Anda di halaman 1dari 12

aaa[12/4 09.58] Ahmad Sarwat: J.

UMRAH HUDAIBIYAH

1. Latar Belakang Umrah Hudaibiyah

Ketika perkembangan situasi di Jazirah Arab semakin menguntungkan kaum Muslimin,


tanda-tanda kemenangan besar dan kesuksesan dakwah Islam mulai tersibak sedikit
demi sedikit. Sejumlah rancangan mulai disusun untuk melindungi hak orang-orang
Islam dalam beribadah di Masjidil Haram, yang dihalang-halangi oleh orang-orang
musyrik sejak enam tahun sebelumnya.

Zadul Ma'ad, 2/122. Shahih Bukhari, 2/602.

Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri-383


[12/4 10.01] Ahmad Sarwat: Di Madinah, Rasulullah bermimpi bahwa beliau dan para
sahabat me masuki Masjidil Haram dan mengambil kunci Ka'bah. Mereka berthawaf dan
melakukan umrah. Sebagian mencukur rambutnya, sementara yang lain hanya
memendekkannya. Beliau menceritakan mimpi itu kepada sahabat-sahabatnya, membuat
mereka melambung dalam kegembiraan. Mereka memperkirakan bakal memasuki Mekah tahun
itu juga. Tidak lama kemudian, beliau mengumumkan rencana untuk menunaikan umrah
sehingga mereka mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan jauh.

2. Mobilisasi Massa

Orang-orang Arab Badui yang mendengar rencana Rasulullah ini ikut berdatangan untuk
bergabung. Sementara itu, beliau mencuci beberapa pakaiannya dan menunggangi
untanya, Qashwa'. Sebagai pengganti beliau di Madinah ditunjuklah Ibnu Ummi Maktum
atau Numailah ibn Abdullah al-Laitsi.

Beliau berangkat dari Madinah pada hari Senin, awal bulan Dzulhijjah 6 H. Istri
yang mendampingi beliau adalah Ummu Salamah, sedangkan para sahabat yang ikut ada
1.400 atau 1.500 orang. Keberangkatan mereka tidak berbekal senjata. kecuali
senjata yang biasa dibawa oleh musafir, yakni pedang tersarung.

Rombongan Rasulullah mulai bergerak menuju Mekah. Setibanya di Dzul Hulaifah,


mereka mengenakan pakaian ihram dan hewan-hewan kurban yang mereka bawa diberi
kalung sebagai tanda bahwa niat kepergian mereka adalah untuk umrah semata-mata.
Dengan begitu, daerah yang dilewati oleh rombongan besar ini tidak merasa khawatir
akan diserang.

Rasulullah mengutus seorang mata-mata Khuza'ah untuk lebih dulu mencari informasi
tentang Quraisy. Saat rombongan mendekati daerah Usfan, mata-mata itu kembali dan
melaporkan, "Rasulullah, aku meninggalkan Ka'ab ibn Lu'ay yang sedang mengumpulkan
golongan Ahabisy. Mereka sedang menggalang kekuatan untuk menghadang Anda. Mereka
berniat memerangi Anda dan menghalangi Anda memasuki Baitullah."

Rasulullah bertukar pendapat dengan para sahabatnya. Beliau mengata kan, "Setujukah
kalian jika kita menyerang kaum kerabat yang selama ini membantu mereka? Kalau
mereka memilih diam, sebenarnya diamnya itu karena takut dan tak berdaya. Kalau pun
mereka selamat, masih ada banyak nyata yang siap dicabut oleh Allah. Ataukah kalian
tetap ingin memasuki Baitullah dan siapa pun penghalangnya akan kita perangi?"

Mereka adalah bangsa Arab anggota Ban Kinanah dan selain mereka bukan berasal dan
Hahasyah sebagaimana jika dipahami sepintas dari penamaannya didentikkan kepada
kata Huby Aahisy merupakan nama sebuah gunung di dataran rendah Makkah di wilayah
Nu'man al-Arak Jaraknya dengan Makkah 6 mil, Tunut bergabung dengan mereka di
antaranya Bani Harits, Bars Mushthalq Hava ibn Sa'ad ibn Umar, Banil Haun ibn
Khuzaimah. Mereka mengadakan perjanjian dengan kaum Quraisy dan benumpah dengan
nama Allah Mujamul Buldin 2/214: Al-Munimig, hlm. 275)
384- Sirah Nabawiyah
[12/4 10.01] Ahmad Sarwat: Abu Bakar angkat bicara, "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu
bahwa kita datang hanya untuk menunaikan umrah. Kita datang tidak untuk memerangi
siapa pun, tetapi siapa saja yang menghalangi kita dari Baitullah akan kita
perangi." Rasulullah memutuskan, "Kalau begitu, lanjutkan perjalanan." Maka mereka

pun melanjutkan perjalanan.

3. Quraisy Menghalangi Kaum Muslimin Memasuki Baitullah Mendengar tentang


keberangkatan rombongan Nabi s.a.w., kaum Quraisy langsung bermusyawarah. Mereka
menyusun rencana untuk menghalangi kaum Muslimin memasuki Baitullah, bagaimana pun
caranya.

Setelah Rasulullah berhasil menghindari penghadangan yang dilakukan oleh gabungan


beberapa kabilah musyrikin, seseorang dari Bani Kinanah menginformasikan bahwa kaum
Quraisy berada di Dzu Thuwa, dan ada dui ratus pasukan kavaleri di bawah komando
Khalid ibn Walid yang mengambil posisi di Kura' al-Ghamim, di jalan utama menuju
Mekah.

Khalid berusaha menghadang kaum Muslimin di sana sehingga posisi kedua pihak saling
berhadapan. Di kejauhan dilihatnya kaum Muslimin melakukan shalat Zuhur. Mereka
sedang ruku' dan sujud. Maka dia berpikir, "Mereka dalam keadaan lengah. Kalau kita
menyerang mereka dengan serentak, tentu kita bisa mengalahkan mereka." Kemudian dia
memutuskan untuk menyerang sewaktu kaum Muslimin sedang mendirikan shalat Ashr.
Namun, Allah menurunkan perintah untuk melakukan shalat khauf. Akibatnya, Khalid
terpaksa gigit jari karena kehilangan kesempatan.

Rasulullah memilih jalur yang sulit dan berat di celah-celah gunung, mengarah ke
kanan di antara Zhahril Hamdh, pada jalur yang menembus daerah Tsaniyyatul Murar
sebelum turun ke Hudaibiyah dari dataran rendah Mekah. Beliau menghindari jalur
utama ke Tanah Haram yang melewati Tan'im ke arah kiri. Ketika Khalid melihat
kepulan debu rombongan muslimin menyimpang dari jalan yang dihadangnya, dia sadar
bahwa mereka telah lolos. Maka segera dia pulang untuk memperingatkan Quraisy.

Rasulullah terus melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Tsaniyyatul Murar, mendadak


unta yang beliau tunggangi menderum dan tidak mau lagi berdiri. Orang-orang
berusaha menghalaunya, "Hush...! hush......!" tetapi binatang itu tetap bergeming.

Mereka berkata, "Rupanya si Qashwa' mogok."

Nabi s.a.w. bersabda, "Qashwa' bukan mogok, melainkan ditahan oleh yang dulu

menahan pasukan gajah."

Beliau melanjutkan, "Demi Dzat yang diriku dalam kekuasaan-Nya, apa pun yang mereka
minta kepadaku demi memuliakan hal-hal yang dimuliakan oleh Allah akan kuberikan."

Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri-385

<
[12/4 10.02] Ahmad Sarwat: Kemudian beliau menghela untanya untuk melanjutkan
perjalanan. Mereka singgah di ujung Hudaibiyah, di sebuah mata air yang hampir
mengering. Rombongan muslimin mengambil airnya sedikit-sedikit, tetapi tetap tak
mencukupi. Maka mereka mengadukan rasa dahaganya kepada Rasulullah. Beliau mencabut
sebatang panah dari selongsongnya kemudian menyuruh mereka menancapkannya di mata
air tersebut. Maka demi Allah, mata air itu memancar dengan deras, bahkan sampai
mereka pergi dari situ.

4. Upaya Mediasi
Lalu datanglah Budail ibn Warqa' al-Khuza'i bersama beberapa orang dari Bani
Khuza'ah. Khuza'ah adalah kabilah kepercayaan Rasulullah dari Tihamah. Budail
berkata, "Sungguh, saat aku meninggalkan Ka'ab ibn Lu'ay, mereka siap berangkat ke
Hudaibiyah dengan membawa pasukan. Mereka hendak memerangi Anda dan menghalangi
Anda memasuki Baitullah."

Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya kami tidak datang untuk memerangi siapa pun.
Kami hanya bermaksud melakukan umrah. Rupanya perang telah membutakan Quraisy. Jika
mereka menghendaki, engkau bisa membujuk mereka dan membukakan jalan bagiku. Jika
bersedia membiarkan kami memasuki Baitullah lewat jalan yang biasa ditempuh, mereka
bisa melakukannya. Namun, jika yang mereka kehendaki hanya perang. maka demi Dzat
yang jiwaku dalam genggaman-Nya, aku akan meladeni mereka untuk mempertahankan
keyakinanku ini hingga kemenangan yang lalu menjadi milikku, atau biarlah Allah
menentukan keputusan-Nya sendiri."

Budail berkata, "Akan kusampaikan kepada mereka apa yang Anda

katakan."

Dia pun beranjak pergi menemui kaum Quraisy, lalu berkata, "Sesungguhnya, aku
datang kepada kalian setelah bertemu dengan Muhammad, dan aku telah mendengar dia
mengatakan sesuatu. Kalau kalian mau, aku akan menyampaikannya kepada kalian"

Orang-orang yang kurang pikir di antara mereka berkata, "Kami tidak butuh mendengar
kata-katamu tentang dia." Sementara yang tajam pikirannya berkata, "Sampaikan saja
apa yang telah kaudengar." Budail berkata, "Aku mendengar dia berkata begini dan
begitu.

Maka kaum Quraisy mengutus Mikraz ibn Hafsh. Ketika melihatnya. Rasulullah berkata,
"Dia adalah orang yang suka berkhianat."

Setelah dia dekat, Rasulullah menyampaikan kata-kata serupa yang beliau katakan
kepada Budail dan teman-temannya. Setelah itu, dia pulang menemui kaum Quraisy
untuk melaporkan hal itu.

Seorang dari Bani Kinanah yang bernama Hulais ibn Alqamah berkata, "Biarkan aku
menemui Muhammad sendiri."

Orang-orang Quraisy menjawab, "Baiklah, temui dia."

386-

Sirah Nabawiyab
[12/4 10.02] Ahmad Sarwat: Ketika dia telah dekat dengan posisi kaum Muslimin,
Rasulullah bersabda, "Itu adalah si Fulan. Dia berasal dari kaum yang sangat
menghargai hewan kurban, jadi perlihatkan hewan-hewan kurban itu di hadapannya."
Maka para sahabat menyambut kedatangannya dengan memamerkan hewan

hewan kurban mereka seraya membaca talbiyah. Melihat hal itu, Hulais berkata,
"Subhanallah! Mereka ini tidak seharusnya dihalangi menunaikan umrah ke Baitullah."
Dia langsung kembali menemui teman-temannya dan berkata, "Aku melihat.

sejumlah hewan kurban yang telah diikat dan diberi tanda. Menurut pendapatku,

mereka tidak seharusnya dihalang-halangi." Setelah itu, terjadi perang mulut

seru antara dia dan kaum Quraisy..


Selanjutnya Urwah ibn Mas'ud ats-Tsaqafi berkata, "Ini adalah tawaran bagus

bagi kalian. Terima sajalah dan biarkan aku sendiri yang menemuinya."

Dia berangkat menemui Rasulullah. Beliau menyampaikan persis seperti yang


disampaikan kepada Budail. Maka Urwah berkata, "Muhammad, menurutmu tidakkah
tindakanmu ini akan menghancurkan kaummu? Pernahkah kaudengar sebelum dirimu ada
orang Arab yang tega membinasakan keluarganya sendiri? Jika engkau tetap bersikukuh
dengan pendirianmu lalu kalah, aku berani bertaruh bahwa orang-orang di sekitarmu
ini akan meninggalkanmu secepat kilat!" Abu Bakar menyahut dengan berang. "Hisaplah
kemaluan Lata, sebab kami

tidak sekali-kali akan meninggalkan beliau!"

Urwah bertanya keheranan, "Siapa orang ini?" Orang-orang menjawab, "Dia adalah Abu
Bakar." Dia berkata, "Demi Dzat yang diriku dalam genggaman-Nya, kalau bukan karena
tugas yang harus kutunaikan ini, akan kupenuhi tantanganmu."

Dia melanjutkan kata-katanya. Setiap kali bicara kepada Rasulullah, dia punya
kebiasaan memegang-megang jenggot beliau. Mughirah ibn Syu'bah saat itu berjaga-
jaga di dekat kepala Rasulullah dengan menggenggam pedang dan memakai ketopong
pelindung wajah. Setiap kali Urwah mengulurkan tangan untuk memegang jenggot
beliau, dia memukulnya dengan gagang pedang sembari menghardik, "Jauhkan tanganmu
dari jenggot Rasulullah!"

Urwah pun menengadah seraya bertanya, "Siapa orang ini?" Orang-orang menjawab,
"Mughirah ibn Syu'bah."

Urwah langsung mengumpat, "Dasar bocah bengal! Bukankah dahulu aku yang
menyelesaikan perkara pengkhianatanmu?"

Mughirah adalah kemenakan Urwah. Pada masa jahiliyah dia pernah membunuh sejumlah
orang lalu mengambil harta mereka. Kemudian dia datang dan menyatakan keislamannya.
Maka Nabi saw. bersabda, "Dia datang untuk masuk Islam, tentu saja kuterima. Adapun
urusan hartanya aku tidak ada sangkut pautnya,"

Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri-387


[12/4 10.02] Ahmad Sarwat: Urwah mengamati dengan seksama para sahabat Nabi saw.
dan sikap mereka yang begitu memuliakan beliau. Setelah pulang ke tempat teman-
temannya, dia berkata, "Saudara-saudara, demi Allah, aku sudah pernah menjadi duta
menemui beberapa raja, mulai Kaisar Romawi, Kisra Persia, sampai Najasyi Habasyah.
Demi Allah, belum pernah kulihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya
sebagaimana sahabat-sahabat Muhammad mengagungkannya. Demi Allah, jika dia meludah,
selalu ada di antara mereka yang menadahinya dengan tangan, lalu dibalurkannya ke
wajah dan kulitnya. Jika dia memberi perintah. mereka berebut untuk
melaksanakannya. Jika dia berwudhu, mereka nyaris berkelahi karena memperebutkan
sisa air wudhunya. Jika sedang berbicara di hadapannya, mereka merendahkan suara.
Tidak pernah mereka memandang wajahnya dengan tatapan tajam karena menghormatinya.
Dan sekarang dia mengajukan penawaran yang layak, maka terimalah tawarannya!"

Anak-anak muda Quraisy yang berpikiran dangkal masih menghendaki perang. Melihat
para pemimpin mereka condong pada perjanjian damai, mereka berpikir untuk
menghalanginya. Mereka berencana akan menyusup di perkemahan muslimin dan
melontarkan perkataan yang bisa memantik api perang.

Rencana tersebut benar-benar dilaksanakan. Sekitar tujuh puluh atau delapan pemuda
Quraisy menyelinap keluar malam-malam. Mereka menuruni bukit Tan'im dan berusaha
menyusup ke perkemahan muslimin. Namun malang, Muhammad ibn Maslamah yang memimpin
penjagaan berhasil meringkus mereka semua.
Karena bermaksud menjalin perjanjian damai, Nabi s.a.w. melepaskan mereka

tanpa syarat. Mengenai hal itu, Allah berfirman,

"Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu, dan (menahan)
tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah
memenangkan kamu atas mereka." (QS. Al-Fath: 24)

5. Seputar Bai'at Ridhwan

Rasulullah memutuskan untuk mengutus seseorang demi meyakinkan kaum Quraisy tentang
sikap dan tujuan beliau dalam kepergian kali ini. Beliau memilih Umar ibn Khaththab
untuk tugas ini, tetapi dia keberatan. Katanya, "Ya Rasulullah, di Mekah aku tidak
punya sanak-saudara dari Bani Adi ibn Ka'ab yang bisa membela jika aku disakiti.
Sebaiknya Anda utus saja Utsman ibn Affan karena dia punya banyak teman dekat di
sana. Dia pasti bisa manyampaikan sesuai dengan apa yang Anda kehendaki."

388- Sirah Nabawiyah


[12/4 10.02] Ahmad Sarwat: Maka beliau membebankan tugas itu kepada Utsman ibn
Affan, dengan pesan, "Sampaikan kepada mereka bahwa kedatangan kita bukan untuk
perang, melainkan hanya untuk menunaikan umrah. Selain itu, serulah mereka kepada
Islam."

Beliau juga meminta Utsman menemui beberapa muslimin dan muslimah yang masih berada
di Mekah untuk membesarkan hati mereka karena kemenangan Islam tinggal selangkah
lagi. Juga untuk mengabarkan bahwa Allah akan memenangkan agama-Nya di Mekah
sehingga mukminin di sana tidak perlu lagi menyembunyikan keimanannya.

Utsman pun berangkat dan bertemu dengan kaum Quraisy di Baldah. Mereka

bertanya, "Apa yang kauinginkan?" Utsman menjawab, "Rasulullah mengutusku untuk


menyampaikan ini dan

itu. Mereka berkata, "Kami telah mendengarkan perkataanmu, jadi laksanakan


keperluanmu."

Aban ibn Sa'id ibn Ash menyambut Utsman dengan menyiapkan kuda untuknya. Dia
menjamin keselamatan Utsman dan mengawalnya sampai di Mekah dan menyampaikan surat
kepada pembesar-pembesar Quraisy. Setelah itu, Utsman ditawari untuk melakukan
thawaf di Baitullah, tetapi menolak. Dia tidak mau melakukan thawaf sampai
Rasulullah melakukannya.

Kaum Quraisy menahan Utsman untuk sementara. Barangkali mereka ingin bermusyawarah
dahulu lalu mengutusnya kembali dengan membawa surat jawaban. Namun, karena
penahanan itu berlangsung cukup lama, tersebarlah desas-desus di antara kaum
Muslimin bahwa Utsman telah dibunuh. Mendengar desas-desus itu, Rasulullah
bersabda, "Kita tidak akan bergeser dari sini sebelum menyelesaikan urusan dengan
kaum itu."

Diajaknya sahabat-sahabatnya melakukan bai'at. Mereka segera mengerumuni beliau,


berbai'at untuk tidak melarikan diri dari perang sampai mati. Orang pertama yang
berbai'at kepada beliau adalah Abu Sinan al-Asadi, sementara Salamah ibn Akwa
melakukan bai'at mati sampai tiga kali. Sekali di kelompok pertama, kemudian di
kelompok tengah, dan di kelompok yang paling akhir. Rasulullah membai'at dengan
tangannya sendiri. Beliau bersabda, "Ini baiat untuk Uitsman."

Saat bai'at selesai dilakukan, tiba-tiba Utsman muncul. Rasulullah langsung


membai'atnya sekalian. Tidak ada seorang pun yang tertinggal mengikuti bai'at ini,
kecuali seorang munafik bernama Jadd ibn Qais.

Rasulullah melakukan bai'at tersebut di bawah sebatang pohon. Umar memegangi tangan
beliau, sementara Ma'qal ibn Yasar memegangi dahan pohon agar tidak mengenai
beliau. Inilah Bai'at Ridhwan yang Allah berfirman mengenainya

Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfun-389


[12/4 10.03] Ahmad Sarwat: "Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang
mukmin ketika mereka melakukan baiat kepadamu di bawah pohon." (QS. Al-Fath: 18)

6. Perjanjian Damai

Kaum Quraisy menyadari bahwa posisi mereka sedang terjepit. Maka mereka mengutus
Suhail ibn Amr untuk melakukan perjanjian damai. Mereka mewanti-wanti satu hal:
"Muhammad harus mengurungkan niatnya berkunjung ke Baitullah tahun ini. Jangan
sampai bangsa Arab mengatakan bahwa dia berhasil memasuki tempat ini dengan
kekerasan."

Suhail ibn Amr berangkat menemui Rasulullah. Ketika melihat kedatangannya, beliau
bersabda, "Sungguh, urusan kalian bakal mudah."

Beliau mengharapkan kaum Quraisy bersedia berdamai ketika mengirim kan orang ini.
Negosiasi berlangsung cukup lama hingga akhirnya kedua pihak menyepakati sejumlah
poin perjanjian damai, di antaranya:

1). Rasulullah harus membatalkan umrahnya tahun ini dan tidak boleh memasuki Mekah.
Tahun berikutnya kaum Muslimin boleh masuk ke sana dan tinggal selama tiga hari
tanpa senjata, kecuali senjata yang biasa dibawa oleh musafir, berupa pedang yang
tersarung. Tidak ada yang boleh menghalang-halangi mereka.

2). Kedua pihak menyepakati gencatan senjata selama sepuluh tahun, di mana orang-
orang hidup dengan aman dan masing-masing saling menahan diri.

3) Barangsiapa ingin bergabung dengan pihak Muhammad diperbolehkan. Dan barangsiapa


ingin bergabung dengan pihak Quraisy diperbolehkan. Siapa pun yang bergabung dengan
salah satu pihak dianggap sebagai bagian dari pihak tersebut. Maka segala bentuk
permusuhan yang dialamatkan kepada siapa pun yang bergabung ini akan menjadi musuh
pihak lainnya.

4). Kaum Quraisy yang menyeberang ke pihak Muhammad tanpa seizin walinya wajib
dikembalikan. Sebaliknya, pengikut Muhammad yang menyeberang ke pihak Quraisy tidak
perlu dikembalikan.

Beliau memanggil Ali untuk menuliskan naskah perjanjian. Beliau men

diktekannya, "Tulislah, "Bismillahirrahmanirrahim (dengan nama Allah yang Maha

Pengasih dan Maha Penyayang)'."

Suhail langsung memotong, "Nama ar-Rahman ini tidak kukenal. Tulislah

saja, "Bismikallahumma (dengan nama-Mu, ya Allah)"," Rasulullah menyuruh Ali


menulis itu. Beliau mendiktekan kelanjutannya,

"Ini perjanjian damai yang dibuat oleh Muhammad Rasulullah..."

390- Sirah Nahawiyah


[12/4 10.03] Ahmad Sarwat: Suhail memotong lagi, "Kalau kami yakin engkau ini Rasul
Allah, tidak perlu kami repot-repot menghalangimu memasuki Baitullah dan memerangi
mu. Tulislah saja, Muhammad ibn Abdullah."

Beliau bersabda, "Sesungguhnya, aku tetap Rasul Allah kendati kalian men
dustakanku."

Beliau memerintahkan kepada Ali untuk menulis Muhammad ibn Abdullah dan menghapus
kata Rasulullah. Namun, Ali menolak sehingga akhirnya beliau menghapus sendiri
tulisan itu. Demikian seterusnya hingga penulisan naskah perjanjian selesai.

Begitu naskah perjanjian ditandatangani, Bani Khuza'ah langsung bergabung dengan


pihak muslimin. Sejak masa Abdul Muththalib, mereka adalah sekutu Bani Hasyim,
sebagaimana yang pernah saya sampaikan sebelumnya. Maka masuknya mereka ke dalam
ikatan perjanjian ini memperkuat ikatan persekutuan yang sudah lama terjalin.
Adapun Bani Bakar bergabung dengan pihak Quraisy.

Sementara naskah perjanjian sedang ditulis, tiba-tiba datang Abu Jandal, anak
lelaki Suhail, dengan terseok-seok dalam keadaan terbelenggu. Dia baru saja
meloloskan diri dari Mekah dan menghempaskan tubuhnya di depan kaum Muslimin.
Ayahnya berkata penuh rasa puas, "Inilah orang pertama yang kutuntut agar
kaukembalikan!"

Rasulullah mencoba berkelit, "Bukankah kita belum lagi merampungkan penulisan


naskah perjanjian?" Suhail menukas, "Demi Allah, kalau begitu aku tidak akan
menuntut apa

apa lagi kepadamu selamanya!"

Nabi saw. bersabda, "Apabila demikian, izinkanlah ia bergabung

denganku."

Suhail bersikeras, "Aku belum mengizinkannya bergabung denganmu."

Nabi saw. bersabda, "Kalau begitu lakukanlah."

Suhail menjawab, "Aku tidak akan melakukannya."

Tanpa ampun, Suhail menampar Abu Jandal, mencengkeram kerah bajunya, lalu
menyeretnya untuk dibawa kembali kepada kaum musyrikin. Abu Jandal berteriak
sekeras-kerasnya, "Saudara-saudara muslimin, akankah aku dikembalikan kepada orang-
orang musyrik yang hendak menyiksaku karena agamaku?"

Nabi s.a.w. bersabda, "Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan tabahkanlah hatimu. Semoga
Allah membuat engkau dan mukminin yang ditindas bersamamu sebagai jalan keluar.
Kita sudah terikat perjanjian damai dengan kaum itu. Kita harus memberikan kepada
mereka, dan mereka juga harus memberikan kepada kita, dengan nama Allah. Karena
itu, tidak boleh kita mengkhianati mereka."

Umar ibn Khaththab melompat. Dia berjalan mendampingi Abu Jandal dan mengajaknya
bicara, "Sabarlah, Abu Jandal. Mereka hanyalah orang-orang Darah mereka tidak
ubahnya darah anjing." Lalu disodorkannya

Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakturi-391


[12/4 10.03] Ahmad Sarwat: sebilah pedang kepadanya. Belakangan dia bercerita, "Aku
berharap dia mau mengambil pedang itu lalu menggunakannya untuk menyabet ayahnya.
Akan tetapi, dia ternyata masih berat kepada ayahnya. Keputusan perjanjian itu pun
tetap di laksanakan."

7. Hikmah Perjanjian Hudaibiyah


Setelah merampungkan urusan perjanjian, Rasulullah bersabda, "Berdiri

dan sembelihlah hewan kurban kalian."

Demi Allah, tidak satu pun dari para sahabat yang berdiri, sampai-sampai beliau
mengulangi perintahnya tiga kali. Melihat tidak seorang pun meng gubris
perintahnya, beliau berdiri lalu masuk menemui Ummu Salamah. Beliau menceritakan
kelakuan orang-orang itu. Ummu Salamah berkata, "Rasulullah, apakah Anda
menghendaki hal itu dilakukan? Keluarlah dahulu. Jangan bicara i sepatah kata pun
sampai Anda selesai menyembelih unta dan mencukur rambut Anda sendiri."

Maka beliau berdiri, melangkah keluar tanpa berkata-kata, dan melakukan semuanya:
menyembelih unta dan mencukur rambut. Melihat hal itu, orang orang serentak berdiri
dan menyembelih hewan kurbannya. Setelah itu, mereka mencukur rambut satu sama lain
sampai hampir saja mereka saling bertengkar gara-gara rambut. Mereka menyembelih
seekor unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang. Rasulullah sendiri
menyembelih unta yang dahulunya milik Abu Jahal untuk menimbulkan kejengkelan
orang-orang musyrik. Di hidung unta itu tergantung sebentuk anting perak.
Rasulullah memohon ampunan sebanyak tiga kali untuk orang-orang yang mencukur
rambutnya, dan satu kali untuk yang sekadar memangkas rambutnya.

Dalam perjalanan ini, Allah menurunkan ayat tentang tebusan bagi mereka yang
tertimpa penyakit sehingga harus mencukur kepalanya. Yaitu dengan puasa, atau
sedekah, atau menyembelih dam nusuk. Yang pertama kali melakukannya adalah Ka'ab
ibn Ujrah.

Setelah perjanjian damai disepakati, beberapa muslimah berhijrah kepada Rasulullah.


Mereka disusul oleh wali mereka, yang meminta agar beliau mengembalikan muslimah-
muslimah itu sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah menolak permintaan
tersebut karena kata-kata yang tertera dalam naskah perjanjian adalah: "...dengan
ketentuan bahwa seorang lelaki dari kaum kami, sekali pun dia telah memeluk
agamamu, harus dikembalikan kepada kami... Perempuan sama sekali tidak disinggung
di dalamnya.

Allah menurunkan firman-Nya tentang peristiwa tersebut.

Shahih Bukhan, 1/360

Sirah Nabauhah

392-
[12/4 10.04] Ahmad Sarwat: Islam. Betapa tidak. Sebelum ini kaum Quraisy tidak mau
mengakui sedikit pun eksistensi kaum Muslimin. Tidak ada yang mereka pikirkan
selain rencana untuk membungkam dan mengakhiri sepak-terjang muslimin. Mereka
mengerahkan segenap daya upaya untuk menghalangi dakwah Islam dari orang banyak.
Itu karena mereka merasa sebagai pemegang tampuk kepemimpinan agama dan pusat agama
di Jazirah Arab. Kesediaan mereka untuk sekadar menyepakati perjanjian damai
merupakan bentuk pengakuan akan eksistensi kaum Muslimin. Secara tidak langsung,
hal itu juga menunjukkan bahwa kaum Quraisy tidak lagi mampu menghadapi mereka.

Pasal ketiga dari perjanjian ini menunjukkan bahwa kaum Quraisy melupakan status
mereka sebagai pusat agama dan pemimpin spiritual. Yang mereka pikirkan sekarang
hanya keselamatan diri mereka sendiri. Adapun jika orang lain, bahkan semua
penduduk Jazirah Arab, semua masuk Islam, mereka tak merisaukannya. Kaum Quraisy
tidak mau lagi ikut campur di dalamnya dengan alasan apa pun. Bukankah ini sebuah
kegagalan telak bagi Quraisy dan kemenangan nyata bagi muslimin?

Sesungguhnya, dari sudut pandang muslimin, rangkaian peperangan berdarah antara


muslimin dan musuh-musuhnya tidak bertujuan untuk merampas harta, menghabisi nyawa,
atau memaksa musuh memeluk Islam. Bukan. Tujuan satu satunya yang diinginkan oleh
kaum Muslimin dari perang-perang hanya kebebasan penuh manusia dalam berkeyakinan
dan beragama:

"Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa

yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir." (QS. Al-Kahfi: 29)

Tiada satu kekuatan pun yang menghalangi mereka dari apa yang mereka inginkan.
Tujuan seperti itu belum tentu terwujud melalui kemenangan telak di medan perang,
sehingga kaum Muslimin benar-benar sukses besar dalam dakwah karena adanya
kebebasan ini. Jumlah umat Islam yang sebelum perjanjian itu tidak lebih dari 3.000
orang, dalam jangka waktu dua tahun saat penaklukan kota Mekah membengkak menjadi
10.000 orang.

Adapun pasal kedua tentang gencatan senjata juga merupakan kemenangan telak, sebab
umat Islam tidak pernah menyulut peperangan. Kaum Quraisylah yang selalu
mengawalinya. Allah berfirman:

"Dan merekalah yang selalu mengawali menyerang kalian." (QS. At-Taubah: 13)

Adapun kaum Muslimin melakukan serangkaian ekspedisi militer dengan tujuan untuk
menyadarkan kaum Quraisy dari kepongahan mereka dalam

394-

Sirah Nabawiyah
[12/4 10.04] Ahmad Sarwat: menghalang-halangi manusia menuju jalan Allah, sekaligus
membalas perlakuan mereka. Jelasnya masing-masing pihak bertindak sesuai dengan
keyakinannya. Maka kesepakatan gencatan senjata selama sepuluh tahun menjadi
pembatas bagi kesombongan dan upaya mereka sendiri untuk menghalangi orang masuk
Islam. Ini menunjukkan kegagalan pihak yang biasanya selalu memulai peperangan,
sekaligus menjadi indikasi runtuhnya kekuatan mereka.

Adapun pasal pertama perjanjian menjadi batas bagi upaya Quraisy menghalang halangi
muslimin masuk ke Masjidil Haram. Itu juga merupakan kegagalan yang mungkin tidak
mereka sadari. Karena sesungguhnya kaum Quraisy hanya berhasil menghalangi selama
satu tahun itu saja dan sesudahnya tidak bisa.

Kaum Quraisy membukakan tiga celah ini untuk kaum Muslimin. Mereka hanya berhasil
mempertahankan satu celah, yakni pasal keempat, tetapi sesungguhnya celah itu tidak
banyak gunanya. Sama sekali tidak ada yang merugikan kaum Muslimin. Sebagaimana
diketahui, seorang muslim sejati tidak mungkin lari meninggalkan Allah dan Rasul-
Nya, meninggalkan kota Islam. Dia tidak akan melarikan diri, kecuali telah murtad
dari agama Islam, baik dengan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Jika
seorang muslim murtad, eksistensinya tidak lagi penting bagi kaum Muslimin.
Terpisahnya dia dari masyarakat Islam justru lebih baik daripada jika dia tetap di
dalamnya. Inilah yang pernah diisyaratkan. oleh Rasulullah dalam sabdanya, gguhnya,
barangsiapa pergi meninggalkan kita untuk bergabung dengan mereka, semoga Allah
menjauhkan dia dari rahmat-Nya."

Adapun bagi penduduk Mekah yang masuk Islam, sekalipun dia tidak punya kesempatan
untuk berlindung ke Madinah, tetapi bumi Allah itu luas. Bukankah Habasyah menerima
kaum Muslimin dengan tangan terbuka ketika penduduk Madinah saat itu belum mengenal
Islam sama sekali? Inilah maksud sabda Nabi s.a.w., "Barangsiapa datang kepada kita
dengan meninggalkan mereka, Allah bakal memberinya jalan keluar."

Perjanjian ini, kendati sepintas kelihatan menguntungkan kaum Quraisy, pada


hakikatnya mencerminkan kegundahan, kepanikan, serta kekhawatiran terhadap
eksistensi paganisme mereka. Seolah-olah mereka sedang terjepit di tepi jurang,
yang membuat mereka terpaksa menyetujui perjanjian ini. Rasulullah berpandangan
tajam ketika tidak meminta agar muslimin yang menyeberang ke pihak Quraisy
dikembalikan. Ini menunjukkan bahwa beliau sangat yakin. dengan eksistensi dan
kekuatannya, dan sama sekali tidak merisaukan efek dari persyaratan semacam ini.

8. Sudut Pandang Lain

Demikianlah hakikat dari pasal-pasal perjanjian damai ini. Akan tetapi, ada dua hal
yang menyebabkan kaum Muslimin merasa kecewa dan gundah

gulana.

Shahih Muslim, Bab "Perjanjian Damai Hatalbiyah 2/105 thid, 2/105

Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri-395


[12/4 10.04] Ahmad Sarwat: 1). Rasulullah pernah menyampaikan bahwa mereka akan
datang ke Baitullah dan melakukan thawaf di sana. Jadi, mengapa beliau memilih
pulang dan mengurungkan niat semula?

2). Beliau adalah Rasulullah, berada di jalan yang benar, dan Allah telah berjanji
untuk memenangkan agamanya. Jadi, mengapa beliau mau saja ditekan oleh kaum Quraisy
dan merendahkan diri dengan menyepakati perjanjian semacam itu? Dua hal itulah
sumber kegalauan, kebimbangan, dan syak-wasangka mereka.

Perasaan mereka terluka sehingga mereka dilanda kemurungan karena memikirkan akibat
dari perjanjian damai tersebut. Yang paling prihatin di antaranya Umar ibn
Khaththab. Dia menghadap Nabi s.a.w. dan berkata, "Ya Rasulullah, bukankah kita
berada di jalan yang benar, sedangkan mereka di jalan yang salah?"

Beliau menjawab, "Benar."

Umar berkata lagi, "Bukankah korban perang kita di surga, sementara

korban perang mereka di neraka?"

Beliau menjawab, "Betul."

Dia berkata, "Lalu mengapa kita merendahkan diri sendiri untuk agama kita dan
pulang kembali, sedangkan Allah belum memutuskan urusan antara kita dan mereka?"

Beliau menjawab, "Ibnu Khaththab, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah, dan

aku tidak pernah melanggar Nya. Dialah penolongku, dan Dia tidak pernah menyia

nyiakanku selama-lamanya."

Umar masih juga ngotot, "Bukankah Anda mengatakan kepada kami bahwa kita akan
datang ke Baitullah dan melakukan thawaf di sana?"

Beliau menjawab, "Memang. Tetapi apakah aku mengatakan bahwa kita akan

mendatangi Baitullah tahun ini?"

Umar mengakui, "Tidak."

Beliau bersabda, "Kita pasti datang dan thawaf di sana."


Umar terpaksa berlalu dari hadapan Rasulullah. Namun, dia belum puas. Maka pergilah
dia menemui Abu Bakar, lalu mengatakan sebagaimana yang diutarakannya kepada
Rasulullah. Jawaban Abu Bakar ternyata persis sama dengan jawaban Rasulullah. Dia
menambahkan, "Maka berpeganglah pada ajarannya sampai engkau mati, Demi Allah,
beliau berada di jalan yang benar." Kemudian turunlah ayat:

"Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. sampai akhir
ayat. (QS. Al-Fath: 1)

396-

Sirah Nabautyah
[12/4 10.05] Ahmad Sarwat: Rasulullah mengutus seseorang menemui Umar untuk
menyampaikan berita itu. Beliau membacakan ayat tersebut kepadanya, lalu dia
menegaskan, "Rasulullah, betul-betul kemenangankah?"

Beliau menjawab, "Ya."

Maka hatinya menjadi tenang dan dia pun pulang. Namun, diam-diam Umar sangat
menyesali perilakunya yang keterlaluan kepada Rasulullah. Katanya, "Maka aku
meningkatkan amal ibadah. Aku bersedekah, berpuasa, shalat, dan memerdekakan budak
setelah apa yang kulakukan saat itu. Aku mengkhawatirkan kata-kata yang telah
kuucapkan, dan berharap bahwa amal ibadahku akan membawa kebaikan."554

9. Golongan Lemah Menemukan Solusi

Saat kaum Muslimin mulai merasakan ketenteraman hidup di Madinah, seorang muslim
Mekah melarikan diri dari siksaan dan membelot ke Madinah. Dia bernama Abu Bashir,
berasal dari Bani Tsaqif, sekutu Quraisy. Maka Quraisy mengutus dua orangnya untuk
menyusulnya. Mereka berkata kepada Rasulullah, "Ingatlah perjanjian yang telah
kaubuat dengan kami."

Maka Rasulullah menyerahkan Abu Bashir kepada keduanya. Dia dibawa keluar dari
Madinah hingga sampai di Dzul Hulaifah. Di situ mereka singgah untuk makan dan
beristirahat. Abu Bashir berkomentar sambil lalu kepada satu di antara mereka,
"Demi Allah, kulihat pedangmu ini betul-betul bagus."

Temannya membenarkan, "Ya. Memang betul-betul bagus. Aku sudah sering memakainya
begini dan begitu."

Abu Bashir berkata, "Coba kulihat, aku ingin memegangnya." Lalu setelah berhasil
menggenggam pedang itu erat-erat, Abu Bashir langsung menyabet orang itu sampai
tewas.

Temannya kontan lari pontang-panting kembali ke Madinah. Dia masuk ke dalam masjid
dengan membabi-buta sehingga Rasulullah berkomentar. "Kelihatannya orang ini sangat
ketakutan."

Sesampainya di hadapan Nabi s.a.w., dia mengadu, "Temanku telah dibunuhnya dan aku
juga akan dibunuh!"

Tak lama kemudian datanglah Abu Bashir dengan pedang terhunus. Katanya,
"Nabiyullah, demi Allah, Allah telah memenuhi jaminan Anda. Anda telah
mengembalikan aku kepada mereka, kemudian Allah menyelamatkan aku dari mereka,"

Rasulullah bersabda, "Celakalah Quraisy! Dia bisa mengobarkan perang seandainya ada
kawannya."

Lihat rincian tentang perang dan perjangan dame ini di Fathul Ban, 7/439-458;
Shahih Bukhari 1/378-381, 2/598, 600, 717: Shahih Muslim, 2/104-106 Abou Hinam,
2/106-122: Zidul Ma'ad 2/122-127: Ibnul Jauzi, Tarkhu Umar ibn Khaththab, him, 39-
40.

Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfuri-397


[12/4 10.05] Ahmad Sarwat: Mendengar perkataan Rasulullah, Abu Bashir yakin beliau
bakal me ngembalikannya kepada Quraisy. Maka segera dia keluar dari Madinah lalu
tinggal di daerah pesisir. Abu Jandal ibn Suhail yang juga berhasil meloloskan diri
bergabung dengan Abu Bashir. Bahkan setelah itu, setiap muslim yang melarikan diri
dari Quraisy menggabungkan diri dengan Abu Bashir sehingga terkumpullah jumlah yang
cukup besar. Lalu mereka mulai mencegat setiap kafilah Quraisy yang lewat menuju
Syam dan merampas harta yang dibawa. Seiring dengan makin tingginya intensitas
gangguan mereka, Quraisy terpaksa mengirim utusan kepada Nabi s.a.w. Dengan
bersumpah atas nama Allah dan menyebut-nyebut hubungan kekerabatan dengan beliau,
mereka minta agar beliau menampung orang-orang pelarian itu, dan siapa saja yang
hendak datang ke Madinah dijamin keamanannya. Akhirnya, Rasulullah mengirim utusan
untuk menemui mereka, dan mereka bersedia datang ke Madinah.***

10. Pembesar Quraisy Memeluk Islam Pada tahun 8 H sesudah Perjanjian Hudaibiyah,
Amr ibn Ash, Khalid ibn Walid, dan Utsman ibn Thalhah menyatakan keislamannya.
Ketika mereka mendatangi Rasulullah, beliau berkata, "Sungguh, Mekah telah
menyerahkan jantung hatinya kepada kita.

Mereka berbeda-beda pendapat tentang kepastian tahun keislaman para sahabat ini,
Kitab-kitab biograf umumnya menerangkan bahwa itu terjadi pada tahun & H. Akan
tetapi, kenslaman Amr ibn Ash di hadapan. Najasyi cukup dikenal, sementara Khalid
dan Thalhah masuk hlam sepulangnya Antu ibn Ash dlari Habaiyah, Setelah itu, dia
menoju Madinah dan bertemu dengan Khalid dan Utsman di jalan. Ketiganya bersama-
sama menghadap Nabi saw dan menyatakan keislaman Riwayat ini menegaskan bahwa
mereka memeluk Islam pada tahun 7 H. Wallahu a'lam.

398-

Sirah Nabawiyah

Anda mungkin juga menyukai