Anda di halaman 1dari 14

PERJANJIAN HUDAIBIYYAH

SEJARAH DIPLOMASI ISLAM

Dosen Pengampu: Sidiq Ahmadi, S.IP., M.A.

Disusun Oleh:
Kelompok 2

1. Syivani Nur Zanskcy A. A 20170510038


2. Anggi Angriani 20170510076
3. Agus setiawan 20170510418
4. Disha Arini 20170510432
5. Fitria Mulyaning Madani 20170510434
6. Nadhira Purnama 20170510436
7. Baiq Ulva Rahmawati 20170510449
Kelas A

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

TAHUN 2019/2020
A. Latar Belakang

Pada bulan Zulqaidah tahun ke-6 H. Nabi Muhammad SAW beserta pengikut dan
sahabatnya hendak mengunjungi Mekkah dengan tujuan umrah dan mengunjungi keluarga
mereka yang telah lama ditinggalkan. Untuk mendapatkan kepercayaan kaum kafir Quraisy
bahwa kedatangan mereka adalah murni dengan tujuan melakukan ibadah umrah, Rasulullah
memerintahkan beberapa hal; pertama, mereka melakukan perjalanan dengan rute yang tidak
akan dicurigai kaum Quraisy. Kedua, ia memerintahkan hewan hadyu untuk pelaksanaan
ibadah umrah mereka ditandai agar tidak disangka sebagai kendaraan perang dan ketiga,
kaum muslimin diperintahkan untuk melakukan perjalanan mereka dengan pedang yang
disembunyikan sebagai tanda mereka datang bukan dengan tujuan penyerangan. Nabi
Muhammad juga membawa binatang yang terdiri atas 70 ekor unta, dan juga mengenakan
pakaian ihram1. Dengan cara ini, mereka yakin kaum Quraisy akan berhenti mencurigai
mereka dan memahami maksud umat Islam yang datang dengan maksud damai dan tujuan
hanya semata-mata untuk ibadah.

Berita kedatangan rombongan ini akhirnya sampai ke telinga orang-orang Quraisy.


Merekapun menyiapkan satu pasukan tentara dan pasukan berkuda dengan jumlah 200 orang
di bawah pimpinan panglima Khalid ibnu Walid untuk menghalangi Nabi Muhammad SAW
dan pengikutnya dari maksud tujuannya. Sedangkan, Rasulullah dan kaum Muslimin sedang
menuju Mekkah dan sesampainya di Usfan, Rasulullah bertemu dengan seseorang dari suku
Ka’ab dan mendapatkan laporan bahwa kaum Quraisy telah menuju suatu daerah Kiral
Gharim dan memberitahu bahwa Rasulullah dan kaum Muslimin tidak boleh masuk ke kota
Mekkah. Untuk menghindari terjadinya perang, Rasulullah dan kaum Muslimin berinisiatif
untuk mencari jalan lain yaitu jalan yang berliku dan bebatuan, serta kanan kiri terdapat
jurang. Hingga akhrinya sampailah mereka di Al-Hudaibiyah.2

Melihat kondisi dan sikap yang ditempuh oleh Rasulullah dan kaum Muslimin, para
kaum Quraisy mulai berfikir dan mengirim beberapa orang dari kaum mereka untuk sebagai
utusan yaitu Budail ibnu Warqa dan Hulais Ahabisy untuk menanyakan tentang tujuan
Rasulullah dan kaum Muslimin menuju kota Mekkah. Rasulullah menjawab tujuan mereka ke
Mekkah hanya untuk melakukan ibadah haji umrah, bukan untuk memerangi. Utusan kaum
Quraisy tadi pun menyampaikan hasil laporannya kepada kaumnya, tetapi tidak dipercaya.
Hingga kaum Quraisy kembali mengirim lagi utusannya yaitu Urwah ibnu Mas’ud Al-

1
Muhammad Husayn Haikal, Hayat Muhammad (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1935), 374
2
Abu Haif, ‘Perjanjian Hudaibiyah’, Jurnal Rihlah, Vol. 1, Nomor 2, 2014, p. 122
Thaqafi, dan juga menyampaikan hasil laporan yang sama dengan utusan sebelumnya, tetapi
hal tersebut ditanggapi sebelah mata. Para pemuka Quraisy memerintah 40 orang untuk
melempari kemah Rasulullah dan kaum Muslimin pada malam hari, tetapi mereka tertangkap
basah dan kaum Muslimin membawa orang-orang tersebut ke hadapan Rasulullah, dan
Rasulullah melepaskan orang-orang tersebut. Dari hal ini, Rasulullah berinisiatif untuk
mengirim utusannya kepada kaum Quraisy untuk menjelaskan tujuan mereka ke Mekkah.3

Usman bin Affan sebagai utusan dari kaum Muslimin melakukan perundingan dengan
para pemuka Quraisy yang menimbulkan persebatan panjang hingga beredar berita bahwa
Usman bin Affan telah dibunuh. Dari sinilah batas kesabaran itu, Rasulullah berdiri di bawah
pohon rindang di Hudaibiyah dan bersama dengan seluruh kaun Muslimin melakukan
Sumpah Setia. Hingga Sumpah Setia ini didengar oleh para kaum Quraisy dan mereka
melakukan sidang darurat untuk menghadapi kaum muslimin. Hingga, pemuka Quraisy
mengirimkan utusannya yaitu Suhail ibnu Umar dan kaum Muslimin diwakili oleh Rasulullah
SAW. Dalam merancang kesepakatan-kesepakatan yang akan disahkan, terjadi aksi tolak-
menolak dan protes dari Suhail, tetapi Rasulullah tetap menunjukkan sikap kesabaran dan
teladan. Suhail menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut karena terdapat kata yang
merupakan kata buat kaum Muslimin seperti Bismillahirahmanirahim dan Muhammad
Rasulullah, karena menurut Suhail, ia tidak mengenal kata Rahman dan Rahim, serta apabila
perjanjian tersebut di tulis Rasulullah, ia berpendapat bahwa apabila ia mengakui Muhammad
sebagai Rasulullah, ia tidak akan memerangi Muhammad, sedangkan kenyataannya ia masih
memerangi Muhammad. Hal ini pun disetujui oleh Rasulullah, dan meminta Ali bin Abi
Thalib untuk menuliskan nama Muhammad bin Abdullah, hingga Perjanjian Hudaibiyah ini
dapat dimulai.4

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah dan isi Perjanjian Hudaibiyah?
2. Bagaimana strategi diplomasi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam Perjanjian
Hudaibiyah?

3
Abu Haif, ‘Perjanjian Hudaibiyah’, Jurnal Rihlah, Vol. 1, Nomor 2, 2014, p. 123
4
Dr. Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2000, p. 33-41
C. Pembahasan
1. Sejarah dan Isi Perjanjian Hudaibiyah

Perjanjian itu disepakati di Hudaibiyah, satu desa kecil di bagian utara Mekkah yang
bisa dicapai dalam waktu yang singkat, pada Pebruari 628 M. Sekitar seribu empat ratus
orang telah berkemah di tempat itu di bawah pimpinan Rasulullah, Nabi kaum Muslimin,
yang enam tahun sebelumnya telah diusir secara paksa oleh orangorang Quraisy dari kota
Mekkah. Pada bulan Dzul Qa’dah Rasulullah mengadakan perjalanan dari Madinah bersama
rombongannya yang berjumlah 1.400 orang untuk menunaikan ibadah Umrah bukan untuk
merusak sesuatu yang berlaku. Sebagai orang-orang Madinah mereka merasa berhak untuk
berziarah ke Ka'bah, Baitullah dengan leluasa sebagimana dinikmati oleh seluruh orang Arab.

Kedatangan Rasulullah dan pengikutnya ditolak oleh suku-suku yang berada di


Mekkah. Ini tentu saja sesuatu yang tidak beralasan karena telah menyimpang jauh dari
konvensi dan kesepakatan umum yang selama ini telah berlaku sejak masa Nabi Ibrahim
Alahis-Salaam. Sejak itu Rasulullah dan pengikutnya mendapat perlakukan yang tidak baik
oleh suku quraisy. Orang-orang Arab Mekkah memutuskan untuk menantang Nabi dan para
pengikut setianya. Tokoh panglima islam yang mendorong orang-orang mekkah untuk
menghadang keras orang-orang madinah yaitu Khalid bin Walid yang ingin melakukan
ibadah umrah. Rasulullah mengetahui rencana jahat mereka dari orang Bani Khuzaah yaitu
Budail. Melalui Budail, Rasulullah menyampaikan pesannya kepada orang-orang Quraisy,
yang saat itu sebagai penanggung jawab dalam memelihara Ka'bah, bahwa kedatangannya
saat itu adalah untuk ziarah dan umrah bukan melakukan perang.

Semenjak Rasulullah tinggal selama enam tahun di Madinah, jumlah orang-orang


Quraisy semakin menipis. Maka kondisi seperti itu digunakan Rasulullah untuk menawarkan
kesepakatan damai kepada orang-orang Quraisy dalam waktu tertentu, lalu apa yang akan
dilakukan jika tawaran ini ditolak? Rasulullah bersabda, "Demi Allah yang jiwaku berada di
tangan-Nya, saya akan bertempur selama kepala masih bertengger di atas leher." Inilah misi
yang mengandung pesan damai dan penuh dengan penghargaan. Mereka tidak mau
mendengarkan pesan damai yang ditawarkan Rasulullah dan telah bertekad untuk tidak
melakukan persuasi dengannya, hingga `Urwah, seorang tua dan sekaligus pimpinan Quraisy
yang sangat dihormati ikut campur atas nama wakil orang tua. Dengan nada bertanya `Urwah
berkata kepada orang-orang Quraisy yang sedang dibakar amarah "Apakah saya bukan orang
tua kalian dan apakah kalian bukan anak-anak saya? Dan apakah kalian tidak yakin akan
kesetiaan saya pada kalian?" `Urwah berhasil mendinginkan kepala orang-orang Quraisy
Mekkah, yang kemudian memberinya mandat penuh untuk melakukan negosiasi dengan
Rasulullah, pembawa misi yang penuh dengan tawaran damai. Dia duduk di depan Rasulullah
untuk meminta Rasulullah dan pengikutnya pergi dari mekkah. Saat itu Abu Bakar yang
duduk di samping Rasulullah mendengar perkataan `Urwah tersebut, dia mengangkap bahwa
`Urwah telah melecehkan kesetiaan para pengikut Muhammad Shallallahu `Alahi wa Sallam
dan sangat merendahkan kepemimpinan Rasulullah dengan ungkapan dan bahasa yang sangat
tidak sopan. Kemudian `Urwah mulai mengangkat tangan dan mengulurkannya ke jenggot
Rasulullah. Al-Mughirah bin Syu'bah yang berdiri di samping Rasulullah sangat tersinggung
dengan perilaku kurang ajar `Urwah tersebut, lalu dia bereaksi dengan memukul tangan
`Urwah yang memegang jenggot Rasulullah, seraya berkata, "Tarik tanganmu dari muka
Rasulullah sebelum benar-benar aku patahkan." 'Urwah berkata, "Terkutuklah dirimu, betapa
kasar dan tidak sopannya engkau!". Saat itu ada perselisihan antara Rasulullah serta
pengikutnya dengan Urwah dari kaum Quraisy. Tetapi pada saat itu, perselisihan berhasil
diredamkan ketika Pengikut rasulullah sangat setia dengan rasulullah yang dibuktikan dengan
tingkah laku pengikut Rasulullah kepada Rasul.

Diskusi yang berlangsung antara Rasulullah dan `Urwah belum mencapai konklusi
(kata sepakat) dan masih membutuhkan proses lanjutan. Namun `Urwah yang pergi ke
Mekkah untuk bermusyawarah dengan kaumnya tak pernah kembali lagi. Rasulullah
mengirimkan utusan kepada orang-orang Quraisy yang telah membunuh untanya tatkala
beliau dalam perjalanan menuju mereka, dan unta itu adalah milik Rasulullah sendiri. Ketika
Rasulullah mengirim utusannya, mereka mendapat perlakuan keras dari kaum Quraisy, tetapi
Rasulullah tetap saja dengan prinsip awalnya, yaitu menegakkan perdamaian jika tidak terjadi
hal-hal yang sangat keterlaluan dari pihak yang lain. Rasulullah tetap dengan ketenangan
sebagaimana yang biasa beliau lakukan dalam menghadapi provokasi apa pun.

Agar tidak terulang perlakukan yang dialami utusan-utusan yang dikirimkan terdahulu,
maka Rasulullah mengutus Utsman, salah seorang yang memiliki hubungan sangat dekat
dengan orang-orang yang berada di kota Mekkah.5 Diutusnya Utsman adalah untuk
melanjutkan tawaran kesepakatan dan negosiasi damai yang pernah dirintis sebelumnya. Tapi
ada informasi bahwa Ustman telah dibunuh. Tampaknya sampai di sinilah batas kesabaran
itu. Dan jika konsesi masih juga diberikan, maka hal itu hanya akan menunjukkan kelemahan
di pihak kaum Muslimin.
5
Muhammad Nashirudin Albani “SIRAH NABAWIYAH” IBNU HISYAM, Hal. 605
Akhirnya Rasulullah harus memutuskan untuk membalas dendam atas darah
utusannya. Dengan berdiri di bawah sebuah pohon yang rindang yang ada di Hudaibiyah,
Rasulullah meminta kepada seluruh sahabatnya untuk melakukan "sumpah setia". Sambutan
dari para sahabatnya sangat spontan. Kaum laki-laki dan perempuan yang sepakat untuk
melakukan umrah saat itu, menunjukkan kesiapan mereka untuk mengorbankan jiwa dan
raganya demi tujuan mulia yang mereka yakini. Antusiasme mereka yang unik ini
menunjukkan betapa kuat pengaruh dan wibawa kepemimpinan Rasulullah di mata
pengikutnya.

Setelah lama kemudian, kekuatan kaum Quraisy semakin lemah, sedangkan kekuatan
moral dan spiritual kaum Muslimin semakin meningkat, yang terlihat secara jelas dalam
kemampuan mereka melakukan organisasi dan perlawanan secara terus menerus, orang-orang
Quraisy segera berinisiatif untuk melakukan kesepakatan. Tak lama setelah kaum Muslimin
menyatakan sumpah setianya tersebut, utusan Quraisy segera datang menemui Rasulullah
untuk mengajukan usulan-usulan kesepakatan. Dalam penulisan draft kesepakatan tersebut
Rasulullah menampakkan banyak kendala, namun untuk kesekian kalinya Rasulullah kembali
menampakkan tauladan kesabaran yang tiada banding dalam menghadapi persoalan-
persoalan yang sangat pelik dan berbahaya.

Pembukaan kata dari draft kesepakatan ditolak dengan keras oleh Suhail, utusan orang
Quraisy, walaupun kata pembukaan itu sama sekali tidak menyangkut substansi kesepakatan.
Ini hanyalah perkataan biasa yang selalu dilakukan oleh kaum Muslimin dalam semua
penulisan. Draft tersebut dimulai dengan kata "Bismillahirrahmanirrahiem" (Dengan Nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Kata ini tidak diterima oleh utusan
Quraisy, dan mereka memaksa agar permulaan kata kesepakatan itu dimulai dengan yang
biasa dipergunakan orangorang Quraisy, yaitu, "Bismikallahumma" (Dengan Namamu, Ya
Allah), sehingga Rasulullah menerima dengan lapng dada tapi mereka tidak akan pernah
setuju untuk menandatangani Perjanjian Hudaibiyah karena kesepakatan itu diawali dengan
kata yang menjadi formula kaum Muslimin. Rasulullah melakukan cara-cara kompromi yang
demikian agar tercapainya tujuan damai. Dengan melakukan kompromi seperti itu,
Rasulullah tidak keluar dari prinsip dasar islam .

Namun di sana ada rintangan lain yang lebih fundamental yaitu kata
MuhammadaRasulullah, kaum Quraisy menginginkan kata Muhammad bin Abdullah. Nasib
perundingan ini pada saat itu tampaknya terasa menggantung. Di sanalah terdapat tantangan
dan sebuah problema yang membutuhkan sebuah kualitas confidence (keyakinan) yang
sangat tinggi, kejernihan berpikir dan kebijakan yang mumpuni. Di situ terjadi perkembangan
yang menghajatkan sebuah tindakan yang tepat dan mengena yang tidak merugikan kedua
pihak, tidak bertabrakan, dan tidak mengorbankan kepentingan Islam serta selalu
mengedepankan nilai-nilai damai. Rasulullah Shallallahu ’Alahi wa Sallam berlaku
sewajarnya dalam menghadapi situasi ini dan beliau menyatakan dengan ekspresi yang dalam
untuk menghapus apa yang mereka tuntut. Beliau berkata, "Demi Allah, saya adalah Rasul
utusan Allah, meskipun kamu sekalian tidak mengakui apa yang saya katakan". Dengan
pernyataannya yang meneguhkan bahwa dirinya adalah Rasul, beliau selanjutnya
memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan di atas kertas perjanjian, Muhammad
bin Abdullah. Perintah ini tentu merupakan perintah yang sangat berat hingga terhadap
seorang Muslim yang sangat taat sekalipun. Ali pun merasa sangat keberatan untuk
melakukan hal tersebut. Rasulullah kembali meminta Ali untuk mengganti kata Utusan Allah
(Rasulullah). Ali kemudian meletakkan jemarinya di atas kertas dan Rasulullah sendiri yang
menghapus kata itu sehingga kemudian diganti dengan Muhammad bin Abdullah. Dengan
demikian maka Perjanjian Hudaibiyah bisa berlanjut. Dan di sinilah terlihat bagaimana
kepiawaian Muhammad Shallallahu ’Alahi wa Sallam terlihat dalam hal diplomasi. Bukan
hanya bagaimana Rasulullah mampu menyelesaikan Perjanjian itu dengan baik, namun lebih
daripada itu, dengan perjanjian ini Rasulullah telah melicinkan kemenangan Islam di masa
depan atas orang-orang kafir Quraisy.

Di dalam perjanjian Hudaibiyah telah ditetapkan bahwa kaum Muslimin saat itu harus
kembali ke Madinah dan tidak diperkenankan untuk melakukan ibadah umrah ke Baitullah.
Mereka diperkenankan untuk datang di tahun depan, namun dengan ketentuan bahwa setelah
tiga hari tinggal di Mekkah, mereka harus segera meninggalkan kota Mekkah. Mereka juga
tidak diperkenankan datang dengan membawa senjata, meskipun demikian, setiap satu orang
diperkenankan untuk membawa satu pedang. Dan jika seorang laki-iaki dari Mekkah datang
ke Madinah tanpa ijin tuannya, dia harus dikembalikan ke Mekkah. Sebaliknya jika ada orang
Madinah yang datang ke Mekkah, maka mereka tidak akan dikembalikan ke Madinah.
Perjanjian ini berlaku selama masa sepuluh tahun. Dan setiap orang ataupun suku tertentu
dijamin kemerdekaannya untuk mengadakan aliansi dengan pihak mana pun.

Bunyi Perjanjian Hudaibiyah itu adalah sebagai berikut: Dengan nama Tuhan. Ini
perjanjian antara Muhammad (SAW) dan Suhail bin ‘Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada
peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad
(SAW), diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy,
diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika
mengikuti Muhammad (SAW) tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan
penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini
Muhammad (SAW) akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk
ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk
Quraisy akan mundur ke bukit-bukit6. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki
Mekkah”. Berdasarkan pernyataan tersebut maka inti dari Perjanjian Hudaibiyah adalah:

1. Diberlakukannya gencatan senjata antara Mekkah dengan Madinah selama 10 tahun.


2. Warga Mekkah yang menyeberang ke Madinah tanpa seizin walinya harus dikembalikan
ke Mekkah.
3. Warga Mekkah yang menyeberang ke Madina tanpa seizing walinya harus dikembalikan
ke Mekkah.
4. Warga Madinan yang menyeberang ke Mekkah maka tidak boleh kembali ke Madinah.
5. Selain warga Mekkah dan Madinah, dibebaskan memilih untuk berpihak ke Mekkah atau
Madianah.
6. Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya harus meninggalkan Mekkah, tetapi
diperbolehkan lagi kembali ke Mekkah setahun setelah perjanjian itu. Mereka akan
dipersilakan tinggal selama 3 hari dengan syarat hanya membawa pedang dalam sarungnya
(maksudnya membawa pedang hanya untuk berjaga-jaga, bukan digunakan untuk
menyerang). Selama 3 hari itu, kaum Quraisy Mekkah akan menyingkir keluar Mekkah.
Para Saksi: Kaum Muslimin: Abu Bakar, Umar, Abdur Rahman bin Auf, Abdullah bin
Suhail bin Amr, Sa'ad bin Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah. Orang-orang Mekkah:
Mikdad bin Hafsh. Perjanjian Hudaibiyah memberi kesan dalam sikap menyerah daripada
menawarkan damai dengan penuh hormat dan kemuliaan.

Setelah beberapa jam Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, Abu Jandal, anak Suhail
bin Amr datang ke tempat perkemahan Rasulullah. Kedatangan Abu Jandal, yang baru saja
masuk Islam itu, didapatkan Suhail yang saat itu masih berada di Hudaibiyah. Saat berada di
Mekkah Abu Jandal mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi saat dia berada di
penjara. Perlakuan tidak manusiawi inilah yang mendorongnya untuk melarikan diri dari
Mekkah dan menemui Rasulullah ntuk meminta perlindungan. Dia memperlihatkan luka-luka

6
Abu Haif “PERJANJIAN HUDAIBIYAH”cermin kepiawaian Muhammad SAW dalam berdiplomasi, Hal. 126
memar yang ada di tubuhnya akibat perlakuan musuh-musuh Islam yang membuat hati dan
perasaan kaum Muslimin tak tega untuk mengembalikannya kepada musuh-musuh Islam dan
menghadapkannya kepada kematian yang mengerikan. Mereka menyatakan rasa simpati yang
setinggi-tingginya kepada Abu Jandal, saudaranya sesama Muslim yang mengalami
penderitaan yang sangat berat tersebut.

Seluruh rombongan kembali dari Hudaibiyah tiga hari setelah Perjanjian itu ditanda
tangani. Saat mereka kembali ke Madinah, orang-orang yang memiliki moral rendah masih
saja diliputi rasa sedih dan susah yang terus menerus. Al-Quran mengabadikan peristiwa ini
sebagai berikut "Sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan kepada engkau dengan
kemenangan yang terang." (QS Al-Fath 48:1)

Dalam hal ini, dapat dilihat sikap Rasulullah yang sangat luar biasa. Saat dia berada di
tengah-tengah suasana emosional yang sangat meluap-luap dan sangat garang, dia dengan
bijak, dan dengan mempergunakan bahasa yang sangat bagus, dia mampu mengatasi
gelombang emosi yang marak dan pernyataan-pernyataan yang sangat kasar yang dikeluarkan
oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.

2. Strategi Diplomasi Rasulullah SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah


Perjanjian Hudaibiyah merupakan perjanjian kemenangan bagi umat Islam. Seperti
yang telah dipaparkan diatas, proses kesepakatan Perjanjian Hudaibiyah tidaklah cepat dan
mudah, melainkan melalui strategi yang matang. Dalam mencapai perjanjian tersebut,
Rasulullah banyak menggunakan strategi atau diplomasi dengan cara-cara damai kepada
kaum Quraisy yang mana hingga saat ini menjadi teladan bagi umat Islam. Perjanjian
Hudaibiyah berawal dari adanya pelarangan dari kaum Quraisy (Mekkah) kepada Rasulullah
yang telah mengusirnya dari Mekkah enam tahun lalu dan para pengikutnya yang berjumlah
sekitar seribu empat ratus orang untuk memasuki Mekkah pada bulan Dzul Qa’dah. 7 Dimana
terdapat kesepakatan atau tradisi di kalangan Arab, yakni adanya larangan di bulan-bulan
haram, termasuk Dzul Qa’dah. Dimana dalam memasuki Ka’bah, mereka dilarang membawa
senjata untuk berperang. Hal tersebut tentu menunjukan bahwa suku-suku yang ada Mekkah
telah melanggar perjanjian dan ajaran nenek moyang mereka karena telah melarang
Rasulullah dan kaum muslimin dari Madinah yang sejatinya hanya ingin melakukan ibadah
Umrah bukan untuk berperang. Sehingga Rasulullah dan para pengikutnya mendapat
perlakuan diskriminatif dari orang-orang Mekkah tersebut.

7
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, (Jakrta Timur: Pustaka Al-Kausar, 2000), hal. 30.
Melalui Budail, yakni orang Bani Khuzaah yang sangat simpati terhadap kaum
muslimin meskipun ia belum masuk Islam, Rasulullah menyampaikan pesan kepada
kaum Quraisy sebagai penanggung jawab yang memelihara Ka’bah, bahwasanya
kedatanganya tidak lain adalah untuk berziarah dan melakukan ibadah Umrah, bukan
untuk berperang. Faktanya, selama Rasulullah berada di Madinah selama enam bulan
karena adanya usiran paksa di Mekkah, jumlah orang-orang Quraisy semakin
berkurang dan menipis. Kondisi tersebut dimanfaatkan Rasulullah untuk menawarkan
kesepaktan damai dengan orang-orang Quraisy. Namun, orang-orang Arab Mekkah
menolak persuasi tersebut. Akhirnya ‘Urwah, seorang pimpinan Quraisy yang sangat
dihormati ikut campur untuk memberi mandat penuh bagi orang-orang Quraisy untuk
melakukan negosiasi dengan Rasulullah karena beliau seorang pembawa misi dengan
penuh tawaran damai. ‘Urwah pun merendahkan kepemimpinan Rasulullah dan
pengikutnya, ia juga mengangkat tangan dan mengulurkanya ke jenggot Rasulullah.
Segera Al-Mughirah bin Syu'bah, menyampar tanganya dari wajah Rasulullah karena
hal tersebut sangat tidak sopan. Namun balasan Rasul hanyalah tersenyum,
menyikapinya dengan kepala dingin dan hanya mengatakan bahwa niat beliau adalah
untuk beribadah Umrah bukan untuk perang. ‘Urwah pun kesal dan berpaling karena
melihat kesetiaan pengikut Rasulullah kepada Rasulullah SAW. 8
Ketika orang-orang Quraisy membunuh unta beliau dan menyiksa kaum
Muslimin, beliau tetap dengan prinsipnya yang sejalan dengan Islam, yakni
menegakkan perdamaian apabila tidak terjadi hal yang sangat keterlaluan dari pihak
lain. Sehingga banyak orang Arab yang mengaku bersalah karena melakukan
penyerangan agresif karena takut akan merusak proses negosiasi perdamaian antar
kedua kelompok tersebut. Namun Rasulullah tetap menghadapinya dengan ketenangan
dan justru melepaskan orang-orang Quraisy yang telah ditangkap oleh kaum Muslimin
dan terus melanjutkan proyek besarnya, yakni perdamaian seperti yang disebutkan
dalam Q.S Al-Fath 48:24. Rasulullah pun mengutus Utsman bin Affan sebagai orang
yang memiliki hubungan sangat dekat dengan orang-orang di Mekkah untuk
melanjutkan tawaran kesepakatan serta negosiasi damai yang telah direncanakan
sebelumnya. Orang-orang Quraisy rupanya tetap menahan Utsman dan tidak diketahui
hingga kapan kaum Muslimin akan menunggu. Akhirnya, Rasulullah di salah satu
pohon yang ada di Hudaibiyah, beliau menyeru sahabatnya untuk melakukan “sumpah

8
Ibid, hal. 32.
setia”. Hal tersebut disambut dengan antusias oleh para pengikutnya, baik laki-laki
maupun perempuan untuk sepakat mengorbankan jiwa dan raga mereka demi suatu
tujuan mulia yang dibawa Rasul. Demikian menunjukan kewibawaan serta kekuatan
Rasulullah dalam mempengaruhi pengikutnya.
Orang-orang Quraisy pun segera berinisiatif untuk melakukan kesepakatan
dengan mendatangi Rasulullah dan kaum Muslimin karena sadar akan peningkatan
moral dan spirit kaum tersebut, sedangkan mereka sendiri mengalami penurunan
kekuatan. Draft penulisan kesepaktan tersebut pun tidak semerta-merta langsung jadi,
melainkan Rasulullah mendapat banyak kendala didalamnya. Rasulullah pun tetap
dalam kesabaranya yang tiada banding hingga dalam persoalan yang berbhaya dan
pelik sekalipun. Kendala tersebut mulai dialami dari penulisan kata pembukaan draft
kesepaktan tersebut, yakni "Bismillahirrahmanirrahiem" (Dengan Nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).9 Hal tersebut ditentang oleh utusan orang
Quraisy, Suhail dan memaksa untuk menggantinya dengan "Bismikallahumma"
(Dengan Namamu, Ya Allah) yang mana sejalan dengan apa yang biasa digunakan
oleh orang Quraisy. Rasulullah pun menerimanya dengan sabar dan lapang dada
karena maknanya yang sama. Kata kedua yang ditentang keras oleh kaum Quraisy
adalah Ar-Rahman yang merujuk pada Allah SWT atau Yang Maha Pemurah.
Demikian karena mereka menganggap Rasulullah mengganti nama Tuhan dengan Ar-
Rahman.10 Sehingga, Suhail terus medesak agar kata tersebut diganti dengan Allah
seperti yang telah familiar di kalangan kaum Quraisy, bahwa Allah adalah Tuhan
tertinggi. Rasulullah pun kembali menerimanya dengan kepala dingin dan lapang dada.
Tidak berhenti disitu, kaum Muslimin yang mengusulkan Muhammad
Rasulullah dalam sebagai awal Perjanjian tersebut justru kembali ditentang keras oleh
kaum Quraisy. Demikian karena usulan tersebut mengandung makna bahwa kaum
Quraisy secara resmi telah mengakui kerasulan Muhammad SAW. Mereka memaksa
untuk menggantinya dengan Muhammad bin Abdullah yang mengakibatkan
kegemparan dan kerisauan mendalam bagi para pengikut Rasulullah. Perundingan
kesepakatan tersebut pun tersa menggantung. Rasulullah pun tetap berlaku sewajarnya
dan setelah menyatakan bahwa dirinya adalah Rasul, beliau memerintahkan Ali bin
Abi Thalib untuk menuliskan Muhammad bin Abdullah diatas kertas perjanjian
tersebut. Ali pun merasa sangat keberatan, sehingga Rasulullah sendiri yang

9
Ibid, hal. 34.
10
Ibid., hal. 35.
menghapus Muhammad Arsulullah yang kemudia diganti dengan Muhammad bin
Abdullah. Demikian Perjanjian Hudaibiyah tersebut dapat dilanjutkan. Dapat kita lihat
bahwasaya dalam keadaan rumit sekalipun, Rasulullah tetap dapat mengambil
keputusan dengan kejernihan berpikir, tidak merugikan kedua belah pihak, tidak
mengorbankan kepentingan Islam dan selalu mengedepankan nilai-nilai damai.11

Tantangan yang dihadapi Rasulullah dan pengikutnya belum usai setelah


terjadi kesepakatan Perjanjian Hudaibiyah. Kedatangan Abu Jandal, anak orang
Quraisy Suhail bin Amr ke tempat perkemahan Rasulullah meminta perlindungan
kepada Rasulullah karena ia mengalami perlakuan yang sangat tidak manusiawi dan
menunjukan luka-lukanya dihadapan beliau. Hal tersebut tentu membuat kaum
Muslimin tak tega untuk mengembalikanya kepada kaum Quraisy yang mana hal
tersebut bertentangan dengan kesepakatan yang ada dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Konsistensi dan integritas Rasulullah pun diuji. Namun, Rasulullah tetap berpegang
teguh dengan kesepakatan yang tertulis di Perjanjian Hudaibyah karena kesepakatn
tersebut atas nama Allah dan harus ditaati meskipun hal tersebut dirasa berat. Rasul
mendekati Abu Jandal dan menasehatinya dengan suara lemah lembut dan emosi
mendalam agar ia tetap kembali ke Mekkah bersama ayahnya sendiri, mematuhi
kesepakatan yang ada.12
Rasa berat dan kesedihan mendalam dirasakan oleh kaum Muslimin karena
mereka merasa tidak bisa membantu saudara seimanya saat harus dikembalikan pada
musuh Islam. Banyak para pengikut Rasulullah yang belum bisa melihat hal postif dari
adanya kesepaktan Perjanjian Hudaibiyah tersebut. Namun, seiring berjalanya waktu
seperti yang tertera pada Q.S Al-Fath 48:1, bahwasnya telah diberi tanda kemengan
oleh Allah SWT. Kaum Muslimin pun turut sadar akan hal positif pasca Perjanjian
tersebut bahwa kaum Muslimin dapat dengan bebas melakukan kontak dan akses
kepada orang-orang Mekkah. Hal tersebut yang akhirnya dapat menarik banyak orang-
orang Mekkah untuk masuk Islam dan dianggap sebagai masa yang paling
“membuahka” bagi Islam, yakni pada masa jeda antara Perjanjian Hudaibiyah pada
tahun 6H. dan Penaklukan kota Mekkah pada 8H.13
Dapat kita ketahui bahwasanya Rasulullah merupakan sosok yang visioner dan
praktis. Beliau dapat dengan tenang dan bijak untuk bertindak objektif hingga disaat

11
Ibid., hal. 36.
12
Ibid., hal. 38.
13
Ibid., hal. 40.
situasi pelik sekalipun. Beliau juga mampu mengatasi emosi dan pernyataan kasar dari
orang disekitarnya dengan menggunakan bahasa yang tepat dan sangat bagus. Beliau
mampu menganalisa situasi dan kondisi dengan instink yang tajam serta mampu
memahami kekuatan dan kelemahan pada para pengikutnya dengan waktu yang
singkat. Beliau dapat menempatkan posisi bagaimana harus bertarung dengan musuh
yang dihadapinya, apa yang diatur dalam hatinya serta mampu untuk memperlakukan
orang-orang Mekkah dalam posisi yang sama dan dalam kapasitasnya sebagai kepala
negara.14

14
Ibid., hal. 41.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Nashirudin Albani “SIRAH NABAWIYAH” IBNU HISYAM, Hal. 605


Abu Haif “PERJANJIAN HUDAIBIYAH”cermin kepiawaian Muhammad SAW dalam
berdiplomasi, Hal. 126

Anda mungkin juga menyukai