Anda di halaman 1dari 2

Sikap Nabi Muhammad SAW Menghadapi Perbedaan

1. Tidak Mencaci adanya Perbedaan Pendapat

Pada suatu perjalanan yang dilakukan oleh sahabat Rasul, sebelum keberangkatan
Rasulullah telah berpesan kepada sahabat-sahabatnya itu. Berdasar hadis yang diriwayatkan
Imam Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar r.a., Rasulullah SAW bersabda

“Janganlah ada satupun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”

Saat berada di perjalanan, para sahabat memperkirakan dapat tiba di perkampungan


Bani Quraizhah menjelang maghrib dengan waktu yang sangat sempit. Disinilah terdapat dua
kelompok yang berbeda.
Diantara mereka berkata,“Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Namun, manusia
dengan anugerah-Nya memiliki berbagai macam pikiran. Tak ayal, terdapat kelompok lain
yang tetap menjalankan salat asar pada waktunya, meski belum sampai di Bani Quraidhah.
Kelompok ini memaknai hadis di atas sebagai perintah untuk mempercepat perjalanan
menuju Bani Quraidhah dan bukan sebagai keringanan melakukan salat di luar waktu yang
telah ditentukan.
Sementara sebagian lain yang menjalankan salat asar di Bani Quraidhah memaknainya
secara harfiah. Perbedaan pendapat ini disampaikan kepada Rasulullah dan beliau tidak
mencaci salah satu dari kedua pendapat tersebut. Ini berarti Rasulullah membenarkan keduanya.
Sikap di atas menunjukkan Nabi Muhammad SAW tidak mencela berbagai pihak yang
berlawanan pendapat, apalagi hingga mengeluarkan kata bid’ah, sesat, maupun kafir.
Kelompok yang melaksanakan Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi, hanya saja
mencoba menjaga sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya.
Kelompok lain juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu namun mereka mengikuti
perintah Nabi di atas.

2. Sikap damai Rasulullah terhadap Munafikin


Keberadaan orang-orang Munafik di Madinah pada hakikatnya lebih memberatkan kaum
Muslimin daripada keberadaan orang-orang Musyrik dan Yahudi di Mekah. Namun sikap
mulia Rasulullah kepada Munafikin sama seperti sikap beliau kepada yang lainnya. Sebagai
contoh, sikap Rasulullah di hadapan pelbagai pengkhianatan dan penghinaan yang dilakukan
oleh Abdullah bin Ubai bin Sallul, gembong Munafikin. Salah satu penghinaan yang
dilakukannya terhadap Rasulullah adalah di perang Bani Mushthaliq.
Kisahnya begini, pada bulan Rajab tahun 6 Hq dikabarkan kepada Rasulullah Saw bahwa
orang-orang Bani Mushthaliq dari suku Khaza'ah sedang bersiap-siap akan memerangi kaum
Muslimin. Oleh karena itu, Rasulullah bersama pasukannya memasuki sebuah daerah bernama
Muraisi'. Setelah bertempur dengan Bani Mushthaliq dan 10 orang dari mereka terbunuh,
akhirnya mereka menyerah. Dalam perang ini, ikut serta Abdullah bin Ubai dan Munafikin
lainnya. Orang-orang Munafikin ini ingin melakukan adudomba dan perpecahan di tengah-
tengah pasukan Rasulullah Saw.
Dua orang sahabat Rasulullah, yang satu Muhajir bernama Jahjah bin Said budak Umar bin
Khattab dan satunya lagi dari Anshar bernama Sanan Jahni sedang bercakap-cakap ketika
menimba air dari sumur. Tiba-tiba seorang muhajir ini kehilangan kontrol dirinya dan
menampar seorang anshar dengan keras. Sesuai adat istiadat Jahiliah, masing-masing
memanggil sanak kerabatnya. Tiba-tiba pertengkaran mereka berubah menjadi pertengkaran
dua kelompok antara Muhajir dan Anshar. Masing-masing kelompok dengan pedang ditangan
siap melakukan pertumpahan darah dan perang saudara. Pada saat itu Rasulullah melerai dan
menyelesaikan pertengkaran itu.
Gembong Munafikin Abdullah bin Ubai menggunakan kesempatan itu. Ia berbicara di depan
kaum Anshar dengan semangat anti kaum Muhajirin dan Rasulullah Saw seraya berkata:
"Orang-orang Muhajir telah menguasai kita. Kita menjadi sahabatnya Muhammad supaya
mendapat tamparan? Sepertinya balasan kebaikan adalah kejelekan. Bila kita sudah kembali
ke Madinah, akan kita hinakan orang yang mulia..."
Pada saat itu seorang pemuda bernama Zaid bin Arqam marah karena mendengar penghinaan
ini. Akhirnya ia bertengkar dengan Abdullah dan berkata, "Kaulah yang terhina, bukan
Muhammad Saw. Beliaulah yang mulia..."
Abdullah membentak Zaid dan Zaid pun pergi menemui Rasulullah Saw dan menceritakan
fitnah yang dikobarkan oleh Abdullah bin Ubai.
Karena demi kemaslahatan, Rasulullah Saw tidak mengiyakan kata-kata Zaid. Umar bin
Khattab mengajukan usul kepada Rasulullah Saw untuk memberangus Abdullah dengan
perantara tangan seorang Anshar. Namun Rasulullah tidak menerima dan berkata:
"Pada saat seperti ini, para penyebar isu-isu akan mengatakan bahwa Muhammad membunuh
sahabatnya sendiri."
Rasulullah Saw mengklarifikasi kejadian itu kepada Abdullah dan ia tidak mengaku serta
mendustakan laporan Zaid.
Rasulullah Saw memerintahkan untuk bergerak. Usaid bin Hadhir pemuka kaum Khazraj
menemui beliau dan berkata:
"Anda tidak seperti biasanya mengeluarkan perintah dalam kondisi cuaca sangat panas."
Rasulullah Saw bersabda:
"Apakah kamu tidak mendengar ucapan Abdullah? Apa yang dikatakannya?"
Saat itu pasukan muslim belum sampai di Madinah atau menurut sebuah riwayat, baru saja tiba
di Madinah, turunlah wahyu Allah membenarkan ucapan Zaid bin Arqam dan mempermalukan
Abdullah. Turunlah surat "Munafiqun" dan benar-benar menyerang gerakan orang-orang
Munafik dan membongkar kedok Abdullah. (Thabarsi, Majma' al-Bayan Fi Tafsir al-Quran,
Tehran, Nasir Khosrou, cetakan ke-3, 1372 Hs, jilid 10, hal 442. Diyar Bakri, Tarikh al-Khamis
Fi Ahwali Anfusinnafis, Beirut, Daru Shadir, tanpa disebutkan tahunnya, jilid 1, hal 470)

Anda mungkin juga menyukai