatkan diri
kepada masalah agama. Dahulu mereka sempat melewati masa-masa kurang akses terhadap
ilmu agama. Mereka inilah yang paling banyak menjadi korban, karena mendapatkan
informasi sepotong-sepotong dan tidak utuh, bisa menangkap sepintas-kilas saja.
Mereka rentan untuk dibelokkan pemikirannya lewat kampanye negatif yang tidak
bertanggung-jawab dari para orientalis dan sekuleris.
Lalu kita akan terkaget-kaget mendengar beragam tuduhan miring keluar dari mulut
mereka. Baru saja belajar mengeja alif ba ta kemarin sore dan belum lancar
melafadzkan Al-Quran, tiba-tiba sudah pandai mencaci maki para ulama dan dengan
seenak menuduh Ilmu Fiqih sebagai produk bid’ah yang harus diperangi dan rentan
kesalahan.
Padahal Ilmu Fiqih bukan semata-mata karangan manusia, dan kemunculannya juga bukan
di masa yang jauh dari Rasulullah SAW hidup. Dan Ilmu Fiqih tidak punya latar
belakang kisah penjilatan kepada para penguasa. Keempat imam mazhab itu, tidak ada
satu pun yang menjadi mufti suatu kerajaan atau menjadi penasehat khalifah
tertentu.
Sebenarnya Ilmu Fiqih adalah ilmu yang sudah ada di masa Rasulullah SAW, yang lahir
lalu tumbuh berkembang bersama dengan perjalanan dakwah Rasulullah SAW dan para
shahabat. Karena itu kita mengenal istilah fiqih para shahabat, misalnya Fiqih Abu
Bakar, Fiqih Umar, Fiqih Ustman dan juga Fiqih Ali. Rupanya mereka pun ahli fiqih
yang juga sekaligus menjadi pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin umat.
Sumber Ilmu Fiqih juga bukan otak dan logika manusia belaka. Tetapi sumber Ilmu
Fiqih murni Al-Quran dan As-Sunnah yang diterima lewat sanad yang shahih, dan
kemudian dipahami dengan manhaj yang telah dibakukan secara ilmiyah dan diterima
oleh seluruh umat Islam.
B. Hukum Dari Allah
Berbeda dengan undang-undang buatan manusia, atau yang sering disebut sebagai al-
ahkam al-wadl’iyah (‫)األحكام الوضعية‬, yang bersumber dari akal dan nalar manusia, Ilmu
Fiqih bersumber dari wahyu Allah, yaitu Al-Quran dan Sunnah.
Setiap ahli fiqih atau mujtahid pasti memiliki kemampuan untuk mengambil kesimpulan
hukum dari sumber fiqih yang ada, dan mereka semua terikat dengan Al-Quran dan As-
Sunnah. Tidak satu pun dari mereka yang hanya sekedar menuruti logika belaka dan
atau sekedar berlandaskan kepada filsafat. Kesimpulan hukum yang dihasilkan
merupakan makna turunan secara langsung atau sesuai dengan ruh syariat, atau tujuan
umum dari syariat Islam.
Karena sumber fiqih adalah wahyu Allah, maka ia sangat sesuai dengan tuntutan
manusia dan kebutuhan manusia secara keseluruhan. Sebab Allah SWT adalah Pencipta
manusia yang mengetahui seluk-beluk manusia itu sendiri, baik yang lahir atau yang
batin. Allah menciptakan syariat yang lengkap mengatur seluruh bidang kehidupan
manusia. Allah berfirman :
‫يف الخبِير‬ ُ ‫َأال َ يَعل َُم َمن َخل ََق َو ُه َو الل َّ ِط‬
Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui ; dan Dia Maha Halus lagi Maha
Mengetahui? (Al Mulk: 14)
‫السبُ ُع ِإ ال ّ ما ذك ّيتُم‬ ّ ‫تردي ُة والن ّ ِطيح ُة وما أكل‬ ّ ِ ‫والم‬
ُ ‫والمنخ ِنق ُة والموقُوذ ُة‬ ُ ‫غير الل ِّه ب ِِه‬ ِ ‫ير وما ُأ ِه ّل ِل‬ ِ ‫نز‬ ِ
ِ ‫الخ‬ ‫ولحم‬
ُ ‫والد ُم‬
ّ ‫ُح ِ ّرمت عليك ُُم الميت ُة‬
‫أكملت لك ُم‬
ُ ‫اليوم‬ ‫واخشون‬
ِ ‫م‬ ‫تخشوه‬
ُ ‫فال‬ ‫ُم‬ ‫ك‬ ِ
‫ن‬ ‫ي‬ ِ
‫د‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫وا‬ ‫كفر‬
ُ ‫ين‬ ِ
‫ّذ‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫س‬ ‫ِئ‬ ‫ي‬ ‫اليوم‬ ‫سق‬
ٌ ِ
‫ف‬ ‫ُم‬ ‫ك‬ ِ ‫ل‬‫ذ‬ ‫م‬
ِ ‫ِاألزال‬‫ب‬ ‫وا‬ ‫م‬ ُ ِ
‫تستقس‬ ‫وأن‬ ‫ب‬ ِ ‫ُص‬
ُ ّ ‫وما ُذبِح على الن‬
‫يم‬‫ح‬ِ
ٌ ّ ٌ ‫ر‬ ‫ور‬ ‫ف‬
ُ ‫غ‬ ‫ّه‬ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ن‬ّ ‫ِإ‬‫ف‬ ‫ثم‬
ٍ ّ
‫ِإ‬ ِ ‫ل‬ ‫ف‬
ٍ ِ
‫ن‬ ‫تجا‬‫م‬ُ ‫غير‬ ٍ‫مخمصة‬ ‫ي‬ ِ
‫ف‬ ‫ر‬ ‫اضط‬
ّ ُ ‫فمن‬
ِ ‫ا‬ً ‫ن‬ ‫ي‬ ِ
‫د‬ ‫سالم‬ ‫ِإل‬‫ا‬ ‫ُم‬
ُ ‫ك‬‫ل‬ ‫يت‬
ُ ِ
‫ورض‬ ‫ي‬ ِ
‫ت‬ ‫عم‬ ِ
‫ن‬ ‫ُم‬ ‫ك‬ ‫علي‬ ‫وأتممت‬
ُ ‫ِدينك ُم‬
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk
berhala. Dan mengundi nasib dengan anak panah , adalah kefasikan. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-
Maidah: 3)
Jika dibandingkan dengan undang-undang dan hukum yang dibuat manusia, perbedaan
antara keduanya sangat jauh, seperti bedanya antara Pencipta jagad raya, Allah
SWT, dengan makluknya yang kecil.
Hukum yang dibuat manusia banyak kelemahan dan keterbatasan karena ia produk akal
manusia yang serba terbatas. Akal manusia tidak mengetahui hakikat jiwa manusia dan
kebutuhan dirinya sesuai dengan fitrah penciptaan yang digariskan oleh Allah.
Sehingga hasil pikiran manusia banyak yang tidak sesuai dengan tabiat manusia itu
sendiri.
Jalan satu-satunya adalah kembali kepada hukum yang diciptakan oleh Allah, Tuhan
Yang Maha Tahu tentang manusia.
C. Mencakup Semua Aspek Kehidupan
Ilmu Fiqih bisa dibagi menjadi dua bab besar, yaitu ibadah dan muamalat. Bidang
ibadah biasanya terkait dengan ritual-ritual ibadah yang bersifat tauqifi (‫)توقيفي‬
dan ghairu ma’qul al-makna (‫)غير معقول المعنى‬. Dan bidang muamalat biasanya terkait
dengan hal-hal yang bersifat ijtihadi (‫ )إجتهادي‬dan ma’qul al-makna (‫)معقول المعنى‬.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili membagi hukum-hukum muamalat dibagi-bagi oleh ulama menjadi
beberapa bab:
1. Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah
Bab ini terkait dengan berbagai masalah keluarga, seperti hukum-hukum pernikahan,
talak, nasab, nafkah, warisan. Hukum-hukum ini bertujuan mengatur hubungan antara
suami istri dan kekerabatan yang lebih dikenal dengan "hukum perdata".
2. Al-Ahkam Al-Madaniyah
Maknanya adalah hukum-hukum kemasyarakatan. Bab ini terkait dengan transaksi
personal berupa jual beli, sewa menyewa, pergadaian, kafalah, asuransi, kerja sama,
hutang piutang, dan lainnya.
Hukum-hukum ini bertujuan mengatur hubungan personal dari sisi harta dan keuangan
sehingga hak-hak masing-masing terjaga.
3. Al-Ahkam Al-Jina’iyah
Maknanya adalah hukum-hukum kriminalitas, baik terkait dengan tindak melanggar
hukum yang dilakukan oleh seseorang atau pun juga terkait dengan sanksi yang
dikenakan.
Tujuan dari hukum ini adalah menjaga eksistensi kehidupan manusia, harta,
kehormatan dan hak-hak mereka, memberi kepastian hubungan antara korban kriminal
dan pelaku serta menciptakan keamanan. Setidaknya menurut para ulama, di dalam Al-
Quran terdapat kurang lebih sekitar 30-an ayat yang terkait dengan hukum-hukum
kriminalitas.
4. Al-Ahkam Al-Murafa’at
Bab ini terkait dengan hukum-hukum dibidang peradilan seperti tuntutan hukum,
persaksian, sumpah, dan lain-lain.
Tujuannya adalah mengatur prosedur penegakan keadilan antara menusia dengan syariat
Islam. Konon, di dalam Al-Quran terdapat kurang lebih sekitar 20-an ayat yang
berbicara mengenai masalah ini.
5. Al-Ahkam Ad-Dusturiyah
Hukum yang terkait dengan perundang-undang yang mengatur antara penguasa dan rakyat
dan menjelaskan hak dan kewajiban indifidu dan kelompok.
6. Al-Ahkam Ad-Dauliyah
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negara Islam dengan negara lainnya terkait
dengan perdamaian dan perang, hubungan antara warga negara non muslim dengan negara
Islam yang ia tinggali, hukum-hukum jihad dan perjanjian. Tujuannya agar tercipta
kerja sama, saling menghormati antar satu negara dengan lainnya.
7. Al-Ahkam Al-Iqtishadiyah Wa A-Maaliyah
Hukum-hukum yang terkait dengan hak-hak indifidu terhadap harta benda
(kepemilikan), hak-hak dan kewajiban negara di bidang harta benda, pengaturan
sumber kekayaan negara dan anggaran-anggarannya.
Tujuannya adalah mengatur hubungan kepemilikan antara orang yang kaya dan miskin
dan antara negara dengan warga negara.
Ini mencakup harta benda negara, seperti harta rampasan, pajak, kekayaan alam,
harta zakat, sadakah, nazar, pinjaman, wasiat, laba perdagangan, harta sewa
menyewa, perusahaan, kaffarat, diyat dan lain-lain.
D. Penjabaran Quran dan Sunnah
Salah satu keistimewaan fiqih adalah merupakan penjabaran lebih lanjut tentang
hukum-hukum yang ada dalam Quran dan Sunnah. Meski pun suatu masalah tidak
disinggung secara eksplisit dalam keduanya, namun dengan adanya ijtihad fiqhiyah
yang dilakukan oleh ahlinya, maka apa yang secara eksplisit tidak terdapat dalam
teks, ternyata tetap bisa terjangkau secara hukum.
Hal itu bisa kita temukan dalam kisah Muaz bin Jabal yang diutus oleh Rasulullah
SAW ke negeri Yaman, sebuah negeri yang saat itu belum menjadi negeri Arab dan
penduduknya memeluk agama nasrani.
ِ
‫الله‬ ‫ول‬
ِ ‫رس‬ ُ ‫ فب ُِسن ّ ِة‬: ‫الله ؟ قال‬ ِ ِ ‫في ك ِت‬
‫اب‬ ِ
ِ ‫ فِإن لم تجِ د‬: ‫قال‬. ‫الله‬ ِ ‫أقضي ب ِك‬
‫تاب‬ ِ : ‫ع ِرض لك قضاء ؟ قال‬
ُ ‫تقضي ِإ ذا‬
ِ ‫ كيف‬
‫ول الله‬ ‫رس‬
ِ ُ ِ
‫ة‬ ‫ن‬ ‫س‬
ّ ُ ِ ‫في‬ ‫د‬ ِ‫تج‬ ‫لم‬ ‫ن‬ ‫ِإ‬ ‫ف‬ : ‫قال‬  ‫آلو‬ ‫وال‬ ‫رأي‬
ِ ‫د‬
ُ ‫أجته‬
ِ : ‫قال‬ ‫؟‬ ‫الله‬ ‫اب‬
ِ ِ
‫ت‬ ‫ك‬ ‫في‬
ِ ‫وال‬
Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya,"
Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau? Muaz
menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana
jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Saya akan putuskan dengan sunnah
Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan
dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan
berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan (HR Abu Daud)
Maka segala masalah yang hanya ada di negeri Yaman serta tidak ada hukumnya secara
eksplisit dalam teks Quran dan Sunnah, tetap terjangkau hukum-hukum fiqih.
E. Memberi Kemudahan
Satu hal yang patut dicatat bahwa fiqih punya prinsip untuk memberi kemudahan dan
keringanan kepada manusia dan sifatnya tidak membebani.
1. Fiqih dan Tasawuf
Salah satu perbedaan utama antara fiqih dan tasawuf bahwa kebanyakan ajaran tasawuf
mengajarkan kesempurnaan dalam beribadah. Meski memang baik, namun tidak semua
kalangan mampu melaksanakannya. Sementara fiqih hanya mengajarkan batas minimal
dalam beribah, yang mana tidak ada alasan bagi siapa saja untuk mengabaikannya.
Fiqih tidak mengharuskan umat Islam untuk memperbanyak shalat siang dan malam,
tetapi hanya mewajibkan lima kali saja dalam sehari semalam. Fiqih tidak
mengharuskan khusyu’ dalam shalat agar shalatnya diterima. Sementara tasawuf sejak
awal mengharuskan khusyu’ dan dianggap sebagai syarat diterimanya shalat.
Dalam Ilmu Fiqih, orang yang sedang berpuasa tidak batal puasa kalau hanya sekedar
membayangkan menu berbuka puasa sore nanti, sementara ilmu tasawuf mengajarkan
bahwa puasa itu bukan hanya lahiriyah tapi juga batiniyah. Maka kalau siang hari
membayangkan menu buka puasa, sudah dianggap rusak puasanya.
2. Keringanan Seusai Porsi
Di dalam Al-Quran Allah SWT telah menegaskan bahwa Islam itu tidak memberatkan.
‫العسر‬
ُ ‫يد ِبك ُُم‬
ُ ‫يد الل ُّه ِبك ُُم اليُسر وال يُ ِر‬ُ ‫ي ُ ِر‬
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS.
Al-Baqarah: 185)
Namun keringanan dari Allah SWT itu ada aturan-aturannya sendiri, dimana tidak
boleh seseorang lantas main atur sendiri berbagai macam keringanan sesuai
seleranya.
Ketika seseorang sakit dan tidak mampu berdiri untuk shalat, dia dibolehkan shalat
sambil duduk, jika tidak mampu duduk, maka dengan berbaring. Namun kebolehan ini
ada syarat dan ketentuannya. Tidak boleh hanya karena alasan macet lalu kita shalat
sambil duduk di jok mobil, padahal masih sangat memungkinkan untuk turun dan shalat
dengan sempurna.
Demikian juga dengan keringanan terkait dengan tayammum, ada aturan dan
ketentuannya, sehingga tidak setiap saat kita boleh bertayammum seenaknya. Semua
ada aturannya. Demikian juga dengan keringanan lainnya seperti shalat qasar, jama',
qadla', dan lain-lain. Juga ada keringanan dalam puasa, zakat, kaffarat (denda)
akibat kesalahan yang dilakukan.
F. Fiqih Adalah Khazanah Islam Yang Luas
Sepanjang sejarah, tidak ada referensi dan karangan yang sarat dengan khazanah ilmu
dan pemikiran melebihi fiqih. Disana akan ditemui segala macam pandangan ulama dari
berbagai mazhab dan aliran.
Dalam Islam ada empat aliran fiqih besar dan masing-masing madzab itu memiliki
riwayat dan pendapat, baik yang disepakati atau yang dipersilihkan dan setiap
pandang memiliki alasan dan dalil.
Setiap masalah dalam kehidupan manusia seakan tak luput dari pembahasan fiqih dari
masalah yang terkecil hingga terbesar.
G. Mengikuti Perkembangan Zaman
Fiqih memiliki kaidah yang tidak akan berubah hingga akhir zaman, seperti kaidah;
transaksi harus dilakukan saling ridla, pemberian ganti rugi jika ada kerusakan,
pemberantasan criminal, pemeliharaan hak-hak, tanggung jawab individu.
Sementara fiqih yang didasarkan atas qiyas, masalih mursalah, dan adat istiadat
bisa berubah sesuai dengan kebutuhan zaman dan kemaslahatan manusia, dengan batasan
yang tidak bertentangan dengan syariat.

Bab 3 : Mengapa Kita Wajib Belajar Ilmu Fiqih

Bab ini akan membahas sebuah pertanyaan kecil tapi penting, yaitu kenapa kita harus
belajar fiqih?
Ada banyak alasan yang bisa menjadi latar belakang kenapa kita sebagai muslim wajib
belajar Ilmu Fiqih, baik alasan yang berdasarkan dalil-dalil syar’i seperti Al-
Quran dan As-Sunnah, atau pun yang sifatnya dengan melihat realitas kehidupan.
Dan ada begitu banyak dalil yang mewajibkan kita untuk belajar Ilmu Fiqih, baik
dalil yang bersumber dari Al-Quran maupun dari As-Sunnah. Kewajiban yang diberikan
itu terkadang dalam bentuk konteks individu yang hukumnya menjadi fardhu ‘ain,
namun terkadang juga menjadi kewajiban yang bersifat kolektif, sehingga hukumnya
menjadi fardhu kifayah.
A. Dalil Al-Quran
Ada begitu banyak dalil dari Al-Quran yang mewajibkan umat Islam mempelajari Ilmu
Fiqih. Di antaranya dalil yang bersumber dari firman Allah SWT adalah :
1. Dalil Pertama
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Al-Kariem :
‫ليهم ل ََعل َّ ُهم يَحذ َُرون‬
ِ ‫َوم ُهم ِإ ذا َ َر َج ُعوا ِإ‬ ِ ُ ‫ين َولِي‬
َ ‫نذ ُروا ق‬ ّ ِ ‫نهم طاَِئف ٌة لِيَتَفَقّ َُهوا ِفي‬
ِ ‫الد‬ ُ ‫ؤمنُون ِلين ِف ُروا كآ ّف ًة َفل َوال َ نَفَ َر ِمن ك ّ ُِل ِفرقةٍ ِم‬
ِ ُ ‫َو َما كا ََن المـ‬
Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-
tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah : 122)
Allah SWT di dalam ayat ini menyinggung tentang adanya kewajiban selain dari perang
atau jihad di jalan Allah, yaitu mendalami masalah ilmu agama.
Allah SWT menggunakan istilah li-yatafaqqahu (‫ )ليتفقهوا‬yang punya akar kata faqiha -
yafqahu, yang senada dengan akar kata istilah fiqih itu sendiri. Ayat ini tegas
menyebutkan keharusan adanya thaifah (‫)طائفة‬, yaitu sekelompok orang, dari masing-
masing firqah (‫)فرقة‬, atau kumpulan orang-orang, untuk belajar Ilmu Fiqih.
Kesimpulan dari ayat ini adalah keharusan adanya sekelompok orang dari umat Islam
yang berkonsentrasi melakukan tafaqquh di dalam urusan agama, di luar dari orang-
orang yang ikut bepergian ke luar kota untuk berjihad di jalan Allah.
Kalau jihad itu punya kedudukan sangat mulia di dalam agama Islam, maka belajar
mendalami ilmu agama ternyata juga punya kedudukan yang juga mulia, setidaknya
kurang lebih sejajar.
Ayat ini jelas-jelas membandingkan antara kewajiban berjihad di jalan Allah yang
pahalanya begitu besar di satu sisi, dengan kewajiban untuk menuntut ilmu agama di
sisi yang lain.
Kalau kita bandingkan antara jumlah orang awam dan jumlah para ulama, kita akan
menemukan perbandingan yang jauh dari proporsional. Dengan kata lain, ulama di masa
sekarang ini termasuk ‘makhluk langka’ bahkan nyaris punah.
Maka memperbanyak jumlah ulama serta menyebar-luaskan ilmu-ilmu syariah menjadi hal
yang mutlak dilakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT tentang keharusan
adanya sekelompok orang yang berkonsentrasi mendalami ilmu-ilmu syariah.
Mempejari Islam adalah kewajiban pertama setiap muslim yang sudah aqil baligh.
Ilmu-ilmu ke-islaman yang utama adalah bagaimana mengetahui kemauan Allah SWT
terhadap diri kita. Dan itu adalah ilmu syariah.
2. Dalil Kedua
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Al-Kariem :
‫ون‬
َ ‫كر ِإ ن ك ُنتُم ال َ تَعل َُم‬ِ ‫أهل ال ِ ّذ‬
َ ‫فَاسأل ُوا‬
...Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak
mengetahui (QS. An-Nahl : 43)
Kesimpulan dari ayat ini adalah bahwa bertanya kepada orang yang punya ilmu
hukumnya wajib bagi mereka yang tidak punya ilmu. Dan bertanya kepada ahli ilmu
tidak lain adalah belajar dan menuntut ilmu agama.
Paling tidak, setiap muslim wajib melakukan thaharah, shalat, puasa, zakat dan
bentuk ibadah ritual lainnya. Dan agar ibadah ritual itu menjadi sah dan diterima
oleh Allah SWT, tidak boleh dilakukan dengan pendekatan improvisasi atau sekedar
menduga-duga semata. Harus ada dasar dan dalil yang jelas dan kuat. Karena ibadah
ritual itu tidak boleh dilakukan kecuali sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW.
Dan penjelasan secara rinci dan detail tentang bagaimana format dan bentuk ibadah
yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau hanya ada dalam syariat Islam.
3. Dalil Ketiga
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Al-Kariem :
‫ون‬
َ ‫ين ال َ يَعل َُم‬ َ ‫ون َوال ِّذ‬ َ ‫ين يَعل َُم‬ َ ‫قُل َهل يَستَ ِوي ال ِّذ‬
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?". (QS. Az-Zumar : 9)
Di dalam ayat ini Allah SWT jelas-jelas membedakan antara orang yang berilmu dan
orang-orang yang tidak berilmu. Dan perbedaan yang disampaikan dalam bentuk
pertanyaan ini mengandung pesan, bahwa tiap muslim diwajibkan untuk menjadi orang
yang berilmu. Dan ilmu yang dimaksud terutama adalah ilmu agama, kemudian ilmu-ilmu
lainnya.
4. Dalil Keempat
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Al-Kariem :
‫ات‬ٍ ‫لم َد َر َج‬ ِ ‫ين ُأوتُوا‬
َ ‫الع‬ َ ‫آمنُوا ِمنك ُم َوال َّ ِذ‬ َ ‫ين‬ َ ‫يَرف َِع الل َّ ُه ال ّ َ ِذ‬
Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
memiliki ilmu beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah : 11)
Ayat ini seolah menguatkan ayat sebelumnya, bahwa Allah SWT meninggikan derajat
orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat. Di dalamnya terdapat isyarat yang
menunjukkan anjuran untuk belajar ilmu agama.
Sesungguhnya masih banyak ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan pentingnya seseorang
memiliki ilmu agama, namun agar tulisan ini tidak terlalu panjang, Penulis cukupkan
pada empat ayat di atas saja.
B. Dalil As-Sunnah
Sedangkan dalil-dalil yang mewajibkan kita belajar Ilmu Fiqih yang berupa dalil-
dalil dari sunnah nabawiyah terlalu banyak. Untuk itu Penulis hanya akan
menyinggung beberapa saja di antaranya :
1. Hadits Dicabutnya Ilmu
Betapa pentingnya belajar Ilmu Fiqih, tergambar dari perintah Rasulullah SAW dalam
hadits beliau yang menggabarkan bagaimana keadaan di akhir zaman tanpa keberadaan
ulama dan ahli fiqih :
ِ ً ‫العلم اِن ِت‬
ً ‫وسا ُج ّهاال‬
ً ‫اس ُر ُء‬ ُ ّ ‫بق عالِ ًما اتّخذ الن‬ ِ ُ ‫حتى ِإ ذالم ي‬ ّ ‫العلماء‬ ِ ‫العلم ب‬
ُ ‫ِقبض‬ ِ ‫العبا ِد ول ِكن يقب ُِض‬
ِ ‫ع ُه ِمن‬
ُ ‫ينتز‬
ِ ‫زاعا‬ ِ ‫ِإ ّن الله ال يقب ُِض‬
‫لم فضلُّوا وأضلُّوا‬ ٍ ‫ع‬ِ ‫ِغير‬
ِ ‫ب‬ ‫فأفتوا‬ ‫ُوا‬ ‫ل‬ ‫ِئ‬ ‫فس‬
ُ
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi
Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa
satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi
pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka
berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menceritakan bahwa umat Islam pada akhir masa nanti akan kehilangan para
ulama, lantas mereka menjadikan para pemimpin yang bodoh dan tidak punya ilmu
sebagai tempat untuk merujuk dan bertanya masalah agama.
Alih-alih mendapat petunjuk, yang terjadi justru mereka semakin jauh dari
kebenaran, bahkan sesat dan malah menyesatkan banyak orang.
Dan apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW 14 abad yang lalu rasanya sangat tepat
kalau kita sebut bahwa hari ini benar-benar sedang terjadi. Dan lebih tepat lagi
kalau kita sebut lokasinya adalah Indonesia, sebuah negeri dengan jumlah penduduk
muslim terbesar di dunia, tetapi sedikit sekali orang yang berkapasitas ulama.
Maka kita harus memahami hadits ini dengan cara yang benar, yaitu hadits ini
menjadi perintah untuk mendidik dan melahirkan kembali para ulama di masa modern
ini.
2. Hadits Fadhilah Orang Berilmu
Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan hadits shahih riwayat Al-Imam Muslim yang
amat masyhur berikut ini :
 Dimudahkan Jalan ke Surga
Rasulullah SAW bersabda :
‫لى الجن ّ ِة‬
َ ‫الله ب ِِه َط ِريقا ً ِإ‬
ُ ‫يه ِعلما ً َس َّه َل‬ ِ ‫َمن َسل ََك َط ِريقا ً يَلتَ ِم ُس ِف‬
Orang yang meniti jalan dalam rangka menuntut ilmu agama, maka Allah mudahkan
baginya jalan menuju surga. (HR. Muslim)
Hadits di atas menegaskan bahwa salah satu keutaman orang yang belajar ilmu agama
adalah bahwa dirinya nanti di hari kiamat akan dimudahkan jalannya menuju surga.
Padahal semua orang nanti di hari kiamat akan kesulitan mendapatkan jalan yang
mudah ke dalam surga, bahkan kebanyakn orang akan tertatih-tatih dan bersusah payah
agar bisa sampai ke surga.
Lain halnya mereka yang sejak di dunia telah tertatih-tatih berjalan untuk
mendalami ilmu agama, di akhirat dia akan dengan mudah menemukan jalan ke surga.
Tentu ini merupakan sebuah keberuntungan yang sangat besar.
 Dinaungi Sayap Malaikat
Rasulullah SAW bersabda :
ِ ‫ح ِتها َ ِرضا ً ِلطالِ ِب‬
‫العل ِم‬ َ ‫َوِإ َّن المـَالَِئك َ َة لَتَ َض ُع َأج ِن‬
Dan para malaikat menaungi dengan sayap-sayap mereka kepada para penuntut ilmu
sebagai tanda keridhaan dari mereka (HR. Muslim)
Hadits di atas menegaskan bahwa di dunia ini, mereka yang berjuang untuk menuntut
ilmu juga mendapatkan keutamaan yang sangat istimewa. Para malaikat meridhai mereka
dengan menaunginya dengan sayap-sayap mereka.
Padahal malaikat adalah hamba-hamba Allah yang amat tinggi kedudukannya di sisi
Allah dan amat mulia lagi taat. Kalau sampai para malaikat meridhai, tentu hal itu
menunjukkan betapa tingginya derajat orang yang menuntut ilmu agama.
Dengan logika sederhana, orang yang menuntut ilmu agama akan aman dan nyaman,
karena selalu mendapatkan penjagaan Allah SWT lewat naungan sayap para malaikatnya.
 Dimintakan Ampunan oleh Semua Makhluk
Rasulullah SAW bersabda :
‫وف المـَا ِء‬
ِ ‫في َج‬ ِ ‫يتان‬ِ ‫الح‬ ِ ‫األرض َو‬ ِ ‫في‬ِ ‫موات َو َمن‬ ِ ‫الس‬
ّ ‫في‬ ِ ‫له َمن‬ ُ ‫َوِإ َّن العاَلِ َم ل َيَستَغ ِف ُر‬
Dan orang yang berilmu itu dimintakan ampunan oleh semua makhluk Allah yang ada di
sekian banyak langit dan bumi, termasuk ikan-ikan yang ada di kedalaman lautan ikut
memintakan ampun. (HR. Muslim)
Masih ada lagi keutamaan orang yang menuntut ilmu agama, yaitu dosa-dosa mereka
dimintakan ampun, sehingga relatif mereka jadi tidak punya dosa lagi.
Siapa yang memintakan ampunan bagi mereka?
Hadits di atas menegaskan bahwa semua makhluk Allah SWT, baik yang ada di berbagai
macam langit yang banyak itu, maupun makhluk Allah SWT yang menetap di atas bumi,
semuanya ikut memintakan ampunan. Bahkan ikan-ikan yang hidup di kedalaman samudera
luas pun ikut pula memintakan ampunan buat mereka.
Dengan logika ini, betapa beruntungnya para penuntut ilmu, kalau pun mereka berdosa
sebagaimana umumnya manusia, namun sudah ada pihak-pihak yang akan terus memberikan
dukungan untuk memintakan ampunan atas dosa mereka.
 Seperti Keutamaan Bulan Purnama
Rasulullah SAW bersabda :
‫البدر على ساِئ ِر الكوا ِك ِب‬ ِ ‫القمر ليلة‬ِ ‫كفضل‬
ِ ‫فضل العالِ ِم على العا ِب ِد‬ ُ ‫وِإ ّن‬
Keutamaan seorang yang berilmu agama dibandingkan dengan seorang ahli ibadah
seperti bulan di malam purnama dibandingkan semua planet (bintang). (HR. Muslim)
Kelebihan orang yang berilmu dibandingkan orang bodoh yang tidak punya ilmu meski
dia rajin ibadah diibaratkan seperti terangnya bulan purnama dengan terangnya
bintang di kegelapan malam.
Bulan purnama yang cahayanya menerangi atmosfir langit kita ini tentu jauh berbeda
dengan bintang yang di mata kita hanyalah titik kecil di langit yang hitam.
Perbandingan ini semata-mata hanya dilihat dari fenomena yang nampak di mata
manusia, sebagaimana yang biasa dipergunakan oleh para pujangga dalam bahasa
sastra.
Dalam bahasa sastra, kalau dibuat perbandingan antara bulan purnama dan bintang
atau planet, tentu maksudnya bahwa yang lebih besar dalam pandangan mata adalah
bulan purnama. Sedangkan ungkapan bintang atau planet menunjukkan ukurannya yang
kecil di mata awam kita.
Walau pun kalau kita bedah secara fakta dalam ilmu astronomi modern, sebenarya
ukuran bulan kita jauh lebih kecil dibandingkan dengan bintang atau planet-planet
(kawakib) anggota tata surya.
 Ulama Adalah Ahli Waris Para Nabi
Rasulullah SAW bersabda :
ٍ ِ‫ِحظ وا‬
‫فر‬ ٍّ ‫العلم فمن أخذ ب ِِه أخذ ب‬
ِ ‫ورث ُوا‬ ّ ‫ورث ُوا ِدينارا ً وال ِدرهما ً ِإ نّما‬ ِّ ُ ‫العلماء ورث ُة األنبِيا ِء وِإ ّن األنبِياء لم ي‬
ُ ‫وِإ ّن‬
Dan sesungguhnya para ulama adalah para ahli waris dari para nabi, dimana para Nabi
memang tidak mewariskan dinar atau dirham, melainkan mereka mewariskan ilmu. Siapa
yang menuntut ilmu maka dia telah mendapat warisan yang sangat besar nilainya. (HR.
Muslim)
Orang yang berilmu adalah para ahli waris nabi. Mereka mewarisi harta kekayaan para
Nabi yang tidak berbentuk uang atau harta benda, melainkan kekayaan itu berupa ilmu
yang tidak ternilai harganya.
Maka mereka yang belajar ilmu agama dan mendapatkannya diibaratkan dengan orang
yang mendapat warisan kekayaan yang sangat besar tidak ternilai harganya.
3. Perintah Belajar Ilmu Faraidh
Di antara Ilmu Fiqih adalah masalah faraidh atau pembagian harta warisan.
Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan perintah khusus untuk mempelajarinya
dan sekalian juga beliau mewajibkan kita untuk mengajarkannya. Dalilnya sebagai
berikut :
‫نزع ِمن ُأ ّم ِتي‬
ُ ُ‫وهو ّأو ُل ما ي‬ ِ ‫صف‬
ُ ‫العل ِم وِإ ن ّ ُه يُنسى‬ ُ ‫يا أبا ُهريرة تعل ُّموا الفراِئض وع ِل ّ ُموها فِإن ّ ُه ِن‬
Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu Hurairah,
pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan
dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR.
Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)
Karena mengajarkan itu tidak mungkin dilakukan kecuali setelah kita mengerti, maka
hukum mempelajarinya harus didahulukan. Dan ilmu faraidh (pembagian harta warisan)
termasuk salah satu bagian dalam Ilmu Fiqih.
C. Ilmu Yang Matang
1. Ilmu Siap Pakai
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu dalam agama Islam lainnya, ilmu fiqih adalah ilmu
yang siap pakai yang menjadi petunjuk praktis bagai umat Islam, khususnya mereka
yang awam dan tidak mampu melakukan istimbat hukum sendiri dari sumber-sumbernya.
Jangankan kita yang hidup di masa sekarang, bahkan para shahabat Rasulullah SAW pun
kebanyakannya adalah orang-orang awam, yang meski mereka pernah bertemu dengan
beliau SAW, namun tidak ada jaminan kalau mereka bisa menarik kesimpulan hukum
dengan tepat. Hanya mereka yang benar-benar dididik secara intensif oleh Beliau SAW
saja yang akhirnya bisa menjadi ulama dalam arti ang sesungguhnya. Sisanya tetap
menjadi orang awam biasa.
Mereka ini meski berstatus sebagai shahabat Nabi SAW, namun mereka bukan mujtahid.
Untuk itu mereka harus berittiba’ kepada para shahabat lainnya yang punya kapasitas
mumpuni dalam menggali hukum-hukum syariah.
Begitu juga dengan kita yang hidup terpisah jarak waktu 14 abad dari masa kenabian,
bahkan terpisah jarak tempuh dari Mekkah dan Madinah sebagai tempat turunnya wahyu.
Maka kita tidak mungkin melakukan sendiri istimbat hukum, kecuali dengan cara
mengikuti apa yang telah diistimbat oleh para ulama mujtahidin.
Dan ilmu fiqih tidak lain merupakan hasil karya para mujtahid yang siap pakai dan
amat berguna bagi kita yang awam dan tidak sampai derajat mujtahid. Tanpa ada ilmu
fiqih, maka kita tidak bisa menjalankan segala ketentuan Allah SWT dan rasul-Nya
dengan benar.
2. Teruji Sepanjang 14 Abad
Dikatakan bahwa ilmu Fiqih adalah ilmu yang sudah matang karena ilmu ini sudah ada
sejak awal abad pertama hijriyah dan terus mengalami penyempurnaan-penyemurnaan
sepanjang sejarah.
Ilmu ini terus dipelajari oleh seluruh umat Islam, mulai dari yang awam hingga para
ulamamya, dan tetap bertahan hingga abad ke-15 hiriyah sebagai ilmu yang terus
menerus dipelajari, diajarkan dan dipraktekkan serta tetap didiskusikan.
Ilmu fiqih tidak pernah mengalami mati suri, apalagi terlupakan dalam sejarah.
D. Lengkap
1. Implementasi Islam Kaffah
Sebagai muslim yang baik, komitmen dan konsisten dalam memeluk agama Islam, tentu
kita tahu bahwa kita wajib menerima Islam secara kaaffah, tidak sepotong-sepotong.
Allah SWT telah memerintahkan hal ini dalam firman-Nya :
‫ِين‬
ٌ ‫عد ّوٌ ُّمب‬
ُ ‫يطان ِإ ن ّ ُه لك ُم‬
ِ ‫الش‬ ِ ‫السل ِم كآ ّف ًة وال تتّب ُِعوا ُخ ُط‬
ّ ‫وات‬ ّ ِ ‫ادخل ُوا ِفي‬
ُ ‫يا أيُّها ال ِّذين آمنُوا‬
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang
nyata bagimu.(QS. Al-Baqarah : 208)
Tapi bagaimanakah kita bisa menjalankan Islam secara kaaffah, kalau kita tidak bisa
membedakan manakah diantara perbuatan itu yang termasuk bagian dari Islam atau
bukan ?
Sebab seringkali kita dihadapkan kepada bentuk-bentuk pengamalan yang disinyalir
sebagai perbuatan islami, tetapi kita tidak tahu kedudukan yang sesungguhnya.
Katakanlah sebagai contoh mudah misalnya tentang memahami perbuatan Rasulullah SAW.
Apakah semua hal yang dilakukan oleh beliau SAW menjadi bagian langsung dari
syariat agama ini ? Ataukah ada wilayah yang tidak termasuk bagian dari syariat ?
Lebih rinci lagi, kita dapati dalam hadits bahwa Rasulullah SAW naik unta, minum
susu kambing mentah, beristinja` dengan batu, khutbah memegang tongkat, buang air
di padang pasir dan seterusnya.
Apakah hari ini kita wajib melakukan hal yang sama dengan beliau sebagai
pengejawantahan bahwa Rasululah SAW adalah suri teladan bagi kita?
Apakah kita hari ini juga harus naik unta, sebagai pengganti mobil dan pesawat,
hanya karena ingin mengikuti jejak Rasulullah SAW yang berangkat haji naik unta?
Haruskah kita minum susu kambing yang tidak dimasak dahulu, karena beliau SAW suka
sekali minum susu kambing tanpa dimasak?
Apakah para khatib Jumat wajib berkhutbah sambil memegang tongkat, karena dahulu
beliau SAW berkhutbah sambil memegang tongkat?
Dan tegakah kita berisntinja’ tanpa air tetapi diganti dengan batu, karena
Rasulullah SAW berintinja’ dengan batu?
Dan haruskah kita buang air di alam terbuka, karena dahulu Rasulullah SAW
melakukannya di alam terbuka dan tidak ada kamar mandi?
Tentu kita perlu merinci lebih detail, manakah dari semua perbuatan dan perkataan
beliau SAW yang menjadi bagian dari syariah dan mana yang secara kebetulan menjadi
hal-hal teknis yang tidak perlu dimasukkan ke dalam ajaran agama ini. Dan untuk
itu, harus ada sebuah metodologi yang bisa dijadikan patokan. Metodologi itu adalah
syariat Islam.
Tugas Ilmu Fiqih adalah bagaimana caranya agar kita bisa memilah dan menentukan
manakah dari diri Rasulullah SAW yang menjadi bagian dari ajaran Islam, dan manakah
yang bukan termasuk ajaran selain hanya faktor kebetulan dan teknis semata,
sehingga tidak harus dijadikan tuntunan. Semua itu membutuhkan ilmu yang didasarkan
kepada sesautu aturan yang baku, bukan sekedar pemikiran sesaat, yang boleh jadi
nanti berubah-ubah. Dan ilmu itu tidak lain adalah Ilmu Fiqih, yang telah eksis di
dunia Islam sepanjang 14 abad lamanya, menjadi penerang bagi umat Islam dalam
berpegang kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Itulah beberapa hal yang perlu kita renungkan bersama. Betapa syariat Islam ini
memang perlu kita pelajari dengan sebaik-baiknya. Tidak perlu menunggu dan membuang
waktu.
Sekaranglah waktu yang tepat untuk mulai belajar. Semoga Allah SWT memudahkan jalan
kita masuk surga karena kita telah menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu keislaman
selama di dunia ini.
2. Fiqih Adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam
Dibandingkan dengan masalah aqidah, akhlaq atau pun bidang lainnya, masalah-masalah
dalam Ilmu Fiqih menempati porsi terbesar dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Bahkan dalam prakteknya, sosok yang dijuluki sebagai ulama itu lebih identik
sebagai ahli fiqih ketimbang ahli di bidang ilmu-ilmu lainnya.
Sehingga sebagai ilmu yang merupakan porsi terbesar dalam ajaran Islam, ilmu
syariah ini menjadi penting untuk dikuasai. Seorang muslim itu masih wajar bila
tidak menguasai disiplin ilmu seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Bahasa Arab, Ushul
Fiqih, Kaidah Ushul dan lainnya.
Tetapi dalam ilmu syariah khususnya fiqih, nyaris mustahil bila tidak dikuasai,
meski dalam porsi yang seadanya. Sebab tidak mungkin kita bisa beribadah dengan
benar tanpa menguasai Ilmu Fiqih ibadah itu sendiri.
Memang tidak semua detail ilmu syariah wajib dikuasai, namun untuk bagian yang
paling dasar seperti masalah thaharah, shalat, nikah dan lainnya, mengetahui hukum-
hukumnya adalah hal yang mutlak.
3. Kesimpulan Aturan Allah Dalam Quran Sunnah
Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Quran yang terdiri dari lebih 6.000-an ayat
dan As-Sunnah yang berjumlah ratusan ribu bahkan sampai jutaan. Namun bagaimana
mengambil kesimpulan hukum atas suatu masalah dengan menggunakan dalil-dalil yang
sedemikian banyak? Tentu kita butuh metodologi ilmiyah yang baku dan disepakati
oleh umat Islam sepanjang zaman. Dan metodologi itu adalah Ilmu Fiqih.
Ilmu Fiqih telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tentang hukum-hukum
yang terkandung pada tiap potong ayat dan hadits yang bertebaran. Dengan menguasai
Ilmu Fiqih, maka Al-Quran dan As-Sunnah bisa dipahami dengan benar, tepat dan
akurat, sebagaimana Rasulullah SAW dahulu mengajarkannya.
Sebaliknya, tanpa penguasaan Ilmu Fiqih, Al-Quran dan As-Sunnah bisa diselewengkan
dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar. Ilmu Fiqih adalah kunci untuk
memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan metode yang benar, ilmiyah dan shahih.
Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya, pezina harus
dirajam, pembunuh harus diqishash dan seterusnya. Memang demikian zahir nash ayat
Al-Quran. Namun benarkah semua pencuri harus dipotong tangannya? Apakah semua orang
yang berzina harus dirajam? Apakah semua orang yang membunuh harus dibunuh juga?
Di dalam Ilmu Fiqih akan dijelaskan kriteria pencuri yang bagaimanakah yang harus
dipotong tangannya. Tidak semua orang yang mencuri harus dipotong tangan.
Ada sekian banyak persyaratan yang harus terpenuhi agar seorang pencuri bisa
dipotong tangan. Misalnya barang yang dicuri harus berada dalam penjagaan, nilainya
sudah memenuhi batas minimal, bukan milik umum dan lainnya. Bahkan kriteria seorang
pencuri tidak sama dengan pencopet, jambret, penipu atau koruptor.
Demikian juga dengan pezina, tidak semua yang berzina harus dihukum rajam. Selain
hanya yang sudah pernah menikah, harus ada empat orang saksi lakil-laki, akil,
baligh, dan menyaksikan secara bersama di waktu dan tempat yang sama melihat
peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan.
Tanpa hal itu, hukum rajam tidak boleh dilakukan. Kecuali bila pezina itu sendiri
yang menyatakan ikrar dan pengakuan atas zina yang dilakukannya. Dan yang paling
penting, hukum rajam haram dilakukan kecuali oleh sebuah institusi hukum formal
yang diakui dalam sebuah negara yang berdaulat.
Dan hal yang sama juga berlaku pada hukum qishash dan hukum-hukum hudud lainnya.
Sebuah tindakan hukum yang hanya berlandaskan kepada satu dua dalil tapi tanpa
kelengkapan ilmu syariah justru bertentangan dengan hukum Islam sendiri.
E. Nasihat Ulama
Berikut ini adalah salah satu nasihat yang penting untuk diingat adalah apa yang
diungkapkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu syi’ir gubahannya.
ِ ‫َيه َأربَ ًعا لِ َوفَا ِت‬
‫ــه‬ ِ ‫عل‬ ِ ‫قت َشبَاب‬
َ ‫ َفك َبِّر‬... ‫ِــه‬ ُ ِ‫َمن فَاتَ ُه التَّعل‬
َ ‫يم َو‬
Mereka yang luput dari belajar di masa mudanya, maka bertakbirlah empat kali
atasnya.
Maksud bertakbir empat kali itu adalah bahasa ungkapan untuk shalat jenazah. Jadi
maksudnya lakukan shalat jenazah untuk orang yang di masa mudanya tidak sempat
belajar agama.
Karena orang yang tidak sempat belajar agama dengan benar di masa mudanya, hidupnya
akan menjadi sia-sia belaka. Seolah-olah dia dianggap sudah tiada alias meninggal,
karena itu jenazahnya kita shalati.
Ungkapan Asy-Syafi'i ini rasanya buat sebagian orang agak berlebihan. Masak di
waktu muda tidak sempat belajar agama lantas dianggap seperti orang yang sudah
meninggal?
Tetapi kalau kita renungkan lebih dalam, ternyata ungkapan ini bukan hanya sekedar
bicara tentang betapa mirisnya nasib umat yang hari ini telah hidup jauh dari
agamanya, tetapi juga mengandung pesan penting bahwa ilmu agama itu sangat luas dan
mendalam. Dan oleh karena itu maka setiap orang butuh waktu yang lama dan panjang
untuk bisa mempelajarinya, bahkan harus sejak dari masih kecil.
Ilmu agama tidak bisa dipelajari hanya dengan dengar-dengar ceramah kesana kemari,
atau sekedar browsing artikel di internet, bila memang mau jadi ulama dalam arti
yang sesungguhnya.
Dan ulama yang dibutuhkan umat tidak akan pernah lahir dari pemilihan da'i cilik
atau lomba-lomba sejenis di layar tivi. Sebab ilmu para ulama itu hanya bisa
didapat dengan belajar yang panjang, lama dan sabar. Itu pun harus belajar langsung
dari para ulama yang memang ahli di bidangnya, bukan sekedar ulama mateng karbitan.
Penguasaan atas ilmu agama juga tidak bisa didapat hanya dengan ikut kolompok-
kelompok pengajian, lantas setelah itu seseorang merasa dirinya sudah menjadi ulama
dan ’mufti kabir jiddan’, kemudian dengan seenak jidatnya mulai mencaci-maki para
ulama dan hasil ijtihad besar pada fuqaha.
Ilmu agama juga bukan 'barang dagangan' yang dikemas jadi bisnis atau proyek untuk
mendatangkan uang. Sekali pentas dikasih amplop tebal. Lalu orang berlomba-lomba
bikin managemen ustadz dengan fee menyaingi artis.
Ilmu agama harus dipelajari secara runtut, mulai dari dasar-dasarnya, kemudian naik
kepada ilmu agama yang menjadi tulang punggung dan seterusnya.
Al-Imam Asy-Syafi'i sendiri sejak kecil sudah menghafal 30 juz Al-Quran, lengkap
tentunya dengan pengertian dan maknanya. Sebagian riwayat menyebutkan beliau saat
itu belum genap berusia lima tahun.
Dan beliau di usia yang masih belia sekali, sudah menghafal luar kepala kitab
hadits yang ada di masa itu, yaitu Al-Muwaththa' karya maestro besar Al-Imam Malik,
mufti Madinah di zamannya. Konon beliau belum genap 15 tahun ketika itu. Dan oleh
karena itu beliau meski masih remaja, ikut duduk di dalam majelis para ulama yang
lainnya mengaji dari Imam Malik.
Selain hafal Al-Quran dan kitab hadits, Asy-Syafi'i juga berguru kepada banyak
ulama dari berbagai aliran dan mazhab. Beliau adalah murid madrasah Al-Imam Malik
yang cenderung kuat dalam masalah nash, tetapi sekaligus juga menjadi murid dan
pembela mazhab Al-Hanafiyah yang sangat kuat dalam masalah logika dan manthiq.
Bahkan Asy-Syafi'i kemudian bisa meramu sedemikian rupa dua kekuatan potensial dari
para ulama di masanya, yaitu perpaduan antara kekuatan nash dan logika. Sehingga
mazhab Asy-Syafi'i menjadi unik dan istimewa.
Satu hal yang sering dilupakan orang, bahwa sosok Al-Imam Asy-Syafi'i selain ulama
ahli hadits, ahli logika, ahli fiqih dan manthiq, ternyata beliau juga seorang
pujangga alias penyair. Beliau punya banyak karya dalam bidang sastra, sehingga
karya-karya beliau di bidang sastra menjadi sebuah diwan tersendiri.
Maka sampai disini bab tentang urgensi belajar Ilmu Fiqih diakhiri, semoga Allah
SWT memberikan kesempatan dan kekuatan bagi kita semua untuk dapat mendalami Ilmu
Fiqih.
Amin ya rabbal alamin.□

Bab 4 : Menjawab Tuduhan Terhadap Fiqih


Musuh-musuh Islam gemar menyerang agama ini pada titik-titik yang paling rawan.
Salah satu sendi agama Islam yang sangat vital adalah Ilmu Fiqih. Dan Ilmu Fiqih
termasuk salah satu warisan dari Rasulullah SAW seringkali dijadikan sasaran tembak
dalam rangka merobohkan bangunan Islam.
Ada berbagai macam tudingan miring, hasutan serta tuduhan tidak berdasar yang
dengan gencar diarahkan kepada Ilmu Fiqih. Akibatnya banyak umuat dari yang awam
ilmu agama, khususnya yang tidak pernah punya dasar belajar Ilmu Fiqih kemudian
menjadi korbannya. Bahkan yang lebih parah, para korban ini pun ikut-ikutan
menghasud umat Islam dalam rangka memerangi Ilmu Fiqih, lewat berbagai macam
tuduhan palsu dan tidak berdasar.
Kita akan menjawab beberapa tuduhan palsu tanda dasar sekaligus beberapa contoh
kesalah-pahaman yang sering terlontar dari berbagai kalangan yang belum mengerti.
Masih banyak kalangan yang terkena syubhat dalam memandang negatif kepada ilmu
warisan Rasulullah SAW. Tugas kita adalah mengembalikan mereka ke jalan yang benar.
A. Fiqih Memalingkan Kita Dari Al-Quran dan As-Sunnah
Tuduhan yang pertama dalam episode ini adalah tuduhan yang paling sering
dilontarkan, bahwa Ilmu Fiqih itu memalingkan kita dari mengikuti Al-Quran dan As-
Sunnah menjadi hanya mengikuti pendapat manusia belaka. Seharusnya umat Islam ikut
Allah dan Rasulullah SAW, bukannya mengikuti pendapat-pendapat manusia sebagaimana
yang diajarkan dalam Ilmu Fiqih.
Fiqih justru malah mengajarkan kita ikut pendapat Imam Syafi'i atau imam-imam
mazhab yang lain. Padahal sesungguhnya kita diperintah untuk patuh kepada Allah dan
Rasul-Nya saja. Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran :
‫ول‬
َ ‫الر ُس‬ ُ ‫يعوا الل َّه َوَأ ِط‬
َّ ‫يعوا‬ ُ ‫آمنُوا َأ ِط‬
َ ‫ين‬ َ ‫يَا َأيُّ َها ال ّ َ ِذ‬
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul. (QS. An-
nisa' : 59)
Apakah tuduhan seperti ini memang benar adanya? Kalau memang tidak benar, lantas
bagaimana kita menjawab tuduhan semacam ini?
Jawaban
Tuduhan seperti ini memang seringkali dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Dan
sebagian umat Islam yang menjadi korbannya akhirnya berubah pikiran dan mulai ikut-
ikutan merobohkan agamanya sendiri lewat tuduhan-tuduhan tanpa dasar.
Namun untuk menjawab tuduhan semacam ini sebenarnya mudah saja. Apalagi kalau
dalilnya menggunakan ayat di atas, yaitu kita diperintah untuk mentaati Allah dan
Rasulullah. Justru dalil itu sendiri malah menjadi jawaban atas tuduhan yang tidak
benar. Kalau kita perhatikan ayat itu, sebenarnya ayat itu tidak hanya berhenti
sampai disitu tetapi masih ada terusannya. Terusannya adalah kita diperintah untuk
mengikuti ulil amri di antara kalian. Maka lengkapnya ayat itu berbunyi sebagai
berikut :
‫ول وأولى األمر منكم‬ َ ‫الر ُس‬
َّ ‫يعوا‬ ُ ‫يعوا الل َّه َوَأ ِط‬ ُ ‫آمنُوا َأ ِط‬ َ ‫يَا َأيُّ َها ال ّ َ ِذ‬
َ ‫ين‬
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul dan ulil amri
di antara kalian. (QS. An-nisa' : 59)
Umumnya kata ulil amri diterjemahkan sebagai pemimpin, penguasa atau pemerintah.
Tafsiran ini memang benar. Namun tafsiran ini bukanlah satu-satunya penafsiran.
Kita menemukan beberapa ahli tafsir memaknai ulil amri bukan sebagai pemerintah
melainkan maknanya adalah ulama.
Salah satunya adalah yang dikatakan oleh Mujahid (w. 104 H), salah satu tabi'in
senior dan juga ahli tafsir terbesar. Menurut beliau yang dimaksud dengan ulil amri
disini adalah para ulama dan para ahli ilmu syariah. Bila kita menggunakan tafsir
ini, maka justru ayat itu memerintahkan kita taat kepada para ulama, bukan?
Lalu siapakah para ulama ulama?
Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin
Hanbal, mereka itulah para ulama, yang menjadi ahli waris Rasulullah SAW. Apa yang
difatwakan oleh mereka sesungguh tidak lain adalah bagian Al-Quran dan bagian dari
As-Sunnah itu sendiri.
Tidaklah para ulama itu bekerja dalam menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan
As-Sunnah, kecuali atas rekomendasi dari Rasulullah SAW juga. Sebab mereka itu
adalah ulama dan ulama adalah para ahli waris Nabi.
‫العلماء ورثة األنبياء‬
Para ulama itu ahli waris para nabi. (HR. Ibnu Hibban)
Maka kalau kita ingin mengatakan jangan ikut ulama, tapi ikut nabi saja secara
langsung, itu adalah benar. Tetapi dengan syarat bahwa kita ini harus hidup di
zaman nabi. Artinya kita ini harus berstatus sebagai shahabat nabi, yang memang
hidup di masa nabi, bertemu langsung dengan beliau SAW.
Tentu dengan mengikuti para ahli waris beliau. Dalam hal ini bukan ahli waris
secara harta dan tahta, melainkan ahli waris secara keilmuan. Dan para ahli waris
beliau SAW tidak lain adalah para shahabat. Tetapi kita kan bukan shahabat. Kita
hidup di hari ini dimana antara kita dengan Nabi SAW terbentang jarak waktu 15 abad
lamanya. Lantas bagaimana caranya kita ikut nabi? Kita tidak punya komunikasi
langsung kecuali lewat jalur para shahabat, tabi'in dan atbauttabi'in.
Karena kita tidak hidup di masa nabi dan tidak bertemu dengan beliau langsung, maka
mau tidak mau kita harus ikut mereka, para shahabat, tabi'in, atbauttabiin yang
nota bena mereka adalah para ulama. Kalau kita tidak mau ikut mereka, sama saja
kita ingkar kepada nabi.
Dalam kenyataannya kita sekarang ini tidak mungkin mengikuti Allah dan Rasulullah
SAW secara langsung. Sebab Rasulullah SAW sudah meninggal 14 abd yang lalu. Kita
tidak pernah bertemu dengan beliau. Kita hanya mungkin bertemu dengan para ahli
waris beliau, yang tidak lain mereka adalah para ulama.
1. Ilmu Hadits Bersandar Kepada Ulama
Kalau kita mau ikut nabi, tentu rujukannya adalah hadits nabi. Memangnya siapa yang
meriwayatkan hadits nabi? Tentu para ulama juga, bukan? Artinya, kita tetap butuh
ulama ketika kita mau merujuk kepada nabi. Kitab hadits yang paling shahih adalah
kitab Shahih Bukhari. Di dalamnya ada 7 ribuan hadits yang dijamin keshahihannya.
Sementara Al-Imam Bukhari tidak hidup bersama Rasulullah SAW. Lalu dari mana beliau
mengetahui semua hadits nabi kalau bukan dari para ulama. Urutannya mulai dari
shahabat, tabi'in, at-taba'uttabiin dan seterusnya hingga beberapa orang sampai
akhirnya ke dirinya.
Maka sesungguhnya seorang Bukhari sekali pun tidak pernah ikut Nabi SAW, tetapi
beliau justru ikut ulama. Yang beliau ikuti adalah ulama di zamannya dari ulama
sebelum-sebelumnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Membaca Al-Quran Bersandar Kepada Ulama
Ketika kita ikut Allah SWT dengan cara merujuk langsung kepada Al-Quran Al-Karim,
pada dasarnya kita pun ikut ulama juga. Kalau kita dilarang ikut ulama dan langsung
merujuk kepada Al-Quran langsung saja, maka yang jadi pertanyaan adalah Al-Quran
yang mana?
Apakah kita hidup di masa Al-Quran diturunkan dari langit oleh Malaikat Jibril?
Apakah kita dengar langsung ayat-ayat Al-Quran sedang dibacakan oleh Rasulullah SAW
di tengah para shahabat? Tentu saja jawabannya tidak.
Kitab suci Al-Quran yang ada di tangan kita sekarang ini tidak lain adalah hasil
tulisan para ulama. Dimana para ulama menyalinnya dari manuskrip-manuskrip mushaf
sebelumnya dan sebelumnya lagi. Dan ujung-ujungnya adalah teks yang ditulis oleh
para shahabat Nabi SAW. Tulisan di mushaf itu sama sekali bukan tulisan tangan dari
Rasulullah SAW, melainkan tulisan para shahabat.
3. Tafsir Al-Quran dan Terjemahnya Juga Bersandar Kepada Ulama
Kemudian naskah itu disempurnakan dengan titik dan harakat, serta berbagai macam
tanda baca, termasuk penomoran ayat-ayatnya. Kemudian dibuatkan tafsir dan
terjemahnya juga, sehingga kita yang hidup 14 abad setelah wafatnya Rasulullah SAW
bisa dengan mudah membacanya. Semua itu bukan pekerjaan Nabi SAW, tetapi pekerjaan
para ulama.
B. Para Ulama Tidak Dijamin Selalu Benar dan Bisa Salah
Tuduhan yang lain masih terkait juga dengan tuduhan di atas, yaitu bahwa Ilmu Fiqih
ini mengajak kita ikut kepada pendapat ulama, padahal para ulama itu biar bagaimana
pun hanya manusia biasa. Mereka tidak bisa luput dari kekeliruan dan kesalahan.
Bagaimana mungkin kita mengajak orang untuk ikut kepada manusia yang bisa salah dan
bisa keliru?
Jawaban
Untuk menjawab tuduhuan kedua ini, kita bisa sebutkan kalau cuma masalah ulama bisa
salah atau keliru, maka jangankan para ulama, para shahabat itu sering sekali
melakukan kesalahan. Sebab meskipun shahabat, tetapi mereka pun tidak luput dari
kesalahan. Lantas apakah kita juga tidak boleh ikut shahabat dan hanya ikut
Rasulullah SAW saja?
Kalau pun kita mau ikut Rasulullah SAW, ketahuilah bahwa Rasulullah SAW sendiri
pun, walaupun beliau ma'shum atau terjaga, tetapi ketika dalam konteks tertentu
tidak ada wahyu dan lantas beliau berijtihad, bisa saja ijtihadnya keliru dan
dikoreksi oleh Allah SWT. Ada banyak bukti bahwa ijtihad beliau dikoreksi oleh
Allah SWT. Misalnya dalam kasus surat Abasa dan tawanan Perang Badar.
1. Nabi Bermuka Masam
Di dalam Al-Quran ada sebuah surat yang dinamakan surat 'Abasa, artinya bermuka
masam.
‫َأ‬ ‫عبَس َوتَ َولَّى َأن َج ُ َأل‬
َ ‫يك ل ََعل ّ َ ُه يَ ّ َزكَّى و ي َ َّذك َّ ُر َفتَنفَ َع ُه ال ِ ّذ‬
‫كرى‬ َ ‫در‬
ِ ُ‫عمى َو َما ي‬
َ ‫اءه ا‬ َ َ
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau
dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
(QS. Abasa : 1-4)
Coba perhatikan asbabun-nuzul dari surat Abasa. Surat ini berisi kisah bagaimana
Allah SWT menegur sikap Nabi Muhammad SAW yang memalingkan wajah dari orang yang
datang kepada beliau.
Saat itu beliau bermuka masam karena sedang berharap bisa mengajak para pembesar
Quriasy, tetapi yang datang malah orang yang tidak terlalu diharapkan. Itu teguran
kepada beliau yang keliru dalam bersikap. Artinya beliau bersalah juga.
2. Tawanan Perang Badar
Kasus 'kesalahan' Rasulullah SAW yang lain terkait dengan masalah tawanan perang
Badar. Malaikat Jibril tidak kunjung datang membawa wahyu, padahal saat itu sangat
dibutuhkan kepastian hukum tentang apakah boleh perang dihentikan dan musuh
dijadikan tawanan, ataukah perang harus tetap dilanjutkan dan musuh harus dibunuh
tidak tersisa.
Terpaksa beliau berijtihad. Dan ijtihad beliau SAW saat itu adalah menghentikan
perang dan menjadikan musuh sebagai tawanan. Tapi apa lacur, setelah ijithad
dijalankan, barulah Jibril turun membawa wahyu berisi teguran atas 'kekeliruan'
ijtihad beliau.
ِ ‫ثخ َن ِفي اَأل‬
‫رض‬ ِ ُ‫سرى َحتّ َى ي‬
َ
‫ُون ل َُه َأ‬
َ ‫َان لِنَب ٍ ِّي َأن يَك‬
َ ‫َما ك‬
Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. (QS. Al-Anfal : 67)
Kesimpulannya, kalau kita diharamkan mengikuti para ulama lantaran mereka dianggap
bisa keliru dan mengalami kesalahan, maka para shahabat bahkan Rasulullah SAW
sekalipun juga bisa salah dan keliru.
Rasululah SAW Ada Yang Menegur, Siapa Yang Menegur Ulama?
Mungkin ada yang bertanya lagi, memang benar bahwa Rasulullah SAW bisa saja salah.
Tetapi kalau Rasulullah SAW yang salah atau keliru, kan ada yang menegur langsung
yaitu Allah SWT. Lalu bagaimana dengan para ulama? Siapakah yang menegur mereka?
Jawabannya memang para ulama dan para shahabat tidak akan mendapat teguran berupa
wahyu dari langit. Namun ada jaminan dari Rasulullah SAW yang memerintahkan kita
untuk mengikuti para shahabat. Padahal mereka juga bukan nabi, sehingga bila mereka
salah atau keliru, tidak akan ada teguran dari langit. Tetapi beliau sendiri yang
memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada sunnah para shahabat.
‫عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي‬
Berpegang-teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah para khalifah rasyidin
sepeninggalku.
Para shahabat ini bukan orang sembarang. Mereka adalah orang-orang yang telah
dididik dan dikader langsung oleh Rasulullah serta mendapatkan ijazah resmi untuk
menjadi ahli waris beliau, sekaligus memegang titipan ilmu yang mereka pelajari
dari Rasulullah SAW. Bahwa kemudian dalam satu dua pendapat ada yang berbeda atau
keliru, secara manusiawi sangat wajar.
Kita bisa ibaratkan seperti seorang pilot pesawat terbang. Mungkin saja seorang
pilot itu melakukan kekeliruan. Ada beberapa kasus kecelakaan pesawat yang
diakibatkan oleh human error. Akan tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa semua
pilot selalu dipastikan salah dan akan senantiasa melakukan kesalahan.
Dan angka kasus human error yang ada sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk
menutup semua penerbangan atau umat manusia meninggalkan moda transportasi pesawat
terbang. Secara statistik justru pesawat terbang adalah moda transportasi paling
aman, dimana angka kecelakaan pesawat terbang jauh di bawah kecelakaan mobil dan
motor. Hanya orang-orang sindrome terbang yang saja yang berpikir demikian.
C. Fiqih Mengajarkan Perbedaan dan Perpecahan
Ada tuduhan bahwa belajar Ilmu Fiqih itu harus ditinggalkan, alasannya karena tema
kajain fiqih seringkali mengangkat masalah perbedaan pendapat. Dan perbedaan
pendapat itu sering kali membawa kita kepada perpecahan. Oleh karena itu ada seruan
bahkan semangat meninggalkan Ilmu Fiqih. Tentu saja tujuanya biar kita tidak pecah
belah.
Sedangkan untuk implementasi masalah hukum-hukum syariah, cukuplah kita berpegang
kepada dua warisan dari Rasulullah SAW, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah saja. Dalam
pandangan mereka, kalau kita sudah berpegang kepada Al-Quran dan As-Sunnah,
dipastikan tidak akan terjadi perpecahan. Cara pandang semacam ini memang banyak
kita temukan di tengah masyarakat awam kita. Bahkan para tokoh agama, juru dakwah
dan juga aktifis tidak jarang yang punya pandangan seperti ini.
Jawaban :
Untuk menjawab kekeliruan pandangan seperti ini, kita balikkan saja ungkapannya.
Siapa bilang bahwa di dalam Al-Quran itu kita tidak menemukan perbedaan?
Kalau kita dalami lebih jauh, perbedaan yang ada di dalam Ilmu Fiqih, tidak bisa
dilepaskan dari perbedaan yang datangnya justru dari Al-Quran dan As-Sunnah itu
sendiri. Mungkin banyak orang yang marah-marah dan naik pitam kalau kita bilang
bahwa di dalam Al-Quran ada banyak terkandung perbedaan.
Memang begitulah cara pandang orang awam, kebanyak mereka mengira bahwa kitab suci
Al-Quran itu menyatukan umat, isinya cuma satu dan seragam. Padahal kalau kita mau
belajar ilmu Al-Quran, kita akan menemukan begitu banyak perbedaan pendapat yang
selama ini ditutup-tutupi.
1. Jumlah Ayat dalam Al-Quran Adalah Perbedaan
Yang paling sederhana tentang contoh perbedaan di dalam Al-Quran adalah perbedaan
berapa jumlah total ayat yang terdapat di dalam Al-Quran. Meski sepakat bahwa
jumlahnya tidak kurang dari 6.200-an ayat, tetapi para ulama tidak pernah sepakat
berapa sebenarnya jumlah ayat Al-Quran.
Abu Amr Ad-Dani (w. 444 H) salah satu ulama pakar Al-Quran di dalam kitabnya, Al-
Bayan fi ‘Addi Ayi Al-Quran menuliskan berbagai perbedaan para ulama dalam
menghitung jumlah ayat-ayat Al-Quran. Untuk memudahkannya, Penulis buatkan tabel
sederhana sebagai berikut :
Jumlah Pendapat
6.666 Tidak jelas sumbernya
6.236 Hamzah
6.226 Yahya Ibn al-Harits
6.220 Ibnu Katsir
6.219 Ulama Mekkah
6.217 Nafi'
6.214 Syaibah
6.210 Abu Ja'far
6.210 Ubay bin Ka’ab
6.205 ‘Ashim
6.204 Ulama Bashrah
Kesimpulannya, belum apa-apa baru sekedar menghitung jumlah ayat, kita sudah
menemukan perbedaan. Siapa bilang perbedaan pendapat itu hanya ada dalam Ilmu
Fiqih? Al-Quran saja sudah berbeda-beda.
2. Bismillah Termasuk Surat Al-Fatihah atau Bukan?
Kita perkecil lagi cakupannya, tidak perlu terlalu jauh. Masih tentang Al-Quran dan
kita fokuskan pada surat Al-Fatihah yang jumlahnya tujuh ayat. Pertanyaannya,
apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim itu merupakan bagian dari surat Al-Fatihah
atau bukan? Statunya apakah ayat atau bukan ayat?
Baru sampai disini, kita lagi-lagi sudah menemukan perbedaan mendasar. Ada yang
bilang bismillahirramanirrahim itu ayat Al-Quran dan merupakan ayat pertama dari
surat Al-Fatihah. Tetapi ada juga yang bilang dia ayat tetapi bukan bagian dari
surat Al-Fatihah. Sehingga dalam pandangannya, ayat pertama adalah Al-
Hamdulillahirabbil alamin.
Siapa bilang perbedaan pendapat itu hanya ada dalam Ilmu Fiqih? Justru dalam surat
yang pertama dan paling inti dalam Al-Quran, belum apa-apa kita sudah menemukan
perbedaan yang besar sekali. Dengan sendirinya mimpi untuk kembali kepada Al-Quran
demi menghindari perbedaan pendapat justru sia-sia. Justru di dalam Al-Quran kita
malah menemukan banyak sekali perbedaan.
3. Perbedaan Qiraat
Banyak orang yang kurang tahu bahwa Al-Quran itu punya banyak qiraat dimana antara
satu qiraat dengan qiraat yang lain sangat berbeda bunyinya. Kadang perbedaan
qiraat ini juga mengakibatkan perbedaan arti dan makna, yang pada gilirannya juga
mengakibatkan perbedaan hukum fiqih.
Ada yang membacar ayat tentang wudhu' dengan (wa arjulakum) dan (wa arjulikum). Dua
bacaan ini melahirkan perbedaan makna dan hukum. Ini masih di wilayah Al-Quran,
belum masuk ke wilayah hukum fiqih. Baru dari segi cara membacanya saja, Al-Quran
sendiri sudah mengahdiahi kita bacaan yang berbeda-beda.
4. Perbedaan Satu Ayat Dengan Ayat Lain
Tidak bisa dipungkiri bahwa kita menemukan banyak perbedaan isi kandungan hukum
antara satu ayat dengan ayat yang lainnya. Kita tidak bisa menyalahkan Ilmu Fiqih
sebagai ilmu yang mengajarkan perbedaan. Tetapi justru dari hulunya sendiri, yaitu
sejak dari masih berupa ayat Al-Quran, perbedaan itu sudah ada. Satu ayat dengan
ayat lain ternyata bisa saja saling berbeda. Kalau kita mau dimana 'kesalahannya',
maka 'kesalahannya' bukan fiqihnya tetapi pada ayat Al-qurannya, yang sejak awal
sudah berbeda.
a. Pertentangan Antara Ayat Wasiat dan Ayat Waris
Contoh yang mudah adalah pertentangan antara ayat wasiat dan ayat waris. Kedua ayat
ini saling bertentangan. Yang satu mewajibkan orang tua sebelum wafat bikin wasiat
dan diberi hak untuk mengatur siapa saja yang mendapat warisan dan siapa yang
tidak. Demikian juga nilainya, siapa yang mau diberi lebih besar dan siapa yang mau
dikasih lebih kecil. Semua itu hak sepenuhnya orang tua.
‫الو ِصي َّ ُة‬ ‫َأ‬
ً ‫وت ِإ ن تَ َر َك َخ‬
َ ‫يرا‬ ُ ‫الم‬
َ ‫عل َيك ُم ِإ ذَا َح َض َر َح َدك ُُم‬ َ ‫ب‬ َ ‫ك ِت‬
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak untuk berwasiat (QS. Al-Baqarah : 180)
Tetapi di dalam ayat waris, yang berwasiat justru Allah SWT langsung dan bukan lagi
orang tua. Allah SWT yang menentukan siapa yang berhak menerima harta warisan dan
berapa nilai.
‫ين‬ ِ َ‫ثل َح ِّظ اُألنثَي‬ُ ‫وصيك ُُم الل ُّه ِفي َأوال َ ِدك ُم لِل َّذك َِر ِم‬ ِ ُ‫ي‬
Allah berwasiat kepadamu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa' :
11)
Jelas sekali kedua ayat ini saling bertentangan secara 180 derajat. Keduanya
bentrok dan tidak bisa disatukan. Jalan keluarnya harus ada yang mengalah salah
satunya. Dan para ulama sepakat bahwa yang kalah adalah ayat wasiat dan yang menang
adalah ayat waris. Alasannya karena semua masih dalam proses penyempurnaan syariat,
dimana apa-apa yang sebelumnya sudah disyariatkan, bisa dan mungkin saja untuk
diganti dengan syariat yang baru.
Dalam hal ini ayat wasiat dinasakh atau dihapus dan diganti dengan ayat waris. Maka
kesimpulannya seorang pewaris tidak perlu bikin wasiat terkait dengan harta yang
ditinggalkannya, khususnya untuk para calon ahli warisnya. Sebab ketentuan siapa
yang menerima dan berasannya sudah langsung ditetapkan oleh Allah SWT.
b. Perbedaan Masa Iddah Wanita Yang Ditalak Suaminya
Para ahli bahasa, di antaranya Al-Fayoumi dalam Al-Misbah Al-Munir menyebutkan kata
bahwa al-qur’u termasuk jenis kata yang punya makna ganda dan sekaligus
bertentangan artinya. Menurut mereka al-qur’u bermakna suci dari haidh, dan juga
bermakna haidh itu sendiri.
Perbedaan makna secara bahasa ini kemudian berpengaruh kepada perbedaan pendapat di
antara para ulama dalam menetapkan masa iddah wanita yang dicerai suaminya.
Pandangan Pertama : Quru’ Adalah Masa Suci
Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, al-qur’u
berarti ath-thuhru (‫)الطهر‬. ُّ Maksudnya adalah masa suci dari haidh. Jadi tiga kali
quru’ artinya adalah tiga kali suci dari haidh.
Kebanyakan para shahabat ridhwanullahi alaihim, juga para fuqaha Madinah,
berpendapat bahwa quru' adalah masa suci dari haidh.
Al-Malikiyah : Ad-Dasuqi, salah seorang ulama mazhab Al-Malikiyah, dalam kitab
Hasyiyatu Ad-Dasuqi 'ala Asy-Syarhu Al-Kabir menyebutkan :
‫َأ َأل‬ ِ ‫ب اَألِئ ّ َم ِة الثَّالث َِة ِخالفًا َألبِي َح ِنيفَ َة َو ُم َوا ِف ِق‬ َ ‫المرَأ ُة ِه َي اَأل‬ ‫اعل َم َأن ك َ َأل‬
‫يض‬ ُ ‫الح‬
َ ‫اء ِه َي‬ َ ‫يه ِمن َّن ا‬
َ ‫قر‬ ُ ‫ذه‬
َ ‫طه ُار َم‬ َ ‫قرا ِء ال ّ َ ِتي َتعتَ ُّد ب َِها‬
َ ‫َون ا‬
Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan aqra' sebagai ukuran masa iddah seorang
wanita adalah masa suci merupakah pendapat dari tiga mazhab. Dan itu berbeda dengan
pandangan Al-Hanafiyah serta para pendukungnya yang mengatakan bahwa aqra itu
adalah masa haidh.
Asy-Syafi'iyah : Dan hal yang sama dikemukakan oleh An-Nawawi dalam kitab Raudhatu
Ath-Thalibin.
َ ‫ اَأل‬: ‫الع َّد ِة‬
‫طه ُار‬ ِ ‫قرا ِء ِفي‬ ‫المر ُ َأل‬
َ ‫اد بِا‬ َ ُ ‫َو‬
Yang dimaksud dengan aqra' dalam urusan iddah adalah : masa suci.
Pandangan Kedua : Quru Adalah Masa Haidh
Sedangkan dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, al-qur’u justru bermakna haidh, atau
hari-hari dimana seorang wanita menjalani masa haidhnya.
Al-Hanabilah : Ada dua riwayat yang berbeda tentang pendapat Al-Imam Ahmad dalam
hal ini. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa beliau berpandangan bahwa quru' itu
adalah suci dari haidh. Sebagian riwayat yang lain sebaliknya, bahwa Al-Imam Ahmad
dianggap telah mengoreksi pendapat sebelumnya dan cenderung berpendapat bahwa quru'
adalah haidh itu sendiri.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni memberikan penjelasan akan hal ini :
َ ‫عن قَولِ ِه بِاَأل‬
‫طه ِار‬ َ ‫ب َأ‬
َ ‫صحابُنَا َو َر َج َع‬ ِ ‫يض َوِإ ل‬
َ ‫َيه ذ ََه‬ ُ ‫الح‬
َ ‫اء‬
َ ‫قر‬
‫َأ َأل‬
َ ‫حم َد ّ َن ا‬
َ
‫عن َأ‬ ُ ‫الص ِح‬
َ ‫يح‬ ِ َ‫َال الق‬
َ ّ : ‫اضي‬ َ ‫ق‬
Al-Qadhi berkata bahwa yang benar tentang Imam Ahmad bahwa aqra itu adalah haidh,
dan seperti itulah pendapat ulama kami. Beliau telah mengoreksi pendapat sebelumnya
bahwa aqra itu suci.
Menurut Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqqi'in, Imam Ahmad itu awalnya berpendapat
bahwa quru itu suci dari haidh, namun kemudian beliau mengoreksi pendapatnya dan
berpendapat bahwa quru itu adalah haidh.
5. Perbedaan Dalam Keshahihan Hadits
Kalau tadi kita bicara bahwa Al-Quran mengandung banyak sumber perbedaan pendapat,
maka ketika bicara hadits tentu kita akan menemukan lebih banyak lagi sumber
perbedaan. Dan yang paling menonjol dalam perbedaan dalam ilmu hadits adalah
perbedaan dalam memberikan status hukum suatu hadits atau yang dikenal sebagai
proses al-hukmu 'alal hadits.
Banyak orang mengira keshahihan suatu hadits itu ditetapkan berdasarkan wahyu dari
langit. Padahal shahih tidaknya suatu hadits semata-mata adalah hadil ijtihad
manusia. Al-Imam Al-Bukhari itu bukan nabi utusan Allah yang meneriwa wahyu dari
Jibril tentang shahih tidaknya suatu hadits. Tujuh ribuan hadits yang terdapat
dalam kitab Shahihnya semua hanyalah hasil ijtihad beliau semata.
Walaupun kita juga tahu bahwa umumnya orang mengatakan bahwa kitab tershahih kedua
setelah Al-Quran adalah kitab Shahih Bukhari. Dan Al-Bukhari memang dikenal sebagai
kritikus hadits paling ketat dalam menetapkan syarat keshahihan suatu hadits. Ibnu
Shalah kemudian dikenal sebagai orang yang pertama kali memproklamasikan bahwa
kitab Shahih Bukhari itu merupakan kitab tershahih kedua setelah Al-Quran.
Namun demikian, tetap saja keshahihannya itu semata-mata berdasarkan ijtihad
manusia, dan bukan merupakan wahyu dari langit.
Yang menarik, ketika syarat-syarat yang dirumuskan oleh Al-Bukhari ini kemudian
digunakan ahli hadits yang lain, maka kualitasnya tetap dianggap tidak sama. Ketika
yang menerapkan syarat-syarat bukan Al-Bukhari tetapi Imam Al-Hakim, maka kitab Al-
Mustadrak karya Al-Hakim tidak dianggap selevel dengan Shahih Bukhari.
Penyebab Perbedaan Pendapat
Sebenarnya kalau kita teliti lebih dalam, perbedaan pendapat itu bukan hanya ada di
dalam Ilmu Fiqih. Setiap cabang ilmu agama, termasuk Al-Quran dan Al-Hadits
sekalipun, tidak pernah sepi dari perbedaan pendapat. Ilmu Nahwu dan Sharaf, ilmu
sirah, ilmu aqidah dan akhlaq pun juga punya banyak sekali perbedaan.
Lalu yang menjadi pertanyaan, kenapa terkesan bahwa ilmu fiqh itulah satu-satunya
cabang ilmu yang menghidup-hidupkan perbedaan pendapat?
Jawabnya karena ilmu yang paling luas cakupannya serta paling dekat dengan umat
Islam adalah Ilmu Fiqih. Bahkan setiap kita menyebut ilmu agama, maka agak sulit
untuk keluar dari Ilmu Fiqih. Akibatnya yang terkesan banyak perbedaan pendapatnya
adalah Ilmu Fiqih. Maka Ilmu Fiqih selalu menjadi kambing hitam dan yang selalu
disalah-salahkan orang.
Padahal banyak orang meributkan masalah yang mereka tidak tahu ilmunya secara
lengkap. Mereka kurang punya dasar dalam Ilmu Fiqih perbandingan mazhab, sehingga
yang muncul hanya sikap-sikap fanatisme dari kalangan yang sebenarnya kurang ilmu
sebagai bekal.
D. Fiqih Mengurusi Masalah Yang Remeh
Ada sebagian kalangan, baik orang awam maupun sebagian dari aktifis dakwah, ustadz
dan penceramah yang berpandangan bahwa Ilmu Fiqih itu hanya mengurus masalah remeh-
temeh dan amat sederhana, sehingga tidak perlu diberi porsi yang terlalu besar
dalam kajian dan skala prioritas.
Menurut mereka ada prioritas yang lebih penting dari sekedar belajar fiqih, seperti
masalah besar umat Islam. Di antara kita perlu memikirikan masalah Palestina dan
Suriah. Demikian juga memikirkan untuk bagaimana menangkal aliran-aliran sesat
seperti syiah dan sebagainya. Umat juga berhadapan dengan perang pemikiran atau
yang disebut dengan Al-Ghazwul Fikri.
1. Ilmu Ada Urutannya
Memang kesan semacam itu sering ditemukan baik dalam pemikiran orang-orang awam
seperti kita, bahkan juga dalam dimensi padangan para tokoh agama. Kesannya Ilmu
Fiqih itu hanya urusan air dua qullah, najis dan hal-hal yang terkait dengan kamar
mandi saja. Cara pandang seperti ini memang tidak bisa kita salahkan sepenuhnya.
Sebab Ilmu Fiqih itu memang mencakup semua aspek kehidupan. Istilah kerennnya
adalah yatanawalu mazhahirah hayati jami'an.
Tapi kalau kita buat urut-urutannya, biasanya memang kita mulai dari Bab Thaharah.
Karena syarat yang paling utama seseorang bisa diterima shalatnya memang harus suci
terlebih dahulu. Jadi mau tidak mau thaharah harus dibahas terlebih dahulu.
Adapun urusan jihad di Palestina dan Suriah, jangan dikira fiqih tidak membahasnya.
Bab-bab terkait dengan masalah jihad tentu ada babnya juga. Namun dari segi urut-
urutannya, bab-bab jihad itu terdapat di bagian-bagian akhir dari kitab fiqih.
Dan kalau kita bicara tentang proses hisab nanti di alam akhirat, yang ditanya
pertama kali juga bukan apakah anda pernah angkat senjata ke Palestina, berapa
rupiah yang Anda donasikan untuk membantu saudara-saudara kita di berbagai negeri
lain itu. Yang ditanya malaikat pertama kali adalah masalah shalat. Jihad ditanya
belakangan.
Wajar kita bicara masalah thaharah dan shalat dulu dari pada jihad. Buat apa kita
jihad angkat senjata kalau shalat kita malah tidak sah, karena tidak memenuhi
syarat dan rukunnya?
2. Shalat Yang Akan Ditanya Pertama Kali
Maka kalau ada orang bilang tinggalkan fiqih, karena cuma mengurusi masalah yang
remeh-remeh saja, maka kita jawab siapa bilang fiqih itu remeh. Justru masalah
shalat itu yang pertama kali akan ditanya di alam akhirat.
E. Fiqih Meninggalkan Ibadah Sunnah
Ada sebagian kalangan yang menuduh bahwa mereka yang belajar Ilmu Fiqih umunya
adalah orang yang menggampangkan ibadah sunnah, dan maunya hanya mengerjakan ibadah
yang wajib-wajib saja.
Lalu yang dipersalahkan adalah Ilmu Fiqih, karena dianggap telah merusak akhlak
manusia, lantaran mengajarkan membeda-bedakan ibadah menjadi wajib dan sunnah.
Akibatnya orang-orang jadi tidak mau mengerjakannya. Mereka akan berpikir, toh
hukumnya tidak diwajibkan, bila ditinggalkan tidak berdosa juga. Dari sanalah
kemudian muncul pemikiran untuk menjauhkan umat Islam ini dari Ilmu Fiqih. Fiqih
dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap keikhlasan manusia dalam beribadah
kepada Allah.
Jawaban
Kita bisa menjawab tuduhan seperti ini dengan tiga jawaban yang berbeda.
1. Ketebalan Iman Tiap Orang Berbeda-beda
Bagi mereka yang imannya tebal dan semangat keagamaannya sudah baik, maka bila
mengerjakan ibadah yang bersifat sunnah tentu sudah tidak berat lagi, bahkan
dianggap sebagai kebutuhan. Mereka dengan nikmatnya bisa mengerjakan semua ibadah
shalat, baik qabliyah, bakdiyah, tahiyatul masjid, bahkan tiap malam begadang
bangun untuk tahajjud sambil menangis bercucuran air mata.
Siangnya mereka rajin sekali berpuasa, setidaknya setiap hari Senin dan Kamis,
selain juga semua jenis ibadah sunnah lainnya. Bahkan tiap hari lidahnya tidak
pernah kering dari berzikir serta membaca Al-Quran, minimal sehari satu juz alias
tiap bulan bisa mengkhatamkan Al-Quran.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari semua ibadah itu. Toh semuanya mendatangkan
kebaikan dan pahala di akhirat nanti. Cuma yang jadi masalah, semua ibadah itu
belum tentu bisa dikerjakan oleh semua umat Islam. Sebab banyak diantara mereka
yang imannya masih tipis, serta semangat keagamaannya belum seperti wali.
Jadi kalau mereka dipaksa-paksa untuk menjalankan semua bentuk ibadah itu, alih-
alih melakukannya, boleh jadi malah semua ditinggalkan, karena saking beratnya
dalam pandangan mereka.
2. Semangat Ibadah Tidak Selalu Membara
Adakalanya suasana kebatian seseorang sedang dalam keadaan prima dan puncak, maka
dia suka beribadah dan gemar menabung untuk bekal akhirat.
Akan tetapi ada kalanya kita mengalami masa-masa surut. Mungkin sebulan, dua bulan,
tiga bulan di awal semangatnya masih menggebu-gebu, apalagi ditambah bahwa ibadah
ini dikerjakan secara berjamaah, bahkan dilaporkan progressnya lewat sosial media.
Namun ada kalanya seseorang ditimpa rasa bosan, jenuh, futur, serta kurang
bersemangat. Kalau pun bisa dipaksakan, biasanya tidak akan bertahan lama. Lantas
apakah semua ibadah itu bisa ditinggalkan begitu saja?
Jawabnya tentu saja tidak, karena ada jenis ibadah tertentu yang sudah harga mati,
tidak boleh ditinggalkan sama sekali. Walaupun ada banyak yang boleh saja
ditinggalkan sementara waktu. Terus bagaimana cara kita membedakan mana yang bisa
ditinggalkan sementara dan mana yang tetap wajib dikerjakan?
Jawabnya tentu saja ada di Ilmu Fiqih. Karena Ilmu Fiqih inilah yang melakukan
klasifikasi antara yang wajib dikerjakan dan yang tidak wajib alias sunnah.
3. Jangan Sampai Meninggalkan Wajib
Umat harus diberi ilmu tentang hukum-hukum agama, khususnya mana yang wajib dan
tidak boleh ditinggalkan, dan mana yang sunnah sehingga boleh saja ditinggalkan.
Dengan kita tahu mana amal yang hukumnya wajib dan mana yang sunnah, maka kita bisa
mendapat jaminan untuk tidak meninggalkan yang wajib. Kalau umat ini dibikin buta
atas perbedaan hukum-hukum agama, sehingga mereka tidak bisa membedakan mana wajib
dan mana sunnah, maka resikonya ada dua.
Pertama, bisa saja mereka mengerjakan semuanya, baik yang hukumnya wajib ataupun
yang hukumnya sunnah. Kalau ini yang terjadi tentu saja masalahnya selesai.
Kedua, dan ini yang justru sering terjadi, yaitu malah sebaliknya. Umat ini malah
jadi terbolak-balik dalam mengerjakan hukum dan perintah agama. Sementara yang
sunnah justru dibela mati-matian. Sampai orang lain bisa disalah-salahkan dan
dicaci maki ketika tidak mengerjakan yang sunnah. Tetapi justru amal-amal yang
hukumnya wajib malah ditinggalkan.
Maka yang paling tepat adalah ajarkan kepada mereka mana yang wajib dan mana yang
sunnah. Biar nanti mereka yang mementukan apakah mau mengerjakan yang sunnah atau
tidak. Yang penting, jangan sampai mereka meninggalkan yang wajib. Dalam hal ini
kita tidak bisa mewajibkan semua jenis amal dalam agama, karena jumlahnya terlalu
banyak. Pasti kita hanya bisa mengerjakan sebagian saja, tidak mungkin mengerjakan
semuanya. Dan untuk itu harus ada skala prioritas, mana yang wajib dan tidak boleh
ditinggalkan, dan mana yang sunnah sehingga boleh ditinggalkan.
4. Ulama Fiqih Rajin Mengerjakan Sunnah
Tuduhan bahwa Ilmu Fiqih itu mengakibatkan kemalasan umat dari mengerjakan amalan-
amalan sunnah adalah tuduhan yang tidak berdasar dan tidak ada bukti.
Kalau ada orang awam malas menerjakan ibadah sunnah, jangan salahkan Ilmu Fiqihnya.
Tapi hal itu karena kondisi orangnya.

Bab 5 : Proses Terbentuknya Hukum Fiqih

Pada bab ini kita akan mempelajari lebih dalam bagaimana hukum-hukum itu fiqih
terbentuk, dari asalnya berupa teks wahyu baik dalam format Al-Quran maupun dalam
bentuk sunnah nabawiyah, kemudian menjadi produk hukum-hukum praktis yang siap
dipakai dalam kehidupan sehari-hari bagi orang masyarakat awam.
A. Proses Terbentuknya Hukum
Hukum-hukum fiqih lahir dari beberapa proses panjang yang disebut dengan istimbath
al-ahkam. Hukum-hukum fiqih itu bukan wahyu yang turun begitu saja dari langit,
tidak sebagaimana turunnya ayat Al-Quran dan hadits nabawi
Meski bukan merupakan wahyu langsung, namun hukum-hukum fiqih itu bukan sekedar
rekaan atau karangan manusia.
Dalam prosesnya, teks-teks wahyu dan juga hadits-hadits nabawi dikomparasikan
dengan realitas atau kenyataan yang amat dinamis, dimana manusia ditakdirkan hidup
dengan realitas kehidupan sosial yang berbeda-beda, baik secara adat, karakter,
budaya, tradisi, etika yang satu sama lain saling berbeda. Dan itulah hakikat Ilmu
Fiqih.
Namun satu hal yang sering luput dari perhatian orang, tidak mentang-mentang fiqih
itu hasil istimbath manusia, lalu siapa saja berhak melakukannya.
Para ulama sepakat bahwa tidak semua orang boleh melakukan proses komparasi itu.
Setidaknya hanya mereka yang benar-benar memenuhi syarat sebagai mujtahid saja yang
diberi wewenang dan otoritas untuk melakukannya. Itu pun dengan tetap harus
menggunakan kaidah-kaidah yang diterima secara ilmiyah, nalar dan juga diakui
secara sah sebagai kaidah yang muktamad.
Barulah hasil akhirnya akan kita dapat berupa hukum-hukum fiqih yang kita kenal
sebagai wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Ibarat makanan, Ilmu Fiqih adalah hidangan siap santap di atas meja yang mengundang
selera. Buat kita yang makan, mungkin tidak terbayang bagaimana opor ayam itu
sebelumnya mengalami proses panjang dalam pembuatannya. Dan ternyata proses itu pun
tidak mudah. Dan tidak sembarang orang bisa memasaknya dengan hasil yang memuaskan.
Kalau kita perhatikan, hidangan opor ayam sebelum sampai di meja makan kita itu,
sebelumnya telah mengalami proses dari bahan mentah, lalu diolah sedemikian rupa
oleh chef atau juru masak yang berpengalaman, hingga akhirnya terhidang di atas
meja siap disantap.
Bahan baku utama opor ayam sebelum dimasak tentu seekor ayam yang asalnya masih
hidup di peternakan. Ayamnya perlu dipilih yang sehat dan baik, kemudian ditangkap,
disembelih dengan benar, dicabuti bulunya, dibersihkan isi perutnya, bagian yang
tidak perlu dibuang, lalu dimasak dasar.
Selain ayam, opor itu juga terbuat dari berbagai ramuan khas serta bumbu-bumbu
lainnya. Bumbu-bumbu itu tentu sebelumnya masih di perkebunan.
Bumbunya yang utama adalah santan kelapa, maka harus ada orang yang memanjat pohon
kelapa terlebih dahulu, lalu mengupasnya, memarutnya, dan membuat santannya. Tentu
bumbunya bukan hanya santan, tetapi ada lusinan bumbu lainnya yang juga harus
dipetik dulu di kebun.
Semua bahan itu tidak akan tiba-tiba berubah menjadi opor ayam begitu saja. Dalam
hal ini kita membutuhkan juru masak ahli dan berpengalaman untuk memasak opor ayam,
biar ayamnya empuk tidak keras, bumbunya meresap, tidak hambar dan juga tidak
terlalu ekstrim. Tentunya dibutuhkan keahlian tersendiri. Orang yang belum pernah
memasaknya, di awal pertama kali mencoba memasaknya, pasti akan banyak melakukan
kesalahan.
Pendeknya, semua itu adalah proses pembuatan opor ayam. Opor ayam tidak tiba-tiba
turun dari langit mendarat tepat di atas meja makan kita.
Lain halnya bila kita membeli opor ayam itu di rumah makan, yang kita perlukan
hanya uang sebagai harga pembelian. Dan kita bisa langsung duduk manis sambil
melahapnya saat itu juga. Kita yang beli jadi opor ayam adalah orang-orang yang
terima rapi saja, tidak perlu repot-repot memasak dan memprosesnya.
Itulah perumpamaan sederhana, untuk mendekatkan kita dengan kenyataan. Intinya,
kita ini umumnya adalah orang-orang awam dan bukan mujtahid. Kita tidak melakukan
semua proses ijtihad di atas. Sebagai orang awam, kita hanya terima bersih dan
tinggal menggunakan saja hasil-hasil ijtihad para ulama.
Dan akan terasa aneh kalau orang yang tidak punya kapasitas ulama, tiba-tiba merasa
dirinya paling pintar bahkan merasa lebih pintar dari ulama.
B. Sumber Yang Statis
Di atas tadi sudah disebutkan bahwa Ilmu Fiqih bersumber dari wahyu atau firman
Allah SWT
1. Al-Quran dan As-Sunnah
Al-Quran maupun As-Sunnah adalah jalur resmi datangnya wahyu dari Allah SWT
Sedangkan firasat, ilham, mimpi, kasysyaf, wangsit dan lain-lainnya, mungkin saja
datang dari Allah SWT, namun semua jelas-jelas bukan wahyu yang merupakan risalah
yang formal dan resmi. Semua itu tidak turun lewat jalur resmi, sebagaimana wahyu
yang lewat Malaikat Jibril serta lewat mekanisme kenabian.
Karena itu hukum-hukum fiqih tidak boleh didasarkan atas semua hal di atas,
meskipun dialami oleh orang shaleh sekalipun.
Wahyu yang yang dijadikan sumber hukum-hukum fiqih adalah wahyu risalah yang resmi,
datangnya lewat Nabi Muhammad SAW, yaitu berupa ayat-ayat Al-Quran dan sunnah
Rasulullah SAW.
2. Mutlak Kebenarannya
Baik Al-Quran maupun As-Sunnah yang shahihah, keduanya adalah sumber syariah Islam
yang bersifat mutlak kebenarannya, karena ada jaminan atas hal itu dari Allah SWT
Namun demikian, keduanya bersifat statis dan tidak boleh mengalami perubahan, baik
koreksi, tambahan, pengurangan dengan cara apa pun, sepeninggal Rasulullah SAW.
Kalau sampai berubah atau boleh diubah-ubah oleh manusia, justru malah menjadi
masalah. Karena originalitasnya tentu akan sangat dipertanyakan, sebagaimana
tragedi yang menimpa agama-agama samawi sebelum masa risalah Muhammad SAW.
Para pemuka agama baik yahudi maupun nasrani dilaknat Allah SWT, karena mereka
nekat mengubah ayat-ayat Allah yang telah baku.
ِ
‫سمعنا وعصينا‬ ‫واض ِع ِه ويقُول ُون‬
ِ ‫حرفُون الكلِم عن ّم‬
ّ ِ ُ ‫هادوا ي‬
ُ ‫ِمن ال ِّذين‬
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya . Mereka
berkata : "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. (QS. An-Nisa’ : 46)
3. Statis
Karena Al-Quran dan As-Sunnah tidak boleh mengalami revisi, pengeditan, penambahan,
atau pengurangan, maka otomatis keduanya bersifat statis.
Walaupun teknik penulisan aksara Arab mengalami perkembangan sepanjang waktu, namun
bunyi ayat Al-Quran itu tidak mengalami perubahan apa pun. Dan sesungguhnya yang
turun kepada Rasulullah SAW dahulu bukan buku dengan tulisan Arab, melainkan suara
dari malaikat Jibril alaihissalam kepada beliau SAW, yang merupakan firman Allah
SWT
Seandainya kita punya mesin waktu, dan kita kirim anak-anak Taman Pendidikan Al-
Quran (TPA) ke zaman dimana para shahabat Nabi dahulu hidup di Mekkah dan Madinah,
maka bacaan Al-Quran mereka akan sama persis seperti bacaan para shahabat Nabi
ridhwanullahi ‘alaihim.
Apa yang ada di dalam Al-Quran tidak akan mengalami perubahan sampai hari kiamat.
Demikian juga, apa yang tercatat di dalam hadits nabawi, juga tidak akan mengalami
perubahan apa pun sampai akhir zaman.
Keduanya adalah kitab abadi, bahkan bahasa yang digunakan pun tidak boleh diubah,
atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Kalau pun ada versi terjemahan, maka terjemahan itu bukan wahyu, tetapi hasil karya
manusia. Sebuah buku yang isinya hanya terjemahan 30 juz Al-Quran tanpa menyertakan
teks aslinya dalam bahasa Arab, tidak diakui sebagai Al-Quran.
Jadi kalau pakai logika ini, maka Alkitab berbahasa Indonesia yang rajin dibawa
oleh para pastor itu bukan wahyu Allah, melainkan 100% hasil karya manusia.
C. Realitas Kehidupan Yang Dinamis
Meski Al-Quran dan As-Sunnah bersifat statis, namun keduanya bukan musium yang
hanya menjadi saksi bisu atas apa yang pernah terjadi di masa Rasulullah SAW.
Keduanya justru harus hidup sepanjang zaman, di berbagai tempat di permukaan planet
bumi ini, menjadi petunjuk, pedoman, sumber rujukan hukum, dan juga sebagai undang-
undang yang berlaku di semua negeri.
1. Berbeda-beda
Umat manusia diciptakan Allah SWT dengan segala keragamannya. Dan keragaman ini
melahirkan perbedaan budaya, adat, etika, bahkan hukum, konvensi dan aturan-aturan
yang bersifat lokal ke daerahan.
Apa yang dipandang baik oleh suatu bangsa, boleh jadi oleh bangsa lain dianggap
sangat tidak baik.
Memegang kepala orang lain yang lebih tua dan dihormati, bagi bangsa Arab dianggap
kesopanan dan akhlaq mulia. Menantu akan lebih disayang mertua kalau memegang
kepala mertua.
Tetapi jangan sekali-kali hal itu dilakukan di negeri kita, bisa-bisa langsung
ditempeleng mertua dan dipecat jadi menantu. Sebab buat orang Indonesia, kepala
adalah organ yang terhormat, tiap tahun dikeluarkan zakatnya, jadi jangan dipegang-
pegang kecuali orang tua mengelus kepala bayinya sendiri.
Bangsa Tibet yang di mendiami pegunungan Himalaya, 3.000 meter di atas permukaan
laut, punya kebiasaan aneh untuk menunjukkan tanda kesopanan dalam menyambut tamu,
yaitu mereka akan menjulurkan lidahnya.
Maka para tamu harus membalas menjulurkan lidah juga sebagai bentuk penghormatan.
Jangan sekali-kali hal itu kita lakukan di tempat lain, karena bisa dianggap
menghina dan mencemooh. Ujung-ujungnya malah kita dikira mengajak adu jotos.
2. Dinamis
Selain berbeda-beda tolok ukur kebaikan, kehidupan umat manusia pun sangat dinamis,
setiap saat mengalami perubahan.
Apa yang di suatu masa dianggap sebagai kebaikan, belum tentu pada 20-30 tahun
kemudian masih dianggap baik. Dan sebaliknya, apa yang kita anggap sebuah kedegilan
di masa sekarang, mungkin saja 50 tahun lagi dianggap perbuatan mulia.
Karya-karya di masa lalu yang dianggap sebagai bagian dari idealisme seorang
ilmuwan, seiring dengan berjalannya waktu, di masa lain dianggap realitas potensi
kekayaan.
Di masa lalu ketika Al-Bukhari menuliskan kitab Ash-Shahih, tidak pernah terbersit
di kepalanya untuk menjual kitabnya itu, sekedar untuk mendapatkan uang. Di masa
itu tidak dikenal hak cipta dan hak kekayaan intelektual atas karya itu.
Tetapi hari ini, buku yang hanya 100-an halaman saja, sedangkan isinya hasil cuplik
sana sini, dianggap sebagai hak kekayaan intelektual yang dilindungi undang-undang
dan menghasilkan sumber mata pencaharian.
Bahkan bahasa yang digunakan suatu bangsa akan berganti dengan bahasa lain seiring
dengan berjalannya waktu. Empat ratus tahun yang lalu tidak ada orang berbicara
dengan menggunakan bahasa Indonesia di nusantara kita ini. Mereka mungkin bicara
dengan bahasa Sansekerta, Arab, atau Mandarin. Andaikan mesin waktu bisa membawa
kita ke masa hidup Wali Songo, dipastikan kita tidak bisa ngobrol dengan para wali
itu.
Kenapa?
Soalnya, bahasa yang mereka pakai bukan bahasa Indonesia, sedangkan kita justru
tidak mengerti bahasa mereka. Jadi mungkin kita akan pinjam bahasa Tarzan alias
pakai isyarat.
Dahulu orang Mesir punya bahasa purba, yang juga punya aksara tersendiri. Orang
Mesir hari ini sayangnya tidak bisa membaca apa yang terukir di Pyramid peninggalan
nenek moyang mereka sendiri, karena bahasa mereka sudah berubah menjadi bahasa
Arab.
Kalau kita buka arsip koran yang terbit tahun 50-an, maka kita akan terpingkal-
pingkal membacanya. Bahasa memang bahasa Indonesia, tetapi susunan bahasa dan
redaksinya terasa aneh dan jenaka buat ukuran di zaman sekarang ini.
Di masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar radhiyallahuanhuma, kalau ada unta lepas
dari tuannya, hukum konvensi yang berlaku adalah biarkan saja unta itu berkeliaran,
sampai pemiliknya menemukannya. Unta bisa bertahan hidup, dia akan mencari makan
dan minum sendiri.
Ketika masuk masa pemerintahan Amirul Mukminin Ustman bin Al-Affan radhiyalahuanhu,
konvensinya berubah. Unta yang tersesat harus diselamatkan oleh penemunya, dibawa
pulang, dipelihara, dikasih makan dan minum dan dilindungi. Nanti bila pemiliknya
datang mencari, baru dikembalikan.
Hal itu karena masa itu sudah agak rawan dengan pencurian. Kota Madinah tidak lagi
seseteril sebelumnya. Para shahabat yang mulai banyak yang merantau jauh ke
berbagai penjuru dunia, sementara orang dari luar Madinah banyak yang masuk dan
tinggal disana.
D. Ijtihad Ulama
Hukum-hukum fiqih adalah perpaduan antara dalil-dalil syar'i dengan realitas
kehidupan. Namun dalam prosesnya, produk hukum fiqih itu tidak akan bisa lepas dua
faktor utama, yaitu keberadaan para ahli fiqih sebagai ahli yang bekerja dengan
sungguh-sungguh, serta adanya metodologi ijtihad yang standar untuk digunakan
sebagai media. Tanpa keduanya, maka proses memproduksi hukum itu akan bermasalah.
Ibarat sawah, tidak akan menghasilkan panen kalau tidak ditanami oleh petani. Namun
petani juga butuh alat pertanian seperti pacul dan lainnya.
Ibarat perang, tidak akan berjalan kalau tidak ada tentara yang terjun ke medan
laga. Namun para tentara juga butuh berbagai senjata dan perlengkapan peperangan.
1. Ahli Fiqih
Memproduksi hukum-hukum fiqih adalah tugas yang amat berat. Tugas yang amat berat
ini tidak mungkin dikerjakan oleh sembarang orang, kecuali mereka yang terdidik dan
terlatih secara profesional di bidangnya. Mereka itu kita sebut ahli fiqih.
Kerja membakar sate tidak akan sempurna, kalau tangan-tangan amatir yang
melakukannya. Walaupun hanya membakar sate, pekerjaan yang kita anggap sepele,
tetap saja butuh keahlian. Maksudnya, agar satenya tetap enak dimakan, tidak pahit
karena terlalu gosong, tetapi juga tidak keras karena masih terlalu mentah.
Apalagi kerja untuk menarik kesimpulan hukum, tentu bukan hal yang sederhana. Kalau
kita ibaratkan dengan dunia kesehatan, ahli fiqih itu ibarat dokter spesialis, yang
tentunya harus merupakan lulusan dari Fakultas Kedokteran, mulai dari jenjang S-1
sampai jenjang-jenjang berikutnya.
Meski menolong orang sakit itu sebuah ibadah yang mendatangkan pahala dan
disunnahan kepada setiap orang, namun mengobati orang sakit tidak boleh dikerjakan
oleh sembarang orang. Karena ilmu kesehatan itu amat kompleks dan serba rumit.
Untuk itu dibutuhkan keahlian di atas rata-rata.
Sejak dari masih calon mahasiswa fakultas Kedokteran, sudah ada seleksi ketat.
Hanya mereka yang tahan begadang untuk belajar berjam-jam dan benar-benar siap
mental saja, yang berani mendaftarkan diri. Mereka yang etos belajarnya lemah dan
terbelakang, biasanya sejak awal sudah menghindari jauh Fakultas Kedokteran.
Kenyataannya, kuliah di Fakultas Kedokteran itu memang teramat berat. Tidak semua
lulusan SMU dan sederajat boleh berhayal bisa masuk fakultas ini. Para calon dokter
itu kadang harus mengikuti berbagai macam perkuliahan dan praktek yang amat tidak
manusiawi, mulai dari membedah kodok sampai membedah mayat manusia yang sudah
busuk.
Lulus dari Fakultas Kedokteran, tidak lantas sudah boleh praktek. Masih ada sekian
banyak proses lain yang wajib diikuti, sampai akhirnya resmi diberi izin praktek.
Demikian juga dengan ahli fiqih, mereka hanya berjumlah beberapa gilintir orang
saja di tiap-tiap zamannya. Mereka adalah orang-orang langka yang hidup di masing-
masing zamannya. Hal itu karena pekerjaan mereka hanya bisa dikerjakan oleh orang-
orang yang amat terdidik dan terlatih secara ketat.
2. Ilmu Istimbath Hukum
Perbedaan orang awam yang bodoh dengan para ulama yang ahli di bidang ijtihad
adalah dalam masalah penggunaan ilmu yang menunjang metodologi yang benar, untuk
bisa melakukan istimbath hukum yang hasilnya juga benar.
Orang awam bertindak ceroboh dalam mengambil kesimpulan hukum agama, sehingga
seringkali mereka malah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Hal
itu terjadi selain karena umumnya mereka bekerja tanpa keterampilan, juga tidak
menggunakan alat-alat yang mendukung.
Sedangkan para ulama, dalam memproduksi hukum-hukum fiqih, bisa kita ibaratkan
dengan para pekerja profesional yang bekerja dengan sepenuh keterampilan dan juga
dengan menggunakan alat-alat yang mumpuni.
Kita ibaratkan proses untuk menghasilkan hukum-hukum fiqih ini dengan produksi
kendaraan bermotor.
Untuk memproduksi sebuah unit kendaraan bermotor seperti mobil, bukan hanya
dibutuhkan seorang yang ahli di bidang perbengkelan. Kalau modalnya hanya tang dan
obeng, jelas tidak akan bisa memproduksi.
Pabrik sepeda motor memiliki berbagai alat dan mesin canggih yang mampu
menghasilkan produksi dalam jumlah besar dan tentunya berkualitas. Di pabrik yang
besar itu, ribuan unit sepeda motor bisa diproduksi sejak dari kerangka hingga
menjadi bisa dipakai dalam sehari. Kalau pabrik itu hanya punya tang dan obeng
sebagai alatnya, meski pun punya ribuan karyawan, sudah pasti tak satu pun sepeda
motor bisa diproduksi.
Perumpamaan seperti di atas kalau kita kaitkan dengan Ilmu Fiqih, bahwa meski ada
begitu banyak tokoh agama dengan beragam sebutannya, tapi kalau mereka tidak
dibekali dengan alat yang memadai, yaitu ilmu istimbath hukum, hasilnya akan sia-
sia belaka.
Kita ambil contoh yang lainnya. Seorang dokter meski pun dia sangat pintar, tapi
kalau dia berpraktek di sebuah desa terpencil pada puncak sebuah gunung, tentu
tidak bisa berbuat banyak kalau mendapatkan pasien yang menderita penyakit dalam.
Sebab dia tidak punya alat yang cukup.
Untuk itu biasanya kasus seperti ini, para dokter akan merujukkan pasiennya kepada
rumah sakit dengan fasilitas yang memadai, untuk dilakukan berbagai tindakan medis.
Stateskop dan jarum suntik milik dokter di desa tentu tidak akan banyak bermanfaat,
kalau pasiennya menderita penyakit yang kompleks.
Lalu dalam urusan ijtihad, mesin dan alat itu apa bentuknya?
Tidak lain dan tidak bukan adalah Ilmu Ushul Fiqih dengan segala cabang-cabangnya
sebagai pokok utama metodologi istimbat hukum.
a. Ilmu Tafsir
Ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mujtahid salah satunya adalah ilmu tafsir, yang
sumber utamanya tidak lain adalah Rasulullah SAW dan juga para shahabatnya.
Mereka itulah generasi yang Allah SWT langsung turunkan Al-Quran di tengah-tengah
kehidupan mereka. Tentu mereka pula generasi yang paling tahu dan mengerti apa-apa
yang diinginkan Allah atas tiap ayat yang turun.
Tanpa penguasaan ilmu tafsir yang benar dan cukup, seorang mujtahid tidak bisa
bekerja dengan baik.
b. Ilmu Naqd Hadits
Ilmu naqd (kritik) hadits adalah ilmu yang tidak boleh luput dari kemampuan seorang
mujtahid. Sebab yang di-istimbath tidak lain adalah hukum-hukum yang bersumber dari
Rasulullah SAW. Kalau jalur periwayatannya saja sudah bermasalah, maka istimbath
hukumnya sudah pasti bermasalah juga.
Maka sebelum menjadi seorang mujtahid, seorang ulama harus menjadi ahli hadits
(muhaddits) terlebih dahulu. Setidaknya dia harus punya kemampuan untuk memilah
mana hadits yang bisa dijadikan sandaran, dan mana yang tidak bisa dijadikan
sandaran.
Di antara paham yang keliru yang perlu diluruskan dari persepsi orang-orang selama
ini adalah anggapan seolah-olah para ahli fiqih tidak mengerti ilmu hadits.
Sehingga mereka sering dituduh hanya mengandalkan akal dan logika saja, dengan
menafikan hadits. Padahal, syarat untuk menjadi ahli fiqih itu justru harus sudah
lulus menjadi ahli hadits. Dan tidak ada seorang pun dari para ulama fiqih yang
bukan ahli hadits.
c. Ilmu Bahasa Arab
Al-Quran tidak pernah diturunkan ke permukaan bumi ini kecuali dalam bahasa Arab.
Sebab Rasulullah SAW sebagai penerima wahyu hanya bisa berbahasa Arab.
Demikian juga sunnah nabawiyah, yang merupakan perbuatan, perkataan dan iqrar
Rasulullah SAW, tidak lah sampai kepada kita lewat rangkaian panjang periwayatan,
kecuali redaksinya selalu berbahasa Arab.
Maka bila seorang mujtahid ingin menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-
Sunnah, mustahil bisa dilaksanakan bila dirinya tidak mengerti bahasa Arab.
Maka syarat mutlak ilmu yang harus minimal dikuasai oleh seorang mujtahid adalah
ilmu tentang bahasa Arab dengan segala cabang dan rantingnya.
Bahasa Arab memang tidak mudah diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa Indonesia.
Tidak semua kata atau frasa ada padanannya, sehingga bahasa terjemahan yang
harfiyah tentu tidak mampu menyampaikan isi pesan yang seutuhnya.
Para penerjemah bahasa asing, khususnya dari bahasa Arab memang harus pandai dan
cerdas. Selain harus mengerti betul gaya bahasa aslinya, juga harus pandai
mencarikan padanan kata atau ungkapan yang punya makna setara atau minimal agak
mendekati aslinya. Kalau tidak demikian, maka pada gilirannya malah bisa jadi
malapetaka.
Ittaqillah
Dalam bahasa Arab, kalau ada orang berkata kepada kita ittaqillah (‫)اتق الله‬, maknanya
bukan sekedar bertaqwalah atau takutlah kepada Allah. Tetapi kalimat itu sudah
mengandung ancaman, atau setidaknya sebuah tuduhan bahwa kita ini bersalah dalam
pandangannya.
Sehingga kalau sampai orang Arab bilang ittaqillah kepada kita, harus dipahami
bahwa orang itu menyalahkan kita dan ungkapan dalam bahasa kita kurang lebih
menjadi 'jangan begitu', 'awas', 'hati-hati' dan sejenisnya.
Aku Mencintaimu di Jalan Allah
Menarik juga ungkapan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW kepada kita untuk
disampaikan kepada sesama muslim, yaitu inni uhibbuka fillah (‫)أني أحبك في الله‬. Kalau
kita menghormati seorang dosen atau tokoh ulama di kalangan orang-orang Arab, maka
ungkapan ini termasuk salah satu sopan santun yang tinggi.
Tetapi jangan sekali-kali ungkapan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
secara harfiyah. Apalagi kalau sampai digunakan di tengah pergaulan sesama anak
bangsa. Sebab terjemahannya akan jadi lain dan jauh sekali.
Kalau sampai ada seorang laki-laki berkata kepada teman sesama laki-laki,"Aku
mencintaimu karena Allah", maka dahi temannya itu pasti akan berkerut sepuluh
lipatan tanda bingung. Dan boleh jadi dalam hatinya dia curiga. Jangan-jangan orang
ini hombreng, masak sesama lelaki bilang cinta-cintaan segala?
Yakhrabbetak
Orang Mesir punya makian khas kalau lagi berseteru dengan sesama mereka. Bahasa itu
tentu saja ammiyah dan bukan bahasa fushah.
Yakhrab betak!!
Terjemahan apa adanya adalah rumahmu musnah, rusak atau terbakar. Sebagaimana bisa
kita baca di dalam Al-Quran tentang rumah yang musnah :
َ ‫ؤم ِن‬
‫ين‬ ِ ‫الم‬ ِ ‫ون بُيُوتَ ُهم ِبَأي ِد‬
ُ ‫يهم َوَأي ِدي‬ َ ُ‫خرب‬
ِ ُ‫عب ۚ ي‬ ُّ ‫َو َقذ ََف ِفي ُقل ُوب ِِه ُم‬
َ ‫الر‬
Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka. Mereka memusnahkan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mu'min. (QS. Al-Hasyr :
2)
Tentu saja makian atau umpatan itu tidak ada kaitannya dengan rumah yang musnah.
Itu hanya bahasa ungkapan, ketika kita terjemahkan menjadi rumahmu musnah tentu
akan lucu dan tidak enak didengar.
Barangkali mirip dengan makian khas Betawi. Tidak mungkin makian pale lo ijo
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan ra'suka ahdhar. Begitu juga tidak mungkin
menerjemahkan ungkapan muke lu jauh dengan wajhuka ba'id.
Dan ungkapan khas orang Jawa mbok yo ngene juga tidak bisa diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi ibu ya begini, atau ke dalam bahasa Inggris menjadi mother
yes like this, atau ke dalam bahasa Arab menjadi ummu na'am ha kadza.
Terjemah Istilah Dalam Nash-nash Syariah
Terjemahan ungkapan ringan macam di atas, bila hasilnya salah kaprah kita masih
boleh senyum-senyum. Tetapi bayangkan kalau kesalahan fatal itu terjadi ketika
memahami nash-nash syariah. Kalau sampai salah kaprah, bisa-bisa yang haram jadi
halal dan sebaliknya yang halal jadi haram.
Menerjemahkan bahasa Arab modern kadang kita masih kesulitan, apalagi menerjemahkan
ungkapan-ungkapan yang hanya digunakan pada 14 abad lampau, tentu lebih sulit lagi
untuk dipahami. Parahnya, tidak semua orang Arab hari ini bisa paham ungkapan-
ungkapan khas di masa Nabi SAW.
Taribat Yadaka
Seperti ungkapan Nabi SAW ketika menyebutkan empat alasan memilih istri, dimana
salah satunya karena agamanya, lalu beliau mengatakan taribat yadaaka (‫)تربت يداك‬.
Apa maksud kalimat taribat yadaaka ini?
Kalau secara harfiyah kata taribat itu bentukan dari kata turab yang artinya debu.
Sedangkan yadaaka artinya kedua tanganmu. Tetapi apa benar taribat yadaaka itu
berarti kedua tanganmu berdebu? Apa hubungannya dengan memilih istri karena faktor
agama?
Bahasa Tubuh
Yang lebih sulit lagi untuk dipahami adalah bahasa tubuh Nabi SAW. Kadang dalam
memberi fatwa, beliau tidak menggunakan kata secara verbal, melainkan dengan
menggunakan bahasa tubuh. Salah satunya adalah tertawa hingga terlihat putih
giginya.
Kasusnya terjadi ketika Amar bin Ash berijtihad meninggalkan mandi janabah dan
menggantinya dengan tayammum, karena alasan takut mencelakakan dirinya saat di
musim dingin. Mendengar itjihad shahabatnya itu, beliau SAW pun tertawa, hingga
terlihat putih giginya.
Nah, yang ini jelas membingungkan sekali. Apa makna tertawanya seorang Nabi SAW
yang berkebangsaan Arab dan hidup di abad keenam Masehi. Masalahnya bahasa tubuh
tiap bangsa itu beda-beda.
Bisa saja beliau tertawa karena memang mentertawakan tindakan shahabatnya itu yang
mungkin keliru. Seperti kita suka mentertawakan orang-orang yang keliru dan
bersalah. Itu budaya kita, kalau lihat ada orang salah atau keliru, kita terbiasa
untuk mentertawakan.
Tetapi ternyata tertawanya Nabi SAW itu bukan meledek atau mentertawai kekeliruan
orang lain. Tidak, justru tertawanya itu bermakna pembenaran atas ijtihad
meninggalkan mandi janabah menjadi tayammum. Dan itulah yang secara umum dipahami
oleh para ulama sepanjang zaman.
Disinilah terbukti bahwa urusan memahami syariat bukan sekedar menguasai bahasa
saja. Seorang asli Arab di zaman kita pun belum tentu paham maksudnya. Kita harus
belajar lebih dalam ilmu bahasa Arab yang lebih klasik lagi, yang boleh jadi di
kamus-kamus modern tidak tercantum.
Dan lebih dari itu, kita perlu merujuk ke kitab-kitab syarah hadits untuk
mengetahui apa yang dipahami para ulama di masa lalu tentang ungkapan asing itu.
Dan kalau ungkapan itu ada di dalam ayat Al-Quran, tentu kita perlu membuka kitab
tafsir.
Dan salah satu manfaat Ilmu Fiqih adalah memahami makna tiap istilah yang digunakan
dalam nash-nash syariah secara lebih mendalam. Sebab kekeliruan dalam memahaminya
akan melahirkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan hukum.
Dan kekeliruan seperti itu sangat mungkin terjadi, bila yang melakukannnya hanya
orang yang awam seperti kita yang bukan termasuk orang yang berada dalam derajat
para mujtahid.
d. Ilmu Nasikh dan Mansukh
Satu hal yang sering luput dari pengamatan kita bahwa baik Al-Quran atau pun
Sunnah, ternyata keduanya sama-sama ditulis tanpa dilengkapi data waktu turun atau
wurudnya.
Kita tidak menemukan di dalam mushaf Al-Quran data tentang pada hari apa, tanggal
berapa, bulan apa atau tahun kapan diturunkannya suatu ayat.
Hal yang sama juga ketika kita membuka kitab Shahih Bukhari atau Shahih Muslim yang
umat Islam berijma' sebagai kitab tershahih kedua dan ketiga setelah Al-Quran.
Kedua kitab itu tidak mencantumkan hari, tanggal, bulan atau tahun, dimana
Rasulullah SAW menyampaikan atau melakukannya.
Maka kita yang hidup di masa sekarang ini nyaris merasa seolah-olah semua ayat dan
hadits itu diturunkan atau disampaikan secara berbarengan.
Padahal di masa Rasulullah SAW, masing-masing ayat turun satu persatu, tidak turun
sekaligus, tetapi seiring dengan proses pensyariatan (tasyri') yang juga berjalan
sesuai dengan urutan waktu.
Pada waktu tertentu ada ayat Al-Quran yang masih membolehkan khamar, sehingga para
shahabat ridhwanullahi'alaihim masih meminumnya.
Maka disitulah letak pentingnya ilmu sirah nabawiyah dalam menarik kesimpulan
hukum. Karena ternyata antara satu ayat yang turun terlebih dahulu, dengan ayat
lain yang turun kemudian bisa saling menafikan atau membatalkan hukum.
Dan hal yang sama juga terjadi pada sunnah nabawiyah. Ada begitu banyak hadits yang
diucapkan oleh Rasulullah SAW pada zaman dahulu ketika masih di Mekkah. Kemudian
setelah itu, beliau SAW mengoreksi hukum dan memperbaharuinya, lewat hadits-hadits
yang datang kemudian.
Kalau seorang hanya mengandalkan ilmu hadits saja, tanpa punya ilmu sirah
nabawiyah, maka boleh jadi dia menggunakan hadits yang sebenarnya sudah dihapus
dengan adanya hadits yang lain yang keluar belakangan.
e. Sirah Nabawiyah
Salah satu kelebihan sirah nabawiyah dibandingkan dengan hadits-hadits yang kita
temukan di dalam berbagai kitab susunan para ulama terletak pada adanya informasi
tentang konteks kejadian, bahkan jalinan kisah sampai kepada alur cerita.
Seringkali orang awam yang tidak mengerti konteks dan realitas di masa Rasulullah
SAW merasa kebingungan ketika membaca suatu hadits yang shahih.
Misalnya hadits yang menyebutkan kisah seorang Arab dusun yang kencing di dalam
masjid. Di dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW menyiram bekas kencing itu
dengan seember air. Bukankah hal itu aneh buat kita?
Lantai masjid kita di zaman sekarang ini biasanya terbuat dari keramik, dan
seringkali digelari karpet. Kalau air kencing hanya disiram dengan seember air,
maka pastilah najis air kencing itu akan menyebar kemana-mana.
Ternyata dari sirah nabawiyah kita tahu, bahwa lantai masjid di masa Rasulullah SAW
itu tidak terbuat dari keramik, juga tidak digelari karpet. Lantai itu semata-mata
hanya tanah atau pasir. Bila ada air kencing, cukup disiram dengan seember air,
maka najis itu akan langsung terserap di dalam pasir. Maka seorang mujtahid harus
mengerti benar seluk-beluk kehidupan di masa Rasulullah SAW, agar tidak keliru
dalam menarik kesimpulan hukum.
f. Ilmu Fiqih
Tetapi ilmu yang paling utama dari kebutuhan untuk mengistimbath suatu hukum tidak
lain adalah Ilmu Fiqih dan ushul fiqih.
Ilmu Fiqih adalah produk akhir dari ilmu-ilmu yang telah disebutkan di atas. Hasil
akhir ini berupa kesimpulan-kesimpulan hukum atas berbagai masalah kehidupan.
Orang-orang awam adalah konsumen dari Ilmu Fiqih ini. Bahkan sebenarnya ilmu ini
memang ditujukan untuk dipelajari oleh orang-orang awam. Para mujtahid kemudian
mengajarkan hasil-hasil ijtihad dan istimbath hukum mereka lewat pengajaran Ilmu
Fiqih ini.
g. Ilmu Ushul Fiqih
Pengertian ilmu ushul fiqih menurut para ulama adalah :
‫فصيلِي ّ ِة‬
ِ ّ‫رعيّ ِة العملِيّ ِة ِمن أ ِدل ّ ِتها الت‬
ِ ‫الش‬ ِ ‫جته ُد ِفي اس ِت‬
ّ ‫نباط األحكا ِم‬ ُ ‫يتوس ُل بِها‬
ِ ‫الم‬ ّ ‫القواع ُد ال ّ ِتي‬
ِ
Kaidah-kaidah yang mengantarkan mujtahid dalam mengistinbat hukum-hukum syar’i
terapan dari dalil-dalilnya yang rinci.
Antara Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih terjalin hubungan yang sangat erat dan tidak
bisa dipisahkan. Bahkan boleh dikatakan bahwa sebagian dari kedua tubuh itu saling
menyatu dan berbagi satu dengan yang lain.
Keduanya bisa diibaratkan antara pohon dengan akarnya. Dimana pohon itu tidak akan
dapat tumbuh dan tegak bila tidak ada akarnya. Akar pohon bukan hanya berfungsi
sebagai pondasi yang menopang berat pohon itu, bahkan akar itulah yang memberikan
zat-zat yang dibutuhkan oleh pohon.
Bila akar pohon dilepaskan dari batangnya, maka otomatis batang pohon itu akan mati
dengan sendirinya. Sebaliknya, bila batang suatu pohon dipotong tanpa membuang
akarnya, besar kemungkinan dari akar itu akan tumbuh lagi pohon yang baru.
Hubungan antara Ilmu Fiqih dengan Ilmu Ushul Fiqih juga bisa diibaratkan antara
sebuah produk dengan pabriknya. Mobil yang kita kendarai setiap hari tidak akan
dapat meluncur di jalanan kalau tidak ada pabrik yang memproduksi mobil itu. Mobil
adalah Ilmu Fiqih dan pabrik adalah Ilmu Ushul Fiqih.
Kalau belajar Ilmu Fiqih tentang halal dan haram, serta hukum wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram bisa kita ibaratkan dengan belajar mengemudi mobil, maka setiap
orang yang mengemudi mobil, minimal harus pernah belajar tata cara mengemudikan
mobil. Dan untuk itu polisi mewajibkan para pengemudi memiliki Surat Izin Mengemudi
(SIM).
Sedangkan belajar Ilmu Ushul Fiqih hukumnya tidak wajib buat orang awam. Sebab Ilmu
Ushul Fiqih itu bisa kita ibaratkan seperti belajar ilmu untuk memproduksi mobil.
Tentu untuk bisa mengemudi mobil tidak harus belajar cara bagaimana membuat mobil
itu. Membuat mobil adalah urusan pabrik mobil, pengemudi hanya diwajibkan belajar
bagamana cara memakai produknya, yaitu belajar mengemudi mobil yang jauh lebih
sederhana.
Ilmu Ushul Fiqih secara mendalam pada hakikatnya ilmu yang dibutuhkan oleh para
mujtahid dalam melakukan proses istimbath hukum dari dalil-dalil syariah. Karena
tidak semua orang wajib menjadi mujtahid, maka hukum untuk mempelajari Ilmu Ushul
Fiqih ini pun juga tidak wajib.Ruang lingkup pembahasan Ilmu Ushul Fiqih sebenarnya
cukup luas, mulai dari sumber-sumber hukum fiqih hingga proses bagaimana kesimpulan
hukum itu diambil, lewat beragam metode yang ada.
Dalil-dalil hukum syariah ada yang muktamad seperti Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas,
dan ada juga dalil yang mukhtalaf, seperti al-masalih al-mursalah, al-istidlal, al-
istish-hab, saddu adz-dzari’ah, istihsan, 'urf, syar'u man qablana, amalu ahlil
madinah, qaul shahabi dan lainnya.
Selain itu dalam ushul fiqih juga dikenal dalil lafadz, yaitu al-amru wa an-nahyu,
al-‘aam wal khash, al-muthlaq wa al-muqayyad, al-manthuq wal mafhum.
Ushul fiqih juga membahas berbagai jenis hukum, baik berupa hukum taklifi atau pun
hukum wadh'i. Hukum Taklifi adalah hukum yang kita kenal sebagai wajib, mandub
(sunnah), mubah, makruh atau haram. Sedangkan hukum Wadh’i seperti as-sabab, asy-
syarth, al-mani’, ash-shihhah, a-fasad wal buthlan.

Bab 6 : Tema-tema Besar Fiqih

A. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Ilmu Fiqih sangat luas dan masuk ke dalam semua aspek kehidupan.
Karena fiqih memang sebuah ketentuan dan aturan dari Allah SWT agar manusia dapat
menjalani kehidupan mereka di muka bumi sebagai khalifah di dalam keridhaan-Nya.
Maka tidak ada setitikpun area kehidupan yang luput dari kajian fiqih.
Biasanya banyak orang membagi fiqih itu menjadi dua bagian besar, meski metode
dalam merinci aspek-aspek kehidupan sering menggunakan beberapa versi.
Misalnya, ada yang membagi keduanya itu dengan wilayah formal ritual ibadah dan
wilayah sosial muamalat. Atau dengan istilah lain, ada ruang ubudiyah dan ruang
non-ubudiyah.
Penulis dalam hal ini lebih cenderung membaginya berdasarkan pembagian dari hadits
Rasulullah SAW, bahwa Islam itu didirikan di atas lima perkara, yaitu semua yang
termasuk rukun Islam. Dan di atasnya kemudian ditegakkan bangunan syariat Islam itu
sendiri, yang terdiri dari berbagai bentuk ketentuan syariat dalam berbagai
pembagiannya lagi.
‫يت‬ِ َ‫ان َو َح ِّج الب‬َ ‫الصال َ ِة َوِإ يتا َ ِء ال ّزكا َ ِة َو َصو ِم َر َم َض‬ ِ
َ ّ ‫الله َوِإ قَا ِم‬ ‫ول‬ َ ‫الله َوَأ ّ َن ُم‬
ُ ‫ح ّ َم ًدا َر ُس‬ ُ َ ‫اد ِة َأن ال َ ِإ‬
ّ ‫له ِإ ال‬ َ ‫ َش َه‬: ‫مس‬
ٍ َ ‫لى خـ‬
َ ‫ع‬َ ‫بُ ِني اِإل سال ُم‬
ِ ‫ِل َم ِن استَطا ََع ِإ ل‬
‫َيه َسبِيأل‬
Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat,
berpuasa Ramadhan dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mendapatkan jalan ke sana.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika Rasulullah SAW menyebutkan bahwa Islam ditegakkan di atas lima perkara,
tergambar di benak kita bahwa agama Islam itu diibaratkan sebuah bangunan gedung,
yang berdiri kokoh dan tegak di atas pondasi-pondasinya.
Rasulullah SAW kemudian menegaskan bahwa kelima pondasi itu adalah syahadat,
shalat, zakat, puasa dan haji. Dan tentunya Islam bukan terbatas hanya pada kelima
pondasinya saja, sebab kelimanya baru sekedar pondasinya, selebihnya justru ada
bangunan Islam itu sendiri.
Sehingga untuk menjelaskan bahwa Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan, kita
bisa menggunakan pola pembagian dengan mengibaratkan sebuah gedung yang terdiri
tiga komponen besar.
 Pertama : bagian dasar atau pondasi, yang berfungsi sebagai tempat tegaknya
bangunan. Rukun Islam yang lima bisa digambarkan sebagai pondasi dari bangunan.
 Kedua : bangunannya itu sendiri yang dengan segala macam jenis materialnya.
Bangunan itu ditegakkan di atas pondasinya.
 Ketiga : bagian pelindung atau atap yang melindungi bagian-bagian di bawahnya
dari terik matahari atau hujan. Bagian ini tidak mungkin dihilangkan karena
fungsinya untuk melindungi.
B. Bagian Pondasi
Sebagian kalangan yang membuat ilustrasi tentang syumuliyah Islam dengan bentuk
gambar yang sama. Namun yang dijadikan sebagai bagian pondasi bukan rukun Islam,
melainkan aqidah. Barangkali alasannya karena aqidah itu adalah landasan keislaman.
Tentu cara ini sah-sah saja, karena tidak ada nash yang mengatur secara ketat.
Tetapi dalam konteks Ilmu Fiqih, yang dijadikAn sebagai bagian pondasi bukan
masalah aqidah. Barangkali karena urusan aqidah dianggap sudah tidak perlu dibahas
terlalu jauh. Atau barangkali juga detail permasalahan aqidah ini tidak terlalu
rumit.
Apalagi di masa Rasulullah SAW, kita tidak menemukan perdebatan masalah aqidah yang
terlalu jauh. Batas antara seorang Arab Jahiliyah dan muslim sebatas ketika dia
mengucapkan dua kalimat syahadat.
Apalagi dalam kenyataannya bersyahadat itu sendiri sesungguhnya tidak membutuhkan
banyak detail ketentuan, karena cukup hanya melafazkannya saja, dan itu pun
terbatas hanya kepada mereka yang sejak awal lahir bukan sebagai muslim, lalu
berkeinginan untuk masuk Islam dan memeluknya sebagai agama.
Hadits di atas tentu bisa kita pahami konteksnya adalah ketika dahulu Rasulullah
SAW di masa awal memperkenalkan agama Islam kepada orang-orang yang justru bukan
beragama Islam. Sehingga ketika bicara tentang pondasi, syahadat sebagai syarat
masuk Islam diletakkan pada nomor urut pertama. Adapun kita yang memang sejak lahir
sudah menjadi muslim, tentu tidak perlu lagi bicara tentang syahadat.
Maka ruang lingkup Ilmu Fiqih pada bagian dasar-dasar Islam ini terbatas pada
masalah shalat, zakat, puasa dan haji. Namun karena shalat itu mensyaratkan
kesucian yang ketentuannya sangat detail, maka biasanya para ulama memasukkan pada
bab Thaharah sebelum masuk ke dalam bab Shalat. Maka jadilah pembahasan Ilmu Fiqih
pada bagian dasar itu terdiri dari lima kajian besar, yaitu Fiqih Thaharah, Fiqih
Shalat, Fiqih Zakat, Fiqih Puasa dan Fiqih Zakat.
1. Fiqih Thaharah
Tema tentang thaharah selalu menjadi bagian pembuka dari umumnya kitab fiqih yang
lengkap. Sebab thaharah menjadi syarat dari semua ibadah utama yang bersifat
ritual.
Fiqih Thaharah dengan seluruh rincain detail pembahasan yang terkait di dalamnya
telah Penulis susun menjadi sebuah buku tersendiri. Penulis membagi pembahasan-
pembahasan dalam Fiqih Thaharah menjadi 4 bagian utama, yaitu :

Bagian Pertama Thaharah


Bab 1 Islam dan Kebersihan
Bab 2 Pengertian Thaharah
Bagian Kedua Najis
Bab 1 Pengertian Najis & Pembagiannya
Bab 2 Hukum-hukum Terkait Najis
Bab 3 Tubuh Manusia & Najis
Bab 4 Hewan Yang Najis
Bab 5 Bangkai
Bab 6 Najis Yang Diperselisihkan
Bab 7 Najis Yang Dimaafkan
Bab 8 As-Su’ru
Bab 9 Pensucian Najis
Bab 10 Menyamak Kulit Bangkai
Bab 11 Istihalah
Bab 12 Istinja’
Bagian Ketiga Hadats
Bab 1 Hadats
Bab 2 Mengangkat Hadats
Bab 3 Jenis Air dan Hukumnya
Bab 4 Wudhu' 1 : Pengertian Hukum & Syarat
Bab 5 Wudhu’ 2 : Rukun
Bab 6 Wudhu' 3 : Yang Disunnahkan
Bab 7 Wudhu' 4 : Yang Dimakruhkan
Bab 8 Yang Membatalkan Wudhu
Bab 9 Mengusap Dua Khuff
Bab 10 Mandi Janabah
Bab 11 Tayammum
Bagian Keempat Darah Wanita
Bab 1 Haidh
Bab 2 Yang Haram Dilakukan Saat Haid
Bab 3 Nifas
Bab 4 Istihadhah
Bagian Kelima Fitrah Islam
Bab 1 Fitrah
Bab 2 Khitan
Bab 3 Parfum
Bab 4 : Kumis dan Jenggot
Penutup
Pustaka
2. Fiqih Shalat
Shalat adalah intisari dari semua rangkaian jenis ibadah formal. Dan menjadi salah
satu tolok ukur keselamatan kita nanti sewaktu dihisab di hari kiamat, karena
merupakan materi yang pertama kali dipertanyakan.
Karena itu sudah menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim untuk belajar dan mengerti
dengan benar bagaimana tata cara shalat, mulai dari pengertian, syarat, rukun, yang
membatalkan, apa yang diwajibkan dan apa yang sekedar disunnahkan.
Semua kajian tentang shalat telah Penulis susun menjadi satu buku tersendiri pada
seri yang ketiga, dengan judul : Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat. Dalam detail
rinciannya, Penulis membaginya ke dalam 4 bagian besar, yaitu
Bagian Pertama Dasar Shalat
Bab 1 : Pengertian & Pensyariatan
Bab 2 : Meluruskan Hikmah Shalat
Bab 3 : Hukum Meninggalkan Shalat
Bab 4 : Waktu-Waktu Shalat
Bab 5 : Tempat Shalat
Bab 6 : Syarat-Syarat Shalat
Bab 7 : Rukun-Rukun Shalat
Bab 8 : Sunnah-Sunnah Shalat
Bab 9 : Batalnya Shalat
Bagian Kedua Shalat Berjamaah
Bab 1 : Shalat Berjamaah
Bab 2 : Imam Shalat
Bab 3 : Makmum
Bab 4 : Masbuk
Bab 5 : Barisan Makmum
Bab 6 : Mengulang Shalat Jamaah
Bab 7 : Adzan
Bab 8 : Iqamah
Bab 9 : Shalat Jumat
Bagian Ketiga Shalat Dalam Berbagai Keadaan
Bab 1 : Dispensasi Meninggalkan Shalat
Bab 2 : Shalat Musafir
Bab 3 : Shalat Di Kendaraan
Bab 4 : Mengqashar Shalat
Bab 5 : Menjama' Shalat
Bab 6 : Mengqadha Shalat
Bab 7 : Shalat Orang Sakit
Bab 8 : Shalat Memakai Sepatu
Bab 9 : Shalat Khauf
Bagian Keempat Shalat Sunnah
Bab 1 : Shalat Sunnah Rawatib
Bab 2 : Shalat Tahiyatul Masjid
Bab 3 : Shalat Tarawih
Bab 4 : Shalat Tahajjud
Bab 5 : Shalat Witir
Bab 6 : Shalat 'Ied
Bab 7 : Shalat Dhuha
Bab 8 : Shalat Istikharah
Bab 9 : Shalat Gerhana
Bab 10 : Shalat Jenazah
Bab 11 : Shalat Istisqa'
Bab 12 : Shalat Tasbih
Bab 13 : Shalat Hajat
Bab 14 : Shalat Taubat
Bagian Kelima Pelengkap
Bab 1 : Khusyu' Dalam Shalat
Bab 2 : Sujud Sahwi
Bab 3 : Sujud Tilawah
Bab 4 : Sujud Syukur
Bab 5 : Qunut
Bab 6 : Dzikir & Doa Sesudah Shalat
Bab 7 : Bersalaman Setelah Shalat
Bab 8 : Sifat Shalat Nabi
Bab 9 : Sutrah Dalam Salat
Bagian Keenam Fiqih Shalat Wanita
Bab 1 : Wanita Haidh
Bab 2 : Pakaian Shalat Bagi Wanita
Bab 3 : Shalat Berjamaah Wanita
Bab 4 : Posisi Barisan Wanita
Bab 5 : Wanita Mengimami Laki-Laki
3. Fiqih Zakat
Fiqih Islam dalam tema zakat berbicara tentang pengertian dan dasar kewajiban
zakat, juga tentang resiko bagi mereka yang mengingkari kewajiban berzakat.
Namun fiqih zakat juga membahas bahwa tidak semua orang wajib berzakat, karena ada
syarat dan ketentuan zakat secara khusus, bahkan ada semacam kriteria tertentu bagi
harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Intinya, fiqih zakat itu membahas dua tema utama, yaitu tema tentang harta dan
jenis kekayaan apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan siapa saja orang yang
berhak mendapatkan harta zakat itu.
Bagian Pertama Pengertian Dasar Zakat
Bab 1 : Pengertian
Bab 2 : Kewajiban Zakat
Bab 3 : Hikmah Zakat & Sedekah
Bab 4 : Syarat Pemberi Zakat
Bab 5 : Kriteria Harta Zakat
Bab 6 : Kekeliruan Memahami Zakat
Bab 7 : Zakat Dan Pajak
Bab 8 : Zakat & Kemiskinan
Bab 9 : Mengapa Hanya Zakat?
Bagian Kedua Jenis-Jenis Zakat
Bab 1 : Sumber Zakat & Perbedaan Pendapat
Bab 2 : Zakat Pertanian
Bab 3 : Zakat Hewan Ternak
Bab 4 : Zakat Emas & Perak
Bab 5 : Zakat Barang Dagangan
Bab 6 : Zakat Rikaz
Bab 7 : Zakat Ma'din
Bab 8 : Zakat Al-Fithr
Bagian Ketiga Jenis Zakat Modern
Bab 1 : Zakat Modern
Bab 2 : Zakat Uang Kertas
Bab 3 : Zakat Profesi
Bab 4 : Zakat Hasil Produksi
Bab 5 : Zakat Surat Berharga
Bagian Keempat Mustahik Zakat
Bab 1 : Masharif Zakat
Bab 2 : Fakir
Bab 3 : Miskin
Bab 4 : Amil Zakat
Bab 5 : Muallaf
Bab 6 : Budak
Bab 7 : Yang Berhutang
Bab 8 : Fi Sabilillah
Bab 9 : Ibnu Sabil
4. Fiqih Puasa
Secara hukum, syariat puasa yang Allah SWT tetapkan tidak hanya terdiri dari wajib
hukumnya, tetapi ada juga puasa yang hukumnya sunnah, bahkan ada puasa yang
hukumnya makruh hingga haram.
Ada berbagai ketentuan puasa yang telah digariskan syariah Islam, mulai dari syarat
sah, syarat wajib, rukun puasa, apa saja yang membatalkan puasa, siapa saja yang
wajib berpuasa dan siapa saja yang boleh tidak berpuasa, termasuk juga siapa yang
justru diharamkan berpuasa.
Penulis telah menyusun masalah-masalah yang terkait dengan berbagai hukum tentang
fiqih puasa dalam satu buku tersendiri. Di dalamnya Penulis membagi pembahasan
menjadi tiga bagian, yaitu :
Bagian Pertama Puasa & Jenis-Jenisnya
Bab 1 : Pengertian & Pensyariatan
Bab 2 : Keutamaan & Hikmah
Bab 3 : Puasa Wajib
Bab 4 : Puasa Sunnah
Bab 5 : Puasa Makruh
Bab 6 : Puasa Haram
Bagian Kedua Hukum-Hukum Puasa
Bab 1 : Syarat Puasa
Bab 2 : Rukun Puasa
Bab 3 : Batas Waktu Puasa
Bab 4 : Yang Membatalkan Puasa
Bab 5 : Yang Tidak Membatalkan Puasa
Bab 6 : Disunnahkan Dalam Puasa
Bab 7 : Masa Terlarang Puasa
Bagian Ketiga Keringanan Puasa & Konsekuensinya
Bab 1 : Udzur Syar'i Tidak Berpuasa
Bab 2 : Qadha' Puasa
Bab 3 : Fidyah
Bab 4 : Kaffarah
Bagian Keempat Puasa & Ramadhan
Bab 1 : Hadits-Hadits Bermasalah
Bab 2 : Penentuan Awal Ramadhan
Bab 3 : Keistimewaan Ramadhan
Bab 4 : Ramadhan Antara Syariat & Tradisi
Bab 5 : I'tikaf
Bab 6 : Lailatul Qadar
Bab 7 : Idul Fithri Antara Syariat & Tradisi
5. Fiqih Haji
Ibadah haji adalah ibadah tertua yang dilakukan oleh makhluk Allah di muka bumi.
Ibadah ini bukan hanya disyariatkan sejak masa Nabi Ibrahim alaihissalam yang konon
diperkirakan hidup sekitar tahun 1997 – 1822 sebelum masehi. Itu berarti sejak
hampir 40 abad yang lalu.
Tetapi di dalam satu riwayat disebutkan bahwa Allah SWT telah membangun Ka’bah
sebagai tempat untuk ibadah sejak belum diturunkannya Nabi Adam alaihissalam dan
istrinya ke muka bumi.
ِ
‫لعالمين‬ّ ‫وه ًدى ِل‬ ِ ّ ‫بيت ُو ِضع لِلن‬
ُ ‫اس لل ِّذي بِبك ّة ُمبارك ًا‬ ٍ ‫ِإ ّن ّأول‬
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di
Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (QS. Ali
Imran : 96)
Dalam kitab tafsir Al-Jami’ li-Ahkamil Quran, AL-Imam Al-Qurthubi menukil pendapat
Mujahid yang menyebutkan bahwa Allah SWT telah menciptakan tempat untuk ka’bah ini
2000 tahun sebelum menciptakan segala sesuatu di bumi.
Sedangkan Al-Imam Ath-Thabari dalam kitab tafsir Ath-Thabari, menukil pendapat
Qatadah yang mengatakan bahwa Ka’bah adalah rumah pertama yang didirikan Allah,
kemudian Nabi Adam alaihissalam bertawaf di sekelilingnya, hingga seluruh manusia
berikutnya melakukan tawaf seperti beliau.
Penulis secara rinci telah menyusun satu kitab yang membahas berbagai detail fiqih
haji dan umrah. Di dalamnya Penulis pisahkan antara pembahasan haji dan umrah dalam
bagian tersendiri.
Bagian Pertama Ibadah Haji
Bab 1 : Pengertian & Masyru’iyah
Bab 2 : Haji Nabi Dalam Hadits
Bab 3 : Hukum-hukum Haji
Bab 4 : Qiran Ifrad & Tamattu’
Bab 5 : Syarat-syarat Haji
Bab 6 : Rukun Haji
Bab 7 : Miqat Haji
Bab 8 : Berihram
Bab 9 : Wuquf di Arafah
Bab 10 : Tawaf
Bab 11 : Sa’i
Bab 12 : Al-Halq & At-Taqshir
Bab 13 : Wajib Haji
Bab 14 : Sunnah & Mustahab Haji
Bab 15 : Jadwal Perjalanan Haji
Bab 16 : Haji Untuk Orang Lain
Bab 17 : Fawat & Ihshar
Bab 18 : Haji Empat Mazhab
Bagian Kedua Ibadah Umrah
Bab 1 : Umrah Rasulullah SAW
Bab 2 : Pengertian & Pensyariatan
Bab 3 : Syarat & Rukun Umrah
Bab 4 : Miqat Umrah
Bab 5 : Tempat-tempat Penting
Bagian Ketiga Masalah Fiqih Terkait Haji
Bab 1 : Wudhu atau Tayammum di Pesawat
Bab 2 : Shalat di Pesawat
Bab 3 : Batal Wudhu Saat Tawaf
Bab 4 : Obat Penunda Haidh
Bab 5 : Mahram Jamaah Wanita
Bab 6 : Pembiayaan Haji
Bab 7 : Haji Dalam Masa Iddah
Bab 8 : Haji di Masa Lalu & Kini
Bab 9 : Unsur Budaya dalam Haji
Bab 10 : Badal Haji
C. Bagian Bangunan Islam
Bagian yang kedua dari Islam adalah bagian bangunan itu sendiri, yang berdiri tegak
di atas pondasi-pondasinya. Inilah yang merupakan batang tubuh dan esensi agama
Islam, yaitu segala ketentuan Allah SWT di dalam seluruh aspek kehidupan mencakup
tema :
 Fiqih Muamalat
 Fiqih Pernikahan
 Fiqih Makanan (kuliner)
 Fiqih Pakaian, Perhiasan dan Rumah
 Fiqih Sembelihan
 Fiqih Masjid
 Fiqih Kedokteran
 Fiqih Seni dan Hiburan
 Fiqih Mawaris.
1. Fiqih Muamalat
Fiqih muamalat mencakup harta kekayaan dan akad-akad pertukaran antara sesama
pemilik harta. Ada banyak bentuk-bentuk transaksi muamalat.
Yang paling utama adalah semua hal yang terkait dengan proses jual-beli dan semua
bentuknya, seperti ketentuan tentang jual-beli, riba, kredit, gadai, akad salam,
akad istishna', akad penyewaan, bai` bits-tsaman ajil, hawalah, uang muka, future
komoditi, multi level marketing, dan termasuk juga hukum tentang bursa saham.
Selain itu fiqih muamalat juga mencakup hal-hal yang terkait dengan kerjasama dalam
usaha, seperti syarikah, mudharabah, muzara'ah, mukhabarah, musaqat. Termasuk juga
mengatur segala hal yang terkait dengan harta milik bersama yang disebut syuf'ah,
dan juga tentang ketentuan tentang mewakilkan kepada pihak lain yang disebut dengan
akad wakalah.
Fiqih muamalat juga berbicara tentang pemberian hak kepada pihak lain tanpa
pengganti atau pembayaran, seperti pinjaman, titipan, kafalah, waqaf, hingga
bagaimana ketentuan bila seserang menemukan barang milik orang lain yang tercecer,
yaitu luqathah, atau bila seorang anak yang hilang dari orang tuanya lantas
ditemukan (laqith).
Dan terakhir, fiqih muamalat terkait dengan praktek-praktek permainan keuangan yang
bermasalah, seperti judi, kuis & undian berhadiah, merampas, suap atau sogok,
reksadana, asuransi, dan juga tentang hak cipta.
Penulis sudah menuliskan fiqih Muamalat ini dalam satu buku tersendiri, dan
pembasan di dalamnya terdiri dari :
Bagian Pertama Jual-beli
Bab 1 : Jual-beli
Bab 2 : Pembagian Jual-beli
Bab 3 : Perdagangan
Bab 4 : Akad Kredit
Bab 5 : Akad Salam
Bab 6 : Akad Istishna'
Bab 7 : Perantara
Bab 8 : Uang Muka
Bab 9 : Penyewaan
Bab 10 : Lelang
Bagian Kedua Praktek Haram
Bab 1 : Jual-beli Terlarang
Bab 2 : Riba
Bab 3 : Judi
Bab 4 : Ghashb
Bab 5 : Korupsi
Bab 6 : Suap
Bagian Ketiga Kerjasama
Bab 1 : Syarikah
Bab 2 : Mudharabah
Bab 3 : Gadai
Bab 4 : Wakalah
Bab 5 : Hawalah
Bagian Keempat Sosial
Bab 1 : Peminjaman
Bab 2 : Titipan
Bab 3 : Luqathah
Bab 4 : Anak Ditemukan
Bab 5 : Waqaf
Bagian Kelima Muamalat Kontemporer
Bab 1 : Bunga Bank
Bab 2 : Kartu Kredit
Bab 3 : Asuransi
Bab 4 : Pajak
Bab 5 : Multi Level Marketing
Bab 6 : Dropshipping & Reselling
Bab 7 : Kuis & Undian Berhadiah
Bab 8 : Hak Cipta
Bab 9 : Bursa Saham
Bab 10 : Future Komoditi
2. Fiqih Pernikahan
Di dalam Ilmu Fiqih klasik, wilayah ini sering disebut juga dengan masalah al-ahwal
asy-syakhshiyah. Namun disini kita membatasinya dengan istilah fiqih nikah yang
terdiri dari masalah pernikahan dengan segala ketentuannya, seperti hukum, syarat,
rukun, khitbah, wanita yang haram dinikahi, kewajiban dan hak yang terdapat baik
pada suami atau pun pada istri.
Selain itu juga terkait dengan berbagai macam bentuk pernikahan yang bermasalah,
seperti nikah mut’ah, nikah dengan niat talak, nikah siri, nikah muhallil, nikah
jahiliyah, menikahi mantan pezina, hukum berpoligami serta masalah pembatasan
kelahiran.
Dan tentu dalam fiqih nikah harus dibahas hal-hal yang terkait dengan terurainya
ikatan pernikahan, seperti talak dengan segala ketentuan dan jenisnya yaitu khulu’,
ilaa’, li’an, dan dzhihar. Serta hal-hal yang terkait dengan talak seperti iddah
dan rujuk.
Bagian Pertama Pernikahan
Bab 1 : Pengertian & Anjuran Menikah
Bab 2 : Hukum Pernikahan
Bab 3 : Wanita Yang Haram Dinikahi
Bab 4 : Memilih Calon Pasangan
Bab 5 : Khitbah
Bab 6 : Rukun Syarat & Sunnah
Bab 7 : Wali Nikah
Bab 8 : Saksi Nikah
Bab 9 : Ijab Qabul
Bab 10 : Walimatul `Urs
Bab 11 : Kewajiban Suami Istri
Bab 12 : Mahar
Bab 13 : Nafkah
Bab 14 : Jima’
Bab 15 : Pembatasan Kelahiran
Bab 16 : Perkawinan Para Nabi
Bagian Kedua Pernikahan Bermasalah
Bab 1 : Pernikahan Lain Agama
Bab 2 : Nikah Mut’ah
Bab 3 : Nikah Dengan Niat Talak
Bab 4 : Nikah Siri
Bab 5 : Nikah Muhallil
Bab 6 : Menikahi Wanita Berzina & Hamil
Bab 7 : Poligami
Bagian Ketiga Terurainya Ikatan Pernikahan
Bab 1 : Terurainya Ikatan Pernikahan
Bab 2 : Pengertian Talak, Hukum & Rukun
Bab 3 : Pembagian Talak
Bab 4 : Talak Islam dan Luar Islam
Bab 5 : Nusyuz
Bab 6 : 'Iddah
Bab 7 : Rujuk
Bab 8 : Fasakh
Bab 9 : Khulu’
Bab 10 : Ilaa'
Bab 11 : Dzhihar
Bab 12 : Li’an
3. Fiqih Kuliner
Fiqih Kuliner adalah kajian tentang apa yang halal dan haram dimakan bagi seorang
muslim. Masalah makanan ini penting lantaran terkait dengan ancaman Allah SWT
tentang orang yang tumbuh dagingnya dengan makanan haram, doanya tidak diterima dan
tubuhnya hanya akan menjadi santapan api neraka.
Berdasarkan sumbernya, apa yang masuk ke dalam mulut kita terbagi menjadi dua
macam, yaitu makanan yang terbuat dari hewan dan yang bukan. Sedangkan berdasarkan
illatnya, ada makanan yang haram secara dzatnya, dan ada yang haram karena cara
mendapatkannya.
Bagian Pertama Pengantar
Bab 1 : Karakteristik Kehalalan Makanan
Bab 2 : Khilafiyah Kehalalan Makanan
Bab 3 : Label Halal
Bab 4 : Hikmah Menghindari Makanan Haram
Bab 5 : Kriteria Umum Haramnya Makanan
Bagian Kedua Najis
Bab 1 : Pengertian Najis
Bab 2 : Makanan Terbuat Dari Benda Najis
Bagian Ketiga Khamar
Bab 1 : Pengertian Khamar
Bab 2 : Hukum-hukum Yang Terkait Dengan Khamar
Bab 3 : Khamar Atau Bukan?
Bab 4 : Khamar & Alkohol
Bagian Keempat Makanan Madharat
Bab 1. Pengertian Madharat
Bab 2 : Rokok
Bagian Kelima Hewan Yang Diharamkan
Bab 1 : Diharamkan Secara Eksplisit
Bab 2 : Hewan Najis
Bab 3 : Bangkai
Bab 4 : Penyembelihan Syar’i
Bab 5 : Sembelihan Ahli Kitab
Bab 6 : Hewan Dua Alam
Bab 7. Hewan Buas
Bab 8 : Diperintah & Dilarang Untuk Membunuhnya
Bab 9 : Al-Khabaits
Bab 10 : Hewan Yang Dihalalkan
Bab 11 : Hewan Yang Diperselisihkan
Bab 12 : Kehalalan Hewan Buruan
Bagian Keenam Tambahan
Bab 1 : Makanan Haram Untuk Penyembuhan
Bab 2 : Adab Makan Minum
Bab 3 : Menu Makanan Rasulullah SAW
Bab 4 : Alat Perlengkapan Makan
4. Fiqih Pakaian, Perhiasan & Rumah
Fiqih pakaian mencakup tentang segala ketentuan Allah SWT dalam hal berpakaian,
mulai dari hukum, ketentuan serta syarat-syarat berpakaian. Dan jenis-jenis pakaian
apa saja yang termasuk dilarang dalam agama.
Selain itu fiqih pakaian juga juga mencakup tentang hukum-hukum yang terkait dengan
perhiasan yang dikenakan dengan segala macam jenis dan coraknya, seperti hukum yang
terkait dengan rambut, misalnya tentang masalah mewarnai, mengecat, memotong,
mengeriting, merebonding, dan seterusnya.
Urusan hiasan juga terkait dengan hukum membuat tato, tahi lalat palsu, kerok
wajah, memangkur gigi, tindik dan lainnya.
Sedangkan masalah yang terkait dengan fiqih rumah adalah segala hal yang terkait
dengan hukum-hukum dalam penataan rumah dan perabotannya sesuai dengan hukum fiqih.
Di antaranya masalah konsep rumah islami dan pernik-perniknya, seperti hukum kredit
pembelian rumah yang terkadang mudah terjebak riba.
Kemudian juga terkait dengan masalah hiasan interior dan eksterior rumah, dimana
ada berbagai ketentuan fiqih yang boleh dan tidak boleh, seperti adab masuk dan
keluar rumah hingga masalah hiasan patung dan gambar makhluk bernyawa. Ada juga
masalah hukum memelihara anjing di dalam dan di luar rumah.
Bagian Pertama Pakaian
Bab 1 : Pengertian & Pensyariatan Pakaian
Bab 2 : Pakaian Penutup Aurat
Bab 3 : Cadar
Bab 4 : Pakaian Menyerupai Non Muslim
Bab 5 : Pakaian Menyerupai Lawan Jenis
Bab 6 : Kesucian Bahan Pakaian
Bab 7 : Pakaian Berbahan Sutera
Bab 8 : Sombong Dalam Berpakaian
Bab 9 : Warna Pakaian & Adabnya
Bagian Kedua Perhiasan
Bab 1 : Pengertian & Pensyariatan
Bab 2 : Emas
Bab 3 : Tato
Bab 4 : Rambut
Bab 5 : Jenggot
Bab 6 : Parfum
Bab 7 : Operasi Kecantikan
Bab 8 : Merenggangkan Gigi
Bab 9 : Mencukur Bulu dan Alis
Bagian Ketiga Rumah
Bab 1 : Konsep Rumah Dalam Islam
Bab 2 : Bangunan Rumah & Bagiannya
Bab 3 : Perabot Rumah
Bab 4 : Lukisan Makhluk Bernyawa
Bab 5 : Pajangan Patung Dalam Rumah
Bab 6 : Izin Masuk Rumah
Bab 7 : Hubungan Dengan Tetangga
Bab 8 : Memelihara Anjing Dalam Rumah
5. Fiqih Sembelihan
Disebut dengan istilah Fiqih Sembelihan karena pada dasarnya terkait dengan semua
hal tentang penyembelihan hewan. Di dalam tema ini, syariat Islam telah menetapkan
bagaimana ketentuan dan tata cara penyembelihan hewan, agar menjadi sah dan halal
dagingnya. Dan berburu juga termasuk salah satu teknik penyembelihan yang
dibenarkan dalam syariat Islam.
Selain untuk kebutuhan memakan daging, menyembelih hewan memang juga menjadi salah
satu bagian dari ibadah ritual yang disunnahkan, misalnya penyembelihan hewan
'aqiqah, udhiyah, hadyu dan juga untuk membayar dam.
Bagian Pertama Islam Menyayangi Hewan
Bab 1 : Kewajiban Menyayangi Hewan
Bab 2 : Antara Penentang & Pendukung
Bab 3 : Penyembelihan Sebagai Ritual Agama
Bagian Kedua Penyembelihan
Bab 1 : Tadzkiyah Hewan
Bab 2 : Syarat Penyembelih
Bab 3 : Sembelihan Ahli Kitab
Bab 4 : Teknik Penyembelihan
Bab 5 : Alat Penyembelihan
Bab 6 : Niat dan Tujuan
Bab 7 : Penyebutan Basmalah
Bab 8 : Adab Menyembelih Hewan
Bagian Ketiga Qurban Udhiyah
Bab 1 : Pengertian & Pensyariatan
Bab 2 : Hukum & Keutamaan
Bab 3 : Waktu & Tempat
Bab 4 : Syarat Penyembelihan Qurban
Bab 5 : Bersekutu Dalam Satu Hewan
Bab 6 : Yang Berhak Atas Daging
Bab 7 : Sunnah dan Anjuran
Bab 8 : Larangan
Bagian Keempat Aqiqah
Bab 1 : Pengertian & Pensyariatan
Bab 2 : Hukum Aqiqah
Bab 3 : Siapa Mengaqiqahi Siapa
Bab 4 : Waktu Penyembelihan
Bab 5 : Kriteria Hewan Aqiqah
Bab 6 : Kelahiran Bayi
Bagian Kelima Pelengkap
Bab 1 : Hadyu
Bab 2 : Berburu Hewan
Bab 3 : Berburu Menggunakan Hewan Pemburu
Bab 4 : Hewan Haram Dimakan
6. Fiqih Masjid
Masjid adalah salah satu tonggak masyarakat Islam, dimana syariat Islam telah
mengatur hukum-hukum yang terkait dengannya. Maka syariat Islam juga menetapkan
syarat-syarat untuk berdirinya masjid, juga tentang hukum dan ketentuan tentang
bangunan dan isi masjid.
Fiqih tentang masjid tentu terkait dengan hukum yang boleh dan yang tidak boleh
dikerjakan di dalam masjid, juga siapa yang boleh dan tidak boleh masuk ke
dalamnya.
Fiqih masjid juga mengatur segala hal yang terkait dengan tata cara shalat di dalam
masjid secara berjamaah, hak dan kewajiban imam masjid, serta berbagai ketentuan
yang terkait dengan wanita bila berada di dalam masjid.
Bagian Pertama Pengertian Masjid
Bab 1 : Pengertian Masjid & Keutamaan
Bab 2 : Masyru'iyah Membangun Masjid
Bab 3 : Berbagai Fungsi Masjid
Bab 4 : Sejarah Awal Masjid Di Dunia
Bagian Kedua Hukum-Hukum Masjid
Bab 1 : Syarat Pembangunan Masjid
Bab 2 : Hukum Terkait Bangunan Masjid
Bab 3 : Masjid Dibangun Dengan Zakat?
Bab 4 : Renovasi & Menghias Masjid
Bab 5 : Arah Kiblat
Bab 6 : Larangan & Kebolehan Dalam Masjid
Bab 7 : Sunnah-Sunnah Dalam Masjid
Bab 8 : Bolehkah Mereka Masuk Masjid?
Bab 9 : Imam Shalat
Bagian Ketiga Aktifitas Dalam Masjid
Bab 1 : Shalat Berjamaah
Bab 2 : Barisan Makmum
Bab 3 : Shalat Jumat
Bab 4 : Shalat Tarawih
Bab 5 : I'tikaf
Bab 6 : Dzikir
Bab 7 : Masjid & Wanita
Bagian Keempat Managemen Masjid
Bab 1 : Managemen Masjid
Bab 2 : Keuangan Masjid
Bab 3 : Kepemimpinan Masjid
7. Fiqih Kedokteran
Bagian Pertama Islam & Kedokteran
Bab 1 : Hukum Berobat
Bab 2 : Pengobatan Nabawi
Bab 3 : Bekam
Bab 4 : Pengobatan Alternatif
Bab 5 : Sejarah Kedokteran Umat Islam
Bab 6 : Rukhshah Syar'iyah Bagi Orang Sakit
Bab 7 : Mengunjungi Orang Sakit
Bagian Kedua Halal & Haram
Bab 1 : Berobat dengan Yang Haram
Bab 2 : Obat Mengandung Alkohol
Bab 3 : Obat Mengandung Babi
Bab 4 : Madharat Rokok
Bab 5 : Transfusi Darah
Bagian Ketiga Reproduksi
Bab 1 : Pencegahan Kehamilan
Bab 2 : Hukum Imunisasi
Bab 3 : Bayi Tabung
Bab 4 : Pengguguran Kandungan
Bab 5 : Cangkok Rahim
Bab 6 : Kloning Manusia
Bab 7 : Bank Susu
Bab 8 : Menentukan Jenis Kelamin Janin
Bagian Keempat Mengubah Ciptaan Allah
Bab 1 : Transplantasi Organ
Bab 2 : Operasi Kecantikan
Bab 3 : Operasi Ganti Kelamin
Bab 4 : Operasi Selaput Dara
Bab 5 : Operasi Kornea
Bab 6 : Tanam Rambut
Bab 7 : Khitan
Bagian Kelima Etika Kedokteran
Bab 1 : Dokter Pasien Lain Jenis
Bab 2 : Hukum Bedah Mayat
Bab 3 : Euthanasia
8. Fiqih Seni, Olahraga dan Hiburan
Bagian Pertama Seni
Bab 1 : Hiburan
Bab 2 : Seni Musik & Lagu
Bab 3 : Hukum Lukisan
Bab 4 : Seni Patung
Bab 5 : Seni Kaligrafi
Bab 6 : Fotografi
Bab 7 : Seni Peran
Bagian Kedua Permainan
Bab 1 : Olahraga
Bab 2 : Main Catur
Bab 3 : Tinju
Bab 4 : Berenang
Bab 5 : Sepak Bola
Bagian Ketiga Hiburan
Bab 1 : Televisi
Bab 2 : Film
Bab 3 : Memancing Ikan
Bab 4 : Berburu
Bab 5 : Hobi Memelihara Hewan
9. Fiqih Mawaris
Bagian Pertama Dasar-dasar
Bab 1 : Mengapa Harus Belajar Mawaris?
Bab 2 : Hukum Waris Dari Masa ke Masa
Bab 3 : Penyimpangan Hukum Waris
Bab 4 : Kerangka Ilmu Mawaris
Bagian Kedua Batang Tubuh
Bab 1 : Pengertian
Bab 2 : Pensyariatan
Bab 3 : Rukun Syarat & Mawani’
Bab 4 : Pewaris
Bab 5 : Harta Warisan
Bab 6 : Ahli Waris
Bab 7 : Hijab
Bab 8 : Ahli Waris Internal
Bab 9 : Ahli Waris Eksternal
Bagian Ketiga Penghitungan
Bab 1 : Penghitungan
Bab 2 : Penghitungan Berantai
Bab 3 : Aul
Bab 4 : Radd
Bab 5. Kasus Umariyatain
Bab 6 : Masalah Dalam Pembagian
Bagian Keempat Kasus-kasus
Bab 1 : Waris Untuk Janin
Bab 2 : Dzawil Arham
Bab 3 : Kasus Khuntsa
Bab 4 : Wanita Hamil
Bab 5 : Mafqud
Bab 6 : Al-Gharqa wal Hadma
Bab 7 : Software Mawaris
D. Bagian Atap atau Pelindung
Ibarat bangunan, kalau baru ada pondasi dan bangunan tanpa adanya atap, maka
bangunan itu menjadi kurang sempurna. Sebab terik matahari dan hujan serta udara
yang panas atau dingin pasti dengan mudah dapat menerobos masuk.
Untuk itu bangunan yang sempurna adalah bangunan yang mempunyai atap sebagai
pelindung. Dan yang menjadi pelindung bangunan Islam adalah jinayat, jihad dan
negara. Sehingga Ilmu Fiqih yang terkait dengan ketika masalah itu kita sebut
dengan mudah sebagai fiqih jinayat, fiqih jihad dan fiqih negara.
1. Fiqih Jinayat
Bagian Pertama Hukum Islam
Bab 1 : Jinayat
Bab 2 : Qishash
Bab 3 : Hudud
Bab 4 : Ta’zir
Bab 5 : Pencurian
Bab 6 : Minum Khamar
Bab 7 : Pembunuhan
Bab 8 : Perzinaan
Bab 9 : Qadzaf
Bab 10 : Hirabah
Bab 11 : Pelaku Sihir
Bab 12 : Murtad
Bagian Kedua Peradilan Islam
Bab 1 : Peradilan Islam
Bab 2 : Qadhi
Bab 3 : Pendakwaan
Bab 4 : Kesaksian
Bab 5 : Sumpah
Bab 6 : Ikrar Pernyataan
Bagian Ketiga Eksistensi Hukum Islam
Bab 1 : Tuduhan & Jawaban
Bab 2 : Keunggulan Hukum Islam
Bab 3 : Kedudukan Hukum Islam
Bab 4 : Keruntuhan Hukum Islam
Bab 5 : Penerapan Hukum Islam di Indonesia
2. Fiqih Jihad
Bagian Pertama Dasar-Dasar Jihad
Bab 1 : Pengertian Jihad & Keutamaannya
Bab 2 : Pensyariatan Jihad, Hukum Dan Hikmah
Bab 3 : Ayat-Ayat Jihad
Bab 4 : Syarat & Izin Jihad
Bab 5 : Pembiayaan Jihad
Bab 6 : Larangan Dalam Jihad
Bab 7 : Yang Haram Dibunuh
Bab 8 : Mati Syahid
Bagian Kedua Jihad Rasulullah Saw
Bab 1 : Jihad Rasulullah Saw
Bab 2 : Perang Posisi Bertahan
Bab 3 : Perang Posisi Menyerang
Bagian Ketiga Pasca Jihad
Bab 1 : Berakhirnya Perang
Bab 2 : Harta Rampasan Perang
Bab 3 : Tawanan Perang
Bagian Keempat Jihad Era Modern
Bab 1 : Pro-Kontra Jihad
Bab 2 : Perang Yang Manusiawi
Bab 3 : Operasi Syahid
Bab 4 : Jihad Dan Terorisme
Bab 5 : Masih Adakah Jihad Hari Ini?
Bab 6 : Jihad Peradaban Modern
Bab 7 : Dana Zakat Untuk Jihad Fi Sabilillah
Bab 8 : Perang Berbunuhan Sesama Muslim
Bab 9 : Fitnah & Perang Antar Shahabat
3. Fiqih Negara
Bagian Pertama Fiqih Negara
Bab 1 : Syariat Islam & Negara
Bab 2 : Rukun Negara
Bab 3 : Karakteristik Negara Islam
Bab 4 : Ahlu Al-Hilli Wa Al-Aqdi
Bab 5 : Bai’at
Bab 6 : Kepala Negara
Bab 8 : Baitul Mal
Bab 9 : Qadhi
Bagian Kedua Negara Islam
Bab 1 : Pengertian Negara Islam
Bab 2 : Pro Kontra Negara Islam
Bab 3 : Keberadaan Negara Islam, Wajibkah?
Bab 5 : Negara Islam Sepanjang Sejarah
Bab 6 : Adakah Negara Islam Hari Ini?
Bab 7 : Negara Islam Dan Indonesia
Bab 8 : Mencari Bentuk Ideal Negara Islam Modern
Bab 9 : Dunia Tanpa Negara Islam
Bagian Ketiga Politik
Bab 1 : Syariah Dan Politik
Bab 2 : Syariat Dan Kekuasaan
Bab 3 : Islam Dan Demokrasi
Bab 4 : Partai Politik
Bab 5 : Pemilu


Bab 7 : Ilmu Ushul Fiqih

Kita sering mendengar istilah Ilmu Ushul Fiqih atau disingkat menjadi Ushul Fiqih
saja. Pada bab ini kita akan sedikit mengupas tentang ilmu ini dan hubungannya
dengan Ilmu Fiqih.
A. Pengertian
Ushul Fiqih (‫ )أصول الفقه‬terdiri dari dua kata, yaitu ushul dan fiqih.
1. Ushul
Kata ushul (‫ )أصول‬adalah bentuk jamak dari al-ashlu (‫)األصل‬, yang artinya akar, asal,
landasan atau pondasi. Sebagian ulama bahasa menyebutkan bahwa makna al-ashlu
adalah ma yubna ’alaihi ghairuhu, atau segala yang di atasnya didirikan sesuatu.
Kata al-ashl yang bermakna akar disebutkan di dalam Al-Quran :
‫السماء‬ ّ ‫وفرعها ِفي‬ ُ ‫ِت‬
ٌ ‫أصل ُها ثاب‬
Akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit. (QS Ibrahim : 24).
2. Fiqih
Sedangkan kata fiqih (‫ )فقه‬secara bahasa punya dua makna. Makna pertama adalah al-
fahmu al-mujarrad (‫المجرد‬ ّ ‫)الفهم‬, yang artinya adalah mengerti secara langsung atau
sekedar mengerti saja.
Makna yang kedua adalah al-fahmu ad-daqiq (‫)الفهم الدقيق‬, yang artinya adalah mengerti
atau memahami secara mendalam dan lebih luas.
Kata fiqih yang berarti sekedar mengerti atau memahami, disebutkan di dalam ayat
Al-Quran Al-Kariem, ketika Allah menceritakan kisah kaum Nabi Syu’aib alaihissalam
yang tidak mengerti ucapannya.
‫ول‬ ُ ُ‫يرا ِم ّما تق‬ ً ‫نفقه ك ِث‬ ُ ‫عيب ما‬ُ ‫قال ُوا يا ُش‬
“Mereka berkata: "Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu
katakan itu (QS. Hud: 91)
Di ayat lain juga Allah SWT berfirman menceritakan tentang orang-orang munafik yang
tidak memahami pembicaraan.
‫يفقهون ح ِديث ًا‬ ُ ‫يكادون‬ُ ‫فمال هُؤ ال ِء القو ِم ال‬
ِ
Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu
(orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS. An
Nisa: 78)
Sedangkan makna fiqih dalam arti mengerti atau memahami yang mendalam, bisa temukan
di dalam Al-Quran Al-Karim pada ayat berikut ini :
‫يحذرون‬ ُ ‫ليهم لعل ُّهم‬ ِ ‫رجعوا ِإ‬ ُ ‫قومهم ِإ ذا‬
ُ ِ ُ ‫ين ولِي‬
‫نذ ُروا‬ ّ ِ ‫نهم طاِئف ٌة لِيتفقّ ُهوا ِفي‬
ِ ‫الد‬ ُ ‫ؤمنُون ِلين ِف ُروا كا ّف ًة فلوال نفر ِمن ك ّ ُِل ِفرقةٍ ِم‬
ِ ‫الم‬
ُ ‫وما كان‬
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-
tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah : 122)
Dalam prakteknya, istilah fiqih ini lebih banyak digunakan untuk ilmu agama secara
umum, dimana seorang yang ahli di bidang ilmu-ilmu agama sering disebut sebagai
faqih, sedangkan seorang yang ahli di bidang ilmu yang lain, kedokteran atau
arsitektur misalnya, tidak disebut sebagai faqih atau ahli fiqih.
Sedangkan secara istilah, kata fiqih didefinisikan oleh para ulama sebagai :
‫فصيلِي ّ ِة‬ ِ ّ‫كتسب ِمن أ ِدل ّ ِتها الت‬ ُ ُ ‫رعيّ ِة العملِيّ ِة‬
‫الم‬ ِ ‫الش‬ ّ ‫لم بِاألحكا ِم‬ ِ
ُ ‫الع‬
”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang
diambil dari dalil-dalil secara rinci,”
3. Ushul Fiqih
Pengertian ilmu ushul fiqih menurut para ulama adalah :
‫فصيلِي ّ ِة‬ ِ ّ‫رعيّ ِة العملِيّ ِة ِمن أ ِدل ّ ِتها الت‬ ِ ‫الش‬ّ ‫نباط األحكا ِم‬ ِ ‫جته ُد ِفي اس ِت‬
ِ ‫الم‬ُ ‫يتوس ُل بِها‬
ّ ‫القواع ُد ال ّ ِتي‬
ِ
Kaidah-kaidah yang mengantarkan mujtahid dalam mengistinbat hukum-hukum syar’i
terapan dari dalil-dalilnya yang rinci.
Penjelasan dari definisi ini adalah :
a. Kaidah
Yang dimaksud dengan kaidah adalah ad-dhawabit al-kulliyah al-ammah, yaitu aturan
atau rumus yang bersifat menyeluruh dan umum, yang bisa diterapkan dalam kasus-
kasus yang banyak.
Misalnya kaidah ushul fiqih itu berbunyi :
‫رم ِة‬ ُ ِ‫َهي ل‬ ُ ‫مر ِل‬ ‫َأل‬
َ ‫لح‬ ُ ّ ‫وب َوالن‬ ِ ‫لو ُج‬ ُ ‫ا‬
Perintah itu melahirkan kewajiban dan larangan melahirkan keharaman.
Maka ketika ada dalil yang menggunakan fi’il amr yang bermakna perintah, apa yang
diperintah itu menjadi kewajiban. Misalnya Allah SWT berfirman :
‫الصالة وآتُوا ال ّزكاة‬ ّ ‫أ ِق ِم‬
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat
Maka pada dasarnya hukum mendirikan shalat adalah wajib, sebagaimana menunaikan
zakat juga hukumnya wajib, karena datangnya dalil itu dalam bentuk perintah (amr).
Dan sebaliknya, ketika ada dalil berbunyi larangan, maka hukum untuk mengerjakannya
menjadi haram.
‫ِالحق‬
ِّ ‫الله ِإ ال ّ ب‬
ُ ‫حرم‬
ّ ‫وال تقتُل ُوا النّفس ال ّ ِتي‬
Dan janganlah kamu membunuh nyawa yang telah Allah haramkan tanpa haq.
‫وال تقربُوا ال ِّزنا‬
Dan janganlah kamu berzina
Membunuh nyawa manusia tanpa hak dan berzina hukumnya haram, karena datangnya
larangan dalam dua ayat di atas.
b. Mujtahid
Mujtahid adalah orang melakukan proses penarikan kesimpulan hukum dari Al-Quran dan
As-Sunnah serta sumber-sumber syariah lainnya.
Pekerjaan ini dilakukan lewat proses yang disebut dengan ijtihad, yaitu dengan
menggunakan berbagai metodologi yang baku serta proses yang ilmiyah serta dapat
dipertanggung-jawabkan secara hukum, untuk menghasilkan produk hukum fiqih yang
dapat dengan mudah dikerjakan oleh khalayak.
Untuk itu seorang mujtahid haruslah merupakan sosok orang yang memiliki segala
persyaratan standar dalam berijtihad.
c. Hukum-hukum
Ilmu Fiqih adalah salah satu cabang ilmu, yang secara khusus termasuk ke dalam
cabang ilmu hukum. Jadi pada hakikatnya Ilmu Fiqih adalah ilmu hukum.
Kita mengenal ada banyak cabang dan jenis ilmu hukum, misalnya hukum adat yang
secara tradisi berkembang pada suatu masyarakat tertentu. Selain hukum adat, kita
juga mengenal hukum barat yang umumnya hasil dari penjajahan Belanda.
d. Syariat
Hukum yang menjadi wilayah kajian Ilmu Fiqih adalah hukum syariat, yaitu hukum yang
bersumber dari Allah SWT serta telah menjadi ketetapan-Nya, dimana kita sebagai
manusia, telah diberi beban mempelajarinya, lalu menjalankan hukum-hukum itu, serta
berkewajiban juga untuk mengajarkan hukum-hukum itu kepada umat manusia.
Dengan kata lain, Ilmu Fiqih bukan ilmu hukum yang dibuat oleh manusia. Fiqih
adalah hukum syariat, dimana hukum itu 100% dipastikan berasal dari Allah SWT
Keterlibatan manusia dalam Ilmu Fiqih hanyalah dalam menganalisa, merinci, memilah
serta menyimpullkan apa yang telah Allah SWT firmankan lewat Al-Quran Al-Kariem dan
juga lewat apa yang telah Rasulullah SAW sampaikan berupa sunnah nabawiyah atau
hadits nabawi.
e. Amaliyah
Yang dimaksud dengan amaliah adalah bahwa hukum fiqih itu terbatas pada hal-hal
yang bersifat amaliyah badaniyah, bukan yang bersifat ruh, perasaan, atau wilayah
kejiwaan lainnya.
Sebagaimana kita tahu hukum syariah itu cukup banyak wilayahnya, ada wilayah akidah
yang lebih menekankan pada wilayah keyakinan dan pondasi keimanan. Ada hukum yang
terkait dengan akhlak dan etika.
Dalam hal ini ilmu hukum fiqih hanya membahas hukum-hukum yang bersifat fisik
berupa perbuatan-perbuatan manusia secara fisik lahiriyah. Tegasnya, fiqih itu
hanya menilai dari segi yang kelihatan saja, sedangkan yang ada di dalam hati, atau
di dalam benak, tidak termasuk wilayah amaliyah.
f. Yang diambil dari dalil-dalilnya yang rinci
Banyak orang beranggapan bahwa Ilmu Fiqih itu sekedar karangan atau logika para
ulama, yang menurut mereka bahwa ulama itu manusia juga. Sedangkan yang berasal
dari Allah hanyalah Al-Quran, dan yang berasal dari Rasulullah SAW adalah Al-
Hadits.
B. Hubungan Fiqih dengan Ushul Fiqih
Antara Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih terjalin hubungan yang sangat erat dan tidak
bisa dipisahkan. Bahkan boleh dikatakan bahwa sebagian dari kedua tubuh itu saling
menyatu dan berbagi satu dengan yang lain.
1. Pohon dan Akarnya
Keduanya bisa diibaratkan antara pohon dengan akarnya. Dimana pohon itu tidak akan
dapat tumbuh dan tegak bila tidak ada akarnya. Akar pohon bukan hanya berfungsi
sebagai pondasi yang menopang berat pohon itu, bahkan akar itulah yang memberikan
zat-zat yang dibutuhkan oleh pohon.
Bila akar pohon dilepaskan dari batangnya, maka otomatis batang pohon itu akan mati
dengan sendirinya. Sebaliknya, bila batang suatu pohon dipotong tanpa membuang
akarnya, besar kemungkinan dari akar itu akan tumbuh lagi pohon yang baru.
2. Produk dan Pabriknya
Hubungan antara Ilmu Fiqih dengan Ilmu Ushul Fiqih bisa diibaratkan antara sebuah
produk dengan pabriknya.
Mobil yang kita kendarai setiap hari tidak akan dapat meluncur di jalanan kalau
tidak ada pabrik yang memproduksi mobil itu. Mobil adalah Ilmu Fiqih dan pabrik
adalah Ilmu Ushul Fiqih.
Belajar fiqih pada dasarnya adalah wajib dilakukan oleh setiap orang termasuk orang
yang awam. Setidaknya pada wilayah-wilayah paling mendasar dan tidak harus pada
wilayah yang terlalu jauh. Misalnya setiap orang wajib tahu tata cara wudhu, mandi
janabah, tayammum, dan juga tentang aturan-aturan shalat dengan segala syarat,
rukun, wajib, sunnah dan hal-hal yang membatalkan. Sebab tiap manusia punya beban
dari Allah SWT untuk mengerjakan semua itu.
Belajar fiqih tentang halal dan haram, serta hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram bisa kita ibaratkan dengan belajar mengemudi mobil. Setiap orang yang
mengemudi mobil, minimal harus pernah belajar tata cara mengemudikan mobil. Dan
untuk itu polisi mewajibkan para pengemudi memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).
Sedangkan belajar Ilmu Ushul Fiqih hukumnya tidak wajib buat orang awam. Sebab Ilmu
Ushul Fiqih itu bisa kita ibaratkan seperti belajar ilmu untuk memproduksi mobil.
Tentu untuk bisa mengemudi mobil tidak harus belajar cara bagaimana membuat mobil
itu. Membuat mobil adalah urusan pabrik mobil, pengemudi hanya diwajibkan belajar
bagamana cara memakai produknya, yaitu belajar mengemudi mobil yang jauh lebih
sederhana.
Ilmu Ushul Fiqih secara mendalam pada hakikatnya ilmu yang dibutuhkan oleh para
mujtahid dalam melakukan proses istimbath hukum dari dalil-dalil syariah. Karena
tidak semua orang wajib menjadi mujtahid, maka hukum untuk mempelajari Ilmu Ushul
Fiqih ini pun juga tidak wajib.
C. Sejarah Ilmu Ushul Fiqih
Kalau kita telurusi secara seksama, sebenarnya prinsip yang dipakai di dalam Ushul
Fiqih sudah ada sejak Rasulullah SAW masih hidup bersama-sama dengan para shahabat.
Namun kalau yang dimaksud terbitnya Ilmu Ushul Fiqih dalam format buku yang secara
khusus, memang baru ditulis pertama kali oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Sehingga di masa kemudian, beliau yang kemudian dikenal sebagai peletak dasar Ilmu
Ushul Fiqih.
1. Ushul Fiqih di Masa Nabi SAW
Di masa Rasulullah SAW masih hidup, kita justru diajarkan bagaimana teknik
menggunakan kaidah-kaidah dalam mengambil kesimpulan hukum langsung oleh Rasulullah
SAW sendiri.
Ada beberapa kejadian yang bisa dijadikan sebagai bukti bahwa sudah ada pelaran
dari Nabi SAW tentang prinsip dalam Ushul Fiqih, seperti bagaimana beliau
mengajarkan menqiyas hukum berkumur dengan mencium istri pada saat berpuasa.
Selain itu beliau SAW juga pernah mengoreksi cara pengqiyasan yang sempat keliru
dilakukan oleh shahabatnya.
a. Rasulullah SAW Mengajarkan Nasakh
Salah satu prinsip yang dipelajari dalam Ilmu Ushul Fiqih adalah masalah suatu
dalil yang menghapus dalil yang sebelumnya ada. Cabang ilmu ini disebut secara
populer sebagai Ilmu An-Nasikh wa Al-Mansukh.
Ternyata Rasulullah SAW dahulu sudah banyak mengajarkan hukum nasakh kepada para
shahabat. Prinsipnya, suatu hukum yang sebelumnya sudah berlaku, kemudian dihapus
dan diganti dengan hukum yang baru, lewat datangnya dalil yang baru. Sehingga para
shahabat kemudian menjadi tahu bahwa bila suatu dalil datang kemudian dan
bertentangan dengan dalil yang sudah ada sebelumnya, maka ada kemungkinan dalil
yang sebelumnya dihapuskan (dinasakh).
Salah satu contoh yang paling mudah kita sebutkan disini adalah nasakh atas
haramnya berziarah kubur.
‫وروها‬ ُ ‫ور أال ف ُز‬ ِ ُ‫ُنت نهيتُك ُم عن ِزيار ِة القُب‬ ُ ‫ك‬
Dahulu Aku melarang kalian dari berziarah kubur, sekarang silahkan berziarah.
b. Qiyas Mencium Istri Dengan Berkumur Saat Puasa
Suatu Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya
tentang dirinya yang sempat mencium istrinya di siang hari di bulan Ramadhan,
apakah puasanya itu batal atau tidak.
Saat itu Rasulullah SAW tidak langsung menjawab dengan mengatakan batal atau tidak
batal. Tetapi beliau berputar terlebih dahulu dengan membuat perbandingan hukum.
Beliau bertanya, apabila seseorang yang sedang berpuasa di siang hari melakukan
wudhu dan berkumur, apakah hal itu membatalkan puasa?
Umar kontan tegas menjawab tidak batal, sebab air kumur itu tidak diminum. Maka
Rasulullah SAW kemudian menjawab, bahwa keadaan orang yang mencium istrinya mirip
dengan orang yang berkumur. Artinya, dari segi hukum, puasanya tidak batal.
‫عليه وسل ّم ف ِفيم ؟‬ ِ ‫ول الل ِّه صل ّى الل ُّه‬ ُ ‫رس‬ ُ ‫فقال‬. ‫ ال بأس بِذلِك‬: ‫ُلت‬ ُ ‫ أرأيت لو تمضمضت بِما ٍء وأنت صاِئمٌ ؟ ق‬.
Rasulullah SAW bertanya,”Tidak kah kamu perhatikan bila kamu berkumur dengan air
dalam keadaan berpuasa, apakah batal? Umar radhiyallahuanhu menjawab,”Tidak mengapa
kalau berkumur”. Maka Rasulullah SAW berkata lagi,”Lalu kenapa (dengan mencium
istri)?”. (HR. Ahmad, Al-Hakim dan An-Nasa’i)
c. Pembenaran Qiyas Yang Dilakukan Shahabat
Beberapa shahabat tercatat pernah melakukan qiyas antara hukum suatu masalah dengan
masalah yang lain. Salah satunya adalah mengqiyas antara mandi janabah dengan
tayammum, seperti yang dilakukan oleh Amr bin Al-Ash radhiyallahuanhu.
‫فلما ق ِدمنا على‬ ّ ‫بح‬
ِ ‫الص‬ ُّ ‫ِأصحابي صالة‬ ِ ‫ّيت ب‬
ُ ‫مت ث ُّم صل‬ ُ ‫فتيم‬
ّ ‫اغتسلت أن أهلك‬ ُ ‫فأشفقت ِإ ِن‬
ُ ‫بارد ٍة ش ِديد ِة البرد‬ ِ ٍ‫في ليلة‬ ِ ‫حتلمت‬ ُ ِ‫ا‬
ِ
‫الله‬ ‫رسول‬ ُ s ‫ُم‬ ‫ك‬ ‫س‬ ‫ف‬
ُ ‫أن‬ ‫ُوا‬ ‫ل‬ُ ‫ت‬ ‫تق‬ ‫وال‬ ( ‫تعالى‬ ‫الله‬ ‫قول‬ ‫ذكرت‬
ُ : ‫لت‬
ُ ‫ق‬
ُ ‫ف‬ ‫ب؟‬ ُ ‫ن‬ ‫ج‬
ُ ‫وأنت‬ ‫ِك‬ ‫ب‬ ‫ِأصحا‬ ‫ب‬ ‫ّيت‬ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫و‬ ‫عمر‬
ُ ‫يا‬ : ‫فقال‬ ‫له‬
ُ ‫ك‬ ِ ‫ل‬ ‫ذ‬ ‫وا‬ ‫ذكر‬
ُ
‫الله صل ّى الله عليه وسلم ولم يقُل شيًئا‬ ِ ُ ‫رس‬
‫ول‬ ُ ‫ك‬ ِ
‫فضح‬ ‫ّيت‬
ُ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫ُم‬
ّ ‫ث‬ ‫مت‬
ُ ‫فتيم‬
ّ )‫ا‬ ‫يم‬
ً ِ
‫رح‬ ‫ُم‬ ‫ك‬ ‫ب‬
ِ ‫كان‬ ‫الله‬
ُ ‫ن‬ ّ ‫ِإ‬
Dari Amru bin Al-’Ash radhiyallahuanhu bahwa ketika beliau diutus pada perang
Dzatus Salasil berkata"Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin. Aku yakin
sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami
teman-temanku. Ketika kami tiba kepada Rasulullah SAW mereka menanyakan hal itu
kepada beliau. Lalu beliau bertanya"Wahai Amr Apakah kamu mengimami shalat dalam
keadaan junub ?". Aku menjawab"Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh
dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu] maka aku tayammum dan
shalat". (Mendengar itu) Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apa-apa. (HR.
Ahmad Al-hakim Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny).
Dan Rasulullah SAW membenarkan qiyas yang dilakukannya, sehingga menjadi dasar
hukum yang membolehkan kita di masa sekarang ini untuk bertayammum manakala mau
mandi janabah tidak ada air.
d. Koreksi Qiyas Tayammum dengan Mandi Janabah
Ketika mengetahui tentang tata cara mengqiyas suatu hukum, maka para shahabat dalam
kondisi tertentu mulai menggunakan qiyas, ketika belum menemukan dalil yang sharih.
Misalnya yang terjadi pada Ammar bin Yasir radhyallahuanhu.
‫فذكرت ذلِك لِل ّ ِنبي‬ ُ ‫ت‬ ُ ّ ‫الص ِعي ِد وصلي‬ ّ ‫في‬ ِ ‫كت‬ ُ ‫فتمع‬
ّ ‫أصب الماء‬ ُ ‫أجنبت فلم‬ ُ : ‫عمار قال‬ ّ ‫ عن‬s ‫ ِإ نّما يك ِفيك هكذا وضرب‬: ‫فقال‬
‫ِي‬ ُّ ‫ النّب‬s ‫في‬ ِ ‫تضرب بِكفّيك‬ ِ ‫ ِإ نّما كان يك ِفيك أن‬: ‫ وفي لفظ‬. ‫ متفق عليه‬- ‫يه‬ ِ ّ‫وجهه وكف‬ ُ ‫يهما ث ُّم مسح ب ِِهما‬ ِ ‫يه األرض ونفخ ِف‬ ِ ّ‫بِكف‬
‫صغين رواه الدارقطني‬ ِ ‫الر‬
ِ ‫تمسح ب ِِهما وجهك وكفّيك ِإ لى‬ ُ ‫يهما ث ُّم‬ ِ ‫ُراب ث ُّم تنفُ ُخ ِف‬ ِ ّ‫الت‬
Dari Ammar ra berkata"Aku mendapat janabah dan tidak menemukan air. Maka aku
bergulingan di tanah dan shalat. Aku ceritakan hal itu kepada Nabi SAW dan beliau
bersabda"Cukup bagimu seperti ini : lalu beliau menepuk tanah dengan kedua tapak
tangannya lalu meniupnya lalu diusapkan ke wajah dan kedua tapak tangannya. (HR.
Bukhari dan Muslim)
2. Ushul Fiqih di Masa Shahabat
Di masa shahabat atau khilafah rasyidah, para shahabat beberapa kali melakukan
qiyas, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW sebelumnya.
a. Qiyas Had Mabuk dengan Qadzaf
Misalnya, Ali bin Abi Thalib mengqiyaskan hukuman bagi orang yang mabuk dengan
orang yang melakukan tuduhan zina (qadzaf), yaitu dicambuk sebanyak 80 kali
pukulan.
‫الفاسقُون‬ ِ ‫لهم شهاد ًة أبدا ً وُأولِئك ُه ُم‬ ُ ‫وهم ثما ِنين جلد ًة وال تقبل ُوا‬ ُ ‫ِأربعة ُشهداء فاجلِ ُد‬ ِ ‫حصنات ث ُّم لم يأتُوا ب‬ ِ ‫الم‬
ُ ‫يرمون‬ ُ ‫وال ِّذين‬
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur : 4)
b. Menasakh Dalil
Selain praktek Qiyas, para shahabat juga melakukan praktek menggugurkan dalil yang
datang terlebih dahulu dengan dalil yang datang kemudian, atau yang dikenal dengan
nasakh.
Contohnya adalah naskh yang dilakukan oleh Abdullah bin Ma’usd, dimana beliau
berpendapat bahwa masa iddah buat wanita yang hamil tetapi juga ditinggal mati
suaminya adalah cukup sampai melahirkan saja.
Padahal aslinya, masa iddah buat wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan
10 hari. Dan wanita yang hamil, masa iddahnya adalah sampai melahirkan.
3. Ushul Fiqih pada Masa Perkembangan Islam
Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk ke dalam
daulah Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan
pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rasulullah.
Maka para ulama ahli Ushul Fiqih menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa
Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh ulama penyusun Ilmu Fiqih.
Usaha pertama dilakukan oleh Al-Imam Asy-Syafi'i (150-204 H) rahimahullah dalam
kitabnya Arrisalah. Dalam kitab ini beliau membicarakan banyak hal terkait dengan
kaidah-kaidah dalam menarik kesimpulan hukum syariah. Beliau membahas tentang Al-
Quran, juga tentang kedudukan Al-Hadits, Ijma dan Qiyas sebagai sumber utama. Dan
beliau juga membahas pokok-pokok peraturan mengambil hukum.
Usaha yang dilakukan oleh Al-Imam Asy-Syafi'i ini merupakan batu pertama dari Ilmu
Ushul Fiqih, yang kemudian dilanjutkan oleh para ahli Ushul Fiqih sesudahnya.
Para ulama Ushul Fiqih dalam pembahasannya mengenai Uushul Fiqih tidak selalu sama,
baik tentang istilah-istilah maupun tentang jalan pembicaraannya. Karena itu maka
terdapat dua golongan yaitu : golongan Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.
a. Golongan Mutakallimin
Golongan Mutakallimin dalam pembahasannya selalu mengikuti cara-cara yang lazim
digunakan dalam ilmu kalam, yaitu dengan memakai akal-pikiran dan alasan-alasan
yang kuat dalam menetapkan peraturan-peraturan pokok (ushul), tanpa memperhatikan
apakah peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan persoalan cabang (furu') atau
tidak. Di antara kitab-kitab yang ditulis oleh golongan ini adalah;
 Al-Mu'tamad oleh Muhammad bin Ali
 Al-Burhan oleh Al-Juwaini
 Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali
 Al-Mahshul oleh Ar-Razy
b. Golongan Hanafiyah
Golongan Hanafiyah dalam pembahasannya selalu memperhatikan dan menyesuaikan
peraturan-peraturan pokok (ushul) dengan persoalan cabang (furu').
c. Penyatuan
Setelah kedua golongan tersebut muncullah kitab pemersatu antara kedua aliran
tersebut di antaranya adalah;
 Tanqihul Ushul oleh Sadrus Syari'ah
 Badi'unnidzam oleh As-Sa'ati
 Attahrir oleh Kamal bin Hammam
 Al-Muwafaqat oleh As-Syatibi
Selain kitab-kitab tersebut di atas, juga terdapat kitab lain yaitu, Irsyadul Fuhul
oleh As-Syaukani, Ushul Fiqih oleh Al-Khudari.
Terdapat juga kitab Ushul fiqih dalam bahasa Indonesia dengan nama "Kelengkapan
dasar-dasar fiqih" oleh Prof. T.M. Hasbi As-Shiddiqi.
D. Ruang Lingkup Ilmu Ushul Fiqih
Ruang lingkup pembahasan Ilmu Ushul Fiqih sebenarnya cukup luas, mulai dari sumber-
sumber hukum fiqih hingga proses bagaimana kesimpulan hukum itu diambil, lewat
beragam metode yang ada.
Secara garis besar, bidang kajian di dalam ilmu ushul fiqih terbagi menjadi dua,
yaitu kajian tentang dalil dan tentang hukum. Kajian tentang dalil terbagi menjadi
dua macam, yaitu dalil hukum syariah dan dalil lafadz. Dan kajian tentang hukum
juga terbagi menjadi dua, yaitu hukum-hukum taklifi dan hukum wadh’i.
1. Dalil-dalil Hukum Syariah
Dalil-dalil hukum syariah adalah dalil-dalil yang digunakan untuk mengambil
kesimpulan hukum. Oleh para ulama, dalil-dalil yang bisa digunakan untuk mengambil
kesimpulan ini dibagi menjadi dua, berdasarkan kekuatannya. Pertama dalil yang
telah disepakati oleh para ulama. Kedua, adalah dalil yang tidak disepakati oleh
mereka.
a. Dalil Yang Muttafaq
Yang dimaksudkan ke dalam dalil yang muktamad adalah dalil yang disepakati
kemutlakannya oleh para ulama, yaitu mencakup
 Al-Quran Al-Karim
 As-Sunnah An-Nabawiyah
 Al-Ijma
 Al-Qiyas
Keempat dalil yang disepakati ini akan kita bahas nanti dalm bab-bab tersendiri,
khususnya pada bagian kedua dari buku ini.
b. Dalil Yang Mukhtalaf
Dalil-dalil hukum syariah yang mukhtalaf adalah dalil-dalil yang tidak diterima
secara bulat oleh para ulama untuk dijadikan sumber atau metode dalam menarik
kesimpulan hukum. Maksudnya sebagian ulama menggunakan dalil-dalil itu dalam proses
pengambilan hukum, namun sebagian yang lain tidak memakainya.
Di antara dalil yang masih mukhtalaf antara lain :
 Al-Masalih Al-Mursalah
 Al-Istidlal
 Al-Istish-hab
 Saddu Adz-Dzari’ah
 Al-Istihsan
 Al-'Urf
 Syar'u Man Qablana
 Amalu Ahlil Madinah
 Qaul Shahabi.
Pada bagian kedua dari buku ini, masing-masing dalil itu juga akan kita bahas
secara lebih rinci dan detail, berikut dengan contoh-contohnya.
2. Dalil-dalil Lafadz
Selain mengkaji dalil-dalil hukum, ilmu Ushul Fiqih juga membahas tentang dalil-
dalil lafadz. Dalil lafadz terbagi menjadi empat bagian utama, yaitu al-amru wa an-
nahyu, al-‘aam wa al-khash, al-muthlaq wa al-muqayyad dan a-manthuq wa al-mafhum.
3. Hukum Taklifi
Ilmu Ushul Fiqih juga membahas masalah hukum, yang secara umum terbagi menjadi dua
macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taklifi, yaitu hukum yang terkait dengan beban syariat yang dipikulkan di
pundak tiap mukallaf. Hukum taklifi ini oleh para ulama disebut terdiri dari lima
jenis, yaitu wajib, mandub atau sunnah, mubah, makruh dan haram.
a. Wajib
Wajib adalah hukum yang berlaku pada suatu masalah, dimana orang yang melakukannya
akan mendapat pahala, dan orang yang meninggalkannya akan mendapat dosa.
Contohnya adalah shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat bagi
orang yang sudah memenuhi syarat wajib, dan sebagainya.
b. Sunnah atau Mandub
Sunnah atau mandub adalah hukum yang berlaku pada suatu masalah, dimana orang yang
melakukannya akan mendapat pahala, dan tetapi orang yang meninggalkannya tidak akan
mendapat dosa.
Contohnya adalah mengerjakan shalat tahajjud, dhuha, tahiyatul masjid, qabilyah dan
ba’dyah. Atau mengerjakan puasa tiap hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari tiap
bulan, dan juga puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah.
c. Mubah
Mubah adalah hukum yang berlaku pada suatu masalah, dimana orang yang melakukannya
atau tidak melakukannya, tidak akan mendapat pahala atau dosa.
Contohnya adalah makan dan minum yang halal, bermuamalah yang halal, dan segala
bentuk aktifitas kehidupan yang tidak ada perintahnya tapi juga tidak ada
larangannya.
d. Makruh
Makruh adalah hukum yang berlaku pada suatu masalah, dimana orang yang melakukannya
tidak mendapat dosa, dan orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala.
Contohnya adalah melakukan perceraian atas ikatan suami istri.
e. Haram
Haram adalah hukum yang berlaku pada suatu masalah, dimana orang yang melakukannya
akan mendapat dosa, dan orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala.
Contohnya adalah minum khamar, makan uang riba, korupsi, melakuan suap, berzina,
berjudi, menyembah berhala dan lainnya.
4. Hukum Wadh’i
Sedangkan hukum wadh’i adalah khitab syari’ atau ketentuan Allah yang terkait
dengan sebab, syarat dan menghalang.
a. Sebab
Contoh dari sebab adalah : datangnya bulan Ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa.
Dan tergelincirnya (zawal) matahari sebagai sebab wajibnya shalat Dzhuur. Atau
adanya hubungan kekerabatan sebagai sebab hubungan waris.
b. Syarat
Contoh dari syarat adalah : usia baligh menjadi syarat berakhirnya kekuasaan wali
dan cakap adalah syarat bolehnya melakukan beberapa transaksi.
c. Penghalang
Contoh penghalang dalam hukum misanya status bapak adalah penghalang
diberlakukannya hukum qishash baginya jika dia membunuh anaknya dengan sengaja.
Keadaan seseorang yang gila menjadi penghalang dari diberlakukannya hukuman atas
pelaku pembunuhan.
Status penerima wasiat sebagai ahli waris adalah penghalang baginya menerima
wasiat.

Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

A. Pengertian
1. Qawaid
Kata qawa'id (‫ )قواعد‬adalah bentuk jamak dari kata qaidah (‫ )قاعدة‬yang arti secara
bahasa bermakna asas, dasar, atau pondasi.
Makna ini bisa dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata
qawa'id al-bait, yang artinya pondasi rumah, atau qawa'id al-din, artinya dasar-
dasar agama, atau qawa'id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu.
‫يل‬ ِ
ُ ‫سماع‬ ِ
‫البيت وِإ‬ ‫القواعد ِمن‬
ِ ‫يم‬ ِ ‫يرفع ِإ‬
ُ ‫براه‬ ُ ‫وِإ ذ‬
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (QS.
al-Baqarah : 127)
‫القواع ِد‬
ِ ُ ُ‫قد مكر ال ِّذين ِمن قبلِ ِهم فأتى الل ُّه ب‬
‫نيانهم ِمن‬
Allah menghancurkan bagunan mereka dari pondasi-pondasinya"(QS. al-Nahl : 26)
Dari dua ayat di atas, bisa disimpulakan bahwa arti kaidah adalah dasar, asas atau
pondasi, tempat yang di atasnya berdiri suatu bagunan.
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya
dalam ilmu nahwu (grammer) bahasa Arab, seperti maf'ul itu manshub dan fa'il itu
marfu'. Inilah yang disebut dengan al-qawaid an-nahwiyyah (kaidah nahwu).
Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat menyeluruh, yang
mencakup banyak bagian dan cabang yang ada di bawahnya.
Dengan demikian, maka al-Qawa'id al-Fiqihiyah secara etimologis adalah dasar-dasar
atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis Fiqih.
2. Kaidah Fiqih
Para ulama memang berbeda dalam mendefinisikan ilmu Kaidah Fiqih secara istilah.
Ada yang mendefinisikannya dengan makna yang luas tetapi juga ada yang
mendefinisikannya dengan mana yang sempit. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah
Syeikh Muhammad Abu Zahrah mendefisikan kaidah sebagai berikut:
‫يجمعها‬ُ ِ
‫واح ٍد‬ ٍ ‫ِهات ال ّ ِتي ترجِ ُع ِإ لى ِق‬
‫ياس‬ ِ ّ‫المتشب‬ ُ ‫مجموع ُة األحكا ِم‬ ُ
"Kumpulan hukum-hukum yang serupa berdasarkan qiyas (analogi) yang
mengumpulkannya."
b. Al-Jurjani
Sedangkan Al-Jurjani memberikan definisi bahwa Kaidah Fiqih adalah:
‫يع ُجزِئيّا ِتها‬ ِ
ِ ‫جم‬ ‫قضي ّ ٌة كُلِ ّيّ ٌة ُمنطبِق ٌة على‬ ِ
"Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya"
c. As-Subki
Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H) mendefisikan kaidah fiqhiyah sebagai :
‫أحكامها ِمنها‬ ُ ُ ُ‫ات ك ِثيرةٌ ي‬
‫فهم‬ ٌ ّ‫عليه ُجزِّئي‬
ِ ‫األمر الك ُ ِل ّ ُّي ا ِّلذي ينطب ُِق‬
ُ
"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak
sekali, yang dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi"
d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim
Ibnu Abdin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab
Al-Asybah Wa An-Nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
‫عوا األحكام عليها‬ ُ ‫وفر‬
ّ ‫رد ِإ ليها‬ ُّ ُ‫القواع ِد ال ّ ِتي ت‬
ِ ‫معرف ُة‬
ِ
"Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan hukum tersebut dirinci dari padanya"
e. Al-Suyuthi
Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair,
mendefinisikan kaidah adalah:
‫ي ينطب ُِق على ُجزِئيّا ِت ِه‬ ٌ ّ ّ ‫ُحكمٌ ك ُ ِل‬
"Hukum kulli (menyeluruh, gerenal) yang meliputi bagian-bagiannya"
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh
meliputi bagian-bagian dalam arti bisa diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-
bagiannya).
Kesimpulan
Jadi bisa kita simpulkan bahwa definisi kaidah fiqhiyah adalah:
ُ ‫أحكامها ِم‬
‫نه‬ ُ ‫ِي ينطب ُِق على ُمعظ ِم ُجزِئيّا ِت ِه ِلتُعرف‬ ٌ ّ ‫ُحكمٌ أغلب‬
“Hukum yang bersifat mayoritas dan mencakup sebagian besar bagian-bagiannya supaya
dapat diketahui hukum-hukumnya.”
Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya yaitu kalimat mayoritas bukan
menyeluruh.
Karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus hukum yang menjadi pengecualian dari
kaidah fiqih yang ada, sehingga sifatnya mayoritas. Artinya menampung banyak hukum
dari permasalahan fiqih namun tidak mencakup secara keseluruhan.
Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul fiqih yang sifatnya memang mencakup
secara keseluruhan.
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu kaidah ushul (‫القواعد‬
‫ )األصولية‬dan kaidah fiqih (‫)القواعد الفقهية‬:
 Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqih, yang
digunakan untuk menyimpulkan hukum (takhrij al-ahkam) dari sumbernya yaitu Al-Quran
dan Al-Hadits.
 Kaidah Fiqih. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general
dari materi fiqih, kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus
baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqih maupun kaidah fiqih, bisa disebutkan
sebagai bagian dari metodologi hukum Islam.
Namun dengan catatan bahwa kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij
al-akham, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Quran dan Sunnah).
Sedangkan kaidah Fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan
hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhilafahan Turki Usmani antara tahun 1869-
1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut Majalah al-Ahkam Al-Adliyah ( ‫مجلة األحكام‬
‫ )العدلية‬yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah Fiqih di
bidang muamalah dengan 1.851 pasal.
B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih
Sulit diketahui siapa pembentuk kaidah Fiqih, yang jelas dengan meneliti kitab-
kitab kaidah Fiqih dan masa hidup penyusunnya ternyata kaidah Fiqih tidak terbentuk
sekaligus, tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam.
Walaupun demikian, kalangan ulama di bidang kaidah Fiqih, menyebutkan bahwa Abu
Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal
abad ke-4 Hijriyah, telah mengumpulkan kaidah Fiqih mazhab Hanafi sebanyak 17
kaidah. Abu Thahir selalu mengulang-ulang kaidah tersebut di masjid, sebelum para
jamaah pulang ke rumahnya masing-masing.
Kemudian Abu Sa'id al-Harawi, seorang ulama mazhab Asy-Syafi'i mengunjungi Abu
Thahir dan mencatat kaidah Fiqih yang dihafalkan Abu Thahir. Diantara kaidah
tersebut adalah lima kaidah besar di atas.
Setelah seratus tahun kemudian, datang ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang
menambahkan kaidah Fiqih yang sudah dikumpulkan Abu Thahir sehingga menjadi 37
kaidah.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah Fiqih muncul pada akhir abad ke-
3 Hijriyah.
Seperti kita ketahui dari perkembangan ilmu Islam, bahwa kitab-kitab tafsir,
hadits, ushul fiqih dan kitab-kitab Fiqih pada masa itu telah dibukukan. Dengan
demikian materi tentang tafsir, hadits, dan Fiqih telah cukup banyak.
Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita untuk mempermudah
menentukan hukum pada masalah-masalah yang kita jumpai di masyarakat. Maka para
ulama’ telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum
Islam ini dengan mudah.
Oleh karena itu, bahwa proses pembentukan kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :

1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;


2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan hukum
(istibath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir
deduktif menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh
ulama-ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan
menggunakan pola piker deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok
merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi
kaidah-kaidah Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak
ayat dan banyak hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-
ayat Al-Quran dan hadits nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi,
baru kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih
menggunakan kaidah tadi untuk menjawab permasalahan masyarakat, baik di bidang
sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberikan fatwa,
terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih,
bahkan kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan
99 kaidah di dalam membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185
pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka.
Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H) murid Ibnu Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam
al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin", memunculkan kaidah :
‫ات والعواِئ ِد‬ ِ ّ‫واألحوال وال ِن ّي‬
ِ ِ ‫نة واألم ِك‬
‫نة‬ ِ ‫األزم‬
ِ ‫تغي ُّ ُر الفتوى واخ ِتالفُها ب‬
‫ِحسب تغيُّ ِر‬
ِ
"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan
adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd
(w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid,
sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama tentang masalah batas maksimal
kehamilan, beliau berkesimpulan dengan kaidah :
‫ِالمعتا ِد ال بِالنّا ِد ِر‬ُ ‫ب أن يك ُون ب‬ ُ ِ‫كم ِإ نّما يج‬
ُ ‫والح‬
ُ
"Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang
jarang terjadi"
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid
dengan kata-kata :
‫ِحق‬ ّ ٍ ‫خرج شيًئا ِمن ي ِد أح ٍد ِإ ال ّ ب‬ ِ ُ ‫ليس ِلِإل ما ِم أن ي‬
"Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari
tangan seseorang, kecuali dengan cara yang dibenarkan"
Contoh lain:
ِ
‫ِالمصلحة‬ ‫وط ب‬ ِ ‫اع‬
ٌ ُ ‫ية من‬ ِ ‫الر‬ّ ‫تصر ُف اِإل ما ِم على‬ُّ
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada
kemaslahatan.”
Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang berbunyi :
‫لة الولِ ِ ّي ِمن الي ِتي ِم‬ ِ ‫كمنز‬
ِ ِ ‫اع‬
‫ية‬ ّ ‫منزل ُة الوالِي ِمن‬
ِ ‫الر‬ ِ
"Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak
yatim"
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama ulama di
bidang fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas.
Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan
Sunnah, kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali
Fiqih bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah
Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah sering
bertemu kaidah dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
‫عليه‬ ِ ‫الم ّدعى‬
ُ ‫ين على‬ ِ
ُ ‫واليم‬ ‫الم ّد ِعي‬
ُ ‫البيِّن ُة على‬
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh
yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas), atau juga hadits:
‫ال َ َض َر َر َوال َ ِض َرار‬
"Jangan memudaratkan dan jangan dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).
Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:
‫زال‬ ُ ُ‫رر ي‬ ُ ‫الض‬
ّ
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang lima)
Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus ditelusuri
dahulu Fiqihnya, baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak
hadits, selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa dijadikan
sebagai kaidah yang mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode) dalam menjawab problem-
problem di masyarakat dan memunculkan hukum-hukum Fiqih baru.
Misalnya kaidah:
‫ِمقاص ِدها‬ ِ ‫ور ب‬ ‫ُأل‬
ُ ‫ا ُم‬
“Semua perkara itu tergantung kepada maksudnya”
Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu
perbuatan tergantung kepada niatnya.
Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu
atau dengan cara qadha.
Dalam muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan niat memberi (hibah) atau
meminjamkan.
Dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan
niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan
kepada niat, maksud dan tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing. Maka muncul kaidah
tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:
‫ات‬ ِ ّ‫األعمال بِال ِن ّي‬
ُ ‫ِإ نّما‬
"Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)
Juga kepada Hadits:
‫عليه‬ِ ‫كره‬
ِ ُ‫سيان وما است‬ ُ ّ ‫ُر ِفع عن ُأ ّم ِتي الخطُأ وال ِن‬
"Diangkat dari umatku (tidak dituliskan berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan
terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)
Tidak hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran
yang berubungan dengan niat, seperti ayat berikut :
"Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf padanya, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (QS. Al-Ahzab : 5)
Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya
pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena sengaja (dengan
niat).
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah tujuannya
penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada manusia.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa;
 Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata hadits-hadits tadi
sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa menjadi kaidah di kalangan Ulama Fiqih.
 Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-nash (Al-Quran dan Al-
Hadits), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah.
Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama
mengelompokkan kembali materi-materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan
apa-apa yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah.
Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:
‫ِمقاص ِدها‬
ِ ‫ور ب‬ ‫ُأل‬
ُ ‫ا ُم‬
"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"
Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam beberapa sub poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di kelompokkan dan disandarkan
kepada kaidah tersebut, seperti masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan
jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat kebisaaan dan masalah
Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal perbuatan-perbuatan yang
serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat)
dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di
dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan
dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
Dalam hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'i, al-Suyuthi memunculkan dhabith,
yaitu:
‫الخاص‬ّ ّ ِ ُ‫خص ُص الل ّفظ العا ّم وال ت‬
‫عم ُم‬ ّ ِ ُ‫ين ت‬ ِ
ِ ‫اليم‬ ‫ال ِن ّيّ ُة ِفي‬
"Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan
tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"
Bersumpah dengan tidak menyebutkan nama orang atau sesuatu secara khusus maka harus
dijelaskan apa yang diniatkan itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di
niatkan kepada seseorang, maka tidak bisa digeneralisir;
8. Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus yang tersebut dalam
kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.
Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang
berbunyi:
‫عو ِقب ب ِِحرما ِن ِه‬ ّ ‫له قبل وق ِت ِه على وجهٍ ُم‬
ُ ‫حر ٍم‬ ُ ‫تعجل حقّ ُه أو ما ُأبِيح‬
ّ ‫من‬
"Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya
dengan cara yang haram, maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak
tersebut"
Contoh kaidah ini adalah seperti ahli waris yang membunuh pewaris, maka ia dilarang
mendapatkan warisan tersebut.
Atau ada orang yang menikahi wanita sebelum habis masa iddah-nya, maka ia
diharamkan untuk menikahi wanita tersebut.
Atau ada orang yang memburu binatang dalam keadaan ihram, maka ia diharamkan
memburu binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan
dengan ungkapan:
‫عو ِقب ب ِِحرما ِن ِه‬ ُ ‫تعجل بِشي ٍء قبل أوا ِن ِه‬ ّ ‫من‬
"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, diberi sanksi dengan
haramnya hal tersebut"
C. Manfaat, Objek dan Keutamaan
1. Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih adalah memberi kemudahan di dalam
menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nash-nya
dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi Fiqih yang lain yang
tersebar di berbagai kitab Fiqih serta lebih memudahkan kita dalam menentukan
hukum.
2. Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu adalah perbuatan mukallaf itu sendiri,
dan materi Fiqih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang sudah
mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran atau Sunnah
atau Ijma (konsensus para ulama).
3. Keutamaan
Orang yang ingin memahami Ilmu Fiqih, akan mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih
apabila dibekali dengan ilmu kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia akan sampai kepada maksudnya, dan
barangsiapa yang menguasai kaidah-kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai
maksudnya"
4. Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari Ilmu Fiqih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-
Quran, Al-Hadits, Akidah dan Akhlak.
Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama, sudah diuji
serta diukur dengan banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang kesesuiannya dan
substansinya.
Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits
yang bersifat dalil kulli (general), maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan.
Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan pada hakikatnya
merujuk kepada Al-Quran dan Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-
Quran dan Hadits juga.
5. Perkembangan Kaidah
Para pencetus dan pengembang kaidah-kaidah Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat
dalam ilmu dan wawasannya dalam Ilmu Fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi
yang hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang baru mengumpulkan
17 kaidah Fiqih.
Di kalangan tiap mazhab, ada banyak ulama yang menjadi pelopor dan tokoh dalam
bidang kaidah Fiqih.
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd
al-Salam (w.660 H), beliau telah menyusun kitab berjudul Qawa'id al-Ahkam fi
Masailil al-'Anam (kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).
Intinya menjelaskan tentang maksud Allah mensyariatkan hukum, dan semua kaidah
dikembalikan kepada kaidah pokok yaitu:
‫المفاس ِد‬
ِ ‫ودرء‬
ُ ‫جلب المصالِ ِح‬ُ
"Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah"
Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep al-ahkam al-khamsah, (wajib,
sunnah, mubah, makruh dan haram) tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba
Allah di dunia dan akhirat.
Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak akan menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan
kemahasempurnaan Allah. Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan
mengurangi apapun terhadap kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.
D. Kaidah Kubra Pertama
‫اص ِد َها‬
َ ‫ور ب َِم َق‬ ‫ُأل‬
ُ ‫ا ُم‬
Segala sesuatu tergantung tujuannya
1. Kaidah Turunan Pertama
‫اظ َوالمـَبَا ِني‬ ِ َ‫َني الَبِاَأللف‬
ِ ‫اص ِد َوالمـَعا‬
ِ َ‫العقُو ِد بِالمـَق‬
ُ ‫في‬ِ ‫بر ُة‬ ِ
َ ‫الع‬
“Yang dapat dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan
bentuk perkataan”
Contoh
Jika ada seseorang yang mengatakan kepada temannya, “Aku hadiahkan mobil ini
kepadamu dengan catatan berikan mobilmu itu kepadaku”, maka akad yang terjadi
disini bukanlah hadiah, walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena makna dan maksud akad tersebut sudah jelas, yaitu jual beli (barter). Dan
dalam akad, yang dijadikan pijakan adalah maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk
perkataan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah adalah pemberian yang tidak membutuhkan
imbalan dalam bentuk apa pun.
2. Kaidah Turunan Kedua
‫الخاص‬
َ ‫العا َم َو ال َ تُ َع ِّم ُم‬
َ ‫لفظ‬ َ َّ ‫خ ِ ّص ُص ال‬ َ ُ‫ين ت‬ ِ ‫في الي َ ِم‬ِ ‫ا ِل ّنيّ َ ُة‬
“Dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum namun tidak bisa
merubah kata yang bermakna khusus menjadi umum”
Contoh
Kaidah ini membutuhkan dua contoh. Karena kaidah ini memiliki dua bagian yang
berbeda. Pertama Takhsis al-‘Aam bi An-Nyiyah dan kedua Ta’mim al-Khas bi an-
Niyyah.
Untuk bagian pertama, bisa diterapkan dalam kasus seperti ketika ada seseorang yang
bersumpah untuk tidak berbicara dengan siapapun, namun dalam hatinya dia meniatkan
hanya tidak berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah
jika berbicara dengan selain zaid. Sebab, meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu;
tidak berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya khusus yaitu tidak
mengajak bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata
yang masih umum.
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah bisa diterapkan
dalam kasus berikut; Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak meminum air si
Fulan jika merasa haus, namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil
manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka berdasarkan kaidah ini, ia tidak
dianggap melanggar sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu untuk mandi.
Karena lafadznya khusus dalam satu manfaat yaitu; minum karena haus. Sedangkan niat
dalam hatinya yang umum yaitu; tidak mengambil manfaat apapun, tidak bisa membuat
lafadz khusus itu menjadi umum.
Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di dalam madzhab syafi’iyyah dan sebagian
hanafiah. Namun beberapa madzhab yang lain menganggap si pengucap sumpah telah
melanggar sumpahnya karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat yang umum dalam
hati tersebut -menurut madzhab ini- bisa membuat lafadz sumpah yang khusus itu
menjadi umum.
3. Kaidah Turunan Ketiga
ِ َ‫ند الق‬
‫اضي‬ َ ‫ين ِع‬ ِ ‫لى ِني ّ َ ِة الال ّ َ ِف ِظ ِإ ال َّ ِفي الي َ ِم‬
َ ‫ع‬َ ‫فظ‬ ِ َ ّ ‫اص ُد الل‬
ِ َ‫َمق‬
“Maksud atau kandungan makna suatu perkataan akan diserahkan sepenuhnya kepada
orang yang mengucapkan, kecuali dalam masalah sumpah diahadapan qadhi (hakim)”
Contoh Penerapannya :
Pada dasarnya ucapan atau lafadz sumpah diserahkan maksud dan maknanya langsung
kepada orang yang mengucapkan. Sehingga, sebagaimana kata-kata yang lain, sumpah
juga berpeluang untuk diinterpretasikan beragam sesuai kehendak orang yang
mengucapkan.
Namun, ketika sumpah dijadikan oleh fiqih sebagai salah satu jalan keluar
penyelesaian suatu sengketa, maka penafsiran lafadz sumpah -yang diucapkan oleh
salah satu pihak yang bersengketa di Meja Hijau- diserahkan kepada hakim. Karena
pengadilan adalah institusi yang rawan akan intrik, manipulasi fakta dengan kata-
kata ataupun tipu muslihat.
Maka, ketika seorang hakim meminta kepada terdakwa untuk bersumpah, penafsiran
lafadz sumpahnya diserahkan sepenuhnya kepada sang Hakim.
Sebagai contoh, si Terdakwa kasus piutang telah bersumpah bahwa ia tidak pernah
berhutang kepada pendakwa sama sekali. Dalam hatinya, ia niatkan bahwa maksudnya
adalah tidak berhutang pada tahun yang lalu.
Maka niat itu tidak berfungsi sama sekali disini. Ia tetap dianggap telah melanggar
sumpahnya itu. Sebab, meski maksud atau kandungan makna suatu perkataan pada
dasarnya diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, hanya saja hal
tersebut tidak berlaku jika kata-kata itu berupa sumpah yang diucapkan di hadapan
hakim atau Meja Hijau.
E. Kaidah Kubra Kedua
‫اليقين ال يزال بالشك‬
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh kebimbangan”
1. Kaidah Turunan Pertama
‫األصل بقاء ما كان على ما كان‬
“Hukum Asal adalah ketetapan yang telah ada/dimiliki sebelumnya”
Contoh Penerapannya:
Jika seseorang telah berwudhu untuk shalat fardhu, dan setelah shalat ia masih
merasa yakin dalam kedaan suci, namun ketika hendak shalat fardhu berikutnya ia
ragu apakah sudah batal atau belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci.
Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada sebelumnya. Dan hukum asal adalah
ketetapan awal itu.
2. Kaidah Turunan Kedua
‫األصل في األشياء اإلباحة‬
“Hukum Asal segala sesuatu adalah boleh”
Contoh penerapannya :
Jika ada hewan yang tidak jelas dan buram perkaranya, maka hewan tersebut dianggap
halal dimakan. Contoh hewan seperti ini –seperti yang dicontohkan Imam Suyuti-
adalah Jerapah. Menurut Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah bahwa Jerapah
boleh dimakan, karena hukum asal segala sesuatu adalah boleh.
Jadi dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan,
tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua
jenis barang tersebut dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung kaidah ini.
Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya masih ada perbedaan pendapat
dikalangan para fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.
3. Kaidah Turunan Ketiga
‫األصل في األبضاع التحريم‬
“Hukum Asal Abdha’(farji) adalah haram”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang yang mempunyai empat istri kemudian dia mantalak salah satunya,
tapi di kemudian hari dia lupa siapa istri yang telah ia talak? Maka haram baginya
untuk berhubungan intim dengan mereka semua karena adanya keraguan akut tentang
siapa yang telah menjadi haram baginya. Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun
hukum asal Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman ini berlangsung sampai jelas siapa
yang telah ditalaknya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyelesaikan kasus seperti diatas. Ada yang
berpendapat dengan cara diundi dan ada yang berpendapat harus ditunggu sampai
benar-benar jelas.
4. Kaidah Turunan Keempat
‫األصل في الكالم الحقيقة‬
“Hukum Asal dalam perkataan adalah makna hakiki”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang bersumpah tidak akan menjual rumahnya, maka ia tidak
dianggap melanggar sumpah jika mewakilkan ke orang lain untuk menjualnya. Karena
makna hakiki menjual adalah dirinya sendiri yang menjual langsung bukan orang lain
yang menjual atas nama dirinya. Dan hukum asal dalam perkataan adalah makna
hakikinya.
5. Kaidah Turunan Kelima
‫األصل براءة الذمة‬
“Hukum Asal adalah bebas dari tanggungan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang merusak barang milik orang lain yang harga belinya -sejauh
pengetahuan si perusak- sekitar sekian rupiah. Namun ternyata si pemilik mengatakan
bahwa harga belinya diatas harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik tidak
bisa menunjukkan bukti atas harga yang diklaimnya itu. Maka klaim yang diterima
adalah klaim si perusak dengan disertai sumpah. Karena hukum asalnya adalah
terbebasnya si perusak dari beban atau tanggungan tambahan harga yang diklaim si
pemilik.
F. Kaidah Kubra Ketiga
‫المشقة تجلب التيسير‬
“Kesulitan itu akan mendorong kemudahan”
1. Kaidah Turunan Pertama
‫إذا ضاق األمر اتسع و إذا اتسع األمر ضاق‬
“Ketika sesuatu menyempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan), dan Ketika keadaan
lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang memiliki tanggungan hutang yang sudah jatuh tempo pembayarannya,
namun dia benar-benar belum memiliki uang untuk membayar, maka pembayarannya wajib
untuk ditunda. Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara kontan maka pembayarannya
boleh dengan cara diangsur.
Karena sebuah perkara jika menyempit, hukumnya jadi luas (longgar). Namun jika ia
tiba-tiba mendapatkan rizki yang dengannya ia mampu melunasi seluruh hutangnya,
maka wajib baginya untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika sudah
lapang, maka hukumnya kembali menyempit (ketat).
b. Kaidah Turunan Kedua
‫الضرورات تبيح المحظورات‬
“Kondisi dharurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang hampir-hampir mati karena kelaparan, dan tidak ada yang bisa
dimakan kecuali bangkai yang diharamkan, maka baginya diperbolehkan untuk memakan
bangkai tersebut untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat. Karena kondisinya saat
itu adalah dharurat sehingga ia diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan
seseuatu yang semula dilarang.
3. Kaidah Turunan Ketiga
‫الضرورة تقدر بقدرها‬
“Dharurat harus diukur kadar dharuratnya”
Contoh penerapannya :
Contoh kaidah ini hampir mirip dengan contoh kasus pada kaidah sebelumnya. Bahwa
seseorang boleh makan bangkai yang awalnya diharamkan itu ketika dalam kondisi
dharurat itu.
Hanya saja, ia perlu mencukupkan diri dalam memakannya pada porsi yang kira-kira
sudah cukup untuk menyambung atau menyelamatkan hidupnya. Karena diperbolehkannya
mengonsumsi makanan haram tersebut, hanya dalam kondisi dharurat. Dan dharurat
harus diukur kadar dharuratnya.
Contoh lainnya yang mungkin bisa ditulis disini adalah ketika ada pasien yang harus
membuka auratnya demi terlaksananya terapi atau pengobatan, maka si pasien hanya
diperbolehkan untuk membuka aurat yang memang dibutuhkan untuk dibuka dalam
pengobatan tersebut.
Dan dokter juga hanya diperbolehkan untuk melihat aurat yang memang dibutuhkan
untuk dilihat. Lebih dari itu, maka tetap diharamkan. Karena pembolehan membuka
aurat bagi pasien dan atau melihat aurat bagi dokter hanyalah dalam kondisi
dharurat saja. Dan dharurat harus diukur kadar dharuratnya.
4. Kaidah Turunan Keempat
‫االضطرار ال يبطل حق الغير‬
“Keadaan darurat tidak mambatalkan hak orang lain”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah kapal hampir-hampir tenggelam karena terlalu beratnya beban muatan
kapal, kemudian untuk menyelamatkan kapal dari tenggelam, ada penumpang yang
melempar beberapa barang-barang penumpang lain untuk meringankan kapal tersebut,
maka si pelempar tadi wajib untuk menggantinya.
Sebab, keadaan dharurat tidak bisa membatalkan hak orang lain. Dalam kaidah ini ada
pembahasan yang lebih mendalam.
5. Kaidah Turunan Kelima
‫الحاجة قد نزلت منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة‬
“Suatu kebutuhan terkadang bisa naik menempati posisi dharurat, baik kebutuhan umum
maupun khusus”
Contoh penerapannya :
Para pedagang membutuhkan gugurnya hak khiyar ru’yah para pembeli untuk melihat
semua barang dagangan yang hendak dibelinya. Gugurnya khiyar ru’yah ini diganti
dengan melihat sample komoditas yang hendak dibeli.
Maka gugurnya khiyar ru’yah ini diperbolehkan, karena jika khiyar ru’yah tetap
wajib dilakukan, maka itu akan memberatkan para pedagang, apalagi jika komoditas
yang hendak dijual berjumlah banyak dan dikemas dengan kemasan yang membukanya
cukup menyita waktu.
Maka hadirlah keringanan berupa gugurnya khiyar ru’yah ini dalam kebutuhan mendesak
yang naik menempati posisi dharurat.
G. Kaidah Kubra Keempat
‫الض َر ُر يُ َز ُال‬
َّ
“Bahaya harus dihilangkan”
1. Kaidah Turunan Pertama
‫در اِإل مكا َِن‬ ِ َ‫الض َر ُر يُدف َُع ِبق‬
َّ
“Bahaya harus ditolak semampu mungkin”
Contoh penerapannya :
Sebuah bahaya bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Maka perlu
dilakukan sebuah tindakan untuk menolak bahaya tersebut. Jika kita tidak berhasil
menolak semuanya, maka setidaknya kita menolak sebagiannya.
Dan jika kita sudah berusaha menolaknya, namun bahaya tersebut terjadi juga maka
setidaknya kita bisa mengurangi efek bahaya tersebut setelah terjadinya.
Maka penolakan bahaya bisa dibagi secara waktu menjadi penolakan sebelum terjadi
dan penolakan setelah terjadi. Sedangkan secara prosentase penolakan bisa dibagi
menjadi penolakan secara keseluruhan atau penolakan sebagian bahaya.
Contoh penolakan sebelum terjadi adalah pensyariatan khiyar majlis dan khiyar syart
dalam transaksi jual beli. Untuk menolak bahaya yang mungkin bisa terjadi setelah
dilakukannya transaksi jual beli.
Contoh penolakan setelah terjadi adalah adanya khiyar ghibn, khiyar aib dan khiyar
tadlis setelah transaksi jual beli selesai dilakukan. Untuk menolak bahaya kerugian
yang telah dialami oleh salah satu pihak setelah transaksi tersebut.
Dua contoh diatas sekaligus sebagai contoh untuk penolakan bahaya secara
keseluruhan.
Sedangkan contoh penolakan bahaya sebagian adalah jika ada seseorang yang suka
mencelakai orang lain dan dia tidak akan berhenti kecuali jika diberi uang, maka
pemberian uang dalam hal ini merupakan sebagian dari bahaya yang tidak mungkin
ditolak demi menolak bahaya yang lebih besar sebisa mungkin.
2. Kaidah Turunan Kedua
‫الض َر ُار ال َ يُ َز ُال ب ِِمثلِ ِه‬
َّ
“Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa dan setara”
Contoh penerapannya :
Jika ada orang faqir yang memiliki kerabat yang dalam tanggungannya yang juga
faqir, maka keduanya tidak berkewajiban untuk memberi nafkah bagi yang lain jika
memang dia bahkan susah menafkahi dirinya sendiri.
Karena kondisi faqir adalah baya bagi dirinya, dan kewajiban memberi nafkah adalah
bahaya yang lain yang tidak bisa menghilangkan bahaya pertama.
Atau dengan contoh lain misalnya ada orang yang dipaksa untuk membunuh orang lain,
dan jika tidak mau maka ia yang akan dibunuh, maka dia tetap tidak boleh membunuh
orang lain tersebut.
Karena ancaman pembunuhan atasnya adalah bahaya serupa dan setara dengan bahaya
pembunuhan terhadap orang lain. Dan bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya
serupa atau setara.
3. Kaidah Turunan Ketiga
‫لض َر ِر اَأل َخ ّ ِف‬َّ ِ‫ال با‬ِ ‫الض َر ُار اَأل َش ُّد يُ َز‬
َّ
“Bahaya yang lebih berat harus dihilangkan dengan mengerjakan bahaya yang lebih
ringan”
Contoh penerapannya :
Jika bahayanya tidak setara, maka bahaya yang lebih berat bisa dihilangkan dengan
menempuh bahaya yang lebih ringan.
Contohnya adalah jika ada dua kerabat yang salah satunya faqir dan yang lain
berkecukupan, maka wajib bagi yang berkecukupan untuk memberi nafkah kepada si
Faqir.
Karena meskipun kewajiban memberi nafkah oleh yang berkecukupan adalah bentuk
bahaya atasnya, tapi ketiadaan nafkah bagi si Faqir adalah bahaya yang lebih besar.
Dan bahaya yang lebih besar harus dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih
ringan.
4. Kaidah Turunan Keempat
‫ين‬ ِ ‫الض َر َر‬
َّ ‫يُختَ ُار َأ َخ ُّف‬
“Yang harus dipilih adalah bahaya/resiko yang lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang memiliki luka ditubuhnya dan luka itu akan mengalirkan
darah jika dibawa sujud, maka ia shalat dengan meninggalkan sujud. Karena ia sedang
menghadapi dua bahaya; meninggalkan sujud dalam shalat dan shalat dengan bernajis.
Dan shalat bernajis adalah bahaya yang lebih besar daripada shalat tanpa sujud.
Maka harus ditempuh bahaya yang lebih ringan.
Begitu pula, meninggalkan sujud dalam hal ini juga bisa menolak bahaya yang lain
yaitu keluarnya banyak darah. Maka yang dipilih adalah bahaya atau resiko yang
lebih ringan.
5. Kaidah Turunan Kelima
‫لب المـ َ َصالِ ِح‬ ِ ‫لى َج‬ َ ‫اس ِد ُمقَ ّ َد ٌم‬
َ ‫ع‬ ِ َ‫رء المـَف‬ ُ ‫َد‬
“Mencegah mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya maslahah”
Contoh penerapannya :
Jika ada wanita yang wajib mandi jinabah, namun ia tidak menemukan sarana untuk
menutupinya dari pandangan laki-laki, maka wajib baginya untuk mengakhirkan mandi
jinabah.
Karena meski dalam mandi janabah terdapat maslahah, namun terbukanya aurat wanita
di depan laki-laki adalah mafsadah atau kerusakan yang jauh lebih besar. Dan
mencegah mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya maslahah.
6. Kaidah Turunan Keenam
‫العا ِم‬
َ ‫الض َر ِر‬
َّ ِ ‫الض َر ُر الخا َُّص ِل َد‬
‫فع‬ َّ ‫ح َّم ُل‬
َ َ‫يَت‬
“Bahaya khusus harus ditanggung demi menolak bahaya umum”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon dengan dahan dan ranting yang tumbuh
lebat hingga mengganggu para pengguna jalan, maka dahan dan ranting yang mengganggu
itu wajib untuk dipotong.
Sebab, meski dalam pemotongan tersebut terdapat resiko kerugian bagi si pemilik
pohon, hanya saja kerugian tersebut adalah kerugian atau bahaya khusus. Dan
gangguan pengguna jalan adalah bahaya umum. Dan bahaya khusus harus ditempuh dan
ditanggung demi menolak bahaya umum.
H. Kaidah Kubra Kelima
‫حك َّ َم ٌة‬
َ ‫اد ُة ُم‬َ ‫الع‬
َ
“Adat istiadat dapat dijadikan pijakan hukum”
Adat atau apa yang dianggap sebagai kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum
Allah dan sudah berlaku secara umum di tengah masyarakat, bisa dijadikan salah satu
pedoman dalam hukum.
1. Kaidah Turunan Pertama
‫الع َم ِل ب َِها‬
َ ‫ب‬ ُ ِ‫ج ٌة يَج‬َّ ‫ال الن ّ َِاس ُح‬ َ ‫اِس ِت‬
ُ ‫عم‬
“Tradisi masyarakat (dalam berbahasa) adalah hujjah yang harus dijadikan pijakan
dalam beramal”
Contoh Penerapan :
Kaidah ini memiliki kemiripan makna dengan kaidah kubranya. Maka sebagian ulama ada
yang menyamakan antara keduanya, sedangkan sebagian yang lain ada yang membedakan.
Bagi yang membedakan, perbedaannya adalah bahwa kaidah kubra bersifat umum,
sedangkan kaidah ini bersifat khusus, yaitu khusus berlaku dalam tradisi berbahasa
saja. Perbedaan tersebut dipicu oleh perbedaan mereka dalam memaknai kata isti’mal
yang terdapat di awal kaidah.
Contohnya adalah ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak minum dari air
sungai A. Dan sudah jamak diketahui bahwa masyarakat di sekitar orang tersebut
menggunakan makna majazi lebih banyak dari pada menggunakan makna hakiki.
Makna hakiki ‘minum dari sungai’ disini adalah langsung meneguk dari sungai
tersebut tanpa sarana apapun. Sedangkan makna majazi ‘minum dari sungai’ adalah
minum dari air yang diambil atau bersumber dari sungai tersebut.
Jika orang tersebut kemudian minum dari sungai itu setelah bersumpah untuk tidak
minum darinya, maka hukumnya terjadi perbedaan diantara para ulama menjadi tiga
pendapat :
Pertama, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika meminumnya dengan sarana
seperti minum air dirumahnya yang bersumber dari sungai tersebut, bukan langsung
meneguk dari sungai.
Kedua, dia dianggap melanggar sumpahnya baik meneguknya langsung dari sungai
seperti para musafir pedalaman, atau minum di rumahnya yang air minumnya memang
bersumber dari sungai tersebut.
Ketiga, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika meneguk langsung dari sungai
sebagaimana para musafir pedalaman.
2. Kaidah Turunan Kedua
‫اد ِة‬َ ‫الع‬ َ ‫تر ُك ب َِدالَل َِة‬
َ ُ‫الح ِقيقَ ُة ت‬
َ
“Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat menggunakan
makna majazi”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak menunjukkan ‘batang hidung’nya di
depan bosnya, maka ia tetap dianggap melanggar sumpahnya jika ia menunjukkan
dirinya dihadapannya. Karena, walaupun secara hakiki ‘batang hidung’ hanya
menunjukkan salah satu anggota badan, namun yang menjadi tradisi berbahasa
masyarakat adalah makna secara majazi. Sebab, makna hakiki sebuah kata harus
ditinggalkan jika tradisi masyarakat menggunakan makna majazi.
3. Kaidah Turunan Ketiga
‫غل َبَت‬ َ ‫اط َر َدت َأو‬ َّ ‫اد ُة ِإ ذَا‬َ ‫الع‬
َ ‫ِإ ن ّ ََما تُعتَبَ ُر‬
“Sebuah tradisi hanya akan bisa diterima sebagai pijakan hukum ketika tradisi
tersebut sudah berjalan berulang-ulang dan mendominasi”
Contoh penerapannya :
Jika ada dua orang di dua negara yang sedang bertransaksi dalam suatu bisnis
internasional dan mereka sepakat bahwa pembayarannya menggunakan mata uang dollar
tanpa menyebutkan dollar negara mana, maka dollar yang dimaksud adalah dollar
amerika. Karena transaksi dengan mata uang tersebut sudah berulang-ulang dan
mendominasi.
4. Kaidah Turunan Keempat
‫الشاِئ ِع ال َ ِللن َّا ِد ِر‬
َّ ‫بر ُة ِلل َغالِ ِب‬ ِ
َ ‫الع‬
“Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan yang
langka”
Contoh penerapannya :
Syariat telah menetapkan bahwa umur lima belas adalah batasan dimulainya usia
baligh bagi mereka yang tidak memiliki tanda-tanda baligh. Karena usia lima belas
adalah usia yang secara kebiasaan dominan manusia sudah mengalami baligh di usia
tersebut.
Sedangkan ‘belum mengalami baligh’ pada usia tersebut adalah kejadian yang sangat
jarang terjadi. Sesuatu yang jarang ini, dalam syariat sama sekali tidak dilirik
untuk dijadikan sandaran hukum.
Justru yang belum mengalami tanda-tanda baligh di usia lima belas tetap dihukumi
sudah baligh hanya dengan menginjak usia lima belas. Karena yang dijadikan sandaran
adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan langka.
5. Kaidah Turunan Kelima
‫ان‬ِ ‫زم‬ ‫َأل‬ ‫َأل‬
َ ‫ال َ يُنك َُر تَ َغي ُّ ُر ا حك َا ِم ِبتَ َغيُّ ِر ا‬
“Perubahan hukum ijtihadi karena adanya perubahan zaman sama sekali tidak boleh
dicela”
Contoh penerapannya :
Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu bahwa masjid tidaklah ditutup pada saat kapan
pun. Karena masjid adalah tempat suci yang dipersiapkan untuk beribadah.
Namun, ketika zaman berubah, kejahatan merajalela, maka para ulama kemudian
menfatwakan bolehnya mengunci masjid di luar waktu shalat, demi menjaga masjid dari
kesia-sian atau pencurian. Dan perubahan hukum ini sama sekali tidak boleh untuk
dicela.


Bagian Kedua
Sumber-sumber Fiqih


Bab 1 : Sumber-sumber Fiqih

A. Pengertian
Yang dimaksud dengan sumber-sumber fiqih adalah dalil-dalil syariah yang digunakan
oleh para mujtahid dalam melakukan istimbath hukum.
1. Dalil
Makna dari kata dalil (‫ )دليل‬dalam bahasa Arab adalah :
‫ير َأو َش ٍّر‬ ٍ ‫الها ِدي ِإ ل َى َشي ٍء ِح ِّس ٍ ّي َأو َم َع ِن ِو ٍ ّي َخ‬
َ ‫رش ُد َو‬ ِ ُ ‫المـ‬
Yang mengarahkan dan memberi petunjuk kepada sesuatu, baik bersifat lahiriyah atau
maknawiyah, baik bersifat kebaikan atau keburukan.
2. Syar'i
Istilah syar'i merupakan sifat dari kata syariah (‫)شريعة‬, yang artinya sesuatu yang
bersifat kesyariahan. Sebagaimana kata dzahab (‫ )ذهب‬yang berarti emas, maka kata
dzahabi (‫ )ذهبي‬berarti sesuatu yang bersifat keemasan.
Maka makna istilah dalil syar'i (‫ )الدليل الشرعي‬adalah :
َ ّ ‫طع َأ ِو‬
‫الظ ِّن‬ ِ ‫يق ال َق‬ ِ ‫ع َملِ ّي َس َواءٌ ب َِط ِر‬ ِ ‫اد ُحكم َش‬
َ ‫رع ّي‬ ُ ‫ك ُُّل َما يُستَ َف‬
Segala dalil yang bermanfaat dalam menetapkan hukum syariah yang bersifat amaliyah,
baik dengan jalan yang qath'i atau dhzanni.
Kalau kita menyebut dalil syar'i, maka kita membedakannya dengan dalil-dalil yang
lain, seperti dalil logika, dalil matematika, dalil sain, dan dalil-dalil lainnya.
B. Pentingnya Mempelajari Sumber Fiqih
Sebuah pertanyaan menarik, kenapa kita perlu mempelajari sumber-sumber fiqih?
Bukankah masalah itu bisa kita serahkan kepada para fuqaha dan mujtahid, biar kita
sebagai orang awam tinggal menerima hasil akhirnya saja.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka berikut ini adalah beberapa hal yang bisa
dijadikan jawaban.
1. Menguatkan Hasil Ijtihad
Fatwa ulama yang dihasilkan lewat ijtihad yang mereka lakukan seringkali belum
memuaskan orang yang meminta fatwa. Sehingga terkadang orang yang meminta fatwa
masih penasaran untuk kembali bertanya kepada ulama yang lain, siapa tahu ada opini
yang berbeda.
Salah satu sebab keraguan yang muncul biasanya karena fatwa itu tidak diiringi
dengan dalil-dalil syar'i yang mencukupi. Orang yang minta fatwa hanya diberikan
hasil akhir, misalnya hukum mengerjakan perbuatan ini haram, dan hukum itu halal,
titik. Mereka kurang diajak untuk mengetahui proses bagaimana fatwa itu dilahirkan,
mulai dari hulu hingga hilir.
Untuk itu tidak ada salahnya, meski pun orang awam, asalkan mereka membutuhkan,
diberikan sedikit wawasan dan pengetahuan tentang bagaimana proses lahirnya suatu
fatwa itu dilakukan. Tentu hal ini bukan merupakan kewajiban, namun setidaknya hal
seperti ini bisa menjadi ajang untuk mengajarkan ilmu syariah kepada umat Islam.
Dan hal itu secara tidak langsung akan membuat orang yang menerima fatwa itu
semakin yakin dan mantab dengan fatwa yang mereka terima.
2. Mengenalkan Luasnya Syariah Islam
Selama ini umumnya orang awam dan ilmunya pas-pasan, hanya mengenal dua sumber
hukum dalam Islam, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Dan hadits yang paling sering
diulang-ulang adalah hadits tentang Rasulullah SAW mewasiatkan keduanya.
‫رسولِ ِه‬ ُ ‫وسن ّ ِة‬
ُ ‫الله‬ ِ ‫ ِكتاب‬:‫تمسكتُم ب ِِهما‬ ّ ً ‫تضلُّوا‬
‫أبدا ما ِإ ن‬ ِ ‫أمرين لن‬ ِ ‫تركت ِفيك ُم‬
ُ ‫لقد‬
Sungguh telah aku tinggalkan dua hal yang tidak akan membuatmu sesat selama kamu
berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnah rasulnya. (HR Malik)
Hadits ini tidak salah, namun seringkali dipahami secara kurang utuh oleh kebanyak
umat Islam. Seolah-olah hadits ini membatasi bahwa sumber hukum Islam hanya sebatas
Al-Quran dan As-Sunnah saja. Dan di luar keduanya, tidak diakui sebagai sumber
hukum Islam.
Tentu pemahaman seperti ini keliru dan menyesatkan. Dan oleh karena itu menjadi
tugas para ulama untuk meluruskan paham keliru dan sesat ini.
3. Kuatnya Dalil
Semua sumber fiqih yang digunakan oleh para ulama dalam melakukan istimbath hukum
adalah sumber-sumber yang sangat kuat dan memiliki dasar yang merupakan perintah
dari Allah SWT dan Rasulullah SAW juga.
Meski pun ada sumber hukum yang disepakati dan ada yang tidak disepakati, namun
kita tidak bisa menafikan begitu saja sumber-sumber hukum itu. Sebab dalam
kenyataannya, ada begitu banyak praktek syariah Islam yang terlanjur kita jalankan
dalam kehidupan sehari-hari, ternyata ditegakkan di atas sumber fiqih yang
diperselisihkan oleh para ulama.
4. Kebutuhan Zaman dan Luasnya Penyebaran Islam
Sejak zaman Nabi SAW masih hidup, beliau sudah memberi isyarat tentang terbatasnya
jumlah ayat Al-Quran dan As-Sunnah. Hal itu terungkap dalam dialog beliau SAW
dengan Muaz bin Jabal saat diutus ke negeri Yaman, sebuah negeri yang saat itu
belum menjadi negeri Arab dan penduduknya memeluk agama nasrani.
ِ
‫الله‬ ‫ول‬
ِ ‫رس‬ُ ‫ فب ُِسن ّ ِة‬: ‫الله ؟ قال‬ِ ِ ‫في ك ِت‬
‫اب‬ ِ
ِ ‫ فِإن لم تجِ د‬: ‫قال‬. ‫الله‬ ِ ‫أقضي ب ِك‬
‫تاب‬ ِ : ‫ع ِرض لك قضاء ؟ قال‬ ُ ‫تقضي ِإ ذا‬
ِ ‫ كيف‬
‫ول الله‬
ِ ‫رس‬ُ ِ
‫ة‬ ّ ‫ن‬ ‫س‬
ُ ‫في‬
ِ ‫د‬ ِ‫تج‬ ‫لم‬ ‫ن‬ ‫ِإ‬ ‫ف‬ : ‫قال‬  ِ
‫الله‬ ُ
‫ول‬ ‫رس‬ُ ‫فضرب‬ . ‫آلو‬ ‫وال‬ ‫رأي‬
ِ ‫د‬
ُ ‫أجته‬
ِ : ‫قال‬ ‫؟‬ ‫الله‬ ‫اب‬
ِ ِ
‫ت‬ ‫ك‬ ‫في‬
ِ ‫وال‬  ‫صدره‬
ُ
ِ
‫الله‬ ‫ول‬ُ ‫رس‬ ُ ‫الله لِما يرضي‬ ِ ‫ول‬
ِ ‫رس‬ ُ ‫ول‬ ُ ‫الحمد لِل ّه ال ِّذي وفق‬
ُ ‫رس‬ ُ : ‫وقال‬
Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya,"
Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau? Muaz
menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana
jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Saya akan putuskan dengan sunnah
Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan
dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan
berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka
Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah
menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah (HR Abu
Daud)
Kalau di masa Rasulullah SAW saja sudah bisa diprediksi bahwa akan ada banyak
permasalahan yang tidak bisa dengan secara langsung dipecahkan lewat Al-Quran dan
As-Sunnah sehingga dibutuhkan ijtihad, maka di masa kita hidup ini, 14 abad
kemudian, di negeri yang berjarak 9.000 km dari Mekkah dan Madinah, tentu jauh
lebih kompleks lagi masalahnya.
Maka kalau hanya berkutat dengan teks-teks Al-Quran dan As-Sunnah, tanpa
memperhatikan sumber-sumber hukum yang lain, kita akan sangat kekurangan dalil.
C. Sumber Fiqih Yang Disepakati
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan sumber-sumber fiqih yang disepakati adalah bahwa semua ulama
dari berbagai mazhab sepakat untuk menggunakan sumber fiqih itu dalam melakukan
istimbath atau menarik kesimpulan hukum.
2. Yang Termasuk Sumber Fiqih Yang Disepakati
Sumber-sumber fiqih yang telah disepakati secara bulat oleh para ulama ada empat,
yaitu :
 Al-Quran Al-Karim
 As-Sunnah atau Hadits
 Al-Ijma'
 Al-Qiyas
Pada bab-bab selanjutnya kita akan bahas satu per satu masing-masing sumber hukum
dalam syariat Islam ini secara rinci.
D. Sumber Fiqih Yang Tidak Disepakati
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan sumber-sumber fiqih yang tidak disepakati atau yang mukhtalaf
adalah sumber-sumber fiqih selain Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Disebut mukhtalaf (diperselisihkan) karena tidak semua mujtahid menjadikan sumber-
sumber ini sebagai rujukan dalam berijtihad. Sebagian mujtahid menggunakannya namun
sebagian yang lain tidak menggunakannya.
Selain disebut sumber yang mukhtalaf, sumber-sumber ini juga sering disebut sumber-
sumber sekunder, atau sumber tambahan. Karena posisinya jauh di bawah sumber yang
empat dan utama.
Dalam penerapannya, kenapa kita menyaksikan begitu banyak perbedaan pendapat di
kalangan ulama, ternyata salah satunya karena perbedaan dalam menggunakan sumber
hukumnya.
2. Yang Termasuk Sumber Yang Tidak Disepakati
Setidaknya ada lebih dari delapan sumber yang statusnya bisa menjadi sumber hukum,
namun tidak disepakati secara bulat. Artinya, hanya sebagian ulama saja yang
menggunakannya, sementara barangkali ulama yang lain tidak menggunakannya.
Masing-masing sumber itu ada banyak, di antaranya yang sering digunakan adalah :
 Al-Mashalih Al-Mursalah
 Al-Istishhab
 Saddu Adz-Dzari’ah
 Al-'Urf
 Qaul Shahabi atau mazhabu Ash-Shahabah
 Amalu Ahlil Madinah
 Syar'u Man Qablana
 Al-Istihsan
Sebagai contoh, amalu ahlil madinah adalah sumber hukum yang digunakan di dalam
mazhab Al-Malikiyah. Namun tiga mazhab lainnya tidak menjadikannya sebagai sumber
hukum. Insya Allah pada bab-bab selanjutnya kita akan bahas satu per satu masing-
masing sumber hukum dalam syariat Islam ini secara rinci.

Bab 2 : Al-Quran
A. Definisi Al-Quran
1. Bahasa
Secara bahasa, Al-Quran adalah bentuk mashdar dari kata dasar dalam fi’il madhi :
qara’a (‫)قرأ‬. Maknanya menggabungkan atau mengumpulkan. Kata itu di dalam Al-Quran
sendiri bisa kita dapati pada ayat :
‫ُرآنه‬
ُ ‫قرأناه فاتّبِع ق‬
ُ ‫ُرآنه فِإذا‬
ُ ‫جمعه وق‬
ُ ‫ِإ ّن علينا‬
Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkan-nya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu. (QS. Al-Qiyamah : 17-18)
2. Istilah
Para ulama mendefinisikan Al-Quran dengan sangat detail. Definisi yang detail itu
berguna untuk membedakannya dengan kitab suci lain, atau dengan berbagai macam
wahyu Allah, atau dengan hadits nabawi dan hadits qudsi. Definisi itu adalah :
ّ ‫المن ّز ُل على ُم‬
‫حمد‬ ُ ‫الله‬ِ ‫ كال ُم‬‫والمتعبّ ُد ِب ِتالو ِت ِه‬
ُ ‫العرب‬
ُ ‫تحدى ب ِِه‬
ّ ُ ‫العربي وي‬
ِ ‫ِلفظ ِه‬
ِ ‫ول بِالتّواتُر ب‬
ُ ُ‫المنق‬
Perkataan Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang sampai kepada kita
dengan periwayatan yang mutawatir, dengan berbahasa Arab, dimana dengan ayat itu
Allah menantang orang Arab untuk membuat tandingannya, dan membacanya merupakan
ibadah.
Dari definisi di atas, maka kita bisa membedakan Al-Quran dari berbagai kitab suci
yang lain.
a. Perkataan Allah
Al-Quran pada hakikatnya adalah perkataan Allah. Namun perkataan Allah kepada
manusia tentu bukan hanya Al-Quran, tetapi ada banyak jenisnya. Karena itu tidak
cukup untuk mendefinisikan Al-Quran hanya dengan perkataan Allah. Tetapi harus ada
pembatasan lainnya agar menjadi tepat.
Secara umum kalau manusia itu seorang Nabi atau rasul, perkataan itu dinamakan
wahyu. Tetapi kalau manusia itu bukan Nabi melainkan orang biasa, sering disebut
ilham.
Contohnya Allah SWT pernah berkata kepada para pengikut Nabi Isa alaihissam,
tentunya mereka bukan nabi. Maka hal itu disebut ilham.
‫ِرسولِي قال ُوا آمنّا واشهد بِأنّنا ُمسلِ ُمون‬ ِ ‫الحواريِّين أن‬
ُ ‫آمنُوا بِي وب‬ ِ ‫أوحيت ِإ لى‬
ُ ‫وِإ ذ‬
Dan ketika Aku ilhamkan kepada hawariyin (pengikut Isa yang setia),"Berimanlah kamu
kepada-Ku dan kepada rasul-Ku". Mereka menjawab,”Kami telah beriman dan saksikanlah
bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh ". (QS. Al-Maidah : 111)
Allah SWT juga pernah berbicara kepada ibunda Nabi Musa alaihissalam, yang tentunya
juga bukan seorang nabi.
‫اليم‬
ِّ ‫يه ِفي‬ ِ ‫فاقذ ِف‬
ِ ِ ُ‫يه ِفي التّاب‬
‫وت‬ ِ ‫اقذ ِف‬
ِ ‫أن‬ ِ ‫ِإ ذ أوحينا ِإ لى ُأ ِ ّمك ما يُوحى‬
Ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan agar meletakkan bayi
itu di dalam peti dan melemparkannya ke sungai. (QS. Thaha : 38-39)
Namun dari dua ayat di atas kita tahu bahwa tidak semua orang yang diajak bicara
oleh Allah berarti dia menjadi Nabi atau rasul.
b. Diturunkan Kepada Nabi Muhammad SAW
Al-Quran adalah perkataan Allah kepada seorang Nabi. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan Nabi hanyalah Nabi Muhammad SAW saja.
Sedangkan perkataan Allah kepada nabi-nabi yang lain, bisa saja merupakan perkataan
Allah dan menjadi kitab suci, seperti Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Ibrahim dan
Shuhuf Musa. Tetapi tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka kitab-kitab itu
bukan Al-Quran.
c. Diriwayatkan Dengan Tawatur
Poin ketiga dari definisi Al-Quran adalah bahwa seluruh Al-Quran itu diriwayatkan
dengan sanad yang mutawatir.
Yang dimaksud dengan mutawatir adalah bahwa jumlah perawi itu sangat banyak dan
tersebar luas dimana-mana, sehingga mustahil mereka kompak untuk berdusta.
Al-Imam As-Suyuthi menyebutkan minimal riwayat yang mutawatir itu adalah 10 perawi
dalam setiap thabaqat (level).
Poin ini berfungsi membedakan Al-Quran dengan hadits, baik hadits itu merupakan
hadits nabawi maupun hadits qudsi. Sebab hadits itu kadang ada yang diriwayatkan
secara mutawatir, tetapi kebanyakannya ahad.
Yang dimaksud dengan riwayat ahad bukan berarti hanya ada satu perawi, melainkan
jumlahnya bisa banyak tetapi belum mencapai derajat mutawatir.
d. Berbahasa Arab
Al-Quran ketika diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, turun dalam bahasa Arab yang
benar, sebagaimana bahasa yang digunakan oleh Rasulullah SAW.
‫أنزلناه قُرآنًا عربِيًّا ل ّعلّك ُم تع ِقل ُون‬
ُ ‫ِإ نّا‬
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.(QS. Yusuf : 2)
‫كما عربِيًّا‬ ً ‫أنزلناه ُح‬
ُ ‫وكذلِك‬
Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quraan itu sebagai peraturan dalam
bahasa Arab . (QS. Ar-Ra’d : 37)
‫ِين‬ٌ ‫ِي ُّمب‬
ٌ ّ ‫سان عرب‬ ٌ ‫وهـذا ِل‬
Sedang Al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.(QS. An-Nahl : 103)
‫كرا‬ ً ‫لهم ِذ‬ُ ‫ث‬ ُ ‫الوعي ِد لعل ُّهم يتّقُون أو يُح ِد‬ ِ ِ ‫وصرفنا ِف‬
‫يه ِمن‬ ّ ‫أنزلناه قُرآنًا عربِيًّا‬
ُ ‫وكذلِك‬
Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab, dan Kami telah
menerangkan dengan berulang kali, di dalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka
bertakwa atau Al-Quran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.(QS. Thaha : 113)
Yang disebut Al-Quran hanyalah apa yang Allah turunkan persis sebagaimana turunnya.
Adapun bila ayat-ayat Al-Quran itu dijelaskan atau diterjemahkan ke dalam bahasa
lain, maka penjelasan atau terjemahannya itu tidak termasuk Al-Quran. Maka kalau
ada buku yang berisi hanya terjemahan Al-Quran, buku itu bukan Al-Quran.
Dengan kerangka logika seperti itu, maka injil yang ada di tangan umat Kristiani,
seandainya memang benar diklaim asli sebagaimana yang diterima Nabi Isa
alaihissalam dari Allah, bagi umat Islam tetap saja bukan Injil. Mengapa?
Karena Injil itu tidak berbahasa asli sebagaimana waktu diturunkan kepada Nabi Isa
alaihissalam. Para sejarawan menyebutkan bahwa Nabi Isa berbahasa Suryaniyah, dan
hari ini tidak ada lagi Injil yang berbahasa Suryaniyah.
e. Menantang Orang Arab
Hadits Qudsi pada dasarnya juga perkataan Allah juga, namun untuk membedakan Al-
Quran dengan hadis Qudsi secara mudah, maka kita sebut bahwa Al-Quran adalah
mukjizat.
Letak kemukjizatan Al-Quran terletak pada keindahannya dari segi sastra Arab.
Hadits Qudsi yang walau pun merupakan perkataan Allah, tidak punya keistimewaan
seperti Al-Quran.
Al-Quran dijadikan sebagai tantangan kepada orang Arab untuk menciptakan yang
setara dengannya. Dan tantangan itu tidak pernah bisa terjawab. Karena tak satupun
orang Arab yang mengklaim ahli di bidang sastra yang mampu menerima tandangan itu.
‫ون الل ِّه ِإ ن ك ُنتُم صا ِد ِقين‬
ِ ‫وادعوا ُشهداءك ُم ِمن ُد‬
ُ ‫ريب ِم ّما ن ّزلنا على عب ِدنا فأتُوا ب ُِسور ٍة ِمن ِمثلِ ِه‬
ٍ ‫وِإ ن ك ُنتُم ِفي‬
Dan jika kamu dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba
Kami, buatlah satu surat yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al-Baqarah : 23)
‫ون الل ِّه ِإ ن ك ُنتُم صا ِد ِقين‬
ِ ‫من استطعتُم ِمن ُد‬ِ ‫وادعوا‬
ُ ‫فتريات‬
ٍ ‫ور ِمثلِ ِه ُم‬
ٍ ‫ِعشر ُس‬
ِ ‫افتراه قُل فأتُوا ب‬
ُ ‫أم يقُول ُون‬
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al-Quran itu".
Katakanlah,”Datangkan sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan
panggillah orang-orang yang kamu sanggup selain Allah, jika kamu memang orang-
orang yang benar". (QS. Hud : 13)
f. Membacanya Merupakan Ibadah Yang Berpahala
Identitas yang tidak kalah penting dari Al-Quran adalah ketika dibaca menjadi
ibadah tersendiri, di luar dari mengerti atau tidak.
Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa tiap huruf dari Al-Quran merupakan pahala
tersendiri ketika dibaca. Bahkan ada kelipatan 10 kali lipat dari masing-masing
huruf. Sampai beliau SAW menegaskan bahwa bacaan alif lam mim itu bukan satu huruf
tetapi tiga huruf yang berdiri sendiri-sendiri.
Sedangkan hadits tidak mendatangkan pahala kalau hanya sekedar dibaca, kecuali bila
dipelajari dan dijalankan pesannya.
B. Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab?
Bahasa Al-Quran adalah bahasa Arab, bukan bahasa universal seperti yang diasumsikan
oleh segelintir orang. Bahasa Arab dipilih Allah SWT karena punya banyak kelebihan
dibandingkan dengan bahasa yang lain :
1. Bahasa Abadi
Para ahli sejarah bahasa sepakat bahwa sebuah bahasa itu tumbuh, berkambang dan
punah bersama dengan eksistensi sebuah peradaban. Sehingga bahasa-bahasa di dunia
ini banyak yang dahulu pernah dipakai banyak orang, tetapi pada generasi
berikutnya, sudah tidak ada lagi orang memakai bahasa itu, karena peradabannya
telah berganti.
Namun para ahli sepakat bahwa bahasa Arab merupakan pengecualian. Tidak tidak
hilang dari muka bumi meski telah berusia cukup tua. Ada sebagian kalangan yang
menyebutkan bahwa bahasa Arab telah digunakan di zaman Nabi Ibrahim alaihissalam.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa Nabi Adam alaihissalam pun berbahasa Arab sewaktu
diturunkan ke muka bumi. Dasarnya, karena dalam salah satu hadits disebutkan bahwa
bahasa Arab adalah bahasa penghuni surga. Dan Adam itu penghuni surga sejak pertama
kali diciptakan. Maka amat wajar dan masuk akal kalau ketika Adam diturunkan ke
bumi, beliau masih menggunakan bahasa yang sebelumnya dipakai di dalam surga.
Lalu apa hubungannya bahasa Arab yang sudah berusia tua itu dengan pilihan bahasa
Al-Quran?
Penjelasannya begini, kalau seandainya Al-Quran diturunkan oleh Allah dengan bahasa
Inggris, maka kemungkinan besar dua ratus tahun kemudian orang tidak ada lagi yang
bisa memahaminya. Karena bahasa Inggris itu mengalami perubahan mendasar, seiring
dengan perjalanan waktu.
Jangankan bahasa Inggris, bahasa Sansekerta yang dahulu menjadi bahasa nenek moyang
kita, hari ini sudah punah. Tidak ada yang bisa memahaminya dengan sempurna,
kecuali hanya ahli bahasa. Itu pun dengan asumsi-asumsi yang belum tentu benar.
Seandainya Patih Gajah Mada hidup kembali di abad 21 ini, maka tak seorang pun yang
mampu berbicara dengannya, lantaran kendala bahasa.
Kendala bahasa inilah yang tidak terjadi pada Al-Quran. Meski sudah turun sejak 14
abad yang lalu, bahasa Arab masih dipakai oleh ratusan juta umat manusia di muka
bumi. Sehingga bangsa-bangsa yang berbahasa Arab, pada hakikatnya sama sekali tidak
menemukan kesulitan untuk mengerti Al-Quran.
2. Kaya Kosa Kata
Salah satu kekuatan bahasa Arab adalah kekayaan kosa kata yang dimiliki. Meski
bangsa Arab banyak yang tinggal di gurun pasir, namun bukan berarti mereka
tertinggal dalam masalah seni dan budaya. Sebaliknya, justru orang-orang Arab yang
tinggal di gurun itu punya kemampuan yang amat sempurna dalam mengungkapkan
perasaannya lewat kata-kata.
Boleh dibilang mereka umumnya adalah pujangga yang pandai merangkai kata. Dan
rahasia keindahan sastra Arab terletak pada jumlah kosa katanya yang nyaris tak ada
batasnya.
Seorang ahli bahasa Arab pernah menjelaskan kepada Penulis, bahwa orang Arab punya
800 kosa kata yang berbeda untuk menyebut unta. Dan punya 200 kosa kata yang
berbeda untuk menyebut anjing.
Dengan perbendaharaan kata yang luas ini, Al-Quran mampu menjelaskan dan
menggambarkan segala sesuatu dengan lincah, indah, dan kuat, tetapi maknanya tetap
mendalam.
Bahasa yang lain bisa dengan mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan begitu
diterjemahkan, ternyata maknanya semakin kuat. Contohnya adalah semua kisah para
Nabi dan umat terdahulu diceritakan kembali oleh Allah SWT di dalam Al-Quran dalam
ungkapan bahasa Arab.
Sebaliknya, seorang penerjemah profesional dengan jam terbang yang tinggi masih
saja sering kebingungan untuk menterjemahkan berbagai ungkapan dalam bahasa Arab ke
bahasa lain, dengan cara yang mudah dan rinci, tanpa harus kehilangan kekuatan
maknanya.
Oleh karena itu, sesungguhnya kita tidak pernah bisa menterjemahkan Al-Quran ke
dalam bahasa lain, dengan tetap masih mendapatkan kekuatan maknanya. Selalu saja
terasa ada kejanggalan dan kekurangan yang menganga ketika ayat-ayat Al-Quran
diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
C. Keaslian Al-Quran
Kebenaran Al-Quran adalah sesuatu yang pasti. Karena Al-Quran merupakan perkataan
Allah SWT yang Maha Benar. Dan Allah SWT menjamin keaslian Al-Quran :
ُ ‫نحن ن ّزلنا ال ِ ّذكر وِإ نّا‬
‫له لحا ِف ُظون‬ ُ ‫ِإ نّا‬
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al -Quran, dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya .(QS. Al-Hijr : 9)
Tidak ada seorang pun yang bisa memalsukan ayat-ayat Al-Quran, karena jaminan dari
Allah SWT yang memang bisa kita lihat buktinya secara langsung.
Dan secara teknis, kemustahilan pemalsuan Al-Quran itu masuk akal, mengingat
beberapa hal :
1. Ditulis Sejak Turun
Tidak seperti kitab lainnya, Al-Quran itu langsung ditulis seketika begitu turun
dari langit. Rasulullah sendiri punya para penulis wahyu yang spesial bertugas
untuk menuliskannya setiap saat. Tidaklah Rasulullah SAW meninggal dunia kecuali
seluruh ayat Al-Quran telah tertulis di atas berbagai bahan, seperti pelepah kurma,
kulit, dan lainnya.
Kalau kita bandingkan dengan kitab-kitab yang disucikan agama lain seperti Injil,
Taurat, Zabur dan kitab suci lainnya, memang amat jauh perbedaannya. Kitab-kitab
itu tidak pernah ditulis saat turunnya, meski kebudayaan yang berkembang di masa
itu cukup maju dalam bidang tulis menulis. Kalau pun saat ini ada musium yang
menyimpan naskah Injil, naskah itu bukan naskah asli yang ditulis saat Nabi Isa
alahissalam masih hidup. Tetapi merupakan naskah yang ditulis oleh orang lain, dan
ditulis berabad-abad sepeninggal Nabi Isa alaihissalam.
Jangankah umat Islam, umat Kristiani pun masih berselisih paham tentang keaslian
kitab mereka sendiri.
2. Dijilid Dalam Satu Bundel
Di masa khilafah Abu Bakar ash-shiddqi radhiyallahuanhu berbagai tulisan ayat Al-
Quran yang masih terpisah-pisah itu kemudian disatukan dan dijilid dalam satu
bundel.
Saat itu dikhawatirkan ada 70 penghafal Al-Quran telah gugur sebagai syuhada,
sehingga Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu mengusulkan agar proyek penulisan
ulang Al-Quran segera dijalankan. Hasilnya berupa satu mushaf standar yang sudah
baku.
3. Distandarisasi Penulisannya
Di masa khalifah Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu, dilakukan standarisasi
penulisan Al-Quran, karena telah terdapat perbedaan teknis penulisan yang
dikhawatirkan akan menjadi bencana di masa yang akan datang.
Sekedar untuk diketahui, bangsa Arab sebelumnya tidak terlalu menonjol dengan
urusan tulis menulis, karena mereka tidak merasa membutuhkannya. Mengingat mereka
mampu menghafal ribuan bait syair dengan sekali dengar, sehingga tidak merasa perlu
untuk mencatat atau menuliskan sesuatu kalau tidak penting-penting amat.
Kalau pun ada tulis menulis, belum ada standarisasi teknis penulisan. Oleh karena
itulah maka dibutuhkan sebuah standarisasi penulisan di masa khalifah Utsman. Dan
dengan adanya penulisan yang standar itu, maka semua mushaf yang pernah ditulis
dikumpulkan dan dimusnahkan dengan cara dibakar. Sehingga yang ada hanya yang sudah
benar-benar mendapatkan pentashihan dalam teknis penulisannya. Dan dikenal dengan
istilah rasam Utsmani.
4. Dihafal Berjuta Manusia
Selain ditulis, Al-Quran sampai kepada kita lewat hafalan yang merupakan keunggulan
bahasa Arab.
Sejak diturunkan di masa Rasulullah SAW, sebenarnya Al-Quran itu lebih dominan
dihafal ketimbang ditulis. Bukan hanya dihafal saja, tetapi Al-Quran dibaca tiap
hari lima kali dalam shalat fardhu.
Kenapa lebih dominan dihafal? Karena Al-Quran itu turun dalam format suara dan
bukan dalam format teks. Dan kelebihan bahasa Arab itu mudah dihafal dibandingkan
menghafal kalimat dalam bahasa lainnya.
Saat ini di permukaan bumi ini ada bermilyar manusia yang menghafal ayat-ayat Al-
Quran sebagiannya, dan ada ribuan umat Islam yang menghafal seluruh ayatnya yang
lebih dari 6 ribuan. Mereka membacanya berulang-ulang setiap hari, setidaknya lima
kali sehari.
Sekali saja ada orang yang salah membaca Al-Quran, akan ada ribuan orang yang
mengingatkan kesalahan itu. Semua itu menjelaskan firman Allah SWT bahwa Al-Quran
itu memang dijaga keasliannya oleh Allah SWT Tidak mungkin Al-Quran ini punah atau
dipalsukan.
Al-Quran dari segi periwayatannya sangat pasti benarnya, sehingga para ulama
menyebut hal ini dengan ungkapan : qat’iyu ats-tsubut (‫)قطعي الثبوت‬.
Selain Al-Quran, di dunia ini tidak ada satu pun kitab suci yang bisa dihafal
oleh pemeluknya. Selain karena kitab-kitab suci mereka agak rancu sebagaimana
kerancuan perbedaan doktrin dan perpecahan sekte dalam agama itu, juga karena
kitab-kitab itu terlalu beragam versinya. Bahkan seringkali mengalami koreksi fatal
dalam tiap penerbitannya.
Oleh karena itu kita belum pernah mendengar ada Paus di Vatican sebagai pemimpin
tertinggi umat Kristiani sedunia, yang pernah menghafal seluruh isi Injil atau
Bible di luar kepala. Para pendeta Yahudi tertinggi tidak ada satu pun yang
mengklaim telah berhasil menghafal seluruh isi Talmud atau Taurat secara
keseluruhan dari ayat pertama hingga ayat yang penghabisan.
Dan tidak ada satu pun dari para Biksu Budha di seluruh dunia yang dikabarkan
pernah menghafal Tripitaka. Dan tak satu pun petinggi dari agama Hindu yang pernah
dinyatakan menghafal Veda.
D. Ayat-ayat Hukum
Al-Quran adalah sumber utama dalam masalah hukum atau fiqih. Namun dalam
kenyataannya kalau kita perhatikan, tidak semua ayat Al-Quran selalu mengandung
hukum-hukum fiqih. Banyak dari ayat itu yang terkait juga dengan masalah keimanan
dan aqidah, akhlaq, nasehat tentang sikap dan perilaku yang baik, isyarat tentang
ilmu pengetahuan dan sains, kisah-kisah tentang kehidupan umat di masa lalu, dan
lainnya.
1. Pengertian Ayat Hukum
Para ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ayat hukum adalah :
ً ‫اآليات التي تُبيّن األحكام الفقهية وتدل عليها نصا ً أو استنباطا‬
Ayat-ayat yang menjelaskan hukum-hukum fiqihiyah dan menjadi dalil atas hukum-
hukumnya baik secara nash atau secara istimbath.
Dengan definisi ini, maka ayat-ayat Al-Quran yang tidak menjelaskan tentang hukum-
hukum fiqih dianggap bukan ayat ahkam. Ayat-ayat yang menjelaskan tentang aqidah,
akhlaq, kisah-kisah dan lainnya, tidak dimasukkan ke dalam ayat hukum.
2. Jumlah Ayat Hukum
Para ulama berbeda pendapat tentan apakah ayat-ayat hukum itu terbatas atau tidak
terbatas.
a. Terbatas Beberapa Ayat
Pendapat pertama mengatakan bahwa jumlah ayat hukum itu terbatas pada beberapa ayat
saja.
Mereka mendasarkan pendapatnya berangkat dari definisi di atas, dimana kenyataannya
bahwa ayat-ayat Al-Quran yang terkait dengan hukum-hukum fiqih memang terbatas pada
ayat-ayat tertentu saja. Dan tidak semua ayat Al-Quran yang enam ribuan-an ayat itu
otomatis menjadi ayat hukum.
Mereka yang mendukung pendapat ini antara lain adalah Al-Imam Al-Ghazali termasuk
salah satu dari mereka yang menegaskan hal ini dalam kitab beliau, Al-Mustashfa.
Juga Al-Imam Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Mahshul. Dan juga Al-Mawardi dalam kitab
Adabul Qadhi.
Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah ayat hukum itu hanya sekitar 150 ayat saja.
Sebagian lainnya mengatakan bahwa jumlahnya kurang lebih 200-an ayat saja.
Sebagian lain mengatakan bahwa jumlahnya sekitar 500-an ayat. Al-Imam As-Suyuti
mengatakan di dalam kitab Al-Itqan bahwa jumlahnya ayat-ayat Al-Quran yang
mengandung hukum mencapai 500-an ayat. Hal yang sama juga disebutkan oleh Ibnu
Qayyim di dalam kitab Madarijus-salikin, bahwa jumlah ayat-ayat hukum mencapai 500-
an ayat.
b. Tidak Terbatas
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ayat-ayat hukum itu tidak terbatas hanya
pada ayat terentu saja.
Najmuddin At-Thufi mengatakan bahwa benar bahwa ayat-ayat hukum itu tidak terbatas
hanya pada angka-angka itu saja. Dalam pandangan beliau dan ulama yang sependapat,
bahwa seluruh atau sebagian besar ayat-ayat Al-Quran mengandung hukum yang menjadi
sumber utama Fiqih Islam. Meski hanya terselip secara implisit dimana kebanyakan
orang kurang menyadarinya.
Al-Qarafi mengatakan bahwa tidak ada satu pun ayat kecuali terkandung di dalamnya
suatu hukum.
E. Kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum
Untuk bisa mendapatkan penjelasan fiqih dari ayat-ayat Al-Quran, kita membutuhkan
kitab tafsir yang mengkhususkan pada pembahasan hukum.
Lepas dari perbedaan apakah ayat-ayat hukum itu terbatas jumlahnya atau tersebar di
sebagian besar ayat Al-Quran, para ulama banyak yang berkarya membuat kitab-kitab
tafsir yang berkonsetrasi pada hukum-hukum fiqihiyah di dalam Al-Quran, baik dengan
jumlah ayat yang terbatas, atau pun tafsir lengkap 30 juz. Namun semuanya menitik-
beratkan pada kajian hukum.
1. Kitab Tafsir Mazhab Al-Hanafiyah
Ada beberapa kitab tafsir yang terkait dengan ayat-ayat hukum, khususnya di
kalangan para ulama mazhab Al-Hanafiyah, antara lain
a. Ahkamul Quran : Al-Jashshash
Di antara karya tafsir dalam corak fiqih di kalangan Al-Hanafiyah adalah Ahkamul
Quran karya Al-Jashsash (w. 370 H). Nama beliau adalah Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-
Razi. Beliau adalah ulama besar dan tokoh fiqih dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah.
Dalam penafsirannya, Al-Jashshash bahkan bukan hanya menafsirkan ayat-ayat hukum,
melainkan juga memasukkan berbagai macam perdebatan khilafiyah fiqhiyah. Dan
terlihat teramat nyata bagaimana Beliau membela fiqih mazhabnya. Sehinga Husein
Adz-Dzahabi penulis kitab Tafsir wal Mufassirun membuatkan sub judul tersendiri
dengan menyebutnya ta’ashshub dengan mazhab Al-Hanafiyah. Tafsir ini yang terbit
dalam beberapa edisi, ada yang tiga jilid dan ada yang lima jilid, hampir 2.000
halaman tebalnya.
b. At-Tafsirat Al-Ahmadiyah fi Bayan Al-Ayat Asy-Syar’iyah
Selain itu juga ada kitab At-Tafsirat Al-Ahmadiyah fi Bayan Al-Ayat Asy-Syar’iyah
karya Ahmad bin Abi Said ulama yang hidup di abad 11 hijriyah.
2. Kitab Tafsir Mazhab Al-Malikiyah
Dan di kalangan Al-Malikiyah kita menemukan beberapa ulama yang menulis tafsir,
antara lain :
a. Ahkamul Quran : Ibnul Arabi
Di kalangan mazhab Al-Malikiyah kita menemukan Tafsir Ahkamul Quran karya Abu Bakar
Al-Arabi (w. 543 H). Nama Beliau ada kemiripan dengan tokoh lain yang bernama Ibn
Arabi.
b. Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran : Al-Qurtubi
Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (‫ )الجامع ألحكام القرآن‬karya Al-Imam Al-Qurthubi (w. 671
H). Beliau telah menyusun satu kitab tafsir yang amat kuat membahas dari segi
hukum. Kadang kitab tafsir itu disebut cukup dengan menyebut nama mufassirnya saja,
menjadi Tafsir Al-Qurthubi. Kitab ini membahas tafsir dari tiap ayat Al-Quran
sesuai dengan urutannya, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat terakhir, An-Nas,
total menjadi 30 juz 114 surat.
Salah satu keistimewaan kitab tafsir ini adalah kedalaman dan kelengkapan
pembahasan di dalamnya. Al-Imam Al-Qurthubi mengumpulkan beberapa ayat untuk diberi
tema, lalu beliau membuat poin-poin masalah hukum yang terkandung dalam kumpulan
ayat tersebut secara detail.
3. Kitab Tafsir Mazhab Asy-Syafi’iyah
Dan di kalangan Asy-Syafi’iyah kita menemukan beberapa ulama yang menulis tafsir,
antara lain :
a. Ahkam Al-Quran : Al-Kiya Al-Harasi
Tafsir Ahkam Al-Quran karya Al-Kiya Al-Harasi (w. 502 H).. Beliau adalah salah satu
tokoh ulama ahli fiqih, ushul fiqih dan juga ahli tafsir yang mewakili kalangan
mazhab Asy-Syafi’iyah di abad kelima hijriyah.
Ayat-ayat yang dibahas dalam kitab tafsir ini memang tidak semuanya, melainkan
hanya sebatas ayat-ayat yang terkait dengan hukum saja. Meski pun hampir semua
surat terkandung ayat-ayat hukum di dalamnya. Misalnya surat An-Nas yang tidak
ditemukan dalam kitab ini. Dr. Husein Adz-Dzahabi penulis At-Tafsir wa Al-
Mufassirun mengatakan bila dibandingkan dengan Tafsir Al-Jashshash, Al-Kiya Al-
Harasi jauh lebih santun dan punya sikap penghargaan kepada para imam mazhab lain
di luar mazhab Asy-Syafi’iyah.
Tafsir ini menggunakan pendekatan dua sisi sekaligus, yaitu bil ma’tsur dan bir-
ra’yi. Tafsir bil-ma’tsur yaitu menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran,
lalu dengan hadits nabawi, serta pendapat para shahabat, tabi’in dan atba’ut-
tabi’in. Dan tafsir bir-ra’yi asalkan yang mahmud tetap digunakan di dalam tafsir
ini.
Secara fisik, kitab tafsir ini diterbitkan oleh Darul Kutub Al-‘Alamiyah Beirut
Libanon. Pada edisi cetakan pertama yang penulis miliki diterbitkan tahun 1983
masehi atau 1404 hijriyah menjadi lima jilid dengan jumlah total halaman mencapai
1000 halaman.
b. Al-Qaulu Al-Wajiz fi Ahkam Al-Aziz
Al-Qaulu Al-Wajiz fi Ahkam Al-Aziz karya Syihabuddin Abul Abbas Ahmad bin Yusuf bin
Muhammad Al-Halabi (w. 756 H),
c. Al-Iklil : As-Suyuthi
As-Suyuthi (w. 911 H) menulis tafsir yang disebut dengan Al-Iklil fi Istimbath At-
Tahlil. Tafsir ini teramat tipis, hanya memberi penjelasan singkat dari ayat-ayat
pilihan, terdiri dari satu jilid dengan tebal hanya 306 halaman.
4. Kitab Tafsir Mazhab Al-Hanabilah
Sayangnya kita tidak memenukan kitab tafsir yang terkait ayat hukum karya para
ulama di kalangan mazhab Al-Hanabilah. Jangankan tafsir ayat hukum, bahkan sekedar
kitab tafsir yang bersifat umum pun juga tidak ada yang dapat disebutkan.
5. Kitab Tafsir Hukum Tanpa Mazhab
Di luar kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama mazhab, kita juga menemukan
beberapa kitab tafsir yang ditulis oleh tokoh-tokoh yang tidak mewakili mazhab
tertentu.
a. Fathul Qadir : Asy-Syaukani
Al-Imam Asy-Syaukani juga menyusun kitab tafsir yang lebih menekankan aspek hukum
fiqih. Kitab beliau berjudul Fathul Qadir (‫)فتح القدير‬. Kitab ini banyak dijadikan
rujukan dalam banyak fakultas syariah, misalnya di Universitas Islam Muhammad Ibnu
Suud Al-Islamiyah.
Meski tidak setebal kitab Al-Jami' li Ahkamil Quran, namun kitab ini cukup lengkap
mengupas banyak ayat-ayat hukum di dalamnya.
b. Ahkam Al-Quran Al-Kariem : Ibnul Arabi
Kitab tafsir lain yang juga berkonsentrasi terhadap hukum-hukum syariat adalah
karya Ibnul Arabi Beliau telah menulis kitab dengan judul Tafsir Ahkam Al-Quran Al-
Kariem
6. Kitab Tafsir Hukum Modern
a. Tafsir Ayat Al-Ahkam : Ali Ash-Shabuni
Dan ada juga para ulama yang menyusun kitab tafsir berdasarkan hanya pada ayat-ayat
tertentu yang secara tegas menjelaskan hukum fiqih.
Kitab tafsir seperti ini sering juga disebut tafsir maudhu'i (tematik), karena
ditulis tidak berdasarkan urutan ayat-ayat Al-Quran secara lengkap, tetapi terbatas
hanya pada ayat-ayat pilihan saja, yang terkait dengan hukum-uhkum syariah.
Salah satunya yang cukup masyhur adalah Tafsir Shafwatu At-Tafasir, karya muhammad
Ali Ash-Shabuni. Terbit dalam 3 jilid dan berisi khusus hanya ayat-ayat yang ada
kandungan hukumnya saja.
b. Tafsir Ayat Al-Ahkam : As-Sayis
Tafsir ini ditulis oleh Muhammad Ali As-Sayis, merupakan kitab tafsir modern yang
mengkhususkan diri pada ayat-ayat yang dipandang mengandung penjelasan detail
masalah fiqihiyah. Kitab setebal kurang lebih 829 halaman banyak disebut sebagai
kitab tafsir yang cukup baik untuk dijadikan rujukan dalam membahas tafsir ayat
hukum.
c. Tafsir Al-Munir : Wahbah Az-Zuhaili
Tafsir Al-Munir ini ditulis oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili secara sistematis mulai dari
qiraat, kemudian i’rab, balaghah, mufradat lughawiyyah, selanjutnya asbabunnzul,
munasabah ayat. Setelah itu Beliau membahas tafsir dan penjelasannya. Terakhir
tentang fiqih kehidupan atau hukum-hukum yang terkandung pada tiap –tiap tema
pembahasan.
Kalau ada ikhtilaf, Beliau memberikan jalan tengah terhadap perdebatan antar ulama
madzhab yang berkaitan dengan ayat-ayat ahkam, dan mencantumkan footnoteketika
pengambilan sumber dan kutipan. Kitab tafsir ini tampil dengan cukup tebal, yaitu
30 jilid besar.

Bab 3 : As-Sunnah
Sumber hukum fiqih yang kedua setelah Al-Quran adalah As-Sunnah An-Nabawiyah, atau
sering juga disebut dengan hadits nabi. As-Sunnah merupakan sumber syariat Islam
setelah Al-Quran dan berfungsi merinci garis besar Al-Quran, menjelaskan yang
musykil, membatasi yang muthlak, dan memberikan penjelasan hukum.
As-Sunnah pada dasarnya adalah wahyu dari Allah SWT juga, hanya saja ada perbedaan
yang nyata dibandingkan dengan Al-Quran.
A. Pengertian
Pengertian sunnah kita bagi berdasarkan bahasa dan juga berdasarkan istilah yang
digunakan.
1. Bahasa
Secara bahasa, kata ’sunnah’ dipahami dengan beragam arti serta bermacam
penggunaan, di antaranya :
• At-thariqah (‫)الط ِريق ُة‬ ّ : tata cara.
• Al-‘adah (‫)العاد ُة‬ : adat atau kebiasaan.
• As-sirah (‫)السير ُة‬ ِّ : perilaku.
Di dalam hadits nabawi disebutkan istilah sunnah dengan makna bahasa, misalnya :
‫سن ِفي‬
ّ ِ ‫غير أن ينقُص ِمن ُأ ُج‬
‫ ومن‬. ٌ‫ور ِهم شيء‬ ِ ‫بعده ِمن‬
ُ ‫عمل بِها‬ ِ ‫وأجر من‬ُ ‫أجرها‬
ُ ‫فله‬
ُ ‫سن ِفي ااإلسال ِم ُسن ّ ًة حسن ًة‬
ّ ‫من‬
ٌ ‫شيء‬ ‫م‬ ِ
‫ه‬ ‫أوزار‬
ِ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ص‬‫ق‬
ُ ‫ين‬ ‫أن‬ ‫غير‬
ِ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫بعده‬
ُ ‫ِها‬
‫ب‬ ‫ل‬ ِ
‫عم‬ ‫من‬ ‫زر‬
ُ ‫و‬ِ ‫و‬ ‫ها‬ ‫زر‬
ُ ‫و‬
ِ ِ
‫فعليه‬ ‫ة‬
ً ‫ِئ‬
ّ ‫سي‬ ‫ة‬
ً ّ ‫ن‬ ‫س‬
ُ ‫م‬
ِ ‫ااإلسال‬
Siapa menjalani memulai dalam Islam kebiasaan yang baik, maka baginya pahala
amalnya dan pahala dari orang yang mengerjakan dengannya tanpa dikurangi dari
pahala mereka. Dan siapa memulai kebiasaan yang buruk dalam Islam maka dia mendapat
dosa dari amalnya dan dosa orang yang mengerjakan keburukan karenanya tanpa
mengurangi dari dosa-dosa mereka. (HR. Muslim)
2. Istilah
Istilah sunnah adalah istilah yang banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu
dengan makna dan pengertian yang berbeda dan tidak saling berhubungan. Dan
kesalahan dalam menempatkan makna sesuai dengan disiplin ilmu justru seringkali
membuat banyak umat Islam terjebak dalam perdebatan yang tidak ada habisnya.
a. Sunnah Menurut Ilmu Ushul Fiqih
Dalam pembahasan ini, istilah sunnah yang kita pakai menurut istilah disiplin ilmu
ahli ushul, bukan menurut ahli fiqih. Menurut disiplin ilmu ushul, sunnah adalah :
‫عن النّب ِ ِّي‬
ِ ‫ ما ورد‬ ‫ير‬ ٍ ‫تقر‬
ِ ‫عل أو‬ ٍ ‫قول أو ِف‬ٍ ‫ِمن‬
Segala yang diriwayat dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
(sikap mendiamkan sesuatu yang dilihatnya).
Dengan kata lain, pengertian sunnah menurut disiplin ilmu ushul fiqih sama dengan
pengertian hadits dalam ilmu hadits.
Rasulullah SAW pernah menggunakan istilah sunnah dengan maksud untuk menyebutkan
sumber kedua dari agama Islam.
‫رسولِ ِه‬ ُ ‫وسن ّ ِة‬
ُ ‫الله‬ِ ‫ ِكتاب‬:‫تمسكتُم ب ِِهما‬
ّ ً ‫تضلُّوا‬
‫أبدا ما ِإ ن‬ ِ ‫أمرين لن‬
ِ ‫تركت ِفيك ُم‬
ُ ‫لقد‬
Sungguh telah aku tinggalkan dua hal yang tidak akan membuatmu sesat selama kamu
berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnah rasulnya. (HR Malik)
b. Sunnah Menurut Ilmu Fiqih
Sedangkan pengertian sunnah menurut para ahli fiqih adalah :
‫تارك ُُه‬
ِ ‫عاقب‬ ُ ِ
ُ ‫فاعال ُُه وال ي‬ ‫ثاب‬
ُ ُ‫ما ي‬
Segala tindakan dimana pelakunya mendapat pahala dan yang tidak melakukannya tidak
berdosa.
Para ahli fiqih sering menggunakan istilah sunnah sebagai nama dari suatu status
hukum. Misalnya ada shalat fardhu dan ada shalat sunnah. Shalat fardhu itu bila
dikerjakan akan mendatangkan pahala sedangkan bila tidak dikerjakan akan
mendatangkan dosa. Sedangkan shalat sunnah bila dikerjakan mendapatkan pahala tapi
bila tidak dikerjakan tidak berdosa.
Dari perbedaan definisi sunnah di atas, kita harus membedakan antara sunnah Nabi
dengan perbuatan yang hukumnya sunnah.
Kita ambil contoh yang mudah. Nabi SAW disebutkan dalam banyak hadits punya
penampilan yang khas, seperti berjenggot, berjubah, bersorban, pakai selendang
hijau, berambut panjang, berpegangan pada tongkat saat berkhutbah, makan dengan
tiga jari, mengunyah 33 kali, beristinja’menggunakan batu, minum susu kambing
mentah tanpa dimasak yang diminum bersama banyak orang dari satu wadah, mencelupkan
lalat ke dalam air minum, dan banyak lagi.
Semua itu kalau dilihat dari pengertian sunnah dalam ilmu ushul fiqih, memang
merupakan perbuatan Nabi SAW. Akan tetapi kalau dilihat dari Ilmu Fiqih, meski
sebuah perbuatan itu dilakukan oleh Nabi SAW, secara hukum belum tentu menjadi
sunnah yang berpahala bila dikerjakan.
Kadang perbuatan Nabi SAW secara hukum menjadi wajib bagi umat Islam, seperti
shalat lima waktu, puasa Ramadhan, berhaji ke Baitullah, dan lainnya. Tetapi
perbuatan Nabi SAW hukumnya hanya menjadi sunnah, seperti shalat Tahajjud, shalat
Dhuha, puasa Senin Kamis, puasa hari Arafah, puasa 6 hari bulan Syawwal dan
lainnya. Bila seorang muslim mengerjakannya tentu mendapat pahala, tetapi bila
tidak dikerjakan, dia tentu tidak akan berdosa, karena hukumnya sunnah.
Kadang perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW malah haram hukumnya bagi umat Islam,
misalnya ketika Nabi SAW berpuasa wishal, yaitu puasa yang bersambung-sambung
beberapa hari tanpa berbuka. Juga haram hukumnya bagi umat Islam untuk beristri
lebih dari 4 orang, padahal beliau SAW beristrikan 11 wanita.
Dan dalam beberapa kasus, kadang apa yang dihalalkan buat umat Islam justru
diharamkan bagi Rasulullah SAW dan keluarga beliau, misalnya menerima harta zakat.
Maka bisa kita simpulkan bahwa sunnah Nabi SAW dalam arti perbuatan beliau belum
tentu lantas hukumnya menjadi sunnah juga buat umatnya.
c. Sunnah Menurut Ahli Kalam
Para ulama ahli kalam juga sering menggunakan istilah sunnah untuk menyebutkan
kelompok yang selamat aqidahnya, sebagai lawan dari aqidah yang keliru dan sesat.
Mereka menggunakan istilah ahlussunnah, untuk membedakan dengan ahli bid’ah, yang
maksudnya adalah aliran-aliran ilmu kalam yang dianggap punya landasan aqidah yang
menyimpang dari apa yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat.
Maka kita mengenal istilah ’sunni’ untuk umat yang beraqidah lurus dan seusai
dengan ajaran Nabi SAW, dan membuat istilah syi’ah, muktazilah, qadariyah,
jabariyah, khawarij, dan lainnya untuk menegaskan bahwa aliran-aliran itu tidak
sesuai dengan apa yang disunnahkan oleh Nabi SAW.
3. Hakikat As-Sunnah Adalah Wahyu Allah
Pada hakikatnya as-sunnah dalam arti hadits tidak lain adalah wahyu dari Allah SWT,
dan bukan semata-mata perbuatan dan perkataan Nabi SAW. Sebab perbuatan dan
perkataan Nabi SAW sesungguhnya berlandaskan wahyu dari Allah SWT, dan bukan datang
dari diri atau nafsu beliau sendiri.
Hal ini ditegaskan di dalam Al-Quran Al-Kariem yang menyebutkan bahwa semua
perkataan Nabi SAW adalah wahyu dari Allah SWT :
‫يد القُ َوى‬ُ ‫عل َّ َم ُه َش ِد‬
َ ‫وحى‬
َ ُ ‫حي ي‬
ٌ ‫اله َوى ِإ ن ُه َو ِإ ال َو‬
َ ‫ع ِن‬ َ ‫نط ُق‬ ِ ‫َوالن َّج ِم ِإ ذَا َه َوى َما َض َّل َص‬
ِ َ ‫احبُك ُم َو َما غ ََوى َو َما ي‬
Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). yang diajarkan
kepadanya oleh (jibril) yang sangat kuat. (QS. An-Najm : 1-5)
B. Penggunaan Istilah Sunnah dan Hadits
Seringkali kita mencampur-adukkan antara istilah As-Sunnah dan istilah Al-Hadits.
Memang antara kedua istilah itu ada kesamaan, namun tetap saja ada perbedaan.
1. Pengertian Al-Hadits
Kata al-hadits (‫ )الحديث‬dalam bahasa Arab punya banyak makna, salah satunya berarti
baru (‫)الحديد‬. Dan hadits juga berarti perkataan, sebagaimana firman Allah SWT :
ً ‫يفقهون ح ِديثا‬ ُ ‫يكادون‬ُ ‫فما لِهـُؤ الء القو ِم ال‬
Maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
(QS. An-Nisa’ : 78)
Sedangkan secara istilah, di dalam ilmu hadits, yang dimaksud dengan hadits
adalah :
‫ ما ُأ ِضيف ِإ لى النّب ِِّي‬ ‫وصف ِخل ِق ٍّي أو ُخل ُ ِق ٍّي‬ ٍ ‫ير أو‬
ٍ ‫تقر‬
ِ ‫عل أو‬ ٍ ‫قول أو ِف‬ ٍ ِ
‫من‬.
Segala hal yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, sifat khilqiyah dan khuluqiyah.
Sifat khilqiyah maksudnya adalah sifat-sifat yang berupa wujud pisik, seperti warna
kulit, warna rambut, bentuk wajah, dan semua ciri-ciri pisik lainnya. Sedangkan
sifat khuluqiyah maksudnya adalah segala sifat yang berupa sikap, tingkah laku,
tata cara, gestur, dan hal-hal sejenisnya.
2. Kesamaan & Perbedaan Al-Hadits dan As-Sunnah
Kalau dilihat sekilas, nampak seolah-oleh antara istilah Al-Hadits dan As-Sunnah
tidak ada perbedaan yang berarti. Dan seringkali orang menyamakan begitu saja
antara keduanya, karena sama-sama membicarakan tentang perkataan, perbuatan, dan
taqrir yang ada pada diri Nabi Muhammad SAW, termasuk sifat khilqiyah dan
khuluqiyah beliau.
Namun kalau kita teliti lebih dalam, sesungguhnya di antara keduanya ada perbedaan,
antara lain :
a. Ruang Lingkup
Istilah Al-Hadits tidak hanya mencakup apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW
saja, tetapi apa yang menjadi ucapan dan perbuatan para shahabat pun termasuk di
dalam hadits. Karena kita mengenal istilah hadits mauquf dan hadits maqthu.’
Hadits maufuq adalah hadits yang periwayatannya tidak sampai kepada Nabi SAW, namun
berhenti sampai kepada level shahabat saja. Sedangkan Hadits mauquf adalah hadits
yang periwayatannya hanya sampai ke level tabi’in.
Sedangkan ketika kita menyebut istilah As-Sunnah, maksudnya selalu sunnah
Rasulullah SAW, dan bukan sunnah dari para shahabat beliau.
b. Kekuatan Periwayatan
Ketika kita menyebut istilah al-hadits, maka termasuk pula di dalamnya semua jenis
hadits, baik yang shahih, hasan, atau pun yang dhaif. Bahkan termasuk juga disebut
hadits walau pun sebenarnya semata-mata hanya hadits palsu. Kita mengenal istilah
hadits maudhu’.
Namun kita tidak pernah menyebut istilah sunnah hasan atau sunnah dhaif, apalagi
sunnah palsu. Sebab istilah as-sunnah sudah memastikan hanya apa-apa yang shahih
dari Rasulullah SAW, dan tidak termasuk yang lemah atau yang palsu.
C. Inkarus-Sunnah
Inkarussunnah berasal dari dua kata, inkar dan sunnah. Yang dimaksud dengan ingkar
adalah penolakan, penafian atau sikap untuk tidak mengakui kebenaran sesuatu.
Sedangkan yang dimaksud dengan sunnah adalah hadits-hadits Rasulullah SAW. Jadi
ingkarussunnah adalah paham yang mengingkari keberadaan hadits-hadits Rasulullah
SAW.
Paham ini bukan sekedar berbahaya, bahkan pada hakikatnya merupakan pengingkaran
terhadap agama Islam itu sendiri. Jadi orang yang mengingkari eksistensi hadits-
hadits Nabi SAW, pada hakikatnya dia telah mengingkari agama Islam.
Sebab Islam itu dilandasi oleh dua pilar utama, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, yaitu
hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW kepada kita semua.
Bila dirunut ke belakang, paham ini lahir dari sebuah peperangan modern antara umat
Islam di satu pihak dengan musuh-musuhnya di pihak lain. Mereka adalah para
orientalis barat yang mengaku telah mempelajari agama Islam, bukan dengan niat
untuk mengamalkannya, melainkan dengan niat untuk menghina, menjelekkan,
menyesatkan dan membuat umat Islam bingung. Bahkan bukan sekedar bingung, tetapi
juga tersesat dan murtad dari agamanya.
Munculnya orientalisme tidak terlepas dari beberapa faktor yang
melatarbelakanginya, antara lain akibat perang Salib atau ketika dimulainya
pergesekan politik dan agama antara Islam. Para orientalis jahat ini banyak
menghujat agama Islam dengan mengatakan bahwa hadits Nabi itu palsu semua, tidak
ada yang asli, hanya karangan ulama yang hidup beberapa ratus tahun setelah
kematian Nabi Muhammad SAW.
Pemikiran mereka bisa kita baca dalam banyak buku, antara lain buku The Origins Of
Muhammadan Juresprudence dan An Introduction to Islamic Law
Deretan nama orientalis lainnya adalah Goldziher yang jadi gembong anti Islam.
Dialah yang telah merusak aqidah umat Islam dengan beragam pemikiran sesatnya.
Selain itu ada lagi nama-nama seperti H.A.R. Gibb, Wilfred Cantwell Smith,
Montgomery Watts, Gustave von Grunebaum dan lainnya.
Tulisan mereka seringkali dijadikan rujukan oleh orang-orang Islam yang lemah
mental dan tidak punya rasa percaya diri, meski sudah menyandang gelar doktor
sekalipun. Sehingga apa pun yang orientalis katakan, seolah sudah pasti
kebenarannya.
Termasuk rasa rendah diri ketika dituduhkan bahwa hadits Nabi itu palsu semua.
Mereka pun dengan naifnya mengaminkan saja. Sebab di dalam kepala mereka, memang
tidak ada ilmu tentang itu.
Padahal apa yang dikatakan oleh para orientalis itu tidak lebih dari sekedar
tuduhan tanpa dasar.
Dari mana datangnya rasa rendah diri yang hina seperti itu? Jawabnya sangat mudah,
yaitu karena para 'cendekiawan muslim' itu belajar Islam kepada para orientalis
itu. Padahal orientalis justru sangat bodoh terhadap agama Islam. Kebanyakan mereka
tidak paham bahasa Arab, apalagi syariah Islam. Tidak satu pun yang hafal Al-Quran,
apalagi hadits nabawi.
Dan yang pasti, umumnya mereka juga tidak pernah mengakui Islam sebagai agama,
tidak mengakui Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, tidak mengakui Al-Quran sebagai
firman Allah SWT
Bagaimana mungkin orang yang kafir kepada Allah SWT dan calon penghuni neraka itu
dijadikan guru? Betapa lucunya, belajar agama Islam dari orang kafir yang jelas-
jelas punya niat busuk pada Islam. Memang tidak masuk akal dan sangat tidak logis
cara berpikir para 'cendekiawan' itu. Layakkah mereka menyandang gelar sebagai
cendekiawan bila level pemikirannya hanya sebatas itu?
Kebenaran Hadits Nabawi
Seharusnya para cendekiawan itu tidak belajar ke barat. Dan mereka tidak perlu
menelan bulat-bulat sampah pemikiran para orientalis bejat itu. Seharusnya mereka
belajar ke timur tengah, tempat di mana ilmu-ilmu ke-Islaman berpusat, misalnya ke
Al-Azhar Mesir atau ke Universitas Islam terkemuka dunia. Hal itu mengingat bahwa
disana terdapat para dosen yang memang benar-benar punya legalitas, kapasitas dan
otoritas sebagai ulama.
Seandainya mereka belajar kepada ulama, tentu mereka akan tahu betapa canggihnya
sistem periwayatan hadits. Tidak pernah manusia mengenal sistem periwayatan
bersanad sebelumnya. Ilmu hadits menjadi sangat unik dan tidak pernah ditemukan di
peradaban manapun, kecuali di dalam sejarah Islam.
Mereka yang mengingkari keberadaan dan keshahihan hadits-hadits nabawi berarti
memang belum pernah belajar agama Islam dengan benar. Mereka hanya menjadi budak
para yahudi laknatullah, yang jelas-jelas menghina dan menjelekkan agama Islam.
Demi sekedar mendapatkan gelar yang memberhala.
Lalu mengapa mereka pergi ke barat?
Kembali kepada masalah mentalitas kampungan, rasa rendah diri dan inferiority
complex yang melanda para mahasiswa muslim. Ketika ditawarkan beasiswa ke barat
seperti Eropa, Amerika atau Australia, terbayanglah mereka masuk ke sebuah
peradaban modern dan maju.
Dan bagaikan Kabayan masuk kota, sikap mereka pun lantas menjadi norak dan
kampungan. Lantas mereka menjadi rendah diri dan mulai mengagumi serta mengelu-
elukan pemikiran para guru besar yang nota bene bukan muslim.
Ketika pulang ke negerinya dengan berbagai gelar, mulailah mesin pemurtadan
pemikiran berjalan. Kuliah, buku, makalah serta pemikiran mereka, seluruhnya hanya
punya satu tujuan, yaitu menyesatkan dan memurtadkan umat Islam.
Dan karena mereka jadi dosen di berbagai kampus Islam, kerusakan pemikiran pun
menjadi sedemikian rata.
Dan salah satunya adalah pemikiran ingkarus sunnah, yang kemudian ikut berkembang
di banyak kalangan. Korbannya tidak lain umat Islam sendiri, yang lagi-lagi tertipu
dengan pesona kecendekiawanan tokoh tertentu. Mereka ini adalah hamba-hamba Allah
yang perlu diselamatkan dari racun ingkarus sunnah.
Saat ini tidak terhiung orang yang sudah jadi korban. Dan racun ini terus bekerja,
terutama sangat efektif pada korban yang punya rasa rendah diri yang akut dan hina,
serta kosongnya kepala dari ilmu syariah.
D. Kitab-kitab Hadits
Ada begitu banyak kitab yang disusun oleh para ahli hadits yang berisi hadits-
hadits nabawi. Dari sekian banyak itu kita bisa membaginya berdasarkan kategori.
1. Kitab Al-Jawami’
Al-Jawami’ (‫ )الجوامع‬adalah bentuk jama’ dari al-jami’(‫)الجامع‬, artinya kitab yang
menghimpun banyak tema, seperti tema aqidah, fiqih, muamalah, akhlaq, sirah,
syamail, fadhail dan lainnya.
Kitab Shahih Bukhari dari segi tema termasuk kategori al-jawami’ ini, karena isinya
punya banyak tema. Nama resmi kitab itu adalah Al-Jami’ Ash-Shahih Al- Musnadu min
Haditsi Rasulillah SAW dan juga Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Muslim.
a. Shahih Bukhari
Kitab ini sebenarnya bernama Al-Jami’ Ash-Shahih Al- Musnadu min Haditsi Rasulillah
SAW, namun orang lebih mudah menyebutnya sebagai Shahih Bukhari.
Penulisnya adalah Imam Bukhari (194 H – 252 H / 810 M – 870 M), kelahiran Bukhara
di Uzbekistan. Beliau berkelana hampir ke seluruh kota kota besar Wilayah Daulah
Islam untuk mencari hadits. Beliau adalah orang yang mempunyai hafalan yang luar
biasa, beliau hafal sampai ratusan ribu hadits beserta semua rawi-rawinya.
Kitab Shahih Bukhari disusun dalam waktu 16 tahun, terdiri dari 7.000-an hadits
terulang-ulang atau 2.602 hadits kalau tidak diulang-ulang. Setiap menuliskan
hadits dalam kitab shahihnya, beliau melakukan shalat sunnah 2 rakaat. Jumhur ulama
sepakat menilai kitab Shahih Bukhari ini paling tinggi tingkat keshahihan dan
mutunya.
b. Shahih Muslim
Penulisnya adalah Imam Abul Husain Muslim Bin Hajaj Al Qusyairy (204 H-261 H / 820
M-875M). Beliau sesungguhnya masih terhitung murid Al-Bukhari. Sama seperti gurunya
beliau berkelana hampir ke seluruh kota kota besar dalam mencari hadits.
Sesuai dengan namanya, hanya hadits-hadits yang shahih saja yang termaktub dalam
kitab ini, namun tingkat keshahihan dan mutu haditsnya berada dibawah Shahih
Bukhari.
Dari segi sistematika penulisan, kitab Shahih Muslim lebih baik bila dibandingkan
dengan kitab Shahih Bukhari, karena lebih mudah mencari hadits di dalamnya. Kitab
Shahih Muslim berisi sekitar 4.000 hadits yang tidak diulang-ulang.
c. Jami’ At-Tirmidzi
Penulisnya adalah Imam Abu ‘Isa Muhammad Bin Isa Bin Surah (200 H-279 H / 824 M-
892 M), termasuk murid Imam Bukhari. At-Tirmidzi berkata,”Aku tidak memasukkan ke
dalam kitab ini terkecuali hadits yang sekurang-kurangnya telah diamalkan oleh
sebagian fuqaha”.
Beliau menulis hadits dengan menerangkan yang shahih dan yang tercacat serta sebab-
sebabnya sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana yang diamalkan dan mana-mana
yang ditinggalkan. Kitab Sunan Turmudzy isinya jarang yang berulang-ulang.
2. Kitab Al-Masanid
Al-Masanid (‫ )المسانيد‬adalah bentuk jama’ dari musnad (‫)مسند‬. Yang dimaksud dengan
kitab musnad adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan sanad yaitu perawinya.
Dalam hal ini urutannya berdasarkan perawi pertama di level para shahabat. Di
antara contoh kitab musnad adalah
a. Musnad Ar-Rabi’ bin Hubaib
Musnad ini disusun oleh Musnad Ar-Rabi’ bin Hubaib (w. 170 H), terdiri dari 654
hadits.
b. Musnad Abu Daud Ath-Thayalisi
Penulisnya adalah Abu Daud Ath-Thayalisi (w. 204 H), menghimpun 177 shahabat yang
terdiri dari 2.767 hadits.
c. Musnad Al-Humaidi
Musnad ini disusun oleh Al-Humaidi (w. 219 H). Di dalamnya tercakup 180 shahabat
dan terdiri dari 1.300 hadits.
d. Musnad Imam Ahmad
Kitab karya Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) ini berisi hadits-hadits yang disusun
berdasarkan perawi pertamanya, yaitu para shahabat yang mencapai 1.077, 21
diantaranya adalah wanita shahabiyah. Dimulai dari para shahabat yang dijamin masuk
surga, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa’ad bin Abi
Waqqash, Said bin Zaid, Abdurrahman bin Auf, dan seterusnya.
Jumlahnya mencapai 40.000 hadits bila terulang-ulang. Dan bila tidak diulang-ulang,
jumlahnya 27.000-an hadits. Asy-Syaikh Al-Banna kemudian merapikannya sesuai bab
fiqih, dan dinamakan Al-Fathu Ar-Rabbani li Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
Asy-Syabani. Tebalnya mencapai 14 jilid.
e. Musnad Ishaq bin Rahawih
Penyusunnya adalah Musnad Ishaq bin Rahawih (w. 238 H)
3. Kitab As-Sunan
Jenis kitab As-Sunan maksudnya adalah kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan
bab-bab fiqih. Biasaya dimulai dengan bab thaharah, kemudian shalat, puasa atau
zakat, haji dan seterusnya. Contoh kitab sunan adalah Sunan An-Nasa’i, Sunan Abu
Daud dan Sunan Ibnu Majah.
a . Sunan An-Nasa’i
Judul asli kitab Sunan An-Nasa’i ini adalah Al-Mujtaba Minas Sunan, yang berarti
sunan-sunan pilihan. Penulisnya adalah Imam Abu ‘Abdir Rahman Ahmad Bin Syu’aib bin
Bahr (215 H-303 H / 839 M-915 M).
Mulanya kitab sunan ini diserahkan kepada seorang Amir di Ramlah, Amir itu
bertanya,”Apakah isi sunan ini shahih seluruhnya?”. Imam An-Nasa’i menjawab,”Isinya
ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang hampir serupa dengan keduanya”.
Kemudian sang Amir berkata lagi,”Pisahkanlah yang shahih saja”. Sesudah itu An-
Nasa’i pun menyaring kitab itu dan menyalin yang shahih saja dalam sebuah kitab
yang dinamai Al-Mujtaba yang berarti pilihan.
b. Sunan Abu Dawud
Penulisnya adalah Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats Bin Ishaq As-Sijistany
(202 H-275 H / 817 M- 889 M). Beliau mengaku mendengar hadits sampai 500.000 buah,
kemudian beliau seleksi dan ditulis sebanyak 4.800 buah dan beliau berkata,”Saya
tidak meletakkan sebuah hadits yang telah disepakati oleh orang banyak untuk
ditinggalkan. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya dengan shahih, semi
shahih, mendekati shahih, dan jika dalam kitab saya tersebut terdapat hadits yang
sangat lemah, maka saya jelaskan.
Adapun yang tidak saya beri penjelasan sedikitpun, maka hadits tersebut bernilai
shahih dan sebagian dari hadits yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang
lain.”
c. Sunan Ibnu Majah
Penulisnya adalah Imam Abdu Abdillah Bin Yazid Ibnu Majah (207 H- 273H / 824 M- 887
M), berasal dari kota Qazwin di Iran. Dalam kitab sunan Ibnu Majah ini terdapat
beberapa hadits dhaif, gharib dan ada yang munkar.
Oleh karena itu Al-Muzy menilai bahwa kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik lebih
tinggi mutunya dari Sunan Ibnu Majah. Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat bahwa kitab
induk yang ke enam adalah bukan Sunan Ibnu Majah melainkan Sunan Ad-Darimi. Ahmad
Muhammad Syakir berpendapat Al-Muntaqa karya Ibnu Jarud lebih pantas menjadi yang
keenam.
4. Kitab Mushannafat
Kitab mushannafat adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab juga, namun
di dalamnya terkandung hadits yang mauquf dan maqthu’, termasuk juga hadits marfu’.
Contohnya adalah Mushannaf Abdurraqaz bin Humam Ash-Shan’ani (w. 211 H) dan
Mushannaf Abu Bakar bin Abi Syaibah (w. 235 H) dan
5. Kitab Al-Mustadrakat
Kitab mustadrakat maksudnya adalah kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits yang
memenuhi syarat salah satu mushannif (ahli hadits) namun hadits itu sendiri tidak
dituliskannya.
Contohnya adalah Mustadrak Al-Hakim yang berisi hadits-hadits shahih sesuai dengan
syarat dan kriteria Al-Bukhari, namun hadits itu tidak terdapat pada Shahih Bukhari
yang asli.
E. Hadits Shahih Masih Butuh Istimbath Hukum
Banyak orang mengira bahwa apabila suatu hadits sudah dipastikan keshahihannnya,
maka langsung bisa ditarik kesimpulan hukumnya sesuai dengan zahir teks yang
dipahami pertama kali.
Dan tidak sedikit orang yang keliru memahami para ulama mazhab yang berkata bahwa
apabila suatu hadits itu shahih maka itu menjadi mazhabku.
Seolah-olah tidak dibutuhkan lagi ijtihad dan istimbath hukum, karena sudah ada dua
kitab shahih, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Seolah-olah kedua kitab shahih itu sudah menyelesaikan semua masalah dan tidak
dibutuhkan lagi kajian yang mendalam tentang hukum-hukum syariah.
Padahal masalahnya tidak sesederhana itu. Masih ada banyak hal yang harus
dipastikan terlebih dahulu, antara lain misalnya :
1. Tidak Ada Ta'arudh
Ta'arudh artinya bertentangan, maksudnya isi suatu hadits kadang bertentangan tegak
lurus dengan isi hadits lainnya, padahal sama-sama shahihnya. Hal ini bukan tidak
mungkin, bahkan justru seringkali terjadi.
Dan ternyata ta'arudh bainal adillah (pertentangan antara dalil) bukan hanya
terjadi dengan sesama hadits, bahkan ayat Al-Quran yang satu dengan yang lain
seringkali terasa bertentangan isinya.
Kalau kita perhatikan, ada beberapa ayat Al-Quran yang secara zahir saling
bertentangan. Misalnya ayat berikut ini yang berbicara tentang hukum menjual khamar
sebagai rezeki yang baik.
‫نه َسك ًَرا َو ِرزقًا َح َسنًا‬ ُ ‫ُون ِم‬ ِ َ ‫يل َواَألعن‬
َ ‫اب تَتّ َِخذ‬ ِ ‫ات الن ّ َِخ‬
ِ ‫َو ِمن ث ََم َر‬
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang
baik. (QS. An-Nahl : 67)
Sementara di ayat lain Allah SWT tegas mengharamkan khamar dan dikatakan perbuatan
setan.
‫ون‬
َ ‫ح‬ ُ ِ‫وه ل ََعلَّك ُم تُفل‬
ُ ُ‫ان فَاجتَ ِنب‬
ِ ‫يط‬
َ ‫الش‬ َ ‫جس ِ ّمن‬
َ ّ ‫ع َم ِل‬ ٌ ‫نصاب َواَألزال َ ُم ِر‬َ ‫يس ُر َواَأل‬
ِ ‫الم‬
َ ‫مر َو‬
ُ ‫الخ‬
َ ‫آمنُوا ِإ ن ّ ََما‬ َ ‫يَا َأي ُّ َها ال ّ َ ِذ‬
َ ‫ين‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi
nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al-Maidah : 90)
Oleh karena itu dibutuhkan proses panjang untuk menarik kesimpulan hukum, tidak
cukup hanya baca satu hadits lantas kita bilang bahwa hukum suatu masalah adalah
begitu dan begitu, semata-mata berdasarkan satu hadits saja.
2. Tidak Mansukh
Kalau pada ayat-ayat Al-Quran yang kebenaran riwayatnya sudah qath'i, kita masih
mengenal istilah nasakh dan mansukh, sehingga ada ayat-ayat tertentu yang
disepakati oleh para ulama sudah tidak lagi berlaku hukum-hukumnya, maka hal yang
sama juga berlaku pada hadits-hadits nabawi.
Maka tidak mentang-mentang sebuah hadits itu shahih, lantas kita dengan seenaknya
main pakai hadits itu untuk dijadikan dalil syariah.
Seorang ahli syariah dan mujtahid harus meneliti terlebih dahulu dengan seksama,
adakah hadits yang shahih itu masih berlaku, ataukah sudah dihapus dengan datangnya
hadits shahih yang lain.
Ada beberapa contoh kasus dimana hukum yang terdapat dalam hadits yang shahih
kemudian dihapus dengan dalil yang lain yang datang kemudian. Di antara contohnya
adalah dihapusnya hadits yang membolehkan nikah mut’ah, kewajiban mandi sehabis
memandikan mayat dan perintah membunuh peminum khamar yang sudah tiga kali
dicambuk.
a. Dihapuskannya Hadits Nikah Mut'ah
Di hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim ada hadits
shahih membolehkan nikah mut’ah.
ِ
‫الله‬ ِ ‫الله كُن َّا نَغ ُزو َم َع َر ُس‬
‫ول‬ ِ ‫بد‬
ُ ‫ع‬ َ ‫َال‬ َ ‫ ق‬ ‫عن َذلِ َك ث ُّمَ َر ّخ ََص لَنَا َأن نَن ِك َح المـَرَأ َة‬ َ ‫خصي ؟ َفن َ َهانَا‬ ِ َ‫َأال َ نَست‬:‫َيس ل َنا َ َشيءٌ َفقُلنَا‬
َ ‫َول‬
‫وب‬ ِ َّ‫بِالث‬
Abdullah berkata,"Kami perang bersama Rasulullah SAW dan kami tidak mengajak istri,
kami berkata,"Apakah sebaiknya kita mengebiri?". Rasulullah SAW melarang kami
melakukannya namun beliau mengizinkan kami untuk menikahi wanita dengan selembar
pakaian (HR. Bukhari Muslim)
Namun hadits di atas dihapus dan dinyatakan tidak lagi berlaku dengan hadits
berikut ini :
ِ
‫الله‬ ‫ول‬َ ‫ َأ َّن َر ُس‬ ‫تع ِة النِّ َسا ِء يَو َم َخيبَر‬ َ ‫عن ُم‬ َ ‫ن َ َهى‬
Bahwa Rasulullah SAW mengharamkan menikahi wanita secara mut'ah pada saat Perang
Khaibar
Hadis yang terakhir disebut adalah hadis yang disebut sebagai nasikh atau
penghapus, sementara hadis yang pertama disebut mansukh atau yang dihapus. Hadis
yang terakhir secara historis datang lebih akhir dibanding hadis yang sebelumnya.
b. Kewajiban Mandi Sehabis Memandikan Jenazah
Contoh lainnya adalah hadis tentang kewajiban mandi bagi seseorang yang
mengantarkan dan membawa jenazah.
‫َمن غ ََّس َل َميِّتًا فَليَغتَ ِسل‬
Siapa yang memandikan jenazah maka dia wajib mandi (janabah). (HR. Ibnu Majah)
Sementara hadis yang menaskhnya adalah hadis:
‫غسل ُوا َأي ِديك ُم‬ ِ َ‫َحسبُك ُم َأن ت‬ َ ‫َيس ِبنَجِ ٍس ف‬ َ ‫وه َفِإ ّ َن َم ِيّتَك ُم ل‬
ُ ‫ُسل ِإ ذَا غ ََسلتُ ُم‬ ٌ ‫َسل َم ِي ّ ِتك ُم غ‬ِ ‫في غ‬ ِ ‫عل َيك ُم‬ َ ‫َيس‬ َ ‫ل‬
Tidak ada keharusan atas kalian untuk mandi karena memandikan jenazah. Apabila
kalian memandikan jenazah, jenazah itu tidak najis, maka cukuplah kalian mencuci
tangan kalian saja.
c. Membunuh Peminum Khamar
Contoh lain adalah perintah membunuh peminum khamar yang meminum khamar untuk
keempat kalinya. Hadis itu berbunyi:
ُ ‫الراب َِع ِة فا َقتُل‬
‫ُوه‬ َّ ‫في‬ِ ‫اد‬ َ ‫ع‬
َ ‫وه َفِإن‬ ُ ‫مر فا َجلِ ُد‬ َ ‫الخ‬
َ ‫ب‬ َ ‫َمن َش ِر‬
Orang yang minum khamar maka cambuklah, kalau masih minum juga untuk yang keempat
kalinya, maka bunuhlah dia.
Kemudian ada hadis lain yang menurut sejumlah ulama dinilai sebagai penghapus
(nasikh), yakni hadis:
‫ِي‬ ُّ ‫ ثُمَّ ُأ ِت َي النَّب‬ ‫له‬ ُ ُ‫الراب َِع ِة ف ََض َربَ ُه َول َم يَقت‬ َّ ‫مر ِفي‬ َ ‫الخ‬َ ‫ب‬َ ‫عد َذلِ َك ب َِر ُج ٍل قَد َش ِر‬ َ َ‫ب‬
Kemudian didatangkan kepada Nabi SAW orang yang minum khamar untuk yang
keempatkalinya, maka beliau mencambuknya dan tidak membunuhnya.
d. Haramnya Ziarah Kubur
Berziarah ke kubur pada masa awal termasuk perbuatan yang haram dan terlarang,
namun kemudian dihalalkan dan malah dianjurkan.
‫جرا‬ ِ
ً ‫اآلخ َر َة َوال َ تَقُول ُوا َه‬ ‫ين َوتُ َذ ِك ّ ُر‬َ ‫الع‬
َ ‫دم ُع‬ َ َ‫لب َوت‬ َ َ‫وها َفِإن ّ َها َ تَ ِر ُّق الق‬ ُ ‫ور َأال َ َف ُز‬
َ ‫ور‬ ِ ُ‫ار ِة القُب‬
َ َ ‫عن ِزي‬ َ ‫ُنت ن َ َهيتُك ُم‬
ُ ‫ك‬
Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah,
hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air
mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan
perkataan yang tidak layak ketika berziarah” (HR. Al-Hakim)
e. Makanan Langsung Dibakar Api Membatalkan Wudhu'
Memakan makanan yang langsung dibakar dengan api di masa lalu termasuk perkara yang
membatalkan wudhu'. Namun kemudian hukumnya dicabut dan tidak lagi berlaku,
sehingga meski memakannya, tidak perlu memperbaharui wudhu'.
ِ ‫َأل‬ ‫ ك َ َأ‬: ‫الله‬
‫الله‬ ِ ‫ين ِمن َر ُس‬
‫ول‬ َ ‫َان ِخ َر ا‬
ِ ‫مر‬ ِ ‫عب ِد‬ ِ ‫عن جاَب ِِر‬
َ ‫بن‬ ِ ‫الو ُضو ِء ِم ّ َما َم ّ َس‬
َ  ‫ت الن ّ َُار‬ ُ ‫تَر ُك‬
Dari Jabir bin Abdullah bahwa di antara dua perkara terakhir dari Rasululllah SAW
adalah meninggalkan wudhu oleh sebab memakan makanan yang langsung dibakar api.
3. Tidak Ada Khilaf dalam Keshahihannya
Banyak orang salah mengerti bahwa bila ada satu pihak mengatakan bahwa suatu hadits
itu shahih, lantas seolah-olah keshahihan hadits itu mutlak. Dan demikian juga
sebaliknya, tidak mentang-mentang ada satu klaim bahwa sebuah hadits itu dhaif,
maka sudah pasti mutlak kedhaifannya.
Sebenarnya tidak demikian duduk masalahnya. Penting untuk kita ketahui bahwa
membuat hukum keshahihan atau kedhaifan suatu hadits itu sifatnya sangat ijtihadi,
dan kembali kepada hasil ra'yu penilaian orang per-orang secara subjektif.
Kita sangat sering mendapatkan sebuah hadits dishahihkan oleh seorang ahli hadits,
tetapi menurut ahli hadits yang lain, justru hadits itu dianggap dhaif. Dan
kebalikannya juga berlaku sama.
Malah Al-Albani yang sering diklaim orang sebagai ahli hadits abad ini, justru
sangat parah. Dia seringkali menyebutkan sebuah hadits itu dhaif sambil menuduh
orang yang berhujjah dengan hadits tersebut sebagai pelaku bid'ah dan sesat, namun
justru di kitabnya sendiri dia menulis bahwa hadits itu shahih.
Kalau perbedaan penilaian atas keshahihan suatu hadits itu datang dari dua orang
atau dua kubu yang berbeda, rasanya masih masuk akal, tetapi aneh dengan Al-Albani
ini, dia yang bilang dhaif tetapi dia sendiri juga bilang shahih. Dan sayangnya,
kasus seperti ini bukan kasus keliru satu dua, melainkan melibat beratur bahkan
beribu hadits.
Walhasil, setidaknya dari situ kita tahu bahwa tidak mentang-mentang ada fatwa
bahwa suatu hadits itu shahih, lantas kita langsung menelan bulat-bulat, bahkan
dijadikan dalil. Kita perlu melakukan penelitian secara lebih jauh, apakah vonis
shahih itu masih merupakan pendapat orang per-orang atau sudah seluruh ulama
menyepakatinya?
F. Ilmu Kritik Hadits
Istilah Ilmu Kritik Hadits merupakan terjemahan bebas dari istilah aslinya dari
bahasa Arab, yaitu naqd al-hadits (‫)نقد الحديث‬.
Namun istilah ‘kritik’ disini maksudnya bukan kita melakukan kritik dalam arti
menentang perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan kritik
adalah upaya untuk meneliti hadits baik dari sisi kekuatan periwayatannya ataupun
dari sisi bagaimana cara memahaminya.
1. Kritik Sanad
Berbeda dengan Al-Quran Al-Kariem yang mendapatkan jaminan terpelihara dari
penyusupan dan pemalsuan, hadits nabawi tidak punya jaminan keshahihan dari langit.
Artinya, sunnah Nabi bisa saja dipalsukan atau mengalami penyusupan dan
penyimpangan periwayatannya.
a. Larangan Menuliskan Hadits
Di masa kenabian ada larangan untuk menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan
tercampur dengan ayat-ayat Al-Quran yang juga sedang mengalami masa nuzulnya.
Sehingga sejak awal memang tidak ada catatan hadits yang langsung kita terima dari
era kenabian dan para shahabat. Sedangkan Al-Quran, keadaannya berbeda, yaitu sejak
turun sudah ditulis oleh para penulis wahyu atas perintah Nabi SAW.
b. Jumlah Hadits Amat Banyak
Dibandingkan dengan jumlah ayat Al-Quran yang hanya 6200-an ayat, jumlah hadits
sangat banyak sekali, mencapai jutaan bahkan mungkin malah tidak terhingga. Karena
hadits adalah segala informasi yang dikaitkan dengan perbuatan, perkataan Nabi SAW,
termasuk sikap diam beliau yang disebut dengan taqrir.
c. Sulitnya Menguasai Semua Hadits
Meski awalnya di masa shahabat belum ada pemalsuan hadits secara sengaja, namun
terkadang ada para shahabat yang belum pernah mendengar suatu hadits dari
Rasulullah SAW. Untuk itulah para shahabat saling meriwayatkan di antara sesama
mereka. Dan kadang ketika meriwayatkan, dibutuhkan kesaksian yang bukan hanya dari
satu orang untuk menguatkan dasar suatu hukum.
Salah contoh adalah ketika Abu Bakar diminta memberi fatwa tentang nenek perempuan
yang mendapat bagian waris 1/6. Kasus ini terbilang jarang terjadi dan saat itu
beliau tidak punya informasi yang beliau pahami dari fatwa Rasulullah SAW. Namun
beliau kemudian diberitahu oleh Mughirah bahwa Rasulullah SAW pernah mengatakan
demikian.
Maka untuk memastikan, Abu Bakar merasa perlu bertanya siapa lagi yang pernah
mendengar Nabi SAW berkata demikian. Dan Ibnu Salamah mengatakan bahwa dia pernah
mendengar hal itu dari Rasulullah SAW.
d. Adanya Pemalsuan Hadits
Namun di tahun 40-an hijriyah, ketika agama Islam melebarkan sayap dan mulai
dipeluk oleh banyak orang, kualias keislaman mereka tidak sebanding.
Ada yang masuk Islam secara penuh kesadaran, tetapi tidak tertutup kemungkinan
masuknya orang-orang yang berniat tidak baik ke dalam agama Islam. Atau orang-orang
yang perilakunya kurang terpuji. Maka mulailah muncul hadits-hadits palsu yang
dibuat berdasarkan kepentingan tertentu.
Maka kemudian para ulama mulai membuat banyak syarat dan ketentuan agar jangan
sampai hadits-hadits Nabi terkontaminasi dengan berbagai kepalsuan.
Sejak abad kedua sampai keenam Hijriah tercatat usaha para ulama yang berusaha
untuk merumuskan kaidah keshahihan hadis, sampai kemudian para ulama menetapkan
persyaratan hadis shahih, yaitu sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi),
diriwayatkan oleh para periwayat yang bersifat tsiqah (adil dan dhabit) sampai
akhir sanad, dan dalam (sanad) hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syuzuz) dan
cacat (‘illat).
Para ulama hadits menetapkan beberapa syarat untuk menyeleksi antara hadis-hadis
yang shahih, di antaranya :
1. Ketersambungan Sanad
Ketersambungan sanad (‫ )اتصال السند‬maksudnya adalah bahwa artinya setiap perawi benar-
benar meriwayatkan hadits tersebut langsung dari orang perawi atau guru diatasnya.
Begitu seterusnya hingga akhir sanad.
Kadang ada perawi yang dari angka tahun hidupnya sudah tidak mungkin bertemu dengan
orang diklaim telah menyampaikan suatu hadits kepadanya. Maka segala kejanggalan
ini diteliti dengan lebih seksama, demi untuk mendapatkan kepastian apakah sanad
suatu hadits benar-benar tersambung hingga Rasulullah SAW atau tidak.
2. Al-Adalah Bagi Perawi
Selain masalah ketersambungan sanad, yang ikut menentukan keshahihan suatu hadits
juga kualitas perawi.
Kualitas perawi biasanya ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek prilaku dan juga
aspek kemampuan dalam menjaga hadits.
Kalau kita bicara tentang kualitas sifat-sifat yang ada diri seorang perawi, maka
yang kita telusuri seputar perilaku dan akhlaq, atau biasa disebut dengan istilah
al-’adalah ( ‫)عدالة الرواة‬
Artinya setiap perawi harus seorang muslim yang sudah baligh dan berakal sehat yang
tidak memiliki sifat fasiq serta terjaga wibawanya. Perbuatan fasik adalah
perbuatan yang munkar dan tidak dibenarkan dalam syariat Islam.
3. Ad-Dhabtu bagi Perawi
Selain kualitas moral dan akhlaq, yang menjadi pertimbangan utama kedua adalah
kualitas perawi hadits untuk menjaga keutuhan hadits, baik dari segi matan maupun
dari segi silsilah periwayatan.
Biasanya kualitas perawi dalam hal seperti ini terkait dengan kekuatan hafalan atau
catatan yang dimilikinya.
Dalam ilmu hadits masalah kemampuan untuk memelihara dan menjaga keutuhan hadits
disebut dengan dhabth ar-rawi (‫) ضبط الرواة‬.
4. Tidak Ada Syadz
Syarat yang harus terpenuhi dalam hadits yang diriwayatkan haruslah hadits itu
bebas dari cacat atau syadz (‫)عدم الشذوذ‬. Artinya hadits tersebut tidak berpredikat
syadz yaitu hadits yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang
yang lebih tsiqah (terpercaya).
5. Tidak Ada ‘Illat
Hadits tersebut bukan hadits yang terkena illat (‫)عدم العلة‬, yaitu sifat samar yang
mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaanya, kendati secara lahiriyah
hadits tersebut terbebas dari illat.
Beberapa persyaratan di atas cukup menjamin ketelitian dan penukilan serta
penerimaan suatu berita tentang Nabi. Bahkan kita dapat menyatakan bahwa dalam
sejarah peradaban manusia tidak pernah dijumpai contoh ketelitian dan kehati-hatian
yang menyamai apa yang telah dipersyaratkan dalam kaidah keshahihan hadits.
Namun yang lebih penting lagi adalah kemampuan yang cukup untuk mempraktikan
persyaratan-persyaratan tersebut.
Seiring dengan itu, perhatian para ulama dalam menyeleksi hadis banyak terporsir
untuk meneliti orang-orang yang meriwayatkan hadis.

Bab 4 : Pembagian Hadits
Dr. Mahmud Ath-Tahhan, guru besar ilmu hadits di Universitas Kuwait dalam kitabnya
yang masyhur, Taysir Mushthalah Hadits, membagi hadits menjadi empat kelompok
sesuai dengan kriteria :
Pertama Berdasarkan jumlah perawi
Kedua Berdasarkan berdasarkan kekuatan periwayatannya.
Ketiga Berdasarkan pembagian hadits berdasarkan ditolaknya hadits akibat
lemahnya periwayatan.
Keempat Berdasarkan perbedaan pandangan ulama dalam menerima dan menolaknya.
A. Berdasarkan Jumlah Perawi
Berdasarkan jumlah perawinya, kita bisa membagi hadits menjadi dua bagian. Yang
pertama adalah hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang
yang banyak. Yang kedua adalah hadits Ahad, yang diriwayatkan oleh orang yang
banyak, tapi tidak sampai sejumlah hadits mutawatir.
Jadi hadits ahad itu bukanlah hadits palsu atau hadits bohong, namun hadits yang
shahih pun bisa termasuk hadits ahad juga, yang tidak sampai derajat mutawatir.
Hadits ahad tidak ditempatkan secara berlawanan dengan hadits shahih, melainkan
ditempatkan berlawanan dengan hadits mutawatir.
Lalu apa yang dimaksud dengan hadits mutawatir dan hadits ahad? Untuk lebih
detailnya, silahkan baca rincian berikut ini.
1. Hadits Mutawatir
Definisi:
Hadits Mutawatir adalah hadits hasil tanggapan dari pancaindera yang diriwayatkan
oleh oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan, mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat berdusta.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Untuk bisa dikatakan sebagai hadits mutawatir, ada beberapa syarat minimal yang
harus terpenuhi.
 Pemberitaan yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan
pancainderanya sendiri
 Jumlah perawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan
mereka bersepakat dusta. Sebagian ulama menetapkan 20 orang berdasarkan firman
Allah dalam QS. Al-Anfal: 65.
‫ون يَ ْغلِبُوا ِماَئتَي ْ ِن‬ َ ‫ِإ ْن يَك ُْن ِمنْك ُْم ِع ْش ُر‬
َ ‫ون َصاب ُِر‬
Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. (QS. Al-Anfal : 65)
 Sebagian yang lain menetapkan sejumlah 40 orang berdasarkan QS. Al-Anfal: 64.
 Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama
dengan jumlah perawi dalam lapisan berikutnya.
Karena syaratnya yang sedemikian ketat, maka kemungkinan adanya hadits
mutawatirsedikit sekali dibandingkan dengan hadits-hadits ahad.
Klasifikasi Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir itu sendiri masih terbagi lagi menjadi dua jenis, yaitu mutawatir
lafdhy dan mutawatir ma’nawy. Hadits mutawatir lafzhy adalah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak orang yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar
antara riwayat yang satu dengan yang lainnya. Atau boleh disebut juga dengan hadits
yang mutawatir lafadznya.
Hadits mutawatir ma’nawy adalah hadits mutawatir yang perawinya berlainan dalam
menyusun redaksi hadits, tetapi terdapat persamaan dalam maknanya. Atau menurut
definisi lain adalah kutipan sekian banyak orang yang menurut adat kebiasaan
mustahil bersepakat dusta atas kejadian-kejadian yang berbeda-beda tetapi bertemu
pada titik persamaan.
Manfaat Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir memberi manfaat ilmudh-dharury yakni keharusan untuk menerimanya
bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir sehingga membawa kepada
keyakinan yang qath’i (pasti).
2. Hadits Ahad
Definisi:
Semua hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Dengan demikian, sudah bisa
dipastikan bahwa jumlah hadits ahad itu pasti lebih banyak dibandingkan dengan
hadits mutawatir.
Bahkan boleh dibilang bahwa nyaris semua hadits yang kita miliki dalam ribuan
kitab, derajatnya hanyalah ahad saja, sebab yang mutawatir itu sangat sedikit,
bahkan lebih sedikit dari ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem.
Klasifikasi Hadits Ahad
Kalau kita berbicara hadits ahad, sebenarnya kita sedang membicarakan sebagian
besar hadits. Sehingga kita masih leluasa untuk mengklasifikasikannya lagi menjadi
beberapa kelompok hadits ahad.
 Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih serta
belum mencapai derajat mutawatir. Hadits masyhur sendiri masih terbagi lagi menjadi
tiga macam, yaitu masyhur di kalangan para muhadditsin dan golongannya; masyhur di
kalangan ahli-ahli ilmu tertentu dan masyhur dikalangan orang umum.
 Hadits Aziz
Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun dua orang rawi
tersebut terdapar pada satu lapisan saja, kemudian setelah itu orang-orang lain
meriwayatkannya.
 Hadits Gharib
Hadits gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang (rawi) yang
menyendiri dalam meriwayatkan di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi
3. Ketentuan Umum Hadits Ahad
Pembagian hadits ahad menjadi masyhur, aziz dan gharib tidaklah bertentangan dengan
pembagian hadits ahad kepada shahih, hasan dan dhaif. Sebab membaginya dalam tiga
macam tersebut bukan bertujuan untuk menentukan makbul dan mardud-nya suatu hadits
tetapi untuk mengetahui banyak atau sedikitnya sanad.
Sedangkan membagi hadits Ahad menjadi Shahih, Hasan dan Dhaif adalah untuk
menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu hadits. Maka hadits Masyhur dan
Aziz, masing-masing ada yang shahih, hasan dan dhaif dan tidak semua hadits gharib
itu dhaif walaupun hanya sedikit sekali.
Menurut Imam Malik, sejelek-jeleknya ilmu Hadits adalah yang gharib dan yang
sebaik-baiknya adalah yang jelas serta diperkenalkan oleh banyak orang.
B. Berdasarkan Kualitas Periwayatan
Pembagian hadits yang kedua adalah berdasarkan kualitas periwayatan. Berbeda dengan
di atas, hadits pada bagian ini dibedakan bukan berdasarkan jumlah perawi,
melainkan berdasarkan kualitas perawi. Dan ada dua macam hadits berdasarkan
kualitas perawi, yaitu hadits shahih dan hadits hasan.
1. Shahih
Hadits shahih adalah hadits yang perawinya adil (‫)عدل‬, hafalannya kuat (‫)تام الضبط‬,
sanadnya bersambung (‫)بسند متصل‬, serta terbebas dari kejanggalan dan kecacatan (‫سلم من‬
‫)الشذوذ و العلة القادحة‬.
Contohnya sabda Nabi SAW :
‫ين‬
ِ ‫الد‬
ِّ ‫في‬
ِ ‫هه‬ ً ‫َمن ي ُ ِر ِد الل ُّه ب ِِه َخ‬
ُ ِّ‫يرا يُفَق‬
Siapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Bila kita dalami ternyata hadits shahih ini ada dua macam jenisnya, yaitu :
 Shahih li Dzatihi
Hadits yang statusnya shahih lidzatihi (‫ )الصحيح لذاته‬berarti hadits itu berstatus
shahih dengan sendirinya, bukan karena adanya faktor eksternal yang mempengaruhinya
menjadi shahih.
 Shahih li Ghairihi
Hadits yang statusnya shahih li gharihi (‫ )الصحيح لغيره‬asalnya bukan hadits shahih,
namun karena adanya hadits lain yang menjadi penguat, akhirnya statusnya naik dari
hasan menjadi shahih li ghairihi. Hal itu karena apabila memiliki beberapa jalur
periwayatan yang berbeda-beda. Misalnya hadits berikut ini :
‫لوال أن أشق على أمتي ألمرتهم بالسواك عند كل صالة‬
Seandainya Aku tidak memberatkan umatku, niscaya Aku wajibkan mereka menggosok gigi
pada tiap shalat. (HR. At-Tirmizy)
Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu‘anhu bahwa Nabi SAW memerintahkannya
untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta. Maka Nabi SAW bersabda,
“Belikan untuk kita unta perang dengan unta-unta yang masih muda.” Maka ia
mengambil 2-3 unta muda dan mendapat 1 unta perang.
Hadits ini punya beberapa jalur periwayatan. Ada yang diriwayatkan oleh Ahmad dari
jalan Muhammad bin Ishaq dan yang lewat jalur Baihaqi dari jalan ‘Amr bin Syu’aib.
Setiap jalan ini jika dilihat secara bersendirian tidak bisa sampai derajat shahih,
hanya sampai hasan. Tapi jika dilihat secara total, maka jadilah hadits shahih
lighairi.
Hadits ini dinamakan shahih lighairi, walaupun nilai masing-masing jalan secara
bersendirian tidak sampai derajat shahih, namun karena bila dinilai secara total
bisa saling menguatkan hingga mencapai derajat shahih.
2. Hasan
Di bawah derajat shahih kita mengenal adanya hadits hasan. Definisinya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tapi hafalannya kurang sempurna
dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan.
Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shahih, kecuali dalam
satu persyaratan, yaitu hadits hasan itu kalah dalam sisi hafalan. Contohnya adalah
hadits Nabi SAW :
ُ ِ‫ِير َو تَحلِيل َُها التّ َسل‬
‫يم‬ ُ ‫يم َها التَّكب‬
ُ ‫حر‬
ِ َ‫ور َو ت‬ َ ّ ‫الصال َ ِة‬
ُ ‫الط ُه‬ ُ َ‫ِمفت‬
َّ ‫اح‬
Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”
Hadits-hadits yang dimungkinkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan Abu
Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Shalah.
Dalam prakteknya, ternyata hadits hasan ini pun bisa terdiri dari dua jenis,
yaitu :
 Hasan lidzatihi
Hasan yang statusnya hasan lidzatihi (‫ )الحسن لذاته‬maksudnya hadits yang statusnya
hasan dengan sendirinya.
 Hasan li Ghairi
Hadits yang statusnya hasan li Ghairihi (‫)الحسن لغيره‬, yaitu hadits yang dha’ifnya
ringan dan memiliki beberapa jalan yang bisa saling menguatkan satu dengan yang
lainnya karena menimbang di dalamnya tidak ada pendusta atau perawi yang pernah
tertuduh membuat hadits palsu. Contohnya adalah hadits tentang seorang wanita yang
rela dinikahi dengan mahar berupa sepasang sendal. Nabi SAW menanyakan kepada
wanita itu :
‫ فأجاز‬:‫ قال‬،‫ نعم‬:‫أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ " قالت‬
Apakah kamu rela dinikahkan atas diri dan hartamu dengan sepasang sendal?. Wanita
itu menjawab,”Ya”. Maka Beliau SAW membolehkan. (HR. Tirmizy)
Contoh lainyanya adalah hadits dari Umar ibn Khatthab radhiyallahuanhu berkata :
Nabi SAW jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya
hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi)
Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram berkata bahwa hadits ini memiliki banyak hadits
penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadits-hadits tersebut
menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai hadits hasan.
Dan dinamakan hasan li ghairihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya
secara bersendirian, maka hadits tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila
dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut menjadi kuat hingga
mencapai derajat hasan.
C. Berdasarkan Tertolaknya Periwayatan
Pembagian hadits yang ketiga adalah berdasarkan sifatnya yang tertolak. Ada begitu
banyak hadits yang tertolak, namun semua bisa disebut dengan satu istilah, yaitu
hadits lemah atau dhaif.
Pengertian hadits dhaif adalah :
‫وط ِه‬ ِ ‫رط ِمن ُش ُر‬
ٍ ‫الح َس ِن ِبفَق ِد َش‬ َ ‫جمع ِصفَ ُة‬ َ َ ‫َمال َم ي‬
Hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hasan, lantaran kehilangan satu dari
sekian syarat-syaratnya.
Contoh hadits yang dhaif adalah :
‫ح ّ َم ٍد‬َ ‫لى ُم‬
َ ‫ع‬ ِ ‫امرَأ ًة‬
َ ‫في ُدبُ ِر َها َفقَد كَفَ َر ب َِما ن َ َز َل‬ َ ‫َمن َأتَى َحاِئ ًضا َأ ِو‬
Siapa yang menyetubuhi wanita yang sedang haidh atau istri pada duburnya, maka dia
telah kufur pada agama yang turun kepada Nabi Muhammad.
Al-Imam At-Tirmizy mengatakan hadits ini dhaif, karena di dalam rangkaian para
perawinya ada orang yang bernama Hakim Al-Atsram, yang statusnya dhaif.
1. Hukum Menggunakan Hadits Dhaif
Para ulama ahli hadits berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dhaif.
Pendapat pertama mengharamkannya, karena dianggap tidak bersumber dari Rasulullah
SAW secara benar. Di antara yang berpandangan demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari.
Pendapat yang kedua membolehkan diriwayatkannya hadits dhaif ini, dengan syarat-
syarat tertentu yang ketat. Di antara syaratnya adalah bahwa konten hadits itu
tidak terkait dengan masalah fundamental aqidah dan hukum halal haram dalam
syariat. Sedangkan bila kontennya seputar anjuran untuk memberi nasehat, semangat
untuk ibadah atau ancaman meninggalkan yang haram, serta kisah-kisah, maka hukumnya
dibolehkan.
Di antara mereka yang diriwayatkan berpendapat demikian adalah Sufyan Ats-Tsauri,
Abdurrahman bin Mahdi dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Sedangkan hukum mengamalkan konten hadits yang dhaif, sebagian ulama membolehkan,
namun dengan syarat-syarat tertentu. Al-Hafizdh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan
bahwa di antara syarat-syarat itu adalah :
 Kedhaifan hadits itu tidak terlalu parah.
 Hadits itu berpegangan di atas dasar yang banyak dipakai orang.
 Ketika mengamalkan hadits itu tidak meyakini bahwa hadits itu tsubut, tetapi
sekedar berjaga-jaga seandainya hadits shahih.
2. Penyebab Dhaifnya Suatu Hadits
Ada dua kemungkinan kelemahan sebuah hadits. Pertama, lemah dari sisi isnad, yaitu
jalur periwayatan. Kedua, kelemahan dari sisi diri perawi, yaitu orang-orang yang
meriwayatkan hadits itu.
a. Lemah Dari Sisi Isnad
Yang dimaksud dengan hadits lemah dari sisi isnad adalah kelemahan dalam jalur
periwayatan hadits itu dari Rasulullah SAW kepada perawi yang terakhir. Maksudnya,
ada satu, dua atau lebih perawi yang tidak lengkap dalam sebuah jalur periwayatan,
dengan berbagai sebab.
Yang jelas, jalur itu menjadi ompong karena terjadi kekosongan satu atau beberapa
perawi di dalamnya. Dan akibatnya, sanadnya menjadi tidak tersambung dengan benar.
Dan para ulama membagi lagi kelemahan jalur periwayatan itu menjadi beberapa jenis,
antara lain : hadits muallaq (‫)معل ّق‬, mursal (‫)مرسل‬, mu'dhal (‫)معضل‬, munqathi' (‫)منقطع‬,
mudallas (‫)مدل ّس‬, mursal khafi (‫)مرسل خافي‬, mu'an-'an (‫ )معنعن‬dan muannan (‫)معنّن‬
b. Lemah Dari Sisi Perawi
Sedangkan kelemahan dari sisi perawi berbeda dengan kelemahan isnad. Kelemahan ini
bukan karena tidak adanya perawi atau terputusnya jalur periwayatan, tetapi karena
rendahnya kualitas perawi itu sendiri sehingga hadits itu jadi tertolak hukumnya.
Maka hasilnya sebenarnya sama saja, baik lemah dari sisi jalur atau pun lemah dari
sisi personal para perawinya.
Para ulama menyusun daftar hadits yang tertolak karena faktor lemahnya kualitas
perawi, di antaranya adalah : hadits maudhu, matruk, munkar, ma'ruf, mu'allal,
mukhalif li-tsiqah, mudraj, mudhtharib, mushahhaf, syadz, jahalah, mubtadi, su'ul
hifdz
D. Hadits Yang Lemah Dari Sisi Periwayatan
Berikut penjelasan singkat tentang jenis hadits dhaif yang disebabkan karena faktor
kelemahan periwayatan :
1. Hadits Mu'allaq
Hadits mu'allaq (‫ )معل ّق‬adalah hadits yang dihapuskan nama perawinya, baik satu
perawi atau lebih.
Contohnya hadits berikut ini :
‫ان‬ُ ‫ثم‬ َ ‫ غ ّ ََطى الن َّبِّ ُي رك ُبـَتَ ُه ِح‬: ‫وسى‬ ‫ق َ َأ‬
َ ‫ع‬ ُ ‫ين َد َخ َل‬ َ ‫َال بُو ُم‬
Rasulullah SAW menutup kedua pahanya ketika Utsman masuk. (HR. Bukhari)
Ketika meriwayatkan hadits ini, Bukhari sama sekali tidak menyebutkan nama-nama
perawi, kecuali hanya menyebutkan perawi di level shahabat, yaitu Abu Musa Al-
Asy'ari.
Hukum hadits mu'allaq adalah tertolak (mardud), tidak bisa dipakai sebagai dalil.
Namun bila hadits seperti itu terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari, ada
pengecualian.
2. Hadits Mursal
Hadits mursal (‫ )مرسل‬adalah hadits yang gugur perawinya setelah level tabi'in.
Sehingga seorang tabi'in berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda secara langsung
tanpa menyebutkan dari mana dia mendapatkan riwayat itu di level shahabat.
Contohnya adalah hadits berikut ini :
‫ع ِن المـ ُ َزابَن َ ِة‬ ِ
َ ‫الله ن َ َهى‬ َ ‫ابن المـ ُ َسيِّب َأ ّ َن َر ُس‬
‫ول‬ ِ ‫عن َس ِعي ِد‬ َ
Dari Said bin Al-Musayyib bahwa Rasulullah SAW melarang praktek jual-beli
muzabanah.
Seharusnya jalur periwayatan itu menyebutkan nama perawi di level shahabat. Padahal
Said bin Al-Musayyib bukan perawi di level shahabat, beliau berada pada level
tabi'in.
Kedudukan hadits mursal menjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli hadits.
Sebagian cenderung menolak hadits mursal secara mutlak, sebagian menerima secara
mutlak, dan di antara keduanya ada yang menerima hadits mursal dengan berbagai
syarat dan catatan.
Mereka yang menolak secara mutlak adalah kalangan para ahli hadits, ahli ushul
fiqih dan lainnya. Sedangkan yang menerima secara mutlak antara tiga imam mazhab
besar, yaitu Abu Hanfiah, Malik dan Ahmad bin Hanbal.
Adapun Asy-Syafi'i berada pada posisi tengah-tengah, yaitu tidak menolak mutlak,
namun juga tidak menerima bulat-bulat. Setidaknya beliau menyebutkan empat syarat :
(1). Mursalnya hadits itu lewat tabi'in yang besar (kibarut-tabi'in).
(2). Bila disebutkan nama yang membuat mursal maka disebut tsiqah
(3). Bila ada huffadz yang dipercaya
3. Hadits Mu'dhal
Secara bahasa, istilah mu’dhal adalah bentuk isim maf’ul dari a’dhalahu (‫)أعضله‬,
yang berarti menyulitkan dan membuat lemah.
Secara istilah ilmu hadits, hadits mu’dhal adalah hadits yang pada sanadnya gugur
dua orang perawi atau lebih secara berurutan.
Contoh dari hadits mu’dhal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam
kitab “Ma’rifat Ulumil Hadits” dengan sanadnya yang terhubung kepada al-Qo’nabi
dari Malik dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah radiyallahu
'anhu berkata : Rasulullah SAW bersabda :
‫يق‬ ُ ‫الع َم ِل ِإ ال َما يُ ِط‬َ ‫سوتُ ُه بالمعروف َوال يُكَل َّ ُف ِم َن‬ َ ‫ام ُه َو ِك‬ َ ِ‫ل‬
ُ ‫لممل ُو ِك َط َع‬
“Hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaiannya secara ma’ruf (yang sesuai)
dan tidak boleh dibebani pekerjaan, kecuali yang disanggupinya saja”
Imam Hakim menjelaskan bahwa hadits dengan sanad ini adalah mu’dhal. Beliau berkata
: “Hadits ini mu’dhal dari Malik, Malik meriwayatkannya dengan mu’dhal seperti ini
dalam kitab al-Muwaththa’ ”
Apabila ditengah sanad hadits terdapat dua rawi yang gugur secara berurutan, maka
hadits tersebut adalah Mu’dhal saja dan bukan Mu’allaq. Apabila pada awal sanad
hadits terdapat satu rawi saja yang gugur, maka dalam kondisi seperti ini, hadits
tersebut adalah Mu’allaq saja dan bukan Mu’dhal.
4. Hadits Munqathi'
Makna kata munqathi’ (‫ )منقطع‬dari segi bahasa adalah bentuk isim fa’il dari kata al-
inqithaa’, lawan kata dari al-ittishaal yang berarti bersambung.
Adapun dari segi istilah ilmu musthalah hadits adalah
hadits yang sanadnya tidak bersambung, bagaimanapun bentuk tidak bersambungnya.
Maka termasuk di dalamnya hadits yang empat di atas : mursal, mu’allaq, mu’dhal dan
munqathi’ itu sendiri.
Contoh hadits munqathi' adalah yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Tsauri dari
Abi Ishaq dari Zaid bin Yutsai’ dari Hudzaifah secara marfu’ :
ٌ ‫ي َأ ِم‬
‫ين‬ ٌ ّ ‫كر َفقَ ِو‬ ٍ َ‫وها َأبا َ ب‬
َ ‫ِإ ن َولَّيتُ ُم‬
“Kalau kalian menjadikan Abu Bakar sebagai wali (pemimpin) maka dia adalah kuat dan
terpercaya”
Dalam sanad ini telah gugur seorang perawi di tengah sanadnya, yaitu Syarik, gugur
antara Tsauri dan Abu Ishaq, dimana Tsauri tidak mendengar hadits langsung dari Abu
Ishaq, namun mendengar dari Syarik dan Syarik mendengar dari Abu Ishaq. Terputusnya
sanad (inqitha’) ini, bukan termasuk jenis mursal, bukan juga mu’allaq dan bukan
juga mu’dhal, tetapi hadits ini adalah hadits munqathi’.
Seluruh hadits munqathi’ tertolak, karena keadaan perawi yang dibuang.
5. Hadits Mudallas
a. Pengertian
Kata mudallas (‫ )مدلس‬menurut bahasa adalah isim maf’ul dari at-tadlis (‫)تدليس‬, yang
berarti menyembunyikan cacat pada barang dagangan dari pengetahuan pihak pembeli.
Tadlis menurut istilah adalah seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang guru
yang pernah ia temui, namun justru hadits yang dia riwayatkan itu tidak pernah ia
dengar darinya. Padahal ungkapan yang digunakan seperti “dari” atau “ia berkata”.
b. Contoh
Contohnya adalah hadits berikut ini
‫َبل َأن يَتَفَ َّرقَا‬ َ ‫غ ِف َر ل َُه َما ق‬ُ ‫ان ِإ لَّا‬ ِ ‫َح‬ ِ َ ‫ين يَلتَ ِقي‬
َ ‫ان فَيَتَ َصاف‬ ِ ‫َما ِمن ُمسلِ َم‬
Dari Abu Ishaq dari Al-Barra’ bin ‘Azib berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Tidakah dua orang muslim yang saling bertemu lalu berjabat tangan
melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum mereka berpisah.
(HR. Ahmad)
Letak titik masalahnya adalah bahwa Abu Ishaq dikatakan sebagai mudallis ketika
meriyawatkan hadits ini. Benar bahwa ia meriwayatkan beberapa hadits lainnya dari
shahabat Al-Barra’ bin ‘Azib, tetapi khusus pada hadits ini dia tidak mendengar
langsung, tetapi lewat orang lain.
Masalahnya Abu Ishaq ketika meriwayatkan hadits ini menggunakan ungkapan yang
mengandung makna bahwa dirinya seolah-olah telah mendengar secara langsung dari Al-
Barra'. Padahal sebenarnya dia mendengar hadis tersebut lewat Abu Dawud Al-A’ma
yang statusnya matruk (tertolak hadisnya) dan dituduh berdusta.
Bukti bahwa Abu Ishaq tidak mendengarkan secara langsung adalah Ibnu Abi Dun-ya
mengeluarkan hadis ini di dalam kitab al-Ikhwan :
Dari jalan Abu Bakr bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari Abu Dawud, ia berkata; aku
menemui al-Barra’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata; Aku
mendengar Rasulullah saw bersabda… :
c. Macam-macam Tadlis
Tadlis ada berbagai macam jenisnya, di antaranya adalah tadlis isnad, tadlis
syaikh, tadlis bilad, tadlis 'athaf, tadlis sukut dan tadlis taswiyah
Pertama : Tadlis Isnad, yaitu tadlis sebagaimana yang definisi dan contohnya telah
disebutkan di atas.
Kedua : Tadlis Syaikh, yaitu menyebutkan guru yang diriwayatkan hadis-nya dengan
identitas yang tidak masyhur baginya, baik dengan nama, julukan, nasab, atau kun-
yah. Hal itu dilakukan karena kedla’ifannya atau karena kemajhulannya, dengan cara
menyembunyikan di balik banyaknya guru atau dengan merahasiakan kondisi gurunya,.
Contoh; hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud berikut ini :
:‫َال‬ َ ‫ ق‬،‫اس‬ ٍ َ ّ‫عب‬َ ‫ابن‬
ِ ‫ع ِن‬َ ،‫اس‬ ٍ َّ‫عب‬َ ‫ابن‬
ِ ‫كر َم َة َمول َى‬ ِ ‫عن ِع‬ َ ،‫َيه َو َسل ّ َ َم‬
ِ ‫عل‬َ ‫عض بَ ِني َأبِي َرا ِف ٍع َمول َى النَّب ِ ِّي َصلَّى اللَّه‬ ُ َ‫يج َأخبَ َر ِني ب‬
ِ ‫ابن ُج َر‬
ُ
‫ ُأ ّ َم َرك َان َ ِة ونكح امرأة من مزينة … وذكر حديثا في طالق الثالثة جملة واحدة‬-‫خو ِت ِه‬ َ َ‫ِإ‬ ‫و‬ ِ
‫ة‬ َ ‫ن‬ ‫َا‬ ‫ك‬‫ر‬ ‫ب‬
َ ُ‫و‬ ‫ب‬‫َأ‬– ‫د‬
ٍ ‫ي‬ ‫ز‬
ِ ‫ي‬ ‫بد‬
َ ُ َ ‫ع‬ ‫َق‬َ ‫ل‬ ‫ط‬
َ
Ibnu Juraij telah memberitakan kepadaku sebagian dari Bani Abu Rafi’ pembantu Nabi
SAW dari Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata. Abdu Yazid (Abu
Barkanah dan saudara-saudaranya) mentalak Ummu Rukanah lalu ia menikahi wanita dari
Muzayyanah (…) beliau menyebutkan hadis tentang talak tiga dalam sekali waktu.
Ibnu Juraij adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij, dia siqah yang disebut-
sebut pernah mentadliskan riwayat. Meskipun ia menyatakan telah mendengar dari
gurunya, hanya saja ia telah mentadliskan namanya dengan merahasiakannya karena
kondisinya, lalu ia berkata “sebagian anak Abu Rafi’ telah mengabarkan kepadaku”.
Para ulama berbeda pendapat tentang siapakah dia sebenarnya, tetapi di sini bukan
tempat untuk memperbincangkan perbedaan ini.
Pendapat yang benar, guru Ibnu Juraij pada hadis ini adalah Muhammad bin Ubaidillah
bin Abu Rafi’, dia matruk. Al-Bukhari mengatakan bahwa dia, “Munkarul hadis” Ibnu
Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya”. Abu Hatim berkata, “hadisnya sangat munkar,
dan ditinggalkan”
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama gurunya pada riwayat al-Hakim di dalam kitab al-
Mustadrak (2/491), dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas.
Ketiga, Tadlis Bilad, yaitu hampir serupa dengan tadlis syaikh. Bentuknya, seorang
muhaddits mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku al-Bukhari”, yang dimaksudkan
dengan kata al-Bukhari adalah orang yang memberi uap kepada orang lain.
Atau seperti dikatakan oleh al-Baghdadi, “telah menceritakan kepadaku apa yang ada
di balik sungai” yang dimaksud adalah sungai Tigris.
Atau al-Mishri mengatakan, “Ia mengajarkan hadis di Andalus” yang dimaksud dengan
Andalus adalah suatu tempat di Qarafah.
Keempat, Tadlis ‘Athf, yaitu seorang muhaddits mengatakan, “Fulan dan fulan
mengajarkan hadis kepadaku”, padahal ia hanya mendengar dari orang yang pertama,
tetapi ia tidak pernah mendengar hadis dari orang yang kedua.
Kelima, Tadlis as-Sukut, yaitu seorang ahli hadis mengatakan haddatsana (telah
mengajarkan hadis kepada kami) atau sami’tu (aku telah mendengar) lalu ia diam
dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan kata-katanya dengan menyebut
nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu Hisyam bin Urwah, padahal
sebenarnya ia tidak menerima hadis dari Hisyam.
Keenam, Tadlis Taswiyah, yang merupakan jenis tadlis yang paling buruk. Bentuknya,
seorang muhaddits menghilangkan tokoh yang bukan gurunya dari rangkaian sanad, bisa
karena kedla’ifannya atau karena usianya yang sangat muda, sehingga hadis tampak
diriwayatkan oleh rijal yang siqah dari rijal yang siqah pula.
Tadlis jenis ini adalah yang paling tercela, karena di dalamnya ada unsur khianat.
Di antara rijal yang disebut telah melakukan tadlis macam ini adalah al-Walid bin
Muslim dan Baqiyah bin al-Walid.
6. Hadits Mursal Khafi
Kata mursal (‫ )مرسل‬adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja arsala - yursilu ( ‫أرسل‬
‫ )يرسل‬yang artinya melepaskan atau melontar. Sedangkan kata khafi (‫ )خفي‬lawan kata
dari jali (‫)جلي‬, yang artinya jelas atau terlihat.
Maka makna istilah dari hadits mursal khaf adalah seorang perawi meriwayatkannya
dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya suatu hadits yang tidak dia
dengar dari orang tadi dengan shighat (bentuk penyampaian) yang mengandung
kemungkinan mendengar langsung, seperti qoola (telah berkata) atau tidak.
7. Hadits Mu'an-'an
a. Hadits Mu’an-an
Pengertian dari muanan adalah hadits yang sanadnya terdapat redaksi ‘an (dari)
seseorang. Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua versi.
Versi Pertama
bahwa hadits yang jalurnya (sanad ) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk
dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk
bisa dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam
hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:
Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah
ahli hadits lain antara lain bahwa perawi harus mempunyai sifat ‘adalah. Selain itu
harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu. Dan
juga perawi bukan termasuk mudallis.
Sedangkan syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain bahwa perawi
harus mempunyai sifat ‘adalah. Dan perawi bukan termasuk mudallis. Dan juga
hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu
dimungkinkan untuk bertemu.
Versi Kedua
Bahwa hadits mu’an-an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh karena itu hadits
mu’an-an tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Ketika redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila sahabat
itu termasuk sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi,
maka redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu. Apabila sahabat itu jarang bertemu
nabi, maka sanad itu perlu ditinjau ulang.
Kesimpulan dari uraian diatas dapat kita klasifikasikan menjadi tiga pendapat
sesuai dengan komentar Ibnu Hajar:
 Bahwa redaksi sanad dengan ‘an posisinya sama dengan redaksi haddastana dan
akhbarana.
 Tidak dikatakan sama dengan redaksi haddastana dan akhbarana. Ketika hadits
itu diriwayatkan oleh mudallis.
 Redaksi ‘an sama dengan akhbarana dalam penerimaan hadits secara ijazah.Untuk
itulah hadits yang redaksinya memakai ‘an masih dalam kategori muttasil. Akan
tetapi derajat ‘an masih dibawah sami’tu. Contoh hadis mu’an’an:
:‫حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا عبد العزيز الدرواردى عن العالء عن ابيه عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم‬
‫الد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر رواه مسلم‬.
8. Hadits Mu’annan
Pengertiaanya adalah hadits yang redaksi sanadnya terdapat kata anna. Ulama dalam
mengomentari hadits seperti ini dapat di kalsifikasikan menjadi dua:
Pertama, bahwa hadits ini sama dengan mu’an’an dari segi muttasilnya, apabila
mempunyai syarat-syarat yang terdapat dalam hadits mu’an-an. Ini merupakan pendapat
Imam Malik dan jumhurul hadits.
Kedua, bahwa hadits muannan termasuk dalam kategori hadits munqati’ sampai terdapat
kejelasan bahwa murid telah mendengar. Tokoh dari pendapat ini adalah al- Bardaji.
Contoh dari hadits ini adalah hadits yangdiriwayatkan oleh Imam malik dari Ibnu
Shihab
‫…… أن سعيد بن مسيب قال‬
E. Hadits Yang Lemah Dari Sisi Perawi
Adapun hadits-hadits dhaif yang sumbernya adalah kelemahan dari sisi perawi juga
mengakibatkan tertolak hukum hadits itu. Hadits-hadits itu adalah :
1. Maudhu'
a. Pengertian
Dari segi bahasa, maudhu’ (‫ )موضوع‬adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja wadha’a
(‫)وضع‬, yang berarti menurunkan atau meletakkan di bawah.
Adapun dari segi istilah ilmu musthalah hadits, para ulama mendefinisikan hadits
Maudhu’ dengan kebohongan yang diada-adakan, dibuat-buat, kemudian dinisbatkan
kepada Rasulullah SAW dengan sengaja”
Hadits maudhu’ ini adalah tingkatan hadits dhaif yang terburuk dan terendah. Bahkan
sebagian ulama menganggap bahwa hadits Maudhu’ bukanlah termasuk bagian dari hadits
dhaif, namun dia adalah bagian tersendiri.
b. Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’
Para ulama telah berijma’ tentang tidak bolehnya bagi siapapun yang tahu kepalsuan
hadits tersebut untuk meriwayatkannya secara mutlak, kecuali disertai dengan
penjelasan tentang palsunya hadits tersebut.
Ini berdasarkan hadits riwayat Muslim :
َ ‫ب ف َُه َو َأ َح ُد الك َا ِذب‬
‫ِين‬ ‫َأ‬
ٌ ‫يث يُ َرى ن ّ َُه ك َِذ‬
ٍ ‫ِح ِد‬
َ ‫ع ِن ّى ب‬
َ ‫ث‬
َ ‫َمن َح ّ َد‬
Siapa meriwayatkan suatu hadits dariku dan dia tahu bahwa itu adalah dusta, maka
dia adalah salah satu dari para pendusta.
c. Jalan Mengetahui hadits Maudhu’
Dengan tidak melihat hal-hal tertentu, hadits maudhu’ dapat diketahui dengan
beberapa jalan, diantaranya :
 Pengakuan Pemalsu
Abu Ishmah Nuh bin Abu Maryam secara terang-terangan mengaku telah memalsukan
hadits tentang beberapa keutamaan surat dalam AlQuran yang dinisbatkan kepada Ibnu
Abbas.
Atau bisa juga seorang pemalsu mengakui hal-hal yang sepadan dengan pengakuannya.
Seperti pemalsu hadits menyampaikan hadits dari seorang syaikh, kemudian dia
ditanya tentang kapan kelahirannya, diapun menjawab dengan menyebutkan tanggal
dimana wafatnya syaikh tadi sebelum kelahirannya ditambah juga bahwa hadits
tersebut hanya diketahui datang darinya saja.
 Ciri Pada Diri Pewari
Seperti contohnya rawi seorang rafidhah, yang merupakan syi’ah ekstrim dan hadits
berbicara tentang keutamaan ahli bait.
 Ciri Pada Hadits
Ada juga ciri yang dengan mudah terlihat dari hadits yang diriwayatkan. Seperti
contohnya bahwa lafadz dari hadits tersebut aneh, atau menyalahi akal sehat atau
juga menyalahi apa yang dijelaskan AlQuran.
d. Faktor-Faktor Pendorong Pemalsuan Hadits
 Taqarrub
Tidak semua motivasi orang memalsu hadits itu jahat. Ada orang yang memalsu hadits
dengan tujuan yang baik, misalnya tujuan untuk menambah kedekatan (taqarrub) dalam
rangka beribadah kepada Allah.
Ini dilakukan dengan memalsukan hadits-hadits yang bisa memotivasi orang untuk
melakukan segala kebaikan dan juga hadits-hadits yang membuat takut mereka dari
berbuat segala yang munkar.
Tindakan mereka ini tentu tidak bisa dibenarkan, sebab meski niat dan tujuannya
mulia, tetapi kalau caranya dengan memalsu hadits, maka bukan hanya keliru tetapi
juga berdosa besar.
 Kepentingan Kelompok
Ada juga orang melakukan tindakan memalsu hadits karena didorong oleh sikap untuk
membela kepentingan kelompok dan aliran yang diikutinya.
Di masa lalu, muncul berbagai macam kelompok dan aliran dalam dunia politik
praktis. Setiap kelompok dan aliran sampai hati melakukan perbuatan busuk, yaitu
memalsukan hadits-hadits demi sekedar utnuk kepentingan menguatkan aliran mereka.
Di antara jenis hadits palsu produk kepentingan kelompok misalnya hadits berikut
ini :
‫ير البَ َش ِر َمن َش َّك َفقَد كَفَ َر‬
ُ ‫علِ ّي َخ‬
َ
Ali adalah manusia terbaik, barangsiapa ragu sungguh dia telah kafir.
 Tujuan Menjelekkan Islam
Tujuan ini sejak awal memang sudah tidak baik. Biasanya cara ini dilakukan oleh
mereka yang disebut sebagai orang-orang zindiq.
Tindakan memalsu hadits mereka pilih akibat mereka tidak bisa menjatuhkan Islam
dengan cara terang-terangan. Maka merekapun menempuh jalan ini, yaitu merusak agama
Islam dari dalam, dengan memanfaatkan pemeluk agama Islam yang ilmunya kurang atau
pas-pasan.
 Menjilat Penguasa
Untuk mendekatkan diri kepada para penguasa, ada sebagian orang yang lemah iman
mencoba mendekatkan diri kepada para penguasa dengan cara memalsukan hadits yang
mendukung penyimpangan penguasa tersebut.
Mereka sampai hati berdusta tentang Rasulullah SAW, lalu mengarang hadits dari
hasil hawa nafsu dan hayal mereka, sekedar agar bisa dipuji dan diakui oleh
penguasa.
 Sebagai Mata Pencaharian
Tindakan ini banyak dilakukan oleh para tukang dongeng. Mereka melakukannya
semata-mata untuk mencari penghidupan. Berbagai macam dongeng mereka ciptakan, dan
biar lebih gurih, mereka bumbui dengan pengakuan bahwa dongeng itu mereka katakan
sebagai hadits nabi.
Anehnya, isi dongeng mereka itu ibarat kisah 1001 malam, yang banyak mitos,
tahayul, legenda atau kisah-kisah ajaib lainnya. Tujuannya semata-mata menghibur,
tapi caranya sangat keji, karena berdusta atas nama Nabi SAW.
 Popularitas
Ada juga orang yang hobi mengarang hadits palsu demi sekedar untuk mendapatkan
popularitas. Caranya dengan cara menyebutkan hadits yang gharib (asing) yang tidak
dimiliki oleh para perawi hadits, yaitu dengan cara membolak-balikkan sanad agar
sanad tersebut menjadi gharib. Maka dengan itu orang-orang ingin mendengar hadits
tersebut.
2. Matruk
a. Pengertian
Secara bahasa kata matruk (‫ )متروك‬adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja taraka (
‫)ترك‬. Orang Arab menamakan telur yang keluar darinya itik dengan at-tarikah yang
artinya yang tertinggal dan tidak ada gunanya.
Adapun menurut istilah ilmu musthalah hadits adalah :
“Hadits yang pada sanadnya terdapat rawi yang tertuduh berdusta”
b. Sebab-Sebab Seorang Rawi Tertuduh Berdusta
Penyebab tertuduhnya seorang rawi bahwa dia berdusta adalah salah satu dari dua
sebab berikut :
Pertama, hadits tersebut hanya diriwayatkan dari jalannya saja dan hadits tersebut
menyelisihi kaidah-kaidah yang yang sudah dimaklumi, yaitu kaidah-kaidah umum yang
telah disimpulkan oleh para ulama dari seluruh dalil yang shahih.
Kedua, perawi tersebut terkenal dengan dusta dari bicaranya pada waktu biasa namun
tidak terlihat bahwa dia berdusta di waktu menyampaikan hadits.
c. Contoh Hadits Matruk
Hadits ‘Amr bin Syamir al-Ju’fi Al-Kufi asy-Syi’i dari Jabir dari Abu at-Thufail
dari ‘Ali dan ‘Ammar bahwa mereka berdua berkata :
‫ كان النبي‬ ‫يقنت في الفجر ويكبر يوم عرفة من صالة الغداة ويقطع صالة العصر آخر أيام التشريق‬
Nabi SAW selalu membaca qunut pada shalat fajar, bertakbir pada hari Arafah dari
semenjak shalat shubuh dan berhenti pada waktu shalat ashar di terakhir dari hari
tasyrik”
Imam Nasa’i, Daruquthni dan yang lainnya mengatakan tentang ‘Amr bin Syamir bahwa
dia adalah matrukul hadits, yaitu haditsnya ditinggalkan dan tidak dipakai orang.
Contoh lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dari jalan Juwaibir
bin Sa’id al-Azdi dari ad-Dhahhak dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW bahwa beliau
bersabda :
‫عليكم باصطناع المعروف فإنه يمنع مصارع السوء و عليكم بصدقة السر فإنها تطفئ غضب الرب عز وجل‬
Hendaklah kalian selalu berbuat ma’ruf (baik), karena itu akan menahan keburukan
dan hendaklah kalian bershadaqah dengan cara sembunyi karena hal itu dapat
memadamkan kemarahan Rabb (Tuhan)
Hadits dengan sanad ini di dalamnya terdapat Juwaibir bin Sa’id al-Azdi yang mana
imam Nasa’i, Daruquthni dan yang lainnya mengatakan bahwa dia matrukul hadits.
Namun matan hadits tersebut adalah shahih, bila dilihat dari sanad yang lain.
Hadits Matruk menempati peringkat kedua setelah Hadits Maudhu’dari tingkatan
hadits-hadits dhaif.
3. Hadits Munkar
a. Pengertian
Dari segi bahasa, kata munkar (‫ )منكر‬adalah bentuk isim maf’ul dari kata inkar (
‫)إنكار‬, lawan dari kata iqraar (‫)إقرار‬, yaitu mengakui atau menyetujui.
Secara istilah, hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
lemah dan menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah
(terpercaya). Definisi itulah yang dijadikan sandaran oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.
b. Perbedaan Munkar dengan Syadz
Antara hadits munkar dan syadz ada sisi persamaan dan perbedaan. Adapun sisi
perbedaannya adalah bahwa :
- Syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (diterima riwayatnya)
namun ia menyelisihi hadits yang diriwayatkan rawi yang lebih utama darinya.
- Sedangkan Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dhaif (lemah)
yang menyelisihi hadits riwayat rawi yang tsiqoh (terpercaya).
Dari sini diketahui sisi persamaan dari keduanya, bahwa keduanya sama-sama ada
penyelisihan dari rawi, hanya saja kalau Syadz rawinya adalah maqbul, sedangkan
Munkar rawinya adalah dhaif.
c. Contoh Hadits Munkar
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalan Hubayyib
bin Habib az-Zayyat dari Abu Ishaq dari Al-‘Aizar bin Huraits dari Ibnu Abbas dari
Nabi SAW bahwa beliau bersabda :
‫يف َد َخ َل الجن َّ َة‬
َ ‫الض‬
َّ ‫البيت وصا َم وق ََرى‬
َ ‫وح ّ َج‬ َ ّ ‫َمن َأقا َم‬
َ ‫الصال َة وآتى ال ّزَكا َة‬
“Barangsiapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, berpuasa
dan memuliakan tamu, maka niscaya dia masuk surga”
Imam Abu Hatim berkata bahwa hadits itu munkar, karena selain dia (Hubayyib) dari
para rawi yang tsiqat meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq secara mauquf
(disandarkan kepada shahabat). Dan itulah yang ma’ruf (lawan munkar)”
d. Derajat Hadits Munkar
Hadits Munkar termasuk ke dalam kategori hadits yang dhaif jiddan (lemah sekali)
dan menempati peringkat ketiga setelah hadits maudhu’ dan matruk.
4. Hadits Ma'ruf
a. Pengertian
Kata ma’ruf (‫ )معروف‬adalah isim maf’ul dari kata ‘arafa (‫)عرف‬, yang berarti yang
sudah dikenal atau diketahui.
Adapun menurut ilmu hadits, hadits Ma’ruf adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang tsiqah (terpercaya) yang menyelisihi apa yang diriwayatkan oleh rawi yang
dha’if (lemah)”
Dengan definisi ini, kita mengetahui bahwa hadits Ma’ruf adalah lawan dari hadits
Munkar. Karena Munkar adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if
(lemah) yang menyelisihi dengan apa yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqoh
(terpercaya)”
Dengan ini, kita juga mengetahui bahwa hadits Ma’ruf bukanlah termasuk kategori
hadits dhaif, tapi dia termasuk hadits maqbul dan shahih. Dia disebutkan setelah
pembahasan hadits Munkar karena dia adalah lawan darinya, supaya bisa dibedakan dan
jelas putih di atas hitam.
b. Contoh Hadits Ma’ruf
Contoh hadits Ma’ruf adalah contoh dari hadits Munkar. Hanya saja kalau Munkar dari
jalan rawi yang dhaif sedangkan Ma’ruf dari jalan rawi yang tsiqah. Seperti
hadits :
‫يف َد َخ َل الجن َّ َة‬
َ ‫الض‬
َّ ‫البيت وصا َم وق ََرى‬
َ ‫وح ّ َج‬ َ ّ ‫َمن َأقا َم‬
َ ‫الصال َة وآتى ال ّزَكا َة‬
“Barangsiapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, berpuasa
dan memuliakan tamu, maka niscaya dia masuk surga”
Hadits ini dilihat dari jalan Hubayyib bin Habib az-Zayyat dari Abu Ishaq adalah
munkar, karena Hubayyib meriwayatkannya secara marfu’. Adapun selain dia (Hubayyib)
dari para rawi yang tsiqat meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq secara
mauquf (disandarkan kepada shahabat). Riwayat para rawi yang tsiqat inilah yang
disebut dengan Ma’ruf.
5. Hadits Mu'allal
a. Pengertian
Kata mu'allah (‫ )معل ّل‬adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja a’allahu bikadza (‫أعل‬
‫)الله بكذا‬.
Sedangkan secara istilah, hadits mu'allah adalah hadits yang secara dzahirnya
shahih, padahal mempunyai cemar kecacatan”
6. Hadits Mukhalif li-tsiqah
Salah satu cacat pada hadits karena perawinya dianggap tidak sesuai atau
menyelisihi para perawi yang tsiqah atau lebih kuat. Hadits seperti itu disebut
mukhalif li ats-tiqah.
Hadits ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu
a. Hadits Mudraj
Kata mudraj (‫ )مدرج‬adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja adrajtu asyai’a fisy
syai’i (‫)ادرجت الشيء في الشيء‬, yang artinya : aku memasukkan sesuatu pada sesuatu yang
lain dan menggabungkan antara keduanya.
Adapun menurut istilah ilmu musthalah hadits, dia adalah hadits yang bentuk
sanadnya diubah atau pada matannya diselipkan dengan apa yang bukan termasuk matan
hadits tersebut tanpa ada pemisah.
Pembagian Hadits Mudraj
Hadits Mudraj ada dua macam yaitu mudraj isnad dan mudraj matan :
Mudraj isnad adalah hadits yang bentuk sanadnya diubah.
Diantara bentuk dari mudraj isnad adalah seorang perawi menyebutkan sebuah sanad
hadits, lalu tiba-tiba ada hal yang menyibukkannya dan dia mengeluarkan perkataan
sendiri yang tidak ada hubunganya dengan sanad hadits tadi, kemudian ada sebagian
pendengar yang mengira bahwa perkataan tadi itu adalah matan dari sanad tersebut,
maka diapun meriwayatkan seperti yang ia dengar itu. Contoh dari mudraj isnad
adalah kisah Tsabit bin Musa Az-zahid pada riwayatnya :
‫جه ُه باِلن ّ ََه ِار‬ ِ َ ّ ‫َمن كَث َُرت َصالَتُ ُه بِالل‬
ُ ‫يل َح ُس َن َو‬
“Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam hari maka baiklah wajahnya di siang
hari”
Asal dari kisah tersebut adalah bahwa Tsabit bin Musa datang kepada Syarik bin
Abdullah al-Qadhi yang sedang mendikte hadits. Dia berkata : “A’masy telah
menceritakan kepada kami dari Abu Sufyan dari Jabir, beliau berkata : Rasulullah
SAW bersabda :…, Syarikpun diam agar haditsnya ditulis. Pada waktu dia melihat
Tsabit diapun berkata :
Siapa yang banyak shalatnya di malam hari maka baiklah wajahnya di siang hari”.
Yang ia maksudkan adalah Tsabit karena kezuhudan dan kewaraannya. Namun Tsabit
mengira bahwa perkataan itu adalah matan dari sanad tadi, maka iapun meriwayatkan
hadits tersebut sesuai dengan yang ia dengar.
b. Hadits Maqlub
Hadits maqlub adalah hadits yang terbalik salah satu kata di dalamnya, baik yang
ada pada sanad atau matannya, dengan cara mendahulukan kata yang seharusnya
diakhirkan, dan mengakirkan kata yang seharus nya didahulukan.
Misalnya seorang perawi mengganti salah satu nama perawi sebuah hadits dengan nama
lain, supaya tersebut tidak dikenal. Pelakunya ini dijuluki sebagai pencuri hadits
tidak sengaja.
Kalau maqlub terjadi pada matanmisalnya perawi mendahulukan sebagian matan yang
seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan sebagian matan yang seharusnya didahulukan
dalam sebuah hadits.
Atau dia menyambungkan matan sebuah hadits dengan sanad hadits lain dan
menyambungkan sanad sebuah hadits dengan matan hadits lain. Dan hal ini untuk
tujuan ujian sebagian ulama' hadits. Sebagimana yang dilakukan oleh penduduk
Baghdad pada Imam Bukhari.
Hukumnya
Kalau tujuannya biar tidak dikenal, tidak boleh karena sama dengan merubah hadits.
Tetapi jika dilakukan untuk menguji maka hal ini diperbolehkan, dengan syarat ia
harus menjelaskannya sebelum meninggalkan tempat.
c. Al-Mazid fi Muttashil Al-Asanid
Hadits ini oleh perawinya ditambahkan ke dalam sebuah sanad hadits, dimana sanad
tersebut jika dilihat maka nampak secara lahiriah seakan-akan bersambung. Hadits
ini ditolak dengan dua syarat:
 Perawi yang tidak menambah lebih kuat dari pada perawi yang menambahnya.
 Terdapat dalam penambahan tersebut penjelasan yang tegas bahwa perawi satu
dengan lain betul-betul mendengar.
 Jika dua syarat ini tidak terpenuhi atau salah satu dari keduanya, maka
penambahan tersebut diterima. Sedang tidak ada tambahan dianggap
terputus(munqathi').
d. Hadits Mudhtharib
Kata mudhtharib (‫ )مضطرب‬adalah bentuk isim fa’il dari kata kerja idhtharaba (‫)اضطرب‬
yang berarti semrawut dan tidak beraturan. Adapun dalam ilmu hadits, hadits ini
didefinisikan sebagai hadits yang diriwayatkan dari berbagai bentuk yang berbeda-
beda, yang semuanya sama kuatnya.
Dengan kata lain, hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan banyak
bentuk yang berbeda-beda dan saling bertentangan, dimana tidak mungkin sama sekali
bagi hadits itu untuk dikompromikan. Dan seluruh riwayat tersebut sama kuatnya dari
semua sisi, yang tidak memungkinkan untuk mentarjih (memilih yang paling kuat)
salah satunya dari yang lain.
Dari sini jelaslah bahwa sebuah hadits tidak dinamakan mudhtharib, kecuali ada
padanya dua unsur. Pertama, berbedanya riwayat-riwayat hadits yang mana tidak
mungkin untuk dikompromikan. Kedua, sSama kuatnya seluruh riwayat-riwayat tersebut
dimana tidak bisa untuk ditarjih salah satunya dari yang lain.
Adapun apabila salah satu riwayatnya lebih kuat dari yang lain atau bisa di jama’
(dikompromikan) dengan cara yang bisa diterima, maka status mudhtharib hilang dari
hadits tersebut. Dalam hal ini kita mengamalkan yang rajih atau mengamalkan semua
riwayat dalam kondisi bisa di jama’.
Pembagian Haidts mudhtharib
Hadits mudhtharib dilihat dari letak terjadinya idhthirab (kegoncangannya) terbagi
menjadi dua macam, yaitu mudhtharib matan dan mudhtahrib sanad.
Contoh dari hadits Mudhtharib pada sanad adalah hadits Abu Bakar :
‫ شيبتنى هود وأخواتها‬: ‫يا رسول الله أراك شبت قال‬
“Ya Rasulullah, saya lihat anda telah beruban. Nabi SAW menjawab,"Surat Hud dan
saudara-saudaranya telah membuat saya beruban” (HR. Tirmidzi)
Imam Ad-Daruquthni mengatakan bahwa hadits ini mudhtharib, karena hanya
diriwayatkan melalui Abu Ishlaq dan terjadi perselisihan pada riwayat darinya yang
mencapai 10 macam sisi perbedaan.
Sebagian rawi meriwayatkannya secara mursal, yang lain meriwayatkannya secara
maushul, ada yang menjadikannya dari musnad Abu Bakar, ada yang menjadikannya
musnad Sa’ad dan adapun yang dari musnad Aisyah. Dan para rawinya adalah tsiqat,
tidak mungkin untuk mentarjih salah satunya dari yang lain dan jama’ juga tidak
dimungkinkan.
Sedangkan contoh hadits mudhtharib pada matan
adalah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Syarik dari Abu Hamzah dari
Sya’bi dari Fathimah binti Qais, beliau berkata :
‫في الما َِل ل ََحقّ ًا ِس َوى الزكَّا َ ِة‬
ِ ‫ ِإ ّ َن‬: ‫ع ِن ال ّ َزك َا ِة َفقَ َال‬ ِ
َ ‫الله‬ ُ ‫ُسِئ َل َر ُس‬
‫ول‬
Rasulullah SAW ditanya tentang zakat, maka beliau menjawab,"Sesungguhnya paa harta
itu ada hak orang selain dari zakat".
Sementara pada riwayat Ibnu Majah melalui jalan ini Rasulullah bersabda :
‫في الما َِل َح ّ ٌق ِس َوى ال ّزَكا َ ِة‬ِ ‫َيس‬ َ ‫ل‬
"Tidak ada sesuatu hak pada harta itu, selain dari zakat"
Al–Iraqi berkata bahwa ini adalah idhthirab (kegoncangan) yang tidak bisa ditakwil.
Hadits mudhtharib adalah termasuk dari jenis hadits yang dhaif dan tertolak.
Penyebab kedhaifannya adalah bahwa idhthirab memberikan isyarat tidak terdapatnya
dhabt pada rawi-rawinya.
e. Hadits Mushahhaf
Hadits mushahhaf adalah hadits yang mengalami kesalahan tulis pada kitab-kitab
hadits. Istilah Ash-Shahafi adalah sebutan bagi perawi yang meriwayatkan hadits
dengan membacakan buku, sehingga ia melakukan kesalahan karena kesulitan membedakan
huruf-huruf yang mirip.
Ditinjau dari tempat terjadi kesalahannya, bisa terjadi baik pada sanad maupun pada
matan. Contoh tashhif pada sanad misalnya nama al-'awwam bin murajim ( ‫العوام بن‬ ّ
‫ )مراجم‬ditulis oleh perawi menjadi al-'awwam bin muzahim (‫)العوام بن مزاحم‬. ّ
Sedangkan tashhif pada matan, misalnya kata ihtajara (‫ )احتجر‬yang berarti menahan,
ditulis dengan cara keliru menjadi ihtajama (‫ )احتجم‬yang artinya adalah berbekam.
Kalau dilihat dari sebab terjadinya kesalahannya, kesalahan ini bisa terjadi karena
faktor penglihatan (bashar), yaitu kasus kaburnya tulisan dimata pembacanya.
Seperti hadist tentang puasa syawwal kata sittan (‫ )ستّا‬yang maksudnya puasa 6 hari
di bulan Syawwal, berubah menjadi syai-an (‫ )شيئا‬yitu puasa di bulan Syawwal.
Namun terkadang juga terjadi karena faktor kaburnya pendengaran atau jauhnya si
pendengar dari sumber suara atau yang semacamnya. Lalu ia menyamakan sebagian kata
dengan yang kata lainnya yang wazannya serupa.
Seperti hadist dari 'Ashim Al-Ahwal dianggap dari Washil Al-Ahdab.
Jika seseorang perawi sering melakukan tashhif maka hal itu dapat mengurangi
tingkat kekuatan hafalannya. Namun jika kadang-kadang saja, maka mustahil orang
selamat dari kesalahan.
7. Hadits Syadz
a. Pengertian
Syadz adalah bentuk isim fa’il dari kata kerja Syadzdza yang berarti yang
menyendiri, menjauh dari orang banyak.
Adapun dalam istilah ilmu hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
maqbul (diterima) yang menyelisihi riwayat rawi yang lebih utama darinya”
b. Contoh Hadits Syadz
Contoh dari Syadz pada sanad hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari jalan Ibnu Uyainah dari Amr bin Dinar dari
‘Ausajah dari Ibnu Abbas :
ِ
‫الله‬ ِ ‫عه ِد َر ُس‬
‫ول‬ َ ‫عل َى‬ َ ‫ َأ َّن َر ُجال ً ُت ُو ِّفي‬ ‫َول َم ي َ َدع َو ِارث ًا ِإ ال ّ َ َمول َى ُه َو َأعتَ َق ُه‬
Bahwa ada seseorang pada zaman Rasulullah meninggal dan tidak meninggalkan warisan
kecuali satu budaknya yang telah ia merdekakan” (HR. Abu Daud)
Ibnu Juraij dan yang lainnya juga meriwayatkan hadits ini secara maushul
(tersambung). Adapun Hammad bin Zaid meriwayatkan dengan menyelisihi mereka. Dia
meriwayatkan dari Amr bin Dinar dari ‘Ausajah dan tidak menyebutkan Ibnu Abbas.
Oleh karena itu Abu Hatim menjelaskan bahwa yang mahfudz adalah hadits Ibnu
Uyainah".
Hammad bin Zaid adalah termasuk orang yang adil dan dhabit (hafalannya kuat) namun
walaupun begitu Abu Hatim lebih menguatkan riwayat yang disebutkan oleh kebanyakan
rawi yang lain.
Adapun contoh dari Syadz pada matan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dan Tirmidzi dari hadits Abdul Wahid bin Ziyad dari A’masy dari Abu Shaleh
dari Abu Abu Hurairah secara marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah SAW):
‫عن يَ ِمي ِن ِه‬ َ ‫ضطجِ ع‬ ‫ِإ ذا َ َص َ َأ‬
َ َ‫جر فَلي‬
َ َ‫لى َح ُدك ُم الف‬ ّ
“Apabila salah satu diantara kalian shalat fajar, maka hendaklah ia berbaring ke
samping kanannya”
Imam Baihaqi menjelaskan bahwa dalam hadits ini, Abdul Wahid menyelisihi riwayat
orang banyak, karena orang-orang hanya meriwayatkan dari perbuatan Nabi SAW dan
bukan dari perkataan beliau. Abdul Wahid menyendiri dengan lafadz ini dibanding
para rawi tsiqat dari para shabat A’masy.
F. Berdasarkan Diterima Sebagian dan Ditolak Sebagian
Maksudnya hadits-hadits yang termasuk ke dalam kategori terakhir ini bisa diterima
dari satu sisi, namun tidak bisa diterima pada sisi yang lain. Sehingga tidak
seutuhnya diterima tetapi juga tidak seutuhnya ditolak.
1. Hadits Marfu'
a. Pengertian
Kata marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (‫ )رفع‬yang berarti
mengangkat. Maka kata marfu' artinya sesutu yang diangkat. Dinamakan hadits marfu’
karena kedudukannya diangkat ke kedudukan tinggi, yaitu kepada Rasulullah SAW.
Maka pengertian hadits marfu' adalah : perkataan, perbuatan, atau taqrir
(penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik yang bersifat jelas
ataupun secara hukum, baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik
sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
b. Jenis Hadits Marfu'
Dari definisi di atas, kalau kita rinci lebih jauh kita akan mendapatkan delapan
macam hadits marfu, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-
masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara
tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan
marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
c. Contoh Hadits Marfu'
 Hadits marfu yang berupa perkataan dan bersifat tashrih
Contoh yang seperti ini misalnya perkataan shahabat Nabi SAW radhiyallahuanhu :
”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda begini”;
atau perkataan shahabat :
“Rasulullah SAW menceritakan kepadaku begini”;
atau perkataan shahabat :
“Rasulullah SAW bersabda begini”;
atau perkataan shahabat :
“Dari Rasulullah SAW bahwasannya bersabda begini”;
atau yang semisal dengan itu.
 Hadits marfu yang berupa perkataan dan bersifat hukum
Contohnya seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita
Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal
penciptaan makhluk atau berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah
yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat.
Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat :
“Kami diperintahkan seperti ini”;
atau perkataan shahabat :
“kami dilarang untuk begini”;
atau perkataan shahabat :
"termasuk sunnah adalah melakukan begini”.
 Hadits marfu' yang berupa perbuatan dan bersifat tashrih
Contohnya seperti perkataan seorang shahabat :
“Aku telah melihat Rasulullah SAW melakukan begini”.
 Hadits marfu yang berupa perbuatan dan bersifat hukum
Contohnya seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dalamnya
dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata,
melainkan dari Rasulullah SAW.
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari bahwa Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas
radliyallaahuanhuma berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat
burud. Burud merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang
digunakan di jaman itu.
 Hadits marfu yang berupa taqrir dan bersifat tashrih
Contohnya seperti perkataan shahabat :
”Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah SAW”;
atau perkataan shahabat :
“Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah SAW –
dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah SAW
terhadap perbuatan itu.
 Hadits marfu yang berupa taqrir dan bersifat hukum :
Contohnya seperti perkataan shahabat :
”Adalah para shahabat begini atau demikian pada jaman Rasulullah SAW”.
 Hadits marfu yang berupa sifat dan bersifat tashrih :
Contohnya seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah SAW
sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahuanhu :
”Nabi SAW itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”;
atau perkataan shahabat :
Adalah Nabi SAW berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”.
 Hadits marfu yang berupa sifat dan bersifat hukum :
Contohnya seperti perkataan shahabat :
”Dihalalkan untuk kami begini”;
atau perkataan shahabat :
“Telah diharamkan atas kami demikian”.
Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi SAW yang menghalalkan dan
mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan
adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah SAW adalah yang menghalalkan dan
mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat baginya.
Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk
seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.
2. Hadits Mauquf
a. Pengertian
Kata mauquf (‫ )موقوف‬berasal dari kata waqfu (‫ )وقف‬yang berarti berhenti. Seakan-akan
perawi menghentikan sebuah hadits pada shahabat.
Hadits Mauquf menurut istilah adalah perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang
disandarkan kepada seorang shahabat Nabi SAW , baik yang bersambung sanadnya kepada
Nabi ataupun tidak bersambung.
b. Jenis dan Contoh
 Mauquf Qauli
Makna qauli artinya berupa perkataan. Maksudnya hadits ini berupa perkataan.
Contohnya adalah perkataan seorang perawi :
Ali bin Abi Thalib radliyallaahuanhu berkata,”Berbicaralah kepada manusia dengan
apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya
?”.
 Mauquf Fi’li
Makna fi'li (‫ )فعلي‬artinya berupa perbuatan. Maksudnya hadits ini berupa perbuatan.
Contohnya perkataan Imam Bukhari :
”Ibnu ‘Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayamum”.
 Mauquf Taqriry
Makna taqriri (‫ )تقريري‬artinya berupa hal yang didiamkan oleh Nabi SAW dan bermakna
kebolehan. Contohnya adalah perkataan seorang tabi’in :
“Aku telah melakukan demikian di depan seorang shahabat dan dia tidak mengingkari
atasku”.
Hadits Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, atau dla’if. Hukum asal pada hadits
mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama.
3. Hadits Maqthu'
a. Pengertian
Kata maqthu’ (‫ )مقطوع‬artinya yang diputuskan atau yang terputus. Maka makna hadits
maqthu’ menurut istilah adalah : perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada
tabi’i atau orang yang di bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung.
Perbedaan antara hadits maqthu’ dengan hadits munqathi’ adalah bahwasannya maqthu’
adalah bagian dari sifat matan, sedangkan munqathi’ bagian dari sifat sanad.
Hadits yang Maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’i atau orang yang di bawahnya, dan
bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya. Sedangkan Munqathi’ sanadnya tidak
bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan.
Sebagian ulama hadits – seperti Imam Asy-Syafi’i dan Ath-Thabarani – menamakan
maqthu’ dengan munqathi’ yang tidak bersambung sanadnya. Ini adalah istilah yang
tidak populer. Hal tersebut terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah dalam
ilmu hadits, kemudian menjadi istilah maqthu’ sebagai pembeda untuk istilah
munqathi’.
b. Jenis Hadits Maqthu'
Adadua macam hadits maqthu' yaitu qauli dan fi'li.
Hadits maqthu’ qauli adalah hadits maqthu' yang berupa perkataan. Contohnya
perkataan Hasan Al-Bashri tentang shalat di belakang ahli bid’ah :
“Shalatlah dan dia lah yang menanggung bid’ahnya”.
Hadits maqthu’ fi’li adalah hadits maqthu' yang berupa perbuatan. Contohnya
perkataan Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir :
Adalah Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya dan menghadapi
shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”.
4. Hadits Musnad
a. Pengertian
Menurut bahasa kata musnad (‫ )مسند‬merupakan isim maf’ul dari kata asnada-yusnidu (
‫ )أسند يسند‬yang berarti menyandarkan atau menisbahkan. Sedangkan menurut istilah,
hadits musnad adalah hadits yang sanadnya bersambung secara marfu’ kepada Nabi SAW.
b. Contoh
Hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari, yang berkata,
Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abi Zanad dari Al-
A’raj dari Abu Hurairah bahwa SAW bersabda, “Jika seekor anjing meminum di dalam
bejana kalian, maka cucilah sebanyak tujuh kali.”
Hadits ini sanadnya bersambung dari awal hingga akhir, juga marfu’ sampai kepada
Nabi
5. Hadits Ziyadatusiqat
Hadits Ziyadatusiqat adalah hadit yang dalamnya terdapat tambahan perkataan dari
sebagian perawi yang tsiqah, sedang hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain
(tetapi tidak tambahan tersebut tidak ada).
Ziyadah Ats Tsiqah terdapat pada matan dengan tambahan satu suku kata atau kalimat.
Juga terdapat pada sanad yaitu dengan mengangkat hadits mauquf atau menyambung
hadits mursal.
Ibnu Shalah mengatakan bahwa bila ditinjau dari sah tidaknya Ziyadah Ats Tsiqah,
maka bisa dibagi tiga macam :
 Pertama, tambahan yang tidak bertentangan dengan riwayat para perawi yang
tsiqah. Ini hukumnya dan maqbul.
 Kedua : tambahan yang bertentangan dengan riwayat perawi yang tsiqah dan
tidak mungkin untuk dijamak. Maka harus ditarjih antara riwayat tambahan dan
riwayat yang menentangnya. Yang rajih diterima dan yang marjuh ditolak.
 Ketiga : tambahan yang didalamnya terdapat semacam pertentangn dari riwayat
para perawi yang tsiqah seprti mengkhususkan yang umum, maka ini diterima.
Tambahan juga bisa saja terjadi pada sanad, yaitu mengangkat hadits mauquf atau
menyambung hadits mursal.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi ini. Jumhur fuqaha' ahli ushul fikih
menerima tambahan ini. Tetapi kebanyakan ahli hadits menolaknya. Sebagian ahli
hadits berpendapat agar dilakukan tarjih, yang terbanyak itulah yang diterima.

Bab 5 : Ilmu Hadits & Ilmu Fiqih


A. Pendahuluan
Umat Islam punya kekayaan yang tidak dimiliki oleh umat lainnya, yaitu kekayaan
intelektual para ulama dengan sekain banyak cabangnya. Dua diantaranya adalah ilmu
hadits dan Ilmu Fiqih, yang menjadi ruh selama 14 abad lamanya telah menjaga
bangunan syariat sehingga tetap utuh dan kokoh dalam kondisi apa pun.
1. Latar Belakang
Banyak sekali orang yang terlanjur terjebak percaya dan taqlid buta kepada mitos
usang dan kesalahan persepi tentang para ahli fiqih (fuqaha). Seringkali kita
menemukan para pembelajar ilmu agama yang terlanjur menuduh para fuqaha sebagai
kalangan yang kurang mengerti ilmu hadits atau hal-hal terkait keshahihan hadits.
Di zaman modern ini, karena keterbatasan kemampuan akal dan otak para pembelajar,
maka berbagai perguruan tinggi Islam di penjuru dunia memisahkan antara Ilmu Fiqih
dan ilmu hadits pada dua fakultas yang berbeda. Para doktor dan profesor yang
mengajarpun berbeda di masing-masing disiplin ilmu. Doktor di bidang Ilmu Fiqih
biasanya lebih menguasai Ilmu Fiqih dari pada ilmu hadits. Demikian pula
sebaliknya, doktor di bidang ilmu hadits biasanya lebih menguasai ilmu hadits
ketimbang Ilmu Fiqih.
Ada positif dan negatifnya dan bisa diperdebatkan nanti, namun salah dari segi
negatifnya adalah kedua ilmu ini seakan terpisah oleh sekat fakultas dan disiplin
ilmu. Ketika kalangan akademisi bidang ilmu hadits bicara masuk ke lingkup Ilmu
Fiqih, terjadi sedikit kegamangan akibat kurangnya bekal pengetahuan dalam Ilmu
Fiqih. Sebaliknya, ketika orang fiqih keluar dari dunianya dan mulai bicara tentang
ilmu hadits, juga sering mengalami keterjebakan yang tidak bisa diatasinya.
Lalu muncul kemudian fenomena yang hanya terjadi di hari ini, yaitu kalangan ‘ahli
hadits’ seolah menganggap rendah kalangan ‘ahli fiqih’, karena dianggap banyak
berpendapat dengan menggunakan hadits-hadits lemah. Sebaliknya juga dilakukan oleh
kalangan ‘ahli fiqih’ sering menuduh kepada kalangan ‘ahli hadits’ sebagai kelompok
zhahiri yang tidak punya hormat kepada para ulama. Lucunya, Al-Albani terbalik-
balik mengatakan :
‫فقيها ألن المحدث فقيه بطبيعة الحال‬
ً ‫يلزم الفقيه أن يكون محدث ًا وال يلزم المحدث أن يكون‬
Seorang ahli fiqih itu harus menjadi ahli hadits, sedangkan ahli hadits tidak perlu
menjadi ahli fiqih, karena ahli hadits otomatis ahli fiqih.
Padahal dalam kenyataan sejarah, para ahli fiqih di masa lalu adalah otomatis dia
ahli hadits. Sebaliknya, justru tidak semua tokoh dalam ilmu hadits menjadi ahli
fiqih dalam arti belum tentu menjadi mujtahid mutlak mustaqil.
2. Perumusan Masalah
Tulisan singkat ini akan membahas tentang hubungan antara kedua cabang ilmu yang
menjadi kebanggan umat Islam, yaitu antara ilmu hadits dan Ilmu Fiqih. Dan yang
menjadi titik pertanyaan adalah :
 Apakah menguasai ilmu hadits dengan kritiknya itu sudah cukup untuk
menyelesaikan dan menjawab semua masalah hukum syariah?
 Bagaimana hubugnan antara ilmu hadits dan Ilmu Fiqih di masa lalu khususnya
di kalangan para tokoh pendirinya?
 Bagaimana metodologi menarik kesimpulan hukum dari hadits-hadits yang telah
dianggap shahih, apakah bisa langsung diamalkan begitu saja?
 Bagaimana metodologi menarik kesimpulan hukum dari hadits-hadits yang
dianggap daif atau lemah, apakah harus dibuang karena dianggap tidak bisa dijadikan
dasar hukum syariah?
3. Tujuan dan Manfaat
Tulisan ini diniatkan agar bisa menjadi sebuah bahan kajian yang membuka cakrawala
pemahaman sempit di kalangan pemula dan pembalajar ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu
hadits dan Ilmu Fiqih. Diharapkan tulisan ini bisa memberikan sedikit banyaknya
temuan-temuan yang penting untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memahami ilmu
agama, serta mampu memberi informasi penting kedua bidang ilmu itu dipadukan.
B. Hadits Yang Diterima dan Ditolak
Umumnya kita yang belajar ilmu hadits akan diajarkan pertama kali pembagian jenis
hadits berdasarkan diterima atau ditolaknya. Istilah yang sering digunakan adalah :
‫أقسام الحديث حسب القبول والرد‬. Lalu hadits dibagi menjadi dua, ada yang diterima
periwayatannya dan ada juga yang tidak diterima.
1. Hadits Yang Diterima Periwayatannya
Umumnya para ulama hadits menyebutkan bahwa ada dua macam pembagian hadits, dilihat
dari sudut pandang diterima atau ditolak bila dilihat berdasarkan kualitas perawi,
yaitu hadits shahih dan hadits hasan.
a. Shahih
Hadits shahih adalah hadits yang perawinya adil (‫)عدل‬, hafalannya kuat (‫)تام الضبط‬,
sanadnya bersambung (‫)بسند متصل‬, serta terbebas dari kejanggalan dan kecacatan (‫سلم من‬
‫)الشذوذ و العلة القادحة‬. Contohnya sabda Nabi SAW :
‫ين‬
ِ ‫الد‬
ِّ ‫في‬ ِ ‫هه‬ ً ‫َمن ي ُ ِر ِد الل ُّه ب ِِه َخ‬
ُ ‫يرا يُ َف ِّق‬
Siapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Bila kita dalami ternyata hadits shahih ini ada dua macam jenisnya, yaitu : shahih
li dzatihi dan shahih li ghairi. Hadits yang statusnya shahih lidzatihi (‫)الصحيح لذاته‬
berarti hadits itu berstatus shahih dengan sendirinya, bukan karena adanya faktor
eksternal yang mempengaruhinya menjadi shahih.
Sedangkan statusnya shahih li gharihi (‫ )الصحيح لغيره‬asalnya bukan hadits shahih,
namun karena adanya hadits lain yang menjadi penguat, akhirnya statusnya naik dari
hasan menjadi shahih li ghairihi. Hal itu karena apabila memiliki beberapa jalur
periwayatan yang berbeda-beda. Misalnya hadits berikut ini :
Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu‘anhu bahwa Nabi SAW memerintahkannya
untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta. Maka Nabi SAW bersabda,
“Belikan untuk kita unta perang dengan unta-unta yang masih muda.” Maka ia
mengambil 2-3 unta muda dan mendapat 1 unta perang.
b. Hasan
Di bawah derajat shahih kita mengenal adanya hadits hasan. Definisinya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tapi hafalannya kurang sempurna
dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada
perbedaan antara hadits ini dengan hadits shahih, kecuali dalam satu persyaratan,
yaitu hadits hasan itu kalah dalam sisi hafalan. Contohnya adalah hadits Nabi SAW :
ُ ِ‫ِير َو تَحلِيل َُها التّ َسل‬
‫يم‬ ُ ‫يم َها التَّكب‬
ُ ‫حر‬
ِ َ‫ور َو ت‬ َ ّ ‫الصال َ ِة‬
ُ ‫الط ُه‬ ُ َ‫ِمفت‬
َّ ‫اح‬
Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”
Hadits-hadits yang dimungkinkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan Abu
Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Shalah. Dalam prakteknya,
ternyata hadits hasan ini pun bisa terdiri dari dua jenis, yaitu hasan lidzatihi
dan hasan li ghairihi. Hasan yang statusnya hasan lidzatihi (‫ )الحسن لذاته‬maksudnya
hadits yang statusnya hasan dengan sendirinya. Sedangkan yang statusnya hasan li
Ghairihi (‫)الحسن لغيره‬, yaitu hadits yang dha’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan
yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang di dalamnya
tidak ada pendusta atau perawi yang pernah tertuduh membuat hadits palsu.
Nabi SAW jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya
hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi)
Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitab Bulughul Maram berkata bahwa hadits
ini memiliki banyak hadits penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya.
Gabungan hadits-hadits tersebut menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai
hadits hasan. Dan dinamakan hasan li ghairihi karena jika hanya melihat masing-
masing sanadnya secara bersendirian, maka hadits tersebut tidak mencapai derajat
hasan. Namun, bila dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut
menjadi kuat hingga mencapai derajat hasan.
2. Hadits Yang Tertolak
Ada begitu banyak jenis hadits yang tertolak, namun semua bisa disebut dengan satu
istilah, yaitu hadits lemah atau dhaif. Pengertian hadits dhaif adalah :
‫وط ِه‬ ِ ‫رط ِمن ُش ُر‬
ٍ ‫الح َس ِن ِبفَق ِد َش‬ َ ‫جمع ِصفَ ُة‬ َ َ ‫َمال َم ي‬
Hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hasan, lantaran kehilangan satu dari
sekian syarat-syaratnya.
Contoh hadits yang dhaif adalah :
‫ح ّ َم ٍد‬َ ‫لى ُم‬
َ ‫ع‬ ِ ‫امرَأ ًة‬
َ ‫في ُدبُ ِر َها َفقَد كَفَ َر ب َِما ن َ َز َل‬ َ ‫َمن َأتَى َحاِئ ًضا َأ ِو‬
Siapa yang menyetubuhi wanita yang sedang haidh atau istri pada duburnya, maka dia
telah kufur pada agama yang turun kepada Nabi Muhammad.
Al-Imam At-Tirmizy mengatakan hadits ini dhaif, karena di dalam rangkaian para
perawinya ada orang yang bernama Hakim Al-Atsram, yang statusnya dhaif. Ada dua
kemungkinan kelemahan sebuah hadits. Pertama, lemah dari sisi isnad, yaitu jalur
periwayatan. Kedua, kelemahan dari sisi diri perawi, yaitu orang-orang yang
meriwayatkan hadits itu.
a. Lemah Dari Sisi Isnad
Yang dimaksud dengan hadits lemah dari sisi isnad adalah kelemahan dalam jalur
periwayatan hadits itu dari Rasulullah SAW kepada perawi yang terakhir. Maksudnya,
ada satu, dua atau lebih perawi yang tidak lengkap dalam sebuah jalur periwayatan,
dengan berbagai sebab. Yang jelas, jalur itu menjadi ompong karena terjadi
kekosongan satu atau beberapa perawi di dalamnya. Dan akibatnya, sanadnya menjadi
tidak tersambung dengan benar.
Dan para ulama membagi lagi kelemahan jalur periwayatan itu menjadi beberapa jenis,
antara lain : hadits muallaq (‫)معل ّق‬, mursal (‫)مرسل‬, mu'dhal (‫)معضل‬, munqathi' (‫)منقطع‬,
mudallas (‫)مدل ّس‬, mursal khafi (‫)مرسل خافي‬, mu'an-'an (‫ )معنعن‬dan muannan (‫)معنّن‬
b. Lemah Dari Sisi Perawi
Sedangkan kelemahan dari sisi perawi berbeda dengan kelemahan isnad. Kelemahan ini
bukan karena tidak adanya perawi atau terputusnya jalur periwayatan, tetapi karena
rendahnya kualitas perawi itu sendiri sehingga hadits itu jadi tertolak hukumnya.
Maka hasilnya sebenarnya sama saja, baik lemah dari sisi jalur atau pun lemah dari
sisi personal para perawinya.
Para ulama menyusun daftar hadits yang tertolak karena faktor lemahnya kualitas
perawi, di antaranya adalah : hadits maudhu (‫)موضوع‬, matruk (‫)متروك‬, munkar (‫)منكر‬,
ma'ruf (‫)معروف‬, mu'allal (‫)معل ّل‬, mukhalif li-tsiqah (‫)مخالف للثقة‬, mudraj (‫)مدرج‬,
mudhtharib (), mushahhaf (), syadz (‫)شاذ‬, jahalah (‫)جهالة‬, mubtadi (‫)مبتدئ‬, su'ul hifdz
(‫)سوء الحفظ‬.
C. Para Fuqaha dan Ilmu Hadits
Berbeda dengan yang berkembang di masa sekarang tentang kesan adanya jarak antara
ilmu hadits dan Ilmu Fiqih, sesungguhnya di masa lalu kedua cabang ilmu itu justru
berada di dalam rahim yang sama, bahkan para tokoh atau ulama dalam ilmu hadits
ternyata justru merupakan tokoh dalam Ilmu Fiqih. Bahkan para mujtahid mutlak
mustaqil pendiri mazhab-mazhab besar yang mukamat, sejatinya mereka justru
merupakan tokoh-tokoh utama dalam meletakkan dasar-dasar ilmu hadits.
Berikut ini adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan sebagian dari mereka :
1. Tokoh Fiqih Adalah Pendiri Ilmu Hadits
Banyak sekali tokoh Ilmu Fiqih yang juga pada saat yang sama merupakan tokoh ilmu
hadits. Berikut ini sebagian kecil dari mereka :
a. Al-Imam Malik
Al-Imam Malik (w. 179 ) adalah mujtahid mutlak mustaqi, pendiri mazhab fiqih
muktamad Maliki. Namun beliau juga ulama senior yang mendapat julukan sebagai imam
ahli hadits, sebagai tandingan dari mazhab satunya Hanafi yang lebih dikenal
sebagai mazhab ahli ra’yi.
Dalam bidang hadits, beliau terbilang ulama yang pertama kali menulis kitab hadits,
jauh sebelum masa penulis kutubus-sittah menuliskan karya mereka. Al-Muwwaththa’
adalah kitab karya Al-Imam Malik dan dianggap kitab tershahih di zamannya. Itulah
mengapa dinamakan Al-Muwaththa’, karena kitab ini telah diakui dan disepakati
keshahihannya oleh setidaknya 70 ulama Madinah di zamannya.
Kitab Al-Muwaththa’ inilah yang dihafal oleh Asy-syafi’i sejak masa kecilnya. Dan
kitab ini pula yang dimintakan oleh Khalifah Harus Ar-Rasyid untuk dijadikan kitab
standar resmi yang diberlakukan di seluruh dunia Islam.
b. Al-Imam Asy-Syafi’i
Al-Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) adalah ulama yang ahli di bidang Ilmu Fiqih, ushul
fiqih dan juga ilmu hadits, juga bahasa Arab dan sastranya. Beliau adalah satu dari
empat pendiri mazhab muktamad yang bertahan selama 14 abad dan merupakan mazhab
terbesar pengikutnya di seluruh dunia hingga hari ini.
Dalam masalah hadits, sejak usia 12 tahun Beliau sudah hafal di luar kepala kitab
Al-Muwathta’ yang disusun oleh Al-Imam Malik (w. 179 H).
Dalam bidang hadits, meski tidak menulis kitab hadits sendiri, namun justru beliau
menulis dasar-dasar ilmu hadits di dalam kitab Ar-Risalah, yang sebenarnya
menjelaskan ilmu ushul fiqih. Dan karena ilmu hadits merupakan bagian dari
pembahasan ushul fiqih, maka pembahasan tentang ilmu hadits pun tidak luput di
dalamnya. Syeikh Abdullah As-Sa’d berkata dalam masalah ini :
‫ هو اإلمام الشافعي رحمه الله ما كتبه في كتاب الرسالة وإن كان هذا الكتاب ألف من أجل‬:‫أول من ألف في علم المصطلح‬
‫بيان علم األصول ولكن من األصول أصول الحديث فقد ذكر كثيرا من القواعد في علم المصطلح‬
Orang yang pertama kali menulis tentang ilmu musthalah hadits adalah Al-Imam Asy-
Syafi’i rahimahullah. Apa yang beliau tulis di dalam kitab Ar-Risalah, meskipun
beliau tulis dalam rangka menjelaskan ilmu ushul fiqih, tetapi salah satu bagian
dari ilmu ushul fiqih adalah ilmu ushul hadits. Beliau banyak sekali menyebutkan
kaidah-kaidah dalam ilmu musthalah hadits.
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (w. 189 H), salah satu murid dari dua murid Abu
Hanifah (w. 150 H) yang terkenal pernah memberi komentar tentang sosok Al-Imam Asy-
Syafi’i dalam bidang ilmu hadits sebagai berikut
‫إن تكلم أصحاب الحديث يوما ما فبلسان الشافعي يعني لما وضع من كتبه‬
Apabila para ahli hadits berbicara pada suatu hari, pastilah itu lewat lisan Asy-
Syafi’i, maksudnya mengutip apa yang ada dalam kitab-kitabnya.
Salah satu kitab beliau yang juga sangat penting dipahami oleh para pembelajar ilmu
hadits adalah Ikhtilaful Hadits. Kitab yang membahas bagaimana cara kita
menyimpulkan masalah apabila ada terdapat hadits-hadits yang sama-sama shahih namun
secara lahiriyah nampak bertentangan.
c. Al-Imam Ahmad bin Hanbal
Al-Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) adalah seorang ahli hadits dan juga sekaligus
ahli fiqih yang levelnya mencapai derajat muhtahid mutlaq mustaqil. Beliau lahir di
Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di
kota Baghdad, Irak. Nama lengkap beliau Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin Muhammad
bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi.
Di bidang ilmu hadits, beliau mendapatkan pujian khusus dari gurunya, Al-Imam Asy-
syafi’i : Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam
Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al-Quran, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam
kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”
Dalam hal ilmu hadits, Al-Imam Ahmad memang sangat menonjol, bahkan sampai ada yang
mengatakan bahwa beliau bukan ahli fiqih tetapi sekedar ahli hadits saja. Namun hal
itu ditampik oleh Ibnu ‘Aqil Al-Hanbali (w. 513 H) dengan pernyataannya :
“Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang jahil yang mengatakan,
“Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya
kejahilan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits
yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan dia lebih unggul dari
seniornya”.
Dan bahwa beliau bukan sekedar ahli hadits saja pun mendapat dukungan Al-Imam Adz-
Dzahabi (w. 748 H). Beliau menegaskan
Demi Allah, dia dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu
Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ dia menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam
hafalan dia setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang
bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang
lain.
Dari sini kita tidak perlu memperdebatkan lagi bahwa sosok Al-Imam Ahmad adalah
ahli hadits, yang justru diperdebatkan apakah selain sebagai ahli hadits, beliau
juga ahli fiqih. Tetapi sejarah sampai hari ini kemudian mencatat bahwa Al-Imam
Ahmad adalah salah satu imam mazhab yang mencapai derajat mujtahid mutlak mustaqil.
Mazhabnya tersebar di beberapa negara Arab seperti Saudi Arabia dan beberapa negara
sekitarnya.
2. Para Ahli Hadits Bermazhab Fiqih
Di sisin lain kalau kita telusuri dalam sejarah, umumnya para ulama ahli hadits
adalah sosok ulama yang tidak terlepas dari mazhab fiqih yang taat dan terikat
dengan mazhabnya. Berikut adalah diantara mereka :
a. Abu Daud
Abu Dawud (w. 202 H ) Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-
Sijistani. Di antara guru-gurunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Qanabiy,
Sulaiman bin Harb, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya
bin Ma'in, Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa'id bin
Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan ulama lainnya.
Perjalanan ilmiyahnya mengantarkannya sampai Irak, Khurasan, Mesir, Suriah,
Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain. Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang
hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H,
dia sudah berada di Baghdad, dan disana dia menyaksikan wafatnya Imam Muslim,
sebagaimana pengakuannya,”Aku menyaksikan jenazahnya dan menshalatkannya”.
Sebelumnya beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sijistan, seperti khurasan,
Baghlan, Harron, Roi dan Naisabur. Amir Abu Ahmad Al-Muwaffaq memintanya dan
menetap di Bashrqah. Beliau salah seorang perawi hadits yang mengumpulkan sekitar
50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800 di antaranya dalam kitabnya yang
dikenal dengan Sunan Abu Dawud.
Al-Khathaby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan isinya
lebih banyak memuat fiqh daripada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Ibnul Araby berkata bahwa orang yang sudah menguasai Al-Quran dan kitab Sunan Abu
Dawud, maka dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Al-Imam Al-Ghazali juga
mengatakan bahwa kitab Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk
menjadi landasan hukum.
b. At-Tirmizy
At-Tirmizy (w. 279 H) lengkapnya Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi.
Beliau lahir di Tirmiz pada tahun 209 Hijriyah dan berkelana mencari ilmu ke
Khurasan, Iraq dan Hijaz.
Diantara guru beliau adalah Al-Imam Bukhari, Al-Imam Muslim dan Abud Daud. Al-Hakim
mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At-Tirmidzi
sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih
pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa at-Tirmidzi dalam hal luas ilmunya dan
hafalannya."
Karyanya yang terkenal di bidang ilmu hadits adalah kitab Al-Jami’ atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi. Kitab ini adalah salah satu dari Kutubus
Sittah (enam kitab pokok bidang hadits). Kitab Sunannya itu pernah ditunjukkan
kepada ulama-ulama Hijaz, Irak, dan Khurasan, dan mereka semuanya setuju dengan isi
kitab itu.
Selain itu beliau menulis dua kitab Al-Ilal, yaitu Al-‘Ilal Al-Kabir dan Al’Ilal
Ash-Shaghir. Karya lainnya adalah kitab Asy-Syamail Al-Muhammadiyah dan
ringkasannya, Mukhtashar Asy-syamail.
c. Al-Khatib Al-Baghdadi
Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H), nama lengkap beliau Abu Bakar Ahmad bin Ali bin
Tsabit bin Ahmad bin Mahdi Al-Baghdadi. Lahir di Guzzah, sebuah tempat di antara
Mekkah dengan Kufah pada tahun 392 Hijriyah dan wafat di Baghdad pada tahun 462
Hijriyah.
Karya beliau cukup banyak hingga mencapai 79 judul. Yang terkait dengan ilmu hadits
antara lain :
• ‫ في مصطلح الحديث‬- ‫الكفاية في علم الرواية‬
• ‫ حديث‬- ‫الفوائد المنتخبة‬
• ‫الجامع ألخالق الراوي وآداب السامع‬
• ‫تقييد العلم‬
• ‫شرف أصحاب الحديث‬
• ‫األسماء واأللقاب‬
• ‫تلخيص المتشابه في الرسم‬
• ‫الرحلة في طلب الحديث‬
• ‫األسماء المبهمة‬
• ‫الفقيه والمتفقه‬
• • ‫ في تباعد ما بين وفاة الراويين عن شيخ واحد‬،‫السابق والالحق‬
• ‫موضح أوهام الجمع والتفريق‬
• ‫اقتضاء العلم والعمل‬
• ‫المتفق والمفترق‬
Meski dikenal sebagai ulama ahli hadits yang masyhur, namun beliau jugadikenal
sebagai ulama yang bermazhab Asy-syafi’i di masanya.
d. Ibnu Shalah
Ibnu Shalah (w. 643 H), nama lengkapnya adalah Ustman bin Abdurrahman Abu Amru
Taqiyuddin. Lahir di Khurasan padatahun 557 Hijriyah kemudian pindah ke Mosul.
Beliau diangkat menjadi pengajar di Madrasah Darul Hadits Al-Asyrafiyah.
Banyak sekali karya beliau, yang paling masyhur adalah kitab Ma’rifatu Anwa’i Ulum
Al-Hadits atau yang lebih dikenal sebagai Muqaddimah Ibnu Shalah. Karya beliau ini
telah secara resmi dianggap sebagai ‘kitab suci’ para ulama hadits berikutnya.
Banyak sekali karya dalam bidang ilmu mushtalah hadits yang merujuk kepada kitab
ini. Selain itu beliau juga punya beberapa karya yang lain, seperti :
• ‫الفتاوى شرح الوسيط‬
• ‫فوائد الرحلة‬
• ‫أدب المفتي والمستفتي‬
• ‫طبقات الفقهاء الشافعية‬
• ‫صلة الناسك في صفة المناسك‬
Ibnu Shalah inilah yang memperkenalkan kepada jagad ilmu hadits tentang status
kitab karya Al-Bukhari sebagai kitab tershahih kedua dan kitab Shahih Muslim
sebagai kitab tershahih ketiga setelah Al-Quran Al-Karim :
‫أول من صنف في الصحيح البخاري أبو عبد الله محمد بن إسماعيل وتاله أبو الحسين مسلم بن الحجاج القشيري ومسلم مع أنه‬
‫ أخذ عن البخاري واستفاد منه فإنه يشارك البخاري في كثير من شيوخه وكتاباهما أصح الكتب بعد كتاب الله العزيز‬-
Meski sudah menjadi ahli hadits kenamaan, namun beliau ulama yang terikat dengan
mazhab Asy-Syafi’i dan berfatwa dengan fatwa-fatwa mazhabnya.
e. An-Nawawi
An-Nawawi (w. 676 H) nama lengkapnya adalah Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf
An-Nawawi Al-Hurani Asy-Syafi’i. Lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada
tahun 631 H dan wafat pada tahun 24 Rajab 676 H. Kedua tempat tersebut kemudian
menjadi nisbat nama dia, an-Nawawi ad-Dimasyqi.
Beliau ulama ahli hadits sekaligus juga ulama ahli fiqih. Ada banyak karya beliau
di bidang hadits yang jadi rujukan ulama sedunia, di antaranya Syarah Shahih Muslim
(‫)شرح صحيح مسلم‬. Disebut sebagai kitab syarah haditds terbaik yang pernah ada.
Beliau menjelaskan tiap hadits yang ada di dalam kitab hadits tershahih kedua
setelah Shahih Bukhari. Selain itu karya beliau yang lain dan juga amat masyhur di
kalangan ulama dunia adalah Riyadhus Shalihin (‫)رياض الصالحين‬, dan juga kitab hadits
ringkas seperti Al-Arba'in An-Nawawiyah (‫)األربعين النووية‬.
Sedangkan dalam bidan ilmu fiqih, beliau dikenal sebagai muhaqqiq terbesar di dalam
mazhab Asy-Syafi’iyah. Kitabnya yang amat terkenal adalah Al-Majmu` Syarhul
Muhadzdzab (‫ )المجموع شرح المهذب‬yang ditulis hingga akhir hayatnya, namun belum
selesai semua, baru sampai bab muamalah. Selain itu juga beliau menulis kitab fiqih
lainnya seperti At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir, Minhaj
ath-Thalibin (‫)منهاج الطالبين وعمدة المفتين في فقه اإلمام الشافعي‬, Raudhatuth Thalibin, dan Adab
al-Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti (‫)آداب الفتوى والمفتي والمستفتي‬.
f. Adz-Dzahabi
Al-Imam Adz-Dzahabi (w. 748 H) adalah seorang ahli hadits dari kalangan mazhab Asy-
syafi’iyah. Dilahirkan pada tahun 673 Hijriyah di Mayyafariqin Diyar Bakr,
Turkumanistan.
Ibnu Nashruddin ad-Dimasyqi (w. 842 H) berkata, “Beliau adalah tanda kebesaran
Allah dalam ilmu rijal, sandaran dalam jarh wa ta’dil lantaran mengetahui cabang
dan pokoknya, imam dalam qiraat, faqih dalam pemikiran, sangat paham dengan
madzhab-madzhab para imam dan para pemilik pemikiran, penyebar sunnah dan madzhab
salaf di kalangan generasi yang datang belakangan.”
Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata, “Beliau adalah Syeikh al-Hafiz al-kabir, Pakar
Tarikh Islam, Syeikhul muhadditsin. Beliau adalah penutup syuyukh hadis dan
huffazhnya.”
Tajuddin as-Subki (w. 771 H) berkata, “Beliau adalah syaikh Jarh wa Ta’dil, pakar
Rijal, seakan-akan umat ini dikumpulkan di satu tempat kemudian beliau melihat dan
mengungkapkan sejarah mereka.”
An-Nabilisi (w. 671 H) berkata, “Beliau pakar zamannya dalam hal perawi dan
keadaaan-keadaan mereka, tajam pemahamannya, cerdas, dan ketenarannya sudah
mencukupi dari pada menyebutkan sifat-sifat nya.”
g. Ibnu Hajar Al-Asqalani
Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H), nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Ali bin
Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani
Al-Mishri. Namun lebih dikenal sebagai Ibnu Hajar al-Asqalani dikarenakan
kemasyhuran nenek moyangnya yang berasal dari Ashkelon, Palestina. Beliau
dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriah dipinggiran sungai Nil di Mesir
kuno.
Salah satu karyanya yang terkenal adalah kitab Fathul Bari (Kemenangan Sang
Pencipta), yang merupakan penjelasan dari kitab Shahih Bukhari dan disepakati
sebagai kitab penjelasan Shahih Bukhari yang paling detail yang pernah dibuat.
Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekati
ajalnya. Karya-karya dia banyak diterima umat islam dan tersebar luas, semenjak dia
masih hidup. Para raja dan Amir biasa saling memberikan hadiah dengan kitab-kitab
Ibnu Hajar. Menurut murid utamanya, yaitu Imam As-Sakhawi (w. 902 H), jumlah karya
Ibnu Hajar lebih dari 270 kitab.
Kebanyakan karyanya berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat.
Di antara karya tulis Ibnu Hajar tersebut adalah Ad-Durar al-Kaminah, kamus
biografi tokoh-tokoh abad ke-8. Juga ada kitab terkenal lainnya yaitu Tahdzib at-
Tahdzib, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, kamus biografi sahabat nabi.
Beliau juga menulis kitab Bulughul Maram, sebuah kitab yang berisi kumpulan hadits-
hadits hukum. Juga menulis Al-Isti'dad Liyaumil Mii'aad, Nukhbatul Fikr, yaitu
tentang ilmu musthalah hadits, dan masih banyak lagi.
Selain sebagai ahli hadits, beliau juga termasuk ahli fiqih yang taat dengan mazhab
Asy-syafi’i.
h. As-Suyuthi
As-Syuyuthi (w. 911 H) Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin
Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i al-Asy'ari. Beliau lahir
pada tahun 849 di Mesir dan mengadakan perjalanan menuntu ilmu ke berbagai belahan
dunia Islam seperti Syam, hijaz, India, Maghrib, Yaman, dna kembali ke Mesir hingga
wafat pada tahun 911 Hijriyah. Beliau seorang ulama multiple disiplin ilmu, baik
ilmu Al-Quran, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih, Lughah, Tarikh, Adab dan lainnya.
Disebutkan bahwa karya beliau tidak kurang dari 600 judul dalam berbagai disiplin
ilmu, salah satunya ilmu hadits dan Ilmu Fiqih. Ahmad Syarqawi menyebutkan beliau
punya 725 judul karya ilmiyah. Di antara karya beliau terkait dengan ilmu hadits
adalah :
 ‘Ainul Ishaabah Fi Ma’rifati ash-Shahaabah
 Durru ash-Shahaabah Fi man Dakhala Mishra Minash Shahaabah
 Husnul Muhaadlarah
 Riihu an-Nisriin Fi man ‘Aasya Minash Shahaabah Mi ata Wa ‘isyriin
 Is’aaful Mubtha’ bi Rijaalil Muwaththa’
 Kasyfu at-Talbiis ‘an Qalbi Ahli Tadliis
 Taqriibul Ghariib
 Al-Madraj Ila al-Mudraj
 Tadzkirah al-Mu’tasi Min Hadits Man haddatsa wa nasiy
 Asmaa`ul Mudallisiin
 Al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla’
 Ar-Raudlul Mukallal Wa Waradul Mu’allal fi al-mushthalah
D. Hadis Shahih yang Tidak Diamalkan
Tidak semua hadits yang shahih itu harus diamalkan, sebab apa yang Nabi SAW
lakukan, masih harus diproses panjang kali lebar agar menjadi produk hukum yang
siap dipakai. Dalam hal ini, hadits itu meski shalat, namun sifatnya hanya sebatas
sumber hukum yang masih mentah dan belum jadi produk yang siap dipakai begitu saja.
Oleh karena itu secara ringkas, suatu hadits meski shahih, tapi bagaimana kita
mengamalkannya, masih terbagi-bagi lagi menjadi lima status hukum, yaitu wajib,
sunnah, mubah, makruh dan haram.
Tugas dan peran para ahli hadits sebatas memastikan apakah suatu hadits itu sudah
valid dan bisa diterima periwayatannya sampai kepada Rasulullah SAW. Sedangkan
bagaimana hukumnya buat kita, itu urusan para ahli fiqih, yang akan melakukan
pengklasifikasian serta menyematkan status hukumnya.
1. Lima Hukum Yang Berbeda
a. Wajib
Sebagian dari hadits yang shahih itu memang ada yang hukumnya wajib diamalkan dan
berdosa kalau ditinggalkan. Misalnya shalat lima waktu, puasa Ramadhan, bayar
zakat, pergi haji dan seterusnya.
b. Sunnah
Tidak semua hadits yang shahih itu wajib diamalkan, walaupun Nabi SAW memerintahkan
atau pun mengamalkan. Misalnya dalam masalah, kecuali shalat lima waktu, semua
shalat itu hukumnya sunnah. Ada shalat qabliyah dan ba’diyah, ada shalat dhuha atau
Isyraq, shalat tahajjud, shalat tarawih, shalat witir, shalat Idul Fithri dan Idul
Adha, shalat tahiyatul masjid, shalat istisqa, shalat kusuf dan khusuf (gerhana),
shalat hajat, shalat tasbih, dan lainnya.
Dalam masalah puasa, kecuali puasa Ramadhan, semua puasa itu hukumnya sunnah. Ada
puasa ‘asyura, puasa 9 Dzulhijjah, puasa 6 hari bulan Syawwal, puasa 3 hari tiap
bulan (ayyamul biidh), puasa tiap Senin dan Kamis dan lainnya.
Begitu juga umrah, meski Rasulullah SAW 3 kali melakukan umrah, namun semuanya
tidak menjadi kewajiban.
c. Mubah
Meski pun banyak hadits yang berstatus shahih, namun ada banyak sekali yang
hukumnya tidak wajib bahkan tidak sunnah, tetapi sekedar mubah saja. Misalnya hal-
hal yang terkait dengan teknis kehidupan sehari-hari, seperti masalah menu makanan
Nabi SAW dimana makanan pokoknya berupa roti atau kurma. Kita sebagai bangsa yang
bukan Arab, hukumnya tidak wajib bahkan juga tidak menjadi kesunnahan untuk
mengganti makanan pokoknya menjadi roti atau kurma.
Di antara potongan model pakaian Rasulullah SAW disebutkan punya kantung di depan
dan ketika Beliau SAW berdo’a nampak putih ketiaknya. Dan ketika Beliau SAW
berkhutbah memakai jubah kebesaran. Semua kita dapati keterangannya di dalam
hadits-hadits yang shahih. Namun kita tidak diperintah untuk memakai pakaian model
itu dalam kehidupan kita sehari-hari.
Yang wajib kita ambil dari cara berpakaian Nabi SAW itu sebatas 2 hal saja.
Pertama, menutup aurat dengan benar, dimana pakaian itu tidak boleh tidak tembus
pandang atau ketat hingga membentuk lekuk tubuh. Kedua, tidak boleh menyerupai yang
terlarang seperti menyerupai lawan jenis atau menyerupai pakaian khas milik orang
kafir. Selebihnya terserah diatur saja sesuai dengan realitas model pakaian tiap
bangsa.
d. Makruh
Sebagian dari hadit yang shahih itu ada yang sebaiknya tidak kita lakukan, meski
pun Nabi SAW melakukannya. Misalnya Beliau SAW menikah lebih dari satu istri. Kalau
seorang tidak punya harta yang cukup, atau dia hidup di negeri dimana poligami
dianggap sebagai hal yang kurang baik, maka akan lebih baik dia menyesuaikan diri
dengan situasi dan kondisi setempat.
e. Haram
Ada banyak sekali hadits Nabi SAW yang shahih, namun justru malah haram untuk kita
kerjakan. Misalnya ketika hadits itu menceritakan tentang kekhususan dari Allah SWT
yang berlaku hanya untuk diri pribadi Rasulullah SAW.
Misalnya Beliau SAW melakukan puasa wishal, yaitu puasa terus menerus siang malam
menyambung beberapa hari tanpa makan dan minum. Beliau SAW diriwayatkan secara
shahih melakukannya, namun buat kita hukumnya haram. Selain itu juga Beliau SAW
menikah dengan 11 wanita secara bersamaan. Meski haditsnya shahih, namun ini hanya
berlaku buat diri beliau SAW sendiri.
Malah Rasulullah SAW secara langsung pernah dinikahkan oleh Allah SWT dengan Zainab
binti Jahsy, tanpa melalai ijab kabul, tanpa wali, tanpa saksi, dan juga tanpa
mahar. Pernikahan semacam itu benar-benar terjadi dan dilakukan sendiri oleh
Rasulullah SAW, namun buat kita hukumnya haram.
2. Penyebab Suatu Hadits Tidak Diamalkan
Tidak semua hadits shahih bisa langsung diamalkan begitu saja secara apa adanya,
tetapi harus dilihat dari beberapa aspek. Di antara penyebab hadits shahih tidak
bisa diamalkan secara lahiriyah adalah karena hal-hal berikut :
a. Hadits Itu Sudah Mansukh
Ada banyak sekali hadits-hadits yang shahih, namun hukumnya sudah dihapuskan
(mansukh). Sehingga meski pun statusnya shahih, namun hadits itu tidak kita
amalkan. Misalnya hadits tentang bolehnya nikah mut'ah, haramnya ziarah kubur,
batas boleh makan daging qurban 3 hari, kewajiban mandi janabah karena memandikan
jenazah, membunuh peminum khamar yang sudah 4 kali mengulangi dan hadits tentang
makanan dibakar api batalkan wudhu'.
b. Bukan Sunnah Tasyri’iyah
Adakalahnya hadits yang shahih itu tidak kita amalkan, karena ternyata bukan
termasuk bagian dari syariat. Misalnya ketika Nabi SAW khutbah pakai tongkat,
menggunakan kayu arak untuk bersiwak, cebok pakai batu, menjadikan roti dan kurma
sebagai makanan pokok, atau ketika melakukan pengobatan tradisional yang dikenal
bangsa Arab kala itu.
c. Ada Perbedaan Konteks
Adakalanya suatu hadits yang shahih itu tidak kita lakukan karena memang konteksnya
berbeda. Misalnya ketika Nabi Saw perintahkan buang hajat menghadap ke Timur atau
ke Barat, konteksnya karena Beliau berada di Madinah. Atau ketika beliau
perintahkan para shahabat shalat pakai sepatu dan sandal, konteksnya di masa itu
memang masjidnya tidak ada alasnya. Juga ketika Beliau SAW haramkan jual-beli air,
api dan rumput, konteksnya karena di masa itu ketiganya masih milik publik. Dan
banyak lagi yang lainnya.
d. Tidak Sesuai Penempatannya
Kadang suatu hadits itu tidak kita gunakan karena ternyata tidak sesuai dengan
tempatnya. Misalnya ada hadits yang dipotong-pootng lalu digunakan bukan pada
tempatnya, seperti hadits untuk shalat tahajud tapi malah ditempatkan untuk shalat
tarawih. Atau hadits tentang wanita haidh tidak perlu mengqadha’ shalatnya malah
dijadikan dalil tidak adanya qadha’ shalat. Bahkan ada juga orang yang mengharamkan
pajak dengan memelintir hadits keharaman pembegalan untuk haramnya pajak.
Intinya banyak sekali shahih dari segi sanad dan disepakati keshahihannya oleh
seluruh ulama, namun dalam penggunaannya ternyata kurang tepat untuk dijadikan
dalil atas suatu masalah.
e. Hadits Kontradiktif
Kadang suatu hadits shahih sengaja kita tinggalkan karena ada hadits lain yang
bertentangan namun shahih juga. Lalu kita menggunakan hadits lawannya. Seperti
hadits tentang makmum wajib baca al-fatihah, lalu hadits tentang apakah basmalah
termasuk al-fatihah. Atau hadits bertentangan apakah kalau sujud tangan atau lutut
terlebih dahulu. Dan juga tentang hadits batal tidaknya sentuhan kulit bukan
mahram.
f. Sastra Dan Gaya Bahasa
Bahasa Arab punya sastra yang amat tinggi, yang dengan itulah Allah SWT menantang
orang Arab untuk menciptakan karya sastra mereka yang bisa menyaingi Al-Quran. Dan
salah satu ciri bahasa sastra adalah isti’arah alias pinjam ungkapan-ungkapan yang
sebenarnya tidak masuk akal.
Kadang suatu hadits tidak bisa dipahami hanya berdasarkan makna tekstual begitu
saja, mengingat gaya bahasanya kadang membuat suatu hadits jadi bombastis. Misalnya
hadits yang perintahkan bunuh orang lewat depan orang shalat, atau hadits yang
memerintahkan bakar rumah yang tidak shalat, oposisi harus dibunuh dan lainnya.
e. Adanya ‘Illat Tertentu
Ada banyak hadits yang mengandung hukum tertentu dan nampak jelas narasi hukumnya,
namun justru ‘illat keberlakuannya malah tersembunyi dan tidak mudah dipahami
secara sekilas.
’Illatnya baru akan diketahui setelah dilakukan penelitian yang seksama, dengan
cara membandingkan antar suatu hadits dengan hadits yang lain. Yang jadi masalah,
bagaimana bisa menemukan hadits lainnya yang menjadi pembanding, kalau ternyata
kita tidak punya khazanah pengetahuan banyak hadits?
Misalnya hadits tentang keharaman menjulurkan pakaian lewat mata kaki (isbal) yang
ternyata ‘illat keharamannya karena sombong, atau perintah berpenampilan tertentu
biar berbeda dengan yahudi. Jug ada hadits larangan menyongsong pedagang dari desa,
karena ‘illatnya biar tidak merugikan penduduk desa.
Hadits keharaman bawa mushaf dalam safar ke daerah musuh ternyata karena khawatir
mushaf akan direbut dan dihinakan. Sedangkan hadits larangan wanita bepergian tanpa
mahram, karena di masa itu perjalanan hanya lewat padang pasir yang sudah pasti
tidak aman. Adapun hadits yang membolehkan minum air kencing unta karena
kedaruratan.
f. Kekhususan Nabi SAW
Kadang suatu hadits tidak diamalkan karena hal itu hanya boleh dilakukan oleh
Rasulullah SAW saja, sedangkan kita umatnya tidak boleh melakukannya. Seperti puasa
wishal, menikah lebih dari 4 istri dan juga menikah tanpa wali, saksi, ijab kabul,
dan mahar.
E. Hadis Dhaif Tapi Diamalkan Para Ulama
Disisi lain, kita juga mendapati begitu banyak hadits yang secara sanad dianggap
lemah dan tidak kuat, tetapi oleh para ulama tetap dipakai dan dijadikan dasar
dalam menarik kesimpulan hukum. Di antaranya adalah :
1. Hadits Muadz Dikirim ke Yaman
Kisah tentang pengiriman Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ke Yaman tentang ijtihad
disinyali banyak ulama sebagai hadits yang dhaif. Namun kedhaifannya sama sekali
tidak menghalangi para ulama untuk membuang hadits ini. Nyaris semua ulama sepakat
membenarkan kisah itu. Khususnya saat Muadz yang ditanya-tanyai Rasulullah SAW
tentang apa yang akan digunakan dalam menyelesaikan urusan kaum muslimin kalau
tidak ada jawabannya dalam Quran dan Sunah. Saat itu Muadz menjawab bahwa dirinya
akan berijtihad.
‫ َفِإن ل َم‬:‫َال‬ َ ‫ ق‬،‫اب الل َّ ِه‬ ِ َ‫قضي ِب ِكت‬ ِ ‫ َأ‬:‫َال‬ َ ‫ ق‬،‫ع َر َض ل ََك ق ََضاءٌ؟‬ َ ‫قضي ِإ ذَا‬ ِ َ‫َيف ت‬ َ ‫ ك‬:‫َال‬ َ ‫ث ُم َعاذًا ِإ ل َى الي َ َم ِن ق‬ َ َ‫اد َأن ي‬
َ ‫بع‬ َ ‫ول الل ّ َ ِه ل ّ ََما َأ َر‬ َ ‫َأ ّ َن َر ُس‬
،‫َيه َو َسل َّ َم‬ ِ ‫عل‬َ ُ ‫الله‬ ‫ى‬ َ ّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ‫ه‬ِ َ ّ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ول‬‫س‬ ‫ر‬
ِ ُ َ ّ ُ ِ
‫َة‬ ‫ن‬ ‫س‬ ‫ي‬ ِ
‫ف‬ ‫د‬ ِ‫ج‬ َ ‫ت‬ ‫َم‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ‫ِإ‬‫ف‬َ : ‫َال‬
َ ‫ق‬ ، ‫م‬ َ
َ َ َّ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ِ
‫َيه‬ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ ‫الله‬ ‫ى‬ َ ّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ِ
‫ه‬ َ ّ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ول‬ ‫س‬ ‫ر‬
ِ ُ َ ّ ُ ِ
‫َة‬ ‫ن‬ ‫ِس‬ ‫ب‬ ‫ف‬
َ : ‫َال‬
َ ‫ق‬ ،‫؟‬ ِ
‫ه‬ َ ّ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫اب‬ ‫ت‬ ِ
ِ َ ‫تَجِ د ِفي‬
‫ك‬
،‫ول‬ َ ‫مد لِل ّ َ ِه ال َّ ِذي َو ّفَ َق َر ُس‬ ‫الح‬ : ‫َال‬
َ ‫ق‬ ‫و‬ ، ‫ه‬‫در‬ ‫ص‬ ‫م‬ َ ّ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ِ
‫َيه‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫الله‬ ‫ى‬ َ ّ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫ه‬ِ َ ّ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ول‬ُ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ب‬ ‫ر‬‫َض‬ ‫ف‬ ‫ُو‬ ‫ل‬ ‫آ‬ ‫َا‬ ‫ل‬‫و‬ ‫ِي‬‫ي‬ ‫أ‬ ‫ر‬ ‫د‬ ‫ه‬
ِ ‫ت‬ ‫ج‬ ‫َأ‬ : ‫َال‬
َ ‫ق‬ ‫؟‬ ِ
‫ه‬ َ ّ ‫ل‬ ‫ال‬ ِ َ‫َول َا ِفي ِكت‬
‫اب‬
ُ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ ُ َ ُ َ َ َ َ َ َ ُ َ
‫ول الل ّ َ ِه‬ َ ‫رضي َر ُس‬ ِ ُ‫ول الل َّ ِه لِ َما ي‬ ِ ‫َر ُس‬
Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman bertanya”Bagaimana kamu menghukumi
bila dihadapkan urusan hukum”. Muadz menjawab,”Dengan Kitabullah”. Rasulullah SAW
bertanaya lagi,”Bagaimana bila tidak kamu temukan dalam Kitabullah?”. Muadz
menjawab,”Dengan Sunnah Rasulullah SAW”. Beliau SAW bertanya lagi,”Bagaimana kalau
pada Sunnah tidak kamu temukan?”. Muadz menjawab,”Saya berijtihad”. (HR. Abu Daud,
Ahmad dan Ad-Darimi)
Hadits ini oleh Syu’aib Al-Arnauth dikomentari bahwa sanadnya (dhaif) lemah
lantaran para perawi Muadz mubham, serta Al-Harits bin Abru termasuk tidak dikenal.
Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H) meriwayatkan hadits ini di dalam kitabnya Al-Faqih
wa Al-Mutafaqqih juga lewat jalur perawi ini.
Yang menarik ternyata Al-Khatib Al-Baghdadi menyatakan bahwa meski pun demikian,
karena nyaris semua ulama selalu membenarkan kisah ini dan menjadikannya hujjah,
maka beliau ‘menganggapnya’ sebagai hadits shahih, sebagaimana hadits lain yang
statusnya sama, yaitu : la washiyyata li warits, tidak ada washiyat untuk calon
ahli waris.
‫وإن كانت هذه األحاديث ال تثبت من جهة اإلسناد لكن لما تلقتها الكافة عن الكافة غنوا بصحتها عندهم عن طلب اإلسناد لها‬
Meskipun hadits ini tidak tsabit dari segi sanad, namun lantara kami dapati al-
kaffah dari al-kaffah, maka cukuplah dia menjadi shahih, tanpa harus memperhatikan
lagi sanadnya. .
At-Tirmizy berkata bahwa hadits ini kami tidak tahu alurnya kecuali hanya lewat
jalur ini saja. Dan menurut saya isnadnya tidak tersambung.
Ibnul Jauzi (w. 597 H) dalam kitab Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah fi Al-Hadits Al-Wahiyah
juga punya pendapat yang sama tentang kedudukan hadits ini.
‫صحيحا إنما ثبوته ال يعرف ألن‬ ً ٌ ‫َهذَا َح ِد‬
‫يث ال يصح وإن كان الفقهاء كلهم يذكرونه ِفي كتبهم ويعتمدون عليه ولعمري إن كان معناه‬
‫"الح ِارث بن عمرو مجهول وأصحاب ُم َعا ِذ من َأهل حمص ال يعرفون وما َهذَا طريقه فال وجه لثبوته‬ َ
Hadits ini tidak shahih, namun semua fuqaha selalu menyebutkannya dalam kitab fiqih
mereka dan menjadikannya pegangan. Meski maknanya benar, sebenarnya tsubutnya tidak
dikenal, lantaran Al-Harits bin Amru majhul dan ashabu Muadz dari penduduk Himsh
juga tidak dikenal. Seharusnya kalau lewat jalur ini tidak ada kekuatan sanad”.
2. Hadits Tentang Pinjaman Uang Yang Memberi Manfaat
Salah satu hadits yang dhaif namun tetap diamalkan para ulama adalah hadits tentang
pinjaman dalam bentuk uang namun memberikan manfaat, dimana hal itu terlarang
karena termasuk riba.
ٍ ‫ك ُُّل ق‬
‫َرض َج َّر َمنفَ َع ًة ف َُه َو ِربًا‬
Semua qardh (pinjaman uang) yang memberikan manfaat maka itu riba.
Semua ulama mengharamkan pinjaman uang berbunga. Dan kalau ditanya dalilnya,
pastilah dalilnya hadits di atas. Padhaal hadits ini berstatus tidak shahih atau
dhaif. Namun menarik untuk dikaji, meski dianggap dhaif tetapi tetap saja para
ulama mengharamkan pinjaman uang yang mengharuskan bunga. Tidak ada satupun yang
menghalalkannya, meski haditsnya dhaif.
Di antara yang mendhaifkan hadits ini adalah Al-Albani, Syeikh Ibn Baz dan Ibnu
Hajar Al-Asqalani mengutip pendapat Amr bin Badr.
‫ ولكن‬،‫ الحديث ضعيف‬:‫ الجواب‬.‫ «كل قرض جر نفعا فهو ربا» ؟‬:‫ ما صحة هذا الحديث‬:‫سئل ابن باز عن صحة هذا الحديث‬
‫معناه عند أهل العلم صحيح‬.
Syeikh Bin Baz ditanya tentang keshahihan hadits ini dan beliau menjawabbahwa
hadits itu dhaif. Namun kontennya shahih menurut para ahli ilmu.
Nashiruddin Al-Albani (w. 1420 H) mengatakan hadits ini dhaif sambil mengutip Al-
Baghawi dalam Hadits Al-Ala bin Muslim.
‫ قال عمر بن بدر في المغني لم يصح فيه شيء وأما إمام الحرمين فقال إنه صح وتبعه الغزالي وقد‬:‫قال ابن حجر العسقالني‬
،‫رواه الحارث بن أبي أسامة في مسنده من حديث علي باللفظ األول وفي إسناده سوار بن مصعب وهو متروك (التلخيص الحبير‬
)90 /3 ،)‫هـ‬852 :‫أبو الفضل أحمد بن علي بن محمد بن أحمد بن حجر العسقالني (المتوفى‬
3. Hadits Jual Beli Kali’ Dengan Kali’
Contoh lain dari hadits yang disebut-sebut sebagai hadits dhaif namun para ulama
tetap menjadikannya dasar hukum adalah hadits berikut ini.
َ ّ ‫ َأ ّ َن النَّب‬ ‫يع الكاَلِئ باِلك َالِئ‬
‫ِي‬ ِ َ ‫عن ب‬َ ‫ن َ َهى‬
Dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW melarang jual-beli piutang dengan piutang." (HR
Ad-Daraquthny, Al-Hakim dan Al Baihaqy).
Tentang hadits ini, ada komentar menarik dari Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
yang dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya At-Talkhish Al-Habir.
‫ وقال أيضا ليس في هذا حديث يصح لكن‬.‫وقال أحمد بن حنبل ال تحل عندي الرواية عنه وال أعرف هذا الحديث عن غيره‬
‫إجماع الناس على أنه ال يجوز بيع دين بدين‬.
Al-Imam Ahmad berkata,”Tidak halal bagi saya meriwayatkan hadits ini dan saya tidak
tahu ada hadits lain lewat jalur yang berbeda”. Namun Al-Imam Ahmad berkata
lagi,”Dalam masalah ini tidak ada hadits yang shahih. Namun seluruh manusia sudah
berijma’ tidak bolehnya membeli hutang dengan hutang.
Lalu seperti apa yang dimaksud dengan membeli hutang dengam hutang?
Ibnul Qayyim berkata: "Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan
dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang
tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan salam,
karena adanya pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka termasuk
ke dalam penjualan piutang dengan piutang yang haram hukumnya.
Selain itu ada contoh lain, misalnya pembeli menyerahkan Rp. 100 ribu kepada
penjual beras, uangnya diberikan secara tunai tetapi berasnya baru akan diserahkan
seminggu kemudian. Ketika sudah waktunya untuk menyerahkan beras itu, penjual
berkata bahwa berasnya belum tersedia. Namun penjual menawarkan untuk membeli
kembali beras yang seharusnya sudah jadi milik pembeli dengan harga yang lebih
tinggi namun pembayarannya yang tidak tunai.
Tentunya harganya sudah berbeda dari harga jual yang pertama. Praktek ini hukumnya
haram, karena terjadi unsur riba dalam jual-beli, dimana hutang dibayar dengan
hutang.
4. Hadits Tidak Ada Wasiat Buat Calon Ahli Waris
Semua ulama sepakat bahwa setelah turunnya ayat waris, maka berwasiat kepada para
calon ahli waris sendiri menjadi haram hukumnya. Harta wasiat justru diharamkan
bila diberikan kepada ahli waris
Penerima wasiat harus orang yang bukan termasuk penerima harta waris, baik karena
memang tidak terdaftar dalam struktur ahli waris, atau pun mereka yang terdaftar,
tetapi terhijab dengan keberadaan orang lain.
Contoh mereka yang bukan ahli waris dan memang namanya tidak terdaftar seperti anak
tiri, anak peliharaan, tetangga, teman, sahabat, keponakan perempuan, cucu dari
anak perempuan dan lainnya. Sedangkan contoh ahli waris yang terhijab misalnya,
cucu bila orang tuanya masih hidup, atau kakek bila ayah masih hidup. Termasuk juga
saudara-saudari almarhum akan terhijab manakala almarhum punya anak laki-laki.
Karena ahli waris sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram
baginya menerima lewat jalur wasiat.
Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan
ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja. Semua larangan ini
disepakati keharamannya, sedangkan dasarnya adalah larangan dari Rasulullah SAW
atas hal itu :
‫ال َ َو ِصيَّ َة ِل َو ِار ٍث‬
Tidak boleh memberi wasiat kepada ahli waris. (HR. Tirmizy, Abu Daud dan Ibnu
Majah)
Yang jadi masalah, ternyata hadits ini di mata para ahli hadits tidak shahih allias
dhaif. Padahal isi, konten dan hukumnya dibenarkan dan disepakati seluruh ulama
tanpa ada pengecualian.
Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H) di atas sudah menyatakan bahwa la washiyyata li
warits ini haditsnya tidak shahih. Namun para ulama sepakat menggunakannya sebagai
dasar dalil.
‫وإن كانت هذه األحاديث ال تثبت من جهة اإلسناد لكن لما تلقتها الكافة عن الكافة غنوا بصحتها عندهم عن طلب اإلسناد لها‬
Meskipun hadits ini tidak tsabit dari segi sanad, namun lantara kami dapati al-
kaffah dari al-kaffah, maka cukuplah dia menjadi shahih, tanpa harus memperhatikan
lagi sanadnya. .
Penutup
Kesimpulan yang sederhana dari bab ini adalah :
 Bahwa tidak semua hadits yang shahih bisa langsung diamalkan begitu saja.
Sebaliknya bahwa tidaklah karena suatu hadits ini dianggap lemah, lantas harus
dibuang.
 Dan ketika kita yang belajar hadits ini melakukan istimbath atau menarik
kesimpulan hukum atas suatu hadits, harus juga dibekali dengan ilmu lain seperti
Ilmu Fiqih dan ushulnya, agar tidak keliru dan tersesat di rimba ilmu syariah.
 Dan yang paling baik bagi kita yang belum terlalu menguasasi ilmu istimbath
hukum atas hadits-hadits yang kita ketahui, alangkah lebih baiknya kira rujuk
kepada kitab para ulama baik kitab syarah hadits ataupun kitab fiqih yang sudah
selesai dipastikan validitasnya.

Bab 6 : Ijma'
Setelah kita membicarakan Al-Quran dan As-Sunnah pada pada bab-bab sebelumnya
sebagai dua sumber utama Ilmu Fiqih, sekarang kita akan membahas sumber Ilmu Fiqih
yang ketiga, yaitu al-ijma’.
A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, kata ijma’ dapat bermakna al-‘azmu ala al-amri wal qath’u bihi ( ‫العز ُم‬
‫ )على األمر والقطع به‬yang arinya bertekad atas sesuatu dan berketetapan atasnya. Dapat
dapat juga bermakna al-ittifaq (‫)اِإل تِّفاق‬, yang artinya adalah kesepakatan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa kata ijma’ adalah lafadz musytarak (kata bermakna
ganda). Ada yang berpendapat bahwa makna asli dari ijma’ adalah al-‘azmu, dan
menjadi kesepakatan apabila tekat itu terjadi pada suatu kumpulan.
2. Istilah
Sedangkan ijma’ dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih didefinisikan sebagai :
‫ُأ‬
‫حم ٍد‬ّ ‫جته ِدين ِمن ّم ِة ُم‬ ِ ‫الم‬ ُ ‫يع‬ ِ
ِ ‫جم‬ ‫فاق‬ُ ّ‫ ا ِت‬ ‫عصر ِه‬
ِ ‫عصر ما بعد‬ٍ ‫ ِفي‬ ‫شرع ٍ ّي‬ ِ ‫أمر‬
ٍ ‫على‬
Kesepakatan dari semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW pada suatu masa setelah
masa kenabian pada suatu urusan syar’i.
Yang dimaksud dengan ‘urusan syar’i' adalah hal-hal yang tidak dapat diketahui
kecuali lewat khitab syar’i, baik bersifat perkataan, perbuatan, i’tikad atau pun
ketetapan.
Ijma' adalah kesepakatan para ahli fiqih dalam sebuah periode tentang suatu masalah
setelah wafatnya Rasulullah SAW tentang suatu urusan agama. Baik kesepakatan itu
dilakukan oleh para ahli fiqih dari sahabat setelah Rasulullah SAW wafat atau oleh
para ahli fiqih dari generasi sesudah mereka.
Contohnya bahwa para ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari
semalam dan semua rukun Islam.
B. Kedudukan dan Masyru’iyah
Ijma' merupakan sumber hukum dalam syariat yang ketiga setelah Al-Quran dan As-
Sunnah. Karena pada dasarnya Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama Islam terhadap
suatu masalah dalam satu waktu. Apabila telah terjadi ijma’ dari seluruh mujtahidin
terhadap suatu hukum, maka tidak boleh bagi seseorang menyelisihi ijma trsebut,
karena ummat (para mujtahidin) tidak mungkin bersepakat terhadap kesesatan.
Sejumlah ayat dan sunnah menjelaskan bahwa Ijma' adalah sumber dan hujjah dalam
menetapkan hukum.
1. Al-Quran
Allah SWT berfirman:
‫يرا‬ ً ‫مص‬ ِ ‫ؤم ِنين نُو ِل ّ ِه ما تول ّى ونُصلِ ِه جهنّم وساءت‬ ِ ‫الم‬
ُ ‫ِيل‬ِ ‫الهدى ويتّبِع غير سب‬ ُ ‫الر ُسول ِمن بع ِد ما تبيّن‬
ُ ‫له‬ ّ ‫ومن يُشا ِق ِق‬
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Ayat Al-Quran ini menegaskan bahwa orang yang menyelisihi apa yang telah disepakati
oleh umat Islam atau orang-orang yang beriman, yaitu dalam hal ini ijma’ yang telah
terjadi di tengah-tengah umat Islam, maka mereka itu termasuk orang yang sesat.
Bahkan ada hukuman di akhirat nanti buat mereka yang berbuat demikian, yaitu Allah
SWT akan masukkan ke dalam neraka jahannam, sebagai tempat kembali yang paling
buruk.
Di ayat lain, Allah telah memberikan tazkiyah (rekomendasi) kepada umat Islam
sebagai umat yang adil dan juga sebagai umat pilihan. Sehingga apa-apa yang telah
dipilih oleh umat Islam itu sudah merupakan jaminan dari Allah SWT
‫يدا‬
ً ‫شه‬ ِ ‫ول عليك ُم‬ ُ ‫الر ُس‬
ّ ‫اس ويك ُون‬ ِ ّ ‫وسطا ِل ّتك ُونُوا ُشهداء على الن‬ً ‫وكذلِك جعلناك ُم ُأ ّم ًة‬
Dan demikian Kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu. (QS. Al-
Baqarah : 143)
Dan di ayat Al-Quran yang lain lagi, Allah SWT sekali lagi memberikan pernyataan
yang menerangkan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik, yang dilahirkan bagi
umat manusia. Sehingga apa yang dipandang oleh umat Islam secara keseluruhan,
adalah apa yang terbaik untuk umat manusia juga.
ُ ‫خيرا ل ُّهم ِ ّم‬
‫نه ُم‬ ً ‫تاب لكان‬ ِ ‫أهل ال ِك‬ُ ‫ؤمنُون بِالل ِّه ولو آمن‬
ِ ُ‫نكر وت‬ِ ‫الم‬
ُ ‫عن‬ ِ ‫وف وتنهون‬ِ ‫ِالمعر‬
ُ ‫تأم ُرون ب‬
ُ ‫اس‬ِ ّ ‫خرجت ِللن‬ ِ ‫ك ُنتُم خير ُأ ّمةٍ ُأ‬
‫الفاس ُقون‬ ِ ‫وأكثر ُه ُم‬
ُ ‫ون‬ ‫ن‬
ُ ُِ
‫ؤم‬ ‫الم‬
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran : 110)
2. As-Sunnah
Sedangkan dalil-dalil yang menjadi dasar atas kehujjahan Ijma’ dari sunnah
Rasulullah SAW antara lain sabda beliau SAW:
ٍ‫يجتم ُع على ضاللة‬ ِ ‫ِإ ّن ُأ ّم ِتي ال‬
”Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan (HR. At-Tirmizy)
Sabda ini juga merupakan jaminan bahwa umat Islam ini tidak akan bersepakat pada
kesesatan. Maka apa yang telah menjadi kesepakatan seluruh umat Islam adalah
sesuatu yang mendapat jaminan atas kebenarannya. Dan jaminan itu langsung
ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda untuk menguatkan apa yang telah
disabdakannya pada hadits sebelumnya :
‫حسن‬
ٌ ِ
‫الله‬ ُ ‫المسلِ ُمون حسنًا‬
‫فهو ِعند‬ ُ ‫رآه‬ ُ ‫ما‬
”Apa yang menurut orang-orang Islam baik maka ia baik di sisi Allah. (HR. Ahmad)
Dan sebagai umat Islam, kita pun diwajibkan untuk ikut apa yang telah ditetapkan
dan diputuskan oleh jamaah umat Islam. Di hadits lain Rasulullah SAW bersabda
tentang hal ini :
‫أبعد‬ ِ ‫وهو ِمن اِإل‬
ُ ‫ثنين‬ ُ ‫الواح ِد‬
ِ ‫الشيطان مع‬ ِ
ّ ‫لجماعة وإياك ُم والفُرقة فِإن‬ِ‫عليك ُم با‬
Hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai, karena syetan bersama yang
sendiri dan dengan dua orang lebih jauh. (HR At-Tirmidzi)
Bahkan Rasulullah SAW sampai mengatakan bahwa orang yang keluar dari apa yang telah
disepakati dalam jamaah umat Islam, seperti orang yang telah melepaskan ikatan
agama Islam dari lehernya, meski pun secara ritual dia telah mengerjakan banyak
ibadah yang bersifat individual, seperti puasa dan shalat.
: ‫الله وِإ ن صلى وصام؟ قال‬ ِ ُ ‫ يا‬: ‫رج ٌل‬
‫رسول‬ ُ ‫ فقال‬. ‫عن ُ ِق ِه ِإ ال ّ أن يرجِ ع‬ ٍ ‫من فارق الجماعة ِقيد ِش‬
ُ ‫بر فقد خلع ِربقة اِإل سال ِم ِمن‬
‫وِإ ن صلى وصام‬
Dari al-Harits al-Asy’ari dari Nabi SAW bersabda:’Siapa yang meninggalkan jamaah
sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya kecuali jika kembali.
Seseorang bertanya,’ Wahai Rasulullah, walaupun dia sudah mengerjakan shalat dan
puasa?’. Maka Rasulullah SAW menjawab:’Walaupun dia shalat dan puasa.’ (HR Ahmad
dan at-Turmudzi)
Sementara orang yang meninggalkan jamaah umat Islam, juga diibaratkan sebagai orang
yang mati di zaman jahiliyah.
)‫جاهلِي ًة (متفق عليه‬
ِ ‫برا فمات ِإ ال ّ مات ِميت ًة‬ً ‫من فارق الجماعة ِش‬
Siapa yang meninggalkan jamaah sejengkal kemudian mati, kecuali mati dalam keadaan
jahiliyah’ (Muttafaqun ‘alaihi)
Disamping itu Ijma' dilakukan berdasarkan dalil di dalamnya sebab tidak mungkin
ulama dalam masa tertentu melakukan kesepakatan tanpa dalil syariat. Karenanya,
para ulama mutaakhir (generasi belakangan) ingin mengetahui Ijma' maka yang dicari
bukan dalil Ijma' namun kebenaran adanya Ijma' itu sendiri, apakah benar
periwayatannya atau tidak.
C. Mungkinkah Terjadi Ijma’?
Kalau melihat betapa beratnya syarat-syarat yang harus terpenuhi pada suatu ijma’,
seperti harus seluruh umat Islam bersepakat bulan atas suatu perkara, sementara
umat Islam ini tersebar di seluruh belahan muka bumi, maka ada sebagian kalangan
pesimistis bisa terjadi ijma’ di tengah-tengah umat Islam.
Mereka yang pesimistis itu bahkan sampai mengklaim bahwa ijma’ umat Islam tidak
pernah betul-betul terjadi sepanjang sejarah. Apalagi kalau ditambah dengan
peristiwa perpecahan, peperangan dan perselisihan yang berkecemuk di tengah-tengah
umat Islam sepanjang sejarahnya yang 14 abad itu, maka bertemunya kesepakatan dari
seluruh umat Islam tidak akan pernah tercapai.
Pendapat yang pesimistis ini harus diakui memang ada, tetapi sesungguhnya
keberadaan mereka itu tidak bisa dijadikan dasar untuk membenarkan apa yang mereka
pikirkan. Sebab jumlah mereka yang berpendapat seperti itu sangat kecil. Sedangkan
mereka yang memandang bahwa ijma’ itu adalah realitas yang sudah terjadi sejak
zaman dahulu hingga sekarang ini, justru sulit dipungkiri.
Misalnya ijma’ bahwa shalat 5 waktu itu hukumnya fardhu ‘ain. Tidak ada seorang pun
yang menolak ijma’ tersebut, kecuali para zindiq dan penyebar aliran sesat saja.
Mereka yang menentang kewajiban shalat 5 waktu tidak termasuk ke dalam syarat orang
yang pendapatnya bisa dijadikan dasar ijma’.
Di masa Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah Rasulullah SAW, seluruh umat Islam
saat itu sepakat mengkafirkan orang-orang yang menentang syariat zakat, serta
menghalalkan darah mereka. Sehingga Abu Bakar membentuk sebuah pasukan besar untuk
memerangi kaum yang menolak dan mengingkari syariat zakat.
Masih di masa yang sama, seluruh umat Islam saat itu sepakat untuk menuliskan
seluruh ayat Al-Quran dalam satu bundel mushhaf. Padahal sebelumnya hal itu belum
pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, bahkan beliau SAW sama sekali tidak pernah
memerintahkan, atau pun misalnya sekedar mengusulkan atau memberi isyarat.
D. Kehujjahan Ijma’
Para ulama menjadikan dalil ijma’ sebagai hujjah yang bersifat qath’i. Tentunya
selama hal itu memang nyata terbukti sebagai ijma’ dalam arti yang sebenarnya.
Sebab kita tahu ada hal-hal yang sering diklaim sebagai sebuah ijma’, namun
ternyata masih diperselisihkan keijma’annya.
E. Sandaran Ijma’
Biar bagaimana pun sebuah ijma’ ulama tidak lahir begitu saja. Sebab ijma’ bukan
wahyu yang turun dari atas langit dari sisi Allah ke bumi. Sehingga sebuah ijma’
terbentuk dengan berdasarkan sesuatu yang disandarkan atasnya.
Sandaran buat sebuah ijma’ menurut Dr. Abdul Karim Zaidan antara lain :
1. Nash Al-Quran
Ketika para ulama berijma’ mengharamkan pernikahan antara seorang laki-laki dengan
ibunya, atau dengan anak perempuannya, saudari perempuan, atau bibinya, maka
sandarannya adalah ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem.
ِ ‫وبنات اُأل‬
‫خت‬ ُ ‫األخ‬
ِ ‫وبنات‬
ُ ‫وعماتُك ُم وخاالتُك ُم‬
ّ ‫ُح ِ ّرمت عليك ُم ُأ ّمهاتُك ُم وبناتُك ُم وأخواتُك ُم‬
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan. (QS. An-Nisa’ : 23)
2. Nash Al-Hadits
Ketika para ulama berijma’ bahwa bagian harta warisan yang diterima oleh seorang
kakek yang ditinggal mati oleh cucunya adalah 1/6, maka ijma’ itu didasarkan pada
hadits ahad.
3. Qiyas
Ketika para ulama berijma’ bahwa minyak babi dan lemaknya adalah najis dan haram
dimakan, maka hal itu adalah qiyas yang mereka lakukan terhadap daging babi.
Mengingat bahwa yang disebutkan keharamannya adalah daging babi, dan lemaknya tidak
ikut disebutkan. Namun qiyas yang mereka lakukan itu sampai ke derajat ijma’.
Artinya, seluruh ulama bersepakat mengqiyaskan lemak babi dengan daging babi, tanpa
kecuali.
4. Ijtihad
Dan ketika para ulama berijma dan menyepakati untuk menghalalkan darah orang yang
mengingkari kewajiban zakat, maka ijma’ itu berangkat dari ijtihad.
Ketika ijma’ sudah terjadi di atas sandaran-sandarannya, maka sandaran-sandaran itu
sudah tidak lagi diperlukan. Dan diharamkan menyelisihi ijma’ yang sudah terbentuk
itu.
Karena kedudukan ijma’ begitu tinggi, maka bila ada seseorang yang mengingkari
ijma’ yang telah terbentuk, dimana ijma’ itu bersifat qath’i dan biasanya yang
dijadikan ijma’ itu perkara-perkara yang fundamental dalam agama, maka dia dianggap
telah kafir kepada agama Islam.
Misalnya, wajibnya shalat 5 waktu adalah perkara qathi dan termasuk masalah
fundamental dalam agama, dan hal itu termasuk ke dalam salah satu contoh ijma’.
Maka bila ada orang yang mengingkari kewajiban shalat 5 waktu itu, dia telah keluar
dari agama Islam.
Demikian juga para ulama telah berijma’ bahwa puasa di bulan Ramadhan hukumnya
fardhu. Kewajiban puasa Ramadhan adalah perkara fundamental agama yang bersifat
qath’i tanpa ada yang berbeda pendapat. Dan itulah yang dimaksud dengan ijma’. Bila
ada orang yang mengingkari kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dia telah kehilangan
statusnya sebagai muslim.
Mengingkari bahwa berzina dan meminum khamar itu adalah hal yang telah mutlaq
diharamkan, juga bisa mengakibatkan pelakunya keluar dari agama Islam. Karena
haramnya zina dan khamar telah menjadi ijma’ umat Islam.
Namun ada juga contoh ijma’ tertentu yang pengingkarnya tidak dianggap kafir.
Misalnya, detail-detail pembagian harta warisan banyak yang sudah mencapai level
ijma’. Namun dengan begitu banyaknya orang awam di kalangan muslimin, kita tidak
bisa mengatakan bahwa ketidak-tahuan mereka itu sebagai bukti kekafiran mereka.
F. Ijma’ Di Zaman Modern
Ketika para shahabat Nabi SAW pergi meninggalkan Madinah sepeninggal beliau SAW,
dan tinggal berpencar-pencar di berbagai pusat peradaban Islam, maka sejak saat itu
ijma’ di antara para ulama mengalami kesulitan secara teknis. Sebab di masa itu,
peradaban Islam mengalami pemekaran yang sangat luas, hingga sampai meliputi tiga
benua, yaitu Asia, Afrika dan Eropa. Bahkan sampai punya ke Indonesia
(baca:nusantara) yang jaraknya sedemikian jauh.
Sehingga ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa nyaris mustahil terjadi
ijma’ semenjak masa itu dan masa-masa sesudahnya. Alasannya tentu karena faktor
teknis yang tidak memungkinkan mengumpulkan para ulama dari seluruh dunia di masa
itu.
1. Kemajuan Teknologi
Namun kini kita hidup di masa yang amat modern, dimana teknologi yang kita punya di
zaman ini tidak pernah terfikirkan dan tidak pernah terduga oleh orang-orang yang
hidup di masa lalu. Dua ratusan tahun yang lalu kemajuan teknologi dan kehidupan
manusia masih seperti zaman pra sejarah. Dan apa yang kita dapatkan dari kemajuan
teknologi di hari ini, jangankan menduga, mimpi pun juga tidak pernah mereka alami.
a. Alat Tranportasi
Kalau di masa lalu dari Madinah ke Yaman atau ke Syam butuh waktu 2 minggu berjalan
kaki, maka hari ini hanya butuh 2 jam saja dengan pesawat terbang. Karena kita
sekarang ini hidup di zaman pesawat jet yang bisa terbang dengan kecepatan
mendekati kecepatan suara. Kecepatan suara bergerak di dalam atmosfir kita diukur
kira-kira 1.000 km/jam. Dan kecepatan sebuah pesawat jet penumpang komersial antar
negara umumnya mendekati angkat 900km/jam
Maka mengumpulkan para ulama dari berbagai negara untuk pertemuan beberapa hari
untuk melakukan ijma’, secara teknis bisa dengan mudah dilakukan. Jangankan
mengumpulkan ulama yang jumlahnya terbatas di dunia ini, setiap tahun tidak kurang
dari 2 sampai 3 juta orang berkumpul di Arafah untuk melaksanakan ibadah haji.
Event-event untuk mengumpulkan orang sedunia di satu titik bukan hal yang aneh lagi
di zaman sekarang. Perhelatan piala dunia adalah contohnya, yaitu bagaimana berjuta
orang dari berbagai negara dalam waktu yang cepat bisa berkumpul di suatu negara,
sekedar buat nonton orang mengejar-ngejar bola yang bundar.
Maka di masa sekarang ini, sudah mulai dirintis upaya untuk mempertemukan para
ulama sedunia di dalam berbagai macam even pembahasan masalah-masalah fiqih
sedunia. Beberapa majma’ fiqih secara rutin selalu mengadakan pertemuan di tingkat
international, yang dihadiri oleh hampir seluruh ulama dan perwakilan dari berbagai
negara.
Semua bisa terjadi dengan mudah berkat majunya teknologi tranportasi, khususnya
mesin-mesin jet yang bisa membelah angkasa, dalam waktu sekejap berhasil
mengantarkan orang ke negeri yang terjauh yang pernah ada.
b. Telekomunikasi
Teknologi komunikasi di zaman internet ini bahkan dapat membuat para ulama sedunia
saling berkomunikasi dan berdiskusi panjang lebar tanpa harus menggeser pantatnya
sedikit pun dari tempat duduknya. Telepon dan internet telah mengubah segala yang
dahulu tidak mungkin dilakukan menjadi sangat mungkin, bahkan dengan nilai yang
jauh lebih ekonomis dan terjangkau.
Dan dengan teknologi yang lebih maju, konferensi bisa dilakukan secara live yang
diikuti oleh peserta yang secara fisik mereka tetap berada di negara masing-masing,
tetapi dengan jelas bisa saling melihat dan mendengar serta bertukar pendapat.
Sudah banyak stasiun televisi yang melakukan wawancara jarak jauh lintas benua
dengan beberapa nara sumber sekaligus. Hebatnya, acaranya itu disiarkan secara
live. TV Aljazeera seringkali melakukan talk-show dengan banyak ulama yang tinggal
berjauhan, tetapi dikemas dalam satu acara bersama.
Bukan hanya itu, tetapi tulisan ilmiyah yang mereka susun saat itu juga bisa
langsung diupload ke internet dan langsung didownload oleh jutaan orang di
permukaan planet bumi.
Para ulama bisa mengirim (memposting) tulisan mereka di suatu situs, untuk
dijadikan kajian oleh sekian banyak ulama lain yang tersebar di berbagai belahan
bumi. Tulisan itu bisa dikomentari, dikritisi dan juga diberikan masukan ini dan
itu, sehingga hasilnya bisa menjadi sebuah fatwa bersama, dan pada akhirnya bisa
menjadi ijma’ di zaman modern.
Penulis sendiri seringkali diminta menjadi nara sumber buat saudara-saudara kita
yang ada di daratan Eropa, Amerika, Australia dan lainnya, hanya dengan menggunakan
telepon genggam. Sehingga ceramah hukum-hukum syariah dan tanya jawabnya dilakukan
antar negera, di belahan dunia sana para jamaah asyik berkumpul mendengarkan,
sementara Penulis menjawab pertanyaan mereka satu per satu sambil menyetir mobil
2. Tantangan
Namun demikian, meski di zaman modern ini kita bersyukur memiliki alat-alat yang
canggih, sehingga membuat apa-apa yang dahulu dianggap tidak mungkin, kini bisa
kembali menjadi sangat mungkin dan juga dengan harga yang sangat murah, tetapi saja
masih ada kekurangan disana-sini.
Kekurangan itu antara lain adalah :
a. Kurangnya Ulama
Kalau di masa lalu dengan mudah kita bisa menemukan ulama dengan segala
persyaratannya, justru di masa sekarang ini kita malah kebingungan untuk menetapkan
siapa sajakah para ulama itu hari ini.
Sebab terkadang penampilan mereka dengan segala atributnya sering membuat kita
terpukau, apalagi kalau berbicara di depan publik, seolah-olah orang yang benar-
benar ulama, karena kepandaiannya menyusun kata dan berorasi.
Tetapi semua itu belum tentu menjamin apakah mereka benar-benar ulama dalam arti
yang sesungguhnya. Sebab kita masih seperti membeli kucing di dalam karung, yang
belum jelas seperti jenis dan bentuknya. Ibarat kita membeli barang dalam
bungkusannya yang disegel, tidak bisa dilakukan uji coba dan dilakukan pengetesan
terhadap kualitasnya.
Memang benar ada hadits yang menyebutkan di akhir zaman nanti Allah SWT akan
mencabut ilmu dengan meninggalnya para ulama.
ِ ً ‫العلم اِن ِت‬
ً ‫وسا ُج ّهاال‬
ً ‫اس ُر ُء‬ ُ ّ ‫بق عالِ ًما اتّخذ الن‬ ِ ُ ‫حتى ِإ ذالم ي‬
ّ ‫العلماء‬ ِ ‫العلم ب‬
ُ ‫ِقبض‬ ِ ‫العبا ِد ول ِكن يقب ُِض‬
ِ ‫ع ُه ِمن‬
ُ ‫ينتز‬
ِ ‫زاعا‬ ِ ‫ِإ ّن الله ال يقب ُِض‬
‫لم فضلُّوا وأضلُّوا‬ ٍ ‫ِغير ِع‬ ِ ‫فسِئل ُوا فأفتوا ب‬
ُ
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi
Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa
satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi
pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka
berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun bukan berarti kita benar-benar tidak punya ulama. Dan hadits ini bukan
memerintahkan kita untuk pasrah menerima takdir. Sebaliknya hadits ini justru
merupakan tantangan besar buat kita yang hidup di akhir zaman ini untuk terus
menerus mencetak, membina dan mengkader para ulama untuk zaman berikutnya.
Ada ungkapan yang konon disebutkan oleh Ali,”Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu
untuk suatu zaman yang bukan zamanmu. Mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan
zamanmu".
Seorang tentara tidak akan mendapatkan seragam dan senjata, kecuali setelah
melewati beberapa tahun pendidikan yang panjang, keras dan berat. Hanya mereka yang
dianggap memenuhi syarat saja yang diterima di akademi militer untuk bisa mengikuti
pendidikan itu. Dan hanya mereka yang benar-benar lulus secara sempurna yang
akhirnya berhak menyandang gelar sebagai tentara dengan berbagai macam level
kepangkatannya. Kalau tentara saja harus lewat pendidikan, maka ulama seharusnya
lebih diurus lagi dan tidak diserahkan kepada umat secara alami.
Seorang dokter tidak mungkin berpraktek sebelum mendapatkan izin praktek. Dan untuk
itu dia harus menghabiskan waktu bertahun-tahun kuliah di fakultas kedokteran. Dan
hanya mereka yang benar-benar anak pintar saja yang bisa lolos masuk seleksi
menjadi mahasiswa di fakultas kedoteran itu. Tidak sedikit mahasiswa kedokteran
yang putus kuliah di tengah jalan, karena otak mereka ternyata tidak punya
kapasitas yang memadai dan akhirnya dropped out alias gagal. Kalau untuk berpraktek
dokter harus melewati proses berlapis-lapis, maka untuk menjadi ulama pun juga
harus sedemikian juga. Tidak mungkin ulama dilahirkan lewat program di televisi.
Maka yang kita butuhkan adalah sekolah para ulama dalam arti yang sesungguhnya.
Intinya, mereka diberi bekal-bekal pengetahuan agama yang cukup selama bertahun-
tahun, dengan level tertentu. Selesai itu mereka harus diuji sedemikian rupa untuk
memastikan kualitas, kapasitas, kemampuan, dan kehandalan mereka, agar tidak
terjadi penurunan di tengah masyarakat nanti. Tentu sangat wajar kalau para ulama
ini harus distandarisasi secara profesional. Sebab profesi ini sangat berat dan
mengandung resiko yang tidak kecil.
Jaksa, hakim dan berbagai jenis profesi itu ada standarisasi dan sertifikatnya.
Bagaimana mungkin para ulama tidak perlu standarisasi itu?
b. Ulama Gaptek
Kalau kita sudah punya berlapis ulama yang memenuhi standar, masalah yang lain
adalah urusan gagap teknologi. Meski teknologi berkembang sedemikian pesat di
sekeliling kita, namun umat Islam nyaris hampir tidak pernah memanfaatkannya demi
kepentingan agama dan ilmu syariah.
Apalagi di level para ulama sendiri, hanya segelintir kecil saja mereka yang melek
teknologi dan memanfaatkan teknologi itu untuk kepentingan profesi mereka sebagai
ulama.
Dari seribu ulama yang saya kenal, yang punya situs internet hanya beberapa orang
saja. Itu pun kebanyakannya tidak terurus alias tidak ada update tulisan terbaru.
Walau pun urusan ini bukan sebuah ukuran, tetapi secara tidak langsung kita bisa
menilai bahwa teknologi walau pun tersedia dengan mudah dan murah, tetapi bukan
berarti perkaranya selesai. Ternyata masih ada kendala gaptek yang menyelubungi
para ulama dan umat Islam secara keseluruhan.
Ulama yang ilmu tinggi sungguh sangat banyak, tapi sedikit dari mereka yang akrab
dengan teknologi. Sebaliknya, umat Islam yang awam dan akrab dengan teknologi itu
juga banyak, tetapi mereka adalah level orang awam yang ilmunya bukan level ulama.
Sebenarnya kalau kedua belah pihak bisa bekerja sama, kita akan mendapatkan dua
keuntungan itu. Tapi sekali lagi, kerja-sama itu jarang-jarang terlihat.

Bab 7 : Qiyas
Sumber Ilmu Fiqih utama yang berada pada urutan keempat adalah qiyas. Dalam bab ini
kita akan membahas tentang qiyas mulai dari pengertian, rukun, syarat, kehujjahan
serta beberapa contoh qiyas dalam kehidupan sehar-hari.
A. Pengertian Qiyas
Kalau kita menyebut kata qiyas, maka setidaknya ada dua makna yang perlu diuraikan,
yaitu makna qiyas secara bahasa dan makna qiyas menurut istilah para ulama ushul
fiqih.
1. Bahasa
Kata qiyas (‫ )قياس‬berasal dari akar kata qaasa - yaqishu - qiyaasan (‫)قاس يقيس قياسا‬.
Makna qiyas secara sederhana adalah pengukuran (‫)تقدير‬.
Sedangkan bila pengertian secara bahasa ini mau dilengkapi, Dr.Wahbah Az-zuhaily
menyebutkan :
‫الشي ِء بِما يُما ِثل ُُه‬ ّ ‫قدر‬
ِ ‫معرف ُة‬
ِ
Mengetahui ukuran sesuai dengan apa yang semisal dengannya.
Misalnya kita mengatakan bahwa Fulan mengukur panjang kain dengan menggunakan
meteran.
Senada dengan pengertian secara bahasa di atas, di dalam kamus Al-Bahrul Muhith
disebutkan bahwa qiyas adalah :
‫وتسويتُ ُه ب ِِه‬
ِ ‫ير شي ٍء على ِمثال شي ٍء‬ ُ ‫تق ِد‬
Mengukur sesuai dengan ukuran sesuatu yang lain dan membandingkannya.
2. Istilah
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan
para ulama ushul fiqih, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian
yang sama.
Dr. Wahbah Az-Zuhaily mengutip beberapa pendapat dari para ulama ushul menyebutkan
bahwa mereka mendefisnikan pengertian qiyas sebagai :
‫رع ٍّي بِما يُما ِثل ُُه‬ ّ ‫وص على ُحم ِك ِه‬
ِ ‫الش‬ ٍ ‫منص‬
ُ ‫غير‬
ُ ‫أمر‬
ٍ ‫لحاق‬
ُ ‫ِإ‬
Menjelaskan status hukum syariah pada suatu masalah yang tidak disebutkan nash-nya,
dengan masalah lain yang sebanding dengannya.
Perlu diperhatikan bahwa para ulama ushul dalam membuat definisi qiyas menggunakan
kata ilhaq (‫)إلحاق‬, yang bermakna menjelaskan atau menerangkan, mereka tidak
menggunakan kata itsbat (‫ )إثبات‬yang bermakna menetapkan.
Alasannya, karena sebenarnya hukum suatu masalah yang tidak disebutkan nashnya itu
pada hakikatnya sudah punya dasar hukum yang tercakup di dalam nash itu, hanya
banyak orang awam yang belum mengerti atau memahami hukumnya, karena memang tidak
disebutkan secara eksplisit lewat dalilnya.
Misalnya, ketika Al-Quran mengharamkan khamar, banyak orang awam di masa itu
berpikir bahwa khamar hanya terbatas perasan buah anggur dan kurma saja. Mengingat
yang tertulis di dalam ayat lain hanya keduanya.
‫ورزقًا حسنًا‬ ِ ‫سكرا‬ ً ُ ‫واألعناب تتّ ِخذُون ِم‬
‫نه‬ ِ ‫يل‬ِ ‫ثمرات الن ّ ِخ‬
ِ ‫ومن‬ِ
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang
baik. (QS. An-Nahl : 67)
Namun para fuqaha memahami bahwa selain air perasan anggur dan kurma, juga punya
pengaruh memabukkan yang sama. Maka meski bukan berasal dari buah kurma atau
anggur, bila keadaannya sama, hukumnya tetap khamar.
Dalam istilah fiqih, air perasan buah-buahan yang dibuat menjadi minuman yang
memabukkan disebut nabidz. Meski tidak disebutkan secara eksplisit di dalam ayat
itu, tetapi hukumnya ikut juga dengan hukum khamar, yaitu haram diminum.
B. Dasar Penggunaan Qiyas
Kita tidak menemukan perintah yang sifatnya eksplisit di dalam Al-Quran atau dari
Nabi SAW untuk menggunakan qiyas. Namun kebanyakan ulama menggunakan qiyas dengna
dasar perintah untuk mengambil pelajaran (i’tibar) atau perintah untuk berijtihad:
1. Perintah Mengambil I’tibar
‫األبصار‬
ِ ‫فاعتب ُِروا يا ُأولِي‬
“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang
mempunyai pandangan”. (QS. Al-Hasyr: 2)
Sebab turun ayat ini tentang hukuman Allah terhadap Yahudi Bani Nadhir disebabkan
sikap buruk mereka terhadap Rasulullah.
Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai
i’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama,
termasuk qiyas.
2. Perintah Kembali kepada Allah dan Rasul
‫ول‬ ِ ‫الر ُس‬ َّ ‫وه ِإ ل َى الل َّ ِه َو‬ ُ ‫عتُ ْم ِفي َش ْي ٍء ف َُر ُّد‬ ْ ‫ول َوُأولِي الَْأ ْم ِر ِمنْك ُْم ۖ َفِإ ْن َتنَا َز‬ َ ‫الر ُس‬
َ ّ ‫يعوا‬ ُ ‫يعوا الل َّه َوَأ ِط‬ ُ ‫آمنُوا َأ ِط‬
َ ‫ين‬ َ ‫يَا َأي ُّ َها ال ّ َ ِذ‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul. (QS. An-Nisa : 59)
Al-Fakhru Ar-Razi (w. 606 H) dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib menafsirkan bahwa
yang dimaksud mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul di ayat ini adalah
perintah untuk menggunakan qiyas.
Sebab pada hakikatnya qiyas itu adalah menggunakan Quran dan Sunnah Rasulullah SAW
juga, meski tidak disebutkan secara eksplisit dengan menggunakan istilah qiyas.
‫عل َى الَْأ ْم ِر‬ َ ‫ت َأ َّن ال ْآيَ َة َدال َّ ٌة‬ َ َ‫ َفثَب‬،‫اس‬ ُ َ‫ َو َذلِ َك ُه َو ال ْ ِقي‬،‫وص ِة ِفي ال َْوقَاِئ ِع ال ُْم َشاب َِه ِة ل َُه‬ َ ‫اد َر ّ َد ُحك ِْم ِه ِإ ل َى الَْأ ْحك َا ِم ال َْمن ْ ُص‬ َ ‫ب َأ ْن يَك‬
ُ ‫ُون ال ُْم َر‬ َ ‫ف ََو َج‬
ِ
‫بِال ْ ِقيَاس‬
Maka wajib dipahami maksudnya bahwa mengembalikan hukum yang ada nash dalam kasus
yang punya kesamaan hukumnya. Dan itulah qiyas. Maka ayat ini menegaskan perintah
menggunakan qiyas.
3. Perintah Ikut Istimbath
‫ين ي َ ْستَنْب ُِطون َ ُه ِمن ْ ُه ْم‬ َ ‫ول َوِإ ل َٰى ُأولِي الَْأ ْم ِر ِمن ْ ُه ْم ل ََعلِ َم ُه ال َّ ِذ‬ ِ ‫الر ُس‬
َ ّ ‫وه ِإ ل َى‬ ُ ‫ف َأذ‬
ُ ‫َاعوا ب ِِه ۖ َول َْو َر ُّد‬ ِ ‫اء ُه ْم َأ ْم ٌر ِم َن الَْأ ْم ِن َأ ِو ال َْخ ْو‬ َ ‫َوِإ ذَا َج‬
Seandainya mereka kembalikan kepada Rasul dan ulil amri (ulama) di antara mereka,
tentulah orang-orang yang melakukan istimbath dapat mengetahuinya. (QS. An-Nisa :
83)
Disini ada istilah istimbath, yaitu melakukan penggalian lebih dalam, tidak sebatas
apa yang tersurat dalam zahir nash, tetapi juga sampai ke hukum-hukum apa yang
terkandung di dalamnya secara tersirat.
Istimbath atau penggalian yang lebih jauh mendalam inilah yang dimaksud dengan
melakuan qiyas. Dimana kasusnya memang tidak tersurat secara terang dalam nash Al-
Quran, namun ternyata kalau digali lebih dalam, akan didapat ‘illat hukum yang
menjadi essens. Lalu essens inilah yang bisa dijadikan hukum bagi kasus-kasus lain
yang belum termuat teksnya di dalam Al-Quran.
4. Perintah Mengganti Dengan Yang Setara
‫َج َزاءٌ ِمث ُْل َما َقتَ َل ِم َن الن ّ ََع ِم‬ َ ‫َو َم ْن َقتَل َُه ِمنْك ُْم ُمتَ َع ِ ّم ًدا ف‬
Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak setara dengan buruan yang dibunuhnya. (QS. Al-
Maidah : 95)
Meski ayat ini bicara tentang larangan membunuh hewan bagi yang sedang ihram, namun
Al-Imam Asy-syafi’i di dalam kitab Al-Umm menegaskan bahwa ada kandungan pelajaran
dalam ayat ini untuk mengganti dengan yang setara dengan hewan yang dibunuhnya.
Maka ini juga merupakan isyarat atas diberlakukannya qiyas dalam hukum.
‫فجعلت مثله وهذا من القياس‬ ُ ً ‫أقرب األشياء منه َشبَ َها‬ َ ‫الجفرة في البدنولكنها كانت‬ َ ‫والعلم يحيط أن اليربوع ليس مثل‬
Dan ilmu menegaskan bahwa yarbu’ (jerboa) tidak sama dengan jafrah dalam ukuran
badan, tetapi ini yang lebih dekat, maka dianggap setara antara keduanya. Dan
inilah qiyas.
5. Perintah Untuk Belaku Adil
‫ون‬ َ ‫ح َشا ِء َوال ُْمنْك َِر َوال ْبَ ْغ ِي ۚ يَ ِع ُظك ُْم ل ََعلَّك ُْم تَ َذك َّ ُر‬ َ ‫ان َوِإ يتَا ِء ِذي ال ْ ُق ْربَ ٰى َويَن ْ َه ٰى‬
ْ ‫ع ِن ال ْ َف‬ ِ ‫ِإ ّ َن الل ّ َ َه يَْأ ُم ُر بِال َْع ْد ِل َوالِْإ ْح َس‬
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(QS. An-Nahl : 90)
Ibnu Taimiyah menggunakan ayat ini sebagai dasar penggunaan qiyas. Hal itu
sebagaimana diutarakan oleh Dr. Ali An-Namlah dalam kitabnya Ittihaf Dzawil
Bashair.
6. Perumpamaan dan Perbandingan Dalam Al-Quran
Di dalam Al-Quran kita menemukan perumpamaan dan perbandingan yang banyak
jumlahnya, bertabur di sepanjang awal surat hingga akhir. Semua itu tidak lain
adalah dasar dari penggunaan qiyas juga.
Intinya kita diperintah untuk melihat perumpamaan dan perbandingan-perbandingan
yang ada pada ciptaan Allah, sebagaimana kita diperintah untuk melakukan
perbandingan antara kasus yang ada teks ayatnya dengan yang tidak ada teksnya,
karena adanya unsur kesamaan antara keduanya.
‫ون‬ َ ‫َو ِتل َْك الَْأ ْمث َُال ن َ ْض ِربُ َها ِللن ّ َِاس ۖ َو َما يَ ْع ِقل َُها ِإ لَّا ال َْعالِ ُم‬
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu. (QS. Al-Ankabut : 43)
‫اب‬ ٍ ‫آد َم ۖ َخل َ َق ُه ِم ْن تُ َر‬ َ ‫يس ٰى ِعن ْ َد الل َّ ِه ك ََمث َِل‬ َ ‫ِإ َّن َمث ََل ِع‬
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan)
Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah. (QS. Ali Imran : 59)
‫َاه ْم ِفي الَْأ ْر ِض َما ل َْم ن ُ َم ِك ّ ْن لَك ُْم‬ ُ ّ ‫َأل َْم يَ َر ْوا ك َْم َأ ْهلَكْنَا ِم ْن قَبْلِ ِه ْم ِم ْن ق َْر ٍن َمكَّن‬
Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan
sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. (QS. Al-Anam : 6)
C. Rasulullah SAW Sebagai Guru Besar Qiyas
Menggunakan qiyas itu adalah ajaran inti dari Rasulullah SAW. Memang beliau memberi
warisan berupa Al-Quran dan Sunnah, yang selama kita berpegang pada keduanya tidak
akan pernah sesat selamanya.
Tapi jangan lupa bahwa Beliau SAW juga mengajarkan bagaimana caranya menarik
kesimpulan hukum dari keduanya, meski kasusnya tidak tertuang secara tekstual. Dan
di kemudian hari, para ulama ushul fiqih menamakannya sebagai qiyas.
1. Hadits Muadz
Ketika Muadz bin Jabal dikirim ke Yaman, Rasulullah SAW sempat melakukan tes
kepadanya.
ِ
‫الله‬ ‫ول‬
ِ ‫رس‬ ُ ‫ فب ُِسن ّ ِة‬: ‫الله ؟ قال‬ ِ ‫اب‬ِ ‫في ك ِت‬ ِ ‫ فِإن لم تجِ د‬: ‫قال‬. ‫الله‬ ِ ِ ‫أقضي ب ِك‬
‫تاب‬ ِ : ‫ع ِرض لك قضاء ؟ قال‬ ُ ‫تقضي ِإ ذا‬
ِ ‫ كيف‬
‫ول الله‬ ِ ُ‫رس‬ ‫ة‬ ِ ‫ن‬ ‫س‬
ّ ُ ِ ‫في‬ ‫د‬ ِ‫تج‬ ‫لم‬ ‫ن‬ ‫ِإ‬ ‫ف‬ : ‫قال‬  ِ
‫الله‬ ‫ول‬ُ ‫رس‬
ُ ‫فضرب‬ . ‫آلو‬ ‫وال‬ ‫رأي‬
ِ ‫د‬ُ ِ‫أجته‬ : ‫قال‬ ‫؟‬ ‫الله‬ ‫اب‬
ِ ‫ت‬ِ ‫ك‬ ‫في‬
ِ ‫وال‬  ‫صدره‬
ُ
ِ
‫الله‬ ‫ول‬ ُ ‫رس‬ُ ‫الله لِما يرضي‬ ِ ‫ول‬ِ ‫رس‬ ُ ‫ول‬ ُ ‫الحمد لِل ّه ال ِّذي وفق‬
ُ ‫رس‬ ُ : ‫وقال‬
Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya,"
Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau? Muaz
menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana
jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Saya akan putuskan dengan sunnah
Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan
dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan
berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka
Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah
menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah (HR Abu
Daud)
Maka tes ini disepakati secara bulat oleh para ulama tentang kebolehan atau malah
kewajiban menggunakan qiyas, ketika tidak ditemukan teksnya dalam Al-Quran dan As-
Sunnah. Dan bahwa qiyas adalah ajaran yang disampaikah Rasulullah.
2. Kasus Umar Mencium Istri Lagi Puasa
Ketika menjawab pertanyan Umar yang mencium istrinya saat puasa, apakah hal itu
membatalkan atau tidak, Rasulullah membandingkannya dengan berkumur-kumur saat
puasa.
Maka Rasulullah SAW saat itu bukan hanya sekedar menjawab hukumnya, tetapi
sekaligus mengajarkan bagaimana cara untuk melakukan qiyas. Padahal Beliau SAW bisa
saja langsung memberi jawabannya, namun nampaknya disitu sedang terjadi proses
pembelajaran kepada Umar tentang bagaimana qiyas dilakukan.
Di kemudian hari nanti, Umar termasuk menjadi salah satu rujukan dalam masalah
qiyas, dimana beliau banyak sekali berfatwa dengan mendasarkannya pada qiyas.
3. Ibu Wafat Punya Hutang Puasa
Dalam kasus seorang yang melaporkan kepada Rasulullah SAW bahwa ibundanya wafat
padahal punya hutang puasa. Lagi-lagi Rasulullah SAW mengajarkan logika qiyas.
Meski secara tidak langsung, namun Beliau menqiyas apabila almarhumah punya hutang
kepada manusia, tentu sang anak akan membayarkan hutangnya. Maka demikian juga
dengan hutang kepada Allah SWT, tentu lebih utama lagi untuk dibayarkan oleh sang
anak.
Namun di akhir masa pensyariatan, hukumnya mengalami perubahan, dimana hutang puasa
almarhum yang terlanjur meninggal dunia tidak perlu dibayar dengan puasa dari
keluarganya, melainkan cukup dengan dibayarkan saja fidyahnya. Ketentuan itu
mengacu kepada turunnya ayat Al-Quran tentang fidyah di dalam Surat Al-Baqarah.
4. Ibu Wafat Punya Nadzar Haji
Kasus yang agak mirip adalah kisah wanita yang juga melaporkan kepada Rasulullah
SAW bahwa ibundanya bernadzar ingin pergi haji dan belum kesampaian tiba-tiba
wafat.
Dan lagi-lagi Rasulullah SAW mengumpamakan dengan bila sang ibunda wafat dengan
punya hutang kepada manusia, maka anaknya yang harus menanggungnya. Dan sang anak
harus berangkat haji untuk menghajikan ibundanya. Kemudian syariat ini diabadikan
menjadi al-hajju ‘anil ghair (‫)الحج عن الغير‬.
D. Rukun Qiyas
Biar qiyas bisa terjadi, menurut para ulama ushul, qiyas itu memerlukan empat unsur
utama. Empat unsur ini sering juga disebut dengan rukun :
1. Al-Ashlu
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu (‫ )األصل‬sebagai hukum yang sudah jelas dengan
didasarkan pada nash yang jelas.
Dalam contoh di atas, air perasan buah kurma dan anggur termasuk contoh al-ashlu.
Sebab pada waktu turunnya ayat haramnya khamar, keduanya adalah khamar yang dikenal
di masa itu.
2. Al-Far'u
Makna al-far'u (‫ )الفرع‬adalah cabang, sebagai lawan kata dari al-ashlu di atas.
Yang dimaksud dengan al-far'u adalah suatu masalah yang tidak ditemukan nash
hukumnya di dalam Al-Quran atau As-Sunnah secara eksplisit.
Dalam contoh kasus khamar di atas, yang menjadi al-far'u adalah an-nabidz, yaitu
perasan dari buah yang menjadi khamar dengan pengaruh memabukkan, meski pun bukan
perasan dari buah anggur dan kurma seperti yang tertulis di dalam nash Al-Quran.
3. Al-Hukmu
Yang dimaksud dengan al-hukmu (‫ )الحكم‬adalah hukum syar'i yang ada dalam nash,
dimana hukum itu tersemat pada al-ashlu di atas.
Maksudnya, air perasan buah anggur dan kurma sudah punya hukum yang tertulis dengan
jelas di dalam ayat Al-Quran, yaitu hukumnya haram.
4. Al-'Illat
Yang dimaksud dengan al-'illat (‫ )العلة‬adalah kesamaan sifat hukum yang terdapat
dalam al-ashlu (‫ )األصل‬dan juga pada al-far'u (‫)العلة‬.
Dalam contoh di atas, 'illat adalah benang merah yang menjadi penghubung antara
hukum air perasan buah anggur dan buah kurma dengan air perasan dari semua buah-
buahan lainnya, dimana keduanya sama-sama memabukkan.
E. Syarat Qiyas
Dari empat rukun qiyas yang sudah diterangkan di atas, dari masing-masing rukun
terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat khusus sah-nya qiyas, di
antaranya adalah:
1. Syarat al-Ashlu
Ulama ulhul fiqih sepakat bahwa syarat dari al-ashlu adalah suatu hal yang pokok,
dan bukan merupakan cabang dari yang lain, atau bukan cabang dari pokok (hukum)
yang lain.
Menurut jumhur fuqaha, bahawa qiyas harusalah dibangun diatas dalil nash ataupun
ijma', hanya saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka tentang bolehnya
qiyas yang didasarkan atas ijma'.
Sebagian ulama yang tidak setuju mengatakan bahwa qiyas didasarkan dari 'illah yang
menjadi dasar disyariatkannya hukum asli, dan hal ini tidak memungkinkan dalam
ijma', karena ijma' tidak diharuskan disebutkan adanya wakil (al-far'u). Maka
apabila tidak disebutkan al-far'u-nya, tidak mungkin untuk bisa diketahui 'illah
qiyas-nya.
2. Syarat Hukmu al-Ashli
Terdapat beberapa syarat dalam hukmu al-ashli atau hukum asli, diantaranya:
a. Pertama
Harus merupakan hukum syar'i, karena tuntutan dari qiyas adalah untuk menjelaskan
hukum syar'i pada al-maqîs atau objek qiyas.
b. Kedua
Harus merupakan hukum syara' yang tetap (tidak dihapus). Karena dalam penetapan
hukum dari al-ashlu ke al-far'u, didasarkan dari 'illat dalam nash syar'i. Maka
apabila hukum asli dihapus, mengharuskan terhapusnya juga 'illat yang akan
digunakan dalam al-far'u.
c. Ketiga
Merupakan sesuatu yang logis yang bisa ditangkap oleh akal; 'illat hukumnya bisa
diketahui oleh akal. Karena asas qiyas di antaranya adalah: 'illat hukumnya bisa
diketahui, dapat diterapkan pada al-far'u.
Para ulama mengatakan tidak dibolehkanya qiayas dalam masalah ta'abuddiyah
(prerogatif Allah), yang 'illah-nya manusia tidak ada kepentingan untuk
mengetahuinya, seperti jumlah raka'at dalam shalat, thawaf mengelilingi ka'bah dll.
3. Syarat al-Far'u
a. Pertama
'Illat yang terdapat pada al-ashlu memiliki kesamaan dengan 'illat yang terdapat
pada far'u, karena seandainya terjadi perbedaan 'illat, maka tidak bisa dilakukan
penyamaan (qiyas) dalam keduanya. Adapun qiyas yang tidak terdapat syarat ini,
dikatakan oleh para ulama sebagai qiyas ma'a al-fariq.
b. Kedua
Tetapnya hukum asal; hukum asal tidak berubah setelah dilakuakan qiyas.
c. Ketiga
Tidak terdapat nash atau ijma' pada al-far'u, yaitu berupa hukum yang menyelisihi
qiyas. Seandaiya terjadi hal ini, maka qiyas itu dihukumi dengan qiyas fasid
al-'itibar.
Imam Abu Hanifah berkata: "Tidak sah adanya pensyaratan 'iman' dalam memerdekakan
budak sebagai kafarat sumpah di-qiyas-kan pada kafarat pembunuhan; karena
pensyaratan itu menyelisihi keumuman nash dalam firman Allah SWT:
‫ون َأهلِيك ُم َأو‬ َ ‫طع ُم‬ِ ُ‫وس ِط َما ت‬ َ
‫ين ِمن َأ‬ َ ‫ع َش َر ِة َم َسا ِك‬
َ ‫طعا ُم‬
َ ‫ان َفكَفّ ََارتُ ُه ِإ‬
َ ‫يم‬ ‫َأل‬
َ ‫عقّ َدتّ ُُم ا‬ ِ ‫يما ِنك ُم َول َـ ِكن يَُؤ‬
َ ‫اخ ُذك ُم ب َِما‬ َ
‫غو ِفي َأ‬
ِ َ ّ ‫اخ ُذك ُُم الل ُّه بِالل‬
ِ ‫ال َ يَُؤ‬
ٍ‫ير َرقَبَة‬ ‫حر‬
ِ َ ‫ت‬ ‫و‬ ‫سوتُ ُهم َأ‬ ِ
‫ك‬
ُ َ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian
kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. (QS. Al-Maidah : 89).
Lafadz "raqabah/budak" dalam ayat ini berbentuk mutlaq, tidak ada pensyaratan harus
mu'min, berbeda dengan kafarat pembunuhan seperti firman Allah SWT:
‫ؤمنَةٍ َو ِديَ ٌة ُّم َسل ّ َ َم ٌة ِإ ل َى َأهلِ ِه‬
ِ ‫ير َرقَبَةٍ ُّم‬
ُ ‫حر‬
ِ َ‫ؤمنًا َخ َطًئا َفت‬ِ ‫َو َمن َقتَ َل ُم‬
Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat. (QS. An-Nisa:92).
Maka qiyas dalam kafarat sumpah atas kafarat pembunuhan adalah fasid.
4. Syarat 'illat
a. Pertama
Sifat 'illat hendaknya nyata; terjangkau oleh akal dan pancaindera. Hal ini
diperlukan karena 'illat merupakan isyarat adanya hukum yang menjadi dasar untuk
menetapkan hukum pada far'u. Apabila 'illat tidak bisa ditangkap pancaindera, maka
tidak mungkin untuk bisa menunjukkan kepada suatu hukum, jadi 'illat haruslah
nyata, seperti 'illat memabukkan dalam khamer.
b. Kedua
Sifat 'illat hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat
itu ada pada far'u, karena asas qiyas adalah adanya persamaan 'illat antara ashlu
dan far'u'.
c. Ketiga
'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan hikmah hukum,
dalam arti bahwa kuat dugaan 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti
memabukkan sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu
terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari
mabuk.
Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena
dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum; memelihara kehidupan manusia.
d. Keempat
'Illat tidak hanya terdapat pada ashlu saja, tetapi harus berupa sifat yang dapat
diterapkan juga pada masalah-masalah lain selain dari ashlu.
Untuk hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi SAW, tidak boleh dijadikan dasar
qiyas. Misalnya menikahi wanita lebih dari empat orang, karena ini berupa ketentuan
khusus yang hanya berlaku bagi Nabi SAW.
F. Kehujjahan Qiyas
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan
hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan
sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara.
Berbeda dengan jumhur para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib
diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :
1. llatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui
isayrat.
2. Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqih tentang kehujjahan
qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil
hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas
sebagai dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama
mu’tazilah Irak.
Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut
kelompok yang menolaknya adalah firman Allah :
ٌ‫يع علِيم‬ ِ
ٌ ‫سم‬ ‫ورسولِ ِه واتّقُوا الل ّه ِإ ّن الل ّه‬
ُ ‫يدي الل ِّه‬
ِ ّ ِ ُ‫يا أيُّها ال ِّذين آمنُوا ال ت‬
‫قد ُموا بين‬
“Hai orang–orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.(QS. Al-
Hujurat : 1)
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak
ada dalam al-Quran dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal
dengan sesuatu diluar al-Quran dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang.
Selanjutnya dalam surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :
“Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya
“.
Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang
tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas
dilarang untuk diamalkan.
Alasan–alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan,
menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan
kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi
kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib,
adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di
ma’afkan dan mubah (boleh).
Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini
berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau
dibolehkan.
Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode
dalam hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
‫األبصار‬
ِ ‫فاعتب ُِروا يا ُأولِي‬
“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang
mempunyai pandangan”. (QS. Al-Hasyr: 2)
Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap
kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah.
Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai
I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama,
termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah
dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Quran memerintahkannya
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung illat
sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
‫حيث أمرك ُُم الل ُّه‬ ُ ‫وه ّن ِمن‬ ُ ُ‫تطهرن فأت‬ ّ ‫يطهرن فِإذا‬ ُ ‫وه ّن حتّى‬ ُ ُ‫يض وال تقرب‬ ِ ‫المح‬
ِ ‫فاعتزل ُوا ال ِن ّساء ِفي‬
ِ ‫يض قُل ُهو أذًى‬ ِ ‫المح‬
ِ ‫عن‬ِ ‫ويسأل ُونك‬
‫تطه ِرين‬ِّ ُ ‫الم‬ ‫ب‬ ُّ ُ ‫ح‬ِ ‫وي‬ ‫ِين‬‫ب‬ ‫ا‬ ‫و‬
ّّ ‫ت‬ ‫ال‬ ‫ب‬ُّ ُ‫ح‬ ِ ‫ي‬ ‫ّه‬ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ن‬ّ ‫ِإ‬
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah
kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”.
(QS. Al-Baqarah 222)
‫نتهون‬ ُ ‫الصال ِة فهل أنتُم ُّم‬ ّ ‫وعن‬ ِ ‫كر الل ِّه‬ ِ ‫ويص ّدك ُم عن ِذ‬ ُ ِ
‫والميس ِر‬ ‫الخمر‬
ِ ‫يطان أن يُو ِقع بينك ُُم العداوة والبغضاء ِفي‬ ُ ‫الش‬ّ ‫يد‬ ُ ‫ِإ نّما ي ُ ِر‬
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian
diantara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan
itu). (QS Al-Maidah : 91)
‫عمته عليك ُم‬ ُ ‫طهرك ُم ولِيُ ِت ّم ِن‬ ّ ُ ‫يد ِلي‬ ُ ‫حرج ولـ ِكن ي ُ ِر‬ ٍ ‫يد الل ُّه لِيجعل عليك ُم ِ ّمن‬ ُ ‫ما ي ُ ِر‬
.”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “ (QS. Al-Maidah : 6)
Alasan jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang
amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli.
Rasulullah melakukan dialog dengan Mu’adz seraya berkata :
ِ
‫الله‬ ‫ول‬
ِ ‫رس‬ ُ ‫ فب ُِسن ّ ِة‬: ‫الله ؟ قال‬ ِ ‫اب‬ ِ ‫في ك ِت‬ ِ ‫ فِإن لم تجِ د‬: ‫قال‬. ‫الله‬ ِ ‫تاب‬ِ ‫أقضي ب ِك‬ ِ : ‫ع ِرض لك قضاء ؟ قال‬ ُ ‫تقضي ِإ ذا‬ ِ ‫ كيف‬
‫ول الله‬ ِ ‫رس‬ ُ ِ
‫ة‬ ّ ‫ن‬ ‫س‬ ُ ‫في‬
ِ ‫د‬ ِ‫تج‬ ‫لم‬ ‫ن‬ ‫ِإ‬ ‫ف‬ : ‫قال‬  ِ
‫الله‬ ُ
‫ول‬ ‫رس‬ُ ‫فضرب‬ . ‫آلو‬ ‫وال‬ ‫رأي‬
ِ ‫د‬
ُ ‫أجته‬
ِ : ‫قال‬ ‫؟‬ ‫الله‬ ‫اب‬ِ ِ
‫ت‬ ‫ك‬ ‫في‬
ِ ‫وال‬  ‫صدره‬
ُ
ِ
‫الله‬ ‫ول‬ ُ ‫رس‬ ُ ‫الله لِما يرضي‬ ِ ‫ول‬ِ ‫رس‬ ُ ‫ول‬ ُ ‫رس‬ُ ‫الحمد لِل ّه ال ِّذي وفق‬ ُ : ‫وقال‬
Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya,"
Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau? Muaz
menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana
jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Saya akan putuskan dengan sunnah
Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan
dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan
berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka
Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah
menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah (HR Abu
Daud)
Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui
ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal.
Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi
Rasulullah seraya berkata :
“Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya,
sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :
“Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah
puasamu batal?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah SAW berkata : kalau begitu
kenapa engkau samapi menyesal ?”. (HR. Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn
al-Khatthab)
Dalam hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur–kumur,
yang keduanya sama–sama tidak membatalkan puasa.

Bab 8 : Contoh-contoh Qiyas


Kurang lengkap rasanya apabila kita bicara tentang qiyas namun tidak dilengkapi
dengan contoh-contoh yang nyata. Contoh-contoh ini menjelaskan pada kita bahwa
ternyata tanpa adanya qiyas, maka bangunan agama Islam akan runtuh rata dengan
tanah. Contoh-contoh ini Penulis ambilkan dari realitas keseharian yang insyaallah
sudah tidak asing lagi bagi para pembaca.
Sengaja Penulis membuatkan contoh berdasarkan bidang-bidangnya, yaitu thaharah,
shalat, puasa, zakat, haji, kuliner, jinayat dan lainnya.
A. Contoh Qiyas Dalam Thaharah
Ada banyak contoh penggunaan qiyas dalam bab thaharah. Beberapa diantarany sebagai
berikut :
1. Babi Najis Mughallazhah
Babi najis mughallazhah diqiyaskan dengan najis air liur anjing yang juga
mughallazhah. Padahal tidak ada satu pun ayat Al-Quran atau hadits nabawi yang
menyebutkan bahwa babi itu nasjid mughallazah. Yang ada sebatas haramnya makan
daging babi yang disebutkan 4 kali di dalam Al-Quran.
Kalau pun disebutkan najis sebagaimana di dalam surat An-Nahl ayat 115, namun tidak
sampai menyebutkan level mughallazhah, dimana wajib dicuci pakai air hingga tujuh
kali, salah satunya dengan tanah.
Yang ada ketentuannya bukan babi melainkan anjing, sebagaimana hadits berikut :
‫اب‬ ُ ‫ات ُأ‬
ِ ‫واله ّ َن بِالتّ َُر‬ ٍ ‫بع َم َّر‬
َ ‫غسل َُه َس‬ ِ َ ‫َلب َأن ي‬
ُ ‫يه ا َلك‬ ِ ‫ور ِإ نَا ِء َأ َح ِدك ُم ِإ ذ َول َغَ ِف‬
ُ ‫َط ُه‬
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Sucinya wadah air
kalian yang diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali salah satunya dengan
tanah. (HR. Muslim)
2. Istinja’ Pakai Tisu Qiyas atas Batu
Di masa Rasulullah SAW, kebanyakan orang buang hajat di padang pasir, di luar rumah
dan di luar pemukiman penduduk. Untuk itu, istija’ yang mereka lakukan umumnya
tidak menggunakan air, melainkan pakai batu. Kita menemukan informasi ini valid di
dalam hadits-hadits nabawi.
‫نه‬
ُ ‫ع‬ َ ‫جزي‬ ِ ُ‫حج ٍار َفِإن ّ ََها ت‬َ ‫لى ال َغاِئ َط فَليَستَ ِطب ِبثَالَث َِة َأ‬ ‫َأ‬
َ ‫ب َح ُدك ُم ِإ‬ َ ‫ِإ ذَا ذ ََه‬
Dari Aisyah radhiyallahuanhaberkata bahwa Rasulullah SAW bersabda"Bila kamu pergi
ke tempat buang air maka bawalah tiga batu untuk membersihkan. Dan cukuplah batu
itu untuk membersihkan.(HR. Ahmad Nasai Abu Daud Ad-Daaruquthuni)
‫ ن َ َهانَا‬‫حج ٍار‬ َ ‫ول َأو َأن نَستَنجِ ي بِالي َ ِمين َأو َأن يَستَنجِ ي َأ َح ُدنَا ِبَأق ّ َِل ِمن ثَالَثَ َة َأ‬ ٍ َ‫َأن نَستَقب َِل ال ِقبل َ َة ِب َغاِئ ٍط َأو ب‬
Rasulullah SAW melarang kita istinja’ dengan tangan kanan dan istinja dengan batu
yang jumlahnya kurang dari tiba buah. (HR. Muslim Abu Daud dan Tirmizy)
Namun para ulama kemudian membolehkan istinja’ dengan menggunakan selain batu. Yang
penting bisa digunakan untuk menghilangkan najis sisa buang air.
Dan ini adala bentuk qiyas dari istijmar pakai batu. Namun syaratnya haus memenuhi
ketentuan dan tidak keluar dari batas yang disebutkan :
 Benda itu bisa untuk membersihkan bekas najis.
 Benda itu tidak kasar seperti batu bata dan juga tidak licin seperti batu
akik, karena tujuannya agar bisa menghilangkan najis.
 Benda itu bukan sesuatu yang bernilai atau terhormat seperti emas perak atau
permata. Juga termasuk tidak boleh menggunakan sutera atau bahan pakaian tertentu
karena tindakan itu merupakan pemborosan.
 Benda itu bukan sesuatu yang bisa mengotori seperti arang, abu, debu atau
pasir.
 Benda itu tidak melukai manusia seperti potongan kaca, beling, kawat, logam
yang tajam atau paku.
 Jumhur ulama mensyaratkan harus benda yang padat bukan benda cair. Namun
ulama Al-Hanafiyah membolehkan dengan benda cair lainnya selain air seperti air
mawar atau cuka.
 Benda itu harus suci sehingga beristijmar dengan menggunakan tahi atau
kotoran binatang tidak diperkenankan. Tidak boleh juga menggunakan tulang, makanan,
atau roti, karena merupakan penghinaan.
3. Tayammum Dua Tepukan
Ada dua pendapat tentang tayammum, apakah menepuk ke tanah itu cukup sekali saja,
ataukah harus dua kali.
Jumhur ulama, wabil khusus para ulama di dalam mazhab As-Syafi’i menurut qaul
jadid, serta mazhab Al-Hanafiyah lebih merajihkan hadits yang menepuk dua kali.
Salah satu alasannya karena lebih dekat kepada wudhu, dimana setiap anggota wudhu
membutuhkan air yang baru.
‫ ضربة للوجه وضربة لليدين‬:‫التيمم ضربتان‬
Tayammum itu dua tepukan, tepukan pertama untuk wajah dan tepukan kedua untuk kedua
tangan.
Sedangkan yang berpendapat cukup sekali tepukan berdasarkan hadits berikut :
َ ّ ‫ َأ ّ َن النَّب‬ ‫ين‬
‫ِي‬ ِ ‫لو‬
ِ ‫جه َواليَ َد‬ َ ِ‫اح َدةٌ ل‬
ِ ‫ َضربَ ٌة َو‬:‫في التّ َي َ ُّم ِم‬
ِ ‫َال‬
َ ‫ق‬
Dari Ammar radhiyallahu anhu bahwa Nabi SAW berkata tentang tayammum,"Satu kali
tepukan di wajah dan kedua tangan. (HR. Ahmad dan Ashabus-sittah)
Yang mendukung pendapat ini kalangan mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah serta
mazhab Syafi’iyah qaul qadim.
4. Tayammum Mengusap Tangan Sampai Siku
Dalam masalah batasan mengusap tangan, ada dua pendapat yang berkembang di tengah
ulama. Pendapat pertama hanya sebatas pergelangan tangan. Pendapat kedua, sampai ke
siku.
Perbedaan pendapat ini dipicu oleh ayat terkait tayammum sendiri yang tidak
menyebutkan mengusap tangan sampai siku. Dan ini berbeda dengan ayat wudhu yang
secara tegas menyebutkan sampai siku.
‫َوَأيْ ِديَك ُْم ِإ ل َى ال َْم َرا ِف ِق‬
Dan kedua tanganmu sampai kedua siku (QS. Al-Maidah : 6)
Awalnya, Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berpendapat hanya sebatas pergelangan tangan
saja, karena ayatnya sama sekali tidak menyebut siku. Dan secara resmi ini menjadi
qaul qadim.
Namun setelah sampai di Mesir, beliau mengoreksinya dengan menggunakan qiyas kepada
wudhu. Sehingga batas mengusap kedua tangan harus sampai ke situ. Ini adalah qaul
jadid dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Dan pendapat qaul jadid inilah yang
dianggap muktamad dan rajih di kalangan ulama mazhab ini.
5. Darah Mengalir Keluar Batal Wudhu
Dalam mazhab Al-Hanabilah, luka dan mengeluarkan darah yang banyak, membatalkan
shalat.
Sayangnya hadits terkait dengan batalnya wudhu lantaran keluar darah ini umumnya
hadits-hadits yang dhaif dan tidak bisa dijadikan landasan hukum, karena
kedhaifannya.
Maka para ulama di dalam mazhab Al-Hanabilah beralih dengan menggunakan adalah
qiyas. Keluarnya darah dalam jumlah yang banyak dianggap punya kesamaan ‘illat
dengan batalnya wudhu disebabkan ada yang keluar lewat dua saluran, yaitu kencing
dan buang air besar.
6. Hilang Akal Membatalkan Wudhu
Gila, ayan dan mabuk tidak ada haditsnya kalau bisa mengakibatkan batalnya wudhu’.
Yang ada hadisnya adalah tidur. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW
‫ضأ‬ َ ّ ‫َم ْن نا َ َم َفل ْيَتَ َو‬
Orang yang tidur maka dia harus berwudhu’ lagi.
Maka gila, ayan dan mabuk diqiyaskan dengan tidur, yaitu orangnya sama-sama
mengalami ‘hilangnya akal’ atau disebut zawalul aqli (‫)زوال العقل‬. Kondisi hilang akal
inilah yang disepakati menjadi benang merah atau menjadi ‘illat batalnya wudhu’.
7. Larangan Pada Wanita Nifas
Kalau kita cari dalil yang sifatnya tekstual melarang wanita yang sedang mendapat
darah nifas menjalankan shalat, puasa, masuk masjid, sentuh mushaf dan jima', maka
sudah bisa dipastikan tidak akan ditemukan.
Namun tanpa kecuali, seluruh ulama sepakat bahwa wanita yang nifas terlarang
melakukan semua itu. Dalilnya tidak lain adalah qiyas, dimana wanita nifas
diqiyaskan dengan wanita haidh.
8. Sunnah Mandi Id Qiyas Mandi Jumat
Umumnya kita menerima kesunnahan mandi, bersiwak, memakai parfum atau wewangian,
serta mengenakan pakaian yang bagus untuk shalat Idul Fithr. Padahal kita tidak
pernah menemukan hadits dari Rasulullah SAW bahwa beliau melakukannya. Malahan
hadits tentang mandinya Rasulullah SAW untuk shalat hari raya adalah hadits yang
lemah.
‫عبا َّ ٍس‬
َ ‫ع ِن ابْ ِن‬ ِ
َ  ‫الله‬ ُ ‫َان َر ُس‬
‫ول‬ َ ‫ي َ ْغتَ ِس ُل ي َ ْو َم ال ْ ِف ْط ِر َوي َ ْو َم اَأل ْض‬
َ ‫ك‬:‫ قا ََل‬ ‫حى‬
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW mandi pada hari Idul
Fithri dan Idul Adha. (HR. Ibnu Hibban)
Lalu dari mana para ulama menyunnahkan agar kita melakukan semua itu? Padahal sudah
tahu haditsnya dhaif, kenapa mereka masih saja menyunnahkan mandi untuk dua hari
raya?
Ternyata kesunnahannya datang lewat qiyas dengan shalat Jumat. Jadi yang ada hadits
atau perintahnya cuma shalat Jumat saja, selain itu tidak ada perintahnya. Tetapi
dengan qiyas atas shalat Jumat, maka semua itu ikut juga menjadi sunnah bila
dikerjakan.
Begitu juga dalam shalat gerhana matahari, gerhana bulan serta shalat istisqa, para
ulama sepakat untuk mandi dulu sebelumnya. Sementara tidak ada satu pun hadits yang
memerintahkan hal itu. Ternyata semua berlaku gara-gara diqiyaskan dengan shalat
Jumat.
Artinya, tanpa sadar kita telah melakukannya, meski tidak tahu bahwa yang kita
lakukan itu sebenarnya praktek qiyas yang telah diijtihadkan para ulama.
B. Contoh Qiyas Dalam Shalat
1. Imam Shalat Diutamakan Quraisy
)1204 /2( ‫الفقه اإلسالمي وأدلته للزحيلي‬
‫ وهو من‬:ً ‫ ثم األشرف نسبا‬،»‫ «وليؤمكم أكبركم‬:‫ لحديث مالك بن الحويرث المتقدم‬،ً ‫ قدم أكبرهم سنا‬،‫فإن استووا في القراءة والفقه‬
‫ قياسا ً على‬،ً ‫كان قرشيا‬
2. Shalat Jumat Dengan Zhuhur
Qiyas antara shalat Jumat dengan shalat zhuhur dilakukan oleh mazhab Asy-
Syafi’iyah, khususnya dalam masalah shalat sunnah qabliyah Jumat dan kebolehannya
menjama’ shalat Jumat dengan Zhuhur.
Alasan kenapa dibolehkan antara lain, karena faktanya yang cukup banyak,
diantaranya :
 Fakta bahwa Shalat Jumat berasal dari shalat Zhuhur.
 Fakta bahwa waktu untuk mengerjakan shalat Jumat sama saja dengan waktu
shalat Zhuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari hingga masuk waktu Ashar.
 Fakta bahwa shalat Jumat pun sesungguhnya terdiri dari 4 rakaat juga
sebagaimana Zhuhur, hanya saja 2 rakaatnya diubah menjadi 2 khutbah.
 Fakta bahwa bila seseorang luput dari mengerjakan shalat Jumat, maka sebagai
gantinya dia wajib mengerjakan shalat Zhuhur.
 Fakta bahwa sebagian orang ada yang tidak terkena kewajiban shalat Jumat,
seperti wanita, musafir, orang sakit dna budak. Sebagai gantinya mereka tetap wajib
mengerjakan shalat Zhuhur.
Maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Jumat berbeda dengan Zhuhur. Maka
keduanya bisa dan boleh diqiyas, dalam arti apa-apa yang berlaku pada shalat Zhuhur
pada dasarnya juga berlaku pada shalat Jumat.
a. Shalat Qabliyah Jum’at
Kita memang tidak temukan hadits shahih bahwa Rasulullah SAW secara tegas
memerintahkan shalat qabliyah Jumat. Sehingga sebagian orang terlanjur menganggap
tidak ada masyru’iyah-nya.
Padahal ketika boleh dilakukan qiyas Jumat dengan Zhuhur, maka shalat sunnah 2
rakaat qabliyah Jumat itu tetap punya landasan hukum yang teramat kuat, yaitu qiyas
dengan qabliyah Zhuhur.
b. Jum’at Boleh Dijama’ dengan Ashar
Shalat Zhuhur boleh dijama’ dengan shalat Ashar, yaitu ketika seseorang berstatur
sebagai musafir. Oleh karena itu lewat qiyas dengan shalat Zhuhur, maka boleh juga
sehabis shalat Jumat, kita kerjakan shalat Ashar secara jama’ taqdim.
3. Shalat Tahiyatul Masjid
Shalat tahiyatul masjid ini adalah shalat yang disunnahkan bagi siapa saja yang
masuk ke dalam masjid. Lalu bagaimana dengan bila shalat Idul Fithri ata Idhul Adha
dilakukan bukan di masjid, tapi di lapangan? Apakah masih berlaku shalat tahiyatul
masjid?
Secara sekilas seharusnya tidak berlaku. Sebab shalat ini pada dasarnya menghormati
masjid, bukan lapangan. Untuk lapangan, tidak ada istilah hormat-hormatan.
Namun para ulama ternyata membolehkan shalat tahiyat ini meski tempatnya bukan di
dalam masjid. Meski hanya tanah kosong atau lapangan, namun bisa diqiyaskan dengan
masjid.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan para wanita di masa kenabian, dimana mereka yang
haidh juga diajak menghadiri shalat Idul Fithri dan Idul Adha di padang pasir.
Namun mereka agak sedikit menjauh dari tempat shalat, sebagaimana tersebut dalam
hadits berikut :
‫ين َويَ ْعتَ ِز ُل ال ُْحيّ َ ُض ال ُْم َصلَّى‬
َ ‫ع َو َة ال ُْم ْسلِ ِم‬ ْ ُ ‫ ُأ ِم ْرنَا َأ ْن ن‬: ‫َت‬
َ ‫خ ِر َج ال َْع َوا ِت َق َوال ُْحي َّ َض ِفي ال ِْع‬
ْ ‫ يَ ْش َه ْد َن ال َْخي ْ َر َو َد‬: ‫يدي ْ ِن‬ َ ‫ع ْن ُأ ّ ِم‬
ْ ‫ع ِطي ّ َ َة قَال‬ َ
Dari Ummu ‘Athiyyah Ra ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk
mengeluarkan hamba sahaya dan wanita haidh pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adha,
agar mreka dapat menyaksikan kebaikan dan undangan muslimin. Dan wanita yang haidh
menjauhi tempat shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Alasannya karena tempat shalat itu diqiyaskan sebagai masjid. Dan wanita yang haidh
pada dasarnya tidak boleh masuk dan berdiam di dalam masjid. Disini terjadi qiyas
antara mushalla yang dipakai shalat idul fithr dengan masjid.
4. Shalat Setelah Tayammum
Para ulama membenarkan adanya shalat sunnah tayammum dengan shalat sunnah wudhu’.
Dan juga kesunnahan bersiwak sebelum bertayammum, karena diqiyaskan dengan wudhu’.
Hal itu diungkapkan oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya :
‫ويسن صالة ركعتين عقبه قياسا ً على الوضوء والسواك قبله‬
Dan disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah dua rakaat seusai bertayammum,
sebagai qiyas atas shalat sunnah setelah wudhu. Dan juga disunnahkan bersiwak
sesudah tayammum dengan diqiyaskan kepada bersiwak sebelum wudhu’.
5. Shalat Faza’ Qiyas dari Khusuf
Shalat faza’ adalah shalat sunnah dua rakaat karena ketakutan massal, diqiyaskan
dengan shalat gerhana. Namun tata caranya seperti shalat sunnah biasa.
Istilah shalat faza’ mungkin jarang-jarang kita dengar. Namun percaya atau tidak,
ternyata jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, A-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah
membenarkan adanya shalat faza’ ini, dengan pengecualian mazhab Al-Hanabilah saja.
Istilah faza’ bisa diterjemahkan sebagai ketakutan, kegemparan, atau kekacauan yang
bersifat massal dan masif. Diantaranya musibah bencara alam seperti gempa bumi,
sambaran petir, angin putting beliung dan gelap pekat di siang hari.
Untuk itu jumhur ulama berpendapat disyariatkan shalat sunnah dua rakaat yang
dilakukan sendiri-sendiri, meski tidak ada contoh dari Rasulullah SAW atas hal itu.
Dasarnya adalah qiyas terhadap shalat gerhana matahari atau bulan.
،‫ ال على هيئة الخسوف لنحو الزالزل‬،‫ أنه يندب أن يصلي الناس فرادى ركعتين مثل كيفية الصلوات‬:‫وأضاف الحنفية والشافعية‬
‫ والثلج واألمطار‬،ً ‫ والفزع بانتشار الكواكب والضوء الهائل ليال‬،ً‫ والريح الشديدة مطلقا ً ليال ً أو نهارا‬،ً‫كالصواعق والظلمة الهائلة نهارا‬
‫ ليتركوا المعاصي‬،‫ والخوف الغالب من العدو ونحو ذلك من األفزاع واألهوال؛ ألنها آيات مخوفة للعباد‬،‫ وعموم األمراض‬،‫الدائمة‬
‫ قياسا ً على صالة الكسوف‬،‫ويرجعوا إلى طاعة الله تعالى التي بها فوزهم وصالحهم‬
Mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah menyunnahkan orang-orang mengerjakan shalat
sendiri-sendiri dua rakaat sebagaimana shalat biasa, tidak seperti gerakan shalat
gerhana. Ketika terjadi gempa bumi, petir, gelap di siang hari, angin ribut dan
kegemparan dengan bertaburannya bintang cahaya yang membatasi di malam hari,
termasuk juga turunnya salju dan hujan yang tidak berhenti seterusnya, tersebarnya
penyakit, atau ketakutan diserbu musuh. Semua itu menakuti banyak orang dan shalat
ditujukan agar orang-orang meninggalkan maksiat dan kembali kepada Allah. Semua itu
didasarkan pada shalat gerhana.
Hanya saja mazhab Al-Hanabilah menolak adanya shalat faza’ ini lantaran menurut
mereka shalat itu harus ada contoh real dari Rasulullah SAW. Padahal tidak pernah
ada riwayat bahwa RASulullah SAW melakukan itu, meski pernah terjadi bulan terbelah
di masanya.
6. Khutbah Hari Raya Dengan Khutbah Jumat
Dalam mazhab As-Syafi’iyah, khutbah dua hari raya baik Idul Fithr atau pun Idul
Adha, kesunnahannya diqiyaskan dengan khutbah Jumat.
a. Dua Khutbah
Kalau dalam khutbah Jumat ada dua khutbah, maka dalam khutbah hari raya disunnahkan
juga dua khutbah.
b. Khutbah Sambil Berdiri
Kalau dalam khutbah Jumat, khatibnya harus berdiri karena khutbah pada dasarnya
dianggap shalat juga, maka sunnahnya khutbah hari raya juga dengan berdiri.
c. Dalam Keadaan Suci Dari Hadats
Kalau dalam khutbah Jumat itu khatibnya harus suci dari hadats, maka dalam khutbah
dua hari raya pun disunnahkan khatibnya dalam keadaan berwudhu’ juga.
d. Lima Rukun Khutbah
Dalam khutbah Jumat, rukun-rukun khutbah harus diucapkan, yaitu hamdalah, shalawat,
baca ayat, wasiat dan doa mohon ampunan, maka dalam khutbah dua hari raya, semua
itu disunnahkan untuk dibaca juga.
7. Qiyas Pada Adzan
Sebagian ulama khususnya para ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah memandang bahwa
selain berfungsi untuk memanggil orang-orang untuk shalat berjamaah, adzan juga
boleh dikumandangkan dalam konteks di luar shalat.
Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya Al-
Fiqhul Islami Wa Adillathu bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga
dikumandangkan pada beberapa even kejadian lainnya.
Salah satunya kumandang adzan pada saat menurunkan mayyit ke dalam liang kuburnya.
Alasannya karena merupakan qiyas dari kelahiran, dimana seolah-olah mayyit itu baru
lahir di alam barzakh-nya. Meski pun tidak semua ulama mazhab Asy-Syafi'i sepakat.
C. Contoh Qiyas Dalam Puasa
Ada beberapa praktek qiyas yang terkait dengan ibadah puasa, diantaranya masalah
qiyas mencium istri saat puasa, fidyah dan kaffarat.
1. Mencium Istri Tidak Batalkan Puasa
Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :
َ ْ‫ «َأ َرَأي‬:‫عل َي ْ ِه َو َسل َّ َم‬
‫ت ل َْو‬ َ ‫الله‬ ُ ‫ول الل ّ َ ِه َصلَّى‬ ُ ‫ َف َق َال َر ُس‬:‫َال‬ َ ‫ ق‬،ٌ‫ت ِإ ل َى ال َْم ْرَأ ِة َف َقبَّلْتُ َها َوَأنَا َصاِئم‬
ُ ‫ َه َش ْش‬:‫َال‬
َ ‫ ق‬،‫اب‬
ِ ‫ع َم َر بْ ِن ال َْخ ّ َط‬
ُ ‫ع ْن‬
َ
‫ «فَيُ ِت ُّم‬:‫َال‬ َ ‫ ق‬،‫ ل َا بَْأ َس‬: ‫ْت‬ ُ ‫ل‬ ‫ق‬
ُ : ‫َال‬
َ ‫ق‬ ،» ‫م‬ ‫ِئ‬ ‫ا‬ ‫ص‬ ‫ت‬ ‫ن‬
ٌ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ ََ‫َأ‬ ‫و‬ ‫ت‬ ‫ض‬ ‫م‬ ‫ض‬ ‫م‬ ‫ت‬»
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu, beliau berkata,”Aku bercumbu dengan
istriku dan menciumnya padahal sedang berpuasa”. Rasulullah SAW bertanya
balik,”Bagaimana pendapatmu apabila kamu berkumur dalam keadaan puasa?”. Aku (Umar)
menjawab,”Tidak batal”. Rasulullah SAW berkata,”Maka teruskan puasamu”. (HR.
Ahmad).
Dalam hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur–kumur,
yang keduanya sama–sama tidak membatalkan puasa.
2. Fidyah Puasa Bagi Yang Menunda Qadha Hingga Ramadhan Berikutnya
Jumhur ulama selain mazhab Al-Hsanafiyah memandang bahwa orang yang menunda-nunda
terus qadha puasanya sehingga masuk Ramadhan berikutnya, maka dia wajib membayar
fidyah.
Meski tidak ada teks Al-Quran atau Hadits yang menyebutkan hal itu, namun logika
mereka dibangun di atas qiyas. Dalam hal ini si pelaku diqiyaskan seperti orang
yang buka puasa sengaja tanpa udzur yang syar’i.
3. Wanita Yang Menginginkan Jima Ramadhan Terkena Kaffarat
Di dalam pandangan ulama mazhab Asy-Syafi’iyah, bila suami menyetubuhi istri pada
siang hari Ramadhan, yang terkena kaffarah hanya suaminya saja. Sedangkan istrinya
tidak terkena kaffarah, lantaran secara lazimnya suami yang ‘memaksa’ istrinya atau
yang berinisiatif. Dan karena istri tidak bisa menjima’ suaminya.
Namun demikian, dalam kasus dimana pihak istri yang berinisiatif untuk melakukan
jima secara aktif, maka dia pun juga terkena kaffarah sebagaimana suaminya.
Dalilnya adalah qiyas seolah-olah tindakan istri itu seperti tindakan seorang suami
kepada istrinya.
4. Sengaja Makan di Ramadhan Kena Kaffarat
Apakah orang yang sedang puasa Ramadhan lalu makan dengan sengaja tanpa alasan
apapun, dia juga terkena kaffarah sebagaimana bila dia melakukan jima’?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah
memandang bahwa orang itu tidak terkena kaffarah jima’. Alasannya karena ketentuan
kaffarah jima’ ini bersifat tauqifi dan tidak bisa diqiyaskan kepada makan minum
dengan sengaja.
Namun dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, makan minum siang hari
Ramadhan tanpa udzur syar’i dan dilakukan dengan sengaja bukan karena lupa, maka
pelakunya terkena kaffarat sebagaimana bila dia melakukan jima’.
Qiyas ini didasarkan pada ‘illat yang menurut mereka adalah intihak Ramadha atau
merusak kehormatan bulan Ramadhan. Lebih detailnya bahwa ‘illat kenapa orang yang
berjima’ terkena kaffarah dalam pandangan mereka adalah intihak atau pelecehan.
Maka siapa pun yang melakukan pelecehan atas kehormatan Ramadhan, meski bukan
dengan jima’ tetap terkena kaffarah.
D. Contoh Qiyas Dalam Zakat
Dalam syariat zakat juga kita temukan banyak qiyas. Misalnya qiyas besar kepada
gandum dan qiyas uang kertas kepada emas dan perak.
1. Qiyas Beras Kepada Gandum
Zakat al-Fithr merupakan salah satu zakat yang disebutkan nashnya secara eksplisit
dalam hadits nabawi.
ِ
‫الله‬ ‫ول‬ُ ‫ ف ََر َض َر ُس‬ ‫عبْ ٍد َذك ٍَر َأ ْو ُأنْثَى ِم َن‬ َ ‫لى ك ُِّل ُح ٍّر َأ ْو‬ َ ‫ع‬ َ ‫اعا ِم ْن َش ِعيْ ٍر‬ ً ‫اعا ِم ْن تَ ْمر َأ ْو َص‬
ً ‫لى النا ّ َ ِس َص‬
َ ‫ع‬ َ ‫َزك َا َة ال ِف ْط ِر ِم ْن َر َم َض‬
َ ‫ان‬
‫المـسلِ ِمين‬
ْ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW memfardhukan zakat
fithr bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa' kurma atau sya'ir, yaitu
kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang
muslim. (HR. Bukhari Muslim)
Tamr (‫ )تمر‬adalah kurma yang di masa kenabian merupakan makanan pokok khususnya bagi
penduduk Madinah. Demikian juga dengan syair yang sering diterjemahkan bebas dengan
gandum, karena bangsa Arab umumnya makan roti sebagai makanan pokok.
Maka meski yang disebutkan dalam hadits hanya sebatas kurma dan gandum, pada ulama
sepakat bahwa ‘illat-nya luas, yaitu makanan pokok, atau yang diistilahkan dalam
fiqih sebagai quth al-balad (‫)قوط البلد‬.
Maka seluruh ulama sepakat bahwa meski tidak berupa kurma atau gandum, asalkan dia
bersifat quth al-balad alias makanan pokok, wajib dizakatkan baik dalam zakat al-
fithr maupun zakat hasil pertanian.
2. Qiyas Uang Kertas Kepada Emas dan Perak
Di masa kenabian belum dikenal uang kertas sebagai alat tukar atau alat pembayaran.
Di masa itu alat tukar yang digunakan koin emas atau perak. Di dalam Al-Quran,
kewajiban zakat emas dan perak tidak dilihat dari sisi sebagai logam mulia,
melainkan dari fungsinya sebagai alat tukar atau alat pembayaran.
ٍ ِ‫َاب َأل‬
‫يم‬ ٍ ‫ِيل الل ِّه فَبَ ِ ّش ْر ُهم ب َِعذ‬ َ ‫ون ال ّ َذ َه‬
ِ ‫ب َوال ْ ِف ّ َض َة َوال َ يُن ِف ُقون َ َها ِفي َسب‬ َ ‫َوال ّ َ ِذ‬
َ ‫ين يَك ْ ِن ُز‬
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih (QS. At-Taubah : 34)
Namun lama kelamaan kemana-mana membawa logam emas dan perak menjadi tidak praktis
lagi, selain juga tidak aman. Maka kemudian emas dan peraknya disimpan di bank,
lalu bank mengeluarkan surat bukti kepemilikan atas emas dan perak itu yang disebut
uang kertas.
Meski hari ini uang kertas sudah tidak ada kaitannya lagi dengan simpanan emas di
bank, namun ketika semua pihak mengakuinya sebagai alat pembayaran yang punya nilai
tukar, maka uang kertas diqiyaskan dengan emas dan perak.
E. Contoh Qiyas Dalam Haji
Qiyas yang biasa dilakukan para ulama dalam masalah haji adalah masalah badal haji
dan juga qiyas larangan potong bulu dan kuku.
1. Badal Haji
Istilah yang baku bukan badal haji, melainkan al-hajju ‘anil ghair (‫)الحج عن الغير‬.
Dan kebolehannya didasari pada hadits berikut ini :

ِ ‫ت ق‬
‫َاضيْتُ ُه؟‬ ِ ْ ‫عل َى ُأ ِّم ِك َديْ َن َأكُن‬
َ ‫َان‬ ِ ْ ‫عن ْ َها َأ َرَأي‬
َ ‫ت ل َْو ك‬ َ ‫جي‬
ِّ ‫ ن َ َع ْم ُح‬:‫َال‬ َ ‫ت َأ َفَأ ُح ُّج‬
َ ‫عن ْ َها؟ ق‬ ْ َ‫ح ّج َحتّ َى َمات‬
ُ َ‫ح َّج َول َْم ت‬ ْ ‫ِإ َّن ُأ ِّمي نَذ ََر‬
ُ َ‫ت َأ ْن ت‬
‫ِالوفَا ِء‬ ‫ب‬ ‫ق‬ُ ‫ح‬‫َأ‬
ّ َ ُ ‫فالله‬ ‫الله‬
َ ‫وا‬ ‫ْض‬
ُ ‫ق‬ ‫ا‬
َ
“Ibu saya pernah bernadzar untuk mengerjakan haji, namun belum sempat
mengerjakannya beliau meninggal dunia. Apakah saya boleh mengerjakan haji untuk
beliau?”. Rasulullah SAW menjawab,”Ya, kerjakan ibadah haji untuk beliau. Tidakkah
kamu tahu bahwa bila ibumu punya hutang, bukankah kamu akan melunasinya?”.
Lunasilah hutang ibumu kepada Allah, karena hutang kepada Allah harus lebih
diutamakan. (HR. Bukhari)
Dari hadits ini kita temukan bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan qiyas kepada
wanita ini. Qiyas antara hutang kepada Allah SWT dengan hutang kepada sesama
manusia.
2. Larangan Potong Buku dan Kuku Qiyas Atas Rambut
Larangan bagi orang yang sedang berihram untuk memotong rambut memang disebutkan di
dalam hadits nabawi. Namun kita tidak menemukan larangan untuk memotong bulu atau
kuku. Maka larangan itu bukan didasarkan pada hadits, melainkan pada qiyas atas
larangan memotong rambut.
Dalil keharaman memotong rambut didasarkan kepada firman Allah SWT :
‫وسك ُْم َحتّ َى يَبْل ُغَ ال َْه ْد ُي َم ِحل ّ َ ُه‬ َ ‫حلِقُوا ُر ُء‬ْ َ‫َوال ت‬
Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya. (al-Baqarah: 196)
a. Larangan Menucukur Bulu
Larangan untuk mencukur rambut juga berlaku untuk selain rambut, yaitu semua bulu
yang tumbuh di badan, seperti kumis, jenggot, bulu ketiak, bulu kemaluan, alis dan
lainnya.
b. Larangan Potong Kuku
Memotong kuku atau mencabutnya, karena diqiyas atau disamakan hukumnya dengan
menggunting rambut, baik kuku tangan ataupun kuku kaki.
3. Qiyas Miqat Dzatu ‘Irqin
Orang yang datang berhaji atau umrah dari arah Iraq telah ditetapkan miqatnya oleh
Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu. Sementara Rasulullah SAW justru tidak pernah
menetapkannya.
Maka apa yang ditetapkan oleh Umar ini tidak lain adalah qiyas terhadap miqat-miqat
yang lainnya.
‫ َصلَّى الل ّ َ ُه‬- ‫ول الل َّ ِه‬ ُ ‫َال َر ُس‬ َ ‫ ث ُّمَ ق‬،‫ج ٍد ق َْرنًا َولَِأ ْه ِل ال ْي َ َم ِن يَل َْمل ََم‬ ْ َ ‫حفَ َة َولَِأ ْه ِل ن‬ ْ ‫الشا ِم ال ُْج‬ َ ّ ‫ول الل ّ َ ِه لَِأ ْه ِل ال َْم ِدين َ ِة ذَا ال ُْحل َيْفَ ِة َولَِأ ْه ِل‬ َ َ‫َو ّق‬
ُ ‫ت َر ُس‬
‫اد ال َْح َّج َوال ُْع ْم َر َة‬ ‫ر‬‫َأ‬ ‫ن‬
َ َ ْ َّ ‫م‬ ِ
‫م‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ِ ‫ل‬
َ ْ ِْ‫ه‬‫َأ‬ ‫ر‬‫َي‬
‫غ‬ ‫ن‬ْ ِ
‫م‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫َي‬
َْ َ ‫ل‬‫ع‬ ‫ى‬ َ ‫ت‬‫َأ‬ ‫آت‬ٍ ‫ُل‬
ّ ‫ك‬ ِ
ِ َ َ ْ‫ل‬ ‫و‬ ‫ا‬‫ه‬ ِ ‫ل‬ ‫ه‬‫َأ‬ ِ ‫ل‬ ‫يت‬ُ ِ
‫ق‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ْم‬ ‫ل‬‫ا‬ ِ
‫ه‬ ِ
‫ذ‬ ‫ه‬ - ‫م‬َ ّ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ِ
‫ه‬ ‫َي‬ ‫ل‬ ‫ع‬
ََ َ َ َ َ ْ َ
Rasulullah SAW menetapkan miqat untuk penduduk Madinah Dzil Hulaifah (Bir Ali),
untuk penduduk Syam Al-Juhfah, untuk penduduk Najd Qarnul Manazil, dan untuk
penduduk Yaman Yalamlam. Kemudian Beliau bersabda,”Semua itu adalah miqat-miqat
bagi masing-masing penduduk dan siapa saja yang melewatinya bila ingin berhaji atau
umrah.
Sedangkan untuk penduduk Irak, Nabi SAW justru sama sekali tidak menetapkan
miqatnya. Maka Umar bin Al-Khattab kemudian berijtihad dan menetapkan suatu titik
yang disebut dengan Dzatu ‘Irqin sebagai tempat miqatnya penduduk Irak dan mereka
yang melewatinya. Caranya dengan mengqiyaskan jaraknya dengan Qarnul Manazil dan
Yalamlam.
Qiyas miqat ini kemudian di masa sekarang dilakukan oleh para ulama, yaitu
mengqiyas kota Jeddah sebagai batas miqat bagi mereka yang datang dari arah barat
atau yang melewatinya.
F. Contoh Qiyas Dalam Kuliner
Ada banyak bahan yang biasa dipakai orang bermabukan dan hukumnya haram. Padahal
secara tekstual, bahan-bahan itu sama sekali tidak pernah disebutkan keharamannya
di Al-Quran atau pun Hadits. Yang disenyebutkan dalam kedua sumber hukum itu hanya
khamar saja.
Padahal wujud khamar di masa kenabian itu hanyalah berupa :
 Pertama : Berupa minuman yang wujudnya cair, tidak padat dan bukan gas.
 Kedua : Terbuat dari kurma atau anggur sebagaimana firman Allah SWT :
َ ‫ُون ِمن ْ ُه َسك ًَرا َو ِر ْزقًا َح َسنًا ِإ ّ َن ِفي َذلِ َك آلي َ ًة لِقَ ْو ٍم ي َ ْع ِقل‬
‫ُون‬ َ ‫اب تَتّ َِخذ‬ ِ َ ‫عن‬ ْ ‫يل َواَأل‬ِ ‫ات الن ّ َِخ‬ ِ ‫َو ِم ْن ث ََم َر‬
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang
baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang
yang memikirkan. (QS. An-Nahl : 67)
 Ketiga : Sudah dilakukan proses pengolahan lewat fermentasi lebih dari 3
hari. Karena Rasulullah SAW masih meminum perasan anggur dan kurma yang sudah
mengalami fermentasi asalkan belum jadi khamar.
 Keempat : Wujudnya menjadi keruh dan menyengat. Istilah yang banyak digunakan
adalah idza isytadda (‫اشتد‬ ّ ‫)إذا‬. Sebagian ulama menyebutkan sifatnya berbuih atau
qadzafa biz-zabad (‫)قذف بالزبد‬.
 Kelima : Bila diminum akan membuat mabuk.
Sementara hampir semua bahan yang memabukkan malah tidak memenuhi syarat sebagai
khamar di atas. Padahal di masa kenabian, tidaklah sesuatu itu disebut khamar,
kecuali hanya bila memenuhi ke-5 hal di atas.
Kalau tidak ada qiyas, maka narkoba, daun ganja, morfin, narkotik, zat-zat aditif,
ophium, sabu-sabu, pil ekstasi, bir dan termasuk semua minuman beralkohol yang kita
kenal sekarang ini tidak haram hukumnya. Sebab semua itu tidak pernah diharamkan
oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
Namun demikian, ternyata ada satu ‘illat yang terdapat pada semuanya dan terdapat
juga pada khamar, yaitu al-iskar (‫ )اإلسكار‬alias memabukkan. Maka para ulama sepakat
mengqiyaskan semua bahan apapun nama dan bahan asalnya, bagaimana pun rupa dan cara
mengolahnya, kayak apa cara pakainya, asalkan bahan itu memabukkan, maka hukumnya
ikut dengan hukum khamar.
Kaidahnya adalah :
‫كل مسكر خمر‬
Semua yang kalau dikonsumsi akan memabukkan, hukumnya ikut hukum khamar.
Disitulah peranan qiyas menjadi sangat penting. Dan kalau tidak pakai qiyas, maka
semua bahan itu menjadi halal.
G. Contoh Qiyas Dalam Jinayat
1. Hudud Pelaku Seks Sejenis
Dalam isitlah fiqih yang digunakan para ulama, perilaku seks sejenis ini dinamakan
dengan dua istilah yang berbeda, yaitu liwath dan sihaq (‫)سحاق‬.
Liwath adalah perilaku seksual menyimpang yang dilakukan oleh laki-laki dengan
laki-laki. Nampaknya isitlah ini diambil dari Kaum Luth sebagai pelaku pertamaya di
dunia ini. Dalam kitab Mughni Al- Muhtaj disebutkan definisinya sebagai berikut :
‫ِإ يال َُج َذك ٍَر ِفي ُدبُ ِر َذك ٍَر َأ ْو ُأنْثَى‬
Memasukkan zakar ke dalam dubur laki-laki atau dubur perempuan.
Sedangkan definisinya sihaq sebagaimana yang dituliskan para ulama adalah :
َّ ‫ور ِة َما يَ ْف َعل ب َِها‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
‫الر ُجل‬ َ ‫ ْن تَ ْف َعل ال َْم ْر ُة بِال َْم ْر ِة ِمثْل ُص‬:‫اص ِطال ًَحا‬ ْ ‫اح َق ُة ل ُ َغ ًة َو‬
َ ‫اق َوال ُْم َس‬
ُ ‫ح‬ ِّ
َ ‫الس‬
Wanita melakukan hubungan seksual dengan sesama wanita, sebagaimana wanita
melakukannya dengan laki-laki.
Mazhab Al-Hanafiyah berpandangan bahwa pelaku sihaq cuma dihukum secara dita'zir
saja. Alasannya karena perbuatan ini dianggap bukan zina dan tidak masuk kriteria
zina. Maka hukumannya terserah hakim dalam bentuk hukuman ta’zir.
Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa kedua dirajam tanpa dibedakan antara muhshan
dan ghairu muhshan. Karena tidak diqiyaskan ke zina, tetapi berdasarkan hadits yang
memerintahkan keduanya dibunuh saja.
‫ول به‬ َ ‫اع َل َوال َْمفْ ُع‬ ِ َ‫ُوط فَا ْقتُل ُوا الف‬ ٍ ‫ع َم َل ق َْو ِم ل‬ َ ‫وه ي َ ْع َم ُل‬
ُ ‫َم ْن َو َج ْدتُ ُم‬
Bila kalian menemukan ada orang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah
keduanya. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Namun banyak kalangan yang menyatakan bahwa hadits ini lemah sejak awal sebagaimana
disebutkan oleh Zainuddin Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah. Dalam hal ini,
nampaknya pendapat para ulama di kalangan Mazhab Al-Hanafiyah sejalan dengan Mazhab
Al-Malikiyah, yaitu pelakunya dihukum mati.
Yang agak berbeda dari semuanya adalah pendapat di kalangan para ulama Mazhab Asy-
Syafi'iyah. Berhubungan banyak hadits yang dha’if yang digunakan oleh mazhab
lainnya, maka mereka beralih kepada qiyas. Antara hukuman buat pelaku seks sejenis
dengan hukuman buat pelaku zina ada kesamaan, yaitu dirajam atau dicambuk 100 kali,
sebagaimana hudud zina. Ada ‘illat antara kedua perilaku itu yaitu zina itu
sendiri.
Maka dalam mazhab Asy-syafi’iyah, kalau pelakunya sihaq itu berstatus muhshan, maka
dihukum rajam hingga mati. Sebaliknya kalau pelakunya ghairu muhsham, hukumannya
cukup dicambuk 100 kali, sebagaimana pelaku zina pada umumnya.
Memang ada hadits yang menyebutkan pelaku seks sejenis pada hakikatnya sama dengan
orang yang berzina, yaitu hadits berikut :
ِ َ‫ت ال َْم ْرَأ ُة ال َْم ْرَأ َة ف َُه َما َزا ِنيَت‬
‫ان‬ ِ َ‫ان َوِإ ذَا َأت‬
ِ َ‫الر ُج َل ف َُه َما َزا ِني‬
َ ّ ‫الر ُج ُل‬ َ ّ ‫اء‬َ ‫ِإ ذا َ َج‬
Laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki, maka keduanya berzina. Wanita
yang melakukan hubungan seksual dengan wanita, keduanya berzina. (HR. Al-Baihaqi)
Namun beberapa kalangan mengkritik kelemahan hadits ini semisal Albani. Oleh
karena itulah hadits dhaif ini tidak dipakai sebagai landasan untuk merajam dan
mencambuk pelaku seks sejenis.
Dan sebagai penggantinya, digunakanlah qiyas antara orang yang melakukan seks
sejenis dengan laki-laki dan perempuan yang berzina. Dengan demikian, pelaku seks
sejenis kalau muhshan tetap dirajam dan kalau bukan muhshan dicambuk 100 kali.
Dengan digunakanya qiyas ini, maka segala hal yang berlaku dalam hudud zina berlaku
juga dalam hudud seks sejenis atau liwath. dalam keharusan adanya 4 orang saksi dan
orang yang menuduh perbuatan liwath tanpa adanya 4 orang saksi dihukum dengan
qadzaf.
2. Qiyas Pembunuh Sengaja Atas Kekeliruan
Qiyas atas pembunuh secara sengaja atas pembunuh secara kesalahan dalam kewajiban
kaffarah, yaitu karena sama-sama pembunuhan yang tidak hak.
3. Qiyas Pencuri Kain Kafan
Qiyas nabbasy atau pencuri kain kafan di kuburan dengan pencurian biasa, yaitu
karena kesamaan mengambil harta orang lain dari dalam wilayah penjagaan.

Bab 9 : Al-Masalih Al-Mursalah
A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, al-mashalih al-mursalah (‫ )المصالح المرسلة‬terdiri dari dua kata, yaitu
al-mashalih (‫ )المصالح‬dan al-mursalah (‫)المرسلة‬. Al-mashalih berposisi sebagai kata yang
disifati (‫)الموصوف‬, dan al-mursalah berposisi sebagai kata sifat (‫)الصفة‬.
Al-mashalih merupakan jama’ taksir dari kata al-mashlahah (‫)المصلحة‬. Al-mashlahah
sendiri merupakan bentuk mashdar mimi dari kata shalaha - yashluhu (‫ يصلح‬- ‫)صلح‬, dan
mempunyai makna yang sama dengan kata ash-shalah (‫ )الصالح‬yaitu ‫( ضد الفساد‬lawan dari
kerusakan).
Sedangkan kata al-Mursalah (‫ )المرسلة‬merupakan isim maf’ul dari kata arsala – yursilu
(‫ يرسل‬- ‫)ارسل‬, yang berarti ‫( المطلقة‬yang tidak terikat).
Bisa disimpulkan, secara bahasa al-mashalih al-marsalah berarti ‘kemaslahatan yang
tidak terikat’.
2. Istilah
Secara istilah, ada beberapa definisi al-mashalih al-mursalah atau al-mashlahah al-
mursalah yang dikemukakan oleh para ulama. Berikut beberapa di antaranya:
Imam Al-Ghazali mendefinisikannya dengan “(maslahat) yang tidak ada nash khusus
yang ditunjukkan oleh syari’at tentang pembatalan atau penetapannya.”
Syaikh Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikannya dengan “maslahat yang tidak
disyari’atkan oleh pembuat syari’at ketetapan hukum untuk pelaksanaannya, dan tidak
ditunjukkan penetapan ataupun pembatalannya oleh dalil syar’i .”
Dr. Wahbah az-Zuhaili mendefinisikannya dengan “sifat-sifat yang sesuai dengan
tindakan dan tujuan pembuat syari’at, tetapi tidak ada dalil khusus yang menetapkan
atau membatalkannya, dan dengan penetapan hukum dari sifat-sifat tersebut akan
tercapai kemaslahatan dan terhindar kerusakan pada manusia.”
Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah mendefinisikannya dengan “maslahat yang tidak
terdapat dalil khusus tentangnya dari pembuat Syari’at, baik yang menunjukkan
disyari’atkannya atau tidak disyari’atkannya maslahat tersebut.”
B. Jenis-Jenis Maslahat
Sebelum lebih jauh membahas tentang al-mashalih al-mursalah, perlu dibahas dulu
tentang maslahat secara umum. Ada dua sudut pandang dalam pembagian jenis-jenis
maslahat ini, yang pertama dilihat dari sisi kekuatannya, dan yang kedua dari sisi
diakui atau tidak diakuinya oleh asy-Syari’.
1. Dilihat Dari Sisi Kekuatannya
Maslahat, yang definisinya dikemukakan di atas, dari sisi kekuatannya terbagi
menjadi tiga, yaitu:
a. Adh-Dharuriyat
Adh-Dharuriyat (‫ )الضروريات‬adalah maslahat yang keberadaannya sangat diperlukan oleh
manusia, baik dalam urusan agama maupun dunia, jika maslahat ini tidak ada maka
rusaklah kehidupan dunianya, dan di akhirat ia akan kehilangan kenikmatan dan
mendapat siksa. Maslahat jenis ini terdiri dari penjagaan terhadap agama, jiwa,
akal, nasab, kehormatan dan harta. Semua hal yang bisa merusak maslahat jenis ini
diharamkan oleh Allah ta’ala.
Dalam hal ini, Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh
untuk memelihara jiwa, melarang minum minuman yang memabukkan untuk memelihara
akal, melarang zina untuk memelihara nasab dan kehormatan, serta melarang pencurian
untuk memelihara harta.
b. Al-Hajiyat
Al-Hajiyat (‫ )الحاجيات‬adalah maslahat yang keberadaannya akan menghilangkan
kesempitan (‫ )الحرج‬pada manusia. Maslahat jenis ini berada di bawah adh-dharuriyat
karena ketiadaannya tidak serta merta menghilangkan penjagaan terhadap agama, jiwa,
akal, nasab, kehormatan dan harta.
Contoh maslahat jenis ini adalah disyari’atkannya jual beli, sewa-menyewa, dan
berbagai aktivitas mu’amalah lainnya. Contoh lainnya adalah diberikannya rukhshah
untuk mengqashar dan menjama’ shalat bagi musafir, dibolehkannya berbuka puasa di
bulan Ramadhan bagi orang hamil dan menyusui, diwajibkannya menuntut ilmu agama,
diharamkannya menutup aurat, dan lain-lain.
c. At-Tahsiniyat
At-Tahsiniyat (‫ )التحسينيات‬adalah maslahat yang keberadaannya akan menghasilkan
kebaikan dan kemuliaan bagi kehidupan manusia. Maslahat ini berada di bawah adh-
dharuriyat dan al-hajiyat, karena ketiadaannya tidak langsung merusak penjagaan
terhadap agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan dan harta.
Contoh maslahat jenis ini adalah kewajiban thaharah untuk shalat dan pengharaman
makanan-makanan yang buruk serta kotor.
Bila terjadi benturan antara adh-dharuriyat, al-hajiyat dan at-tahsiniyat, maka
yang didahulukan adalah adh-dharuriyat baru al-hajiyat dan yang terakhir baru at-
tahsiniyat. Bahkan, sesama adh-dharuriyat pun urutannya dibedakan lagi, dan
penjagaan terhadap agama adalah yang utama. Sebagai contoh, jihad fi sabilillah
disyari’atkan untuk menegakkan agama walaupun harus mengorbankan jiwa dan harta.
Allah ta’ala berfirman:
ِ ِ ‫موالِك ُم َوَأنفُ ِسك ُم‬‫َأ‬
‫الله‬ ‫ِيل‬
ِ ‫في َسب‬ َ ‫َوجا َِه ُدوا ِب‬
Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah.” (QS. Al-Maidah : 41)
Ayat di atas menunjukkan keharusan mendahulukan penjagaan terhadap agama atas jiwa
dan harta.
2. Dari Sisi Diakui atau Tidak Diakuinya Oleh asy-Syari’
Sedangkan dari sisi diakui atau tidak diakuinya oleh asy-Syari’ (pembuat syari’at),
maslahat terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Al-Mashalih al-Mu’tabarah
Al-Mashalih al-Mu’tabarah (‫ )المصالح المعتبرة‬adalah maslahat yang diakui oleh asy-Syari’,
dan terdapat hukum-hukum yang terperinci yang berasal dari nash yang akan mencapat
maslahat ini. Maslahat ini misalnya untuk menjaga agama, jiwa, akal, nasab,
kehormatan, dan harta.
Sebagai contoh, jihad dan hukum bunuh terhadap orang murtad disyari’atkan untuk
menjaga agama. Qishash disyari’atkan untuk memelihara jiwa.
• Pengharaman minuman yang memabukkan dan had terhadap peminumnya akan
memelihara akal.
• Pengharaman pencurian dan hukuman potong tangan untuk pelakunya akan menjaga
harta.
• Pengharaman zina dan hukuman dera bagi pelakunya akan memelihara nasab dan
kehormatan. Kebolehan mengqashar dan menjama’ shalat bagi musafir akan
menghilangkan kesempitan dan kesulitan bagi musafir tersebut.
Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, tidak ada perbedaan pendapat akan kebolehan
menggunakan maslahat jenis ini untuk menunjukkan bahwa penerapan hukum-hukum
syari’ah akan mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat (kerusakan).
b. Al-Mashalih al-Mulghah
Al-Mashalih al-Mulghah (‫ )المصالح الملغاة‬adalah sesuatu yang disangka sebagai maslahat,
namun asy-Syari’ menolak hal tersebut, dan menunjukkan hal yang sebaliknya.
Misalnya fatwa Yahya ibn Yahya, seorang ahli fiqih madzhab Maliki terhadap khalifah
‘Abdurrahman ibn al-Hakam al-Umawi yang telah bersenggama dengan istrinya di siang
hari bulan Ramadhan, ulama tersebut berkata, “Anda harus berpuasa dua bulan
berturut-turut”.
Ia tidak mendahulukan membebaskan budak, ia berkata, “Jika saya memerintahkannya
untuk itu (membebaskan budak), maka itu terlalu mudah baginya dan ia akan memandang
remeh hal tersebut, yang lebih maslahat adalah mewajibkan ia puasa dua bulan
berturut-turut agar ia bisa tercegah dari mengulangi hal tersebut”.
Fatwa ini bathil karena bertentangan dengan hadits Nabi yang mendahulukan
membebaskan budak dari berpuasa dua bulan berturut-turut.
Contoh yang lain adalah berlebih-lebihan dalam beragama. Sebagian shahabat
menyangka bahwa berpuasa terus menerus, tidak menikah dan tidak tidur di malam hari
untuk mengerjakan shalat akan mendatangkan maslahat bagi mereka, namun hal ini
ditolak oleh Rasulullah SAW melalui hadits beliau:
‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫لله َوَأتقَاك ُم ل َُه ل َ ِكنِّي َأ ُصو ُم َوُأ ِ ُأ‬
ِ ‫الله ِإ ن ّ ِى ََألخشاَك ُم‬
ِ ‫َأ َما َو‬
َ ‫عن ُسن َّ ِتي َفل‬
‫َيس ِمنِّي‬ َ ‫اء ف ََمن َر ِغ‬
َ ‫ب‬ َ ‫فط ُر َو َصلِّي َو رق ُُد َو تَ َز ّ َو ُج النِّ َس‬
Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa
kepada Allah di antara kalian, tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur
malam, dan saya juga menikah dengan perempuan. Barangsiapa yang benci terhadap
sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Mahmud ‘Abdul Karim Hasan, tidak ada khilaf tentang ketidak bolehan
menggunakan maslahat jenis ini.
c. Al-Mashalih al-Mursalah
Al-Mashalih al-Mursalah (‫ )المصالح المرسلة‬adalah maslahat yang tidak ada keterangan dari
asy-Syari’ tentang diakui atau tidak diakuinya maslahat jenis ini. Untuk maslahat
jenis ini, ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya penggunaannya sebagai
sumber hukum.
C. Kehujjahan al-Mashalih al-Mursalah
Sebagai dalil syar’i, kehujjahan al-mashalih al-mursalah diperselisihkan oleh para
ulama. Kitab “al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa
Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah” karya Syaikh Mahmud ‘Abdul Karim Hasan
menyebutkan bahwa ulama ada berbeda pendapat tentang hal ini. Ada yang menerima
kehujjahan al-mashalih al-mursalah dan ada yang menolak kehujjahannya. Mayoritas
ulama menyatakan bahwa al-mashalih al-mursalah bukan dalil syar’i.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Pendapat yang menyatakan al-mashalih al-mursalah bukan dalil juga dinisbahkan pada
kalangan Hanafiyah. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Ibn Hamam ad-Diin al-
Iskandari al-Hanafi, ia berkata, “dan bagian ini dinamakan al-mashalih al-mursalah,
dan pendapat yang terpilih adalah menolaknya (sebagai hujjah)”.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Al-Mashalih Al-Mursalah dianggap hujjah oleh ulama Malikiyah seperti asy-Syathibi
dan al-Qarafi. Namun sebagian ulama Malikiyah justru menolak penggunaan Al-Mashalih
Al-Mursalah, diantaranya Ibn al-Hajib al-Maliki.
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Pendapat ini dinisbahkan kepada imam asy-Syafi’i, sebagaimana yang disebutkan oleh
al-Amidi. Pendapat ini juga disandarkan kepada banyak ulama Syafi’iyah, misalnya
al-Amidi, al-Ghazali dan ‘Izzuddin ibn ‘Abd as-Salam.
Penyandaran ini juga bisa dilihat dari pernyataan yang masyhur dari asy-Syafi’i,
yaitu “man istahsana faqad syarra’a”, dan istihsan yang tercela menurut asy-Syafi’i
juga mencakup al-mashalih al-mursalah menurut kalangan Malikiyah. Artinya,
pernyataan asy-Syafi’i tersebut menunjukkan asy-Syafi’i tegas menolak al-mashalih
al-mursalah sebagai dalil.
4. Mazhab Al-Hanabilah
Sebagian ulama madzhab Hanabilah juga menolak menggunakan al-mashalih al-mursalah
sebagai hujjah, misalnya Ibn Qudamah al-Maqdisi dan Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah
berkata, “sesungguhnya al-mashalih al-mursalah telah membuat syariat dalam agama
dengan sesuatu yang tidak diizinkan”.
5. Mazhab Zahiri
Al-Mashalih Al-Mursalah juga tidak digunakan oleh madzhab Zhahiriyah
6. Ulama Kontemporer
Di masa sekarang, ulama yang menolak kehujjahan al-mashalih al-mursalah misalnya
adalah syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah dan syaikh ‘Atha
Abu ar-Rasytah.
Sedangkan pendapat yang menerima al-mashalih al-mursalah sebagai dalil syar’i
dinisbahkan kepada imam Malik. Demikian pula, al-mashalih al-mursalah juga dianggap
hujjah oleh ulama Malikiyah seperti asy-Syathibi dan al-Qarafi. Asy-Syathibi bahkan
menyatakan bahwa imam Abu Hanifah dan imam asy-Syafi’i juga menggunakan al-mashalih
al-mursalah, namun pernyataan ini bertentangan dengan yang disampaikan oleh al-
Amidi. Dan yang tepat adalah Abu Hanifah dan asy-Syafi’i tidak menggunakan al-
mashalih al-mursalah.
Di masa sekarang, banyak ulama yang menerima kehujjahan al-mashalih al-mursalah,
mereka misalnya adalah
• Muhammad al-Khudhri Bek
• Jad al-Haq ‘Ali Jad al-Haq
• Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi : Al-Buthi bahkan menyatakan bahwa al-
mashalih al-mursalah diterima berdasarkan kesepakatan shahabat, tabi’in, dan imam
yang empat, namun, syaikh Mahmud Abdul Karim Hasan membantah pernyataan tersebut.
• Abdul Karim Zaidan
• Abdul Wahhab Khallaf : konon beliau mengatakan bahwa Al-Ghazali menolak
Istishlah.
• Muhammad Ibrahim al-Khafnawi
D. Argumetasi Masing-masing
1. Argumentasi Yang Menolak
Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang menolak menggunakan
al-mashalih al-mursalah sebagai dalil, diantaranya adalah:
a. Hawa Nafsu
Mengambil al-mashalih al-mursalah akan membawa pada penetapan hukum syari’ah
sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu. Terdapat banyak nash yang melarang
penggunaan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil, diantaranya:
‫ول‬ ِ ‫الر ُس‬ ِ
َّ ‫الله َو‬ ‫وه ِإ ل َى‬ ُ ‫في َشي ٍء ف َُر ُّد‬ ِ ‫َفِإن تَنَا َزعتُم‬
Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah). (QS. An-Nisaa’ : 59)
‫يما‬ ً ِ‫يت َويُ َسلِّ ُموا تَسل‬ َ ‫في َأنفُ ِس ِهم َح َر ًجا ِم َّما ق ََض‬
ِ ‫ج َر بَين َ ُهم ث ُّمَ ال َ يَجِ ُدوا‬ َ ‫حكِّ ُمو َك ِف‬
َ ‫يما َش‬ َ ُ ‫تى ي‬
َ ّ ‫ون َح‬ ِ ُ ‫َفال َ َو َربِّ َك ال َ ي‬
َ ُ ‫ؤمن‬
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
engkau hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisaa’ : 65)
Menjadikan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil berarti tidak kembali Allah dan
Rasul, dan juga berarti tidak menjadikan Rasul sebagai hakim.
b. Islam Sudah Sempurna
Islam adalah diin yang sempurna, sebagaimana firman Allah ta’ala:
‫لت لَك ُم ِدينَك ُم‬ ُ ‫كم‬ ‫اليَو َم َأ‬
َ
Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. (QS. Al-Maaidah : 3)
‫اب ِتبيَانًا لِك ُِّل َشي ٍء‬ َ َ‫َيك ال ِكت‬ َ ‫َوَأن َزلنَا‬
َ ‫عل‬
Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu.”(QS. An-Nahl : 89)
Dan menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil berarti menunjukkan bahwa
nash-nash syar’i masih kurang dan tidak sempurna.
c. Mengandalkan Akal
Menggunakan al-mashalih al-mursalah berarti merujuk kepada akal, sedangkan akal
pikiran setiap manusia berbeda-beda. Dan hukum yang lahir daripadanya tidak syar’i,
karena ia menjadikan baik dan buruk atas pertimbangan akal, dan ini bertentangan
dengan kewajiban untuk berhakim hanya kepada Allah, firman-Nya:
ِ َّ ‫كم ِإ ال‬
‫لله‬ ُ ‫الح‬
ُ ‫ِإ ِن‬
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al-An’aam : 57)
d. Ketidak-pastian Hukum
Menggunakan al-mashalih al-mursalah akan menyebabkan hukum syara’ bisa berubah-ubah
mengikuti perubahan zaman, keadaan, tempat dan perbedaan orang-orang yang
menerapkannya. Bisa jadi sesuatu itu haram –berdasarkan pertimbangan maslahat–
menurut seseorang atau di suatu negeri, namun oleh orang lain atau di negeri lain
hal itu boleh saja.
Ini bertentangan dengan prinsip Islam yang universal dan lestari sepanjang masa
bagi umat Islam hingga hari kiamat.
e. Tidak Pasti Kebenarannya
Al-mashalih al-mursalah berada di tengah-tengah dua kutub, yaitu maslahat yang
diakui oleh asy-Syari’ dan maslahat yang tidak diakui. Karena tidak diketahui
apakah maslahat dalam al-mashalih al-mursalah ini diakui oleh asy-Syari’ atau
tidak, maka tidak boleh berhujjah dengannya.
Al-Amidi berkata, “Al-mashalih al-mursalah diragukan keadaanya apakah termasuk
maslahat yang diakui oleh asy-Syari’ atau yang tidak diakui. Dan mengutamakan salah
satunya tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu berhujjah dengannya tidak bisa
dilakukan, karena tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa ia termasuk maslahat
yang diakui oleh asy-Syari’.”
f. Kezaliman Mengatas-namakan Maslahat
Mengambil al-mashalih al-mursalah yang tidak didukung oleh nash syar’i akan
menyebabkan lepasnya dari hukum-hukum syari’ah dan malah akan melahirkan kezaliman
atas nama maslahat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penguasa yang zalim.
Ibn Taimiyah berkata: “Dari sisi maslahat, ia akan menghasilkan kekacauan yang
besar dalam urusan agama. Banyak pemimpin dan ahli ibadah melihat suatu maslahat
kemudian kemudian mengerjakannya atas dasar ini. Padahal diantara maslahat tersebut
ada yang terlarang menurut syari’ah yang tidak mereka ketahui.”
2. Argumentasi Yang Menerima
Ulama yang menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil juga mempunyai
argumentasi, diantaranya:
a. Kehidupan Terus Berkembang
Sesungguhnya kehidupan terus berkembang, dan cara manusia untuk memenuhi
kemaslahatannya terus berubah di setiap zaman dan tempat. Jika hanya membatasi diri
pada hukum-hukum yang telah diakui atau terdapat dalam nash, maka banyak sekali
maslahat manusia yang akan terhalangi, dan pensyari’atan akan menjadi jumud. Hal
ini akan melahirkan bahaya yang besar dan tidak sesuai dengan tujuan syari’ah yaitu
mewujudkan maslahat dan menghilangkan mafsadat.
b. Hadits Perintah Berijtihad
Rasulullah SAW menerima pernyataan Mu’adz ibn Jabal radhiyallahuanhu ketika beliau
mengutusnya ke Yaman, bahwa ia akan berijtihad dengan akal pikiran (ra’yu), jika
hukumnya tak terdapat di Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
c. Banyak Contoh Dari Shahabat
Jika mengikuti ijtihad sebagian shahabat dan orang-orang setelah mereka, maka bisa
ditemukan bahwa mereka berfatwa dalam banyak hal berdasarkan maslahat yang
terpilih, tanpa membatasi diri hanya pada maslahat yang langsung diakui oleh nash.
Dan kenyataan adanya ijtihad semacam ini tidak diingkari oleh satu orang pun di
antara mereka. Contoh ijtihad semacam ini misalnya adalah:
• Abu Bakar radhiyallahuanhu mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Quran yang
terpisah-pisah pada satu mushaf berdasarkan saran dari Umar radhiyallahuanhu.
Beliau berkata,”Demi Allah, sesungguhnya ini adalah kebaikan dan maslahat bagi
Islam”.
• Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu membatalkan bagian zakat bagi muallaf,
padahal bagian zakat tersebut ada dalam nash. Hal ini dilakukan oleh beliau dengan
alasan bahwa sudah tidak ada lagi hajat untuk melunakkan hati mereka (ta’lif
quluubihim) setelah kejayaan Islam.
• Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga menggugurkan (tidak melaksanakan)
had untuk pencurian di masa paceklik, padahal nash-nash tentang had pencurian
berlaku umum.
• Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga menetapkan ucapan thalaq tiga yang
diucapkan dalam satu waktu sebagai thalaq tiga, agar orang-orang tidak begitu mudah
melakukannya.
• Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu menetapkan mushaf al-Quran hanya pada
satu huruf, dan membaginya ke setiap negeri, kemudian beliau membakar mushaf-mushaf
yang lain.
d. Sesuai Tujuan Syariah
Sesungguhnya maslahat –jika bersesuaian dengan tujuan syari’ah–, maka mengambil
maslahat tersebut akan sesuai dengan tujuan syari’ah dan mengabaikannya akan
mengakibatkan terabaikannya tujuan syari’ah. Dan mengabaikan tujuan syari’ah adalah
perkara batil dan tidak boleh dilakukan.
E. Syarat-Syarat Al-Mashalih Al-Mursalah
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa
menggunakan al-mashalih al-mursalah, berikut syarat-syarat tersebut:
1. Sesuai Dengan Tujuan Syariah
Maslahat tersebut harus sesuai dengan tujuan syari’ah, tidak bertentangan dengan
pokok-pokok syari’ah dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qath’i.
2. Bisa Diterima Akal
Maslahat tersebut harus bisa diterima oleh akal bahwa ia memang mengandung maslahat
secara pasti, bukan hanya berupa dugaan apalagi sangkaan yang lemah. Artinya
penerapan maslahat tersebut benar-benar harus menghasilkan manfaat dan
menghindarkan dari bahaya.
Dari sini, tidak dibenarkan mencabut hak thalaq dari seorang suami dan menyerahkan
hak tersebut kepada hakim. Ini karena hal tersebut bertentangan dengan nash, dan
tidak ada maslahat yang benar-benar terwujud dari penerapan hal ini.
3. Berlaku Umum
Maslahat yang dihasilkan dari penerapan al-mashalih al-mursalah ini harus berlaku
umum untuk seluruh manusia, bukan hanya dirasakan oleh individu atau kelompok
tertentu, hal ini karena hukum syara’ diterapkan untuk seluruh umat manusia. Dari
sini, tidak sah penerapan kemaslahatan yang hanya berlaku bagi pemimpin, keluaga
dan orang dekatnya saja.
Sebagai contoh, tidak boleh membunuh seorang muslim yang dijadikan perisai oleh
orang kafir ketika bertempur dalam benteng, karena masih mungkin untuk mengepung
orang kafir tersebut, dan tindakan orang kafir tersebut tak akan sampai membuat
negeri muslim tertaklukkan.

Bab 10 : Al-Istishhab
A. Pengertian
1. Bahasa
Kata istish-hab secara etimologi berasal dari kata istashhaba (‫ )استصحب‬dalam sighat
istif’ala (‫ )استفعال‬yang bermakna ‫استمرارالصحبة‬. Kalau kata ‫ الصحبة‬diartikan dengan teman
atau sahabat dan ‫ استمرار‬diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara
bahasa adalah selalu menemani atau selalu menyertai.
2. Istilah
Namun secara istilah, nampaknya para ulama punya definisi yang berbeda-beda terkait
istishab, antara lain :
a. Al-Ghazali
Al-Ghazali (w. 505 H) mendefinisikannya sebagai perpegang pada dalil akal atau
syariat, yang tidak karena didasarkan tidak mengetahui dalil, tetapi setelah
melalui pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah
hukum yang telah ada.
b. Ibnul Qayyim
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) menyebutkan bahwa istishab adalah menetapkan
berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tidak
ada, sampai ada yang mengubah kedudukannya atau menjadikan hukum yang telah di
tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil
yang menunjukkan perubahannya.
‫امه‬ َ ‫في َماكا ََن َمن ِفيًّا اِس ِت‬
ُ ‫خد‬ ُ َ ‫َان ثَا ِبتًا َون‬
َ ‫َبت َماك‬
ُ ‫ث‬
Mengukuhkan/menetapkan apa yang pernah di tetapkan dan meniadakan apa yang
sebelumnya tiada.
c. Asy-Syatibi
Sedangkan menurut definisi Asy-Syatibi (w. 790 H) istishab adalah segala ketetapan
yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.
d. Ibn As-Subki
Ibn As-Subki (w. 771 H) dalam kitab Jam’u Al-Jawani menyebutkan bahwa istishab
adalah berlakunya sesuatu pada masa kedua karena yang demikian pernah berlaku pada
waktu pertama karena tidak ada yang aptut untuk mengubahnya.
e. Asy-Syaukani
Asy-Syaukani (w. 1250 H) mendefinisikan Istishab sebagai :
‫ما ثبت في الزمن الماضي فاألصل بقاؤه في الزمن المستقبل حتى يثبت ما يغيره‬
Apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku
pada masa yang akan datang.
B. Beberapa Contoh Istishab
1. Tidak Batalnya Wudhu
Para ulama ushul fiqih dalam banyak kitab mereka seringkali memberi contoh kasus
yang menggunakan dalil istishab adalah seseorang sudah berwudhu dan mengerjakan
shalat dengan benar, belum lagi dianggap batal wudhunya selama belum ada hal-hal
yang membatalkan wudhu'nya itu dengan jelas dan yakin.
Sehingga prinsipnya hukum awal itu tetap melekat pada hukum berikutnya, selama
memang belum ada yang merubahnya. Hukum awalnya suci dari hadats alias sudah
berwudhu'. Meski sudah berselang lama beberapa waktu, seseorang tetap dalam keadaan
suci dari hadats dan tidak bisa dianggap telah batal wudhu'nya.
2. Tetapnya Kegadisan Wanita
Para ulama menghukumi wanita yang belum pernah menikah atau melakukan jima' sebagai
gadis (bikr), dengan menggunakan dalil istishab. Sebab seorang wanita dilahirkan
pasti dalam keadaan gadis atau perawan (bikr). Selama dia belum menikah atau
melakukan jima', statusnya tetap seperti itu meski usianya sudah lanjut dan uzur.
3. Tidak Wajib Puasa kecuali Ramadhan
Syaikh Abu Zahrah (w. 1394 H) dalam kitabnya Ushul Fiqih-nya memberikan sebuah
contoh bagaimana dalil istishab itu digunakan. Menurut Beliau Allah SWT hanya
memerintahkan kita untuk berpuasa wajib pada bulan Ramadhan saja. Sedangkan 11
bulan lainnya tidak ada perintah untuk berpuasa. Maka secara istishab atau hukum
asalnya, 11 bulan itu adalah bulan-bulan yang tidak ada kewajiban berpuasa di
dalamnya.
C. Rukun Istishab
Adanya istishab tidak bisa dipisahkan dari rukun-rukunnya yang ada tiga, yaitu :
1. Hukum Asli Yang Diyakini Kekuatannya
Adanya hukum asli yang diyakini kekuatannya. Dalam kasus tidak batalnya wudhu,
hukum aslinya bahwa kita sudah berwudhu dan diyakini sekali status sudah berwudhu’.
2. Hukum Turunan Yang Diragukan Kekuatannya
Hukum turunan adalah yang sedang dipertanyaan status hukumnya, yaitu apakah kita
masih dalam status masih punya wudhu’ atau tidak. Jawabannya bisa masih punya
wudhu’ dan bisa juga sudah tidak punya wudhu’ lagi.
3. Keterkaitan Antara Keduanya
Sedangkan keterkaitan antara hukum asli dan turunan adalah istishab itu sendiri,
yaitu keterkaitan dengan hukum asalnya, selama tidak ada hal-hal yang secara eksak
diyakini ada yang membatalkan. Keraguan masih belum bisa mengubah hukum bahwa masih
dalam status berwudhu’. Yang bisa mengubahnya hanya bila kita amat yakin bahwa
telah terjadi hal-hal yang membatalakn wudhu’.
D. Jenis Istishab
Istishab terbagi dalam beberapa macam diantaranya :
1. Istishab Al-Baraah Al-Ashliyyah
Istishab al-baraah al-ashliyyah (‫ )البرءةاالصلية‬atau sebagaimana Ibnul Qayyim
menyebutnya dengan bara’at al-adam al-ashliyyah (‫)براة العدم االصلية‬. Maksudnya seseorang
tidak pernah dibebani dengan suatu ibadah selama tidak ada perintahnya.
Contohnya bahwa seseorang tidak akan dimintai pertanggung-jawaban atas untuk
tahajjud tida malam, selama tahajjud itu memang tidak pernah diperintahkan untuk
dikerjakan tiap malam.
2. Istishab Al-Ibahah Al-Ashliyah
Jenis yang kedua disebut dengan istishab al-ibahah al-ashliyah (‫)االستصحاب اإلباحة األصلية‬.
Maksudnya istishab yang berdasarkan atas hukum asal bahwa suatu perkara itu pada
dasarnya mubah atau boleh dilakukan. Istishab semacam ini banyak berperan dalam
menetapkan hukum di bidang muamalah. Landasannya adalah sebuah prinsip yang
mengatakan, hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari selama tidak ada dalil yang melarangnya, seperti makanan,
minuman, hewan dan lainnya. Prinsip ini berdasarkan firman Allah SWT berikut ini.
ً ‫رض َج ِم‬
‫يعا‬ ِ ‫ُه َوال َّ ِذي َخل ََق لَك ُم َما ِفي اَأل‬
Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu (QS. Al-Baqarah :
23)
3. Istishab Al-Hukm
Maksudnya adalah Istishab yang berdasarkan pada tetapnya status hukum yang telah
ada selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya. Misalnya seseorang yang telah
melakukan akad nikah akan selamanya terikat dalam jalinan suami istri sampai ada
bukti yang menyatakan bahwa mereka telah bercerai.
4. Istishab Wasaf
Para ulama menggunakan istishab dari a sampai c dengan cara yang berbeda. Ulama’
Syafi’iyah dan Hanbaliyah menggunakan istishab ini secara mutlaq. Dalam arti bisa
menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterusnya serta bisa
pula menetapkan hak-hak yang baru. Tapi ulama mazhab Al-Malikiyah hanya menggunakan
yang wasaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah ada.
Para ulama yang menyempitnya penggunaan thuruq al-istinbat umumnya meluaskan
penggunaan istishab ini. Misalnya kalangan ahli zhahir dimana mereka mereka menolak
penggunaan Qiyas. Demikian pula sebagian ulama mazhab Asy-Syafi’yah banyak
menggunakan Istishab sebagai ganti dari istihsan.
E. Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa istishab adalah salah satu dari sekian banyak
dalil syariah, atau dengan kata lain merupakan hujjah. Namun mereka berbeda
pendapat tentang seberapa jauh kehujjahan Istishab ketika tidak ada dalil yang
lainnya, atau bila hanya menjadi satu-satunya dalil.
Ada tiga pandangan yang berbeda dalam masalah ini. Pertam mereka yang berpandangan
bahwa istishab itu hujjah yang bersifat mutlak, kedua mereka yang berpandangan
bahwa istishab hujjah tapi tidak bersifat mutlak, dan pandangan ketiga bahwa
istishab adalah hujjah sebatas menolak (daf') dan bukan hujjab dalam menetapkan
(itsbat). Berikut rinciannya :
1. Hujjah Mutlak
Jumhur ulama seperti kalangan mazhab Al-Malikiyyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah,
Azh-Zhahiriyyah hingga kalangan mazhab Syi’ah umumnya memandang bahwa istishab
adalah hujjah syar'iyah (‫)حجة شرعية‬. Alasan mereka adalah bahwa sesuatu yang telah
ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara
qath’i maupun zhanni, maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena
diduga keras belum ada perubahanya.
2. Hujjah Tidak Mutlak
Namun menurut kalangan ulama mazhab Al-Hanafiyah, istishab bukan termasuk hujjah
syar'iyah. Oleh karena itu tidak dibenarkan menjadikannya sebagai landasan atas
suatu hukum.
Karena untuk menetapkan suatu dalil dan hujjah hukum syariat pada awalnya
membutuhkan dalil, sebagaimana dalil itu juga dibutuhkan waktu berikutnya. Para
muhaqqiq kalangan ulama Hanafi setuju bila istishab dijadikan dalil penguat atas
suatu hukum yang sudah ada sebelumnya. Namun tidak bisa dijadikan dasar hukum atas
suatu masalah yang sama sekali belum ada dalil dasarnya.
Contohnya dalam kasus seorang yang dianggap hilang (mafqud), secara istishab belum
dianggap meninggal dulu, kecuali setelah ada bukti jasadnya yang wafat. Oleh karena
itu anak-anaknya belum boleh membagi hartanya sebagai warisan, karena ada
pencegahnya, yaitu secara istishab masih dianggap hidup.
3. Hujjah Untuk Menolak Bukan Untuk Itsbat
Sebagian kalangan menerima kehujjahan istishab hanya pada satu sisi dan tidak pada
sisi yang lain. Maksudnya, kalau untuk menolak sesuatu atau daf', istihab bisa
dijadikan hujjah, sedangkan untuk menetapkan sesuatu (itsbat), istishab tidak bisa
dijadikan hujjah.
F. Beberapa Qawaid Fiqih Yang Terkait Istishab
1. Pertama
َ َ‫في اَألشيَا ِء اإلب‬
‫احة‬ ِ ‫صل‬ُ ‫اَأل‬
Asal segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)
2. Kedua
‫اء ُة‬َ ‫في اإلنسا َِن البَ َر‬ ِ ‫صل‬ ُ ‫اَأل‬
Asal pada manusia adalah kebebasan
3. Ketiga
‫اء ُة ال ِّذ َّم ِة‬َ ‫صل بَ َر‬ ُ ‫اَأل‬
(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan
4. Keempat
‫ِالش ِّك‬ َّ ‫ول ب‬ ُ ‫ين ال َ ي َ ُز‬ُ ‫اليَ ِق‬
(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (terhapus) oleh hukum
yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.
5. Kelima
‫ت َما ي ُ َغيِّ ُر ُه‬ َ ُ‫َان َحتَّى يَثب‬ َ ‫لى ما َ ك‬
َ ‫ع‬َ ‫اء َماكا ََن‬ ُ ‫اَأل‬
ُ َ‫صل بَق‬
Asal sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan
semula,sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubahnya.
6. Keenam
‫األصل في األشياء اإلباحة‬
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh
7. Ketujuh
‫األصل في األبضاع التحريم‬
Hukum asal terkait kemaluan wanita adalah haram
8. Kedelapan
‫األصل في الكالم الحقيقة‬
Ketentuan yang asal dalam perkataan adalah makna secara hakiki.
9. Kesembilan
‫األصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته‬
Ketentuan asal adalah mengaitkan kejadian ke waktu yang terdekat
10. Kesepuluh
‫الظاهر يصلح حجة للدفع ال لالستحقاق وكل ضابط يعبر فيه عن األصل كذا‬
Secara zhahir dibenarkan hujjah untuk menolak bukan untuk istihqaq. Dan semua
ketentuan digambarkan dengan asas ini

Bab 11 : Saddu Adz-Dzari’ah


A. Definisi
Adz-dzarai' (‫ )الذرائع‬merupakan bentuk jamak dari adz-dzari'ah (‫)الذريعة‬. Dan adz-
Dzari'ah secara bahasa artinya perantara atau jalan untuk mencapai sesuatu.
Sedangkan secara istilah, menurut Dr. Muhammad ibn Husain al-Jaizani, ulama ushul
fiqih membagi makna adz-Dzari'ah menjadi dua, yaitu:
1. Makna umum
Makna umum ini sama dengan makna bahasanya, yaitu mencakup setiap perantara atau
jalan untuk mencapai sesuatu, baik berupa kemaslahatan ataupun kerusakan.
2. Makna khusus
Makna khusus adalah suatu perbuatan yang pada dasarnya mubah, namun menjadi jalan
menuju perbuatan yang diharamkan.
Secara umum fuqaha dan ulama ushul memaknai adz-dzarai' dengan makna khusus ini.
Untuk menempatkannya dalam pembahasan yang sesuai dengan yang dituju, kata adz-
dzarai' didahului dengan sadd (‫ )سد‬yang artinya menutup.
Jadi, sadd adz-dzarai' artinya menutup jalan atau perantara menuju perbuatan yang
diharamkan. Meskipun jalan atau perantara tersebut pada awalnya tidak haram, namun
karena ia mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan, ia menjadi haram juga.
B. Kehujjahan Sadd adz-Dzarai'
Ulama berbeda pendapat dalam menerima kehujjahan sadd adz-dzarai' sebagai dalil
fiqih, yaitu sebagai berikut:
1. Sadd adz-Dzarai' Merupakan Dalil Fiqih
Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Malikiyah dan Hanabilah. Menurut az-Zuhaili,
Imam Malik dan Ahmad menyatakan bahwa adz-dzarai' merupakan salah satu bagian dari
ushul fiqih. Masih menurut az-Zuhaili, Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa sadd adz-
dzarai' merupakan seperempat agama.
Mereka melandasi hal ini dengan argumentasi dari Al-Quran dan As-Sunnah
a. Al-Quran
ٍ ‫ير ِع‬
‫لم‬ ِ ‫دوا ِب َغ‬ً ‫ع‬ َ ‫الله‬ َ ِ
‫الله فَي َ ُسبُّوا‬ ‫ون‬ ِ ‫ون ِمن ُد‬ َ ‫دع‬ ُ َ ‫ين ي‬ َ ‫َوال َ تَ ُسبُّوا ال َّ ِذ‬
Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan."(QS. Al-An'aam : 108(
Allah ta'ala melarang memaki sesembahan orang kafir karena hal tersebut akan
membuka jalan bagi mereka untuk memaki Allah. Allah SWT juga melarang menggunakan
kata raa'inaa (‫ )راعنا‬pada firman-Nya:
‫انظرنَا‬ ُ ‫اعنًا َوقُول ُوا‬ ِ ‫آمنُوا ال َ َت ُقول ُوا َر‬ َ ‫ين‬ َ ‫يآ َأيُّها َ ال ّ َ ِذ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad),
'raa'inaa', tetapi katakanlah 'unzhurnaa' (qs. Al-Baqarah : 104)
Ucapan raa'inaa oleh para shahabat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
membuka jalan bagi kalangan Yahudi untuk mengejek Nabi, karena kata raa'inaa dalam
bahasa mereka merupakan ejekan kepada orang yang diajak bicara.
Allah SWT pun melarang wanita yang menghentakkan kakinya supaya diketahui orang
perhiasan yang tersembunyi di dalamnya, sebagaimana firman-Nya:
‫ين ِمن ِزين َ ِت ِه َّن‬ َ ‫رجلِ ِه َّن لِيُعل ََم َما يُخ ِف‬ ُ ‫بن ِبَأ‬ َ ‫ضر‬ ِ َ ‫َوال َ ي‬
Dan janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan
yang tersembunyi di dalamnya. (QS. An-Nur : 31)
Sebenarnya menghentakkan kaki itu boleh-boleh saja bagi perempuan, namun karena
menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan
menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki itu menjadi
terlarang.
b. As-Sunnah
‫لى َما ال َ يَ ِريبُ َك‬ َ ‫َدع َما ي َ ِريبُ َك ِإ‬
Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu (HR. At-
Tirmidzi)
Dan hadits:
،‫رض ِه‬ ِ ‫برَأ لِ ِدي ِن ِه َو ِع‬ َ َ‫ات َف َقد است‬ ِ ‫الشبُ َه‬
ُّ ‫ ف ََم ِن اتّ َ َقى‬،‫ير ِم َن الن ّ َِاس‬ ٌ ‫ات ال َ يَعل َُم ُه ّ َن ك َ ِث‬ ٌ ‫ور ُمشتَب َِه‬ ٌ ‫ِن َوبَين َ ُه َما ُأ ُم‬ ٌ ّ ‫الح َرا َم بَي‬
َ ‫ِن َوِإ َّن‬ ٌ ّ ‫الحال ََل بَي‬
َ ‫ِإ ّ َن‬
‫ َأال َ َوِإ ّ َن لِك ّ ُِل َملِ ٍك ِح ًمى َأال َ َوِإ ّ َن ِح َمى‬،‫يه‬ ِ ‫وش ُك َأن يَرتَ َع ِف‬ ِ ُ‫الح َمى ي‬ ِ ‫ول‬
َ ‫رعى َح‬ َ َ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫اع‬ِ ‫َالر‬
َّ ‫ك‬ ،‫م‬ِ ‫ا‬ ‫ر‬ ‫الح‬
َ َ ‫ي‬ ِ
‫ف‬ ‫َع‬َ َ‫ق‬‫و‬ ‫ات‬ِ ‫ه‬
َُ ‫ب‬ ُ
‫الش‬ّ ‫ي‬ ِ
‫ف‬ ‫َع‬ ‫ق‬
َ َ‫و‬ ‫ن‬ ‫م‬
َ ‫َو‬
‫لب‬ ‫ق‬
َ ‫ال‬ ‫ي‬ ِ
‫ه‬ ‫و‬ َ ‫ال‬ ‫َأ‬ ‫ه‬ُ ُ ّ ‫ل‬ُ ‫ك‬ ‫د‬
ُ ‫س‬ ‫الج‬
َ ‫د‬
َ ‫َس‬ ‫ف‬ ‫ت‬ ‫د‬
َ ‫َس‬ ‫ف‬ ‫َا‬
‫ذ‬ ‫ِإ‬ ‫و‬ ‫ه‬
ُ ُ ّ ‫ل‬ُ ‫ك‬ ‫د‬
ُ ‫س‬ ‫الج‬
َ ‫َح‬
َ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ‫ت‬ ‫َح‬
َ ‫ل‬ ‫ص‬َ ‫َا‬‫ذ‬ ‫ِإ‬ ‫ة‬
ً ‫غ‬
َ ‫ض‬‫م‬ ِ
‫د‬ ‫س‬ ‫الج‬
َ ‫ي‬ ِ
‫ف‬ ‫ن‬َ ّ ‫ِإ‬ ‫و‬ َ ‫ال‬‫َأ‬ ‫ه‬
ُ ‫م‬ ‫ار‬
ِ ‫ح‬
َ ‫م‬ ِ
‫الله‬
ُ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ ُ َ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya
terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang
banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan
agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan
terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang
menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk
memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja
memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa
dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh
ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah
hati “. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibn Rusyd berkata: "Sesungguhnya pembahasan adz-dzarai' dalam al-Kitab dan as-
Sunnah cukup panjang pembahasannya dan tidak memungkinkan untuk membatasinya."
c) Membolehkan melakukan perbuatan yang menjadi jalan atau perantara kepada
perbuatan yang diharamkan merupakan hal yang kontradiktif dengan pengharaman itu
sendiri. Sebagai contoh, seorang dokter yang ingin mencegah terjadinya penyakit
pada seseorang tentu akan melarang orang tersebut melakukan perbuatan yang akan
mengantarkannya menderita penyakit tersebut.
d) Berdasarkan penelitian terhadap sumber pengharaman dalam al-Kitab dan as-Sunnah,
diketahui bahwa ada yang memang haram sendirinya (tahrim al-maqashid) seperti
keharaman syirik, zina, meminum khamr dan membunuh, ada juga yang haram karena
menjadi jalan atau perantara kepada perbuatan yang haram sendirinya tersebut.
Ibn al-Qayyim menyebutkan ada sembilan puluh sembilan contoh pengharaman dalam al-
Kitab dan as-Sunnah karena menjadi jalan atau perantara (adz-dzarai') kepada
perbuatan yang haram. Sebagai contoh, sadd adz-dzarai' kepada perbuatan zina adalah
pengharaman khalwat, pengharaman wanita bepergian (safar) sendirian, pengharaman
melihat aurat, kewajiban meminta izin jika ingin memasuki sebuah rumah, dan banyak
lagi.
Sadd adz-dzarai' kepada pembunuhan adalah larangan menjual senjata di masa fitnah,
mewajibkan qishash untuk mencegah orang mengampang-gampangkan pembunuhan, dan lain-
lain. Masih banyak contoh dalam perkara-perkara yang lain.
2. Sadd adz-Dzarai' Bukan Merupakan Dalil Fiqih
Ini merupakan pendapat Syafi'iyah dan Hanafiyah. Mereka menyatakan bahwa sadd adz-
dzarai' bukan merupakan dalil fiqih, karena adz-dzarai' adalah perantara,
sedangkan perantara hukumnya berubah-ubah, kadang haram, kadang wajib, makruh,
mandub, dan terkadang mubah.
Dan perantara tersebut pun berbeda-beda terhadap hukum yang jadi tujuannya (al-
maqashid), sesuai dengan kuat lemahnya maslahat dan mafsadat yang dihasilkan, serta
nampak dan tersembunyinya perantara tersebut. Atas dasar ini, tidak memungkinkan
untuk menentukan hukum adz-dzarai' ini secara pasti.
Mereka juga menyatakan bahwa hukum syara' dibangun atas sesuatu yang nampak
(zhahir), sebagaimana yang dilakukan Rasulullah terhadap kaum yang menampakkan
keislaman padahal hatinya ingkar (kalangan munafik), mereka di dunia tidak
mendapatkan hukuman atas kekafiran mereka karena yang nampak di luar mereka adalah
muslim.
Rasulullah juga tidak menetapkan hukuman zina terhadap dua orang yang saling
menyatakan li'an, walaupun terdapat tanda-tanda zina, yaitu adanya anak yang diduga
sebagai hasil zina. Imam asy-Syafi'i berkata, "Dan ini menunjukkan dibatalkannya
hukuman, padahal ada indikasi (yang mengharuskan terjadi hukuman) yang lebih kuat
dari adz-dzarai'. Jika perkara yang lebih kuat dari adz-dzarai' saja dibatalkan,
tentu yang lebih lemah lebih layak untuk tidak diberlakukan."
Selain Syafi'iyah dan Hanafiyah, yang juga menolak kehujjahan sadd adz-dzarai'
adalah kalangan Zhahiriyah. Ibn Hazm mengajukan beberapa argumentasi sebagai
berikut:
a) Hadits yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkan sadd adz-dzarai' itu lemah
dari segi sanad dan pemahamannya juga tidak tepat. Dari segi sanad, hadits tersebut
diriwayatkan dalam banyak versi yang berbeda-beda perawinya.
Dari segi pemahaman, hadits tersebut hanya melarang menggembala di daerah yang
terlarang, sedangkan menggembala di sekitarnya tidak dilarang. Menggembala di dalam
daerah terlarang berbeda hukumnya dengan menggembala di sekitar daerah terlarang
tersebut. Karena itu, hukum menggembala di sekitar daerah terlarang kembali ke
hukum asalnya, yaitu mubah.
b) Dasar pemikiran sadd adz-dzarai' adalah ijtihad yang berpatokan pada
pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama Zhahiriyah menolak ijtihad dengan metode
seperti ini.
c) Hukum syara' hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan al-Quran, as-Sunnah dan
ijma'. Yang ditetapkan di luar tiga sumber tersebut bukanlah hukum syara'.
Dalam hal sadd adz-dzarai', hukum yang telah ditetapkan oleh nash dan ijma'
hanyalah perbuatan yang dituju (maqashid)-nya saja, sedangkan perantara atau adz-
dzarai'-nya tidak pernah ditetapkan oleh nash atau ijma'. Oleh karena itu, sadd
adz-dzarai' tidak bisa diterima, sesuai dengan firman Allah ta'ala:
‫ب‬َ ‫عل َى الل ِّه الك َِذ‬
َ ‫ب َهـذَا َحال ٌَل َو َهـذَا َح َرا ٌم ِل ّتَفتَ ُروا‬ ِ ‫َوال َ تَقُول ُوا لِ َما تَ ِص ُف َأ‬
َ ‫لسنَتُك ُُم الك َِذ‬
Dan janganlah kalian katakan dengan lisan kalian suatu kebohongan, menyatakan ini
halal dan ini haram untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. (QS. An-Nahl :
116)
C. Pembagian Adz-Dzarai'
Al-Qarafi membagi adz-Dzarai' (perantara) kepada perbuatan fasad menjadi tiga,
yaitu:
1. Ulama Menyepakati Keharusan untuk Menutup
Yaitu yang membawa kerusakan secara pasti atau lazimnya akan menimbulkan kerusakan.
Dalam hal ini, ulama sepakat untuk melarangnya, sehingga dalam kitab-kitab fiqih
madzhab ditegaskan tentang haramnya menggali lubang di tempat yang biasa dilalui
orang yang dapat dipastikan akan mencelakakan.
Namun, Taqiyuddin as-Subki dari kalangan Syafi'iyah berkata, "Perkara ini bukanlah
termasuk sadd adz-dzarai', melainkan tahrim al-wasa-il (pengharaman sesuatu yang
menjadi wasilah pada keharaman), dan wasilah memang terikat dengan perkara yang
ditujunya, tidak ada perselisihan dalam hal ini."
Tajuddin as-Subki berkata, "Tidak benar orang yang beranggapan bahwa semua orang
menggunakan kaidah sadd adz-dzarai', sesungguhnya asy-Syafi'i tidak
menggunakannya."
2. Ulama Sepakat Bahwa Ia Tak Perlu Ditutup
Yaitu yang peluangnya membawa pada kerusakan sangat kecil dan jarang terjadi. Dalam
hal ini, seandainya perbuatan itu dilakukan, sangat kecil peluangnya akan
menimbulkan kerusakan.
Misalnya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilalui orang. Menurut
kebiasaan, tidak ada orang yang lewat di tempat tersebut yang akan terjatuh ke
dalam lubang. Namun memang tidak tertutup kemungkinan ada yang kesasar lalu
terjatuh ke dalam lubang tersebut.
Ulama sepakat tidak melarang hal ini, sehingga dalam kitab-kitab fiqih tidak
terdapat larangan membuat lubang di kebun sendiri yang jarang dilalui orang,
memperjualbelikan anggur, dan yang semisalnya.
3. Ulama Berbeda Pendapat Tentang Keharusan Ditutup atau Tidaknya
Yaitu yang peluangnya membawa pada kerusakan cukup besar, namun tidak sampai
bersifat pasti atau lazim terjadi. Pada bagian inilah, ulama berbeda pendapat.
Perbedaan pendapat ini terjadi pada adz-dzarai' yang tidak disebutkan dalam al-
Kitab dan as-Sunnah keharusan untuk menutup dan mencegahnya, sedangkan yang
disebutkan dalam nash syar'i tidak ada perbedaan pendapat, seperti larangan memaki
sesembahan orang-orang musyrik karena dikhawatirkan mereka akan memaki Allah
ta'ala.
Secara umum, Malikiyah dan Hanabilah mengharuskan menutup atau melarang adz-dzarai'
pada bagian ini, sedangkan Syafi'iyah dan Hanafiyah menyatakan tidak perlu
melarangnya.
Beberapa contoh dalam bagian ini misalnya adalah:
 Jual beli aajal. Sebenarnya jual beli ini boleh, namun Malik melarang jual
beli semacam ini karena banyak orang yang melakukannya sebagai jalan untuk
melakukan riba.
 Penundaan pembayaran mahar. Menurut kalangan Malikiyah hal ini makruh,
walaupun ada batas waktu yang jelas, setahun misalnya. Hukum makruh ini jika
penundaan yang dilakukan adalah untuk keseluruhan mahar, bukan cuma sebagiannya.
Hal ini karena dikhawatirkan akan ada yang menikah tanpa mahar.
 Puasa hari syak dan enam hari bulan Syawal. Dimakruhkan berpuasa sebelum
ramadhan, sehari atau dua hari sebelumnya, karena dikhawatirkan ia dianggap sebagai
tambahan puasa Ramadhan. Dan atas dasar ini juga, Abu Yusuf berkata, "Dimakruhkan
menyambung Ramadhan dengan enam hari di bulan Syawal." Ini adalah pendapat
Malikiyah.

Bab 12 : Al-'Urf
A. Pengertian
1. Bahasa
Ibnu Faris (w. 395 H), penulis kamus Maqayis Lughah, menyebutkan tentang ‘urf ini
bahwa dinamakan ‘uf karena jiwa menjadi tenang atasnya :
‫لسكون النفس إليه‬
Karena jiwa menjadi tenang atasnya.
Ibnu Manzhur (w. 711 H) dalam Lisanul Arab menyebutkan :
‫وعرف األرض ما ارتفع منها‬ ُ
Dan urful ardhi adalah apa yang menjulang darinya.
Al-Fairuz Abadi (w. 817 H) dalam kamusnya Al-Muhith menyebutkan bahwa kata al-'urf
(‫)العرف‬ُ bermakna al-khairu (‫)الخير‬, al-ihsanu (‫)اإلحسان‬, dan ar-rifqu (‫)الرفق‬,
ِّ yang
semuanya bermakna kebaikan.
Al-Jurjani (w. 816 H) dalam kitabnya At-Ta’rifat menyebutkan
ِ ُ‫السلِيم ُة بِالقب‬
‫ول‬ ّ ‫باع‬ ِّ ‫ته‬
ُ ‫الط‬ ُ ّ‫ول و تلق‬
ِ ُ‫العق‬ ِ ُ‫في النُّف‬
ُ ‫وس ِمن جِ ّه ِة‬ ِ ‫استقر‬
ّ ‫ما‬
Apa-apa yang menempati jiwa dari segi logika dan diterima oleh tabiat yang sehat. :
Nampaknya pendapat Al-Jurjani ini yang lebih banyak dikutip para ulama berikutnya
terkait dengan pengertian al-urf. Setidaknya ada dua unsur dasar, yaitu :
 Ma Istqarra fi An-Nufus (‫)ما استقر في النفوس‬, maka ‘urf itu merupakan sesuatu
bersemayam di dalam jiwa. Logikanya masuk lewat akal.
 Ath-Thiba’ As-Salimah (‫)الطباع السليمة‬, lalu diikuti oleh tabiat yang selamat
dengan penerimaan.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, al-'urf bermakna :
ٍ ‫قول أو ِف‬
‫عل أو تر ٍك‬ ٍ ‫ومعامال ِت ِهم ِمن‬ ِ ‫عليه ِفي ُأ ُم‬
ُ ‫ور حيا ِت ِهم‬ ِ ‫وساراوا‬
ُ ‫اس‬
ُ ّ ‫ما اعتاد الن‬
Apa yang menjadi kebiasaan manusia dan mereka melawati kehidupan dan muamalat
mereka dengan hal itu, baik berupa perkataan, perbuatan atau hal yang ditinggalkan.
Abdul Wahab Khalaf (w. 1375 H) juga termasuk yang menyamakan antara keduanya. Di
dalam kitab Ilmu Ushul Fiqih karya beliau ada disebutkan sebagai berikut :
‫العرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه من قول أو فعل أو ترك العادة‬
Urf adalah apa yang dikenal manusia dan berlaku pada mereka baik berupa perkataan
atau perbuatan atau tindak meninggalkan sesuatu..
B. Antara ’Urf dengan Adat : Berbeda Atau Sama?
Para ulama terpecah menjadi tiga pendapat yang berbeda ketika membandingkan ’urf
dengan adat. Khususnya saat ditanya apakah ’urf dan adat ini sama saja ataukah
keduanya merupakan dua hal yang berbeda?
Pendapat pertama mengatakan bahwa ’urf dan adat itu sama, cuma beda dalam penamaan
saja. Pendapat kedua mengatakan sebaliknya yaitu keduanya berbeda. Dan pendapat
ketiga mengatakan bahwa ‘urf itu bagian dari adat.
1 Urf Sama Dengan Adat
Pendapat ini mengatakan bahwa antara ‘urf dan adat tidak ada bedanya, kecual beda
penamaan saja. Salah satu tokohnya adalah adalah Ibnu Abdin (w. 1252 H) dari
kalangan ulama mazhab Al-Hanafiyah.
‫فالعادة والعرف بمعنى واحد من حيث الماصدق وإن اختلفا من حيث المفهوم‬
Adat dan urf punya makna yang satu dari segi masdaq meskipun berbeda dari sisi
mafhum.
Dr. Abdul Wahab Khallaf (w. 1375 H) juga termasuk yang menyamakan antara keduanya.
Di dalam kitab Ilmu Ushul Fiqih karya beliau ada disebutkan sebagai berikut :
‫العرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه من قول أو فعل أو ترك ويسمي العادة وفي لسان الشرعيين ال فرق بين العرف والعادة‬
Urf adalah apa yang dikenal manusia dan berlaku pada mereka baik berupa perkataan
atau perbuatan atau tindak meninggalkan sesuatu. Dan disebut juga dengan adat.
Dalam bahasa para ahli syariah, tidak ada perbedaan antara urf dengan adat.
Selain itu di masa sekarang ada Syeikh Abdullah bin Ahmad An-Nasafi, yang mengutip
ta’rif dari Al-Jurjani namun menambahkan lafadz al-‘adah wal ‘urf :
‫العادة والعرف ما استقر في النفوس وتلقته الطباع السليمة بالقبول‬
Adat dan ‘urf itu adalah apa yang mendapat tempat di hati dan sesuai atau diterima
dengan pandangan yang selamat.
Dengan demikian, berarti beliau menyamakan antara adat dan urf.
2. Urf Berbeda Dengan Adat
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa ‘urf itu berbeda dengan adat. Pendukung
pendapat ini salah satunya adalah Dr. Sayid Shalih ‘Iwadh yang mengatakan bahwa
penulis kitab At-Tahrir membedakan bahwa yang dimaksud dengan adat adalah ‘urf
amali, yaitu yang bersifat praktek, sedangkan yang dimaksud dengan ‘urf adalah ‘urf
qauli yaitu yang bersifat perkataan.
Dan Beliau juga mengatkan bahwa Al-Fanari Ar-Rumi (w. 834 H) penulis kitab Fushul
Al-Bada’i fi Ushul As-Syarai’ bahwa ‘urf itu perkataan dan adat itu perbuatan.
‫وحصرها المشايخ في خمسة إما بداللة العرف قوال والعادة فعال‬
Para masyaikh membatasinya dalam lima, yaitu dengan dalalatul urf sebagai perkataan
dan adat sebagai perbuatan.
Saad At-Taftazani (w. 793 H), penulis kitab At-Talwih ‘ala At-Taudhih juga
membedakan bahwa adat itu pada perbuatan dan urf itu pada perkataan.
Inti perbedaan antara ‘urf dengan adat menurut pendapat mereka bahwa urf itu
sebatas perkataan, sedangkan adat itu sebatas perbuatan.
3. Urf Bagian Dari Adat
Pendapat ini nampaknya cukup banyak pendukungnya. Diantaranya ada Dr. Musthafa Az-
Zarqa, Syeikh Abu Sanah dan Dr. Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur.
Mereka mengatakan bahwa ‘urf itu bagian dari adat, sehingga semua ‘urf pasti
merupakan adat. Namun tidak semua adat termasuk ke dalam ‘urf. Sehingga perbedaan
antara keduanya adalah perbedaan dengan dasar yang satu merupakan bagian dari yang
lain.
C. Ciri Khas Urf
Untuk lebih mendalami pemahaman kita tentang ‘urf, Penulis buatkan beberapa catatan
kecil, yaitu ciri khas tentang ‘urf.
1. Fenomena Sosial Tidak Individual
Maksudnya ‘urf itu merupakan fenomena sosial yang melibatkan banyak orang dan tidak
hanya melibatkan satu orang. Sedangkan adat lebih luas, bisa melibatkan banyak
orang tetapi bisa juga hanya melibatkan satu orang saja.
Contoh adat yang hanya melibatkan satu orang saja adalah berapa lama masa haidh
bagi seorang wanita. Ini bisa ditetapkan salah satunya dengan kebiasaannya alias
adatnya. Dan wanita seperti ini disebut dengan mu’tadah (‫)معتادة‬, sebagai lawan dari
mutahayyirah (‫)متحيرة‬.
Misalnay wanita mu’tadah ini punya kebiasaannya selalu haidh selama 7 hari
sepanjang hidupnya, maka masa haidnya dipastikan 7 hari. Meski walaupun dalam satu
dua kasus pernah terjadi selepas 7 hari darah masih keluar. Dalam hal ini tidak
dianggap darah haidh tetapi sudah dianggap suci dan status darahnya itu menjadi
darah istihadhah.
Kebiasaaan yang dialami oleh tiap wanita dalam masa haidh ini tidak disebut dengan
‘urf tetapi disebut dengan adat (‫)العادة‬.
2. Kebanyakan Dalam Muamalat
Dalam prakteknya dipakainya urf sebagai dasar pengambilan hukum syariat kebanyakan
pada kasus-kasus muamalat, seperti jual-beli, sewa menyewa, pinjaman, penjaminan,
dan beragak akad-akad muamalat lainnya yang melibatkan interaksi dengan pihak lain.
Sedangkan penggunakan urf dalam bab ibadah mahdhah meski pun ada, namun amat
terbatas pemakaiannya.
3. Umumnya Hanya Yang Dianggap Baik
Meskipun ‘urf bisa dibagi menjadi dua, yaitu ‘urf yang shahih dan fasid, namun bila
kita menyebut ‘urf sebagai salah satu landasan hukum syariah, tentu maksudnya hanya
sebatas ‘urf yang shahih saja. Sedangkan ‘urf yang fasid tidak termasuk sumber
hukum.
4. Urf Tidak Terkait Dengan Perayaan Agama dan Munasabat
Banyak yang mengira bahwa yang termasuk ‘urf itu adalah munasabah, kegiatan
seremonial, atau perayaan keagamaan, seperti perayaan kelahiran bayi, kematian,
pernikahan, maulid nabi, nuzulul-quran dan sejenisnya. Ketika semua itu dilakukan
dengan cara yang dianggapnya tidak sejalan dengan petunjuk Rasulullah SAW.
Padahal semua kegiatan keagamaan yang banyak diperselisihkan itu sebenarnya berada
di luar pembahasan ‘urf yang ditetapkan oleh para ulama. Sebab pembahasan ‘urf
memang bukan pembahasan tentang hukum maulid nabi, bayi, haul kematian, nuzulul
quran, tahlilan, syukuran, selametan dan seterusnya. Soal ini nanti ada babnya
tersendiri di luar bab ‘urf.
D. Masyru’iyah
1. Al-Quran
Dasar masyru’iyah al-‘urf di Al-Quran cukup banyak. Memang dalam bentuk kata
al-’urf (‫ )العرف‬hanya ada satu saja, yaitu pada ayat berikut ini :
َ ِ‫اهل‬
‫ين‬ ِ ‫الج‬
َ ‫ع ِن‬َ ‫عرض‬ ِ ‫رف َوَأ‬ ِ ‫ِالع‬
ُ ‫أمر ب‬ ُ ‫فو َو‬ َ ‫ُخ ِذ‬
َ ‫الع‬
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-Araf : 199)
Kata al-’urf (‫ )العرف‬versi Terjemahan Departemen Agama RI diterjemahkan menjadi al-
ma’ruf. Namun ketika dikaitkan dengan kata turunannya yaitu al-ma’ruf (‫)المعروف‬,
maka kita mendapati tidak kurang dari 19 ayat yang berbeda.
‫ان‬
ٍ ‫حس‬ ِ ‫وف َوَأ َداءٌ ِإ ل‬
َ ‫َيه ِبِإ‬ ِ ‫عر‬ُ ‫ِالم‬
َ ‫ع ب‬ ٌ ‫يه َشيءٌ فَا ِتّبَا‬ِ ‫ع ِف َي ل َُه ِمن َأ ِخ‬ُ ‫ف ََمن‬
Siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (QS. Al-Baqarah : 178)
Pada ayat 180 dari Al-Baqarah ini ternyata kalimat ini terulang lagi secara sama
persis.
‫ان‬ٍ ‫حس‬ ِ ‫وف َوَأ َداءٌ ِإ ل‬
َ ‫َيه ِبِإ‬ ِ ‫عر‬ُ ‫ِالم‬
َ ‫ع ب‬ ٌ ‫يه َشيءٌ فَا ِتّبَا‬ِ ‫ع ِف َي ل َُه ِمن َأ ِخ‬ُ ‫ف ََمن‬
Siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (QS. Al-Baqarah : 180)
‫وف‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬َ ‫اضوا بَين َ ُهم ب‬ َ ‫اج ُه ّ َن ِإ ذَا تَ َر‬ َ ‫زو‬َ ‫حن َأ‬ َ ‫ُوه ّ َن َأن يَن ِك‬ ُ ‫عضل‬ ُ َ‫َغن َأ َجل َُه َّن َفل َا ت‬ َ ‫اء فَبَل‬ َ ‫َوِإ ذَا َطلَّقتُ ُم ال ِن ّ َس‬
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma´ruf. (QS. Al-Baqarah : 232)
‫وف‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬َ ‫سوتُ ُه ّ َن ب‬ َ ‫المول ُو ِد ل َُه ِرزق ُُه َّن َو ِك‬ َ ‫عل َى‬ َ ‫َو‬
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf.
(QS. Al-Baqarah : 233)
‫ين‬ َ ‫المتَّ ِق‬ ُ ‫عل َى‬ َ ‫وف ۖ َح ّق ًا‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬َ ‫ع ب‬ ٌ ‫ات َمتَا‬ ِ َ‫لم َطلَّق‬ ُ ِ‫َول‬
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut´ah
menurut yang ma´ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (QS.
Al-Baqarah : 241)
ُ ِ‫المفل‬ ‫ُأ‬ ُ َ ‫َولتَك ُن ِمنك ُم ُأ َّم ٌة ي‬
‫ون‬ َ ‫ح‬ ُ ‫المنك َِر ۚ َو ولَِٰئ َك ُه ُم‬ ُ ‫ع ِن‬ َ ‫ون‬ َ ‫نه‬ َ َ ‫وف َوي‬ ِ ‫عر‬ُ ‫ِالم‬
َ ‫ون ب‬ َ ‫أم ُر‬ُ َ‫ير َوي‬ ِ ‫الخ‬
َ ‫ون ِإ ل َى‬َ ‫دع‬
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung. (QS. Ali Imran : 104).
‫ون بِالل ّ َ ِه‬ َ ُ ‫ؤمن‬ِ ُ‫المنك َِر َوت‬ ُ ‫ع ِن‬ َ ‫ون‬ َ ‫نه‬ َ َ‫وف َوت‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬
َ ‫ون ب‬ َ ‫أم ُر‬ُ َ‫خر َجت لِلن ّ َِاس ت‬ ِ ‫ير ُأ ّ َمةٍ ُأ‬َ ‫ك ُنتُم َخ‬
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran :
110)
‫ين‬ َ ‫الصالِ ِح‬ َ ّ ‫ات َوُأولَِٰئ َك ِم َن‬ ِ ‫ير‬ َ ‫الخ‬ َ ‫ون ِفي‬ َ ‫ع‬ ُ ‫المنك َِر َويُ َس ِار‬ ُ ‫ع ِن‬ َ ‫ون‬ َ ‫نه‬ َ َ ‫وف َوي‬ ِ ‫عر‬ُ ‫ِالم‬َ ‫ون ب‬ َ ‫أم ُر‬ ِ
ُ َ ‫اآلخ ِر َوي‬ ‫ون بِالل ّ َ ِه َواليَو ِم‬ َ ُ ‫ؤمن‬ ِ ُ‫ي‬
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma
´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai
kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Ali Imran : 114)
‫المنك َِر‬ ُ ‫ع ِن‬ َ ‫اهم‬ ُ ‫نه‬ َ َ‫وف َوي‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬ َ ‫أم ُر ُهم ب‬ ُ َ ‫يل ي‬ ِ ِ‫َورا ِة َواِإل نج‬ َ ّ‫ند ُهم ِفي الت‬ َ ‫ِي اُأل ِ ّم َّي ال َّ ِذي يَجِ ُدون َ ُه َمكتُوبًا ِع‬ َ ّ ‫ول النَّب‬
َ ‫الر ُس‬َ ّ ‫ون‬ َ ‫ال ّ َ ِذ‬
َ ‫ين يَتَّب ُِع‬
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma´ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar.
(QS. Al-A’raf : 157)
‫وف‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫الم‬ َ ‫ع ِن‬ َ ‫ون‬ َ ‫نه‬َ َ‫ِالمنك َِر َوي‬ ُ ‫ون ب‬ َ ‫أم ُر‬ُ َ‫عض ۚ ي‬ ٍ َ‫عض ُهم ِمن ب‬ ُ َ‫ات ب‬ ُ َ‫المنَا ِفق‬ ُ ‫ون َو‬ َ ُ‫المنَا ِفق‬
ُ
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain
adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma´ruf
dan mereka menggenggamkan tangannya. (QS. At-Tauba h: 67)
‫وف‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬َ ‫ون ب‬ َ ‫أم ُر‬ُ َ ‫عض ۚ ي‬ ٍ َ‫اء ب‬ ُ َ‫عض ُهم َأولِي‬ ُ َ‫ات ب‬ ُ َ ‫ؤمن‬ ِ ‫الم‬
ُ ‫ون َو‬ َ ُ ‫ؤمن‬ ِ ‫الم‬ُ ‫َو‬
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma
´ruf (QS. At-Taubah : 71)
‫ين‬ َ ‫ؤم ِن‬ ِ ‫الم‬ ُ ‫ح ُدو ِد الل َّ ِه ۗ َوبَ ِ ّش ِر‬ ُ ِ‫ون ل‬ َ ‫الحا ِف ُظ‬َ ‫المنك َِر َو‬ ُ ‫ع ِن‬ َ ‫ون‬ َ ‫َاه‬ ُ ّ ‫وف َوالن‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬
َ ‫ون ب‬ ِ
َ ‫اآلم ُر‬ ‫ون‬َ ‫الساجِ ُد‬ َ ّ ‫ون‬َ ‫الرا ِك ُع‬ َ ّ ‫ون‬ َ ‫ح‬ُ ‫الساِئ‬
َ ّ ‫ون‬ ِ ‫الح‬
َ ‫ام ُد‬ َ ‫ون‬َ ‫العاب ُِد‬
َ ‫ون‬َ ُ‫التّ َاِئب‬
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang
melawat, yang ruku´, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah berbuat
munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin
itu. (QS. At-Taubah : 112)
‫ور‬ِ ‫عا ِقبَ ُة اُأل ُم‬ َ ‫المنك َِر ۗ َولِل ّ َ ِه‬ُ ‫ع ِن‬ َ ‫وف َون َ َهوا‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬
‫َأ‬
َ ‫الصل َا َة َوآتَ ُوا ال ّ َزك َا َة َو َم ُروا ب‬ َ ّ ‫َاموا‬ ُ ‫رض َأق‬ ِ ‫َاهم ِفي اَأل‬ ُ ّ ‫ين ِإ ن َمكَّن‬ َ ‫ال ّ َ ِذ‬
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma´ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
(QS. Al-Hajj : 41)
‫عل َٰى َما َأ َصابَ َك‬ َ ‫المنك َِر َواصبِر‬ ُ ‫ع ِن‬ َ ‫انه‬ َ ‫وف َو‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬
َ ‫أمر ب‬ ُ ‫الصل َا َة َو‬ َ ّ ‫يَا بُن َ ّ َي َأ ِق ِم‬
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. (QS. Luqman: 17)
Diterjemahkan Menjadi : Patut
Menarik untuk dicermati dalam terjemahan Departemen Agama, meski kata al-ma’ruf ini
lebih sering tidak diterjemahkan sehingga cuma disebut makruf saja, namun terkadang
di beberapa ayat diterjemahkan menjadi : patut. Setidaknya ada lima ayat yang
demikian, yaitu :
‫َأ‬ َ َ ‫َغن َأ َجل َُه ّ َن َفل َا ُجن‬
‫ِير‬
ٌ ‫ُون َخب‬ َ ‫عمل‬َ َ‫وف ۗ َوالل َّ ُه ب َِما ت‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬َ ‫لن ِفي ن ُف ِس ِه ّ َن ب‬ َ ‫يما ف ََع‬ َ ‫عل َيك ُم ِف‬ َ ‫اح‬ َ ‫َفِإذَا بَل‬
1. Bila telah habis ´iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah : 234)
ً َ‫المق ِت ِر ق ََد ُر ُه َمت‬
‫اعا‬ ُ ‫عل َى‬ َ ‫وس ِع ق ََد ُر ُه َو‬ ِ ‫الم‬
ُ ‫عل َى‬ ُ ‫يض ًة ۚ َو َم ِتّ ُع‬
َ ‫وه ّ َن‬ ِ َ‫وه ّ َن َأو ت‬
َ ‫فر ُضوا ل َُه ّ َن ف َِر‬ ُ ‫اء َما ل َم َت َم ُّس‬َ ‫عل َيك ُم ِإ ن َطلَّقتُ ُم ال ِن ّ َس‬ َ ‫اح‬ َ َ ‫ل َا ُجن‬
‫ين‬َ ‫حس ِن‬ ِ ‫الم‬ُ ‫َى‬ ‫ل‬ ‫ع‬َ ‫ًا‬ ‫ق‬
ّ ‫ح‬َ ۖ ِ
‫وف‬ ‫عر‬
ُ َ‫ِالم‬ ‫ب‬
2. Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-
isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut´ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Baqarah : 236)
‫وف‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬ َ ‫يرا فَليَأك ُل ب‬ ً ‫َان َف ِق‬ َ ‫َو َمن ك‬
3. Siapa yang miskin maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (QS.
An-Nisa : 6)
‫وف‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬ َ ‫وه َّن ب‬ ُ ‫اش ُر‬ ِ ‫ع‬ َ ‫َو‬
4. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. (QS. An-Nisa : 19)
ِ ‫عر‬ ‫َوآتُ ُ ُأ‬
‫وف‬ ُ ‫ِالم‬ َ ‫ور ُه َّن ب‬ َ ‫وه ّ َن ُج‬
5. Dan berilah maskawin mereka menurut yang patut. (QS. An-Nisa : 25)
2. As-Sunnah
Sedangkan di dalam As-Sunnah, al-‘urf juga kita temukan di banyak hadits, salah
satunya hadits tentang istri Abu Sufyan yang komplain kepada Rasulullah SAW atas
kecilnya nafkah yang diterimanya. Lantas Rasulullah SAW membolehkannya untuk
mengambil sendiri harta suaminya, tetapi dengan ukuran sewajarnya.
‫عاِئ َش َة‬ َ ‫عن‬ َ  ‫ول ا َلل َّ ِه‬ ِ ‫عل َى َر ُس‬ َ -‫ان‬ َ َ‫مرَأ ُة َأبِي ُسفي‬
َ ِ‫ا‬- ‫عتبَ َة‬ ُ ‫ِنت‬
ُ ‫ند ب‬ ُ ‫ َد َخل َت ِه‬:‫ قَال َت‬ . ‫ان‬ َ َ ‫ول ا َلل ّ َ ِه ِإ ّ َن َأبَا ُسفي‬
َ ‫ يَا َر ُس‬:‫َفقَال َت‬
:‫اح؟ َفقَ َال‬ ٍ َ ‫علِ َّي ِفي َذلِ َك ِمن ُجن‬ َ ‫لم ِه ف ََهل‬ ِ ‫ذت ِمن َمالِ ِه ِب َغ‬
ِ ‫ير ِع‬ ُ ‫عطي ِني ِمن ا َلنَّفَقَ ِة َما يَك ِفي ِني َويَك ِفي بَ ِن ّ َي ِإ لَّا َما َأ َخ‬ ِ ُ ‫يح ل َا ي‬ٌ ‫َر ُج ٌل َش ِح‬
‫يك‬ ِ ‫يك َويَك ِفي بَ ِن‬ ِ ‫وف َما يَك ِف‬ ِ ‫عر‬ َ ‫ُخ ِذي ِمن َمالِ ِه ب‬
ُ ‫ِالم‬
'Aisyah radliyallaahu 'anhu berkata: Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan masuk
menemui Rasulullah SAW dan berkata: Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah
orang yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anak-anakku
kecuali aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah yang demikian
itu aku berdosa? Beliau bersabda: "Ambillah dari hartanya yang cukup untukmu dan
anak-anakmu dengan baik." (HR. Bukhari Muslim)
E. Kaidah Fiqhiyah Terkait Dengan Urf
Atas dasar itulah para ahli ushul fiqih membuat Kaidah-kaidah yang berhubungan
dengan 'urf, antara lain :
1. Mazhab Al-Hanafiyah
‫بالعرف كالتعيين بالنص‬ ُ ‫التعيين‬
Menta’yin dengan ‘urf seperti menta’yin dengan nash
‫بالعرف كالثابت بالنص‬ ُ ‫الثابت‬
Sesuatu yang dikokohkan dengan urf sekokoh dengan nash.
‫بالعرف‬ ُ ‫المطل َق جائز‬ ُ ‫تقييد‬
Mengikat yang mutlak dobilehkan dengan urf.
2. Mazhab Al-Malikiyah
‫عرفه‬ ُ ‫كل ما ُأطلِق لفظه ُح ِمل على‬ ُّ
Segala yang dimutlakkan lafadznya maka ditetapkan pada urf-nya
‫أصل من أصول المذهب‬ ٌ ‫بالعرف‬ ُ ‫العمل‬
Menggunakan urf adalah salah satu ushul dalam mazhab
3. Mazhab Asy-syafi’iyah
‫العرف‬ ُ ‫ح َّد ُرجِ ع في ضبطه إلى‬ َ ُ‫ما ُأطلِق ولم ي‬
Segala yang dimutlakkan tanpa dibatasi, dikembalikan dhabithnya pada urf.
‫العرف‬ ُ ‫رجع فيه إلى‬ َ ُ ‫شرعا وال لغة ي‬ ً ٌ ‫حد‬
ّ ‫ما ليس له‬
Segala yang tidak ada batasannya secara syariah dan bahasa, dikembalikan kepada
urf.
4. Mazhab Hambali
‫العرف‬ ُ ‫رد إلى‬ ُّ ُ ‫ما ال َح ّ َد له في الشرع ي‬
Segala yang tidak dibatasi dalam syariat dikembalikan kepada ‘urf.
‫العرف‬ ُ ‫ما ورد به الشرع مطلقًا رجع فيه إلى‬
Apa yang diteteapkan dalam syariat dengan kemutlakan dikembalikan kepada ‘urf.
F. Pembagian Urf
Karena urf ini banyak sekali, maka untuk memudahkannya dibuatkan semacam pembagian.
Maka ‘urf ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandangnya menjadi qauli amali, amm
khash, shahih fasid.
1. Qauli dan Urf Amali
Para ulama membagi urf menjadi dua macam, yaitu urf yang bersifat perkataan (qauli)
dan yang bersifat perbuatan (amali).
a. Urf Qauli
Urf Qauli adalah ungkapan atau perkataan tertentu yang sudah dianggap lazim
memiliki makna tertentu oleh suatu masyarakat. Dimana boleh jadi untuk masyarakat
yang lain yang urfnya berbeda, maknanya bisa saja berbeda.
 Dirham untuk Uang
Sebagai contoh, pada masyarakat tertentu sudah menjadi urf kalau menyebut dirham
berarti maksudnya adalah uang.
 Dabbah untuk Hewan Berkaki Empat
Di masyarakat tertentu makna daabbah (‫ )دابة‬hanya terbatas pada hewan yang berkaki
empat. Padahal secara makna bahasa, daabbah adalah segala hewan yang melata di atas
bumi, termasuk ayam, ular dan lainnya.
 Tha'am dan Burr
Ibnu Abdin menyebutkan bahwa di antara contoh urf qauli adalah ketika orang Arab
kata tha'am (‫)طعام‬, maka yang dimaksud bukan sekedar makanan, tetapi burr (‫)بر‬, yaitu
gandum.
Sedangkan ketika mereka menyebut lahm (‫ )تحم‬maka yang dimaksud bukan sedekar daging
melainkan daging kambing.
 Perceraian
Sebagaimana kita tahu bahwa lafadz talak itu ada dua macam, sharih dan kina’i.
Lafadz sharih adalah lafadz yang secara tegas menyebutkan kata talak atau yang
searti dan tidak bisa diterjemahkan selain talak.
Selangkan lafadz kina’i adalah lafadz yang sifatnya sindiran, atau bahasa yang
diperhalus sedemikian rupa, sehingga masih bisa ditafsirkan menjadi lain.
Misalnya ketika suami berkata kepada istrinya,”Pulanglah kamu ke rumah orang
tuamu”. Kalimat ini masih bersayap, bisa bermakna cerai dan bisa bermakna bukan
cerai.
Dalam hal ini, apakah kalimat ini bermakna cerai atau tidak, tergantung dari ‘urf
yang lazim dikenal di suatu masyarakat. Bila masyarakat di suatu tempat sudah
menganggapnya kalimat itu adalah cerai, maka jatuhlah talak kepada istri. Dan bila
urf di masyarakat itu tidak bermakna cerai, maka belum jatuh talak.
b. Urf Amali
Sedangkan urf amali adalah perbuatan-perbuatan tertentu yang telah menjadi
kebiasaan di tengah masyarakat dan dianggap lazim dan sah secara hukum.
 Jual Beli Tanpa Lafadz Akad
Di antara contoh urf amali yang berkembang di tengah masyarakat adalah akad
transaksi yang tidak lewat lafadz perkataan, namun kedua belah pihak, yaitu penjual
dan pembeli, telah bersepakat dan saling rela untuk bertransaksi.
Padahal kalau kembali kepada rukun jual-beli, seharusnya penjual berkata,"Saya jual
barang ini kepada Anda dengan harga sekian", lalu pembeli harus menjawab dengan
lafadz,"Saya beli barang ini dengan harga sekian, tunai".
Namun akad dengan lafadz ini nyaris tidak digunakan oleh kebanyakan orang di masa
sekarang ini, khususnya untuk jual-beli yang ringan nilainya.
Akad jual-beli seperti ini dalam Ilmu Fiqih muamalat disebut dengan akad mu'athah (
‫)معاطاه‬.
 Mahar Muqaddam dan Muakhkhar
Di negeri Arab umumnya dikenal urf yang boleh jadi di negeri kita tidak dikenal,
yaitu mahar atau mas kawin dibagi menjadi dua macam, yaitu muqaddam dan muakkhar.
Mahar muqaddam adalah mahar yang diberikan di awal perkawinan dan mahar muakhkhar
diberikan kemudian.
2. Urf Aam dan Urf Khash
a. 'Urf Aam
Urf 'Aam 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan,
b. 'Urf Khash
Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja.
3. Urf Shahih dan Urf Fasid
Para ulama sepakat membagi ‘urf ini menjadi dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan
yang fasid.
a. ‘Urf Yang Shahih
‘Urf yang shahih adalah yang tidak menyalahi ketentuan akidah dan syariah serta
akhlaq yang islami.
Contoh ‘urf yang sesuai dengan syariah Islam adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah
sebelum masa kenabian untuk menghormati tamu, dengan memberi mereka pelayanan
makan, minum dan tempat tinggal. Semua itu ternyata juga dibenarkan dan dihargai
di dalam syariat Islam. Maka para ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf yang seperti
itu dilestarikan dan tidak dihapus, karena sesuai dengan ajaran Islam.
b. ‘Urf Yang Fasid
Al-‘Urf yang fasid adalah lawan dari yang shahih, yaitu al-‘urf yang jelas-jelas
menyalahi teks syariah dan kaidah-kaidahnya.
Di masa Rasulullah SAW, ‘urf seperti ini misalnya kebiasaan buruk seperti berzina,
berjudi, minum khamar, makan riba dan sejenisnya. Para ulama sepakat untuk
mengharamkan ‘urf seperti ini, dan mengenyahkannya dari kehidupan kita.
G. Kedudukan Urf Sebagai Dalil Yang Berdiri Sendiri
Para ulama sepakat bahwa 'urf termasuk sumber hukum Islam. Namun mereka berbeda
pendapat apakah sifatnya berdiri sendiri ataukah tidak. Dalam hal ini ada dua
pendapat utama, antara jumhur ulama dan mazhab Asy-Syafi’iyah.
1. Jumhur Ulama : Berdiri Sendiri
Mereka adalah mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan Ibnul Qayyim dari Al-
Hanabilah. Dan yang dimaksud dengan dalil yang mustaqil atau berdiri sendiri adalah
cukup dengan ’urf saja tanpa perlu dikuatkan lagi dengan dalil-dalil lain baik dari
Al-Quran atau Sunnah.
Dasar pemikirannya bahwa Allah SWT telah memerintahkan kita untuk merujuk kepada
kebiasaan manusia lewat perintah-Nya dalam Al-Quran :
َ ِ‫اهل‬
‫ين‬ ِ ‫الج‬
َ ‫ع ِن‬ ِ ‫رف َوَأ‬
َ ‫عرض‬ ِ ‫ِالع‬
ُ ‫أمر ب‬
ُ ‫فو َو‬ َ ‫ُخ ِذ‬
َ ‫الع‬
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-Araf : 199)
Selain itu Rasulullah SAW juga telah memerintahkan hal tersebut ketika beliau SAW
bersabda :
‫ما رآه المسلمون حسنًا فهو عند اللَّه حسن‬
Apa yang dipandang oleh orang-orang muslim sebagai kebaikan, maka di sisi Allah pun
merupakan kebaikan. (HR. Ahmad)
2. Asy-Syafi’iyah : Perlu Didukung Dalil Lain
Dalam hal ini pendapat mazhab Asy-syafi’iyah agak berbeda. Mereka mengatakan meski
pun al-urf ini merupakan salah satu sumber hukum syariah, namun dia tidak bisa
diterima kecuali bila sejalan dengan syariah.
Artinya pada dasarnya urf itu tidak bisa berdiri sendiri tanpa didukung dengan
dalil lainnya. Kalau tidak jelas apakah sejalan dengan syariat atau tidak, maka urf
ini belum boleh dipakai.
Dan agar ‘urf bisa digunakan maka ada beberapa ketentuan, yaitu :
a. Tidak Bertentangan Dengan Nash
Syarat pertama bahwa urf itu tidak boleh secara langsung bertentangan dengan nash
syariah.
Misalnya kebiasaan buruk di tengah masyarakat untuk melakukan riba dan renten,
tentu tidak bisa diterima sebagai ‘urf yang menjadi dalil.
b. Mengandung Maslahat
Syarat ketiga adalah bahwa urf tersebut mengandung banyak maslahat bagi
masyarakat.
Misalnya, urf atau kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat bahwa penjual dan
pembeli tidak harus saling bercakap-cakap secara langsung dalam akad jual-beli.
Namun cukup dengan kode atau isyarat saja, asalkan keduanya sama-sama paham dan
mengerti serta saling bersepakat, maka hakikat akad jual-beli sudah dianggap sah.
Sebab kalau setiap akad jual-beli harus dilakukan dengan mengucapkan lafadz ijab
dan kabul, tentu akan merepotkan. Bayang seorang kasir di mini market yang melayani
ratusan pembeli dalam sehari. Kalau tiap pembeli membeli rata-rata 10 item, kita
tidak membayangkan bagaimana mulut kasir akan berbusa.
c. Berlaku Pada Orang Banyak
Syarat ketiga adalah bahwa urf itu berlaku pada banyak orang, dalam arti semua
orang memang mengakui dan menggunakan urf tersebut dalam kehidupan mereka sehari-
hari.
Kalau urf itu hanya berlaku pada sebagian kecil dari masyarakat, maka urf itu tidak
bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
d. Sudah Berlaku Lama
Syarat yang keempat bahwa urf itu harus sudah menjadi kebiasaan yang berlaku secara
kurun waktu yang lama. Dalam kata lain urf itu eksis pada masa-masa sebelumnya dan
bukan yang muncul kemudian.
e. Tidak Bertentangan Dengan Syarat Dalam Transaksi
Syarat terakhir bahwa urf itu tidak bertentangan dengan syarat transaksi yang sudah
baku dalam hukum fiqih muamalat.
H. Contoh Implementasi ’Urf Sebagai Dalil Hukum
Berikut ini adalah beberapa contoh implementasi urf dalam hukum syariah.
1. Nilai Nafkah
Memberi nafkah hukumnya wajib atas suami kepada istrinya. Namun besarannya
dikembalikan kepada ‘urf.
ِ ‫عر‬ ‫َوآتُ ُ ُأ‬
‫وف‬ َ ‫ور ُه َّن ب‬
ُ ‫ِالم‬ َ ‫وه ّ َن ُج‬
Dan berilah maskawin mereka menurut yang patut. (QS. An-Nisa : 25)
2. Istri Boleh Mengambil Sebagian Harta Suami
Karena adanya kewajiban suami memberi nafkah kepada istrinya, maka di dalam harta
suami ada terkandung hak istri. Dalam keadaan tertentu Rasulullah SAW mengizinkan
seorang istri mengambil uang suaminya, namun dengan urf alias secukupnya.
ِ ‫يك َويَك ِفي بَ ِن‬
‫يك‬ ِ ‫وف َما يَك ِف‬ ِ ‫عر‬ َ ‫ُخ ِذي ِمن َمالِ ِه ب‬
ُ ‫ِالم‬
Ambillah dari hartanya yang cukup untukmu dan anak-anakmu dengan baik." (HR.
Bukhari Muslim)
3. Nilai Mut’ah
Memberi mut’ah kepada istri yang dicerai hukumnya sunnah tidak wajib. Sedangkan
besarannya dikembalikan kepada ’urf.
َ ‫المتَّ ِق‬
‫ين‬ ُ ‫عل َى‬ َ ‫وف ۖ َحقّ ًا‬ ِ ‫عر‬ ُ ‫ِالم‬
َ ‫ع ب‬ ٌ ‫ات َمتَا‬ ِ َ‫لم َطلَّق‬
ُ ِ‫َول‬
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut´ah
menurut yang ma´ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (QS.
Al-Baqarah : 241)
4. Pemeliharan Anak Yatim Boleh Makan Sebagian Harta
Memakan harta anak yatim memang haram hukumnya. Namun bagi orang yang memelihara
anak yatim atau mengurusnya, ada kebolehan untuk mendapatkan sebagian dari harta
itu, dengan syarat harus dengan ’urf.
‫وف‬ ِ ‫عر‬ُ ‫ِالم‬
َ ‫يرا فَليَأك ُل ب‬ ً ‫َان َف ِق‬َ ‫َو َمن ك‬
Siapa yang miskin maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (QS. An-Nisa
: 6)
5. Nilai Upah Mantan Istri Yang Menyusui Anak
Dalam kasus dimana suami istri bercerai, maka tidak ada salahnya suami membayar
upah bagi mantan istrinya atas jasa menyusui anak.
‫وف‬ِ ‫عر‬ َ ‫سوتُ ُه ّ َن ب‬
ُ ‫ِالم‬ َ ‫المول ُو ِد ل َُه ِرزق ُُه َّن َو ِك‬
َ ‫عل َى‬ َ ‫َو‬
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf.
(QS. Al-Baqarah : 233)

Bab 13 : Qaul Shahabi


A. Pengertian
1. Makna Qaul
Secara bahasa, kata qaul (‫ )قول‬adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan ( - ‫ يقول‬- ‫قال‬
‫ )قوال‬yang berarti al-kalam yaitu ucapan dan perkataan. Dan bentuk jamaknya adalah
aqwal (‫)أقوال‬.
Dan qaul kadang juga diartikan dengan :
‫اما َأو نَا ِق ًصا‬ ً ّ َ‫ان ت‬ُ ‫َفظ ن َ َط َق ب ِِه اللِ ّ َس‬
ٍ ‫ك ُل ل‬
Semua lafadz yang diucapkan oleh manusia, baik dalam bentuk sempurna atau tidak.
Namun secara istilah, yang dimaksud dengan qaul tidak lain adalah pandangan atau
pendapat atas suatu hukum fiqih. Misalnya kita mengatakan pendapat mazhab Asy-
Syafi’iyah dengan ungkapan qaul syafi’iyah.
Adapun sebab kenapa pendapat atau pandangan disebut dengan qaul, karena pendapat
seseorang itu tidak bisa diketahui kecuali setelah dia mengatakannya.
Istilah yang setara dengan qaul adalah ra’yu (‫)رأي‬, mazhab (‫)مذهب‬.
2. Makna Shahabi
Sedangkan kata sahahabi (‫ )صحابي‬dalam bahasa Arab sebagaimana disebutkan dalam Al-
Mishbah Al-Munir, bermakna :
‫اش َر ُة‬ َ ‫الم َع‬
ُ ‫جال ََس ُة َو‬ َ ‫الم‬
ُ ‫الرؤي َ ُة َو‬
ُّ
Penglihatan, duduk bersama dan bergaul
Dan kata shahabat juga bisa diartikan sebagai shahabat, kawan atau teman.
Namun secara istilah, kata shahabi dinisbatkan kepada para shahabat Nabi Muhammad
SAW.
Dan para ulama mendefinisikan siapa saja yang dimaksud dengan shahabat Nabi SAW
sebagai :
‫عل َى اإلسال َ ِم‬ َ ‫ات‬ َ ‫ؤمنًا ب ِِه َو َم‬ ِ ‫َيه َو َسل ّ َ َم ُم‬
ِ ‫عل‬َ ‫ِي َصلَّى الل َّ ُه‬ َ ّ ‫َمن ل َ ِق َي النَّب‬
Orang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan mukmin dan meninggalkan dalam
keadaan mukmin.
Tidak semua orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW berhak disebut shahabat.
Hanya mereka yang memenuhi ketentuan saja yang disebut shahabat, yaitu :
a. Bertemu Langsung
Pertemuan dengan Nabi SAW yang dimaksud adalah pertemuan langsung, wajah dengan
wajah, dan bukan dalam wujud cahaya (nur), ruh, qarin, bayangan apalagi mimpi.
Maka mereka yang mengaku pernah bermimpi bertemu dengan nur, ruh, atau qarin dari
Rasulullah SAW, atau bertemu dengan beliau dalam tidur (bermimpi), tidak boleh
disebut sebagai shahabat Nabi.
b. Dalam Keadaan Muslim
Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Thalib , ‘Uthbah dan banyak lagi yang lainnya, adalah
orang-orang yang berkali-kali bertemu langsung dengan sosok Nabi Muhammad SAW.
Mereka bukan hanya bercakap-cakap secara langsung, berdiskusi, berdebat atau
bersitatap, bahkan juga terlibat dalam berbagai perjanjian dan peperangan bersama
dengan Rasulullah SAW.
Namun mereka tidak termasuk shahabat Nabi, karena mereka bukan muslim dan tidak
bersyahadat, bahkan sampai mereka mati tidak pernah memeluk agama Islam.
Ada sebagian orang kafir yang pernah bertemu dengan Rasulullah SAW, lalu kemudian
mereka memeluk Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Mereka ini juga tidak terhitung
sebagai shahabat Nabi SAW, karena detik-detik ketika mereka bertemu langsung dengan
beliau, agama mereka bukan Islam.
c. Mati Dalam Keadaan Muslim
Ada sebagian orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan muslim, namun
sayangnya ketika meninggal dunia, mati dalam keadaan kafir dan murtad.
Mereka ini juga bukan termasuk para shahabat, karena mati bukan dalam keadaan
muslim.
3. Makna Qaul Shahabi
Dari pengertian dua kata di atas, jadi yang dimaksud dengan qaul shahabi adalah :
‫فع‬ِ ‫الر‬
َ ّ ‫كم‬ ُ ‫َيه َول َم يَك ُن ل َُه ُح‬ ِ ‫َعه ِإ ل‬
ُ ‫َول ل َم يَرف‬ ٍ ‫َيه َو َسل ّ َ َم ِمن ق‬ َ ‫ِي َصلَّى الل َّ ُه‬
ِ ‫عل‬ َ ّ ‫ب النَّب‬ َ ‫َما ن ُ ِقل‬
َ ‫ع ّ َمن َص ِح‬
Pendapat yang disampaikan shahabat tanpa menyandarkannya kepada Rasulullah SAW, dan
tidak memiliki hukum marfu’
Yang perlu diperhatikan dari definisi para ulama di atas, ada tiga hal, yaitu :
a. Hasil Ijtihad Murni Shahabat
Qaul shahabi adalah pendapat atau ijtihad sahabat Nabi SAW, baik berupa ketetapan
ataupun fatwa mereka tentang peristiwa atau hukum yang tidak mereka jumpai status
hukumnya dalam sunnah nabi.
b. Tidak Disandarkan Kepada Nabi SAW
Pendapat tersebut tidak mereka sandarkan langsung kepada nabi. Karena memang itu
murni hasil ijtihad mereka sendiri.
c. Tidak Memiliki Hukum Marfu’
Maksud dari ungkapan tidak memiliki hukum yang marfu’ adalah pendapat itu bukan
representasi dari pendapat Nabi SAW, baik yang bersifat perkataan atau pun
perbuatan.
Dikatakan suatu hukum itu marfu’ misalnya ketika shahabat Nabi SAW berpendapat atas
sesuatu hal, lalu dia berkata bahwa seperti itulah dahulu Nabi SAW melakukannya.
Qaulus shahabi termasuk sumber-sumber hukum Islam, tetapi derajatnya tidak mencapai
derajat ittifaq menurut sebahagian ulama. Maksudnya, tidak semua ulama sepakat
menggunakannya dalam mengistimbathkan hukum. Selanjutnya qaul shahabi secara logika
nalar, seharusnya apa yang mereka katakan itu bersumber dari Rasulullah SAW juga.
Namun pendapat para shahabat itu terutama muncul manakala tidak ada nash yang
sharih dari Rasulullah SAW tentang suatu masalah. Di situlah kemudian para shahabat
mengeluarkan pendapatnya.
Selain itu, qaulush shahabi biasanya berbentuk kesimpulan hukum yang lafadznya
tidak langsung dari ucapan nabi SAW, melainkan dari mulut para shahabat. Seperti
seorang shahabat berkata, Rasulullah SAW memerintah kita untuk begini dan begini.
Atau perkataan seorang shahabat, Rasulullah SAW melarang kita untuk begitu dan
begitu.
B. Pembagian Pendapat Shahabat
Syeikh Abu Zahrah mengatakan bahwa pada dasarnya pendapat atau fatwa dari para
shahabat bisa dibagi menjadi beberapa macam, antara lain :
1. Berita
Shahabat Nabi menyampaikan berita yang sumbernya didengarnya langsung dari
Rasulullah SAW. Namun dia tidak mengatakan bahwa berita itu sebagai sunnah nabi
SAW.
2. Riwayat atas Berita
Shahabat menyampaikan suatu berita yang didengarnya dari orang yang pernah
mendengarnya dari nabi SAW. Namun orang tersebut tidak menjelaskan yang didengarnya
itu berasal dari Nabi SAW.
3. Pemahaman
Shahabat Nabi SAW menyampaikan kesimpulan hukum dari apa yang dipahaminya atas
ayat-ayat tertentu di dalam Al-Quran. Namun boleh jadi ada shahabat Nabi yang
lainnya tidak memahaminya sebagaimana yang dia pahami.
C. Kehujjahan Qaul Shahabi
Tentang kehujjahan qaul shahabi, memang tidak disepakati secara bulat oleh para
ulama. Karena itulah qaul shahabi tidak termasuk jenis dalil syariah yang muttafaq.
Namun bagaimana komposisi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kehujjahan
qaul shahahi, setidaknya ada enam pendapat yang berbeda tentang kehujjahan qaul
shahabi. Berikut akn kita bedah satu persatu.
1. Pendapat Pertama
Pendapat pertama mengatakan bahwa qaul shahabi adalah hujjah yang bisa dijadikan
dalil syar’i. Pendapat ini terutama dikemukakan oleh mazhab Al-Malikiyah dan qaul
qadimnya mazhab Asy-Syafi’iyah.
Dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah, yang terkenal berpendapat seperti ini adalah Al-
Imam As-Sarakhsi. Sedangkan dari mazhab Al-Hanabilah adalah Ibnul Qayyim al-
Jauziyah.
Dasar yang digunakan oleh pendapat ini antara lain adalah ayat-ayat Al-Quran dan
hadits berikut ini :
a. Para Shahabat Orang-orang Yang Mendapat Ridha Allah
Al-Quran menegaskan bahwa para shahabat ridhwanullahi alaihim adalah orang-orang
yang mendapatkan ridha dari Allah SWT.
َ ‫جري تَحتَ َها اَأل‬
‫نه ُار‬ ِ َ‫َات ت‬ ٍ ّ ‫ع ّ َد ل َُهم َجن‬َ ‫نه َوَأ‬
ُ ‫ع‬َ ‫نهم َو َر ُضوا‬
ُ ‫ع‬َ ‫ان ّ َر ِض َي الل ُّه‬
ٍ ‫حس‬
َ ‫وهم ِبِإ‬
ُ ‫ين اتّ َبَ ُع‬ َ ‫ين َواَأل‬
َ ‫نص ِار َوال ّ َ ِذ‬ َ ‫ون اَأل َّول‬
ُ ‫ُون ِم َن‬
َ ‫الم َهاجِ ِر‬ َ ‫السا ِب ُق‬
َّ ‫َو‬
‫يم‬
ُ َ‫ظ‬ ِ ‫الع‬ ‫ز‬ُ ‫و‬ ‫ف‬
َ ‫ال‬ ‫ك‬
َ ِ ‫ل‬ ‫ذ‬
َ ‫ا‬ ‫د‬ ‫ب‬‫َأ‬
ًَ َ ‫ا‬ ‫يه‬ ِ
‫ف‬ ‫ين‬
َ ِ
‫د‬ ِ ‫ل‬ ‫ا‬‫خ‬َ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah : 100)
‫َتحا ق َِريبًا‬ ً ‫َيهم َوَأثَابَ ُهم ف‬ ِ ‫عل‬ َ ‫الس ِكين َ َة‬ َ ّ ‫ج َر ِة ف ََعلِ َم َما ِفي ُقل ُوب ِِهم َفَأن َز َل‬ َ ‫الش‬َ ّ ‫حت‬ َ َ‫ين ِإ ذ يُبَاي ُِعون َ َك ت‬ َ ‫ؤم ِن‬ ِ ‫الم‬
ُ ‫ع ِن‬ َ ‫لَقَد َر ِض َي الل ّ َ ُه‬
Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (QS. Al-Fath : 18)
b. Sebagian Dari Shahabat Telah Dipastikan Masuk Surga
Jaminan pasti masuk surga diantaranya diberikan kepada 10 orang shahabat,
sebagaimana tercantum dalam hadits berikut ini :
‫الجن ّ َِة‬
َ ‫في‬ ِ ‫الجن ّ َِة َوال ّزُبَير‬ َ ‫في‬ِ ‫لحة‬ َ ‫الجن ّ َِة َو َط‬ َ ‫في‬ِ ‫ي‬ ٌ ّ ِ‫عل‬َ ‫َو‬ ‫الجن ّ َِة‬
َ ‫في‬
ِ ‫ثمان‬ َ ‫ع‬ ُ ‫الجن ّ َِة َو‬
َ ‫في‬ ِ ‫ع َمر‬ ُ ‫الجن ّ َِة َو‬
َ ِ ‫ َأبُو بَكر‬: ‫الجن َّة‬
‫في‬ َ ‫في‬
ِ ‫شر ٌة‬ َ ‫ع‬ َ
: ‫ قَال ُوا‬، ‫اش ِـر‬ ِ ‫الع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫َت‬ ‫ك‬ ‫س‬ ‫و‬ - ِ
‫َة‬ ‫ن‬ ‫الج‬ ‫في‬ ‫اح‬ ‫ر‬ ‫الج‬ ‫بن‬ ‫ة‬ ‫يد‬ ‫ب‬ ‫ع‬ ‫و‬ ‫ب‬‫َأ‬ ‫و‬ ِ
‫َة‬ ‫ن‬ ‫الج‬ ‫في‬ ‫ك‬ ِ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫بن‬ ‫يد‬ ‫ع‬ِ ‫س‬ ‫و‬ ِ
‫َة‬ ‫ن‬ ‫الج‬ ‫في‬ ‫وف‬ ‫ع‬ ‫بن‬ ‫ن‬ ‫حم‬
َ ِ َ َ َ َ ّ َ ِ ِ َّ َ ُ َ َُ ُ َ ّ َ ِ ٍ َ ُ ُ َ َ ّ َ ِ ٍ َ ِ َ َّ ُ ‫ع‬
‫الر‬ ‫بد‬ َ ‫َو‬
‫بن َزي ٍد " – يعني نفسه‬ ُ ‫يد‬ ُ ‫ " َس ِع‬: ‫ال‬ َ َ‫اشر ؟ َفق‬ ِ ‫الع‬
َ ‫َو َمن ُه َو‬
Dari Said bin Zaid bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Ada sepuluh orang di dalam
surga : Abu Bakar di dalam surga, Umar di dalam surga, Utsman di dalam surga, Ali
di dalam surga, Thalhah di dalam surga, Az-Zubair di dalam surga, Abdurrahman bin
Auf di dalam surga, Said bin Malik di dalam surga, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah di
dalam surga, kemudian Said terdiam. Orang-orang bertanya,”Siapa yang kesepuluh?”.
Said menjawab,”Said bin Zaid”- yaitu dirinya sendiri. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Selain sepuluh orang tersebut, ada juga pemberitahuan Nabi SAW kepada keluarga
Yasir, yaitu Yasir, Sumayya dan Ammar bin Yasir.
Dan jaminan ini juga menjadi jaminan pula bahwa qaul atau pendapat mereka bisa
dijadikan hujjah.
c. Shahabat Adalah Generasi Terbaik
Rasulullah SAW telah menegaskan dalam hadits beliau bahwa generasi terbaik di dunia
ini adalah generasi dimana belau hidup bersama mereka. Generasi itu tidak adalah
generasi para shahabat, sebagaimana sabda beliau SAW.
‫ين يَل ُون َ ُهم‬ َ ‫ين يَل ُون َ ُهم ث ُّمَ ال َّ ِذ‬ َ ‫َرني ث ُّمَ ال َّ ِذ‬ ِ ‫ير الن ّ َِاس ق‬ ُ ‫َخ‬
Manusia paling baik adanya di masaku, kemudian masa sesudahnya, kemudian masa
sesudahnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, qaul shahabi sangat layak menurut pendapat ini untuk dijadikan
hujjah dalam masalah dalil syar’i.
d. Perintah Nabi Untuk Berpegang Teguh Kepada Shahabat
Rasulullah SAW dalam salah satu hadits telah memerintahkan seluruh umatnya untuk
berpegang teguh kepada sunnah beliau dan juga sunnah para shahabat beliau.
‫َيها بِالن ّ ََواجِ ِذ‬َ ‫عل‬ َ ‫ع ُّضوا‬َ ‫ين َت َم َّسك ُوا ب َِها َو‬ َ ‫اش ِد‬ ِ ‫الر‬َ ‫ِين‬ َ ّ ‫المه ِدي‬َ ‫الخل َ َفا ِء‬
ُ ‫ف ََعل َيك ُم ب ُِسن َّ ِتي َو ُسن ّ َِة‬
Wajiblah atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah para penggantiku yang
lurus. Pegang erat sunnah itu dan gigitlah dengan geraham. (HR. Ahmad)
2. Pendapat Kedua
Pendapat kedua adalah lawan atau kebalikan dari pendapat pertama, yaitu bahwa qaul
shahabi bukan hujjah yang bisa digunaka sebagai dasar pengambilan dalil syariah.
Di antara mereka yang disebut-sebut berpendapat seperti ini adalah mahzab Asy-
Syafi’i dalam qaul qadimnya. Di antara ulama mazhab ini yang berpendapat bahwa qaul
shahabi bukan hujjah adalah Al-Ghazali, Al-Amidi. Selain itu pendapat ini juga
merupakan pendapat dari Al-Imam Ahmad yang mewakili mazhab Al-Hanabilah menurut
riwayat kedua.
Dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah, yang ikut dalam pendapat ini adalah Al-Karkhi
dan Ad-Dabbusi. Mazhab Adz-Dzahiri dan Mu’tazilah juga termasuk yang berpendapat
bahwa qaul shahabi bukan hujjah.
a. Perintah Untuk Merujuk Kepada Quran dan Sunnah
Al-Quran menegaskan kalau ada hal-hal yang diperselisihkan di antara umat Islam,
maka diperintahkan untuk merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu Al-Quran dan As-
Sunnah. Dalam hal ini tidak ada perintah untuk merujuk kepada para shahabat.
‫ون‬َ ُ ‫ؤمن‬ِ ُ‫ول ِإ ن ك ُنتُم ت‬ ِ ‫الر ُس‬ َ ّ ‫وه ِإ ل َى الل ِّه َو‬ ُ ‫مر ِمنك ُم َفِإن تَنَا َزعتُم ِفي َشي ٍء ف َُر ُّد‬ ِ ‫ول َوُأولِي اَأل‬ َ ‫الر ُس‬
َ ّ ‫يعوا‬ ُ ‫يعوا الل َّه َوَأ ِط‬ ُ ‫آمنُوا َأ ِط‬
َ ‫ين‬ َ ‫يَا َأيُّ َها ال ّ َ ِذ‬
‫حس ُن تَأ ِويل‬ ‫ير َوَأ‬ٌ َ‫خ‬ ‫ك‬َ ِ ‫ل‬ ‫ذ‬
َ ‫ر‬
ِ ِ
‫اآلخ‬ ‫م‬ ‫و‬
ِ َ َ‫الي‬ ‫و‬ ِ
‫ّه‬ ‫ل‬ ‫ِال‬‫ب‬
َ
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa : 59)
b. Kita Diperintah Untuk Berijtihad
Dalam hal terentu ketika tidak ada rujukan dari Al-Quran dan As-Sunnah, kita
diperintahkan untuk berijtihad, dan bukan diperintah untuk bertaqlid kepada para
shahabat. Oleh karena itu Allah SWT berfirman :
َ ‫فَاعتَب ُِروا يَا ُأولِي اَأل‬
‫بص ِار‬
Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang punya pandangan (QS. Al-Hasyr : 2)
Para ulama pendukung pendapat ini menafsirkan ayat di atas sebagai perintah untuk
berijtihad.
c. Para Shahabat Juga Berijtihad
Qaul shahabi bukan hujjah karena apa yang menjadi fatwa dan pendapat mereka tidak
lain semata-mata hanya hasil ijtihad para shahabat itu sendiri. Sehingga tidak bisa
dijadikan sebagai sumber hukum.
Sebab apa yang dihasilkan hanya oleh sebuah ijtihad, maka kedudukannya bukan sumber
hukum. Sebab yang namanya ijtihad itu bisa benar dan bisa salah. Padahal sumber
hukum itu tidak boleh salah.
Dalam kenyataannya fatwa para shahabat sendiri seringkali saling berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Maka sesuatu yang berbeda-beda tidak layak untuk
dijadikan hujjah dalam proses pengambilan hukum.
3. Pendapat Ketiga
Pendapat ketiga merupakan pendapat campuran antara pendapat pertama dan kedua.
Pendapat ketiga ini mengatakan bahwa qaul shahabi merupakan hujjah, tetapi terbatas
pada empat orang shahabat saja, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali
ridhwanullahialaihim. Selain mereka maka qaul shahabi bukan hujjah.
4. Pendapat Keempat
Pendapat keempat hampir mirip dengan pendapat ketiga. Bedanya mereka membatasi
bahwa yang merupakan hujjah hanya sebatas qaul dari Abu Bakar dan Umar saja.
Selebihnya bukan hujjah.
5. Pendapat Kelima
Pendapat kelima menerima bahwa qaul shahabi merupakan hujjah, selama fatwa itu
sejalan dengan qiyas.
6. Pendapat Keenam
Pendapat keenam adalah kebalikan dari pendapat kelima. Pendapat keenam menerima
bahwa qaul shahabi merupakan hujjah, selama fatwa itu justru tidak sejalan dengan
qiyas.
D. Beberapa Contoh Fatwa Shahabat
Ada beberapa contoh yang bisa disebutkan tentang qaul atau fatwa para shahabat, di
antaranya :
1. Fatwa Aisyah
a. Laki-laki Dewasa Menyusu Pada Wanita Agar jadi Mahram
Aisyah berpendapat bahwa meski pun seseorang sudah bukan lagi bayi, tetapi masih
bisa menjadi mahram dengan seorang wanita lewat penyusuan.
Pendapat ini berbeda dengan yang telah disepakati oleh jumhur shahabat lain dan
juga jumhur ulama kemudian, bahwa batas maksimal penyusuan yang berakibat pada
kemahraman adalah usai dua tahun. Bila seorang bayi telah lewat usianya dari dua
tahun, maka bila dia menyusu kepada seorang wanita tidak akan berakibat menjadi
mahram pada wanita itu.
b. Batal Maksimal Kehamilan
Aisyah binti Abu Bakar radhiyallahuanha, istri Rasulullah SAW, pernah berfatwa
tentang batas maksimal kehamilan seorang wanita. Menurut beliau, batas maksimal
masa kehamilan seorang wanita adalah dua tahun. Hal itu bisa kita ketahui melalui
ungkapan beliau :
Anak tidak berada didalam perut ibuya lebih dari dua tahun.
2. Fatwa Anas bin Malik
Anas bin malik radhiyallahuanhu pernah berfatwa tentang batas minimal wanita
mendapat haidh. Dalam fatwa itu, beliau mengatakan bahwa minimal mendapat darah
haid selama tiga hari.
3. Fatwa Umar bin Al-Khattab
Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahuanhu punya fatwa tentang laki-
laki yang menikahi wanita dalam masa ‘idah.
Dalam fatwa itu, mereka harus dipisahkan dan diharamkan baginya untuk menikahi
wanita tersebut untuk selamanya.
4. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
Wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa Ramadhan cukup membayar fidyah
tanpa harus berpuasa qadha’.
Pendapat mereka ini berbeda dengan jumhur ulama.

Bab 14 : Syar'u Man Qablana


A. Pengertian
Istilah syar'u man qablana (‫ )شرع من قبلنا‬terdiri dari dua hal, yaitu syar'u dan man
qablana. Yang dimaksud dengan syar'u adalah syariat. Dan yang dimaksud dengan man
qablana adalah orang-orang yang hidup di masa sebelum diturunkannya syariat kepada
Rasulullah SAW.
1. Syariat
Secara istilah dalam Ilmu Fiqih, pengertian syariat didefinisikan oleh banyak ulama
sebagai :
‫الحيَا ِة‬
َ ‫امال َِت َواَألخال َقِ َو ِنظا َ ِم‬
َ ‫الم َع‬
ُ ‫ات َو‬
َ ‫اد‬ ِ ‫ِي ِم َن األنبِيَا ِء َس َواءٌ َما يَتَ َعل ّ َ ُق باِالِع ِتقَا ِد َو‬
َ َ‫العب‬ ٌ ّ ‫اء ب َِها نَب‬ ‫َأل‬
َ ‫الله لِ ِعبَا ِد ِه ِم َن ا حك َا ِم ال ّ َ ِتي َج‬
ُ ‫ع ُه‬
َ ‫اش َر‬
َ ‫َم‬
Apa yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya dari hukum-hukum yang
telah dibawa oleh Nabi dari para nabi, baik yang terkait dengan keyakinan, ibadah
muamalah, akhlaq dan aturan dalam kehidupan.
2. Man Qablana
Yang dimaksud dengan istilah man qablana adalah umat-umat terdahulu yang menerima
kedatangan para nabi dan rasul serta diberikan taklif untuk menjalankan syariat.
Maka maksud istilah syar’u man qablana (‫ )شرع من قبلنا‬adalah syariat yang berlaku bagi
umat sebelum Nabi Muhammad diutus, seperti umat Yahudi atau pun Nasrani, namun pada
masa risalah Muhammad SAW tidak ada petunjuk untuk penghapusannya dengan jelas.
Maka selama tidak nash Al-Quran dan hadis yang menjelaskan bahwa syariat itu
dihapus atau tidak, syariat itu menyisakan pertanyaan, apakah syariat masih
berlaku untuk kita atau tidak?
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum adalah hukum-hukum yang telah
disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul
terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat
Nabi Muhammad SAW.
B. Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Kalau kita perhatikan lebih dalam, ternyata apa yang disyariatkan kepada umat
sebelum kita ini bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Tidak Terdapat Dalam Al-Quran dan As-Sunnah
Hukum-hukum syariat yang pernah diberlakukan Allah SWT kepada umat-umat terdahulu,
namun tidak disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam hal ini para ulama umumnya sepakat bahwa syariat yang seperti ini tidak
termasuk syariat kita. Sehingga kita tidak terikat untuk menjalankan syariat
tersebut.
Dan kalau pun mau diterapkan juga tidak mungkin, sebab kita tidak punya bukti yang
otentik seperti bentuk syariat yang dimaksud.
2. Ada Kepastian Mansukh atau Tidak Mansukh
Hukum-hukum syariat yang pernah Allah berlakukan kepada suatu umat dari dari umat
terdahulu, dan syariat itu disebutkan Allah SWT, baik di dalam Al-Quran atau pun di
dalam As-Sunnah.
Jenis syariat yang kedua ini, bisa kita bagi lagi menjadi tiga macam klasifikasi,
yaitu syariat yang sudah ditegaskan kemansukhannya, dan syariat yang sudah tegas
tidak mansukh, serta yang tidak ada penjelasan apakah mansukh atau tidak.
a. Sudah Dipastikan Mansukh
Klasifikasi pertama adalah syariat buat umat terdahulu yang disebutkan di dalam Al-
Quran atau di dalam As-sunnah, namun ada ketegasan dalam syariat kita bahwa hal
tersebut dihapuskan dan tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad SAW.
Sehingga apa yang pernah berlaku di masa lalu, tidak lagi berlaku untuk kita.
Syariat itu hukumnya mansukh, yaitu dibatalkan berlakunya oleh Al-Quran atau oleh
As-Sunnah. Sehingga sudah bukan termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua
ulama.
 Najis
Di antara contoh kasus seperti ini adalah masalah najis. Dalam syariat buat Nabi
Musa alaihissalam dan ummatnya, bila badan kita terkena najis hukumnya haram.
Dan pakaian yang terkena najis hukumnya tidak bisa disucikan lagi untuk selama-
lamanya, meski pun telah dicuci berkali-kali. Maka bila masih ingin mengenakan
pakaian yang terkena najis, bagian yang terkena najis itu harus dipotong.
 Haramnya Lemak dan Hewan Berkuku
Demikian juga Allah SWT dahulu pernah mengharamkan segala hewan yang berkuku dan
juga lemak hewan yang halal dagingnya :
ٍ ‫الح َوايَا َأو َما اختَل ََط ب َِع‬
‫ظم‬ َ ‫ور ُه َما َأ ِو‬ ُ ‫وم ُه َما ِإ ال ّ َ َما َح َمل َت ُظ ُه‬ َ ‫ح‬ُ ‫َيهم ُش‬ ِ ‫عل‬ َ ‫ادوا َح ّ َرمنَا ك َُّل ِذي ُظفُ ٍر َو ِم َن البَقَ ِر َوال َغن َ ِم َح ّ َرمنَا‬ َ ‫عل َى ال ّ َ ِذ‬
ُ ‫ين َه‬ َ ‫َو‬
َ ‫اهم بِبَغي ِِهم وِِإ ن ّ َا ل ََصا ِدق‬
‫ُون‬ ُ َ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ز‬
َ ‫ج‬
َ ‫ك‬ َ ِ ‫ل‬‫ذ‬َ
Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari
sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain
lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang
bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan
mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar. (QS. Al-An'am : 146)
Sedangkan buat kita sebagai umat Rasulullah SAW, lemak hewan itu tidak haram.
Demikian juga hewan yang berkuku juga tidak haram untuk dimakan.
 Haramnya Ghanimah
Ghanimah adalah harta rampasan perang. Buat kita memakan harta ghanimah ini halal,
sementara buat umat terdahulu hukumnya haram.
Rasulullah SAW bersabda :
‫ُأ ِحلَّت لِ َي ال َغنَاِئ ُم َول َم تَحل َأل َح ٍد قَبلِي‬
Telah dihalalkan bagi kita memakan harta rampasan perang, padahal tidak satu pun
umat sebelum kita yang dihalalkan untuk memakannya. (HR. Ahmad)
Para nabi terdahulu kalau memenangkan peperangan dan mendapatkan harta rampasan
perang yang banyak, maka harta itu tidak boleh diambil atau dimakan. Pada saat itu
syariat yang berlaku adalah kewajiban untuk mengumpulkan semua harta rampasan
perang di satu tempat lalu kemudian semuanya dibakar hingga hangus.
Tetapi ketentuan itu kemudian diubah di masa kenabian Muhammad SAW dan umatnya.
Harta rampasan perang hukumnya halal untuk diambil dan dimakan.
 Halalnya Bangkai dan Darah
Buat umat Rasulullah SAW, bangkai ikan dan belalang hukumnya halal. Sebagaimana
halalnya benda yang terbuat dari darah, yaitu hati dan limpa. Hal itu tegas
disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut :
‫حال‬ ِّ ‫ان فَالكَب ُِد َو‬
َ ‫الط‬ َّ ‫اد َوَأ َّما‬
ِ ‫الد َم‬ ُ ‫الج َر‬
َ ‫وت َو‬ ُ ‫َالح‬ ُ ‫ان ف‬ ِ َ‫الميتَت‬ ‫ان َو َدم ِ َأ‬
َ ‫ان َف َّما‬ َ ِ َ‫ُأ ِحلَّت لَنَا َميتَت‬
Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan
dan belalang. Dua darah itu adalah hati dan limpa. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)
b. Sudah Dipastikan Tidak Mansukh
Klasifikasi yang kedua adalah syariat yang pernah diberlakukan buat orang
terdahulu, seperti untuk Bani Israil dan lainnya, lalu kemudian syariat itu buat
kita tetap diberlakukan.
Maka hukumnya syariat itu termasuk bagian dari syariat yang berlaku buat kita,
sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.
Contoh yang paling mudah dalam kasus ini adalah perintah menjalankan Allah SWT buat
kita, umat Nabi Muhammad SAW, untuk melaksakan ibadah puasa. Dimana puasa adalah
syariat yang juga pernah diberlakukan buat umat terdahulu.
َ ُ‫ين ِمن قَبلِك ُم ل ََعلَّك ُم تَتَّق‬
‫ون‬ َ ‫عل َى ال َّ ِذ‬ َ ‫ب‬ َ ‫الصيَا ُم ك ََما ك ُ ِت‬
ّ ِ ‫عل َيك ُُم‬
َ ‫ب‬ َ ‫آمنُوا ك ُ ِت‬ َ ‫ين‬َ ‫يَا َأيُّ َها ال ّ َ ِذ‬
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kamu semua berpuasa
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS.
Al-Baqarah 183)
Namun meski pun kita disyariatkan untuk berpuasa sebagaimana umat terdahulu, tetap
saja dalam teknis yang lebih detail, ada ketidak-samaan disana-sini. Sebut saja
misalnya dari segi hukum.
Puasa yang Allah SWT wajibkan atas Nabi Daud alaihissalam dan ummatnya memang masih
berlaku untuk kita sebagai ummat Rasulullah SAW. Tetapi perbedaannya dari segi
hukum. Puasa Daud yang sehari puasa dan sehari berbuka itu hukumnya wajib atas
mereka. Sedangkan buat kita hukumnya hanya sunnah. Artinya, seandainya kita tidak
mengerjakan puasa seperti Nabi Daud alahissalam, kita tidak berdosa.
3. Tidak Ada Kejelasan Hukum
Kalau pada dua jenis syariat di atas kita punya kejelasan informasi tentang
hukumnya, baik terhapus atau tetap masih berlaku, maka pada klasifikasi yang ketiga
ini berbeda. Karena kita tidak mendapatkan konfirmasi dari Allah SWT dan Rasulullah
SAW tentang apakah syariat yang pernah berlaku di masa lalu, apakah sudah
dihapuskan sehingga menjadi mansukh, ataukah masih tetap berlaku dan dianggap
menjadi bagian dari syariat kita?
Dalam hal ini banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama. Sebagian ada yang
cenderung mengatakan bahwa jika hukum tersebut shahih dapat kita amalkan, karena
secara tidak langsung hukum terdahulu tidak terhapus, itu berarti juga tetap
menjadi syariat umat terdahulu yang berlaku bagi kita umat Islam. Dan sebagian
lainnya punya pendapat yang berbeda.
Seperti halnya diamnya Rosulullah atas suatu perkara, tidak membenarkan tidak pula
menyalahkan (taqririyah).
Contohnya adalah masalah hukum qishash, yang terdapat di dalam surat Al-Maidah.
ً ‫َاس َج ِم‬ ‫َأ‬ ِ ‫َأل‬ ‫ير ن َ ٍ َأ‬ ‫عل َى بَ ِني ِإ سراِئ َ َأ‬ ِ ‫ِمن َأ‬
َ ‫جل َذلِ َك كَتَبنَا‬
‫يعا‬ َ ّ ‫فس و ف ََسا ٍد ِفي ا رض َفك َ ن ّ ََما َقتَ َل الن‬ ِ ‫فسا ِب َغ‬
ً َ ‫يل ن ّ َُه َمن َقتَ َل ن‬ َ
Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa
membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. (QS. Al-Maidah : 32)
C. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Dari tiga jenis syar'u man qablana yang sudah diuraikan di atas, para ulama telah
bersepakat pada jenis yang pertama dan kedua.
Namun mereka berbeda pendapat tentang keberadaan syar'u man qablana untuk jenis
yang ketiga. Sebagian ulama berpendapat bahwa syariat yang diberlakukan buat umat
terdahulu itu masih tetap berlaku untuk kita, dan sebagiannya lagi berpendapat
sebaliknya.
1. Tetap Berlaku
Pendapat yang mengatakan bahwa syariat dan hukum yang pernah berlaku buat umat
terdahulu itu juga masih berlaku buat kita umumnya dikemukakan oleh para ulama dari
kalangan mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, mayoritas kalangan mazhab Asy-
Syafi’iyah. Dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal, juga membenarkan bahwa
hukum-hukum seperti itu berlaku bagi umat Muhammad SAW.
Dalil yang biasanya mereka kemukakan antara lain :
a. Sama-sama Datang Dari Allah
Mereka memandang bahwa pada dasarnya syariat buat umat terdahulu datang dari Allah
juga. Oleh karena itu, apa yang disyariatkan kepada para nabi terdahulu dan
disebutkan dalam Al-Quran berlaku kepada umat Muhammad SAW, meski tidak ada
perintah langsung untuk melaksanakannya.
b. Ada Perintah Untuk Menjalakankannya
Selain itu, terdapat beberapa ayat Al-Quran secara tegas memerintahkan kita untuk
mengikuti jejak dan syariat yang turun kepada para nabi terdahulu.
Di antaranya adalah perintah kepada kita agar mengikuti millah Nabi Ibrahim
alaihissalam. Sebagian kalangan menafsirkan kata millah itu sebagai syariat dan
hukum yang berlaku buat Nabi Ibrahim.
‫وحينَا ِإ ل َ َأ‬ َ ‫ث ُّمَ َأ‬
َ ‫شر ِك‬
‫ين‬ ُ ‫َان ِم َن‬
ِ ‫الم‬ َ ‫يم َح ِنيفًا َو َما ك‬ َ ‫َيك ِن اتَّبِع ِمل ّ َ َة ِإ‬
ِ ‫بر‬
َ ‫اه‬
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibarahim yang hanif.
(QS. An-Nahl :123)
Salah satu bentuk millah Nabi Ibrahim alahissalam adalah berkhitan. Disebutkan
bahwa Nabi Ibrahim diperintahkan untuk berkhitan, meski sudah berusia tua. Oleh
karena itu dibutuhkan kapak untuk melakukannya. Hal itu sebagaimana disebutkan
dalam hadits berikut ini.
‫ِي‬ُّ ‫يم النَّب‬ ِ ‫بر‬
ُ ‫اه‬ َ ‫ اختَتَ َن ِإ‬ ‫ين َسن َ ًة بِالقَ ُدو ِم‬ َ ‫ابن ث ََما ِن‬ ُ ‫َو ُه َو‬
Nabi Ibrahim berkhitan ketika berusia 80 tahun menggunakan kapak (HR. Bukhari)
Meski pun syariat tersebut turun kepada Nabi Ibrahim, namun dalam syariat yang
turun kepada Muhammad SAW, ternyata syariat itu tidak dihapus, malah justru
diperkuat perintahnya. Perintah berkhitan yang turun kepada Nabi Ibrahim termasuk
perintah yang tetap langgeng untuk dikerjakan.
2. Tidak Berlaku
Sedangkan mereka yang termasuk berpendapat bahwa syariat umat terdahulu itu tidak
berlaku buat kita umumnya dikemukakan para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian
kalangan Syafi’iyah. Dan juga merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
Dalam pandangan mereka, syariat yang Allah turunkan buat umat sebelum era
Rasulullah SAW, meski pun tercantum dan disebutkan dalam Al-Quran, tidak lantas
otomatis menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW. Terkecuali bila memang ada
ketegasan untuk itu.
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh kalangan ini adalah firman Allah SWT seperti apa
yang terdapat dalam Al-Quran surah al-Maidah ayat 48.
‫ات ِإ ل َى الله َمرجِ ُعك ُم‬ ِ ‫ير‬
َ ‫الخ‬
َ ِ ‫اجا َول َو َشاء الل ُّه ل ََج َعلَك ُم ُأ ّ َم ًة َو‬
‫اح َد ًة َول َـ ِكن ِل ّيَبل َُوك ُم ِفي َمآ آتَاك ُم فَاستَ ِبقُوا‬ َ ‫لِك ّ ٍُل َج َعلنَا ِمنك ُم ِش‬
َ ‫رع ًة َو ِم‬
ً ‫نه‬
َ ُ‫يه تَختَلِف‬
‫ون‬ ِ ‫يعا فَيُنَبُِّئك ُم ب َِما ك ُنتُم ِف‬ ً َ ِ
‫م‬ ‫ج‬
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS. Al-Maidah :
48)
Tarjih
Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh menjelaskan, bahwa yang
terkuat dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang pertama diatas. Alasannya,
bahwa syariat Islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat
Islam.
Oleh karena itu, segala hukum-hukum syariat para nabi terdahulu yang disebut dalam
Al-Quran tanpa ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah dinasakh (dihapuskan),
maka hukum-hukum itu berlaku bagi umat Nabi Mumammad SAW.

Bab 15 : Istihsan
A. Pengertian
1. Bahasa
Al-Istihsan (‫ )اإلستحسان‬secara bahasa adalah kata bentukan dari al-hasan (‫ )الحسن‬yang
berarti kebaikan. Istihsan sendiri kemudian berarti kecenderungan seseorang pada
sesuatu karena menganggap sesuatu itu lebih baik. Dan kecenderungan ini bisa
bersifat lahiriah ataupun maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh
orang lain.
Secara bahasa istihsan juga bermakna :
‫الشي ِء َح َسنًا‬ ّ ‫ع ُّد‬
َ
Menganggap sesuatu itu baik
2. Istilah
Sedangkan secara istilah di kalangan para ahli ushul, istihsan didefinisikan
sebagai :
‫اس َخ ِف ٍّي‬ٍ َ ‫لى ِقي‬
َ ‫عن ِقيا ٍَس َجلِ ٍّي ِإ‬ ُ ‫الع ُد‬
َ ‫ول‬ ُ
Meluruskan sesuatu dari qiyas jali kepada qiyas khafi
Al-Karkhi, salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiyah mendefinsikan tentang
istihsan : mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa
dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam
pandangan mujtahid. Definisi ini juga kemudian dipilih pula oleh Ibnu Qudamah,
salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Hanabilah.
Ada juga yang menyebutkan bahwa istihsan adalah meninggalkan apa yang menjadi
konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
Dari beberapa definisi di atas, kita dapat melihat bahwa inti dari istihsan adalah
ketika seorang mujtahid lebih cenderung memilih hukum tertentu dan meninggalkan
hukum yang lain, dengan alasan sesuatu hal yang dalam pandangannya bahwa hukum yang
kedua lebih kuat dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh sederhana, misalnya para ulama menggunakan istihsan ketika berfatwa
bahwa tayammum sebagai pengganti wudhu' itu wajib diulang-ulang setiap kali mau
mengerjakan shalat wajib.
Padahal kalau menggunakan qiyas, ketika tayammum diqiyaskan dengan wudhu',
seharusnya tayammum tidak perlu diulang-ulang. Namun kebanyak ulama menggunakan
istihsan dalam masalah ini.
B. Sejarah Istihsan
Awal mula digunakan istihsan adalah ketika ada kasus al-musyarrakah dalam ilmu
waris. Kasus ini juga dikenal dengan sebutan al-himariyah.
Dalam kasus ini terjadi perbedaan pendapat di tengah para shahahat. Sebagian
sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit bersama saudara
seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang
istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan
beberapa saudara sekandung.
Jika melihat kaidah umum waris yang berlaku, maka seharusnya saudara sekandung
tidak mendapatkan apa-apa, karena sebagai seorang ‘ashabah ia harus menunggu sisa
warisan setelah ia dibagi untuk semua ashab al-furudh, yang dalam hal ini suami,
ibu dan saudara seibu. Disinilah para sahabat Nabi saw berbeda dalam pendapat :
Pendapat pertama diwakili oleh Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Abu
Musa radhiyallahuanhum. Mereka berpendapat sesuai kaidah umum waris, yaitu bahwa
saudara seibu mendapatkan 1/3 dan saudara sekandung tidak memperoleh apa-apa.
Pendapat kedua diwakili oleh Umar, Utsman, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahuanhum.
Mereka mengikutsertakan saudara sekandung dalam bagian saudara seibu (1/3). Bagian
ini dibagi rata antar mereka. Alasannya karena saudara sekandung memiliki kesamaan
jalur hubungan kekerabatan dalam pewarisan ini, yaitu: ibu. Mereka semua berasal
dari ibu yang sama, karena itu sepatutnya mendapatkan bagian yang sama.
Jika kita memperhatikan pendapat yang kedua, nampak jelas bagaimana para sahabat
yang mendukungnya meninggalkan kaidah umum waris yang berlaku dan menetapkan apa
yang berbeda dengannya. Dan dari prosesnya, mungkin tidak terlalu jauh bagi kita
untuk mengatakan ini sebagai sebuah istihsan dari mereka.
Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata istihsan menjadi
semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Dimana dalam
banyak kesempatan, kata istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering
dikatakan: “Secara qiyas seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan
Istihsan.”
C. Perbedaan Ulama Dalam Menerima Istihsan
Penggunaan istihsan dalam memecahkan masalah fiqhiyah tidak secara bulat diterima
oleh para ulama. Sebagian ulama menerima dan menggunakan istihsan, namun sebagian
lain menolaknya.
1. Kalangan Yang Menerima
Kalangan yang menerima dan menggunakan istihsan antara lain mazhab Al-Hanafiyah,
Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah.
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah firman Allah SWT yang
mengikuti yang terbaik, sebagai berikut:
‫ون‬
َ ‫شع ُر‬ُ َ‫َاب بَغتَ ًة َوَأنتُم ل َا ت‬ َ ‫َبل َأن يَأ ِتيَك ُُم‬
ُ ‫العذ‬ ِ ‫نز َل ِإ ل َيك ُم ِ ّمن ّ َر ِبّك ُم ِ ّمن ق‬ ِ ‫حس َن َما ُأ‬ َ
‫َواتَّب ُِعوا َأ‬
Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan
kalian. (QS. Az-Zumar : 55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang
terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal
lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa
Istihsan adalah hujjah.
ِ َ‫اه ُم الل ّ َ ُه َوُأولَِئ َك ُهم ُأول ُوا اَأللب‬
‫اب‬ ُ ‫ين َه َد‬َ ‫حسن َ ُه ُأولَِئ َك ال ّ َ ِذ‬
َ
‫ون َأ‬
َ ‫ول فَيَتَّب ُِع‬ َ َ‫ون الق‬َ ‫ين يَستَ ِم ُع‬َ ‫فَبَ ِ ّشر ِعبَا ِد ال َّ ِذ‬
Dan berikanlah kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (yaitu) mereka yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya…” (QS. Az-Zumar : 17-18)
Ayat ini –menurut mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan
mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk
sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
Selain itu juga ada hadits Nabi SAW yang menegaskan bahwa apa yang dipandang oleh
seorang muslim sebagai kebaikan, maka secara umum hal itu pasti baik.
َ ‫ند الل ّ َ ِه َح َس ٌن َو َما َرَأوا َسيًِّئا ف َُه َو ِع‬
‫ند الل ّ َ ِه َسيٌِّئ‬ َ ‫ون َح َسنًا ف َُه َو ِع‬ ُ ‫ف ََما َرَأى‬.
َ ‫المسلِ ُم‬
Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah
adalah baik. (HR. Ahmad)
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan
istihsan.
Selain itu pendukung istihsan juga mengklaim bahwa para ulama telah berijma’ dalam
beberapa masalah yang dilandasi oleh istihsan, seperti bolehnya masuk ke dalam ke
kamar mandi tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan
jangka waktu pemakaiannya.
Demikian pula istihsan menjadi dasar kebolehan jual-beli salam, yang bentuknya
jual-beli dimana uangnya dibayarkan di muka, sedangkan barang yang dibeli belum ada
pada saat akad.
2. Kalangan Yang Menolak : Asy-Syafi'iyah
Mazhab Asy-syafi'iyah termasuk kalangan yang menolak penggunaan istihsan sebagai
salah satu sumber hukum Islam. Selain itu mazhab Zahiri juga termasuk yang menolak
istihsan. Alasan penolakan mereka ada beberapa sebab, antara lain :
Pertama, bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash Al-Quran, As-Sunnah atau apa
yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut.
Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
Kedua, istihsan bertentangan dengan firman Allah SWT yang memerintahkan kita
merujuk kepada Allah dan rasul-Nya dalam memutuskan perkara.
‫ول‬ َّ ‫وه ِإ ل َى الل ِّه َو‬
ِ ‫الر ُس‬ ِ ‫ول َوُأولِي اَأل‬
ُ ‫مر ِمنك ُم َفِإن تَنَا َزعتُم ِفي َشي ٍء ف َُر ُّد‬ َ ‫الر ُس‬ ُ ‫يعوا الل َّه َوَأ ِط‬
َّ ‫يعوا‬ ُ ‫آمنُوا َأ ِط‬ َ ‫يَا َأي ُّ َها ال ّ َ ِذ‬
َ ‫ين‬
Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta
ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. An-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam
menyelesaikan suatu masalah, sementara istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
Ketiga, jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya
atas dasar istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang
sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang
mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid
tidak dibenarkan melakukan istihsan dengan logikanya sendiri.
Keempat, bahwa Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk
tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-
Khathab radhiyallahuanhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka
adalah musuh-musuh sunnah.
D. Istihsan Berdasarkan Dalil Yang Melandasinya
Dari sisi dalil yang melandasinya, istihsan terbagi menjadi 4 jenis:
1. Istihsan Dengan Nash
Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju
hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Quran atau al-Sunnah.
Diantara contohnya adalah: hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang
telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar
dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan
oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi.
Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang
pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk
masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
ٍ ‫ُوم ِإ ل َى َأ َج ٍل َمعل‬
‫ُوم‬ ٍ ‫زن َمعل‬ ٍ ‫ُوم َو َو‬ ٍ ‫مر فَليُسلِف ِفي ك‬
ٍ ‫َيل َمعل‬ ٍ َ‫َمن َأسل ََف ِفي ت‬
Siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam
takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
2. Istihsan Dengan Ijma’
Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap
sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa
adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal
ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan
kadar air.
Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal
ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan
tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
3. Istihsan Dengan Kedaruratan
Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang
menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau
mencegah kemudharatan.
Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang
berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang
sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam
ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak
menjadi batal karena hal tersebut.
Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari
benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke
dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.
4. Istihsan Dengan ‘Urf
atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi
qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang
bersifat perkataan maupun perbuatan-.
Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah
jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia
masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar
sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam
firman-Nya:
‫ال‬
ِ ‫اآلص‬ َ ‫اسم ُه ي ُ َسبّ ُِح ل َُه ِف‬
َ ‫يها بِالغ ُُد ِّو َو‬ ُ َ ‫وت َأ ِذ َن الل ّ َ ُه َأن تُرف ََع َويُذك ََر ِف‬
‫يها‬ ٍ ُ ‫ِفي بُي‬
Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumangkan Nama-Nya di
dalamnya.” (QS. An-Nur : 36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata
“rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah
sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk
ke dalam mesjid.
Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah
berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya,
menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’.
Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai
upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa
sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu
Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk
melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang
disusui.
E. Pembagian Istihsan Menurut Hanafi
Ulama Hanafiyah secara khusus memberikan pembagian dari sudut pandang lain terkait
dengan istihsan ini, yaitu dari sudut pandang kuat atau tidaknya kekuatan pengaruh
Istihsan tersebut terhadap qiyas.
Berdasarkan sudut pandang ini, Istihsan kemudian dibagi menjadi 4 jenis:
1. Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang kuat darinya.
2. Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.
3. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki kekuatan.
4. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
Dari keempat jenis ini, jenis pertama dan kedua adalah yang paling masyhur. Salah
satu contoh untuk yang pertama adalah penetapan kesucian liur hewan carnivora dari
jenis burung. Dalam kasus ini, burung yang carnivora –karena biasa memakan bangkai-
seharusnya diqiyaskan kepada hewan buas lainnya seperti singa dan harimau dalam hal
najisnya liur mereka.
Akan tetapi ulama Hanafiyah beriistihsan dan menyatakan bahwa liur jenis burung
yang carnivora lebih dekat (secara qiyas khafy) dengan liur manusia, karena
keduanya –manusia dan burung yang carnivora- tidak boleh dimakan. Dan liur manusia
–sebagaimana terdapat dalam hadits– adalah suci. Karena itu liur jenis burung yang
carnivora juga suci.
Di samping sebab lain yaitu karena burung ini memakan makanannya dengan
menggunakan paruhnya, dan paruh itu adalah anggota badan yang suci dari najis.
Kesimpulannya adalah bahwa dalam kasus ini istihsan lebih kuat pengaruhnya daripada
qiyas.
Adapun untuk jenis yang kedua, contohnya adalah melakukan sujud tilawah dalam
shalat. Secara qiyas seharusnya sujud tilawah dapat digantikan dengan ruku’
tilawah, karena baik sujud maupun ruku’ keduanya sama-sama sebagai wujud
pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Akan tetapi berdasarkan istihsan, sujud tilawah
adalah sama dengan sujud lainnya dalam shalat –yang merupakan rukun di dalamnya-.
Maka sebagaimana sujud lainnya dalam shalat tidak boleh diganti dengan ruku’,
demikian pula dengan sujud tilawah. Namun dalam kasus ini –menurut Hanafiyah-
pengamalan qiyas lebih kuat dibandingkan pengamalan istihsan.
Adapun jika keduanya –qiyas dan istihsan- sama kuat, maka qiyas-lah yang ditarjih
atas istihsan karena ia lebih jelas. Sedangkan bila keduanya sama-sama lemah, maka
pilihannya antara menggugurkan keduanya atau mengamalkan qiyas sebagaimana jenis
sebelumnya.
Dengan melihat pembagian ini, nampak jelas bahwa istihsan tidak ‘dimenangkan’ atas
qiyas kecuali dalam satu kondisi: yaitu ketika ia lebih kuat pengaruhnya daripada
qiyas (sebagaimana jenis yang pertama).
Satu hal yang juga patut dicatat di sini adalah bahwa seorang mujtahid tidak
dibenarkan untuk menggunakan istihsan kecuali saat ia tidak menemukan nash, atau ia
menemukan qiyas namun qiyas tersebut dianggap tidak dapat merealisasikan maslahat.
Hal ini seperti yang disinggung oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (w.751H) saat
mengomentari kasus seseorang yang menemukan seekor kambing yang hampir binasa, lalu
ia menyembelihnya agar ia tidak mati sia-sia:
“Sesungguhnya secara qiyas ia harus mengeluarkan ganti (atas perbuatannya
menyembelih kambing orang lain –pen), namun berdasarkan istihsan ia tidak wajib
membayar ganti, karena ia dibolehkan melakukan hal tersebut..”.
Lalu ia mengatakan,
“Tapi ada ulama yang kolot yang masih saja menolak hal ini (baca: istihsan dalam
kasus ini) dengan alasan bahwa ini telah melakukan suatu tindakan terhadap milik
orang lain. Padahal kalau saja ia memahami bahwa melakukan suatu tindakan terhadap
milik orang lain itu diharamkan oleh Allah jika mengandung mudharat terhadapnya.
Dan dalam kasus ini, justru tidak melakukan tindakan apa-apa (baca: menyembelihnya)
justru akan menyebabkan mudharat.”


Bagian Ketiga
Mazhab Fiqih


Bab 1 : Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah istilah yang unik dan menarik untuk dikaji. Ijithad sering
dikonotasikan secara keliru sebagai penggunaan logika dalam beragama dengan
berlepas diri dari penggunaan dalil-dalil syar’i. Sehingga seringkali kali ijtihad
diposisikan sebagai lawan sunnah.
Padahal ijtihad tidak berposisi sebagai lawan dari sunnah, justru sebaliknya
memahami sunnah dan tentunya juga Al-Quran, sangat membutuhkan ijtihad. Sebab
ijtihad dalam batas-batas tertentu pasti terjadi pada setiap orang yang membaca Al-
Quran dan sunnah serta ingin menerapkan isinya.
A. Pengertian
Ijtihad bisa kita detailkan pengertiannya menjadi pengertian menurut bahasa dan
istilah para fuqaha.
1. Bahasa
Secara bahasa, kata ijtihad berasal dari kata dasar ijtahada – yajtahidu ( - ‫اجتهد‬
‫)يجتهد‬. Akar katanya bersumber dari tiga huruf hijaiyah, yaitu ja-ha-da (‫)جهد‬.
Di dalam kamus, kata ini bermakna badzlul juhdi (‫ )بذل الجهد‬yaitu bersungguh-sungguh,
atau melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Atau dalam arti yang lebih lengkap
sering juga bermakna :
‫ويصل ِإ لى ِنهاي ِت ِه‬ ِ ‫وده‬
ُ ‫مجه‬
ُ ‫أمر ِليبل ُغ‬ٍ ‫طلب‬ِ ِ ‫والط‬
‫اقة ِفي‬ ّ ‫سع‬
ِ ‫الو‬
ُ ‫بذل‬
Mengerahkan kemampuan dan tenaga untuk mendapatkan suatu perkara agar sampai kepada
yang diupayakan atau sampai kepada penghabisannya.
2. Istilah
Sedangkan para fuqaha mendefinisikan istilah ijtihad ini dengan berbagai ungkapan,
sesuai dengan perbedaan mereka dalam memahami ijtihad serta ruang lingkupnya.
a. Asy-Syaukani
Asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul mendefinisikan ijtihad menjadi :
ِ ‫يق االِس ِت‬
‫نباط‬ ِ ‫شرع ٍّي عملِ ٍّي ب‬
ِ ‫ِطر‬ ِ ‫كم‬
ٍ ‫نيل ُح‬ ِ ‫في‬ِ ‫سع‬ِ ‫الو‬
ُ ‫بذل‬ ُ
Mengerahkan kekuatan untuk mendapatkan hukum syar'i yang bersifat praktek dengan
metode istimbath.
b. Al-Amidi
Sedangkan Al-Amidi membuat definisi ijtihad yang lebih rinci lagi :
ِ
‫عليه‬ ‫المزي ِد‬
ِ ‫عن‬
ِ ‫فس العج ُز‬ ِ ّ ‫يح ُّس ِمن الن‬ ُ ٍ‫رعي ّ ِة على وجه‬ ِ ‫الش‬ ّ ‫الظ ِّن بِشي ٍء ِمن األحكا ِم‬
ّ ‫طلب‬ ِ ‫في‬ ِ ‫سع‬
ِ ‫الو‬
ُ ‫غ‬ُ ‫اِس ِتفرا‬
Mengabiskan segenap kemampuan dalam rangka mendapatkan dugaan atas sesuatu dari
hukum-hukum syar'iyah pada satu pendapat, dimana jiwa telah merasa cukup atas hal
itu.
c. Dr. Alauddin Husein Rahhal
Dr. Alauddin Husein Rahhal, dalam kitabnya, Ma'alim wa Dhawabithul Ijtihad Inda
Asy-Syaikh Al-Imam Ibnu Taymiyah, menuliskan tentang definisi ijtihad :
ً ‫قطعيّا ً كان أو ظ ِن ّيّا‬ ِ ً ‫شرع ٍّي وتطبِي ِق ِه عقلِيّا ً كان أو نقلِيّا‬ ِ ‫كم‬
ٍ ‫يل ُح‬ ِ
ِ ‫تحص‬ ‫يه ِفي‬ ِ ‫ّقة ِمن الف ِق‬
ِ ‫بذل الطا‬
ُ
Mengabiskan segenap kekuatan yang dilakukan seorang ahli fiqih dalam rangka
mendapatkan hukum syar'i dan implementasinya, baik secara logika atau naql, dengan
hasil yang qathiI atau zhanni.
d. Al-Mausuah Al-Fiqihiyah Al-Kuwaitiyah
Disebutkan di dalam Al-Mausuah Al-Fiqihiyah Al-Kuwaitiyah, bahwa kata ijtihad
menurut para ahli ilmu ushul fiqih berarti :
‫شرع ٍّي ظنِّي‬ ِ ‫كم‬
ٍ ‫يل ُح‬ ِ ‫تحص‬ ِ ‫في‬ِ ‫يه‬ ِ ‫اقة ِمن الف ِق‬ِ ‫الط‬
ّ ‫بذل‬ُ
Mengerahkan segenap kekuatan yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih untuk
menghasilkan hukum syar’i yang bersifat zhanni.
Dari definisi para ahli ushul fiqih ini, dapat kita rinci bahwa sebuah ijtihad itu
mengandung unsur utama antara lain :
 Badzlu at-thaqah
Diterjemahkan secara sederhana dengan ungkapan ’mengerahkan segala kekuatan’.
Tetapi apa yang dimaksud dengan kalimat itu? Dan bagaimana bentuk teknisnya?
Dalam realitanya, apa yang disebut dengan mengerahkan segala kekuatan itu adalah
segala kerja dalam menarik kesimpulan hukum syariah, mulai dari hulu hingga hilir.
Di hulu, misalnya mulai dari mencari dan menetapkan dalil syar’i, lalu memeriksa
keterkaitan dalil itu dengan madlul-nya. Diteruskan dengan kerja untuk memastikan
kekuatan dalil itu, khususnya bila berupa hadits, agar jangan sampai dalil yang
digunakan masih bermasalah dari segi kekuatan sanad dan ketersambungannya.
Ditambah lagi kerja untuk memastikan sebab turunnya dalil itu, atau latar belakang
kenapa suatu hadits bisa sampai muncul. Termasuk disitu tugas untuk memeriksa masa
waktu turun atau wurud suatu dalil, adakah dalil yang terbaru, sehingga menghapus
dalil yang sebelumnya.
Di hilir, kerja itu misalnya upaya untuk memahami dan mengerti secara mendalam,
segala bentuk realitas kehidupan yang ada di tengah zaman dan tempt tertentu, dan
keterkaitannya dengan realitas sosial di masa Nabi SAW, dimana dalil-dalil itu
bersumber.
Hasilnya adalah sebuah kesimpulan hukum, yang dibangun di atas dalil-dalil yang
kuat, lengkap dan kokoh.
 Ahli Fiqih
Tugas yang amat berat ini tidak mungkin dikerjakan oleh sembarang orang, kecuali
mereka yang terdidik dan terlatih secara profesional di bidangnya. Mereka itu kita
sebut ahli fiqih.
Kerja membakar sate tidak akan sempurna, kalau tangan-tangan amatir yang
melakukannya. Walau pun hanya membakar sate, pekerjaan yang kita anggap sepele,
tetap saja butuh keahlian. Maksudnya, agar satenya tetap enak dimakan, tidak
terlalu gosong tetapi juga tidak keras karena masih mentah.
Apalagi kerja untuk menarik kesimpulan hukum, tentu bukan hal yang sederhana. Kalau
kita ibaratkan dengan dunia kesehatan, ahli fiqih itu ibarat seorang dokter ahli,
yang tentunya harus merupakan lulusan dari Fakultas Kedokteran, mulai dari jenjang
S-1 sampai S-3.
Meski menolong orang sakit itu sebuah ibadah yang mendatangkan pahala dan
disunnahan kepada setiap orang, namun mengobati orang sakit tidak boleh dikerjakan
oleh sembarang orang. Karena ilmu kesehatan itu amat komplek dan rumit, membutuhkan
keahlian di atas rata-rata.
Sejak dari menjadi calon mahasiswa Fakultas Kedokteran, sudah ada seleksi ketat.
Hanya mereka yang tahan begadang untuk belajar berjam-jam dan mereka yang benar-
benar siap mental saja, yang berani mendaftarkan diri. Mereka yang etos belajarnya
lemah dan terbelakang, biasanya sejak awal sudah menghindari jauh Fakultas
Kedokteran.
Kenyataannya, kuliah di Fakultas Kedokteran itu memang teramat berat. Tidak semua
lulusan SMU dan sederajat boleh berhayal bisa masuk fakultas ini. Para calon dokter
itu kadang harus mengikuti berbagai macam perkuliahan dan praktek yang amat tidak
manusiawi, seperti membedah mayat dan sebagainya.
Lulus dari Fakultas Kedokteran, tidak lantas sudah boleh praktek. Masih ada sekian
banyak proses lain yang wajib diikuti, sampai akhirnya resmi diberi izin praktek.
Demikian juga dengan ahli fiqih, mereka hanya berjumlah beberapa gilintir orang
saja di tiap-tiap zamannya. Mereka adalah orang-orang langka yang hidup di masing-
masing zamannya. Hal itu karena pekerjaan mereka hanya bisa dikerjakan oleh orang-
orang yang amat terdidik dan terlatih secara ketat.
 Menghasilkan Hukum Syar’i Zhanni
Semua bentuk kerja ijtihad pada akhirnya diharapkan menghasilkan produk hukum
syar’i yang bersifat zhanni.
Istilah zhanni disini sebagai lawan dari qath’i. Hukum syar’i yang bersifat qath’i
misalnya bahwa shalat lima waktu itu hukumnya wajib. Sedangkan hukum syar’i yang
zhanni misalnya hukum qunut pada rakaat kedua Shalat Shubuh.
Kenapa hukum qunut ini disebut zhanni?
Karena kita tidak mendapatkan dalil yang sharih dan qath’i, yang secara tegas dan
disepakati oleh semua ulama secara bulat tentang masyru’iyahnya.
Mazhab Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa qunut ini hukumnya sunnah muakkadah, karena
mereka meyakini bahwa mereka memiliki dalil-dalil yang menjadi dasar atas
kesunnahan qunut. Namun ketiga mahzab lainnya tidak sekata, bahkan Mazhab Al-
Hanafiyah berpendapat bahwa qunut ini hukumnya bid’ah, karena mereka meyakini
dalil-dalil yang mereka gunakan. Hal ini terjadi karena kedua belah pihak
berhadapan dengan dalil-dalil yang sifatnya zhanni.
Adapun bila dalil yang ada di hadapan mereka dalil yang qath’i, seperti dalil
wajibnya shalat lima waktu, maka sudah pasti tidak akan ada perbedaan pendapat
apapun.
Maka wilayah ijtihad hanya berkisar di seputar hukum yang dalil-dalilnya bersifat
zhanni. Sedangkan hukum yang dalilnya qath’i, maka tidak ada ijtihad, karena memang
tidak dibutuhkan. Orang dengan kemampuan Ilmu Fiqih dasar yang pas-pasan, sudah
bisa menarik kesimpulannya. Dan hal itu bukan termasuk ijtihad.
3. Hubungan Ijtihad dengan Fiqih
Dengan definisi di atas, maka antara ijtihad dan fiqih punya kaitan yang erat dan
saling berhubungan. Fiqih adalah ilmu, sedangkan ijtihad adalah bentuk pekerjaan
yang dilakukan untuk mendapatkan Ilmu Fiqih. Hal itu mengingat bahwa definisi fiqih
adalah :
‫فصيلِي ّ ِة‬
ِ ّ‫كتسب ِمن أ ِدل ّ ِتها الت‬
ُ ُ ‫رعيّ ِة العملِيّ ِة‬
‫الم‬ ِ ‫الش‬
ّ ‫لم بِاألحكا ِم‬ ِ
ُ ‫الع‬
”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang
diambil dari dalil-dalil secara rinci,”
Kalau boleh diibaratkan, ilmu pertanian adalah Ilmu Fiqih, maka kegiatan bertani
seperti membajak sawah, mencangkul, menanam, menyemprot obat, atau memanen hasilnya
adalah kegiatan berijtihad.
Perbedaannya, seorang petani yang baik adalah mereka yang mengerti seluk-beluk ilmu
pertanian, agar bisa mendapatkan hasil pertanian yang maksimal. Sedangkan mahasiswa
fakultas pertanian mungkin menguasai berbagai teori pertanian, namun belum tentu
mampu menanam.
B. Mengapa Ijtihad Dibutuhkan?
Banyak orang bertanya, baik karena benar-benar tidak tahu atau pun karena kurang
ilmu, mengapa kita masih butuh ijtihad yang dilakukan oleh manusia?
Tidakkah cukup bagi kita menggunakan petunjuk langsung dari Allah SWT? Allah SWT
telah menurunkan wahyu Al-Quran dengan ayat-ayat yang jelas, sebagaimana tertera
pada ayat-ayat berikut ini :
‫ِين‬ٍ ‫ُرآن ُّمب‬ٍ ‫تاب وق‬ ِ ‫آيات ال ِك‬
ُ ‫الر ِتلك‬
Alif, laam, raa. ini adalah ayat-ayat Al-Kitab, yaitu Al Quran yang memberi
penjelasan. (QS. Al-Hijr : 1)
Bukankah Al-Quran merupakan kitab yang sempurna, tidak ada satu pun yang tidak
terdapat di dalam Al-Quran?
‫تاب ِمن شي ٍء‬ ِ ‫فرطنا ِفي ال ِك‬ّ ‫ّما‬
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab. (QS. Al-An’am : 38)
Bukankah Rasulullah SAW sudah mewariskan dua pedoman, yang selama kita berpegang-
teguh pada keduanya, kita tidak akan tersesat selama-lamanya?
‫وسنّة نبِيِّ ِه‬ُ ‫الله‬ ِ ‫ ِكتاب‬:‫تمسكتُم ب ِِهما‬
ّ ‫تضلُّوا ما‬
ِ ‫أمرين لن‬
ِ ‫تركت ِفيك ُم‬
ُ
Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selamanya
selama berpegang teguh dengan keduanya, Kitabullah dan Sunnah" (HR. Malik)
Lantas, kenapa kita masih harus berpegang kepada ijtihad yang notabene hanya buatan
manusia? Bukankah Beliau SAW tidak pernah memerintahkan untuk berpegang-teguh
kepada selain Al-Quran dan As-Sunnah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka ada beberapa jawaban yang dapat dikemukakan,
antara lain :
1. Ijtihad Tidak Sesederhana Yang Kita Bayangkan
Kita yang awam ini biasa menyederhanakan masalah. Kalau sudah ada satu ayat Al-
Quran menyebutkan satu masalah, maka langsung kita tarik kesimpulan hukumnya begitu
saja tanpa lihat kanan kiri lagi. Mirip anak kecil balita yang dengan lugunya
menyeberang jalan, dia langsung nyelonong saja tanpa pertimbangan apa-apa. Tentu
saja sangat berbahaya, apalagi menyeberang jalan tol.
a. Ayat Perintah Shalat Idul Adha
Sebagai contoh sederhana saja, adakah yang tahu ayat mana di Al-Quran yang
memerintahkan kita melakukan shalat Idul Adha? Kalau perintah shalat secara umum
memang ada, bahkan ada banyak. Tapi shalat Idul Adha yang tiap tahun kita lakukan,
mana ayatnya?
Kalau kita tidak punya ilmunya, maka otomatis kita akan bilang bahw di dalam Al-
Quran tidak ada perintah untuk mengerjakan shalat Idul Adha. Padahal sebenarnya
ayatnya ada, tetapi kita tidak tahu. Ayatnya adalah ayat yang sebenarnya sudah
sering kita baca dan bahkan kita sudah hafal, yaitu :
‫ح ْر‬ َ ْ ‫ف ََص ّ ِل لِ َربّ َِك َوان‬
Dan shalat lah untuk tuhanmu dan lakukanlah nahr (QS. Al-Kautsar : 2)
Bagi yang tidak tahu ilmunya dan hanya mengandalkan terjemahan Al-Quran, mungkin
akan kebingungan, mana kalimat yang memerintahkan shalat Idul Adha di ayat ini?
Yang ada hanya perintah shalat secara umum begitu saja.
Disitulah letak perbedaan awal antara kita yang awam dengan para mujtahid. Mereka
itu tahu setiap latar belakang turunnya ayat, yang disebut dengan asbabunnuzul.
Selain itu juga ada siyaq, munasabah dan istilah-istilah lainnya. Ternyata ayat
itu turun terkait dengan dengan shalat Idul Adha dan penyembelihan hewan qurban.
Yang menarik lagi, ternyata meski shalat di ayat ini diperintahkan, karena
menggunakan fi’il amr, namun seluruh ulama sepakat bahwa hukum shalat Idul Adha
tidak sampai wajib. Hukumnya hanya sampai sunnah muakkadah saja. Kita tidak temukan
ulama yang mewajibkan shalat Idul Adha, padahal sighatnya datang dalam bentuk kata
perintah.
2. Perintah Untuk Berijtihad
Jangan dikira tindakan berijihad itu sekedar sebuah ulah orang-orang kurang kerjaan
yang niatnya mau menambah-nambahi agama. Justru berijtihad itu adalah sebuah ibadah
yang diperintahkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
Kedua sumber hukum Islam itu tidak melarang berijtihad, justru sebaliknya, keduanya
memerintahkan orang-orang yang memang punya keahlian untuk berijtihad.
Melakukan ijtihad adalah salah satu di antara sekian banyak perintah Allah dan
Rasul-Nya kepada umat Islam, bukan semata-mata inisiatif dan keinginan hawa nafsu.
Di dalam Al-Quran Allah SWT memerintahkan manusia untuk menggunakan nalar, logika
dan akalnya dalam memahami perintah-perintah Allah.
‫قوم يتفك ُّرون‬ ٍ ّ ‫آليات ِل‬ ٍ ‫ِإ ّن ِفي ذلِك‬
Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Az-Zumar :
42)
‫قوم يع ِقل ُون‬ٍ ّ ‫آليات ِل‬ ٍ ‫ِإ ّن ِفي ذلِك‬
Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berakal (QS. Ar-Ruum : 24)
2. Ijtihad Dilakukan Oleh Rasulullah SAW
Rasulullah SAW adalah seorang utusan Allah SWT Beliau SAW secara umum memang
menerima wahyu risalah dalam setiap kesempatan, sehingga menjadi rujukan dalam
agama.
Namun kalau kita teliti detail-detail sirah nabawiyah, seringkali kita temui bahwa
beliau terpaksa harus berijtihad, lantaran wahyu tidak turun tepat pada saat
dibutuhkan.
‫َأ‬ ‫َأ‬ َ ‫َاع ٌل َذلِ َك غ ًَدا ِإ لَّا َأن ي َ َشاء الل ّ َ ُه َواذك ُر ّ َربّ َ َك ِإ ذَا ن َ ِس‬
‫ب ِمن َهذَا َر َش ًدا‬ َ ِ‫ع َسى ن يَه ِدي َ ِن َربِّي ل‬
َ ‫قر‬ َ ‫يت َوقُل‬ ِ ‫َول َا تَقُول ّ ََن لِ َشي ٍء ِإ ِن ّي ف‬
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan
mengerjakan ini besok pagi, kecuali : "Insya Allah" . Dan ingatlah kepada Tuhanmu
jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk
kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (QS. Al-Kahfi : 23-24)
Sebab turun ayat ini karena Rasulullah SAW menjajikan untuk menjawab pertanyaan
orang-orang yahudi besok hari. Namun jawaban wahyu yang ditunggu-tunggu tidak
kunjung datang. Entah kemana Jibril yang biasanya rajin datang membawa wahyu. Ayat
ini menegaskan bahwa ada kalanya begitu dibutuhkan, wahyu menjadi tidak turun.
Rasulullah SAW berijtihad dalam kasus perbedaan pendapat tentang menghentikan
perang Badar atau meneruskannya hingga semua lawan mati, Rasulullah SAW menggelar
syura dengan para shahabat, lantaran wahyu tidak kunjung turun. Beliau SAW meminta
pandangan dari para shahabat, kemudian berijtihad untuk menghentikan perang dan
menjadikan musuh sebagai tawanan.
Namun setelah itu ijtihad beliau SAW diangulir oleh turunnya wahyu, yang melarang
beliau SAW menghentikan perang dan mengambil musuh sebagai tawanan.
ٌ‫عزي ٌز ح ِكيم‬ ِ ‫اآلخرة والل ُّه‬ ِ ‫يد‬
ُ ‫الدنيا والل ُّه يُ ِر‬ُّ ‫يدون عرض‬ ِ
ُ ‫األرض تُ ِر‬ ‫ثخن ِفي‬ ِ ُ ‫له أسرى حتّى ي‬ ُ ‫ما كان لِنب ٍ ِّي أن يك ُون‬
Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah
menghendaki akhirat. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal :
67)
3. Ijithad Dilakukan Oleh Para Shahabat
Ketika Rasulullah SAW masih hidup, banyak di antara para shahabat yang melakukan
ijtihad, baik atas perintah beliau SAW atau pun atas inisiatif sendiri yang
kemudian dibenarkan oleh beliau.
a. Muaz bin Jabal Diperintahkan Untuk Berijtihad
Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ketika Rasulullah SAW mengutusnya untuk menjadi
pemimpin di negeri Yaman, telah diperintahkan atau setidaknya direkomendasikan
untuk berijtihad.
ِ
‫الله‬ ‫ول‬
ِ ‫رس‬ ُ ‫ فب ُِسن ّ ِة‬: ‫الله ؟ قال‬ ِ ِ ‫في ك ِت‬
‫اب‬ ِ ‫ فِإن لم تجِ د‬: ‫قال‬. ‫الله‬ ِ ‫تاب‬ِ ‫أقضي ب ِك‬ ِ : ‫ع ِرض لك قضاء ؟ قال‬ ُ ‫تقضي ِإ ذا‬ ِ ‫ كيف‬
‫ول الله‬ ِ ‫رس‬ ُ ‫ة‬ ِ ‫ن‬
ّ ُ‫س‬ ‫في‬
ِ ‫د‬ ِ‫تج‬ ‫لم‬ ‫ن‬ ‫ِإ‬ ‫ف‬ : ‫قال‬  ِ
‫الله‬ ُ
‫ول‬ ‫رس‬
ُ ‫فضرب‬ . ‫آلو‬ ‫وال‬ ‫رأي‬
ِ ‫د‬
ُ ‫أجته‬
ِ : ‫قال‬ ‫؟‬ ‫الله‬ ‫اب‬
ِ ِ
‫ت‬ ‫ك‬ ‫في‬
ِ ‫وال‬  ‫صدره‬
ُ
ِ
‫الله‬ ‫ول‬ ُ ‫رس‬ ُ ‫الله لِما يرضي‬ ِ ‫ول‬ِ ‫رس‬ ُ ‫ول‬ ُ ‫رس‬ُ ‫الحمد لِل ّه ال ِّذي وفق‬
ُ : ‫وقال‬
Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya,"
Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau? Muaz
menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana
jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Saya akan putuskan dengan sunnah
Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan
dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan
berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka
Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah
menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah (HR Abu
Daud)
Apa yang menjadi tekad Muadz untuk berijtihad mendapatkan legitimasi langsung dari
Rasulullah SAW, terbukti bahwa beliau SAW menepuk dada Muadz sambil memujinya.
b. Amr bin Al-Ash Dibenarkan Dalam Berijtihad
Amr bin Al-Ash telah melakukan ijtihad dalam hal-hal yang membolehkan seseorang
bertayammum sebagai ganti dari wudhu', yaitu karena faktor cuaca yang amat dingin.
‫لى‬َ ‫ع‬َ ‫بح َفل ّ ََما َق ِدمنَا‬
ِ ‫الص‬
ُّ ‫ابي َصال َ َة‬ ِ ‫صح‬ َ ‫يت ِبَأ‬ ُ َّ ‫مت ث ُّمَ َصل‬ ُ ‫لت َأن َأهل َك َفتَيَ ّ َم‬ ُ ‫قت ِإ ِن اغتَ َس‬ ُ َ‫يد ِة البَرد َفَأشف‬ َ ‫في ل َيل َةٍ بَ ِار َد ٍة َش ِد‬ِ ‫َمت‬ ُ ‫اِحتَل‬
ِ
‫الله‬ ‫َأ‬
‫ َر ُسول‬s ‫الى ( َوال َ تَقتُل ُوا نفُ َسك ُم‬ ‫ع‬
َ َ ‫ت‬ ‫الله‬ ‫َول‬
َ ‫ق‬ ‫َرت‬
ُ ‫ك‬‫ذ‬َ : ‫لت‬
ُ ‫ق‬
ُ ‫ف‬
َ ‫ب؟‬ ُ ‫ن‬ ‫ج‬
ُ ‫نت‬
َ ‫َأ‬ ‫و‬
َ ‫ِك‬
َ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫صح‬
َ ‫يت ِبَأ‬َ َ ّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ‫و‬ ‫مر‬ ‫ع‬
َ ‫ا‬َ ‫ي‬ : ‫ال‬ َ ‫ق‬
َ ‫ف‬
َ ‫َه‬
ُ ‫ل‬ ‫َذك َُروا َذلِ َك‬
َ ُ
‫الله صل ّى الله عليه وسلم َول َم يَقُل َشيًئا‬ ِ ُ ‫يت ف ََض ِح َك َر ُس‬
‫ول‬ ُ َّ ‫مت ث ُّمَ َصل‬
ُ ‫يما) َفتَي َ ّ َم‬ً ‫َان ِبك ُم َر ِح‬ َ ‫الله ك‬ ُ ‫ِإ َّن‬
Dari Amru bin Al-’Ash radhiyallahuanhu bahwa ketika beliau diutus pada perang
Dzatus Salasil berkata"Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin. Aku yakin
sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami
teman-temanku. Ketika kami tiba kepada Rasulullah SAW mereka menanyakan hal itu
kepada beliau. Lalu beliau bertanya"Wahai Amr Apakah kamu mengimami shalat dalam
keadaan junub ?". Aku menjawab"Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh
dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu] maka aku tayammum dan
shalat". (Mendengar itu) Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apa-apa. (HR.
Ahmad Al-hakim Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny).
Sepeninggal Rasulullah SAW pun para shahabat masih tetap melakukan ijtihad, dimana
hasil ijtihad itu dibenarkan oleh seluruh shahabat yang lain dan terus berlangsung
hingga sekarang ini.
c. Ijtihad Untuk Menulis Al-Quran dalam Satu Mushaf
Selama masa kenabian 23 tahun lamanya, belum pernah sekalipun Rasulullah SAW
memerintahkan umatnya untuk menuliskan Al-Quran dalam satu mushaf. Namun
sepeninggal beliau, masih di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu,
umat Islam sepakat untuk menuliskan Al-Quran dalam satu bundel mushaf.
Awalnya dari ide Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu yang disampaikan kepada
khalifah, kemudian menjadi ijtihad jama'i hingga hari ini.
Maka mushaf Al-Quran yang kita kenal saat ini, tidak lain merupakan produk ijtihad
para shahabat di masa lalu, yang tidak didasari oleh perintah wahyu secara
langsung.
4. Perubahan Zaman
Sudah menjadi sunnatullah bahwa zaman selalu mengalami perubahan. Apa yang berlaku
di tengah masyarat untuk satu kurun waktu tertentu, bisa saja berubah pada kurun
waktu yang lain.
Oleh karena itu Islam membutuhkan orang-orang yang mampu berijtihad dengan benar,
agar perubahan zaman itu tidak lantas membuat nash-nash dari Al-Quran dan As-sunnah
menjadi usang dan tidak terpakai.
a. Khamar
Salah satu contoh bagaimana perubahan zaman bisa berpengaruh pada perubahan ijtihad
adalah tentang khamar. Khamar di masa Nabi SAW terbatas pada dua jenis tumbuhan
saja, yaitu kurma dan anggur. Dan itu juga ditegaskan di dalam Al-Quran Al-Karim.
‫نه َسك ًَرا َو ِرزقًا َح َسنًا‬ ُ ‫ُون ِم‬ ِ َ ‫يل َواَألعن‬
َ ‫اب تَتّ َِخذ‬ ِ ‫ات الن ّ َِخ‬ ِ ‫َو ِمن ث ََم َر‬
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang
baik. (QS. An-Nahl : 67)
Kalau kita harus terpaku pada teks dan realitas di masa Nabi SAW, maka khamar itu
hanya sebatas minuman yang terbuat dari kurma dan anggur saja. Sedangkan ribuan
jenis minuman keras lainnya tidak termasuk khamar.
Dengan adanya fiqih, kita akan mengetahui hakikat atau ruang lingkup dan batasan
khamar, sehingga kita tidak harus terperangkap dengan contoh nyata khamar di masa
Nabi SAW yang hanya sebatas kurma dan anggur.
Di masa sekarang ini, khamar bentuknya tidak hanya sebatas minuman, tetapi bisa
berupa makanan, obat (pil), suntikan, bahkan asap yang dihirup. Bahan bakunya pun
bisa apa saja, tidak harus terikat dengan kurma, anggur atau alkohol.
b. Zakat
Contoh lainnya adalah kasus orang kaya yang wajib membayar zakat sebagaimana
diwajibkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Tetapi dalam kenyataannya terjadi perubahan siapakah yang dimaksud dengan orang
kaya, antara zaman Rasulullah dengan orang kaya di masa sekarang ini. Di masa
Rasulullah SAW, orang kaya itu identik dengan pedagang, peternak dan petani. Karena
itulah kita menemukan syariat zakat yang berlaku buat mereka.
Tetapi di masa sekarang ini, Indonesia yang konon negara agraris dan kebanyakan
rakyatnya berprofesi sebagai petani, ternyata mereka bukan orang kaya. Para petani
di Indonesia rata-rata justru orang-orang miskin yang tidak punya. Biaya dan tenaga
yang mereka keluarkan untuk bertani seringkali lebih besar dari hasil pertanian itu
sendiri.
Maka harus ada garis batas yang lebih akurat dan tajam yang mampu membedakan antara
petani kaya dan petani miskin. Yang wajib zakat itu bukan asal petani, tetapi
petani kaya, dengan segala syarat dan ketentuan. Adapun orang miskin, meski pun
profesinya petani, tentu tidak wajib bayar zakat.
Sebaliknya, di masa Nabi SAW sudah ada pegawai yang bekerja kepada tuannya dan
menerima upah. Tapi rata-rata pegawai di masa itu upahnya sangat kecil, hanya bisa
sekedar untuk menyambung hidup saja. Maka di masa Nabi SAW kita tidak menemukan
perintah buat para pegawai untuk membayar zakat, karena di masa itu rata-rata
pegawai itu miskin.
Tetapi di masa sekarang ini, rata-rata pegawai itu orang kaya, khususnya pegawai
negeri sipil. Gaji mereka berlipat dan kebutuhan hidup mereka sudah terpenuhi,
bahkan gaji mereka ada banyak sisa. Maka kalau pegawai di masa sekarang diwajibkan
bersedekah, tentu sangat masuk akal.
5. Semakin Luasnya Negeri Islam
Ijtihad sangat dibutuhkan mengingat wilayah negeri Islam sepeninggal Rasulullah SAW
semakin meluas. Negeri yang penduduknya tidak mengerti bahasa Arab, tiba-tiba
mereka memeluk agama Islam. Syam, Persia, Mesir dan Yaman di masa itu bukan bagian
dari tanah Arab. Agama yang mereka anut di masa itu pun bukan agama Islam. Budaya
dan adat istiadat yang berlaku di berbagai negeri itu nyaris 180 derajat berbeda
dengan bangsa Arab. Makanan pokok mereka pun tidak sama dengan yang dimakan bangsa
Arab.
Sementara agama Islam yang 100% turun di tanah Arab langsung kepada orang-orang
dalam budaya Arab ini harus masuk ke berbagai negeri yang baru dan jauh dari pola
budaya dan kehidupan bangsa Arab.
Maka secara logika sudah bisa kita bayangkan betapa nash-nash Al-Quran dan As-
Sunnah harus berhadapan dengan realitas yang belum pernah ada sebelumnya di masa
Rasulullah SAW.
6. Keterbatasan Sumber Syariah
Meski Al-Quran adalah kitab yang lengkap dan tidak ada satupun masalah yang
terlewat, namun bukan berarti Al-Quran adalah sebuah ensikopedi umum yang memuat
materi apa saja.
Kenyataannya bila dibandingkan dengan Ensiklopedi Britanica, jumlah ayat Al-Quran
terlalu sedikit, karena hanya berkisar 6.000-an ayat saja. Encyclopedia Britannica
2010 memuat artikel dan gambar hingga sekitar 100.000 item, dan tebalnya mencapai
32 jilid.
Tetapi sekali lagi adalah keliru kalau kelengkapan materi Al-Quran itu kita
bayangkan seperti kelengkapan sebuah ensiklopedi. Kelengkapan Al-Quran itu
maksudnya adalah bahwa Al-Quran memasuki banyak ranah kehidupan, di luar dari yang
biasanya dikenal orang, pada kitab-kitab suci terdahulu.
Al-Quran bicara tentang banyak hal dalam kehidupan manusia, baik individu maupun
sosial. Tetapi Al-Quran bukan ensiklopedi yang membahas satu per satu tiap titik
masalah.
Kalau memang Al-Quran hanya bicara sekilas, lalu bagaimana cara manusia bisa
memahami detail-detail ketentuan dan kemauan Allah SWT?
Jawabnya adalah diutusnya Rasulullah SAW ke dunia sebagai penjelas dari Al-Quran,
sekaligus untuk menjadi contoh hidup dari Al-Quran. Persis seperti komentar istri
beliau SAW, Aisyah radhiyallahuanha, tatkala ditanya tentang akhlaq beliau SAW.
‫كان ُخلُقُ ُه القُرآن‬
Akhlaq beliau adalah Al-Quran.
Namun kalau dijumlah secara total, tetap saja jumlah hadits nabawi itu terbatas.
Apalagi kalau kita batasi pada yang sudah dishahihkan secara paten dan disepakati
oleh para ulama hadits.
Imam Al-Bukhari hanya menyelesaikan 7 ribuan hadits di dalam kitab Ash-Shahihnya,
dengan pengulangan-pengulangan hadits berkali-kali pada beberapa bab. Konon,
seandainya hadits-hadits itu tidak diulang-ulang, jumlahnya hanya sekitar 4 ribuan
saja.
Sedangkan hadits-hadits yang telah dishahihkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-
Shahih beliau juga terbatas pada sekitar 4 ribuan hadits, dengan ketentuan hadits-
hadits itu tidak terulang-ulang dan telah disepakati keshahihannya oleh para ulama.
Kalau kita teliti, rupanya hadits yang telah tercantum di dalam Shahih Bukhari
cukup banyak yang juga tercantum di dalam Shahih Muslim, sehingga kita tidak bisa
mengatakan bahwa jumlah hadits shahih di dunia ini menjadi 8 ribu butir.
Tetapi juga tidak benar kalau kita katakan bahwa hadits yang shahih itu hanya
terbatas pada kedua kitab Shahih itu saja. Tentu masih banyak lagi hadits-hadits
yang shahih, meski tidak tercantum pada kedua kitab itu.
Akan tetapi meski demikian, tetap saja jumlah hadits-hadits yang sudah dishahihkan
secara paten dan disepakati keshahihannya oleh para ulama memang terbatas. Kalau
pun kita katakan ada 100 ribu hadits misalnya, maka jumlah itu tentu sangat kurang
untuk bisa menjawab semua persoalan manusia sepanjang zaman, terhitung sejak masa
Nabi SAW hidup hingga datangnya hari kiamat nanti.
Sebab persoalan hidup manusia selalu bermunculan, dimana mereka hidup di berbagai
zaman dan peradaban yang juga berbeda-beda. Selalu muncul fenomena baru di tengah
umat manusia.
Padahal ayat Al-Quran sudah berhenti turun, dan hadits nabawi sudah tidak mungkin
lagi bertambah. Lalu apakah cukup ayat dan hadits warisan itu untuk menjawab semua
problematika hukum syariah yang ada?
Jawabnya tentu tidak cukup, kalau kita hanya berpikir sekilas.
7. Luasnya Bidang Kehidupan
Di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, barangkali belum sama sekali terbayang
bahwa agama Islam akan tersebar ke luar batas-batas negeri Arab, bahkan
menyeberangi benua dan lautan. Agama yang awalnya hanya dipeluk oleh beberapa
gelintir orang di Mekkah, dalam rentang kurang dari seratus tahun kemudian menjadi
agama nomor satu terbesar yang dipeluk berjuta umat manusia.
Ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu memegang tongkat khilafah, Islam
menyebar ke tiga imperium besar dunia, Romawi, Persia dan Mesir. Berbeda dengan
keadaan Mekkah Madinah yang terletak di tengah gurun pasir jazirah Arabia, keadaan
sosio kultural dan sosial politik di negeri-negeri itu jauh lebih berkembang, maju,
dinamis dan penuh inovasi. Bidang kehidupan umat manusia pun semakin hari semakin
luas dan dinamis.
Sehingga teks-teks baku yang terdapat pada dua sumber agama tidak akan bisa
menjawab secara langsung apa adanya semua masalah itu.
Sebenarnya tanda-tanda akan semakin dinamis dan jauhnya teks-teks Al-Quran dan As-
Sunnah dari realitas kehidupan masyarakat dunia sudah diisyaratkan oleh Rasulullah
SAW sendiri. Ketika beliau SAW menguji shahabatnya saat diutus ke Yaman dengan
pertanyaan,
‫ول الله‬ ُ ‫في ُسن ّ ِة‬
ِ ‫رس‬ ِ ‫في ك ِت‬
ِ ‫ فِإن لم تجِ د‬ ‫اب الله ؟‬ ِ ‫وال‬
”Dengan apa kamu putuskan perkara di antara mereka bila tidak ada di dalam Al-Quran
dan As-Sunnah?”.
Pertanyaan ini bukan sekedar menguji main-main, melainkan sebuah pertanyaan yang
mengandung pernyataan sekaligus. Intinya, Rasulullah SAW menegaskan bahwa akan ada
banyak perkara yang secara eksplisit tidak terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah
di dalam kehidupan ini.
Dan saat itulah dibutuhkan tindakan ijtihad, yang pada intinya tetap berpegang
teguh kepada kedua sumber agama, Al-Quran dan As-Sunnah, namun dicarikan kesamaan
‘illat yang tepat dan mendekati kebenaran antara dalil-dalil syar’i dengan realitas
yang ada.
Karena itulah tindakan menolak ijtihad sesungguhnya adalah tindakan mustahil, sebab
teks-teks syariah itu akan terbata-bata ditinggal oleh perkembangan zaman. Ijtihad
para ulama itulah yang membuat Al-Quran dan As-Sunnah menjadi serasa baru dan
segar.
8. Kritik Hadits
Pada dasarnya, meneliti keshahihan suatu hadits tidak lain dan tidak bukan adalah
bagian dari ijtihad. Di masa lalu, para mujtahid sudah bisa dipastikan adalah juga
seorang ahli hadits yang keahliannya termasuk meneliti dan mengkritik hadits.
Dengan kata lain, studi kritik hadits (naqd hadits) adalah bagian dari ijtihad yang
mutlak harus dilakukan oleh semua mujtahid dan ahli fiqih.
Seorang Abu Hanifah rahimahullah bukan saja ahli fiqih melainkan beliau juga
seorang ahli di bidang kritik hadits. Beliau amat terkenal sangat ketat dalam
menyeleksi hadits, sehingga bila beliau tidak berada pada posisi amat sangat yakin
akan keshahihan hadits, tidak akan pernah dijadikan sebagai dasar dalam ijtihad.
Demikian juga Al-Imam Malik rahimahullah, meski beliau pendiri mazhab Maliki yang
terkenal itu, namun pada hakikatnya beliau adalah seorang ahli hadits yang amat
paten dan kampiun. Beliau sendiri punya kitab Al-Muwaththa’, yang di zamannya
adalah kitab hadits paling populer dan paling tinggi kedudukannya.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga seorang ahli hadits, dimana beliau punya
kitab karya di bidang ilmu hadits dan kritik hadits. Pengembaraan beliau ke hampir
seluruh jagad dunia Islam membuktikan bahwa beliau selain ahli fiqih, juga seorang
ahli hadits. Bahkan di usia 15 tahun beliau sudah menghafal luar kepala kitab Al-
Muwaththa’ karya guru beliau, Al-Imam Malik.
Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim adalah dua orang ahli hadits di masa berikutnya,
dimana kedua bermazhab Asy-Syafi’iyah.
Sedangkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahkan lebih dikenal sebagai ahli
hadits ketimbang ahli fiqih dalam beberap persolaan. Musnad Ahmad adalah salah satu
nama yang akrab dikenal sebagai karya beliau sebagai ahli hadits.
C. Masyru'iyah
Melakukan ijtihad adalah perbuatan yang disyariatkan di dalam agama Islam, lewat
Al-Quran, sunnah dan ijma' para ulama. Bahkan merupakan sebuah keniscayaan yang
tidak bisa dielakkan.
1. Al-Quran
Perintah untuk melakukan ijtihad di dalam Al-Quran ditegaskan di dalam ayat berikut
:
‫يما‬ ِ
ً ‫خص‬ ‫اس بِما أراك الل ُّه وال تك ُن ِل ّلخآِئ ِنين‬ ِ ّ ‫ِالحق ِلتحك ُم بين الن‬
ّ ِ ‫ِإ نّا أنزلنا ِإ ليك ال ِكتاب ب‬
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat. (QS. An-Nisa' : 105)
Ijtihad itu pada dasarnya menggunakan akal dan nalar dalam memahami Quran dan
Sunnah. Di dalam Al-Quran sesungguhnya banyak sekali perintah atau anjuran Allah
SWT untuk berpikir dan menggunakan akal atau nalar, misalnya :
‫قوم يتفك ُّرون‬ ٍ ّ ‫آليات ِل‬ ٍ ‫ِإ ّن ِفي ذلِك‬
Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Az-Zumar :
42)
‫قوم يع ِقل ُون‬ ٍ ّ ‫آليات ِل‬ ٍ ‫ِإ ّن ِفي ذلِك‬
Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berakal (QS. Ar-Ruum : 24)
2. Sunnah
Di dalam hadits Nabi SAW secara tegas disebutkan kata ijtihad yang dilakukan oleh
seorang hakim dalam memutuskan perkara, dimana seorang mujtahid tidak bisa
dipersalahkan.
‫أجر‬
ٌ ‫فله‬
ُ ‫أجران وِإ ذا حكم فاجتهد ث ُّم أخطأ‬ ِ ‫فله‬
ُ ‫ِإ ذا حكم الحا ِك ُم فاجتهد فأصاب‬
Bila seorang hakim memutuskan suatu berkara, lalu dia berijtihad dan benar
ijtihadnya, dia mendapat dua pahala. Dan bila dia salah, mendapat satu pahala. (HR.
Abu Daud)
Dan yang paling masyhur dari semua hadits tentang dasar masyru'iyah berijtihad
adalah hadits Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu, ketika Rasulullah SAW mengutusnya
untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman. Sebuah negeri yang saat itu belum menjadi
negeri Arab dan penduduknya memeluk agama nasrani.
ِ
‫الله‬ ‫ول‬ِ ‫رس‬ ُ ‫ فب ُِسن ّ ِة‬: ‫الله ؟ قال‬ ِ ِ ‫في ك ِت‬
‫اب‬ ِ ‫ فِإن لم تجِ د‬: ‫قال‬. ‫الله‬ ِ ِ ‫أقضي ب ِك‬
‫تاب‬ ِ : ‫ع ِرض لك قضاء ؟ قال‬ ُ ‫تقضي ِإ ذا‬
ِ ‫ كيف‬
‫ول الله‬ ِ ‫رس‬ ُ ‫ة‬ ِ ّ ‫ن‬ ‫س‬ ُ ‫في‬
ِ ‫د‬ ِ‫تج‬ ‫لم‬ ‫ن‬ ‫ِإ‬ ‫ف‬ : ‫قال‬  ِ
‫الله‬ ُ
‫ول‬ ‫رس‬
ُ ‫فضرب‬ . ‫آلو‬ ‫وال‬ ‫رأي‬
ِ ‫د‬
ُ ‫أجته‬
ِ : ‫قال‬ ‫؟‬ ‫الله‬ ‫اب‬
ِ ِ
‫ت‬ ‫ك‬ ‫في‬
ِ ‫وال‬  ‫صدره‬
ُ
‫الله‬ِ ‫ول‬ ُ ‫رس‬ ُ ‫الله لِما يرضي‬ ِ ‫ول‬
ِ ‫رس‬ ُ ‫ول‬ ُ ‫رس‬ُ ‫الحمد لِل ّه ال ِّذي وفق‬
ُ : ‫وقال‬
Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya,"
Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau? Muaz
menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana
jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Saya akan putuskan dengan sunnah
Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan
dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan
berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka
Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah
menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah (HR Abu
Daud)
Bahkan selain para shahabat, Rasulullah SAW sendiri seringkali melakukan ijtihad,
yaitu ketika tidak turun ayat Al-Quran yang menjadi penjelasan dari Allah SWT lewat
Jibril alahissalam. Di antaranya adalah tentang keputusan perlakuan terhadap
pasukan musuh yang sudah lemah di penghujung perang Badar. Para shahabat bertanya
apakah perang diakhiri saja dan musuh-musuh itu dibiarkan hidup namun ditawan,
ataukah perang diteruskan dan semua musuh itu dibunuh sampai mati.
Karena tidak ada ketetapan dari Allah SWT, maka beliau SAW berijtihad, dan juga
menggelar musyarawah dengan para shahabat. Setelah keputusan diambil dan ijtihad
telah ditetapkan oleh beliau SAW, barulah kemudian turun ayat Al-Quran yang
mengangulir hasil ijtihad Nabi dan musyawarah para shahabat.
3. Ijma'
Seluruh ulama sepakat bahwa ijtihad adalah sebuah pekerjaan yang disyariatkan dalam
agama, bahkan diwajibkan buat mereka yang telah memenuhi syarat ijtihad untuk
melakukannya.
Sebab tanpa ijtihad maka agama menjadi tidak bisa dijalankan, sementara Al-Quran
dan sunnah punya keterbatasan. Sebaliknya, masalah selalu bermunculan di tengah
umat seiring dengan perluasan negeri Islam dan semakin majemuknya pemeluk agama
Islam.
Maka ijtihad adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan, namun ijtihad akan
menjadi bumerang bila dilakukan oleh mereka yang tidak punya kapasitas dan ilmu
tentangnya.
D. Hukum Ijtihad
Para ulama membagi hukum ijtihad menjadi beberapa macam, ada yang wajib, sunnah,
makruh dan haram. Tiga hukum yang pertama terjadi pada seorang yang memang telah
memiliki kelengkapan untuk berijtihad dengan memenuhi semua persyaratannya. Dengan
yang terakhir adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang yang tidak punya kapasitas
untuk melakukannya.
1. Ijtihad Wajib
Adakalah ijihad itu hukumnya wajib, misalnya pada saat dibutuhkan fatwa hukum
tentang suatu masalah. Namun wajibnya ijithad ini harus memenuhi beberapa faktor
utama, antara lain :
a. Mujahid
Yang diwajibkan untuk berijtihad terbatas pada mereka yang memang punya kemampuan
untuk melakukannya.
b. Dipenuhi Semua Prosedur
Ijtihad hanya boleh dilakuakn apabila semua syarat, ilmu, prosedur serta standar
dalam berijtihad sudah terpenuhi.
c. Pada Masalah Yang Tidak Ada Dalil Qath'i
Masalah yang diijtihadkan terbatas hanya pada masalah yang memang tidak ada nash
syar'i yang qath'i secara dilalah. Sedangkan masalah yang sudah jelas hukumnya di
dalam nash, dimana para ulama sudah sepakat atas hukumnya, maka tidak perlu lagi
diijtihadkan.
2. Ijtihad Haram
Ijtihad yang haram adalah ijtihad yang dilakukan bukan oleh orang yang telah
memiliki semua ketentuan dan persyaratan dalam berijtihad.
Ibarat seorang dokter gadungan yang menyamar menjadi dokter, dengan nekat melakukan
berbagai operasi pembedahan pada tubuh pasien yang lugu. Maka yang dilakukannya
adalah tindakan makar dan jahat yang diharamkan dalam syariah.
Seorang yang tidak punya ilmu tentang ijtihad, haram baginya melakukan ijtihad
sendiri, baik untuk kebutuhan sendiri apalagi untuk orang lain. Yang harus
dilakukannya adalah belajar terlebih dahulu seluruh ilmu-ilmu tentang ijtihad,
sebelum memberi fatwa. Dan dalam keadaan tidak punya syarat atau kapasitas dalam
berijtihad, yang boleh dia lakukan adalah mengikuti hasil ijtihad para ulama yang
ahli di bidangnya.
Termasuk ijtihad yang haram dilakukan adalah melakukan tasykik, yaitu memasukkan
keraguan ke dalam hati orang lain atas hal-hal yang terkait prinsip akidah yang
mendasar. Misalnya pemikiran para zindiq yang mengaku berijtihad tentang
kemungkinan kebenaran agama selain Islam.
Sesungguhnya yang mereka lakukan bukan ijtihad melainkan tadhlil atau penyesatan
dan tahrif atau penyelewengan aqidah Islam.
E. Syarat Mujtahid
Setidaknya ada lima syarat mendasar yang ditetapkan oleh para ulama terkait dengan
syarat untuk menjadi mujtahid, yaitu beragama Islam, punya pemahaman yang benar,
punya ilmu tentang sumber-sumber hukum Islam, punya ilmu bahasa Arab dan punya ilmu
ushul fiqih.
1. Beragama Islam
Seorang mujtahid disyaratkan harus beragama Islam, karena percuma ijtihad fiqih
dilakukan seseorang, sementara hatinya tidak meyakini kebenaran agama Islam yang
dibawa oleh Rasulullah SAW.
Maka tidak sah ijtihad yang dilakukan oleh mereka yang masih ingkar dengan salah
satu dari dasar agama, baik yang terkait dengan rukun Islam yang lima dan rukun
iman yang enam.
Begitu juga ijtihad yang dilakuan oleh orang yang tdiak percaya kepada wujud Allah
SWT dan risalah rasul-Nya, adalah ijtihad yang batil dan tidak dibenarkan untuk
dipakai.
2. Shahihul Fahmi
Syarat kedua bagi seorang mujtahid adalah bahwa orang tersebut harus punya kriteria
shahihul fahmi (‫)صحيح الفهم‬, yaitu cara pemahaman yang benar atas ilmu syariat Islam.
Kalau tidak, maka dia bukan mujtahid tetapi malah akan jadi perusak agama, lewat
pemahaman yang keliru atau menyesatkan.
3. Punya Ilmu Tentang Sumber-sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu yang sudah disepakati ulama
(muttafaq) dan yang masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama (mukhtalaf).
Setidak-tidaknya seorang mujtahid itu menguasai sumber-sumber hukum yang sudah
muttafaq, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas.
a. Al-Quran
Yang dimaksud menguasai ilmu Al-Quran bukan harus hafal ayat-ayatnya di luar
kepala, tetapi yang dimaksud adalah mengerti dan menguasai secara mendalam semua
ayat Al-Quran yang mengandung hukum syariah.
Penguasaan pada ayat-ayat hukum itu meliputi tentang latar belakang turunnya,
kandungan hukumnya, juga terkait dengan ruang lingkup keberlakuan hukumnya, apakah
bersifat umum atau khusus, dan juga terkait dengan konteks dengan realitas yang
ada, serta mampu melakukan istimbath hukum dari ayat tersebut.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, berarti seorang mujtahid haruslah seorang ahli
tafsir yang mendalam, khususnya tentang ayat-ayat hukum.
b. As-Sunnah
Yang dimaksud dengan menguasai ilmu tentang sunnah atau hadits bukan berarti
menghafal ribuan hadits atau membaca kitab-kitab hadits semacam Shahih Bukhari atau
Shahih Muslim.
Tetapi yang dimaksud adalah mengenal semua hadits yang terkait dengan hukum, atau
lebih populer dengan istilah hadits ahkam.
Tentunya sebagaimana dengan Al-Quran, penguasaan ilmu tentang hadits-hadits hukum
ini harus meliputi tentang latar belakang keluarnya hadits (asbabul wurud),
kandungan hukumnya, juga terkait dengan ruang lingkup keberlakuan hukumnya, apakah
bersifat umum atau khusus, dan juga terkait dengan konteks dengan realitas yang
ada, serta mampu melakukan istimbath hukum dari hadits-hadits itu tersebut.
Masih ada tambahan lagi, bahwa seorang mujtahid itu harus tahu dengan pasti mana
hadits yang bisa diterima dan mana yang tertolak dari segi keshahihan
periwayatannya. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, seorang mujtahid itu
haruslah berkapasitas seorang ahli hadits (muhaddits) juga. Keshahihan hadits yang
difatwakannya tidak bergantung dari hasil ijtihad orang lain, tetapi semata-mata
hasil ijtihadnya sendiri, mengingat seorang mujtahid memang disyaratkan harus
seorang ahli hadits.
Mari kita buat gambaran sederhana, Al-Imam As-Syafi’i rahimahullah sebagai seorang
mujtahid ketika berfatwa tentu harus menggunakan hadits, dan haditsnya harus hadits
yang shahih.
Untuk itu maka beliau harus melakukan penelitian atas keshahihan hadits tersebut.
Yang menarik, beliau sendiri adalah ahli hadits papan atas, dimana tidak ada orang
yang lebih tinggi lagi ilmunya dalam masalah hadits dibandikan dengan beliau. Maka
sudah barang tentu sebagai ahli hadits paling senior, beliau tidak perlu bersandar
kepada ahli hadits yang di bawahnya, bukan karena sombong atau tinggi hati, tetapi
karena orang yang paling ahli dalam bidang hadits dimana beliau tinggal di zamannya
memang hanya beliau saja.
Kalau pun di masa itu ada ahli hadits yang lain, maka derajatnya justru jauh lebih
rendah, dan boleh jadi malah hanya sekedar muridnya. Tentu seorang mujtahid tidak
boleh menggunakan hasil penelitian hadits yang kualitasnya lebih rendah.
Kesimpulan sederhananya, kedudukan seorang mujtahid itu berada di atas kedudukan
ahli hadits. Ada begitu banyak ahli hadits yang bukan mujtahid atau belum mencapai
derajat mujtahid, tetapi seorang mujtahid sudah pasti merupakan seorang ahli hadits
yang handal.
c. Al-Ijma’
Seorang mujtahid juga harus tahu banyak tentang perkara-perkara yang sudah menjadi
ijma’ di kalangan para ulama. Sehingga dia tidak akan mengeluarkan fatwa yang
ternyata bertolak belakang dengan apa yang sudah menjadi ijma’ di antara para
ulama.
Misalnya, shalat lima waktu itu hukumnya wajib menurut ijma’ ulama. Maka seharusnya
tidak ada kasus dimana seseorang mengaku sebagai mujtahid, tetapi fatwanya
mengatakan bahwa shalat lima waktu tidak wajib.
Syarat ini kelihatan sederhana, tetapi menjadi sangat penting bahwa seorang
mujtahid itu mengerti hal-hal apa saja yang masih boleh untuk diijtihadkan ulang,
dan hal-hal apa saya yang hukumnya sudah qath’i berdasarkan ijma’ ulama.
Maka orang yang mengaku-ngaku sebagai mujtahid, tetapi fatwanya nyeleneh dan
berbeda dengan ijma’ ulama, dengan mudah bisa dipastikan bahwa dia bukan mujthid,
atau setidaknya mujtahid palsu alias mujtahid gadungan.
d. Al-Qiyas
Syarat ini juga mutlak harus ada pada diri seorang mujtahid, yaitu mengerti ilmu
tentang qiyas antara suatu dalil di dalam nash dan kemampuannya melihat kesamaan
’illat pada sebuah kasus yang tidak ada dalilnya, lalu ditarik kesimpulan hukumnya.
Seorang yang mengaku mujtahid, kalau tidak mengerti ilmu tentang qiyas, atau tidak
bisa mengambil hukum dengan qiyas, atau malah menentang adanya qiyas sebagai sumber
hukum, jelas sekali bahwa dia bukan mujtahid. Karena qiyas adalah salah satu sumber
hukum Islam yang sangat vital kedudukannya, dimana bangunan besar agama Islam ini
dipastikan akan runtuh, manakala qiyas diingkari atau ditolak.
4. Punya Pemahaman Bahasa Arab Yang Mendalam
Mengapa harus punya kemampuan bahasa Arab yang mendalam?
Karena semua sumber agama Islam, khususnya Al-Quran dan As-Sunnah, tertuang dalam
bahasa Arab. Mustahil ada orang mengaku mujtahid, tetapi dia tidak paham bahasa
Arab.
Dan sekedar catatan kecil saja, tidak mentang-mentang seseorang pernah belajar
bahasa Arab atau pernah tinggal di Arab, lantas paham uslub dan kekuatan balaghah
yang tertuang dalam beribu ayat Al-Quran dan berjuta hadits nabawi.
Sebab uslub dan balaghah ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabawi itu tidak sesederhana
bahasa Arab sehari-hari yang kita kenal hari ini. Maka hanya mereka yang mendalami
secara sungguh-sungguh ilmu nahwu, sharf, adab, bayan, badi’, ma’ani saja yang bisa
paham nash-nash syariah.
Walhasil, seorang mujtahid itu harus sangat-sangat ahli dalam bahasa Arab, berikut
dengan keahlian khusus dalam memahami kedalaman dan kekuatan sastranya.
5. Punya Keahlian Dalam Ilmu Ushul Fiqih
Kalau kita ibaratkan fiqih hasil ijtihad atau fatwa itu adalah buah yang dipanen
dari sebuah pohon, maka ilmu ushul fiqih itu tidak lain adalah pohonnya.
Tidak mungkin buah itu turun dari langit atau muncul dengan sendirinya. Buah itu
ada karena dia tumbuh dari pohon. Tanpa pohon tidak mungkin ada buah.
Begitu juga dengan seorang mujtahid, dia harus lah orang dengan peran dan kapasitas
sebagai pohon, yang menguasai ilmu ushul fiqih. Bila seorang mengaku mujtahid
tetapi tidak tidak paham ilmu ushul fiqih, maka jelas sekali dia berdusta. Atau
setidak-tidaknya dia merupakan seorang pengigau yang bicara melantur ke barat dan
ke timur, tanpa punya rumus baku dalam menarik kesimpulan hukum.
Fenomena yang kita lihat dimana ada orang-orang bodoh yang mengaku-ngaku sebagai
mujtahid, tetapi berfatwa sesat dan menyesatkan, biasanya titik masalahnya karena
mereka tidak punya bekal dasar ilmu ushul fiqih.
Logikanya sederhana saja, bagaimana seseorang bisa mengerti ilmu tersebut kalau
tidak pernah belajar? Maka orang yang hanya baca kitab Shahih Bukhari atau Shahih
Muslim saja, tetapi tidak mengerti apa itu ilmu ushul fiqh, tentu tidak bisa kita
sebut sebagai mujtahid. Paling tinggi kita katakan dia hanya seorang muqallid atau
tukang taqlid atas pendapat orang lain. Atau malah bisa juga seorang pelacur agama,
yang berfatwa berdasarkan pesanan dan uang.
F. Peringkat Mujtahid
Seseorang layaknya mengetahui tingkatan-tingkatan ahli fiqih ketika mengambil salah
satu fatwa atau pendapat dalam masalah fiqih, agar bisa membedakan antara pendapat-
pendapat yang bertentangan. Kemudian mentarjih atau menguatkan salah satu dari
pendapat-pendapat itu. Adapun tingkatan ahli fiqih ada enam tingkatan yaitu :
1. Mujtahid Mutlak Mustaqil
Mujthaid mutlak sering juga disebut mujtahid mustaqil (‫)مطلق مستقل‬. Hal itu karena
mereka tidak bertaqlid kepada mahzab lainnya manapun, karena kedudukan mereka yang
justru berada pada puncaknya. Sebaliknya, justru semua mujtahid baik yang sezaman
atau yang sesudahnya, malah menyandarkan banyak hal kepada hasil kaidah dan ijtihad
para mujtahid mutlak.
Mereka adalah para ahli ijtihad yang sudah sampai ke level ekspert dan mampu
membuat kaidah sendiri dalam membuat kesimpulan-kesimpulan hukum fiqih. Dan ketika
berfatwa terhadap suatu masalah, mereka menggunakan kaidah-kaidah yang telah mereka
temukan sendiri hasil dari pemahamannya yang mendalam terhadap Al-Quran dan As-
Sunnah.
Namun level mujtahid seperti ini amat jarang kita temukan. Sepanjang sejarah,
jumlah mereka kurang lebih hanya sekitar 10-an orang saja. Dan sayangnya, tidak
semua mazhab mereka kekal di atas bumi ini. Kebanyakannya mati dan hilang begitu
saja ditelan sejarah.
Yang tersisa hingga hari ini dengan eksis hanya empat saja, yaitu para imam Mazhab
yang empat :
 Al-Imam Abu Hanifah
 Al-Imam Malik
 Al-Imam Asy-Syafi’i
 Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Ibnu Abdin menamakan tingkatan ini dengan, tingkatan Mujtahid dari segi Syari’at.
2. Mujtahid Muthlaq Ghairu Mustaqil
Mujtahid Adalah seseorang yang memenuhi criteria sebagai seorang mujahid mustaqil,
akan tetapi ia tidak membuat kaidah-kaidah sendiri dalam menyimpulkan masalah-
masalah fiqihnya, ia memakai kaidah-kaidah yang dipakai oleh para imam Mazhab dalam
berijtihadnya.
Inilah yang disebut muthlaq muntashib tidak mustaqil, seperti para murid imam
Mazhab
a. Mazhab Al-Hanafiyah
diantaranya, Abi Yusuf, Muhammad, Zufar dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah.
b. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Al-Qasim, Asyhab, dan Asad Ibnu Furat dari kalangan Madzab Al-Malikiyah.
c. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Al-Buwaiti, Al Muzani dari kalangan mazhab Asy-Syafi’iyah.
d. Mazhab Al-Hanabilah
Abu Bakar Al-Atsram, Abu Bakar Al-Marwadzi dari kalangan Mazhab Al-Hanabilah.
Inilah yang Ibnu Abdin namakan, tingkatan Mujtahid dalam Mazhab. Mereka mampu
mengeluarkan atau membuat kesimpulan hukum dalam maslah fiqih berdasarkan dalil
yang merujuk kepada kaidah yang digunakan oleh guru-guru mereka, walau kadang suka
berbeda dalam bebarapa hal dengan gurunya, akan tetapi ia mengikuti gurunya dalam
kaidah-kaidah pokoknya saja.
Dua tingkatan mujtahid di atas sudah tidak ada pada zaman sekarang.
3. Mujtahid Muqayyad
Adalah seseorang yang berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya
(keterangannya) dalam kitab-kitab mazhab
a. Mazhab Al-Hanafiyah
Di antaranya seperti, Al-Hashafi, Al-Thahawi, Al- Kurhi, Al-Halwani, As-Syarakhsi,
Al-Bazdawi dan Qadli Khan dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah.
b. Mazhab Al-Malikiyah
Dari kalangan Madzab Al-Malikiyah. Misalnya Al-Abhari, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani.
c. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Dari kalangan mazhab ini antara lain misalnya Abi Ishaq Al-Syiraji, Al-Marwadzi,
Muhammad bin Jarir, Abi Nashr, Ibnu Khuzaimah dari kalangan Mazhab Al- Syafi’iyah.
d. Mazhab Al-Hanabilah
Dari kalangan mazhab ini antara lain seperti Al-Qadli Abu Ya’la, Al-Qadli Abi Ali
bin abi Musa.
Mereka semua disebut para imam Al-Wujuh, karena mereka dapat meyimpulkan suatu
hukum yang tidak ada nashnya dalam kitab mazhab mereka, dinamakan Wajhan dalam
mazhab (satu segi dalam mazhab) atau satu pendapat dalam mazhab, mereka berpegang
kepada mazhab bukan kepada Imamnya (gurunya), hal ini tersebar dalam dua mazhab
yaitu, Al-Syafi’iyah dan Al-Hanabalah.
4. Mujtahid Tarjih
Adalah mereka yang mampu mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat dari satu imam
mazhab dari pendapat-pendapat mazhab imam lain, atau dapat mentarjih pendapat salah
satu imam Mazhab dari pendapat para muridnya atau pendapat imam lainnya. Berari Ia
hanya mengambil satu riwayat dari beberapa riwayat saja, seperti,
a. Mazhab Al-Hanafiyah
Yang termasuk mujtahid tarjih dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah antara lain Al--
Qaduri dan Al-Murghainani, penulis kitab Al-Hidayah.
b. Mazhab Al-Malikiyah
Yang termasuk mujtahid tarjih dari kalangan mazhab Al-Malikiyah di antranya adalah
Al-Imam Al-Khalil.
c. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Yang termasuk mujtahid tarjih dari kalangan mazhab As-Syafi’iyah antara lain
misalnya Al-Imam Ar-Rafi’i dan Al-Imam An-Nawawi.
d. Mazhab Al-Hanabilah
Yang termasuk mujtahid tarjih dari kalangan mazhab Al-Hanabilah antrara lain
misalnya Al-Qadli Alauddin Al-Mardawi dan juga Abu Al-Khattab Mahfudz bin Ahmad Al-
Kalwadzani Al-Bagdadi.
5. Mujtahid Fatwa
Mujtahid fatwa adalah seseorang yang senantiasa mengikuti salah satu mazhab,
mengambil dan memahami masalah-masalah yang sulit ataupun yang mudah, dapat
membedakan mana pendapat yang kuat dari yang lemah, mana pendapat yang rajih dari
yang marjuh, akan tetapi mereka lemah dalam menetapkan dalil dan mengedit dalil-
dalil qiyasnya.
Di antara mereka misalnya para imam pengarang matan-matan yang terkamuka dari
kalangan imam mutaakhir (belakangan), seperti pengarang Al-Kanzu (Kanzul Ummal),
pengarang Al-Durur Al-Mukhtar, pengarang Majma’ Al-Anhar dari kalangan Al-
Hanafiyah, serta tidak lupa seperti Ar-Ramli dan Ibnu Hajar dari kalangan Al-
Syafi’iyah.
6. Muqallid
Adalah mereka yang tidak mampu melakukan hal-hal di atas, seperti membedakan mana
yang kuat mana yang lemah, ia hanya bisa mengikuti pendapat-pendapat ulama yang
ada.
Jumhur ulama tidak membedakan anatara mujtahid muqayyad dan mujtahid takhrij,
tetapi Ibnu Abdin menjadikan mujtahid takhrij sebagai tingkatan yang keempat
setelah mujtahid muqoyyad, ia memberikan contoh Al-Razi Al-Jashash (wafat th. 370)
dan yang semisalnya.
7. Tabel
Untuk mudahnya dalam menghafal para mujtahid dari tiap mazhab dan peringkat-
peringkatnya, silahkan lihat tabel di bawah ini :
a. Mujtahid Mutlak
Hanafi : Al-Imam Abu Hanifah
Maliki : Al-Imam Malik
Syafi’i : Al-Imam Asy-Syaf’i
Hambali : Al-Imam Ahmad bin Hanbal

b. Mujtahid Mutlak Ghairu Mustaqil


Hanafi : Abi Yusuf - Muhammad - Zufar
Maliki : Ibnu Al-Qasim - Asyhab - Asad Ibnu Furat
Syafi’i : Al-Buwaiti - Al-Muzanni
Hambali : Abu Bakar Al-Atsram - Abu Bakar Al-Marwadzi

c. Mujtahid Muqayyad
Hanafi Maliki Syafi’i Hambali
Al-Hashafi
Al-Thahawi
Al- Karhi
Al-Halwani
As-Syarakhsi
Al-Bazdawi Qadli Khan Abhari
Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani As-Syiraji
Al-Marwadzi
Muhammad bin Jarir
Abi Nashr
Ibnu Khuzaimah Al-Qadli Abu Ya’la
Al-Qadli Abi Ali bin Abi Musa.

d. Mujtahid Tarjih
Hanafi Maliki Syafi’i Hambali
Al-Qaduri
Al-Murghainani Imam Al-Khalil Al-Rafi’i,
An-Nawawi Al-Qadli Alauddin Al-Mardawi
Al-Kalwadzani
Al-Bagdadi

e. Mujtahid Fatwa
Hanafi Maliki Syafi’i Hambali
Penulis Kanzul Ummal
Penulis Al-Durur Mukhtar
Penulis Majma’ Al-Anhar Ar-Ramli
Ibnu Hajar

Bab 2 : Taqlid

A. Gerakan Tajdid
Gerakan tajdid atau paham pembaharuan muncul seiring dengan perkembangan zaman yang
semakin jauh meninggalkan masa keemasan umat Islam, yaitu saat-saat terjadi
kemunduran umat dewasa ini sera maraknya kejumudan dalam memahami agama.
Arah pemikiran paham tajdid ini kemudian memberikan semangat dan terobosan baru di
abad keduapuluh, yang secara langsung atau tidak langsung, berkaitan dengan anjuran
untuk meninggalkan sikap taqlid, berganti dengan semangat anjuran untuk melakukan
ijtihad di satu sisi dan ajakan meninggalan sikap bertaqlid.
1. Anjuran Berijtihad
Anjuran untuk berijtihad yang dimaksud adalah ijtihad ulang atas nash dan dalil
agama, untuk disesuaikan dengan konteks kekinian dan realitas yang ada.
Tujuannya tentu mulia, setidaknya agar Al-Quran dan As-Sunnah tidak menjadi kitab
kaku dan beku yang ditinggalkan orang, karena ketinggalan zaman.
Ada begitu banyak fenomena perubahan zaman dari masa lalu pada masa keemasan fiqih,
dengan abad keduapuluh dan berikutnya di masa sekarang. Semua itu membutuhkan
kalibrasi dalam bentuk ijtihad ulang atas kesimpulan dalam istimbath hukum.
2. Meninggalkan Sikap Taqlid
Sedangkan ajakan untuk meninggalkan sikap taqlid yang dimaksud adalah sikap hanya
menerima hasil akhir dari ijtihad yang sudah usang atau out of date, sehingga tidak
masuk akal kalau tetap masih digunakan di masa sekarang ini.
Di banyak negeri Islam, semangat tajdid dan meninggalkan taqlid ini mendapatkan
sambutan yang luas, khususnya di tengah generasi muda yang lebih terbuka wawasannya
serta lebih bebas cara berpikirnya.
Bahkan ada juga isyarat dari Rasulullah SAW tentang pembaharuan agama, yang akan
terjadi tiap seratus tahun, sebagaimana hadits berikut ini :
‫ج ِ ّد ُد ل ََها ِدين َ َها‬ َ ُ‫أس ك ُِّل ِماَئ ِة َسنَةٍ َمن ي‬ ِ ‫لى َر‬ َ ‫ث لِ َه ِذ ِه اُأل َّم ِة‬
ِ ‫ع‬ ُ ‫بع‬
َ َ‫الله ي‬
َ ‫ِإ َّن‬.
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya
Allah mengutus untuk umat ini pada tiap seratus tahun orang-orang yang akan
memperbaharui agamanya. (HR. Abu Daud)
3. Dogma Keharaman Taqlid
Dari sekedar ajakan untuk meninggalkan taqlid, lama kelamaan semangat ini melewati
garis batasnya, sehingga pada akhirnya bermuara kepada terbentuknya sebuah 'dogma'
baru yang melenceng dari arah semula.
Sayangnya dogma ini terlanjur ditelan bulat-bulat oleh generasi muda Islam tentang
haramnya bertaqlid. Dan bahwa bertaqlid itu dianggap sebagai perbuatan tercela,
terlarang, serta bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
Bahkan yang lebih parah, saking kerasnya semangat anti taqlid ini digaungkan,
sehingga bertaqlid dianggap sebagai biang keladi kemunduran umat Islam selama
beberapa abad belakangan ini.
Seolah-olah kasusnya ingin disejajarkan dengan kasus ditinggalkannya agama Kristen
di Eropa pada awal mula gerakan Martin Luther pada abad XV, sehingga melahirkan
pecahnya Kristen menjadi dua, yaitu Kristen Katolik dan Protestan.
Lalu umat Islam pun ingin dibelah dua juga, menjadi kelompok konservatif dan
moderat. Yang konservatif dicitrakan negatif dengan pemikiran yang kuno, ortodoks,
ketinggalan zaman di satu sisi. Sedangkan yang moderat dicitrakan positif, yaitu
terdiri kalangan pembaharu dan dikesankan lebih moderat, modern, maju, terbuka,
serta luas wawasannya.
Tentu saja dogma haramnya taqlid yang sudah terlanjur salah kaprah ini perlu
diluruskan kembali, agar kita tidak terlalu jauh menyimpang dari persoalan yang
sesungguhnya.
B. Pengertian Taqlid
1. Bahasa
Kata taqlid (‫ )تقليد‬dalam bahasa Arab berasal terbentuk dari dari tiga huruf asalnya,
yaitu qa-la-da (‫)قلد‬.
Dari segi bahasa, taqlid ini punya banyak makna. Di antaranya bermakna mengalungkan
sesuatu ke leher, sebagaimana disebutkan dalam kitab Raudhatun Nadhir.
‫اط ِة ب ِِه‬َ ‫اإلح‬
َ ‫َير ِه َم َع‬
ِ ‫عن ُ ِق غ‬ ُ ‫يء ِفي‬ َ ‫الش‬
َّ ‫َج َعل‬
Menjadikan sesuatu pada leher orang lain sehingga melingkari leher itu.
Sedangkan kata qiladah (‫ )قالدة‬artinya adalah kalung atau ikatan yang mengikat leher
(‫)ما جعل في العنق‬. Dan ungkapan taqlildul-budni sebagaimana disebutkan dalam kitab
Lisanul Arab bermakna :
ٌ ‫ارا يُعل َُم ب ِِه َأن ّ َُه َه‬
‫دي‬ ً ‫عن ُ ِق َها ِش َع‬ ِ ‫جع ُل‬
ُ ‫في‬ َ ُ ‫َأن ي‬
Mengikatkan suatu tanda pada leher ternak agar diketahui bahwa ternak itu untuk
dijadikan sembelihan.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, para ulama menyebutkan bahwa definisi taqlid adalah :
‫عرف َِة َدلِيلِ ِه‬ ِ ‫ع َد ِم َم‬
َ ‫ير َم َع‬ ِ ‫يه ِب َقول ال َغ‬ ِ ‫األخ ُذ ِف‬
Mengambil pendapat dari orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
Dengan definisi ini, maka yang dimaksud dengan taqlid adalah ketika seseorang
menjalankan perintah agama atau menerima fatwa dari seorang yang ahli di dalam ilmu
syariah, dia menjalankannya tanpa mengetahui langsung dalilnya.
Namun karena yang memberitahu adalah orang yang memang ahli di bidangnya, tentu
saja dia tahu pasti ada dalilnya, walaupun tidak tahu persis seperti apa dalilnya.
Selain definisi di atas, sebagian ulama membuatkan definisi taqlid dengan redaksi
yang lain menjadi :
ٍ‫جة‬ َّ ‫َير ُح‬ِ ‫ير ِمن غ‬ ِ ‫الع َمل ِبقَول ال َغ‬ َ
Mengerjakan pendapat orang lain tanpa hujjah.
Yang dimaksud hujjah disini maksudnya sumber asli syariah yang telah disepakati
seperti Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-Ijma.
Maka merujuk kepada perkataan Nabi SAW yang sharih dan shahih, tidak dikatakan
taqlid. Begitu juga bila merujuk kepada apa yang telah menjadi ijma' para ulama,
juga tidak dinamakan taqlid.
Karena merujuk kepada sumber-sumber utama berarti merujuk kepada sesuatu yang
statusnya adalah hujjah. Dan hal ini tidak dinamakan sebagai taqlid.
Maka pengertian taqlid dari definisi ini adalah menjalankan suatu ibadah dari orang
lain, tanpa merujuk sendiri ke sumber hujjahnya.
C. Pendapat Yang Mengharamkan Taqlid
Pendapat umat Islam terhadap taqlid ini memang beragam. Sebagian kalangan dari umat
Islam ada yang berpendapat bahwa taqlid itu hukumnya haram dan tidak boleh
dilakukan. Dan ada juga kelompok lain yang tidak mengharamkan taqlid dan
membolehkannya.
Di antara mereka yang sering disebut-sebut mengharamkan taqlid antara lain Ibnu
Abdil Barr, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani dan lainnya.
Ada beberapa dalil yang sejalan dengan pendapat mereka, di antaranya :
1. Allah Mencela Taqlid
Menurut mereka, Allah SWT telah mencela perbuatan taqlid di dalam Al-Quran,
sebagaimana tertuang dalam ayat berikut ini :
َ ‫السبِيال‬ َّ ‫اءنَا َفَأ َضلُّونَا‬ َ ‫َوقَال ُوا َربَّنَا ِإ ن ّ َا َأ َطعنَا َس‬
َ ‫ادتَنَا َوك ُبَ َر‬
‫ون الل ّ َ ِه‬ ِ ‫ار ُهم َو ُرهبَان َ ُهم َأربَابًا ِمن ُد‬ ‫َأ‬
َ َ‫اتّ ََخذُوا حب‬
2. Para Imam Melarang Orang Bertaqlid Kepada Mereka
Di antara hujjah yang sering dipakai untuk melarang taqlid adalah klaim atas
perkataan para imam dan mujtahid yang konon dikatakan telah melarang orang-orang
bertaqlid kepada mazhab dan pendapat mereka.
Misalnya sering disebut-sebut bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf pernah berkata :
‫اه‬ُ َ ‫ين قُلن‬ َ ‫ال َ ي َ ِحل ِأل َح ٍد َأن يَقُول ِبقَولِنَا َحتّ َى يَعل ََم ِمن َأ‬
Tidak halal bagi seseorang untuk berpendapat dengan pendapat kami, hingga dia tahu
dari mana kami berpendapat.
Al-Muzani di awal kitab Mukhtasharnya yang terkenal itu mengatakan :
‫َير ِه‬ِ ‫عن تَقلِي ِد ِه َوتَقلِي ِد غ‬ َ ‫الشا ِف ِع ِ ّي َو ِمن َمعنَى قَولِ ِه َم َع ِإ عال َِم ِه نَهيَ ُه‬ َّ ‫رت َهذَا ِمن ِعل ِم‬
ُ ‫اختَ َص‬
Aku meringkas kitab ini dari ilmu Asy-Syafi'i. Dan diantara makna perkataanya
adalah larangan beliau untuk bertaqlid kepada dirinya atau taqlid kepada orang
lain.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata :
‫يث َأ َخذُوا‬ ُ ‫اع َّي َو ُخذ ِمن َح‬ ِ َ ّ‫ال َ تُقَلِ ّد ِني َوال َ تُقَلِ ّد َمالِك ًا َوال َ الث‬
ِ ‫ور ّ َي َوال َ األو َز‬
Janganlah kalian bertaqlid kepadaku, dan jangan bertaqlid kepada Imam Malik, Ats-
Tsauri atau Al-Auza'i. Tetapi ambil dari mana mereka mengambilnya.
D. Pendapat Yang Membolehkan Taqlid
Pendapat kedua mengatakan bahwa taqlid itu boleh dan tidak haram untuk dilakukan.
Sebab ada banyak dalil yang membolehkannya, serta dilakukan juga oleh para
shahabat, tabi'in dan para ulama. Bahkan orang awam yang tidak bisa berijtihad, mau
tidak mau harus bertaqlid.
1. Perintah Allah Dalam Al-Quran
Perintah untuk bertaqlid disebutkan di dalam Al-Quran Al-Karim, khususnya perintah
untuk bertanya kepada orang yang punya ilmu.
‫ون‬ ِ ‫فَاسَأل ُوا َأهل ال ِ ّذ‬
َ ‫كر ِإ ن ك ُنتُم ال َ تَعل َُم‬
Tanyakanlah kepada ahli ilmu apabila kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl : 43)
2. Taqlid Sesuatu Yang Mustahil Dihindari
Dalam prakteknya, disadari atau tidak, suka atau tidak suka, mengaku atau tidak
mengaku, sebenarnya setiap kita pasti tidak akan pernah terlepas dari praktek
bertaqlid.
Karena tidak setiap muslim mampu melakukan istimbath hukum sendiri. Dan tidak
setiap muslim mengenal secara langsung dalil-dalil agama.
Padahal sebagai muslim, tidak mungkin meninggalkan beberapa ibadah mendasar,
seperti bersuci, berwudhu', mandi janabah, bertayammum, shalat, puasa, berihram,
tawaf, sa'i dan berbagai jenis ibadah lainnya.
Apalagi semua itu sudah terhitung wajib dilakukan ketika seseorang memasuki usia
baligh. Dan usia baligh itu adalah usia yang terlalu dini untuk bisa menguasai
semua dalil-dalil syar'i atas semua praktek ibadah yang dilakukan.
3. Para Shahabat dan Tabi'in Bertaqlid Juga
Kenyataannya tidak semua shahabat ridwanullahi alaihim punya kemampuan dalam
melakukan ijtihad. Bahkan secara statistik bisa dijelaskan bahwa dari sekitar 124
ribu shahabat, yang punya kapasitas sebagai mujtahid terbatas sekali jumlahnya.
Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqqi'in menyebutkan jumlah mereka kurang lebih hanya
30-an orang saja. Itupun masih terbagi lagi menjadi tiga tingkatan.
Lalu selebihnya bukan ahli ijtihad, walaupun kedudukan mereka sangat mulia, bahkan
mendapatkan gelar radhiyallahuanhum. Namun urusan diridhai Allah tidak otomatis
membuat mereka jadi ahli ijtihad.
Walaupun para ulama hadits sepakat bahwa derajat para shahabat nabi itu adil, dalam
arti mereka dianggap tidak mungkin berdusta tentang Rasulullah SAW, namun
'adalatush-shahabah ini tidak ada kaitannya dengan kapasitas sebagai mujtahid.
Sebab keahlian dalam berijtihad bukan sesuatu yang tiba-tiba datang begitu saja.
Syarat untuk bisa disebut ahli ijtihad sangat berbeda dengan syarat status menjadi
shahabat nabi yang terlalu amat sederhana. Syarat menjadi shahabat sebatas seorang
muslim yang pernah bertemu langsung dengan Rasulullah SAW dalam keadaan nyata bukan
mimpi, dan ketika wafat berstatus muslim.
Sedangkan untuk menjadi ahli ijtihad, tidak semua shahabat Nabi SAW punya kapasitas
dan memenuhi syarat-syaratnya.
E. Pendapat Yang Pertengahan
Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang berbeda dengan pendapat pertama dan
kedua. Pendapat ini memilah hukum taqlid menjadi tiga macam. Dalam pandangan
pendapat yang ketiga ini, taqlid itu tidak selamanya haram, tetapi ada juga taqlid
yang halal atau bahkan wajib.
Semuanya kembali ke banyak faktor, baik pelakunya, bentuknya, maupun juga pihak
yang ditaqlidi.
1. Taqlid Yang Haram
Taqlid akan menjadi haram hukumnya, apabila terjadi hal-hal yang membuatnya menjadi
haram. Dan diantara penyebab keharaman taqlid adalah :
a. Taqlidnya Mujtahid Mutlak
Seorang yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid mutlak dalam hukum syariah,
haram baginya untuk bertaqlid kepada mujtahid yang lain. Sebab seorang mujatahid
mutlak berada pada urutan tertinggi dari para mujtahid. Di bawahnya masih ada empat
sampai lima level mujtahid.
Maka mujtahid mutlak diharamkan untuk bertaqlid dengan sesama mujtahid mutlak juga.
Apalagi kepada mujtahid yang lebih rendah kedudukannya. Dia diwajibkan untuk
berijtihad sendiri atas hukum yang diambilnya menjadi kesimpulan, karena
kemampuannya yang di atas semua mujtahid. Dan tentu saja dia harus punya manhaj dan
kaidah sendiri dalam menarik kesimpulan hukum.
Kalau ada seorang mujtahid tetapi masih menggantungkan pendapat kepada mujtahid
lain, maka statusnya bukan lagi mujtahid mutlak.
b. Taqlid Kepada Selain Mujtahid
Orang awam yang tidak punya ilmu dan kurang syarat untuk berijtihad, diharamkan
untuk bertaqlid kepada mereka yang statusnya orang awam juga.
Maksudnya dalam hal ini, orang awam yang dia bertaqlid kepadanya hanya boleh
berperan sebagai penyampai pesan, atau bisa disebut sebagai informan atas fatwa
dari mujtahid yang sesungguhnya.
Al-Hulaimi dan Arruyani sebagaimana dinaql oleh Ibnu Shalat telah berkata :
‫يه‬ِ ‫لمف ِتي َأن يُف ِت َي ب َِما ُه َو ُمقَ ِل ّدٌ ِف‬ ُ ‫جو ُز ِل‬ُ َ ‫ال َ ي‬
Tidak boleh seorang mufti mengeluarkan fatwa, padahal dia hanya bertaqlid saja.
Dan penulis kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah yang mewakili mazhab Al-Hanabilah berkata
tentang mufit yang bertalid :
‫الحال َوِإ ن ّ ََما ُه َو‬
َ َ ‫ُون ُمف ِتيًا ِفي ِت‬
‫لك‬ ُ ‫جو ُز َأن يُخب َِر ب َِما َس ِم َع ِإ ال ّ َ َأن ّ َُه ال َ يَك‬
ُ َ ‫المف ِتي ي‬
ُ
Boleh bagi seorang mufti untuk memberi kabar dari apa yang didengarnya. Namun
ketika itu dirinya bukanlah mufti tetapi mukhbir (pemberi kabar). Maka dia butuh
mengabarkan
Ketika di sebuah madrasah atau pesantren, ada para kiyai dan ustadz yang
mengajarkan hukum-hukum agama, maka posisi mereka bukan orang yang berhak untuk
ditaqlidi. Sebab kiyai dan guru itu bukan mujtahid, sehingga haram hukumnya bagi
murid dan siapapun untuk bertaqlid kepada mereka.
Lalu kalau tidak boleh taqlid kepada mereka, bagaimana kita bisa belajar dan tahu
ilmu agama serta hukum-hukumnya?
Jawabannya adalah bahwa saat kita bertanya kepada kiyai, ustadz dan guru agama,
posisi mereka hanya sekedar penyampai fatwa dari para mujtahid. Karena mereka punya
akses kepada kitab-kitab fiqih dari para mujtahid, sehingga dapat dengan mudah
untuk mengetahui fatwa-fatwa itu, untuk disampaikan lagi kepada murid-muridnya.
Maka para murid itu tidak bertaqlid kepada gurunya, melainkan bertaqlid kepada para
mujtahid, lewat informasi dari guru mereka.
c. Taqlid Kepada Orang Sesat
Kalau taqlid kepada orang shalih tetapi tidak berilmu sudah tidak boleh, apalagi
bertaqlid kepada orang yang sesat dalam agama. Hukumnya tentu lebih haram lagi.
َ ‫السبِيال‬َّ ‫اءنَا َفَأ َضلُّونَا‬ َ ‫َوقَال ُوا َربَّنَا ِإ ن ّ َا َأ َطعنَا َس‬
َ ‫ادتَنَا َوك ُبَ َر‬
Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-
pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang
benar). (QS. Al-Ahzab : 67)
ِ ‫ار ُهم َو ُرهبَان َ ُهم َأربَابًا ِمن ُد‬
‫ون الل ّ َ ِه‬ ‫َأ‬
َ َ‫اتّ ََخذُوا حب‬
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. At-Taubah : 31)
2. Taqlid Yang Wajib
Tidak yang wajib hukumnya adalah taqlidnya kita semua sebagai orang awam kepada
para mujtahid yang memang memenuhi syarat ijtihad.
Kita sebagai orang awam, tentu tidak punya satu pun syarat untuk jadi mujtahid yang
bisa diakui secara layak. Kalau satu syarat pun tidak kita miliki, apalagi semua
syaratnya, tentu lebih tidak punya lagi.
Dengan keadaan sebagai orang awam seperti kita ini, maka haramlah atas kita untuk
melakukan ijtihad fiqih, yaitu melakukan istimbath hukum dari sumber-sumber syariah
Islam secara seenaknya sendiri.
Kalau pun kita melakukan ijtihad hukum, hasilnya pun tidak boleh dipakai oleh
siapapun, baik oleh mujtahid ataupun untuk orang awam lainnya.
3. Taqlid Yang Boleh
Taklid yang hukumnya boleh adalah taklid yang tidak mengapa untuk dilakukan, tidak
merupakan kewajiban, juga bukan merupakan keharaman.
Taklid yang hukumnya boleh berlaku bagi para mutjahid yang tidak sampai batas
sebagai mujtahid mutlak. Mereka punya kapasitas dan punya semua syarat untuk
berijtihad sendiri.
Namun karena level yang mereka miliki tidak atau belum sampai ke tingkatan
mujtahid mutlak, maka mereka masih diperbolehkan untuk bertaqlid dan tidak
berijtihad sendiri. Namun dalam hal-hal tertentu yang merupakan cabang dari suatu
masalah, mereka pun dibolehkan untuk berijtihad sendiri, dimana hasilnya boleh jadi
berbeda dengan ijtihad gurunya.
F. Antara Taqlid Dengan Ittiba'
Umumnya para ulama hanya mengenal pembagian manusia menjadi dua, yaitu mujtahid dan
muqallid. Kalau seseorang belum mencapai derajat mujtahid, maka dia berarti
seorang muqallid.
Umumnya mereka berpendapat bahwa tidak ada martabat yang berada di antara kedua.
Namun Ibnul Qayyim dan Asy-Syaukani punya pendapat yang agak berbeda. Keduanya
memperkenalkan adanya martabat yang berada di tengah-tengah antara mujtahid dan
muqallid, yaitu martabat muttabi'. Pekerjaannya disebut ittiba'.
Adapun definisi ittiba' ' menurut mereka adalah :
‫عرف َِة َدلِيلِ ِه‬
ِ ‫ير َم َع َم‬
ِ ‫األخ ُذ ِب َقول ال َغ‬
Mengambil pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.

Bab 3 : Perbedaan Pendapat Fuqaha


A. Pengertian
Pada bab ini kita akan mengupas masalah perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha.
Perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha dalam bahasa Arab sering disebut dengan
istilah ikhtilaful araa' (‫)إختالف اآلراء بين الفقهاء‬.
1. Bahasa
Secara bahasa, kata ikhtilaf maknanya adalah perbedaan atau berbeda, lawan dari
sama atau kesamaan. Disebutkan ungkapan :
‫ان أي ل َم يَتَّ ِفقَا‬
ِ ‫األمر‬
َ ‫اختَل ََف‬
Dua hal bertentangan berarti tidak sama
2. Istilah
Dan secara istilah definisi perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah :
‫اختالف الفقهاء في حكم من األحكام في األمور اإلجتهادية‬
Perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam salah satu hukum dari hukum-hukum yang
terkait dengan masalah ijtihad
Dari definisi di atas, kita membuat batasan tentang wilayah pembicaraan ikhtilaf
ini menjadi tiga hal :
 Perbedaan Antara Fuqaha
Perbedaan ini bukan perbedaan yang terjadi antara orang awam dengan orang awam,
tetapi terjadi antara sama-sama orang yang berkompeten di bidangnya, yaitu para
fuqaha.
 Dalam Masalah Hukum
Objek yang menjadi titik perbedaan pendapat di antara mereka bukan sembarang
masalah, melainkan hanya terbatas pada penetapan kesimpulan hukum, yang mereka
ijtihadkan dari sumber-sumber yang dibenarkan, juga lewat proses ijtihad yang
memenuhi standar.
 Pada Wilayah Yang Dibolehkan untuk Berijtihad
Masalah yang hukum ada banyak jumlahnya, ada yang dalilnya sudah jelas dan tidak
lagi dibutuhkan proses panjang dalam mengambil kesimpulan hukumnya. Namun dalam
kenyataannya, ada beberapa masalah hukum yang kita tidak menemukan dalilnya secara
jelas, baik di dalam Al-Quran atau pun di dalam As-Sunnah.
Oleh karena itu kemudian dibutuhkan ijtihad, yang dilakukan oleh fuqaha yang memang
ahli di bidang ijtihad.
B. Bolehkah Terjadi Perbedaan?
Sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, bolehkah umat Islam berbeda pendapat dalam
masalah agama?
1. Pendapat Yang Tidak Membolehkan
Mungkin tidak sedikit kalangan awam yang belum belajar secara khusus tentang Ilmu
Fiqih yang akan merasa aneh dengan perbedaan di kalangan ulama.
Seringkali bila mereka membaca tulisan yang terkait dengan kajian fiqihiyah, mereka
dapati isinya merupakan penjabaran perbedaan pendapat di kalangan ulama. Bahkan
tidak jarang disebutkan ada mazhab A, mazhab B, atau ulama ini dan ulama itu.
Masing-masing datang dengan pendapatnya sendiri-sendiri yang nyaris tidak pernah
sama. Dan tidak sedikit yang kemudian bukannya menjadi paham, tapi malah tambah
bingung.
Biasanya pertanyaan menggugat yang terlontar antara lain seperti berikut ini :
Bukankah agama ini satu? Bukankah syariat ini satu? Bukankah kebenaran satu tidak
berbilang? Bukankah sumbernya pun satu juga, yaitu wahyu Allah?
Tapi kenapa terjadi perbedaan sehingga dalam satu masalah ada pendapat lebih dari
satu dan tidak satu pendapat antara mazhab sehingga umat Islam lebih mudah
mengambil pendapat, karena mereka adalah umat yang satu?
Terkadang ada yang menduga bahwa perbedaan ini menyebabkan kontradiksi dalam
syariat atau kontradiksi dalam sumber syariat atau perbedaan akidah, seperti
perbedaan aliran-aliran dalam agama selain Islam seperti golongan Kristen Ortodoks,
Katolik, Protestan, naudzubillah!!
Semua anggapan ini adalah tidak benar. Sebab perbedaan antara mazhab fiqih dalam
Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Khazanah kekayaan syariat
yang besar ini adalah kebanggaan dan izzah bagi umatnya.
Perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad fiqih,
bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah. Tak pernah kita dengar dalam sejarah
Islam, perbedaan fiqih antara mazhab menyeret mereka kepada konflik bersenjata yang
mengancam kesatuan umat Islam.
Sebab perbedaan mereka dalam masalah parsial yang tidak membahayakan. Perbedaan
dalam masalah akidah sesungguhnya yang dicela dan memecah belah umat Islam serta
melemahkan eksistensinya.
Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman manusia dalam
menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap rahasia syariat
dan memahami illat hukum.
Semua ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena syariat Islam
tidak saling bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan terjadi karena keterbatasan
dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap harus beramal dengan salah satu
pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama sebab wahyu sudah
terputus.
Namun bagi seorang mujtahid ia mesti beramal dengan hasil ijtihadnya sendiri
berdasarkan interpretasinya yang terkuat menurutnya terhadap makna teks syariat.
Karena interpretasi ini yang menjadi pemicu dari perbedaan. Rasulullah SAW
bersabda,”Jika seorang mujtahid berijtihad, jika benar ia mendapatkan dua pahala
dan jika salah dapat satu pahala,”
Kecuali jika sebuah dalil bersifat qathi’ (pasti) dengan makna sangat jelas baik
dari Al-Quran, Sunnah mutawatir atau hadis Ahad Masyhur maka tidak ruang untuk
ijtihad.
2. Pendapat Yang Membolehkan
a. Perbedaan Pendapat di Antara Para Nabi
Meski para Nabi dan Rasul memiliki kedudukan yang mulia serta mendapatkan ‘ishmah
(penjagaan) dari Allah SWT agar tidak tercebur ke dalam dosa, namun dalam
prakteknya masih dimungkinkan mereka berbeda pandangan, bukan dengan kaumnya,
tetapi dengan sesama Nabi dan rasul, yang sama-sama menjadi utusan Allah SWT
Nabi Musa dan saudaranya sendrii, yaitu Nabi Harun, mereka berdua pernah berselisih
dan berbeda pandangan dalam satu urusan. Dan Musa juga pernah berbeda pandangan
dengan Nabi Khidhir alihimussalam.
Nabi Sulaiman dan ayahnya yang juga sama-sama utusan Allah, yaitu Nabi Daud
alihimussalam, juga pernah berbeda pandangan ketika memutuskan perkara di tengah
umat mereka.
Perbedaan Pendapat Antara Nabi Musa dan Harun
Nabi Musa pernah berselisih dengan saudaranya, Nabi Harun alaihimassalam.
Perselisihan itu bukan hanya sebatas perang kata-kata, bahkan sampai Musa menarik
rambut di kepala dan jenggot saudaranya itu dengan marah dan kecewa.
‫أمري‬
ِ ِ ‫رأيتهم ضلُّوا أال تتّب‬
‫ِعن أفعصيت‬ ُ ‫ون ما منعك ِإ ذ‬
ُ ‫هار‬
ُ ‫قال يا‬
Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka
telah sesat, . (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah
(sengaja) mendurhakai perintahku?" (QS. Thaha : 92-93)
Sumber keributan antara keduanya berhulu ketika Nabi Musa SAW dipanggil Allah SWT
untuk menerima wahyu di atas bukit Thursina. Musa menitipkan urusan kaumnya itu
kepada saudaranya, Harun.
Namun pendektan Harun agak sedikit berbeda dengan Musa. Harun konon lebih lemah
lembut, halus, lebih banyak bermain perasaan, sehingga memberikan lebih banyak
toleransi atas kedegilan bangsa Yahudi itu. Tidak seperti sikap Nabi Musa yang
lebih keras dalam menghadapi mereka. Sehingga ketika Musa kembali dari menghadap
Allah SWT dan dilihatnya kaumnya seperti itu, meledaklah marahnya.
‫ليه‬ ِ ‫يج ُّر ُه ِإ‬
ُ ‫يه‬ِ ‫أخ‬
ِ ‫ِرأس‬ ِ ‫ربّك ُم وألقى األلواح وأخذ ب‬ ِ ‫أسفًا قال بِئسما خلفتُ ُمو ِني ِمن بع ِدي أعجِ لتُم أمر‬ ِ ‫قوم ِه غضبان‬
ِ ‫ولما رجع ُموسى ِإ لى‬
ّ
‫الظالِ ِمين‬ ّ ‫شمت بِي األعداء وال تجعل ِني مع القو ِم‬ ِ ُ‫وكادوا يقتُل ُون ِني فال ت‬
ُ ‫قال ابن ُأ ّم ِإ ّن القوم استضعفُو ِني‬
Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati
berkatalah dia, "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah
kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musa pun melemparkan
luh-luh itu dan memegang kepala saudaranya sambil menariknya ke arahnya, Harun
berkata, "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan
hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh
gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang
yang zalim"(Q. Al-A'raf: 150)
Dalam pada itu, Nabi Harun saudaranya itu pun menjawab :
‫فرقت بين ب ِني ِإ سراِئيل ولم ترقُب قولِي‬ ّ ‫يت أن تقُول‬ ُ ‫خش‬ ِ ‫ِرأسي ِإ ِن ّي‬
ِ ‫تأخذ ِبلِحي ِتي وال ب‬
ُ ‫قال يا ابن ُأ ّم ال‬
Harun menjawab' "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan
kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata, "Kamu telah memecah
antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku".(QS. Thaha : 94)
Penting untuk kita garis-bawahi disini, bahwa Musa dan Harun, keduanya adalah
saudara, sama-sama diangkat menjadi Nabi untuk kaum yang sama, yaitu kaum Yahudi.
Tetapi pola pendekatan yang masing-masing lakukan ternyata berbeda, dan terjadilah
tarik menarik rambut dan jenggot di antara mereka. Padahal kalau dipikir-pikir,
Nabi Musa ini amat kuat fisiknya, dan pernah meninju orang dengan sekali pukulan
hingga mati. Dan dalam riwayat yang shahih disebutkan bahkan malaikat Izrail pun
pernah kena tinju matanya hingga picek, lalu mengadu kepada Allah SWT
Artinya, perbedaan pendapat antara Musa dan Harun malah sampai kepada keributan
fisik. Tetapi begitulah, keduanya tetap berkedudukan sebagai utusan Allah SWT
Perbedaan Pendapat Antara Musa dan Khidhir
Masih terkait dengan Nabi Musa lagi, kali ini beliau berbeda pandangan dengan Nabi
Khidhir alaihissalam. Kisahnya disebutkan juga di dalam Al-Quran, meski tidak
sampai keributan fisik.
Sebab saat itu posisi Nabi Musa bukan sebagai pemimpin, melainkan sebagai murid
yang sedang belajar untuk mendapatkan ilmu dari orang yang derajatnya lebih tinggi.
Dan begitulah, keduanya selalu berselisih dan beda pendapat dalam perjalanan. Musa
selalu mempertanyakan semua tindakan shahabatnya itu, meski pada akhirnya beliau
selalu harus dibuat mengerti. Tetapi intinya, beda pemahaman itu adalah sesuatu
yang wajar dan mungkin terjadi, bahkan di kalangan sesama para nabi. Dan tidak ada
kebenaran tunggal dalam hal ini.
ً ‫ّمناه ِمن ل ُّدنّا ِعلما‬ ُ ‫آتيناه رحم ًة ِمن ِعن ِدنا وعل‬ ُ ‫فوجدا عبدا ً ِ ّمن ِعبا ِدنا‬
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami. (QS. Al-Kahfi : 65)
ً ‫ع ِل ّمت ُرشدا‬ ُ ‫من ِم ّما‬ ِ ّ ‫له ُموسى هل أتّب ُِعك على أن تُع ِل‬ ُ ‫قال‬
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (QS.
Al-Kahfi : 66)
ً ‫معي صبرا‬ ِ
ِ ‫تستطيع‬ ‫قال ِإ نّك لن‬
Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.
(QS. Al-Kahfi : 67)
ً ‫وكيف تصب ُِر على ما لم تُ ِحط ب ِِه ُخبرا‬
Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?" (QS. Al-Kahfi : 68)
ً ‫أعصي لك أمرا‬ ِ ‫قال ستجِ ُد ِني ِإ ن شاء الل ُّه صابِرا ً وال‬
Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan
aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".(QS. Al-Kahfi : 69)
ً ‫نه ِذكرا‬ ُ ‫قال فِإ ِن اتّبعت ِني فال تسأل ِني عن شي ٍء حتّى ُأح ِدث لك ِم‬
Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".(QS. Al-Kahfi :
70)
ً ‫ليه صبرا‬ ِ ‫ع‬ ّ ‫تستطع‬ ِ ‫يل ما لم‬ ِ ‫راق بي ِني وبي ِنك سُأنبُِّئك بِتأ ِو‬ ُ ‫قال هذا ِف‬
Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. ".(QS.
Al-Kahfi : 78)
Perbedaan Pendapat Antara Nabi Sulaiman dan Daud
‫شاه ِدين‬
ِ ‫كم ِهم‬ِ ‫ح‬ ُ ‫غنم القو ِم وكُنّا ِل‬ُ ِ ‫الحرث ِإ ذ نفشت ِف‬
‫يه‬ ِ ‫ُمان ِفي‬
ِ ‫وسليمان ِإ ذ يحك‬ ُ ‫وداوود‬ ُ
21.78. Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing
kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka
itu,
b. Perbedaan Pendapat Antara Malaikat
Bahkan sesama malaikat yang mulia dan tanpa hawa nafsu sekali pun tetap terjadi
beda pendapat. Masih ingat kisah seorang yang taubat karena telah membunuh 99 nyawa
ditambah satu nyawa?
Dalam perjalanan menuju taubatnya, Allah mencabut nyawanya. Maka berikhtilaflah dua
malaikat tentang nasibnya. Malaikat kasih sayang ingin membawanya ke surga lantaran
kematiannya didahului dengan taubat nashuha. Namun rekannya yang juga malaikat
tetapi job-nya mengurusi orang pendosa ingin membawanya ke neraka, lantaran masih
banyak urusan dosa yang belum diselesaikanya terkait dengan hutang nyawa.
Bayangkan, bahkan dua malaikat yang tidak punya kepentingan hewani, tidak punya
perasaan, tidak punya kepentingan terpendam, tetap saja ditaqdirkan Allah SWT untuk
berbeda pendapat.
Kisah lengkapnya bisa kita baca di dalam kitab tershahih kedua setelah Al-Quran,
yaitu Shahih Bukhari.
‫فقتله فجعل‬ ُ ‫له هل ِمن توبةٍ قال ال‬ ُ ‫فسأله فقال‬ ُ ِ
‫راهبًا‬ ‫يسأل فأتى‬ُ ‫سعين ِإ نسانًا ث ُّم خرج‬ ِ ‫رج ٌل قتل ِتسع ًة و ِت‬ ُ ‫كان ِفي ب ِني ِإ سراِئيل‬
‫العذاب فأوحى الل ُّه‬ ِ ‫حمة ومالِئك ُة‬ ِ ‫الر‬ ّ ‫ة‬ُ ‫ك‬ ‫ِئ‬ ‫مال‬ ِ
‫يه‬ ِ
‫ف‬ ‫فاختصمت‬ ‫نحوها‬ ِ
‫ه‬ ‫ِصدر‬
ِ ‫ب‬ ‫فناء‬ ‫الموت‬
ُ ‫فأدركه‬
ُ ‫وكذا‬ ‫كذا‬ ‫قرية‬ ِ
‫ائت‬ ‫رج ٌل‬
ُ ‫له‬ ُ
ُ ‫يسأل فقال‬
‫له‬
ُ ‫ر‬ ِ
‫ف‬ ‫غ‬
ُ ‫ف‬ ‫بر‬ٍ ِ
‫ِش‬ ‫ب‬ ‫أقرب‬ ِ
‫ه‬ ِ
‫هذ‬ ‫لى‬ ‫ِإ‬ ‫د‬ ِ‫ج‬ ‫فو‬
ُ ‫ما‬‫بينه‬
ُ ‫ما‬ ‫وا‬ ‫يس‬ُ ِ
‫ق‬ ‫وقال‬ ‫ي‬ ِ
‫د‬ ‫تباع‬ ‫أن‬ ‫ه‬ِ ِ
‫هذ‬ ‫لى‬ ‫ِإ‬ ‫ّه‬
ُ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫وأوحى‬ ‫ِي‬‫ب‬ ‫تقر‬
ّ ‫أن‬ ِ
‫ه‬ ِ
‫هذ‬ ‫لى‬ ‫ِإ‬
Ada seorang dari kalangan Bani Isra'il yang telah membunuh sembilan puluh sembilan
orang manusia kemudian dia pergi untuk bertanya (tentang peluang ampunan). Maka dia
menemui seorang pendeta dan bertanya kepadanya; Apakah ada pintu taubat buatku'.
Pendeta itu menjawab; Tidak ada. Maka orang ini membunuh pendeta tersebut. Kemudian
dia bertanya lagi lalu ada seorang laki-laki yang berkata kepadanya; Datangilah
desa anu. Kemudian orang itu (pergi menuju desa dimaksud) dan ketika hampir menemui
ajalnya dia bangkit sambil memegang dadanya namun akhirnya meninggal dunia. Atas
kejadian itu malaikat rahmat dan malaikat adzab (siksa) berselisih. Lalu Allah SWT
mewahyukan kepada bumi yang dituju (desa untuk mencari taubat) agar mendekat dan
mewahyukan kepada bumi yang ditinggalkan (tempat dia melakukan kejahatan) agar
menjauh lalu berfirman kepada kedua malaikat itu: Ukurlah jarak keduanya. Ternyata
orang itu lebih dekat ke desa yang dituju maka dia diampuni. (HR. Bukhari)
Lafadz yang amat menarik dari hadits ini bisa kita garis-bawahi, yaitu :
‫العذاب‬
ِ ‫حمة ومالِئك ُة‬ ِ ‫الر‬ ّ ‫يه مالِئك ُة‬ ِ ‫فاختصمت ِف‬
Atas kejadian itu Malaikat rahmat dan malaikat adzab berselisih
Menarik sekali, ada dua malaikat berselisih. Mungkin tidak terbayangkan di tengah
kita, bagaimana bisa malaikat dengan sesama mereka berselisih pandangan.
Tetapi itu urusan Allah SWT Buat kita, cukup kita tahu bahwa berselisih itu tidak
berarti haram dan dosa. Ada perselisihan yang diharamkan, tetapi ada juga yang
dibenarkan. Kalau berpeda pandangan itu haram dan dosa, seharusnya malaikat tidak
boleh berbeda pandangan. Setidaknya, Rasulullah SAW tidak perlu menceritakan kisah
perselisihan mereka, seharusnya ditutup rapat saja, menjadi urusan dunia ghaib.
c. Perbedaan Pendapat Antara Nabi SAW dan Shahabat
Sirah nabawiyah mencatat beberapa kali sempat terjadi perbedaan pendapat antara
Rasulullah SAW dengan para shahabat sendiri. Saat itu memang tidak turun wahyu,
sehingga beliau SAW berijtihad sendiri tanpa didasari wahyu. Kemudian akhirnya
jelas bahwa ijtihad beliau tidak tepat sementara pendapat shahabat malah yang lebih
tepat.
Posisi Pasukan
Dalam kasus penempatan pasukan perang di medan Badar, terjadi perbedaan pendapat
antara Rasulullah SAW dengan seorang shahabat. Menurut shahabat yang ahli perang
ini, pendapat Rasulullah SAW yang bukan berdasarkan wahyu kurang tepat.
Setelah beliau menjelaskan pikirannya, ternyata Rasulullah SAW kagum atas strategi
shahabatnya itu dan bersedia memindahkan posisi pasukan ke tempat yang lebih
strategis.
Di sini, Nabi SAW bahkan menyerah dan kalah dalam berpendapat dengan seorang
shahabatnya. Namun beliau tetap menghargai pendapat itu. Toh, pendapat beliau SAW
sendiri tidak berdasarkan wahyu.
Tawanan Perang Badar
Masih dalam perang yang sama, saat perang hampir berakhir, muncul keinginan di
dalam diri Rasululah SAW untuk menghentikan peperangan dan menjadikan lawan sebagai
tawanan perang. Tindakan itu didasari oleh banyak pertimbangan, selain itu juga
karena saat itu belum ada ketentuan dari langit. Maka Nabi SAW bermusyawarah dengan
para shahabatnya dan diambil keputusan untuk menawan dan meminta tebusan saja.
Saat itu hanya satu orang yang berbeda pendapat, yaitu Umar bin Al-Khattab
radhiyallahuanhu. Beliau tidak sepakat untuk menghentikan perang dan meminta agar
Nabi SAW meneruskan perang hingga musuh mati semua. Tidak layak kita menghentikan
perang begitu saja karena mengharapkan kekayaan dan kasihan.
Tentu saja pendapat seperti ini tidak diterima forum musyarawah dan Rasulullah SAW
serta para shahabat lain tetap pada keputusan semula, hentikan perang.
Tidak lama kemudian turun wahyu yang membuat Rasulullah SAW gemetar ketakutan,
karena ayat itu justru membenarkan pendapat Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu
dan menyalahkan semua pendapat yang ada.
ٌ‫عزي ٌز ح ِكيم‬ِ ‫اآلخرة والل ُّه‬ ِ ‫يد‬
ُ ‫الدنيا والل ُّه يُ ِر‬
ُّ ‫يدون عرض‬ ُ ‫األرض تُ ِر‬ِ ‫ثخن ِفي‬ ِ ُ ‫له أسرى حتّى ي‬ ُ ‫ما كان لِنب ٍ ِّي أن يك ُون‬
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Anfal : 67)
d. Perbedaan Pendapat di Antara Para Shahabat
Para shahabat Nabi SAW adalah generasi terbaik, dimana status yang Allah SWT
sandangkan kepada mereka tidak pernah diberikan kepada generasi yang lain, yaitu
ridwanullahi ‘alaihim.
‫األنهار‬
ُ ‫تجري تحتها‬ ِ ‫ات‬
ٍ ّ ‫لهم جن‬ ُ ‫وأعد‬ ّ ‫عنه‬
ُ ‫ورضوا‬
ُ ‫عنهم‬
ُ ‫حسان ّر ِضي الل ُّه‬
ٍ ‫وهم ِبِإ‬ ُ ّ‫واألنصار وال ِّذين ات‬
ُ ‫بع‬ ِ ُ ‫األول ُون ِمن‬
‫المهاجِ ِرين‬ ّ ‫والسا ِب ُقون‬
ّ
‫يم‬
ُ ِ
‫العظ‬ ‫ز‬
ُ ‫الفو‬ ‫ك‬ ِ ‫ل‬ ‫ذ‬ ً ‫ا‬ ‫أبد‬ ‫يها‬ ِ
‫ف‬ ‫ين‬ ِ
‫د‬ ِ ‫ل‬ ‫خا‬
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah : 100)
Namun demikian, keridhaan dari Allah SWT telah mereka dapat tidak menghalangi
adanya perbedaan pendapat dalam memahami nash-nash syariah di tengah mereka. Bahkan
perbedaan itu bukan hanya terjadi selepas Rasulullah SAW wafat, bahkan jauh ketika
beliau SAW masih berada di tengah-tengah mereka sendiri.
Shalat Ashar di Perkampungan Bani Quraidhah
Dalam peristiwa shalat Ashar di perkampungan bani Quraidhah, kita dapat mengambil
pelajaran berharga bahwa urusan khilafiyah tidak pernah pandang bulu. Bahkan para
shahabat Nabi yang mulia sekalipun tidak pernah sepi dari urusan itu.
Saat itu para shahabat terpecah dua, sebagian shalat Ashar di perkampungan Bani
Quraidhah, meski telah lewat Maghrib, karena pesan Nabi adalah,
َ ‫صر ِإ لَّا ِفي بَ ِني ق َُر‬
‫يظ َة‬ َ ٌ‫ال َ يُ َصلِ ّيَ َّن َأ َحد‬
َ ‫الع‬
Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah.
(HR. Bukhari)
Namun sebagian yang lain tidak shalat di sana, tetapi di tengah jalan namun pada
waktunya.
Lalu apa komentar nabi, adakah beliau membela salah satu pendapat? Jawabnya tidak.
Beliau tidak menyalahkan kelompok mana pun karena keduanya telah melakukan ijtihad
dan taat kepada perintah. Hanya saja, ada perbedaan dalam memahami teks sabda
beliau. Jadi, khilaf di masa kenabian sudah terjadi dan tetap menjadi khilaf.
Dari hadits ini, jumhur mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah
berijtihad, karena Rasulullah SAW tidak mencela salah satu dari dua kelompok
shahabat tersebut.
Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan bahwa para ahli fiqih berselisih pendapat,
mana dari kedua kelompok ini yang benar. Satu kelompok menyatakan bahwa yang benar
adalah mereka yang menundanya. Seandainya kita bersama mereka tentulah kita tunda
seperti mereka menundanya. Dan kita tidak mengerjakannya kecuali di perkampungan
Bani Quraizhah karena mengikuti perintah beliau sekaligus meninggalkan takwilan
yang bertentangan dengan dzahir hadits tersebut.
Yang lain mengatakan bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat di jalan, pada
waktunya. Mereka memperoleh dua keutamaan; bersegera mengerjakan perintah untuk
berangkat menuju Bani Quraizhah dan segera menuju keridhaan Allah SWT dengan
mendirikan shalat pada waktunya lalu menyusul rombongan. Maka mereka mendapat dua
keutamaan; keutamaan jihad dan shalat pada waktunya.
Sedangkan mereka yang mengakhirkan shalat ‘Ashar paling mungkin adalah mereka
udzur, bahkan menerima satu pahala karena bersandar kepada dzahir dalil tersebut.
Niat mereka hanyalah menjalankan perintah. Tapi untuk dikatakan bahwa mereka benar,
sementara yang segera mengerjakan shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah
tidak mungkin. Karena mereka yang shalat di jalan berarti mengumpulkan dua dalil.
Mereka memperoleh dua keutamaan, sehingga menerima dua pahala. Yang lain juga
menerima pahala
e. Perbedaan Pendapat di Antara Para Ulama
Para ulama, khususnya dari empat mazhab yang berbeda, Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah,
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, banyak berbeda pendapat dalam masalah fiqih yang
sifatnya cabang (furu'iyah).
Sebagian dari mereka ada yang membaca basmalah saat membaca surat Al-Fatihah dalam
shalat, namun sebagian dari mereka tidak membacanya.
Sebagian dari mereka mengerjakan qunut pada shalat shubuh dan menetapkan hukumnya
sunnah muakkadah, sementara sebagian lain menetapkan hukumnya bid'ah.
Sebagian dari mereka menganggap muntah, mimisan dan berbekam membatalkan wudhu,
sebagian lagi mengatakan tidak batal, sehingga tetap melakukan shalat meski hal-hal
seperti itu terjadi.
Sebagian dari mereka menetapkan bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan
yang bukan mahram tanpa lapisan membatalkan wudhu, sementara yang lain bilang
tidak.
Sebagian dari mereka ada yang bilang bahwa memakan daging unta atau daging yang
langsung dibakar dengan api membatalkan wudhu', sedangkan yang lain mengatakan
tidak.
Namun meski mereka berbeda-beda dalam pendapat, namun perbedaan itu tidak sampai
mencegah mereka dari shalat berjamaah, dimana imam dan makmum berbeda mazhab dan
pendapat.
Abu Yusuf berpendapat bahwa bekam itu membatalkan wudhu', namun beliau tetap
melakukan shalat dengan bermakmum kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid, padahal sang
khalifah ketika selesai berbekam langsung mengimami shalat tanpa berwudhu' kembali.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berfatwa bahwa orang yang mengalami mimisan di hidung
serta orang yang melakukan bekam, shalatnya batal. Namun demikian, beliau tetap
membolehkan shalat di belakang imam yang mimisan atau berbekam. Ketika ditanya,
kenapa hal itu dibolehkan? Beliau menjawab,"Apakah harus dilarang shalat di
belakang Al-Imam Malik dan Said ibnu Al-Musayyib?" Keduanya berfatwa bahwa bekam
dan mimisan tidak membatalkan shalat, dan Al-Imam Ahmad tetap menghormati pendapat
keduanya.
Al-Imam Asy-Syafi'i tegas menyebutkan bahwa qunut pada shalat shubuh hukumnya
sunnah muakkadah. Namun beliau sengaja meninggalkan qunut ketika shalat di masjid
dekat dengan maqam Al-Imam Abu Hanifah. Ketika ditanya kenapa saat itu meninggalkan
qunut pada shalat shubuh, beliau menjawab,"Apakah saya harus menentang Abu Hanifah
di hadapan beliau?"
C. Batas Kebolehan Perbedaan Pendapat
Meski pun berbeda pendapat itu dibolehkan, namun tetap ada batasan dimana kebolehan
itu berlaku. Di luar garis yang telah dibolehkan, maka perbedaan pendapat itu
menjadi tidak produktif lagi.
1. Masalah Cabang dan Bukan Fundamental
Kita sering membagi tema agama menjadi dua, yaitu hal-hal yang bertema aqidah dan
syariah. Di dalam tema aqidah, kita menemukan wilayah dasar dan wilayah cabang,
sebagaimana di dalam tema syariah pun kita menemukan ada yang berada di wilayah
dasar dan cabang.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama hanya diperbolehkan bila berada di wilayah
cabang, baik dalam tema aqidah maupun dalam tema fiqih.
Contoh tema aqidah yang merupakan dasar adalah kita beriman bahwa Allah SWT
bersifat Esa tidak berbilang dan tidak ada yang menyamai Dirinya.
Sedangkan tema aqidah tapi wilayah cabang adalah apa saja yang termasuk nama dan
sifat Allah. Seperti apa yang dimaksud dengan kursi Allah, termasuk juga masalah
wajah, tangan, kaki, dan lainnya. Para ulama boleh berbeda pendapat dalam masalah
cabang seperti ini dan tidak akan membuat mereka menjadi kafir atau masuk neraka.
Contoh tema syariah yang menjadi bagian dasar misalnya bahwa shalat lima waktu itu
hukumnya wajib bagi setiap muslim. Sedangkan contoh tema syariah yang menjadi
bagian furu' adalah apakah qunut pada shahat shubuh itu hukumnya sunnah atau
bid'ah. Para ulama dibolehkan berbeda pendapat dalam hukum qunut shubuh ini, tetapi
tidak boleh berbeda pendapat tentang disyariatkan lima waktu shalat yang wajib.
Tema Aqidah Tema Syariah
Dasar Allah itu Esa Shalat 5 waktu wajib
Cabang Kursi Allah, wajah, tangan, kaki Qunut shalat shubuh
Sayangnya dalam alam nyata, orang seringkali terbolak-balik dalam berbeda pendapat.
Kadang masalah yang fundmental masih saja diperdebatkan bahkan dipermasalahkan,
padahal bila hal itu dilakukan, justru sendi agama yang paling dasar akan dirusak.
Kalangan orientalis dan liberalis biasanya menyerang pada bagian dasar ini, teetapi
dengan kamuflase seolah-olah kita masih boleh berdebat dan berbeda pendapat.
2. Beda Pendapat Bukan Perpecahan
Yang juga seringkali kurang dipahami oleh banyak orang adalah kesan bahwa perbedaan
pendapat pada tingkat cabang berarti perpecahan. Padahal antara perbedaan pendapat
dengan perpecahan masih ada jarak yang sangat jauh, bagi mereka yang tahu aturan
main.
Memang terkadang orang-orang yang kurang ilmunya memandang bahwa perbedaan pendapat
itu harus bermakna perpecahan. Karena berbeda pendapat dalam batas-batas tertentu
dibenarkan, tetapi berpecah-belah itu diharamkan. Dan haramkan berpecah-belah itu
ditegaskan di dalam Al-Quran.
‫يعا َوال َ تَفَ ّ َرقُوا‬ً ‫بل الل ِّه َج ِم‬ِ ‫ِح‬ َ ‫َواعتَ ِص ُموا ب‬
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai. (QS. Ali Imran : 103)
Perpecahan di dalam masalah fundamental agama pernah dialami oleh umat sebelum
kita, yaitu para ahli kitab, baik yahudi maupun nasrani. Mereka adalah contoh yang
tidak baik dan tidak boleh ditiru. Oleh karena itu Allah SWT telah berpesan agar
kita jangan terperosok sebagaimana mereka terperosok.
ٌ‫ع ِظيم‬ َ ‫َاب‬ ٌ ‫عذ‬ َ ‫ات َوُأول َـِئ َك ل َُهم‬ ُ ‫ين تَفَ ّ َرقُوا َواختَلَفُوا ِمن بَع ِد َما َج‬
ُ َ ‫اءه ُم البَ ِيّن‬ َ ‫َوال َ تَك ُونُوا ك َال ّ َ ِذ‬
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang
mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran : 105)
Tugas para ulama adalah menegakkan agama Islam, oleh karena itu diharamkan bagi
mereka berpecah-belah. Dan ini merupakan wasiat tiap nabi yang pernah turun,
sebagaimana firman Allah SWT :
ِ ‫ين َول َا تَتَفَ َّرقُوا ِف‬
‫يه‬ َ ‫الد‬ّ ِ ‫يموا‬ُ ‫يسى َأن َأ ِق‬ َ ‫وسى َو ِع‬
َ ‫يم َو ُم‬ َ ‫َيك َو َما َو ّ َصينَا ب ِِه ِإ‬
ِ ‫بر‬
َ ‫اه‬ َ ‫وحينَا ِإ ل‬ َ ‫وحا َوال ّ َ ِذي َأ‬
ً ُ ‫ين َما َو ّ َصى ب ِِه ن‬ ّ ِ ‫َش َر َع لَك ُم ِ ّم َن‬
ِ ‫الد‬
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. Asy-Syura : 13)
‫لم بَغيًا بَين َ ُهم‬ ِ ‫اءه ُم‬
ُ ‫الع‬ ُ ‫َو َما تَفَ ّ َرقُوا ِإ لَّا ِمن بَع ِد َما َج‬
Dan mereka tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu
pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. (QS. Asy-Syura : 14)
3. Beda Pendapat Bukan Permusuhan
Perbedaan pendapat yang diharamkan adalah yang melahirkan permusuhan dengan sesama
muslim, apalagi sesama para ulama dan juru dakwah.
Kalau pun secara lahiriyah terpaksa umat ini berpisah, tidak berada dalam satu
kelompok atau jamaah, minimal mereka tidak boleh bermusuhan. Sebab permusuhan itu
akan sangat melemahkan umat, sebaliknya lawan akan nampak semakin tangguh.
‫عل َى الكُفّ َِار ُر َح َماء بَين َ ُهم‬ َ ‫ين َم َع ُه َأ ِش ّ َداء‬ َ ‫ول الل ّ َ ِه َوال َّ ِذ‬
ُ ‫ح ّ َمدٌ َّر ُس‬
َ ‫ُّم‬
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS. Al-
Fath : 29)
Maka sepanas apapun berbedaan pendapat di antara sesama umat Islam, tidak boleh
sampai terjadi permusuhan, dendam, atau pun tindakan-tindakan anarkis.
Ketika Nabi Musa menarik rambut dan jenggot saudaranya, Nabi Harun, alaihimassalam,
beliau pun diingatkan untuk tidak melakukannya.
‫يل َول َم تَرقُب قَولِي‬ َ ‫سراِئ‬
َ ‫ين بَ ِني ِإ‬ َ َ‫قت ب‬ َ ‫ول ف ّ ََر‬ َ ُ‫يت َأن تَق‬ ُ ‫أسي ِإ ِن ّي َخ ِش‬ ِ ‫أخذ ِبلِحي َ ِتي َول َا ب َِر‬ُ َ‫ابن ُأ ّ َم ل َا ت‬
َ ‫َال يَا‬ َ ‫ق‬
Harun menjawab,"Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan
kepalaku. Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata,"Kamu telah memecah
antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku".(QS. Thaha : 94)
4. Adab dan Akhlaq Berbeda Pendapat
Dan biasanya permusuhan itu akan semakin berkobar, manakala perbedaan pendapat itu
diwarnai pula dengan tindakan dan ucapan yang tidak terpuji.
Maka kalau pun terpaksa harus berbeda pendapat, haram hukumnya untuk saling
melempar cacian, hinaan, cemoohan, bahkan mendoakan keburukan dan tindakan-tindakan
negatif lainnya.
‫ير‬ِ ‫الح ِم‬
َ ‫وت‬ُ ‫ات ل ََص‬ ِ ‫صو‬ َ ‫اغضض ِمن َصو ِت َك ِإ ّ َن َأنك ََر اَأل‬ ُ ‫اقصد ِفي َمشي َِك َو‬ ِ ‫َو‬
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman : 19)
ِ ‫َحم َأ ِخ‬
‫يه‬ َ ‫ب َح ُدك ُم ن يَأك َُل ل‬
‫َأ‬ ‫عضا َأيُ ِح ُ َأ‬
ّ ً َ‫عضك ُم ب‬ ُ َ ّ‫ج ّ َس ُسوا َول َا يَغتَب ب‬ َ َ‫الظ ِّن ِإ ثمٌ َول َا ت‬
َّ ‫عض‬ ً ‫آمنُوا اجتَ ِنبُوا ك َ ِث‬
َّ ‫يرا ِ ّم َن‬
َ َ‫الظ ِّن ِإ ّ َن ب‬ َ ‫يَا َأيُّ َها ال َّ ِذ‬
َ ‫ين‬
‫يم‬ ‫ح‬ِ ‫ر‬
ٌ َّ ٌ َّ َ َ‫اب‬ ‫و‬ ‫ت‬ ‫ه‬َ ّ ‫ل‬ ‫ال‬ َ
‫ن‬ ّ ‫َ ِإ‬‫ه‬َ ّ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫وا‬ ‫ق‬َ ‫ت‬ ‫ا‬‫و‬ ‫وه‬
ُّ َ ُ ُ ُ ِ‫م‬ ‫ت‬ ‫ه‬‫َر‬ ‫ك‬ ‫ف‬َ ‫ا‬ ‫ت‬
ً َ‫ي‬ ‫م‬
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka , karena sebagian
dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat
lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat : 12)
a. Tidak Mencaci
Perilaku tidak terpuji dari mereka yang berbeda pendapat adalah melontarkan makian,
hinaan dan cemoohan kepada pihak yang pendapatnya tidak sejalan dengan pendapat
mereka.
Sayangnya, kita masih sering membaca atau mendengar ungkapan-ungkapan yang kurang
simpatik dari mereka yang berbeda pendapat, seperti ungkapan berikut :
Pendapat ini tidak keluar kecuali dari mulut orang-orang yang bodoh, dungu dan
tidak berilmu
Mereka yang berpendapat seperti ini tidak lain hanyalah sekumpulan orang-orang
bodoh, dungu, sesat, tidak punya akal dan ideot.
Pendapat ini tidak keluar kecuali dari orang-orang yang lemah iman, tidak punya
keteguhan hati, serta orang-orang yang jiwana mudah terbawa nafsu duniawi.
Di antara adab mulia yang wajib dilakukan oleh mereka yang berbeda pendapat adalah
bukan dengan langsung mengeluarkan vonis yang menjatuhkan, apalagi menghina. Masih
ada begitu banyak ungkapan yang lebih sopan dan halus, seperti ungkapan :
meski tidak menolak, namun saya lebih cenderung pada pendapat yang berbeda.
Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, namun menurut hemat saya agak kurang sesuai
dengan situasinya.
dalam masalah ini para ulama memang berbeda pendapat, ada yang berpendapat A, B
atau C. Tanpa mengurangi rasa hormat pada pendapat lain, saya agak cenderung
sependapat dengan pendapat C.
Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada beliau, namun rasanya pendapat beliau ini
kurang tepat, wallahua'lam.
b. Mengutip Dengan Lengkap
Salah satu adab dalam berbeda pendapat adalah tidak langsung menyalahkan pendapat
orang lain, tetapi etikanya harus dikutipkan dulu apa yang menjadi pendapat orang,
serta dilengkapi dengan alasan dan argumentasinya.
Dan yang lebih tepat lagi adalah mencoba membenarkan pendapat itu sebagai hasil
sebuah ijtihad, lalu menampilkan pendapat yang berbeda, juga lengkap dengan dalil
dan argumentasinya.
Dua pendapat yang berbeda ini harus secara jujur dikemukakan dengan adil dan
seimbang, tanpa harus menambahi atau mengurangi. Disini wajib ada amanah ilmiyah,
yang harus dipertanggung-jawabkan.
Sehingga para dasarnya kita tidak asal melakukan tuduhan atau melempar kesalahan
orang lain. Yang kita lakukan sekedar memberikan penilaian, yang kita upayakan
seobjektif mungkin, tanpa diiringi dengan fanatisme buta.
c. Tidak Mendominasi Kebenaran
Terakhir, barulah kita boleh memberikan penilaian yang bersifat subjektif, serta
dilengkapi dengan ungkapan yang sopan dan beretika.
Juga akan menjadi lebih baik bila kita sampaikan juga bahwa pendapat yang kita
pilih ini bukan kebenaran yang bersifat mutlak, tetapi bisa saja salah. Sementara
pendapat yang ditolak, bukan berarti pendapat itu salah atau menyesatkan. Pendapat
itu bisa saja menjadi benar.
Dan kebenaran hanya milik Allah, atau dengan ungkapan wallahua'lam.
D. Sebab Perbedaan Pendapat
Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dlanni (lawan dari qathi)
atau yang lafadznya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah sebagai
berikut :
1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Nash
Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadz tersebut umum (mujmal) atau lafadz
yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadz memiliki
arti umum dan khusus, atau lafadz yang memiliki makna hakiki atau makna menurut
adat kebiasaan, dan lain-lain.
Contohnya, lafadz al quru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al Baqarah :228). Atau
lafadz perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadz nahy; memiliki makna
larangan yang haram atau makruh.
Contoh lainnya adalah lafaz yang memiliki kemungkinan dua makna antara umum atau
khusus adalah Al Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam agama” apakah ini informasi
memiliki arti larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?
2. Perbedaan Riwayat
Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa,
diantaranya :
 hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada
perawi lainya
 atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya
dengan jalan perawi yang kuat
 atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli
hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat
 atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis.
Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai
pembawa hadis.
 atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati,
namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu.
Seperti hadis mursal.
3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum
Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat,
istishab, saddu dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.
4. Perbedaan Kaidah Ushul Fiqih
Seperti kaidah usul fiqih yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi
hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar",
"tambahan terhadap nash quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-
kaidah ini menjadi perbedaan ulama.
5. Ijtihad dengan Qiyas
Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal
(masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah
syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa
diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas disamping juga ada
kesepakatan antara ulama.
6. Pertentangan Antar Dalil
Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada
yang berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan,
penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.
Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar sunnah
baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-penetapannya.
Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh penyifatan tindakan Rasulullah SAW dalam
berpolitik atau memberi fatwah.
Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama – semoga Allah membalas mereka dengan
balasan kebaikan – tidak mungkin semuanya merepresentasikan sebagai syariat Allah
yang turun kepada Rasulullah SAW. Meski demikian kita memiliki kewajiban untuk
beramal dengan salah satu dari perbedaan ulama. Yang benar, kebanyakan masalah
ijtihadiah dan pendapat yang bersifat dlanniyah (pretensi) dihormati dan disikapi
sama.
Perbedaan ini tidak boleh menjadi pemicu kepada ashobiyah (fanatisme golongan),
permusuhan, perpecahan yang dibenci Allah antara kaum Muslimin yang disebut Al-
Quran sebagai umat bersaudara, yang juga diperintah untuk berpegang teguh dengan
tali Allah.
Para sahabat sendiri berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum Allah atau
syariat Allah. Namun mereka menyebut,"Ini adalah pendapatku, jika benar ia berasal
dari Allah jika salah maka ia berasal dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya
darinya (pendapat saya) berlepas diri."
Di antara nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, kepada para pasukannya baik
dipimpin langsung atau tidak adalah,
"Jika kalian mengepung sebuah benteng, dan mereka ingin memberlakukan hukum Allah,
maka jangan kalian terapkan mereka dengan hukum Allah, namun berlakukan kepada
mereka dengan hukummu, karena engkau tidak tahu, apakah engkau tepat dalam
menerapkan hukum Allah kepada mereka atau tidak," (HR Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah)
Ini menegaskan tentang ketetapan ijtihad atau kesalahannya dalam masalah cabang
fiqih.

Bab 4 : Mazhab Fiqih


A. Pengertian Mazhab
1. Bahasa
Secara bahasa, kata mazhab (‫ )مذهب‬adalah bentuk kata dasarnya yaitu kata dzahaba (
‫ )ذهب‬yang berarti pergi. Mazhab adalah bentuk isim makan dan juga bisa menjadi isim
zaman dari kata tersebut, sehingga bermakna :
‫هاب وزمان ُ ُه‬ ِ ‫ومكان ال ِّذ‬
ُ ‫يق‬ُ ‫الط ِر‬
ّ
Jalan atau tempat untuk berjalan, atau waktu untuk berjalan.
Ahmad Ash-Shawi Al-Maliki menyebutkan bahwa makna etimologis dari mazhab adalah :
ِ ‫المحس‬
‫وسة‬ ُ ‫يق‬
ِ ‫كالط ِر‬
ّ ‫هاب‬
ِ ‫محل ال ِّذ‬ ُّ
Tempat untuk pergi seperti jalanan secara fisik
2. Istilah
Apapun makna secara istilah yang digunakan di dalam Ilmu Fiqih, kata mazhab itu
didefinisikan oleh Az-Zarqani sebagai :
‫في األحكا ِم االِج ِتها ِدي ّ ِة‬ ِ ‫ليه ِإ ما ٌم ِمن األِئ ّم ِة‬
ِ ‫ب ِإ‬
َ ‫َما ذ ََه‬
Pendapat yang diambil oleh seorang imam dan para imam dalam masalah yang terkait
dengan hukum-hukum ijtihadiyah.
 Pendapat
Mazhab pada hakikatnya adalah pendapat. Penjelasannya adalah bahwa tidak semua
hukum-hukum syariah bisa dengan jelas ditemukan dasar dalilnya di dalam Al-Quran
dan As-Sunnah. Ada begitu banyak hukum yang tidak mudah ditemukan dalilnya, bahkan
boleh dikatakan bahwa justru sebagian besarnya justru tidak bisa dengan mudah
didapat dalilnya dengan cara yang gamblang pada nash-nash syariah itu.
Untuk itu para fuqaha, yaitu ulama yang ahli di bidang istimbath hukum, perlu
melakukan berbagai upaya ijtihad untuk dapat mengeluarkan kesimpulan. Dalam
prosesnya, memang tidak bisa dipungkiri bahwa kemudian muncul perbedaan-perbedaan
antara satu dengan yang lain. Hal itu tentu terjadi karena banyak faktor yang
mempengaruhinya.
Mazhab pada hakikatnya adalah sebuah kesimpulan hukum yang diambil.
 Imam
Mazhab bukan sembarang pendapat yang keluar dari kepala sembarang orang. Tetapi
mazhab tidak lain merupakan pendapat yang diambil oleh seseorang dengan kapasitas
sebagai imam. Dalam hal ini yang perlu digaris-bawahi adalah istilah imam itu
sendiri.
Imam adalah gelar yang diberikan kepada ahli fiqih yang sudah sampai pada derajat
yang paling tinggi, seumpama imam dalam sebuah shalat jamaah. Tidak semua orang
boleh dianggap sebagai ulama. Dan tidak setiap ulama bisa masuk ke dalam kategori
ahli fiqih. Dan tidak semua ahli fiqih masuk ke dalam kategori imam.
Jumlah ulama mungkin bisa ribuan bahkan jutaan, tetapi jumlah imam mazhab hanya
beberapa gelintir orang saja. Dan jumlah imam yang mazhabnya tetap tegak sejak masa
awal didirikan hingga hari ini masih eksis hanya ada empat saja. Selebihnya banyak
yang sudah punah dengan berbagai faktor.
 Hukum Ijtihadiyah
Yang dimaksud dengan hukum ijtihadiyah adalah hukum-hukum yang kesimpulannya harus
didapat lewat ijtihad. Sedangkan hukum-hukum yang sudah jelas dalilnya, maka bukan
wilayah yang dibahas oleh sebuah mazhab fiqih.
B. Mazhab Fiqih Bukan Mazhab Aqidah
Istilah mazhab sering digunakan dalam banyak disiplin ilmu. Misalnya ilmu aqidah
dan ilmu kalam, di dalamnya juga dipelajari adanya berbagai mazhab dan aliran,
seperti Al-Asy’ariyah, Al-Maturidiyah, Al-Jabbariyah, Al-Qadariyah, dan seterusnya.
1. Tema Pembahasan Ilmu Kalam
Mazhab-mazhab aqidah lebih banyak mempersoalkan atau memperdebatkan masalah-masalah
aqidah, baik yang bersifat fundamental atau pun yang bersifat tambahan.
Bila yang dikaji adalah masalah yang bersifat fundamental dan dasar-dasar aqidah,
maka vonis yang keluar dari perdebatan itu bisa sampai ke jenjang pengkafiran atau
kesesatan.
Namun kalau dibandingkan antara pembahasan aqidah yang bersifat fundamental, dalam
kenyataannya yang lebiih sering diperdebatkan oleh para ahli kalam lebih sering
justu masalah yang tidak terlalu fundamental, dimana masalah itu tidak terkait
dengan syarat dasar menjadi muslim. Mazhab-mazhab dalam ilmu kalam lebih banyak
memperdebatkan wilayah-wilayah yang lebih bersifat tambahan dan aksesoris saja.
Namun kadang wilayah yang tidak esensial ini sering dibawa-bawa masuk ke dalam
wilayah fundamental.
Padahal sebenarnya bangunan aqidah yang kokoh itu sangat sederhana strukturnya,
mudah dipahami, tidak njelimet, dan semua level pemikiran umat manusia dapat dengan
mudah memahaminya. Di masa Rasulullah SAW, aqidah itu sekedar orang meyakini dan
mengikrarkan dua kalimat syahadat, maka secara formal orang itu sudah dianggap
berstatus muslim.
Adapun masalah-masalah yang lebih jauh dalam lagi, lebih merupakan perdebatan yang
bersifat aksesoris dan tambahan, dimana seseorang tidak akan ditanya di alam
barzakh nanti tentang pendapatnya dalam masalah yang diperdebatkan itu. Yang
ditanyakan hanya hal-hal yang esensial dan fundamental saja, sedangkan masalah yang
sering diperdebatkan oleh para ahli ilmu kalam, tidak menjadi hal yang
dipersoalkan.
2. Tema Pembahasan Ilmu Fiqih
Sedangkan mazhab-mazhab fiqih hanya mempersoalkan urusan hukum yang dalilnya tidak
jelas, atau bahkan masalah yang memang sama sekali tidak ada dalilnya di dalam Al-
Quran dan As-Sunnah. Dan jumlah masalah yang tidak jelas hukumnya atau yang sama
sekali tidak ada landasan hukumnya ternyata sangat banyak, dan justru lebih
mendominasi.
Sementara kepastian hukum adalah sesuatu yang sifatnya mutlak harus ada jawabannya.
Namun di sisi lain, seseorang tidak boleh secara sembrono dan seenaknya menetapkan
suatu hukum syariah.
Oleh karena itulah dibutuhkan para ulama ahli fiqih untuk membantu meringankan
orang-orang awam yang tidak punya kapasitas dan otoritas dalam melakukan ijtihad.
Maka untuk itu keberadaan mazhab fiqih menjadi penting bagi umat Islam.
C. Tasykik Atas Mazhab
Ada begitu banyak tasykik (keraguan) yang diarahkan kepada mazhab fiqih, baik yang
dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, atau pun dilontarkan dari kalangan umat Islam
sendiri, yang sekiranya ilmunya kurang mendalam dalam urusan kedudukan mazhab
fiqih.
1. Taqlid
Kesalah-pahaman atas mazhab fiqih bahwa mazhab itu akan menghidupkan pola-pola
taqlid buta. Padahal Allah memerintahkan kita untuk menggunakan akal dan pemikiran
dan menjauhi sifat taqlid buta.
ٌ‫َيس ل ََك ب ِِه ِعلم‬ َ ‫قف َما ل‬ ُ َ‫َوال َ ت‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya..
(QS. Al-Isra' : 36)
Jawaban
Ada beberapa poin yang penting untuk menjawab tasykik ini.
Pertama, bertaqlid itu ada yang hukumnya haram dan ada yang hukumnya halal bahkan
wajib. Tergantung siapa yang bertaqlid dan kepada siapa dia bertaqlid, serta dalam
masalah apa.
Taqlid yang haram adalah taqlid kepada orang yang bukan ahli di bidangnya. Misalnya
bertaqlid kepada orang jahil yang tidak mengerti ilmu syariah dalam masalah hukum
halal dan haram. Taqlid kepada orang seperti ini hukum 100% haram. Sebab orang
seperti ini tidak bisa memberi petunjuk, karena dirinya adalah orang jahil yang
tidak punya ilmu.
Sebaliknya, bertaqlid kepada Rasulullah SAW, para shahabat yang ahli ilmu serta
kepada para ulama ahli waris Nabi SAW, maka jelas hukumnya 100% wajib.
Dan bermazhab itu pada hakikatnya adalah bertaqlid kepada Rasulullah SAW, para
shahabat dan para ulama yang menjadi pewaris Nabi. Kalau bukan bertaqlid kepada
mereka, lalu apakah kita akan bertaqlid kepada orang lain?
Kedua, kenapa kita harus bertaqlid?
Meski Al-Quran dan Sunnah ada di depan mata kita, namun tidak ada satu pun di
antara kita yang hidup pada saat Al-Quran itu diturunkan dan hadits nabi
disampaikan. Antara kita dengan masa itu terbentang jarak waktu 14 abad lamanya.
Maka segala pengetahuan kita tentang Al-Quran dan As-Sunnah sangat butuh terhadap
informasi yang mengiringi keduanya. Dan informasi itu kita dapat lewat mazhab-
mazhab fiqih.
2. Bid'ah
Mazhab fiqih juga sering dituduh sebagai bid'ah yang baru dalam masalah agama.
Sebab Rasulullah SAW hanya mewariskan dua perkara saja, yaitu Al-Quran dan Sunnah.
‫الله َو ُسن َ َة نَبِي ّ ِِه‬
ِ ‫ين ل َن تَ ِضلُّوا ما َ تَ َم ّ َسكتُم بِهما َ ك َتا ََب‬
ِ ‫مر‬ ‫كت ِفيك ُم َأ‬
ُ ‫تَ َر‬
َ
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi
kamu berpegangan teguh pada keduanya, yaituberupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-
Nya:. (HR. Malik)
Sedangkan mazhab itu bukan warisan dari Rasulullah SAW dan tidak ada perintah untuk
berpegang teguh kepada mazhab.
Jawaban
Untuk menjawab masalah ini, ada dua jawaban.
Pertama, bahwa bermazhab itu bukan bid'ah. Sebab bid'ah itu hanya terbatas pada
perbuatan yang melanggar prinsip-prinsip dasar agama. Sedangkan hal-hal yang
bersifat teknis dalam beragama, para ulama sepakat tidak memasukkannya dalam
kategori bid'ah.
Contoh yang mudah dalam masalah ini adalah ilmu nahwu, ilmu tajwid dan ilmu
hadits. Semua ulama sepakat bahwa setiap muslim wajib mengetahui ilmu nahwu, ilmu
tajwid dan juga ilmu hadits, karena tanpa semua ilmu itu, kita tidak tahu makna Al-
Quran dan hadits, juga tidak bisa membaca Al-Quran dengan benar.
Padahal ilmu Nahwu, ilmu Tajwid dan ilmu Hadits belum ada di masa Rasulullah SAW.
Tidak ada satu pun shahabat Nabi SAW yang pernah membahas bahwa kedudukan fail itu
selalu marfu' dan maf'ul itu selalu manshub. Dan Rasulullah SAW tidak pernah
mengajarkan hukum nun mati bertemu dengan huruf izhar, idgham, ikhfa' dan iqlab.
Di masa Nabi SAW tidak pernah ada istilah-istilah yang diciptakan kemudian seperti
istilah hadits mutawatir, atau hadits shahih, hasan, dhaif atau maudhu'.
Semua ilmu itu tidak pernah ada di masa Rasulullah SAW, bahkan sampai beberapa
tahun kemudian. Namun belum pernah ada ulama yang berfatwa bahwa ilmu Nahwu, ilmu
Tajwid atau ilmu Hadits hukumnya bid'ah.
Kedua, kalau pun tetap mau dipaksakan istilah bid'ah, maka tidak semua perkara yang
termasuk kategori bid'ah itu hukumnya haram.
Misalnya tentang pencetakan buku yang isinya tentang ilmu agama. Mushaf Al-Quran
yang di zaman Nabi SAW tidak pernah dicetak. Demikian juga dengan kitab-kitab
hadits. Begitu juga dengan pendirian sekolah, ma'had, kampus dan universitas, yang
mengajarkan dan mendidik para calon ulama. Semuanya belum pernah ada di masa
Rasulullah SAW dan baru diciptakan oleh manusia beberapa puluh tahun sepeninggal
beliau SAW.
Dan semua itu masuk dalam kategori bid'ah juga. Hanya saja, tidak ada seorang pun
yang pernah berfatwa bahwa orang yang membaca dari mushaf, atau membaca kitab-kitab
agama, atau belajar di sekolah atau kampus sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan
dipastikan masuk neraka.
Demikian juga halnya dengan mazhab. Meski pun keempat mazhab baru berdiri kurang
lebih seratus tahun setelah Rasulullah SAW wafat, namun mazhab-mazhab itu mutlak
dibutuhkan oleh umat Islam sepanjang zaman, sebagaimana umat Islam mutlak butuh
mushaf dan kitab-kitab agama.
Mengatakan bahwa mazhab itu bid'ah sebenarnya sama saja dengan berfatwa bahwa
mushaf, kitab dan kampus itu bid'ah.
3. Fanatisme dan Perpecahan
Banyak orang mengira bahwa dengan menggunakan mazhab fiqih berarti sama saja kita
mundur ke belakang dan kembali kepada fanatisme kelompok dan bermuara kepada
perpecahan di tengah umat Islam.
Padahal Allah SWT mewajibkan umat Islam bersatu dan mengharamkan perpecahan.
ً ‫بل الل ِّه َج ِم‬
‫يعا َوال َ تَفَ ّ َرقُوا‬ َ ‫َواعتَ ِص ُموا ب‬
ِ ‫ِح‬
Dan berpegang-teguhlah kalian pada tali Allah dan jangan berpecah belah. (QS. Ali
Imran : 103)
Jawaban
Perbedaan pendapat itu tidak berarti perpecahan. Sebab para nabi dan rasul pun
boleh berbeda pendapat, tetapi kita tidak mengatakan bahwa mereka telah berpecah
belah. Demikian juga para malaikat yang mulia dan tidak punya nafsu itu bisa saja
berbeda pendapat, sebagai kisah orang yang membunuh 99 nyawa ditambah satu nyawa.
Tetapi kita tidak bisa menarik kesimpulan bahwa para malaikat telah berpecah-belah
atau saling bermusuhan.
Maka antara perbedaan pendapat dengan perpecahan dan permusuhan ada jurang pemisah
yang sangat lebar.
Perpecahan atau permusuhan itu biasanya tidak dipicu dari perbedaan pendapat,
melainkan lebih sering dipicu dari rasa iri dan dengki, atau dendam yang dipendam
lama dan dikipas-kipaskan oleh setan.
Dan para ulama ketika berbeda pendapat, sama sekali jauh dari niat untuk berpecah
belah. Justru mereka saling menghormati dan saling menghargai. Para ulama antar
mazhab sudah terbiasa berbalas pujian satu dengan yanglain, karena sifat dan sikap
tawadhdhu’ mereka yang memang merupakan ciri khas dan akhlaq paling dasar.
Sedangkan perpecahan atau permusuhan biasanya terjadi antara pihak-pihak yang sakit
hati, dan adanya persaingan yang tidak sehat.
4. Ketinggalan Zaman
Mazhab fiqih juga sering dipandang sebelah mata, karena dianggap merupakan produk
yang sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi relevan untuk digunakan di masa
sekarang ini.
Jawaban
Beberapa pendapat mazhab memang ada yang bisa dianggap kadaluarsa dan tidak cocok
lagi untuk diterapkan di masa sekarang ini.
Namun bukan berarti seluruh isi Ilmu Fiqih dalam tiap mazhab itu usang dan kuno.
Dalam banyak hal, kita masih menemukan relevansi yang sangat kuat antara isi materi
Ilmu Fiqih di masa para ulama mazhab dahulu dengan realitas yang terjadi di masa
sekarang.
Dan apa yang telah ditemukan di masa lalu tidak selalu harus usang tidak terpakai
di hari ini. Bukankah rumus Pyithagoras (569-475 SM) telah ditemukan sejak 25 abad
yang lalu, namun sampai hari ini para ilmuwan masih tidak bisa melepaskan diri dari
rumus tersebut.
D. Mengapa Kita Bermazhab?
Terdapat pertanyaan yang tersebar di kalangan para penuntut ilmu, “Kenapa kita
harus bermazhab?”, “Bukannya kita diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Allah
dan Rasul-Nya, dan bukan para imam mazhab?”, atau “Bahkan para imam mazhab pun
melarang kita untuk bertaklid kepada mereka!”
Setidaknya terdapat tujuh poin penting yang kita dapatkan dalam bermazhab. Saya
akan jelaskan satu persatu, semoga bermanfaat.
1. Sanad Bersambung
Mazhab-mazhab fikih itu musannadah atau memiliki sanad dalam setiap perkataan dan
pemahamannya. Sanad merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan beragama
seorang muslim. Ibnu Sirin, salah seorang ulama generasi tabiin berkata :
“Awalnya mereka (kaum muslim saat itu) tidak pernah bertanya tentang sanad, namun
ketika terjadi fitnah mereka berkata beritahu kami siapa orang (yang kau ambil
ilmunya)! Lalu dilihatlah para kaum ahlusunah dan hadis mereka diambil, dan
dilihatlah kaum ahli bidah dan hadis mereka tidak diambil.”
Dalam riwayat lain dari Ibnu Sirin juga mengatakan :
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil
agama kalian!”
Awalnya Rasulullah mengajarkan agama ini kepada para sahabat. Para sahabat pun
memiliki derajat pemahaman terhadap agama yang berbeda-beda karena beberapa sebab.
Maka dikenallah beberapa orang sahabat yang tidak hanya meriwayatkan hadis dari
Rasulullah SAW, namun juga mereka dikenal sebagai para mujtahid dari para sahabat.
Di antaranya adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Ibnu Mas`ud dan Aisyah binti Abu Bakar.
Saat Rasulullah tiada, para sahabat ini beserta para sahabat lain berpencar ke
berbagai penjuru daerah untuk menyebarkan apa yang telah mereka dapatkan dari
Rasulullah. Ibnu Mas`ud menetap di Kufah, Ibnu Umar menetap di Madinah, Abu Musa
al-Asy`ari di Yaman, Anas bin Malik di Bashrah, dan Amru bin al-`Ash di Mesir.
Dan di generasi selanjutnya, terdapat dua aliran besar dalam Islam yaitu madrasah
ahlu ra`yi, para murid dari Ibnu Mas`ud di Kufah dan madrasah ahlu hadis, para
murid dari Ibnu Umar di Madinah.
Dari dua madrasah inilah kemudian muncul imam Abu Hanifah di Kufah dan imam Malik
bin Anas di Madinah. Kemudian muncul Imam Syafi`i yang belajar kepada imam Malik
dan imam Muhammad bin al-Hasan As-Syaibani murid dari imam Abu Hanifah. Kemudian
muncul imam Ahmad bin Hanbal yang belajar kepada imam Syafi`i.
Para imam itu kemudian mengajarkan ilmunya kepada generasi-generasi selanjutnya
dengan cara yang sama. Penjelasan tentang sanad dalam mazhab Syafi`i saja akan
menghabiskan banyak sekali lembaran catatan yang berisi nama, tahun wafat, nama
guru dan muridnya.
Sanad merupakan salah satu sebab kenapa ajaran agama Islam bisa bertahan dan tidak
berubah laiknya agama Yahudi dan Nasrani. Maka, menjaga tradisi beragama melalui
sanad dalam mazhab juga merupakan jalan untuk menjaga agama ini dari serangan
tangan-tangan orang luar Islam.
2. Makhdumah
Mazhab-mazhab fikih itu makhdumah atau menjadi bahan penelitian yang sangat serius.
Awalnya bermula dari kitab yang dituliskan oleh imam mazhab ataupun oleh muridnya,
kitab itu kemudian diringkas, diteliti dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya.
Ringkasan itu kemudian kita kenal sebagai matan yang kemudian disyarah oleh
generasi selanjutnya.
Syarah dari matan itu pun kemudian dijelaskan lagi dalam bentuk hasyiah, kemudian
diberi komentar-komentar oleh generasi selanjutnya.
Tidak berhenti di situ, terkadang sebuah matan kembali diringkas, ditambahi,
kemudian dijelaskan, dan begitu seterusnya. Maka, akan terdapat silsilah kitab yang
jelas di setiap mazhab.
Contohnya dalam mazhab Syafi`i. Terdapat empat kitab yang diwariskan oleh Imam
Syafi`i dan muridnya, yaitu kitab al-Umm, al-Imla’, mukhtasar al-Buwaythi, dan
mukhtasar al-Muzani. Mukhtasar al-Muzani kemudian disyarah oleh tujuh orang ulama
generasi setelahnya dan diringkas oleh satu orang hingga terdapat delapan buah
kitab muktamad yang berasal darinya.
Salah satunya adalah kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab karya imam
Haramayn al-Juwayni yang kemudian diringkas oleh imam al-Ghazali menjadi tiga
kitab, yaitu al-Basith, al-Wasith, dan al-Wajiz.
Al-Wajiz kemudian disyarah oleh imam Rafi`i menjadi Fath al-`Aziz yang kemudian
diringkas lagi oleh imam Nawawi menjadi Rawdhah al-Thalibin dan imam Qazwini
menjadial-Hawi al-Shaghir.
Kedua kitab itu pun masih diringkas, lalu disyarah, dan syarah itu kemudian
disyarah, dikomentari, dan ditambahi hinga menjadi belasan kitab lainnya.
Selain itu terdapat tiga kitab utama dari kalangan ulama Syafi`i muta’akhir, yaitu
al-Lubab, al-Muharrar, dan Ghayah al-Ikhtishar.
Ketiga kitab itu pun disyarah, diberi hasyiah, terus dan terus dikaji hingga
silsilah kitab dalam mazhab Syafi`i bisa tergambar jelas dalam sebuah diagram pohon
silsilah yang panjang.
3. Mudallalah
Mazhab-mazhab itu mudallalah, yaitu setiap hukum yang terdapat di dalamnya memiliki
landasan baik dari al-Quran, sunah, maupun sumber hukum lainnya sesuai dengan
metode ijtihad dari masing-masing mazhab.
Perbedaan pendapat di antara mazhab satu dengan lainnya bukanlah didasarkan atas
akal-akalan para ulama mazhab, namun karena perbedaan metode, pemahaman, penilaian
terhadap riwayat, situasi tempat tinggal, dan beberapa sebab lain.
Contohnya saja dalam masalah Basmalah dalam surat al-Fatihah. Ada pendapat yang
menyatakan bahwa Basmalah bukan termasuk surat al-Fatihah, ada juga pendapat yang
menyatakan bahwa Basmalah termasuk surat al-Fatihah.
Dalam membacanya pun terdapat perbedaan dari masing-masing mazhab. Semuanya
memiliki dalil dan metode sendiri-sendiri yang menyebabkan perbedaan pendapat ini.
4. Punya Akar Kepada Imam
Mazhab-mazhab itu memiliki akar yang menyambung kepada imam masing-masing. Dan
perbedaan imam tersebut menjadikan perbedaan kaidah-kaidah dan metode ijtihad yang
berbeda satu sama lain.
Di dalam fikih mazhab Syafi`i terdapat lima kaidah utama yang dijelaskan oleh imam
al-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wa al-Nadza’ir, yang lima kaidah itu belum tentu
ada di mazhab lainnya.
5. Kurikulum Berkesinambungan
Mazhab-mazhab itu memiliki metode sendiri dalam pengajarannya. Setiap mazhab
memiliki metode yang berbeda dalam setiap tingkatan untuk memudahkan para penuntut
ilmu dalam menyerap dan memahami fikih sesuai dengan kemampuannya.
Misalkan dalam mazhab Syafi`i terdapat kitab Safinah al-Najah untuk pemula dengan
berbagai syarahnya, kemudian diteruskan dengan kitab al-Ghayah wa al-Taqrib untuk
tingkat selanjutnya juga dengan berbagai syarahnya,
Ada kitab Fath al-Mu`in, al-Muhadzab, Minhaj al-Thalibin, dan kitab-kitab lain
hingga jika seorang murid telah mampu untuk membaca dan memahami ia bisa menelaah
sendiri kitab-kitab yang menjadi rujukan utama dalam mazhab Syafi`i.
Seorang pelajar pemula akan lebih cepat memahami dan mempraktekkan apa yang ia
pahami jika telah dibuat ringkas sebagaimana matan Safinah al-Najah.
Jika anda membuka matan kitab itu, maka anda akan melihat bahwa di dalamnya hanya
terdapat hal-hal yang utama untuk diketahui lebih awal oleh para pemula. Kitab itu
hanya memuat bab rukun Iman dan Islam, bab bersuci, bab salat, bab jenazah, bab
zakat, puasa dan haji dengan penjelasan yang sangat singkat.
Karena hal itulah yang paling utama untuk diketahui dan diamalkan oleh pemula
sesaat setelah mereka balig. Berbeda dengan matan al-Ghayah wa al-Taqrib yang
isinya lebih lengkap, dan berbeda juga dengan matan Minhaj al-Thalibinyang di
dalamnya disertai dengan perbedaan pendapat antara ulama-ulama di dalam mazhab
Syafi`i.
Hal itu berbeda jika pembelajaran dimulai menggunakan kitab yang berisi hadis-hadis
dengan sedikit komentar di dalamnya.
Sebuah hadis bisa saja memiliki dua hingga lima maksud yang berbeda yang hal itu
akan sangat menyulitkan bagi para pemula. Belum lagi bahwa diperlukan waktu yang
lama untuk mempelajari seluruh hadis shahih yang ada dalam bab bersuci, lalu kapan
bab shalat, puasa dan haji akan dipelajari?
Bagaimana jika ketika seorang pelajar telah memasuki usia baligh namun ia baru
sampai di bab bersuci?
Matan kitab-kitab tersebut adalah hasil ijtihad dari penulis kitab itu sesuai
dengan metode yang telah ia pelajari. Memang, di dalam matan-matan itu jarang
sekali terdapat dalil baik dari al-Quran ataupun sunah. Namun pendalaman akan
dalil-dalil itu bisa diperdalami di kemudian hari saat seorang pelajar telah siap
untuk hal itu.
Seorang muslim akan bertanggungjawab atas dirinya sendiri dalam beribadah kepada
Allah sejak ia masuk usia baligh. Maka, hal-hal yang harus dipenuhi pertama kali
adalah hal yang menunjang ia dalam beribadah di saat itu.
6. Terkodifikasi
Mazhab-mazhab itu telah terkodifikasi, dan telah terkomparasikan antara satu dan
lainnya. Pada tinggat selanjutnya, seorang pelajar akan bertemu dengan pelajaran
fikih perbandingan mazhab yang mana di sana ia akan bertemu dengan perbedaan
pendapat antara mazhab satu dan lainnya.
Di sana juga ia akan mengenali perbedaan pendapat, dalil dan metode ijtihad yang
telah menjadi ciri dari mazhab-mazhab itu sendiri.
Seluruh pendapat dan metode ijtihad itu merupakan bangunan tradisi keilmuan fikih
yang sangat megah yang jika mazhab-mazhab itu dihapuskan maka usaha dan pengabdian
para pendahulu kita terhadap agama ini tak lagi ada harganya.
Ini juga merupakan salah satu upaya penghargaan atas jerih payah dan pengabdian
para pendahulu kita terhadap agama ini. Semoga Allah membalas mereka dan
menempatkan mereka di tempat yang layak.
7. Cara Bertahan
Dengan kodifikasi mazhab-mazhab tadi maka setiap mazhab telah memiliki metode
ijtihad sendiri yang dapat dijadikan landasan dalam menghadapi hal-hal baru yang
tidak ada sebelumnya dan perlu dicarikan hukumnya. Jika bermazhab dilarang, maka
para mujtahid di masa yang akan datang akan terputus dari metode ijtihad yang telah
ada pada generasi sebelumnya.
Maka, bermazhab itu bukanlah soal mengikuti pendapat imam A dan meninggalkan hadis
yang ada, namun lebih dari itu. Bermazhab itu mempelajari metode ijtihad dalam
menggali hukum dari al-Quran dan hadis. Bermazhab itu melestarikan tradisi keilmuan
fikih Islam yang telah dibangun sejak zaman Rasulullah dan para sahabat. Bermazhab
itu memberikan penghargaan kepada para pendahulu kita yang telah memberikan
sumbangsih yang tiada tara kepada peradaban keilmuan Islam secara keseluruhan.
Bermazhab itu adalah salah satu cara untuk menjaga agama ini agar bertahan dari
serangan pihak lain hingga hari akhir nanti. Semoga bermanfaat.

Bab 5 : Hukum Bermazhab


Tema ini sangat urgen bagi seorang ahli fiqih atau bagi seorang guru untuk
memberikan pemahaman yang benar tentang hukum berpegang dengan salah satu madzab.
Apakah seseorang dianjurkan untuk menganut mazhab tertentu? Bagaimana hukum
bertaklid? Apa batasan-batasan pembolehan?
Peninggalan fiqih yang kita miliki yang memberikan solusi bagi masalah yang
dihadapi manusia ini tidak terbatas pada mazhab empat saja (Hanafi, Maliki, Hanbali
dan Syafii). Mazhab dalam Islam banyak dan beragam, baik yang ada hingga sekarang,
atau punah, atau tinggal dalam buku-buku saja seperti yang dijelaskan di awal.
Dalam pendapat-pendapat dari sekian yang ada banyak memberikan faidah dan guna
dalam memberikan alternatif hukum pemecahan suatu masalah. Sebab agama Allah ini
muda dan tidak kesulitan bahkan untuk mewujudkan kepentingan dan kebutuhan manusia.
Berbeda dengan seorang hakim, menurut Dr. Wahbah Az Zuhaili, ia harus berpegang
dengan mazhab empat karena ini yang diamalkan oleh ulama-ulama ahli sunnah hingga
saat ini sehingga hal ini menjadi semacam urf.
Yang menjadi kewajiban seseorang dalam belajar fiqih adalah berusaha – dengan ilmu
yang ia miliki – mencari kebenaran dan maslahah dari pendapat-pendapat fiqih dan
meninggalkan pendapat yang "aneh" dan bertentangan dengan sumber dan dasar-dasar
syariat. Allah memerintahkan kita untuk mengikuti sahabat dan tabiin. Allah
berfirman,
‫األنهار‬
ُ ‫تجري تحتها‬ ِ ‫ات‬ ٍ ّ ‫لهم جن‬ ُ ‫وأعد‬ ّ ‫عنه‬
ُ ‫ورضوا‬
ُ ‫عنهم‬
ُ ‫حسان ّر ِضي الل ُّه‬ ٍ ‫وهم ِبِإ‬ُ ‫بع‬ُ ّ‫واألنصار وال ِّذين ات‬
ِ ُ ‫األول ُون ِمن‬
‫المهاجِ ِرين‬ ّ ‫والسا ِب ُقون‬
ّ
‫يم‬
ُ ِ
‫العظ‬ ‫ز‬
ُ ‫الفو‬ ‫ك‬ ِ ‫ل‬ ‫ذ‬ ‫ا‬ ‫أبد‬
ً ‫يها‬ ِ
‫ف‬ ‫ين‬ ِ
‫د‬ ِ ‫ل‬ ‫خا‬
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar." (At Taubah: 100)
Imam Syafii mengatakan,"Pendapat mereka lebih baik dari pada pendapat kami," Al-Izz
bin Abdus Salam mengatakan,"Jika seorang muqallid meyakini kebenaran sebuah
pendapat dalam suatu mazhab maka ia sah untuk mengikutinya meski bukan dari mazhab
empat. Ia sah untuk mengikuti salah satu mazhab yang ada,"
Al-Iraqi berkata,"Ijma' ulama menyatakan bahwa barangsiapa yang masuk Islam, maka
ia boleh bertalqlid dengan siapa saja tanpa dosa. Para sahabat sepakat bahwa orang
yang meminta fatwah kepada Abu Bakar dan Umar kemudian bertaqlid dengannya, maka ia
sah untuk meminta fatwah kepada Abu Hurairah, Muadz bin Jabal dan lainnya dan
beramal dengan pendapat mereka. Barangsiapa yang mengaku ijma' ini tidak berlaku
maka ia harus menunjukkan dalil,"
Dari sini bisa disimpulkan bahwa tidak ada dalil satupun untuk mewajibkan seseorang
untuk mengikuti satu dari empat mazhab yang ada. Keempat mazhab ini dinilai sama.
Juga sah saja mengikuti mazhab selain empat mazhab yang ada.
A. Merujuk Kepada Banyak Pihak Atau Yang Termudah
Apakah wajib bertanya kepada orang ahli ilmu yang lebih utama (lebih banyak
ilmunya) atau sah baginya bertanya dengan ahli ilmu yang paling mudah baginya?
Pendapat sebagian pengikut Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal bahwa seseorang harus
berusaha bertanya kepada orang lebih baik kualitas ilmu, wara', dan agama jika
memungkinkan dan ia juga harus menimbang mana di antara di antara jawaban yang
lebih kuat untuk diikuti.
Imam Al-Ghazali mengatakan,"Barangsiapa yang yakin bahwa Imam Asy-Syafi'i lebih
utama, dan ia yakin Syafii lebih banyak benarnya, maka ia tidak boleh mengambil
mazhab lain hanya karena keininginan dan selera semata tanpa pertimbangan dalil
yang ada.
Sebab pendapat ulama bagi manusia umum seperti pertanda sehingga seorang penanya
hanya melakukan tarjih (memilih yang lebih kuat). Caranya adalah memilih di antara
mereka yang paling banyak ilmu, kredibilitas agama, wara' dan sifat-sifat mulia
lainnya.
Menurut Abu Bakr Al-Arabi dan kebanyakan ulama dan ahli usul: Seseorang boleh
memilih di antara ulama untuk diikuti pendapatnya. Ia boleh memilih bertanya baik
mereka kwalitasnya sama atau berbeda dan boleh memilih yang lebih rendah (mafdlul)
meski yang utama (afdlal) ada. Sebab Allah berfirman,
‫ون‬َ ‫كر ِإ ن ك ُنتُم ال َ تَعل َُم‬ ِ ‫هل ال ِ ّذ‬ َ ‫َيهم فَاسَأل ُوا َأ‬ ِ ّ ‫رسلنَا ِمن قَبلِ َك ِإ ال ّ َ ِر َجاال ً ن‬
ِ ‫ُوحي ِإ ل‬ َ
‫َوما َأ‬
َ
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui," (QS. An Nahl: 43)
Sebab sahabat sepakat; di antara para sahabat ada yang utama (fadlil) dan ada
dibawah itu (mafdlul) dari kalangan ahli ijtihad, di antara mereka juga ada yang
awam, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang mewajibkan orang awam untuk
mengikuti seorang mujtahid dari sahabat. Kalau seandainya memilih di antara
pendapat yang ada tidak boleh maka tidak mungkin sahabat membiarkannya.
B. Pendapat Yang Harus Diikuti
Sebuah kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri, bahwa para ulama seringkali berbeda
pendapat dalam masalah furu' fiqih. Bahkan kita mengenal ada beberapa mazhab fiqih
dalam Islam, 4 diantaranya dikaitkan sebagai mazhab-mazhab yang besar.
Lalu bagaimanakah sikap seorang muslim dalam menghadapi perbedaan fatwa dari
beragam mazhab itu. Dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama ushul. Berikut uraian
singkat tentang masalah ini:
1. Kebanyakan pengikut Syafii: Manusia boleh memilih pendapat yang mana saja
dari pendapat yang ada, sebab ijma' sahabat tidak mengingkari orang beramal dengan
pendapat orang bukan lebih utama dari pada pendapat yang lebih utama.
Pendapat ahli dlahir dan Hanbali: seseorang mengambil pendapat yang lebih keras dan
berat.
2. Seseorang harus mengambil pendapat yang paling ringan.
3. Seseorang harus mencari pendapat imam yang paling luas ilmunya untuk diikuti.
4. Seseorang harus mengikuti pendapat pertama kali muncul.
5. Seseorang harus pendapat yang didasarkan pada riwayat bukan pendapat.
6. Seseorang harus berijtihad sendiri.
7. Jika suatu masalah terkait dengan hak Allah maka ia mengambil pendapat yang
paling ringan dan jika masalah terkait dengan hak manusia maka ia harus mengambil
pendapat yang paling berat. Ini pendapat yang dipegang oleh Abu Mansur Al Maturidi.
C. Memilih Hanya Pendapat Yang Paling Ringan
Bila memang umat Islam yang awam boleh memilih pendapat-pendapat yang ada di dalam
tiap mazhab, apakah dibolehkan bila seseorang melakukan tatabu' ar-rukhash, yaitu
mencari dan memilih hanya pendapat-pendapat yang paling ringan dari semua mazhab ?
Dan meninggalkan sebuah pendapat dari siapapun, bila dianggapnya memberatkan?
Mengenai tatabbu' ar-rukhash, ada beberapa pendapat di kalangan para ulama, antara
lain :
1. Pendapat Mazhab Al-Hanabilah dan Al-Malikiyah
Tidak boleh memilih pendapat-pendapat yang ringan saja karena ini kecenderungan
hawa nafsu dan syariat Islam melarang untuk mengikuti hawa nafsu.
‫ؤمنُون‬ِ ُ‫ول ِإ ن ك ُنتُم ت‬
ِ ‫والر ُس‬
ّ ‫وه ِإ لى الل ِّه‬ ُ ‫األمر ِمنك ُم فِإن تنازعتُم ِفي شي ٍء‬
ُ ‫فر ُّد‬ ِ ‫الر ُسول وُأولِي‬
ّ ‫يعوا‬ ِ ‫يعوا الل ّه‬
ُ ‫وأط‬ ِ ‫يا أيُّها ال ِّذين آمنُوا‬
ُ ‫أط‬
‫وأحسن تأ ِويال‬
ُ ‫خير‬
ٌ ‫ك‬ ِ ‫ل‬‫ذ‬ ‫ر‬
ِ ِ
‫اآلخ‬ ‫م‬
ِ ‫واليو‬ ِ
‫ّه‬ ‫ل‬ ‫ِال‬
‫ب‬
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul, dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya."
(An Nisa: 59)
Berarti tidak sah mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada hawa nafsu
namun dikembalikan kepada syariat.
Ibnu Abdul Barr berkata,"Ijma' mengatakan, tidak boleh seorang awam memilih
pendapat-pendapat yang ringan-ringan,"
2. Penegasan Mazhab Al-Hanabilah
Jika dua orang mujtahid sama kualitasnya menurut orang yang meminta fatwa, namun
jawabannya berbeda maka ia memilih pendapat yang paling berat. Sebab dalam riwayat
Tirmizi mengatakan,
Tidaklah Ammar ketika dihadapkan kepada dua perkara melainkan ia memilih yang
paling berat di antara keduanya,"
Tirmizi mengatakan hadis ini Hasan Gharib.
3. Penegasan Al-Malikiyah
Dilarang memilih pendapat-pendapat yang ringan saja dalam semua masalah yang ia
hadapi. Bahkan sebagian kelompok mazhab ini mengatakan orang yang hanya memilih-
milih pendapat ringan termasuk fasik.
Yang lebih baik adalah dengan memilih yang paling berat sebagai langkah untuk
berhati-hati, sebab orang yang agamanya kuat ia bersifat wara' dan orang yang
agamanya lemah ia mencari-cari yang bid'ah.
4. Pendapat Sebagian As-Syafi’iyah Dan Al-Hanabilah:
Boleh seseorang mengikuti dan memilih-milih yang ringan-ringan dalam pendapat
mazhab karena dalam syariat tidak ada yang melarang melakukan itu. Sejumlah hadis
baik sunnah fi'liyah (perbuatan) atau perkataan (qauliyah).
Tidaklah Rasulullah SAW. memilih antara dua perkara kecuali ia memilih yang paling
ringan selama bukan dosa.
Rasulullah SAW mencintai yang meringankan bagi umatnya (HR. Bukhari)
Aku diutus dengan (agama) yang lurus lagi ringan," (HR Ahmad)
Agama ini mudah dan tidaklah seseorang memperberat agama ini kecuali ia akan kalah.
(HR Bukhari dan Nasai)
"Sesungguhnya Allah mewajibkan sejumlah kewajiban-kewajiban, memberikan tuntutan
sunnah-sunnah (anjuran yang tidak bersifat wajib), menetapkan hukuman-hukuman,
menghalalkan yang haram, menghalalkan yang haram, memberikan syariat agama dan
dijadikannya mudah, luwes dan leluasa dan tidak dijadikan sempit," (HR Thabrani)
Asy-Sya'bi mengatakan,"Tidak seseorang diberi dua pilihan dan memilih yang paling
mudah kecuali itu lebih dicintai oleh Allah,"
Al-Qarafi, salah seorang ulama dari mazhab Al-Malikiyah mengatakan,"Boleh memilih
pendapat-pendapat ringan, dengan syarat tidak menyebabkan perbuatan yang batil
menurut semua mazhab."
Namun batasan yang diberikan oleh Al-Qarafi ini tidak memiliki landasan nash atau
ijma' seperti yang ditegaskan oleh Al Kamal bin Hammam,"Jika seseorang boleh
berbeda dengan sebagian mujtahid dalam semua tindakannya, maka tentu juga boleh
berbeda dalam sebagian tindakannya.
Adapun ucapan Ibnu Abdul Barr yang mengatakan,"Ijma' mengatakan, tidak boleh
seorang awam memilih pendapat-pendapat yang ringan-ringan," kutipan ijma' ini tidak
sah.
Sementara pemberian status fasiq terhadap orang yang memilih pendapat-pendapat
ringan sebenarnya dalam mazhab Hanabilah ada dua riwayat. Al-Qadli Abu Ya'la
menafsirkan bahwa fasiq adalah bukan orang yang mutawwil dan bukan muqallid.
Sebagian Hanabilah mengatakan,"Jika dalilnya kuat atau ia awam maka ia tidak fasik.
D. Setia Pada Satu Mazhab : Antara Kewajiban dan Kenyataan
Ada diskusi yang menarik untuk diikuti, yaitu apakah berkomitmen dengan satu mazhab
tertentu merupakan kewajiban atau pilihan?
Dalam hal ini berkembang dua pendapat utama. Pendapat pertama mengatakan bahwa
setia dan berkomitmen pada satu mazhab tertentu adalah sebuah keharusan. Pendapat
kedua mengatakan sebaliknya bahwa kita tidak diwajibkan untuk selalu berkomitmen
pada satu mazhab tertentu dalam semua masalah dan hukum.
Lepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, namun kita sebagai umat Islam di
Indonesia sebenarnya punya realitas yang agak berbeda dengan saudara-saudara kita
di negeri Islam lain seperti Mesir, Syria dan sekitarnya. Mereka bisa berdebat
panjang lebar tentang setia pada satu mazhab atau boleh mencampur aduk mazhab.
Sementara kita bangsa Indonesia, meski secara teori silahkan ikut pendapat yang
membolehkan untuk tidak setia pada satu mazhab tertentu, namun dalam alam nyata
yang sesungguhnya, mau tidak mau tetap harus setia. Dasarnya karena kenyataan di
negeri kita ini tidak tersedia satu pun mazhab kecuali Mazhab Asy-Syafi’iyah saja.
Sementara mazhab-mazhab fiqih lainnya, tidak available di negeri kita.
Maka bukan tidak boleh memilih, tetapi karena opsi pilihannya memang tidak
tersedia, kecuali satu mazhab saja. Untuk itu mari kita buktikan langsung lewat
kenyataan :
1. Tidak Ada Narasumber Kompeten
Sangat sulit mencari narasumber kompeten dari masing-masing mazhab di luar mazhab
Asy-syafi'iyah. Maksudnya pakar atau ahli fiqih di Indonesia ini yang bermazhab
Hanafi, Maliki atau Hambali.
Tapi kalau orang yang mengajar fiqih tidak bemazhab, jumlahnya banyak sekali. Tapi
ini tentu tidak masuk hitungan, karena narasumber anti mazhab kita tidak hitung.
Kalau sekedar ustadz yang bisa menjelaskan pendapat-pendapat mazhab di luar mazhab
As-Syafi'iyah, mungkin ada satu dua orang, termasuk misalnya Penulis sendiri yang
pernah mengenyam pendidikan S-1 Jurusan Perbandingan Mazhab. Tetapi sebagai orang
yang dibesarkan di Indonesia dan belajar dari guru-guru agama, saya sejak kecil
bermazhab Asy-Syafi'iyah dan tetap terus bermazhab Asy-Syafi'iyah. Saya tidak
merasa perlu untuk pindah menjadi penganut mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah atau
Al-Hanabilah.
Dengan begitu, jelas sekali bahwa saya bukan orang yang kompeten untuk mengajarkan
di luar mazhab saya. Karena saya bukan penganut salah satu dari mazhab-mazhab itu
sejak kecil. Pengetahuan saya tentang ketiga mazhab itu cuma secuil-secuil, tidak
menyeluruh dan tidak komprehensif.
Maka ketika ada seruan bahwa kita tidak harus komitmen pada satu mazhab saja, dalam
kenyataannya justru tidak realistis. Sebab yang tersedia memang cuma satu mazhab
saja. Mau bermazhab yang lain tidak mungkin, karena tidak ada gurunya. Lain halnya
kalau mau membuang semua mazhab dan menjadi penganut paham anti mazhab.
2. Tidak Ada Kitab Mazhab Lain
Kenyataan kedua bahwa kitab-kitab fiqih yang bermazhab selain As-Syafi'i tidak
tersedia di Indonesia ini. Nyaris semua toko kitab di negeri ini tidak ada satu pun
yang menyediakan kitab-kitab fiqih dari mazhab lain.
Sebabnya jelas sekali, karena tidak ada orang yang mencarinya dan tidak ada yang
membelinya. Artinya kitab-kitab itu memang tidak dipakai disini. Perpustakaan di
Rumah Fiqih Indonesia yang terdiri dari kitab fiqih empat mazhab itu beli di Cairo.
Kalau kitab fiqih yang anti mazhab, atau setidaknya tidak pakai mazhab fiqih
tertentu memang banyak beredar, laku keras malah. Itu tidak masuk hitungan. Sebab
kita lagi bicara tentang memilih mazhab. Kalau kitabnya saja dari awal sudah
memusuhi mazhab, kita tidak hitung.
Lalu bagaimana kita mengatakan jangan terikat pada satu mazhab saja, silahkan pakai
mazhab-mazhab lainnya, sementara kitab fiqih dari mazhab lain tidak tersedia.
3. Tidak Ada Institusi atau Lembaga Pengajaran
Saya tidak atau belum pernah menemukan pesantren atau majelis taklim, dimana pun di
negeri kita yang setia mengajarkan Ilmu Fiqih dengan menggunakan mazhab Al-
Hanafiyah, Al-Malikiyah atau Al-Hanabilah.
Kalau mengajarkan Ilmu Fiqih, cuma ada dua saja, yaitu mengajarkan mazhab Asy-
Syafi'iyah atau tanpa mazhab alias mengarang sendiri. Kalau pesantren yang anti
mazhab, atau tidak jelas mazhab fiqihnya, tentu saja banyak sekali jumlahnya. Kita
tidak hitung.
Lalu bagaimana muslim di negeri kita mau pilih-pilih mazhab yang empat, sementara
tidak tersedia madrasah, pesantren, majelis taklim, perguruan, sekolah, kampus yang
mengajarkan mazhab fiqih di luar mazhab Asy-Syafi’iyah.
Ketika muslim negeri ini mau bermazhab selain mazhab Asy-Syafi’iyah, mereka
terbentur pada kenyataan sesungguhnya, yaitu tidak ada narasumber, tidak ada kitab,
dan tidak ada institusi yang mengajarkannya. Lalu apa mau mengarang sendiri atau
bermazhab lain secara otodidak?
4. Tinggal di Negara Multiple Mazhab
Untuk bisa memilih beberapa mazhab hanya mungkin kalau kita tinggal di negeri yang
punya banyak mazhab, dimana tersedia banyak nara sumber, kitab dan juga institusi
pendidikannya.
Sebutlah misalnya kita tinggal di Mesir yang heterogen. Mungkin statemen :
"Silahkan pilih mazhab yang Anda suka", lumayan realistis. Tapi di negeri kita,
pilihannya cuma dua saja : Pertama, bermazhab Asy-Syafi'iyah, karena hanya itu yang
available in this area. Kedua, tidak bermazhab sama sekali. Yang kedua inilah yang
sedang lebih banyak dijalani umat Islam di negeri kita.

Bab 6 : Paham Anti Mazhab
A. Pengertian
Paham Anti Mazhab di dalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan sebutan al-la-
mazhabiyah (‫)الالمذهبية‬.
Sebuah istilah yang disematkan kepada kalangan yang bukan sekedar tidak mau merujuk
kepada mazhab-mazhab fiqih yang ada, tetapi lebih jauh dari itu, paham ini secara
terbuka memerangi mazhab dan para ulamanya, bahkan mencaci maki serta menginjak-
injak hasil-hasil ijtihad para mujtahid sepanjang zaman.
B. Kurang Mengerti Hakikat Mazhab
Tidak semua orang yang anti mazhab itu berniat jahat terhadap agama Islam. Banyak
di antara mereka yang terlalu banyak termakan oleh propaganda, sehingga kurang
proposional dalam memahami hakikat mazhab.
Di antara sebab yang sering mengecoh umat Islam sehingga terkesan anti mazhab fiqih
dan cenderung kurang bersahabat adalah hal-hal berikut :
1. Tertipu Slogan Kembali Kepada Al-Quran dan Sunnah
Slogan untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah adalah slogan yang sangat bagus.
Sebab keduanya memang sumber rujukan kita dalam beragama.
Namun banyak juga kalangan yang kurang paham, kepada siapakah sebenarnya slogan ini
kita arahkan, dan dalam konteks apa seharusnya disampaikan?
Slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah lebih tepat untuk disampaikan kepada
mereka yang telah menukar Al-Quran dan Sunnah dengan paham dan ideologi asing atau
sekuler. Misalnya di Turki yang sekuler, ada gerakan untuk kembali kepada Al-Quran
dan Sunnah. Atau di negeri Islam yang menjadi korban Westernisasi, sehingga
ideologi Islam yang ada diganti dengan ideologi yang datang dari Barat.
Kepada mereka inilah sebenarnya slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah kita
arahkan. Maksudnya kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dengan meninggalkan ideologi
yang bukan datang dari Allah SWT dan Rasululullah SAW.
Tetapi ketika kita mengarahkan kepada sesama umat Islam yang sudah menggunakan Al-
Quran dan Sunnah sebagai dasar sumber hukum, lalu dengna slogan kembali kepada Al-
Quran dan Sunnah kita malah menafikan sumber-sumber hukum Islam selain keduanya,
maka senjata telah digunakan dengan cara yang keliru dan salah sasaran.
Tidak bisa dibenarkan kalau dengan slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, kita
lantas menginjak-injak Ijma' dan Qiyas yang telah dijadikan sumber sekaligus metode
dalam memahami hukum Islam. Dan bukan ciri orang yang paham Islam apabila menafikan
pendapat para ulama dan mazhab fiqih dalam memahami Al-Quran dan Sunnah.
Sebenarnya tidak ada yang salah ketika kita berseru untuk kembali kepada Al-Quran
dan Sunnah. Tetapi menjadi sangat sesat kalau pemahamannya dibelokkan menjadi
memusuhi ijtihad, tafsir, fiqih dan mazhab para ulama.
2. Mazhab Dianggap Taqlid
Penyebab lain kenapa banyak umat Islam yang seolah bermusuhan dengan mazhab-mazhab
fiqih adalah adanya mitos bahwa bermazhab itu sama dengan bertaqlid buta kepada
manusia, dimana manusia itu bisa saja benar dan bisa saja salah.
Padahal sesungguhnya tidak semua taqlid itu salah dan keliru. Memang ada sebagian
orang bertaqlid dengan cara yang tidak dibenarkan, dan itu termasuk taqlid yang
haram hukumnya.
Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada taqlid yang hukumnya wajib dan hal itu tidak
bisa dihindari. Sebab tidak semua orang punya kemampuan untuk menarik sendiri
kesimpulan hukum yang ada di dalam Al-Quran dan sunnah.
a. Taqlid Yang Hukumnya Wajib
Taqlid yang hukumnya wajib adalah taqlid yang memang memenuhi ketentuan, antara
lain :
Pertama : Dilakukan oleh Orang Awam
Orang awam adalah orang yang tidak punya kapasitas yang cukup untuk memahami ayat
Al-Quran dan Sunnah. Yang dikatakan kapasitas itu adalah keahlian dalam berijtihad.
Di antara syarat seseorang boleh melakukan ijtihad antara lain dia harus menguasai
berbagai macam disiplin ilmu, seperti :
Al-Quran : Ilmu-ilmu yang terkait dengan ilmu Al-Quran antara lain tentang asbabun-
nuzul, yang mempelajari bagaimana dan kapan tiap ayat diturunkan. Selain itu juga
harus dikuasainya imu tafsir, khususnya pada ayat-ayat yang terkait dengan hukum.
Dan tidak cukup hanya dengan itu, juga harus dikuasi ilmu tentang nasakh dan
mansukh dari masing-masing ayat Al-Quran, agar jangan sampai seseorang salah dalam
menggunakan dalil yang sudah tidak berlaku.
Dan tidak ketinggalan bahwa seorang mujtahid harus menguasai kaidah-kaidah dalam
pengambilan kesimpulan hukum ayat Al-Quran, sehingga dia harus mengerti betul mana
al-'aam dan mana al-khash, dan seterusnya.
Sunnah : Seorang yang punya kapasitas dalam berijtihad harus menguasai ilmu tentang
sunnah nabawi, yaitu ilmu hadits.
Dan di antara cabang ilmu hadits yang paling penting adalah ilmu tentang naqd
hadits. Ilmu naqd (kritik) hadits adalah ilmu yang tidak boleh luput dari kemampuan
seorang mujtahid. Sebab yang di-istimbath tidak lain adalah hukum-hukum yang
bersumber dari Rasulullah SAW. Kalau jalur periwayatannya saja sudah bermasalah,
maka istimbath hukumnya sudah pasti bermasalah juga.
Maka sebelum menjadi seorang mujtahid, seorang ulama harus menjadi ahli hadits
(muhaddits) terlebih dahulu. Setidaknya dia harus punya kemampuan untuk memilah
mana hadits yang bisa dijadikan sandaran, dan mana yang tidak bisa dijadikan
sandaran.
Ilmu Bahasa Arab : Al-Quran tidak pernah diturunkan ke permukaan bumi ini kecuali
dalam bahasa Arab. Sebab Rasulullah SAW sebagai penerima wahyu hanya bisa berbahasa
Arab.
Demikian juga sunnah nabawiyah, yang merupakan perbuatan, perkataan dan iqrar
Rasulullah SAW, tidak lah sampai kepada kita lewat rangkaian panjang periwayatan,
kecuali redaksinya selalu berbahasa Arab.
Maka bila seorang mujtahid ingin menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-
Sunnah, mustahil bisa dilaksanakan bila dirinya tidak mengerti bahasa Arab.
Maka syarat mutlak ilmu yang harus minimal dikuasai oleh seorang mujtahid adalah
ilmu tentang bahasa Arab dengan segala cabang dan rantingnya.
Ilmu Fiqih : Tetapi ilmu yang paling utama dari kebutuhan untuk mengistimbath suatu
hukum tidak lain adalah Ilmu Fiqih dan ushul fiqih.
Ilmu Fiqih adalah produk akhir dari ilmu-ilmu yang telah disebutkan di atas. Hasil
akhir ini berupa kesimpulan-kesimpulan hukum atas berbagai masalah kehidupan.
Orang-orang awam adalah konsumen dari Ilmu Fiqih ini. Bahkan sebenarnya ilmu ini
memang ditujukan untuk dipelajari oleh orang-orang awam.
Para mujtahid kemudian mengajarkan hasil-hasil ijtihad dan istimbath hukum mereka
lewat pengajaran Ilmu Fiqih ini.
Ilmu Ushul Fiqih : Ruang lingkup pembahasan Ilmu Ushul Fiqih sebenarnya cukup luas,
mulai dari sumber-sumber hukum fiqih hingga proses bagaimana kesimpulan hukum itu
diambil, lewat beragam metode yang ada.
Dalil-dalil hukum syariah ada yang muktamad seperti Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas,
dan ada juga dalil yang mukhtalaf, seperti al-masalih al-mursalah, al-istidlal, al-
istish-hab, saddu adz-dzari’ah, istihsan, 'urf, syar'u man qablana, amalu ahlil
madinah, qaul shahabi dan lainnya.
Selain itu dalam ushul fiqih juga dikenal dalil lafadz, yaitu al-amru wa an-nahyu,
al-‘aam wal khash, al-muthlaq wa al-muqayyad, al-manthuq wal mafhum.
Ushul fiqih juga membahas berbagai jenis hukum, baik berupa hukum taklifi atau pun
hukum wadh'i. Hukum Taklifi adalah hukum yang kita kenal sebagai wajib, mandub
(sunnah), mubah, makruh atau haram. Sedangkan hukum Wadh’i seperti as-sabab, asy-
syarth, al-mani’, ash-shihhah, a-fasad wal buthlan.
Maka siapa saja orang yang tidak punya keahlian atas ilmu-ilmu di atas, kita sebut
sebagai orang awam. Mereka bukan saja tidak bisa berijtihad, tetapi haram hukumnya
berijtihad.
Sama kasusnya dengan seorang dokter. Meski tiap orang wajib berupaya mendapatkan
kesembuhan atas penyakitnya, dengan segala hal yang bisa dia lakukan, namun bukan
berarti seseorang boleh mengangkat dirinya sebagai dokter, tanpa ilmu dan jenjang
pendidikan kedokteran yang serius.
Kedua : Taqlid Kepada Ulama Yang Ahli
Maka kita semua harus mengaku bahwa diri kita ini adalah orang awam, meski pun
penampilannya seperti ulama. Sebab keulamaan itu tidak identik dengan nama besar,
atribut, jubah, sorban yang melilit kepala, atau julukan serta jabatan. Tetapi
keulamaan itu terkait dengan kadar ilmu dan pengetahuan atas hukum-hukum syariah,
yang hanya bisa didapat dari belajar secara serius bertahun-tahun.
Dan para pendiri mazhab tidak lain adalah sosok para ulama itu. Kepada mereka
itulah kita belajar ilmu-ilmu syariah yang menjadi syarat seorang mujtahid.
Ibaratnya, bila kita ingin belajar ilmu ilmu fisika, maka orang yang paling
mengerti fisika tidak lain adalah Newton, Einstein, Copernicus dan seterusnya.
Kalau kita mau belajar ilmu Matematika, maka orang yang paling mengerti adalah Al-
Khawarizmi atau Pythagoras.
Dan kalau mau mengerti komputer, paling tidak kita menimba ilmu kepada Charles
Babbage atau kalau terkait software bisa kita sebut Bill Gates atau Steve Jobs.
Dan kalau kita mau tahu bagaimana cara menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan
Sunnah, orang yang paling pintar dan mengerti adalah para ulama, yaitu para
shahabat, tabi'in dan di masa berikutnya adalah empat pendiri mazhab besar, yaitu
Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin
Hanbal. Mereka adalah soko guru untuk seluruh ulama berikutnya hingga 12 abad
kemudian sampai hari ini.
Bermazhab pada hakikatnya kita belajar dan bertanya kepada orang yang memang
ekspert di bidangnya. Dan belajar serta bertanya kepada mereka pada hakikatnya
adalah bertaqlid. Maka bertaqlid kepada mazhab-mazhab fiqih itu hukumnya wajib buat
kita yang awam.
b. Taqlid Yang Hukumnya Haram
Sedangkan taqlid yang haram adalah taqlidnya seseorang kepada tokoh yang tidak
punya ilmu dan pemahaman dalam urusan istimbath hukum. Sudah tidak bisa bahasa
Arab, tidak mengerti ilmu Al-Quran dan Sunnah, buta Ilmu Fiqih dan ushul fiqih,
lalu tanpa malu mengaku-ngaku sebagai ulama besar yang tidak ada tandingannya.
Lebih parah lagi, dengan kepala yang kosong dari ilmu itu, kemudian dia menghina
dan mencaci-maki semua orang yang belajar ilmu agama kepada ahlinya. Perbuatan itu
dianggapnya sesat dan taqlid.
Padahal dirinya adalah seorang yang paling depan dalam urusan bertaqlid, yaitu
bertaqlid buta kepada gurunya sendiri, yang ternyata juga bukan ahli di bidang
hukum syariah.
3. Mengidentikkan Mazhab Dengan Tradisi Jahiliyah
Sebagian orang yang anti dengan mazhab seringkali tidak bisa membedakan mana yang
merupakan ilmu syariah yang dihasilkan dari ijtihad ulama dan bersumber kepada Al-
Quran dan Sunnah, dan mana yang sebenarnya adalah budaya jahiliyah produk dari
nenek moyang yang sesat.
Misalnya membaca Al-Quran, dzikir dan tahlilan yang pahalanya disampaikan kepada
ruh orang-orang yang sudah meninggal dunia. Praktek yang banyak dilakukan di tengah
masyarakat ini seringkali diperangi dengan cara lembut dan kasar, seolah-olah
merupakan praktek jahiliyah peninggalan budaya Hindu yang masih dipelihara. Dan
sayangnya, mazhab-mazhab fiqih kemudian dituduh sebagai kambing hitamnya.
Padahal mazhab fiqih tidak mengajak kepada praktek seperti ini. Dalam hal ini,
sebenarnya ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, tentang apakah bacaan Al-
Quran serta dzikir itu bisa disampaikan pahalanya kepada orang yang sudah wafat.
Dan umumnya para ulama mazhab berpendapat memang hal itu menjadi wilayah ghaib,
dimana hanya Allah saja yang tahu. Namun melihat banyak nash yang menerangkan hal
itu, maka banyak pendapat yang mengatakan bahwa bacaan Al-Quran dan dzikir itu bisa
disampaikan kepada orang yang sudah wafat dan bermanfaat buat mereka.
Dengan catatan bahwa para ulama memang berbeda pendapat tentang hal ini. Salah satu
yang menentangnya justru Al-Imam Asy-Syafi'i sendiri. Sedangkan Ibnu Taimiyah dan
Ibnul Qayyim justru sepakat bahwa bacaan Al-Quran dan dzikir bisa disampaikan
pahalanya kepada orang mati.
Dan orang-orang yang anti mazha sering mengidentikan mazhab fiqh dengan praktek-
praktek syirik yang masih berkembang di tengah masyarakat, seperti budaya datang ke
dukun, percaya kepada tahayyul dan ramalan, atau mengkeramatkan benda-benda semacam
keris, batu dan rajah. Semua itu seringkali diidentikkan dengan orang bermazhab
dalam Ilmu Fiqih.
Padahal fiqih Islam menentang semua praktek itu, dan memeranginya, sesuai dengan
ketentuan dari Allah SWT dan Rasulullah SAW lewat berbagai hadits shahihnya.
4. Dangkalnya Ilmu Agama
Dan faktor terbesar dari begitu banyaknya umat Islam yang terkesan anti dengan
mazhab-mazhab fiqih adalah dangkalnya dasar-dasar ilmu agama yang mereka pelajari
di waktu kecil.
Kebanyakan bangsa Indonesia ini tidak berkesempatan menempuh jenjang pendidikan
madrasah atau pesantren. Kebanyak hanya bersekolah umum, yang tidak punya porsi
cukup dalam bidang ilmu agama.
Ketika mereka dewasa, ada semacam semangat untuk belajar, tetapi sudah tidak punya
waktu lagi. Akibatnya, mereka belajar secara instan dan kilat. Tetapi resikonya,
ilmunya cuma sepotong-sepotong dan tidak utuh. Cirinya adalah tidak lancar membaca
Al-Quran, lebih sering terbata-bata. Dan pastinya tidak mengerti tafsir Al-Quran,
sehingga lebih sering menafsirkan ayat Quran berdasarkan logika lemah dan hawa
nafsu saja. Juga tidak memiliki ilmu hadits yang utuh, sehingga rancu dalam
memahami hadits shahih, hasan dan dhaif.
Yang lebih parah biasanya mereka ini tidak paham bahasa Arab, apalagi Nahwu, sharaf
dan Balaghah. Sehingga sudah bisa dipastikan mereka itu asing dengan kitab-kitab
warisan (turats) para ulama. Kalau pun membaca buku, maka bukunya hanya terjemahan
yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya, dan jumlahnya amat terbatas.
Dan yang pasti mereka tidak pernah berkesempatan belajar Ilmu Fiqih lewat ulama
yang ahli di bidangnya, dengan jenjang yang runtut. Dan ilmu ushul fiqih hanya
pernah dengar saja, tetapi sama sekali tidak mengerti apa maksud dari ilmu ushul
itu.
C. Anti Mazhab Merobohkan Islam
Tujuan dari paham sesat ini tidak lain untuk meruntuhkan ajaran Islam, lewat
penikaman langsung ke ulu hati tubuh agama Islam. Sehingga mereka yang terkena
tikaman belati paham ini, kontan sekarat dan mati.
Ada beragam klaim tidak berdasar yang sering kali digunakan untuk melakukan
penyerangan-penyerangan, yang sesungguhnya mudah sekali dipatahkan, bila seseorang
pernah belajar dan mengerti hakikat Ilmu Fiqih dan mazhab.
Namun karena sasarannya adalah orang-orang awam, seringkali jatuh korban juga. Dan
memang yang tidak pernah berubah adalah sasarannya, yaitu para pemuda Islam yang
punya semangat berislam yang tinggi, namun tidak sempat belajar Ilmu Fiqih sejak
kecil.
Dengan ilmu yang terbatas, tanpa latar belakang pendidikan agama yang baku, kecuali
hanya lewat ceramah lepas, atau melalui jalur guru yang bukan ahli di bidang
syariah, tiba-tiba jalan pikiran para pemudia itu dibelokkan sedemikian rupa oleh
pendukung ajaran ini, sehingga akhirnya para pemuda itu tampil sebagai tonggak di
garis terdepan yang memerangi mazhab serta metode dan hasil ijtihad para ulama
yang muktamad dalam sejarah Islam.
Para pemuda yang kurang ilmu tapi berstamina tinggi ini kadang menguasai forum
majelis taklim, bahkan anehnya seringkali malah menjadi nara sumber berbagai
majelis taklim, yang murid-muridnya memang orang yang jauh lebih awam lagi. Maka
masuklah doktrin-doktrin sesat yang esensinya menyerang habis Ilmu Fiqih umumnya,
dan mazhab ulama khususnya.
Bukan sekedar menyalahi syariah, bahkan paham anti mazhab ini termasuk dalam
kategori sebuah bid’ah yang paling berbahaya dan bekerja dengan sangat sistematis
merusak syariah Islam. Sayang sekali hari ini banyak sekali korban berjatuhan di
tengah generasi muda Islam. Sebuah penyesatan yang akan menghancurkan kekuatan
Islam dari dalam meracuni pemikiran kalangan awam dengan label yang menipu.
Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, ulama besar Suriah dan aktifis senior
pergerakan Islam di negeri itu, membeberkan betapa berbahayanya paham anti mazhab
ini dalam bukunya setebal 200-an halaman yang berjudul Anti Mazhab : Bid`ah Paling
Merusak. (‫)الالمذهبية إخطر بدعة تهدد الشريعة اإلسالمية‬
Yang menarik dari buku ini, beliau menceritakan bagaimana sengitnya serangan
kelompok anti mazhab ini terhadap syariat Islam. Beliau memang terlibat langsung
dalam dialog yang panjang, semalam suntuk, dengan tokoh terbesar kalangan anti
mazhab, yaitu Nashirudin Al-Albani.
Ta’ashshub dan fanatisme buta kepada pemikiran sendiri adalah sumber penyakit yang
melanda kalangan anti mazhab ini. Mereka telah mengurung diri mereka di dalam
sangkar ashabiyah (fanatisme kelompok) yang rendah.

Bab 7 : Talfiq Antar Mazhab

A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, kata talfiq (‫ )تل ِفيق‬itu bermakna adh-dhammu (‫)الض ُّم‬
ّ dan al-jam’u (‫)الجمع‬.
Dalam bahasa Indonesia keduanya dengan mudah kita maknai sebagai menggabungkan.
Dalam penggunakan bahasa Arab, ketika kita menyebut lafqu at-tsaubi (‫)لفق الثوب‬,
bermakna menggabungkan dua ujung kain dengan ujung kain yang lain dengan jahitan.
Kata at-tilfaq (‫ )ال ِتلفاق‬bermakna dua pakaian yang digabungkan menjadi satu. Dan
ungkapan talafuq al-qaum (‫ )تالفُق القوم‬bermakna bertemunya kaum.
Sehingga istilah talfiq antar mazhab bisa kita pahami secara etimologis sebagai
penggabungan beberapa mazhab.
2. Istilah
Namun secara terminologis, ternyata kita tidak menemukan definisi talfiq ini dari
para ulama fiqih klasik. Kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih klasik ternyata tidak
mencantumkan pembahasan tentang talfiq ini. Barangkali kalau kita analisa, di masa
para ulama dan kitab-kitab itu ditulis, fenomena talfiq ini belum terjadi.
Kita hanya menemukan terminologi talfiq dari ulama dan kitab-kitab yang sudah agak
jauh dari masa awal pertumbuhan Ilmu Fiqih. Dan itupun ternyata para ulama agak
berbeda pendapat ketika membuat definisi dari at-talfiq baina al-mazahib ini. Maka
kita perlu sedikit lebih menelurusi tentang apa pandangan masing-masing ulama yang
mewakili masing-masing pendapat tentang hal ini, agar jangan sampai pembicaraan
kita menjadi tidak objektif alias tidak nyambung.
Syeikh Muhammad Said Albani (bukan Nashiruddin Al-Al-Albani) di dalam kitab Umdatu
At-Tahqiq fi At-Taqlid wa At-Talfiq mendefinisikan bahwa talfiq adalah :
ُ ُ‫تيان بِكي ِفيّةٍ ال َ يَق‬
‫ول بِها َ ُمجتَ ِهد‬ ُ ‫اِإل‬
Mendatangkan suatu metode yang tidak pernah dikatakan oleh para mujtahid
Sebagian ulama yang lain seringkali mendefinisikan talfiq dengan tatabu’ ar-rukhash
:
‫ـوى‬ َ ‫اله‬
َ ‫ع ِن‬ َ ‫الر َخ ِص‬
ُّ ‫تَتَبُّ ُع‬
Mencari keringanan karena hawa nafsu
Yang dimaksud dengan mencari keringanan maksudnya adalah keringan hukum atau fatwa,
di antara sekian banyak pendapat para ulama.
Pendefinisian ini memang tidak terlalu salah, namun sebenarnya mencari keringanan
dengan motivasi dorongan hawa nafsu hanyalah salah satu bentuk atau sebagian dari
talfiq. Karena boleh jadi seorang mujtahid mencari keringanan dalam hukum dengan
menggunakan dalil yang sekiranya meringankan kesimpulan hukum, namun motivasinya
tidak selalu harus karena hawa nafsu. Ada motivasi-motivasi yang lain yang bisa
diterima secara syariah dalam hal talfiq ini.
Definisi yang mungkin bisa dijadikan pegangan untuk sementara ini adalah :
ِ
‫واحد ٍة‬ ٍ‫في ِعباد ٍة أو ُمعاملة‬ ِ ‫ين فَأكثَر‬ َ ‫المرك ُّب ِمن َم‬
ِ َ‫ذهب‬ ُ ‫يد‬ُ ِ‫التّقل‬
Taqlid yang dibentuk dari dua mazhab atau lebih menjadi satu bentuk ibadah atau
muamalah.
Definisi ini sudah jauh lebih lengkap, karena mencakup semua unsur dalam talfiq.
a. Taqlid
Pada hakikatnya melakukan talfiq adalah melakukan taqlid. Namun kalau biasanya
seseorang bertaqlid kepada satu mazhab saja, dalam hal ini orang yang melakukan
talfiq itu bertaqlid kepada dua atau lebih dari mazhab fiqih.
Orang yang melakukan talfiq pada hakikatnya tidak melakukan ijtihad, karena ijtihad
adalah sebuah pekerjaan yang besar, membutuhkan keahlian yang tidak sedikit,
membutuhkan waktu, tenaga dan riset yang panjang, serta hanya mungkin dilakukan
oleh mereka yang ekspert di bidang ijtihad.
Seorang yang melakukan talfiq hanya melakukan taqlid, tidak lebih dari itu. Dia
tidak menciptakan fatwa mazhab sendiri, melainkan menggabung-gabungkan fatwa-fatwa
dari berbagai mazhab.
Lawan dari melakukan taqlid adalah melakukan ijtihad, yang hanya dibenarkan bila
seseorang sudah punya ilmu dan kapasitas tertentu yang diakui secara paten sebagai
mujtahid.
Ibarat pekerjaan mengobati orang sakit, meski semua orang boleh saja mengusahakan
penyembuhan lewat berbagai macam cara, namun secara paten bahwa yang boleh
melakukan proses penyembuhan secara profesional hanyalah mereka yang berstatus
sebagai dokter dan sudah mendapat izin praktek.
Tujuannya tentu untuk menjaga standar mutu pengobatan dan penyembuhan itu sendiri,
agar tidak terjadi kesalahan yang fatal, dengan menyerahkan suatu pekerjaan kepada
mereka yang bukan ahlinya.
b. Yang Dibentuk Dari Dua Mazhab Atau Lebih
Sumber talfiq adalah pendapat-pendapat yang ada di dalam beberapa mazhab, minimal
ada dua mazhab yang pendapat-pendapatnya diambil lalu mengalami remake ulang.
Dalam bahasa teknologi, talfiq mirip dengan melakukan kanibalisme antara spare part
dari suatu mesin. Harddisk komputer yang sudah rusak, mungkin datanya masih bisa
diselamatkan, dan teknisnya dengan melakukan kanibalisasi dari beberapa harddisk
menjadi satu.
Hanya saja talfiq mazhab dengan kanibalisasi spare-part tetap berbeda. Sebab mazhab
yang dijadikan sumber talfiq tidak dalam kondisi rusak, malah sebalinya, justru
mazhab itu dalam keadaan yang paling baik. Sedangkan kanibalisasi spare part
biasanya dilakukan ketika suatu benda telah mengalami kerusakan, bahkan sudah
dinyatakan mati total.
Namun oleh tukang reparasi, benda-benda yang sudah mati itu dibongkar, lalu diakali
sedemikian rupa, dipreteli spare partnya, siapa tahu ada bagian tertentu yang masih
bisa dipakai. Keberhasilan melakukan kanibalisasi ini juga tidak pernah bisa
dijamin. Kalau lagi beruntung, tentu ada manfaatnya. Tetapi seringkali kanibalisasi
tidak ada gunanya.
c. Dalam Masalah Ibadah atau Muamalat
Talfiq hanya dilakukan di wilayah praktek fiqih yang merupakan wilayah ibadah atau
muamalah fiqihiyah, bukan di wilayah aqidah dan prinsip fundamental agama.
Dalam hal ini, setiap satu jenis ibadah tertentu, pasti memiliki rukun, syarat dan
ketentuan. Dan kenyataannya, setiap mazhab merumuskan rukun dari suatu ibadah
dengan ketentuan yang berbeda-beda.
B. Batasan Talfiq
Dengan melihat definisi di atas, maka sebuah talfiq itu adalah tindakan yang
dilakukan oleh seseorang selama masih berada di dalam batas-batas tertentu. Bila
berada di luar batas itu, meski pun ada kemiripan namun tindakan itu tidak dianggap
sebagai talfiq. Dan batas-batas itu adalah :
1. Bukan Masalah Qath'i
Apa yang ditalfiq itu adalah masalah-masalah yang bersifat ijtihadiyah dalam urusan
masalah fiqihiyah. Suatu masalah yang dimungkinkan para ulama memang berbeda-beda
dalam hasil ijtihad mereka, karena tidak ada dalil atau nash yang qathi secara
dilalah.
Maka kita tidak mengenal istilah talfiq dalam masalah i’tiqadiyah atau wilayah yang
masuk ke dalam urusan fundamental aqidah. Talfiq juga tidak dilakukan dalam masalah
yang sudah qath’i baik secara tsubut atau pun secara dilalah. Misalnya masalah yang
sudah menjadi ijma’ para ulama, seperti bahwa shalat lima waktu itu hukumnya fardhu
‘ain, tidak ada istilah talfiq di dalamnya.
2. Bukan Pindah Mazhab
Talfiq itu mencampur, mengaduk dan mengoplos beberapa pendapat fiqih dari beberapa
mazhab. Maka seorang yang pindah mazhab atau berganti mazhab, baik untuk sementara
atau untuk seterusnya, tidak dikatakan melakukan talfiq.
Sebagai contoh sederhana, seseorang yang bermazhab Asy-syafi’iyah ketika pergi haji
ke Baitullah untuk sementara mengganti mazhabnya menjadi mazhab Al-Hanafiyah,
khususnya dalam hal sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
tanpa pelapis. Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, sentuhan itu membatalkan wudhu,
sementara di dalam mazhab Al-Hanafiyah sentuhan itu tidak membatalkan wudhu’.
Maka orang ini tidak dikatakan melakukan talfiq, karena dia tidak melakukan
pencampuran mazhab, tetapi dia berpindah mazhab, meski hanya bersifat sementara dan
hanya pada satu masalah saja.
Ketika Al-Imam Asy-Syafi’ie rahimahullah menciptakan mazhab baru, setelah
sebelumnya beliau telah menciptakan mazhab yang lama, maka bila ada seorang pemeluk
mazhab Asy-Syafi’yah berpindah ke mazhab Asy-Syafi’iyah yang baru, dia tidak
dikatakan melakukan talfiq. Karena dia tidak mencampur mazhab lama dengan mazhab
baru untuk digabungkan menjadi satu.
3. Dalam Satu Masalah
Talfiq itu berarti mencampur dari dua sumber atau lebih, namun pencampuran itu
dilakukan di dalam satu masalah ibadah atau muamalah.
Maka orang yang shalatnya ikut mazhab Asy-syafi’iyah tapi puasanya menganut mazhab
Al-Malikiyah, tidak dikatakan mencampur mazhab. Sebab pencampuran itu terjadi pada
dua masalah yang berbeda dan terpisah serta tidak saling berpengaruh.
Talfiq hanya terjadi manakala pencampuan itu dilakukan di dalam satu masalah yang
sama, atau dua masalah tetapi saling terkait.
C. Contoh Talfiq
Untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan talfiq antara mazhab sebagaimana
batasan dan syarat di atas, tidak ada salahnya Penulis memberikan beberapa contoh
yang lebih implementatif dari keseharian kita dalam beribadah atau bermuamalah.
1. Masalah Wudhu
Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, asalkan sebagian kepala atau beberapa helai rambut
telah basah, maka hal itu sudah dianggap sah dalam mengusap kepala sebagai rukun
wudhu. Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, yang disebut mengusap kepala itu
haruslah seluruh kepala.
Sementara, di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, seorang laki-laki yang menyentuh kulit
perempuan ajnabiyah (bukan mahram) tanpa alas atau pelapis, dianggap telah batal
wudhu’nya. Sedangkan mazhab Al-Hanabilah tidak demikian, karena batalnya wudhu
hanya bila terjadi hubungan suami istri.
Bentuk talfiq dalam hal ini adalah ketika seseorang dalam wudhu mengambil sebagian
mazhab Asy-Syafi’iyah dan sebagian lagi dari mazhab Al-Hanabilah. Misalnya, dia
mengatakan bahwa cukuplah mengusap beberapa helai rambut sebagai bentuk mengusap
kepala (mazhab Asy-Syafi’iyah), namun berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-
laki dan perempuan ajnabiyah tidak membatalkan wudhu’ (mazhab Al-Hanafiyah).
Seandainya bentuk wudhu yang baru diciptakan ini disodorkan kepada masing-masing
mazhab, yaitu kepada mazhab Asy-Syafi’iyah dan mazhab Al-Hanafiyah, pastilah kedua
mengatakan bahwa wudhu hasil talfiq itu tidak bisa diterima. Mazhab Asy-Syafi’iyah
mengatakan tidak diterima, karena orang itu telah batal menyentuh kulit wanita
tanpa alas, sedang mazhab Al-Hanafiyah mengatakan wudhu itu tidak sah, karena tidak
seluruh kepala kena air.
2. Masalah Rukun Nikah
Dalam mazhab Al-Hanabilah, sebuah pernikahan tidak mensyaratkan harus ada wali,
khususnya bagi wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya.
Dalam mazhab Al-Malilkiyah, sebuah pernikahan sudah dianggap sah meskipun tidak ada
saksi-saksi.
Dan dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, seandainya seorang istri ridha tidak
diberi mahar, maka pernikahan tetap sah hukumnya.
Ketiga pendapat yang berbeda itu kalau ditalfiq, akan menjadi sebuah model
pernikahan baru tapi pernikahan ‘jadi-jadian’. Dan sudah bisa dipastikan bahwa
semua mazhab pasti akan menolak model pernikahan seperti ini, karena dalam sudut
pandang masing-masing mazhab, pernikahan itu tidak sah.
Pernikahan model begini para prinsipnya sama saja dengan sebuah perzinaan, namun
dengan mengatas-namakan pernikahan. Dan ini adalah salah satu contoh talfiq yang
unik.
3. Masalah Talak
Istri yang ditalak untuk yang ketiga kalinya tentu tidak bisa langsung dinikahi
kembali, karena harus menikah terlebih dahulu dengan orang lain. Namun dalam
pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, bila wanita menikah dengan seorang anak laki-laki
yang baru berumur 9 tahun dan sempat melakukan hubungan suami istri, maka hubungan
suami istri itu sah sebagai hal yang menghalalkan.
Dan bila digabung dengan pendapat mazhab Al-Hanabilah, bila anak kecil itu
mentalaknya, maka wanita itu tidak membutuhkan masa iddah. Sehingga suaminya yang
pertama sudah bisa menikahinya kembali. Penggabungan dua hal ini disebut dengan
talfiq.
4. Masalah Mabit di Muzdalifah
Dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, jamaah haji wajib bermalam di Muzdalifah,
dalam arti turun dari unta atau kendaraan, hingga terbit fajar, tidak ubahnya
seperti wuquf di padang Arafah. Ibadah ini posisinya adalah kewajiban dalam haji
namun bukan rukun. Sehingga kalau seseorang meninggalkan bermalam di Muzdalifah itu
itu, dia diharuskan membayar denda (dam), yaitu menyembelih seekor kambing.
Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, mabit di Muzdalifah itu hukumnya sunnah,
bukan wajib apalagi rukun.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh kongkrit tentang talfiq antar mazhab yang kita
saksikan di tengah masyarakat.
D. Bukan Termasuk Talfik
Di atas sudah diterangkan bahwa talfiq itu punya batasan dan definisi yang khas,
sehingga bisa dibedakan dengan mudah terhadap hal-hal yang mirip dengannya, namun
tetap bukan termasuk talfiq.
Tindakan-tindakan yang menyerupai talfiq, namun kalau diteliti lebih dalam ternyata
tetap bukan talfiq antara lain adalah mura’at al-khilaf, ihdats qaul tsalis dan
tatabbu’ ar-rukhash.
1. Mura’at Al-Khilaf
Mura’at Al-Khilaf (‫الخالف‬ ِ ‫)مراعاة‬ُ bermakna menghindari khilaf. Maksudnya, seseorang
mengambil pendapat yang berbeda dari mazhab lain, dengan latar belakang untuk
menghindari perbedaan pendapat atau khilaf.
Contohnya dalam kasus nikah syighar (‫)نكاح الشغار‬. Nikah Syighar yaitu seorang lelaki
mengawinkan putrinya kepada orang lain dengan syarat orang itu mengawinkannya
dengan putrinya, dengan demikian kedua pernikahan itu menjadi tanpa mahar antara
keduanya, karena harta mahar itu akan kembali lagi.
Para ulama umumnya mengatakan bahwa nikah syighar ini hukumnya haram, dan
pernikahan itu tidak sah hukumnya, namun ada pengecualiannya, yaitu mazhab Al-
Hanafiyah memandangnya sebagai pernikahan yang sah.
Contoh mura’aat al-khilaf dalam hal ini adalah seseorang berpendapat bahwa nikah
syighar tidak sah, namun ketika anak dari hasil pernikahan itu meminta harta waris
dari ayahnya, dia berpendapat untuk memberikan hak warisan itu, dengan menggunakan
pendapat mazhab Al-Hanafiyah.
Padahal seharusnya kalau menggunakan logika bahwa nikah syighar itu tidak sah, anak
yang lahir dari pernikahan itu tidak berhak mendapatkan harta warisan dari ayahnya,
karena statusnya bukan ayah yang sah secara hukum.
Praktek ini mirip dengan talfiq, namun ternyata bukan talfiq antar mazhab.
2. Ihdats Qaul Tsalis
Makna ihdats qaulin tsalis (‫ )إحداث قول ثالث‬adalah memproduksi pendapat yang ketiga.
Maksudnya, ketika ada dua pendapat yang berbeda, seseorang tidak mengikuti pendapat
yang pertama, juga tidak mengikuti pendapat yang kedua. Namun justru dia
menciptakan lagi sebuah pendapat yang benar-benar baru, yang kita sebut pendapat
yang ketiga.
Bedanya dengan talfiq antar mazhab, bahwa pendapat yang dibuat adalah hasil dari
penggabungan unsur-unsur dari pendapat pertama dan kedua. Sedangkan ihdats qaul
tsalist ini tidak menggabungkan kedua unsur dari pendapat pertama dan kedua,
melainkan benar-benar memproduksi dari awal pendapat yang benar-benar baru, dan
bukan hasil kanibalisme dari dua pendapat sebelumnya.
Contohnya dalam masalah hukum waris. Ada dua pendapat yang berbeda tentang hukum
pembagian harta waris, bila ahli warisnya adalah kakek dan saudara-saudari
almarhum. Pendapat pertama adalah pendapat mazhab Al-Hanafiyah dan sebagian mazhab
Al-Hanabilah. Menurut mereka, keberadaan kakek akan menghijab (menutup) hak para
saudara almarhum dari penerimaan harta waris. Pendapat kedua, merupakan pendapat
jumhur ulama. Intinya, kakek tidak menghijab saudara, tetapi keduanya berbagai
dalam harta warisan.
Datanglah pendapat yang ketiga, yaitu apa yang diyakini oleh Ibnu Hazm. Pendapatnya
adalah benar-benar pendapat yang baru, sama sekali tidak ada kesamaan dengan
pendapat pertama atau kedua. Pendapat ketiga versi Ibnu Hazm adalah bahwa kedudukan
kakek menjadi gugur karena adanya saudara-saudari alharhum.
3. Tatabbu’ Ar-Rukhash
Secara bahasa, istilah rukhash (‫ )رخصة‬adalah bentuk jama’ dari rukhshah, yang
bermakna keringanan atau kemudahan. Sedangkan secara istilah, definisi rukhshah
menurut Ibnu Subki adalah :
‫لحك ِم األصلِي‬
ُ ِ‫بب ل‬ ّ ‫ذر مع ِقيا ِم‬
ِ ‫الس‬ ٍ ‫رع ّي ِإ ن تغيّر ِإ لى ُس ُهولةٍ لِ ُع‬
ِ ‫الش‬
ّ ‫كم‬
ُ ‫الح‬
ُ
Hukum syar’i yang berubah menjadi lebih mudah karena adanya suatu udzur, dengan
menegakkan sebab pada hukum yang asli
Rukhshah atau keringanan dalam hukum itu sendiri berbeda-beda hukumnya. Ada yang
wajib diikuti, ada juga yang mandubah dan ada yang mubah.
Yang wajib diikuti misalnya keringanan untuk memakan bangkai dalam keadaan
kelaparan berat yang beresiko kepada kematian. Sedangkan yang hukumnya mandubah
(sunnah) misalnya keringanan untuk mengqashar shalat dalam perjalanan. Dan yang
hukumnya mubah, misalnya keringanan untuk menjama’ shalat selain di Arafah dan
Mina.
Tetapi secara umum, lepas dari apakah menjalankan atau mengikuti keringanan itu
wajib, mandub atau mubah, Allah SWT suka bila keringanan yang diberikannya itu
dimanfaatkan oleh hamba-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan :
ِ
‫معصيّتُ ُه‬ ‫يكره أن تُؤتى‬
ُ ‫خص ُه كما‬ ُّ ‫ِإ ّن الله ي ُ ِح‬
ُ ‫ب أن تُؤتى ُر‬
Sesungguhnya Allah suka bila keringanannya dilakukan, sebagaimana Dia benci bila
maksiat kepada-Nya dilakukan.(HR. Ahmad)
Tatabbu’ ar-rukhash (‫ )تتبّع الرخص‬bermakna mencari atau mengejar terus keringanan-
keringanan yang ada dalam hukum.
E. Hukum Talfiq Antar Mazhab
Setelah kita bicara agak panjang lebar tentang pengertian talfiq, sekarang tiba
giliran kita untuk menetapkan hukum atau kebolehan dari tindakan ini, sesuai dengan
pandangan para ulama. Dan sesuai dengan dugaan, ternyata para ulama memang berbeda
pandangan tentang hukum melakukan talfiq. Ada dari mereka yang tegas menolak dalam
arti mengharamkan. Namun ada yang justru sebaliknya, membolehkan tanpa syarat apa
pun.
Dan di tengah-tengahnya, ada pendapat yang berposisi melarang tetapi juga
membolehkan. Maksudnya, mereka melarang talfiq bila dilakukan dengan kriteria
tertentu, tetapi membolehkan talfiq bila memenuhi syarat tertentu. Pandangan yang
ketiga ini adalah pandangan yang kritis tapi objektif.
1. Haram
Umumnya para ulama mengharamkan talfiq antar mazhab secara tegas tanpa memberikan
syarat apa pun. Di antara nama-nama mereka antara lain :
a. Abdul Ghani An-Nabulsi
Abdul Ghani An-Nabulsi menulis kitab Khulashatu At-Tahqiq fi Bayani Hukmi At-Taqlid
wa At-Talfiq. Di dalam kitab itu beliau dengan tegas menolak kebolehan melakukan
talfiq antar mazhab.
b. As-Saffarini
As-Saffarini yang juga menolak kebolehan talfiq antar mazhab. Nama asli beliau
Muhammad bin Ahmad bin Salim Al-Hanbali. Kitab yang beliau tulis berjudul At-Tahqiq
fi Buthlan At-Talfiq.
c. Al-‘Alawi Asy-Syanqithi
Al-‘Alawi Asy-Syanqithi Juga ada ulama lain yang tegas menolak kebolehan talfiq
antar mazhab, yaitu Al-‘Alawi Asy-Syanqithi. Beliau menulis dua kitab sekaligus,
Maraqi Ash-Shu’ud dan kitab yang menjadi syarah (penjelasan) Nasyril Bunud ‘ala
Maraqi Ash-Shuud.
d. Al-Muthi’i
Al-Muthi’i juga termasuk yang mengharamkan talfiq antar mazhab. Hal itu ditegaskan
dalam kitab beliau Sullamu Al-Wushul li Syarhi Nihayati As-Suul.
e. As-Syeikh Muhammad Amin Asy-Syanqithi
As-Syeikh Muhammad Amin Asy-Syanqithi, ulama yang banyak menulis kitab, seperti
tafsir Adhwa’ Al-Bayan dan juga Mudzakkirah Ushul Fiqih. Dalam urusan talfiq ini
beliau mengharamkannya, di antaranya di dalam tulisan beliau Syarah Maraqi Ash-
Shu’ud. Tegas beliau termasuk kalangan yang ikut mengharamkan tindakan talfiq
antar mazhab.
Bahkan Al-Hashkafi malah mengklaim dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-
Abshar bahwa haramnya talfiq antar mazhab itu sudah menjadi ijma’ di antara para
ulama.
2. Halal
Sedangkan di sisi yang lain, ada kalangan ulama yang justru berpendapat sebaliknya.
Bagi mereka, talfiq antara mazhab itu hukumnya halal-halal saja. Tidak ada larangan
apa pun untuk melakukan talfiq.
Di antara mereka yang menghalalkan talfiq ini antara lain para ulama maghrib dari
kalangan mazhab Al-Malikiyah seperti Ad-Dasuqi. Beliau punya karya Hasyiyatu Ad-
Dasuqi ‘ala Asy-Syarhi Al-Kabir.
3. Ada Yang Haram Ada Yang Halal
Pendapat yang ketiga berada di posisi tengah, yaitu tidak mengharamkan talfiq
secara mutlak, namun juga tidak menghalalkan secara mutlak juga. Bagi mereka, harus
diakui bahwa ada sebagian bentuk talfiq yang hukumnya haram dan tidak boleh
dilakukan. Namun juga tidak bisa dipungkiri bahwa dari sebagian bentuk talfiq itu
ada yang diperbolehkan, bahkan malah dianjurkan.
Sehingga pendapat yang ketiga ini memilah dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
F. Hujjah dan Argumentasi Masing-masing Pihak
1. Yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan talfiq antar mazhab punya banyak hujjah dan argumentasi,
di antaranya :
a. Mencegah Kehancuran
Seandainya pintu talfiq ini dibuka lebar, maka sangat dikhawatirkan terjadi
kerusakan yang besar di dalam tubuh syariat Islam dan hancurnya berbagai mazhab
ulama yang telah dengan susah payah dibangun dengan ijtihad, ilmu dan sepenuh
kemampuan.
Sebab talfiq itu menurut mereka tidak lain pada hakikatnya adalah semacam
kanibalisasi mazhab-mazhab yang sudah paten, sehingga kalau mazhab-mazhab itu
dioplos-ulang, maka dengan sendirinya semua mazhab itu akan hancur lebur.
Kalau mazhab-mazhab yang sudah muktamad sepanjang 14 abad itu dihancurkan, sama
saja dengan meruntuhkan seluruh bangunan syariah Islamiyah.
b. Kaidah Kebenaran Hanya Satu
Ada sebuah kaidah yang dianut oleh mereka yang mengharamkan talfiq, yaitu bahwa
kebenaran di sisi Allah itu hanya ada satu. Kebenaran tidak mungkin ada dua, tiga,
empat dan seterusnya.
Sedangkan prinsip talfiq itu justru bertentangan dengan kaidah di atas, sebab dalam
pandangan talfiq, semua mujtahid itu benar, padahal pendapat mereka jelas-jelas
berbeda satu dengan yang lain.
c. Tidak Ada Dalil Yang Membolehkan
Menurut mereka yang mengharamkan talfiq, tidak ada satu pun dalil di dalam syariat
Islam yang menghalalkan talfiq antar mazhab. Bahkan tidak pernah ada contoh dari
para ulama salaf sebelumnya yang pernah melakukan talfiq antar mazhab.
Adapun bila kita temukan bahwa ada sebagian ulama di masa salaf yang sekilas
seperti melakukan talfiq, sebenarnya itu hanya terbatas pada kesan saja. Namun
secara hakikatnya, mereka tidak melakukan talfiq. Yang mereka lakukan adalah
berijtihad dari awal, dan kebetulan hasil ijtihad mereka kalau dikomparasikan
dengan pendapat-pendapat mazhab yang sudah ada sebelumnya, mirip seperti comot sana
comot sini.
Padahal mereka adalah ahli ijtihad yang tentunya tidak akan melakukan pencomotan
begitu saja, sebab mereka tidak melakukan taqlid.
2. Yang Menghalalkan
Sementara itu, kalangan ulama yang menghalalkan praktek talfiq antar mazhab ini
juga punya hujjah dan argumentasi yang mereka yakini kebenarannya. Di antaranya
adalah :
a. Haraj dan Masyaqqah
Mengharamkan talfiq antar mazhab adalah sebuah tindakan yang amat bersifat haraj
(memberatkan) dan masyaqqah (menyulitkan), khususnya buat mereka yang awam dengan
ilmu-ilmu agama versi mazhab tertentu.
Hal itu mengingat bahwa amat jarang ulama di masa sekarang ini yang mengajarkan
Ilmu Fiqih lewat jalur khusus satu mazhab saja, selain juga tidak semua ulama
terikat pada satu mazhab tertentu.
Barangkali pada kurun waktu tertentu, dan di daerah tertentu, pengajaran ilmu agama
memang disampaikan lewat para ulama yang secara khusus mendapatkan pendidikan Ilmu
Fiqih lewat satu mazhab secara eksklusif, dan tidak sedikit pun mendapatkan
pandangan dari mazhab yang selain apa yang telah diajarkan gurunya.
Namun seiring dengan berubahnya zaman dan bertebarannya banyak mazhab di tengah
masyarakat, nyaris sulit sekali bagi orang awam untuk mengetahui dan membedakan
detail-detail fatwa dan merujuknya kepada masing-masing mazhab.
b. Berpegang Pada Satu Mazhab Tidak Ada Dalilnya
Di sisi yang lain, para ulama yang membolehkan talfiq berargumentasi bahwa tidak
ada satu pun ayat Al-Quran atau pun hadits nabawi yang secara tegas mengharuskan
seseorang untuk berguru kepada satu orang saja, atau berkomitmen kepada satu mazhab
saja.
Yang terjadi di masa para shahabat justru sebaliknya. Para shahabat terbiasa
bertanya kepada mereka yang lebih tinggi dan lebih banyak ilmunya dari kalangan
shahabat, namun tanpa ada ketentuan kalau sudah bertanya kepada Abu Bakar, lalu
tidak boleh bertanya kepada Umar, Utsman atau Ali. Mereka justru terbiasa bertanya
kepada banyak shahabat, bahkan kalau merasa agak kurang yakin dengan suatu jawaban,
mereka pun bertanya kepada shahabat yang lain. Sehingga sering terjadi perbandingan
antara beberapa pendapat di kalangan shahabat itu sendiri.
Dan para shahabat yang sering dirujuk pendapatnya itu, juga tidak pernah mewanti-
wanti agar orang yang bertanya harus selalu setia seterusnya dengan pendapatnya,
dan tidak pernah melarang mereka untuk bertanya kepada shahabat yang lain.
Karena itu menurut pendapat ini, keharaman talfiq itu justru tidak dibenarkan dan
tidak sejalan dengan praktek para shahabat Nabi sendiri.
c. Pendiri Mazhab Tidak Mengharamkan Talfiq
Ini adalah hujjah yang paling kuat di antara semua hujjah. Alau dikatakan bahwa
haram hukumnya untuk melakukan talfiq, menurut mereka yang menghalalkannya, justru
para pendiri mazhab yang muktamad seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad
bin Hanbal rahimahullahu ‘alaihim ajmain justru tidak pernah mengharamkan talfiq.

Bab 8 : Sejarah Awal Mazhab Fiqih


Mazhab dalam makna ijtihad dan pola aliran metodologi istimbath hukum, sebenarnya
sudah ada sejak awal mula diturunkan Al-Quran, yaitu di masa Rasulullah SAW masih
hidup.
Dalam hal ini sesungguhnya Rasulullah SAW sendiri yang berupaya memberi contoh
sekaligus mendidik, melatih, mengajari dan membina para shahabat dengan teliti dan
rinci, untuk nantinya menjadi lahir menjadi mujtahid yang dapat mengawal
keberlangsungannya risalah Islam, sampai bagian akhir dari kehidupan.
Berbeda dengan para nabi sebelumnya, misi Rasulullah SAW tidak akan dibantu dengan
adanya nabi-nabi berikutnya. Keberadaan beliau sebagai utusan Allah merupakan orang
yang terakhir. Beliau sendiri tidak lain adalah penutup risalah para nabi dan
rasul.
Meski pun demikian, nampaknya Allah SWT belum lagi berkehendak untuk menutup
panggung kehidupan dunia dengan kiamat. Manusia dibiarkan terus hidup beratus-ratus
tahun, bahkan beribu tahun sepeninggal Rasulullah SAW, tanpa adanya bimbingan dari
langsung dari langit, berupa wahyu atau pun turunnya seorang nabi.
Meski demikian jauh jarak antara masa Rasulullah SAW dan generasi saat ini, namun
ada semacam jaminan dari Allah SWT bahwa agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW
tidak akan punah, sampai hari kiamat.
Dalam bentuk nyata, jaminan itu adalah keberadaan para ulama dan mujtahid dari umat
Rasulullah SAW, yang di atas pundak mereka dibebankan amanat dan ilmu untuk selalu
mengawal agama ini sampai hari akhir tiba. Mereka tidak lain adalah para fuqaha,
ahli ilmu dan mujtahid.
A. Mazhab di Masa Shahabat
Benih mazhab dalam kapasitas ini sebenarnya sudah muncul sejak masa sahabat.
Sehingga dikenal ada mazhab Abu Bakar, mazhab Umar, mazhab Utsman, mazhab Ali,
mazhab Aisyah, mazhab Abdullah bin Abbas, mazhab Abdullah bin Umar, mazhab Abdullah
bin Masud dan yang lainnya ridhwanullahialaihim jamian.
Meski istilah mazhab tidak lazim disematkan kepada para shahabat itu, namun yang
pasti mereka memang bukan sekedar shahabat biasa. Sosok mereka tidak lain adalah
sosok para ahli ijtihad, ahli fiqih dan menjadi rujukan para shahabat yang lain,
baik di masa Rasulullah SAW masih hidup atau pun setelah beliau SAW wafat.
Sebagai orang yang hidup bersama dengan Rasulullah SAW, para shahabat memang lebih
sering dikenal sebagai orang yang meriwayatkan hadits, yang isinya tentu merupakan
nash-nash syariah. Namun peran dan kedudukan para sahabat itu sebenarnya tidak
hanya berhenti sampai pada meriwayatkan hadits saja.
Dalam kenyataannya, sebagian dari para shahabat berijtihad dan mengemukakan
pendapat pribadinya. Tentunya ijithad para shahabat itu bukan asal berpendapat
tanpa dasar. Tentunya ijtihad yang mereka lakukan memang berdasarkan perintah
Rasulullah SAW dan juga atas petunjuk, arahan serta pendidikan langsung dari
Rasulullah SAW. Karena selama ini para shahabat yang mujtahid itu memang kader-
kader terbaik Rasulullah SAW.
Dan hasil-hasil ijtihad mereka itu jumlahnya bisa sangat banyak, sehingga layak
disebut sebuah mazhab tersendiri. Dan dalam ilmu ushul fiqih, kita mengenal
pendapat-pendapat hasil ijtihad para shahabat di luar apa yang mereka riwayatkan
dari Rasulullah Saw itu sebagai qaul shahabi atau mazhab shahabi.
Namun tentu saja apa yang dikatakan sebagai mazhab para shahabat itu sangat berbeda
dengan pengertian mazhab di masa berikutnya. Salah satu perbedaan yang paling nyata
adalah tidak adanya nash atau teks yang tertulis dari para shahabat itu. Dan juga
tidak ada semacam metodologi yang terstruktur sebagaimana mazhab di zaman
berikutnya.
1. Jumlah Shahabat
Al-Imam As-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab Al-Khashaish Al-Kubra menyebutkan bahwa
jumlah total para shahabat tidak kurang dari 124.000 orang. Sedangkan Al-Hafidz Abu
Zar’ah Ar-Razi, salah seorang guru Imam Muslim, menyebutkan bahwa jumlah para
shahabat mencapai 114.000 orang.
Perbedaan jumlah secara detail ini wajar asalkan angkanya berdekatan dan tidak
terpaut jauh. Sebab di masa Rasulullah SAW itu cukup sulit untuk mendata jumlah
mereka yang masuk Islam, khususnya dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam
secara berbondong-bondong.
Ka’ab bin Malik menyebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim :
‫ول الل ّ َ ِه‬ َ ‫ َوالمــُسلِ ُم‬‫اب َحا ِف ٌظ‬
ِ ‫ون َم َع َر ُس‬ ٌ َ‫جم ُع ُهم ِكت‬ ٌ ‫ك َ ِث‬
َ َ ‫ير َوال ي‬
Dan jumlah umat Islam yang hidup bersama Rasulullah SAW (shahabat) jumlahnya sangat
banyak, tidak bisa dihimpun dalam satu kitab. (HR. Bukhari Muslim)
2. Shahabat Yang Mujtahid
Namun lepas dari berapa jumlah pasti para shahabat yang hidup sebagai muslim dan
bertemu langsung dengan beliau SAW, yang pasti tidak semua dari mereka berkapasitas
sebagai mutjahid.
Sebab untuk menjadi mujtahid tidak cukup sekedar bertemu dengan beliau SAW sekali
atau dua kali. Untuk menjadi mujthaid diperlukan waktu yang panjang serta
intensitas pertemuan dengan Rasulullah SAW yang berkualitas. Selain itu juga ada
faktor kecerdasan dan kapasitas yang umumnya di atas rata-rata.
Oleh karena itu wajar bila Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya, I’lam Al-Muwaqqi’in,
menyebutkan bahwa jumlah para shahabat yang berkapasitas sebagai mutjahid hanya
sekitar 130-an orang saja. Ada yang laki-laki dan ada yang perempuan, bahkan ada
juga yang anak-anak.
3. Tiga Level Mujtahid di Kalangan Shahabat
Dari 130-an shahabat Nabi yang mujtahid, masih bisa kita bagi lagi berdasarkan
level mereka dan juga produk ijtihad yang mereka hasilnya. Ada yang jumlah
ijtihadnya banyak, sedang dan sedikit.
a. Al-Mukatstsirin
Di antara mereka yang paling banyak hasil ijtihadnya ada tujuh orang, yaitu Umar
bin Al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah Ummum Mukminin, Abdullah bin Mas’ud,
Abdullah bin Al-Abbas, Abdullah bin Umar dan Zaid bin Tsabit ridhwanullahi ’alaihim
ajma’in.
b. Al-Mutawassithin
Di antara mujtahid level menengah adalah Abu Bakar, Utsman bin Al-Affan, Ummu
Salamah istri Nabi, Abu Said Al-Khudri, Muadz bin Jabal, Abu Musa Al-Asy’ari, Jabir
bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Al-Ash dan Abdullah bin Az-Zubair ridhwanullahi
’alaihim ajma’in.
c. Al-Muqallilin
Level ini disebut muqallilin karena jumlah hasil ijtihad mereka tidak terlalu
banyak dibandingkan dua level di atasnya. Para shahabat yang termasuk dalam level
ini antara lain Abu Ad-Darda’, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, An-Nu’man bin Basyir, Ubay
bin Ka’ab, Abu Thalhah, Abu Dzar, Shafiyah, Hafsyah, Ummu Habibah dan lainnya
ridhwanullahi ’alaihim ajma’in.
B. Mazhab di Masa Tabi’in
Tabi’in adalah mereka yang pernah bertemu langsung dengan para shahabat Nabi di
masa hidupnya, dalam keadaan muslim dan wafat dalam keadaan muslim juga. Masa
tabi’in dikenal sebagai masa dimana para shahabat umumnya sudah wafat dan yang
menjadi rujukan dalam masalah hukum agama adalah para tabi’in.
Disebutkan bahwa generasi shahabat yang terakhir adalah Abu Ath-Thufail Amir bin
Watsilah Al-Laitsi radhiyallahuanhu. Beliau yang juga dikenal dengan sebutan Al-
Kanani diperkirakan wafat pada tahun 102 hijriyah. Versi lainnya menyebutkan bahwa
beliau wafat tahun 110 hijriyah. Beliau dimakamkan di Mekkah Al-Mukarramah.
Wafatnya shahabat yang terakhir ini menandai pindahnya era shahabat ke era tabi’in.
Para tabi’in adalah murid-murid para shahabat yang meneruskan ilmu para shahabat
sekaligus mewarisi keulamaan mereka. Dan sebagaimana para guru mereka, para tabi’in
ini bukan hanya berposisi sebagai periwayat nash-nash syariah, tetapi lebih dari
itu, mereka adalah para mujtahid yang melakukan istimbath hukum, di luar apa yang
mereka riwayatkan dari para shahabat.
Jumlah mereka tentu lebih banyak dari jumlah mujtahid di kalangan shahabat. Karena
tiap shahabat tentu punya banyak murid yang benar-benar berhasil dicetak menjadi
mujtahid besar di masanya.
Karena para shahabat yang menjadi guru mereka hidup berpencar-pencar di berbagai
pusat peradaban Islam sepeninggal Rasulullah SAW, maka keberadaan para mujtahid
dari kalangan tabi’ini itu pun terpencar sesuai dengan tempat tinggal para shahabat
itu.
Di masa tabi’in terkenal adanya kota-kota yang menjadi pusat ilmu syariah, seperti
Madinah, Mekkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir dan Yaman. Kota-kota itu menjadi
pusat pengajaran ilmu agama, karena beberapa faktor, terutama karena para shahabat
yang berlevel mujtahidi itu tinggal disana dan membangun pusat pendidikan ulama
mujtahid.
1. Madinah
Meski kebanyakan shahabat pergi meninggalkan Madinah sepeninggal Rasulullah SAW dan
era khilafah rasyidah, namun tentu saja masih ada para shahabat berlevel mujtahid
yang menjadi ulama dan membangun pusat pengkaderan para mujtahid.
Setidaknya masih ada ulama mujtahid selevel Abdullah bin Umar bin Al-Khattab dan
Zaid bin Tsabit radhiyallahuanhuma. Maka lahirnya tujuh ulama ahli fiqih dari kota
Madinah.
 Said bin Al-Musayyib (14 - 94 H)
 Urwah bin Az-Zubair (23 - 94 H)
 Al-Qasim bin Muhammad (w. 108 H)
 Kharijah bin Zaid
 Abu Bakr bin Abdullah bin Utbah bin Masud
 Sulaiman bin Yasar (w. 94 H)
 Ubaidillah bin Abdillah (w. 98 H)
 Nafi’ Maula Abdullah bin Umar.
2. Mekkah
Kota Mekkah sebagai tempat awal mula turunnya wahyu dan di dalamnya terdapat
Baitullah, juga menjadi pusat pengkaderan para ulama mujtahid. Di kalangan shahabat
berlevel mujtahid ada yang menjadi guru di Mekkah, antara lain Ibnu Al-Abbas dan
Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahuanhuma.
Di antara murid-murid sejati Abdullah bin Al-Abbas adalah Mujahid (w. 104 H), Atha’
bin Abi Rabah, Thawus bin Kisan dan lainnya.
Namun karena di masa itu para ulama juga punya kebiasaan berpindah-pindah kota,
maka tidak heran kalau ada sebagian dari mereka yang dianggap sebagai ulama yang
mewakili kota tertentu pada suatu waktu, tetapi para waktu yang lain, mereka
mewakili kota lainnya.
Contohnya Thawus, beliau kadang disebut sebagai ulama Yaman, karena juga pernah
tinggal di Yaman.
3. Kufah
Jumlah shahabat yang pindah ke Kufah tidak sedikit, bahkan Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah pun pernah memindahkan pusat pemerintahannya ke Kufah.
Selain itu juga ada Abdullah bin Mas’ud, yang sejak zaman khalifah Umar telah
diutus secara resmi untuk menjadi guru para ulama.
Lahir dari tangan Abdullah bin Mas’ud para ulama mujtahid dari kalangan tabi’in,
antara lain ’Alqamah, Al-Aswan, Masruq, Syuraih, Asy-Sya’biy, An-Nakha’i dan Said
bin Jubair.
An-Nakha’i adalah tokoh tabi’in yang menjadi salah satu guru dari Al-Imam Abu
Hanifah nantinya.
4. Bashrah
Anas bin Malik dan Abu Musa Al-Asy’ari adalah dua orang shahabat yang mengajarkan
ilmu syariah di kota Bashrah. Dan di antara murid terbaik kota Bashrah dari
kalangan tabi’in antara lain Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad Ibnu Sirin.
5. Syam
Ketika diutus menjadi gubernur di Syam, Yazid Abi Sufyan sempat berkirim surat
kepada Khalifah Umar di Madinah. Isinya bahwa penduduk Syam membutuhkan pada ulama
dan mujtahid yang fatwanya ditunggu-tunggu serta untuk menjadi guru agar lahir para
mujtahid generasi berikutnya.
Surat itu dijawab oleh Umar dengan mengirimkan shahabat berlevel mujtahid, yaitu
Muadz bin Jabal, Ubadah, dan Abu Ad-Darda’ ridhwanullahi’alaihim.
Muadz bin Jabal kemudian menghabiskan sisa hidupnya di Syam dan Palestina menjadi
guru besar. Ubadah bin Ash-Shamit mengajar di wilayah Himsh, dan Abu Ad-Darda’
mengajar di Damaskus.
Maka lahir dari tangan-tangan mereka murid-murid yang handal dan menjadi mujtahid
terbesar di zamannya, seperti Abu Idris Al-Khaulani, Makhul Ad-Dimasyqi, Umar bin
Abdul Aziz, Raja’ bin Haywah, dan juga imam besar penduduk Syam, Abdurrahman Al-
Auza’i.
6. Mesir
Di Mesir kita menemukan ada Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahuanhu. Abdullah
adalah seorang shahabi termasuk yang paling banyak meriwayatkan hadits dari
Rasulullah SAW. Namun di samping itu, beliau yang merupakan putera dari Amr bin Al-
Ash, sang gubernur wilayah Mesir, juga seorang mujtahid yang banyak melakukan
istimbath hukum.
Banyak kalangan tabi'in yang menimba ilmu agama dari Abdullah, salah satunya adalah
Yazid bin Hubaib. Yazid adalah orang yang nantinya menjadi guru bagi Al-Laits bin
Saad, ulama besar Mesir di masanya.
7. Yaman
Di antara fuqaha ahli ijtihad yang tinggal di Yaman dari kalangan tabi'in adalah
Mathraf bin Mazin. Beliau di kota Shan'a berkedudukan sebagai hakim (qadhi). Selain
itu juga ada Hisyam bin Yusuf.

Tempat Shahabat Tabi’in


Madinah Ibnu Umar Said bin Al-Musayyib, Nafi,
Mekkah Ibnu Abbas Mujahid, Atha', Thawus
Kufah Ali, Abd bin Mas'ud An-Nakhai, Masruq, Alqamah, Asy-Sya'bi
Bashrah Anas, Abu Musa Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin
Syam Muaz, Adu Darda', Umar bin Abd Aziz, Al-Auza'i, Al-Khaulani
Mesir Amr bin Ash, Abdullah bin Amr bin Ash Yazid, Al-Laits
Yaman Muaz - Anas Mutharrif

C. Mazhab di Masa Berikutnya


Di awal abad kedua hingga pertengahan abad keempat hijriyah yang merupakan fase
keemasan bagi itjihad fiqih. Di masa itulah kita bertemu dengan para mujtahid
agung, dimana mereka menjadi pendiri mazhab-mazhab besar di masanya, mereka membuka
kelas-kelas kajian fiqih yang menjadi madrasah fiqhiyah, dengan sekian banyak murid
yang menjadi pengikut setia. Jumlahnya tidak terbatas hanya empat mazhab seperti
yang kita kenal sekarang, melainkan sampai tiga belas mazhab yang berbeda.

Pendiri wafat Domilisi


Al-Hasan Al-Bashri 21 – 110 Kufah
Abu Hanifah 80 – 150 Kufah
Al-Auza’i ... – 157 Syam
Sufyan Ats-Tsauri 97 - 161 Kufah
Al-Laits bin Sa’ad 94 - 175 Mesir
Malik bin Anas 93 - 197 Madinah
Sufyan bin Uyainah 107 - 198 Mekah
Asy-Syafi’i 150 - 204 Baghdad - Mesir
Ishaq bin Rahawaih 161 - 238 Naisabur
Ahmad bin Hanbal 164 - 241 Baghdad
Abu Tsaur ... - 246 Baghdad
Daud Azh-Zhahiri 255- 297 Baghdad
Ibnu Jarir Ath-Thabari 224 - 310 Baghdad

Namun kebanyakan ilmu dari para ulama mazhab di atas pada hari ini hanya tinggal di
kitab dan buku-buku seiring dengan wafatnya para pengikutnya. Bahkan sebagiannnya
hanya tertulis di dalam buku lain, yang sifatnya merupakan kutipan dan bukan buku
asli yang mereka tulis.
Namun sebagian mazhab lainnya masih tetap terkenal dan bertahan hingga hari ini,
yaitu diantaranya adalah mazhab-mazhab empat yang kita kenal hingga hari ini
seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah.
Dan pada keempat mazhab itulah Ilmu Fiqih berkembang pesat dan menyebar ke seluruh
lini dunia Islam, sehingga melahirkan pilar-pilar utama yang kokoh sebagai penopang
tegaknya syariat Islam di permukaan bumi. Khusus untuk masing-masing dari keempat
mazhab ini, akan kita bahas secara lebih dalam dan luas dalam bab-bab tersendiri,
insya Allah.□

Bab 9 : Mazhab Al-Hanafiyah


A. Pendiri : Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Nama asli Abu Hanifah adalah An-Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha. Beliau bukan orang
Arab dan bukan keturunan dari Arab. Beliau aslinya orang Persia, yang sejak zaman
kakeknya atau sebelumnya, sudah memeluk agama Islam.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang kabar bahwa Abu Hanifah
masih keturuan dari budak. Salah satu versi menyebutkan bahwa Zuwatha sang kakek
asalnya adalah seorang budak dari Bani Taimullah bin Tsa’labah, kemudian
dimerdekakan.
Namun versi yang lain menyebutkan bahwa Abu Hanifah bukan cucu dari Zuwatha,
sehingga beliau bukan keturunan dari budak.
Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahun 80 Hijriyah, di masa kekuasaan Khalifah Bani
Umayah, Abdul Malik bin Marwan. Selama masa hidupnya, Abu Hanifah sempat mengalami
dua masa dinasti, yaitu Daulah Bani Umayah dan Daulah Bani Abasiyah.
1. Apakah Abu Hanifah Termasuk Tabi’in?
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Abu Hanifah hidup di zaman para shahabat masih
hidup, sebab beliau lahir di tahun 80 Hijriyah. Artinya, 70 tahun setelah
Rasulullah SAW wafat, Abu Hanifah lahir. Dan generasi shahabat masih hidup di tahun
80 Hijiriyah.
Namun bukan berarti orang yang lahir di zaman shahabat berarti termasuk tabi’in.
Sebab pengertian tabi’in adalah orang yang beragama Islam dan pernah bertemu
langsung dengan shahabat, dan wafatnya tetap dalam keadaan muslim.
Masalahnya, apakah Abu Hanifah ini pernah bertemu dengan salah satu shahabat Nabi
SAW dalam hidupnya secara langsung? Disitulah titik perbedaan di antara para ahli
sejarah.
Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa beliau pernah bertemu dengan Anas bin Malik
radhiyallahuanhu yang posisinya adalah shahabat Nabi SAW. Sehingga beliau bisa
dimasukkan ke dalam kelompok tabi’in dan bukan tabi’it-tabi’in.
Salah satu yang berpendapat seperti ini adalah Al-Imam Adz-Dzahabi. Menurut Adz-
Dzahabi, Abu Hanifah bertemu langsung dengan Anas bin Malik radhiyallahuanhu.
Al-Imam As-Suyuthi meriwayatkan bahwa Abu Hanifah sempat bertemu langsung dengan
beberapa orang shahabat, di antaranya Abdullah bin Al-Harits, Abdullah bin Abi
Aufa, Watsilah bin Al-Asqa’, Aisyah binti Ajrad, Sahal bin Saad, Amru bin Hariits
dan Abu Thufail Amir bin Watsilah.
Namun sebagian lain dari para ahli sejarah menolak pendapat yang mengatakan bahwa
Abu Hanifah bertemu dengan para shahabat. Sehingga dalam pandangan mereka, Abu
Hanifah bukan termasuk tabi’in, melainkan termasuk tabiut-tabi’in.
Beliau adalah ahli fiqih dari penduduk Irak. Di samping sebagai ulama fiqih, Abu
Hanifah berprofesi sebagai pedagang kain di Kufah.
Tentang kredibilitasnya sebagai ahli fiqih, Imam Syafi’i mengatakan,”Dalam fiqih,
manusia bergantung kepada Abu Hanifah,”. Imam Abu Hanifah menimba ilmu hadis dan
fiqih dari banyak ulama terkenal.
2. Kufah
Abu Hanifah lahir, tinggal dan besar di Kufah. Sebuah kota yang awalnya didirikan
atas perintah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu pada tahun 17 Hijriyah, setelah
beliau menaklukkan Persia lewat Perang Al-Qadisiyah.
Umar mengutus salah seorang shahabat Nabi yang ahli fiqih, Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahuanhu, untuk menjadi pemimpin Kufah serta menjadi guru yang mengajarkan
ilmu syariah buat penduduknya serta bertugas untuk mencetak para ulama ahli fiqih.
Misi itu berhasil dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud. Tidak kurang 4.000 ulama
fiqih berhasil beliau kader selama bertugas di Kufah.
Ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu memerintah Khilafah Islamiyah, beliau
memindahkan pusat kekhalifahan ke Kufah. Dan ikut bersama Ali tidak kurang dari
1.500 orang shahabat Nabi SAW. Maka jadilah Kufah sebuah kota yang dipenuhi oleh
para shahabat dan juga para ulama.
Namun di sisi lain, di Kufah juga muncul berbagai macam aliran yang menyimpang
secara aqidah, misalnya kelompok Khawarij, Jahmiyah, Mu’tazilah dan juga Syiah.
Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang baru masuk Islam dan tipis imannya.
Sebagian lagi memang zindiq yang berpura-pura masuk Islam, dengan niat ingin
merusak masyarakat lewat berbagai pemikiran sesatnya.
Abu Hanifah menjadi saksi fenomena ini. Bahkan pada awalnya beliau sibuk melakukan
berbagai perdebatan untuk mematahkan argumentasi berbagai kelompok aliran sesat
yang menyimpang ini. Al-Jahm bin Shafwan, sang pendiri aliran Jahmiyah, termasuk
orang yang pernah dibikin terdiam tidak berkutik oleh Abu Hanifah, karena kalah
argumentasi.
Sebelum menjadi ahli fiqih, Abu Hanifah juga banyak menyerang argumentasi kelompok
Syiah, Khawarij, Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya, serta mematahkan
argumentasi mereka hingga tidak mampu menjawab.
Kalau melihat riwayat ini, kita bisa mengerti mengapa seorang Abu Hanifah punya
kekuatan dalam masalah logika dan akal. Ternyata beliau sering harus berhadapan
dengan aliran-aliran sesat yang rajin menampilkan argumentasi lewat logika dan
akal. Maka beliau pun harus melawan mereka dengan senjata yang sama, yaitu logika
dan nalar. Dan beliau berhasil mengalahkan semua argumentasi musuh-musuh Islam itu.
Ketika Abu Hanifah masuk ke dunia Ilmu Fiqih, logika dan nalar beliau pun terasa
sangat kuat dan dominan, setidaknya bila kita bandingkan dengan madrasah ahli
hadits pimpinan Al-Imam Malik, yang lebih kental pada wilayah atsar.
3. Guru-guru Abu Hanifah
Lalu Abu Hanifah pindah dari dunia Ilmu Kalam ke Ilmu Fiqih. Konon hal itu diawali
dengan sebuah kejadian, ketika seorang wanita bertanya kepadanya tentang hukum
suami yang menceraikan istrinya untuk masa waktu satu tahun.
Abu Hanifah terkejut dengan pertanyaan itu dan jelas tidak bisa menjawabnya. Bukan
apa-apa, ternyata selama ini beliau lebih banyak sibuk meributkan masalah-masalah
perdebatan di bidang aqidah yang tidak ada habisnya, dan lupa untuk belajar ilmu
yang merupakan esensi agama Islam, yaitu Ilmu Fiqih.
Akhirnya beliau melempar pertanyaan wanita itu kepada seorang ahli fiqih di
masanya, yaitu Hammad bin Sulaiman An-Nakha’i. Tentu saja pertanyaan semacam itu
dengan mudah dijawab oleh sang ulama. Abu Hanifah terkagum-kagum dengan jawabannya
serta kedalaman ilmu, kekuatan hujjah serta kecerdasan sang ahli fiqih itu.
Maka sejak itu Abu Hanifah meninggalkan dunia perdebatan Ilmu Kalam, dan mulai
serius belajar Ilmu Fiqih secara tekun sampai menjadi ahli fiqih kenamaan, bahkan
sampai melebihi popularitas gurunya sendiri.
Namun semua itu dilakukan dengan sepenuh kesabaran dan ketekutan yang tiada
bandingnya. Tidak kurang selama 18 tahun beliau berguru kepada Hammad bin Abu
Sulaiman, murid Ibrahim An-Nakha’i.
Abu Hanifah juga berguru ke kota lain, seperti Bashrah, Baghdad dan Mekkah dan
tinggal selama beberapa tahun. Di Mekkah beliau mengambil ilmu dari para ulama
pewaris ilmu Umar, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhum.
Di antara guru-guru yang masyhur tempat beliau menimba ilmu adalah Ikrimah maula
Ibnu Abbas, Nafi’ maula Ibnu Umar, Atha’ bin Abi Rabah yang menjadi ulama Mekkah,
Amru bin Dinar, Qatadah, Thawus dan masih banyak lagi.
Kalau dihitung-hitung, jumlah para ulama tempat Abu Hanifah berguru sangat banyak,
tidak kurang dari 4.000 ulama. Sebagian dari mereka masih berstatus shahabat Nabi
SAW seperti disebutkan di atas, sebagian lagi berstatus tabi’in dan yang lainnya
dari kalangan tabi’it-tabi’in.
4. Murid-murid Abu Hanifah
Setelah menjadi ulama besar, Abu Hanifah mengajarkan Ilmu Fiqih kepada banyak
orang. Tercatat tidak kurang ada 700 ulama besar pernah berguru kepada beliau dan
menimba ilmunya.
Mereka datang dari berbagai latar belakang ilmu, ada yang ahli ra’yu dan qiyas
seperti Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar. Ada juga ahli hadits, ahli nahwu, ulama
tafsir, sejarawan, dan lainnya. Ini adalah salah satu ciri keunikan Abu Hanifah
yang tidak dimiliki oleh ulama lain.
Abu Hanifah punya 40-an murid setia yang selalu duduk bersama beliau untuk
berdiskusi dan kemudian menuliskan hasilnya sehingga menjadi ribuan halaman kitab.
Di antara beberapa murid Imam Abu Hanifah yang terkenal:
 Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim dari Kufah (113 – 182 H). Beliau menjadi hakim
agung di masa Khalifah Harun Al Rasyid. Beliau juga sebagai mujtahid mutlak
(mujtahid yang menguasai seluruh disiplin Ilmu Fiqih).
 Muhammad bin Hasan Asy Syaibani (132 – 189 H). Lahir di Damaskus (Syuriah)
dan besar di Kufah dan menimbah ilmu di Baghdad. Pernah menimba ilmu kepada Abu
Hanifah, kemudian Abu Yusuf. Pernah menimba ilmu kepada Imam Malik bin Anas. Ia
juga termasuk mujtahid mutlak. Ia menulis kitab Zhahir Ar-Riwayah sebagai pegangan
mazhab Abu Hanifah.
 Abu Hudzail Zufar bin Hudzail bin Qais (110 – 158 H) ia juga sebagai mujtahid
mutlak.
 Hasan bin Ziyad Al Lu’lu’iy ( w 204 H). Dalam urusan fiqih beliau belum
mencapai Abu Hanifah dan dua muridnya.
B. Ushul Mazhab
Secara prinsip semua ulama dan mazhab yang muktamad pasti mendasarkan fatwa dan
pendapat mereka kepada sumber-sumber Ilmu Fiqih yang utama, yaitu Al-Quran, As-
Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Namun demikian, dalam detailnya sangat dimungkinkan
terjadi perbedaan-perbedaan.
Maka disini akan diulas sedikit tentang perbedaan yang menjadi ciri khas dari tiap
mazhab.
1. Ketat Dalam Menerima Hadits
Abu Hanifah dan para ulama dalam mazhabnya terkenal sangat selektif dalam menerima
hadis. Dan tidak seperti yang umumnya disangka orang bahwa mazhab Al-Hanafiyah
tidak menggunakan hadits, yang sebenarnya terjadi justru mazhab ini sangat
memperhatikan hadits, khususnya dari sisi kekuatan periwayatannya.
Justru mazhab Al-Hanafiyah termasuk jajaran mazhab yang dengan tegas tidak mau
memakai hadits sebagai dasar hukum, kalau tidak benar-benar yakin keshahihannya.
Oleh karena itu, dari pada menggunakan hadits yang belum bisa dipastikan
kejelasannya, mereka lebih banyak menggunakan Qiyas dan Istihsan. Imam Abu Hanifah
dikenal sebagai terdepan dalam ahlu ar-ra’yi, ulama yang baik dalam penggunaan
logika sebagai dalil.
Ada analisa dari sebagian kalangan, bahwa negeri dimana Abu Hanifah tinggal memang
sumber munculnya hadits-hadits palsu. Oleh karena itu beliau cenderung meninggalkan
hadits yang belum jelas kekuatan periwayatannya, khawatir bila ternyata hadits itu
bermasalah. Namun analisa ini tidak sepenuhnya disepakati oleh semua pihak.
2. Luas Dalam Menggunakan Qiyas
Ketika mazhab ini meninggalkan hadits yang dianggapnya belum pasti kekuatannya,
lalu menggunakan qiyas, sebenarnya tidak bisa ditafsirkan bahwa mereka tidak
berpegang pada sunnah.
Justru mereka berpegang pada sunnah, tetapi bukan sembarang sunnah, melainkan
sunnah yang jauh lebih kuat dari segi tsubutnya.
Dan menggunakan qiyas itu pada hakikatnya tetap berpegang kepada sunnah juga. Dan
tidak mungkin umat Islam meninggalkan qiyas dalam menarik kesimpulan hukum.
Dan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, ilmu tentang qiyas ini berkembang sangat pesat,
bahkan mampu menjawab banyak problem fiqih, yang sebelumnya para ulama banyak
terdiam, karena tidak punya dalil. Justru dengan menggunakan qiyas ini, syariat
Islam mendapatkan kembali kekuatannya, tatkala terjadi krisis dalil nash.
Nyaris apa yang menjadi persoalan fiqhiyah bisa dijawab dengan mengqiyaskan nash-
nash yang ada di dalam Al-Quran dan As-sunnah yang jumlahnya sangat terbatas itu.
Bahkan para ulama di dalam mazhab Al-Hanafiyah mampu menjawab banyak masalah
fiqhiyah untuk masa-masa yang akan datang, dimana masalah itu belum muncul namun
sudah bisa diprediksi sebelumnya. Dan mereka datang dengan bahan-bahan yang lengkap
atas jawaban masalah fiqih di masa mendatang.
3. Al-Istihsan
Mazhab Al-Hanafiyah termasuk mazhab yang mendukung istihsan. Inti dari istihsan
adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung memilih hukum tertentu dan
meninggalkan hukum yang lain, dengan alasan sesuatu hal yang dalam pandangannya
bahwa hukum yang kedua lebih kuat dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh sederhana, misalnya para ulama menggunakan istihsan ketika berfatwa
bahwa tayammum sebagai pengganti wudhu' itu wajib diulang-ulang setiap kali mau
mengerjakan shalat wajib.
Padahal kalau menggunakan qiyas, ketika tayammum diqiyaskan dengan wudhu',
seharusnya tayammum tidak perlu diulang-ulang. Namun kebanyak ulama menggunakan
istihsan dalam masalah ini.
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah firman Allah SWT yang
mengikuti yang terbaik, sebagai berikut:
‫ون‬ ُ َ‫َاب بَغتَ ًة َوَأنتُم ل َا ت‬
َ ‫شع ُر‬ َ ‫َبل َأن يَأ ِتيَك ُُم‬
ُ ‫العذ‬ ِ ‫حس َن َما ُأ‬
ِ ‫نز َل ِإ ل َيك ُم ِ ّمن ّ َر ِبّك ُم ِ ّمن ق‬ َ
‫َواتَّب ُِعوا َأ‬
Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan
kalian. (QS. Az-Zumar : 55)
4. Hilah Yang Bersifat Syar’i
Mazhab Al-Hanafiyah mengenal istilah hilah (‫)الحيلة‬. Dalam bahasa Indonesia kata
hilah bisa dimaknai dengan trik atau muslihat. Namun dari segi rasa bahasa, istilah
trik atau muslihat ini terkesan kurang tepat. Maka Penulis lebih cenderung untuk
menyebutnya dalam bahasa Arab aslinya, agar tidak kehilangan makna.
Tujuan digunakannya hilah dalam mazhab Al-Hanafiyah tentu bukan untuk menentang
hukum-hukum syariah, dan juga bukan untuk menipu Allah SWT. Hilah ini digunakan
justru untuk memberi jalan keluar sesuai dengan ketentuan Allah SWT sendiri.
Oleh karena itu hilah ini disebut dengan istilah hilah syar’iyah, artinya trik yang
digunakan dalam rangka memberi solusi syariah, namun tetap dalam koridor hukum
syariah itu sendiri. Dan tidak lah hilah ini dibutuhkan, kecuali memang telah
terjadi kejadian yang dramatis dan kotradiksi.
Di antara contoh hilah syar’iyah yang bisa disebutkan adalah :
a. Sumpah Menyetubuhi Istri Siang Hari Bulan Ramadhan
Misalnya ada seorang suami karena satu dan lain hal, dia bersumpah untuk
menyetubuhi istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Keadaan ini jelas kontradiksi,
karena di satu sisi bersetubuh dengan istri di siang hari bulan Ramadhan hukumnya
haram, namun di sisi lain menjalankan sumpah itu hukumnya wajib.
Maka dalam hal ini dibutuhkan sebuah hilah, atau trik yang sekiranya tidak
melanggar keduanya. Caranya adalah dia mengajak istrinya bepergian ke luar kota
pada bulan Ramadhan, maka dia boleh menyetubuhi istrinya itu bila tidak dalam
keadaan berpuasa. Dan musafir memang termasuk orang yang dibolehkan untuk tidak
berpuasa.
b. Terlanjur Memojokkan Istri Dengan Talak
Seorang suami menjatuhkan talak, ketika istrinya sedang naik di atas tangga. Bunyi
lafadznya begini,”Kamu saya jatuhkan talak, bila kamu terus naik tangga ke atas dan
juga bila kamu menuruni tangga itu ke bawah”.
Syarat talak ini dilematis, naik ke atas kena talak dan turun ke bawah kena talak
juga. Lalu apa yang bisa dilakukan biar tidak jatuh talak?
Maka Abu Hanifah menjawab agar tidak jatuh talak, si istri itu diam di atas tangga,
jangan naik dan jangan melangkah turun. Lalu ada orang lain yang mengangkat
istrinya yang sedang diam saja itu, kemudian diletakkan di atas tanah.
Dalam hal ini istri tidak terkena talak, karena dia tidak melangkah turun. Dia diam
saja, ada pun badannya kemudian mendarat di atas tanah, itu karena dikerjakan oleh
orang lain.
c. Hilah Yang Haram
Sedangkan contoh hilah yang haram adalah yang dilakukan oleh orang-orang kafir
Yahudi ahli kitab. Dalam syariat yang Allah turunkan kepada mereka, diharamkan
untuk memakan lemak hewan yang disembelih.
Lalu mereka melakukan hilah, yaitu lemak hewan yang mereka sembelih itu memang
tidak mereka makan, tetapi mereka jual kepada pemeluk agama lain. Uangnya mereka
manfaatkan untuk membeli makanan yang halal dalam pandangan mereka. Dalam hal ini,
apa yang mereka lakukan di mata Allah dianggap sebagai sebuah hilah yang
diharamkan.
‫وها‬
َ ‫اع‬ُ َ‫ُوها فَب‬َ ‫َج َّمل‬ َ ‫حو ُم ف‬ ُّ ‫َيهم‬
ُ ‫الش‬ ِ ‫عل‬ َ ‫ل ََع َن الل َّ ُه الي َ ُه‬
َ ‫ود ُح ِ ّر َمت‬
“Semoga Allah melaknat Yahudi, telah diharamkan lemak hewan atas mereka namun
mereka mempolesnya lalu menjualnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Demikian juga ketika orang-orang Yahudi yang diharamkan untuk mencari ikan di hari
Sabtu melakukan hilah. Allah mengutuk mereka menjadi kera-kera yang hina, lantaran
mereka memasang perangkap ikan sehari sebelumnya dan mengambil hasilnya selewat
hari Sabtu.
ِ ‫ون ال َ تَأ ِت‬
‫يهم‬ َ ُ‫يهم ِحيتَان ُ ُهم يَو َم َسب ِت ِهم ُش ّ َرعا ً َويَو َم ال َ يَس ِبت‬ ِ ‫بت ِإ ذ تَأ ِت‬
ِ ‫الس‬
َ ّ ‫ون ِفي‬
َ ‫عد‬
ُ َ ‫حر ِإ ذ ي‬ ِ ‫ع ِن القَري َ ِة ال ّ َ ِتي ك َانَت َح‬
ِ َ‫اض َر َة الب‬ ُ ‫وا َسَأ‬
َ ‫لهم‬
‫ون‬ ‫ق‬ ‫فس‬
َ ُ ُ َ ُ ‫ي‬ ‫وا‬ ‫ن‬ ‫َا‬ ‫ك‬ ‫ا‬ ‫ِم‬
َ ‫ب‬ ‫م‬ ‫ُوه‬
ُ َ ‫ل‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫ك‬
َ ِ ‫ل‬ ‫ذ‬
َ َ ‫ك‬
Dan tanyakanlah kepada Bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut
ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-
ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-
hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami
mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. (QS. AL-A’raf : 163)
C. Istilah dalam Mazhab Hanafi
Zhahir Ar-riwayah : pendapat yang paling rajih (kuat) dari tiga imam utama dalam
mazhab hanafi yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad Asy Syaibani.
Al Imam : yang dimaksud adalah Imam Abu Hanifah. Dan istilah lainnya tentang
penyebutan ulama mereka antara lain :
 Asy-Syaikhani: dua guru, Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf.
 Ath-Tharfani: Abu Hanifah dan Imam Muhammad Asy Syaibani.
 Ash-Shahibani: Abu Yusuf dan Muhammad Asy Syaibani.
 Ash-ashabuna: Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad Asy Syaibani.
 Al Masyayikh: guru-guru di mazhab hanafi yang tidak berjumpa dengan Abu
Hanifah.
Yufti qath'an : pendapat yang menjadi fatwa secara pasti yaitu pendapat yang
kesepakatan antara tiga Imam. Dalam masalah peradilan, kesaksian dan ilmu waris,
perkataan Abu Yusuf diutamakan karena ia memiliki kelebihan dalam praktek.
Sementara dalam masalah dzawil arham (kerabat yang tidak mendapatkan warisan tetap,
diutamakan pendapat Imam Muhammad Asy Syaibani.
Idza lam yujad riwayat lilimam fil mas'alah : (jika dalam suatu masalah tidak ada
riwayat pendapat dari Abu Hanifah): maka mazhab hanafi menggunakan fatwah Imam Abu
Yusuf kemudian dengan perkataan Muhammad Asy Syaibani, kemudian Zufar, kemudian
Hasan bin Ziyad.
Idza kana fil mas'alah qiyas was istihsan : jika dalam masalah ada pendapat
menggunakan qiyas dan istihsan maka yang diutamakan dalam mazhab hanafi adalah yang
menggunakan istihsan.
Al mutun: yang dimaksud adalah isi pendapat dari buku mazhab hanafi yang utama:
seperti Mukhtasar al quduri, al bidayah, an niqayah, al wiqayah, al mukhtar, al
kanz, al multaqa. Jika ada dua pendapat dalam satu masalah, satu disebut tashih dan
satu lagi fatwa maka pendapat yang diutamakan dikembalikan kepada al mutun.
la yajuzul amal bidlaif minariwayah : tidak boleh beramal dengan riwayat yang lemah
dari pendapat dalam satu riwayat mazhab Hanafi meski untuk dirinya sendiri. Imam
Abu Hanifah sendiri pernah mengatakan,"Jika suatu hadis shahih maka ia adalah
mazdhabku," bahkan dari sejumlah imam lain juga mengatakan demikian. Namun demikian
dalam mazhab Hanafi boleh memberikan fatwah dengan riwayat lemah boleh jika darurat
untuk memudahkan manusia.
Al-Hukmul Mulaffaq (beramal dengan talfiq; beramal dalam satu masalah yang memiliki
bagian-bagian yang antara mazhab satu dengan mazhab lain berbeda pendapat dan ia
beramal dengan satu bagian mengikut Hanafi dan bagian lainnya Maliki, misalnya) hal
seperti ini batil menurut Hanafi.
Seperti orang yang shalat dluhur mengusap sebagian kepala dalam wudlu maka ia tidak
boleh membatalkan shalatnya karena memiliki keyakinan wajibnya mengusap semua
kepala dalam wudlu karena mengikut pendapat Maliki.
D. Pendapat Yang Menyendiri
Untuk mengenali mazhab Al-Hanafiyah, kita bisa melihat dari pendapat mereka yang
berbeda dengan pendapat jumhur atau pendapat yang umum berkembang di tengah umat
Islam.
Dan ternyata perbedaan mazhab Al-Hanafiyah dengan mazhab lainnya cukup banyak,
bahkan sebagian kalangan mengatakan mazhab yang paling berbeda dengan lainnya
adalah mazhab Al-Hanafiyah.
Berikut ini sebagian kecil dari apa yang bisa kita catat di antara ciri mazhab ini.
Tentu masih ada banyak lagi pendapat mazhab ini yang agak berbeda dengan pendapat
yang umumnya digunakan dalam mazhab mayoritas ulama.
1. Tidak Menjaharkan Lafadz Amin
Imam disunnahkan untuk menjahar (mengeraskan) bacaan pada shalat Maghrib, Isya dan
shubuh, baik bacaan surat Al-Fatihah atau pun bacaan ayat Al-Quran lainnya. Dan di
sela-sela keduanya, baik imam dan makmum sama-sama disunnahkan membaca lafadz amin
yang dikeraskan.
Namun mazhab Al-Hanabilah tidak menyunnahkan bacaan amin ini, tidak kepada imam dan
tidak juga kepada makmum, bahkan juga tidak untuk orang yang shalatnya sendirian.
2. Mata Kaki ke Bawah Bukan Aurat Buat Wanita
Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, batasan aurat buat wanita di depan laki-laki
yang bukan mahramnya agak berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Yang bukan termasuk
aurat selain wajah dan kedua telapak tangan, juga kaki mulai dari mata kaki ke
bawah.
Sehingga di negeri yang mayoritas rakyatnya bermazhab Hanafi, kita sering
menyaksikan para wanita shalat cukup dengan celana panjang, sementara kaki mereka
terlihat tanpa mengenakan kaus kaki.
3. Najis Sebesar Uang Logam
Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, najis yang tidak terlalu lebar hukumnya
dimaafkan. Batasnya adalah luasnya uang koin.
Maka kalau pakaian seseorang terkena najis, apakah itu air kencing, darah, nanah
atau kotoran lainya, selama luasnya tidak melebihi luasnya koin uang logam, maka
najis itu hukumnya dimaafkan, alias dianggap bukan najis.
4. Tayammum Pengganti Wudhu Secara Permanen
Umumnya jumhur ulama sepakat bahwa tayammum tidak mengganti wudhu secara permanen.
Tayammum hanya bersifat membolehkan shalat secara sementara. Orang yang tidak
punya air dan harus mengerjakan satu kali shalat fardhu, diperintahkan untuk
bertayammum dan mengerjakan sekali shalat fardhu.
Dan tayammum itu hanya boleh dilakukan apabila waktu shalat fardhu itu hampir
habis.
Maka tiap kali seorang yang tidak punya air ingin mengerjakan shalat, dia harus
bertayammum lagi. Sebab jumhur ulama mengatakan bahwa pada hakikatnya tayammum
tidak mengangkat hadats. Tayammum hanya membolehkan orang yang tidak punya air
untuk mengerjakan shalat.
Dan apabila orang sudah bertayammum, lalu tiba-tiba ditemukan air, maka dia tetap
diwajibkan untuk berwudhu' dan mengulangi shalatnya.
Dalam masalah ini kita menemukan kenyataan bahwa pandangan Mazhab Al-Hanafiyah
berbeda 180 derajat dengan pandangan jumhur ulama. Mazhab ini memandang bahwa
tayammum itu 100% adalah pengganti wudhu dan tayammum. Hadats besar dan hadats
kecil, dua-duanya bisa diangkat secara permanen, cukup dengan tayammum, asalkan
syarat-syarat tayammum terpenuhi.
Konsekuensi pandangan ini bila seseorang telah bertayammum dan hendak mengerjakan
shalat, lalu tiba-tiba turun hujan, dia tidak perlu lagi mengulangi bersuci dengan
cara berwudhu. Sebab pada dasarnya dia telah suci dari hadats.
Demikian juga orang yang shalat dengan bersuci lewat tayammum, bila akan kembali
melakukan shalat dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan wudhu, maka dia boleh
langsung shalat, tanpa harus mengulangi lagi dengan tayammum sebelumnya.
Dasar pendapat mazhab Al-Hanafiyah ini adalah sabda Rasulullah SAW :
َ ‫شر ِس ِن‬
‫ين‬ ِ ‫ع‬ َ ‫المسلِ ِم َول َو ِإ‬
َ ‫لى‬ ُ ‫وء‬ُ ‫ِب ُو ُض‬
ُ ‫الطي‬ ُ ‫الص ِع‬
َّ ‫يد‬ َّ
Tanah yang baik adalah wudhu'-nya seorang muslim, meski pun sampai sepuluh tahun.
(HR. Ibnu Hibban)
E. Kitab Utama
Kita fiqih mazhab Al-Hanafiyah sangat banyak jumlahnya. Ada beberapa kitab utama
yang menjadi rujukan dalam mazhab Al-Hanafiyah ini, antara lain :
1. Al-Jami' Ash-Shaghir
Kitab ini dipasitkan kitab tertua yang ditulis dalam mazhab Al-Hanafiyah, meski
bukan langsung tulisan sang imam. Sebab Al-Imam Abu Hanifah memang tidak menuliskan
sendiri ilmunya. Yang menuliskannya adalah salah satu muridnya yaitu Muhammad bin
Al-Hasan Al-Syaibani (w. 189 H). Dari tangan beliaulah kita mendapatkan riwayat
langsung (dzahiruriwayah) dari kedalaman ilmu Al-Imam Abu Hanfiah.
Konten kitab itu tidak lain adalah riwayat-riwayat dari Abu Yusuf yang merupakan
riwyat dari Abu Hanifah. Namun ada juga yang merupakan riwyat langsung dari Abu
Hanifah, karena Muhammad juga pernah berguru langsung kepadanya. Muhammad menyusun
kitab-kitab tersebut di Baghdad. Darinya kitab-kitab itu diriwayatkan secara
mutawatir sampai kepada kita.
Mengenai latar belakang penulisan kitab ini, Fakhrul Islam Al-Bazdawi berkata bahwa
Abu Yusuf yang saat itu menjadi guru bagi Muhammad memintanya untuk menuliskan
sebuah kitab yang berisi riwayat-riwayat dari dirinya. Maka ditulislah kitab
tersebut dan penulis menyandarkan pendapat-pendapat yang ada dalam kitabnya kepada
Abu Yusuf dan Abu Hanifah.
Walaupun penulis menyandarkan pendapatnya kepada Abu Yusuf, dia tidak hanya
menyebutkan apa yang Abu Yusuf ajarkan dalam periwayatannya, akan tetapi dia hanya
menyebutkan apa yang dipelajarinya langsung dari Abu Hanifah, karena Muhammad juga
pernah berguru langusng kepadanya.
Seperti beberapa kitab fiqih yang lain, kitab ini juga pernah mengalami perubahan.
Agar pembaca dapat lebih fokus memahami konten setiap permasalahan, Al-Qadhi Al-
Imam Abu Thahir Ad-Dabbas kemudian memilah-milah permasalahan yang ada dalam kitab
dan membaginya ke dalam beberapa bab. Rupanya penulis aslinya saat itu belum
mengklasifikasi semua permasalahan ke dalam tiap-tiap bab.
Selain kitab ini sebenarnya Muhammad juga menyusun beberapa kita lainnya, antara
lain Al-Jami‘ al-Saghir (‫)الجامع الصعير‬, As-Sairu al-Kabir (‫)السير الكبير‬, Al-Sairu al-
Saghir (‫)السير الصغير‬, Az-Ziyadat (‫ )الزيادات‬dan Al-Mabsut (‫)المبسوط‬.
2. Al-Mukhtashar Al-Quduri
Selain kitab Al-Jami’ As-Saghir karya Muhammad Asy-Syaibani yang sudah disebutkan
di atas, ada satu kitab fiqih lain yang menjadi matan terpenting dalam fiqih Al-
Hanafiyah, yaitu kitab Al-Mukhtashar atau disebut juga Mukhtshar Al-Quduri fi
Fiqhil Hanafi karya Al-Imam Al-Quduri (w. 428 H). Nama lengkap beliau adalah Ahmad
bin Muhammad bin Ahmad bin Ja'far bin Hamdan Abu Al-Husain Al-Quduri.
Kitabnya tidak terlalu tebal, hanya terdiri dari satu jilid saja, sesuai dengan
namanya yang merupakan ringkasan (mukhtashar). Maksudnya, isi kitab ini merupakan
ringkasan dari semua fiqih mazhab Al-Hanafiyah di zamannya, yaitu di abad kelima
hijriah.
Dalam banyak kitab fiqih mazhab Al-Hanafiyah, para fuqaha sering menyebutnya dengan
Al-Kitab. Maka jika terdapat kata Al-Kitab dalam kitab-kitab fiqih mazhab Al-
Hanafiyah, yang dimaksud tidka lain adalah Mukhtashar Al-Quduri ini.
3. Al-Mabsuth
Kitab ini ditulis oleh As-Sarakhsi (w. 483 H). Kitab ini sebenarnya merupakan
syarah atau penjelasan dari kitab Al-Kafi (‫ )الكافي‬yang merupakan himpunan pendapat
Muhammad yang tertuang dari enam kitabnya, yang diriwayatkan oleh al-Hakim al-
Syahid Al-Muruzi.
Telah banyak ulama yang mensyarahnya, namun yang terbaik adalah Al-Mabsut ini.
Sedemikian penting kedudukan kitab ini, hingga ada ulama menyatakan, bahwa semua
riwayat yang bertentangan dengan kitab ini tidak bisa diterima.
4. Badai' Ash-Shanai'
Diantara kitab fiqih yang cukup terkenal di kalangan madzhab Hanafi adalah kitab
Badaai’ Asshanaai’ fi Tartiib Assyaraa'i’ (‫ )بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع‬yang ditulis oleh
Imam Alauddin Abi Zakariya bin Mas’ud Al-Kasani (w. 587 H).
Kitab ini merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Tuhfah karya guru beliau
sendiri, yaitu Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abi Ahmad As-Samarqandi.
Ada cerita menarik dalam kitab ini tentang si penulis yaitu Al-Imam Al-Kasani.
Diceritakan bahwasan guru beliau, yaitu Imam As-Samarqandi telah menikahkan
putrinya dengan sang penulis kitab ini, dengan menjadikan buku Badai' As-Shanaai'
ini sebagai maharnya.
Putri sang guru disebutkan berrnama Fatimah, adalah salah seorang wanita terbaik
dalam ilmu agama pada saat itu. Sang puteri adalah hasil didikan langsung dari sang
ayah yang memang seorang ulama besar. Wajar bila sang puteri mewarisi ilmu dari
ayahnya. Bahkan diantara keistimewaan sang puteri, dia hafal luar kepala kitab
Tuhfah yang ditulis oleh ayahnya sendiri.
Wajar bila banyak laki-laki yang tertarik mempersunting-nya. Bahkan termasuk para
raja dari dinasti Romawi, berebutan ingin meminangnya.
Namun tidak ada satu pun yang berkenan di hati sang ayah. Sampai suatu hari
datanglah seorang murid yang belajar tekun pada beliau. Meski bukan dari kalangan
orang kaya atau bangsawan, namun sang murid adalah seorang yang rajin, tekun dan
serius menuntut ilmu.
Di kemudian hari, murid yang tidak lain bernama Imam Al-Kasani, berhasil menulis
kitab syarah (penjelasan) yang amat baik dari kitab Tuhfah karya sang guru. Kitab
syarah itu tidak lain adalah kitab yang sedang kita bicarakan saat ini, yaitu
Badaai’ Asshanaai’ .
Betapa bahagianya sang guru melihat karya murid mampu berkarya. Alih-alih
bermantukan para pembesar dan bangsawan, sang guru lebih suka bila puterinya
dipersunting oleh muridnya sendiri. Maka jadilah kitab itu sebagai mahar
pernikahan.
Meskipun mensyarahi kitab Tuhfah, akan tetapi imam Al-Kasani datang dengan
pengaturan kitab yang baru dengan tetap menjaga keutuhan kitab Tuhfah itu sendiri.
Menarik untuk dicatat bahwa walau pun penulisnya seorang ulama dari kalangan mazhab
Al-Hanafiyah, namun kitab ini tidak melulu hanya menuliskan tentang fiqih Hanafi.
Tetapi juga menuliskan pendapat dari mazhab-mazhab lainnya, sehingga bisa juga
dikelompokkan sebagai salah satu kitab yang bergenre fiqih perbandingan (muqaran).
Penulis menyuguhkan dalil-dali dari masing-masing madzhab berikut segi
pendalilannya. Ditunjang dengan bahasa yang ringan dan mudah untuk difahami,
menjadikan kitab ini salah satu kitab fiqih muqaran yang layak untuk dibaca.
Selain itu, di antara kelebihan kitab ini adalah pada susunannya yang dibuat
sistematis seperti kitab-kitab fiqih lainnya. Dimulai dari kitab Thaharah dan
diakhiri dengan kitab Qard.
Kitab yang ditulis abad keenam hijriyah ini sepanjang zaman tentu sudah dicetak dan
diterbitkan berkali-kali oleh banyak penerbit. Dan di abad kelima belas hijriyah
ini, salah satu cetakannya diterbitkan oleh penerbit Darul Hadits Cario pada tahun
1426 H - 2004 M. Terdiri dari 10 jilid dan tebalnya total mencapai 5.772 halaman.
Tentu ada beberapa macam versi dan jilid tergantung penerbit dan tahun berapa dia
diterbitkan.
5. Bidayatul Mubtadi dan Syarahnya Al-Hidayah
Kitab fiqih yang juga menjadi rujukan dalam mazhab Al-Hanafiyah adalah Bidayatul
Mubtadi dan kitab penjelasannya yaitu Al-Hidayah Syarhu Al-Bidayah. Keduanya
ditulis oleh satu orang, yaitu Al-Marghinani (w. 593 H).
Pada dasarnya kitab ini merupakan penggabungan dari dua kitab utama dalam mazhab
Al-Hanafiyah, yaitu Asy-Syarhu Ash-Shaghir karya Muhammad Asy-Syaibani dan kitab
Mukhtashar karya Al-Quduri.
Selain kitab Al-Hidayah, Al-Marghinani ternyata menulis satu lagi kitab syarah atas
kitab Bidayahnya, yaitu Kifayah Al Muntahi.
6. Fathul Qadir
Kitab Fathul Qadir termasuk salah satu rujukan utama dalam mazhab Al-Hanafiyah yang
ditulis oleh Ibnul Humam (w. 681 H).
Nama lengkap Ibnul Humam cukup panjang, yaitu Kamaluddin Muhammad ibn Humamuddin
Abdul Wahid ibn Hamiduddin Abdul Hamid ibn Sa’duddin Mas’ud As-Siwasi Al-Iskandari
Al-Qahiri Al-Hanafi. Lebih populer dengan panggilan Ibnul Humam saja.
Fathul Qadir ini sesungguhnya adalah kitab syarah dari kitab yang kita bicarakan di
atas, yaitu Al-Hidayah Syarhu Al-Bidayah karya Al-Marghinani.
Meski kitab ini adalah syarah, namun akan keliru jika kita menyebutnya Syarah
Fathul Qadir karena beberapa alasan. Pertama, penulisnya tidak pernah memberikan
kata ‘syarah’ dalam penamaannya. Kedua, penyebutan semacam itu akan mengesankan
bahwa kitab ini adalah syarah dari kitab Fathul Qadir. Ketiga, dari banyak kitab
biografi dan bibliografi, tidak ditemukan satupun data yang menginformasikan bahwa
Fathul Qadir yang merupakan syarah dari kitab Al-Hidayah telah disyarah oleh
seorang faqih Ibnul Humam, atau faqih lain dari madzhab hanafi dan madzhab lainnya.
Sebuah kitab syarah biasanya hanya tercetak dengan kitab matannya saja. Namun
dalam kitab terbitan Daar Al Fikr, Fath Al Qadir tidak hanya dicetak dengan
matannya (Al Hidayah). Bersama dengan Fath Al Qadir -sebagai salah satu syarah-,
Daar Al Fikr mencetak kitab tersebut sekaligus dengan syarah lain dari Al Hidayah
yaitu Al Inayah, yang ditulis oleh Akmaluddin Muhammad ibn Mahmud ibn Ahmad Al
Hanafi. Dibawah syarah kedua tersebut, Daar Al Fikr menyertakan sebuah hasyiyah
terbaik untuk kitab Al Hidayah dan juga Al Inayah, Yaitu Hasyiyah Sa’di (Sa’dullah)
yang ditulis oleh Sa’ad ibn Isa ibn Amir Khan.

Jadi, kitab terbitan Daar Al Fikr tersebut tiap satu halaman kitab memuat empat
kitab yang berbeda, atau lebih tepatnya enam kitab karya enam ulama. Karena Fath Al
Qadir yang ditulis oleh Ibn Al Humam adalah syarah yang belum lengkap. Dan
lengkapnya syarah tersebut karena hasil tambahan dari Qadhi Zadah yang menulis
takmilah (pelengkap) atas Fath Al Qadir dengan nama kitab pelengkap Nataij Al Afkar
fi Kasyf Ar Rumuz wa Al Asrar. Begitu juga hasyiyahnya Sa’dullah. Ia juga belum
lengkap. Kemudian dilengkapi dengan tatimmah (pelengkap) oleh muridnya; Ibn
Abdurrahman.
Penjelasan posisi masing-masing kitab dalam cetakan Daar Al Fikr ini adalah sebagai
berikut; Kitab Al Hidayah -sebagai kitab matan dalam hal ini- diletakkan pada
posisi paling atas. Posisi kedua tentu akan ditempati oleh kitab yang dianggap
sebagai syarah terbaik Al Hidayah yaitu Fath Al Qadir. Posisi ketiga adalah syarah
yang lain dari Al Hidayah yaitu Al Inayah. Baru pada urutan keempat atau yang
paling bawah dalam cetakan ini, adalah Hasyiyah Sa’dullah.
Untuk kitab Nataij Al Afkar fi Kasyf Ar Rumuz wa Al Asrar baru mulai kita dapati
pada pembahasan seputar Da’wa (klaim). Sebab, Ibn Al Humam terlebih dahulu
meninggal ketika beliau sedang menulis bab Al Wakalah. Sedangkan tatimmah
(pelengkap) atas hasyiyah Sa’dullah yang ditulis oleh Ibn Abdurrahman, cukup susah
untuk ditentukan dimulai dari mana. Sebab, muqaddimah hasyiyah tersebut yang
terdapat dalam cetakan Daar Al Fikr ini ternyata juga ditulis oleh Ibn Abdurrahman.
Referensi
Dalam menuliskan Fath Al Qadir ini, Ibn Al Humam merujuk ke sejumlah besar kitab-
kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Untuk disilin Ilmu Fiqih tentu saja kitab-kitab
yang paling banyak dijadikan rujukan adalah kitab-kitab fiqih hanafi. Baik yang
berupa matan, syarah, hasyiyah ataupun taqrir. Yang paling utama adalah kitab-kitab
yang berkaitan dengan Al Hidayah.

Untuk kitab-kitab fiqih misalnya, beliau merujuk ke syarah Al Hidayah yang ditulis
oleh Badrudin Al Aini. Atau syarah Al Hidayah yang ditulis oleh Akmaluddin Muhammad
yang tercetak persis dibawah Fath al Qadir dalam cetakan Daar Al Fikr. Dan tentu
saja beliau merujuk kepada kitab-kitab fiqih yang ditulis dan diriwayatkan langsung
oleh para murid-murid pendiri madzhab.
Dalam takhrij hadits yang terdapat dalam Al Hidayah, beliau bersandar pada hasil
takhrij Al Hafidz Az Zaila’i dalam karyanya yang sangat bagus; Nashb Ar Rayah fi
Takhrij Ahadits Al Hidayah. Selain juga merujuk kepada kitab-kitab hadits yang
lain, seperti kutub As Sittah dan lain-lain.
Dalam ushul fiqih, beliau lebih banyak merujuk kepada kitab-kitab Thariqah Al
Fuqaha yang memang merupakan methodologi ushuli yang didominasi oleh madzhab
hanafi. Namun, beliau juga merujuk kepada kitab Ar Risalahnya Imam As Syafi’i. Dan
cukup sering juga disebut adalah dua kitab ushul fiqih beliau sendiri; At Tahrir
dan Syarh Badi’ An Nadzam.
Gaya Penulisan
Sebagai seorang ushuli (pakar ushul fiqih) dan penulis kitab At Tahrir fi Ushul
Fiqh, beliau kadang melakukan pendekatan secara ushuli di dalam menyusun kitab
fiqih Fath Al Qadir ini. Apalagi dalam madzhab hanafi, bangunan ushul mereka adalah
hasil dari analisa dan penggalian mendalam terhadap kasus-kasus furu fiqhiyyah.
Menariknya beliau mampu memadukan methode fuqaha (hanafiyah) dan mutakallimin
(jumhur) dalam proses Takhrij Al Furu’ ‘ala Al Ushul.
Meski demikian, beliau mampu menyajikan semua itu dalam bahasa yang cukup mudah
dicerna, dipahami, dan detail namun pembagian tema-temanya tetap sistematis. Yang
menarik adalah beliau terkadang menghubung-hubungkan antara satu tema atau bab
dengan tema atau bab sebelumnya. Ini mirip dengan cara para mufassir dalam mengkaji
munasabah (korelasi) antara satu ayat atau satu surat dengan ayat atau surat
sebelumnya (atau sesudahnya).

Dalam menuliskan Fath Al Qadir, beliau juga tidak hanya menuliskan madzhab hanafi
saja. Tapi menampilkan juga pendapat-pendapat dari madzhab lain dan kemudian
melakukan diskusi terhadap dalil-dalil madzhab tersebut sekaligus proses
istidlalnya. Maka, dalam konteks ini Fath Al Qadir juga bisa disebut sebagai kitab
Fiqh Muqaran (Fiqh Perbandingan).
Kandungan Kitab
Dalam terbitan Daar Al Fikr, kitab Fath Al Qadir tampil dalam sepuluh jilid besar.
Semua pembahasan fiqih yang terdistribusi dalam sepuluh jilid itu, terdiri dari
lima puluh tiga kitab. Dua puluh empat kitab adalah hasil tulisan Ibn Al Humam yang
disebut Fath Al Qadir itu, sedangkan sisanya dua puluh sembilan kitab adalah
tulisan Qadhi Zadah yang merupakan takmilah yang dikenal dengan Nataij Al Afkar fi
Kasyf Ar Rumuz wa Al Asrar itu.
Dua puluh empat kitab hasil tulisan Ibn Al Humam adalah pembahasan-pembahasan besar
sehingga memakan jumlah jilid hingga hampir delapan jilid. Dua jilid lebih sisanya
berisi pembahasan-pembahasan kecil meski jumlah kitabnya lebih banyak.
Secara umum sistematika penulisan kitab dan bab-babnya tidak ada perbedaan dengan
kitab-kitab fiqih lain. Yang membedakan hanyalah ada beberapa istilah nama kitab
yang jarang dipakai oleh banyak fuqaha. Sebagai contoh misalnya, Ibn Al Humam
membahas fiqih peperangan tidak dengan nama Kitab Al Jihad, tapi menggunakan
istilah Kitab As Siyar.
Contoh lain yang jarang juga ditemui dalam kebanyakan kitab fiqih adalah tema Kitab
Al Karahiyah. Dan masih ada lagi beberapa karakteristik khas yang tidak ditemui
dalam banyak kitab, yang akan kita temui jika kita membuka lembar demi lembar dan
halaman demi halaman kitab Fath Al Qadir li Al ‘Ajiz Al Faqir ini.
7. Ad-Dur Al-Muhtar wa Radd Al-Mukhtar
Kitab ini sering juga disebut dengan singkat menjadi Hasyiatu Ibnu Abdin. Sebab
penulisnya adalah Ibnu Abdin (w. 1252 H). Beliau bergelar faqih wa khatimatul
muhaqqiqin (pamungkasnya para pentahqiq) khususnya dalam mazhab Al-Hanafiyah.
Merupakan kitab paling masyhur dan terbaik dalam menjelaskan (hasyiah) kitab Ad-
Durr Al-Mukhtar karya a-Hashkafi (w. 1088 H), yang juga merupakan kitab yang cukup
mewakili pendapat Madzhab Hanafi.
Kitab ini disebut hasyiah, yang biasanya hanya menjelaskan beberapa masalah
tertentu saja dari syarah yang dianggap perlu. Sedangkan kitab syarah biasanya
menjelaskan semua kandungan matan, kadang matan dibahas dan dijelaskan perkata,
kadang per kalimat. Bisa dikatakan hasyiah adalah syarah-nya syarah.
Kitab yang di-hasyiah-kan oleh Ibnu Abdin adalah Ad-Durr Al-Muhtar karya Al-
Hashkafi. Penulisnya kadang menampilkan perbedaan pendapat diantara para ulama
madzhab Al-Hanafiyah sendiri, penulis seringnya hanya menampilkan pendapat yang
kuat dalam madzhab.
Peran Ibnu Abidin dalam hasyiah-nya itu antara lain menjelaskan istilah-istilah
yang dipakai oleh Al-Hashkafi serta menjelaskan beberapa masalah yang musykil.
Teknisnya Ibnu Abdin membawakan dulu pendapat para ulama dalam mazhab Al-Hanafiyyah
dan ringkasan ulama zamannya. Kemudian beliau menjelaskan kembali isi kitab Al-
Hashkafi, dan menambahkan beberapa masalah baru yang belum dibahas.
Maka kitab Ibnu Abidin ini sangat berpengaruh dalam perkembangan madzhab Al-
Hanafiyah serta menjadi rujukan, khususnya dalam kajian perbandingan antar pendapat
para ulamanya.
Dalam proses penulisannya, Ibnu Abdin mencoret-coret kitab Radd Al-Muhtar ini pada
mulanya, istilahnya taswidul kitab. Lalu beliau tuliskan kembali dengan lebih rapi.
Beliau tulis dari Bab Al-Ijarah sampai akhir kitab. Setelah itu beliau memulai
kembali dari bab pertama. Tetapi ketika sampai awal Bab Qadha’ pada bagian as-
syahadah, beliau meninggal dunia. Akhirnya proses penulisan kembali coretan-coretan
Ibnu Abidin diteruskan oleh anaknya.
Setelah Ibnu Abdin wafat, yang meneruskan adalah anaknya yang bernama As-Sayyid
'Ala'uddin Muhammad bin Muhammad Amin bin Umar ad-Dimasyqi (w. 1306 H). Anaknya ini
masyhur juga dipanggil Ibnu Abidin sebagaimana bapaknya. Kitab itu berjudul Qurratu
Uyuni al-Akhbar litakmilati Radd al-Mukhtar. Kitab ini dimulai dari akhir bab al-
Qadha’, mencakup bab asy-syahadah (persaksian), wakalah, ad-da’wa, iqrar, as-
shulhu, al-mudharabah, simpan-pinjam, hibah dan seterusnya.
F. Ulama Mazhab Hanafi
Para ulama yang menjadi bagian dari mazhab Al-Hanafiyah cukup banyak. Rata-rata
mereka adalah murid atau cucu murid dari sang pendiri mahzab, yang berperan dalam
melakukan kodifikasi atas berbagai fatwa maupun ijtihad sang guru. Sebab fatwa dan
ijtihad Abu Hanifah ketika beliau masih hidup belum dikodifikasi dalam format yang
baik.
Setelah beliau meninggal, buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan
pengikutpengikutnya sehingga menjadi mazhab ahli ra’yi yang hidup dan berkembang.
Madrasah ini kemudian dikenal dengan beberapa nama yaitu madrasah Hanafi dan
madrasah ahli ra’yi, di samping namanya menurut versi sejarah hukum Islam sebagai
"Madrasah Kufah."
Adapun murid-murid Abu Hanifah yang berjasa di Madrasah Kufah dan membukukan fatwa-
fatwanya sehingga dikenal,di dunia Islam, adalah:
1. Abu Yusuf (113-182 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya'kub ibn Ibrahim al-Anshari. Status beliau dalam
urusan ijtihad sudah termasuk mujtahid mutlak, namun tidak mustaqil atau beliau
tidak berdiri sendiri. Beliau masih tetap merujuk kepada gurunya.
Abu Yusuf di kemudian hari menjadi seorang hakim (qadhi) di masa masa pemerintahan
Harus Ar-Rasyid di Baghdad, bahkan digelari sebagai qadhi al-qudhat (hakim dari
semua hakim).
Karya beliau yang paling menjadi masterpiece adalah kitab Al-Kharaj (‫)الخراج‬, yang
membahas tentang hukum yang berhubungan dengan pajak tanah.
2. Muhammad (132-189 H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Hasan al-Syaibani. Beliau berguru kepada Abu
Hanifah, kemudian sepeninggalnya, berguru kepada murid utamanya, Abu Yusuf. Bahkan
sempat dalam hidupnya berguru juga kepada Al-Imam Malik bin Anas di Madinah.
Kedudukan Muhammad juga sudah sampai ke derajat mujtahid mutlak, tetapi tidak
mustaqil karena beliau tetap masih merujuk kepada mazhab gurunya.
Salah satu karya beliau yang utama adalah kitab Zhahiru Ar-Riwayah, yang menjadi
hujjah bagi mazhab Al-Hanafiyah.
3. Zufar (110-158 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Huzdail ibn Qais Al-Kufi. Beliau lahir di Ashfahan
dan wafat di Bashrah.
Zufar pada hakikatnya adalah seorang ahli hadits, kemudian beliau menguasai ilmu
logika dan menjadi ahli dalam masalah qiyas atas suatu masalah.
Zufar juga sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, meski tidak mustaqil.
4. Al-Hasan (133-204 H)
Nama lengkapnya adalah Al-Hasan ibn Ziyad Al-Lu'lu'i. Awalnya beliau berguru
langsung kepada Abu Hanifah, kemudian sepeninggalnya, beliau berguru kepada kedua
orang muridnya, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad.
Beliau terkenal sebagai orang yang meriwayatkan hadits, dan juga meriwayatkan
hasil-hasil ijtihad Abu Hanifah. Namun riwayatnya tidak seperti riwayat Muhammad
dalam Zhahiru Ar-Riwayah.
Dan Ilmu Fiqih, beliau adalah juga seorang mujtahjid, namun posisinya masih di
bawah dari Abu Hanifah , Abu Yusuf dan Muhammad.
Dari keempat murid tersebut yang banyak menyusun buah pikiran Abu Hanifah adalah
Muhammad al-Syaibany yang terkenal dengan al-Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu:
• Kitab al-Mabsuth
• Kitab al-Ziyadat
• Kitab al Jami' al-Shaghir
• Kitab al Jami' a1-Kabir
• Kitab al-Sair al-Shaghir
• Kitab al-Sair al-Kabir
G. Negeri Bermazhab Hanafi
Dengan karya-karya tersebut, Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh besar dalam
dunia Islam, khususnya umat Islam yang beraliran Sunny. Para pengikutnya tersebar
di berbagai negara, seperti Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis,
Turkistan, Syria, Mesir dan Libanon.
Mazhab Hanafi pada masa Khilafah Bani Abbas merupakan mazhab yang banyak dianut
oleh umat Islam dan pada pemerintahan kerajaan Usmani, mazhab ini merupakan mazhab
resmi negara. Sekarang penganut mazhab ini tetap termasuk golongan mayoritas di
samping mazhab Syafi'i.
Mazhab Al-Hanafiyah berkembang di masa sekarang ini di India, Pakistan, Turki,
China, dan juga negeri-negeri lain di belakang sungai.
Mazhab Al-Hanafiyah juga menjadi mazhab resmi khilafah Bani Utsmaniyah yang
berpusat di Istanbul, Turki. Dan selama masa kekuasaan Turki, mazhab Al-Hanafiyah
sempat dijadikan qanun atau undang-undang, lengkap dengan bab, pasal dan ayat.
Undang-undang ini kemudian diberlakukan di hampir semua wilayah Islam, baik di
barat maupun di timur.
Dan nyaris hampir semua negeri Arab bermazhab Hanafi dalam masalah qanun, di
antaranya Mesir dan Suriah. Semua adalah warisan dari qanun syar’i khilafah Turki
Utsmani. Meski pun rakyatnya bisa saja bermazhab lain, seperti Syafi’i atau
Hanbali.

Bab 10 : Mazhab Al-Malikiyah


A. Pendiri
Lengkapnya bernama Malik bin Anas bin Abi Amir Al Ashbahi (93 – 179 H).
Beliau adalah pendiri mazhab Maliki. Beliau adalah Imam penduduk Madinah dalam
urusan fiqih dan hadis setelah Tabi’in. Beliau dilahirkan di masa Khalifah Al Walid
bin Abdul Malik dan meninggal di masa khalifah Al Rasyid di Madinah. Beliau tidak
pernah melakukan perjalanan keluar dari Madinah ke wilayah lain.
Sebagaimana Abu Hanifah, Imam Malik juga hidup dalam dua masa pemerintahan Daulah
Umawiyah dan Abbasiyah. Di masa dua Imam besar inilah, kekuasaan pemerintahan Islam
meluas hingga Samudra Pasifik di barat dan hingga Cina di timur, bahkan ke jantung
Eropa dengan dibukanya Andalusia.
Imam Malik berguru kepada ulama Madinah. Dalam jangka cukup panjang beliau
mulazamah (berguru langsung) kepada Abdur Rahman Hurmuz. Beliau juga menimba ilmu
kepada Nafi’ maula Ibnu Umar, Ibnu Syihab Az-Zuhri. Guru fiqih beliu adalah Rabiah
bin Abdur Rahman.
Imam Malik adalah ahli hadis dan fiqih. Maka kitab Al-Muwattha karya beliau cukup
unik, karena merupakan kitab hadits dan juga kitab fiqih sekaligus.
Imam Syafi’i berkata tentangnya,”Malik adalah guru besarku, darinya aku menimba
ilmu, beliau adalah hujjah antaraku dan Allah. Tak seorang pun yang lebih banyak
memberi ilmu melebihi Malik. Jika disebut ulama-ulama, maka Malik seperti bintang
yang bersinar,”
B. Ushul Mazhab
Dalam kitab Tarikh Al-Fiqhi, As-Sayis menuliskan bahwa Al-Malikiyah mendirikan
mazhabnya di atas 20 pilar utama.
Lima pilar terkait dengan Al-Quran adalah :
1. Nash Al-Kitab
2. Zhahir Al-Kitab (al-umum),
3. Dalil Al-Kitab (mafhum mukhalafah),
4. Mafhum Al-Kitab (mafhum muwafaqah),
5. At-tanbih ala Al-’Illah pada Al-Quran.
Lima pilar lagi terkait dengan Al-Hadits. Dan bentuknya sama dengan di atas,
kelimanya adalah :
6. Nash Al-Hadits,
7. Zhahir Al-Hadits (al-umum),
8. Dalil al-hadits (mafhum mukhalafah),
9. Mafhum al-hadits (mafhum muwafaqah),
10. At-Tanbih ala Al-’illah pada hadits.
Sisanya yang sepuluh lagi adalah :
11. Al-Ijma’
12. Al-Qiyas
13. Amalu Ahli Al-Madinah
14. Qaul Shahabi
15. Al-Istihsan
16. Al-Hukmu bi Saddi Adz-Dzara’i
17. Mura’atul Khilaf
18. Al-Istishab
19. Al-Mashalaih Al-Mursalah
20. Syar’u Man Qablana
C. Istilah dalam Mazdhab Maliki
Ada sejumlah istilah yang ada dalam mazhab Maliki:
Dalam mazhab Maliki seorang mufti (mazhab) memberikan fatwa dengan pendapat yang
kuat dalam suatu masalah. Sementara yang bukan mufti yang belum memenuhi syarat
mujtahid harus mengambil pendapat yang disepakati di antara mazhab atau mengambil
pendapat yang paling dikenal atau yang dikuatkan (tarjih) oleh ulama mazhab
pendahulunya.
Sebagian Malikiyah merunut pendapat-pendapat yang terkuat sampai pendapat di
bawahnya antara riwayat-riwayat yang ada.
Perkataan Imam Malik dalam kitab "al mudawwanah" lebih kuat dari pada pendapat
Ibnul Qasim di dalam kitab ini, dan perkataan Ibnu Qasim lebih kuat dibanding
dengan perkataan lainnya di dalamnya karena beliau adalah orang yang paling tahu
dengan mazhab Malikiyah. Jika disebutkan al mazhab adalah mazhab Malik.
D. Pendapat Yang Menyendiri
Untuk mengenal lebih jauh mazhab Al-Malikiyah ini, ada beberapa ciri pendapat
mereka yang unik dan menyendiri, tidak sebagaimana pendapat jumhur ulama. Di
antaranya adalah :
1. Tubuh Babi Hidup Tidak Najis
Pandangan mazhab Al-Malikiyah agak sedikit berbeda dari umumnya pandangan para
ulama. Mereka menganggap ‘ain tubuh babi itu tidak najis. Alasan mereka berpegang
pada prinsip bahwa hukum asal semua hewan itu suci.
Selain badannya tidak najis, ludah babi dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah juga
bukan termasuk najis.
Namun ketika bicara tentang kulit babi yang sudah mati, mereka mengatakan hukumnya
tetap najis.
2. Tidak Najisnya Tubuh Anjing Kecuali Liurnya Saja
Mazhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa yang najis dari anjing bukan
hanya air liurnya saja, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat,
termasuk keringatnya. Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum
yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan
salah satunya dengan tanah. Dasarnya adalah hadits berikut :
‫ير َة‬
َ ‫بي ُه َر‬ ِ ‫عن َأ‬ َ ‫ َأ ّ َن َر ُس‬s
َ ‫ول الل َّ ِه‬ ‫متفق عليه‬-‫بعا‬ ً ‫له َس‬ ُ ‫غس‬ ِ َ‫في ِإ نَا ِء َأ َح ِدك ُم فَلي‬
ِ ‫َلب‬
ُ ‫ب الك‬
َ ‫َال ِإ ذَا َش ِر‬
َ ‫ق‬
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda"Bila anjing minum dari wadah air
milikmu harus dicuci tujuh kali.(HR. Bukhari dan Muslim).
‫اب‬ ِ ‫ات ُأوال َُه ّ َن بِالتّ َُر‬
ٍ ‫بع َم َّر‬
َ ‫غسل َُه َس‬ ِ َ ‫َلب َأن ي‬ ِ ‫ور ِإ نَا ِء َأ َح ِدك ُم ِإ ذَا َول َغَ ِف‬
ُ ‫يه الك‬ ُ ‫َط ُه‬
Rasulullah SAW bersabda"Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah
dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.(HR. Muslim dan Ahmad)
Namun mazhab Al-Malikiyah berbeda pendapat. Mazhab ini mengatakan bahwa badan
anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh
masuk ke dalam wadah air, maka wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual
pensuciannya.
An-Namiri (w. 463 H) salah satu ulama dari mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam
kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, sebagai berikut :
‫ومذهب مالك في الكلب أنه طاهر‬
Dan pendapat mazhab Malik tentang anjing adalah bahwa anjing itu suci.
Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741 H) di dalam kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah juga
menuliskan hal yang sejalan bahwa semua hewan yang masih hidup termasuk anjing
hukumnya suci.
‫اهر ُمطلقًا‬ ِ ‫َان َحيا ف َُه َو َط‬ َ ‫الحي َ َوان َفِإن ك‬ َ ‫َوأما‬
Sedangkan semua hewan yang hidup maka hukumnya suci secara mutlak.
3. Kulit Bangkai Bila Disamak Tidak Bisa Menjadi Suci
Mazhab Al-Malikiyah menolak secara total kesucian kulit bangkai meski lewat
penyamakan. Dalam pandangan mazhab ini, kulit bangkai tidak akan berubah menjadi
suci, walaupun sudah dilakukan penyamakan. Alasannya karena sesungguhnya kesucian
kulit bangkai itu itu hanya sekedar keringanan (rukhshah) yang berlaku terbatas
pada waktu tertentu. Dua bulan menjelang Rasulullah SAW, ada hadits yang menganulir
rukhshah ini, sebagaimana disebutkan dalam hadits di awal pembahasan ini.
‫اب َر ُسول الل ّ َ ِه‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫قَبل َوفَا ِت ِه ب َِش ٍ َأ‬
ُ َ‫ تَانَا ِكت‬‫ع َص ٍب‬ َ َ ‫اب َوال‬ َ ‫ ال ّ َ تَنتَ ِف ُعوا ِم َن‬: ‫ين‬
ٍ ‫الميتَ ِة ِبِإ َه‬ ِ ‫هر‬َ ‫هر و َش‬
Telah datang sebuah surat dari Nabi SAW sebulan atau dua bulan sebelum wafatnya
yang berisi : Janganlah kalian memanfaatkan kulit bangkai dengan cara penyamakan.
(HR. At-Tirmizy)
Dan dalam riwayat yang lain ada hadits yang sama meski dengan redaksi yang
berbeda :
‫ع َص ٍب‬ َ َ ‫اب َوال‬ ٍ ‫الميتَ ِة ِبِإ َه‬
َ ‫اءك ُم ِكتَابِي َهذَا َفال َ تَنتَ ِف ُعوا ِم َن‬ َ ‫الميتَ ِة َفِإذَا َج‬
َ ‫َصت لَك ُم ِفي ُجل ُو ِد‬ ُ ‫ُنت َر ّخ‬ ُ ‫ك‬
Dahulu Aku pernah memberikan keringanan atas sucinya kulit bangkai. Dengan
datangnya suratku ini maka janganlah kalian memanfaatkan kulit bangkai yang telah
disamak. (HR. Abu Daud)
Kedua hadits inilah yang digunakan oleh mazhab Al-Malikiyah untuk menetapkan bahwa
penyamakan kulit bangkai tidak bisa mensucikan kenajisannya.
Nampaknya mazhab Al-Malikiyah agak menyendiri dalam pandangannya ini. Sebab nyaris
hampir semua mazhab sepakat menerima syariat penyamakan yang mensucikan kulit
bangkai.
Bahkan Sahnun sebagai salah satu ulama besar dalam mazhab Al-Malikiyah pun tidak
sepakat dengan pandangan resmi mazhabnya. Beliau malah sebaliknya memandang bahwa
semua kulit bangkai, apapun hewannya, hukumnya menjadi suci setelah disamak, bahkan
termasuk kulit babi sekalipun.
Selain Sahnun juga ada Abdul Hakam yang berpandangan serupa. Abdul Hakam juga
merupakan ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah.
Al-Hathab Ar-Ru'aini (w. 954 H) di dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar
Khalil menuliskan sebagai berikut :
‫غ‬ُ ‫الدبَا‬ ّ ِ ‫الميتَ ِة ل َا ي ُ َط ِ ّه ُر ُه‬
َ ‫لد‬ َ ِ‫ذهب ِِه َأ ّ َن ج‬
َ ‫المعل ُو ُم ِمن َم‬ َ ‫َول َمالِ ٍك‬ ِ ‫ور ِمن ق‬ ُ ‫شه‬ُ ‫الم‬
َ
Yang masyhur dari pendapat Imam Malik dan diketahui dari mazhabnya bahwa penyamakan
tidak mensucikan kulit bangkai.
Al-Kharsyi (w. 1101 H) di dalam kitabnya, Syarah Mukhtashar Khalil menuliskan
sebagai berikut :
‫ور‬ِ ‫شه‬ ُ ‫الم‬ َ ‫عل َى‬ َ َ‫ج ٌس َول َو ُدبِغ‬ َ َ ‫الح ِ ّي ن‬
َ ‫أخو َذ ِمن‬ ُ ‫الم‬
َ ‫لد‬ َ ِ‫الميتَ ِة َوالج‬
َ ‫لد‬ َ ِ‫َوجِ ل ٍد َول َو ُدبِغَ (ش ) يَع ِني َأ ّ َن ج‬
Dan kulit meskipun sudah disamak, maksudnya kulit bangkai yang diambil dari hewan
hidup hukumnya najis, meski sudah disamak, menurut pendapat yang masyhur.
4. Boleh Melafazhkan Niat
Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa hukum melafadzkan niat itu boleh. Ad-Dardir (w.
1230 H) di dalam kitab Asy-Syarhul Kabir menuliskan sebagai berikut :
)‫ واألولى‬. ‫ولفظه) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صالة فرض الظهر مثال (واسع) أي جائز بمعنى خالف األولى‬
‫أن ال يتلفظ ألن النية محلها القلب وال مدخل للسان فيها‬
Dan melafadzan niat oleh orang yang shalat seperti nawaitu shalata fardhizh-zhurhi
adalah masalah yang luas, yaitu hukumnya boleh walaupun termasuk tidak sejalan
dengan utama. Yang utama adalah tidak melafadzkan niat karena tempat niat itu di
dalam hati dan tidak ada kaitannya dengan lisan.
5. Warus Mengusap Seluruh Kepala
Mazhab Al-Malikiyah mengharuskan usap seluruh kepala dan tidak sah bila hanya
sebagiannya saja. Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) ulama dari kalangan mazhab Al-
Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahli Al-Madinah sebagai berikut :
‫ ال يجزئ مسح بعض الرأس وهو قول مالك‬: ‫واختلف أصحاب مالك وسائر أهل المدينة في عموم مسح الرأس فمنهم من قال‬
‫المشهور‬
Dalam pemaparannya beliau menyebutkan pendapat masyhur Imam Malik bahwa yang wajib
diusap ialah seluruh bagian kepala.
Al-Qarafi (w. 684 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Adz-
Dzakhirah menyebutkan sebagai berikut :
‫الفرض الخامس مسح جميع الرأس في الكتاب يمسح الرجل والمرأة على الرأس كله‬
Fardhu yang kelima ialah mengusap seluruh bagian kepala baik laki-laki ataupun
perempuan.
6. Wajib Tadlik
Tadlik (‫ )تدليك‬bisa juga disebut dengan ad-dalk (‫)الدلك‬. Yang dimaksud dengan ad-dalk
disini adalah mengosokkan tangan ke atas anggota wudhu setelah dibasahi dengan air
dan sebelum sempat kering.
Hal ini tidak menjadi kewajiban menurut jumhur ulama. Sebab sekedar mengguyurkan
air ke atas anggota tubuh tidak bisa dikatakan membasuh seperti yang dimaksud dalam
Al-Quran. Namun mazhab Al-Malikiyah mewajibkan tadlik dan masuk dalam fardhu
wudhu'. Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitabnya
Ad-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut :
‫الفرض الرابع التدليك‬
Adapun fardhu wudhu yang ke empat adalah tadlik.
7. Sentuhan Kulit Batalkan Wudhu Bila Dengan Ladzah
Mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa sentuhan kulit laki-laki dan wanita itu
membatalkan wudhu apabila disertai dengan ladzdzah (‫ )ل ّذة‬yang mengiringinya, yaitu
kenikmatan atau nafsu, baik yang tersentuh itu bagain kulit, rambut, atau kuku dari
wanita.
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi
fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut :
‫ومن قصد إلى لمس امرأة فلمسها بيده انتقض وضوؤه إذا التذ بلمسها من فوق الثوب الرقيق الخفيف أو من تحته وسواء مس منها‬
‫عند مالك شعرها أو سائر جسدها إذا التذ بلمس ذلك منها‬.
Seorang bermaksud menyentuh perempuan, kemudian ia menyentuhnya dengan tangannya
maka wudhunya batal jika sentuhan itu disertai taladzdzudz, baik dari atas pakaian
yang tipis (adanya penghalang) atau dari bawahnya (secara langsung), baik yang ia
sentuh itu -menurut imam malik- rambutnya atau apapun dari anggota tubuh wanita
tersebut jika disertai taladzdzudz”.
Al-Qarafi (w. 684 H) juga menyebutkan hal serupa yang disebutkan Imam Ibnu Abd Al
Barr diatas Di dalam kitab Adz-Dzakhirah beliau menuliskan sebagai berikut:
‫المالمسة مس أحد الزوجين صاحبه للذة من فوق ثوب أو من تحته أو قبلة في غير الفم يوجب الوضوء خالفا (ح) في اشتراطه‬
‫التجرد والتعانق والتقاء الفرجين مع االنتشار وخالفا (ش) في عدم اشتراط اللذة مع نقضه‬.
“Mulamasah adalah saling sentuhnya dua orang suami isteri yang disertai ladzdzah,
baik dari atas pakaian (ada penghalang) atau dari bawahnya (secara langsung) atau
ciuman pada selain mulut, maka hal tersebut mewajibkan wudhu, berbeda dengan Abu
Hanifah yang mensyaratkan jima’ dan Imam Syafii yang tidak mensyaratkan ladzdzah
dalam membatalkan wudhu”.
Pendapat ini adalah hasil dari kompromi atas dua dalil yang saling kontradiksi
yaitu ayat diatas tadi dengan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam shahihnya:
‫ كنت أنام بين يدي رسول الله‬:‫ عن عائشة قالت‬ :‫ وإذا قام بسطتهما قالت‬،‫ورجالي في قبلته فإذا سجد غمزني فقبضت رجلي‬
‫والبيوت يومئذ ليس فيها مصابيح‬
Dari Aisyah radiallahu anha beliau berkata, Aku tidur di depan Rasulullah SAW dan
kedua kakiku berada tepat di arah kiblatnya. Jika beliau ingin sujud beliau
menyentuhku lalu Aku menarik kakiku. Dan jika beliau bangun dari sujudnya, Aku
meluruskan kembali kakiku.” Aisyah melanjutkan,"Saat itu tidak ada lampu di dalam
rumah”. (HR. Muslim)
Dari hadits ini Imam Al-Qarafi beserta ulama malikiyah yang lain berkesimpulan
bahwa menyentuh wanita tanpa ladzdzah tidak membatalkan wudhu. Bahkan juga meski
pun ada kain tipis yang melapisinya, namun sempat ada rasa ladzdzah itu, maka hal
itu dianggap membatalkan wudhu'. Maka bila wanita yang tersentuh itu seorang anak
kecil yang secara umum tidak akan melahirkan rasa ladzdzah itu, hukumnya tidak
dianggap membatalkan wudhu'. Demikian juga bila yang disentuh itu wanita yang masih
mahram, juga tidak membatalkan wudhu'. Sedangkan ciuman di mulut menurut mazhab ini
jelas membatalkan wudhu, lepas dari apakah ada nafsu atau tidak.
8. Tidak Ada Batas Waktu 3 Hari Untuk Mengusap Khuf
Sedangkan mazhab Al-Malikiyah tidak memberikan batasan waktu. Jadi selama khuff itu
tidak dicopot, selama itu pula dia tetap boleh mengusap khuff. Dalilnya ialah :
‫ ن َ َعم‬: ‫َال‬ َ ‫وما ؟ ق‬
ً َ‫ ي‬: ‫َال‬ َ ‫ ن َ َعم ق‬: ‫َال‬ َ ‫َين ؟ ق‬
ِ ّ‫الخف‬
ُ ‫عل َى‬
َ ‫مس ُح‬ َ
‫ول الل َّ ِه َأ‬ َ ‫ يَا َر ُس‬: ‫َال‬ َ ‫نه َأن ّ َُه ق‬ ُ ‫ع‬ َ ‫ار َة َر ِض َي الل ّ َ ُه‬َ ‫ع َم‬
ُ ‫بن‬ِ ‫عن ُأبَ ِ ّي‬
َ
‫َيس بِالقَ ِو ِ ّي‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫ ن َ َعم َو َما ِشئت‬: ‫َال‬ ‫َأ‬
َ ‫ ل‬: ‫َال‬
َ ‫خر َج ُه بُو َد ُاود َوق‬
َ َ ‫ام ؟ ق‬ ٍ َ ّ ‫ َوث َالث َ َة ي‬: ‫َال‬َ ‫ ن َ َعم ق‬: ‫َال‬ َ ‫ين ؟ ق‬ ِ ‫وم‬َ َ ‫ َوي‬: ‫َال‬ َ ‫ق‬
Dari Ubai bin Imarah r.a berkata,”Ya Rasulullah, bolehkah aku mengusap dua khuff?”.
Beliau menjawab,” Boleh”. Aku bertanya lagi,”Sehari?”. Beliau menjawab, ”Sehari”.
Aku bertanya lagi,”Dua hari?”. Beliau menjawab,”Dua hari”. Aku bertanya lagi,”Tiga
hari?”. Beliau menjawab,”Terserah”.(HR. Abu Daud)
9. Meletakkan Tangan Dulu Baru Lutut Waktu Sujud
Al-Malikiyah berpendapat yang disunnahkan meletakkan kedua tangan terlebih dahulu
baru kemudian kedua lututnya. Dalil mereka adalah hadits berikut ini :
‫ير َة‬
َ ‫بي ُه َر‬ ِ ‫عن َأ‬ َ  ‫ول الله‬ ُ ‫َال َر ُس‬
َ ‫َال ق‬
َ ‫ ق‬ ‫يه‬ ِ َ‫يه ث ُّمَ ُركبَت‬
ِ ‫ير َوليَ َضع ي َ َد‬ ُ ‫بر ُك البَ ِع‬ُ َ ‫برك ك ََما ي‬
‫ِإ ذَا س َ َأ‬
ُ َ ‫ج َد َح ُدك ُم َفال َ ي‬ َ
Dari Abi Hurariah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasululah SAW bersabda,"Bila kamu
sujud janganlah seperti duduknya unta. Hendaklah kamu meletakkan kedua tangan
terlebih dahulu baru kedua lutut. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Tirmizy)
E. Kitab Utama Mazhab Maliki
Kitab fiqih bermazhab Al-Malikiyah sangat banyak. Di antara kitab Mazhab Maliki
yang terkenal adalah sebagai berikut:
1. Al-Mudawwanah
Kitab al-Mudawwanah, yang disebut juga Al-Umm atau Al-Mukhtalitah. Kitab ini memuat
ribuan permasalahan yang disusun oleh Sahnun bin Sa‘id pada abad ketiga hijriyah.
Kitab al-Mudawwanah merupakan rujukan utama dalam mazhab Maliki, karena ia mencakup
pemikiran fikih empat orang mujtahid, yaitu Al-Imam Malik, Abdurrahman bin Al-
Qasim, Asad bin Al-Furat, dan Sahnun bin Sa‘id sendiri. Maka tidak heran banyak
ulama menyusun syarah dan mukhtasar-nya.
2. Al-Wadihah dan Al-‘Atabiyyah
Selain al-Mudawwanah, terdapat dua kitab lain yang tidak kalah penting, yaitu al-
Wadihah yang disusun oleh Abdul Malik bin Habib dan Al-‘Atabiyyah yang ditulis oleh
Al-‘Atabi.
 Al-Wadihah : Al-Wadihah memuat riwayat-riwayat dari Al-Qasim dan murid-
muridnya. Kitab ini dijadikan pedoman fikih oleh kaum Muslim Andalusia (Spanyol-
Islam).
 Al-‘Atabiyyah : Sedangkan al-‘Atabiyyah memuat riwayat dari Ibnul Qasim,
Ashhab, Ibnu Nafi‘ (dari Malik), Yahya bin Yahya, Sahnun, dan yang lain (dari Ibn
al-Qasim). Ia juga mendapatkan perhatian yang luas dari para ulama, hingga
kemunculannya sempat mengalahkan pamor Al-Wadihah.
3. An-Nawadir
Pada abad keempat, terdapat seorang raja sekaligus seorang ulama besar, yaitu Ibnu
Abi Zaid Al-Qairuwani. Ia menyatukan Al-Mudawwanah, Al-Wadihah, Al-‘Atabiyyah, dan
semua kitab yang ditulis atas dasar ketiga kitab itu. Ia menamakan kitab tersebut
An-Nawadir.
4. Jami‘ al-Ummahat atau Al-Mukhtasar al-Far‘i
Hingga pertengahan abad ketujuh, kajian fikih tertuju pada kitab-kitab An-Nawadir.
Lalu hadir Ibnul Hajib dengan kitabnya Jami‘ Al-Ummahat atau Al-Mukhtasar Al-Far‘i
yang mengalihkan seluruh perhatian ulama dari kitab-kitab sebelumnya. Dalam kitab
itu Ibn al-Hajib menghimpun seluruh jalur riwayat mazhab dari kitab-kitab induk
sebelumnya. Kitab itu mendapatkan syarah dari Ibnu Abdissalam.
5. At-Taudih
Pada abad kedelapan, hadir Abu Al-Mawaddah Diya’ al-Din Khalil bin Ishaq bin Musa
Al-Jundi dengan syarah kitab di atas, dan memberinya nama al-Taudih.
Selain mensyarah, Khalil juga meringkas kitab Ibnul Hajib itu, yang kemudian
mendapatkan sambutan amat luas dari para ulama, bahkan menjadi pedoman dalam mazhab
Maliki. Terdapat lebih dari seratus kitab yang mensyarah mukhtashar Khalil ini,
hingga An-Nasir Al-Laqani berkomentar: “Bila pendapat Khalil dipertentangkan dengan
pendapat ulama lain, kami akan mengikuti pendapat Khalil. Bila Khalil salah, kami
pun ikut salah.”
F. Ulama Mazhab Maliki
Ulama mazhab Al-Malikiyah yang utama tidak lain adalah murid-murid langsung dari
Al-Imam Malik sendiri. Murid-murid beliau jumlahnya sangat banyak dan tersebar di
berbagai penjuru dunia.
Kita bisa membagi para murid beliau menjadi tiga zona. Zona pertama adalah Hijaz
(Jazirah Arabia) dan Iraq, zona kedua adalah negeri Mesir dan zona ketiga adalah
maghraribah , yaitu negeri-negeri di Afrika Utara, yang terus membentang sampai ke
Spanyol di Eropa.
1. Hijaz dan Iraq
Murid-murid beliau di Hijaz dan Iraq antara lain :
a. Ibnu Al-Majisyun (w. 212)
Nama lengkapnya adalah Abu Marwan Abdul Malik bin Abi Salamah Al-Majisyun. Beliau
adalah mufti Madinah di zamannya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah
orang yang menulis kitab Al-Muwaththa’ sebelum Imam Malik.
b. Ahmad bin Al-Mu’adzdzal bin Ghailan Al-Abdi
Beliau adalah ulama mazhab Al-Malikiyah di negeri Iraq, dan hidup serta mengalami
masa bersama Ibnu Al-Majisyun bahkan menjadi muridnya.
c. Abu Ishak Al-Qadhi (w. 282)
Lengkapnya Abu Ishak Ismail bin Ishak Al-Qadhi. Beliau berasal dari Bashrah dan
tinggal menetap di Baghdad dan belajar dari gurunya, Ibnu Muadzdzal di atas. Beliau
termasuk ulama yang menyebarkan mazhab Al-Malikiyah di Iraq.
2. Magharibah dan Afrika Utara
Setidaknya ada tujuh ulama besar mazhab Al-Malikiyah yang tersebar di wilayah
magharibah, yaitu Abu Al-Hasan, Al-Qurthubi, Isa bin Dinar, Ibnu Sinan At-Tunisi,
Ibnu Katsir Al-Laitsi, Abdul Malik dan juga Sahnun.
3. Mesir
Di antara ulama mazhab Al-Malikiyah yang tersebar di Mesir :
a. Abu Abdillah Abdur Rahman bin Al Qasim (w 191 H)
Beliau dikenal sebagai murid yang paling mumpuni tentang mazhab Malik dan paling
dipercaya. Beliau juga yang mentashih kitab pegangan mazhab ini, Al-Mudawwnah.
b. Abu Muhammad (125 – 197 H)
Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim. Beliau
belajar langsung kepada Al-Imam Malik tidak kurang dari 20 tahun lamanya, dan juga
kepada banyak ulama lain, di antaranya Al-Laits bin Saad. Kemudian menyebarkan
mazhabnya di Mesir.
Al-Imam Malik sebagai guru sangat memuji muridnya yang satu ini, bahkan pernah
berkirim surat kepadanya dan menyapanya dengan panggilan,”Kepada Faqih Mesir”, atau
”Kepada Abu Muhammad Sang Mufti”. Bahkan beliau dijuluki Diwanul-Ilmi.
c. Ulama Lainnya
Ada banyak lagi murid-murid mazhab ini dan menjadi ulama, seperti Asyhab bin Abdul
Aziz, Abu Muhammad, Abdullah bin Abdul Hakam, Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Hakam, Muhammad bin Ibrahim.
G. Negeri Bermazhab Maliki
Di masanya, hanya ada dua mazhab besar saat itu, yaitu Mazhab Al-Malikiyah dan
Mazhab Al-Hanafiyah yang lebih bekembang saat itu di Iraq dan sekitarnya.
Mazhab Al-Malikiyah tersebar luas ke tiga wilayah, yaitu Madinah dan Mekkah atau
saat itu lebih dikenal dengan sebutan hijaz. Salah satu muridnya saat itu adalah
Al-Imam Asy-Syafi’i yang masih belia. Namun bukan berarti mazhab ini hanya
berkembang di Mekkah dan Madinah, sebab kita menemukan pula bahwa mazhab Al-
Malkiyah ini berkembang dan meluas juga sampai ke Iraq dan sekitarnya.
Dan mazhab Al-Malikiyah kemudian berkembang juga ke Mesir, dan terus meluas sampai
seluruh Afrika Utara, bahkan terus menyeberang sampai ke benua Eropa, yaitu
Spanyol. Saat ini di antara negeri yang rakyatnya masih banyak menganut mazhab Al-
Malikiyah adalah Aljazair, Maghrib (Maroko), Tunisia, Libya, Andalusia (Spanyol).

Bab 11 : Mazhab Asy-Syafi’iyah


A. Pendiri
Lengkapnya bernama Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150 – 204 H). Beliau adalah
pendiri mazhab Syafi’i. Dipanggil Abu Abdullah. Nama aslinya Muhammad bin Idris.
Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah SAW. pada kakek beliau Abdu Manaf. Beliau
dilahirkan di Gaza Palestina (Syam) tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan
wafat di Mesir tahun 203 H.
Nasab beliau yang amat terkenal periwatannya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas
bin Utsman bin Syafi' bin Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Muththalib
bin Abdi Manaf. Pada level Abdi Manaf inilah nanti bertemu dengan nasah Rasulullah
SAW, dimana ayah beliau SAW adalah Abdullah bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin
Abdi Manaf.
Kakek dari Al-Imam Asy-syafi'i yang keenam yang bernama Syafi' adalah yang kakek
yang dinisbatkan kepadanya nama Al-Imam Asy-Syafi'i. Kedudukannya adalah kakek dari
kakek beliau.
Dan Syafi' adalah putera Saib yang kedudukannya merupakan shahabat Rasulullah SAW.
Saib inilah yang pernah bertemu langsung dengan Rasulullah SAW.

Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya
ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim.
Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-
sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang
pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam
bahasa Arab.

Di Mekah, Imam Syafi’i berguru fiqih kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az
Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqih kepada Imam Malik bin Anas.
Beliau mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam.
Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Kemudian pergi
ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan.
Beliau memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad
tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba Ilmu Fiqihnya, ushul
mazhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis
mazhab lamanya (mazhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan
menuliskan mazhab baru (mazhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm
di akhir bulan Rajab 204 H.
Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqih dan
kitab “Al Umm” yang berisi mazhab fiqihnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang
mujtahid mutlak, imam fiqih, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqih ahli
Irak dan fiqih ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah
orang yang paling faqih dalam Al-Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang
pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’
Syafi’i,”.
Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqih, ushul, hadits,
bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat
amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa,
dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak
menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
B. Ushul Mazhab
Dasar mazhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa
salah.
Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar
mazhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i
mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan
syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan bahwa Al-IImam Syafi’i adalah seorang
nashirussunnah (pembela sunnah).
Kitab Al-Hujjah yang berupa mazhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad
bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Sementara kitab “Al Umm” sebagai mazhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh
pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam
Syafi’i mengatakan tentang mazhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan
perkataanku, maka ia (hadis) adalah mazhabku, dan buanglah perkataanku di belakang
tembok,”
C. Istilah dalam Mazhab Syafi'i
Jika dalam Syafi'i adalah dua riwayat pendapat maka seorang mufti mazhab harus
menggunakan tarjih ulama mazhab Syafi'i yang awal-awal. Jika ia tidak menemukan
maka ia harus tawaqquf (diam).
Kemudian ia harus mengutamakan yang disahkan oleh ulama mazhab yang paling banyak
(mayoritas), kemudian yang disahkan oleh yang paling mengetahui tentang mazhab,
kemudian paling wara', jika tidak ada maka ia mengutamakan yang diriwayatkan oleh
Al Buwaithi, Ar Rabi', Al Maradi (686h), Al Muzani.
Sementara An-Nawawi (Abu Zakariyah Yahya Ibnu Syaraf An Nawawi), penulis kitab Al-
Majmu' Syarah Al-Muhazzab, adalah ulama yang menyaring pendapat-pendapat mazhab dan
yang memberikan penjelasan antara yang rajih dan tidak.
Al-Azhhar yang paling kuat dari pendapat-pendapat di mazhab Syafi'i.
Al-Mashyhur pendapat yang paling terkenal (diikuti lebih banyak orang) dalam mazhab
Syafi'i.
Al-Ashah yang paling sah dari perkataan Syafi'i berdasarkan dasar-dasar mazhabnya.
Al-Jadid pendapat baru Imam Syafi'i ketika berada di Mesir baik dalam karangan atau
fatwah.
Al-Qadiim pendapat lama Imam Syafi'i ketika berada di Irak baik dalam karangannya
"Al hujjah". yang diamalkan adalah yang mazhab jadid kecuali beberapa masalah saja.
Ibnu Hajar mengatakan, tidak boleh talfiq dalam satu masalah seperti seseorang
bertaqlid dengan Maliki dalam masalah sucinya anjing dan mengikut Syafi'i dalam
mengusap sebagian kepala dalam wudlu untuk melakukan melakukan satu shalat.
D. Pendapat Yang Menyendiri
Pendapat mazhab Asy-Syafi'iyah yang menyendiri dan tidak sama dengan pendapat
jumhur ulama lainnya cukup banyak. Yang dimuat disini hanya beberapa contoh kecil
saja, antara lain :
1. Air Mani Bukan Najis
Tiga mazhab utama yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah telah
bersepakat bahwa air mani manusia hukumnya termasuk benda najis. Sebab mereka
berpendapat semua benda yang keluar lewat kemaluan adalah benda najis.
Namun mazhab Asy-Syafi'yah menyendiri dalam pendapatnya dan memfatwakan bahwa air
mani manusia hukumnya bukan termasuk benda najis. Dasar pendapat mazhab ini adalah
hadits berikut :
‫نزل َِة‬
ِ ‫ ِإ ن ّ ََما ُه َو ب َِم‬: ‫وب َف َقال‬ َ َ ّ‫يب الث‬ ُ ‫الم ِن ِ ّي ي ُ ِص‬
َ ‫ع ِن‬ َ ‫َيه َو َسل َّ َم‬ِ ‫عل‬ َ ‫ ُسِئل َر ُسول الل ّ َ ِه َصلَّى الل ّ َ ُه‬: ‫نه َما قَال‬ َ ‫اس َر ِض َي الل ّ َ ُه‬
ُ ‫ع‬ ٍ َ ّ‫عب‬
َ ‫ابن‬
ِ ‫ع ِن‬
َ
ِ ‫ح ُه ب ِِخرقَةٍ َأو ِإ‬
‫ذخ ٍر‬ ‫مس‬
َ َ َ ‫ت‬ ‫ن‬‫َأ‬ ‫يك‬
َ ِ
‫ف‬ ‫ك‬َ ‫ي‬ ‫َان‬
َ ‫ك‬ ‫ا‬ ‫َم‬
َّ ‫ن‬ ‫ِإ‬ ِ
‫اط‬ ‫خ‬
َ ‫الم‬
ُ ‫و‬
ِ ‫َأ‬ ِ‫اق‬ ‫ص‬َُ ‫الب‬
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang hukum air
mani yang terkena pakaian. Beliau SAW menjawab,"Air mani itu hukumnya seperti dahak
atau lendir, cukup bagi kamu untuk mengelapnya dengan kain. (HR. Al-Baihaqi)
Selain itu mazhab ini berhujjah juga dengan hadits yang lain, yaitu Aisyah
radhiyallahuanha tidak mencuci pakaian Rasulullah SAW yang terkena air mani. Beliau
hanya mengerik bekas air mani yang sudah kering dengan kukunya.
ِ ‫َيه َو َسل ّ َ َم ث ُّمَ يُ َص ِل ّي ِف‬
ِ ‫عل‬َ ‫َوب َر ُسول الل َّ ِه َصلَّى الل ّ َ ُه‬ ِ ‫الم ِن َّي ِمن ث‬ ‫ع َ َأ‬
َ ‫عاِئ َش َة َر ِض َي الل َّ ُه‬
‫يه‬ َ ‫فر ُك‬ ُ َ‫نها ن ّ ََها ك َانَت ت‬ َ ‫عن‬ َ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa beliau mengerik bekas air mani Rasulullah SAW
yang telah kering dan beliau SAW shalat dengan mengenakan baju itu. (HR. Bukhari
dan Muslim)
2. Sucinya Kulit Bangkai Kecuali Anjing dan Babi
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa kulit bangkai yang najis itu bisa diproses
dari najis menjadi tidak najis lewat proses penyamakan. Dasarnya adalah sabda
Rasulullah SAW :
‫اب َف َقد َط ُه َر‬ ُ ‫ِإ ذَا ُدبِغَ اِإل َه‬
Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,"Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda,"Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR. Muslim)
‫اب ُدبِغَ َفقَد َط ُه َر‬ ٍ ‫َأي ُّ َما ِإ َه‬
Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)
Namun mazhab Asy-Syafi'iyah tetap mengatakan najis bila kulit babi dan anjing
disamak. Dalam pandangan mazhab ini, anjing dan babi adalah hewan yang level
kenajisannya berat (mughalladzah), sehingga apa pun dari bagian tubuhnya tidak bisa
disucikan lagi.
3. Bolehnya Menyapu Hanya Sebagian Kepala
Umumnya para ulama berpendapat bahwa mengusap kepala saat berwudhu' itu harus
mencakup keseluruhan atau sebagian besar kepala.
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang wajib untuk diusap ubun-ubun dan di atas
telinga. Sedangkan Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa yang wajib diusap
pada bagian kepala adalah seluruh bagian kepala. Bahkan Al-Hanabilah mewajibkan
untuk membasuh juga kedua telinga baik belakang maupun depannya.
Sebab menurut mereka kedua telinga itu bagian dari kepala juga. Sebagaimana hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah : Dua telinga itu bagian dari kepala. Namun yang
wajib hanya sekali saja tidak tiga kali.
Adapun Asy-Syafi’iyyah mengatakan bahwa yang wajib diusap dengan air hanyalah
sebagian dari kepala, bahkan sudah dianggap sah meskipun hanya satu rambut saja.
Dalil yang digunakan beliau adalah hadits Al-Mughirah :
‫ام ِة‬ ِ ‫عل َى‬
َ ‫الع َم‬ ِ َ ‫ضَأ ف ََم َس َح ِبن‬
َ ‫اصيَ ِت ِه َو‬ َ ّ ‫َيه َو َسل ّ َ َم تَ َو‬
ِ ‫عل‬ َ ‫َأن ّ َُه َصلَّى الل ّ َ ُه‬
Bahwa Rasulullah SAW ketika berwudhu’ mengusap ubun-ubunnya dan imamahnya (HR.
Bukhari).
4. Wajibnya Berkhitan
Kebanyakan ulama tidak mewajibkan khitan, namun pendapat mazhab Asy-Syafi'iyah
tentang khitan ini berbeda dengan yang lain. Mazhab ini mewajibkan khitan. Bahkan
mazhab ini mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib baik baik laki-laki maupun bagi
wanita. Dalil yang mereka gunakan adalah ayat Al-Quran dan sunnah:
‫وحينَا ِإ ل َ َأ‬ َ ‫ث ُّمَ َأ‬
‫يم َح ِنيفًا‬ َ ‫اه‬ ِ ‫بر‬َ ‫َيك ِن اتَّبِع ِمل َّ َة ِإ‬
`Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus` (QS.
An-Nahl: 123).
Dan juga hadits berikut :
‫ين َسن َ ًة بِالقَ ُدو ِم‬ َ ‫ابن ث ََما ِن‬ ُ ‫َيه َو َسل َّ َم َو ُه َو‬ ِ ‫عل‬ َ ‫ِي َصلَّى الل َّ ُه‬ ُّ ‫يم النَّب‬
ُ ‫اه‬ ِ ‫بر‬
َ ‫اختَتَ َن ِإ‬
`Nabi Ibrahim as. berkhitan saat berusia 80 dengan kapak`. (HR. Bukhari dan
muslim).
Kita diperintah untuk mengikuti millah Ibrahim alaissalam karena merupakan bagian
dari syariat kita juga. Dan juga hadits yang berbunyi:
‫ُفر َواختَ ِتن‬ ِ ‫عر الك‬ َ ‫نك َش‬ َ ‫ع‬ َ ‫َأ ِلق‬
`Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah` (HR. As-Syafi`i dalam kitab Al-Umm
yang aslinya dri hadits Aisyah riwayat Muslim).
Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat mazhab ini yang menyendiri dan menyelisihi
pendapat dari mazhab lain.
E. Mata Rantai Kitab
Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lainnya, madzhab Asy-Syafi’iyah tentu
merupakan madzhab yang paling banyak buku-buku fiqhnya. Di banyak perpustakaan,
kemungkinan besar buku-buku madzab fiqih Syafi’i ini menghabiskan setengahnya
bahkan lebih dari isi maktabah tersebut.
Banyaknya buku-buku ini, selain berkat kejuhudan murid-murid dan ulama Syafi’iyyah,
karena buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini satu sama lain ditulis dengan saling
mengacu pada kitab sebelumnya, sehingga saling berkaitan dan bersambung.
1. Al-Umm
Buku pertama dalam madzhab Syafi’i adalah kitab al-Umm karya Imam Syafi’i (w 150H)
sendiri.
2. Mukhtashar Al-Muzani
Pada masa berikutnya, buku al-Umm ini diringkas oleh muridnya yang bernama Imam al-
Muzani (w 264 H) dalam bukunya berjudul Mukhtashar al-Muzani.
3. Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab
Tidak lama kemudian, buku Mukhtashar al-Muzani ini disyarah oleh Imam al-Haramain
al-Juwaini (w 478 H) dalam Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab.
4. Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz dan Al-Khulashah
Selang beberapa lama karya Imam Juwaini ini diringkas oleh muridnya Imam al-
Ghazali (w 505 H) dalam bukunya al-Basith. Tidak puas dengan al-Basith, Imam
Ghazali meringkasnya menjadi al-Wasith, kemudian al-Wasith diringkas juga dalam
bukunya yang lain berjudul al-Wajiz dan terakhir, buku al-Wajiz ini diringkas lagi
dalam bukunya al-Khulashah.
5. Al-Muharrar
Imam ar-Raf’i (w 624 H) meringkas al-Wajiz karya Imam al-Ghazali tadi menjadi al-
Muharrar.
6. Minhajut Thalibin
Selang beberapa lama, Imam Nawawi (w 676 H) meringkas buku al-Muharrar dalam
karyanya Minhajut Thalibin yang kemudian menjadi pegangan utama para ulama
Syafi’iyyah dalam berijtihad dan berfatwa.
7. Al-Manhaj
Kemudian, buku Minhajut Thalibin ini diringkas oleh Syaikhul Islam Zakaria al-
Anshari dalam bukunya al-Manhaj. Buku al-Manhaj ini lalu diringkas oleh Imam al-
Jauhari menjadi an-Nahj.
8. Al-Aziz
Imam ar-Rafi’i juga mensyarah kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali dalam dua buah
karyanya yakni asy-Syarh as-Shagir, dan asy-Syarh al-Kabir yang diberi nama dengan
al-’Aziz.
9. Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin
Kemudian Imam Nawawi meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i tadi menjadi ar-
Raudhah (lengkapnya Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin), lalu Ibnu Maqarra
meringkas ar-Raudah menjadi ar-Raud. Imam Zakaria al-Anshari kemudian mensyarah
buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul al-Asna.
Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) meringkas buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul
an-Na’im. Kitab ar-Raudhah juga diringkas oleh Ahmad bin Umar al-Muzjid az-Zabidi
dalam karyanya berjudul al-’Ibab, kemudian Ibn Hajar al-Haitami mensyarahnya
menjadi al-Ii’ab hanya saja tidak sampai akhir.
Imam Suyuthi (w 911 H) meringkas kitab ar-Raudah ini dalam karyanya berjudul al-
Gunyah, dan mengumpulkannya menjadi kumpulan nadham dalam karyanya berjudul al-
Khulashah, akan tetapi tidak sampai selesai.
Imam al-Qazuwaini meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i dalam karyanya berjudul
al-Hawi ash-Shagir, kemudian dikumpulkan dalam nadham-nadham oleh Ibn al-Wardi
dalam karyanya berjudul al-Buhjah. Lalu kitab al-Buhjah ini disyarah oleh Syaikhul
Islam Zakaria al-Anshari dengan dua syarah (hanya tidak disebutkan nama syarah
ini).
Ibnu al-Maqarri meringkas buku al-Hawi ash-Shagir menjadi al-Irsyad. Al-Irsyad ini
disyarah oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam dua syarah. Setelah masa Ibnu Hajar al-
Haitami ini baru bermunculan buku-buku berupa hasyiyah dari kitab-kitab sebelumnya.
Tampak kesinambungan buku-buku fiqh madzhab Syafi’i ini antara satu dengan yang
lainnya. Inilah yang menyebabkan buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini menjadi lebih
banyak bila dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya. Hal ini juga menjadikan cara
penempatan bab-bab fiqh dalam buku-buku fiqh Syafi’i menjadi hampir sama. Misal,
pembagian bab-bab yang disusun dalam kitab al-Umm hampir sama penempatannya dengan
buku Minhajut Thalibin atau syarahnya.
F. Kitab Mazhab Syariah Sepanjang Zaman
Berikut adalah urutan sejarah kitab-kitab madzhab Syafi’i. Dari sejarah
perkembangan madzhab Syafi’i, kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i dicoba dibagi ke
dalam tujuh kelompok.
Ketujuh pengelompokan dimaksud adalah:
 Karya-karya Imam Asy-Syafi’i langsung
 Karya-karya Ulama generasi pertama
 Karya-karya Ulama generasi kedua
 Karya-karya yang berkaitan dengan fiqih muqaran
 Karya-karya yang membahas tema-tema tertentu dan khusus
 Karya-karya yang tidak termasuk salah satu dari lima kelompok di atas
 Karya-karya Madzhab Syafi’i belakangan
1. Karya-karya Al-Imam Asy-Syafi’i
Tidak seperti Al-Imam Abu Hanifah dimana karyanya lebih merupakan tulisan pada
muridnya, Al-Imam Asy-Syafi'i adalah seorang menuliskan sendiri semua ilmunya
dengan tangannya secara langsung. Karya-karya Imam Syafi’i yang disusun ketika
beliau berada di Mesir:
 Kitab al-Umm
 Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wabni Abi Laila
 Kitab Ikhtilaf Ali wa Abdillah bin Mas’ud
 Kitab Ikhtilaf Malik was Syafi’i
 Kitab Jima’il ‘Ilm
 Kitab Bayan Faraidhillah
 Kitab Shifati Nahyi Rasulillah
 Kitab Ibthalil Istihsan
 Kitab ar-Radd ‘Ala Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany
 Kitab Siyaril Auzai.
Semua karya-karya Imam Syafi’i di atas telah ditahqiq dan diberi catatan kaki
dengan sangat bagus dan lengkap oleh DR. Ahmad Badruddin Hasun dengan judul
Mausu’ah al-Imam Asy-Syafi’i. Buku tahkiknya ini awalnya adalah risalah Dukturah
(S-3) beliau yang diajukan ke Jami’ah Islamiyyah di Karachi Pakistan. Buku ini
dicetak pertama kali oleh Dar Qutaibah di Beirut pada tahun 1996 dalam 15 Juz yang
dikumpulkan dalam 10 Jilid besar. Karya ini adalah yang paling baik dan paling
lengkap dalam segi tahkikan dan kekayaan maklumat yang dikandungnya.
Untuk mengetahui dalil-dalil di dalam kitab al-Umm ini, ada kitab, yakni Ma’rifatus
Sunan wal Atsar karya Imam al-Hafidz al-Baihaqi. Kitab ini sangat berguna untuk
mengetahui dalil-dalil Imam Syafi’i terutama dalil-dalil dari Sunnah dan atsar
serta bagaimana kedudukan haditsnya dan sanadnya. Kadang-kadang dalam kitab al-Umm
sendiri tidak disebutkan dalilnya, tapi langsung ke hukumnya. Buku ini dicetak oleh
Darul Kutub Ilmiyyah Beirut dengan muhakik Sayyid Karwi Hasan.
2. Karya-karya Ulama Syafi’iyyah Generasi Pertama
Yang dimaksud dengan tokoh Syafi’iyyah generasi pertama disini adalah untuk
menyebut dua imam besar madzhab As-Syafi’iyah, yaitu Al-Imam Rafi’i (557-623H) dan
Al-Imam Nawawi (631-676 H).
Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi’i mempunyai kedudukan sangat penting,
bahkan terpenting setelah karya-karya Imam Syafi’i. Ketika seseorang ingin
mengetahui pendapat ulama madzhab As-Syafi’iyah (bukan pendapat Imam As-Syafi’i
pribadi) tentang sebuah masalah, maka karya-karya dua imam ini dapat mewakilinya.
Di sini, apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak ada beda pendapat dalam satu
masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang absah sebagai
madzhab Syafi’i.
Namun, apabila antara keduanya berbeda pendapat dan tidak mungkin dapat digabungkan
kedua pendapat tersebut, dan antara keduanya sama kuat, maka yang harus didahulukan
adalah pendapatnya Imam Nawawi.
Mengingat pentingnya karya-karya kedua imam itu, berikut ini diketengahkan karya-
karya keduanya.
a. Karya-karya Ar-Rafi’i
Al-Muharrar : Buku ini sampai saat ini masih berbentuk makhtutat yaitu manuskrip
dan belum ditahkik serta belum dicetak. Barangkali di antara sebab belum ditahkik
dan belum dicetaknya, lantaran sudah terwakili oleh buku Minhajut Thalibin yang
merupakan ringkasan dari Kitab al-Muharrar tersebut.
Asy-Syarhus Shagir : Buku ini merupakan syarah terhadap buku Imam al-Ghazali yang
berjudul al-Wajiz. Buku ini, sudah ditahkik oleh mahasiswa magister Jami’ah al-
Jinan al-Lubnaniyyah, hanya saja sampai saat ini belum dicetak.
Asy-Syarh Al-Kabir atau Al-Aziz Syarh al-Wajiz : Buku ini merupakan buku terpenting
dan terbesar dari karya Imam Rafi’i. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Wajiz
karya Imam al-Ghazali, dengan syarah yang sangat luas dan panjang. Buku ini
ditahkik oleh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad serta dicetak oleh
Darul Kutub al-Ilmiyyah pada tahun 1997.
Dalam penjabarannya, Imam Rafi’i dalam buku ini terlebih dahulu menjelaskan
persoalan, kemudian kaitannya dengan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat para
ashhabnya, kemudian diakhiri dengan pemilihan mana yang dipandang sebagai madzhab
Syafi’i.
b. Karya-karya Imam Nawawi
Imam Nawawi menulis banyak buku fiqih dalam Madzhab Asy-Syafi’i. Di antara buku-
bukunya yang sangat penting, adalah :
Minhajut Thalibin : Buku ini merupakan ringkasan dari buku Al-Muharrar karya Imam
Rafi’i. Buku Minhajut Thalibin ini dinilai buku yang sangat penting bahkan
terpenting di antara buku-buku periode pertama Madzhab Syafi’i.
Umumnya buku ini menjadi rujukan utama para ulama Asy-Syafi’iyyah dalam menetapkan
sebuah persoalan. Oleh karena itu, buku ini mempunyai syarah dan hawasyi yang
sangat banyak. Di antara syarah terhadap buku ini adalah :
- Mughnil Muhtaj karya Al-Khatib asy-Syarbini
- Al-Manhaj wa Syarhuhu karya Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari
- Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami
- Nihayatul Muhtaj karya Imam ar-Ramli.
Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftiyyin : Buku ini merupakan ringkasan dari buku
al-Aziz Syarh al-Wajiz karya Imam Rafi’i. Buku ini lebih tebal dari pada buku
Minhajut Thalibin di atas.
Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab : Buku ini merupakan buku terbesar dan terpenting dari
karya Imam Nawawi. Buku ini merupakan syarah dari buku Al-Muhadzab karya Abu Ishak
Asy-Syairazi (w 476) sekaligus sebagai buku syarah paling terkenal dan paling bagus
dari pada syarah-syarah al-Muhadzab lainnya. Buku ini sangat tebal terdiri tidak
kurang dari 30 jilid lebih.
Dalam buku ini Imam Nawawi bukan semata mengungkapkan pendapat madzhab Asy-
Syafi’iyah, akan tetapi juga membandingkannya dengan madzhab-madzhab lainnya yang
tentunya disertai dengan munaqasyah dan rad-rad (jawaban) tajam.
Hanya saja, Imam Nawawi meninggal sebelum beliau menyelesaikan buku Al-Majmu' ini.
Imam Nawawi menulis buku ini hanya sampai pada Bab Riba dari Kitab Al-Buyu’.
Kemudian Imam Taqiyuddin as-Subuki (w. 756) mencoba melengkapinya, namun juga
keburu meninggal. Beliau hanya dapat melengkapi sekitar tiga jilid saja.
Beberapa ulama lain yang melengkapi buku al-Majmu’ ini adalah Al-Allamah Isa bin
Yusuf Mannun (w 1376 H) dan Muhammad Najib al-Muthi’i (w 1406 H). Buku al-Majmu’
ini adalah buku terakhir Imam Nawawi.
Meski demikian, para ulama Asy-Syafi’iyah berikutnya dalam menetapkan sebuah
persoalan lebih banyak berpegang kepada Minhajut Thalibin dan Raudhatut Thalibin
dari pada kepada Al-Majmu’.
Hal ini barangkali di antaranya disebabkan bahwa kitab Al-Majmu’ ditulis bukan oleh
Imam Nawawi secara lengkap, akan tetapi juga ditulis oleh ulama-ulama lainnya
sebagaimana telah disebutkan di atas.
Syarah Shahih Muslim : Imam Nawawi juga mensyarah kitab Shahih Muslim dalam
karyanya berjudul Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hijaj. Buku ini dinilai
sebagai buku syarah terpenting dan terbaik juga lebih terkenal dari pada syarah-
syarah lainnya terhadap Shahih Muslim.
Buku ini dicetak beberapa kali cetakan dan oleh beberapa penerbit. Ada yang dicetak
oleh Dar Ihya at-Turats al-Arabi yang berikan nomor oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul
Baqi’, ditahkik oleh Syaikh Irfan Hasunah dan diberi kata pengantar oleh DR
Muhammad al-Mar’isyli.
3. Karya Ulama As-Syafi’iyyah Generasi Kedua
Dimaksudkan dengan karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua ini adalah
masa munculnya dua Imam besar yakni Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) dan Syamsuddin
Muhammad Ar-Ramli (w. 1004 H).
Besarnya sumbangsih kedua Imam ini terutama dengan syarah keduanya terhadap kitab
Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Berikut adalah karya kedua imam dimaksud,
Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi Al-Minhaj : Buku ini ditulis oleh Imam Ibn Hajar al-
Haitami sebagai syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Buku ini dicetak beberapa kali dan mempunyai dua hasyiyah yaitu Hasyiyah al-Allamah
Ahmad bin Qasim al-Ubady (w 994 H) dan Hasyiyah al-Allamah Abdul Hamid asy-
Syarwany. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dengan
muhaqiq Syaikh Muhammad Abdul Aziz al-Khalidy—dan tahkikan beliau hemat penulis
lebih bagus dan lebih lengkap.
Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj : Buku ini juga merupakan syarah dari buku
Minhajut Thalibin Imam Nawawi yang ditulis oleh Imam Syamsud Din ar-Ramly.
Buku ini juga dicetak beberapa kali serta mempunyai dua hasyiyah yakni Hasyiyah al-
Allamah Nurud Din Ali bin Ali asy-Syibramalisi (w 1087 H) dan Hasyiyah al-Allamah
Ahmad Abdur Razaq yang dikenal dengan sebutan al-Maghriby ar-Rasyidy (w 1096 H)
Baik buku Tuhfatul Muhtaj maupun Nihayatul Muhtaj merupakan dua buah buku yang
banyak dijadikan pegangan oleh ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan hukum sebuah
persoalan atau dalam berfatwa setelah masa Imam Nawawi.
Apabila ada persoalan yang tidak dibahas di kedua kitab itu, maka acuan diambil
dari karya-karya Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari (w 926 H), khususnya kitab al-
Manhaj yakni buku ringkasan dari Kitab Minhajut Thalibin dan buku al-Ghurar al-
Bahiyyah fi Syarh Mandhumatil Buhjah al-Wardiyyah—kedua buku tersebut telah
dicetak.
Kemudian setelahnya adalah kitab Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadhzil
Minhaj karya Al-Khatib asy-Syarbini (w 977) yang juga merupakan syarah terhadap
kitab Minhajut Thalibin. Buku ini juga dicetak dan sangat terkenal di kalangan
madzhab Syafi’i, termasuk dijadikan referensi utama di lingkungan Universitas al-
Azhar fakultas Syariah Islamiyyah.
Setelah buku Mughnil Muhtaj, maraji’ fiqh Syafi’i berikutnya adalah buku-buku
hasyiyah (hasyiyah adalah syarah dari buku syarah) misalnya hawasyi yang telah
disebutkan di atas, juga hasyiyah Qalyuby Umairah karya Syaikh Syihabuddin al-
Qalyubi dan Syaikh Umairah yang merupakan syarah dari syarah Imam Jalaluddin al-
Mahally terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dengan Imam
Syamsuddin ar-Ramli, ada perbedaan prioritas antara ulama Mesir dengan ulama Hijaj.
Menurut ulama Mesir, maka pendapat Ar-Ramli yang harus didahulukan khususnya apa
yang tertera dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj. Hal ini karena buku tersebut telah
disodorkan, dibaca, diminta kritik serta dibetulkan oleh pengarangnya sendiri
kepada 400 ulama. Sehingga dengan demikian, keabsahan buku tersebut dapat dikatakan
mutawatir dan karenanya harus lebih didahulukan dari pada yang lainnya.
Sedangkan menurut ulama Hijaj, Hadramaut, Syam, Yaman, bahwa yang harus diambil
manakala terjadi pertentangan antara Ar-Ramli dengan Al-Haitami adalah pendapat Ibn
Hajar al-Haitami khususnya yang tercantum dalam bukunya Tuhfatul Muhtaj. Hal ini
dikarenakan buku tersebut mencakup juga nushush dari Imam al-Haramain al-Juwaini.
Kedua kitab di atas dipandang telah mencukupi sebagai pegangan dalam madzab
syafi’i. Ada dua alasan penting:
1. Banyak para ulama Syafi’iyyah setelah masa Imam Ar-Ramli yang memuji dengan
sangat kehebatan dan keunggulan dua buah buku tersebut yakni at-Tuhfah dan an-
Nihayah. Sehingga para ulama Syafi’iyyah menjadikannya sebagai pegangan utama
ketika mereka berfatwa.
Salah satunya adalah al-Alamah Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi asy-Syafi’i (w 1194
H) dalam bukunya berjudul al-Fawaid al-Madaniyyah Fiman Yufta Biqaulihi Min Aimmah
asy-Syafi’iyyah sebagaimana dikutip dalam buku at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-
Syafi’i karya Imam al-Baghawi (I/50-51).
2. Kedua Imam Ibn Hajar al-Haitami dan Syamsud Din ar-Ramli dalam kitabnya at-
Tuhfah dan an-Nihayah, ketika membahas masalah-masalah fiqh, seringkali menyebut
perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Disamping karena usaha dan
kejuhudan keduanya dalam menggali gagasan-gagasan dan pemikiran fiqh Imam Nawawi
dan Rafi’i tidak diragukan lagi.
Namun tentu saja tetap lebih baik jika mengkaji pula kitab-kitab Imam Nawawi dan
Imam Rafi’i.
4. Karya-karya Fiqih Perbandingan
Buku-buku yang membandingkan juga mengkritik dan mentarjih buku-buku fiqh madzhab
lainnya, pada masa lalu disebut dengan buku yang berbicara tentang ilmul khilaf
atau dalam istilah sekarang, Al-Fiqh Al-Muqaran, fiqih perbandingan.
Kelebihan kitab ini adalah adanya perbandingan dengan madzab-madzab lain. Berikut
ini buku-buku fiqh Muqaran yang ditulis oleh ulama madzhab Syafi’i,
Al-Hawi al-Kabir : Buku ini ditulis oleh al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-
Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar al-Muzani karya Imam
Muzani. Buku ini merupakan syarah al-Mukhtashar yang sangat panjang.
Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Imam Asy-Syafi’i, juga pendapat ashshab
Imam Syafi’i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya
semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah.
Buku ini pertama kali dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut tahun 1994 dalam
18 jilid besar dengan muhakkik Ali Muhammad Mu’awwad dan Adil Ahmad Abdul Maujud.
Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab : Kitab ini sudah dibahas di atas, juga termasuk fiqih
perbandingan yang lengkap.
Hilyatul Ulama fi Ma’rifati Madzahib al-Fuqaha : Buku ini ditulis oleh Imam Saifud
Din Abu Bakar Muhammad bin Ahmad asy-Syasyi al-Qaffal (w 507 H). Buku ini bukan
merupakan syarah atau ringkasan dari buku-buku sebelumnya.
Buku ini dicetak oleh Maktabah ar-Risalah Amman pada tahun (cetakan pertama) 1988
yang terdiri dari delapan jilid besar-besar.
5. Kitab Dengan Tematis
Buku-buku ini adalah buku-buku madzhab Syafi’i akan tetapi hanya membahas tema-tema
tertentu dan terbatas. Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku bermadzhab
Syafi’i yang membahas tema-tema tertentu.
Al-Ahkam as-Sulthaniyyah wal Wilayat ad-Diniyyah : Buku ini dikarang oleh Imam Ali
bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi (w 450 H). Buku ini merupakan buku madzhab Asy-
Syafi’iyah paling popular yang berbicara tentang siyasah syar’iyyah. Dalam
menyajikan persoalannya, Imam Mawardi dalam buku ini mencoba mengetengahkan dengan
model perbandingan (muqaranah).
Buku ini terdiri dari dua puluh bab, di antaranya menjelaskan tentang hokum
khilafah, wizarah, wilayah al-madhalim, qadha, hokum-hukum yang berkaitan dengan
fai, jizyah, kharaj dan lainnya.
Giyas al-Umam fit Tiyas adh-Dhulam : Buku ini sering disingkat dengan nama Al-
Giyasi. Dikarang oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) yang dipersembahkan
untuk salah seorang menteri saat itu yang bergelar Giyas ad-Daulah Nidham al-Mulk
(w 485 H).
Buku ini hampir sama dengan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Imam Mawardi dari
segi tema-tema yang dibahasnya, hanya saja buku ini lebih menekankan pada
pembahasan teori-teori khilafah Islamiyyah dan kejadian-kejadian masa silam.
Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit, di antaranya pernah dicetak
oleh Kuliyyah Syari’ah Jami’ah Qatar.
Adabul Qadha' : Buku ini seringkali disebut juga dengan nama Ad-Durar Al-Munadhamat
fil Aqdiyyah wal Hukumat. Ditulis oleh sejarawan ternama al-Qadhi Syihabuddin
Ibrahim bin Abdullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abid Dam al-Hamawi
(w 642 H).
Buku ini merupakan buku terpenting dalam madzhab Syafi’i yang berbicara tentang
hokum-hukum yang berkaitan dengan dakwaan, bukti, saksi atau yang sering kita kenal
sekarang dengan Ilmu Beracara di pengadilan.
Buku ini pernah ditahkik oleh DR. Muhyiud Din Hilal Sarhan al-Iraqi untuk mengambil
gelar duktur di Universitas al-Azhar fakultas Syari’ah dan dicetak di Beirut dalam
dua jilid lumayan tebal.
Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Fara’id : Buku ini ditulis oleh
Syaikhul Islam Zakaria bin Muhammad al-Anshari (w 926 H). Buku ini sesuai dengan
namanya merupakan buku yang berbicara tentang hukum warits Islam bermadzhab
Syafi’i. Buku ini dicetak oleh Dar Ibn Khuzaemah Riyad, tahun 1420 H
6. Kitab Yang Tidak Termasuk Dari Semuanya
Buku-buku ini adalah buku-buku bermadzhab Syafi’i juga, hanya saja bukan termasuk
atau berkaitan dengan karya-karya Imam Nawawi, Imam Rafi’i atau Imam al-Haitami dan
Imam ar-Ramli, juga bukan buku-buku tentang ilmul khilaf.
Buku-buku ini sama dipandang penting, hanya tidak sepenting buku-buku sebelumnya.
Buku-buku yang termasuk kelompok ini dibagi kepada dua bagian, yakni buku-buku yang
dikarang sebelum karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua dan setelah generasi
kedua.
Pertama, buku-buku yang dikarang sebelum masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua
(sekitar setelah wafatnya Imam Syafi’i sampai abad ke-10 Hijriyyah) adalah:
1. Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i. Buku ini dikarang oleh Imam Abu Ishak
asy-Syairazi (w 476 H). Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit yang
salah satunya dicetak oleh Darul Qalam Damaskus sebanyak enam jilid tebal-tebal dan
ditahkik oleh Muhammad az-Zuhaili.
2. Al-Wasith fil Madzhab. Buku ini ditulis oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w 505 H)
yang merupakan ringkasan dari bukunya yang berjudul al-Basith dan al-Basith ini
juga merupakan ringkasan dari buku karya Imam al-Haramain al-Juwaini yang berjudul
Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Buku ini juga telah dicetak beberapa kali
di antaranya oleh Wizaratul Auqaf was Syu’un al-Islamiyyah, Qatar pada tahun 1993
yang ditahkik oleh DR Ali Muhyiyud Din al-Qurrah Dagi.
Kedua buku ini yakni al-Muhadzab dan al-Wasith sempat dijadikan buku terpenting
yang menjadi rujukan para fuqaha Syafi’iyyah dalam memberikan fatwa sebelum
munculnya karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Setelah muncul dua imam
tersebut, perhatian beralih kepada karya-karya keduanya, karena dipandang lebih
lengkap dan lebih mendalam.
3. Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini juga dikarang oleh Imam Ghazali
sebagai ikhtishar atas buku sebelumnya yakni al-Wasith. Buku ini telah dicetak oleh
Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud
dan Ali Muhammad Mu’awwad.
4. At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini ditulis oleh Imam Abu Muhammad
al-Husain bin Mas’ud al-Bagawi (w 516 H). Buku ini dicetak oleh Darul Kutub
Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 yang terdiri dari delapan jilid besar dengan
muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.
5. Ajalatul Muhtaj Ila Taujih al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Sirajuddin Abu
Hafsh Umar bin Ali yang dikenal dengan samaran Ibn al-Mulaqqan (w 804 H). Buku ini
juga merupakan syarah Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan dicetak oleh Darul
Kitab Jordan dalam empat jilid besar dengan muhakkik Ustadz Izzud Din Hisyam bin
Abdul Karim al-Badrany pada tahun 2001.
6. Kanzur Ragibin fi Syarh Minhajut Thalibin. Buku ini ditulis oleh Imam Jalaluddin
Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (w 864 H). Buku ini terkenal dengan nama Syarah al-
Muhalla ‘Alal Minhaj.
Buku ini juga dinilai sebagai salah satu buku terpenting dalam syarah terhadap
kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan senantiasa dijadikan rujukan oleh
para ulama Syafi’iyyah sebelum datangnya dua buah syarah, Tuhfatul Muhtaj dan
Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Haitami dan ar-Ramli.
Begitu datang dua syarah tersebut, buku Syarah al-Muhalla kemudian ditinggalkan dan
berpaling kepada dua syarah karya ar-Ramli dan al-Haitami.
Buku Syarah al-Muhalla ini menjadi muqarrar pada mata kuliah fiqh di Universitas
al-Azhar asy-Syarif sampai saat ini. Buku ini mempunyai dua hasyiyah, yang pertama
Hasyiyah Syihabuddin Ahmad al-Burullusy yang mempunyai nama panggilan Umairah (w
957 H) dan Hasyiyah Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi (w 1069 H).
Keduanya terkenal dengan sebutan Hasyiyatai al-Qalyubi wa Umairah. Buku ini
beberapa kali dicetak dan yang penulis pandang lebih bagus adalah yang ditahkik
oleh Syaikh Abdul Latif Abdur Rahman cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam
lima jilid besar-besar. Dicetak pertama kali pada tahun 1997.
Kedua, buku-buku yang ditulis setelah masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua (dari
tahun 1004 H-1335 H). Buku-buku yang termasuk kelompok ini adalah:
1. Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab. Buku ini ditulis oleh al-
Allamah Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ujaili yang terkenal dengan sebutan al-
Jamal (w 1204 H). Buku ini merupakan syarah dari kitab Syarah Manhajut Thulab.
Dan kitab Manhajut Thulab ini merupakan ringkasan dari buku Minhajut Thalibin karya
Imam Nawawi. Baik kitab Manhaj at-Thulab maupun Syarahnya, keduanya ditulis oleh
Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H).
Jadi, kitab Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab ini merupakan buku
Hasyiyah atas kitab Syarh al-Manhaj. Buku Futuhat al-Wahab lebih dikenal dengan
sebutan Hasyiyah al-Jamal.
Buku ini dicetak berulang-ulang, dan yang paling baik, menurut penulis, adalah yang
ditahkik oleh Syaikh Abdur Razaq Galib al-Mahdi yang dicetak oleh Darul Kutub al-
Ilmiyyah Beirut dalam delapan jilid tebal. Dicetak pertama kali pada tahun 1996.
2. Hasyiyah asy-Syarqawi. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Abdullah bin Hijazi bin
Ibrahim asy-Syarqawi (w 1226 H) yang merupakan syarah dari kitab Tuhfatut Thullab
bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab. Buku ini lebih dikenal dengan Hasyiyah asy-
Syarqawi ‘ala Syarh at-Tahrir.
Buku Tahrir Tanqih al-Lubab merupakan ringkasan dari fiqh Syafi’i dan kemudian buku
tersebut disyarah dengan nama Tuhfatut Thulab. Baik buku Tahrir Tanqih al-Lubab
maupun buku Tuhfatut Thulab, keduanya merupakan karya Syaikhul Islam Zakaria al-
Anshari.
Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997
dengan muhakkik Syaikh Mushtafa bin Hanafi ad-Dzahabi dalam empat jilid besar.
3. I’anatut Thalibin. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Utsman bin Muhammad Syatha
ad-Dimyathi al-Bikry (wafat pada abad ke 14 Hijriyyah, tidak diketahui tahun
kewafatannya).
Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in yang merupakan
syarah dari Kitab Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din.
Buku Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din merupakan ringkasan dari Fiqh Syafi’i . Syarah
dari buku Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din adalah Fathul Mu’in, dan keduanya
merupakan karya al-Allamah Zainuddin al-Mullibary (w 987 H).
Buku I’anatut Thalibin dicetak beberapa kali dan salah satunya dicetak oleh Darul
Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1995 dalam empat jilid besar.
4. Tarsyih al-Mustafiidiin. Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah ringkas yang
ditulis oleh al-Allamah Alawy bin Ahmad bin Abdur Rahman as-Saqqaf al- Makky (w
1335 H).
Buku ini merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in karya al-Mullibary—
penjelasan mengenai buku Fathul Mu’in ini lihat di nomor tiga. Buku ini dicetak
oleh Maktabah al-Ghazali Damaskus dalam satu jilid.
7. Karya-karya Akhir Zaman
Pada bagian ini, kita akan berbicara tentang buku-buku yang ditulis seputar fiqh
Syafi’i yang berkisar antara tahun 1335 H sampai sekarang 1426 H. Buku-buku yang
berbicara tentang madzhab Syafi’i pada abad belakangan ini akan penulis kemukakan,
tentunya sepengetahuan penulis yang sangat sederhana.
Namun sebelumnya, perlu penulis kemukakan, bahwa buku-buku fiqh Syafi’i yang
ditulis belakangan ini mempunyai dua kelebihan: Pertama, bahasa dan susunanya mudah
dipahami, jelas dan padat berisi tidak bertele-tele. Kedua, bahasan dan persoalan
yang dikemukakan betul-betul yang terjadi saat ini, bukan sesuatu yang tidak
terjadi lagi. Misalnya tidak adanya bahasan tentang perbudakan dan atau yang
sejenisnya.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku yang termasuk kelompok terakhir, abad
belakangan, masa kini, di antaranya:
a. Zadul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj
Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Hasan Ali Hasan al-Kuhaji (w 1400 H) dan
merupakan syarah dari kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi yang dalam
penyusunannya berpegang kepada kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani Alfadh al-
Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H).
Buku ini terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh al-Maktabah al-Ashriyyah Beirut
dengan muhakkik Ustadz Abdullah al-Anshari.
b. Al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i
Buku ini ditulis oleh tiga ulama besar Damaskus masa kini yaitu oleh DR. Mustafa
Sa’id al-Khinn, DR. Mushtafa Dibul Bugha, dan Syaikh Ali asy-Syarbiji.
Buku ini selesai ditulis pada tahun 1978 M, dan dicetak beberapa kali di antaranya
oleh Darul Qalam Damasykus pada tahun 1998 (cetakan ketiga) dan terdiri dari tiga
jilid.
c. Ad-Durar an-Naqiyyah fi Fiqh as-Sadah asy-Syafi’iyyah.
Buku ini ditulis oleh Syaikh Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, salah seorang pengawas
umum al-Azhar asy-Syarif Mesir.
Buku ini ditulis untuk dijadikan muqarrar bagi siswa tingkat Aliyah di Ma’had-
ma’had al-Azhar. Buku ini teleh dicetak beberapa kali di antaranya oleh al-Maktabah
al-Azhariyyah lit Turats pada tahun 1997 yang terdiri dari empat jilid ukuran
kecil.
d. Taisir Fathil Qarib
Judul lengkap kitab ini adalah Taisir Fathil Qarib al-Mujib lit Thalib al-Azhary
an-Najib fi Shurah Sail wa Mujib. Buku ini ditulis oleh dua ulama kenamaan Mesir
saat ini, yakni oleh DR. Nashr Farid Muhammad Washil, mantan mufti Jumhuriyyah
Mesir sebelum Prof. DR. Ahmad Thayyib juga ketua jurusan Fiqh Islam Universitas al-
Azhar dan DR. Abdul Hamid as-Sayyid Muhammad Abdul Hamid, dekan Ma’had I’dad ad-
Du’ah di propinsi Qana, Mesir.
Buku ini ditulis juga untuk dijadikan muqarrar bagi siswa siswi Tsanawiyyah
(menengah) di seluruh ma’had al-Azhar. Buku ini dicetak oleh al-Maktabah al-
Azhariyyah lit Turats, Kairo pada tahun 1996 yang terdiri dari tiga jilid kecil.
G. Istilah-Istilah Dalam Madzhab Asy-Syafi’iyah
Para ulama Syafi’iyyah dalam buku-bukunya seringkali menggunakan beberapa istilah
khusus. Terkadang ada beberapa istilah dalam satu buku madzhab Syafi’i yang makna
dan maksudnya berbeda dengan apa yang ada dalam buku lain.
Untuk mengetahui makna dari istilah-istilah dimaksud, anda dapat membacanya pada
pendahuluan atau lembar-lembar awalnya. Biasanya di sana terdapat petunjuk praktis
untuk hal tersebut. Penjelasan istilah-istialah di awal ini, misalnya anda dapat
temukan dalam buku al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi.
Berikut ini adalah istilah-istilah yang digunakan hampir dalam semua buku fiqh
Syafi’iyyah yang mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Di antara istilah-
istialah dimaksud adalah:
1. Al-Aqwal
Apabila kita mendapatkan kata al-qaul atau al-aqwal dalam buku-buku Syafi’iyyah,
maka maksudnya adalah perkataan atau hasil ijtihad Imam Syafi’i, baik dalam qaul
qadimnya maupun qaul jadidnya.
2. Al-Qaul al-Qadim
Al-Qaul al-Qadim maksudnya adalah pedapat Imam Syafi’i sebelum pindah ke Mesir baik
berupa karya maupun fatwa. Di antara para periwayat qaul qadim ini adalah Imam az-
Za’farany, al-Karabisy dan Abu Tsaur. Jadi apabila kita mendapatkan pendapat Imam
Syafi’i dari riwayat mereka, maka itu adalah pendapat lama Imam Syafi’i (qaul
qadim).
3. Al-Qaul al-Jadid
Al-Qaul al-Jadid adalah pendapat Imam Syafi’i ketika di Mesir, baik berupa karya
buku maupun fatwa. Murid-murid Imam Syafi’i yang seringkali meriwayatkan qaul
jadidnya ini di antaranya adalah: al-Buwaithi, al-Muzani dan ar-Rabi’ al-Muradi.
4. Al-Wujuh atau al-Aujuh
Al-Wujuh atau al-Aujuh maksudnya adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah berdasarkan
kaidah-kaidah dan ushul Imam Syafi’i . Menurut Imam Nawawi, bahwa al-aujuh ini
tidak dapat dinisbahkan kepada Imam Syafi’i , lantaran ia hanya pendapat ulama
Syafi’i yyah saja.
5. At-Thuruq
At-Thuruq adalah istilah untuk perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyyah dalam
meriwayatkan madzhabnya. Misalnya, apabila dalam satu masalah, menurut satu ulama
Syafi’iyyah, dalam masalah ini ada dua pendapat, sementara menurut ulama yang lain,
hanya ada satu pendapat, menurut yang lainnya ada beberapa aujuh dan lainnya, maka
perbedaan tersebut disebut dengan ath-thuruq.
6. Al-Adhhar
Al-Adhhar adalah pendapat yang paling rajih dari dua atau beberapa pendapat Imam
Syafi’i .Jadi al-adhhar digunakan manakala ada dua atau beberapa pendapat Imam
Syafi’i yang sama-sama kuatnya dari segi kekuatan dalilnya, akan tetapi salah
satunya dapat ditarjih sehingga dipandang sebagai lebih kuat dari yang lainnya.
Pendapat Imam Syafi’i yang dipandang lebih kuat ini disebut dengan al-adzhar,
sedangkan pendapat sebaliknya yang tidak kuat disebut dengan ad-dhahir.
7. Al-Masyhur
Al-Masyhur adalah apabila terjadi perbedaan antara dua pendapat atau lebih dari
Imam Syafi’i, hanya saja perbedaan pendapatnya ini tidak kuat, lemah, karena dari
segi kekuatan dalilnya kurang memenuhi misalnya, lalu dari beberapa pendapat
tersebut ada yang dipandang lebih kuat, maka yang lebih kuat, rajihnya ini disebut
dengan al-masyhur. Sebaliknya, pendapat yang tidak kuatnya disebut dengan al-
gharib.
8. Al-Ashah
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah
(al-aujuh), dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi
dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah.
Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.
9. Ash-Shahih
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’i
yyah (al-aujuh), namun kedua pendapat tersebut lemah dari segi kekuatan dalilnya,
maka pendapat yang dipandang paling rajih disebut dengan ash-shahih, sementara
sebaliknya, pendapat yang lemahnya disebut dengan adh-dha’if atau al-fasid.
10. Al-Madzhab
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama Syafi’iyyah dalam meriwayatkan
madzhab Syafi’i (ath-thuruq), namun salah satunya dipandang sebagai yang lebih
kuat, maka yang dipandang lebih kuat tersebut disebut dengan al-madzhab.
11. Al-Asybah
Apabila dalam satu masalah ada dua hokum yang didasarkan kepada Qiyas, akan tetapi
salah satunya illatnya lebih kuat dari pada yang lain, maka yang lebih kuat
illatnya ini disebut dengan al-asybah.
12. An-Nash
adalah pendapat yang diambil langsung dari buku-buku karya Imam Syafi’i. Kebalikan
dari an-nash adalah al-mukharraj. Al-Mukharraj adalah pendapat yang bukan dari Imam
Syafi’i akan tetapi dari ulama Syafi’iyyah.
13. Al-Ashhab
adalah para fuqaha Syafi’iyyah yang ilmunya sangat dalam dan luas sehingga mereka
dapat beristinbath sendiri dalam hukum-hukum fiqih namun tetap berpegang kepada
ushul Imam Syafi’i .
H. Ulama Mazhab Syafi'i
1. Al-Buwaithi
2. Al-Muzani
3. Al-Muradi
4. Harmalah
5. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam
I. Negeri Bermazhab Syafi'i
Sebelum Al-Imam Asy-Syafi’i datang ke Mesir, pada umumnya saat itu penduduk Mesir
mengikuti mazhab Hanafi dan mazhab Maliki.
Kemudian setelah beliau membukukan kitabnya (qaul jadid), ia mengajarkannya di
Masjid `Amr ibn `Ash. Maka mulai berkembanglah pemikiran mazhabnya di Mesir,
apalagi di kala itu yang menerima pelajaran darinya banyak dari kalangan ula¬ma,
seperti Muhamad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam, Ismail ibn Yahya, al-Buwaithiy, al-
Rabi’, Al-Jiziy, Asyhab ibn al-Qasim da ibn Mawaz.
Mereka adalah ulama yang berpengaruh di Me¬sir. Inilah yang mengawali tersiarnya
mazhab Syafi'i sampai ke seluruh pelosok.
Penyebaran mazhab Syafi'i ini antara lain di Irak, lalu berkembang dan tersiar ke
Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-daerah Afrika dan
Andalusia sesudah tahun 300 H.
Kemudian mazhab Syafi'i ini tersiar dan berkembang, bukan hanya di Afrika, tetapi
ke seluruh pelosok negara-negara Islam, baik di Barat, maupun di Timur, yang
diba¬wa oleh para muridnya dan .pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri
lain, termasuk ke Indonesia.
Kalau kita melihat praktik ibadah dan mu'amalah ummat Islam di Indonesia, pada
umumnya mengikuti mazhab Syafi`i. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor:
• Setelah adanya hubungan Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum Muslimin
Indonesia yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di sana dengan maksud
belajar ilmu agama. Guru-guru mereka adalah ulama-¬ulama yang bermazhab Syafi'i dan
setelah kembali ke Indonesia, mereka menyebarkannya.
• Hijrahnya kaum Muslimin dari Hadhramaut ke Indo¬nesia adalah merupakan sebab
yang penting pula bagi tersiarnya mazhab Syafi'i di Indonesia. Ulama dari
Hadh¬ramaut adalah bermazhab Syafi'i.
• Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia, selama zaman Islam mengesahkan dan
menetapkan mazhab Syafi'i menjadi haluan hukum di Indonesia.
• Keadaan ini diakui pula oleh pemerintah Hindia Belanda, terbukti pada masa-
masa akhir dari kekuasaan Belanda di Indonesia, kantor-kantor kepenghuluan dan
Pengadilan Agama, hanya mempunyai kitab-kitab fiqh Syafi'iyyah, seperti Kitab al-
Tuhfah, al-Majmu`, al-Umm dan lain-lain.
Para pegawai jawatan dahulu, hanya terdiri dari ulama ` mazhab Syafi'i, karena
belum ada yang lainnya.

Bab 12 : Mazhab Al-Hanabilah


A. Pendiri
1. Nama dan Kelahiran
Lengkapnya bernama Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani (164 – 241 H). Beliau adalah
pendiri mazhab Hanbali. Sering disapa dengan Abu Abdillah. Beliau dilahirkan di
Baghdad pada tahun 164 hijriyah dan tumbuh besar disana.
2. Berguru dan Belajar ke Manca Negara
Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti
Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman dan juga negeri Syam. Kalau dihitung-hitung
maka jumlah gurunya sangat hingga mencapai ratusan.
Namun guru yang paling utama dan terbesar adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Al-Imam Ahmad pertama kali bertemu dengan gurunya itu di Mekkah pada tahun 187
hijriyah. Kemudian ketika sang guru, Al-Imam Asy-Syafi'i tinggal di Baghdad pada
tahun 195 hijriyah, Al-Imam Ahmad pun semakin berkonstrasi mendalami hampir semua
ilmu yang diajarkan Asy-Syafi'i.
Yang paling utama beliau pelajari dari Al-Imam Asy-Syafi'i adalah Ilmu Fiqih, ilmu
ushul fiqih dan juga tentunya ilmu hadits. Selain itu dari Asy-Syafi'i pula Al-Imam
Ahmad mengerti tentang ilmu nasikh dan mansukh. Komentar beliau atas gurunya yang
amat masyhur antara lain :
‫كان أفقه الناس في كتاب الله وسنة رسوله‬
Beliau (Al-Imam Asy-Syafi'i) adalah orang paling mengerti kitabullah dan sunnah
rasul-Nya.
‫مس بيده محبرة وقل َما ً إال وللشافعي في عنقه من َّة‬
َ ّ ‫مامن أحد‬
Tidaklah ada seseorang yang memegang tinta dan pena, kecuali dia telah berhutang
kepada Al-Imam Asy-Syafi'i.
Sehingga akhirnya beliau menjadi ulama paling pandai di Baghdad sepeninggal sang
guru yang pindah ke Mesir. Imam Syafi’i berkata ketika melakukan perjalanan ke
Mesir :
‫خرجت من بغداد وما خلفت بها أتقى وال أفقه عن ابن حنبل‬
Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan disana orang yang paling
bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal (Imam Ahmad).
3. Menjadi Imam Muhaddits
Al-Imam Ahmad sangat menonjol dalam ilmu hadis dan menghafal begitu banyak hadits.
Sehingga beliau dianggap sebagai imamul muhadditsin di jamannya. Imam Ahmad adalah
seorang pakar hadis dan fiqih. Selain kepada Asy-Syafi'i, Beliau juga dengan
berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al Bukhari (104 – 183 H).
Ibrahim Al Harbi berkata tentangnya,”Saya melihat Ahmad seakan Allah menghimpun
baginya ilmu orang-orang terdahulu dan orang belakangan,”
Bahkan ada sebagian kalangan yang menggolongkan beliau bukan sebagai ahli fiqih,
melainkan sebagai ahli hadits saja. Alasannya karena beliau memang tidak menulis
kitab fiqih secara khusus sebagaimana Al-Imam Asy-Syafi'i. Yang kita dapati beliau
malah menyusun kitab hadis yang bernama Al-Musnad.
Namun yang rajih bahwa beliau adalah juga ahli fiqih. Salah satunya dasarnya adalah
pengakuan Al-Imam Asy-Syafi'i di atas bahwa beliau orang paling taqwa dan paling
faqih.
4. Kondisi Politik di Baghdad Masa Imam Ahmad
Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengalami hidup di zaman beberapa khalifah Bani Abbasiyah,
antara lain masa khalifah Al-Makmum, Al-Mu’tasim billah dan Al-Watsiq.
Di masa itu ada kekuatan politik yang memaksa para ulama tunduk kepada paham aqidah
sesat para penguasa. Mereka yang tidak mau mendukung penguasa mendapatkan hukuman
dan sika. Dan Al-Imam Ahmad termasuk mereka yang ikut merasakan ujian siksaan dan
penjara karena mempertahankan kebenaran tentang Al-Quran bukan makhluk.
B. Ushul Mazhab dan Banyak Ikhtilaf
1. Ushul Mazhab
Secara umum, dasar-dasar mazhab yang dibangun oleh Al-Imam Ahmad sangat berdekatan
dengan mazhab mazhab Asy-Syafi’iyah. Dan hal itu wajar, karena pada dasarnya Al-
Imam Ahmad memang murid langsung Al-Imam Asy-Syafi’i, dan awalnya memang bermazhab
dengan mazhab sang guru.
Namun kemudian setelah menjadi mujtahid mutlak mustaqil, maka jadilah apa yang
diajarkan beliau berbeda dengan mazhab gurunya. Apalagi setelah sang guru kemudian
merevisi mazhabnya dan berevolusi menjadi mazhab baru, yaitu qaul jadid, yang
berbeda dengan qaul qadim.
Selain empat landasan utama yang telah disepakati, yaitu
 Al-Quran
 As-Sunnah
 Ijma’
 Qiyas
Selain empat yang disepakat di atas, mazhab Al-Hanabilah menggunakan beberapa
sumber ushul fiqih, yaitu
 Qaul shahabi
 Al-Istishab
 Mashalih Al-Mursalah
 Adz-dzariah.
2. Banyak Ikhtilaf
Salah satu yang unik dalam mazhab Al-Hanabilah adalah ditemukannya perbedaan dan
kontradiksi agak banyak. Maksudnya di satu riwayat disebutkan bahwa beliau
berpendapat A, namun pada riwayat yang lain kita beliau bilang B, C dan seterusnya.
Mengapa hal itu bisa trejadi?
Boleh jadi salah satunya karena Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang
fiqihnya. Sehingga tidak ada satu kitab yang bisa dijadikan rujukan bresama oleh
para murid dan pengikutnya.
Yang ada hanya riwayat dari para murid dan pengikutnya yang kemudian dibukukan.
Sehingga mazhab Al-Hanabilah ini tidak kita dapat kecuali dari penyusunan puzzle
atas beberapa remah-remah pentunjuk riwayat yang berserakan.
Khilafiyah terjadi di level para murid yang berbeda-beda dalam meriwayatkan
pendapat Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Maka salah satu ciri mazhab itu seringkaki
terjadi perbedaan riwayat dari mazhab Al-Hanabilah.
C. Pendapat Khas Mazhab Al-Hanabilah
Berikut ini pendapat mazhab Al-Hanabilah yang khas masyhur di kalangan
pendukungnya.
1. Kencing dan Kotoran Hewan Tidak Najis
Landasannya adalah bahwa dahulu Rasulullah SAW pernah shalat di bekas kandang
kambing.
‫ِى‬ َ ‫ ك‬ ‫المسجِ ُد ِفى َم َراب ِِض ال َغن َ ِم‬
ُّ ‫َان النَّب‬ ‫يُ َصلِ ّى ق َ َأ‬
َ ‫َبل ن يُبنَى‬
Dulu, sebelum dibangun Masjid Nabawi, Nabi SAW mendirikan shalat di kandang
kambing. (HR. Bukhari Muslim)
Selain itu juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengizinkan seorang shahabatnya
minum air kencing unta sebagai obat untuk penyembuhan.
ُّ ‫الم ِدين َ َة َفَأ َم َر ُه ُم النَّب‬ ُ ‫كل َأو‬ ‫ُأ‬ ‫َأ‬ َ ‫شربُوا ِمن َأ‬ ‫ِبلِقَ ٍ َأ‬
‫ِى‬ َ ‫ع َرين َ َة فَاجتَ َو ُوا‬ ٍ ‫ع‬ ٌ َ ‫ َق ِد َم ن‬ ‫ متفق عليه‬.‫بوالِ َها َو لبَا ِن َها‬
ُ ‫اس ِمن‬ َ َ ‫اح َو ن ي‬
Beberapa orang dari kabilah 'Ukel dan Urainah singgah di kota Madinah. Tidak berapa
lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca
Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi SAW memerintahkan mereka untuk
mendatangi unta-unta milik Nabi yang digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum
dari air kencing dan susu unta-unta tersebut. (HR. Bukhari Muslim)
2. Batalnya wudhu Bila Makan Daging Unta
Berbeda dengan apa yang disepakati oleh jumhur ulama, mazhab Al-Hanabilah
berpandangan bahwa memakan daging unta membatalkan wudhu'. Hal senada juga terdapat
dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah yang lama (qadim). Namun Al-Imam Asy-Syafi'i
kemudian mengoreksi pendapatnya dan mengatakan tidak membatalkan.
Dan termasuk mereka yang berpendapat seperti ini dari kalangan shahabat Nabi SAW
adalah Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, Abi Musa, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Aisyah dan
lainnya radhiyallahuanhum ajmain.
Yang berpendapat seperti di atas dari kalangan tabi'in antara lain Muhammad bin
Ishaq, Abu Tsaur, Al-Khaitsamah, serta Ibnu Khuzaimah dan juga Ibnul Mundzir.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan lewat Jabir bin Samurah
radhiyallahuanhu :
: ‫قَال‬. ‫ضَأ‬ َّ ‫ئت َفال َ تَ َو‬ َ ‫ضأ َوِإ ن ِش‬ َ ‫ ِإ ن ِش‬: ‫ضُأ ِمن ل ُُحو ِم ال َغن َ ِم ؟ قَال‬
َ ّ ‫ئت َفتَ َو‬ َ ّ ‫ َأَأتَ َو‬: ‫َيه َو َسل ّ َ َم‬
ِ ‫عل‬َ ‫َأ َّن َر ُجال ً َسَأل َر ُسول الل ّ َ ِه َصلَّى الل ّ َ ُه‬
‫ضأ ِمن ل ُُحو ِم اإلبِل‬ ‫و‬
َّ َ َ ‫ت‬ ‫ف‬
َ ‫م‬ ‫ع‬
ََ ‫ن‬ : ‫َال‬ ‫ق‬ ‫؟‬ ‫ِل‬
‫ب‬ ‫اإل‬ ‫م‬ ‫و‬
ِ ُ ‫ُح‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ُأ‬ ‫ض‬ ‫و‬
َّ َ َ ‫ت‬‫َأ‬
Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah aku harus
berwudhu karena makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Jika kamu mau maka
berwudhulah, dan jika kamu mau tidak perlu berwudhu.” Dia bertanya lagi, “Apakah
aku harus berwudhu disebabkan (makan) daging unta?” Beliau menjawab, “Ya.
Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta.” (HR. Muslim)
3. Pendapat Bahwa Istilahah Tidak Mensucikan Najis
Pendapat mazhab ini bahwa istilahah tidak bisa merubah sesuatu yang asalnya najis
menjadi suci. Alasannya karena sesuatu yang memang awalnya najis tidak berubah
status kenajisannya walaupun dengan istihaalah.
Ibnu Qudamah (620 H) dari kalangan Al-Hanabilah menuliskan dalam kitabnya Al-Mughni
sebagai berikut :
‫ وما عداه ال يطهر؛‬،‫ إذا انقلبت بنفسها خال‬،‫ إال الخمرة‬،‫ أنه ال يطهر شيء من النجاسات باالستحالة‬،‫ ظاهر المذهب‬:‫فصل‬
‫ والبخار‬،‫ والدخان المترقي من وقود النجاسة‬،‫ والخنزير إذا وقع في المالحة وصار ملحا‬،‫كالنجاسات إذا احترقت وصارت رمادا‬
‫ فهو نجس‬،‫المتصاعد من الماء النجس إذا اجتمعت منه نداوة على جسم صقيل ثم قطر‬.
"Dhahir (yang tampak –ed) dari al-Madzhab (yaitu madzhab Imam Ahmad) menyatakan
bahwa barang najis tidak bisa menjadi suci begitu saja dengan cara al-istihalah.
Kecuali, khamr yang berubah sendiri menjadi cuka. Adapun yang lainnya hukumnya
tetap najis, seperti benda-benda najis yang terbakar dan menjadi abu, begitu juga
babi jika jatuh di tempat pembuatan garam kemudian menjadi garam, dan asap yang
berasal dari bahan bakar najis, dan uap beterbangan yang berasal dari air najis,
jika berubah menjadi embun pada suatu benda kemudian menetes, maka hukumnya tetap
najis.
4. Hukum Istinja' Adalah Wajib
Ketika para ulama berbeda pendapat tentang hukum berintinaj' antara wajib dan
sunnah, maka mazhab Al-Hanabilah mewajibkan hukum istinja',
Ibnu Qudamah (620 H) dari kalangan Hanabilah menuliskan dalam kitabnya Al-Mughni
sebagai berikut
‫ واالستنجاء واجب‬:‫ وتقديره‬،‫ واالستنجاء لما خرج من السبيلين هذا فيه إضمار‬:‫ قال‬:‫ مسألة‬.
Permasalahan Istinja : dalam pembahasan Istinja (Mensucikan) diri dari kedua tempat
keluarnya kotoran di sini terdapat hal yang tersirat , dan hasilnya : Istinja itu
wajib.
Al-Mardawi (885 H) dari kalangan ulama mamazhab Al-Hanabilah menuliskkan dalam
kitabnya Al-Inshaf Fi Ma’rifati Ar-Rajih Minal Khilaf sebagai berikut:
‫ فال نزاع‬:‫ أما النجس الملوث‬.‫ والطاهر والنجس‬،‫ شمل كالمه الملوث وغيره‬. )‫قوله (ويجب االستنجاء من كل خارج إال الريح‬
‫ وجوب االستنجاء‬:‫ وعليه جماهير األصحاب‬،‫ فالصحيح من المذهب‬:‫ وأما النجس غير الملوث والطاهر‬.‫في وجوب االستنجاء منه‬
‫منه‬.
Diwajibkan Istinja dari segala hal yang keluar kecuali kentut . Kalimat ini
bersifat umum baik yang kotor , suci ataupun yang najis , adapun jika yang keluar
adalah yang najis lagi kotor maka tak khilaf akan wajibnya Istinja (membersihkan
diri) dari hal tersebut . Dan jika yang keluar bukan hal yang kotor dan suci maka
pendapat yang shahih dalam mazhab hanafi ialah : Wajibnya Istinja dari itu juga.
5. Tidak Sah Wudhu Dengan Air Yang Tidak Halal
Syarat yang kelima ini hanya diajukan oleh mazhab Al-Hanabilah saja dalam pandangan
resmi mazhab mereka. Dalam pandangan mereka, apabila seseorang berwudhu' dengan air
yang tidak halal baginya, seperti air curian, maka hukumnya wudhu'nya menjadi tidak
sah. Dasarnya adalah hadits berikut ini :
ٌ ‫مرنَا ف َُه َو َر ّد‬‫َيه َأ‬ ِ ‫عل‬
َ ‫َيس‬ َ ‫ع ِمل‬
ُ َ ‫ع َمال ً ل‬ َ ‫َمن‬
Orang yang mengerjakan suatu ibadah namun tidak sesuai dengan ketentuan kami, maka
ibadahnya itu tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun pendapat pribadi dari Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa hukum berwudhu
dengan air yang tidak halal hanya menjadi makruh, namun wudhu'nya tetap sah.
6. Berkumur Ketika Wudhu' Hukumnya Wajib
Al-Hanabilah mengatakan bahwa hukum berkumur dalam wudhu adalah wajib. Dasarnya
adalah hadits berikut ini :
‫نه‬ ُ ‫الو ُضو ِء ال َّ ِذي ال َ بُ َّد ِم‬
ُ ‫اق ِم َن‬ َ ‫ضم َض ُة َواالِس ِت‬
ُ ‫نش‬ َ ‫الم‬
َ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW bersabda"Berkumur dan istinsyaq
pada wudhu adalah yang harus dilakukan. (HR. Ad-Daruquthny)
Selain itu mazhab ini berdalil bahwa dari semua riwayat hadits yang menceritakan
teknis wudhu'nya beliau SAW semuanya selalu disertai dengan berkumur dan istinsyaq.
7. Wajib Membasahi Jenggot Saat Berwudhu'
Ibnu Qudamah (w. 620) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-
Mughni menuliskan sebagai berikut :
‫فصل ويجب غسل ما استرسل من اللحية‬
Jenggot yang panjang dan terurai wajib dibasuh.
Al-Buhuti (w. 1050 H) dari Mazhab yang sama dalam kitab Syarah Muntaha Al-Iradat
mengatakan hal serupa:
‫فيجب غسل ذلك مع مسترسل شعر اللحية‬
Maka wajib membasuhnya serta membasuh jenggot yang terurai.
8. Wajib Membasuh Telinga Dalam Wudhu
Dalam mazhab Al-Hanabilah mengusap telinga hukumnya adalah wajib. Karenan telinga
itu adalah bagian dari kepala juga. Dan bahwa mengusap telinga itu harus
berbarengan dengan mengusap kepala.
Ibnu Qudamah (w. 620) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-
Mughni menuliskan sebagai berikut :
‫واألذنان من الرأس فقياس المذهب وجوب مسحهما مع مسحه‬
Telinga adalah termasuk bagian dari kepala. Dalam mazhab kami diwajibkan mengusap
telinga berbarengan dengan mengusap kepala.
9. Menyentuh Lawan Jenis Dengan Syahwat Membatalkan Wudhu'
Di dalam mazhab Al-Hanabilah, ketentuan sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita
yang membatalkan wudhu adalah bila sentuhan yang mengakibatkan syahwat dan terjadi
antara kulit laki-laki dan kulit perempuan tanpa hail (‫ )حائل‬atau pelapis.
Ibnu Qudamah (w. 620) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-
Mughni menuliskan sebagai berikut :
‫ ال‬،‫ وعن أحمد رواية ثانية‬.‫ وال ينقضه لغير شهوة‬،‫ أن لمس النساء لشهوة ينقض الوضوء‬،- ‫ رحمه الله‬- ‫المشهور من مذهب أحمد‬
‫ رواية ثالثة أن اللمس ينقض بكل حال‬،‫ وعن أحمد‬.‫ينقض اللمس بحال‬.
Pendapat yang masyhur dalam Mazhab Ahmad rahimahullah bahwa menyentuh wanita
disertai syahwat membatalkan wudhu, dan tidak membatalkan wudhu jika tidak disertai
syahwat. Dan riwayat kedua dari Imam Ahmad bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan
wudhu secara muthlaq. Dan riwayat ketiga bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu
secara muthlaq”.
 Pendapat pertama adalah, menyentuh perempuan jika disertai syahwat maka
membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat maka tidak membatalkan.
 Pendapat kedua dari Imam Ahmad adalah menyentuh wanita tidak membatalkan
wudhu secara muthlaq seperti Mazhab Imam Abu Hanifah.
 Pendapat ketiga adalah menyentuh wanita membatalkan wudhu secara muthlaq
seperti Mazhab Imam Syafi’i.
Tapi pendapat yang masyhur dalam Mazhab Al-Hanabilah menurut Ibnu Qudamah adalah
pendapat pertama, yaitu menyentuh yang disertai syahwat membatlkan wudhu adapun
yang tidak disertai syahwat maka tidak, baik wanita yang disentuh mahram atau
bukan, anak kecil atau wanita dewasa, tetapi beliau membedakan antara sentuhan
secara langsung dengan sentuhan yang tidak langsung dengan adanya penghalang, yang
pertama membatalkan dan yang kedua tidak membatalkan, begitu juga-tidak membatalkan
wudhu- menyentuh rambut, gigi dan kuku wanita. Kemudian beliau melanjutkan:
‫ وال‬،‫ وال ينقض مس شعر المرأة‬.‫ ومتى وجدت الشهوة فال فرق بين الجميع‬،‫ولنا عموم النص واللمس الناقض تعتبر فيه الشهوة‬
‫ وهذا ظاهر مذهب الشافعي‬،‫ وال سنها‬،‫ظفرها‬.
“Bagi kami keumuman Nash, dan sentuhan yang membatalkan adalah sentuhan yang
disertai syahwat, jika sentuhan terhadap wanita itu disertai syahwat maka tidak ada
perbedaan antara mahram dan wanita ajnabiyah (asing), wanita dewasa ataupun anak
kecil. Dan menyentuh rambut wanita, kukunya atau giginya tidak membatalkan wudhu,
dan ini adalah dzahir Mazhab Asy-Syafi'iyah”
Kemudian beliau memaparkan bahwa sentuhan yang tidak langsung atau dengan adanya
penghalang antara kulit laki-laki dan wanita tidak membatalkan wudhu:
‫ أو وجدت الشهوة من‬،‫ كما لو مس رجال بشهوة‬،‫ والشهوة بمجردها ال تكفي‬،‫ أنه لم يلمس جسم المرأة؛ فأشبه ما لو لمس ثيابها‬،‫لنا‬
‫غير لمس‬.
“Bagi kami ia tidak menyentuh tubuh wanita, maka sama seperti menyentuh pakaiannya,
dan munculnya syahwat saja tidak cukup, sama seperti ia menyentuh laki-laki
disertai syahwat atau munculnya syahwat ketika melihat wanita tanpa adanya
sentuhan”.
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) juga menyebutkan pendapat seperti ini dan mengatakan
bahwa Mazhab Al-Hanabilah adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah diatas.
‫ وهو المشهور عن‬- ‫ ال وضوء منه بحال وقول مالك وأهل المدينة‬: ‫ قول أبي حنيفة‬:‫وأما لمس النساء ففيه ثالثة أقوال مشهورة‬
‫ أنه إن كان بشهوة نقض الوضوء وإال فال وقول الشافعي يتوضأ منه بكل حال‬:- ‫أحمد‬.
“Adapun menyentuh wanita maka dalam masalah ini ada tiga pendapat yang masyhur:
pendapat Abu Hanifah bahwa tidak mewajibkan wudhu secara muthlaq, dan pendapat
Malik dan penduduk madinah dan ini yang masyhur dari imam ahmad bahwa menyentuh
wanita jika disertai syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat
maka tidak, dan pendapat Syafii yang mewajibkan wudhu dari menyentuh wanita secara
muthlaq”.
10. Tayammum Cukup Satu Kali Tepukan dan Wajib Basmalah
Menurut mazhab Al-Hanabilah, tayammum itu hanya terdiri dari satu tepukan saja yang
dengan satu tepukan itu diusapkan ke wajah langsung ke tangan hingga kedua
pergelangan tidak sampai ke siku. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
َ ّ ‫ َأ ّ َن النَّب‬ ‫ين‬
‫ِي‬ ِ ‫لو‬
ِ ‫جه َواليَ َد‬ َ ِ‫اح َدةٌ ل‬
ِ ‫ َضربَ ٌة َو‬:‫في التّ َي َ ُّم ِم‬
ِ ‫َال‬
َ ‫ق‬
Dari Ammar radhiyallahu anhu bahwa Nabi SAW berkata tentang tayammum,"Satu kali
tepukan di wajah dan kedua tangan. (HR. Ahmad dan Ashabus-sittah)
Dan yang paling berbeda adalah Mazhab Al-Hanabilah, dimana mereka mewajibkan bacaan
basmalah sebelum tayammum dikerjakan.
11. Durasi Minimal Suci Dari Haidh 13 Hari
Berbeda dengan jumhur ulama, mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa minimal durasi
masa suci dari haidh itu tiga belas hari. Sehingga bila seorang wanita menjalani
masa suci dari haidh, maka masa suci itu harus berjalan dulu selama tiga belas hari
ke depan.
Apabila sebelum tiga belas hari ada darah menyerupai haidh yang keluar, secara
hukum tidak boleh dianggap sebagai darah haidh, tetapi dianggap sebagai darah
istihadhah.
Konsekuensinya, semua larangan haidh seperti haram shalat, puasa dan lainnya
menjadi tidak berlaku.
12. Basmalah Bagian Dari Al-Fatihah Tapi Dibaca Sirr
Dalam pandangan Al-Hanabilah, basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, namun
tidak dibaca secara keras (jahr), cukup dibaca pelan saja (sirr). Bila kita
perhatikan imam Al-Masjidil Al-haram di Mekkah, tidak terdengar membaca basmalah,
namun mereka membacanya. Umumnya orang-orang disana bermazhab Hanbali.
13. Dua Salam Adalah Rukun Shalat
Menurut Al-Hanabilah, kedua salam itu hukumnya fardhu. Oleh karena itu dalam
pandangan mazhab Al-Hanabilah, seorang makmum masbuk baru boleh berdiri setelah
imam selesai dengan dua salamnya.
Bila baru salam yang pertama dia sudah berdiri, maka shalatnya memang tidak batal,
tetapi hukum shalatnya berubah menjadi shalat sunnah.
Namun hal ini hanya berlaku pada shalat-shalat yang fardhu saja. Sedangkan pada
shalat sunnah seperti pada shalat jenazah, shalat nafilah, sujud tilawah dan sujud
syukur, yang fardhu hanya salam yang pertama saja .
14. Gerakan Jari Saat Tahiyat
Mazhab ini berpendapat bahwa mengerakkan jarinya hanya pada setiap menyebut lafadz
Allah di dalam tasyahhud.
15. Tahajjud Berjamaah Tidak Makruh
Mazhab Al-Hanabilah tidak memakruhkan shalat tahajjud yang dilakukan dengan
berjamaah.
Sementara para ulama dari kalangan Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah memakruhkan
shalat tahajjud dengan berjamaah, Mereka berpendapat bahwa ijtima' (berkumpulnya)
manusia untuk menghidupkan malam hanya dibenarkan untuk shalat tarawih di bulan
Ramadhan. Di luar itu menurut mereka disunnahkan untuk melakukannya dengan secara
sendiri sendiri. Dan mazhab Al-Malikiyah memberikan kesimpulan bahwa bila jamaah
shalat tahajjud itu tidak terlalu banyak dan bukan di tempat yang masyhur, hukumnya
boleh tanpa karahah.
16. Waktu Jumat Sejak Pagi Bukan Sejak Zhuhur
Mazhab Al-Hanabilah berbeda pendapat dengan ketiga mazhab lainnya dalam hal ini.
Mazhab berpendapat bahwa kewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat sudah berlaku
sejak pagi, yaitu sejak selesai shalat iedul fithr atau iedul adha.
Dasar pendapat mazhab ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Sidan
radhiyallahuanhu berikut ini :
ِ ‫كر َفك َانَت ُخطبَتُ ُه َو َصالَتُ ُه قَبل ِن‬
‫صف الن ّ ََه ِار‬ ٍ َ‫الج ُم َع َة َم َع َأبِي ب‬ُ ‫دت‬ُ ‫َش ِه‬
Dari Abdullah bin Sidan berkata,"Aku ikut shalat Jumat bersama Abu Bakar, khutbah
dan shalatnya dilakukan sebelum pertengahan siang". (HR. Ad-Daruquthny)
Selain itu juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah
radhiyallahuanhu.
‫مس‬ ُ ‫الش‬ َ ‫يح َها ِح‬
َّ ‫ين تَ ُزول‬ ُ ‫ب ِإ ل َى جِ َمالِنَا َفن ُ ِر‬ُ ‫ذه‬
َ َ ‫الج ُم َع َة ث ُّمَ ن‬
ُ ‫َان يُ َص ِل ّي‬
َ ‫ك‬
Dari Jabir bin Abdullah berkata bahwa Rasulullah SAW shalat Jumat kemudian kami
mendatangi unta-unta kami ketika matahari zawal (masuk waktu Dzhuhur). (HR. Muslim)
Dan diriwayatkan oleh Abdullah bin Masud, Jabir, Saad dan Muawiyah
radhiyallahuanhum, bahwa mereka shalat Jumat sebelum zawal, atau sebelum masuk
waktu Dzhuhur. Dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Namun demikian, dalam pandangan mazhab Al-Hanabilah ini tetap saja yang lebih utama
adalah mengerjakan shalat Jumat setelah zawal, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
17. Shalat Jumat Tidak Boleh Dijamak Dengan Ashar
Pendapat di kalangan ulama mazhab Al-Hanabilah bahwa shalat Jumat tidak boleh
dijama' dengan shalat Ashar. Masalah ini bisa kita temukan tercantum dalam kitab-
kitab mazhab tersebut antara lain kitab Kasysyaf Al-Qinna' dan kitab Mathalib
Ulin Nuha .
a. Tidak Adanya Nash Yang Membolehkan.
Dalam pandangan mazhab Al-Hanabilah, tidak ada nash berupa hadits atau atsar yang
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW atau shahabat pernah melakukan shalat Jumat lalu
disambung dengan mengerjakan shalat Ashar dengan cara dimaja' antara keduanya.
Nash yang sampai kepada kita terbatas hanya dibolehkannya jama' antara shalat
Dzhuhur dan Ashar atau jama' antara shalat Maghrib dan Isya'. Baik keduanya
dilakukan di waktu yang pertama (jama' taqdim) atau pun di waktu yang kedua (jama'
ta'khir).
Sehingga tanpa adanya nash yang shahih, dalam prinsip dan pandangan mazhab ini,
jama' antara shalat Jumat dan shalat Ashar tidak boleh dilakukan.
b. Tidak Ada Qiyas Dalam Masalah Ritual Ibadah
Yang berkembang dalam mazhab Al-Hanabilah adalah prinsip bahwa qiyas itu tidak
berlaku dalam urusan ibadah ritual.
Dan menjama' shalat Jumat dengan shalat Ashar berarti melakukan qiyas antara shalat
Jumat dengan shalat Dzhuhur. Maka qiyas itu tidak berlaku dan tidak sah.
c. Shalat Jumat Berbeda Dengan Shalat Dzuhur
Yang juga dijadikan dasar melarang adanya jama' antara shalat Jumat dan shalat
Ashar adalah bahwa shalat Jumat bukan shalat Dzhuhur. Keduanya punya banyak
perbedaan yang asasi.
Ada banyak hukum yang berlaku dalam shalat Jumat tapi tidak berlaku dalam shalat
Dzhuhur. Dan demikian juga sebaliknya, ada banyak hukum yang berlaku pada shalat
Dzhuhur yang tidak berlaku pada shalat Jumat.
Oleh karena itu, keduanya tidak bisa disamakan dalam hukum. Dalam pandangan mazhab
ini, tidak mentang-mentang shalat Dzhuhur boleh dijama' dengan shalat Ashar, lantas
shalat Jumat pun jadi boleh dijama' juga. Sebab keduanya adalah ibadah yang
berbeda.
18. Gugur Kewajiban Shalat Jumat Bila Jatuh di Hari Raya
Mahzab Al-Hanabilah mengatakan bahwa shalat Jumat tidak wajib atau gugur
kewajibannya, apabila jatuh pada hari raya. Dasarnya adalah hadits berikut ini :
Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata,“Aku melihat Mu’awiyah bin Abi Sufyan
bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah ketika bersama Rasulullah SAW Anda pernah
menjumpai dua hari raya bertemu dalam satu hari?” Zaid bin Arqam menjawab, “Ya,
saya pernah mengalaminya”. Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang dilakukan Rasulullah
SAW ketika itu?. Zaid berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :
‫ج ِ ّمع‬
َ ُ‫ج ِ ّم َع فَلي‬َ ُ ‫اء َأن ي‬ َ ‫َمن َش‬
Siapa yang mau shalat Jumat maka lakukanlah shalat Jumat (HR. Ahmad)
Sementara ketiga mazhab utama lainnya tetap mewaibkan shalat Jumat meski jatuh di
hari raya Idul Fithr atau Idul Adha. Sebab dalam pandangan mereka hadits di atas
hanya berlaku untuk penduduk yang tinggal di padang pasir saja. Dan bahkan
Rasulullah SAW serta para shahabat tetap melakukan shalat Jumat. Hal itu terbukti
dari hadits-hadits berikut ini :
‫ون‬ َ ‫الج ُم َع ِة َوِإ ن َّا ُم‬
َ ‫ج ِ ّم ُع‬ ُ ‫اء َأج َزَأ ُه ِم َن‬
َ ‫ان ف ََمن َش‬ ِ َ ‫َق ِد اجتَ َم َع ِفي ي‬
َ ‫ومك ُم َهذَا ِع‬
ِ ‫يد‬
Rasulullah SAW bersabda,"Dua hari raya jatuh di hari yang sama. Siapa tidak shalat
Jumat silahkan, tetapi kami tetap mengerjakan shalat Jumat. (HR. Abu Daud)
19. Shalat Tarawih Jangan Kurang Dari 20 Rakaat Tapi Boleh Lebih
Mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa shalat tarawih 20 rakaat dilakukan di hadapan
shahabat dan sudah mencapai kata ijma’, dimana nash-nash tentang itu amat banyak.
Mazhab Al-Hanabilah juga mengatakan bahwa shalat tarawih jangan sampai kurang dari
20 rakaat, dan tidak mengapa bila jumlahnya lebih dari itu.
20. Qunut Witir Tiap Malam
Mazhab Al-Hanabilah, dalam beberapa hal berpendapat sama dengan madzhab As-
Syafi'iyah, tentang kesunnahan qunut witir.
Namun perbedaannya dengan mazhab Asy-Syafi'iyah, qunut witir dalam mazhab Al-
Hanabilah dilakukan bukan hanya di bulan Ramadhan saja. Sedangkan dalam mazhab Asy-
Syafi'iyah hanya disunnahkan qunut pada shalat witir di bulan Ramadhan, itu pun
bila sudah melewati paruh kedua bulan Ramadhan, sejak tanggal 16 hingga akhir
Ramadhan.
Sedangkan dalam mazhab Al-Hanabilah, sunnah qunut witir bukan hanya pada paruh
akhir bulan Ramadhan, tetap sepanjang tahun, bagi siapa pun yang mengerjakan shalat
witir, maka disunnahkan untuk membaca doa qunut pada rakaat terakhir.
D. Kitab Utama
Kitab mazhab Al-Hanabilah cukup banyak, di antaranya yang paling terkenal adalah
kitab-kitab berikut :
1. Al-Adab Asy-Syar'iyah
Kitab Al-Adab Asy-Syar'iyah ditulis oleh Ibnu Muflih.
2. Al-Furu'
Kitab karya Ibnu Muflih yang lain adalah Al-furu'.
3. Kasysyaf Al-Qinna' 'an Matnil Iqna'
Kitab Kasysyaf Al-Qinna' 'an Matnil Iqna' adalah karya Al-buhuti.
4. Syarah Muntahal Iradat
Kitab Al-Buhuty yang lain adalah Syarah Muntahal Iradah.
5. Al-Muqni'
Kitab Al-Muqni' ditulis oleh Ibnu Qudamah
6. Al-Mughni fi Ushul Al-Fiqhi
Kitab karya Ibnu Qudamah yang lain adalah Al-Mughni fi Ushul Al-Fiqhi.
8. Al-Inshaf
Kitab Al-Inshaf ditulis oleh Al-Mardawi
9. Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha
Kitab Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha ditulis oleh Ar-Ruhaibani.
E. Ulama Mazhab Hanbali
Di antara para ulama dalam mazhab Al-Hanbali adalah murid-murid beliau sendiri, dan
juga para ulama yang mengikuti manhaj mazhab Al-Hanabilah di kemudian hari.
1. Shalih bin Ahmad bin Hanbal (w. 266 H)
Beliau adalah putera tertua Al-Imam Ahmad sendiri. Belajar langsung Ilmu Fiqih dan
hadits langsung kepada ayahnya.
2. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
Beliau adalah adik dari Shalih, dan sama-sama langsung mendapatkan pelajaran ilmu
agama dari sang Ayah. Namun beliau lebih cenerung kepada ilmu hadits, sedangkan
sang kakak lebih cenderung kepada Ilmu Fiqih.
3. Al-Atsram (w. 273 H)
Nama lengkapnya adalah Al-Atsram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani Al-Khurasani
Al-Baghdadi.
Beliau banyak sekali meriwayatkan hadits dan masalah-masalah fiqhiyah dari Al-Imam
Ahmad. Salah satu karya tulis beliau adalah As-Sunan fil Fiqhi, sebuah kitab fiqih
mazhab Al-Hanabilah.
4. Abdul Malik bin Al-Humaid bin Mahran Al-Maimuni (w. 274 H)
Beliau belajar kepada Al-Imam Ahmad cukup lama, hingga 20 tahun. Dan memiliki
posisi yang sangat tinggi dalam mazhab ini. Wafat tahun 274 hijriyah.
5. Abu Bakar Al-Marwadzi (w. 274 H)
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad Al-Hajjaj Abu Bakar Al-Marwadzi. Wafat
tahun 274 hijriyah. Beliau adalah murid paling dekat dan spesial. Menjadi pakar di
bidang fiqih dan hadits serta punya banyak karya tulis.
Di lingkungan mazhab Al-Hanabilah, kalau disebut Abu Bakar maka maksudnya tidak
lain adalah beliau, yaitu Abu Bakar Al-Marwadzi.
6. Harb bin Ismail Al-Handhzali Al-Karmani (w. 280 H)
Beliau banyak sekali mengambil Ilmu Fiqih dari Al-Imam Ahmad. Dan punya hubungan
yang sangat dekat. Beliau menuliskan banyak pelajaran dari Imam Ahmad.
7. Ibrahim bin Ishak Al-Harbi (w. 285 H)
Sebenarnya Beliau lebih mendalami ilmu hadits ketimbang Ilmu Fiqih. Dan beliau
seorang ahli bahasa juga.
8. Al-Qadhi Abu Ya'la (w. 451 H)
Nama beliau adalah Muhammad bin Husein bin Muhamad bin Khalaf Ibn Al-Farra'. Lebih
dikenal sebagai Al-Qadhi Abu Ya'la, karena profesi beliau sebagai qadhi (hakim).
Salah satu karya beliau adalah kitab Al-Uddah yang merupakan kitab ushul fiqih
dalam mazhab Al-Hanabilah.
9. Ibnu Qudamah (w. 620 H)
Beliau hidup jauh sesudah zaman para pendahulunya, dan tidak pernah langsung
bertemu dengan Al-Imam Ahmad. Hanya saja Ibu Qudamah termasuk orang yang berjasa
besar dalam mazhab Al-Hanabilah, karena beliau menulis kitab yang merupakan syarat
dari kitab riwayat tentang Imam Ahmad bin Hanbal.
Kitab itu berjudul Al-Mughni Syarah dari kitab Mukhtashar Al-Khiraqi. Di dalamnya
beliau menjelaskan lebih 300 poin-poin penting terkait fatwa dalam mazhab Al-
Hanabilah.
10. Ibnu Taimiyah (w. 751 H)
Nama beliau adalah Abul Abbas Ahmad Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah Al Harani), lahir
tahun 661 hijriyah di Haran Turki dan wafat tahun 751 hijriyah.
Dalam ruang lingkup mazhab Al-Hanabilah, beliau sering disebut dengan Asy Syaikh
atau guru. Jika sebelum masa Ibnu Taimiyah maka yang dimaksud Asy Syaikh adalah
Ibnu Qudamah Al Maqdisi (w. 620 H). Jika disebutkan Asy-Syaikhani maka yang
dimaksud adalah Ibnu Qudamah dan Majduddin Abu Barakat.
F. Negeri Bermazhab Hanbali
Tersiarnya mazhab Hanbali, tidak seperti tersiarnya mazhab lainnya. Mazhab ini
mulai tersebar di kota Baghdad tempat ke¬diaman Imam Ahmad ibn Hanbal, kemudian
berkembang pula ke negari Syam.
Karena para sahabat Imam Ahmad ibn Hanbal sebagian berada di Baghdad, maka
berkembanglah mazhabnya dengan pesat di negeri ini yang disebarluaskan oleh murid-
muridnya.
Mazhab ini tidak berkembang keluar negeri Irak, melainkan pada abad keempat
Hijriyah. Kemudian berkembang ke Mesir pada abad ketujuh Hijriyah dan pada saat
sekarang, pengikutnya makin sedikit.
Di antara ulama yang telah berjasa mengembangkan maz¬habnya adalah: al-Atsram Abu
Bakar Ahmad ibn Haniy al-Khurasaniy, Ahmad ibn Muhammad ibn al-Ha aj al-Marwaniy,
Ibn Ishaq al-Harby-l al-Qasim Umar ibn Abi All al-Husaen al-¬Khiraqiy, Abd. Aziz
ibn Ja'far dan sebagai penerus mereka yaitu Muwaffaqu al-Din, Ibn Qudamah dan
Syamsu al-Din ibn Quda¬mah al-Maqdisiy.
Keduanya adalah tokoh yang memperbaha¬rui, membela, mengembangkan dan membuka mata
manusia untuk memperhatikan ajaran-ajaran mazhab Hanbali, terutama dalam bidang
mu'amalah. Sekarang mazhab Hanbali adalah mazhab resmi dari peme¬rintah Saudi
Arabia dan mempunyai pengikut yang tersebar di Jazirah Arab, Palestina, Syria dan
Irak.

Bab 13 : Mazhab Fiqih Lainnya

Selain mazhab empat yang diuraikan sepintas, masih ada sejumlah mazhab lainnya.
Dalam pendapat-pendapat dalam masalah fiqih, mereka memiliki ciri khas.
Namun mazhab-mazhab ini tidak berumur lama sebab mereka hanya muncul di jamannya.
Setelah itu mereka hanya tinggal tersimpan di buku-buku fiqih tanpa pengikut yang
menyebar luas mazhab mereka.
A. Mazhab Zhahiri
1. Pendiri
Pendiri mazhab ini adalah Dawud bin Ali, Abu Sulaiman Al Asfahani Azh-Zhahiri.
Dilahirkan di Kufah tahun 202 H dan wafat di Baghdad tahun 270.
Dawud termasuk ahli hadis dengan tingkatan Hafidz (yang menguasai hadis dan ilmunya
secara keseluruhan), disamping jua seorang ahli fiqih, mujtahid, dan memiliki
mazhab tersendiri. Sebelumnya ia adalah pengikut mazhab Syafi’i di Bagdad.
2. Prinsip
Mazhab Zhahiri adalah mazhab yang mengambil hukum dan mengamalkan dengan makna
tekstual (zhahir) Al-Quran dan Sunnah selama tidak ada dalil yang memberikan
petunjuk selain makna tekstual. Jika tidak ada teks Al-Quran dan Sunnah maka mereka
mengambil Ijma’ dengan syarat berdasarkan konsensus semua ulama umat di masa itu.
Mereka juga mengambil Ijma’ sahabat Rasulullah saja. Jika tidak teks Al-Quran,
Sunnah, Ijma, maka mereka mengambil dalil Istishab; hukum asal suatu masalah adalah
boleh dilakukan.
Namun mereka menolak dalil Qiyas, Istihsan, saddudzarai’, atau bentuk ijtihad
lainnya. Disamping itu mereka juga menolak taqlid (mengikut secara total kepada
seorang Imam tanpa mengetahui dalil).
3. Pengikut
Salah satu pengikut mazhab Adl Dlahiri yang melakukan pembelaan dan penyebaran di
masa pertumbuhan mazhab adalah Abu Muhammad Ali bin Said bin Hazm Al Andalusi (384-
456 H) atau yang terkenal dengan sebutan Ibnu Hazm.
Mazhab ini tumbuh berkembang pesat di Andalusia di abad V H kemudian punah di abad
VIII H.
Di antara pendapat fiqih mazhab yang khas adalah; haramnya bejana emas perak untuk
digunakan minum; riba hanya diharamkan pada enam hal saja seperti yang disebutkan
dalam hadis, istri yang kaya harus memberi nafkah kepada suaminya yang miskin.
B. Mazhab Syiah Az-Zaidiyah
Pendiri mazhab ini adalah Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain (W 122 H). Dia
adalah Imam Syiah Al Zaidiyah. Ia seorang Imam di zamannya dan seorang ilmuwan
luas. Sebab ia menguasai ilmu Al-Quran, qira’at, fiqih. Bahkan ia terkenal dengan
julukan Haliful-quran.
Ia juga memiliki kitab fiqih yang paling dahulu “Al Majmu’” dicetak di Italia
kemudian diuraikan (syarah) oleh Syarfuddin Al Shan’ani ahun 1221 H dengan judul Ar
Raudlun Nadlir dalam empa jilid.
Az Zaidiyah: sebuah kelompok yang menjadikan kepemimpinan umat seteleh Ali Zainul
Abidin kepada anaknya Zaid bin Ali, pendiri mazhab ini.
Ia dibaiat di Kufah di zaman kekhilafahan Hisyam bin Abdul Malik. Yusuf bin Umar
memeranginya dan ia terbunuh. Menurut Imam Zaid, Ali bin Abu Thalib lebih utama
menjadi khalifah dibanding dengan sahabat Rasulullah SAW lainnya.
Salah satu pendapatnya adalah jika seorang pemimpin umat melakukan kedlaliman dan
penindasan atas yang lemah maka harus keluar dari baiat.
Imam Zaid menentang pengikutnya yang mencela dan menjelek-jelekkan Abu Bakar dan
Umar bin Khatab. Karena menolak pendapat Zaid, mereka membuat kelompok sendiri yang
disebut dengan Ar-Rafidlah. Sebab pada saat mereka menolak, Zaid
mengatakan,”rafadltumuni (kalian menolak saya),”
Di masa pertumbuhan pertama, mazhab ini tidak jauh berbeda dengan mazhab Ahli
Sunnah hanya beberapa masalah saja yang berbeda.
Misalnya mazhab Zaidiyah tidak menganggap masyru’nya (dituntunkannnya) mengusap
sepatu saat dalam perjalanan, haramnya sembelihan orang selain Islam (meski dari
Ahli Kitab), haramnya menikah dengan perempuan Ahli Kitab berdasarkan firman Allah:
‫مسك ُوا ب ِِعص ِم الكوا ِف ِر‬
ِ ُ‫وال ت‬
“Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-
Mumtahinah: 10)
Berbeda dengan Syiah Imamiyah, mazhab Zaidiyah melarang nikah mut’ah, menambahkan
lafadz azan dengan “hayya ala khairil amal” dan melakukan takbir lima kali dalam
shalat janazah.
Mazhab ini merupakan mazhab syiah yang paling dekat dengan Ahlusunnah. Namun dalam
masalah akidah mereka mengambil mazhab Mu’tazilah.
C. Mazhab Syiah Imamiyah
1. Pendiri
Pendiri mazhab ini adalah Abu Abdullah Ja’far Ash Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin
Ali Zainal Abidin (80-148 H).
Syiah Imamiyah menetapkan kepemimpinan 12 imam yang ma’shum (terjaga dari dosa).
Dari yang pertama, Abu Al Hasan Ali Al Murtadli dan yang terakhir adalah Muhammad
Al Mahdi Al Hujjah. Imam yang terakhir ini diyakini tersembunyi dan akan muncul di
akhir zaman.
Mazhab ini disebarluaskan oleh Ibnu Farrukh di Persia dalam kitabnya Basyair
Darajat fi ulumi ali muhammad wama khasshahumullah bihi dicetak tahun 1285 H.
2. Kitab
Kitab fiqih pertama dalam mazhab Syiah Imamiyah termasuk kiab Risalatul halal wal
haram karangan Ibrahim Ibnu Muhammad Abu Yahya al Madany Al Aslami yang dia
riwayatkan dari Imam Ja’far Ash Shadiq.
Kemudian anaknya, Ali Ar Ridla menulis kitab fiqih dengan judul “Fiqihu Ar Ridla”
dicetak ahun 1274 H di Teheran.
Di abad IV muncul penyebar mazhab ini yaitu Muhammad bin Ya’qub bin Ishak Al
Kulaini Ar Razi (W 324) yang kemudian mengarang “Al Kafi fi ilmiddin” yang memuat
16.099 hadis dari riwayat ahlul bait, sebuah jumlah melebihi hadis dalam hadis
shahih dalam enam buku.
Sehingga Al Kafi menjadi pegangan mazhab Imamiyah. Di samping kitab lain; Man laa
yahdluruhu, Shaduq Al Qummi, Tahdbul ahkam, Ath Thusi, Isibshar, Ath Thusi.
3. Prinsip
Mazhab Imamiyah dalam fiqih tidak mengambil dalil setelah Al-Quran kecuali dari
hadis-hadis yang diriwayatkan dari ahlul bait.
Mereka juga melakukan ijtihad, menolak Qiyas yang illatnya tidak ditegaskan dalam
nash, menolak Ijma’ kecuali jika Imam mereka masuk dalam mereka.
Rujukan dalam masalah hukum bagi mereka dalah Imam mereka saja bukan yang lain.
4. Beberapa Perbedaan
Di antara masalah fiqih yang berbeda antara Ahlussunnah dengan Syiah Imamiyah
adalah; mereka membolehkah nikah sementara, nikah mut’ah, dalam thalak harus ada
saksi, haramnya sembelihan ahli kitab, haram menikah dengan wanita Nasrani dan
Yahudi, tidak disyariatkan mengusap sepatu dalam wudlu di perjalanan sebagai ganti
mencuci kaki dalam wudlu.
D. Mazhab Ibadliyah
1. Pendiri
Pendiri mazhab ini adalah Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid (W 93 H) termasuk dari
kalangan Tabi’in yang mengamalkan Al-Quran dan Sunnah.
Ia berguru kepada Ibnu Abbas RA. Mereka berdasarkan Al-Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas,
Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, perkataan sahabat. Mereka menolak disebut
sebagai kaum Khawarij mereka mengaku dengan Ahlud dakwah, Ahli istiqamah, jamaatul
muslimin.
2. Pendapat
Mazhab Ibadliyah terkenal dalam dengan pendapat-pendapat sebagai berikut:
 Tidak disyariatkan mengusap sepatu dalam wudlu di perjalanan sebagai ganti
mencuci kaki dalam wudlu, seperti hal pendapat Syiah Imamiyah.
 Tidak mengangkat tangan dalam takbiratul ihram dalam shalat, tidak sedakap
dalam shalat saat berdiri dan hanya sekali salam di akhir shalat seperti halnya
pendapat Maliki dan Zaidi.
 Bagi orang junub yang masuk waku pagi hari bulan puasa maka ia harus
membatalkan puasa. Berdasarkan hadis Abu Hurairah dan pendapat sebagian tabiin.
 Haramnya semebelihan Ahli kitab yang tidak membayar pajak kepada negara atau
kafir harbi.
 Haram nikahnya anak, ini pendapat Jabir bin Zaid yang berbeda dengan yang
diamalkan dalam mazhab Ibadliyah.
 Makruh menikai dua anak perempuan paman sekaligus.
 Wasiat wajib hukumnya bagi kerabat dekat selain ahli waris. Bolehnya
memberikan wasiat kepada cucu meski anak ada. Al Baqarah: 180.
 Hamba sahaya yang melakukan perjanjian merdeka dengan tuannya sudah berstatus
merdeka saat perjanjian ditulis.
3. Kitab
Di antara kitab pegangan mereka dalam masalah akidah adalah Masyariqul Anwar,
Nuruddin As Salami, dalam masalah ushul fiqih adalah Thalausyams, Nuruddin As
Salami, dalam masalah fiqih Syarhunail wasyifaulalil, Muhammad bin Yusuf bin,
Qamussyariah, As Sa’dy.
Mazhab mereka hingga kini masih ada di Oman, Afrika Timur, Aljazair, Libia dan
Tunis.
Dalam masalah akidah mereka mengatakan orang yang melakukan dosa besar kekal dalam
neraka jika tidak bertobat, sifat Allah adalah dzat-Nya itu sendiri, Allah tidak
bisa dilihat di akhira sekali pun untuk mengagungkan-Nya.


Bagian Keempat
Rujukan Fiqih


Bab 1 : Kitab-kitab Fiqih

Salah satu keunikan Ilmu Fiqih secara khusus dan ilmu-ilmu syariah secara umum
adalah ketersediaan kitab rujukan yang melimpah-ruah. Setiap mahzab fiqih bahkan
memiliki berjilid-jilid kitab yang menjadi sumber utama dalam rujukan serta menjadi
simbol dari mazhab itu.
Penulis mencoba mendata kitab-kitab itu berdasarkan masing-masing mazhab, lalu
diurutkan berdasarkan pengarang dan tahun hidupnya. Sehingga susunan kitab-kitab
itu dari atas ke bawah sejalan dengan waktu.
Dan penyusunan seperti ini menarik, mengingat antara satu kitab dengan kitab
lainnya seringkali ada hubungan benang merah yang kuat. Hubungan itu misalnya
pensyarahan (penjelasan), dimana sebuah kitab yang dijadikan rujukan oleh suatu
mazhab lantas diberi penjelasan yang cukup banyak, sehingga menjadi sebuah kitab
baru. Asalnya hanya satu jilid, setelah diberi syarah menjadi lima jilid sampai
sepuluh jilid. Bahkan satu kitab kadang diberi syarah oleh beberapa orang, sehingga
melahirkan kitab penjelasan dalam beberapa versi.
Dan proses kebalikannya juga kerap terjadi, dimana satu kitab yang tebal kemudian
dibuatkan ringkasannya (mukhtashar), sehingga muncul kitab baru yang lebih ringan
dan lebih tipis. Lucunya, kadang hasil ringkasan itu kemudian oleh orang lain yang
hidup berikutnya, justru dibuatkan lagi syarah (penjelasan).
Yang menarik dari semua itu, kitab-kitab itu umumnya masih terawat rapi di berbagai
perpustakaan Islam, bahkan tidak jarang justru disimpan di musium di negara barat.
Sebagiannya malah masih ada yang berbentuk makhtuthath atau tulisan tangan. Tetapi
yang sudah dicetak dengan rapi dan modern pun cukup banyak, banyak sudah ditahqiq
dan diberi penjelasan disana-sini, termasuk juga sudah ditakhrij hadits-haditsnya.
Sayangnya di negeri kita, kitab-kitab itu tidak terlalu banyak tersedia. Hanya toko
kitab yang besar saja yang menjualnya, itupun terbatas umumnya hanya kitab-kitab
mazhab As-Syafi'i. Mengingat mazhab yang berkembang di negeri kita memang mazhab
tersebut.
Maka kalau ada yang memiliki koleksi kitab-kitab itu di Indonesia, biasanya didapat
dari membeli di luar negeri, yaitu di negara-negara Islam seperti Mesir, Saudi dan
lainnya.
A. Kitab Mazhab Hanafi
‫مختصر الطحاوي‬
1. Mukhtashar Ath-Thahawi, Ath-Thahawi (w. 321 H)
‫مختصر القدوري‬
2. Mukhtashar Al-Qaduri, Al-Imam Al-Qaduri (w. 428 H)
‫تأسيس النظر للدبوسي‬
3. Ta’sis An-Nadzar, Ad-Dabbusi (w. 430 H)
‫المبسوط للسرخسي‬
4. Al-Mabsuth, As-Sarakhsy (w. 483 H)
‫تحفة الفقهاء للسمرقندي‬
5. Tuhfatul Fuqaha’, As-Samarqandi (w. 483 H)
‫بدائع الصنائع للكاساني‬
6. Badai’Ash-Shanai’, Al-Kasani (w. 587 H)
‫فتاوى قاضي خان لألوزجندير الفرغاني‬
7. Fatawa Qadhi Khan, Al-Faraghani (w. 592 H)
‫الهداية للمرغيناني‬
8. Al-Hidayah, Al-Mirghinani (w. 593 H)
‫أحكام الصغار لألسروشني‬
9. Ahkam Ash-Shighar, Al-Asrusyani (w. 632 H)
‫االختيار لتعيل المختار للموصلي‬
10. Al-Ikhtiyar li Ta'lil Al-Mukhtar, Al-Mushili (w. 683 H)
‫مجمع البحرين وملتقى النهرين البن الساعاتي‬
11. Majma' Al-Bahrain wa Multaqa, Ibnu As-Sa'ati (w. 694 H)
‫كنز الدقائق للنسفي‬
12. Kanzu Ad-Daqaiq, An-Nasafi (w. 710 H)
‫تبيين الحقائق للزيلعي‬
13. Tabyin Al-Haqaiq, Az-Zaila'i (w. 742 H)
‫شرح العناية للباربرتي‬
14. Syarah Al-Inayah, Al-Barbarati (w. 786 H)
‫الجوهرة النيرة ألبي بكر الحدادي البغدادي‬
15. Al-Jauharah A-Nairah, Abu Bakar Al-Haddadi Al-Baghdadi (w. H 800)
‫الفتاوى البزازية البن كردي‬
16. Al-Fatawa Al-Bazzaziyah, Ibnu Kurdi (w. 827 H)
‫معين الحكام فيما يتردد بين الخصمين من األحكام للطرابلسي‬
17. Mu'inul Hukkam fima Yataraddad bainal Khashmain minal ahkam, At-Tharablusi
(w. 844 H)
‫البناية في شرح الهداية للعيني‬
18. Al-Binayah fi Syarhi Al-Hidayah, Al-'Aini (w. 855 H)
‫شرح فتح القدير البن الهمام‬
19. Syarah Fathu Al-Qadir, Ibnul Humam (w. 861 H)
‫لسان الحكام في معرفة األحكام البن الشحنة‬
20. Lisan Al-Hukkam fi Ma'rifati Al-Ahkam, Ibnu Syahnah (w. 882 H)
‫خسرو‬ً ‫لمنال‬
ُ ‫درر الحكام في شرح غرر األحكام‬
21. Durar Al-Hukkam fi Syarhi Gharar Al-Ahkam, Munla (w. 885 H)
‫ملتقى األبحر إلبراهيم الحلبي‬
22. Multaqa Al-Abhar, Ibrahim Al-Halabi (w. 956 H)
‫البحر الرائق البن نجيم‬
23. Al-Bahru Ar-Raiq, Ibnu Najim (w. 970 H)
‫األشباه والنظائر البن نجيم‬
24. Al-Ashbah wa An-Nadzhair, Ibnu Najim (w. 970 H)
‫نتائج األفكار لقاضي زاده‬
25. Nataij Al-Afkar, Al-Qadhi Zaduh (w. 988 H)
‫الفتاوى الهندية‬
26. Lajnatul Ulama biriasati Nidzamuddin Al-Balkhi (988 H)
‫حاشية الشلبي على تبيين الحقائق‬
27. Hasyiah Al-Syalabi 'ala Tabyin Al-Haqaiq, Asy-Syalabi (w. 1000 H)
‫تنوير األبصار للتمرتاشي‬
28. Tanwir Al-Abshar, At-Tumurtasyi (w. 1003 H)
‫مجمع األنهر لشيخي زاده‬
29. Majma' Al-Anhar, Asy-Syaikhi Zaduh (w. 1078 H)
‫الفتاوى الخيرية للرملي‬
30. Al-Fatawa Al-Khairiyah, Ar-Ramli (w. 1081 H)
‫الدر المختار شرح تنوير األبصار للحصكفي‬
31. Ad-Dur Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar, Al-Hashkafi (w. 1098 H)
‫غمز عيون البصائر للحموي‬
32. Ghamzu 'Uyun Al-Bashair, Al-Hamawi (w. 1222 H)
‫اللباب في شرح الكتاب للميداني‬
33. Al-Lubab fi Syarhi Al-Kitab, Al-Maidani (w. 1231 H)
‫العقود الدرية في تنقيح الفتاوى الحامدية البن عابدين‬
34. Al-'Uqud Ad-Durriyyah fi Tanqih Al-Fatawa Al-Hamidiyah, Ibnu Abdin (w. 1250
H)
‫رد المحتار البن عابدين‬
35. Radd Al-Muhtar, Ibnu Abdin (w. 1250 H)
‫قرة عيون الخيار تكملة حاشية ابن عابدبن‬
36. Qurratu 'Uyun Al-Khiyar, Ibnu Abdin (w. 1250 H)
‫درر الحكام لعلي حيدر‬
37. Durar Al-Hukkam, Ali Haidar (w. 1353 H)

B. Kitab Mazhab Maliki


‫المدونة الكبرى سحنون‬
1. Al-Mudawwanah Al-Kubra, Sahnun (w. 179 H)
‫العتبية لمحمد العتبي‬
2. Al-'Utbiyah, Muhammad Al-'Utbi (w. 255 H)
‫المواز‬
ّ ‫البن‬ ‫الموازية‬
3. Al-Mawaziyah, Ibnul Mawaz (w. 281 H)
‫الرسالة للقيرواني‬
4. Ar-Risalah, Al-Qairawani (w. 387 H)
‫اإلشراف على نكت مسائل الخالف عبد الوهاب البغدادي‬
5. Al-Isyraf ala Nukati Masail Al-Khilaf, Abdul Wahab Al-Baghdadi (w. 422 H)
‫الكافي البن عبد البر‬
6. Al-Kafi, Ibnu Abdil Barr (w. 463 H)
‫المنتقى ألبي الوليد الباجي‬
7. Al-Muntaqa, Abul Walid Al-Baji (w. 474 H)
‫مقدمات ابن رشد‬
8. Muqaddimah, Ibnu Rusyd (w. 520 H)
‫البيان والتحصيل البن رشد‬
9. Al-Bayan wa At-Tahshil, Ibnu Rusyd (w. 520 H)
‫أحكام القرآن البن العربي‬
10. Ahkam Al-Quran, Ibnul Arabi (w. 543 H)
‫بداية المجتهد و نهاية المقتصد البن رشد الحفيد‬
11. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al-Hafid (w. 646 H)
‫جامع األمهات البن الحاجب‬
12. Jami' Al-Ummahat, Ibnu Hajib (w. 646 H)
‫القرافي الذخيرة‬
13. Az-Dzakhirah, Al-Qarafi (w. 674 H)
‫إرشاد السالك إلى أشرف المسالك لعبدالرحمن البغدادي‬
14. Irsyadussalik ila Asyrafil Masalik, Abdurrahman Al-Baghdadi (w. 732 H)
‫القوانين الفقهية البن جزي‬
15. Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, Ibnu Juzzai (w. 776 H)
‫مختصر خليل‬
16. Mukhtashar Khalil, Al-Khalil (w. 776 H)
‫الموافقات للشاطبي‬
17. al-Muwafaqat, as-Syathibi (w.790 H)
‫تبصرة الحكام البن فرحون‬
18. Tabshiratu AlHukkam, Ibnu Farhun (w. 799 H)
‫كفاية الطالب الرباني شرح رسالة ابن القرواني ألبي الحسن بن خلف‬
19. Kifayatu At-Thalib Ar-Rabbani Syarah Risalah Ibnu Al-Qarawani, Abul Hasan bin
khalaf (w. 857 H)
‫التاج واإلكليل للمواق‬
At-Taj wa Al-Iklil, Al-Muwaq (w. 897 H)
‫المعيار المعرب للونشريسي‬
20. Al-Mi'yar Al-Mu'arrwab, Al-Wansyarisi (w. 914 H)
‫كفاية الطالب الرباني أبي الحسن المالكي‬
21. Kifayatu At-Thalib Ar-Rabbani, Abul Hasan Al-Maliki (w. 939 H)
‫مواهب الجليل للحطاب‬
22. Mawahib Al-Jalil Al-Hatabi (w. 904 H)
‫اإلتقان واإلحكام شرح تحفة األحكام شرح ميارة لمحمد بن أحمد‬
23. Al-Itqan wa Al-Ihkam Syarah Tuhfah Al-Ahkam Syarah Miyarah, Muhammad bin
Ahmad (w. 1072 H)
‫شرح الزرقاني على خليل لعبدالباقي الزرقاني‬
24. Syarah Az-Zarqani 'ala Al-Khalil, Abdul Baqi Az-Zarqani (w. 1099 H)
‫شرح الزرقاني على الموطأ لمحمد الزرقاني‬
25. Syarah Az-Zarqani 'ala Al-Muwaththa', Muhammad Az-Zarqani (w. 1122 H)
‫الفواكه الدواني للنفراوي‬
26. Al-Fawakih Ad-Dawani, An-Nafarawi (w. 1120 H)
‫حاشية العدوي على كفاية الطالب البراني‬
27. Hasyiatu Al-Adwi 'ala Kifayati Al-Thalib, Al-Barani (w. 1189 H)
‫حاشية البناني على الزرقاني على خليل‬
28. Hasyiatu Al-Banani 'ala Az-Zarqani Al-Khalil, Al-Banani (w. 1193 H)
‫الشرح الكبير للدردير‬
29. Asy-Syarhu Al-Kabir, Ad-Dardir (w. 1201 H)
‫الشرح الصغير للدردير‬
30. Asy-syarhu Ash-Shaghir, Ad-Dardir (w. 1201 H)
‫حاشية الدسوقي‬
31. Hasyiyatu Ad-Dasuqi, Ad-Dasuqi (w. 1230 H)
‫حاشية الرهوني على الزرقاني‬
32. Hasyiyatu Ar-Rahawani 'ala Az-Zarqani, Ar-Rawahani (w. 1230 H)
‫حاشية األمير على الزرقاني‬
33. Hasyiayatu Al-Amir 'ala Az-Zarqani, Al-Amir (w. 1232 H)
‫اإلكليل لألمير‬
34. Al-Iklil, Al-Amir (w. 1232 H)
‫بلغة السالك للصاوي‬
35. Bulghatu As-Salik, Ash-Shawi (w. 1241 H)
‫منح الجليل فتح العلي المالك محمد عليش‬
36. Minah Al-Jalil, Al-Malik Muhammad Ulaisy (w. 1399 H)
‫جواهر اإلكليل لآلبي األزهري‬
37. Jawahirul Iklil,

C. Kitab Mazhab Syafi'i


Kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah bisa kita bagi
berdasarkan zamannya diantaranya sebagai berikut :
‫األم للشافعي‬
1. Al-Umm, Al-Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H)
‫مختصر المزني‬
2. Mukhtashar, Al-Muzani (w. 264 H)
‫األحكام السلطانية للماوردي‬
3. Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Al-Mawardi (w. 450 H)
‫الحاوي للماوردي‬
4. Al-Hawi, Al-Mawardi (w. 450 H)
‫المهذب للشيرازي‬
5. Al-Muhadzdzab, Asy-Syairazi (W. 476 H)
‫نهاية المطلب إلمام الحرمين الجويني‬
6. Nihayatu Al-Mathlab, Al-Imam Al-Haramain Al-Juwaini (W. 478 H)
‫ الوجيز‬، ‫ الوسيط‬، ‫ البسيط‬- ‫غزالي‬
7. Al-Basith - Al-Wasith - Al-Wajiz, Al-Imam Al-ghazali (w. 505 H)
‫حلية العلماء للشاشي القفال‬
8. Hilyatul Ulama, Asy-Syasyi Al-Qaffal (W. 507)
‫التهذيب للبغوي‬
9. At-Tahdzib, Al-Baghawi (w. 516)
‫متن أبي شجاع‬
10. Matan Abi Syuja', Abu Syja' Al-Ashfahani (W. 593 H)
‫المحرر الرافعي‬
11. Al-Muharrar, Ar-Rafi'i (w. 623 H)
‫فتح العزيز شرح الوجيز الرافعي‬
12. Fathu Al-Aziz Syarah Al-Wajiz , Ar-Rafi'i (w. 623 H)
‫روضة الطالبين النووي‬
13. Raudhatu Ath-Thalibin, An-Nawawi (w. 676 H)
‫منهاج الطالبين النووي‬
14. Minhaju Ath-Thalibin, An-Nawawi (w. 676 H)
‫المجموع النووي‬
15. Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, An-Nawawi (w. 676 H)
‫األشباه والنظائر البن الوكيل‬
16. Al-Ashbah wa An-Nadzhair, Ibnul Wajil (W. 716 H)
‫المنثور للزركشي‬
17. Al-Mantsur, Az-Zarkasyi (w. 794 H)
‫األشباه والنظائر للسيوطي‬
18. Al-Ashbah wa An-Nadzhair, As-Suyuthi (W. 911 H)
‫أسنى المطالب لألنصاري‬
19. Asna Al-Mathalib, Al-Anshari (w. 920 H)
‫تحفة الطالب لألنصاري‬
20. Tuhfatu Ath-Thullab, Al-Anshari (w. 925 H)
‫حاشية عميرة‬
21. Hasyiyatu Al-Umairah (w. 957 H)
‫الفتاوى الكبرى البن حجر الهيتمي‬
22. Al-Fatawa Al-Kabir, Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H)
‫تحفة المحتاج للهيتمي‬
23. Tuhfatu Al-Muhtaj, Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H)
‫مغني المحتاج للشربيني‬
24. Mughni Al-Muhtaj, Asy-Syarbini (w. 977 H)
‫اإلقناع في حل ألفاظ أبي شجاع للشربيني‬
25. Al-Iqna' fi Hilli Alfazhi Abi Syuja', Asy-Syarbini (w. 977 H)
‫فتاوى الرملي‬
26. Al-Fatawa, Ar-Ramli (w. 1004 H)
‫نهاية المحتاج للرملي‬
27. Nihayatu Al-Muhtaj, Ar-Ramli (w. 1004 H)
‫حاشية القليوبي‬
28. Hasyiyatu Al-Qalyubi, (w. 1069 H)
‫حاشية الجمل لسليمان بن عمر‬
29. Hasyiyatu Al-Jamal, Sulaiman bin Umar (w. 1204 H)
‫حاشية البجيرمي على شرح الخطيب الشربيني على اإلقناع‬
30. Hasyiatu Al-Bujairimi 'ala Syarhi Al-Khatib Asy-syarbini 'ala Al-Iqna' ,
Bujairimi (w. 1221 H)
‫حاشية الشرقاوي على تحفة الطالب‬
31. Hasyiaytu Asy-Syarqawi 'ala Tuhfatu Ath-Thullab, Asy-Syarqawi (w. 1227 H)
‫الروضة الندية شرح الدرر البهية صديق حسن خان‬
32. Ar-Raudhah An-Nadiyah Syarah Ad-Durar Al-Bahiyah, Shaqiq Hasan Khan (w. 1207
H)

D. Kitab Mazhab Hanbali


Kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam mazhab Al-Hanabilah kalau kita bagi
berdasarkan zamannya diantaranya sebagai berikut :
‫مختصر الخرقي‬
1. Mukhtashar Al-Khiraqi, Al-Khiraqi (w. 334 H)
‫اإلرشاد للشريف الهاشمي‬
2. Al-Irsyad, Syarif Al-Hasyimi (w. 470 H)
‫األحكام السلطانية ألبي يعلى‬
3. Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Abu Ya'la (w. 457 H)
‫الهداية ألبي الخطاب‬
4. Al-Hidayah, Abu Al-Khattab (w. 510 H)
‫للسام ِ ّري‬
ُ ‫المستوعب‬
5. Al-Mustau'ib, As-Samurri (w. 616 H)
‫عمدة الفقه البن قدامة‬
6. Umdatu Al-Fiqh, Ibnu Qudamah (w. 620 H)
‫المقنع البن قدامة‬
7. Al-Muqni', Ibnu Qudamah (w. 620 H)
‫المغني البن قدامة‬
8. Al-Mughni, Ibnu Qudamah (w. 620 H)
‫العدة شرح العمدة لبهاء الدين المقدسي‬
9. Al-Uddah Syarah Al-Umdah, Bahauddin Al-Maqdisi (w. 624 H)
‫المحرر ألبي البركات‬
10. Al-Muharrar, Abu Al-Barakat (w. 652 H)
‫الشرح الكبير البن أبي عمر شمس الدين ابن قدامة‬
11. Asy-Syarhu Al-Kabir, Ibnu Abi Umar Syamsuddin Ibnu Qudamah (w. 682 H)
‫الفتاوى الكبرى البن تيمية‬
12. Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah (w. 738 H)
‫الفروع البن مفلح‬
13. Al-Furu', Ibnu Al-Muflih (w. 763 H)
‫شرح الزركشي على مختصر الخرقي‬
14. Syarah Az-Zarkasyi 'al Mukhtashar Al-Khiraqi, Az-Zarkasyi (w. 772 H)
‫القواعد البن رجب‬
15. Al-Qawaid, Ibnu Rajab (w. 795 H)
‫المبدع شرح المقنع البن مفلح الحفيد‬
16. Al-Mubdi' Syarah Al-Muqni', Ibnu Muflih Al-Hafid (w. 884 H)
‫اإلنصاف للمرداوي‬
17. Al-Inshaf, Al-Mawardi (w. 885 H)
‫تصحيح الفروع للمرداوي‬
18. Tashihu Al-Furu', Al-Mawardi (w. 885 H)
‫اإلقناع للحجاوي‬
19. Al-Iqna', Al-Hajawi (w. 968 H)
‫زاد المستقنع للحجاوي‬
20. Zadu Al-Mustaqni', Al-Hajawi (w. 968 H)
‫منتهى اإلرادات البن النجار‬
21. Muntaha Al-Iradat, Ibnu An-Najjar (w. 972 H)
‫كشاف القناع للبهوتي‬
22. Kasysyaf Al-Qinna', Al-Buhuti (w. 1051 H)
‫الروض المربع شرح زاد المستقنع للبهوتي‬
23. Ar-Raudh Al-Murabba Syarah Zadu Al-Mustaqni', Al-Buhuti (w. 1051 H)
‫شرح منتهى اإلرادات للبهوتي‬
24. Syarah Muntaha Al-Iradat, Al-Buhuti (w. 1051 H)
‫عمدة الطالب‬
25. Umdatu Ath-Thalib, Al-Buhuti (w. 1051 H)
‫مطالب أولي النهى في شرح غاية المنتهى للرحيباني‬
26. Mathalib Ulinnuha fi Syarhi Ghayati Al-Muntaha, Ar-Ruhaibani (w. 1243 H)
‫مجلة األحكام الشرعية لمال علي قاري‬
27. Majallah Al-Ahkam Asy-Syar'iyah, Mula Ali Qari (w. 1259 H)

E. Kitab Fiqih Modern


Selain kitab-kitab fiqih klasik di atas, di masa modern sekarang ini juga terbit
berbagai kitab fiqih yang disusun oleh para ulama kontemporer yang ahli di bidang
Ilmu Fiqih.
Keunggulan kitab fiqih modern antara lain umumnya dibuat dengan lebih teratur,
terstruktur, dengan format karya ilmiyah yang dilengkapi dengan rujukan dan
literatur yang lengkap. Umumnya para penulisnya adalah profesor doktor atau guru
besar dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di dunia, yang secara khusus memang
membidangi Ilmu Fiqih.
Selain itu, kelebihan kitab-kitab fiqih modern umumnya memuat berbagai masalah
fiqih yang bersifat kekinian, dimana kita tidak akan menemukan jawabannya bila
merujuk kepada kitab-kitab fiqih klasik.
1. Al-Fiqihul Islami wa Adillatuhu
Di zaman modern ini, kitab fiqih yang cukup fenomenal dan penting salah satunya
adalah kitab Al-Fiqihul Islami wa Adillatuhu, (‫ )الفقه اإلسالمي و أدلته‬yang ditulis oleh
ulama Syria, Dr. Wahbah Az-Zuhaily.
Kitab ini ditulis dengan sistem yang mudah dipahami, bahasa yang ringan, dan amat
sistematis, sehingga para mahasiswa mampu membacanya dengan mudah dan ringan,
asalkan pandai berbahasa Arab.
Kitab ini terdiri dari 11 jilid tebal yang sarat dengan berbagai kajian fiqih dari
berbagai mazhab, lengkap dengan dalil-dalil dan kitab rujukan. Total jumlah
halamannya mencapai 8.000 lebih.

Maka tidak salah kalau kitab ini banyak dijadikan kitab pegangan di berbagai
perguruan tinggi Islam di berbagai negeri muslim, khususnya untuk mata kuliah Ilmu
Fiqih.
Kitab ini merupakan kitab yang menuliskan lengkap pendapat fiqih empat mazhab dan
mazhab-mazhab lainnya yang dianggap berpengaruh, dengan disertai dengan dalil-dalil
yang dipakai oleh masing-masing ulama.
Yang menarik, ternyata sudah ada penerbit di Indonesia yang menterjemahkan.
2. Ensiklopedi Fiqih Kuwait
Kita semua memimpikan punya tempat rujukan untuk semua masalah agama yang lengkap
mewakili semua mazhab yang ada, tetapi tidak memihak hanya menyampaikan apa adanya,
disertai dengan dalil-dalil yang kuat dari Quran, Sunnah, Ijma` Qiyas dan berbagai
sumber fiqih lainnya, disusun berdasarkan abjad, dan dikerjakan oleh para ulama
ahli di bidangnya.
Impian itu lama terpendam di benak setiap muslim selama berabad-abad, sampai
akhirnya terbitnya kitab spektatuler yang diberi nama : Al-Mausu`ah Al-Fiqihiyah
Al-Kuwaitiyah (‫)الموسوعة الفقهية الكويتية‬. Sebuah Ensiklopedi Fiqih terlengkap yang pernah
ditulis sepanjang 14 abad lamanya.
Kenapa demikian?
Dunia Islam selama ini mengenal begitu banyak kitab fiqih. Barangkali jumlahnya
sudah mencapai jutaan sejak awal mula masa penulisan hukum fiqih. Tetapi biasanya
kitab-kitab itu disusun berdasarkan mazhab penulisnya. Kitab Al-Umm yang ditulis
Al-Imam Asy-Syafi`i memang kitab yang luar biasa dari segi isi dan hujjahnya. Namun
kita hanya mendapat dalam isinya pendapat-pendapat beliau saja. Pendapat orang lain
tentunya tidak beliau cantumkan.
Demikian juga kalau kita punya kitab Majmu` Fatawa Ibnu Taimiyah. Dari sisi jumlah
jilid, kitab ini lumayan tebal, karena terdiri dari tidak kurang 37 jilid. Entah
berapa lama kita bisa selesai membacanya. Dan yang bikin bingung, menulisnya pasti
membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Tetapi kalau dilihat isi dan konten, Majmu`
Fatawa Ibnu Taimiyah hanya berisi pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah saja.
Yang lumayan banyak mencantum pendapat dari beberapa mazhab untuk dibandingkan
sebenarnya bukan tidak ada. Misalnya Al-Majmu` Syarah Al-Muhadzdzab. Penulisnya,
Al-Imam An-Nawawi tidak hanya melulu menuliskan hasil pendapat mazhab Asy-Syafi`i,
mazhab yang beliau anut. Tetapi beliau juga mencantumkan sekian banyak pendapat
ulama fiqih dari berbagai mazhab.
Ibnu Rusydi Al-Hafid juga menulis kitab yang sama dalam arti berisi perbandingan
mazhab. Namanya kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Kitab ini menjadi
rujukan hampir di semua Universitas Islam baik LIPIA Jakarta, Madinah, Riyadh,
Mekkah dan lainnya.
Bahkan Pondok Pesantren Modern Gontor pun menggunakan kitab ini. Isinya memang
banyak mencantumkan perbedaan pendapat dan dalil-dalilnya dari para ulama.
Tapi yang paling luar biasa pada akhirnya memang kitab yang lagi mau kita
bicarakan, yaitu Ensiklopedi Fqih terbitan Departemen Wakaf dan Urusan Islam
Kuwait. Ada beberapa keunggulan kitab ini dibandingkan dengan kitab-kitab yang tadi
saya sebutkan di atas, misalnya :
a. Semua Mazhab
Kitab ini tidak disusun berdasarkan mazhab tertentu, tetapi semua mazhab Fiqih
Islam yang ada dijelaskan satu persatu dengan lugas, lengkap dengan dalil dan
kitab-kitab rujukan kepada masing-masing mazhab.
b. Jumlah Jilid dan Halaman
Dari sisi jumlah isi konten, kitab ini total berjumlah 45 jilid tebal. Penulis
menghitung jumlah halamannya secara manual, ternyata tidak kurang dari 17.000
halaman.

c. Format Ensiklopedi
Kitab ini tidak disusun berdasarkan bab-bab fiqih seperti umumnya, tetapi disusun
materinya berdasarkan ajbad. Maka kitab ini memang disebut sebagai Ensiklopedi. Dan
cara ini tentu sangat memudahkan bagi para peneliti, dosen, mahasiswa atau
masyarakat umum yang ingin cepat mendapatkan rujukan.
d. Luas dan Mendalam
Begitu banyak masalah fiqih yang tidak tercantum di kitab-kitab sebelumnya,
ternyata di dalam kitab ini semua dijelaskan dengan sangat lengkapnya. Selain itu
kajiannya sangat mendalam, luas dan yang lebih penting adalah masalah akurasinya.
Hampir semua materi diberi footnote yang menginformasikan sumber rujukan dari
kitab-kitab fiqih yang muktamad.
e. Kerja Team
Kitab ini bukan karya perorangan tetapi team yang terdiri dari ratusan ulama yang
pakar di bidangnya dari berbagai belahan dunia. Mereka bekerja siang malam
menyusun, meneliti, membahas, mendiskusikan, membedah kitab-kitab rujukan sehingga
akhirnya selesai hingga terbit dan bisa dinikmati semua orang.
f. Memberi Data Tanpa Tarjih
Kitab ini menghindari pentarjihan perbedaan pendapat yang bersifat pribadi. Jadi
kita tidak akan digiring untuk mengikuti satu pendapat dari sekian banyak pendapat
yang ada. Semua pendapat dijabarkan dengan adil dan lengkap, tapi tanpa kesimpulan
mana yang benar atau salah. Kalau pun ada kesimpulan, paling jauh hanya disebutkan
bahwa jumhur ulama (mayoritas) mengambil berpendapat tertentu.
g. Kekurangan
Kalau pun ada kekurangan, karena kitab ini tidak tersedia di Indonesia. Saya sudah
muter-muter dari satu toko kitab ke toko kitab lain, semua tidak punya. Boro-boro
menjual, penjualnya saja belum pernah tahu kalau kitab itu ada.
Selain itu kalau pun ada yang jual, biasanya harganya selangit. Ada seorang teman
menawarkan harga hampir 10-an juta Rupiah untuk 45 jilid.
Kekurangan ini bisa terjawab sudah, karena kitab ini ternyata ada versi
digitalnya :
Pertama, kitab ini bisa dibuka dengan program Maktabah Syamilah. Keunggulannya,
kita bisa melakukan pencarian (searching) dengan cepat. Lalu juga bisa dicopy
paste. Kekurangannya, tampilannya tidak enak dilihat.
Kedua, versi Pdf. Yang ini memang tidak bisa dicopy paste teksnya, juga kita tidak
bisa melakukan pencarian. Tapi karena versi PDF ini merupakan hasil scan dari kitab
aslinya, membacanya malah enak, karena tampilannya persis seperti buku aslinya.
Kekurangan yang terakhir dari kitab ini -dan ini sangat klasik sekali-, belum ada
versi terjemahannya. Masih bahasa Arab gress. Dan meski sudah terbit sejak tahun
1980, rasanya sampai sekarang belum ada pihak penerbit yang `gila` mau menerbitkan
kitab yang jumlah sampai 45 biji.
3. Al-Mufashshal
Kitab fiqih modern yang juga fenomenal adalah Al-Mufashshal fi Ahkam Al-Mar’ah wa
Al-Bait Al-Muslim fi Asy-Syariah Al-Islamiyah ( ‫المفصل في أحكام المرأة و البيت المسلم في الشريعة‬
‫)اإلسالمية‬.
Kitab yang totalnya terdiri dari 11 jilid ini ditulis oleh ulama negeri Iraq, Dr.
Abdul Karim Zaidan. Beliau adalah guru besar dan rais qism Asy-Syariah Al-Islamiyah
pada Fakultas Hukum Universitas Baghdad, Iraq.
Sebagaimana judulnya, kitab fiqih ini sesungguhnya adalah kitab yang membahas
tentang fiqih wanita. Namun bukan berarti kitab ini tidak bicara tentang hukum
fiqih secara lengkap.
Kalau kita telurusi lebih dalam, sebenarnya kitab ini merupakan karya Ilmu Fiqih
yang cukup lengkap, mulai dari urusan thaharah sampai urusan yang paling luas
seperti mengatur negara, jihad dan seterusnya.
Namun kalau di dalam tema-tema itu ada hal-hal yang menyangkut masalah wanita,
beliau akan membahas secara lebih detail dan lebih panjang, melebihi porsi dari
pembahasan yang umum.
Uniknya, berbeda dengan sistematika buku pada umumnya, buku ini dibuat dengan
sistem nomor yang urut pada tiap sub judul atau sub pembahasan. Mulai dari jilid
satu sampai jilid terahir yaitu jilid 11, nomor-nomor itu terus disusun berurutan.
Pada jilid terahir, kita menemukan nomor itu berjumlah 13.009. Hal itu berarti ada
tiga belas ribuan nomor sub pembahasan dalam 11 jilid kitab ini.
Yang sedikit berbeda lainnya adalah setiap memulai sub pembahasan baru, penulis
tidak memulai dari definisi secara etimologi dan terminologi seperti umumnya
tulisan ilmiyah, melainkan justru memulai dari ayat-ayat Al-Quran atau hadits-
hadits yang terkait dengan tema pembahasan.
Kemudian dilanjutkan dengan mencantumkan kutipan dari kitab-kitab tafsir yang
muktamad, dan diikuti dengan pendapat-pendapat para ulama fiqih yang muktamad yang
dikutip dari kitab-kitab mereka.
4. Fiqhus Sunnah
As-Sayyid Sabiq, ulama Al-Azhar yang aktif dalam pergerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun
pimpinan Hasan Al-Banna, sejak awal abad lalu telah menyusun sebuah kitab fiqih
yang terbilang praktis dan mudah, khususnya buat para pemula. Kitab itu diberi nama
Fiqihus-Sunnah (‫)فقه السنة‬.
Awalnya kitab itu ditulisnya dalam bentuk buku-buku kecil-kecil, lebih dari selusin
jilid. Kemudian jumlah jilidnya terus berkembang dan akhirnya keseluruhannya
dibundel menjadi dua atau tiga jilid ukuran lebih besar.
Kelebihan kitab itu yang utama adalah dari segi kepraktisan, karena memang didesain
sejak awal untuk menjadi kitab yang kecil dan mudah. Tiap masalah dikaitkan
langsung dengan dalilnya, baik Al-Quran maupun as-Sunnah, tanpa menyebutkan
ikhtilaf para ulama, kecuali bila dianggap perlu sekali.
Penulisnya berupaya menghilangkan semua bentuk perbedaan pendapat di kalangan
ulama, awalnya dengan tujuan kepraktisan. Sehingga yang dicantumkan hanyalah apa-
apa yang menurut si pengarang dianggap paling shahih, tanpa menyebutkan bahwa ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah tersebut.
Metode ini dalam beberapa hal ada baiknya, misalnya pembaca tidak diajak berpusing-
pusing membaca sekian banyak perbedaan pendapat. Sebab penulis langsung memilih
satu pendapat saja, tentunya secara subjektif.
Tapi kekurangannya, pembaca jadi tidak tahu bahwa Ilmu Fiqih itu sangat luas, dan
memang ada banyak perbedaan pendapat di dalamnya.
Kekurangan yang lain, meski pengakuan penulisnya bahwa kitabnya ini tidak bertumpu
pada mazhab fiqih tertentu, namun dalam kenyataannya, tetap saja ada beberapa
kendala. Misalnya, kalau diperhatikan dengan lebih seksama, sebenarnya pendapat-
pendapat yang dipilih penulis lebih cenderung mengikuti pendapat mazhab yang dianut
sang penulis, yaitu mazhab Al-Hanafiyah.
Setidaknya, sengaja atau tidak, fiqih mazhab Al-Hanafiyah menjadi sangat dominan
dalam kitab ini. Sehingga kalau mau jujur saja, akan lebih baik kitab ini
disebutkan terus terang sebagai kitab fiqih praktis versi mazhab Al-Hanafiyah.
Tetapi ketika penulisnya tidak membubuhkan identitas mazhab ini, bahkan malah
mengatakan bahwa kitabnya adalah kitab Fiqih Islam yang tidak mengacu kepada mazhab
tertentu, maka yang terjadi justru sebuah kebingungan (confuse), setidaknya di
kalangan muslim yang sudah banyak mendalami fiqih perbandingan antar mazhab.
Karena itulah di Indonesia, khususnya di pesantren yang lekat dengan mazhab Asy-
Syafi’iyah, atau di negeri jiran kita Malaysia, dimana mazhab Asy-Syafi’iyah
dipegang dengan lebih tegas, kitab Fiqihus-Sunnah justru mengalami resistensi.
Salah satunya barangkali karena dianggap sebagai kitab versi mazhab lain yaitu
mazhab Al-Hanafiyah, yang tidak cocok dengan mazhab setempat.
Padahal untuk kitab selevel ini, mazhab Asy-Syafi’iyah pun punya beberapa kitab,
misalnya Kifayatul Akhyar dan lainnya. Sayangnya, Kifayatul Akhyar yang jujur sejak
awal menyebutkan identitas diri sebagai kitab mazhab Asy-syafi’iyah untuk pemula,
justru kurang diminati di kalangan muslim perkotaan, khususnya di Indonesia.
Entah apa sebabnya, mungkin salah satunya karena masih membawa identitas mazhab
tertentu. Sedangkan Fiqihus-Sunnah As-Sayyid Sabiq, barangkali karena justru
mengatakan sebagai bukan kitab fiqih mazhab tertentu, tetapi merupakan hasil
ijtihad sendiri, malah lebih diminati oleh banyak kalangan.
Tapi lepas dari kontroversi itu, kitab Fiqihus Sunnah memang lebih sering nampak di
banyak toko buku, ketimbang kitab fiqih lainnya. Versi terjemahannya di Indonesia
cukup banyak.
Entah benar atau tidak, memang ada semacam support pada pengantar kitab ini, yang
ditulis oleh Hasan Al-Banna. Sebagai tokoh pergerakan yang kondang dan punya cabang
di 70 negara Islam, beliau mendorong para aktifis Al-Ikhwan Al-Muslimun untuk
merujuk kepada kitab karya muridnya ini, bila bicara tentang Ilmu Fiqih.
Mungkin ini juga yang menjadi penyebab dakwah Ikhwan di beberapa tempat mengalami
resistensi, justru dilakukan oleh umat Islam sendiri, karena mereka membawa paham
mazhab yang tidak sesuai dengan mazhab mayoritas yang ada di suatu negara. Wallahu
‘alam.
F. Kitab Fiqih Modern Tematik
Selain kitab-kitab fiqih yang bersifat lengkap, di masa sekarang ini cukup banyak
kitab fiqih yang ditulis berdasarkan tema tertentu oleh para tokoh ulama modern.
1. Karya Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Dr. Yusuf Al-Qaradawi banyak menuliskan pendapat-pendapat beliau yang terkait
dengan hukum-hukum fiqih, namun bukan sebagai kitab fiqih yang lengkap dari bab
thaharah sebagaimana umumnya kitab fiqih yang ideal.
Di antara kitab-kitab yang bertema fiqih yang beliau susun antara lain :
 Al-Halal Wa Al-Haram fi Al-Islam (‫)الحالل والحرام في اإلسالم‬
 Fiqihu Az-Zakah (‫)فقه الزكاة‬
 Fihqu As-Shiyam (‫)فقه الصيام‬
 Fiqihu Al-Jihad (‫)فقه الجهاد‬
 Fiqihu Al-Lahwi wat At-Tarwih (‫)فقه اللهو والترفيه‬
 Al-Fatwa Baina Al-Indhibat wa At-Tasayyub
 Fatawa Mu’ashirah (‫)فتاوى معاصرة‬
 Fi Fiqihil Aulawiyat (‫)فقه األوالويات‬
 Fawaid Al-Bunuk Hiya Ar-Riba Al-Muharram (‫)فوائد البنوك هي الربا المحرم‬
 Zawaj Al-Misyar (‫)زواج الميسار‬
 Al-Hukmu Asy-Syar’i fi Khitan Al-Inats (‫)الحكم الشرعي في ختان اإلناث‬
 Miatu Sual an Al-Hajji wa Al-Umrah wa Al-Udhiyah (‫)مائة سؤال عن الحج والعمرة واألضحية‬
Selain kitab-kitab di atas, tentu beliau juga punya banyak karya lainnya, namun
tidak Penulis cantumkan disini. Hal itu karena menurut hemat Penulis, buku-buku
bukan termasuk buku fiqih.
2. Karya Jadil Haq Ali Jadil Haq
Syeikh Jadil Haq Ali Jadil Haq adalah ulama besar Mesir yang pernah menjabat
sebagai Grand Syeikh di Al-Azhar Mesir. Karya beliau yang fenomenal adalah Al-
Fatawa Al-Islamiyah, yang terdiri dari tiga jilid tebal-tebal.
3. Karya Syeikh Mustafa Az-Zarqa’
Musthafa Az-Zarqa (1904-1998) adalah seorang pakar fikih kontemporer yang tidak
asing di Timur Tengah, bahkan di dunia Islam. Dengan ilmunya yang luas, beliau
banyak memberi fatwa baik lisan mau pun tulisan, yang kemudian dihimpun oleh Majdi
Ahmad Makki, murid Az-Zarqa sendiri. Kitab itu kemudian diberi judul Fatawa
Musthafa Az-Zarqa (‫)فتاوى مصطفى الزرقاء‬.
Disamping fatwa–fatwa yang masih berbentuk tulisan tangan dan fatwa-fatwa baru yang
masih disimpan oleh Az Zarqa yang pernah disampaikan dalam berbagai kesempatan
sejak tahun 1995 hingga tahun 1998.
Banyak karyanya dalam bidang fikih yang sudah dipublikasikan dan menjadi referensi
di berbagai Perguruan Tinggi Islam di dunia. Seperti Al-Madkhal Al-Fiqihi Al-‘Am (
‫ )المدخل الفقه العام‬sebanyak dua jilid tebal, Ahkam Al-Auqaf (‫)أحكام األوقاف‬, Nizam At-Ta’min
(‫)نظام التأمين‬, Nadzariyah Al-Iltizam (‫)نظرية اإللتزام‬, dan sebagainya.
Kepakarannya dalam bidang fiqih ini membuatnya diangkat sebagai pakar penulisan
Ensiklopedi Fiqih di Kuwait selama lima tahun, anggota Lembaga Fiqih Islam RAA dan
OKI dan diundang sebagai dosen tamu di Univesitas Yordania sejak tahun 1971-1989
dan memperoleh penghargaan King Faishal Award tahun 1404 H atas karyanya Al-Madhkal
Ila Nazariah Al-Iltizam Fi Al-Fiqih Al-Islami.
G. Kitab Digital
Dengan kemajuan teknologi modern di masa sekarang ini, kitab-kitab fiqih itu
menjadi mudah didapat. Beribu jilid kitab itu discan secara massal, lalu dalam
bentuk digital disebarkan lewat internet. Sebagiannya diproses menjadi software
yang juga bisa diunduh secara gratis lewat internet.
1. Al-Maktabah Syamilah
Salah satu software yang fenomenal adalah Al-Maktabah Asy-Syamilah, yang mampu
memuat beribu jilid kitab sekaligus. Kelemahan yang biasanya didapat antaranya,
tampilannya sudah tidak asli lagi seperti kitab aslinya, karena sudah menjadi
software.
2. Format PDF
Berbeda dengan kitab hasil scan dan disimpan dengan format e-book seperti pdf dan
sejenisnya. Penampilannya masih asli seperti aslinya, kira-kira sama dengan hasil
foto kopi, tetapi dalam bentuk digital.
Kedua format ini dibantu dengan semakin luasnya jaringan internet, membuat kitab-
kitab yang dahulu tidak mungkin dimiliki menjadi dengan mudah bisa dimiliki.

Bab 2 : Lembaga Fiqih

Tidak lengkap rasanya kalau kita sudah bicara tentang berbagai kitab fiqih baik
yang klasik maupun yang modern, kalau juga kita membicarakan tentang institusi atau
lembaga yang terkait dengan Ilmu Fiqih yang kini bermunculan di berbagai negara.
Lembaga-lembaga fiqih ini ada yang bersifat kedaerahan, ada juga yang didirikan
untuk kebutuhan dan mewakili organisasi tertentu, ada juga yang didirikan dalam
skala nasional pada suatu negara, bahkan tidak sedikit yang bersifat international
dan antar bangsa. Baik yang bersifat regional maupun betul-betul mencakup seluruh
wilayah dunia.
A. Tingkat Dunia
Ada beberapa lembaga fiqih yang terkenal di dunia Islam, di antaranya :
1. Mesir
Setidaknya ada dua lembaga fiqih di Mesir. Pertama adalah lembaga fatwa yang resmi
di bawah pemerintah negara Mesir, yaitu Darul-Ifta’ Al-Mishriyah. Kedua lembaga non
pemerintah milik Al-Azhar yang berada di bawah Al-Azhar Asy-Syarif, yaitu Majma’
Buhuts Al-Islami.
a. Darul Ifta’ Al-Mashriyah
Lembaga fiqih tertua di dunia ada di Mesir, yaitu lembaga fatwa yang bernama Darul-
Ifta’ Al-Mashriyah (‫ )دار اإلفتاء المصرية‬atau Lembaga Fatwa Mesir.
Lembaga Fatwa Mesir ini merupakan lembaga fatwa pertama yang didirikan di dunia
Islam. Lembaga ini didirikan pada tahun 1895 berdasarkan surat keputusan dari
Khedive Mesir Abbas Hilmi yang ditujukan kepada Nizharah Haqqaniyyah No. 10 tanggal
21 November 1895. Surat tersebut diterima oleh Nizharah yang bersangkutan tanggal 7
Jumadil Akhir 1313 nomor 55.
Hingga saat ini lembaga ini terhitung sebagai salah satu pilar utama institusi
Islam di Mesir. Institusi Islam ini ditopang oleh empat lembaga keagamaan, yaitu
al-Azhar Asy-Syarif, Universitas Al-Azhar, Kementerian Wakaf dan Lembaga Fatwa
Mesir. Lembaga Fatwa Mesir melaksanakan peranan penting dalam memberikan fatwa
kepada masyarakat umum dan konsultasi kepada lembaga-lembaga peradilan di Mesir.
Pada mulanya, Lembaga Fatwa Mesir merupakan salah satu lembaga di bawah Departemen
Kehakiman. Mufti Agung Mesir selalu diminta pendapatnya dalam pelaksanaan keputusan
vonis mati dan lainnya. Namun, tugas dan peran Lembaga Fatwa Mesir tidak terbatas
pada hal itu saja, jangkauannya pun tidak terbatas pada wilayah Mesir saja, akan
tetapi meluas hingga ke dunia Islam secara umum.
Hal itu dapat diketahui melalui daftar fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa
Mesir sejak didirikan hingga saat ini yang mencatat pertanyaan-pertanyaan dari
berbagai negara Islam.
Selain itu, Lembaga Fatwa Mesir juga menjadi tujuan delegasi-delegasi yang terdiri
dari para mahasiswa fakultas-fakultas Islam yang berasal dari berbagai negara untuk
belajar dan berlatih menyampaikan fatwa agar mampu melaksanakan tugas tersebut di
negara mereka masing-masing.
Peranan penting Lembaga Fatwa Mesir ini berangkat dari posisinya sebagai referensi
hukum (marja'iyyah) dan karena manhaj moderat (wasathiyah) yang dipilihnya dalam
memahami hukum-hukum syariah dengan menyelaraskan antara pandangan syariah dengan
kebutuhan masyarakat. Hal ini agar tugas menyampaikan fatwa dapat dilakukan secara
teratur dan tidak asal-asalan. Mengingat perkembangan media telekomunikasi yang
sangat pesat di seluruh dunia, maka Lembaga Fatwa Mesir selalu berusaha untuk
mengikuti semua perkembangan itu.
Oleh karena itu, Lembaga Fatwa Mesir memikul tanggung jawab besar akibat
perkembangan telekomunikasi tersebut dan karena semakin banyaknya masalah baru
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Saat ini dipimpin oleh mufti negara Mesir,
Syeikh Ali Jum’at.
Yang menarik dari Rumah Fatwa Mesir ini adalah bahwa mereka bekerja melayani
permohonan fatwa serta menjawabnya dengan berbagai bahasa dalam waktu yang singkat.
Jawaban-jawaban tersebut disampaikan melalui beberapa cara, yaitu:
1. Jawaban secara lisan.
Jawaban ini mengharuskan orang yang ingin menyampaikan pertanyaan (al-mustafti)
untuk datang ke Lembaga Fatwa Mesir. Penanya akan bertemu langsung dengan salah
satu anggota Dewan Fatwa di ruangannya. Anggota Dewan Fatwa ini akan mencatat
identitas dan pertanyaan penanya, lalu menjawabnya serta merekamnya dalam alat
rekam khusus sehingga dapat disimpan dalam database dan digunakan kembali ketika
diperlukan.
2. Jawaban tertulis.
Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan jawaban secara tertulis, yaitu:
a. Mengajukan pertanyaan secara langsung.
Hal itu dilakukan dengan datang secara langsung ke Lembaga Fatwa Mesir lalu
mengajukan permintaan fatwa dengan memberikan semua informasi mengenai pertanyaan
itu jika diperlukan. Lalu pertanyaan itu akan disampaikan kepada salah satu anggota
Dewan Fatwa yang bertugas menjawabnya dan penanya akan mendapatkan penjelasan
tentang waktu pengambilan jawabannya tersebut.
b. Mengirimkan surat melalui pos.
Seorang penanya dapat menuliskan pertanyaannya dan mengirimkannya melalui pos ke
alamat Lembaga Fatwa Mesir, yaitu: Dar al-Ifta al-Mishriyyah Cairo Darrasah Hadiqa
al-Khaaledeen PO. Box 11675.
Surat yang berisi pertanyaan itu kemudian akan diberikan kepada salah seorang
anggota Dewan Fatwa untuk dijawab lalu jawabannya akan dikirimkan kepada penanya
sesuai dengan alamat yang ia cantumkan dalam suratnya.
c. Mengirimkan pertanyaan melalui faks.
Seorang penanya dapat mengirimkan pertanyaannya melalui faks dengan nomor: +20-2
25926143. Pertanyaan yang datang melalui faks ini kemudian akan disampaikan kepada
salah seorang anggota Dewan Fatwa. Setelah itu jawaban akan dikirim melalui faks ke
nomor penanya yang disebutkan dalam pertanyaannya atau ke alamat penanya jika ia
ingin jawabannya dikirimkan melalui pos.
d. Mengirimkan pertanyaan melalui e-mail.
Jika seorang penanya ingin mengirimkan pertanyaan melalui e-mail maka ia harus
membuka website milik Lembaga Fatwa Mesir yaitu www.dar-alifta.org lalu masuk ke
halaman Permintaan Fatwa.
Lalu hendaknya ia menentukan tema pertanyaannya misalnya tentang salat, haji,
puasa, atau lainnya; dan menuliskan pertanyaan serta e-mailnya. Setelah ia
mengirimkan pertanyaannya ia akan mendapatkan nomor khusus yang harus ia simpan
karena akan ia pergunakan untuk membuka jawaban bagi pertanyaannya. Setelah itu
salah seorang anggota Dewan Fatwa akan menjawab pertanyaan tersebut dan mengirimkan
jawabannya ke alamat e-mail penanya.
Sekitar satu jam kemudian penanya dapat melihat jawaban itu di e-mailnya, atau
dengan membuka website Lembaga Fatwa Mesir lalu masuk ke halaman Informasi Fatwa
dan memasukkan nomor khusus yang ia terima ketika mengirimkan pertanyaan.
3. Jawaban melalui telepon.
Lembaga Fatwa Mesir menyediakan servis fatwa melalui telepon baik dari dalam maupun
luar Mesir. Untuk penelepon dari dalam Mesir, maka dipersilahkan menghubungi nomor
gratis 107. Sedangkan untuk penelepon luar negeri maka dapat menghubungi salah satu
nomor mulai dari nomor +20-2-25970400, +20-2-25970401, +20-2-5970402 hingga nomor
+20-2 25970430. Ketika seorang penanya menghubungi salah satu nomor di atas maka
seorang operator di Unit Pusat Layanan Telepon Lembaga Fatwa Mesir akan menerima
teleponnya dan meminta identitasnya.
Setelah itu penanya akan dibimbing untuk mengikuti petunjuk-petunjuk elektronik
sehingga pertanyaannya dapat terekam. Lalu ia akan diberi nomor khusus untuk dia
pergunakan ketika ingin mendengarkan jawaban dari pertanyaannya. Pertanyaan yang
telah terekam itu kemudian dikirimkan ke salah satu anggota Dewan Fatwa yang
bertugas menjawab pertanyaan melalui telepon.
Sekitar satu jam kemudian penanya dapat mendengar jawaban untuk pertanyaannya
dengan menghubungi nomor telepon yang sama dan mengikuti petunjuk yang diberikan.
Berdasarkan kalkulasi terakhir, fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir
setiap bulan, baik melalui lisan, tulisan, melalui pos, faks, telepon ataupun
internet, mencapai sekitar lima puluh ribu fatwa.
b. Majma’ Buhuts Al-Islami

Lembaga fiqih ini bernama resmi Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah (‫)مجمع البحوث اإلسالمية‬.
Didirikan di Mesir sejak tahun 1961 di bawah pimpinan dari Universitas Al-Azhar dan
dipimpin langsung oleh Syaikhul Azhar.
Majma’ ini sesungguhnya adalah bagian dari Al-Azhar Mesir yang terkenal itu.
Terdiri dari 50 orang ulama terbesar dari seluruh dunia Islam. Mereka adalah
representasi dari hampir semua mazhab fiqih yang ada di dunia Islam. Sekjen Majma’
yang pertama adalah Dr. Mahmud Hubbullah.
2. Saudi Arabia
Di Saudi Arabia setidaknya kita menemukan ada tiga lembaga fiqih. Dua di antaranya
bersifat internasional tapi berkantor pusat di negara itu, yaitu Majma’ Fiqih
Islami Ad-Dauli, di bawah Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan Majma’ Fiqih
Islami di bawah Rabithah Alam Islami. Yang ketiga adalah lembaga milik pemerintah
Kerjaan Saudi Arabia, yaitu Haiatu Kibaril Ulama.
a. Majma’ Fiqih Islami Ad-Dauli
Nama resminya Majma’ Al-Fiqihi Al-Islami Ad-Dauli (‫)اإلسالمي الدولي مجمع الفقه‬. Atau
sering diterjemahkan menjadi Lembaga Fiqih Islam International. Lembaga ini
bermarkaz di kota Jeddah Kerajaan Saudi Arabia dan didirikan oleh Al-Munadzdzamah
Al-Muktamar Al-Islami atau kita lebih akrab menyebutnya sebagai Organisasi
Konferensi Islam (OKI).
Organisasi Konferensi Islam sendiri sebuah organisasi internasional dengan 57
negara anggota yang memiliki seorang perwakilan tetap di Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Organisasi ini didirikan di Rabat, Maroko pada 12 Rajab 1389 H (25 September 1969)
dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam yang diselenggarakan sebagai
reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al-Aqsha pada 21 Agustus
1969 oleh pengikut fanatik Kristen dan Yahudi di Yerusalem.
b. Majma’ Fiqih Islami Rabithah Alam Islami
Lembaga ini mirip namanya dengan lembaga fiqih di atas, bedanya lembaga ini
bermarkaz di Mekkah Al-Mukarramah Kerajaan Saudi Arabia. Organisasi yang ini berada
di bawah Rabithah Al-‘Alam Islami.
Nama resminya adalah Majma’ Al-Fiqihi Al-Islami (‫)مجمع الفقه اإلسالمي‬. Rabithah Al-‘Alam
Al-Islami atau Liga Muslim Sedunia adalah organisasi Islam Internasional terbesar
yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381 H/Mei 1962 M oleh 22
Negara Islam. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengelompokkanya sebagai organisasi
non pemerintah dan termasuk anggota UNESCO serta anggota pengamat OKI (Organisasi
Konperensi Islam).
Dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan yang dapat mencerai-beraikan Umat
Islam, maka para pemimpin, ulama, cendikiawan dan pemikir Islam sesudah selesai
melaksanakan ibadah haji berkumpul di Makkah dalam acara muktamar pada tanggal 14
Zulhijjah 1381 H. Mereka bersepakat untuk mendirikan Organisasi Islam Dunia
(Rabithah Alam Islami) bermarkas di Makkah yang bekerja menyatukan umat Islam.
Organisasi ini dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang saat ini dijabat oleh
Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin Al-Turki. Menurut berbagai sumber, Rabithah Alam
Islami dibiayai oleh negara-negara muslim namun dana utama berasal dari pemerintah
Saudi Arabia.
Dana ini dikelola oleh dua kantor utama: kantor Sekretaris Jenderal dan Dewan
Konstituante. Dewan ini memiliki 60 anggota, dengan masing-masing negara diwakili
oleh dua anggota, keanggotaan bersifat sukarela.
c. Haitu Kibaril Ulama
Hai’atu Kibaril Ulama (‫ )هيئة كبار العلماء‬adalah lembaga fatwa remi milik Kerajaan Saudi
Arabia. Didirikan atas surat keputusan dari Raja Saudi pada tahun 1971.
Di dalam lembaga ini berkumpul para fuqaha dan mujtahid dari berbagai perguruan
tinggi di Saudi. Pimpinannya adalah Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syeikh.
Lembaga ini kemudian memiliki unit khusus untuk menjawab semua pertanyaan dari
masyarakat, yang disebut dengan Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-
Ifta’ (‫)اللجنة الدائمة للبحوث العلمية واإلفتاء‬. Lajnah ini juga bertugas mempersiapkan riset
untuk diuji oleh para ulama.
Tahun 1991, Raja mengangkat Syeikh Abdul Aziz bin Baz sebagai mufti kerajaan
sekaligus memimpin lembaga ini. Dan pada tahun 1995, Kerajaan mengangkat Syeikh
Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syeikh sebagai wakil mufti umum urusan perfatwaan,
dengan kedudukan setingkat menteri.
Setelah Syeikh Abdullah bin Baz wafat, pada tahun 1999 Syeikh Abdul Aziz bin
Abdullah Alu Syeikh diangkat menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia. Konon beliau
masih keturunan dari Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Dan sejak tahun 2009, Raja Abdullah menetapkan Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syeikh
sebagai pimpinan lembaga ini.
Raja juga menetapkan dua puluh tokoh dari para ulama yang menjadi anggota lembaga
ini. Mereka adalah :
 Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan
 Shalih bin Abdurrahman Al-Hushain
 Shalih bin Abdullah bin Humaid
 Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki
 Abdullah bin Abdurrahma Al-Ghadayan (w. 2010)
 Abdullah bin Sulaiman Al-Muni’
 Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
 Abdul Wahhab bin Ibrahim Abu Sulaiman
 Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syeikh
 Ahmad Sairul Mubaraki Asy-Syarif
 Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq
 Ya’qub bin Abdul Wahhab bin Yusuf Al-Bahisin
 Abdul Karim bin Abdullah bin Abdurrahman Al-Hudhair
 Ali bin Abbas bin Utsman Hukmi
 Abdullah bin Muhammad Al-Khunain
 Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi
 Muhammad bin Hasan Alu Syeikh
 Saad Asy-Syatsari (dikeluarkan Juni 2009)
 Qais bin Muhammad Abdullatif Alu Mubarak
 Muhammad bin Abdul Karim Al-Isa
3. India : Majma’ Fiqih Islami fil Hind
India termasuk negeri dengan jumlah umat Islam yang sangat besar meski masih di
bawah Indonesia. Setidaknya ada 150-an juta umat Islam yang menjadi warga negeri
ini. Seandainya dahulu Pakistan tidak memisahkan diri, mungkin boleh jadi negeri
ini adalah negara muslim terbesar di dunia.
Untuk mengatasi problem masalah fatwa dan fiqih di tengah masyarakat muslim, di
negeri ini didirikan lembaga fiqih yang bernama resmi Majma’ Al-Fiqihi Al-Islami fi
Al-Hindi (‫)مجمع الفقه اإلسالمي في الهند‬. Lembaga ini berpusat di India dan didirikan tahun
1989 di bawah asuhan para ulama besar India.
4. Eropa : Al-Majelis Al-Urubi li Al-Ifta’ wa Al-Buhuts
Lembaga ini bernama resmi Al-Majelis Al-Urubi li Al-Ifta’ wa Al-Buhuts atau
European Council for Fatwa anda Research (‫)المجلس األوروبي لإلفتاء والبحوث‬, berkedudukan di
Republik Irlandia.
Majelis ini mulai didirikan dari sebuah pertemuan yang diadakan di London di
Inggris pada 29-30 Maret 1997, yang dihadiri lebih dari lima belas ulama dunia,
atas prakarsa dari Ittihad Munazhzhamah fi Uruba (Persatuan Organisasi Islam di
Eropa). Pertemuan ini menghasilkan rancangan konstitusi Majelis.

Tujuan lembaga ini antara lain sebagai upaya untuk mendekatkan para ulama yang
berdakwa di Eropa dalam satu pandangan di bidang pendapat-pendapat pada wilayah
fiqih.
Selain itu lembaga ini juga berupaya menerbitkan fatwa kolektif yang amat
dibutuhkan oleh masyarakat muslim khususnya di benua Eropa. Juga menerbitkan hasil-
hasil penelitian dan riset terhadap masalah-masalah hukum Islam.
Lembaga ini juga memberikan pembinaan kepada umat Islam di Eropa, khususnya kepada
para pemuda, lewat penyebaran kefahaman terhadap agama yang original dan fatwa yang
syar’i.
Lembaga ini sejak berdiri hingga sekarang tercatat sudah mengadakan 19 kali Daurah
yang diadakan secara rutin berpindah-pindah di tiap kota di Eropa, seperti di
Irlandia, Jerman, Bosnia, Perancis, Swedia, Inggris dan Turki.
Lebih jauh tentang lembaga ini, dapat kita buka situs mereka : http://e-cfr.org.
5. Amerika : Majma’ Fuqaha As-Syariah bi Amrika
Di benua Amerika juga berdiri lembaga serupa, yang bernama resmi The Assembly of
Muslim Jurists in Amerika (AMJA) atau Liga Fuqaha Syariah di Amerika. Dalam bahasa
Arab disebut (‫ )مجمع فقهاء الشريعة بأمريكا‬.
Lembaga ini didirikan sejak tanggal 2 Oktober tahun 2002 di Maryland Amerika,
dengan dihadiri peresmiannya lebih dari 40 tokoh ulama besar, bukan hanya ulama
syariah tetapi juga para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu.

Untuk menguatkan hubungan antara Barat dan Timur, lembaga ini juga membuka kantor
di Mesir.
Lembaga ini dipimpin oleh Prof. Dr. Husain Hamid Hassan. Bertindak sebagai wakil
pertama adalah Prof. Dr. Ali Ahmad As-Salus, sedangkan wakil kedua adalah Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili. Sedangkan Prof. Dr. Shalih Ash-Shawi bertindak sebagai
Sekretaris Jenderal.
Untuk mengetahu lebih jauh tentang lembaga ini, silahkan rujuk langsung ke situsnya
: www.amjaonline.com
B. Indonesia
Di Indonesia, lembaga fiqih ada yang didirikan untuk kebutuhan organisasi massa
yang besar, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis, juga ada yang
mencakup buat seluruh anak bangsa seperti Majelis Ulama Indonesia.
1. Majelis Bahsul Masail Nahdlatul Ulama
Majelis Bahstul Masail Nahdhatul Ulama sebenarnya bukan sebuah lembaga fatwa yang
secara rutin berkantor di satu tempat tertentu. Tetapi lebih merupakan lembaga
tempat dimana para tokoh ulama dari ormas ini berkumpul, bermusyawarah dan bertukar
pikiran tentang masalah-masalah hukum fiqih yang berkembang.
Biasanya sidang-sidangnya dilaksanaan bertepatan dengan Muktamar organisasi ini
yang dilakukan beberapa tahun sekali.
Secara historis sebenarnya majelis bahtsul masail sendiri sudah lebih dahulu ada
ketimbang organisasi NU itu sendiri. Bahkan sejak dahulu sudah terbit sebuah
buletin yang bernama Lailatul Ijtima’ Naddhatul Oelama disingkat menjadi LINO.
Buletin itu menjadi media tertulis untutk terjadinya ajang diskusi dan perdebatan
antara para ulama di kalangan ulama NU saat itu.
Misalnya, buletin itu pernah memuat polemik antara KH. Mahfudz Salam dengan Kiyai
Murtadho Tuban, terkait dengan kontroversi khutbah Jumat dengan menggunakan bahasa
Indonesia.
Buku yang mendokumentasikan semua hasil dari Majelis Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
sudah diterbitkan. Isinya cukup lengkap menggambarkan posisi resmi lembaga ini ada
permasalahan fiqih sehari-hari. Hasil-hasil sidangnya terkumpul lengkap sejak tahun
1926 ketika ormas ini berdiri hingga tahun 2004.
2. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Pada tahap-tahap awal, tugas Majelis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah
sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam khazanah pemikiran
Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan
masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks, dan
tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam khazanah pemikiran Islam klasik,
maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan.
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majelis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh
Muhammadiyah, yaitu :
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8. Dr. H. Syamsul Anwar, MA ( 2000-2005 )
Manhaj Tarjih
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan
surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah.
Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji al-mabadi’ al-khamsah
(masalah Lima yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara
umum.
Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan , perumusan Masalah Lima
tersebut baru bisa diselengarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam
Muktamar Khusus Majelis Tarjih di Yogyakarta. Masalah Lima tersebut meliputi :
1. Pengertian Agama (Islam) atau al-Din, yaitu :
Apa yang diturunkan Allah dalam Al-Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang
shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk
kebaikan manusia di dunia dan akherat.
2. Pengertian Dunia (al-Dunya) :
Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rasulullah SAW bahwa “kamu lebih mengerti
urusan duniamu” ialah : segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi
(yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya
kepada kebijaksanaan manusia)
3. Pengertian Al-Ibadah :
Bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan mentaati segala perintah-
perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan mengamalkan segala yang diijinkan
Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus :
a. yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah
b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya,
tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
4. Pengertian Sabilillah :
Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridlaan Allah, berupa segala
amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan
hukum-hukum-Nya.
5. Pengertian Qiyas
Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya
Karena Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majelis Tarjih terus
berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Dan
pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah
ke- 41 di Solo, Majelis Tarjih baru berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj
Tarjih Muhammadiyah.
Adapun Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih (disertai keterangan singkat) adalah sbb :
1. Di dalam Beristidlal
Dasar utamanya adalah Al-Quran dan As-Sunnah As-Shahihah. Ijtihad dan istinbath
atas dasar ‘illat terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash, dapat dilakukan,
sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima
ijitihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada
nashnya secara langsung.
Majelis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad :
Pertama, Ijtihad Bayani
Yaitu menjelaskan teks Al-Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau
mempunyai makna ganda , atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian
dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi
tanah yang di taklukan seperti tanah Iraq, Iran, Syam, Mesir kepada pasukan kaum
muslimin, akan tetapi dijadikan "Kharaj" dan hasilnya dimasukkan dalam baitul-mal
muslimin , dengan berdalil QS Al-Hasyr ayat 7-10.
Kedua : Ijtihad Qiyasi
Yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di
jelaskan oleh teks Al-Quran maupun Hadist, diantaranya : menqiyaskan zakat tebu,
kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok
lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak (7,5 kwintal).
Ketiga, Ijtihad Istishlahi
Yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan
‘illat, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti membolehkan wanita keluar rumah
dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk,
mengharamkan nikah antar agama dan lain-lain
2. Musyawarah
Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam
menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian
pendapat perorangan dari anggota Majelis, tidak dipandang kuat. Seperti pendapat
salah satu anggota Majelis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara
Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya
menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak
dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa
Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi.
3. Tidak Mengikatkan Diri Kepada Suatu Mazhab
Muhammadiyah tidak mengikatkan diri kepada satu mazhba, akan tetapi pendapat-
pendapat mazhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum,
sSepanjang sesuai dengan jiwa Al-Quran dan As-Sunnah, atau dasar-dasar lain yang
dipandang kuat.
Seperti halnya ketika Majelis Tarjih mengambil pendapat Mutarif bin Al-Syahr di
dalam menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan
Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan : Rumusan
di atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat
dengan suatu mazhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada Al-Quran
dan Hadits saja.
Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang
mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk mazhab
sendiri, yang disebut " Mazhab Muhammadiyah ", ini dikuatkan dengan adanya buku
panduan seperti Himpunan keputusan Tarjih (HPT).
4. Berprinsip terbuka dan toleran
Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih
yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang
dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil.
Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain
yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan
yang pernah ditetapkan.
Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena
kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan larangan perempuan
untuk keluar rumah dan lain-lain.
5. Di dalam masalah Tauhid Hanya Digunakan Dalil Mutawatir
Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar
Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau
ulang. Karena mempunyai dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat
Islam, khususnya kepada warga Muhammadiyah.
Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa Persyarikatan Muhammadiyah
menolak beratus-ratus hadits shahih yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan
alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah.
Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat
akan tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya
adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at Nabi Muhammad SAW pada
hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal,
(sirath) jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, (haudh) kolam
Nabi Muhammad SAW, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya
Dajjal.
Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok munkiru as-
sunnah, walau secara tidak langsung.
6. Tidak Menolak Ijma’ Sahabat
Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. Ijma’ dari segi kekuatan
hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk
membuat standarisasi penulisan Al-Quran dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti.
Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama :
ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat.
7. Al-Jam’u wa At-Taufiq
Bila terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara al jam’u
wat-taufiq ". Dan kalau tidak dapat, baru dilakukan tarjih.
8. Saddu Adz-Dzara’i
Menggunakan asas saddu al-dara’i " untuk menghindari terjadinya fitnah dan
mafsadah. . Saddu adz-dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah,
karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang.
Seperti larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah,
karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini
dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah
tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab
di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini
ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.
9. At-Ta’lil
Melakukan ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-Quran
dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syariah.
Seperti perintah menghadap arah Masjid Al-Haram dalam shalat, yang dimaksud adalah
arah Ka’bah. Juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan,
yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada
Muktamar Majelis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti
kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah.
Penyempurnaan dan Pengembangan Majelis Tarjih
Sebagaimana diketahui bahwa Persyarikatan Muhammadiyah merupakan persyarikatan yang
bergerak untuk tajdid dan pembaharuan. Maka Majelis Tarjih, yang merupakan bagian
terpenting dalam organisasi tersebut tidak bersifat kaku dan kolot, akan tetapi
keputusan-keputusan Majelis Tarjih masih ada kemungkinan mengalami perubahan, kalau
sekiranya dikemudian hari ada dalil atau alasan yang dipandang lebih kuat.
Bahkan nama dan kedudukan Majelis dalam Persyarikatan bisa mengalami perubahan
sesuai dengan kebutuhan. Diantara perubahan-perubahan yang terjadi dalam Majelis
Tarjih adalah :
1. Perubahan nama Majelis Tarjih. Karena mengingat, semakin banyak dan kompleknya
problematika-problematika yang dihadapi umat Islam pada puluhan tahun akhir ini.
Terutama berkembangnya pemikiran baru, yang kesemuanya harus dijawab oleh Majelis
Tarjih.
Dan karena nama Tarjih, masih identik dengan masalah-masalah fiqih, maka nama
Majelis Tarjih perlu ditambah dengan sebutan yang bisa mewakili tugas tersebut,
maka dipilihlah nama Pengembangan Pemikiran Islam sehingga namanya menjadi "Majelis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam". Penambahan ini diputuskan pada tahun
1995, ketika dilangsungkan Muktamar Aceh.
2. Penambahan terhadap tiga bentuk ijtihad yang digunakan Majelis Tarjih, yaitu
ijtihad bayani, qiyasi dan istishlahi, dengan ditambah tiga pendekatan baru, yaitu
Pendekatan bayani, burhani dan irfani. Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada
MUNAS Tarjih di Malang, tahun 2000. Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26
di Padang,Oktober 2003. Walaupun telah dilakukan beberapa kali sidang, tiga
pendekatan tersebut masih belum tuntas pembahasannya.
3. Perubahan nama Mukatamar Tarjih menjadi MUNAS (Musyawarah Nasional) Tarjih.
4. Perampingan anggota Majelis Tarjih yaitu dengan menetapkan Anggota Tetap Majelis
Tarjih. Pada awalnya muktamar –muktamar atau musyarawarah musyawarah Majelis yang
bersifat nasional, melibatkan utusan-utusan wilayah-wilayah yang sering berganti-
ganti, atau yang sering disingkat dengan MTPPI Wilayah.
Akan tetapi pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003 dilakukan perampingan
dengan membentuk anggota tetap Majelis Tarjih yang berjumlah sekitar 99 anggota,
yang bertugas untuk melakukan sidang setiap hal itu diperlukan. Langkah-langkah ini
diambil, mengingat kurang efektif dan efesiennya perjalanan Muktamar Tarjih selama
ini, khususnya ketika diganti namanya dengan MUNAS (Musyawarah Nasional).
Walaupun sampai saat ini, keputusan tersebut belum ditanfidkan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, namun akan mempunyai pengaruh yang besar bagi perjalanan Majelis
Tarjih pada masa-masa mendatang.
3. Badan Hisbah PERSIS
Dewan Hisbah adalah sebuah lembaga hukum Islam yang dimiliki oleh Persatuan Islam
(PERSIS). Pada tahun 1930-an, Persatuan Islam lebih memiliki wajah politik yang
dominan, dan setelah zaman kemerdekaan, pada 1950-an, para anggotanya masih
terlibat secara politik.
Adapun yang menarik bagi kita adalah beberapa fatwanya yang dianggap terpengaruh
oleh dinamika perpolitikan lokal zaman itu. Fatwa-fatwa semacam ini disusun
terperinci dalam bab-bab yang beruntun. Fatwa-fatwa politik, atau lebih tepatnya –
menurut MB. Hooker– filsafat politik Persatuan Islam ini, dapat dilihat dari karier
anggota-anggota terkemuka Persatuan Islam.
Moehamad Moenawar Chalil adalah salah satu contoh pertama yang tepat. Beliau adalah
seoarng aktivis politik yang bekerja di berbagai komite negara, termasuk Komite
Nasional Hadits dalam birokrasi agama, dan beliau juga ketua Majelis Ulama
Persatuan Islam.
Pada tahun 1955, tepatnya pada saat pemilihan umum pertama di Indonesia, beliau
mengeluarkan fatwa. Beliau menyatakan bahwa pemilihan umum yang melibatkan partai-
partai muslim, melalui qiyas, disamakan dengan jihad. Dan dengan demikian,
merupakan kewajiban bagi seorang muslim untuk mendukung kepentingan finansial kaum
muslim dengan zakat.
Dalam statemen resminya, Persatuan Islam bahkan berpendapat bahwa semua umat Islam
memiliki tugas untuk terlibat dalam kegiatan politik yang merupakan bagian dari
tugas agama.
Pandangan ini muncul dalam tulisan-tulisan Ahmad Hassan, yang diulangi lagi dalam
tulisan dan pidato Isa Anshary dan Moehammad Natsir. Pandangan seperti ini juga
tercatat dalam garis-garis perjuangan Persatuan Islam dan sepenuhnya didukung oleh
fatwa-fatwa ulama.
Dalam rangka mencari solusi permasalahan para anggota jam’iyyahnya, Persatuan Islam
memiliki lembaga Majlis Ulama yang bertugas memberi fatwa-fatwa hukum. Lembaga ini
sangat produktif dalam melahirkan pemikiran-pemikiran puritanis.
Ketika kepemimpinan Persatuan Islam dipegang oleh KH.E. Abdul Rahman (1960-1983)
majlis ini berganti nama menjadi Dewan Hisbah. Penggantian nama ini dimaksudkan
untuk memperluas tugas dan fungsi ulama agar tidak sekadar memberi fatwa hukum,
tetapi juga melakukan kontrol terhadap para anggota jam’iyyah serta para
eksekutifnya terhadap berbagai penyimpangan yang mungkin mereka lakukan.
Secara fungsional, Dewan Hisbah berkewajiban melaksanakan beberapa tugas, yaitu:
1. Meneliti hukum-hukum Islam
2. Menyusun petunjuk pelaksanaan ibadah bagi anggota jam’iyyah
3. Mengawasi pelaksanaan hukum Islam
4. Memberikan teguran kepada anggota Persatuan Islam yang melakukan pelanggaran
hukum melalui Pusat Pimpinan
Metodologi Dewan Hisbah
Pendekatan yang dilakukan Dewan Hisbah dalam proses pembuatan keputusan adalah
penggabungan antara metode pembahasan modern dan klasik. Gabungan antara ilmu
pengetahuan modern dan klasik merupakan salah satu karakteristik Persatuan Islam.
Karena itu, sebelum memutuskan suatu hukum, terlebih dahulu perlu mendengar
pendapat para ahli ilmu pengetahuan modern tentang bidang yang hendak dibahas,
sehingga diketahui definisi masalah yang hendak dibahas baik menurut etimologi
maupun terminologi.
Dalam membahas suatu permasalahan, Dewan Hisbah tidak berpegang pada satu mazhab
ataupun kitab-kitab klasik tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Forum Bahtsul
Masa’il di kalangan Nahdhatul Ulama dengan al-kutub al-mu‘tabarah-nya.
Menurut Dewan Hisbah, kitab-kitab manapun bisa dipergunakan sebagai pertimbangan,
asal dapat dipertanggungjawabkan isinya secara ilmiah dan sesuai dengan visi
mereka. Mereka menolak kitab-kitab yang bertentangan dengan aqidah mereka seperti
kitab-kitab dari golongan Syi'ah, Khawarij, Rafidhah, Ahmadiyah, dan lain
sebagainya.
Dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath al-ahkam), Dewan Hisbah membatasi diri
melakukan istidlal hanya dari dari Al-Quran dan As-Sunnah saja. Dan ketika tidak
menemukan nash syar’i, maka digunakan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i ) yang
melibatkan para ulama Dewan Hisbah.
Adapun jika terjadi kontradiksi antar nash, maka langkah pemecahan yang diambil
adalah:
1. Sedapat mungkin mempertemukan nash yang kelihatan kontradiksi
2. Melakukan tarjih, yaitu menggunakan hadits yang lebih tinggi derajat
keshahihannya dan meninggalkan yang derajat keshahihannya lebih rendah.
3. Melakukan metode nasakh bila diketahui mana nash yang terdahulu dan mana yang
kemudian.
Dalam masalah ibadah, Dewan Hisbah pada dasarnya tidak menerima konsep ijma’
kecuali sebatas hanya ijma’ yang terjadi di antara para sahabat
ridwanullahi’alaihim.
Lalu kenapa ijma’ di antara para sahabat diterima sebagai sumber hukum? Karena
diyakini bahwa para sahabat tidak akan berani bersepakat menentukan sesuatu hukum
kalau tidak ada landasan yang datang dari Nabi SAW. Jadi menurut Dewan Hisbah,
berarti bahwa pada hakekatnya ijma’ para sahabat tidak berdiri sendiri, tetapi pada
hakikatnya merupakan sesuatu yang didasarkan atau disandarkan kepada sunnah Nabi
SAW juga.
Namun jika terjadi ijma’ dalam masalah agama di kalangan para ulama saja, namun di
luar ijma’ para sahabat, dan pemerintah Islam menggunakan ketetapan itu sebagai
undang-undang negara, maka Dewan Hisbah mewajibkan mengikuti dan mentaati
pemerintah Islam di hadapan umum untuk menunjukkan kesetiaan kepada pemerintah
Islam.
Secara prinsip dasar bahwa Dewan Hisbah tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah.
Namun Qiyas dapat diaplikasikan dalam masalah-masalah yang terkait dengan
mu’amalah, karena qiyas adalah ra’yu (‫)رأي‬, sedangkan ibadah tidak boleh dimasuki
oleh ra’yu. Sebab ra’yu itu menyandarkan sesuatu hanya berdasar pada pemikiran
manusia saja. Dan hal itu dianggap tidak boleh hukumnya.
4. Majelis Ulama Indonesia
Banyak orang selama ini terkecoh mengira bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah
bagian dari lembaga tinggi negara di republik ini. Padahal sesungguhnya MUI semata-
mata hanyalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) murni, tanpa ada keterkaitan secara
birokratis dengan struktur lembaga negara.
Memang di masa awal dari Orde Baru, rezim Soeharto banyak sekali memanfaatkan lidah
MUI sebagai kepanjangan tangan dari legitimasi atas semua kebijakan yang diinginkan
penguasa, namun bukan berarti secara struktural MUI adalah bagian dari lembaga
negara.
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi
ulama, zu'ama (pemerintah) dan cendekiawan Islam di Indonesia untuk membimbing,
membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
a. Berdirinya MUI
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan
dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan
dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua
puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10
orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU,
Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI,
DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh cendekiawan yang
merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah
tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang
dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta
musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, dimana energi bangsa telah banyak
terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah
kesejahteraan rohani umat.
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai
wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
 memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah :
 memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan
kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta;
 menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal
balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
 meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat
khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal
balik.
b. Lima peran MUI
Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan
peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar
c. Daftar Ketua MUI
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau
musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian ketua umum. Berikut ini
adalah data nama para tokoh yang pernah menjabat menjadi ketua umum MUI :

No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan


1 Prof. Dr. Hamka 1977 1981
2 KH. Syukri Ghozali 1981 1983
3 KH. Hasan Basri 1983 1990
4 Prof. KH. Ali Yafie 1990 2000
5 KH. M. Sahal Mahfudz 2000

Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri
tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin
majelis para ulama ini.
d. Hubungan dengan pihak eksternal
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim
serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah
gerakan masyarakat.
Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi
kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan
menjunjung tinggi semangat kemandirian.
Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan
terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan
pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam,
Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi
organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan
tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili
kemajemukan dan keragaman umat Islam.
Majelis Ulama Indonesia, sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama,
zuama’ dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin
hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar
negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta
tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.
Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa
organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan
menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan
bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.
Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam
sebagai rahmatan lil alamin.

Bab 3 : Qanun & Taqnin Syariah

A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, istilah qanun bermakna :
• Al-ashlu (‫ )األصل‬yang artinya adalah akar atau dasar. Dan juga bisa bermakna :
• Miqyasu kulli syai’in (‫)مقياس ك ُِّل شي ٍء‬ ِ yang artinya adalah ukuran segala sesuatu.
2. Istilah
Sedangkan menurut istilah, Doktor Abdul Qadir Al-Far menyebutkan bahwa qanun
didefinisikan sebagai :
َ ‫باعها بِال ُق َّو ِة ِع‬
‫ند االِق ِت َضا ِء‬ ِ ِّ‫جتمع وال ّ ِتي يُجب ُِر األفرا ِد على ات‬
ِ ‫الم‬
ُ ‫في‬ ِّ ُ‫القواع ِد ال ّ ِتي تحك ُُم أو ت‬
ِ ‫نظ ُم ُسل ُوك األفرا ِد‬ ِ ‫مجموع ٌة ِمن‬
ُ
Kumpulan dari ketentuan yang menjadi hukum atau mengatur perilaku individu pada
masyarakat, dimana ketentuan itu memaksa individu itu untuk mematuhinya dengan
kekuatan tatkala ditetapkan.
Kita mengenal qanun secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagai undang-undang,
peraturan, ketetapan, regulasi, dan juga hukum.
Kalau kita rinci pengertian di atas, maka setidaknya dalam sebuah qanun ada
beberapa hal utama, yaitu :
a. Kumpulan Ketentuan
Qanun adalah kumpulan ketentuan dan undang-undang. Dan hal ini yang membedakan
qanun dengan syariah secara umum adalah formatnya yang sudah sistematis,
sebagaimana format sebuah peraturan atau undang-undang yang kita kenal.
Sebuah qanun dirancang sedemikian rupa dengan sistematis, sehingga terdiri bab-bab
yang sudah teratur sesuai dengan tema, ada pasal dan ada ayat-ayat serta butir-
butirnya.
b. Mengatur Individu di Masyarakat
Wilayah qanun adalah mengatur urusan individu dengan individu lainnya, yaitu
menetapkan aturan yang berlaku di tengah masyarakat. Misalnya bagaimana ketentuan
dalam menjamin kehalalan makanan yang beredar, mengatur urusan muamalat dan jual-
beli, sampai menetapkan pemimpin negara.
Sedangkan wilayah syariah, selain mengatur urusan di masyarakat, masih ada wilayah
yang hanya mengatur urusan individu saja tanpa terkait dengan masyarakat. Misalnya
masalah bagaimana caranya beristinja', wudhu', tayammum, mandi janabah, tentu tidak
diatur dalam qanun, karena lebih merupakan ibadah yang individualistis, tidak
terkait dengan hubungan dengan masyarakat banyak.
Meski pun ada ketentuan syariah tentang bagaimana aturan untuk berwudhu; atau mandi
janabah, tetapi tidak pernah ketentuan itu dijadikan qanun, sehingga menjadi sebuah
peraturan atau undang-undang yang berlaku dalam sebuah negara.
c. Memaksa ketika Ditetapkan
Yang dimaksud dengan memaksa dalam hal ini adalah bahwa layaknya undang-undang
dimana pun, maka qanun itu selalu dilengkapi dengan ancaman hukuman atau sanksi.
Sanksi bisa saja merupakan hudud yang ditetapkan langsung oleh Allah SWT, atau bisa
saja berupa ta'dzir yang ditetapkan oleh hakim.
Sedangkan syariah secara umum, masih menyisakan ruang dimana orang yang melanggar
ketentuannya tidak bisa dijatuhi hukuman tertentu, kecuali setelah ketentuan
syariat itu dijadikan qanun terlebih dahulu.
B. Keistimewaan Qanun
Ada beberapa keistimewaan qanun yang bisa kita sebutkan, di antaranya adalah :
1. Sistematis
Secara fisik, qanun merupakan serangkaian peraturan yang disusun secara sistematis,
dengan pembagian tema yang teratur dalam bagian, bab, pasal, ayat, butir, nomor dan
seterusnya. Sehingga susunan qanun yang teratur dengan rapi itu memudahkan siapa
pun untuk mengetahui dan memahami maksud dan ketentuan yang terkandung di dalamnya.
Hal yang seperti ini tidak bisa dengan mudah kita jumpai pada kitab-kitab syariah,
yang biasanya tidak disusun berdasarkan susunan yang sistematis, setidaknya tidak
sesistematis sebuah qanun.
Apalagi kalau kita membandingkannya dengan nash Al-Quran, tentu sangat jauh
berbeda. Meski Al-Quran punya nama tertentu untuk tiap suratnya, namun umumnya isi
dari surat itu tidak hanya melulu terkait dengan namanya.
Misalnya surat Al-Baqarah yang maknanya sapi betina, dari 286 ayatnya yang mencapai
dua setengah juz itu (atau sama dengan 1/12 dari Al-Quran), tidak ada satu pun
peraturan, ketentuan atau hukum yang terkait dengan sapi betina. Lalu kalau memang
demikian, lantas kenapa surat itu disebut dengan surat Sapi Betina?
Ternyata di dalam surat itu ada kisah tentang Bani Israil di masa lalu yang
diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi betina. Anehnya, kisah tentang sapi
betina itu hanya berjumlah tujuh ayat saja dari 286 ayat yang ada.
Dan sama sekali tidak ada kandungan hukum secara langsung buat umat Islam, kecuali
sekedar kisah yang memang pasti mengandung pelajaran, tapi bukan sebuah aturan aau
atau undang-undang.
Tetapi hal itu sama sekali tidak mengurani kebesaran dan keagungan Al-Quran. Sebab
Al-Quran memang tidak tersusun redaksinya sebagai sebagaimana sebuah qanun atau
naskah undang-undang.
Dilihat dari gaya bahasanya, Al-Quran lebih dekat kita sebut sebagai kitab prosa
(natsr), yang merupakan salah satu corak kitab sastra, ketimbang sebuah qanun. Atau
lebih tepatnya, Al-Quran adalah sumber dari qanun, dimana qanun itu kemudian bisa
dibentuk dari hasil istimbath kitab Al-Quran.
2. Bersifat Mengikat
Qanun umumnya bersifat mengikat, bukan hanya buat rakyat atau khalayak, namun juga
mengikat hakim atau qadhi serta penguasa.
Seorang hakim yang tugasnya menegakkan keadilan di tengah masyarakat, telah terikat
untuk memutuskan perkara sesuai dengan ketentuan yang telah tertuang dalam qanun.
Dia tidak boleh meninggalkan qanun begitu saja, dan membuat hukum atau kebijakan
sendiri.
3. Terukur dan Detail
Dalam qanun, segala sesuatu ditetapkan dengan ukuran-ukuran yang pasti dan detail.
Sebagai contoh, apabila secara umum syariat mengharamkan khamar, maka di dalam
qanun ditetapkan batasan sebuah minuman itu memabukkan, yaitu misalnya bila
mengandung kadar Alkoloh lebih dari 2 persen.
4. Memiliki Satu Wajah Yang Pasti
Kita menemukan begitu banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam berbagai
ketentuan hukum, sehingga dalam prakteknya antara satu orang dengan orang lain bisa
saja berbeda-beda.
Setidaknya ada empat mazhab utama dalam fiqih yang sekarang kita kenal. Masing-
masing punya hasil ijtihad yang seringkali berbeda-beda. Dalam beberapa keadaan,
perbedaan pendapat ini membuat ketidak-pastian hukum. Oleh karena itu dengan adanya
qanun yang ditetapkan, maka akan ada satu wajah saja yang digunakan secara resmi.
C. Qanun dan Syariah
1. Perbedaan Qanun dan Syariah
Antara qanun dan syariah terdapat perbedaan yang mendasar. Umumnya qanun disusun,
dibuat dan ditetapkan oleh manusia.
Sedangkan syariat Islam adalah apa yang ditetapkan oleh Allah SWT dan wajib
dijalankan oleh kita sebagai hamba-Nya. Dan umumnya syariat itu masih bersifat
baku, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
Namun bukan berarti qanun itu harus berlawanan dengan syariat. Bisa saja qanun
disusun oleh manusia tetapi dengan merujuk kepada syariat Islam. Jadi yang
menentukan itu bukan buatan manusia atau bukan, melainkan dari mana sumber rujukan
qanun itu sendiri, apakah dari syariat Islam atau dari selainnya.
Yang menjadi objek pembahasan kita disini adalah qanun yang disusun dan ditetapkan
berdasarkan syariat Islam. Dengan kata lain, isi dan kandungan hukum-hukum syariah
disusun sebagaimana sebuah naskah qanun, sehingga mudah dimengerti dan juga mudah
untuk diterapkan. Dan tentunya juga mengikat secara hukum positif di dalam suatu
negara atau wilayah hukum tertentu.
Dan mengqanunkan syariah sering disebut dengan istilah taqnin asy-syariah ( ‫تقنين‬
‫)الشريعة‬.
2. Peninggalan Sejarah
Sejarah menceritakan kepada kita bahwa pertama kali syariat Islam ditulis dalam
format susunan sebuah kitab Undang-undang adalah di masa Khilafah Bani Utsmaniyah
di Turki. Khususnya pada materi-materi yang terkait dengan fiqih muamalah. Ahmad
Jaudat Basya, menteri keadilan di masa itu termasuk orang yang mempelopori
penulisan undang-undang syariat ini.
Undang-undang ini diterbitkan resmi di tahun 1286 M, terdiri dari 1.851 materi.
Qanun di masa itu umumnya merujuk kepada pendapat yang zahir dari mazhab Al-
Hanafiyah, yang memang agak detail dalam urusan muamalat. Al-Imam Abu Hanifah (80-
150 H) dalam kesehariannya adalah seorang pelaku perdagangan yang berjualan kain di
Kufah.
Apabila ada masalah dimana Al-Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan pendapat
kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad, maka yang digunakan adalah yang dipilih
adalah pendapat yang paling sesuai dengan realitas di masa itu dan kebutuhan
publik.
D. Perbedaan Pendapat Tentang Taqnin
Memformat susunan teks hukum-hukum syariat Islam menjadi sebuah kitab Undang-undang
memang memberikan banyak nilai positif bagi banyak pihak. Namun di balik dari itu,
juga anda unsur-unsur yang negatif yang tidak mungkin bisa dielakkan. Sehingga
keberadaan undang-undang syariat ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan
sebagian ulama.
1. Pendapat Yang Menolak
Mereka yang menolak diundangkannya syariat Islam memberikan beberapa argumentasi
yang perlu untuk dipertimbangkan, antara lain :
a. Luasnya Syariat Islam
Syariat Islam terlalu luas untuk sekedar dibukukan dalam sebuah undang-undang. Di
dalam syariat Islam, para ulama bebas berijtihad sesuai dengan realita yang mereka
temukan. Dan karena pada hakikatnya syariat Islam itu sangat luwes dan lentur, maka
terciptalah begitu luasnya bentangan wilayah syariat Islam.
Kalau kemudian syariat Islam dibatasi hanya yang termaktub di dalam Undang-undang
saja, maka secara tidak langsung kita telah mengkebiri dan memasung syariat Islam.
Karena itulah Al-Imam Malik rahimahullah menolak dengan tegas ketika kitab beliau
mau dijadikan sebagai rujukan satu-satunya dalam ketentuan negara. Sebab dalam
pandangan beliau, tidak layak pendapat satu orang saja dijadikan sebagai rujukan
satu-satunya, dengan mengenyampingkan berbagai pendapat para ulama lainnya.
Padahal saat itu Al-Imam Malik diakui oleh seluruh umat Islam dimana pun berada
sebagai orang yang paling tinggi ilmunya dan paling luas pemahamannya terhadap
syariat Islam.
Tapi justru karena luasnya ilmu beliau, maka beliau malah menolak bisa pendapat-
pendapat pribadinya dijadikan undang-undang di dalam Daulah Bani Umayyah saat itu.
Alasannya, agar tidak memasung atau mematikan keluwesan dan keluasan syariat Islam
itu sendiri.
b. Keadaan Selalu Berubah
Salah satu keunggulan syariat Islam adalah dinamikanya yang selalu hidup terus
menerus tidak pernah mati. Setiap zaman selalu melahirkan para mujtahid, yang
selalu merefleksikan realitas di zaman masing-masing dengan teks-teks suci dari Al-
Quran dan As-Sunnah.
Ketika zaman terus mengalami perubahan, maka ijtihad pun akan selalu diperlukan.
Namun kalau ijtihad itu kemudian dibakukan dan diabadikan sebagai undang-undang
yang berlaku untuk seterusnya, maka akan datang suatu masa dimana undang-undang itu
akan mengalami kerentaannya, dia akan udzur dan menjadi usang, serta semakin tidak
realistis lagi.
Mereka yang menolak diundangkannya syariat Islam lebih mengupayakan syariat Islam
dibiarkan dinamis, agar selalu ada ijtihad yang terbaru yang dapat mengantisipasi
realitas yang selalu berubah tiap waktu dan tiap tempat.
c. Mematikan Keragaman Ijtihd
Bila suatu negeri menetapkan taqnin atas hukum-hukum syariah, maka hukum yang
berlaku hanya sebatas apa yang telah ditetapkan dalam taqinin itu.
Padahal boleh jadi apa yang ada di dalam taqnin hanya merupakan satu pendapat dari
sekian banyak pendapat. Dengan adanya taqnin, maka keragaman hasil ijtihad akan
mati dengan sendirinya.
Lantas agama Islam akan menjadi agama yang sempit, karena dibatasi seluas apa yang
telah ditetapkan dalam taqnin itu saja.
d. Mematikan Kemampuan Ijtihad
Dengan adanya taqnin memang para hakim akan sangat terbantu dalam memutuskan
perkara, karena segala pilihan keputusan memang sudah diatur dalam taqnin.
Namun di sisi lain juga ada unsur negatifnya, yaitu para hakim akan malas melakukan
ijtihad, karena meski pun dia berijithad, namun hasilnya tidak boleh berbeda dengan
apa yang sudah ditetapkan dalam taqnin.
Oleh karena itu taqnin akan mematikan potensi para hakim yang seharusnya justru
selalu mengasah ketajaman pisau bedah analisa ijtihadnya. Karena seorang hakim
memang tugas utamanya adalah berijtihad, dan bukan sekedar mengetukkan palu di meja
persidangan.
2. Pendapat Yang Mendukung
Mereka yang tidak mendukung ditaqninnya syariat Islam berhujjah dengan beberapa
dasar, antara lain :
a. Kepastian Hukum
Syariat Islam itu luas sekali, di dalamnya ada ilmu fiqih yang menampung begitu
banyak pendapat para ulama yang berbeda-beda. Fiqih bukan hanya terdiri empat
mazhab yang muktamad, tetapi juga di dalam tiap mazhab itu para ulamanya seringkali
berbeda-beda pendapat atas suatu perkara.
Ketika dua orang berbeda pendapat dalam satu urusan agama, namun masing-masing
berangkat dari latar belakang mazhab yang berbeda. Tentu tidak akan ditemukan titik
tengahnya. Dan akan sangat menjadi masalah apabila perdebatan ini terjadi di dalam
sidang pengadilan. Kalau masing-masing pihak bertahan dengan pendapat mazhabnya,
maka hakim yang menengahi akan kebingungan dalam memutuskan perkara.
Maka keberadaan qanun yang resmi mutlak dibutuhkan. Nanti hakim akan memutuskan
perkara sesuai dengan qanun yang berlaku di wilayah hukum tersebut. Kalau syariat
Islam tidak diundangkan, maka yang terjadi adalah ketidak-pastian hukum. Seorang
hakim akan memutus perkara secara tidak adil, karena dia akan berimprovisasi.
Sebabnya karena tidak adanya acuan baku dalam memutuskan perkara.
Contoh sederhana dalam kasus menghukum orang yang minum khamar. Tentu apa batasan
suatu minuman termasuk khamar atau bukan, harus ditetapkan dulu secara qanun. Sebab
kalau tidak, nanti hakim akan mencambuk orang yang minum sesuatu yang dianggap
khamar oleh hakim secara subjektif, namun menurut si peminumnya itu bukan termasuk
khamar.
Disitulah sebenarnya dibutuhkan pendapat saksi ahli, seperti dokter, ahli kimia dan
ahli gizi untuk menetapkan batasan kapan suatu minuman itu dianggap sebagai khamar.
Tapi kalau tiap kali dilangsungkan pengadilan harus selalu menghadirkan saksi ahli,
tentu akan sangat menyulitkan. Apalagi kalau tiap kali dihadirkan, ternyata para
saksi ahli selalu berbeda-beda pendapat terus.
Maka yang perlu dibuat adalah sebuah qanun tentang batasan suatu minuman itu
dianggap khamar dengan disebutkan semua kriterianya. Qanun inilah nanti yang akan
digunakan oleh hakim dalam menetapkan hukuman buat orang yang dianggap minum
khamar.
b. Qanun Bisa Disesuaikan Dengan Kearifan Lokal
Kekhawatiran mereka yang menolak qanun dengan alasan bawha qanunu akan mempersempit
peran syariat Islam sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya di sisi lain justru
merupakan keuntungan. Karena pada dasarnya syariat Islam itu luas dan sekaligus
luwes, bisa berinteraksi dengan berbagai macam keadaan.
Syariat Islam sangat terkait dengan ‘urf yang berlaku di suatu tempat dan akan
selalu menyesuaikan. Misalnya ‘urf di suatu tempat mengakui sah-nya jual-beli
mu’athah, yaitu jual-beli yang tanpa adanya sighat antara penjual dan pembeli,
bahkan masing-masingnya tidak bertemu langsung. Kalau memang ‘urf-nya di suatu
tempat seperti itu, maka syariat Islam mengakuinya.
Maka pengakuan inilah yang perlu diundangkan dan dibuatkan qanunnya. Tentu dengan
mendefinisikan wilayah berlakunya qanun itu juga. Dengan demikian, seorang pembeli
yang mengambil barang dagangan tanpa sepengetahuan penjualnya tidak lantas otomatis
dihukum sebagai pencuri. Sebab memang begitu-lah qanun yang berlaku, kalau mau beli
suatu barang, tinggal ambil sendiri saja, nanti silahkan bayar sendiri. Qanun
seperti ini sebenarnya adaptasi dari ‘urf yang berlaku di suatu tempat. Namun boleh
jadi ‘urf seperti itu tidak berlaku di tempat lain.
Contoh kecilnya adalah teknik belanja di supermarket dan di warung tradisional. Di
supermarket sudah ada qanun, bahwa calon pembeli dipersilahkan mengambil sendiri
semua barang yang mau dibelinya. Bahkan dipinjemi keranjang atau troli. Yang
penting begitu keluar, semua dibayar di kasir. Namun berbeda kalau kita berbelanja
di warung. Kita tidak boleh mengambil sendiri barang-barang yang kita butuhkan.
Hanya penjual yang boleh mengambilkan buat kita. Kalau sampai kita ambil sendiri
barang di warung, maka kita akan disebut sebagai pencuri atau perampok.
c. Qanun Bisa Diubah dan Diperbaharui
Qanun bisa saja diubah dan diperbaharui apabila dianggap sudah kurang relevan lagi.
Misalnya denda hukuman bagi yang melanggar ditentukan sejuta rupiah. Uang segitu di
masa lalu mungkin sangat besar nilainya. Namun di hari ini nilainya menjadi sangat
kecil, sehingga orang cenderung banyak yang melanggar.
Oleh karena itu maka qanunnya bisa saja disesuaikan dengan perubahan zaman.
Dendanya naik menjadi 10 kali lipat alias sepuluh juta, sehingga orang-orang tidak
lagi berani melanggar peraturan.
d. Qanun Menyempurnakan Syariat
Syariat Islam memang sangat lengkap dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Namun
kalau kita teliti lebih dalam lagi secara kasus per kasus, sebenarnya tetap saja
masih ada lubang-lubang kosong yang menganga dan belum ada jawabannya.
Sebagai contoh sederhana, secara syariah orang yang berzina itu hanya bisa dihukum
manakala ada 4 orang saksi yang melihat bagaimana masuknya kemaluan laki-laki ke
dalam kemaluan perempuan. Dan ini tentu mustahil bisa dilihat oleh saksi-saksi.
Maka hukuman bagi pelaku zina harus batal demi hukum, karena syarat kesaksiannya
tidak terpenuhi.
Lalu apakah tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh demi menghukum pelaku zina,
meski tidak ada 4 orang saksi?
Terus terang kalau hanya mengandalkan hukum hudud yang Allah SWT tentukan langsung
dari langit, tidak bisa dan tidak dibenarkan. Hukum hudud itu hanya boleh
dilaksanakan apabila semua saksinya benar-benar memenuhi syarat. Kalau tidak
terpenuhi, maka hukumannya tidak boleh dilaksanakan.
Makanya dalam ilmu syariah, selain kita mengenal hukum hudud, kita juga mengenal
hukum ta’zir. Hukum ta’zir ini adalah celah yang Allah SWT berikan kepada hakim
untuk menghukum si pelaku sesuai dengan ijtihad dan pandangannya. Orang yang
ketahuan berzina meski secara hudud tidak bisa dihukum lantaran syaratnya tidak
terpenuhi, bisa saja dihukum secara ta’zir. Hakim diberi kewenangan oleh Allah SWT
untuk memberi ‘pelajaran’ kepada si pelaku zina.
Aslinya ta’zir itu wewenang hakim sepenuhnya, terserah hakim mau memberi pelajaran
dalam bentuk apa saja, yang penting tujuannya adalah memberi pelajaran, sehingga
pelaku zina merasa kapok dan tidak mau mengulanginya lagi. Namun kalau setiap hakim
punya kebijakan yang beda-beda satu dengan yang lain, akan kacaulah keadaannya.
Oleh karena itu lewat celah ta’zir, bisa saja dibuat sebuah qanun yang disepakati
bersama tentang bagaimana bentuk hukuman bagi pelaku zina yang tidak masuk kriteria
hukum hudud.

Bab 4 : Fatwa
Kita sering mendengar istilah fatwa, baik dalam rangka memberi fatwa atau meminta
fatwa. Pada bab ini kita akan mengupas hal-hal yang berkaitan seluk-beluk dengan
masalah fatwa dan hal-hal yang terkait dengannya.
A. Pengertian
Kita mulai dari bagian yang pertama, yaitu pengertian fatwa, mufti serta perbedaan
fatwa dengan qanun, qadha' dan ijtihad.
1. Fatwa
Terlbih dahulu kita bahas pengertian fatwa baik dari segi bahasa maupun istilah.
a. Bahasa
Dari segi bahasa, kata fatwa punya akar kata dari afta - yufti - ifta’ (- ‫ يفتي‬- ‫أفتى‬
ً ‫)إفتاءا‬, yang artinya kurang lebih adalah menjawab pertanyaan orang. Dikatakan dalam
ungkapan bahasa Arab :
‫أجبته عن مسأل ِت ِه‬
ُ ‫أفتيتُ ُه فتوى وفُتيا ِإ ذا‬
Aku memberinya fatwa, maksudnya aku menjawab pertanyaannya.
Dan kata fatwa dengan makna menjawab pertanyaan kita temukan beberapa kali di dalam
ayat Al-Quran, di antaranya :
‫يا أيُّها المأل أفتُو ِني ِفي ُرؤياي‬
Hai orang-orang yang terkemuka,”Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu
jika kamu dapat mena'birkan mimpi. (QS. Yusuf : 43)
‫أحدا‬
ً ُ ‫يهم ِم‬
‫نهم‬ ِ
ِ ‫تستفت ِف‬ ‫وال‬
Dan jangan kamu menanyakan tentang mereka kepada seorangpun di antara mereka. (QS.
Al-Kahfi : 22)
‫أشد خلقًا أم من خلقنا‬ ُّ ُ ‫فاستف ِت ِهم‬
‫أهم‬
Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh
kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah
menciptakan mereka dari tanah liat. (QS. Shaaffaat : 11))
b. Istilah
Sedangkan secara istilah, kata fatwa didefinisikan oleh banyak ulama dengan beragam
takrif, diantaranya.
‫عنه‬
ُ ‫يل لِمن سأل‬ ٍ ِ‫رع ِ ّي عن دل‬ ِ ‫الش‬
ّ ‫الحك ِم‬ُ ‫ِين‬
ُ ‫تبي‬
Penjelasan hukum syar’i atas dalilnya bagi orang yang bertanya.
Definisi fatwa ini bisa menjelaskan kepada kita bahwa pada hakikatnya fatwa adalah
sebuah jawaban yang berisi penjelasan tentang hukum-hukum syariah, yang didapat
dari hasil istimbath atas dalil-dalil yang terkait dengan hukum itu.
Karena fatwa adalah sebuah jawaban, maka pada dasarnya fatwa itu tidak berdiri
sendiri, melainkan didahului oleh pertanyaan dari suatu pihak, baik perseorangan
atau pun kolektif.
2. Mufti
Istilah mufti merujuk kepada orang yang ditanyakan kepada masalah hukum-hukum agama
dan dia memberi jawaban. Jawaban itulah yang kemudian disebut dengan fatwa .
a. Bahasa
Maka pengertian mufti secara bahasa adalah
‫فت‬ ٍ ‫فهو ُم‬ُ ‫مر ًة‬
ّ ‫فاعل أفتى فمن أفتى‬ ِ ‫اسم‬
ُ : ‫والمف ِتي ل ُغ ًة‬
ُ
Mufti secara bahasa adalah ism pelaku dari perbuatan memberi fatwa. Maka orang yang
memberi fatwa walau sekali, secara bahasa disebut mufti.
Namun pengertian di atas itu adalaha pengertian fatwa secara bahasa.
b. Istilah
Ada pun yang berlaku adalah pengertian fatwa secara istilah. Ash-Shairafi
mendefinisikan fatwa sebagai :
‫نباط‬ُ ‫نن واالِس ِت‬ ُّ ‫وخه وكذلِك‬
ُ ‫الس‬ ُ ‫ومنس‬ ُ ‫خه‬ ِ
ُ ‫وناس‬ ‫وص ِه‬
ِ ‫وخ ُص‬
ُ ‫رآن‬ ُ ‫ِأمر ِدي ِن ِهم وعلِم ُجمل‬
ِ ‫ع ُمو ِم ال ُق‬ ِ ّ ‫من قام لِلن‬
ِ ‫اس ب‬
Mufti adalah orang yang mengurusi masalah agama bagi orang-orang, dimana dia punya
ilmu tentang Al-Quran, baik yang sifatnya global atau yang khusus, baik yang nasikh
(menghapus) atau yang mansukh (yang dihapus), juga mengenal sunnah dan tata cara
beristimbath.
Sedangkan Az-Zarkasyi mendefinisikan mufti sebagai :
‫يبة ِمن ال ِفعل‬ ِ ‫القر‬
ِ ‫رعي ّ ِة بِال ُق ّو ِة‬
ِ ‫الش‬ّ ‫يع األحكا ِم‬ ِ ‫المف ِتي من كان عالِ ًما ب‬
ِ ‫ِجم‬ ُ
Mufti adalah orang yang memiliki ilmu atas semua hukum-hukum syar’iyah dengan kuat
yang dekat dari perbuatannya.
Tentu yang disebut mufti adalah orang yang profesional dan ekspert di bidang fatwa,
bukan sekedar orang awam yang bodoh dan tidak punya kemampuan, lantas berlagak sok
pintar dan mengeluarkan banyak pernyataan aneh yang justru bertentangan dengan
hukum-hukum syariah.
3. Perbedaan Fatwa Dengan Qanun, Qadha’ dan Ijtihad
Antara fatwa dengan Qanun, Qadha’ dan ijtihad memang punya irisan yang saling
terkait. Namun biar bagaimana pun masing-masing punya jati diri dan satu dengan
yang lain tetap saling berbeda.
a. Qanun
Sebagaimana sudah dibahas pada bab sebelumnya, Qanun adalah undang-undang atau
hukum positif yang berlaku di suatu wilayah hukum.
Qanun yang berlaku di suatu negara Islam, bisa saja bersumber dari sejumlah hasil
fatwa satu atau gabungan dari beberapa mazhab fiqih, namun yang telah
distandarisasi atau dibakukan, sehingga berbentuk aturan yang rinci, terdiri bab,
pasal, ayat, butir dan seterusnya.
Secara umum, Qanun bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan, dan sering juga
tercantum sanksi dan hukuman yang harus dijatuhkan. Sedangkan fatwa sifatnya tidak
mengikat, karena fatwa pada hakikatnya adalah sebuah pandangan atau pendapat
tentang hukum suatu masalah fiqih.
Orang yang bertanya atau minta fatwa tidak diwajibkan untuk menerima fatwa itu.
Bisa saja dia menolak sebuah fatwa. Oleh karena itu, kalau sekedar menerima saja
tidak menjadi kewajiban, apalagi
b. Qadha’
Qadha’ adalah vonis atau keputusan yang dilakukan oleh seorang hakim atau qadhi
atas suatu perkara atau perseteruan dua belah pihak atau lebih.
‫الخ ُصو ِم‬
ُ ‫القاضي بين‬ ِ ‫فصل‬
Keputusan yang ditetapkan oleh qadhi di antara pihak-pihak yang bersengketa
Dalam prakteknya, seorang Qadhi terikat pada Qanun atau undang-undang yang berlaku
di suatu wilayah hukum.
Sebagaimana Qanun, Qadha atau ketetapan yang diambil seorang Qadhi sifatnya
mengikat. Orang-orang yang telah ditetapkan hukumnya oleh Qadhi, wajib
menjalankannya. Bila ketetapan itu berupa vonis hukuman, seperti penjara, hukum
cambuk, hukum rajam dan seterusnya, maka dia wajib menjalaninya.
Berbeda dengan fatwa yang sifatnya tidak mengikat. Seseorang yang meminta fatwa
kepada mufti, boleh menjalankan hasil fatwa itu kalau dia mau, tetapi tidak ada
kesalahan bila dia menolak isi fatwa itu. Dan atas penolakannya itu, dia tidak
terikat dengan sanksi apa pun.
Perbedaan lainnya adalah fatwa itu berangkat dari sebuah pertanyaan, dimana seorang
mufti kemudian menjawab pertanyaan itu. Sedangkan qadha’ berangkat dari
persengketaan, dimana ada dua belah pihak atau lebih yang bersengketa atas suatu
masalah, lalu qadhi memutuskan perkara di tengah mereka.
Persamaan antara fatwa dengan qadha, antara lain sama-sama bersumber kepada Al-
Quran dan As-Sunnah serta sumber-sumber hukum Islam penunjang lainnya.
c. Ijtihad
Pengertian ijtihad menurut istilah adalah :
‫الظ ِن ّ ِ ّي‬ ِ ‫الش‬
ّ ‫رع ِ ّي‬ ّ ‫الحك ِم‬ ُ ِ
‫تحصيل‬ ‫سعه ِفي‬
ُ ‫يه ُو‬ ِ ‫ بذل الف ِق‬.
Mengerahkan segala kemampuan yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih dalam rangka
menghasilkan hukum syar’i yang bersifat dzanni.
Sedangkan hubungan antara fatwa dengan ijtihad adalah bahwa fatwa itu dihasilkan
lewat ijtihad yang dilakukan oleh mufti. Setiap mufti wajib melakukan ijtihad
sebelum menetapkan fatwa, meski seorang mufti tidak diharuskan punya spesifikasi
sampai ke level mujtahid mutlak.
Sebaliknya, seorang mujtahid tidak harus mengeluarkan fatwa. Dalam arti, meski
seorang mutjahid berijtihad, namun bisa saja dia tidak menjawab pertanyaan orang
lain yang disampaikan kepadanya dengan pertimbangan tertentu.
B. Masyru’iyah
Dasar masyru’iyah berfatwa ditetapkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Di antara
firman Allah yang menjadi dasar sebuah fatwa antara lain :
1. Al-Quran
‫ونه‬
ُ ‫اس وال تكتُ ُم‬ ِ ُ‫وِإ ذ أخذ الل ُّه ِميثاق ال ِّذين ُأوتُوا ال ِكتاب لت‬
ِ ّ ‫بي ّنُن ّ ُه لِلن‬
Dan ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
kitab,”Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu
menyembunyikannya," (QS. Ali Imran : 187)
Ayat ini menegaskan kewajiban memberi fatwa dan menerangkan isi Al-Quran kepada
manusia, serta mengandung larangan dari menyembunyikan. Meski konteks ayat ini
kewajibannya dibebankan kepada orang-orang yang diberi Al-Kitab, yaitu orang Yahudi
atau Nasrani, namun kita umat Islam pun sebenarnya termasuk di dalamnya, karena
kita pun menerima Kitab Al-Quran dari Allah SWT
2. As-Sunnah
Kewajiban memberi fatwa atau menjawab pertanyaan tentang agama ini juga didasari
atas hadits-hadits nabawi. Di antaranya adalah sabda beliau SAW berikut ini :
ٍ ‫جام ِمن‬
‫نار‬ ِ ‫كتمه ُألجِ م يوم ال ِق‬
ٍ ِ‫يامة ِبل‬ ُ ٍ ‫من ُسِئل عن ِع‬
‫لم ث ُّم‬
Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu namun dia menyembunyikannya, maka di hari
kiamat dia akan diikat dengan tali kekang yang terbuat dari api neraka. (HR.
Tirmizy)
C. Kemuliaan Orang Yang Memberi Fatwa
Memberi fatwa adalah pekerjaan yang sangat mulia dan mendapatkan banyak pahala dari
Allah SWT Di antara kemuliaan orang yang memberi fatwa antara lain :
1. Ikut Dapat Pahala
Seorang mufti ketika menjelaskan ilmunya kepada orang yang bertanya, lalu orang itu
mengamalkan ilmu yang diajarkan dan mendapat pahala, maka mufti yang mengajarkannya
itu pun ikut juga mendapat pahala yang sama. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah
ketika beliau bersabda :
‫فاعلِ ِه‬ ِ ‫أجر‬
ِ ‫فله ِمثل‬ ُ ‫خير‬
ٍ ‫دل على‬ّ ‫من‬
Barangsiapa menujukkan atas kebaikan maka baginya pahala seperti pahala orang yang
mengamalkannya. (HR. Muslim)
Seorang yang berilmu walau pun belum mampu mengerjakannya, dia bisa mendapat pahala
seolah-olah ikut mengerjakan, bila dia mengajarkan ilmu itu kepada orang lain yang
kemudian mengamalkannya.
Sekedar ilustrasi, ada orang yang ingin berangkat pergi haji. Karena dia tidak tahu
ilmunya, bertanyalah dia kepada seorang alim yang punya ilmu tentang manasik haji.
Meski orang alim ini belum pernah pergi haji, namun dia sudah ahli dalam masalah
manasik haji lewat belajar yang serius. Sehingga semua ilmu yang diajarkannya
memang bermanfaat buat orang yang pergi haji. Maka di sisi Allah, orang alim ini
meski tidak ikut berangkat haji, dia akan ikut mendapatkan pahala dari haji yang
dilakukan oleh muridnya.
Ilustrasi lain, ada orang kaya raya bingung hartanya mau diapakan. Lalu dia
bertanya kepada orang alim, yang kemudian disarankan agar harta itu diwakafkan agar
selalu mengalirkan pahala, meski pemiliknya sudah wafat nanti. Maka orang kaya itu
menuruti nasihat orang alim ini. Hartanya yang amat banyak itu diwakafkan. Dan
benar, karena wakaf ini ada banyak fakir miskin yang bisa kenyang, ada banyak
mahasiswa yang bisa melanjutkan pendidikan, dan ada banyak orang bodoh jadi berilmu
karena adanya wakaf ini.
Tentu semua pahala itu akan mengali kepada orang kaya yang memberi wakaf itu, meski
telah meninggal dunia. Dan orang alim yang menasehatinya pun akan ikut mendapatkan
bagian pahala dari wakaf orang itu, karena dengan sebab ilmu wakaf yang
diajarkannya inilah, maka wakaf itu jadi bermanfaat buat orang banyak.
2. Lebih Utama Dari Mendapat Unta Merah
Rasulullah SAW bersabda :
‫خير لك ِمن أن يك ُون لك ُح ُم ُر النِّع ِم‬ ٌ ِ
‫واح ًدا‬ ً ‫رجال‬
ُ ‫الله بِك‬ ُ ‫فوالله ! ألن يه ِدي‬ ِ
Demi Allah! Seandainya Allah menunjuki seseorang karenamu lebih baik bagimu
daripada kamu mendapat unta merah. (HR. Bukhari)
Imam Al Bukhari rahimahullah membuat judul Bab dari hadits di atas, “Bab: Keutamaan
seseorang memberi petunjuk pada orang lain untuk masuk Islam”. Abu Daud membawakan
hadits di atas pada “Bab: Keutamaan menyebarkan ilmu”.
Penulis ‘Aunul Ma’bud, mengatakan, “Unta merah adalah semulia-mulianya harta
menurut mereka (para sahabat).”
Di lain tempat, beliau rahimahullah mengatakan, “Unta merah adalah harta yang
paling istimewa di kalangan orang Arab kala itu.”
Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah memberikan penjelasan yang cukup apik.
Beliau rahimahullah mengatakan,”Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah unta
merah.Unta tersebut adalah harta teristimewa di kalangan orang Arab kala itu. Di
sini Nabi SAW menjadikan unta merah sebagai permisalah untuk mengungkapkan
berharganya (mulianya) suatu perbuatan. Dan memang tidak ada harta yang lebih
istimewa dari unta merah kala itu.
3. Tingginya Derajat Orang Berilmu
Memberi fatwa adalah hak orang-orang yang berilmu. Orang yang berilmu, bahkan
sebelum berfatwa, sudah mendapatkan kebaikan di sisi Allah SWT, berupa derajat yang
ditinggikan.
‫ِير‬
ٌ ‫درجات والل ُّه بِما تعمل ُون خب‬
ٍ ِ ‫يرفع الل ُّه ال ِّذين آمنُوا ِمنك ُم وال ِّذين ُأوتُوا‬
‫العلم‬ ِ
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.(QS. Al-Mujadilah : 11)
4. Dimintakan Ampun Atas Dosa-dosanya
Orang yang berilmu akan lebih banyak diberikan ampunan oleh Allah SWT dari orang
lain. Hal itu terjadi lantaran begitu banyak makhluk Allah yang memintakan ampunan
untuknya. Bahkan ikan-ikan di lautan yang jumlahnya nyaris tak terhingga pun juga
ikut memintakan ampunan.
‫جوف الما ِء‬ ِ ‫في‬
ِ ‫يتان‬ ِ
ِ ‫والح‬ ِ
‫األرض‬ ‫في‬
ِ ‫موات ومن‬ ِ ‫الس‬
ّ ‫في‬ ِ ‫له من‬ ُ ‫وِإ ّن العالِم ليستغ ِف ُر‬
Dan orang yang berilmu itu dimintakan ampunan oleh semua makhluk Allah yang ada di
sekian banyak langit dan bumi, termasuk ikan-ikan yang ada di kedalaman lautan ikut
memintakan ampun. (HR. Muslim)
D. Yang Diharamkan Memberi Fatwa
Namun meski memberi jawaban syar’iyah atas pertanyaan orang-orang itu hukumnya
wajib dan mendapatkan pahala yang besar, sementara menyembunyikan ilmu itu hukumnya
dosa, bukan berarti setiap orang boleh memberikan jawaban seenaknya.
Maka pada dasarnya, tidak semua orang wajib menjawab pertanyaan, tidak setiap
muslim berhak menjadi mufti. Orang yang tidak punya kapasitas ilmu yang memadai,
justru diharamkan berfatwa. Sebab fatwanya bukan menjadi petunjuk agama, sebaliknya
malah bisa jadi menyesatkan manusia.
Dalam kenyataannya, pemberian fatwa yang diharamkan ada beberapa jenis :
1. Sengaja Berniat Merusak Agama
Ada orang-orang yang secara sengaja berniat untuk merusak agama Islam, lewat fatwa-
fatwa yang menyesatkan serta menjauhkan orang dari agama.
Di masa lalu fatwa yang haram ini misalnya fatwa-fatwa sesat yang disuntikkan oleh
orang-orang zindiq, yang memang niatnya semata-mata ingin merusak agama. Termasuk
fatwa sesat yang dikeluarkan kalangan Mu’tzilah yang berpaham bahwa dosa besar yang
dilakukan seseorang langsung berakibat pada gugurnya status keislamamnya.
Di masa sekarang, contoh yang mudah adalah fatwa-fatwa yang diluncurkan oleh
kalangan aktifis Islam Liberal, yang berfatwa bahwa semua agama sama. Lewat agama
manapun, dalam pandangan sesat kelompok ini, tiap orang akan mendapatkan ridha dari
Allah dan akan masuk ke dalam surga yang sama. Maka nanti di surga, para pendeta,
bikshu, rahib dan ulama akan bersama-sama menempati surga yang satu.
Orang-orang seperti ini, memang niatnya ingin merusak, atau seperti yang
diistilahkan di dalam Al-Quran, mereka ingin meredupkan bahkan memadamkan cahaya
Allah lewat fatwa-fatwa sesat mereka.
‫كره الكا ِف ُرون‬ِ ‫وره ولو‬ ُ ُ ‫ِأفواه ِهم ويأبى الل ُّه ِإ ال ّ أن ي ُ ِت ّم ن‬
ِ ‫يدون أن يُط ِفُؤ وا نُور الل ِّه ب‬
ُ ‫ي ُ ِر‬
Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, dan Allah tidak
menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak
menyukai. (QS. At-Taubah : 32)
Namun Allah tetap akan membela agamanya dari fatwa-fatwa sesat orang-orang yang
hatinya kotor penuh dengan debu kekafiran. Namun kalau mereka beragama Islam, mari
sama-sama kita doakan agar Allah SWT melapangkan hati mereka dengan cahaya-Nya yang
tidak pernah padam.
Dan alangkah banyaknya mereka yang dulu sempat ikut paham liberal, kini sudah
kembali ke jalan yang benar karena hidayah Allah. Apabila Allah sudah memberi
hidayah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya.
2. Kurangnya Ilmu
Fatwa yang menyesatkan boleh jadi lahir bukan karena ingin merusak agama. Malah
kadang justru datang dari motivasi yang baik, yaitu ingin berdakwah untuk agama dan
membela tegaknya hukum Allah.
Namun karena yang memberi fatwa ini bukan orang yang ahli di bidangnya, maka fatwa
yang keluar dari dirinya justru menyesatkan orang lain. Dan penyebab utamanya bukan
sama sekali tidak punya ilmu,tetapi ilmu yang ada kurang jumlahnya.
Pemandangan seperti inilah yang justru saat ini seringkali kita saksikan, baik
secara langsung atau pun lewat media televisi. Hampir setiap hari kita menyaksikan
orang-orang dengan kapasitas seadanya, menjawab banyak pertanyaan yang fatal,
karena terkait dengan hukum halal dan haram, tapi dijawab dengan sekenanya, tanpa
merujuk kepada dalil-dalil syar’iyah yang baku, dan tanpa merujuk kepada pendapat
para fuqaha yang muktamad.
Maka sudah ada tegas peringatan untuk tidak sembarangan memberi fatwa, kalau bukan
memang orang yang ahli di bidangnya. Sebab pertanggung-jawabannya cukup besar,
yaitu api neraka. Rasulullah SAW telah mengancam dalam sebuah hadits bahwa :
ِ ً ‫العلم اِن ِت‬
ً ‫وسا ُج ّهاال‬
ً ‫اس ُر ُء‬ ُ ّ ‫بق عالِ ًما اتّخذ الن‬ ِ ُ ‫حتى ِإ ذالم ي‬
ّ ‫العلماء‬
ُ ‫ِقبض‬ ِ ‫العلم ب‬ِ ‫العبا ِد ول ِكن يقب ُِض‬
ِ ‫ع ُه ِمن‬
ُ ‫ينتز‬
ِ ‫زاعا‬ ِ ‫ِإ ّن الله ال يقب ُِض‬
‫لم فضلُّوا وأضلُّوا‬ ٍ ِ
‫ع‬ ‫ِغير‬
ِ ‫ب‬ ‫فأفتوا‬ ‫ُوا‬ ‫ل‬ ‫ِئ‬ ‫فس‬
ُ
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi
Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa
satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi
pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka
berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menceritakan bahwa umat Islam yang telah kehilangan para ulama, lantas
mereka menjadikan para tokoh yang bodoh dan tidak punya ilmu sebagai tempat untuk
merujuk dan bertanya masalah agama. Alih-alih mendapat petunjuk, yang terjadi
justru mereka semakin jauh dari kebenaran, bahkan sesat dan malah menyesatkan
banyak orang.
Di akhirat, mereka yang berfatwa seenaknya saja dengan berani tanpa dasar ilmu
syariah yang kokoh, diancam dengan api neraka. Rasulullah SAW mewanti-wanti dalam
sabdanya :
‫أجرُؤ ك ُم على ال ُفتيا أجرُؤ ك ُم على الن ّ ِار‬
Orang yang paling berani di antara kalian dalam berfatwa adalah orang yang paling
berani masuk neraka (HR. Ad-Darimi)
Diriwayatkan dari Sufyan dan Sahnun, bahwa mereka pernah berkata :
‫لما‬ً ‫اس على الفُتيا أقل ُّ ُهم ِع‬ ِ ّ ‫أجسر الن‬
ُ
Orangyang paling banyak berfatwa pertanda mereka adalah orang-orang yang sedikit
ilmunya.
Al-Atsram pernah berkata :
‫أدري‬ ِ ‫ ال‬: ‫حنبل يُك ِث ُر أن يقُول‬ ٍ ‫عت أحمد بن‬ ِ
ُ ‫سم‬
Saya seringkali mendengar dari Al-Imam Ahmad bahwa beliau berkata,”Saya tidak
tahu”.
E. Persyaratan Mufti
Kalau memang tidak boleh sembarang orang memberi fatwa, lantas yang jadi pertanyaan
adalah : apa saja persyaratan yang harus dipenuhi agar seseorang berhak memberi
fatwa, dan mendapatkan pahala kebaikan dari fatwa yang diberikannya?
1. Islam
Syarat pertama seorang mufti harus beragama Islam. Sangat tidak masuk akal dan
sangat tidak mungkin sebuah fatwa dikeluarkan oleh orang yang tidak percaya kepada
Allah dan rasul-Nya.
Maka keliru besar orang-orang yang mengaku belajar agama Islam, bukan kepada para
ulama melainkan malah menuju ke Barat, dan mengaji soal-soal agama justru kepada
para orientalis Yahudi, Nasrani atau Atheis.
Jangankan memberi pelajaran dan fatwa tentang agama Islam, orang kafir bahkan
sekedar menjadi wali untuk menikahkan anak perempuannya yang beragama Islam pun
tidak sah. Kesaksiannya pun tidak bisa diterima di pengadilan syariah. Bagaimana
pula orang-orang kafir itu dijadikan mufti dalam urusan agama?
2. Aqil
Seorang mufti disyaratkan harus orang yang waras akalnya, bukan orang gila, idiot
atau syarafnya terganggu. Intinya, orang gila tidak sah bila berfatwa, dan bukan
tempat untuk bertanya masalah agama.
Bertanya ilmu agama harus kepada orang alim dalam arti yang sesungguhnya, dan bukan
kepada paranormal, dukun, atau tokoh-tokoh yang mengaku bisa berhubungan dengan
alam ghaib, dimana ilmunya didapat lewat wangsit, mimpi, kasysyaf, atau keadaan-
keadaan lain yang tidak masuk akal.
Sosok-sosok aneh bin ajaib seperti ini masih banyak beredar di negeri kita. Hanya
karena mereka berjubah dan bersorban besar, seolah-olah mata kita tertipu.
3. Baligh
Syarat nomor tiga bagi seorang mufti adalah baligh. Memang ada anak-anak kecil yang
sudah mumayyiz dan belum baligh, tetapi punya sedikit bekal ilmu yang bermanfaat
buat orang. Namun sekedar baru mumayyiz saja belum cukup untuk dijadikan mufti, dia
harus sudah melewati usia baligh terlebih dahulu.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, masih terbilang sangat beliau ketika diangkat
menjadi mufti di kota Mekkah di masa beliau hidup. Konon beliau baru berusia 15
tahun saja, kalau dalam ukuran kita, belum punya KTP sendiri. Namun ilmu beliau
yang sangat banyak telah membawanya ke martabat paling tinggi di seantero kota
Mekkah, sehingga oleh mufti sebelumnya, beliau dipercaya menjadi mufti secara
resmi.
Dalam usia 15 tahun itu pastilah beliau sudah baligh, meski masih sangat muda. Maka
syarat untuk menjadi mufti bagi beliau sudah terpenuhi.
4. Al-’Adalah
Syarat yang keempat bagi seorang mufti harus punya sifat al-’adalah (‫)العدالة‬. Tapi
maknanya bukan bersikap adil. Istilah al-’adalah ini adalah lawan dari sikap fasik.
Dan fasik adalah seseorang yang mengerjakan perbuatan dosa besar.
Maka kalau disyaratkan seorang mufti harus punya sifat al-’adalah, artinya orang
itu tidak boleh mengerjakan perbuatan yang sifatnya dosa besar.
Dan syarat ini disepakati oleh mayoritas ulama, sebab tidak layak dan amat tidak
pantas kalau ada seorang mufti malah aktif mengerjakan maksiat serta dosa besar.
Dan untuk itu memang ada ancaman yang serius dari Allah SWT :
‫كبُر مقتا ً ِعند الل ِّه أن تقُول ُوا ما ال تفعل ُون‬
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan. (QS. Ash-Shaff : 3)
Namun ada sebagian pendapat yang tidak mensyaratkan secara mutlak bagi seorang
mufti untuk bersifat al-‘adalah.
Di antaranya pendapat Ibnul Qayyim yang mengatakan fatwa yang dikeluarkan oleh
orang fasik hukumnya sah. Pendapat beliau ini terutama bila kefasikan sudah
merajalela, dimana hampir semua orang tidak bisa terlepas dari kefasikan ini. Lalu
dari sebagian orang yang terkena kefasikan ini, ada yang mengatakan bahwa apa yang
mereka kerjakan itu adalah sesuatu yang salah dan dosa.
Maka pernyataannya itu termasuk fatwa yang sah menurut Ibnul Qayyim, meski
pelakunya masih melakukan dosa itu. Asalkan dia tidak secara terang-terangan
mengerjakannya, atau tidak mengkampanyekan dosa kepada orang-orang.
Kira-kira kasusnya mirip dengan bunga bank yang haram. Di zaman ini, sulit bagi
kita untuk bisa terlepas 100% dari debu riba perbankan ini. Dan bila ada yang
berfatwa haramnya bunga bank, fatwanya sah, meski orang yang berfatwa itu masih
punya tabungan di bank.
5. Ijtihad
Seorang mufti harus seorang yang punya kapasitas dalam berijtihad. Sebab ketika dia
berfatwa maka dia harus bertanggung-jawab atas fatwa yang dikeluarkannya. Dan
bentuk pertanggung-jawabannya berangkat dari hasil ijtihad yang dilakukan secara
benar dengan memenuhi semua syarat dan kaidah dalam berijtihad.
Seorang yang mengeluarkan pendapat yang hanya didapat dari hasil ijtihad orang
lain, maka dia tidak disebut sebagai mufti, dan apa yang dia sampaikan bukan
merupakan fatwa dalam arti sesungguhnya. Orang seperti ini kita sebut sebagai orang
yang sekedar menyampaikan pendapat orang lain, dan oleh karena itu isinya bukan
fatwa.
F. Adab-adab Mufti
Seorang mufti seharusnya adalah sosok orang yang dihormati dan disegani, baik
karena ilmunya atau pun juga karena adab-adab yang menjadi latar belakang
kepribadiannya. Adab harus dimiliki oleh mufti, karena biar bagaimana pun tingkat
penerimaan manusia sangat dipengaruhi oleh tinggi adab yang memancar dari diri
seseorang.
Yang termasuk wilayah adab bagi seorang mufti cukup luas, seperti masalah pakaian,
perilaku, niat, konsekuensi, bahkan sampai kepada kondisi psikologisnya juga.
1. Pakaian
Seorang mufti diutamakan berpenampilan yang khas dan lazim oleh masyarakat luas
sebagai seorang pemberi fatwa. Tentu tidak harus pakaian yang mewah atau mahal,
juga tidak perlu mengada-ada, sehingga malah lebih mirip badut atau tukang sulap.
a. Pakaian Syar'i
Yang utama dari pakaian seorang mufti tentu pakaian yang syar'i, yaitu menutup
aurat, tidak menyerupai pakaian orang kafir atau lawan jenis, juga bukan merupakan
pakaian yang menggambarkan sifat riya', 'ujub dan sombong.
Dan ketentuan lain adalah bahan pakaian itu harus bebas dari emas dan sutera bagi
yang laki-laki, namun tidak mengapa bagi wanita.
b. Pakaian Khas
Selain harus syar'i, tentu pakaian mufti dibutuhkan yang khas agar masyarakat mudah
mengenali mereka, dan tidak salah alamat ketika bertanya tentang masalah agama.
Sekedar catatan, dahulu para ulama memang mudah dikenali dari kostumnya yang
berbeda dari masyarakat awam. Tentu hal ini bukan dalam rangka riya' atau cari
sensasi tapi kosong isi. Tetapi fungsinya agar orang tidak salah ketika bertanya
kepada para ulama, karena mereka punya kostum yang khas.
Kira-kira perbandingannya adalah dalam masalah pelayanan umum dan menjaga keamanan,
kita ini membutuhkan polisi. Kalau polisi tidak pakai seragam, lantas bagaimana
masyarakat bisa mengenalinya?
Oleh karena itu, wajar bila polisi mengenakan seragam tertentu. Dan polisi harus
bangga dengan seragamnya itu dalam arti yang positif. Polisi yang baik tentu
mengerti bahwa seragamnya itu dikenakan bukan sekedar untuk jual tampang atau
bangga-banggaan. Di balik seragam itu ada tanggung jawab yang besar, moral yang
tinggi, serta pengabdian kepada masyarakat yang mendalam.
Demikian juga para ulama di masa lalu, mereka punya ciri khas seperti jubah panjang
dengan sorban dan sebagainya. Namun boleh jadi kostum dan atribut para mufti ini
berbeda-beda pada tiap-tiap negeri, karena faktor budaya dan 'urf lokal. Maka apa
yang mereka kenakan di suatu negeri boleh jadi berbeda dengan yang dikenakan di
negeri yang lain.
Yang dikenakan oleh para masyaikh Al-Azhar hari ini adalah jubah panjang lengkap
dengan torbus atau kopiah merah yang dililit dengan sorban putih.
Kalau di negeri kita, khas pakaian para ulama tentu sarung, baju koko, kopiah atau
sorban yang melilit kepala, serta rida', yaitu sorban yang diselempangkan ke
pundak. Walau pun atribut seperti ini sebenarnya tidak baku, karena ada sebagian
yang juga mengenakan jas dan celana panjang.
Tetapi baju gamis model Pakistan yang panjangnya sampai paha atau lutut, serta
celana panjang yang potongannya lebar tapi panjangnya cuma separuh dari umumnya
celana panjang yang kita, atau biasa disebut cingkrang jauh di atas mata kaki,
bukan khas Indonesia.
Namun intinya, kostum dan atribut itu dikenakan untuk memudahkan orang mengenal
para mufti, agar mudah ditemui dan dimintai penjelasannya.
Sayangnya oleh mereka yang kurang ilmu, seragam khas para ulama ini lantas
dijadikan kontes mode bagaikan peragaan busana. Mereka yang bukan ulama, tanpa rasa
malu naik ke atas catwalk dan mondar-mandir kesana kemari, berlanggak lenggong
dengan sangat pe-de. Sayang sekali mereka tidak tahu, bahwa pakaian itu dahulu
adalah pakaian yang tidak boleh dikenakan oleh sembarang orang.
Ibarat seragam polisi, meski kita bisa beli dengan murah di bilangan Pasar Senen
Jakarta, tapi kalau seragam itu kita pakai lantas kita berdiri di perempatan jalan,
maka kita harus siap-siap diciduk oleh polisi yang asli. Kita akan dikenakan pasal
berlapis, karena telah memakai seragam polisi, padahal kita bukan polisi.
Sayangnya, di masa sekarang ini, seragam para ulama itu telah kehilangan makna.
Mereka yang bukan ulama, agaknya rajin mengenakan pakaian ulama. Sebaliknya, mereka
yang sesungguhnya punya kapasitas sebagai ulama, umumnya malah merasa rendah hati
untuk tidak mengenakannya.
Namun sebenarnya masalah ini bukan tidak ada jalan keluarnya. Toh kita masih
mengenali para ulama ini lewat tulisan ilmiyah mereka. Sebab tulisan mereka itu
adalah salah satu jati diri mereka, yang dengan mudah bisa kita uji isi dan
materinya. Dan untuk ukuran hari ini, nampaknya akan jauh lebih mudah kita
mengenali para ulama dan mufti lewat karya mereka, dan bukan lewat busana mereka.
Bukankah kita mengenal Dr. Yusuf Al-Qaradawi lebih karena kita membaca tulisan
beliau, ketimbang pakaiannya. Bukankah kita membaca dulu 11 jilid kitab Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu, baru kemudian kita kenal wajah Dr. Wahbah Az-Zuhaili dengan
pakaiannya. Dan bukankah kita lebih kenal 11 jilid kitab Al-Mufashshal karya Abdul
Karim Zaidan, sementara sosok wajahnya saja belum pernah kita lihat.
Para ulama zaman sekarang bisa dengan mudah kita kenali lewat tulisan ilmiyah
mereka yang berbobot.
2. Perilaku
Seorang mufti dituntut untuk punya perilaku yang lurus, sebagaimana layaknya
seorang muslim. Sebab apa yang menjadi tugasnya, yaitu meluruskan moral umat, akan
sangat dipertaruhkan, manakala justru moral mufti itu sendiri bermasalah.
Allah SWT mempertanyakan orang-orang yang kerjanya memerintahkan orang lain untuk
mengerjakan kebaikan, sementar dia sendiri malah tidak mengerjakannya.
َ ‫اب َأ َفال َ تَع ِقل‬
‫ُون‬ َ ‫ون َأنفُ َسك ُم َوَأنتُم تَتل‬
َ َ‫ُون ال ِكت‬ َ ‫نس‬
َ َ‫َاس بِالب ِ ِّر َوت‬
َ ّ ‫ون الن‬ ُ َ‫َأت‬
َ ‫أم ُر‬
Mengapa kamu suruh orang lain kebaktian, sedang kamu melupakan diri mu sendiri,
padahal kamu membaca Al Kitab ? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS. Al-Baqarah : 244)
Bahkan di ayat lain disebutkan bahwa Allah SWT bukan hanya mempertanyakannya,
bahkan juga marah besar atas sikap seperti itu.
‫ُون‬ َ َ‫ند الل َّ ِه َأن تَقُول ُوا َما ل َا ت‬
َ ‫فعل‬ َ ‫ُون ك َبُ َر َمقتًا ِع‬َ ‫فعل‬
َ َ‫ُون َما ل َا ت‬ َ ‫يَا َأي ُّ َها ال ّ َ ِذ‬
َ ‫ين َآ َمنُوا لِ َم تَقُول‬
Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu berkata hal-hal yang tidak kamu
lakukan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaf : 3)
Para mufti bukanlah para pendeta Eropa di abad pertengahan yang berpenampilan
sebagai orang suci, namun di balik tabir gereja mereka, ada sejumlah kemaksiatan
yang ditutup-tutupi. Para pendeta di masa itu justru pelaku judi, khamar, zina,
prostitusi, lahirnya anak-anak haram di luar nikah, bahkan sampai ke wilayah
perbuatan naif, homoseksual dan lesbianisme.
Para mufti adalah sosok orang yang punya standar moral yang tinggi, seluruh
kehidupannya bisa dijadikan teladan, serta penuh dengan nilai-nilai luhur.
3. Niat
Sorang mufti harus punya niat yang bersih, tulus dan suci, serta mampu menjaga niat
suci itu sampai hembusan nafas terakhirnya.
Tujuan belajar ilmu syariah dan pada akhirnya dengan ilmunya itu dia menjadi mufti,
sama sekali tidak boleh dilatar-belakangi untuk menduduki jabatan dan posisi
tertentu, apalagi sekedar untuk mendapatkan popularitas, kemasyhuran, gelar atau
kesenangan dunia lainnya.
Tujuan utama seseorang untuk menjadi mufti tidak boleh untuk sekedar mendapatkan
upah materi, apalagi imbalan dari orang yang minta fatwa. Sebab Allah SWT tegas
menyebutkan berkali-kali di dalam kitab-Nya tentang hal itu.
ُ ‫جر َو َما َأنَا ِم َن‬
َ ‫المتَك َ ِل ّ ِف‬
‫ين‬ ٍ ‫َيه ِمن َأ‬ ِ ‫عل‬َ ‫قُل َما َأسَألُك ُم‬
Katakanlah : "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah
aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. (QS. Shaad : 86)
Ternyata ada banyak ayat seperti di atas, diantaranya surat Yunus ayat 72, Yusuf
ayat 104, Al-Furqan ayat 57, Asy-Sy'ara' ayat 109, 127, 145, 164 dan 180, dan surat
Saba' ayat 47.
Semua berisi ayat yang identik, seolah-olah ayat di atas diulang berkali-kali oleh
Allah SWT, yang intinya tugas Nabi dan para penerusnya bukan untuk meminta-minta
uang atau tunjangan, apalagi harta yang banyak.
Mufti dalam agama Islam tidak bisa disamakan dengan gereja di Eropa zaman
kegelapan, yang kerjanya menjual surat pengampunan dosa, untuk mendapatkan harta
yang banyak. Di masa itu kedudukan paus menjadi rebutan banyak kalangan, termasuk
para bandar dan investor hitam.
Mereka sampai rela memodali pastor tertentu untuk menjadi kader yang mereka usung.
Mereka juga sangat bermurah hati untuk menyogok banyak pihak, termasuk membeli
suara dewan gereja, agar memilih kadernya biar bisa naik ke jenjang tertinggi.
Tujuannya tentu agar setelah menjabat posisi yang paling tinggi, sang pastor bisa
mengatur urusan bisnis dengan lancar, termasuk dengan para penjahat dan bos mafia.
Bisnis jual-beli kitab suci ini sudah Allah SWT ceritakan di dalam Al-Quran, yaitu
para pendeta dan pemimpin agama dari kalangan ahli kitab di masa lalu. Allah SWT
sebutkan mereka adalah orang-orang yang celaka.
‫يل ل َّ ُهم ِ ّم َّما‬ ِ ‫يل ل ّ َ ُهم ِ ّم ّ َما كَتَبَت َأي ِد‬
ٌ ‫يهم َو َو‬ ٌ ‫ُون َهـذَا ِمن ِعن ِد الل ِّه لِيَشتَ ُروا ب ِِه ث ََمنا ً َقلِيال ً ف ََو‬ ِ ‫اب ِبَأي ِد‬
َ ‫يهم ث ُّمَ يَقُول‬ َ َ‫ون ال ِكت‬ َ ‫يل ِل ّل َّ ِذ‬
َ ُ‫ين يَكتُب‬ ٌ ‫ف ََو‬
‫ون‬
َ ُ َ ‫ب‬ ‫كس‬ ِ ‫ي‬
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan
mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", untuk memperoleh keuntungan
yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka,
akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah
bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 79)
4. Tidak Tertekan
Salah satu adab yang sangat penting ketika mengeluarkan fatwa adalah seorang mufti
tidak boleh berada dalam keadaan yang tertekan, baik secara fisik ataupun secara
psikologis.
a. Lapar atau Haus
Apabila seorang mufti dalam keadaan lapar dan haus, maka dikhawatirkan dirinya akan
kurang maksimal menjalankan tugasnya. Maka ada baiknya sebelum berfatwa, kebutuhan
dasarnya harus dipenuhi terlebih dahulu.
Tetapi jangan disalah-mengertikan bahwa sebelum dimintai fatwanya, seorang mufti
harus ditraktir atau diajak makan di restoran yang enak-enak, sehingga nanti ketika
memberi fatwa, akan lebih berpihak kepada yang mentraktir.
Sebaliknya, justru seorang mufti harus menghindari untuk menerima traktiran dari
orang yang bertanya kepadanya, agar tetap bisa profesional dalam menjawab. Apa yang
salah tetap dikatakan salah, meski pun itu pahit. Dan apa yang harus dikatakan
benar, maka dikatakan itu benar.
b. Kebelet
Ketika sedang kebelet untuk buang air, sebaiknya sang mufti tidak memberi fatwa.
Hal itu dilakukan demi objektifitas fatwanya, agar tetap terjaga kualitasnya.
Sebab orang yang sedang menahan kencing atau buang air besar, tidak akan bisa
berpikir dengan normal dan lurus.
c. Sedih dan Kecewa
Ketika kondisi psikologis seorang mufti sedang labil atau terguncang, maka tidak
dianjurkan untuk mengeluarkan fatwa.
Rasa sedih karena ditinggal orang yang dicinta, sedikit banyak akan berpengaruh
pada objektifitas fatwanya. Demikian pula rasa kecewa yang sangat mendalam, juga
besar pengaruhnya pada objektifitas fatwa sang mufti.
Oleh karena itu, seorang mufti sebaiknya terhindar dari keterlibatan secara
emosional dengan kasus yang ditanganinya, agar tetap bisa rasional dan terhindar
dari sikap emosional.
d. Marah
Seorang yang sedang dalam keadaan dikuasai oleh amarahnya, tentu akan labil dalam
mengambil keputusan. Oleh karena itu Rasulullah SAW pernah bersabda :
‫ان‬
ُ َ‫ين َو ُه َو غَضب‬ ِ َ ‫ين اثن‬َ َ‫قضيَ ّ َن َحك َمٌ ب‬ ِ َ ‫ال َ ي‬
Janganlah seorang hakim memutuskan perkara di antara dua orang dalam keadaan marah.
(HR. Bukhari Muslim )
e. Berkonsultasi Dengan Pakar dan Ahli
Di zaman modern ini, setiap masalah punya ahli di bidangnya masing-masing. Dan
nyaris mustahil ada orang yang mengerti semua cabang dan bidang kehidupan.
Maka seorang mufti juga mustahil bisa bekerja sendirian tanpa melibatkan para pakar
dan ahli di bidangnya. Sebab boleh jadi dia tidak mengerti duduk permasalahan, lalu
memutuskan perkara dengan keliru, akibat keawamannya.
Seorang mufti memang harus tahu banyak hal, tidak hanya mengenal urusan agama
semata. Seorang mufti dituntut untuk bisa menyelesaikan banyak masalah di berbagai
sudut kehidupan manusia. Kalau dirinya tidak banyak tahu realita kehidupan, maka
akan terjadi kesenjangan antara fatwa dengan kenyataan.
Oleh karena itulah Allah SWT tidak pernah mengutus para nabi dan rasul kepada suatu
bangsa, kecuali nabi dan rasul itu berasal dari bangsa itu sendiri. Tujuannya agar
para nabi dan rasul itu mengerti betul objek dakwahnya dan kepada siapa mereka
berbicara.
Para nabi dan rasul tidak diutus kecuali mereka berbahasa umatnya.
‫َوم ِه لِيُبَيّ َِن ل َُهم‬
ِ ‫ان ق‬ ِ ‫ول ِإ ال َّ ِبلِ َس‬
ٍ ‫رسلنَا ِمن ّ َر ُس‬ ‫َوما َأ‬
َ َ
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (QS. Ibrahim : 4)
Bahkan Rasulullah SAW tegas sekali menyebutkan bahwa beliau sendiri bukan ahli
dalam segala bidang. Kita tentu hafal sekali dengan sabda beliau yang satu ini :
‫ور ُدنيَاك ُم‬ ِ ‫َأنتُم َأعل َُم ِبُأ ُم‬
Kalian lebih mengerti dengan urusan dunia kalian. (HR. Muslim)
Padahal yang beliau maksud ketika mengucapkan kalimat ini tentang penyerbukan bunga
kurma, sesuatu yang sangat akrab dengan kehidupan beliau SAW sebagai penduduk
Madinah. Bahkan beliau banyak sekali bicara tentang kurma dalam hadits-hadits
beliau. Namun justru kalimat luar biasa ini yang keluar dari mulut beliau yang
jujur.
Seorang mufti ahli syariah akan kesulitan menjawab masalah hukum fiqih yang terkait
dengan ilmu kedokteran. Maka dia wajib berdiskusi dengan para dokter dari berbagai
keahlian.
Untuk bisa menetapkan sebuah transaksi ekonomi itu termasuk halal atau haram, para
mufti sangat membutuhkan penjelasan yang luas dan mendalam dari para pakar ekonomi,
termasuk para praktisi bisnis.
Apalagi untuk berfatwa yang menyangkut luar angkasa antariksa, mutlak diperlukan
mufti yang melek ilmu-ilmu antariksa secara utuh, agar jangan sampai jadi bahan
olok-olok banyak orang, termasuk non-muslim.
Dahulu para pendeta Kristen membunuh para ilmuwan karena penemuan ilmiyah mereka
dianggap bertentangan dengan doktrin gereja. Galileo Galilei (1564-1642) ditangkap
para tokoh agama, diadili, dan dijatuhi hukuman sebagai tahanan rumah. Galileo
meninggal pada usia 78 tahun di Arcetri pada tanggal 8 Januari 1642.
Pertanyaannya, apa dosa si penemu teleskop itu sehingga harus dihukum mati?
Ternyata dosanya karena dia mengatakan bumi itu bulat dan bahwa matahari diam di
tempat lalu bumi berputar mengelilinginya. Dan hal itu bertentangan dengan dogma
gereja saat itu.
Dan sebelumnya Copernicus (1473-1543) telah mati dihukum oleh Gereja. Alasannya
sangat tidak masuk akal. Ilmuwan ini oleh Gereja dianggap menentang kehendak Tuhan,
karena membuka tabir ilmu pengetahuan yang dianggap bertentangan dengan fatwa-fatwa
gereja.
Padahal yang terjadi malah sebaliknya. Justru gereja yang menutup mata dengan ilmu
pengetahuan modern, serta membutakan manusia dari kemampuan ilmiyah pemberian
Allah.
Sayangnya, kejumudan Gereja itu pun sempat pula terjadi di dunia Islam. Di abad 20
yang modern ini, dimana realitas bumi mengitari matahari sudah bukan lagi teori
tetapi fakta ilmiyah yang bisa dilihat dan dipraktekkan, ternyata masih ada ulama
yang berfatwa bahwa bumi tidak berputar mengelilingi matahari, tetapi sebaliknya,
justru matahari itulah yang berputar mengelilingi bumi.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (29 Maret 1929 - 11 Januari 2001) dalam
kitabnya Fatawa Arkanul Iman mengatakan bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi.
Pada halaman 43, menjawab pertanyaan nomor 16, apakah matahari bergerak
mengelilingi bumi?.
Syeikh yang pernah menjabat sebagai mufti resmi Kerajaan Saudi Arabia ini dengan
tegas mengatakan bahwa zhahir an-nash di dalam Al-Quran semua menunjukkan bahwa
bukan bumi yang bergerak mengelilingi matahari, tetapi justru matahari yang
bergerak mengelilingi bumi.
Al-Utsaimin agaknya cukup serius ketika menjawab masalah matahari mengelilingi
bumi ini, sebab tidak kurang ada delapan ayat Al-Quran yang berbeda yang
dicantumkan untuk melandasi pendapatnya. Masih ditambah lagi dengan dua hadits
nabawi.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa Al-Utsaimin ini bukan ulama salaf yang hidup di
zaman tabi'in atau atba'ut-tabi'in, atau di masa para imam empat mazhab. Tetapi dia
hidup di zaman sekarang dimana orang sudah terbang menembus angkasa, bahkan sudah
berkali-kali mendarat dan menjejekkan kaki di bulan. Sayang sekali, fatwa itu
keluar di zaman kita sudah menggunakan GPS di mobil dan telepon genggam.
Tentu kita tidak boleh mengejek atau mencaci maki para ulama dan mufti. Bahwa
mereka berijtihad sesuai dengan kadar ilmu dan wawasan mereka, tentu kita harus
hormati. Kalau pun hasil ijtihad mereka benar, tentu kita terima. Tetapi kalau kita
semua tahu persis bahwa ijtihad itu kurang tepat, bukan berarti kita boleh mengejek
beliau.
Namun setidaknya-tidaknya kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran penting, antara
lain :
 Seorang mufti perlu banyak mengerti ilmu-ilmu lain di luar bidangnya, meski
tidak harus terlalu mendalam.
 Seorang mufti harus melibatkan banyak para pakar yang ahli di wilayah yang
tidak dikuasainya.
 Seorang mufti boleh salah dalam fatwanya, tapi tidak perlu dihina atau dicaci
maki. Karena manusia itu boleh salah. Dan orang salah yang terbaik adalah yang
segera memperbaiki kesalahannya.
 Mengoreksi fatwa seorang mufti dibenarkan, asalkan ada landasan hujjah yang
kuat, bukan semata-mata berangkat dari rasa benci dan ingin menjatuhkan citra.
G. Upah, Hadiah dan Tunjangan
Pekerjaan seorang mufti sangat berat dan banyak, sehingga waktunya akan habis demi
mengerjakan semua tugasnya. Pertanyaannya adalah bagaimana seorang mufti hidup dan
menghidupi keluarganya? Adakah seorang mufti boleh menerima balas jasa berupa
materi?
1. Menerima Upah Dari Mustafti
Untuk mendapatkan jawaban atas suatu masalah syariah, umat yang bertanya tidak
perlu mengeluarkan harta untuk membayar mufti. Profesi mufti bukan seperti dokter,
artis, atlet atau pengacara yang dibayar per-jam. Imbalan buat jasa tidak diberikan
oleh orang yang meminta fatwa. Sehingga tidak ada istilah jual fatwa atau jual
label halal.
Mazhab Asy-Syafi'iyah menegaskan bahwa pada dasarnya kerja seorang mufti itu adalah
kerja sosial yang tidak boleh dinilai atau ditukar dengan uang. Untuk itu maka
mufti dibiayai hidupnya dari baitul-mal milik umat Islam.
Al-Khatib Al-Baghdadi meriyawatkan bahwa Umar bin Al-Khattab mengeluarkan 100 dinar
per-tahun buat para mufti, agar mereka bisa konsentrasi dengan pekerjaannya, dan
tidak bikin proyek ini dan itu. Angka 100 dinar itu kalau kita bandingkan di masa
sekarang ini setara dengan harga 100 ekor kambing.
Sebab di masa Rasulullah SAW, beliau diriwayatkan pernah membeli seekor kambing
dengan harga 1 dinar. Kalau hari ini harga seekor kambing kurang lebih 1 juta
rupiah, maka uang 100 dinar itu kurang lebih 100 juta.
2. Menerima Hadiah Dari Mustafti
Berbeda dengan qadhi atau hakim yang tidak boleh menerima hadiah dari pihak-pihak
yang bersengketa, mufti masih dibolehkan menerima hadiah. Dengan catatan, hadiah
itu tidak ada kaitannya dengan keberpihakan dalam memberi fatwa.
Dasarnya bahwa dahulu Rasulullah SAW menerima hadiah dari umatnya dan tidak
menolaknya.
Selain itu karena hadiah itu merupakan penghargaan atas ilmu yang dimiliki mufti,
dan bukan imbalan atas keputusan hukum dari pihak-pihak yang bersengketa.

Penutup
Alhamdulillah washshalatu wassalamu ’ala rasulillah wa ’ala alihi washahbihi
wasallam,
Wa ba’du,
Dengan memanjatkan syukur kepada Allah SWT yang tidak terhingga, akhirnya jilid
pertama dari 18 jilid Seri Fiqih Kehidupan yang menjadi jilid pembuka dari
rangkaian Ilmu Fiqih telah Penulis selesaikan sampai disini.
Meski pun sebenarnya dalam pandangan Penulis, halaman-halaman yang terbatas
jumlahnya ini masih terbilang agak terlalu sedikit untuk dapat memberikan gambaran
utuh tentang Ilmu Fiqih yang aslinya sedemikian luas.
Penulis pada dasarnya memang tidak ingin mengajak pembaca terlalu jauh menelusuri
detail-detail pengantar Ilmu Fiqih ini, agar tidak terlalu jauh melencang dari
tujuan utama penulisan buku ini.
Satu hal yang menjadi catatan bahwa tujuan penulisan buku ini memang lebih
diutamakan untuk dibaca oleh mereka yang masih pemula, untuk bagaimana mengenalkan
hukum-hukum fiqih kepada masyarakat yang masih awam, yaitu tidak pernah mengenyam
pendidikan agama secara formal atau serius dalam arti bangku madrasah atau
pesantren.
Jelas penulis tidak mengarahkan kepada para ulama atau mereka yang telah menjadi
mahasiswa di berbagai universitas Islam terkemuka di dunia. Sebab mereka bisa
membaca langsung literatur asli dalam bahasa Arab dari kitab-kitab yang muktamad.
Buku ini jelas bukan buat konsumsi mereka, kalau judulnya untuk belajar. Tetapi
mungkin bermanfaat bagi mereka kalau digunakan untuk mengajar kepada murid-murid
mereka.
Adapun penulisan buku ini tentunya ditujukan untuk sekedar memberikan gambaran
sekilas, tambahan sedikit wawasan, serta worldview tentang dunia Ilmu Fiqih,
khususnya kepada mereka yang belum sempat mengenyam pendidikan secara khusus dalam
mata kuliah Ilmu Fiqih.
Karena itu Pembaca pasti telah banyak menemukan gaya yang tidak umumnya dipakai di
dalam buku-buku sejenis. Katakanlah beberapa ilustrasi yang Penulis gunakan, lebih
disesuaikan dengan realitas keseharian bangsa Indonesia saat ini, ketimbang
menggunakan contoh yang hanya sekedar terjemahan dari kitab asli berbahasa Arab.
Tentu ada kekurangan dari penulisan buku ini, karena kelemahan Penulis sendiri,
yang tentunya sangat terbatas ilmu dan pengalamannya, bila dibandingkan dengan para
ulama dan fuqaha. Untuk itu mohon kiranya dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya
dari lubuk hati yang paling dalam.
Niat Penulis tentu hanya agar dapat memberikan sumbangan ilmu seadanya yang hanya
berupa tetes air di tengah lautan.
Penulis bermohon kepada Allah SWT agar jangan sampai mengalami perubahan niat dan
motivasi, dari berharap mendapatkan ridha-Nya, menjadi sekedar untuk mendapatkan
kemasyhuran, apalagi penghasilan berupa materi, wal-‘iyadzu billah.
Akhirnya, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu segala sesuatunya. demi penulisan buku Seri Fiqih Kehidupan ini. Tanpa
bantuan semua pihak, dan tentunya tanpa bantuan dari Allah SWT, mustahil buku ini
bisa berada di tangan para pembaca sekalian.
Terakhir mari kita panjatkan doa dengan setulusnya, semoga Allah SWT memberikan
balasan pahala yang berlipat atas semua bantuan yang tulus dan ikhlas tanpa
mengharapkan pamrih. Dan semoga dengan kasih dan sayang-Nya, Dia berkenan
mengampuni semua dosa yang telah kita perbuat. Dan semoga nanti kita dipertemukan
di dalam surga-Nya.
Amin ya rabbal alamin.

Pustaka
Abu Amr Ad-Dani, Al-Bayan fi ‘Addi Ayi Al-Quran
Ad-Dahlawi, Hujjatullahi Al-Balighah
Ad-Dardir, Asy-Syarhu Ash-Shaghir
Ad-Dardir, Asy-Syarhul Kabir
Ad-Dasuqi , Hasyiyatu Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarhi Al-Kabir
Al-Albani, Irwa’ Al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar As-Sabil
Al-Buhuti, Kasysyaf Al-Qinna'
Al-Buhuti, Syarah Muntaha Al-Iradat
Al-Fairuzabadi, Kamus Al-Muhith
Al-Fanari Ar-Rumi, Fushul Al-Bada’i fi Ushul As-Syarai’
Al-Hathab Ar-Ru'aini, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil
Ali Haidar, Durar Al-Hukkan Syarah Majallah Al-Ahkam, Dar Al-Jil Beriut, Cet. I , .
Al-Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa
Al-Imam Bukhari, Shahih Bukhari
Al-Jurjani, At-Ta'rifat
Al-Kasani, Badai’ al-Shanai’
Al-Kharsyi, Syarah Mukhtashar Khalil
Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih
Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Jami’
Al-Khatib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad
Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj
Al-Madkhal ila Mazhabi Abi Hanifah
Al-Mardawi, Al-Inshaf Fi Ma’rifati Ar-Rajih Minal Khilaf
Al-Mishbah fi Rasmi Al-Mufti wa Manahij Al-Ifta’
Al-Mustashfa ma'a Muslim Ats-Tsubut
Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran
Al-Thabari, Tafsir Jami Al-Bayan an’ Ta’wil Ayi Al-Quran
An-Namiri, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah
An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab
Ar-Ruhaibani, Mathalib Ulin Nuha
Ash-Shawi, Hasyiyatu Ash-Shawi ‘Ala Syarhi Ash-Shaghir li Ad-Dardir
As-Sayis, Tarikh Al-Fiqhi
Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul
At-Tahanawi, Kasyfu Istilahil Funun
At-Tahqiq fi Buthlan At-Talfiq
At-Tirmizy, Sunan At-Tirmizi
Az-Zarkasyi, Al-Bahrul Muhith
Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani ‘ala Syarhi Al-Qani
Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li Dirasati Asy-Syariah Al-Islamiyah
Dr. Abdul Qadir Al-Far, Al-Madkhal li Dirasah A-Ulum Al-Qanuniyah
Dr. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih
Dr. Alauddin Husein Rah, Ma'alim wa Dhawabithul Ijtihad Inda Asy-Syaikh Al-Imam
Ibnu Taymiyah
Dr. Ali bin Sulaiman Al-Ubaid, Tafasir Ayat Al-Ahkam wa Manahijuha
Dr. Ghazi bin Mursyid bin Khalaf Al-Atibi, At-Talfiq Baina Al-Mazahib wa ‘Ilaqatuhu
bi Taysir Al-Fatwa
Dr. Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun.
Dr. Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Hadits, Darul-Fikr
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqihul Islami wa Adillatuhu
Dr. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh
Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah.
Ibnu Abdin, Ad-Dur Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar
Ibnu Abdin, Majmu’ah Rasail Ibnu Abdin : Nasyrul Urf fi Binai Ba’dhil Ahkam
Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf
Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis Lughah
Ibnu Hajar Al-Asqalani, At-Talkhish Al-Habir
Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam
Ibnu Hazm, Al-Muhalla bi Al-Atsar
Ibnu Jauzi, Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah fi Al-Hadits Al-Wahiyah
Ibnu Juzai Al-Kalbi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah
Ibnu Manzhur, Lisanul Arab
Ibnu Qudamah, Al-Mughni
Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadhir
Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa
Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in an Rabbil ‘Alamin
Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad
Khulashatu At-Tahqiq fi Bayani Hukmi At-Taqlid wa At-Talfiq
LTN NU JATIM, Ahkamul Fuqaha fi Muqarrarat Muktamarah Nahdhatil Ulama
Manaqib Adz-Dzahabi
Manna’ Al-Qaththan, At-Tasyri’ wa Al-Fiqih fi Al-Islam
Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir Ar-Razi, Mukhtar Ash-Shihah
Nasyril Bunud ‘ala Maraqi Ash-Shuud
Saad At-Taftazani, At-Talwih ‘ala At-Taudhih
Sullamu Al-Wushul li Syarhi Nihayati As-Suul
Syarah At-Tanqih
Syarah Maraqi Ash-Shu’ud
Syeikh Abdullah bin Ahmad An-Nasafi, Al-‘Urf wal Adah fi Ra’yi Al-Fuqaha
Syeikh Bin Baz, Fatawa Bin Baz
Ubaidillah bin Mas’ud Al-Mahbubi Al-Bukhari Al-Hanafi, At-Taudhih ‘ala At-Tanqih
Umdatu At-Tahqiq fi At-Taqlid wa At-Talfiq
Wizaratu Al-Awqaf Daulah Kuwaitiyah, Al-Mausuaah Al-Fiqihiyah Al-Kuwaitiyah

Tentang Penulis
Penulis menempuh pendidikan S1 pada Fakultas Syariah jurusan Perbandingan Mazhab di
Universitas Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Suud Al-Islamiyah milik pemerintah Kerajaan
Saudi Arabia, yang lokasinya di Jakarta. Kampus itu lebih akrab dikenal dengan
sebutan LIPIA.
Penulis melanjutkan kuliah S2 di Institut ilmu Al-Quran Jakarta, pada konsentrasi
Ulumul-Quran dan Ulumul Hadits, dan berhasil meraih gelar Magister. Kemudian S3
juga di kampus yang sama dengan prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT).
Sejak lulus kuliah di LIPIA aktif menjawab banyak pertanyaan syariah yang masuk ke
kantor tempat bekerja, yaitu Pusat Konsultasi Syariah. Tugas menjawab soal-soal
syariah inilah yang kemudian menempa Penulis untuk lebih tekun lagi membuka lembar-
lembar kitab-kitab fiqih mulai dari yang klasik sampai kontemporer, termasuk ketika
penulis mengasuh rubrik ustadz menjawab pada beberapa situs keislaman.
Saat ini penulis menjabat sebagai Direktur Rumah Fiqih Indonesia
(www.rumahfiqih.com), sebuah institusi nirlaba yang bertujuan melahirkan para kader
ulama di masa mendatang, dengan misi mengkaji Ilmu Fiqih perbandingan yang
original, mendalam, serta seimbang antara mazhab-mazhab yang ada.
Selain aktif menulis, juga menghadiri undangan dari berbagai majelis taklim baik di
masjid, perkantoran atau pun di perumahan di Jakarta dan sekitarnya. Penulis juga
sering diundang menjadi pembicara ke pelosok daerah seperti Bandung, Palembang,
Pekan Baru, Duri, Balikpapan, Samarinda, Bontang, Surabaya, dan lalinnya. Dan juga
menjadi pembicara di mancanegara seperti Jepang, Qatar, Mesir, Singapura, Hongkong
dan lainnya.
Namun yang paling banyak dilakukan oleh Penulis adalah menulis karya dalam Ilmu
Fiqih yang terdiri dari 18 jilid Seri Fiqih Kehidupan. Salah satunya adalah buku
yang ada di tangan Anda saat ini.
Penulis lahir dari pasangan KH. Drs. Moch Machfudz Basir, seorang putera asli
betawi, dan ibu Dra. H. Chodidjah Djumali, MA yang berasal dari Sleman Yogyakarta.
Keduanya menikah dan sempat tinggal di Cairo Mesir, sesuai menempuh pendidikan di
Al-Azhar University dan Cairo University. Penulis adalah putera pertama dari
pasangan ini yang lahir pada 19 September 1969 di Cairo Mesir.
Saat ini Penulis tinggal di Daarul-Uluum Al-Islamiyah (DU CENTER), Jalan Karet
Pedurenan no. 53 Setiabudi Kuningan Jakarta Selatan. Daarul-Uluum Al-Islamiyah
adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan.
Terakhir, Penulis mendirikan Rumah Fiqih Indonesia. RUMAH FIQIH adalah sebuah
institusi non-profit yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan pelayanan
konsultasi hukum-hukum agama Islam. Didirikan dan bernaung di bawah Yayasan Daarul-
Uluum Al-Islamiyah yang berkedudukan di Jakarta, Indonesia. RUMAH FIQIH adalah
ladang amal shalih untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Rumah Fiqih Indonesia
bisa diakses di: www.rumahfiqih.com.

Buku yang di tangan Anda ini adalah jilid pertama dari 18 jilid Seri Fiqih
Kehidupan karya Ahmad Sarwat, Lc. MA :

 Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqaddimah


• Seri Fiqih Kehidupan (2) : Thaharah
• Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat
• Seri Fiqih Kehidupan (4) : Zakat
• Seri Fiqih Kehidupan (5) : Puasa
• Seri Fiqih Kehidupan (6) : Haji
• Seri Fiqih Kehidupan (7) : Muamalat
• Seri Fiqih Kehidupan (8) : Nikah
• Seri Fiqih Kehidupan (9) : Kuliner
• Seri Fiqih Kehidupan (10) : Pakaian & Rumah
• Seri Fiqih Kehidupan (11) : Sembelihan
• Seri Fiqih Kehidupan (12) : Masjid
• Seri Fiqih Kehidupan (13) : Kedokteran
• Seri Fiqih Kehidupan (14) : Seni Olahraga dan Hobi
• Seri Fiqih Kehidupan (15) : Mawaris
• Seri Fiqih Kehidupan (16) : Jinayat
• Seri Fiqih Kehidupan (17) : Jihad
• Seri Fiqih Kehidupan (18) : Negara

Anda mungkin juga menyukai