Anda di halaman 1dari 2

Badar Jilid 2 Dan Perang Dûmatul Jandal Dapatkan pahala berdakwah dan gratis buku

Rahasia Rezeki Berlimpah, klik di sini untuk detailnya PERANG BADAR JILID 2 DAN
PERANG DUMATUL JANDAL PERANG BADAR JILID2 Pada akhir Perang Uhud yang mengakibatkan
banyak kaum Muslimin gugur sebagai syahid, panglima perang Quraisy, yaitu Abu
Sufyân sebelum meninggalkan arena pertempuran, ia sempat berkoar-koar dan
melontarkan tantangan, “Tahun depan kita bertempur (lagi) di Badar (Shafra'[1] )!”
Mendengar tantangan ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh salah
seorang Sahabat untuk menjawab tantangan tersebut dan menyanggupinya.[2] Badr
Shafra’ adalah sebuah tempat pasar musiman yang biasanya berlangsung sejak awal
Dzulqa’dah sampai tanggal tanggal 8. Ketika masa yang dijanjikan hampir tiba, Abu
Sufyân merasa berat untuk mendatangi tempat yang telah disepakati itu dan juga dia
berharap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memenuhi janjinya. Meski
demikian, Abu Sufyân tetap ingin melancarkan psywar untuk melemahkan mental kaum
Muslimin. Dia terus menunjukkan sikap yang seakan-akan ingin sekali menyerang
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengerahkan pasukan dalam jumlah
besar. Sikap ini terus ditunjukkan di hadapan publik, sehingga kabar ini sampai
juga ke Madinah. Bahkan dia rela membayar Nu’aim bin Mas’ûd al-Asyja’i [3] yang
sedang umrah ke Mekah dengan 20 ekor unta untuk menebar berita persiapan kaum
Quraisy dalam rangka menyerang kaum Muslimin. Tujuan mereka tentu untuk menjatuhkan
mental kaum Muslimin sehingga mereka enggan berangkat berperang bersama Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Sahabat tidak keluar, berarti kaum Quraisy punya alasan untuk tidak keluar
juga. Ketika kembali ke Madinah, Nu’aim melaksanakan misinya di tengah kaum
Muslimin. Dia berusaha menyebar berita ini ke tengah kaum Muslimin, sehingga di
antara mereka ada yang terpengaruh. Kondisi ini tentu sangat menggembirakan kaum
munafik. Sampai akhirnya, kabar ini terdengar oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir tidak ada
Sahabat yang mau dimobilisasi ke Badar. Meski demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tetap bertekad untuk memenuhi janjinya, walaupun harus berangkat seorang
diri. Namun akhirnya, Allâh k menghilangkan rasa takut ini dari hati kaum Muslimin
dan siap menghadapi pasukan Quraisy [4]. MENUJU BADAR Janji dan tantangan inilah
yang mendorong Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memobilisasi pasukan
dan berangkat menuju Badar pada bulan Sya’bân[5] tahun ke-4 Hijriyah. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama 1500 personil dengan 10 pasukan
berkuda. Bendera perang diserahkan kepada ‘Ali bin Abu Thâlib Radhiyallahu anhu dan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan ‘Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu
anhu sebagai wakil beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah selama beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di medan pertempuran[6] . Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tinggal di Badar selama 8 hari menunggu kedatangan pasukan musuh.
Sementara itu, pasukan Quraisy yang berjumlah 2000 personil dan 50 pasukan berkuda
di bawah komando Abu Sufyan sudah bergerak meninggalkan Mekah menuju Badar. Ketika
sampai di Zahrân, sekitar 40 km dari Mekah, tiba-tiba Abu Sufyân meminta pasukannya
untuk kembali ke Mekah dengan alasan waktunya tidak pas untuk bertempur karena
sedang musim kemarau. Lalu mereka kembali ke Mekah. Sehingga akhirnya, dalam
peristiwa ini tidak terjadi kontak senjata. Baca Juga  Macam-Macam Wahyu Setelah 8
hari berlalu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kembali ke
Madinah. Peristiwa mangkirnya pasukan Quraisy dari janji mereka mempunyai pengaruh
besar dalam mengembalikan jiwa besar kaum Muslimin setelah mengalami peristiwa
pahit dalam perang Uhud tahun sebelumnya. Peristiwa ini dikenal dengan beberapa
nama yaitu Badar al-mau’id (Badar tempat yang direncanakan sebagai arena perang),
Perang Badar kedua, Perang Badar terakhir dan Perang Badar Shugra (Kecil).[7]
PERANG DUMATUL JANDAL Setelah 8 hari di Badar, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kembali ke Madinah. Kondisi Madinah kala itu dalam keadaan aman tenteram.
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berpikir untuk menyebarkan
dakwah ke sekitar Madinah. Enam bulan pasca Perang Badar jilid 2, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar kabar bahwa beberepa kabilah di sekitar
Dûmatul Jandal –suatu daerah dekat Syam, yang berjarak 15 hari perjalanan dari
Madinah- sering mengganggu dan merampok siapa saja yeng melewati daerah mereka,
padahal di sana ada pusat perdagangan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang
termasuk para pedagang dari Arab. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mendengar bahwa para pengacau ini mulai memobilisasi anggota mereka dalam jumlah
besar untuk bergerak dan menyerang Madinah. Demi mendengar berita ini, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meresponnya dengan mengerahkan pasukan yang
berjumlah seribu personil. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Sibâ’ bin
‘Urfuthah al-Ghifâri sebagai wakil beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.
Dalam perjalanan kali ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat
Madzkur dari Bani ‘Uzdrah sebagai penunjuk jalan[8] . Ia adalah seorang petunjuk
jalan yang mengerti betul jalan pintas dan rahasia menuju daerah Dûmatul Jandal.
Jumhur ulama ahli sirah sepakat bahwa peristiwa ini terjadi pada bulan Rabi’ul
Awwal tahun ke-5 Hijrah, tepat 5 hari terakhir bulan Rabi’ul Awwal, bulan ke-49
sejak hijrah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Dalam peristiwa
kali ini, juga tidak sempat terjadi kontak senjata. Karena ketika mendengar
kehadiran pasukan kaum Muslimin, para pengacau itu lari ketakutan meninggalkan
kampung halaman mereka. Sehingga ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Dûmatul Jandal, daerah
tersebut lengang. Dan kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , jika
berhasil menaklukkan suatu wilayah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginap
di tempat itu selama beberapa malam. Begitu juga ketika berhasil menguasai Dûmatul
Jandal, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di sana selama beberapa malam
sambil menyebar pasukannya n untuk mencari jejak musuh. Namun, tidak ada yang bisa
menemukan jejak mereka kecuali pasukan di bawah pimpinan Muhammad bin Maslamah yang
berhasil menangkap salah seorang dari mereka. Orang ini kemudian ditawari agar
memeluk agama Islam. Dia menerima tawaran tersebut, lalu Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah. Baca Juga  Beberapa Peristiwa Sesudah Perang
Badar PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS Dari kisah di atas, kita bisa mengambil
pelajaran betapa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam punya tekad yang kuat
untuk menepati janji meski dalam kondisi sulit. Karena mengingkari janji adalah
sifat orang munafik. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‫يه‬ ِ ‫َأ ْربَ ٌع َم ْن ك ّ َُن ِف‬
‫اه َد‬
َ َ‫ع‬ ‫َا‬
‫ذ‬ ‫ِإ‬ ‫و‬ ‫َب‬
َ َ ‫ذ‬َ ‫ك‬ ‫ث‬َ ‫د‬
َ ‫ح‬
ّ َ ‫َا‬
‫ذ‬ ‫ِإ‬ ‫و‬
َ ‫ان‬
َ ‫خ‬
َ ‫ن‬
َ ِ
‫م‬ ُ ‫ت‬ ‫اْؤ‬ ‫َا‬
‫ذ‬ ‫ِإ‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ع‬ ‫د‬
َ َ ََ ‫ي‬ ‫َى‬ ّ ‫ت‬ ‫ح‬
َ ِ‫اق‬ ‫ف‬
َ ّ ِ
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ن‬
ْ ِ
‫م‬ ‫ة‬
ٌ َ ‫ل‬ ‫ص‬
ْ ‫خ‬
َ ِ
‫يه‬ ِ
‫ف‬ ‫ت‬
ْ َ ‫ن‬ ‫َا‬ ‫ك‬ َ
‫ن‬ ّ ‫ه‬
ُ ْ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ة‬
ٌ َ ‫ل‬‫ص‬ْ ‫خ‬
َ ِ
‫يه‬ ِ
‫ف‬ ‫ت‬
ْ َ ‫ن‬ ‫َا‬ ‫ك‬ ‫ن‬
ْ َ َ ‫َان ُمنَا ِفقًا َخالِ ًصا‬
‫م‬ ‫و‬ َ ‫ك‬
‫َج َر‬
َ ‫اص َم ف‬َ ‫ غ ََد َر َوِإ ذَا َخ‬Ada empat sifat, jika (keempat) sifat ini ada pada diri seseorang
berarti dia munafik sejati. Barangsiapa memiliki sebagiannya berarti dia memiliki
sebagian sifat munafik sampai dia meninggalkan sifat itu; (yaitu) jika dipercaya
dia khianat, jika berbicara dia berbohong, jika berjanji dia ingkar, dan jika
bertikai, dia berlaku curang [HR. al-Bukhâri dan Muslim] Maraji’ : 1. ar-Rahîqul
Makhtûm 2. Fiqhus sirah Min Zâdil Ma’âd 3. Subulul Huda war Rasyâd fi Sîrati
Khairil ‘Ibâd, Imam Muhammad bin Yûsuf ash-Shâlihi 4. as-Sîratun Nabawiyyah fi
Dhau’il Mashâdirl Ashliyyah [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun
XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _______ Footnote
[1]. Subulul Huda war Rasyâd fi Sîrati Khairil ‘Ibâd, Imam Muhammad bin Yûsuf ash-
Shâlihi, 4/478 [2]. Ibnu Hisyâm, 2/94. Lihat, ar-Rahîqul Makhtûm, hlm. 220 [3].
Setelah peristiwa itu, Nu’aim masuk islam. [4]. Subulul Huda war Rasyad fi Sîrati
Khairil ‘Ibâd, Imam Muhammad bin Yusuf ash-Shalihi, 4/478 [5]. Ini menurut Ibnu
Ishâq dengan riwayat yang mu’allaq, dalam sirah Ibnu Hisyâm (3/292), sedangkan
menurut al-Wâqidi dan Ibnu Sa’ad, juga dengan riwayat yang mu’allaq, peristiwa itu
terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Dalam hal ini, jika al-Wâqidi tidak membawakan
sanadnya, maka pendapat Ibnu Ishâq lebih diutamakan daripada pendapat al-Wâqidi dan
Ibnu Sa’ad, namun al-Wâqidi membawakan sanadnya, maka pendapat al-Wâqidi lebih
diutamakan. [6]. Fiqhus sirah Min Zâdil Ma’âd, hlm. 221 [7]. ar-Rahîqul Makhtûm,
hlm. 238 [8]. ar-Rahîqul Makhtûm, hlm. 238

Referensi: https://almanhaj.or.id/3905-perang-badar-jilid-2-dan-perang-dumatul-
jandal.html

Anda mungkin juga menyukai