Disusun Oleh:
Kelompok 2
TAHUN 2019/2020
A. Latar Belakang
Pada bulan Zulqaidah tahun ke-6 H. Nabi Muhammad SAW beserta pengikut dan
sahabatnya hendak mengunjungi Mekkah dengan tujuan umrah dan mengunjungi keluarga
mereka yang telah lama ditinggalkan. Untuk mendapatkan kepercayaan kaum kafir Quraisy
bahwa kedatangan mereka adalah murni dengan tujuan melakukan ibadah umrah, Rasulullah
memerintahkan beberapa hal; pertama, mereka melakukan perjalanan dengan rute yang tidak
akan dicurigai kaum Quraisy. Kedua, ia memerintahkan hewan hadyu untuk pelaksanaan
ibadah umrah mereka ditandai agar tidak disangka sebagai kendaraan perang dan ketiga,
kaum muslimin diperintahkan untuk melakukan perjalanan mereka dengan pedang yang
disembunyikan sebagai tanda mereka datang bukan dengan tujuan penyerangan. Nabi
Muhammad juga membawa binatang yang terdiri atas 70 ekor unta, dan juga mengenakan
pakaian ihram1. Dengan cara ini, mereka yakin kaum Quraisy akan berhenti mencurigai
mereka dan memahami maksud umat Islam yang datang dengan maksud damai dan tujuan
hanya semata-mata untuk ibadah.
Melihat kondisi dan sikap yang ditempuh oleh Rasulullah dan kaum Muslimin, para
kaum Quraisy mulai berfikir dan mengirim beberapa orang dari kaum mereka untuk sebagai
utusan yaitu Budail ibnu Warqa dan Hulais Ahabisy untuk menanyakan tentang tujuan
Rasulullah dan kaum Muslimin menuju kota Mekkah. Rasulullah menjawab tujuan mereka ke
Mekkah hanya untuk melakukan ibadah haji umrah, bukan untuk memerangi. Utusan kaum
Quraisy tadi pun menyampaikan hasil laporannya kepada kaumnya, tetapi tidak dipercaya.
Hingga kaum Quraisy kembali mengirim lagi utusannya yaitu Urwah ibnu Mas’ud Al-
1
Muhammad Husayn Haikal, Hayat Muhammad (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1935), 374
2
Abu Haif, ‘Perjanjian Hudaibiyah’, Jurnal Rihlah, Vol. 1, Nomor 2, 2014, p. 122
Thaqafi, dan juga menyampaikan hasil laporan yang sama dengan utusan sebelumnya, tetapi
hal tersebut ditanggapi sebelah mata. Para pemuka Quraisy memerintah 40 orang untuk
melempari kemah Rasulullah dan kaum Muslimin pada malam hari, tetapi mereka tertangkap
basah dan kaum Muslimin membawa orang-orang tersebut ke hadapan Rasulullah, dan
Rasulullah melepaskan orang-orang tersebut. Dari hal ini, Rasulullah berinisiatif untuk
mengirim utusannya kepada kaum Quraisy untuk menjelaskan tujuan mereka ke Mekkah.3
Usman bin Affan sebagai utusan dari kaum Muslimin melakukan perundingan dengan
para pemuka Quraisy yang menimbulkan persebatan panjang hingga beredar berita bahwa
Usman bin Affan telah dibunuh. Dari sinilah batas kesabaran itu, Rasulullah berdiri di bawah
pohon rindang di Hudaibiyah dan bersama dengan seluruh kaun Muslimin melakukan
Sumpah Setia. Hingga Sumpah Setia ini didengar oleh para kaum Quraisy dan mereka
melakukan sidang darurat untuk menghadapi kaum muslimin. Hingga, pemuka Quraisy
mengirimkan utusannya yaitu Suhail ibnu Umar dan kaum Muslimin diwakili oleh Rasulullah
SAW. Dalam merancang kesepakatan-kesepakatan yang akan disahkan, terjadi aksi tolak-
menolak dan protes dari Suhail, tetapi Rasulullah tetap menunjukkan sikap kesabaran dan
teladan. Suhail menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut karena terdapat kata yang
merupakan kata buat kaum Muslimin seperti Bismillahirahmanirahim dan Muhammad
Rasulullah, karena menurut Suhail, ia tidak mengenal kata Rahman dan Rahim, serta apabila
perjanjian tersebut di tulis Rasulullah, ia berpendapat bahwa apabila ia mengakui Muhammad
sebagai Rasulullah, ia tidak akan memerangi Muhammad, sedangkan kenyataannya ia masih
memerangi Muhammad. Hal ini pun disetujui oleh Rasulullah, dan meminta Ali bin Abi
Thalib untuk menuliskan nama Muhammad bin Abdullah, hingga Perjanjian Hudaibiyah ini
dapat dimulai.4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah dan isi Perjanjian Hudaibiyah?
2. Bagaimana strategi diplomasi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam Perjanjian
Hudaibiyah?
3
Abu Haif, ‘Perjanjian Hudaibiyah’, Jurnal Rihlah, Vol. 1, Nomor 2, 2014, p. 123
4
Dr. Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2000, p. 33-41
C. Pembahasan
1. Sejarah dan Isi Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian itu disepakati di Hudaibiyah, satu desa kecil di bagian utara Mekkah yang
bisa dicapai dalam waktu yang singkat, pada Pebruari 628 M. Sekitar seribu empat ratus
orang telah berkemah di tempat itu di bawah pimpinan Rasulullah, Nabi kaum Muslimin,
yang enam tahun sebelumnya telah diusir secara paksa oleh orangorang Quraisy dari kota
Mekkah. Pada bulan Dzul Qa’dah Rasulullah mengadakan perjalanan dari Madinah bersama
rombongannya yang berjumlah 1.400 orang untuk menunaikan ibadah Umrah bukan untuk
merusak sesuatu yang berlaku. Sebagai orang-orang Madinah mereka merasa berhak untuk
berziarah ke Ka'bah, Baitullah dengan leluasa sebagimana dinikmati oleh seluruh orang Arab.
Diskusi yang berlangsung antara Rasulullah dan `Urwah belum mencapai konklusi
(kata sepakat) dan masih membutuhkan proses lanjutan. Namun `Urwah yang pergi ke
Mekkah untuk bermusyawarah dengan kaumnya tak pernah kembali lagi. Rasulullah
mengirimkan utusan kepada orang-orang Quraisy yang telah membunuh untanya tatkala
beliau dalam perjalanan menuju mereka, dan unta itu adalah milik Rasulullah sendiri. Ketika
Rasulullah mengirim utusannya, mereka mendapat perlakuan keras dari kaum Quraisy, tetapi
Rasulullah tetap saja dengan prinsip awalnya, yaitu menegakkan perdamaian jika tidak terjadi
hal-hal yang sangat keterlaluan dari pihak yang lain. Rasulullah tetap dengan ketenangan
sebagaimana yang biasa beliau lakukan dalam menghadapi provokasi apa pun.
Agar tidak terulang perlakukan yang dialami utusan-utusan yang dikirimkan terdahulu,
maka Rasulullah mengutus Utsman, salah seorang yang memiliki hubungan sangat dekat
dengan orang-orang yang berada di kota Mekkah.5 Diutusnya Utsman adalah untuk
melanjutkan tawaran kesepakatan dan negosiasi damai yang pernah dirintis sebelumnya. Tapi
ada informasi bahwa Ustman telah dibunuh. Tampaknya sampai di sinilah batas kesabaran
itu. Dan jika konsesi masih juga diberikan, maka hal itu hanya akan menunjukkan kelemahan
di pihak kaum Muslimin.
5
Muhammad Nashirudin Albani “SIRAH NABAWIYAH” IBNU HISYAM, Hal. 605
Akhirnya Rasulullah harus memutuskan untuk membalas dendam atas darah
utusannya. Dengan berdiri di bawah sebuah pohon yang rindang yang ada di Hudaibiyah,
Rasulullah meminta kepada seluruh sahabatnya untuk melakukan "sumpah setia". Sambutan
dari para sahabatnya sangat spontan. Kaum laki-laki dan perempuan yang sepakat untuk
melakukan umrah saat itu, menunjukkan kesiapan mereka untuk mengorbankan jiwa dan
raganya demi tujuan mulia yang mereka yakini. Antusiasme mereka yang unik ini
menunjukkan betapa kuat pengaruh dan wibawa kepemimpinan Rasulullah di mata
pengikutnya.
Setelah lama kemudian, kekuatan kaum Quraisy semakin lemah, sedangkan kekuatan
moral dan spiritual kaum Muslimin semakin meningkat, yang terlihat secara jelas dalam
kemampuan mereka melakukan organisasi dan perlawanan secara terus menerus, orang-orang
Quraisy segera berinisiatif untuk melakukan kesepakatan. Tak lama setelah kaum Muslimin
menyatakan sumpah setianya tersebut, utusan Quraisy segera datang menemui Rasulullah
untuk mengajukan usulan-usulan kesepakatan. Dalam penulisan draft kesepakatan tersebut
Rasulullah menampakkan banyak kendala, namun untuk kesekian kalinya Rasulullah kembali
menampakkan tauladan kesabaran yang tiada banding dalam menghadapi persoalan-
persoalan yang sangat pelik dan berbahaya.
Pembukaan kata dari draft kesepakatan ditolak dengan keras oleh Suhail, utusan orang
Quraisy, walaupun kata pembukaan itu sama sekali tidak menyangkut substansi kesepakatan.
Ini hanyalah perkataan biasa yang selalu dilakukan oleh kaum Muslimin dalam semua
penulisan. Draft tersebut dimulai dengan kata "Bismillahirrahmanirrahiem" (Dengan Nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Kata ini tidak diterima oleh utusan
Quraisy, dan mereka memaksa agar permulaan kata kesepakatan itu dimulai dengan yang
biasa dipergunakan orangorang Quraisy, yaitu, "Bismikallahumma" (Dengan Namamu, Ya
Allah), sehingga Rasulullah menerima dengan lapng dada tapi mereka tidak akan pernah
setuju untuk menandatangani Perjanjian Hudaibiyah karena kesepakatan itu diawali dengan
kata yang menjadi formula kaum Muslimin. Rasulullah melakukan cara-cara kompromi yang
demikian agar tercapainya tujuan damai. Dengan melakukan kompromi seperti itu,
Rasulullah tidak keluar dari prinsip dasar islam .
Namun di sana ada rintangan lain yang lebih fundamental yaitu kata
MuhammadaRasulullah, kaum Quraisy menginginkan kata Muhammad bin Abdullah. Nasib
perundingan ini pada saat itu tampaknya terasa menggantung. Di sanalah terdapat tantangan
dan sebuah problema yang membutuhkan sebuah kualitas confidence (keyakinan) yang
sangat tinggi, kejernihan berpikir dan kebijakan yang mumpuni. Di situ terjadi perkembangan
yang menghajatkan sebuah tindakan yang tepat dan mengena yang tidak merugikan kedua
pihak, tidak bertabrakan, dan tidak mengorbankan kepentingan Islam serta selalu
mengedepankan nilai-nilai damai. Rasulullah Shallallahu ’Alahi wa Sallam berlaku
sewajarnya dalam menghadapi situasi ini dan beliau menyatakan dengan ekspresi yang dalam
untuk menghapus apa yang mereka tuntut. Beliau berkata, "Demi Allah, saya adalah Rasul
utusan Allah, meskipun kamu sekalian tidak mengakui apa yang saya katakan". Dengan
pernyataannya yang meneguhkan bahwa dirinya adalah Rasul, beliau selanjutnya
memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan di atas kertas perjanjian, Muhammad
bin Abdullah. Perintah ini tentu merupakan perintah yang sangat berat hingga terhadap
seorang Muslim yang sangat taat sekalipun. Ali pun merasa sangat keberatan untuk
melakukan hal tersebut. Rasulullah kembali meminta Ali untuk mengganti kata Utusan Allah
(Rasulullah). Ali kemudian meletakkan jemarinya di atas kertas dan Rasulullah sendiri yang
menghapus kata itu sehingga kemudian diganti dengan Muhammad bin Abdullah. Dengan
demikian maka Perjanjian Hudaibiyah bisa berlanjut. Dan di sinilah terlihat bagaimana
kepiawaian Muhammad Shallallahu ’Alahi wa Sallam terlihat dalam hal diplomasi. Bukan
hanya bagaimana Rasulullah mampu menyelesaikan Perjanjian itu dengan baik, namun lebih
daripada itu, dengan perjanjian ini Rasulullah telah melicinkan kemenangan Islam di masa
depan atas orang-orang kafir Quraisy.
Di dalam perjanjian Hudaibiyah telah ditetapkan bahwa kaum Muslimin saat itu harus
kembali ke Madinah dan tidak diperkenankan untuk melakukan ibadah umrah ke Baitullah.
Mereka diperkenankan untuk datang di tahun depan, namun dengan ketentuan bahwa setelah
tiga hari tinggal di Mekkah, mereka harus segera meninggalkan kota Mekkah. Mereka juga
tidak diperkenankan datang dengan membawa senjata, meskipun demikian, setiap satu orang
diperkenankan untuk membawa satu pedang. Dan jika seorang laki-iaki dari Mekkah datang
ke Madinah tanpa ijin tuannya, dia harus dikembalikan ke Mekkah. Sebaliknya jika ada orang
Madinah yang datang ke Mekkah, maka mereka tidak akan dikembalikan ke Madinah.
Perjanjian ini berlaku selama masa sepuluh tahun. Dan setiap orang ataupun suku tertentu
dijamin kemerdekaannya untuk mengadakan aliansi dengan pihak mana pun.
Bunyi Perjanjian Hudaibiyah itu adalah sebagai berikut: Dengan nama Tuhan. Ini
perjanjian antara Muhammad (SAW) dan Suhail bin ‘Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada
peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad
(SAW), diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy,
diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika
mengikuti Muhammad (SAW) tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan
penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini
Muhammad (SAW) akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk
ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk
Quraisy akan mundur ke bukit-bukit6. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki
Mekkah”. Berdasarkan pernyataan tersebut maka inti dari Perjanjian Hudaibiyah adalah:
Setelah beberapa jam Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, Abu Jandal, anak Suhail
bin Amr datang ke tempat perkemahan Rasulullah. Kedatangan Abu Jandal, yang baru saja
masuk Islam itu, didapatkan Suhail yang saat itu masih berada di Hudaibiyah. Saat berada di
Mekkah Abu Jandal mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi saat dia berada di
penjara. Perlakuan tidak manusiawi inilah yang mendorongnya untuk melarikan diri dari
Mekkah dan menemui Rasulullah ntuk meminta perlindungan. Dia memperlihatkan luka-luka
6
Abu Haif “PERJANJIAN HUDAIBIYAH”cermin kepiawaian Muhammad SAW dalam berdiplomasi, Hal. 126
memar yang ada di tubuhnya akibat perlakuan musuh-musuh Islam yang membuat hati dan
perasaan kaum Muslimin tak tega untuk mengembalikannya kepada musuh-musuh Islam dan
menghadapkannya kepada kematian yang mengerikan. Mereka menyatakan rasa simpati yang
setinggi-tingginya kepada Abu Jandal, saudaranya sesama Muslim yang mengalami
penderitaan yang sangat berat tersebut.
Seluruh rombongan kembali dari Hudaibiyah tiga hari setelah Perjanjian itu ditanda
tangani. Saat mereka kembali ke Madinah, orang-orang yang memiliki moral rendah masih
saja diliputi rasa sedih dan susah yang terus menerus. Al-Quran mengabadikan peristiwa ini
sebagai berikut "Sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan kepada engkau dengan
kemenangan yang terang." (QS Al-Fath 48:1)
Dalam hal ini, dapat dilihat sikap Rasulullah yang sangat luar biasa. Saat dia berada di
tengah-tengah suasana emosional yang sangat meluap-luap dan sangat garang, dia dengan
bijak, dan dengan mempergunakan bahasa yang sangat bagus, dia mampu mengatasi
gelombang emosi yang marak dan pernyataan-pernyataan yang sangat kasar yang dikeluarkan
oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.
7
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, (Jakrta Timur: Pustaka Al-Kausar, 2000), hal. 30.
Melalui Budail, yakni orang Bani Khuzaah yang sangat simpati terhadap kaum
muslimin meskipun ia belum masuk Islam, Rasulullah menyampaikan pesan kepada
kaum Quraisy sebagai penanggung jawab yang memelihara Ka’bah, bahwasanya
kedatanganya tidak lain adalah untuk berziarah dan melakukan ibadah Umrah, bukan
untuk berperang. Faktanya, selama Rasulullah berada di Madinah selama enam bulan
karena adanya usiran paksa di Mekkah, jumlah orang-orang Quraisy semakin
berkurang dan menipis. Kondisi tersebut dimanfaatkan Rasulullah untuk menawarkan
kesepaktan damai dengan orang-orang Quraisy. Namun, orang-orang Arab Mekkah
menolak persuasi tersebut. Akhirnya ‘Urwah, seorang pimpinan Quraisy yang sangat
dihormati ikut campur untuk memberi mandat penuh bagi orang-orang Quraisy untuk
melakukan negosiasi dengan Rasulullah karena beliau seorang pembawa misi dengan
penuh tawaran damai. ‘Urwah pun merendahkan kepemimpinan Rasulullah dan
pengikutnya, ia juga mengangkat tangan dan mengulurkanya ke jenggot Rasulullah.
Segera Al-Mughirah bin Syu'bah, menyampar tanganya dari wajah Rasulullah karena
hal tersebut sangat tidak sopan. Namun balasan Rasul hanyalah tersenyum,
menyikapinya dengan kepala dingin dan hanya mengatakan bahwa niat beliau adalah
untuk beribadah Umrah bukan untuk perang. ‘Urwah pun kesal dan berpaling karena
melihat kesetiaan pengikut Rasulullah kepada Rasulullah SAW. 8
Ketika orang-orang Quraisy membunuh unta beliau dan menyiksa kaum
Muslimin, beliau tetap dengan prinsipnya yang sejalan dengan Islam, yakni
menegakkan perdamaian apabila tidak terjadi hal yang sangat keterlaluan dari pihak
lain. Sehingga banyak orang Arab yang mengaku bersalah karena melakukan
penyerangan agresif karena takut akan merusak proses negosiasi perdamaian antar
kedua kelompok tersebut. Namun Rasulullah tetap menghadapinya dengan ketenangan
dan justru melepaskan orang-orang Quraisy yang telah ditangkap oleh kaum Muslimin
dan terus melanjutkan proyek besarnya, yakni perdamaian seperti yang disebutkan
dalam Q.S Al-Fath 48:24. Rasulullah pun mengutus Utsman bin Affan sebagai orang
yang memiliki hubungan sangat dekat dengan orang-orang di Mekkah untuk
melanjutkan tawaran kesepakatan serta negosiasi damai yang telah direncanakan
sebelumnya. Orang-orang Quraisy rupanya tetap menahan Utsman dan tidak diketahui
hingga kapan kaum Muslimin akan menunggu. Akhirnya, Rasulullah di salah satu
pohon yang ada di Hudaibiyah, beliau menyeru sahabatnya untuk melakukan “sumpah
8
Ibid, hal. 32.
setia”. Hal tersebut disambut dengan antusias oleh para pengikutnya, baik laki-laki
maupun perempuan untuk sepakat mengorbankan jiwa dan raga mereka demi suatu
tujuan mulia yang dibawa Rasul. Demikian menunjukan kewibawaan serta kekuatan
Rasulullah dalam mempengaruhi pengikutnya.
Orang-orang Quraisy pun segera berinisiatif untuk melakukan kesepakatan
dengan mendatangi Rasulullah dan kaum Muslimin karena sadar akan peningkatan
moral dan spirit kaum tersebut, sedangkan mereka sendiri mengalami penurunan
kekuatan. Draft penulisan kesepaktan tersebut pun tidak semerta-merta langsung jadi,
melainkan Rasulullah mendapat banyak kendala didalamnya. Rasulullah pun tetap
dalam kesabaranya yang tiada banding hingga dalam persoalan yang berbhaya dan
pelik sekalipun. Kendala tersebut mulai dialami dari penulisan kata pembukaan draft
kesepaktan tersebut, yakni "Bismillahirrahmanirrahiem" (Dengan Nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).9 Hal tersebut ditentang oleh utusan orang
Quraisy, Suhail dan memaksa untuk menggantinya dengan "Bismikallahumma"
(Dengan Namamu, Ya Allah) yang mana sejalan dengan apa yang biasa digunakan
oleh orang Quraisy. Rasulullah pun menerimanya dengan sabar dan lapang dada
karena maknanya yang sama. Kata kedua yang ditentang keras oleh kaum Quraisy
adalah Ar-Rahman yang merujuk pada Allah SWT atau Yang Maha Pemurah.
Demikian karena mereka menganggap Rasulullah mengganti nama Tuhan dengan Ar-
Rahman.10 Sehingga, Suhail terus medesak agar kata tersebut diganti dengan Allah
seperti yang telah familiar di kalangan kaum Quraisy, bahwa Allah adalah Tuhan
tertinggi. Rasulullah pun kembali menerimanya dengan kepala dingin dan lapang dada.
Tidak berhenti disitu, kaum Muslimin yang mengusulkan Muhammad
Rasulullah dalam sebagai awal Perjanjian tersebut justru kembali ditentang keras oleh
kaum Quraisy. Demikian karena usulan tersebut mengandung makna bahwa kaum
Quraisy secara resmi telah mengakui kerasulan Muhammad SAW. Mereka memaksa
untuk menggantinya dengan Muhammad bin Abdullah yang mengakibatkan
kegemparan dan kerisauan mendalam bagi para pengikut Rasulullah. Perundingan
kesepakatan tersebut pun tersa menggantung. Rasulullah pun tetap berlaku sewajarnya
dan setelah menyatakan bahwa dirinya adalah Rasul, beliau memerintahkan Ali bin
Abi Thalib untuk menuliskan Muhammad bin Abdullah diatas kertas perjanjian
tersebut. Ali pun merasa sangat keberatan, sehingga Rasulullah sendiri yang
9
Ibid, hal. 34.
10
Ibid., hal. 35.
menghapus Muhammad Arsulullah yang kemudia diganti dengan Muhammad bin
Abdullah. Demikian Perjanjian Hudaibiyah tersebut dapat dilanjutkan. Dapat kita lihat
bahwasaya dalam keadaan rumit sekalipun, Rasulullah tetap dapat mengambil
keputusan dengan kejernihan berpikir, tidak merugikan kedua belah pihak, tidak
mengorbankan kepentingan Islam dan selalu mengedepankan nilai-nilai damai.11
11
Ibid., hal. 36.
12
Ibid., hal. 38.
13
Ibid., hal. 40.
situasi pelik sekalipun. Beliau juga mampu mengatasi emosi dan pernyataan kasar dari
orang disekitarnya dengan menggunakan bahasa yang tepat dan sangat bagus. Beliau
mampu menganalisa situasi dan kondisi dengan instink yang tajam serta mampu
memahami kekuatan dan kelemahan pada para pengikutnya dengan waktu yang
singkat. Beliau dapat menempatkan posisi bagaimana harus bertarung dengan musuh
yang dihadapinya, apa yang diatur dalam hatinya serta mampu untuk memperlakukan
orang-orang Mekkah dalam posisi yang sama dan dalam kapasitasnya sebagai kepala
negara.14
14
Ibid., hal. 41.
DAFTAR PUSTAKA