Islam Menjawab;
Menguak Beberapa
Persoalan Fikih dan
Ushul Fikih
ii
Judul : Islam Menjawab; Menguak Beberapa
Persoalan Fikih dan Ushul Fikih
Penulis : Wahyudi Sarju Abdurrahim
Desain Cover : Abdul Wahid Azhari
Cetakan Pertama : Kairo, 20 Juni 2013 M
iii
iv
Persembahan
v
vi
Pengantar Penulis
IImu ushul fikih juga bukan ilmu yang konstan, yang datang
dengan penuh kesempurnaan. Ilmu ini muncul dalam
rentang sejarah yang sangat panjang, dari masa sahabat
hingga masa kita saat ini. Berbagai perubahan dan koreksi
selalu dilakukan sehingga ilmu ini semakin sempurna.
vii
Para ulama kita terdahulu juga sangat terbuka dengan ilmu-
ilmu lain yang tumbuh dan berkembang saat itu, bahkan
mereka tidak segan untuk mengadopsi cabang ilmu lain
yang lahir bukan dari rahim umat Islam, seperti ilmu logika
Aristetolian yang kemudian dijadikan alat bantu dalam
sistem penggalian hukum. Tentu saja setelah dilakukan
berbagai penyesuaian sehingga sesuai model ijtihad yang
mereka inginkan.
viii
bumi ini hanya memiliki satu pendapat saja. Namun
kenyataannya tidak demikian.
ِ ِ ِ َٰ ِ
ُاَّللُ ََلَ َعلَ ُك ْم أُهمةً َواح َدةً َولَك ْن يُض ُّل َم ْن يَ َشاءُ َويَ ْهدي َم ْن يَ َشاء
َولَ ْو َشاءَ ه
ۚ َولَتُ ْسأَلُ هن َع هما ُكْنتُ ْم تَ ْع َملُو َن
ix
Sikap tersebut tidak akan menjadikan perbedaan sebagai
rahmah, namun justru azab. Umat Islam sudah banyak
mengadapi berbagai persoalan yang belum terselsesaikan;
masalah kebodohan, ketertinggalan, kemiskinan dan lain
sebagainyan. Kemudian mereka datang dengan membawa
masalah baru. Bukankah Islam itu rahmatan lil alamin?
Bukankah Islam datang dengan membawa ajaran
kedamaian?
ِ ِ
َ اك إِهَّل َر ْْحَةً للْ َعالَم
ي َ ََوَما أ َْر َسلْن
Artinya: "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (wahai nabi
Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam." (QS. 21:107)
x
Syuaibah Aslamia, yang selalu memberikan dukungan,
sehingga buku ini dapat terbit. Penulis juga mengucapkan
banyak terimakasih kepada teman-teman di kajian PCIM,
kajian al-Mizan Study Club dan juga milis Muhamadiyah
Society. Karena di sanalah tulisan-tulisan ini lahir. Juga
kami ucapkan banyak terimakasih kepada saudara Wahid
sebagai desain sampul buku ini.
xi
Daftar Isi
xii
Persembahan v
Pengantar penulis vi
BAB I 1
Rekonstruksi Ilmu Ushul Fikih; Meretas
Jalan Menuju Kebangkitan Peradaban 3
Rekonstruksi Ilmu Ushul Fikih
dalam Lintasan sejarah 7
Sebab-sebab Kejumudan Ilmu Ushul Fikih 18
Fenomena Kemunduran Ilmu Ushul Fikih 24
Akibat yang Ditimbulkan
dari Kejumudan Ilmu Ushul Fikih 25
Ushul Fikih dan Pemecahan Persoalan
Kontemporer 27
Penutup 32
BAB II
Ushul Fikih Kontemporer; Melacak
Pemikiran Dr. Ali Jum’ah 35
Biografi singkat Dr. Ali Jum’ah 35
Relasi antara ilmu ushul fikih dengan filsafat 36
Rekonstruksi ilmu ushul fikih 42
Problematika Ijtihad Kontemporer 47
Penutup 50
BAB III
Akal Ushûlî dalam Pemikiran Islam;
Menguak Landasan Pemikiran
Dr. Yusuf al-Qaradawi 53
Biografi singkat Dr. Yusuf al- Qaradawi 55
Dr Yusuf al-Qardawi dan
xiii
Rekonstruksi Ilmu Usul Fikih 59
Dr. Yusuf al-Qardawi dan Fiqh Maqashid 61
Dr. Yusuf al-Qardawi dan Fikih Realitas 69
Menimbang antara Satu Maslahah
dengan Maslahah lainnya 70
Menimbang antara Satu Mafsadah
dengan Mafsadah lainnya 71
Menimbang antara maslahah dan mafsadah
jika terjadi benturan 72
Al -Tsawâbit wal Mutaghyirât; Perspektif
Qaradawi 74
Dr. Yûsuf al-Qaradhâwi dan Fikih Taisir 76
BAB IV
Sadd al-Dzarî`ah; Sebuah Tinjauan
Praktis-Normatif 81
Definisi al-Dzarî`ah atau Sadd al-Dzarî`ah 85
Perbedaan antara al-Dzarî`ah dengan Muqaddimah 88
Hujiyah Sadd al-Dzarî`ah 90
Al-Quran 90
Sunnah 92
Ijmak Sahabat 93
Kajian Induktif 93
Argumentasi bagi Mereka yang
Menolak Penggunaan Sadd al-Dzarî`ah 94
1. Al-Quran 94
2. Sunnah 96
3. Akal 97
Syarat Realisasi Kaidah Sadd al-Dzarî`ah 97
Bagian Sadd al-Dzarî`ah 101
Tinjauan Sadd al-Dzarî`ah dalam Tataran Praktis 104
Al-Hail al-Syar`iyyah 107
xiv
Bagian Kedua: Fikih 113
BAB V
Onani dalam Perspektif Hukum Islam 115
Pembahasan 117
Pengertian Onani 117
Pandangan Hukum 118
Onani Adalah Mubah 118
Dalil Nash 118
Dalil Akal 124
Onani Adalah Haram 124
Dalil Nash 124
Dalil Akal 133
Munâqasyah dan Tarjih 140
Sebab-Sebab Orang Melakukan Onani 142
Cara Mengatasi Onani 142
Penutup 146
BAB VI
Hukum Wanita Menjadi Imam Shalat
Bagi Makmum Laki-laki 149
Gambaran Masalah 151
Pandangan Hukum 154
Wanita Boleh Menjadi Imam 154
Dalil Manqûl 155
Dalil Ma’qûl 156
bagi Makmum Laki-laki 160
xv
Dalil Manqûl 161
Tarjih: 167
Penutup 168
BAB VII
Hukum Penggunaan Ilmu Hisab dalam
Penentuan awal Bulan Ramadhan dan Syawal 169
Definisi Ilmu Hisab 171
Pandangan Hukum 172
Hukum Menggunakan Ilmu Hisab
Tidak Boleh 172
Dalil Naqli 172
Dalil Aqli 175
Syarat Sahnya Rukyat 175
Hukum Menggunakan Ilmu Hisab Boleh 176
Dalil Naqli 176
Dalil Aqli 185
Kriteria Wujudul Hilal 186
Munaqasyah dan Tarjih 187
Penutup 189
BAB VIII
Taharah Bagi Wanita Muslimah 191
Haid, Nifas dan Istihadah 192
Pengertian Haid 193
Waktu Haid 194
Batasan Masa Haid 195
Pengertian Nifas 195
Implikasi Haid dan Nifas dalam Ibadah 196
Wajib Mandi 196
Pertanda akil balig (bulûgh) 197
Menandakan Bahwa Ia Tidak
Sedang Mengandung 197
xvi
Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita Haid
atau Nifas 199
Masuk atau Beritikaf di Masjid 199
Membaca al-Quran 210
Berpuasa 203
Thawaf 204
Bersetubuh 204
Talak 206
Pengertian Istihadah 207
BAB VIII
Rukun dan Syarat Pernikahan 209
Definisi Rukun 201
Ijab Kabul (Shîgah) 212
Makna Ijab Kabul 212
Syarat -syarat Ijab dan Kabul (Shîghah) 212
Ungkapan Ijab Kabul (Shîgah) 214
Ungkapan Ijab Kabul 220
Hukum Lafal Ijab Kabul dengan
Menggunakan Selain Bahasa Arab 222
Hukum Ijab Kabul dengan Isyarat 224
Hukum Orang Bisu yang Mengucapkan
Akad Nikah dengan Bahasa Isyarat
atau dengan Tulisan 225
Hukum Akad Nikah, Ketika Salah Satu
dari Mempelai Tidak di Tempat 226
Hukum Akad Nikah dengan Syarat 226
Hukum Lafal Akad yang Terpengaruh
Logat Daerah 229
Hukum Lafal Ijab Kabul dengan Tulisan 229
Hukum Ungkapan Akad Nikah yang Diwakilkan 231
Hukum Ungkapan Akad Nikah (Ijab dan Kabul)
yang Diucapkan oleh Satu Orang 232
xvii
B. Saksi 233
Hukum Saksi dalam Akad Nikah 233
Syarat Saksi Nikah
Islam 234
Hukum Saksi Yang Beragama Kristen atau Yahudi 234
Saksi Lebih dari Satu (Ta`addud) 236
Hukum Saksi Wanita dalam Akad Nikah 236
Adil (Orang Baik-baik) 238
Dapat Melihat dan Mendengarkan Secara Lagsung 239
Perwalian 240
Makna Wali 240
Pembagian Wali 240
Syarat Wajib Wali 241
Orang yang Berhak Menjadi Wali 244
Hukum Wali Perempuan dalam Akad Nikah 244
Hukum Wanita Menjadi Wali Bagi Dirinya Sendiri 245
Hukum Wali yang Menentukan Besaran Mahar 246
Wali Ijbâr 248
Hukum Wanita yang Tidak Mempunyai
Wali dan Tidak Sanggup untuk ke Wali Hakim 250
Kapan Hakim bisa Menjadi Wali? 251
Hukum Nikah Tanpa Wali 251
Syarat Nikah 252
Syarat Akad Nikah 253
Syarat Sah Akad Nikah 253
Syarat Terlaksananya akad Nikah 256
Syarat lazim Akad Nikah 256
Penutup 257
BAB IX
PemimpinWanita;
Perspektif Ulama Timur Tengah 259
Boleh Dengan Syarat 260
xviii
Haram 265
Haram Menurut Ijmak 266
Ijma Para Ulama Salaf 268
Warisan Sosial 270
Kehendak Rakyat 271
Daftar Pustaka 273
Biografi Penulis 278
xix
BAGIAN PERTAMA
1 Dr. Abdul Karim Zaidân, Al-Wajîz fî Ushûli’l Fikihi, Mu’assasah al-Risâlah, cet. V 1994, hal. 11
2 Ibid., hal. 12
3 Ibid., hal. 14
1 Ibid., hal. 16
1 Abu Fadhli Abdu as-Salam bin Muhammad bin Abdul Karim, At-Tajdîd wal Mujaddidûn fî Ushûlil Fikih, Al-
Maktabah al-Isâmiyyah bil Qâhirah, cet III, 2007 hal. 52-53
1 Imam Muhammad bin Idris as-Syafii, Ar-Risâlah, Tahkik Ahmad Muhammad Syakir, Musthafa al-Babi al-Halabi
wa Awlâduhu, Mesir, al-Qâhirah 1940
1 Imam al-Haramain Abu al-Ma'ali al-Juwaini, Al-Burhân fî Ushûli'l Fikih, tahkik, Dr. Abdul Azhim ad-Daib, Dâr al-
Wafâ' Mesir, cet III, 1999
1 Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfâ min 'Ilmi'l Ushûl, Dâr Shâdir, Beirut, cet I, 1995.
2 Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam, Qawâ'idul Ahkâm fî Mashâlihil Anâm, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut
3 Ahmad bin Idris ash-Shanhaji al-Qarrafi, Anwârul Burûq fî Anwâ'i al-Furûq, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, cet I, 1998
4 Ali Taimiyah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah, ayah dan kakeknya, Al-Muswaddah fî Ushûli Fikih, pengantar,
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Mathbaah al-Madani.
5 Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, 'Ilâmul Muwaqqi'în an Rabbil 'Alamîn, Tahkik Ishamuddin ash-Shababithi, Dâr al-
Hadîts, cet I, 2006
1 Ali Ibnu Ahmad Ibnu Ahmad Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkâm fî Ushûli'l Ahkâm, Dâr al-Afaq al-Jadîdah. Beirut,
cet II, 1983
2Lihat juga, Dr. Nuruddin al-Khadimi, Ad-Daîl Inda azh-Zhahiriyyah, Dâr Ibnu Hazm, cet I, 2000
1 Abdul Wahab Khilaf, 'Ilmu Ushûlil Fikih, Maktabah ad-Da'wah al-Islâmiyyah, Kairo, cet II
2 Muhammad Ahmad Abu Zahra, Ushûlil Fikih, Dâr al-Fikri al-Arabi, Kairo
3 Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajîz fî Usûlil Fikih, Mu'assasah ar-Risâlah, Beirut, 1989
1 Dr. Hasan Abdullah at-Turabi, Qadhâyâ at-Tajdîd, Nahwu Manhajin Ushûliyin, Beirut, cet I, 2000
Selain itu hal lain yang tidak boleh dirubah adalah kaidah
fikih yang dihasilkan dari nash qath’îy, seperti lâ dharâr walâ
dhirâr, al umûr bi maqâshidihâ, al taklîf bi hasbi’l was’iy dan lain
sebagainya. Kaidah dasar fikih inilah yang sering dijadikan
timbangan penggalian hukum.
1Selengkapnya, lihat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihad fi Syariah al-Islamiyyah, Darul Qalam, cet I 1996, hal 233-243
2 Upaya rekonstruksi terhadap ilmu ushul fikih tidak hanya terjadi di kalangan Islam sunni, namun juga
berkembang di kalangan syiah. Lihat, Irsyâdul Fuhûl Ilâ Tahqîqil Haq min Ilmil Ushûl, Muhammad bin Ali Asy-
Syaukani dalam kitabnya, yang beraliran syiah Zaidiyah, atau Al-Ma'âlim al-Jadîdah lil Ushûl karya Sayyid Baqir
Shadar yang beraliran syiah Ja'fariyah. Lebih lengkapnya, lihat, Dr. Hasan Hanafi, Minannash ilâ al-Wâqi', jilid I,
Takwîn an-Nash, Markaz al-Kitâb li an-Nasyr, cet I, 2004 hal. 261-302
1 Abu al-Fadh Abdussalam bin Muhammad Abdul Karim, op cit, hal. 25-35
Penutup
1 Imam Abu Ishak Syathibi, Al-I'tishâm , Maktabah at-Taufiqiyyah, cet I, hal. 193
Dr. Ali Jumah dilahirkan di kota Bani Suwef 1952. Pada tahun
1973, beliau berhasil meraih gelar Bachelor (BA) dari fakultas
ekonomi universitas Ainu al-Syams. Tahun 1979
memperoleh gelar License (Lc) dari Universitas al-Azhar,
pada tahun 1985 meraih gelar Magiser (MA) dari kuliah
Syariah wa’l Qanun di Universitas al-Azhar, dan pada tahun
1988 meraih gelar Doktor (Dr) juga dari universitas yang
sama.
1 Dr. Ali Jum’ah, Al-Madkhal, Al-Ma’had al-‘Âlamiy li’l Fikri al-Islâmiy. 1996
1 Ibid.
1 Dr. Ali Jum’ah, Ilmu Ushûli’l Fikih wa ‘Alâqatuhu bi’l Falsafah al-Islâmiyyah, Al-Ma’had al-Âlamiy li’l Fikri al-Islâmiy,
cet. I, 1996, hal. 7-10.
1 Ibid., hal. 9
2 Ibid., hal 7-10
1 Ibid., 13-17
1 Ibid., 18-19
1 Di sini perlu dibedakan antara kaidah fiqhiyyah dengan kaidah ushûliyyah. Kaidah fiqhiyyah merupakan kajian
mengenai kaidah umum (qadhâyâ kuliyyah) yang mencakup berbagai persoalan hukum fikih. Sementara kaidah
ushûliyyah lebih bergerak dalam tataran analisa mengenai sumber hukum, sejauh mana sumber hukum tersebut
dapat dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah, urutan-urutan sumber hukum dalam beristidlâl, syarat-syarat istidlâl dan
juga metodologi dan kaidah tertentu dalam beristidlâl. Lebih lengkapnya lihat, Prof. Dr. Bakar Ismail, Al-qawâid al-
Fiqhiyyah baina al-Ishâlah wa al-tawjîh, Dar al-Manân, 1997, hal. 13
1 Dr. Ali Jum’ah, Qadhiyatu tajdîd Ushûli’l Fikih, Dâru’l Hidâyah, 1993, hal. 21
1 Ibid., hal. 15
2 Ibid., hal. 41
Penutup
Dr. Ali Jum’ah termasuk pioner dalam kajian ilmu ushul fikih
kontemporer. Baginya, ilmu ushul fikih merupakan
metodologi yang dapat berkembang sesuai dengan tempat
dan waktu. Sebagai satu metodologi, tentu saja ilmu ushul
fikih sangat terpengaruhi oleh kondisi sosial yang
melatarbelakangi pembentukan ilmu tersebut. Mengingat
bahwa sejak pembukuan awal ilmu ushul hingga saat ini
telah berlangsung selama sekian abad, maka sudah menjadi
satu keniscayaan untuk kemudian mengembangkan,
mengkaji ulang dan menyesuaikan ilmu ushul sesuai dengan
konteks kekinian. Maka rekonstruki ilmu ushul mejadi satu
keniscayaan. Hanya yang dibutuhkan kemudian adalah
standar yang jelas sehingga rekonstruksi ilmu ushul dapat
berjalan sesuai dengan harapan.
1 Al-Imam Abu Zahrah, Ushûlu’l Fikih, Dâru’l Fikri’l `Arabiy, Kairo, 2004. hal. 14
1 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah Fikihu al Thohâroh.
Maktabah Wahbah
1 Lebih lengkapnya lihat, ‘Ishom Talîmah, Al QaradawiFaqîhan. Dâru al Tauzî’ wa al Nasyr hal. 11-27
2 Dr. Abdul Karîm Zaidân, al Wajîz Fî ushûli’l Fikihi. Mu’assasah al Risâlah hal 16
اص ِد َها
ِ األُمور ِِبََق
ُُْ
Artinya: Setiap perkara bergantung kepada tujuannya
1 Dr Yûsuf al Qardhâwi, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah Wahbah hal.
41
1 Ibid. hal.41-42
1 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati wa Maqashidihâ, Maktabah Wahbah hal.
101 dan hal 230
1 Ibid. hal 88
2 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah Wahbah hal
90
1 Lebih lengkapnya lihat, Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati wa Maqashidihâ,
Maktabah Wahbah hal 230-286
2 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah Wahbah hal
90
3 ‘Ishom Talîmah, Al QaradawiFaqîhan. Dâru’ al Tauzî’ wa al Nasyr hal. 87
1 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân wassunnah. Maktabah Wahbah hal 11
BAB IV
Sadd al-Dzarî`ah;
Sebuah Tinjauan Praktis-Normatif
Dua bentuk ibadah tadi –hablun minalLâh dan hablun min al-
nâs–, tentu membutuhkan aturan normatif yang jelas
1 Katika Tuhan ingin menurunkan kitab suci kepada umat manusia, mau tidak mau harus menggunakan sarana
bahasa, sementara bahasa manusia terbatas (mutanâhî) dan cukup beragam. Manusia sendiri terbatas (mutanâhî) dan
hanya mampu memahami sesuatu yang terbatas. Pada akhirnya, Tuhan menggunakan bahasa kitab suci dengan
bahasa manusia. Tuhan kemudian memilih bahasa sesuai dengan bangsa yang bersangkutan. Dengan demikian, apa
yang dikehendaki Tuhan dalam kitab suci akan dapat dipahami manusia. Jika kitab suci diturunkan dengan bahasa
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi
penjelasan dengan terang kepada mereka”. (QS. Ibrâhîm: 4)
Al-Quran adalah kalâmulLah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dengan bahasa Arab dan merupakan
mukjizat meski hanya satu ayat. Meski demikian, bukan berarti al-Quran dikhususkan bagi bangsa Arab, karena
secara tegas Tuhan mengatakan bahwa al-Quran untuk semua alam, sebgaimana firman-Nya:
ّي نَ ِذ ًيرا ِ ِ ِِ ِ
َ تَبَ َارَك الَّذي نَزََّل الْ ُف ْرقَا َن َعلَى َعْبده ليَكُو َن لل َْعال َِﻤ
Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (yaitu al-Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi
peringatan kepada seluruh alam”. (QS. Al-Fulrqân:1).
Kalam adalah lafazh yang tersusun yang dapat dipahami sesuai dengan makna terapan bahasa1. Bahasa juga selalu
mengalami dialektika dengan alam sehingga bahasa akan selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Dilihat
dari definisi mengenai kalam, sejarah perkembangan bahasa dan bahasa sebagai sesuatu yang terbatas (mutanâhî)
dapat diambil kesimpulan bahwa bahasa al-Quran adalah makhluk (ciptaan). Karena bahasa al-Quran tidak lepas
dari bahasa yang biasa digunakan umat manusia. Bahasa sendiri mengandung unsur budaya. Ia berkembang dalam
ruang waktu. Al-Quran yang “terpaksa” menggunakan bahasa manusia, berarti ikut terjun dalam budaya manusia.
Namun demikian, bukan berarti bahwa esensi al-Quran (jauharatu’l Qur’an) mengikuti budaya, atau bahkan produk
budaya. Al-Quran turun sesuai dengan bahasa bangsa yang bersangkutan, namun jauharatu’l Qur’an tetap kalâmulLah
yang lepas dari ruang dan waktu. Maka tidak heran jika al-Quran akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman
kapan dan dimanapun.
Sederhananya, kita mesti membedakan antara bahasa al-Quran dan spirit atau jauharatu’l Qur’an atau rûhu’l Qur’an
sebagai kalam nafsiy. Rûhu’l qur’an adalah kalam Tuhan yang azal karena berkaitan dengan sifat Tuhan1. Tuhan
sendiri azal maka secara otomatis seluruh sifat Tuhan, termasuk juga kalam Tuhan harus azal. Segala yang azal
memiliki sifat tidak terbatas (lâ mutanâhî). Karena rûhu’l Qur’an adalah sifat Tuhan, maka ia juga tidak terbatas.
Tidak heran jika kemudian upaya manusia untuk menggali apa yang terkadung dalam al-Quran tiada pernah
sampai pada titik akhir. Manusia akan selalu menemukan hal baru dalam al-Quran. Singkat kata bahwa al-Quran
dengan bahasa yang terbatas, namun mengandung pengetahuan yang tidak terbatas.
Implikasi dari statemen di atas baru akan nampak ketika kita berinteraksi dengan nash al-Quran. Melihat bahasa al-
Quran tadi yang makhluk, maka berinteraksi dengan bahasa al-Quran berarti berinteraksi dengan makhluk.
Membaca nash al-Quran berarti berinteraksi dengan dua hal sekaligus, pertama bahasa al-Quran yang makhluk dan
kedua rûhu’l Qur’an yang bukan makhluk. Dengan demikian, interaksi dengan al-Quran tetap tidak boleh
membuang nilai sakralitas al-Quran.
Ketika manusia ingin memahani kalam Tuhan, maka ia harus mendalami bahasa yang digunakan Tuhan. Karena al-
Quran berbahasa Arab, secara otomatis untuk dapat memahami bahasa al-Quran kita juga harus kembali kepada
kaidah dasar yang ada dalam sturktur bahasa Arab.
Rûhu’l Qur’an biasa dikaji oleh ulama kalam, sementara bahasa al-Quran banyak di kaji oleh ulama ushul. Bahkan,
bisa dikatakan bahwa kajinan kebahasaan yang dilakukan oleh ulama ushul jauh lebih progresif dibandingkan
dengan para ulama bahasa. Para ulama ushul mengkaji makna kebahasaan yang tidak tersentuh oleh ulama nahwu.
Mereka kemudian mengembangkan ilmu semantik dalam kajian al-Quran. Dari kajian kebahasaan itulah muncul
berbagai kaidah ushûliyyah. Kajian bahasa dalam uhsul fikih mencakup mantuq dan mafhum, khâs, ‘âm, dan musytarak,
al-wâdhihu al-dalâlah dan ghairu’l wâdhihi al-dalâlah, haqîqah, majâz, sharîh dan kinâyah, al-bayân dan terakhir ma’anil
huruf.
Bagian-bagian di atas merupakan standarisasi para ulama ushul untuk memahami makna dibalik bahasa nash al-
Quran. Tentu saja kaidah tersebut dibuat dan disusun setelah mereka mengadakan kajian induktif terhadap
perkembangan dan penggunaan bahasa Arab dalam masyarakat Arab. (Wahyudi Abdurrahim, Metodologi Tafsir
Semantik)
1 Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajîz fî Ushûli’l Fikihi, Dâr al-Tauzî’ wa al-Nasyri al-Islâmiyyah, cet I, Kairo, 1993, hal.
244.
2 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I`lâmu’l Muwaqqi`în `an Rabbi’l `Âlamîn, Dâru’l Hadîts, Kairo, hal. 119 et eqq.
1 Eli Warti Maliki, al-Ahkâm al-Syar`iyyah al-Mustanbathah min Qâ’idati saddi al-Dzarâ’i` fî Fikihi’l Mar`ati wa Ta’tsîrihâ
`alâ Binâ’i’l Mujtama’, Jâmi`atu’l Azhar al-Syarîf Kuliyatu al-Dirâsât al-Islâmiyyah wa al-`Arabiyyah Far`un li’l Banât,
Kairo, 2004, hal. 8.
2 Dr. Wahbah al-Zuhaili, Ushûlu’l Fikihi’l Islâmiy, Dâru’l Fikri, vol. II, cet. II, Beirut, 2001, hal. 903.
Dari sini dapat diketahui bahwa arti dari kata majemuk sadd
al-dzarî`ah adalah larangan terhadap sarana yang dibolehkan
karena ia dapat mengantarkan pada tujuan yang dilarang.
Pada prinsipnya, al-dzarî`ah memang berkaitan dengan
perkara yang dibolehkan dan dilarang, namun pada
perkembangan selanjutnya dikalangan para ulama ushul
lebih dominan dengan sarana menuju perkara yang dilarang
saja.1 Meski demikian, tidak semua ulama menggunakan
sadd al-dzarî`ah sebagai piranti hukum.
1 Ibid.
Contoh al-dzarî`ah:
َِ ِاَّلل
َّ ّي ِمن ِزينَتِ ِه َّن َوتُوبُوا إِ ََل ِ ِ ِ
َج ًيعا أَيُّ َها َ ض ِربْ َن بِأ َْر ُجل ِه َّن ليُ ْعلَ َم َما ُُيْف
ْ ََوَال ي
الْ ُﻤ ْؤِمنُو َن لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو َن
Contoh muqaddimah:
1. Al-Quran
Wajhu al-dilâlah:
1 Ibid.
2 Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 22.
2. Sunnah
a. Nabi Muhammad Saw. tidak membunuh orang-
orang munafik meski keberadaan mereka sangat
nampak dan cukup membahayakan dalam
masyarakat Madinah. Bahkan mereka menjadi
sumber fitnah di tengah-tengah kaum muslimin. Hal
ini untuk menutup kemungkinan agar tidak
dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw.
membunuh sahabatnya sendiri yang kemudian
dapat dijadikan sebagai sarana bagi orang-orang
kafir untuk memfitnah Rasul. Selain itu, juga dapat
menguatkan posisi mereka; mengajak orang lain
untuk tidak mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw..
b. Nabi Muhammad Saw. melarang orang yang
meminjamkan barang, menerima hadiah dari orang
yang dipinjami sebagai upaya untuk menutup
kemungkinan terjadi perbuatan riba dengan
justifikasi hadiah.
3. Ijmak Sahabat
4. Kajian Induktif
1. Al-Quran
1 Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 26. Lihat juga, Prof. Dr. Zainul `Abidin al-Abdi Muhammad Nur, Ra’yu’l
Ushûliyyîn fi’l Mashâlihi’l Murslah wa’l Istihsân min Haitsu’l Hujjiyyah, Dâru’l Buhûts li al-Dirâsât al-Islâmiyyah
wa Ihyâ’i al-turâts, vol. II, Dubai, 2004. hal. 323 et eqq.
Wajhu al-dilâlah:
2. Sunnah
Wajhu al-dilâlah:
1 HR. Muslim dalam kitâb al-Haidh hadis no. 540, HR. Al-Nasâ’i dalam kitâb al-Thahârah hadis no. 160. HR. Abu
Dawud dalam kitâb al-Thahârah hadis no. 150.
3. Akal
1 Lebih lengkapnya lihat, Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 27-30.
1 Lebih lengkapnya lihat, Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 122-128. Lihat juga, Prof. Dr. Zainul `Abidin al-Abdi
Muhammad Nur, op. cit., hal. 298.
1 Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûli al-Syarî`ah, Syarh dan Tahqîq Syaikh Abdullah Daraz, Al-Maktabah
al-Taufîqiyyah, vol II, Kairo, hal. 296 et seqq. Imam Abu Zahrah, op. cit., hal. 261 et seq. Dr. Yusuf Ahmad Muhammad
Badawi, Maqâshid al-Syarî`ah `inda Ibnu Taimiyyah, Dâr al-Nafâ’is, 2000, hal. 363. Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal.
244 et seq.
1 Dr. Wahbah Zuhaili, op. cit., hal. 913. Ibnul Qayyim, op. cit., 119 et seqq.
Al-Hail al-Syar`iyyah
FIKIH
َّاس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوأُنْثَ ٰى َو َج َعلْنَا ُك ْم ُش ُعوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َع َارفُوا
ُ يَا أَيُّ َها الن
يم َخبِ ٌري ِ َّ اَّلل أَتْ َقا ُكم ۚ إِ َّن َِّ ۚ إِ َّن أَ ْكرم ُكم عِْن َد
ٌ اَّللَ َعل ْ ْ ََ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
Dari sini kita perlu mengkaji kembali mengenai tata nilai dan
hukum Islam yang mengatur masalah insting tersebut. Onani
adalah permasalahan umum yang berkaitan dengan insting
dan membutuhkan jawaban syar’i. Ini karena onani sering
terjadi khususnya di kalangan para pemuda. Secara hukum
pun, onani masih terdapat silang pendapat di kalangan para
ulama. Keduanya sama-sama menggunakan argumentasi,
baik yang berasal dari nas ataupun akal. Di bawah ini,
penulis mencoba untuk mengupas hukum onani sesuai
dengan pandangan para ulama, kemudian mentarjih
pendapat yang dianggap lebih kuat.
Pengertian Onani
1 Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq al-Husni, Al-Istiqshâ li'adillati Tahrîmi al-Istimnâ'wa al-'Âdah al-
Sirriyyah min Nâhiyataini al-Dîniyyah wa al-shihhiyyah, Maktabah al-Qâhirah hal. 5
2 Ini sesuai dengan firman Allah Swt:
Artinya: “Dia di ciptakan dari air yang terpancar” (QS. Al-Thâriq: 6)
3 Ibid
A. Dalil Nash
1 Dr. Yûsuf al-Qaradhawiy, Al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islâm, Maktabah Wahbah, cet 28, hal. 153. Lihat
juga, Ibnu Hazm al-Andalusiy, Al-Muhallâ, jilid 11, hal. 2-3
2 Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq al-Husni, op cit, hal. 51. Al-Sayyid al-Sâbiq, Fikih al-Sunnah, Maktabah
Dâr al-Turâts, jilid II, hal 279
ِ ِ ِ ِ ِ َّ
ْ ين ُه ْم ل ُف ُروج ِه ْم َحافظُو َن () إَِّال َعلَ ٰى أ َْزَواج ِه ْم أ َْو َما َملَ َك
ت أ َْْيَانُ ُه ْم َ َوالذ
ِ
ّي ُ فَإِن
َ َّه ْم َغْي ُر َملُوم
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5),
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki;
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (6), barang
siapa yang mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-
orang yang melampaui batas” (QS. Al-Mu’minîn: 5-7).
ضلِ ِه
ْ َاَّللُ ِم ْن ف
َّ احا َح َّ َّٰت يُ ْغنِيَ ُه ُم ِ ِ
ً ين َال ََي ُدو َن ن َك
ِ َّ ِ ِ
َ َولْيَ ْستَ ْعفف الذ
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaknya menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah
mampukan mereka dengan kurnia-Nya.” (QS. Al-Nûr: 33)
ِ ِ ِ ِ ِ َّ
ت أَْْيَانُ ُه ْمْ ين ُه ْم ل ُف ُروج ِه ْم َحافظُو َن * إَِّال َعلَى أ َْزَواج ِه ْم ْأو َما َملَ َك
َ الذ
ِ
ادو َن
ُ ك ُه ُم الْ َعَ ِك فَأُولَئ
َ ّي * فَ َﻤ ِن ابْتَ غَى َوَراءَ َذل ِ
ُ فَإِن
َ َّه ْم َغْي ُر َملُوم
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5),
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela
(6), barang siapa yang mencari yang di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-
Mu’minîn: 5-7).
1 Ibid. hal. 58
B. Dalil Akal
1 Ibid. hal. 44
2 Ibid. hal. 45
A. Dalil Nash
ِ ِ ِ ِ ِ َّ
ت أَْْيَانُ ُه ْمْ ين ُه ْم ل ُف ُروج ِه ْم َحافظُو َن * إَِّال َعلَى أ َْزَواج ِه ْم ْأو َما َملَ َك
َ الذ
ِ
ادو َن َ ِك فَأُولَئ
ُ ك ُه ُم الْ َع َ ّي * فَ َﻤ ِن ابْتَ غَى َوَراءَ ذَل ِ
ُ فَإِن
َ َّه ْم َغْي ُر َملُوم
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5),
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela
(6), barang siapa yang mencari yang di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-
Mu’minîn: 5-7).
1 Ibid. hal. 57
2 Al-Sayyid al-Sâbiq, op. cit., hal 51
1 Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq al-Husni, op cit., hal. 7-11. Lihat juga, Syaikh Muhammad Ali Al-
shâbûniy, Mukhtashar Tafsir Ibni Katsîr, Dâr al-Shâbûniy, cet. 7, jilid II, hal. 559
جاء رجل إَل رسول هللا صلى هللا و سلم فقال يا رسول هللا ائذن يل
أن أختصي فقال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم خصاء أميت الصيام
و القيام
Artinya: “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah, dia
bertanya: wahai Rasulullah ijinkanlah aku untuk mengebiri
diri. Rasulullah Saw., bersabda: mengebiri bagi umatku
adalah puasa dan shalat” (HR. Ahmad)
إن النيب صلى هللا عليه و سلم قال سبعة ال ينظر هللا إليهم يوم القيامة
و ال يزكيهم و ال يجمعهم مع العالمين و يدخلهم النار فى أول الداخلّي إال أن
B. Dalil Akal
1 Prof. Dr. Muhammad Bakr Ismâ'îl, Al-Qawâ'id al- fiqhiyyah baina al-Ashâlah wa al-Taujîh, Dâr al-manân cet I, hal. 96
2 Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq al-Husni, op.cit. hal. 51-52
َاخلَالِ ُقون أَأَنتُ ْم َختْلُ ُقونَهُ أ َْم ََْن ُن. أ َُفَ َرأَيْتُم َّما َتُْنُو َن
ِ ِب والتَّرائ
ب ِ ْ َ( َُيْرج ِمن ب6) ُخلِ َق ِمن َّماء َدافِ ٍق
ِ ُّ ّي
َ َ الص ْل ُُ
1 Ibid. hal. 52
ِ ولََق ْد َكَّرمنَا ب ِِن آدم و ََحلْنَاهم ِِف الْب ِر والْبح ِر ورزقْ نَاهم ِمن الطَّيِب
اتَ َ ُ ََ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ ََ َ ْ َ
ِ ِ ِ
ًاه ْم َعلَى َكث ٍري ِم َّْن َخلَ ْقنَا تَ ْفضيَل
ُ َضلْن
َّ ََوف
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
1 Ibid. hal. 54
1 Ibid. hal. 55
2 Ibid. hal. 55-56
3 Ibid. hal. 57
1 Muhammad Shalih al-Munjid, al'Âdah al-Sayyi'ah, Maktabah al-Shafâ, cet I, 2001, hal 5-9
ِ ٍ ض ُه ْم لِبَ ْع ٍِ ِ
َ ض َع ُد ٌّو إَِّال الْ ُﻤتَّق
ّي ُ ْاألَخ ََّلء يَ ْوَمئذ بَ ْع
Artinya: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya
menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang
yang bertaqwa” (QS. Al-Zukhruf: 67).
ب َعلَى ِ ِ ِ ِ َّ
َ ب َعلَْي ُك ُم الصيَ ُام َك َﻤا ُكت َ ين َآمنُواْ ُكت َ يَا أَيُّ َها الذ
ين ِمن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّ ُقو َن ِ َّ
َ الذ
ّي ِم ْن عِبَ ِاد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم ۚ إِ ْن يَ ُكونُوا ِِ َّ وأَنْكِحوا ْاألَيامى ِمنْ ُكم و
َ الصاْل َْ ََٰ ُ َ
يم ِ ِ ِ ِ ِ َّ فُ َقَراءَ يُغْنِ ِه ُم
ٌ اَّللُ َواس ٌع َعلَّ ضله ۚ َو ْ َاَّللُ م ْن ف
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yang patut (nikah) dari hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan mampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS.
24:32).
Penutup
األمور ِبقاصدها
Artinya: Setiap sesuatu bergantung pada maksudnya (niat).
Gambaran Masalah
1 HR. Bukhari dalam kitab bad’u’l wahyiy, bab bad’u’l wahyiy, hadis no. 1. HR. Muslim dalam kitab al-Imârah, hadis
no. 3530. HR. Tiridzi dalam kitab fadhâ’ilu’l jihâd, hadis no. 1571. HR. Nasa’i dalam kitab thahârah, hadis no. 74.
1 HR. Muslim kitab muqaddimah, hadis no. 5. HR. Muslim kitab janâ’iz, hadis no. 0549. HR. Tirmidzi kitab janâ‘iz,
hadis no. 921.
Pandangan Hukum
1 Penulis tidak mengatakan ijmak karena dalam kitab ushul fikih dikatakan bahwa ijmak adalah konsensus seluruh
para mujtahid dari umat Muhammad Saw. pada masa tertentu setelah nabi Muhammad Saw. wafat mengenai
ketetapan hukum syaiat dalam perkara yang bersifat praktis. Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushûlu’l Fikihi, Dâr al-
Fikri al-Arabiy, hal. 185. Mafhûm mukhâlafah dari definisi tadi adalah, jika masih ada mujtahid yang tidak sependapat
berarti perkara tersebut belum disebut ijmak, atau masih mukhtalaf fîhi. Hal ini dikuatkan dengan pandangan ulama
terdahulu yang masih menganggapnya sebagai perkara khilafiyah. Lebih lengkapnya lihat, Ibnu Quddamah, al-
Mughniy, Tahqîq Dr. Muhammad Syarafuddin Khithâb dan Dr. Al-Sayyid Muhammad al-Sayyid, Dârt al-Hadîts, vo.
II, 2004, hal. 313. Ibnu Rusyd, Bidâyatu’l Mujtahid wa Nihâyatu’l Muqtashid, Tanqîh wa Tashhîh Khâlid al-Îththâr, Dâr
al-Fikr, vol. I, hal, 118. Di antara ulama kontemporer yang menganggapnya sebagai persoalan khilafiyah adalah Dr.
Ali Jumah dan Prof. Dr. Thaha Jabir al-Alwani. Yang terkakhir ini pernah mengatakan dalam acara "Min
Washington" di TV Al-Jazeera pada kamis malam (17/3/2005), “Masalah ini adalah khilafiyyah. Pendapat ketiga
ulama tadi (maksudnya al-Thabari, al-Muzanni dan Abu Tsaur) patut dipertimbangkan untuk kondisi saat ini,
1. Dalil Manqûl
Sabda Rasulullah Saw.:
2
ًالَ تَ ُؤَّم َّن ْامَرأَةٌ َر ُجَل
Artinya: Janganlah seorang perempuan mengimami laki-
laki.
apalagi ketiganya cukup kompeten dalam ilmu fikih”. Beliau juga mengatakan bahwa secara prinsip menerima,
hanya saja timing-nya yang kurang tepat.
1 Lebih lengkapnya lihat, Ibnu Quddamah, op. cit., Ibnu Rusy, op. cit, Imam Nawawiy, Kitâbu’l Majmû’ Syarhu al-
Muhadzdzab li al-Syairâziy, Tahqîq, Muhammad Mujib al-Muthî’I, Maktabah al-Irsyâd, vol. IV, hal. 151 et. Seq.,
Hâsyiystâni Qalyûbi-Umairah, Dâr al-Fikr, vol I, 1998, hal. 267. Mausû’atu al-Fikihi al-Islâmiy, Wizâratu’l Auqâf Majlis
A’lâ li Syu’ûni al-Islâmiyyah, vol. XXV, 1996, hal. 49-118.
2 HR. Ibnu Majah.
3 Demikianlah tercantum dalam kitab “Bidâyatu’l Mujtahid” yang menganggap bahwa perkataan tersebut adalah
sabda Rasulullah. Dalam kitab “Aunu’l Ma’bûd Syarh Abû Dâwud” perkataan ini tidak langsung dinisbatkan pada
Rasulullah Saw., namun pada Ibnu Mas’ud. Pertanyaannya kemdudian, apakah perkataan Ibnu Mas’ut tersebut
Wajhu al-dilâlah:
Dalil Ma’qûl:
dianggap marfu’ kepada Rasulullah ataukah hanya fatwa belia saja? Secara lengkap hadis tersebut berbunyi, ال اِبْن
َ َق
ورَها ِِف بَْيتِ َها َو َج َع َل ََلَا ُم َؤِذنًا ُ اَّلل صلى هللا عليه وسلم يَُز
َِّ ول ُ َوَكا َن َر ُس
ت ُم َؤِذنَ َها ُ ْالر َْحَ ِن فَأَنَا َرأَي
َّ ال َعْب ُدَ َ ق.يُ َؤِذ ُن ََلَا َوأ ََمَرَها أَ ْن تَ ُؤَّم أ َْه َل َدا ِرَها
1شيخا كبِريا
ً َ ً َْ
Artinya: “Rasulullah Saw. mengunjunginya di rumahnya dan
menjadikan seorang muadzin untuk melantunkan adzan dan
beliau memerintahkan (Ummi Waraqah) untuk menjadi imam
(shalat) ahli keluarganya. Abdurrahman berkata, “Saya
melihat tukang adzannya seseorang yang sudah lanjut usia”.”
1 HR. Ahmad, dalam kitab min musnad al-qabâ’il, hadis no. 26022. HR. Abu Dawud dalam kitab shalât, hadis no. 500.
1 Perkataan Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. Penulis adalah dosen Ulum al-Hadits pasca sarjana UI, UIN Jakarta, UMJ
dan IAIN Bandung, dinukil dari sebuah situs internet.
2 Ibid.
1 Ibid.
2 Ibid.
1. Dalil Manqûl:
1 Penulis hanya dapat menemukan pendapat para ulama tersebut dari referensi kedua, seperi kitab al-Mughni,
Bidâyatu’l Mujtahid, Subulu al-Salâm dan Kitâb Majmu’. Hal ini karena sampai saat ini penulis belum menemukan
pendapat mereka dari hasil karyanya masing-masing. Ibnu Arabi mengatakan, “Terdapat ulama yang membolehkan
wanita menjadi imam kaum lelaki dan kaum wanita secara mutlak. Saya juga setuju dengan pendapat ini. Ada pula
ulama yang melarang wanita menjadi imam (kaum lelaki dan kaum perempuan) secara mutlak. Begitu juga ada
ulama yang mengharuskan wanita menjadi imam kaum wanita tanpa kaum lelaki. Demikian itu karena mengambil
iktibar dari pengakuan Rasulullah tentang kesempurnaan setengah wanita sebagaimana juga pengakuan Rasulullah
terhadap kesempurnaan setengah lelaki walaupun kaum lelaki lebih sempurna dari wanita seperti dalam kenabian
(al-nubuwwah)”.
Yang dimaksudkan lelaki lebih sempurna dari perempuan menurut pandangan Ibn Arabi ialah dalam perkara
nubuwwah. Namun begitu ia mengatakan bahwa kelebihan laki-laki tersebut tidak boleh menyekat wanita menjadi
imam shalat lelaki. Lihat Ibnu Arabiy, Futuhât al-Makiyyah, hal. 535.
2 Dr. Ali Jumah berkata, “Karena terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai wanita menjadi
imam shalat bagi kaum lelaki, maka tidak menjadi persoalan Amina Wadud menjadi imam shalat jumat yang turut
dihadiri kaum lelaki pada 18 Maret lalu”. Beliau berkata begitu dalam wawancara dengan televisi Mesir dalam acara
“al-Bait Baitak”. Beliau mengakui, “Jumhur ulama menganggap wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi
makmum lelaki, tetapi sebagian kecil ulama lain seperti Imam al-Tabari dan Imam Ibn Arabi menganggap wanita
boleh menjadi imam shalat bagi makmum lelaki. Perkara khilafiah seperti itu terserah kepada orang yang berpegang
dengan perkara itu. Jika mereka menerima wanita menjadi imam shalat mereka, itu adalah urusan mereka dan tidak
menjadi masalah selama tidak keluar dari pandangan-pandangan terkenal itu. Sebaliknya jika mereka menolak
(wanita menjadi imam shalat lelaki), itu adalah urusan mereka juga dan ini sama seperti kebanyakan negara Islam
termasuk Mesir yang dipercayai tidak mungkin melakukan perkara itu kerana bertentangan dengan yang ada dalam
pemikiran dan adat masyarakat yang Mesir sendiri”. Pandangan Dr. Ali Jumah pernah dimuat dalam situs:
http://www.alarabiya.net/Article.aspx?v=11294
وكان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يزورها ِف بيتها وجعل َلا مؤذنا يؤذن
2َلا وأمرها أن تؤم أهل دارها قال عبد الرَحن فأنا رأيت مؤذهنا شيخا كبريا
1 HR. Ahmad dalam kitab Min Musnad al-Qabâ’il, hadis no. 26022.
2 HR. Ahmad, dalam kitab min musnad al-qabâ’il, hadis no. 26022. HR. Abu Dawud dalam kitab shalât, hadis no. 500.
Wajhu al-dilâlah:
Dalil Ma’qûl:
1. Mengenai persoalan ikhtilâth, bukanlah alasan utama
dalam masalah larangan imam wanita. Bisa saja jika
imamnya perempuan shalat tetep berjalan seperti biasa
sebagaimana dalam shalat berjamaah di mana ada
makmum laki-laki dan perempuan, namun tetap tidak
berbaur (ikhtilât), yakni dengan menukar posisi
makmum. Semua perempuan (baik makmum dan
imamnya) menduduki tempat laki-laki. Dengan kata lain,
mereka berada dalam shaf terdepan. Sementara laki-laki
dalam shaf belakang. Hanya saja, antara shaf laki-laki
dan wanita diberi pembatas (tabir). Atau bisa juga, tabir
diletakkan antara imam dan makmum laki-laki,
sementara shaf makmum wanita tetap berada di
belakang.
1 Muhammad Ibnu Ismail al-Amir al-Yamani Al-Shan’âniy, Subulu al-Salâm, Tahqîq Ishamuddin al-Shababithi dan
Imadussayyid, Dâr al-Hadîs vol. II, 2004, hal. 49 et seq.
1 Dari poin 1-5 disarikan dari milis KMNU2000, Sabtu, 27 Maret 2005 dengan perubahan seperlunya.
Tarjih:
Penutup
BAB VII
Pandangan Hukum
Dalil Naqli
1. Firman Allah:
ِ
ُص ْﻤه ْ فَ َﻤن َش ِه َد من ُك ُم الش
ُ ََّهَر فَلْي
Artinya: Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu.
Wajhu al-Dilâlah
2. Sabda Rasulullah:
Wajhu al-Dilâlah
3. Sabda Rasulullah:
4. Sabda Rasulullah:
Wajhu al-Dilâlah
Dalil Aqli
Dalil Naqli
1. Firman Allah:
ِ يت لِلن
َّاس َوا ْْلَ ِج ِ ِ ِِ
ُ َي ْسأَلُونَكَ َع ِن األهلَّة قُ ْل ه َي َم َواق
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah :"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji". (QS. 2:189)
2. Firman Allah:
َّرهُ َمنَا ِزَل لِتَ ْعلَ ُﻤواْ َع َد َد ِ هو الَّ ِذي جعل الشَّﻤ
َ س ضيَاء َوالْ َق َﻤَر نُ ًورا َوقَد
َ ْ َ ََ َُ
ات لَِق ْوٍم
ِ صل اآلي ِ
َ ُ ك إالَّ با ْْلَ ِق يُ َف
ِ ِ َ ِاب ما َخلَ َق اَّللُ ذَل ِ
َ َ ّي َوا ْْل َس
ِِ
َ السن
يَ ْعلَ ُﻤو َن
Artinya: "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah
tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.
Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-
orang yang mengetahui." (QS. 10:5)
Wajhu al-Dilâlah
3. Firman Allah:
ات ِم َن ا َْلَُدى
ٍ ََّاس وب يِن ِ ِِ ِ َّ
َ َ ِ ي أُن ِزَل فيه الْ ُق ْرآ ُن ُه ًدى للن
َ ضا َن الذ َ َش ْه ُر َرَم
ِ ِ
َ ُص ْﻤه ْ َوالْ ُف ْرقَان فَ َﻤن َش ِه َد من ُك ُم الش
ُ ََّهَر فَلْي
Wajhu al-Dilâlah
شهدنا العيد
ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ُ ص
يب ِ َّ ال النَِّيب صلَّى
ُ اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم
َ ُوموا ل ُرْؤيَته َوأَفْط ُروا ل ُرْؤيَته فَإ ْن غ َ ُّ َ َق
ِ ِ ِ
َ َعلَْي ُك ْم فَأَ ْكﻤلُوا ع َّد َة َش ْعبَا َن ثَََلث
ّي
Wajhu al-Dilâlah
الرأيةmemiliki beberapa makna
1. ( العلم بالشئmengetahui sesuatu).
Wajhu al-Dilâlah
ِ ِِ ِ
اب َ َّرهُ َمنَا ِزَل لتَ ْعلَ ُﻤواْ َع َد َد السن
َ ّي َوا ْْل َس َ َوقَد
Wajhu al-Dilâlah
Dalil Aqli
Penutup
Taharah
Bagi Wanita Muslimah
ِ ُّ ّي َوُِحي
َ ب الْ ُﻤتَطَه ِر
ين ُّ إِ َّن اَّللَ ُِحي
َ ِب الت ََّّواب
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah:
222)
Pengertian Haid
ِ ك َع ِن الْ َﻤ ِح
يض قُ ْل ُه َو أَذًى َ ََويَ ْسأَلُون
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah:"Haid itu adalah suatu kotoran" (QS. al-Baqarah:
222)
)إن هذا أمر كتبه هللا على بنات آدم (رواه مسلم
Artinya: “Ini adalah sesuatu yang telah dituliskan Allah kepada
waita anak turunan Adam.” (HR. Muslim)
Waktu Haid
Pengertian Nifas
1. Wajib Mandi
ص َن بِأَن ُف ِس ِه َّن ثََلَثَةَ قُ ُرَوٍء َوالَ َِحي ُّل ََلُ َّن أَن يَكْتُ ْﻤ َن َما َخلَ َق ُ َوالْ ُﻤطَلَّ َق
ْ َّات يَتَ َرب
ِ اَّلل ِِف أَرح ِام ِه َّن إِن ُك َّن ي ْؤِم َّن بِاَّللِ والْي وِم
اآلخ ِر َْ َ ُ َْ ُ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan
apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al-Baqarah: 228)
املسلم ال ينﺠس
Artinya: "Seortang muslim tidak najis".
1. Membaca al-Quran
ِ ِ
َ ُسْب َحا َن الَّذي َس َّخَر لَنَا َه َذا َوَما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرن
ّي
atau ketika turun dari kendaraan membaca,
ِ ِ َُقُل ر
َ ت َخ ْري الْ ُﻤْن ِزل
ّي َ ْب أَنْ ِزلِِْن ُمْن َزًال ُمبَ َارًكا َوأَن َْ
dan ketika terkena musibah mengucapkan,
َِّ ول
ْ اَّللَ َعلَى ُك ِل أ
)َحيانه (رواه مسلم َّ اَّلل يَ ْذ ُك ُر ُ َكا َن َر ُس
Artinya: “Adalah Rasulullah Saw. selalu berdzikir kepada Allah
dalam tiap saat”. (HR. Muslim)
2. Berpuasa
3. Thawaf
4. Bersetubuh
َيض َوال ِ اعتَ ِزلُواْ النِ َساء ِِف الْ َﻤ ِح ْ َيض قُ ْل ُه َو أَذًى ف ِ ك َع ِن الْ َﻤ ِح َ ََويَ ْسأَلُون
بُّ ث أ ََمَرُك ُم اَّللُ إِ َّن اَّللَ ُِحي
ُ وه َّن ِم ْن َحْي
ُ َُّت يَطْ ُه ْر َن فَإِذَا تَطَ َّه ْر َن فَأْت
ََّ وه َّن َح
ُ ُتَ ْقَرب
ِ
َ ب الْ ُﻤتَطَه ِر
ين ُّ ّي َوُِحي
َ ِالت ََّّواب
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah:"Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah: 222)
ِ ٍِ
َ اصنَعُوا ُك َّل َش ْيء إالَّ الن َك
)اح (رواه مسلم ْ
Artinya: “Berbuatlah apa saja terkecuali menikah (bersetubuh).”
(HR. Muslim)
5. Talak
َّ صوا الْعِ َّدةَ َواتَّ ُقوا ِِ ِ ِ إِذَا طَلَّ ْقتم النِساء فَطَلِ ُق
َاَّلل ُ َح
ْ وه َّن لعدَِّت َّن َوأ
ُ َ ُُ
Artinya: “Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah
itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu” (QS. Al-Thalâq:1)
Pengertian Istihadah
BAB VIII
Definisi Rukun
1 Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fî Ahkâmi al-Mar'ati wa Baiti al-Muslimi fî al-Syarî'ati al-
Islâmiyyati, Muassasah al-Risâlah, cet. III, vol VI, Beirut, hal. 80
2 Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fikihu al-Islmiy wa Adillatuhu, Dâr al-Fikri, vol IX, cet. IV, Beirut, hal. 6521
no Madzhab Rukun
Nikah
1. Sebagian madzhab Suami, istri
Hambali dan sighah
2. Madzhab Syafii dan Suami, istri,
sebagian madzhab shîghah, saksi
Hambali dan wali
1 Dr. Raja' Ahmad Ahmad, Dirâsah limadzhabi al-Syâfi'iy fî al-Zawâj wa Ahkâmuhu, Diktat Kuliyah
Dirâsah Islâmiyyah wa al-'Arabiyyah li'l Banât, hal. 72
2 Dr. Fikriyah Ahmad Said, al-akhwal al-shakhsiyah fi al-syariati al-oslamiyah, Diktat Kuliyah Dirasah Al-
arabiyah lil'Banat, hal.72
1 Dr. Fathiyah Mahmud al-Hanafi, al-zawaj wa al-akhkam al-Khashah bihi, Diktat kuliah Dirasah al-
Islamiyah lil'Banat, hal.132
2 Dr, Abdul Karim Zaidan., Op. Cit., hal . 80
3 Ibid., hal 81
4 Dr, Fikriyah Ahmad Said, hal. 73
1 Al-Kutub al-Sittah, Raid Shabri bin Abi Ulfa ed, Maktabah al-Rusyd, jilid I, 2005, hal. 517
اَّلل ِه َي الْعُلْيَا
ِ ُالس ْفلَى وَكلِﻤة
َ َ ُّ ْين َك َف ُروا
ِ َّ ِ
َ َو َج َع َل َكل َﻤةَ الذ
Artinya: “Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir
itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi.”
(QS. At-Taubah: 40)
ِ َوالَ تَنكِحواْ ما نَ َكح آبا ُؤُكم ِمن النِساء إِالَّ ما قَ ْد سلَف إِنَّه َكا َن ف
ًاح َشة ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ
ِ
ًَوَم ْقتًا َو َساء َسبيَل
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). (QS. An-Nisâ: 22)2
1 Al-Sayyid Sabiq, Fikihu al-Sunnah, Muhammad Sayyid Sabiq ed, al-Fathu li'l I'lâm al-'Arabiy, cet. III,
Kairo vol II, hal. 323
2 Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fî Ahkâmi al-Mar'ati wa Baiti al-Muslimi fî al-Syarî'ati al-
Islâmiyyati, Muassasah al-Risâlah, cet. III, vol VI, Beirut, hal. 81
3 Ibid., hal 82-83
1 Al-Sayyid Sabiq, Fikihu al-Sunnah, al-Fathu li'l I'lâm al-'Arabiy, cet. III, Kairo vol II, hal. 322
1 Al-Sayyid Sabiq, op, cit., hal. 323. Lihat juga, Imam Abi Abdhillah bin Idris al-Syafi'i, Mausu'atu al-
Um, Khairi Said, ed, al-Maktabah al-Taufîqiyah, vol. V, hal. 27-28
ِ اَّللِ فَهو ب
َوإِ ْن َكا َن ِمائَةَ َش ْر ٍط, اط ٌل ِ ِ ٍ
َ َ ُ َّ س ِِف كتَاب
َ ُك ُّل َش ْرط لَْي
Artinya: “Setiap syarat yang bertentangan dengan kitab
Allah (al-Qur'an) maka ia batal, meskipun sampai seratus
syarat.” (HR. Bukhari).
Contoh lain:
"Aku neeekahkan anakku dengan mahar seperangkat alat
shalat." Wali tidak menggunakan ungkapan nikah, tapi
neeekah. Meski secara bahasa salah, namun maksud dari
akad tersebut dapat dipahami sehingga akad dianggap sah.
1 Ibid.
2 Ibid, dan lih. Dr, Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal. 85-86
1 Ibid., hal. 91
2 Dr, Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal.93
B. Saksi
Artinya: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan saksi yang
adil”.
1. Islam
ِ ٍ ِ
يدا َ ِف إِذَا جْئ نَا ِمن ُك ِل َّأم ٍة بِ َش ِهيد َوجْئ نَا ب
ً ك َعلَى َه ُؤالء َش ِه َ فَ َكْي
Artinya:Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti),
apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap
umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi
atas mereka itu (sebagai umatmu). (QS. Annisâ: 41)
Artinya: tidak sah menikah kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil.
b. Madzha Hanafi berpendapat bahwa saksi akad nikah,
boleh dari kalangan orang Kristen atau Yahudi (Ahli
Kitab), dengan alasan karena saksi adalah syarat yang
sudah ditetapkan dalam syariat pernikahan, baik itu
Islam ataupun Ahlu Kitab.
ان ِِمَّن
ِ َّي فَرجل وامرأَت
ِ َّ ِ ِ ِ َ استَ ْش ِه ُدواْ َش ِه
َ ْ َ ٌ ُ َ ْ َيديْ ِن من ر َجال ُك ْم فَإن ملْ يَ ُكونَا َر ُجل ْ َو
ُّه َداء ِ تَر
َ ض ْو َن م َن الش َْ
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka
(boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai.” (QS. Al-Baqarah: 282).
Untuk masalah akad nikah, saksi lebih baik lebih dari satu
orang laki-laki, atau dua orang laik-laki atau dua orang
perempuan. Semakin banyak saksi, semakin baik.
ان ِِمَّن
ِ َّي فَرجل وامرأَت
ِ َّ ِ ِ ِ َ استَ ْش ِه ُدواْ َش ِه
َ ْ َ ٌ ُ َ ْ َيديْ ِن من ر َجال ُك ْم فَإن ملْ يَ ُكونَا َر ُجل ْ َو
ُّه َداء ِ تَر
َ ض ْو َن م َن الش َْ
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka
(boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Artinya: Tidak sah menikah kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil.
Artinya: Tidak sah menikah kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil.
Makna Wali
Pembagian Wali
1. Islam
Seorang wali harus beragama Islam sebagaimana dalam
firman Allah Swt, yang berbunyi:
4. Laki-laki
Menurut Syafiiyah, perempuan tidak boleh menjadi wali. Dia
juga tidak diperkenankan menikahkan diri sendiri atau
menikahkan orang lain, baik diizinkan atau tidak diizinkan
oleh orang yang bersangkutan, karena secara etika tidak baik
dan kurang sopan. Hal ini didasarkand ari firman Allah:
6. Rusydu
Yaitu anak kecil yang belum balig tapi sudah mengerti
dan berakal.
1 Ibid. hal.141-146
ّي ِم ْن عِبَ ِاد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم إِن يَ ُكونُوا فُ َقَراء ِِ َّ وأَنكِحوا ْاألَيامى ِمن ُكم و
َ الصاْل َ ْ ََ ُ َ
يمِ ِ َّ ضلِ ِه و ِ َّ ي ْغنِ ِهم
ٌ اَّللُ َواس ٌع َعل َ ْ َاَّللُ من ف ُ ُ
1 Mengenai wali pernikahan, selengkapnya lihat, Habdul Halim Muhammad Abu Syaqqah, Tahrîru al-
Mar'ati fî 'Ashri al-Nubuwwati, Dâr al-Qalam li al-Nasyr wa al-Tauzî', vol. V, cet. VI, 2002, hal. 70
1 Ibid., hal. 96
ت بغري إذن مواليها فنكاحها باطل فإن دخل ّبا فاملهر َلا ِ
ْ أْيا امرأة نُك َح
ِبا أصاب منها فإن تشاجروا فالسلطان ويل من ال ويل له
Wali Ijbâr
ِ ِ ِ
َ ق. " َوال تُْن َك ُح الْبك ُْر َح ََّّت تُ ْستَأْذَ َن، ب َح ََّّت تُ ْستَأْ َمَر
: يل ُ ال تُْن َك ُح الثَّي
وت
ُ الص ُﻤ ُّ " : ال َ ََوَما إِ ْذنُ َها ؟ ق
Artinya: “Seorang janda tidak dapat dinikahi hingga dimintai
persetujuan dia secara langsung, dan wanita perawan tidak dapat
dinikahi hingga dimintai izin kepadanya”. Lalu dikatakan,
1 Ibid, 148-150
1 Athiyah Shaqar, Mausû'ah al-Usrah al-Muslimah, Marâhil Takwîni al-Usrah, Maktabah Wahbah, cet. I,
2003, vo. I, hal. 256
D. Syarat Nikah
1 Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., 104. Tentang kafaah dapat dilihat dalam makalah sebelumnya.
2 Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Quddamah al-Muqaddasi, op. cit., hal. 285
Penutup
1 Mistal , adalah jumlah mahar yang senilai dengan mahar yang biasa diterima oleh keluarganya.
2 Dr, Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal. 153-155
PemimpinWanita;
Perspektif Ulama Timur Tengah
ان ِِمَّن
ِ َّي فَرجل وامرأَت ِ َّ ِ ِ ِ
َ ْ َ ٌ ُ َ ْ َيديْ ِن من ر َجال ُك ْم فَإن ملْ يَ ُكونَا َر ُجل َ استَ ْش ِه ُدواْ َش ِه
ْ َو
ُخَرى ُ اﻤﻫَا فَتُ َذكَِر إِ ْح َد
ْ اﻤﻫَا األ
ِ َضو َن ِمن الشُّه َداء أَن ت
ُ ض َّل إْ ْح َد َ َ ْ َ تَ ْر
Artinya: ”...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang
lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang laki-laki maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya...( QS. Al Baqarah:282)
Haram
ضَللَِة
َ ال ََْتتَ ِﻤ ُع أ َُّم ِيت َعلَى
Artinya: ”Umatku tidak akan bersatu dalam kesalahan”.
Disamping ijma’ juga termasuk ke-3 sumber hukum Islam
setelah quran dan sunnah.
Warisan Sosial
Kehendak Rakyat