Makkah masih diselimuti gelap. Udara dingin menusuk tulang sumsum. Angin berembus
menerbangkan debu padang pasir ke segala arah. Malam itu, sekitar 100 orang terlihat sibuk di
sebuah sudut Makkah. Mereka adalah rombongan pertama kaum Muslim yang akan berhijrah ke
Habasyah (Ethiopia). Rombongan dipimpin ‘Utsmân bin ‘Affan dan istrinya Ruqayyah binti Rasulullah
saw, Ja’far bin Abu Thâlib, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Ummu Habibah binti Abu Sufyan.
Setelah semuanya siap, mereka mulai berjalan menembus gulitanya malam. Tatapan sedih
terlihat dari sanak keluarga dan sahabat yang ditinggalkan. Air mata menetes di setiap sudut mata
orang yang hadir.
Usai dilepas Rasulullah saw, rombongan kaum Muslim mulai berjalan menuju Habasyah. Mereka
terus melangkahkan kaki menuju pelabuhan Syuaibah untuk menghindari kecurigaan kaum Quraisy.
Mereka harus segera sampai di sana sebelum malam menghilang. Rasa kantuk mereka lawan.
Dinginnya malam tidak memadamkan bara semangat yang berkobar di dalam jiwa. Mereka ingin
segera tiba di Habasyah.
Kepergian mereka ternyata diketahui oleh kaum Quraisy. Tanpa menunggu lama, kaum Quraisy
segera mengejar. Pedang mereka terhunus. Wajah mereka penuh dendam. Mereka tidak putus-putus
menghela tunggangannya dengan kecepatan tinggi untuk mengejar kaum Muslim.
Beruntung usaha mereka tak berhasil. Kaum Muslim telah tiba di Pelabuhan Syuaibah. Namun,
sebuah masalah telah menghadang di depan mata: dengan apa mereka ke Habasyah? Mereka tak
punya perahu atau kapal untuk berlayar.
Di saat kaum Muslim sedang digayuti kebingungan, suatu pertolongan Allah datang. Ternyata, di
pelabuhan itu terdapat dua kapal dagang yang bersiap menuju Habasyah. Pekik takbir
berkumandang sebagai wujud syukur. Mereka pun berlayar dengan kapal tersebut. Setibanya di
Habasyah, mereka disambut dengan sukacita dan dilayani dengan baik.
Rasulullah saw memutuskan menghijrahkan kaum Muslim ke Habasyah setelah situasi di Makkah
kian membahayakan. Tidak ada lagi tempat di Makkah yang luput dari pantauan kaum musyrik. Para
pengikut Nabi saw kerap disiksa. Itu terjadi pada pertengahan tahun ke-5 masa kenabian. Situasi
yang genting itu dijawab oleh Allah melalui wahyu-Nya berikut.
Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sungguh,
hanya orang-orang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS. az-Zumar[39]: 10)
Di mana Habasyah? Habasyah adalah sebuah negeri di Afrika yang penduduknya beragama
Nasrani dan dipimpin oleh Ashimah an-Najasyi, seorang raja yang adil. Di wilayah kekuasaannya,
tidak ada seoran pun yang terzalimi (Sunan al-Kubrá). Hai itu terbukti dari pelayanan yang dilakukan
masyarakat Habasyah kepada rombongan pertama kaum Muslim.
Selama di sana, kaum Muslim hidup dengan bekerja keras dan tidak mengharapkan belas kasih
orang lain. Mereka membuat kerajinan dari kulit yang sangat disukai penduduk Habasyah yang
membuat penduduk Habasyah mencintai kaum Muslim.
Hijrah ini memberikan pesan kepada tiga pihak sekaligus:
1. An-Najasyi, pemimpin Habasyah: bahwa Nabi saw tidak mengutus orang-orang miskin, tetapi yang
diutusnya adalah para pemimpin Quraisy.
2. Quraisy: bahwa perlakuan mereka selama ini tidak mampu menghalangi risalah Islam.
3. Orang-orang miskin yang ikut hijrah: bahwa Nabi saw tidak mengecilkan peranan mereka. Sebab,
di antara mereka ada putri Nabi saw bernama Ruqayyah dan saudara sepupunya yang bernama
Ja’far.
Peta Google menunjukkan letak Masjidil Haram dan Habasyahyang berjarak sekitar
1.423,92 KM
Hijrah Kedua
Hijrah perrama ke Habasyah dianggap sukses. Rasulullah saw lantas memutuskan memberang
katkan rombongan kedua yang lebih besar, terdiri atas 83 orang laki-laki dan 18 wanita. (Zad al-
Ma’ad).
Namun, perjalanan hijrah kali ini jauh lebih sulit karena kaum Quraisy telah mengetahuinya dan
berniat menggagalkannya.
Namun, pertolongan Allah kembali datang. Kaum Muslim selamat dari kejaran kaum musyrik.
Mereka tiba lebih dulu di Habasyah.
Kaum Quraisy tak rnenyerah. Mereka mengirim dua orang diplomat ulung: ‘Amru bin al-Ash dan
‘Abdullah bin Abu RabI’ah (sebelum keduanya masuk Islam). Keduanya membawa hadiah dari
pemuka Quraisy untuk Najasyi dan para uskupnya. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah
memberi hadiah para uskup dan berusaha memengaruhi mereka dengan memberikan alasan
Najasyi, menyerahkan hadiah, dan membujuk Najasyi.
“Wahai tuan raja, sungguh beberapa orang yang masih bau kencur dan bodoh telah memasuki
negeri tuan. Mereka meninggalkan agama kaumnya dan tak memeluk agamamu. Mereka membawa
agama baru yang tidak diketahui kami dan tuan sendiri,” ujar ‘Amru dan ‘Abdullah. Keduanya
melanjutkan bujuk rayunya.
“Kami di sini, sebagai utusan kepadamu. Di antara orang yang mengutus kami, ada pemuka kaum
mereka dan nenek moyang dan paman-paman mereka. Mereka minta agar tuan mengembalikan
para pendatang iru pada mereka,” kata para utusan Quraisy.
Para uskup menanggapi.
“Benar apa yang dikatakan oleh keduanya, wahai tuan raja! Serahkanlah mereka agar keduanya
membawa mereka pulang.”
Najasyi tertegun beberapa saat. Omongan kedua utusan Quraisy dan para uskup tak langsung
membuatnya terpengaruh. Ia lantas memrintahkan untuk memerintahkan untuk memanggil
perwakilan kaum Muslim. Lalu, datanglah utusan kaum Muslim. Najasyi pun bertanya kepadanya.
“Siapa yang akan menjadi wakil kalian?”
“Saya yang akan menjadi juru bicara,” kata Ja’far bin Abu Thalib. Ia memperkenalkan diri sebagai
anak dan paman Rasulullah saw dan cucu ‘Abdul Muthallib yang menghadapi Abrahah.
“Agama apa yang sanggup memisahkan kalian dan kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk
ke dalam agamaku atau agama yang lain?”
“Islam,” jawab Ja’far.
“Jelaskanlah tentang Islam kepadaku.”
“Wahai paduka raja. Kami sebelumnya hidup dalam jahiliyah. Orang kuat di antara kami memakan
yang lemah. Kami melupakan hak-hak bertetangga dan memutus silaturahim, hingga datang seorang
laki-laki yang kami ketahui nasab, akhlak, dan sifat amanahnya,” jawab Ja’far.
“Dia mengajak kami agar masuk Islam, berkata dengan jujur, menyampaikan amanah,
menyambung silaturahim, dan berbuat baik terhadap tetangga,” lanjut Ja’far.
“Namun, apa yang terjadi pada kami?” kata Ja’far. “Kaum kami memusuhi diri kami, mereka
berbuat zalim kepada kami, menindas dan menyiksa kami,” tegas Ja’far.
“Akhirnya, Nabi kami memerintahkan untuk pergi ke Habasyah karena di situlah tanah kejujuran.
Di situ ada seorang raja yang tidak pernah berbuat zalim terhadap siapa pun. Lalu kami pergi ke
tanahmu dan memilihmu, bukan yang lain,” Ja’far mengakhiri kalimatnya.
“Apakah ada sesuatu yang dibawa Muh ammad dan Allah bersama kalian?” tanya Najasyi.
“Ya, ada!” jawab Ja’far bin Abi Thâlib.
“Tolong bacakan!” pinta Najasyi.
Ja’far diam sejenak. Ia mengambil napas. Seisi ruangan terdiam. Beberapa saat kemudian, Ja’far
mulai menggerakkan bibirnya, membacakan surah Maryam, “Kaf-ha-ya-ain-shad.”(QS. Maryam [19]:
1), dan seterusnya.
Suaranya terdengar indah. Ummu Salamah yang menyaksikan peristiwa itu melihat Najasyi
menangis, air mata membasahi jenggotnya. Para uskup pun tertunduk haru. Air mata mereka
membasahi mushaf yang mereka bawa. Sementara, Ja’far terus melantunkan ayat-ayat al-Qur’an.
Kesyahduan menyergap.
Setelah Ja’far selesai membaca al-Qur’an, Najasyl berkata kepada kaum Muslim.
“Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh Isa adalah bersumber dari satu lentera,” katanya
dengan mata yang masih sembap.
Lalu Najasyi memerintahkan kedua utusan Quraisy untuk segera meninggalkan Habasyah.
“Pergilah kalian. Sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan itu tidak akan
terjadi.”
Keduanya pun keluar. Namun, sebelum keluar, ‘Amru bin al-Ash sempat berkata kepada ‘Abdullah
bin Rabi’ah.
“Demi Allah! Sungguh akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan mereka dan
akan aku bantah alasan mereka sebagaimana aku menghabisi ladang mereka,” tekad ‘Amru.
“Jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan silaturahim
dengan kita, sekalipun mereka menentang kita,” jawab ‘Abdullah bin Rabi’ah. Namun, ‘Amru tetap
berkeras mendatangi Najasyi.
“Wahai tuan raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius
terhadap Isa bin Maryam,” kata ‘Amru membujuk Najasyi.
Sang raja akhirnya mengirim utusan kepada kaum Muslim untuk mempertanyakan hal itu. Kaum
Muslim kaget. Namun, akhirnya mereka sepakat untuk berkata jujur apa pun yang terjadi. Mereka
kembali menghadap Najasyi dan Ja’far dit unjuk sebagai juru bicara.
“Kami mengatakan tentang Isa sebagaimana yang dibawa oleh Nabi kami, dia (Isa) adalah hamba
Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan pada Maryam, si perawan yang ahli
ibadah,” tegas Ja’far kepada raja.
Najasyi lalu memungut sebatang ranting pohon dan tanah. Ia kcmudian berujar,
“Demi Allah, apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi isa bin Maryam meski seukuran
ranting ini.”
Mendengar itu, para uskup berdengus, Najasyi langsung berkata, “Demi Allah, Sekalipun kalian
berdengus.”
“Pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka.
Siapa saja yang mencela kah an, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia
akan celaka. Aku tidak akan menyakiti siapa pun di antara kalian, meski aku memiliki gunung emas,”
ujar Najasyi lagi.
“Kembahikan hadiah itu. Aku tak membutuhkannya. Demi Allah, Dia tidak meminta uang sogokan
dariku saat dia mengembalikan kerajaan ini padaku, sehingga aku perlu mengambil uang sogok
setelah mendapat kekuasaan itu. Orang-orang tak perlu patuh karena aku, sehingga aku pun harus
patuh karenanya,” ucap Najasyi.
Wajah ‘Amru dan ‘Abdullah berubah kusam. Mereka pun akhirnya pergi meninggalkan ruangan.
Setelah peristiwa itu, kaum Muslim menetap di Habasyah dengan penuh kenyamanan bersama
tetangga yang paling baik. (Ibnu Hisyâm).
Hikmah Hijrah ke Habasyah
1. Berbagai penderitaan dan siksa keji yang mendera kaum Muslim tidak membuat akidah mereka
goyah, justru kian kukuh dan ini bukti atas ketulusan iman, keikhlasan akidah, dan keluhuranjiwa.
2. Tujuan hijrah ke Habasyah sangat beragam. Untuk merealisasikannya, Nabi saw merancang
secara rinci strateginya. Pada tahap pertama, hijrah dilakukan oleh para pembesar sahabat,
kemudian diikuti para sahabat lainnya dan beliau menempatkan Ja’far sebagai wakilnya. Keberadaan
Ja’far (anak paman Rasulullah saw), menantunya (‘Utsmân), dan putrinya (Ruqayyah), dalam
pemberangkatan tahap pertama ke Habasyah, menghadapi risiko harus ditanggung terlebih dahulu
oleh orang-orang terdekat Nabi saw. Itulah bagian dan strategi Nabi saw. Beliau tidak mau
mengorbankan orang lain, sebelum diri dan keluarganya melangkah.
3. Keluar dari tanah air menuju negara non-Muslim disyariatkan oleh Islam demi menyelamatkan
agama, meskipun tanah air tersebut Makkah, tanah yang dimuliakan Allah swt.
4. Nabi saw membidik Habasyah sebagai sasaran hijrah sangat strategis. Beliau benar-benar
memahami negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan yang tersebar di sekitar dataran Arab. Beliau
mengetahui mana yang bagus dan mana yang buruk, mana raja yang zalim dan mana raja yang adil.
Itulah yang seharusnya dimiliki oleh sang pelopor dakwah. Dia harus mengetahui betul apa yang
terjadi di sekitarnya, kondisi, aktivitas masyarakat, dan pemerintah sekitarnya.