Anda di halaman 1dari 299



Islam Menjawab;
Menguak Beberapa
Persoalan Fikih dan
Ushul Fikih


Wahyudi Sarju Abdurrahim, Lc

ii
Judul : Islam Menjawab; Menguak Beberapa
Persoalan Fikih dan Ushul Fikih
Penulis : Wahyudi Sarju Abdurrahim
Desain Cover : Abdul Wahid Azhari
Cetakan Pertama : Kairo, 20 Juni 2013 M

iii
iv
Persembahan

Buku ini aku persembahkan untuk mereka


yang sangat aku cintai; kedua orang tuaku,
istriku dan anak-anakku. Semoga Allah Swt.
senantiasa melimpahkan rahmat dan
ampunan kepada mereka.


v
vi
Pengantar Penulis

Al-hamdulillahi rabbi'l `âlamîn. Shalawat dan salam kami


panjatkan kepada Nabi besar Muhammad Saw.,
keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya yang
setia hingga akhir zaman.

Islam adalah agama terahir yang membawa ajaran untuk


semua alam. Ajaran agama Islam tertuang dalam kitab suci
al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang terbatas. Sementara
persoalan umat manusia selalu berkembang dan tidak
terbatas. Untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut,
tentu dibutuhkan ijtihad para ulama, sehingga dapat
ditemukan solusi alternatif yang sesuai dengan ruang
waktu dan tidak bertentangan dengan perundangan yang
ada dalam Kitab Suci.

Untuk memahami kitab suci al-Qur'an dan Sunnah Nabi,


para ulama lantas meletakkan metodologi penggalian
hukum yang kemudian dikenal dengan ilmu ushul fikih.
Tidak jarang terjadi perbedaan pandangan di antara para
ulama tentang metode yang mereka gunakan, yang pada
ahirnya berimplikasi pada hasil ijtihad mereka. Dari sini
pula muncul fariasi madzhab fikih.

IImu ushul fikih juga bukan ilmu yang konstan, yang datang
dengan penuh kesempurnaan. Ilmu ini muncul dalam
rentang sejarah yang sangat panjang, dari masa sahabat
hingga masa kita saat ini. Berbagai perubahan dan koreksi
selalu dilakukan sehingga ilmu ini semakin sempurna.

vii
Para ulama kita terdahulu juga sangat terbuka dengan ilmu-
ilmu lain yang tumbuh dan berkembang saat itu, bahkan
mereka tidak segan untuk mengadopsi cabang ilmu lain
yang lahir bukan dari rahim umat Islam, seperti ilmu logika
Aristetolian yang kemudian dijadikan alat bantu dalam
sistem penggalian hukum. Tentu saja setelah dilakukan
berbagai penyesuaian sehingga sesuai model ijtihad yang
mereka inginkan.

Meski terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama,


namun mereka tidak pernah mengkalaim bahwa pendapat
mereka paling benar. Mereka tetap merasa bahwa pendapat
benarnya, namun masih ada kemungkinan salah. Demikian
juga pendapat orang lain dianggap salah, namun masih ada
kemungkinan benar. Pandangan seperti ini melahirkan
sikap toleran dan upaya untuk melakukan tinjauan ulang
atas ijtihad yang mereka hasilkan. Mereka tidak segan-segan
untuk meralat fatwa mereka manakala dikemudian hari
diketahui bahwa pendapat ulama lain ternyata yang
dianggap lebih benar. Situasi dan kondisi yang berbeda juga
sangat memungkinkan untuk muncul fatwa yang berbeda
pula. Bukan bearti ulama kita tidak konsisten dengan fatwa
mereka, namun situasi dan kondisilah yang menuntut
mereka untuk mencari ketetapan hukum yang sesuai
dengan kemaslahatan umat. Ini terlihat dari madzhab Syafii
yang mempunyai pandangan berbeda ketika masih di Irak
dan di Mesir. Persoalan yang dihadapi Imam Syafii ketika
berada di Bagdad tentu berbeda dengan persoalan yang
beliau hadapi ketika berada di Cairo.

Perbedaan pendapat adalah keniscayaan. Ia muncul


bersama dengan munculnya umat manusia di muka bumi
ini. Jika dihenedaki, nicsaya seluruh umat manusia dimuka

viii
bumi ini hanya memiliki satu pendapat saja. Namun
kenyataannya tidak demikian.

ِ ِ ِ َٰ ِ
ُ‫اَّللُ ََلَ َعلَ ُك ْم أُهمةً َواح َدةً َولَك ْن يُض ُّل َم ْن يَ َشاءُ َويَ ْهدي َم ْن يَ َشاء‬
‫َولَ ْو َشاءَ ه‬
‫ۚ َولَتُ ْسأَلُ هن َع هما ُكْنتُ ْم تَ ْع َملُو َن‬

Artinya: Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan


kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang
apa yang telah kamu kerjakan. (QS: an-Nahl: 93)

Perbedaan pendapat justru akan berdampak positif jika


disikapi secara apik. Perbedaan bearti muncul sekian solusi
atas persoalan umat. Dari beberapa solusi tersebut, bisa
diambil mana yang kiranya lebih sesuai dengan
kemaslahatan umat.

Perbedaan pendapat bukan sesuatu yang salah, namun


kesalahan muncul manakala perbedaan itu menjadi pangkal
perpecahan.

Belakangan muncul gerakan Islam yang justru berusaha


memberangus perbedaan. Mereka mengkalim bahwa hanya
pendapat mereka saja yang benar, sementara pendapat
orang lain salah. Mereka dengan mudah memberikan cap
bidah kepada orang lain yang tidak sependapat dengan
pendangan mereka. Bahkan terkadang mereka
menyematkan kata kafir, antek zionis, dan lain sebagainya
hanya karena pandangan yang berbeda. Tentu ini sangat
menyedihkan.

ix
Sikap tersebut tidak akan menjadikan perbedaan sebagai
rahmah, namun justru azab. Umat Islam sudah banyak
mengadapi berbagai persoalan yang belum terselsesaikan;
masalah kebodohan, ketertinggalan, kemiskinan dan lain
sebagainyan. Kemudian mereka datang dengan membawa
masalah baru. Bukankah Islam itu rahmatan lil alamin?
Bukankah Islam datang dengan membawa ajaran
kedamaian?

ِ ِ
َ ‫اك إِهَّل َر ْْحَةً للْ َعالَم‬
‫ي‬ َ َ‫َوَما أ َْر َسلْن‬
Artinya: "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (wahai nabi
Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam." (QS. 21:107)

Buku di hadapan pembaca ini menyuguhkan pandangan


yang berbeda dari pendapat para ulama. Buku ini ingin
memberikan pesan, bahwa ulama kita juga berbeda, namun
dengan tetap menghargai atas pandangan orang lain.

Buku ini dibagi menjadi uda bagian, yang pertama adalah


ushul fikih dan yang kedua adalah fikih. Baik yang
berkaitan dengan ilmu ushul ataupun ilmu fikih, selalu
menampilkan perbedaan ulama sehingga kita semakin
terbuka dan bisa menerima berbagai perbedaan tersebut.

Seluruh tulisan yang ada dalam buku ini adalah tulisan


penulis saat masih kuliah di universitas Azhar Cairo dan
Ma'had Ali Zamalik (2001-2007), kecuali tuilisan tetang
"Rukun dan Syarat Nikah; Studi Koparatif antar Mazhab"
yang merupakan tulisan istri penulis yang sudah kami edit
kembali. Penulis sangat berterimakasih kepada istri tercinta,

x
Syuaibah Aslamia, yang selalu memberikan dukungan,
sehingga buku ini dapat terbit. Penulis juga mengucapkan
banyak terimakasih kepada teman-teman di kajian PCIM,
kajian al-Mizan Study Club dan juga milis Muhamadiyah
Society. Karena di sanalah tulisan-tulisan ini lahir. Juga
kami ucapkan banyak terimakasih kepada saudara Wahid
sebagai desain sampul buku ini.

Tentu saja, masih banyak kelemahan dalam buku ini.


Penulis akan sangat berterimakasih dengan berbagai
masukan agar buku ini kedepan semakin baik. Penulis
menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah semata.
Wallahu a'lam bisawab

Kairo, 20 Juni 2013 M


11 Syaban 1434 H

Wahyudi Sarju Abdurrahim,


Lc.

xi
Daftar Isi

xii
Persembahan v
Pengantar penulis vi

Bagian Pertama: Ilmu Ushul Fikih 1

BAB I 1
Rekonstruksi Ilmu Ushul Fikih; Meretas
Jalan Menuju Kebangkitan Peradaban 3
Rekonstruksi Ilmu Ushul Fikih
dalam Lintasan sejarah 7
Sebab-sebab Kejumudan Ilmu Ushul Fikih 18
Fenomena Kemunduran Ilmu Ushul Fikih 24
Akibat yang Ditimbulkan
dari Kejumudan Ilmu Ushul Fikih 25
Ushul Fikih dan Pemecahan Persoalan
Kontemporer 27
Penutup 32

BAB II
Ushul Fikih Kontemporer; Melacak
Pemikiran Dr. Ali Jum’ah 35
Biografi singkat Dr. Ali Jum’ah 35
Relasi antara ilmu ushul fikih dengan filsafat 36
Rekonstruksi ilmu ushul fikih 42
Problematika Ijtihad Kontemporer 47
Penutup 50

BAB III
Akal Ushûlî dalam Pemikiran Islam;
Menguak Landasan Pemikiran
Dr. Yusuf al-Qaradawi 53
Biografi singkat Dr. Yusuf al- Qaradawi 55
Dr Yusuf al-Qardawi dan

xiii
Rekonstruksi Ilmu Usul Fikih 59
Dr. Yusuf al-Qardawi dan Fiqh Maqashid 61
Dr. Yusuf al-Qardawi dan Fikih Realitas 69
Menimbang antara Satu Maslahah
dengan Maslahah lainnya 70
Menimbang antara Satu Mafsadah
dengan Mafsadah lainnya 71
Menimbang antara maslahah dan mafsadah
jika terjadi benturan 72
Al -Tsawâbit wal Mutaghyirât; Perspektif
Qaradawi 74
Dr. Yûsuf al-Qaradhâwi dan Fikih Taisir 76

BAB IV
Sadd al-Dzarî`ah; Sebuah Tinjauan
Praktis-Normatif 81
Definisi al-Dzarî`ah atau Sadd al-Dzarî`ah 85
Perbedaan antara al-Dzarî`ah dengan Muqaddimah 88
Hujiyah Sadd al-Dzarî`ah 90
Al-Quran 90
Sunnah 92
Ijmak Sahabat 93
Kajian Induktif 93
Argumentasi bagi Mereka yang
Menolak Penggunaan Sadd al-Dzarî`ah 94
1. Al-Quran 94
2. Sunnah 96
3. Akal 97
Syarat Realisasi Kaidah Sadd al-Dzarî`ah 97
Bagian Sadd al-Dzarî`ah 101
Tinjauan Sadd al-Dzarî`ah dalam Tataran Praktis 104
Al-Hail al-Syar`iyyah 107

xiv
Bagian Kedua: Fikih 113

BAB V
Onani dalam Perspektif Hukum Islam 115
Pembahasan 117
Pengertian Onani 117
Pandangan Hukum 118
Onani Adalah Mubah 118
Dalil Nash 118
Dalil Akal 124
Onani Adalah Haram 124
Dalil Nash 124
Dalil Akal 133
Munâqasyah dan Tarjih 140
Sebab-Sebab Orang Melakukan Onani 142
Cara Mengatasi Onani 142
Penutup 146

BAB VI
Hukum Wanita Menjadi Imam Shalat
Bagi Makmum Laki-laki 149
Gambaran Masalah 151
Pandangan Hukum 154
Wanita Boleh Menjadi Imam 154
Dalil Manqûl 155
Dalil Ma’qûl 156
bagi Makmum Laki-laki 160

xv
Dalil Manqûl 161
Tarjih: 167
Penutup 168

BAB VII
Hukum Penggunaan Ilmu Hisab dalam
Penentuan awal Bulan Ramadhan dan Syawal 169
Definisi Ilmu Hisab 171
Pandangan Hukum 172
Hukum Menggunakan Ilmu Hisab
Tidak Boleh 172
Dalil Naqli 172
Dalil Aqli 175
Syarat Sahnya Rukyat 175
Hukum Menggunakan Ilmu Hisab Boleh 176
Dalil Naqli 176
Dalil Aqli 185
Kriteria Wujudul Hilal 186
Munaqasyah dan Tarjih 187
Penutup 189

BAB VIII
Taharah Bagi Wanita Muslimah 191
Haid, Nifas dan Istihadah 192
Pengertian Haid 193
Waktu Haid 194
Batasan Masa Haid 195
Pengertian Nifas 195
Implikasi Haid dan Nifas dalam Ibadah 196
Wajib Mandi 196
Pertanda akil balig (bulûgh) 197
Menandakan Bahwa Ia Tidak
Sedang Mengandung 197

xvi
Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita Haid
atau Nifas 199
Masuk atau Beritikaf di Masjid 199
Membaca al-Quran 210
Berpuasa 203
Thawaf 204
Bersetubuh 204
Talak 206
Pengertian Istihadah 207

BAB VIII
Rukun dan Syarat Pernikahan 209
Definisi Rukun 201
Ijab Kabul (Shîgah) 212
Makna Ijab Kabul 212
Syarat -syarat Ijab dan Kabul (Shîghah) 212
Ungkapan Ijab Kabul (Shîgah) 214
Ungkapan Ijab Kabul 220
Hukum Lafal Ijab Kabul dengan
Menggunakan Selain Bahasa Arab 222
Hukum Ijab Kabul dengan Isyarat 224
Hukum Orang Bisu yang Mengucapkan
Akad Nikah dengan Bahasa Isyarat
atau dengan Tulisan 225
Hukum Akad Nikah, Ketika Salah Satu
dari Mempelai Tidak di Tempat 226
Hukum Akad Nikah dengan Syarat 226
Hukum Lafal Akad yang Terpengaruh
Logat Daerah 229
Hukum Lafal Ijab Kabul dengan Tulisan 229
Hukum Ungkapan Akad Nikah yang Diwakilkan 231
Hukum Ungkapan Akad Nikah (Ijab dan Kabul)
yang Diucapkan oleh Satu Orang 232

xvii
B. Saksi 233
Hukum Saksi dalam Akad Nikah 233
Syarat Saksi Nikah
Islam 234
Hukum Saksi Yang Beragama Kristen atau Yahudi 234
Saksi Lebih dari Satu (Ta`addud) 236
Hukum Saksi Wanita dalam Akad Nikah 236
Adil (Orang Baik-baik) 238
Dapat Melihat dan Mendengarkan Secara Lagsung 239
Perwalian 240
Makna Wali 240
Pembagian Wali 240
Syarat Wajib Wali 241
Orang yang Berhak Menjadi Wali 244
Hukum Wali Perempuan dalam Akad Nikah 244
Hukum Wanita Menjadi Wali Bagi Dirinya Sendiri 245
Hukum Wali yang Menentukan Besaran Mahar 246
Wali Ijbâr 248
Hukum Wanita yang Tidak Mempunyai
Wali dan Tidak Sanggup untuk ke Wali Hakim 250
Kapan Hakim bisa Menjadi Wali? 251
Hukum Nikah Tanpa Wali 251
Syarat Nikah 252
Syarat Akad Nikah 253
Syarat Sah Akad Nikah 253
Syarat Terlaksananya akad Nikah 256
Syarat lazim Akad Nikah 256
Penutup 257

BAB IX
PemimpinWanita;
Perspektif Ulama Timur Tengah 259
Boleh Dengan Syarat 260

xviii
Haram 265
Haram Menurut Ijmak 266
Ijma Para Ulama Salaf 268
Warisan Sosial 270
Kehendak Rakyat 271
Daftar Pustaka 273
Biografi Penulis 278

xix
BAGIAN PERTAMA

ILMU USHUL FIKIH

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 1
2 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan
Ushul Fikih
BAB I

Rekonstruksi Ilmu Ushul Fikih;


Meretas Jalan Menuju Kebangkitan
Peradaban

Menurut Imam Abu Zahrah, ilmu ushul fikih adalah sebuah


metodologi yang digunakan para mujtahidîn dalam menggali
hukum syar’i dari nash al-Qur’an ataupun al-Hadits dengan
mengidentifikasikan illat suatu hukum sesuai tujuan dasar
diturunkannya syari’ah. Dengan demikian, ilmu ushul fikih
merupakan kumpulan kaidah dasar mengenai sistematika
penggalian hukum dari berbagai dalil syar’i. Ilmu ushul fikih
mencakup kajian teks bahasa secara langsung, seperti
sistematika penggalian hukum melalui ilmu semantik,
menggabungkan dua nash jika terjadi benturan secara
zhahir, atau berupa kajian yang bersifat ma’nawiyyah yang
tidak berhubungan secara langsung teks bahasa, seperti
mengeluarkan illat dari nash dan cara menggunakan metode
terbaik dalam menggali hukum syar’i ketika berinteraksi
dengan illat tersebut.1 Sedangkan menurut Dr. Abdul Karim
Zaidan, ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang menerangkan
mengenai kaidah-kaidah dasar dan rumusan global (al-

1 Muhammad Abû Zahrah, Ushûlu’l Fikihi, Dâru’l fikri al-Arabîy, hal. 1

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 3
adillah al-ijmâlîyyah) yang dapat membantu para mujtahid
dalam menggali hukum fikih.1

Perbedaan antara ilmu ushul fikih dengan fikih adalah


bahwa ilmu ushul fikih lebih menitikberatkan pada landasan
teoritis yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah),
sementara fikih lebih terfokus pada tataran praktis yang
diambil dari dalil tafshîlîy.2 Sederhananya, ushul fikih
merupakan metodologi penggalian hukum, sementara fikih
merupakan hasil dari metodologi tersebut.

Munculnya ilmu ushul fikih sebenarnya bersamaan dengan


fikih, karena bagaimanapun juga dalam penggalian hukum
syar’i para ulama mujtahidîn tidak akan lepas dari
metodologi ushul fikih. Hanya saja, pembukuan fikih lebih
awal dari pada ushul fikih.3

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para sahabat


dalam memberikan ketentuan hukum fikih sebenarnya telah
memiliki rumusan tertentu. Antara satu sahabat dengan
sahabat lain terkadang memiliki rumusan yang berbeda
sehingga berimplikasi pada ketetapan fatwa yang berbeda
pula. Ilmu ushul fikih baru menjadi rumusan yang
terbukukan secara sistematis oleh imam Syafi’i dalam
bukunya, al-risâlah. Buku inilah yang kemudian menjadi
inspirasi ulama lain untuk mengikuti jejak beliau dalam
memberikan rumusan dasar dalam berijtihad.

Umumnya, para ulama membagi metodologi penulisan ilmu


ushul fikih menjadi tiga:

1 Dr. Abdul Karim Zaidân, Al-Wajîz fî Ushûli’l Fikihi, Mu’assasah al-Risâlah, cet. V 1994, hal. 11
2 Ibid., hal. 12
3 Ibid., hal. 14

4 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
1. Al-Mutakallimûn, yaitu penulisan ilmu ushul fikih
berdasarkan pada analisa dan rumusan-rumusan
teoritis tanpa melihat persoalan furû’iyyah, baik yang
sudah menjadi kesepakatan bersama atau belum.
Ushul fikih mutakallimûn merupakan metodologi murni
yang berasal dari kajian induktif terhadap nash sayr’i.
Hukum fikih hanya dijadikan sebagai contoh praktis.1
Kesan dari penulisan model ini adalah bahasan yang
bersifat teoritis-filosofis. Ilmu ushul fikih dijadikan
sebagai standar dan sandaran terhadap ketentuan
hukum fikih yang keluar dari sekat-sekat madzhab.
Metode penulisan seperti ini dapat terhindar dari
fanatisme madzhab tertentu. Di antara yang
menggunakan model penulisan seperti ini adalah
Muktazilah, Syafi’iyah dan Malikiyah.

2. Al-Hanafiyyah, yaitu suatu metode penulisan yang


dilakukan oleh pengikut imam Hanafi dengan
menganalisa hasil dari ijtihad sang imam, kemudian
merumuskan metodologi yang digunakan oleh imam
berdasarkan dari hasil analisis tersebut. Model
rumusan metodologi ini bersifat praktis dan lebih
memihak madzhab tertentu. Kelebihannya adalah
bahwa rumusan tersebut lebih banyak bersentuhan
dengan hukum fikih dari pada perdebatan teoritis-
filosifis.

3. Metode akomodatif, yaitu penggabungan dari dua


metode penulisan di atas. Mereka tidak terlalu berdebat
dalam tataran teoritis- filosofis, namun juga tidak
terlalu terpaku dengan persoalan furû’iyyah. Mereka

1 Ibid., hal. 16

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 5
meletakkan rumusan kaidah ushul yang ditopang
dengan argumentasi logis, sebagai standar dan penentu
dalam ketetapan hukum syariat. Selain itu, mereka juga
menambahkan contoh-contoh praktis yang diambil dari
para Imam. Model penulisan seperti ini banyak diikuti
oleh para ulama muta’akhirîn, baik dari madzhab Syafi’i,
Maliki, Hambali, Ja’fari bahkan madzhab Hanafi.1

Dari sisi epistem, ilmu ushul fikih dapat dipetakan menjadi


tiga:2
1. Ushul fikih bayan. Dalam hal ini diwakili oleh aliran
ushul fikih mutakallimûn dan Hanafiyah.3
2. Ushul fikih burhan. Dalam hal ini diwakili oleh ushul
fikih zhahiriyyah (baca; Ibnu Hazm) dan model
penulisan ushul fikih maqâshid syarî'ah.4
3. Ushul fikih bayan-irfan. Dalam hal ini diwakili oleh
ushul fikih Syiah.5

Dalam perkembangan selanjutnya, banyak terjadi


penambahan atau pengurangan dalam rumusan ilmu ushul

1 Ibid., hal. 16-18


2 Ini merupakan pembagian ushul fikih ditinjau dari tiga kerangka epistemologi, yaitu bayan, burhan dan bayan
irfan. Jika dilihat dari tiga kerangka epistem tersebut, di dalamnya juga terdapat berbagai upaya rekonstruksi.
Tentang bayan, burhan dan irfan, lihat Dr. Muhmmad Abid Al-Jabiri, Naqdu al-Aqli al-Arabi, Bunyatul 'Aqli al-Arabi,
Al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi.
3Di antara ciri-ciri struktur epistem bayan adalah, menitikberatkan pada kajian bahasa, terdapat asal dan cabang,
sementara hukum cabang disamakan dengan hukum asal karena illat yang sama, seperti kias dalam ushul fikih,
wazan dan mauzun dalam sharaf, kiyas ghaib ala asy-syahid dalam ilmu kalam, dan kajiannya bersifat partikular
(juz'iy).
4 Di antara struktur epistem burhan adalah bahwa ia banyak melihat kepada bukti rasional (burhân), tidak mengakui
kias bayan, menggunakan kiyas aristotelian (burhân), lebih melihat pada makna bahasa dibandingkan dengan teks
bahasa dan melihat sesuatu secara menyeluruh (kulliy)
5Di antara ciri-ciri struktur epistem irfan adalah, ahwal dan maqamat seperti dalam dunia sufi, ilham dan ketentuan
hukum dari murabbi/syaikh/imam maksum. Tentang irfan, lebih lengkapnya, lihat Dr. Muhmmad Abid Al-Jabiri,
Naqdu al-Aqli al-Arabi, Al-'Aqlu al-Akhlaqi, Al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi.

6 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
fikih sesuai dengan perkembangan permasalahan ilmu
pengetahuan dan tuntutan sosial masyarakat. Dengan kata
lain bahwa ilmu ushul fikih sebagai rumusan metodologi,
merupakan hasil dari proses panjang. Berbagai cabang ilmu
pengetahuan juga turut mempengaruhi perkembangan ilmu
ushul fikih.

Tentu saja perkembangan ilmu ushul fikih belum berhenti.


Sampai saat ini, ilmu ushul fikih masih mendapatkan
perhatian serius di kalangan para ulama. Bahkan belakangan
gagasan seputar rekonstruksi ilmu ushul fikih semakin
mencuat. Bentuk rekonstruksi yang ditawarkan para ulama
cukup beragam, dari usulan berupa perubahan dalam
bentuk, kandungan, penambahan tema, perubahan kerangka
dasar, pendalaman terhadap tema, pengembangan cakupan
kajian ilmu ushul, sampai pada tawaran perubahan secara
total dalam kandungan ilmu ushul fikih.

Sebagian ulama kembali mengkaji ulang tema-tema sentral


dalam ilmu ushul seperti masalah nâsikh dan manshûh,
hujatiyatu sunnah, ijmâ’, ijtihad ar-Rasul dan lain sebagainya.
Berbagai wacana tersebut tentu memberikan implikasi
positif terhadap perkembangan ilmu ushul fikih selanjutnya.

Rekonstruksi Ilmu Ushul Fikih dalam Lintasan Sejarah

Rasulullah wafat dengan meninggalkan dua pusaka, yaitu


kitab suci al-Qur'an dan sunnah Nabi. Dua pusaka tersebut
terbatas, sementara persoalan umat selalu bertambah dan
tidak terbatas. Sementara itu, umat dituntut untuk selalu
bersikap sesuai dengan norma dan nilai seperti yang
tertuang dalam dua pusaka tersebut.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 7
Bermula dari para sahabat, mereka mulai melakukan ijtihad.
Di antara para sahabat yang banyak mengeluarkan fatwa
adalah Asiyah, Umar, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Masud dan
Abdullah bin Umar.

Piranti ijtihad sangat mereka kuasai; bahasa Arab sebagai


bahasa al-Qur'an dan sunnah adalah bahasa mereka, al-
Qur'an turun di antara mereka. Mereka juga hidup bersama
Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, mereka sangat
memahami karakter al-Qur'an dan as-sunnah. Mereka
mengetahui asbâbu an-nuzûl ayat al-Qur'an dan asbâbul wurûd
sunnah Nabi. Mereka langsung menerima sunnah dari
Rasulullah saw. Mereka sangat memahami maqâshid syariah.
Di tambah lagi dengan kecerdasan dan kejernihan hati serta
semangat mereka untuk menebarkan ilmu pengetahuan.

Piranti ijtihad itu selanjutnya disebut ilmu ushul fikih. Hanya


saja, ia belum menjadi cabang ilmu yang independen. Ia
masih menjadi ilmu yang berada dalam dada mereka.

Selanjutnya, ijtihad diteruskan oleh tabiin. Mereka banyak


mendapatkan ilmu pengetahuan dan metode ijtihad dari
para sahabat. Dari kalangan tabiin, muncul para ulama besar
seperti Said Ibnu Musayyab di Madinah, Hasan dan Ibnu
Hasan di Basrah, Atha bin Abi Rabbah di Mekah, Thawus di
Yaman, Ibrahim an-Nakh'i di Mekah dan lain sebagainya. Di
masa ini pula, Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah
memerintahkan para ulama untuk membukukan kitab-kitab
hadis. Kodifikasi hadis tersebut berimplikasi positif pada

8 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
ilmu-ilmu lain dan menjadi pendorong kuat dalam
perkembangan ilmu fikih dan ushul fikih.1

Selanjutnya mulai terjadi penerjemahan buku-buku dari luar


Islam. Selain itu, bangsa Arab juga mulai berinteraksi dan
bercampur dengan bangsa selain Arab. Ini juga berdampak
dalam perkembangan bahasa Arab. Orang non Arab yang
masuk Islam juga banyak yang mempelajari dan mendalami
bahasa Arab. Bahasa Arab sendiri semakin bergeser dari
bahasa yang dipakai pada masa Nabi Muhammad. Bahasa
Arab juga menjadi "bahasa nasional" bagi umat Islam, baik
mereka orang Arab ataupun bukan orang Arab. Banyak
negara-negara di luar jazirah Arab yang kemudian
terarabkan dan menjadi bagian dari bangsa Arab.

Dari sini para ulama lantas banyak membukukan ilmu-ilmu


bahasa. Karena dalam berijtihad juga membutuhkan piranti
bahasa, maka para ulama mulai mendalami bahasa. Adalah
Imam Syafii (wafat 204 H) , yang meletakkan secara
sistematis ilmu bahasa sebagai kerangka ijtihad. Imam Syafii
tidak hanya mengkaji masalah gramatikal bahasa saja,
namun juga melihat justifikasi hukum yang dapat diambil
dari ilmu bahasa. Dari sini berkembanglah ilmu semantik
dalam ushul fikih (dilâlatul alfâdz). Ilmu semantik ini banyak
menelurkan kaidah ushuliyyah lughawiyyah. Tidak hanya
itu, berbagai piranti ijtihad juga mulai ditulis oleh imam
Syafii. Beliau adalah ulama pertama yang membukukan ilmu
ushul fikih. Beliau memberi judul kitabnya dengan ar-
Risâlah.

1 Abu Fadhli Abdu as-Salam bin Muhammad bin Abdul Karim, At-Tajdîd wal Mujaddidûn fî Ushûlil Fikih, Al-
Maktabah al-Isâmiyyah bil Qâhirah, cet III, 2007 hal. 52-53

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 9
Meskipun kitab tersebut dianggap kitab pertama dalam ilmu
ushul, namun penyajiannya sudah sangat sistematis dan
mendalam. Imam Syafii tidak hanya memberikan teori-teori
ijtihad yang lepas dari ilmu fikih, namun juga banyak
memberikan contoh praktis. Dalam bukunya nampak sekali
relasi antara ilmu ushul fikih dengan fikih praktis.1

Setelah kitab ar-Risâlah, para ulama mulai banyak yang


menuliskan kitab ushul fikih, baik dengan sistem seperti
kitab ar-Risâlah, maupun yang berbeda dengannya, baik
kitab-kitab yang memberikan dukungan, mengoreksi
kembali, atau bahkan menolak sama sekali.

Selain ar-Risâlah Syafii, juga muncul kitab ushul fikih lain


yang lebih dekat dengan fikih, yaitu ushul fikih Hanafi.
Imam Hanafi wafat pada tahun 150 H. Jika Syafii
membangun ilmu fikihnya berangkat dari kerangka teoritis
lalu menghasilkan hukum fikih, maka sebaliknya, para
ulama Hanafiyah membangun ushul fikihnya dari hukum-
hukum fikih yang sudah dihasilkan oleh sang Imam. Tidak
heran jika pada awalnya, ushul fikih mereka terkesan
justifikasi terhadap madzhab fikih sang Imam. Namun
seiring dengan perjalanan waktu, ushul fikih Hanafiyah
mengalami perkembangan luar biasa seperti yang ditulis
oleh Abu Zaid ad-Dabusi (wafat 430) dalam kitabnya
Taqwîmul Adillah.

Di kalangan pengikut Syafii sendiri mulai banyak


bermunculan kitab-kitab ushul fikih, seperti yang ditulis oleh
Qadhi al-Baqilani (wafat 402 H). Dalam penulisan bukunya,

1 Imam Muhammad bin Idris as-Syafii, Ar-Risâlah, Tahkik Ahmad Muhammad Syakir, Musthafa al-Babi al-Halabi
wa Awlâduhu, Mesir, al-Qâhirah 1940

10 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
al-Baqilani banyak mengikuti gaya para ulama kalam yang
beraliran Asyariah. Al-Baqilani bisa dikatakan sebagai ulama
Asyariah pertama yang memasukkan ilmu kalam dalam
ushul fikih. Persoalan kalam sendiri pertama masuk dalam
ilmu ushul fikih oleh kalangan ulama muktazilah.

Gaya penulisan model al-Baqilani tentu berbeda dengan


gaya penulisan imam Syafii. Al-Bagilani banyak
menitikberatkan pada pendalaman teori-teori ushul fikih
dan bercorak filosofis. Contoh praktis hanya dijadikan
sebagai penguat teori-teori yang sudah diletakkan. Ushul
fikih pasca al-Baqilani banyak menganut dan meniru gaya
penulisan beliau sehingga sering disebut dengan ushul fikih
kalam. Di antara ulama ushul yang sangat kental dengan
pembahasan kalam adalah Qadhi Abdul Jabbar (wafat 415
H) dalam kitabnya al-'Ahd dan Husain al-Bashri ( wafat 436
H) dalam kitabnya al-Mu'tamad fî ushul Fikih. Keduanya
beraliran kalam Muktazilah dan bermadzhab Syafii.

Pada abad ke lima hijriyah, muncul imam Juwaini (wafat


478). Kitab ushul fikih beliau, al-Burhân fî Ushûlil Fikih tidak
hanya taklid terhadap ilmu ushul fikih yang sudah dituliskan
oleh para imam sebelumnya, namun juga memberikan
berbagai tema-tema tambahan. Para -ulama menganggap
bahwa beliau adalah ulama ushul pertama yang
memasukkan ilmu maqâshid dalam ilmu ushul fikih. Beliau
juga ulama pertama yang membagi maqâshid syariah
menjadi tiga, yaitu darûriyât, hâjiyât dan tahsîniyât. 1

1 Imam al-Haramain Abu al-Ma'ali al-Juwaini, Al-Burhân fî Ushûli'l Fikih, tahkik, Dr. Abdul Azhim ad-Daib, Dâr al-
Wafâ' Mesir, cet III, 1999

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 11
Setelah imam Juwaini, lalu datang imam al-Ghazali. Beliau
adalah murid dari imam Juwaini. Beliau juga banyak
berijtihad dalam ilmu ushul fikih. Imam al-Ghazali
merupakan ulama ushul pertama yang memasukkan ilmu
mantik ke dalam ilmu ushul fikih. Dalam menyajikan tema-
tema bahasan, kitab al-Mustasfâ lebih sistematis
dibandingkan dengan kitab ushul sebelumnya.1

Ilmu ushul fikih juga dikembangkan oleh ulama setelahnya,


yaitu Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam. Beliau adalah
ulama pertama yang memberikan kajian mendalam
mengenai maslahat. Bukunya yang berjudul Qawâ'idul
Ahkâm fî Mashâlihil Anâm dianggap sebagai inspirasi dalam
perkembangan ilmu maqâsid syrî'ah.2

Lalu datang imam al-Qarafi,3 Ibnu Taimiyah4 dan Ibnul


Qayyim. Ketiganya juga ulama besar yang banyak
memberikan sumbangsih dalam perkembangan ilmu ushul
fikih. Kitab I'lamul Muwaqqiin karya Ibnul Qayim adalah
buku ushul fikih yang banyak melihat dari sisi maslahat
sekaligus memberikan berbagai macam contoh praktis.5

Sementara itu di Andalus, muncul Ibnu Hazm (456 H). Beliau


adalah ulama bermadzhab Zhahiri yang menguasai berbagai
cabang ilmu keislaman. Dalam ilmu ushul fikih, beliau juga
banyak memberikan kontribusi yang sangat besar. Bahkan

1 Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfâ min 'Ilmi'l Ushûl, Dâr Shâdir, Beirut, cet I, 1995.
2 Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam, Qawâ'idul Ahkâm fî Mashâlihil Anâm, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut
3 Ahmad bin Idris ash-Shanhaji al-Qarrafi, Anwârul Burûq fî Anwâ'i al-Furûq, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, cet I, 1998
4 Ali Taimiyah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah, ayah dan kakeknya, Al-Muswaddah fî Ushûli Fikih, pengantar,
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Mathbaah al-Madani.
5 Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, 'Ilâmul Muwaqqi'în an Rabbil 'Alamîn, Tahkik Ishamuddin ash-Shababithi, Dâr al-
Hadîts, cet I, 2006

12 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
banyak ulama yang menyatakan bahwa kitab al-Ihkâm fî
Ushûli'l Ahkâm setara dengan kitab ar-Risâlah karya imam
Syafii. Ibnu Hazm dianggap peletak dasar ilmu ushul fikih
zhahiri atau ushul fikih burhani. Dalam penulisan kitabnya,
beliau berbeda dengan para ulama-ulama lainnya. Jika pada
umumnya para ulama ushul banyak menggunakan epistem
bayan, maka Ibnu Hazm menggunakan epistem burhan. Jika
para ulama banyak menggunakan ilmu semantik sebagai
dasar ijtihad, Ibnu Hazm menggunakan logika aristetolian.
Ibnu Hazm juga menggunakan berbagai macam istilah ushul
yang tidak dipakai oleh para ulama ushul pada umumnya.
Ibnu Hazm lebih melihat pada sisi makna daripada lafal dari
suatu lafal.1

Dalam kitabnya, Ibnu Hazm juga tidak banyak


menyinggung persoalan kalam. Karena pembahasan kalam
dianggap bukan bagian dari ilmu ushul fikih. Ibnu Hazm
juga tidak terfokus pada teori, namun selalu mengaitkan
teori dengan contoh-contoh praktis. Di sini terlihat sekali
upaya Ibnu Hazm untuk melakukan pembaharuan dalam
ilmu ushul fikih.2

Kemudian, muncul ulama besar dan dianggap sebagai


peletak ilmu maqâshid syariah. Beliau adalah imam asy-
Syathibi (790 H). Memang benar bahwa ilmu maqâshid sudah
disinggung oleh para ulama sebelumnya, seperti imam
Juwaini, imam Ghazali, Izzuddin Ibnu Abdussalam dan
ulama lainnya. Namun beliau lebih rinci dan sistematis.
Kitab al-Muwâfaqât adalah buku fenomenal yang menjadi
rujukan utama dalam ilmu maqâshid.

1 Ali Ibnu Ahmad Ibnu Ahmad Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkâm fî Ushûli'l Ahkâm, Dâr al-Afaq al-Jadîdah. Beirut,
cet II, 1983
2Lihat juga, Dr. Nuruddin al-Khadimi, Ad-Daîl Inda azh-Zhahiriyyah, Dâr Ibnu Hazm, cet I, 2000

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 13
Jika kitab-kitab ushul fikih sebelumnya banyak membahas
persoalan kalam, maka sebaliknya, imam Syatibi sama sekali
tidak membahasnya. Menurut beliau, memang persoalan
kalam bukan bagian dari ilmu ushul fikih sehingga ia layak
dibuang dari pembahasan ilmu ushul fikih. Selain tentang
mâqashid syariah, imam Syathibi juga banyak mengkaji
tentang maqâshid al-mukallaf.1

Pasca Imam Syathibi, tidak banyak terdapat ulama yang


melakukan ijtihad dalam ilmu ushul fikih. Masa-masa
setelahnya adalah masa kejumudan dan taklid. Karya agung
imam Syathibi juga tidak banyak disinggung oleh para
ulama. Jika pun ada tokoh yang ingin membangkitkan ilmu
ushul, tidak sebanding dengan arus deras para ulama yang
menganggap ijtihad sudah ditutup.

Kebangkitan keilmuan Islam baru muncul sekitar paruh


abad delapan belas. Di masa ini pula, ilmu ushul fikih mulai
dikaji dan didalami kembali. Wacana rekonstruksi dalam
berbagai cabang ilmu dapat terlihat jelas dari tokoh
pembaharu Mesir Refa’ah Thahthawi dalam bukunya “Al-
Qaul Assadîd fi Attajdîd wa Attaqlîd” yang dicetak pada tahun
1287 H.

Kemudian wacana rekonstruksi ilmu ushul makin meluas


pada awal abad 20-an di kalangan para dosen Dârul ‘Ulum
Universitas Kairo. Hanya saja wacana rekonstruksi baru
berkisar pada kajian ulang terhadap sistematika penulisan
ilmu ushul fikih. Menurut Syaikh al-Khadhariy bahwa
pengajaran ilmu ushul fikih klasik yang banyak memiliki

1 Abu Ishaq asy-Syathibu, Al-Muwâfaqât, Dâr al-Hadîs, cet I, 2006

14 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
matan dan hawâsyiy, tidak akan banyak memberikan manfaat
bagi siswa. Ia menginginkan agar sistematika penulisan ilmu
ushul fikih diperbaharui dan dipermudah. Dari buku
tersebut kemudian diikuti oleh ulama lain dalam menulis
buku ushul fikih secara sederhana dan sistematis, di
antaranya adalah Abdul Wahab Khilâf,1 Abu Zahra,2 Abdul
Karim Zaidan3 dan lain sebagainya.

Rekonstruksi model ini sama sekali tidak mendapatkan


tantangan dari para ulama. Hanya saja sebagian para ulama
merasa pesimis terhadap hasil pendalaman ilmu ushul
dengan model seperti ini. Mereka menganggap bahwa kajian
terhadap ilmu ushul fikih klasik justru lebih memberikan
manfaat, melihat kajian ushul fikih klasik cenderung lebih
detail dan mendalam. Maka di samping model penulisan
karya ushul fikih secara sistematis dan sederhana, namun
sebagian ulama tetap terpaku pada model penulisan klasik
seperti yang ditulis oleh syaikh Abdullah Daraz.

Sementara kaitannya dengan penambahan tema dalam ilmu


ushul, sebagian ulama menganggap bahwa penambahan
tersebut akan sulit dilakukan. Mereka menganggap bahwa
kajian terhadap ilmu ushul sesungguhnya telah final.
Dengan kata lain, ilmu ushul fikih yang ada saat ini telah
mencakup berbagai tema sentral berkaitan dengan
penggalian hukum.

Namun sebagian ulama menganggap bahwa penambahan


dan perubahan dalam berbagai tema ushul fikih merupakan

1 Abdul Wahab Khilaf, 'Ilmu Ushûlil Fikih, Maktabah ad-Da'wah al-Islâmiyyah, Kairo, cet II
2 Muhammad Ahmad Abu Zahra, Ushûlil Fikih, Dâr al-Fikri al-Arabi, Kairo
3 Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajîz fî Usûlil Fikih, Mu'assasah ar-Risâlah, Beirut, 1989

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 15
sesuatu yang mungkin terjadi, seperti yang diungkapkan
oleh Abdullah Ashshiddiq al-Qhammariy. Ushul fikih
adalah metodologi yang berkembang bersamaan dengan
perjalanan waktu. Sementara persoalan yang dihadapi umat
juga semakin kompleks.

Pada tahun 1970-an, berkembang wacana mengenai


rekonstruksi ilmu ushul fikih kaitannya dengan kerangka
dasar ilmu ushul fikih itu sendiri. Di antara yang
melontarkan ide ini adalah Dr. Hasan Turabi. Ia menganggap
bahwa ushul fikih saat ini sudah tidak relevan dengan
perkembangan zaman. Baginya, ushul fikih klasik
merupakan jawaban terhadap problematika umat yang
berkembang pada saat itu yang masih sangat sederhana.
Sementara permasalahan kontemporer semakin luas dan
sangat komplek. Jika memang ilmu ushul fikih adalah
jawaban atas realitas sosial kemasyarakatan yang
dipengaruhi ruang waktu, maka untuk menjawab berbagai
tantangan yang terus meluas dibutuhkan ushul fikih yang
lebih sesuai dengan perkembangan zaman.1

Namun demikian, menurut Dr. Yusuf al-Qaradhawi, ada hal-


hal tertentu yang tidak dapat berubah, yaitu dua sumber
hukum Islam al-Qur’an dan as-Sunnah serta kaidah-kaidah
fikih yang dihasilkan dari dua sumber tersebut. Al-Qur’an
sebagai wahyu Tuhan secara langsung, adalah sumber dari
segala sumber hukum pertama dalam Islam. Dari sana pula
berbagai landasan hukum dapat diketahui. Sementara Sunah
yang merupakan wahyu Tuhan secara tidak langsung,
adalah sumber hukum kedua. Dua hal inilah yang dijadikan
rujukan awal para fuqaha’ dalam menentukan hukum fikih.

1 Dr. Hasan Abdullah at-Turabi, Qadhâyâ at-Tajdîd, Nahwu Manhajin Ushûliyin, Beirut, cet I, 2000

16 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Sumber hukum syar’iy lainnya merupakan hasil interpretasi
para ulama ushul terhadap keduanya. Merubah keduanya
sama artinya dengan merubah Islam itu sendiri. Klaim
mengenai nâsîkh dan mansûkh dalam al Qur’an harus
dilandasi dengan argumentasi kuat, karena kesalahan dalam
menentukan nâsîkh dan mansûkh akan berimplikasi pada
perubahan hukum syar’iy.

Sunah sebagai sumber hukum kedua juga harus dikaji secara


kritis. Kesalahan dalam memahami Sunah dapat berakibat
pada pemberian fatwa yang keliru. Apalagi sebagian Sunah
adalah dzanniyu’l wurûd, sehingga jika tidak hati-hati dalam
penggalian hukum dapat terjerumus dengan menggunakan
hadits dha’if ataupun maudhû’. Kaitannya dengan
kandungan nash, sama sekali tidak diperkenankan
mengadakan reinterpretasi atas nash-nash yang qath’iy, baik
nash yang berkaitan dengan al-ghaibiyât, attasyrî’iyât,
maupun al akhlaqiyât.

Selain itu hal lain yang tidak boleh dirubah adalah kaidah
fikih yang dihasilkan dari nash qath’îy, seperti lâ dharâr walâ
dhirâr, al umûr bi maqâshidihâ, al taklîf bi hasbi’l was’iy dan lain
sebagainya. Kaidah dasar fikih inilah yang sering dijadikan
timbangan penggalian hukum.

Namun tidak semua pembahasan dalam ilmu ushul bersifat


qath’îy, bahkan sebagian besar lainnya bersifat dzannîy. Selain
itu, banyak kajian ilmu ushul yang belum mendapat
tanggapan serius oleh para ulama, seperti masalah sunnah
tasyrî’iyah dan ghairu tasyrî’iyah, ilmu maqashid, fikih Sahabat

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 17
dan Tabi’in serta kajian atas metodologi mereka dalam
penggalian hukum.1

Belakangan, kajian terhadap ilmu ushul fikih semakin


berkembang. Berbagai universitas Islam mulai banyak
menelurkan disertasi yang spesifik pada kajian ilmu ushul
fikih. Mulai ada upaya-upaya untuk melakukan rekonstruksi
ilmu ushul fikih, baik dengan mengkaji ulang mengenai
materi, sistematika penulisan ataupun gaya penyajian.2

Sebab-sebab Kejumudan Ilmu Ushul Fikih

Di bawah ini, penulis akan menyebutkan mengenai beberapa


sebab yang mengakibatkan terjadinya kemunduran dan
kejumudan dalam ilmu ushul fikih, di antaranya adalah:
1. Klaim bahwa pintu ijtihad sudah ditutup.
Mulai paruh abad kelima hijriyah, banyak fuqaha dari
empat madzhab memberikan fatwa bahwa pintu ijtihad
sudah ditutup. Tentu saja fatwa ini berimplikasi negatif
terhadap perkembangan ilmu ushul fikih, bahkan juga
terhadap seluruh cabang keilmuan Islam. Akibatnya
adalah terjadinya sikap taklid di kalangan umat Islam.
Jika ada ijtihad pun, porsinya sangat sedikit.

Ini merupakan faktor yang paling dominan yang


menyebabkan terjadinya kejumudan perkembangan
ilmu ushul fikih dan ilmu-ilmu keislaman secara umum.

1Selengkapnya, lihat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihad fi Syariah al-Islamiyyah, Darul Qalam, cet I 1996, hal 233-243
2 Upaya rekonstruksi terhadap ilmu ushul fikih tidak hanya terjadi di kalangan Islam sunni, namun juga
berkembang di kalangan syiah. Lihat, Irsyâdul Fuhûl Ilâ Tahqîqil Haq min Ilmil Ushûl, Muhammad bin Ali Asy-
Syaukani dalam kitabnya, yang beraliran syiah Zaidiyah, atau Al-Ma'âlim al-Jadîdah lil Ushûl karya Sayyid Baqir
Shadar yang beraliran syiah Ja'fariyah. Lebih lengkapnya, lihat, Dr. Hasan Hanafi, Minannash ilâ al-Wâqi', jilid I,
Takwîn an-Nash, Markaz al-Kitâb li an-Nasyr, cet I, 2004 hal. 261-302

18 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Bahkan juga berpengaruh negatif pada ilmu-ilmu
eksakta yang berakibat pada mundurnya peradaban
Islam.

Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam


tidak lepas dari kebebasan berfikir dan berijtihad bagi
para ulama. Perbedaan pendapat yang terjadi di
kalangan para ulama selalu disikapi dengan keterbukaan
dan kedewasaan. Para ulama lebih menjunjung ilmu
pengetahuan dibandingkan dengan fanatisme buta.
Perbedaan pemikiran selalu dibalas dengan pemikiran
pula, bukan anarkisme.

Pada masa ini, para ulama hanya membatasi madzhab


menjadi empat saja. Mereka juga merasa bahwa
kemampuan ulama muta'akhirin tidak sepadan lagi
dengan para ulama pendahulu. Ada kekhawatiran
bahwa pembukaan ijtihad baru, akan dapat
menimbulkan berbagai penyimpangan, karena didasari
dari ijtihad orang yang tidak kapabel. Mereka tidak
menyadari bahwa pernyataan mereka ini sangat
berbahaya dan berimplikasi jauh kepada umat Islam
dalam segala aspek kehidupan.

Anehnya, ketika mereka memfatwakan ditutupnya pintu


ijtihad, justru mereka membuka ijtihad di ranah lain yang
sesungguhnya tidak boleh diijtihadi, yaitu ranah ibadah.
Ini bisa kita lihat dari aliran tarekat sufi yang
memberikan banyak tambahan-tambahan dalam ajaran
agama. Mereka melakukan ijtihad dalam hal suluk dan
etika, serta ritual-rutual keagamaan yang tidak pernah
diajarkan oleh Nabi besar Muhammad saw.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 19
Di ini kita melihat ada dua hal yang bertentangan,
pertama yang berkaitan dengan urusan dunia. Dalam hal
ini, semestinya pintu ijtihad selalu dibuka lebar, karena
urusan dunia akan bertambah komplek sesuai dengan
perkembangan peradaban umat manusia. Namun
mereka justru menutupnya. Kedua, urusan ibadah.
Dalam hal ini, semestinya tidak ada lagi lahan ijtihad,
karena dalam hal ibadah harus sesuai dengan kaidah
ushul, yaitu taabud dan ittiba' .

Karena ilmu ushul fikih merupakan piranti dasar dalam


berijtihad, maka penutupan pintu ijtihad merupakan
sebuah malapetaka besar. Jika ijtihad sudah ditutup,
tentu piranti ijtihad sudah tidak berguna lagi. Jika orang
sudah tidak lagi mempelajari dasar-dasar ilmu ijtihad,
atau piranti ini hanya dijadikan sebagai pengetahuan saja
tanpa ada praktek nyata dalam tataran praktis, tentu
akan berimplikasi pada hilangnya atau berkurangnya
para ulama mujtahidun.

Di sini, ilmu ushul fikih akan mati. Ilmu ushul fikih


hanya dipelajari sebagai peninggalan dari para ulama
terdahulu tanpa ada lagi ijtihad baru yang sesuai dengan
perkembangan ruang dan waktu. Yang ada hanyalah
sikap taklid kepada para ulama terdahulu. Pertanyaan
yang ekstrim barangkali, untuk apa belajar ilmu ushul
fikih jika pintu ijtihad sudah ditutup?

2. Terjadi reduksi dalam terminologi fikih.


Bagi para ulama terdahulu, fikih merupakan ilmu cabang
yang dihasilkan dari ijtihad yang menggunakan ilmu
ushul fikih. Dari sini sesungguhnya tidak dapat
dipisahkan antara ilmu fikih dengan ilmu ushul fikih.

20 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Seorang fuqaha, adalah orang yang mendalami ilmu fikih
berdasarkan ijtihad yang dihasilkan dari ilmu ushul
fikih.

Di masa-masa muta'akhirîn, terjadi reduksi makna. Ilmu


fikih tidak lagi dikaitkan dengan ilmu ushul fikih. Para
fuqaha bukan lagi seorang yang mendalami ilmu ushul
fikih beserta hasil ijtihad yang dihasilkan. Namun fuqaha
adalah orang yang mengetahui seluk beluk ilmu fikih
saja. Atau fuqaha adalah orang yang hafal terhadap
berbagai persoalan fikih tanpa harus mengetahui
bagaimana hukum fikih ini dihasilkan.

Sebenarnya, reduksi dalam ilmu fikih ini juga implikasi


dari sebab pertama, yaitu ditutupnya pintu ijtihad.
Sementara kebutuhan ilmu fikih tetap ada. Karena
seorang fuqaha pada masa-masa awal disyaratkan harus
mengetahui sistematika berijtihad, maka kemudian para
ulama muta'akhirîn mengurangi atau membuang syarat
ini dengan menyatakan bahwa syarat bagi seorang
fuqaha hanya mengetahui hukum-hukum fikih saja. Dia
tidak harus mengerti dari mana dan bagaimana hukum
fikih ini dihasilkan. Dari sini terlihat sekali bahwa
mempelajari ilmu ushul fikih menjadi tidak berguna
sama sekali.

3. Setiap madzhab hanya melihat kepada persoalan fikih


sesuai dengan madzhabnya sendiri tanpa mau
mengadakan kajian komparatif terhadap madzhab
lainnya. Ini terjadi karena pada masa-masa muta'akhirîn,
para ulama merasa tidak sanggup lagi melakukan ijtihad
sehingga mereka hanya fokus kepada satu madzhab saja.
Juga disebabkan karena mereka tidak lagi merasa

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 21
mampu untuk melakukan tarjih di antara pendapat para
para fuqaha. Yang lebih fatal lagi adalah bawa
argumentasi mereka terhadap pendapat imam madzhab
melebihi argumentasi Qur'an atau Sunnah. Mereka
hanya dapat menukil pendapat imam-imam madzhab,
namun tanpa mengetahui sama sekali mengenai sumber
ijtihad para Imam. Bahkan mereka tidak berani untuk
kembali langsung melakukan ijtihad dari al-Qur'an atau
as-Sunnah

Tentu saja ini berimplikasi negatif kepada ilmu ushul


fikih. Ilmu ushul hanya dijadikan sebagai justifikasi
mazhab saja. Padahal pada masa-masa awal, ilmu ushul
menjadi timbangan dalam berijtihad. Segala persoalan
akan dikembalikan kepada ilmu ushul dan ilmu ini pula
nantinya yang akan melahirkan ilmu fikih.

4. Kondisi politik yang tidak stabil di akhir khalifah


Abbasiyah, khususnya setelah khalifah Abasiyah
dikuasai oleh orang-orang Turki, kemudian orang-orang
Buwaihiyyah dan Bani Saljuk. Pada masa-masa
kekuasaan mereka, banyak terjadi pergulatan politik
sehingga melemahkan kekuatan khilafah Abbasiyah.
Banyak terjadi gerakan sparatis dalam kekhalifahan
Abbasiyah dan muncul negara-negara kecil yang
memisahkan diri dari negara Abbasiyah. Hal ini
diperparah lagi setelah khalifah Abbasiyah runtuh dan
dikuasai oleh Mughul. Banyak buku-buku pengetahuan
yang dibakar dan dibuang ke sungai Tigris serta ribuan
para ulama dibunuh. Perpustakaan-perpustakaan Islam
juga dibakar.

22 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Ketidakstabilan politik juga berpengaruh negatif
terhadap perkembangan ilmu ushul fikih secara khusus
dan ilmu–ilmu pengetahuan secara umum. Sebagaimana
jamak diketahui bahwa ilmu pengetahuan akan
berkembang dengan pesat di bawah situasi dan kondisi
yang aman sehingga seseorang dapat berfikir secara
jernih dan konsentrasi penuh terhadap suatu cabang
ilmu pengetahuan. Kondisi ini juga mendorong
seseorang untuk dapat bersifat kreatif dan produktif.
Dengan kondisi politik yang tidak stabil, tentu juga
berpengaruh negatif terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan.

5. Banyak sekali ilmu-ilmu pengetahuan yang sama sekali


tidak ada hubungannya dengan ilmu ushul fikih, namun
dimasukkan ke dalam ilmu ushul fikih sehingga ilmu
ushul menjadi sebuah cabang ilmu yang sangat berat. Ini
bisa dilihat dari masuknya ilmu kalam, ilmu bahasa, ilmu
hadis dan ilmu ulumul Qur'an ke dalam ilmu ushul
fikih.1

Fenomena Kemunduran Ilmu Ushul Fikih

Sebelumnya sudah kami sebutkan mengenai berbagai faktor-


faktor yang mengakibatkan terjadinya kejumudan dalam
ilmu ushul fikih. Berikut ini, penulis akan menyampaikan
mengenai fenomena yang dapat dilihat akibat kemunduran
ilmu ushul fikih. Di antara fenomena yang dapat dilihat
antara lain adalah:

1 Abu al-Fadh Abdussalam bin Muhammad Abdul Karim, op cit, hal. 25-35

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 23
1. Ilmu-ilmu ushul fikih hanya menjadi ilmu
pengetahuan saja tanpa dijadikan sebagai suatu
sarana untuk berijtihad.
2. Terjadinya banyak ringkasan (ikhtisharat) atau
tambahan (hasyiyah) yang sesungguhnya semakin
mempersulit dalam pemahaman terhadap ilmu ushul
fikih.
3. Terjadi fanatisme buta dalam ilmu ushul fikih. Para
ulama tidak lagi melakukan ijtihad dan inovasi baru
dalam bidang ilmu ini.
4. Ilmu ushul fikih kurang mendapatkan perhatian yang
memadai akibat fatwa bahwa pintu ijtihad sudah
ditutup. Akibatnya, para santri hanya disuruh untuk
menghafal berbagai persoalan furuiyyah dalam ilmu
fikih.
5. Ilmu ushul fikih hanya dijadikan sebagai justifikasi
untuk menguatkan madzhab tertentu saja, bukan
sebagai timbangan dalam berijtihad.
6. Ilmu ushul fikih terpisah dengan ilmu fikih. Ilmu
ushul hanya menjadi teori kering yang tidak
bersentuhan dengan ilmu-ilmu fikih.
7. Para fuqaha jarang sekali menggunakan justifikasi
hukum melalui ilmu ushul fikih. Sebaliknya, mereka
hanya terfokus pada pendapat fikih yang sudah ada
dari para imam-imam sebelumnya.
8. Terjadinya banyak pengulangan dalam penulisan
ilmu ushul fikih, sehingga kesannya antara ulama satu
dengan yang lainnya ketika menuliskan ilmu ushul
seperti saling plagiat.
9. Kecenderungan untuk melakukan ringkasan atau
bahkan memberikan keterangan yang terlalu
berlebihan dalam ilmu ushul fikih.

24 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
10. Bahasa yang digunakan oleh ulama muta'akhirîn
cenderung rumit sehingga ilmu ushul fikih terkesan
ilmu yang sangat sulit dan rumit. Ini berakibat orang
menjadi malas untuk belajar ilmu ushul fikih.
11. Kurang pandai dalam menyajikan berbagai materi
ilmu ushul fikih. Tentu ini sangat berbeda dengan
para ulama sebelumnya yang memberikan penyajian
secara sistematis sehingga mempermudah para santri
untuk mempelajarinya.1

Akibat yang Ditimbulkan dari Kejumudan Ilmu Ushul


Fikih

Kejumudan ilmu ushul fikih berimplikasi negatif terhadap


perkembangan ilmu pengetahuan secara umum. Di bawah
ini, kami akan menyebutkan beberapa hal, di antaranya
adalah:
1. Semakin melemahnya ilmu ushul fikih, bahkan
terkesan bahwa kajian ilmu ushul sudah mati dan
tidak dapat dikembangkan lagi. Ilmu ushul
dipandang sebagai ilmu yang sudah sempurna dan
tidak perlu lagi adanya inovasi baru untuk
mengembangkan cabang ilmu ini.
2. Ilmu ushul fikih tidak lagi mempunyai peran strategis
seperti pada masa-masa generasi awal.
3. Banyak orang yang tidak tertarik lagi untuk belajar
ilmu ushul fikih akibat penulisan ilmu ushul fikih
yang terlalu rumit. Juga akibat doktrin ijtihad sudah
ditutup sehingga para santri merasa bahwa belajar
ilmu ushul fikih tidak ada gunanya lagi.

1 Ibit, hal. 37-40

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 25
4. Akibat kemunduran ilmu ushul fikih, berakibat
kepada kemunduran ilmu fikih. Hal ini karena ilmu
ushul merupakan piranti yang dapat menghasilkan
ilmu fikih. Jika piranti ini sudah terjadi kejumudan,
secara otomatis juga akan berakibat jumud dalam
ilmu fikih.
5. Banyak orang yang sesungguhnya secara keilmuan
masih sangat rendah, namun sudah berani
memberikan fatwa sehingga mengharamkan sesuatu
yang dihalalkan, atau menghalalkan sesuatu yang
diharamkan. Tentu ini akibat dari ketidakmampuan
mereka dalam menguasai piranti ijtihad.

Demikianlah sekilas tentang rekonstruksi ilmu ushul fikih.


Ilmu ushul fikih bukanlah satu metodologi yang sempurna,
namun ia masih membutuhkan perbaikan agar lebih sesuai
dengan perkembangan zaman. Ushul fikih klasik perlu
mendapat kajian dan penulisan ulang disesuaikan dengan
konteks kekinian. Karena bagaimanapun juga, ilmu ushul
fikih berjalan dan berkembang sesuai dengan problematika
yang berkembang pada saat itu. Hanya saja, tidak semua
muatan dalam ilmu ini memungkinkan adanya perubahan.
Mengadakan pembaruan juga memerlukan standar yang
jelas. Dengan demikian, rekonstruksi ilmu ushul juga dapat
berjalan sesuai dengan harapan.

Ushul Fikih dan Pemecahan Persoalan Kontemporer

Al-Qur'an dan as-Sunah adalah dua sumber hukum yang


sangat terbatas, sementara persoalan umat Islam tidak
terbatas. Apalagi di era globalisasi dan informasi saat ini,
banyak bermunculan berbagai macam persoalan yang belum
pernah terjadi pada masa lampau, baik yang berasal dari

26 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
dalam tubuh umat Islam sendiri, maupun yang datang dari
luar. Tentu saja, berbagai macam persoalan tersebut
membutuhkan kepastian hukum. Hukum di sini tidak hanya
berkaitan dengan halal-haram saja, namun juga berkaitan
dengan sikap kita dalam menghadapi berbagai macam
persoalan hidup.

Ushul fikih, sebagai piranti ijtihad tentu juga harus mampu


memberikan solusi. Hanya saja, ushul fikih yang kita terima
dari warisan para ulama kita terdahulu, muncul dari ruang
waktu yang berbeda dengan kondisi kita saat ini. Mereka
mampu melakukan berbagai upaya penambahan ataupun
pengurangan dalam bangunan ilmu ini. Tentu bukan
berangkat dari ruang kosong, namun dari tuntutan situasi
dan kondisi pada waktu itu.

Melihat kondisi kita yang juga sudah jauh berbeda dengan


kondisi mereka, tentu rekonstruksi usul fikih menjadi sangat
mendesak. Jika hal ini dilakukan, maka secara otomatis, ilmu
fikih yang merupakan hasil dari ushul fikih juga akan
mengalami perkembangan. Dengan kata lain, berbagai
persoalan yang dihadapi umat Islam juga akan mendapatkan
solusi alternatif sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Di
bawah ini penulis akan menguraikan secara singkat
mengenai persoalan yang muncul pada masa ini.

1. Dalam urusan ibadah. Belakangan memang persoalan


umat Islam sangat kompleks, termasuk di dalamnya
persoalan ibadah. Pada masa-masa terdahulu orang
belum terpikirkan untuk melakukan shalat di luar
angkasa, mengetahui awal bulan ramadan atau Syawal
dengan ilmu dan teknologi modern, perluasan Arafah
yang konon keluar dari medan Arafah dan lain

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 27
sebagainya. Semua itu tentu membutuhkan kepastian
hukum.

2. Dalam urusan muammalat. Belakangan muncul berbagai


interaksi bisnis yang belum pernah ada pada masa
sebelumnya, seperti penggunaan kartu ATM, kartu
kredit, asuransi, perbankan, bursa, pasar saham dan
lain sebagainya. Jika Abu Yusuf dapat menelurkan
kitab al-Kharaj sebagai buku pegangan pemerintah
dalam menyikapi sistem ekonomi negara, bagaimana
dengan kita?

3. Dalam bidang politik, muncul sistem politik yang


berbeda dengan generasi awal Islam. Demokrasi sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Perlu adanya kajian mendalam
mengenai hubungan Islam dan demokrasi. Kebebasan
yang diterapkan oleh negara demokrasi, tentu
mengandung hal-hal yang bersifat positif dan negatif.
Perlu ada penyikapan dan batasan yang jelas, sehingga
tidak merugikan kepentingan agama, jiwa, harta beda,
akal dan keturunan.

Belum lagi masalah relasi antara pemerintah dengan


rakyat, perlu peraturan yang jelas. Sehingga wakil
rakyat ataupun penguasa dapat bergerak dan bertindak
demi kemaslahatan masyarakat. Korupsi tidak hanya
disikapi sebagai halal-haram saja, namun ada solusi
alternatif yang dapat membentuk sebuah tatanan
pemerintahan yang bersih.

Belum lagi jika kita kaitan dengan penyikapan


pemerintah terhadap pemeluk agama. Apakah ahli

28 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
dzimmah masih layak dipertahankan, atau ada konsep
lain yang barangkali lebih sesuai dengan zaman
sekarang? Jika Ibnul Qayyim dalam kitabnya, ahwâlu
ahli dzimmah dapat memberikan etika interaksi dengan
ahludzimmah, bagaimana kita memberikan solusi
ketika hidup di negeri yang penduduknya menganut
banyak agama?

Kaitannya dengan hubungan internasional, juga perlu


mendapatkan penyikapan yang arif. Bagaimana kita
menyikapi istilah dârul al-harbi, dâr al-Islam dan dâr al-
ahdi untuk konteks kontemporer. Al-Mawardi dengan
kitab al-Ahkam as-Sulthaniyahnya, dapat menuliskan
buku politik yang sangat ideal untuk konteks zaman
pada waktu itu. Demikian juga dengan para ulama-
ulama lain, seperti Ibnu Taimiyah dalam syiyâsah
syariyyah, Ibnul Qayyim Thuruqul Hukmiyyah dan lain
sebagainya. Mereka begitu cemerlang dalam
merumuskan fikih politik untuk masa itu.
Persoalannya, apakah kita mampu seperti mereka?

4. Kaitannya budaya, harus ada standar yang jelas


mengenai budaya yang sesuai dengan nilai dan norma
keislaman. Perlu adanya rumusan sehingga dapat
menjadi acuan bagi umat Islam. Dengan demikian, kita
dapat mengembangkan budaya kita dan dapat
menyeleksi semua budaya asing sesuai dengan syariat
Islam. Dengan demikian, umat tidak mudah untuk
menolak, atau menerima budaya asing begitu saja,
namun ada acuan yang jelas. Apalagi era tegnologi
informasi semakin kuat, maka panduan ke arah sana
menjadi semakin urgen.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 29
5. Kaitannya dengan masalah sosial, dalam Islam
disebutkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Hanya
bagaimana konsep masyarakat ideal tersebut, tentu
juga membutuhkan pemikiran kongkret, sehingga ia
tidak hanya tertulis dalam ayat al-Qur'an. Ia benar-
benar menjadi ide yang membumi sesuai dengan
konteks kita.

6. Persoalan sosial lainnya, masalah kemiskinan,


kebodohan, ketidakadilan dan lain sebagainya.
Bagaimana solusi kongkret yang diberikan Islam?
Tentu acuannya adalah al-Qur'an dan sunnah Nabi.
Semua itu membutuhkan rumusan sehingga konsep
Islam benar-benar dapat terealisasikan dalam
masyarakat.

7. Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam


hukum fikih, masalah hak dan kewajiban bukanlah hal
yang baru. Dalam ushul fikih pun sesungguhnya telah
dibahas tentang hak dan kewajiban seorang manusia,
bahkan ketika dia masih dalam perut ibunya. Namun
bagaimana agar konsep-konsep tersebut dapat
dirumuskan dengan baik dan disosialisasikan dalam
masyarakat sehingga terkesan bahwa umat Islam
bukan hanya bangsa yang selalu mengikuti alur
pemikiran peradaban Barat. Juga perlu ada kejelasan,
antara konsep HAM yang ditawarkan oleh Islam
dengan HAM yang ditawarkan oleh Barat sehingga
masyarakat mempunyai pegangan yang jelas.

8. Kaitannya dengan lingkungan. Islam sangat


mendorong umatnya untuk menjaga dan memelihara
lingkungan. Bahkan salah satu tugas manusia di muka

30 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
bumi adalah untuk menjadi khalifah. Dengan kata lain,
manusia mempunyai wewenang besar untuk mengatur
dan memakmurkan bumi. Namun bagaimana
kemakmuran ini bisa tercapai? Bagaimana supaya
lingkungan tempat kita tinggal, tidak mudah tercemar
dan ternodai? Bagaimana supaya berbagai industri
tidak merusak lingkungan yang pada akhirnya akan
berbahaya bagi umat manusia? Sementara Islam
memerintahkan umatnya untuk selalu menjaga agama,
jiwa, harta, keturunan dan akal? Jika Ibnu Thufail
dalam kitabnya Hay Ibnu Yaqzhan dapat menguraikan
secara apik relasi manusia dengan alam, bagaimana
dengan kita? Lagi-lagi, di sini membutuhkan konsep
yang membumi. Perlu adanya langkah-langkah
kongkret sehingga jargon Islam adalah tinggi dan tidak
ada yang lebih tinggi dari Islam bukan hanya isapan
jempol.

9. Dalam bidang kedokteran. Masalah operasi plastik,


kloning, bayi tabung dan lain sebagainya. Jika Ibnu Sina
dianggap sebagai dokter bedah pertama, bagaimana
dengan kreativitas dokter muslim saat ini? Banyak
persoalan baru yang menanti kejelasan hukum.

Apa yang kami sampaikan di atas hanyalah sekelumit


persoalan yang membutuhkan pemecahan. Tentu saja
dengan piranti ilmu ushul fikih. Pertanyaannya, apakah
ushul fikih klasik yang kita pelajari selama ini sudah
cukup untuk dijadikan sebagai piranti dalam berijtihad
ketika kita berhadapan dengan berbagai persoalan yang
lebih komplek seperti ini? jika memang belum cukup,
lantas apa yang kiranya perlu dilakukan
pengembangan? Mungkinkah cabang-cabang ilmu

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 31
baru yang bermunculan belakangan dapat dijadikan
sebagai alat bantu untuk mengembangkan ilmu ushul
fikih? Inilah berbagai pertanyaan yang harus kita jawab.

Penutup

Dari uraian penulis di atas, penulis dapat menyimpulkan


bahwa rekonstruksi ilmu ini menjadi sebuah keniscayaan.
Ushul fikih bukanlah cabang ilmu yang sudah mati. Ia masih
bisa hidup dan berkembang sesuai dengan ruang waktu
untuk menjawab berbagai persoalan yang sedang dihadapi
oleh umat Islam. Perlu digarisbawahi di sini bahwa
persoalan fikih tidak hanya hitam putih, halal atau haram.
Ilmu fikih juga bukan hanya mengkaji seputar interaksi
manusia dengan Tuhan, namun juga interaksi manusia
dengan manusia dan manusia dengan alam di sekitarnya.
Lebih dari itu, fikih berkaitan dengan solusi alternatif yang
dihadapi umat dengan mengacu kepada al-Qur'an dan al
sunnah.

Jika ushul fikih sebagai sebuah piranti ijtihad semakin


sempurna, secara otomatis banyak persoalan umat yang
akan terselesaikan. Jika hal ini dapat dilakukan, maka umat
Islam tentu akan mampu membangun peradaban besar
dengan tetap bersandar kepada standar al-Qur'an dan al-
Sunnah.

Sebagai penutup, bahwa kita perlu menengok sejarah masa


lalu. Jika melihat sejarah, penulis selalu iri dengan
kepandaian dan kelihaian ulama terdahulu dalam
memberikan pemecahan terhadap berbagai macam
persoalan umat pada waktu itu. Bahkan hebatnya, persoalan
yang belum pernah terjadi pun, sudah mereka prediksi dan

32 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
sudah ditentukan hukum fikihnya. Penulis sangat terkejut
ketika membaca kitab al-'I'tisham karya imam Syatibi, yang
wafat pada tahun 790 Hijriyah. Dalam kitabnya tersebut,
beliau sudah mengandai-andai, bahwa jika suatu kali nanti
umat Islam berhaji naik pesawat, maka hukumnya adalah
mubah. Karena pesawat bagian dari sarana (wasa'il), bukan
maksud dari ketetapan hukum syariah. Waktu itu belum ada
pesawat, namun hukumnya sudah beliau fatwakan.1
Bagaimana dengan kondisi kita saat ini? Para ulama saat ini,
sejatinya berpacu dengan waktu. Setiap hari selalu dihadapi
persoalan baru. Umat membutuhkan para guru yang benar-
benar menjadi pewaris ilmu para nabi. Semoga harapan
umat dapat terwujud.

1 Imam Abu Ishak Syathibi, Al-I'tishâm , Maktabah at-Taufiqiyyah, cet I, hal. 193

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 33
BAB II

Ushul Fikih Kontemporer;


Melacak Pemikiran Dr. Ali Jum’ah

34 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Biografi Singkat Dr. Ali Jum’ah

Dr. Ali Jumah dilahirkan di kota Bani Suwef 1952. Pada tahun
1973, beliau berhasil meraih gelar Bachelor (BA) dari fakultas
ekonomi universitas Ainu al-Syams. Tahun 1979
memperoleh gelar License (Lc) dari Universitas al-Azhar,
pada tahun 1985 meraih gelar Magiser (MA) dari kuliah
Syariah wa’l Qanun di Universitas al-Azhar, dan pada tahun
1988 meraih gelar Doktor (Dr) juga dari universitas yang
sama.

Beliau adalah guru besar ilmu ushul fikih kuliah Dirâsât


Islâmiyyah wa ‘Arabiyyah di Universitas al-Azhar. Sejak tahun
1995, beliau masuk menjadi anggota Lajnah Fatwa di
lembaga al-Azhar. Tahun 1996 ikut bergabung menjadi
anggota Lajnah Fikih di Majlis A’la li Syu’ûni’l Islâmiyyah.
Sejak tahun 1992, beliau menjabat sebagai penasehat
akademi dan direktor kantor Kairo pada The International
Institute of Islamic Though (IIIT). Sejak tahun 1993 diangkat
menjadi wakil direktor pada Markaz Shâlih Abdullah Kâmil
untuk ekonomi Islam di Universitas al-Azhar.1 Sejak tahun
2003, beliau menjabat sebagai Mufti negara untuk Republik
Arab Mesir.

Beliau juga ikut aktif dalam penerbitan berbagai jurnal ilmiah


seperti: al-Muslim al-Ma’âshir, Rabithah al-Jâmi’ah al-Arabiyyah,
jurnal al-Islam, dan jurnal Kuliyah al-Dirâsât al-Islâmiyyah wa
al-Arabiyyah. Beliau sering mengikuti berbagai seminar baik
atas nama pribadi atau mewakili Imam Akbar Syeikh al-
Azhar di berbagai negara seperti Inggris, Spanyol,
Philiphina, Rusia, Amerika, Malaysia, Jepang dan lain-lain.

1 Dr. Ali Jum’ah, Al-Madkhal, Al-Ma’had al-‘Âlamiy li’l Fikri al-Islâmiy. 1996

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 35
Beliau sangat produktif khususnya dalam bidang ilmu ushul
fikih. Di antara karya beliau adalah: al-Musthalah al-ushûliy,
Qadhiyyatu tajdîd ushûli’l Fikih, al-Hukmu al-Syar’iy ‘inda al-
Ushûliyyîn, al-Madkhal li dirâsat al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,
Alâqatu ushûli’l Fikih bi al-Falsafah, Mabâhits al-Amr inda
Ushûliyyîn, al-Ru’yâ wa Hujjiyatuhâ al-Ushûliyyah, al-
Nadhariyât al-Ushûliyyah, al-Naskhu ‘inda al-Ushuliyyîn, dan
lain-lain.1

Relasi antara Ilmu Ushul Fikih dengan Filsafat

Menurut Dr. Ali Jum’ah bahwa ilmu ushul fikih merupakan


cabang ilmu yang murni lahir dari dunia Islam, dan bukan
cabang ilmu yang diadopsi dari bangsa lain. Hanya dalam
perkembangan selanjutnya, ushul fikih mengalami banyak
perkembangan termasuk juga memasukkan cabang ilmu lain
yang berasal dari luar ke dalam ilmu ushul fikih. Pertanyaan
selanjutnya, apakah ilmu ushul fikih juga terpengaruh oleh
filsafat? Jika ada, sejauh mana perkembangan filsafat dalam
ilmu ushul fikih?

Menurut Dr. Ali Jum’ah, ilmu ushul fikih tidak dapat


dilepaskan dari filsafat. Metodologi sebagai piranti ilmu
pengetahuan merupakan bagian dari filsafat, sementara ilmu
ushul fikih juga merupakan suatu metodologi. Konklusinya
adalah bahwa ilmu ushul fikih bagian dari filsafat.

Kajian ilmu ushul fikih mencakup sarana yang harus


dilakukan mujtahid ketika berinteraksi dengan nash syar’i,
sehingga ketetapan hukum dari nash dapat diketahui.

1 Ibid.

36 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Ketetapan hukum tersebut sering disebut sebagai al-hukmu,
yaitu khihtâbullah (wacana Allah) yang berkaitan dengan
tingkah laku seorang mukallaf untuk melakukan suatu
pekerjaan (al-iqthidhâ’), atau memilih suatu pekerjaan (al-
takhyîr), atau berkaitan dengan sebab datangnya suatu
hukum (al-wadh’iy). Dari sini persoalan yang berkaitan
dengan hukum fikih dapat diketahui. Sebagaimana
diketahui bahwa tema sentral dari ilmu fikih adalah
pekerjaan manusia, sementara tema sentral dari ilmu ushul
adalah dalil-dalil yang bersifat global untuk menentukan
ketetapan hukum.1

Dalam hal ini, Imam al-Razi mengatakan bahwa ushul fikih


merupakan kumpulan piranti fikih secara global, sistematika
menggunakan metodologi tersebut dan juga kajian mengenai
kondisi psikologis mujtahid. Hal senada juga diungkapkan
oleh imam Baidhawi. Menurutnya, ilmu ushul merupakan
piranti yang digunakan untuk mengetahui dalil-dalil fikih
secara global, sistematika penggalian hukum, dan kajian
mengenai kondisi psikologis mujtahid.

Dari dua pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu


ushul fikih mencakup tiga point penting, yaitu:
1. Kajian mengenai sumber-sumber penelitian
(mashâdiru’l bahtsi).
2. Metodologi yang digunakan.
3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi mujtahid.

Dengan melihat tiga point di atas, maka diharapkan dalam


mengadakan suatu penelitian seorang mujtahid dapat

1 Dr. Ali Jum’ah, Ilmu Ushûli’l Fikih wa ‘Alâqatuhu bi’l Falsafah al-Islâmiyyah, Al-Ma’had al-Âlamiy li’l Fikri al-Islâmiy,
cet. I, 1996, hal. 7-10.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 37
terhindar dari kajian yang bersifat apologis dan subyektif,
serta mampu mengadakan penelitian secara obyektif.

Untuk sampai pada hakekat kebenaran yang diinginkan,


seorang mujtahid dituntut untuk dapat berfikir logis. Hal ini
dapat dimulai dengan sikap skeptis terhadap obyek kajian
yang akan dijadikan sebagai pijakan dasar argumentasi.
Dalam hal ini, obyek kajian utama adalah al-Qur’an dan al-
Sunnah. Dari sini dibutuhkan piranti tertentu yang dapat
memberikan gambaran jelas mengenai otentitas dua sumber
hukum tersebut. Jika otentitas dua sumber tersebut dapat
dipertanggungjawabkan, maka langkah selanjutnya adalah
mencari piranti untuk dapat memahami keduanya. Agar hal
ini dapat terwujud, tentunya diperlukan satu metodologi
tertentu sehingga apa yang kita harapkan dapat tercapai
sesuai dengan tujuan. Metodologi itu kemudian disebut
dengan ilmu ushul fikih.1 Rumusan global dalam ilmu ushul
fikih juga tidak dapat dilepaskan dari pandangan mujtahid
secara komperhensif terhadap kajian filsafat Islam dan ilmu
kalam.2

Jika tema sentral kajian filsafat berkaitan erat dengan


eksistensi Tuhan, manusia dan alam, kajian mengenai ilmu
logika dan etika, maka sesungguhnya tema tersebut juga
dikaji dalam ilmu ushul fikih. Dalam filsafat Islam, juga
dikaji mengenai otentitas sumber hukum Islam, sistematika
interaksi dengannya dan juga prasyarat yang harus dipenuhi
bagi seorang mujtahid. Dari situ nampak sekali bahwa tema
kajian antara ilmu ushul fikih dengan filsafat Islam terdapat
titik kesamaan.

1 Ibid., hal. 9
2 Ibid., hal 7-10

38 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Lebih jelasnya, mengenai relasi antara ilmu ushul dengan
filsafat dapat diketahui dari tiga tingkatan:
1. Sejauh mana relasi antara keduanya.
2. Sejauh mana dampak yang dihasilkan.
3. Mengambil sisi positif dari relasi antar keduanya.

Mengenai relasi antara ushul fikih dengan filsafat dapat


diketahui dari beberapa obyek kajian, di antaranya adalah:

a. Tema Kajian yang Sama

Ilmu kalam memposisikan diri sebagai sebuah ilmu yang


memfokuskan diri pada kajian filsafat Islam. Di dalamnya
terdapat kajian dan jawaban mengenai persoalan wujûd dan
‘adam, kajian mengenai epistemologi, dan kajian mengenai
filsafat etika. Ia berbicara mengenai hakekat wujud, tabiat
wujud, kualitas dan kuantitas wujud, metodologi berfikir
dan tingkata-tingkatan pemikiran ketika berinteraksi dengan
wujud. Ilmu kalam juga mencakup kajian mengenai
persoalan tauhid, interaksi dengan alam raya dan kajian
mengenai kebersihan psikologi seseorang (tazkiyatu al-nafsi).
Bahkan ilmu kalam juga mencakup kajian terhadap bagian-
bagian etika seperti persoalan keadilan Tuhan, baik dan
buruk bagi Tuhan (al-tahshîn wa al-taqbîh) apakah dapat
diketahui dengan akal ataukah tidak.

Dengan menggunakan model pertanyaan berantai, kita akan


menemukan bahwa kajian dalam ilmu ushul fikih juga akan
merambah pada kajian ilmu kalam. Contoh: Kenapa khamar
diharamkan? Jawaban pertama adalah karena khamr
memabukkan. Dalam istilah ulama ushul sering disebut
sebagai illatu’l hukmi. Selanjutnya kita sebut sebagai al-illah al-

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 39
ûlâ. Pertanyaan kedua, kenapa sesutu yang memabukkan
diharamkan? Jawabannya, karena sesuatu yang
memabukkan dapat menggangu eksistensi akal manusia.
Sementara menjaga eksistensi akal merupakan bagian dari
tujuan diturunannya syariah (maqâshid al-syar’iy).
Selanjutkan ini disebut sebagai al-illah al-tsâniyah. Petanyaan
selanjutnya, mengapa Tuhan melarang sesuatu yang dapat
menghilangkan eksistensi akal manusia? Jawabannya adalah
karena akal merupakan sebab seseorang mendapatkan beban
hukum syara’ (manâtu al-taklîf). Sementara taklîf merupakan
tujuan Allah terhadap penciptaan manusia.

Model pertanyaan berantai seperti contoh di atas dapat


menuntun kita kepada pengetahuan mengenai sumber
utama suatu cabang ilmu pengetahuan dan juga relasi ilmu
tersebut dengan cabang ilmu lainnya. Para ulama ushul
sendiri mengatkan bahwa ilmu ushul fikih bersumber dari
tiga cabang ilmu, yaitu ilmu kalam, bahasa dan fikih Islam.1

b. Perdebatan dalam Ilmu Ushul

Filsafat juga sangat berpengaruh terhadap ilmu ushul fikih.


Hal ini dapat dilihat dari sistem perdebatan filosofis dalam
berbagai tema ushul fikih. Contoh sederhana adalah
kaitannya dengan filsafat bahasa. Di sini terjadi perbedaan
pendapat, apakah teks bahasa dapat dijadikan sebagai
argumentasi yang akan menghasilkan ketetapan hukum
yang bersifat pasti (qath’iy) ataukah tidak (dzanniy)? Menurut
imam al-Razi, bahwa argumentasi teks bahasa hanya akan
menghasilkan ketetapan hukum yang tidak pasti (zhanniy),
sementara sesuatu yang didasari dari premis yang tidak pasti

1 Ibid., 13-17

40 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
(zhanniy) akan menghasilkan kongklusi yang tidak pasti juga
(zhanniy). Hanya saja, menurutnya, pendapat yang
mengatakan bahwa tidak mungkin mendapatkan ketetapan
hukum yang bersifat pasti dari argumentasi teks bahasa
dapat dihilangkan jika terdapat indikator (qarînah) yang
menyertai teks tersebut. Dengan demikian, ketetapan hukum
dari teks bahasa dapat bersifat pasti (qath’iy). Indikator
(qarînah) dapat berupa argumen yang dapat diterima secara
langsung karena bersifat aksioma, atau berita yang sampai
kepada kita secara mutawâtir.”1

Dari uraian singkat di atas kiranya sangat jelas apa yang


dipaparkan Dr. Ali Jum’ah bahwa ilmu ushul fikih memiliki
relasi sangat erat dengan filsafat. Bahkan dapat dikatakan
bahwa ilmu ushul fikih sama sekali tidak dapat dilepaskan
dari filsafat. Ushul fikih mengkaji eksistesi ketuhanan,
manusia dan alam raya. Ushul fikih juga mengkaji tema-tema
yang berkaitan dengan filsafat etika dan ilmu logika. Selain
itu, Ilmu ushul fikih sangat terpengaruh oleh filsafat bahasa.
Bahkan dalam ilmu ushul fikih terdapat kajian spesifik
mengenai teks bahasa terutama yang berkaitan dengan ilmu
semantik. Dari ilmu semantik tersebut terjadi perbedaan
pendapat yang cukup luas sehingga berimplikasi pada
perbedaan dalam memberikan ketetapan hukum syar’i.

Bahkan dapat dikatakan bahwa perkembangan bahasa


dalam kajian ilmu ushul jauh lebih maju dibandingkan
perkembangan bahasa dari ulama nahwu sendiri. Ulama
ushul tidak hanya mengkaji mengenai gramatikal bahasa,
namun lebih dari itu mendalami makna-makna detail yang
terkandung dalam simbul bahasa. Pendalaman terhadap

1 Ibid., 18-19

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 41
simbul bahasa muncul dari satu pertanyaan, apakah teks
bahasa dapat memberikan informasi mengenai hakekat
kebenaran ataukah tidak. Dalam hal ini terjadi perbedaan
dikalangan para ulama. Sebagian ulama menganggap bahwa
teks bahasa sama sekali tidak dapat memberikan informasi
mengenai hakekat kebenaran, sementara sebagian lain
menganggap teks bahasa dapat dijadikan sebagai informasi
kebenaran.

Rekonstruksi Ilmu Ushul Fikih

Rekonstrusi ilmu ushul fikih sesungguhnya sudah mulai


mencuat sejak lama. Bahkan bisa dikatakan bahwa Ibnu
Hazm dan Imam Syathibi sudah mengusulkan hal ini, seperti
ushulan pembahasan kalam dan bahasa dipisahkan dari
kajian ilmu ushul fikih.

Untuk rekonstruksi ilmu ushul fikih di era kontemporer,


pernah juga diwacanakan oleh Dr. Hasan Turabi. Ia
menganggap bahwa ushul fikih saat ini sudah tidak relevan
dengan perkembangan zaman. Baginya, ushul fikih klasik
merupakan jawaban terhadap problematika umat yang
berkembang pada saat itu yang masih sangat sederhana.
Sementara permasalahan kontemporer semakin luas dan
sangat kompleks. Jika memang ilmu ushul fikih adalah
jawaban atas realitas sosial kemasyarakatan yang
dipengaruhi ruang dan waktu, maka untuk menjawab
berbagai tantangan yang terus meluas dibutuhkan ushul
fikih yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman.

Hanya saja menurut Dr. Ali Jum’ah, apa yang dilontarkan


oleh Dr. Hasan Turabi baru sebatas wacana dan usulan
terhadap rekonstruksi mengenai ilmu ushul fikih dan belum

42 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
menyentuh kepada rekonstruksi dalam ushul fikih. Dr.
Hasan Turabi tidak menjelaskan tema mana saja yang sudah
tidak sesuai dengan konteks kekinian dan juga tema apa
yang perlu ditambahkan agar lebih sesuai dengan situasi dan
kondisi.

Menurut Dr. Ali Jum’ah bahwa ilmu ushul fikih merupakan


cabang ilmu yang bersumber dari tiga cabang ilmu sekaligus,
yaitu ilmu kalam, ilmu bahasa dan ilmu fikih. Sementara itu,
bahasa Arab merupakan ilmu yang diterima secara turun
temurun (naqliyyah). Bahasa Arab, yang menjadi bahasa al-
Quran dianggap sudah final. Maka untuk merubah makna
teks bahasa atau struktur dalam tatanan bahasa Arab
menjadi sesuatu yang tidak mungkin.

Di samping ilmu bahasa, ilmu kalam juga tidak terpengaruh


terhadap ruang dan waktu. Mengenai eksistensi ketuhana,
sifat Tuhan, mukjizat, surga dan neraka, sama sekali tidak
terpengaruh oleh perubahan zaman. Kaitannya dengan ilmu
fikih, ilmu ushul fikih juga mencakup kajian mengenai
kaidah fiqhiyyah yang diambil dari kajian induktif dari
hukum fikih.1

Berbeda dengan Dr. Hasan Turabi, Dr. Salim al-Awa


menginginkan agar rekonstruksi dapat dimuali dari analisa
kritis terhadap penerapan ilmu ushul fikih tersebut. Dengan
kata lain, ia masih sepakat terhadap kandungan ilmu ushul

1 Di sini perlu dibedakan antara kaidah fiqhiyyah dengan kaidah ushûliyyah. Kaidah fiqhiyyah merupakan kajian
mengenai kaidah umum (qadhâyâ kuliyyah) yang mencakup berbagai persoalan hukum fikih. Sementara kaidah
ushûliyyah lebih bergerak dalam tataran analisa mengenai sumber hukum, sejauh mana sumber hukum tersebut
dapat dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah, urutan-urutan sumber hukum dalam beristidlâl, syarat-syarat istidlâl dan
juga metodologi dan kaidah tertentu dalam beristidlâl. Lebih lengkapnya lihat, Prof. Dr. Bakar Ismail, Al-qawâid al-
Fiqhiyyah baina al-Ishâlah wa al-tawjîh, Dar al-Manân, 1997, hal. 13

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 43
fikih klaik, hanya saja ketika berhadapan dengan realita yang
berbeda, maka ushul fikih harus menyesuaikan diri sehingga
akan menghasilkan fikih yang berbeda pula. Ilmu ushul fikih
klasik masih dapat memberikan jawaban terhadap realitas
kontemporer tanpa harus merubah bahkan menghancurkan
kerangka dasar ilmu ushul fikih itu sendiri.1

Dr. Ali Jum’ah sendiri cenderung sepakat dengan


rekonstruksi ilmu ushul. Hanya saja beliau memberikan
beberapa catatan, diantaranya adalah:

1. Ilmu ushul fikih yang sampai kepada kita saat ini


memberikan kajian cukup luas. Di dalamnya terdapat
berbagai definisi mengenai tema-tema tertentu, kaidah
dan perosalan-persoalan tertentu. Jika dilihat lebih lanjut,
para ulama terdahulu memberikan definisi sangat
mendetail, seperti mengenai al-‘âm, al-kithab dan
seterusnya. Mengadakan perubahan dalam tataran ini
sangat sulit, jika tidak dikatakan sebagai sesuatu yang
mustahil.

Persoalannya, terkadang apa yang dikehendaki ulama


salaf tidak dapat dipahami oleh khalaf. Untuk itu, perlu
dibentuk mu’jam mushthalahât ushûliyyah yang dapat
menerangkan secara jelas mengenai berbagai definisi dan
persoalan ushul lainnya.

2. Kaitannya dengan kaidah ushul, seperti al-amru yufîdu’l


wujûb illa idzâ sharafathu qarînah (kata perintah
menunjukkan makna wajib terkecuali terdapat indikator
yang menunjukkan kepada makna lain). Kaidah seperti

1 Dr. Ali Jum’ah, Qadhiyatu tajdîd Ushûli’l Fikih, Dâru’l Hidâyah, 1993, hal. 21

44 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
ini sangat membantu dan dapat memberikan sumbangan
yang sangat besar terhadap proses ijtihad. Pada dasarnya
kaidah tersebut diambil dari kajian induktif dari kaidah-
kaidah teks bahasa. Untuk mempermudah pemahaman,
diperlukan tabel dan juga contoh praktis. Dengan
demikian, kaidah ushul tidak hanya berkutat dalam
tataran teoritis, namun juga dapat diterapkan secara
langsung dalam contoh praktis.

3. Perlunya pendalaman ilmu semantik, karena ilmu ini


barkaitan erat dengan makna bahasa, apakah suatu
bahasa memiliki makna haqîkiy atau majâziy, ‘âm atau
khâsh dan demikian seterusya. Dalam ilmu semantik akan
dikaji secara mendetail mengenai makna teks bahasa.
Teks bahasa merupakan kumpulan dari kata-kata.
Sementara makna bahasa akan sangat dipengaruhi oleh
struktur dari susunan kata-kata tersebut.

4. Ilmu ushul fikih perlu dibukukan sesuai dengan


susuanan dan model pembukuan kontemporer. Ushul
fikih juga perlu dipermudah dan disederhanakan dengan
menghindari berbagai perdebatan lafazh ulama klaik
yang kiranya tidak berpengaruh pada penetapan hukum.

5. Sedapat mungkin ilmu ushul fikih dapat mengambil


pelajaran dari metodologi ilmu sosiologi, dan demikian
juga sebaliknya, ilmu sosiologi dapat mengambil
pelajaran dari metodologi ilmu ushul fikih.

6. Sementara dari segi kandungan dapat diadakan kajian


ulang sebagai berikut:

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 45
a. Memasukkan ilmu maqâshid, ilmu qawâ’id, furuq
dan al-takhrîj dalam ilmu ushul fikih supaya lebih
kelihatan dalam tataran praktis.
b. Membuang al-dakhîl. Maksudnya adalah
menghindari kajian yang tidak berkaitan erat
dengan ilmu ushul. Ilmu lain yang berkaitan jauh
dengan ilmu ushul dapat dibukukan secara
independen seperti ilmu kalam, logika dan ilmu
bahasa.
c. Membuat daftar isi agar dalam berinteraksi
dengan ilmu ushul fikih semakin mudah.
d. Menyusun kembali ilmu ushul fikih secara
sederhana setelah membuang al-dakhîl.
Menerangkan perbedaan pendapat dari ulama
ushul serta mencantumkan pendapat yang
dianggap paling râjih.

7. Mengembangkan tema kandungan ilmu ushul:


a. Menerangkan piranti-piranti yang perlu
digunakan dalam mengeluarkan permasalahan
furû’iyyah (takhrîju’l furû’), mengaitkan dengan
kaidah fiqhiyyah dan disertakan keterangan
mengenai manfaat yang dapat diambil dari
berbagai perbedaan pendapat tersebut.
b. Menjadikan maqâshid syar’iy sebagai sandaran
dalam fatwa.
c. Mengembangkan dan mengkaji kembali sumber-
sumber hukum dan metodologi yang perlu
digunakan (mashâdir-manâhij-adawât).
d. Ijma dan ijtihad dirubah dalam bentuk lembaga-
lembaga formal.
e. Menggunakan metodologi ilmu ushul fikih dalam
ilmu-ilmu sosial.

46 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
f. Menggunakan metodologi ilmu-ilmu sosial
dalam ilmu ushul fikih.
g. Memanfaatkan berbagai cabang ilmu baru yang
dapat membantu dalam pengembangan ilmu
ushul fikih. 1

Problematika Ijtihad Kontemporer

Ijihad secara etimologi berasal dari kata ijtahada yang berarti


bazhzhala dan thalaba, yaitu bersunggu-sungguh dan
meminta sesuatu. Secara terminologi adalah seorang faqih
bekerja keras untuk menghasilkan suatu ketetapan hukum
syar’i yang bersifat zhanniy. 2

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa rukun ijtihad ada


dua, yaitu al-mujtahid dan al-mujtahid fîh. Menurut beliau
bahwa hukum ijtihad adalah fardhu kifâyah. Jika dalam suatu
kaum sudah ada orang yang melakukan ijtihad, maka akan
menggugurkan kewajiban bagi kaum secara keseluruhan.
Namun sebaliknya, jika dalam suatu kaum tidak ada
seorangpun yang mampu berijtihad, maka seluruh kaum
tersebut akan menanggung beban dosa.

Ijtihad sendiri merupakan sesuatu yang sangat urgen. Hal ini


dapat dilihat dari dua hal:
1. Zhanniyatu al-nushûsh. Artinya bahwa sebagian besar
dari nash syar’i memiliki lebih dari satu makna.
2. Nash-nash syar’i sangat terbatas sementara relalitas yang
dihadapi umat manusia tidak terbatas. 3 Dari sini maka
dapat dikatakan bahwasanya fungsi ijtihad adalah

1 Dr. Ali Jum’ah, Âlyâtu’l Ijtihâd, al-Risâlah, cet. I 2004, hal. 52


2 Ibid., hal. 9
3 Ibid., hal. 10

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 47
memberikan kesinambungan terhadap ketetapan hukum
syar’i yang telah terputus bersama dengan berhentinya
wahyu. 1

Jika dikatakan bahwa ijtihad merupakan kesinambungan


terhadap ketetapan hukum syar’i, apakah kemudian menjadi
keharusan bahwa ijtihad harus selalu sampai kepada hakekat
kebenaran? Sebagaimana yang disinyalir oleh imam Syafi’i,
bahwa ijtihad adalah usaha maksimal yang dilakukan oleh
mujtahid untuk mencari hakekat kebenaran. Hanya saja,
kebenaran yang sesungguhnya hanya berada di sisi Allah.
Maka tidak dibenarkan bagi seorang mujtahid untuk
menyalahkan secara mutlak terhadap hasil ijtihad orang lain
yang berbeda. 2

Ada beberapa kendala yang sering dihadapi oleh para


mujtahid, diantaranya adalah:
1. Bahwa nash-nash syar’i sangat terbatas sementara
problematikan yang dihadapi umat manusia tidak
terbatas.
2. Terpisahnya berbagai cabang ilmu dan piranti ijtihad.
3. Problematika ijtihad dalam tataran praktis. Artinya
kajian mengenai ilmu ushul lebih banyak pada tataran
teoritis, namun tidak menyentuh langsung dengan
contoh praktis.
4. Problem dalam memahami nash al-Qur’an
5. Problem dalam memahami al-Hadits.
6. Problem dalam memahami konteks dan indikator
(qarînah) yang terdapat dalam suatu nash.

1 Ibid., hal. 15
2 Ibid., hal. 41

48 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
7. Problematika dalam ilmu ushul fikih itu sendiri, baik
dari segi metodologi penulisan, independensi ilmu
ushul dari ilmu fikih, sampai pada permasalahan
perdebatan kaidah dalam ilmu ushul.
8. Probelm perubahan adat dan tradisi.
9. Problem dalam memberikan susunan ilmu ushul fikih
secara sistematis.
10. Problem mengenai argumentasi yang dapat disepakati
bagi para mujtahid. Implikasi persoalan di atas nampak
jelas kaitannya dengan ta’ârud dan tarjîh.
11. Probelm kiyas dalam tataran praktis.

Persoalan yang juga sering menjadi polemik dikalangan para


ulama ushul adalah mengenai ijtihad Rasulullah Saw.
Menurut beliau, sebenarnya problem ataupun pertanyaan
seputar ijtihad Rasul merupakan pengaruh dari filsafat
Yunani. Menurutnya, dalam filsafat Yunani terjadi
perdebatan apakah seorang yang mampu melakukan kajian
komperhensif terhadap suatu permasalahan dan dapat
mencari hakekat kebenaran secara pasti (qath’iy), sementara
di sisi lain, terdapat metodologi lain yang dapat
mengantarkan pada hakekat kebenaran namun tidak pasti
(zhanniy), apakah kemudian ia dibolehkan meninggalkan
cara pertama dan melaksanakan ijtihad dengan cara kedua?

Pertanyaan seperti ini kemudian berkembang di dunia Islam,


yaitu apakah Rasulullah yang memiliki nash qath’iy dari
Allah dibolehkan melakukan ijtihad yang bersifat zhanniy?

Menurut Dr. Ali Jum’ah, sesungguhnya Rasululluh Saw


sama sekali tidak melakukan ijtihad. Apa yang difatwakan
Rasulullah merupakan wahyu Allah. Jadi tugas Rasul
hanyalah sebagai seorang yang menyampaikan apa yang

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 49
diperintahkan Allah semata. Hanya saja pada satu waktu
Allah akan memberikan peringatan mana yang lebih
prioritas untuk dikerjakan oleh Rasulullah Saw. 1

Penutup

Dr. Ali Jum’ah termasuk pioner dalam kajian ilmu ushul fikih
kontemporer. Baginya, ilmu ushul fikih merupakan
metodologi yang dapat berkembang sesuai dengan tempat
dan waktu. Sebagai satu metodologi, tentu saja ilmu ushul
fikih sangat terpengaruhi oleh kondisi sosial yang
melatarbelakangi pembentukan ilmu tersebut. Mengingat
bahwa sejak pembukuan awal ilmu ushul hingga saat ini
telah berlangsung selama sekian abad, maka sudah menjadi
satu keniscayaan untuk kemudian mengembangkan,
mengkaji ulang dan menyesuaikan ilmu ushul sesuai dengan
konteks kekinian. Maka rekonstruki ilmu ushul mejadi satu
keniscayaan. Hanya yang dibutuhkan kemudian adalah
standar yang jelas sehingga rekonstruksi ilmu ushul dapat
berjalan sesuai dengan harapan.

Berbagai cabang ilmu lain yang kiranya dapat menjadi


sumbang sih dalam pengembangan ilmu ushul dapat
dijadikan sebagai masukan konstruktif. Keterbukaan
terhadap berbagai cabang ilmu baru menjadi suatu
keniscayaan. Jika dahulu imam Ghazali tidak segan
memasukkan logika Yunani dalam kajian ilmu ushul, maka
sudah selayaknya kita meniru jejak beliau. Tidak ada
salahnya jika ilmu ushul mengadopsi berbagai metodologi
luar seperti ilmu sosial dan lain sebagainya selama itu dapat
menguatkan bangunan ilmu ushul fikih. Di samping itu,

1 Ibid., hal. 93-94

50 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
ilmu ushul fikih juga dapat melebarkan sayap, tidak hanya
berkutat pada kajian fikih end sich, namun juga lebih
progresif kepada garapan lain seperti ilmu-ilmu sosial.
Dengan demikian diharapakan bahwa ushul fikih tidak
jumud dan rigit, namun tetap mampu manjadi metodologi
yang dapat diandalkan bagi perkembangan peradaban Islam
kedepan.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 51
BAB III

Akal Ushûlî dalam Pemikiran


Islam;
Menguak Landasan Pemikiran Dr.
Yusuf al-Qaradawi

Ushul fikih merupakan metodologi ijtihad yang digunakan


oleh para fuqaha untuk mencari solusi alternatif terhadap
berbagai macam persoalan umat. Ushul fikih tidak hanya
berkutat pada halal haram suatu persoalan, lebih dari itu, ia
adalah acuan yang dapat dijadikan sebagai pegangan para

52 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
fuqaha sehingga solusiyang ditawarkan selalu sesuai dengan
apa yang digariskan Allah dalam kitab suci.

Karena itu, sejak Rasul meninggal, para ulama selalu


berusaha untuk mencari jalan dalam rangka mencari
ketetapan hukum tersebut. Untuk itu mereka telah memiliki
metodologi tersebut. Hanya pada masa sahabat, metodologi
tersebut belum terbukukan. Bahkan di masa-masa
setelahnya, ilmu fikih lebih dahulu dibukukan dibandingkan
dengan ilmu ushul fikih.1

Jika kita melihat pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradawi dengan


menelaah buku-buku karyanya, dengan jelas kita akan
menemukan mengenai bangunan pemikiran yang
digunakan olehnya. Dalam menyikapi berbagai persoalan
umat, ia selalu menyandarkan pemikirannya pada ilmu
ushul fikih.

Dalam banyak bukunya, baik yang berkaitan dengan


ketetapan hukum maupun ketika ia memberikan solusi
alternatif terhadap berbagai persoalan umat, ia tidak pernah
lepas dari kaidah-kaidah ushul fikih.

Banyak ijtihadnya yang saat ini dijadikan pegangan bagi


umat Islam di seluruh penjuru dunia. Ijtihad adalah sebuah
keharusan. Apalagi persoalan kontemporer semakin
kompleks. Banyak persoalan umat baik yang berkaitan
dengan sistem ekonomi, politik, hukum, sosial dan lain
sebagainya, yang muncul dan belum pernah terjadi
sebelumnya. Dengan itihad, umat Islam akan dapat

1 Al-Imam Abu Zahrah, Ushûlu’l Fikih, Dâru’l Fikri’l `Arabiy, Kairo, 2004. hal. 14

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 53
menyikapi berbagai persoalan tersebut secara bijak dan
sesuai dengan ketentuan hukum syariat.

Menurut Qaradawi, ijtihad dapat dibagi menjadi dua, ijtihad


tarjîhî dan ijtihad insya’î. Ijtihad tarjîhî adalah mencari solusi
permasalahan yang sudah dikaji oleh ulama terdahulu
sehingga tugas mujtahid hanya sekedar mencari dalil yang
dianggapnya paling kuat (rarjih). Dalam hal ini, ijtihad sama
sekali lepas dari sekat-sekat madzhab. Sementara ijtihad
insya’î adalah mencari solusi permasalahan kontemporer
yang belum pernah dikaji oleh ulama terdahulu dengan
merujuk langsung kepada sumber hukum Islam dengan
menggunakan metodologi ilmu ushul fikih. Menurutnya,
ijtihad seperti ini sangat mendesak melihat kenyataan bahwa
banyak permasalahan baru yang belum pernah muncul
sebelumnya. Jika pun pernah terjadi pada masa lalu, fatwa
mereka perlu dikaji ulang mengingkat perbedaan tempat,
waktu dan tradisi yang sangat berpengaruh pada perubahan
hukum.1

Dari sinilah muncul ijtihad-ijtihad Qaradawi yang terkadang


dianggap sebagian kalangan kontraversial. Dan dari sini
pula, ia menelurkan berbagai fikih baru yang sebelumnya
kurang mendapat perhatian serius di dunia Islam. Dalam
karyanya, Qaradawi seringkali menggunakan kata fikih,
bahkan sebagian judul bukunya menggunakan istilah fikih
seperti; min fikihi al daulah fi’l Islam, fî fikihi awlawiyât,
fikihuzzakât, fikihu ughniyât wal mûsîqî dan demikian
seterusnya. Qaradawi ingin mengembalikan ishtilah fikih
sebagaimana mestinya. Fikih bukan hanya berkaitan dengan

1 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah Fikihu al Thohâroh.
Maktabah Wahbah

54 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
ketentuan hukum, namun fikih adalah pemahaman
mendalam terhadap permasalahan keagamaan.1

Biografi Singkat Dr. Yusuf al-Qaradawi

Dr. Yusuf al-Qaradawi dilahirkan sebagai anak yatim di


salah satu desa dari propinsi al Ghorbiyah Mesir pada tahun
1926. Ia dibesarkan dan diasuh oleh pamannya. Ketika masih
kanak-kanak, ia belajar di surou (katatib) sebagaimana tradisi
di desanya pada saat itu. Ia hafal al-Qur’ân sebelum
umurnya mencapai 10 tahun. Seringkali ia ditunjuk sebagai
imam shalat khususnya shalat Subuh.

Dari surou (katatib), ia masuk ke pesantren (ma’had) Azhar. Ia


selalu mendapatkan nilai terbaik sehingga salah seorang
gurunya sering memanggilnya dengan sebutan “al ‘alâmah”
(orang pandai). Setelah menyelesaikan pendidikan pesantren
(ma’had), ia melanjutkan kuliah di Universitas al-Azhar
fakultas Ushuludin dan berhasil menyelesaikan program S I
tahun 1952. Pada tahun 1954, ia dapat menyelesaikan kuliah
Bahasa Arab dan mendapatkan ijin (ijazah) untuk mengajar.
Pada tahun 1958, ia meraih gelar diploma dari Institut
Dirasah Arabiyah di bidang bahasa dan sastra Arab. Tahun
1960, mendapatkan gelar MA dan baru pada tahun 1973
mendapatkan gelar Doktoral dari Universitas yang sama.

Tahun 1961, ia mendapat tawaran pemerintah Qatar menjadi


direktur di salah satu perguruan tinggi terkemuka. Di sana,
ia banyak melakukan perbaikan dan pengembangan
terutama mengenai metodologi pengajaran, yaitu dengan

1 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Awlawiyâtu’l harakah al Islâmiyah. Mu’assasah al Risâlah hal 26.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 55
menyeimbangkan pengajaran kitab kuning dengan kitab-
kitab kontemporer.

Pada tahun 1973, ia merintis Fakultas Studi Islam sekaligus


diangkat sebagai dekan di Universitas Qatar. Pada tahun
1977, merintis fakultas Syariah sekaligus menjadi dekan di
Universitas yang sama sampai tahun 1989. Selain itu, ia juga
merintis dan menjadi koordinator di Pusat Studi Sunah dan
Sejarah Nabi.

Beberapa kali ia mendapatkan penghargaan internasional,


diantaranya adalah penghargaan raja Faishal (1413 H),
penghargaan dari pemerintah Malaysia (1996), dari Sultan
Brunai Darussalam (1997) dan lain sebagainya.

Ia terkenal sebagai orang yang sangat kritis dan produktif.


Sampai saat ini, karyanya lebih dari 100 buku dari berbagai
cabang ilmu Islam seperti, fikih dan shul fikih, ekonomi
Islam, ‘ulumul qur’ân dan sunah, aqidah, da’wah dan
tarbiyah, shohwah islamiyah, buku berkala mengenai Islam
solusi alternatif, pemikiran Islam, biografi tokoh, sastra dan
lain sebagainya. Sebagian bukunya adalah tanggapan atas
wacana pemikiran yang sedang berkembang pada saat itu.
Sebagai contoh, ketika tentara Mesir kalah perang dengan
Israel pada tahun 67, banyak kalangan menuding bahwa
kekalahan disebabkan oleh ajaran Islam. Maka Dr. YusufAl
Qaradawi menulis buku dengan judul “Darsu’l Nakbah al
Tsâniyah: Limâdzâ Inhazamnâ wa Kaifa Nantashir?” (pelajaran
dari musibah yang kedua; mengapa kita kalah, dan
bagaimana supaya kita dapat meraih kemenangan?). Ketika
orang-orang kiri Arab membanggakan ide-ide sosialis dan
sekuleris, ia menanggapinya dengan mengeluarkan buku
berkala mengenai “al Hatmiyah al Hallu al Islâmî” (Islam solusi

56 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
alternatif) sebanyak 5 buku. Ketika umat Islam mengalami
kebingungan mengenai format negara Islam, ia juga
mengeluarkan buku “Min Fikihi al Daulah fi’l Islam”(fikih
politik dalam Islam), demikian seterusnya.

Di dunia Islam, pemikiran Qaradawi sudah tidak asing lagi,


selain karena mengandung ide-ide pembaharuan, juga selalu
memadukan antara fikih dengan realitas sehingga fatwanya
dapat diterima banyak kalangan.

Ia tidak hanya seorang penulis, namun juga seorang yang


sangat aktif dalam berdakwah lewat berbagai organisasi
Islam. Sebenarnya, ia telah memulai berdakwah semenjak
berumur 16 tahun, mulai dari desanya sendiri dan desa-desa
lain di sekitarnya. Sejak ia keluar dari penjara tahun 1957, ia
mendapat tugas mentri wakaf Mesir untuk menjadi khotib
tetap di masjid Zamalik Kairo. Namun karena Qaradawi
terlalu kritis dan sering dihadiri ribuan jamaah, akhirnya
presiden Abdul Nasr mencabut izin khotbah. Selain
berdakwah di masjid-masjid dan tulisan, ia juga berdakwah
lewat stasion TV dan jaringan internet. Saat ini, ia
mempunyai jadwal khusus di jaringan TV al Jazîrah Qatar
dengan program “syarî’ah wal hayâh”. Acara ini merupakan
dialog terbuka seputar permasalahan keagamaan dengan
para pemirsa dari seluruh dunia. Sebagian buku dan hasil
pidatonya telah didokumentasikan dalam bentuk kaset dan
CD.

Ia sering mendapat tawaran menjadi dosen tamu di berbagai


negara, dan juga sering menghadiri berbagai konferensi
internasional mengenai pemikiran Islam kontemporer.
Disamping itu, ia aktif di berbagai organisasi Islam,
diantaranya adalah sebagai anggota Yayasan Islam (Jam’iah

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 57
Khoiriyah Islâmiyah) Kuwait, wakil Yayasan Zakat Kuwait,
anggota Majelis Idârî sundûqi’l Islâmî li’l zakât wa’l shodaqoh,
anggota Dewan Pusat Studi Islam di Oxsford, pakar di
Majma’ Fikih OKI, ketua Majelis Fatwa Eropa, anggota
Ikhwan Muslimin dan lain sebagainya. Organisasi terakhir
inilah yang seringkali menyebabkannya keluar masuk
penjara, yaitu tahun 1949 pada masa raja Faruq, bulan
November tahun 1954, bulan September di tahun yang sama
dan baru dikeluarkan pada tahun 1954, dan kembali
dijebloskan kedalam penjara tahun 1963.1

Dr. Yusuf al-Qaradawi dan Rekonstruksi Ilmu Usul Fikih

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa perkembangan


ilmu ushul fikih bersamaan dengan ilmu fikih. Hanya saja
pembukuan fikih lebih dulu dari pada ilmu ushul fikih.
Sebagian besar ulama mengatakan bahwa orang pertama kali
yang membukukan ilmu ushul fikih adalah imam Syafi’i.
Dalam kitab ar-risalah, ia banyak membahas mengenai posisi
al Qur’ân dan al Sunnah sebagai landasan argumentatif
dalam hukum, kiyas, ijmak, nasîkh dan mansûkh, amr dan
nâhi dan seterusnya. Baru kemudian bermunculan para
ulama membukukan ilmu ushul sesuai dengan aliran dan
kemampuan ijtihad mereka masig-masing.2 Untuk itulah,
meskipun ilmu ushul fikih adalah landasan teoritis dalam
penggalian hukum syar’i, tetap saja dalam materi tertentu
terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Contoh sederhana adalah mengenai sumber hukum Islam.
Menurut Dr. Yusuf al Qardhâwû bahwa sumber hukum
Islam yang sudah menjadi kesepakatan sebagian besar para

1 Lebih lengkapnya lihat, ‘Ishom Talîmah, Al QaradawiFaqîhan. Dâru al Tauzî’ wa al Nasyr hal. 11-27
2 Dr. Abdul Karîm Zaidân, al Wajîz Fî ushûli’l Fikihi. Mu’assasah al Risâlah hal 16

58 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
ulama hanya ada empat, yaitu al Qur’ân, al Sunnah, ijmâ’ dan
kias. Sementara sumber hukum Islam lainnya seperti
mashlahah mursalah, ishtishlâh, istihsân, ishtishhâb, syar’u man
qablanâ, aqwâl al shohâbî belum ada kesepakatan.1
Pertanyaannya adalah, apakah ushul fikih sebagai satu
metodologi penggalian hukum syar’i bersifat statis? Artianya
tidak menerima perbaikan dan perubahan, ataukah
sebaliknya bersifat elastis sebagaimana permasalahan
cabang (furû‘iyah) dalam fikih?

Sebenarnya wacana mengenai rekonstruksi ilmu ushul fikih


sudah cukup lama. Bagaimanapun juga, ushul fikih adalah
satu metodologi hukum yang dihasilkan dari pemikiran
manusia. Namuan demikian, menurut Qaradawi ada hal-hal
tertentu yang tidak dapat berubah (statis), yaitu dua sumber
hukum Islam al Qur’ân dan Sunnah serta kaidah-kaedah
fikih yang dihasilkan dari dua sumber tersebut.

Hal lain yang bersifat statis selain al Qur’ân dan Sunnah,


adalah kaidah fikih yang digali dari nas qath’î, seperti:

‫ضَرَر َوالَ ِضَر َار‬


َ َ‫ال‬
Artinya: Tidak ada bahaya dan tidak membuat bahaya

‫اص ِد َها‬
ِ ‫األُمور ِِبََق‬
ُُْ
Artinya: Setiap perkara bergantung kepada tujuannya

1 Dr Yûsuf al Qardhâwi, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah Wahbah hal.
41

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 59
‫الو ْس ِع‬ ِ ِ ُ ‫التَّكلِْي‬
َ ‫ف ِبَ ْسب‬
Artinya: Beban syariat bergantung kepada kemampuannya

Kaidah dasar fikih inilah yang sering dijadikan timbangan


penggalian hukum.

Namun tidak semua pembahasan dalam ilmu ushul bersifat


qath’î, bahkan sebagian besar lainnya bersifat dzannî, dalam
artian masih ada celah untuk melakukan berbaikan dan
perubahan. Selain itu, banyak kajian ilmu ushul yang belum
mendapat tanggapan serius oleh para ulama, seperti masalah
sunnah tasyrî’iyah dan ghairu tasyrî’iyah, ilmu maqashid, fikih
sahabat dan tabi’in serta metodologi mereka dalam
penggalian hukum.1

Dari sini dapat dipahami bahwa Dr. Yusuf al Qaradawi


menyetuji atas ide rekonstruksi ilmu ushul fikih, terutama
sistematika penulisan, serta dalam bentuk pengembangan
pembahasan. Hanya saja, ia memberikan batasan-batasan
tertentu. Dalam tataran metodologi, ia menyeru agar ilmu
ushul fikih lebih disistematiskan, disederhanakan dan
disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
kontemporer. Di sisi lain, banyak hal-hal yang berkaitan erat
dengan ilmu ushul yang belum mendapat perhatian layak.

Dr. Yusuf al-Qaradawi dan Fikih Maqashid

1 Ibid. hal.41-42

60 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Maqashid syar’i adalah tujuan umum dari berbagai hukum
dalam syari’ah. Menurut Ibnu Qoyim bahwa tujuan utama
diturunkannya hukum syar’i adalah demi kemaslahatan
manusia serta menghindari segala sesuatu yang dapat
menimbulkan kesengsaraan (madlorot) bagi manusia. Namun
demikian bukan bearti maslahat di sini berdasarkan
penilaian manusia, namun maslahat dalam pandangan
syari’at. Manusia sering terpengaruhi oleh hawa nafsu
sehingga penilaian terhadap suatu mashlahah sangat
subyektif. Manusia sering kali mengira bahwa sesuatu dapat
memberikan manfaat bagi dirinya, padahal yang terjadi
adalah sebaliknya, dapat menimbulkan kesengsaraan.
Kalaupun dapat memberikan manfaat, madhorotnya lebih
besar. Manusia juga sering mengedepankan kepentingan
pribadi dengan mengorbankan kepentingan umum, atau
mencari maslahat yang bersifat temporal dengan
mengorbankan maslahat yang bersifat abadi. Bagaimanapun
juga, kondisi psikologis manusia akan berpengaruh terhadap
sikap dan arah pemikirannya. Oleh karena itu, menurut
Qardhâwî, maslahat yang sebenarnya adalah maslahat yang
dilandasi dari hukum syar’i.1

Maslahat dalam suatu hukum syar’i dapat diketahui dari


zhahir nas yang bersifat sharih (jelas). Hanya saja, nas tidak
mencakup semua tujuan dasar dari ketentuan hukum.
Menurutnya, hanya mereka yang mempunyai pemahaman
mendalam mengenai ilmu maqhashid yang dapat
mengetahui kandungan yang tersirat dari nas tersebut.
Khusus mengenai fikih ibadah, para ulama tidak merasa
perlu mencari tujuan dasar atas perintah ibadah, karena

1 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati wa Maqashidihâ, Maktabah Wahbah hal.
101 dan hal 230

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 61
ibadah berkaitan dengan interaksi manusia dengan Tuhan.
Maka dalam fikih ibadah para ulama meletakkan kaidah
fikih

ِ ‫ب ُُُد َواِْاللتَِزام الن‬


‫َّص‬ ِ ِ َ‫ْاال‬
ً ‫ص ُل ِف اْلعبَ َادة التً َع‬
ْ
Artinya: Landasan hukum dalam beribadah adalah
menyembah Allah serta mengikuti apa yang tertera dalam
nas.

Lain halnya dengan fikih mu’amalah yang memerlukan


pemahaman terhadap illah serta tujuan tasyri’inya. Dalam
hal ini para ulama ushul meletakkan kaidah fikih:

ِ ‫ات اِ ََل اْملع ِاِن واْمل َق‬


‫اصد‬ ِ ‫ت اْ ِاللْتِ َف‬
ِ ‫ات واملعام ََل‬
ِ ‫األصل ِِف اْلعاد‬
َ َ ََ َ َُ َ ََ ُْ
Artinya: Prinsip hukum mengenai tradisi dan interaksi
dengan manusia adalah melihat maksud dan tujuan.1

Maslahat dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan:


a. Dharûriyât (kebutuhan primer)
b. Hâjiyât (kebutuhan sekunder)
c. Tahsîniyât (kebutuhan eksekutif)

Dharûriyat adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia,


dan jika hal itu hilang dari manusia akan menimbulkan
ketimpangan dan kekacauan dalam masyarakat sehingga
manusia akan sengsara baik di dunia maupun di akhirat.2

1 Ibid. hal 272-273


2 Dr. Abdul Karîm Zaidân, al Wajîz Fî ushûli’l Fikihi. Mu’assasah al Risâlah hal 378

62 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Para ulama klasik mengelompokkan dhorûriyât ke dalam
lima tingkatan:1

a. Hifdz al-din (menjaga agama)


b. Hifdz al-nafs (menjaga jiwa)
c. Hifdz al-aql (menjaga akal)
d. Hifdz al-nasl (menjaga keturunan)
e. Hifdz al-mâl (menjaga harta)

Imam Ibnu Asyur menambahkan “al-hurriyah” (kebebasan),


sementara Muhammad al-Ghazali menambahkan “al ‘adâlah”
(keadilan) wa’l masâwah (kesetaraan).2 Qaradawi juga
menyerukan rekonstruksi ilmu maqashid baik dalam tataran
metodologi ataupun materi.3 Contoh dharûriyât adalah
kewajiban melaksanakan shalat, memerangi para penyebar
bid’ah dan lain sebaginya demi menjaga eksistensi agama,
ketentuan hukuman qishas bagi pembunuh demi menjaga
keselamatan jiwa, kewajiban memotong tangan pencuri demi
menjaga keselamatan harta, dilarang meminum khamer
karena dapat merusak akal, dan dilarang berzina karena
dapat merusak keturunan, dan demikian seterusnya.4

Dhorûriyât yang merupakan kebutuhan primer bagi umat


manusia tidak hanya terdapat dalam ajaran Islam, namun
juga agama samawi lainnya. Karena memang berkaitan erat
dengan keselamatan dan keamanan manusia. Maka Islam

1 Op. cit. hal. 87


2 Bin Zaghîbah Izzudin, al maqashid al Ammah li al Syarî’ah al Islâmiyah. Dâru al shofwah hal. 166
3 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah Wahbah hal
42
4 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati wa Maqashidihâ, Maktabah Wahbah hal
87

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 63
sebagai agama samawi terakhir sangat memperhatian dan
memberikan prioritas pada masalah ini.1

Kaidah dasar dalam ilmu ushul, termasuk juga kaidah fikih


sebenarnya muncul dari pemahaman ulama atas maqashid
‘ammah (tujuan global) dalam syari’at. Kaidah ushul dan
kaidah fikih merupakan landasan teoritis bagi para
mujtahidin dalam melakukan penggalian hukum. Qaradawi
sebagai salah seorang mujtahid, dalam penggalian hukum
syar’i tidak pernah lepas dari kaidah dasar tersebut,
sebagaimana dapat kita lihat jelas dari berbagai karyanya.

Demi menjaga eksitensi lima hal di atas, para ulama


meletakkan berebapa kaidah fikih, diantaranya adalah “al
dhorûrot tubîhu al mahdhûrot, al dlorûrot tuqaddaru bi qadrihâ,
idzâ dhoqot ittasa’at” dll. Maka sesuatu hal yang sebenarnya
diharamkan syari’at jika memang kondisi mendesak dan
merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwa,
seperti makan daging babi di tengah padang pasir,
hukumnya menjadi wajib.

Dalam banyak bukunya, Qaradawi memberikan perhatian


lebih terhadap maqashid ‘ammah (tujuan global) dalam
syari’at serta selalu mengaitkan nas-nas al juz’iyah, yaitu nas
yang sudah menjelaskan secara rinci mengenai suatu hukum,
dalam ruang lingkup nusus maqasid syar’i al kuliyât, yaitu nas
yang hanya memberikan rincian global.2

Menurutnya, memahami ilmu maqashid bagi seorang


musjtahid, adalah suatu keharusan. Namun demikian ilmu

1 Ibid. hal 88
2 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah Wahbah hal
90

64 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
maqashid belum mendapatkan kajian secara serius.
Qaradawi dalam berbagai karyanya selalu mengingatakan
pentingnya pendalaman ilmu ini serta selalu menghimbau
para tokoh cendekia agar memposisikan ilmu maqashid
sebagaimana mestinya. Karena menurutnya, pemahaman
yang salah terhadap ilmu maqashid akan berdampak pada
pemberian fatwa yang salah juga.1

Qaradawi membagi pemahaman para ulama terhadap nas


menjadi tiga aliran;
1. Kaum literalis. Mereka yang memahami nas secara
literal tanpa melihat lebih jauh tujuan dasar
diturunkannya hukum syari’i. Qaradawi menamakan
aliran ini dengan istilah neo Zahiriyyah (dhahîriyatu’l
judud). Mereka seperti penganut mazhab dhahîrî klasik
yang menolak ‘illah dalam hukum syariat serta enggan
untuk mengaitkan hukum dengan ilmu maqashid.
Bagi Qardawi, pamahaman tekstualitas seperti ini
dapat berakibat pada kebekuan pemikiran umat
Islam.
2. Kaum liberalis. Kebaliakan dari aliran pertama, yaitu
mereka yang mengklaim dirinya sebagai orang yang
salalu memahami nas sesuai dengan ilmu maqashid.
Jargon yang sering mereka dengungkan adalah bahwa
yang terpenting dalam urusan agama adalah
pemahaman substansi dari teks dan bukan teks
redaksi dari nas. Mereka tidak membedakan antara
dalil qath’i dan dzanni. Bahkan mereka cenderung
menafsirkan nas sesuai dengan kepentingan mereka.
Jika mereka menghadapi nas sharih, sementara

1 Ibid. hal 92-93

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 65
bertentangan dengan arah pemikiran mereka, maka
nas tersebut akan ditakwil. Akibatnya adalah
pemahaman yang salah dan terkesan ngawur
terhadap tek-teks al-Qur'ân maupun Sunnah.
Ironisnya mereka mengklaim dirinya sebagai kaum
reformis. Corak pemikiran mereka menjadi sangat
liberal.
3. Moderat. Mereka adalah aliran yang memahami nas
secara moderat, tidak literal namun juga tidak liberal.
Mereka memahami nas juz’î sesuai dengan maqashid
kulî, mengembalikan permasalahan furu’iyah ke dalam
nas kuliyah, selalu berpegang kepada nas qoth’i tsubut
dan dalâlah, menghindari nas mutasyabbihât dan
kembali kepada nas muhkamât. Qaradawi sendiri
mengklaim dirinya sebagai pengikut aliran ini.
Menurutnya, aliran inilah yang paling mampu
mengekspresikan hakikat Islam serta dapat
menyelamatkan ajaran Islam dari perubahan dan
penyelewengan yang dilancarkan musuh Islam.

Aliran pertama, yaitu mereka yang terlalu literal, menurut


Qaradawi banyak merugikan dakwah Islam dan
menghalangi penerapan syari’ah Islam. Di samping itu,
pemahaman literal dapat merusak citra Islam dari
pandangan kaum pemikir kontemporer karena terkesan
bahwa Islam adalah agama jumud dan tidak dapat
berkembang sesuai dengan tempat dan waktu.

Pemahaman tekstualitas juga berakibat pada ketidak-


mampuan mereka dalam menghadapi problematika
kontemporer, seperti soal ekonomi, politik, sikap
deskriminatif terhadap kaum wanita, mengharamkan wanita
memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, dan lain

66 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
sebagainya. Parahnya lagi mereka berusaha menerapkan
fikih klasik dalam realitas kontemporer tanpa melihat
perubahan tempat dan waktu.

Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka menolak segala


hal yang berasal dari luar Islam meskipun dapat memberikan
nilai positif bagi umat Islam dengan argumentasi bahwa hal
itu berarti menambah dalam urusan agama (bid’ah). Maka
tidak heran jika mereka juga menolak partai politik,
demokrasi, dan lain sebagainya karena anggapan bid’ah itu
tadi. Lebih parah lagi, mereka menolak zakat dengan mata
uang karena dianggap tidak sesuai dengan nas. Bahkan
sebagian ulama dari mereka menganggap bahwa harta yang
berbentuk uang kertas tidak dikenakan zakat. Alasannya
adalah bahwa uang pada masa nabi terbuat dari emas atau
perak yang mempunyai nilai tersendiri.

Di sisi lain, terdapat pemikir yang terlalu substansionalis,


bahwa segala sesuatu dalam syari’at mempunyai tujuan-
tujuan tertentu. Mereka kurang memperhatikan dan bahkan
cenderung berpaling dari nas-nas juz’iyah dengan
argumentasi demi kemaslahatan umum dan sesuai dengan
maqashid syar’i.

Qaradawi menyebut aliran ini sebagai “neosubstansionalis”


mewarisi pemikiran substansionalis klasik yang
mengingkari asma Allah dari arti yang sebenarnya.

Mereka tidak mau melihat nas al Qur’ân secara menyeluruh,


namun hanya sekedar mengambil nas yang dapat
mendukung argumentasi mereka. Padahal nas qoth’i tidak
pernah bertentangan dengan maslahat. Menurut Qadhâwî,

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 67
menghentikan hukuman hudud, membolehkan minuman
keras, berzina, menghapuskan zakat, melarang poligami,
membolehkan pelacuran, menyamakan pembagian waris
atara anak laki-laki dengan anak perempuan, sama sekali
tidak mengandung unsur-unsur maslahat. Menurutnya,
mereka yang menyeru kepada hal-hal di atas sebenarnya
hanya terpengaruhi oleh pemikiran dan budaya Barat. Jika
saja para tokoh intelektual Barat tidak mengatakan hal itu
tentu mereka juga tidak akan berpendapat seperti itu.1

Bagi Qadhâwî, solusi terbaik adalah dengan mengambil jalan


tengah. Tidak terlalu tekstualitas dan juga substansionalitas.
Dengan demikian akan terhindar dari pengguguran
terhadap nas-nas qoth’i tsubût dan dalâlah. Dan hal itu dapat
direalisasikan dengan mengaitkan pemahaman nas yang
bersifat juz’î dalam kerangka maqashid kullî.2

Dr. Yusuf al-Qardhâwi dan Fikih Realitas

Fikih Qaradawi juga realistis, artinya menyelaraskan hukum


sesuai dengan realitas sosial dengan tetap memperhatikan
dan mempertimbangkan antara maslahah dengan mafsadah.
Qaradawi sangat menjauhi permasalahan fikih yang bersifat
mengada-ada (al-ahkâm al-iftiradhiyah) dan selalu menjauhi
permasalahan klasik yang sudah tidak ditemukan dalam
realitas kontemporer. Qaradawi juga tidak tertarik dengan
pembahasan fikih klasik yang cenderung melebar sehingga
permasalahan sederhana menjadi berbelit-belit.3

1 Lebih lengkapnya lihat, Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati wa Maqashidihâ,
Maktabah Wahbah hal 230-286
2 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah Wahbah hal
90
3 ‘Ishom Talîmah, Al QaradawiFaqîhan. Dâru’ al Tauzî’ wa al Nasyr hal. 87

68 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Agar fikih lebih realistis, Qaradawi sangat memperhatikan
apa yang ia sebut dengan fikih muwâzanah. Dan yang
dimaksud dengan fikih muwâzanah adalah:

a. Menimbang antara satu maslahah dengan maslahah


lainnya dari perkara yang paling sederhana sampai
pada perkara yang rumit serta pengaruhnya dalam
realitas sosial.
b. Menimbang satu mafsadah dengan mafsadah lainnya.
Tujuannya adalah agar dapat diketahui mana
prioritas dan mana yang bukan prioritas.
c. Menimbang antara maslahah dengan mafsadah jika
diantara keduanya terjadi benturan. Dari sini dapat
diketahui kapan kita mendahulukan menutup jalan
menuju mafsadah dari pada mencapai maslahah (dar’u
mafsadah muqoddamun alâ jalbi’l maslahah). Kapan
mafsadah boleh dikerjakan demi maslahah yang lebih
abadi (tughtafaru al mafsadah al mu’aqqotah li jalbi’l
maslahah al mu’abbadah)1

1. Menimbang antara Satu Maslahat dengan Maslahat


Lainnya

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kebutuhan


manusia dapat digolongkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu
dhorûriyât, hajiyât dan tahsîniyât. Melihat kenyataan ini, maka
fikih muwâzanah selalu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:

a. Mendahulukan dharûriyât dari tahsîniyât dan hajiyât.

1 Dr Yûsuf al Qardhâwî, awlawiyâtu’l harokah al Islâmiyah. Mu’assasah al Risâlah hal 30

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 69
b. Mendahuluakn hajiyât dari tahsîniyât dan mukmilât.
c. Dharûriyât juga mempunyai tingkatan-tingkatan
tertentu. Maka eksistensi agama lebih didahulukan dari
pada eksistensi jiwa dan harta. Dan eksistensi jiwa lebih
didahulukan dari pada harta.
d. Mendahulukan maslahat yang sudah pasti dari
maslahat yang masih belum pasti. (tuqaddamu al-
maslahah al-mutayaqqinah ‘alâ al-maslahah al-madznûnah
aw al mauhûmah).
e. Mendahulukan maslahat besar dari maslahah kecil
(tuqaddam al maslahah al kabîroh alâ al maslahah al
shoghîroh)
f. Mendahulukan kepentingan umum dari pada
kepentingan pribadi.
g. Mendahulukan kepentingan yang lebih abadi dari pada
kepentingan yang bersifat temporal (tuqaddam al
maslahah al-dâ’imah alâ al-maslahah al-‘arîdhah aw al-
munqati’ah)
h. Mendahulukan maslahat yang lebih penting dari pada
maslahat yang bersifat sampingan.1

2. Menimbang antara Satu Mafsadah dengan Mafsadah


Lainnya

Mafâsid –sebagaimana juga mashalih mempunyai tingkatn-


tingkatan tertentu. Mafsadah yang dapat menggugurkan
dhorûriyât, tentunya tidak setara dengan mafsadah yang dapat
menggugurkan hâjiyât atau tahsîniyât. Mafsdah yang dapat
merusak harta tentu tidak sama dengan mafsadah yang dapat
merusak jiwa dan agama. Melihat tingkatan-tingkatan

1 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Fi Fikihi al Awlawiyât. Maktabah Wahbah hal. 25-26

70 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
mafsadah tersebut maka para ulama meletakkan kaidah-
kaidah fikih yang berkaitan erat dengan dharûriyât.

a. Tidak boleh membuat suatu kedaratan dan tidak boleh


saling berbuat kemadaratan (la-dharara wala dhirar).
b. Sedapat mungkin dharurat dapat disingkirkan (al dloror
yuzâlu bi qodri’l imkân)
c. Tidak boleh menghilangkan atau menghapus dharurat
dengan mengedepankan dharûrat yang mempunyai
satu tingkatan, atau bahkan dapat menimbulkan
madharat yang lebih besar (al dlororu la yuzâlu bi dhorori
mitslihi aw akbar minhu)
d. Jika ada dua madharat dalam satu perkara, maka
dilaksanakan satu madharat yang paling ringan
(yurtakabu akhoff al dlororoini wa ahwanu al syarîroini)
e. Menanggung dharûrat yang lebih kecil untuk
menghindari munculnya dharûrat yang lebih besar
(yutahammalu al dhororu al adnâ li daf’i al dlorori al a’lâ).1

3. Menimbang antara Maslahah dan Mafsadah Jika Terjadi


Benturan

Jika dalam satu permasalahan terdapat maslahah dan


mafsadah, madhorot dan manfaat, maka solusinya adalah
dengan menimbang mashlahah dan mafsadah antara
keduanya. Jika maslahah lebih berat, maka ia harus lebih
dikedepankan, dan jika madharat lebih berat, maka ia harus
ditinggalkan. Dari sini muncul beberapa kaidah fikih:

1 Ibid hal. 26-27

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 71
a. Menutup kerusakan lebih didahulukan dari pada
menggapai manfaat

‫درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل‬

b. Diampuni malaksanakan mafsadah yang lebih kecil


demi meraih maslahah yang lebih besar.

‫املفسدة الصغرية تُغتفر من أجل املصلحة الكبرية‬

c. Jangan meninggalkan maslahat yang sudah pasti hanya


karena menghindari mafsadah yang belum pasti.

‫ال تتﺭﻙ ﻤصلحة ﻤحققة ﻤﻥ ﺃﺠل ﻤفسﺩﺓ ﻤتﻭﻤﻫة‬

Fikih muwâzanah mempunyai peranan penting dalam realitas


sosial dan mempunyai kaitan erat dengan fikih prioritas. Ia
juga mempunyai kaitan dengan fikih maqashid, karena
bagaimanapun juga semua hukum syar’i mempunyai ‘illah
tertentu, bahwa dibalik zhohir nas terdapat tujuan tertentu
yang berusaha diwujudkan oleh hukum syar’i.

Lebih penting dari itu adalah membedakan antara tujuan


yang baku dengan sarana (wasilah) yang dapat berubah
sesuai dengan tempat dan waktu. Fikih prioritas juga
mempunyai kaitan dengan fikih nusus, dalam artian selalu
mengaitkan antara fikih prioritas dengan fikih maqashid
kuliyah dan kaidah umum dengan mengembalikan juziyât

72 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
kepada kuliyât dan furu’ pada ushul. Juga harus dibedakan
antara nas yang qoth’î dengan nas yang zhonnî, antara yang
muhkamah dengan yang mutasyabihah.1

Dengan memperhatikan keterkaitan antara fikih muwâzanah,


awlawiyah, maqashid dan lain sebagainya, maka hukum Islam
akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Hukum
Islam tidak jumud sebagaimana diklaim oleh sebagian orang
dan selalu realistis.

Al-Tsawâbit Wal Mutaghoyirât; Perspektif Qaradhawi

Setelah meruntuhkan khilafah Islamiyah, Musthofa kamal


mengganti hukum syari’ah yang berlaku di Turki dengan
hukum Barat sekuler. Musthafa Kamal beranggapan bahwa
hukum syari’ah bersumber dari agama yang tidak dapat
berubah mengikuti perputaran zaman. Jika negara
menjadikan agama sebagai rujukan hukum, maka negara
selamanya tidak akan pernah berkembang. Untuk itu agama
harus difungsikan sebagaimana mestinya, yaitu sekedar
hubungan manusia dengan Tuhan lepas dari aturan
mengenai interaksi antar sesama manusia.2

Pertanyaannya adalah, benarkah bahwa hukum Islam sama


sekali tidak dapat mengalami perubahan, jumud dan kaku

1 Ibid hal 32-33


2Dr Yûsuf al Qardhâwî, Bayanâtu’l Halli al Islâmî wa Roddu ‘alâ Syubhâti’l Ilmâniyîn wa’l Mutaghorribîn. Maktabah
Wahbah hal. 68-69

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 73
sehingga syari’ah Islam tidak layak diterapkan dalam
konteks kekinian?

Qardhâwî, sebagai ulama yang sangat mempercayai


keberadaan syari’at Islam, dan bahwa hukum Islam layak
diterapkan sesuai dengan tempat dan waktu, sering
memberikan tanggapan terhadap permasalahan di atas. Hal
ini jelas terlihat terutama dari bukunya yang berjudul “al
hallu’l Islâmî wa al-raddu ‘alâ syubhati’l ilmâniyîn wa’l
mutagharribîn”. Menurutnya, tidak semua hukum Islam
bersifat statis (tsawâbit), namun ada juga yang elastis
(mutaghyirât).

Segala sesuatu yang berkaitan dengan aqidah, baik itu


perkara ketuhanan, kenabian maupun alam ghoib, juga yang
berkaitan dengan etika dan ibadah mahdhoh adalah statis.
Sedangkan yang berkaitan dengan fikih mu’amalah, dapat
dibagi menjadi dua:

a. Hukum yang berkaitan dengan dalil qath’î dan tsubût


dalâlah seperti pembagian waris, hukum hudud adalah
statis. Dalam al Qur’ân dan al Sunnah, dalil qoth’iyât
sangat sedikit. Qaradawi menyebut qoth’iyât sebagai
“kawasan tertutup”, dalam artian tidak ada lahan
ijtihad dalam bidang ini. Seorang mujtahid harus
mengikuti nas secara tekstual tanpa diperbolehkan
melakukan penafsiran dengan alasan apapun.
b. Hukum yang berkaitan dengan dalil dzannî, atau yang
sama sekali tidak disinggung dalam nas adalah elastis.
Dan sebagian besar kandungan al Qur’ân dan al Sunnah

74 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
adalah dzannî serta banyak hal yang memang tidak
disinggunmg oleh nas. Qaradawi menyebutnya sebagai
“kawasan terbuka”, dalam artian bahwa para ulama
boleh dan bahkan diharuskan melakukan ijtihad
terutama terhadap segala hal yang memang tidak
termaktub dalam nas. Selain itu, tata cara penerapan
hukum (wasilah) juga dapat berubah sesuai dengan
tempat dan waktu.

Menurutnya, Tuhan sengaja tidak memasukkan segala hal


secara rinci demi kemaslahatan manusia. Karena banyak
permasalahan yang akan muncul dalam kehidupan umat
manusia yang belum pernah ada pada masa kenabian. Maka
tugas para mujtahid adalah mencari solusi alternatif
terhadap segala permasalahan yang selalu berkembang agar
tetap sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain ijtihad
menjadi satu keharusan.1

Dr. Yusuf al-Qardawi dan Fikih Taisir

Fikih adalah satu cabang ilmu Islam yang mengorientasikan


kajian pada hukum syar’i yang bersifat praktis (amaliyah) dari
dalil tafsîlî. Fikih juga dapat disebut sebagai cabang ilmu
mengenai perundang-undangan dalam Islam. Bedanya
dengan hukum konvensional adalah bahwa fikih
mempunyai cakupan kajian lebih luas dan lebih mendalam.

1 Lebih lengkapnya, lihat ibid hal 70-72

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 75
Fikih dianggap sebagai perundangan yang universal dan
komperhensif karena mengatur kehidupan individu seorang
muslim dan masyarakat muslim, bangsa dan negara muslim
dengan hukum syar’i, baik itu yang berhubungan dengan
interaksi individu dengan Tuhan (fikih ibadah), hubungan
individu dengan masyarakat (fikih mu’amalah), hubungan
individu dengan keluarga, masyarakat dan negara,
hubungan antar negara dan seterusnya serta dapat
diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi.

Menurut Qardhâwî, umat Islam adalah umat yang


konsekwen dengan aqidah dan syari’ah. Fikih dapat
berperan dalam mengatur perjalanan peradaban Islam
sehingga selalu sesuai dan selaras dengan nilai dan norma
Islam.1

Dengan demikian menurutnya, fikih tidak hanya terpaku


pada peraturan yang berkaitan dengan individu saja, namun
juga keluarga, masyarakat, politik dan segala segmen
kehidupan manusia.

Namun semenjak umat Islam mengalami kemunduran,


kajian fikih banyak mengalami kejumudan. Orang hanya
menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan fikih ibadah,
namun problematika kontemporer justru dikesampingkan.
Maka seorang faqih saat ini adalah mereka yang berusaha
mencari solusi alternatif terhadap problematika yang

1 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân wassunnah. Maktabah Wahbah hal 11

76 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
berkembang dalam masyarakat, sebagaimana mereka juga
memberikan solusi terhadap urusan individu.1

Untuk fikih dalam konteks kekinian, menurutnya sangat


dibutuhkan format fikih yang lebih dapat diterima dan
mudah untuk diamalkan. Hal ini banyak disebabkan oleh
permasalahan kontemporer yang terlalu menumpuk, juga
umat Islam cenderung lebih sibuk dengan urusan dunia.
Qaradawi tidak hanya memberikan landasan teoritis, namun
juga merealisasikannya dalam tataran praktis, seperti kita
lihat dari karyanya “al halal wa’l haram fi’l Islam” dan “fatâwâ
ma’âshiroh”. Qaradawi menyebut format fikih seperti ini
dengan sebutan fikih taisîr. Menurutnya, fikih taisîr sangat
dianjurkan oleh syari’ah, karena memang hukum Islam
dibangun di atas landasan kemudahan. Ajaran Islam juga
mengandung nilai-nilai kemudahan demi kemaslahatan
manusia. Dalam al Qur’ân, banyak disinggung masalah
kemudahan dalam syari’at, diantaranya QS. Al mâ’idah: 6,
QS Annisa: 28, QS al Baqarah: 178, QS al Haj 78, QS al Anbiya:
107.2

Qaradawi membagi taisîru’l fikihi menjadi dua:


a. Mempermudah memahamkan fikih kepada umat
Islam.
b. Mempermudah hukum fikih dengan cara memilih
perkara yang lebih ringan dan mudah.3

1 Ibid hal 12-13


2 Ibid hal 13
3 Ibid hal. 15

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 77
Mempermudah dalam memahamkan fikih kepada khalayak
dapat ditempuh dengan melakukan beberapa langkah
sebagai berikut:
1. Disajikan secara sederhana dengan susunan bahasa
yang mudah dipahami oleh semua kalangan.
2. Menggunakan ilmu pengetahuan dan istilah-istilah
kontemporer. Sebagai contoh, ukuran timbangan dalam
fikih klasik diganti dengan gr, kg dan seterusnya.
3. Mengaitkan fikih dengan realitas.
4. Menjelaskan hikmah penurunan syari’at.
5. Menyederhanakan permasalahan yang bertele-tele
khususnya dalam fikih ibadah.
6. Mengaitkan satu hukum dengan hukum lainnya.
7. Memanfaatkan ilmu pengetahuan dari para penulis
kontemporer.1

Sedangkan memudahkan dalam hukum fikih adalah


mempermudah hukum syar’i bagi umat Islam baik dalam
bidang fikih ibadah, muamalah dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan kehidupan individu maupun sosial.

Namun demikian menurutnya, bukan bearti taisîr kemudian


membuat syari’at baru dari diri kita dengan menggugurkan
sesuatu yang diwajibkan Tuhan, mengharamkan sesuatu
yang dihalalkan Tuhan, ataupun menambah-nambah dalam
agama (bid’ah). Menurutnya taisîr seperti ini hanyalah satu
bentuk penyelewengan ajaran Islam dengan mengatas
namakan agama. Untuk menghindari kesalahpahaman

1 Lebih lengkapnya lihat ibid hal. 16-23

78 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
tentang fikih taisîr ini, Qaradawi meletakkan beberapa
landasan teoritis, yaitu:

1. Lebih memperhatikan permasalahan rukhshoh.


2. Memperhatikan permasalahan primer (dhorûriyât).
3. Jika ada dua perkara yang sama-sama boleh, maka
pilihlah yang lebih ringan.
4. Mempersempit dan lebih berhati-hati dalam
memberikan fatwa terutama yang berkaitan dengan
wajib, halal atau haram.
5. Menghindari fanatisme madzhab.
6. Memperhatikan maqashid dan perubahan fatwa.1

Jika semua pemikiran seseorang dibangun di atas landasan


tertentu, maka dari pemikiran Dr. Yusuf Qaradhawi kita
dapat mengetahui bahwa landasan pemikiran beliau adalah
ilmu ushul fikih. Dari sini pula kita dapat tahu bahwa
ternyata ilmu ushul fikih tidak hanya terkait dengan
sistematika penggalian hukum fikih yang hitam putih, atau
yang halal dan haram. Ilmu ushul fikih nyatanya mampu
dijadikan sebagai struktur berfikir sitematis dalam rangka
mencari berbagai solusi atas persoalan umat. Dan Dr.
Qaradhawi sudah membuktikan stetemen tersebut.

Memang hingga saat ini, Qaradhawi belum memiliki satu


buku khusus tentang ilmu ushul fikih. Namun dalam
bukunya “taisîru’l fikihi li’l muslim ma’âshir fi dhau’i’l qur’ân
wa'l sunnah”, ia merencanakan untuk menulis buku ushul
fikih yang lebih mudah di cerna oleh semua kalangan.

1 Lebih lengkapnya, lihat ibid hal. 24-27

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 79
Selama ini, landasan ushul fikih Qaradawi masih berserakan
dibeberapa karyanya. Jika obsesi Qaradawi tidak terealisir,
semoga ada ulama yang peduli untuk mengumpulkannya
dalam satu buku secara tematis.

BAB IV

Sadd al-Dzarî`ah;
Sebuah Tinjauan Praktis-Normatif

Allah menciptakan manusia di muka bumi dengan tujuan


tertentu, yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah sendiri
memiliki makna yang sangat luas. Segala perbuatan manusia
yang sesuai dengan kehendak Tuhan dan dimaksudkan
hanya untuk mencari rida-Nya dinilai sebagai ibadah. Secara
sederhana, ibadah dapat dibagi menjadi dua; ibadah yang
bersifat vertikal dan ibadah yang bersifat horizontal. Ibadah
vertikal sering disebut sebagai hablun minalLâh, yaitu
sistematika interaksi manusia dengan Tuhan secara
langsung. Ibadah horizontal sering disebut sebagai hablun
min al-nâs, yaitu sistematika interaksi manusia dengan
sesama manusia.

Dua bentuk ibadah tadi –hablun minalLâh dan hablun min al-
nâs–, tentu membutuhkan aturan normatif yang jelas

80 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
sehingga ibadah tidak berjalan hanya berdasarkan pada
abstraksi manusia terhadap dzat Tuhan dan nilai
subyektifitas semata. Bagaimanapun juga, manusia lemah
untuk mengetahui segalanya tentang Tuhan, termasuk di
dalamnya sistematika interaksi dengan-Nya. Manusia
sebagai makhluk yang terbatas juga lemah untuk meletakkan
seluruh aturan normatif yang berkaitan dengan interaksi
dengan sesamanya. Bisa jadi, apa yang dianggap manusia
sebagai hal positif, namun dalam pandangan Tuhan adalah
perbuatan negatif. Manusia tidak mungkin dalam segala lini
kehidupan hanya bertumpu pada nilai-nilai rasionalitas
belaka. Untuk itulah Tuhan mengutus para Rasul sebagai
petunjuk bagi umat manusia.

Rasul sebgai penuntan manusia dibekali dengan aturan


ketuhanan yang disebut dengan syariah. Hanya
perkembangan sejarah umat manusia mengalami perbedaan
ruang dan waktu. Tuhan sebagai dzat Yang Maha Pengasih
kemudian menurunkan syariah sesuai dengan perjalanan
peradaban manusia. Inilah barangkali rahasia mengapa
antara satu nabi dengan yang lainnya memiliki syariah yang
berbeda.

Islam sebagai agama terakhir dibekali dengan dua pusaka;


al-Quran dan Sunnah. Keduanya merupakan landasan kaum
muslimin dalam melakukan interaksi baik dengan Tuhan,
manusia, bahkan dengan alam raya. Persoalan muncul ketika
kitab suci1 dan Sunnah Nabi adalah dua pusaka yang sangat

1 Katika Tuhan ingin menurunkan kitab suci kepada umat manusia, mau tidak mau harus menggunakan sarana
bahasa, sementara bahasa manusia terbatas (mutanâhî) dan cukup beragam. Manusia sendiri terbatas (mutanâhî) dan
hanya mampu memahami sesuatu yang terbatas. Pada akhirnya, Tuhan menggunakan bahasa kitab suci dengan
bahasa manusia. Tuhan kemudian memilih bahasa sesuai dengan bangsa yang bersangkutan. Dengan demikian, apa
yang dikehendaki Tuhan dalam kitab suci akan dapat dipahami manusia. Jika kitab suci diturunkan dengan bahasa

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 81
Tuhan, tentu terjadi keterputusan pemahaman, karena manusia tidak mampu memahami bahasa Tuhan yang tidak
terbatas. Maka kitab suci yang sejatinya sebagai petunjuk bagi manusia menjadi tidak berguna. Untuk itulah,
mengapa Tuhan menurunkan kitab suci sesuai dengan bahasa bangsanya masing-masing. Firman Allah:

ِ ِ ِ ِ ‫ول إِالَّ بِلِس‬


ٍ ‫وما أَرسلْنَا ِمن َّرس‬
َ ِ َ‫ان قَ ْومه ليُب‬
‫ّي ََلُ ْم‬ َ ُ َ ْ ََ

Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi
penjelasan dengan terang kepada mereka”. (QS. Ibrâhîm: 4)

Al-Quran adalah kalâmulLah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dengan bahasa Arab dan merupakan
mukjizat meski hanya satu ayat. Meski demikian, bukan berarti al-Quran dikhususkan bagi bangsa Arab, karena
secara tegas Tuhan mengatakan bahwa al-Quran untuk semua alam, sebgaimana firman-Nya:

‫ّي نَ ِذ ًيرا‬ ِ ِ ِِ ِ
َ ‫تَبَ َارَك الَّذي نَزََّل الْ ُف ْرقَا َن َعلَى َعْبده ليَكُو َن لل َْعال َِﻤ‬

Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (yaitu al-Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi
peringatan kepada seluruh alam”. (QS. Al-Fulrqân:1).

Kalam adalah lafazh yang tersusun yang dapat dipahami sesuai dengan makna terapan bahasa1. Bahasa juga selalu
mengalami dialektika dengan alam sehingga bahasa akan selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Dilihat
dari definisi mengenai kalam, sejarah perkembangan bahasa dan bahasa sebagai sesuatu yang terbatas (mutanâhî)
dapat diambil kesimpulan bahwa bahasa al-Quran adalah makhluk (ciptaan). Karena bahasa al-Quran tidak lepas
dari bahasa yang biasa digunakan umat manusia. Bahasa sendiri mengandung unsur budaya. Ia berkembang dalam
ruang waktu. Al-Quran yang “terpaksa” menggunakan bahasa manusia, berarti ikut terjun dalam budaya manusia.
Namun demikian, bukan berarti bahwa esensi al-Quran (jauharatu’l Qur’an) mengikuti budaya, atau bahkan produk
budaya. Al-Quran turun sesuai dengan bahasa bangsa yang bersangkutan, namun jauharatu’l Qur’an tetap kalâmulLah
yang lepas dari ruang dan waktu. Maka tidak heran jika al-Quran akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman
kapan dan dimanapun.

Sederhananya, kita mesti membedakan antara bahasa al-Quran dan spirit atau jauharatu’l Qur’an atau rûhu’l Qur’an
sebagai kalam nafsiy. Rûhu’l qur’an adalah kalam Tuhan yang azal karena berkaitan dengan sifat Tuhan1. Tuhan
sendiri azal maka secara otomatis seluruh sifat Tuhan, termasuk juga kalam Tuhan harus azal. Segala yang azal
memiliki sifat tidak terbatas (lâ mutanâhî). Karena rûhu’l Qur’an adalah sifat Tuhan, maka ia juga tidak terbatas.
Tidak heran jika kemudian upaya manusia untuk menggali apa yang terkadung dalam al-Quran tiada pernah
sampai pada titik akhir. Manusia akan selalu menemukan hal baru dalam al-Quran. Singkat kata bahwa al-Quran
dengan bahasa yang terbatas, namun mengandung pengetahuan yang tidak terbatas.

82 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
terbatas, sementara persoalan yang dihadapi umat manusia
tidak terbatas. Karena Islam adalah agama pamungkas, maka
insan muslim tidak mungkin menanti nabi baru yang dapat
membantu dalam menyelesaikan problematika kehidupan
mereka. Hanya saja, Rasul Muhammad Saw. telah
memberikan mandat kepada para ulama untuk berijtihad;
mencari berbagai terobosan baru dalam rangka mencari
solusi alternatif bagi persoalan yang sedang mereka hadapi.
Dengan tetap mengacu pada dua pusaka tadi, para ulama
kemudian merumuskan berbagai piranti hukum yang
kiranya dapat membantu mereka dalam memecahkan
problematika umat manusia.

Implikasi dari statemen di atas baru akan nampak ketika kita berinteraksi dengan nash al-Quran. Melihat bahasa al-
Quran tadi yang makhluk, maka berinteraksi dengan bahasa al-Quran berarti berinteraksi dengan makhluk.

Membaca nash al-Quran berarti berinteraksi dengan dua hal sekaligus, pertama bahasa al-Quran yang makhluk dan
kedua rûhu’l Qur’an yang bukan makhluk. Dengan demikian, interaksi dengan al-Quran tetap tidak boleh
membuang nilai sakralitas al-Quran.

Ketika manusia ingin memahani kalam Tuhan, maka ia harus mendalami bahasa yang digunakan Tuhan. Karena al-
Quran berbahasa Arab, secara otomatis untuk dapat memahami bahasa al-Quran kita juga harus kembali kepada
kaidah dasar yang ada dalam sturktur bahasa Arab.

Rûhu’l Qur’an biasa dikaji oleh ulama kalam, sementara bahasa al-Quran banyak di kaji oleh ulama ushul. Bahkan,
bisa dikatakan bahwa kajinan kebahasaan yang dilakukan oleh ulama ushul jauh lebih progresif dibandingkan
dengan para ulama bahasa. Para ulama ushul mengkaji makna kebahasaan yang tidak tersentuh oleh ulama nahwu.
Mereka kemudian mengembangkan ilmu semantik dalam kajian al-Quran. Dari kajian kebahasaan itulah muncul
berbagai kaidah ushûliyyah. Kajian bahasa dalam uhsul fikih mencakup mantuq dan mafhum, khâs, ‘âm, dan musytarak,
al-wâdhihu al-dalâlah dan ghairu’l wâdhihi al-dalâlah, haqîqah, majâz, sharîh dan kinâyah, al-bayân dan terakhir ma’anil
huruf.

Bagian-bagian di atas merupakan standarisasi para ulama ushul untuk memahami makna dibalik bahasa nash al-
Quran. Tentu saja kaidah tersebut dibuat dan disusun setelah mereka mengadakan kajian induktif terhadap
perkembangan dan penggunaan bahasa Arab dalam masyarakat Arab. (Wahyudi Abdurrahim, Metodologi Tafsir
Semantik)

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 83
Karena berbagai faktor, baik perbedaan pandangan mereka
terhadap nas al-Quran dan Sunnah, perbedaan ruang waktu,
atau perbedaan mereka mengenai sejauh mana logika dapat
dijadikan acuan dalam menggali ketetapan hukum,
berimplikasi pada perbedaan mereka dalam menggunakan
berbagai metodologi ijtihad.

Salah satu metodologi yang masih menjadi perdebatan


dikalangan para ulama adalah penggunaan al-dzarî`ah, atau
sadd al-dzarî`ah sebagai sumber hukum. Di bawah ini, penulis
mencoba untuk sedikit menelisik secara normatif mengenai
al-dzarî`ah atau sadd al-dzarî`ah sebagai salah satu piranti
penggalian hukum, kemudian implikasinya secara praktis
dalam tataran hukum fikih.

Definisi al-Dzarî`ah atau Sadd al-Dzarî`ah

Sadd al-dzarî`ah merupakan murakkab idhâfiy (kata majemuk)


yang terdiri dari lafal sadd dan al-dzarî`ah. Secara etimologi,
sadd berarti menutup. Sementara dzarî`ah berarti sarana
menuju sesuatu.1 Dzarî`ah juga dapat berarti sebab dari
sesuatu. Al-darî`ah menurut ulama ushul sebagai berikut:
1. Menurut Ibnu al-Qayyim, dzarî`ah adalah sarana
terhadap sesuatu.2
2. Menurut al-Qarrafi, dzarî`ah adalah suatu sarana dan
jalan menuju sesuatu.
3. Menurut al-Syathibi, dzarî`ah adalah suatu sarana
menuju maslahat atau mafsadah.

1 Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajîz fî Ushûli’l Fikihi, Dâr al-Tauzî’ wa al-Nasyri al-Islâmiyyah, cet I, Kairo, 1993, hal.
244.
2 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I`lâmu’l Muwaqqi`în `an Rabbi’l `Âlamîn, Dâru’l Hadîts, Kairo, hal. 119 et eqq.

84 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
4. Menurut Ibnu Rusyd, dzarî`ah adalah sesuatu yang
secara zahir dibolehkan, namun ia merupakan sarana
menuju sesuatu yang dilarang.1

Dari empat definisi di atas, setidaknya ada dua pandangan


yang berbeda mengenai dzarî`ah. Definisi pertama dan kedua
cenderung melihat dzarî`ah secara umum. Dzarî`ah tidak
hanya berkaitan dengan perkara yang dilarang, namun juga
berkaitan dengan perkara yang dibolehkan. Oleh karena itu,
mereka tidak mencantumkan lafal sadd dan hanya
menggunakan istilah dzarî`ah saja. Hal ini dikuatkan dengan
pandangan al-Qarrafi yang mengatakan:
“Ketahuilah bahwa dzarî`ah sebagaimana ia wajib ditutup,
terkadang ia juga wajib, makrûh, mandûb atau boleh dibuka.
Sarana yang wajib, hukumnya wajib seperti usaha untuk
melakukan shalat jumat dan ibadah haji. Inti dari suatu
hukum dibagi menjadi dua. Pertamh: maqâshid yaitu sesuatu
yang secara substansi mengandung nilai maslahat atau
mafsadah. Kedua: sarana, yaitu jalan menuju substansi.
Hukum sarana bergantung pada hukum substansi, baik halal
atau haram.”2

Karena dzarî`ah berkaitan dengan semua sarana, baik sarana


menuju sesuatu yang dibolehkan atau dilarang, maka dari
definisi di atas dapat ditarik empat konklusi hukum:
1. Suatu perkara menuju perkara yang lain. Seperti
usaha untuk melakukan shalat jumat atau menikah
untuk menjaga dari perbuatan zina.

1 Eli Warti Maliki, al-Ahkâm al-Syar`iyyah al-Mustanbathah min Qâ’idati saddi al-Dzarâ’i` fî Fikihi’l Mar`ati wa Ta’tsîrihâ
`alâ Binâ’i’l Mujtama’, Jâmi`atu’l Azhar al-Syarîf Kuliyatu al-Dirâsât al-Islâmiyyah wa al-`Arabiyyah Far`un li’l Banât,
Kairo, 2004, hal. 8.
2 Dr. Wahbah al-Zuhaili, Ushûlu’l Fikihi’l Islâmiy, Dâru’l Fikri, vol. II, cet. II, Beirut, 2001, hal. 903.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 85
2. Suatu perkara menuju perkara lain yang diharamkan,
seperti jual beli pada waktu shalat jumat. Pada
prinsipnya, jual beli adalah perbuatan yang
dibolehkan, namun ia dilaksanakan pada waktu yang
dapat menyebabkan orang meninggalkan perkara
yang dilarang, yaitu shalat jumat.
3. Suatu perkara yang dilarang dan dapat menyebabkan
perkara lain yang dilarang pula, seperti menggunjing
orang lain yang dapat menjurus pada pembunuhan.
4. Larangan yang dapat mengantarkan pada suatu
perkara yang dibolehkan, seperti berbohong untuk
menyelamatkan orang dari usaha pembunuhan.

Empat konklusi hukum di atas merupakan implikasi dari


pandangan secara umum mengenai makna al-dzarî`ah
sehingga al-dzarî`ah tidak harus ditutup, namun juga bisa
dibuka. Ketetapan hukum pada sarana akan menyesuaikan
ketetapan hukum pada maqâshid, baik sarana tersebut
dibolehkan ataupun tidak.1 Sarana menuju pada sesuatu
yang diharamkan adalah haram. Sarana menuju sesuatu
yang dibolehkan hukumnya boleh. Sesuatu kewajiban yang
tidak dapat dilaksanaan kecuali harus melalui sarana
tertentu, maka melakukan atau mengadakan sarana tersebut
menjadi wajib. Zina hukumnya haram. Dengan demikian,
memandang aurat wanita yang dapat menjurus pada
perbuatan zina hukumnya juga haram.2

Definisi kedua dan ketiga cenderung melihat dzarî`ah sebagai


sarana menuju sesuatu yang dilarang. Bagi al-Syathibi dan
Ibnu Rusyd, ketetapan hukum pada sarana menuju perkara

1 Eli Warti Maliki , op. cit., hal. 9.


2 Al-Imam Abu Zahrah, Ushûlu’l Fikih, Dâru’l Fikri’l `Arabiy, Kairo, 2004, hal. 261 et seq.

86 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
yang dibolehkan dapat diketahui dari kaidah yang
mengatakan:

‫ما ال يتم الواجب إال به فهو واجب‬

Artinya: Suatu kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan


kecuali dengan menggunakan sarana tertentu, maka
mengadakan sarana tersebut menjadi wajib.

Jika kita analisa dari dua pandangan di atas, maka


sesungguhnya antara dua aliran tersebut hanya terjadi khilâf
lafzhiy. Bagi mereka yang melihat al-dzarî`ah dalam perkara
yang dibolehkan dan dilarang, mereka tidak mencantumkan
lafal sadd. Sementara bagi mereka yang hanya menganggap
al-dzarî`ah sebagai sarana menuju sesuatu yang dilarang,
maka menambah dengan lafal sadd.

Dari sini dapat diketahui bahwa arti dari kata majemuk sadd
al-dzarî`ah adalah larangan terhadap sarana yang dibolehkan
karena ia dapat mengantarkan pada tujuan yang dilarang.
Pada prinsipnya, al-dzarî`ah memang berkaitan dengan
perkara yang dibolehkan dan dilarang, namun pada
perkembangan selanjutnya dikalangan para ulama ushul
lebih dominan dengan sarana menuju perkara yang dilarang
saja.1 Meski demikian, tidak semua ulama menggunakan
sadd al-dzarî`ah sebagai piranti hukum.

Perbedaan antara al-Dzarî`ah dengan Muqaddimah

Ada perbedaan antara al-dzarî`ah dengan muqaddimah. Bahwa


muqaddimah sesuatu adalah keberadaan suatu perkara

1 Ibid.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 87
bergantung kepada perkara yang lain. Titik tolaknya
terdapat pada kebergantungan maksud sesuatu pada
sesuatu yang lain. Sementara titik tolak pada al-dzarî`ah
adalah sarana yang dapat mengantarkan kepada maksud
dan tujuan. Sebagai contoh bahwa pondasi merupakan
muqaddimah dari keberadaan suatu bangunan. Sementara
tangga merupakan sarana atau jalan menuju loteng.

Contoh al-dzarî`ah:

َِ ِ‫اَّلل‬
َّ ‫ّي ِمن ِزينَتِ ِه َّن َوتُوبُوا إِ ََل‬ ِ ِ ِ
‫َج ًيعا أَيُّ َها‬ َ ‫ض ِربْ َن بِأ َْر ُجل ِه َّن ليُ ْعلَ َم َما ُُيْف‬
ْ َ‫َوَال ي‬
‫الْ ُﻤ ْؤِمنُو َن لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو َن‬

Artinya: Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar


diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung. (QS. Al-Nûr: 31)

Larangan dari ayat di atas masuk dalam wilayah al-dzarî`ah


dan bukan muqaddimah. Hal ini karena sebab terjadinya
fitnah tidak bergantung kepada pukulan kaki wanita
sehingga dapat diketahui bahwa wanita tersebut memiliki
perhiasan. Di sana masih bayak sebab lain yang
memungkinkan terjadinya fitnah.1

Contoh muqaddimah:

1 Dr. Wahvah Zuhaili, op. cit. 904 et seq.

88 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
‫وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِ ََل‬ ِ ِ َّ ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنُواْ إِذَا قُﻤتُم إِ ََل‬
َ ‫الصَلة فا ْغسلُواْ ُو ُج‬ ْ ْ َ َ َ َ
ْ‫ّي َوإِن ُكنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّ َّه ُروا‬ ِ َ‫وس ُكم وأ َْر ُجلَ ُكم إِ ََل الْ َك ْعب‬ ِ ِ ِِ
ْ َ ْ ‫الْ َﻤَرافق َو ْام َس ُحواْ ب ُرُؤ‬
‫َح ٌد َّمن ُكم ِم َن الْغَائِ ِط أ َْو الََم ْستُ ُم‬ َ ‫ضى أ َْو َعلَى َس َف ٍر أ َْو َجاء أ‬ َ ‫َوإِن ُكنتُم َّم ْر‬
ِ ِ ِ ً ِ‫صع‬ ِ ِ
ُ‫يدا طَيِبًا فَ ْام َس ُحواْ بُِو ُجوه ُك ْم َوأَيْدي ُكم منْه‬ َ ْ‫الن َساء فَلَ ْم ََت ُدواْ َماء فَتَ يَ َّﻤ ُﻤوا‬
‫يد لِيُطَ َّهَرُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َﻤتَهُ َعلَْي ُك ْم‬
ُ ‫يد اَّللُ لِيَ ْﺠ َع َل َعلَْي ُكم ِم ْن َحَرٍج َولَكِن يُِر‬ ُ ‫َما يُِر‬
‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak


mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang
baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu,
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Mâ’idah: 6)

Ayat di atas menerangkan mengenai kewajiban shalat yang


harus didahului dengan wudlu. Shalat tidak akan sah jika
pelaku tidak berwudlu terlebih dahulu, karena wudlu
merupakan muqaddimah dari shalat.

Hujiyah Sadd al-Dzarî`ah

1. Al-Quran

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 89
ِ ِ ْ ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنواْ الَ تَ ُقولُواْ راعِنا وقُولُواْ انظُرنَا و‬
‫اب‬ َ ‫اْسَعُواْ َولل َكاف ِر‬
ٌ ‫ين َع َذ‬ َ ْ َ َ َ َُ َ َ َ
‫يم‬ ِ
ٌ ‫أَل‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna",
dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang
pedih.” (QS. Al-Baqarah:104)

Wajhu al-dilâlah:

Orang-orang Yahudi menggunakan lafal ‫ َرا ِعنَا‬untuk mencela


atau mengumpat Rasulullah Saw.. Kemudian Allah
melarang orang-orang mukmin untuk mengucapkan lafal ini
agar dapat terhindar dari ungkapan yang kiranya dapat
mencela RasulullahSaw.. Larangan menggunakan sarana
tersebut adalah sadd al-dzarî`ah. 1

ِ ِ ِ ‫َوالَ تَسبُّواْ الَّ ِذين ي ْدعو َن ِمن د‬


َ ‫ون اَّلل فَيَ ُسبُّواْ اَّللَ َع ْد ًوا بِغَ ِْري ِع ْل ٍم َك َذل‬
‫ك َزيَّنَّا‬ ُ ُ ََ ُ
‫لِ ُك ِل أ َُّمة َع َﻤلَ ُه ْم ُُثَّ إِ ََل َرّبم َّم ْرجعُ ُه ْم فَيُنَبِئُ ُهم ِبَا َكانُواْ يَ ْع َﻤلُون‬
ِ ِ ِِ ٍ

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang


mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan mereka kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
(QS. Al-An`âm:108)2

1 Ibid.
2 Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 22.

90 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Wajhu al-dilâlah:

Allah melarang orang-orang mukmin mengumpat sembahan


orang-orang musyrikin, padahal mengumpat Tuhan mereka
merupakan bentuk dari upaya untuk meninggikan Allah dan
merendahkan keyakinan mereka. Hal ini untuk menghindari
agar kaum musyrikin tidak membalas dengan mengumpat
Allah Swt.. Ini merupakan bukti bahwa sarana yang
sesungguhnya dibolehkan, menjadi terlarang jika dapat
berakibat pada munculnya perkara yang diharamkan.

2. Sunnah
a. Nabi Muhammad Saw. tidak membunuh orang-
orang munafik meski keberadaan mereka sangat
nampak dan cukup membahayakan dalam
masyarakat Madinah. Bahkan mereka menjadi
sumber fitnah di tengah-tengah kaum muslimin. Hal
ini untuk menutup kemungkinan agar tidak
dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw.
membunuh sahabatnya sendiri yang kemudian
dapat dijadikan sebagai sarana bagi orang-orang
kafir untuk memfitnah Rasul. Selain itu, juga dapat
menguatkan posisi mereka; mengajak orang lain
untuk tidak mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw..
b. Nabi Muhammad Saw. melarang orang yang
meminjamkan barang, menerima hadiah dari orang
yang dipinjami sebagai upaya untuk menutup
kemungkinan terjadi perbuatan riba dengan
justifikasi hadiah.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 91
c. Rasulullah Saw. tidak memotong tangan pencuri
pada waktu perang supaya dia tidak bergabung
kepada golongan kaum musyrikin.1

3. Ijmak Sahabat

Para sahabat bersepakat mengenai pembukuan mushaf al-


Quran meski Rasulullah Saw. sendiri tidak pernah
melakukannya. Pembukuan mushaf merupakan upaya
untuk menjaga agar syariah Islam tidak hilang, selain juga
untuk menghindari terjadinya perbedaan kaum muslimin
dalam kitab sucinya sendiri. Perbedaan yang menjurus pada
perpecahan dilarang oleh syariah. Maka melaksanakan
sesuatu yang dapat menutup kemungkinan terjadinya
perpecahan menjadi wajib.

4. Kajian Induktif

Para ulama ketika mengkaji nas-nas syariah melihat bahwa


syariah selalu menutup segala sesuatu yang kiranya dapat
menjurus pada tindak kerusakan. Dari sini mereka
mengambil kesimpulan, bahwa segala sesuatu yang dapat
dijadikan sebagai sarana menuju perbuatan yang dilarang
maka hukumnya haram. Kesimpulan ini diambil setelah
mereka mengadakan kajian induktif terhadap nas-nas al-
Quran atau Hadis. Bahkan mereka menganggap bahwa
untuk mengetahui larangan pada sarana yang dapat

1 Imam Abu Zahrah, op. cit., hal. 260 et seq.

92 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
mengantarkan pada perbuatan haram tersebut tidak perlu
menggunakan qiyâs atau lainnya.1

Argumentasi bagi Mereka yang Menolak Penggunaan


Sadd al-Dzarî`ah

Aliran kedua, yaitu Ibnu Hazm dan para pengikut madzhab


Zhâhiriyyah tidak mengakui sadd al-dzarî`ah sebagai salah satu
piranti dalam menetapkan hukum fikih. Mereka hanya
memahami nas dengan melihat pada zahir nas saja serta
menggugurkan setiap argumentasi yang dibangun di atas
logika seperti qiyâs, istishlâh, istihsân, termasuk juga sadd al-
dzarî`ah. Dalam kitab al-ihkâm fî ushûli’l ahkâm, Ibnu Hazm
menuliskan bab khusus untuk menanggapi mereka yang
menganggap sadd al-dzarî`ah dapat dijadikan sebagai hujah
dalam penggalian hukum fikih. Argumentasi yang
digunakan di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Al-Quran

‫ت اَّللِ إِن ُكنتُ ْم إِيَّاهُ تَ ْعبُ ُدو َن‬ ِ ِ


َ ‫فَ ُكلُواْ ِمَّا َرَزقَ ُك ُم اَّللُ َحَلالً طَيِبًا َوا ْش ُك ُرواْ ن ْع َﻤ‬
Artinya: “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah
diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu
hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. al-Nahl:114)

1 Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 26. Lihat juga, Prof. Dr. Zainul `Abidin al-Abdi Muhammad Nur, Ra’yu’l
Ushûliyyîn fi’l Mashâlihi’l Murslah wa’l Istihsân min Haitsu’l Hujjiyyah, Dâru’l Buhûts li al-Dirâsât al-Islâmiyyah
wa Ihyâ’i al-turâts, vol. II, Dubai, 2004. hal. 323 et eqq.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 93
‫َنزَل اَّللُ لَ ُكم ِمن ِرْزٍق فَ َﺠ َعلْتُم ِمنْهُ َحَر ًاما َو َحَلَالً قُ ْل آَّللُ أ َِذ َن‬ َ ‫قُ ْل أ ََرأَيْتُم َّما أ‬
‫لَ ُك ْم أ َْم َعلَى اَّللِ تَ ْفتَ ُرو َن‬
Artinya: Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram
dan (sebagiannya) halal". Katakanlah:"Apakah Allah telah
memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-
adakan saja terhadap Allah?" (QS. Yûnus:59)

Wajhu al-dilâlah:

Dua ayat di atas menerangkan mengenai larangan


mengatakan sesuatu halal atau haram tanpa ada persetujuan
dari Allah. Dalam hal ini memberikan ketetapan hukum
harus berlandaskan pada tuntunan syariah sebagaimana
tercantum dalam nas al-Quran atau Sunnah. Jika tidak, maka
dianggap telah mengada-ada atau membuat hukum sendiri.
Sementara membuat hukum hanya berdasarkan dengan
hawa nafsu dilarang syariah. Apalagi Allah sendiri telah
menerangkan bahwa seluruh persoalan yang dihadapi umat
manusia sesungguhnya telah ada jawabannya dalam nas al-
Quran sebagaimana firman-Nya:

‫ص َل لَ ُكم َّما َحَّرَم َعلَْي ُكم‬


َّ َ‫َوقَ ْد ف‬

Artinya: “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan secara


rinci kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. al-
An`âm:119)

94 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Dengan demikian, argumentasi orang yang memberikan
ketetapan hukum dengan justifikasi untuk menjaga
kemungkinan terjadinya sesuatu atau karena takut jatuh
pada suatu larangan dianggap gugur.

2. Sunnah

‫َو َسلَّ َم‬ ‫اَّللُ َعلَْي ِه‬


َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫َعن َعبَّ ِاد ب ِن ََتِي ٍم َعن َع ِﻤ ِه أَنَّه َش َكا إِ ََل رس‬
َ ‫اَّلل‬ َُ ُ ْ ْ ْ
‫أ َْو َال‬ ِ
‫ال َال يَْن َفت ْل‬ ِ َّ ‫َّيءَ ِِف‬
َ ‫الص ََلة فَ َق‬ ِ ِ ِ ِ َّ َّ
ْ ‫الر ُج ُل الذي ُُيَيَّ ُل إلَْيه أَنَّهُ ََي ُد الش‬
‫ص ْوتًا أ َْو ََِي َد ِرحيًا‬
َ ‫ف َح ََّّت يَ ْس َﻤ َع‬ ْ ‫ص ِر‬
َ ‫يَْن‬
Artinya: Dari `Abbad bin Tamim dari pamannya bahwa
sesungguhnya ia mengadukan kepada Rasulullah Saw. mengenai
seorang laki-laki yang dihantui perasaan seakan menemukan
sesuatu dalam shalat. Rasulullah Saw menjawab, “Janganlah kamu
menghiraukannya atau jangan kamu berlalu (meninggalkan
shalat) sehingga kamu mendengar suara atau mencium baunya.1

Wajhu al-dilâlah:

Hadis di atas menerangkan mengenai perintah Rasulullah


Saw. untuk tidak menghiraukan perasaan bahwa wudlunya
telah batal serta perintah untuk tetap melanjutkan shalat
sampai ia benar-benar mendengar atau mencium bau
kentutnya. Jika benar bahwa kita dibolehkan menggunakan
ketetapan hukum dengan jalan menutup sesuatu karena

1 HR. Muslim dalam kitâb al-Haidh hadis no. 540, HR. Al-Nasâ’i dalam kitâb al-Thahârah hadis no. 160. HR. Abu
Dawud dalam kitâb al-Thahârah hadis no. 150.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 95
takut jatuh dalam perkara yang dilarang, tentu Rasulullah
akan memerintahkan orang tersebut untuk membatalkan
shalatnya serta mengulangi wudlunya. Namun
kenyataannya syariah tidak memberikan ketetapan hukum
pada seseorang yang belum yakin atas sesuatu. Dengan
demikian, maka tidak boleh mengharamkan suatu perbuatan
hanya karena takut jatuh pada perbuatan lain yang
diharamkan.

3. Akal

Hukum sadd al-dzarî`ah merupakan bagian dari hukum yang


masih bersifat dzanniy, sementara hukum yang bersifat
dzanniy dan tidak bersandarkan pada dalil dianggap sebagai
hukum yang batil sebagaimana firman-Nya:

‫َو ِإ َّن الظَّ َّن َال يُ ْغ ِِن ِم َن ا ْْلَ ِق َشْيئًا‬


Artinya: “Sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah
sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. al-Najm:28)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap orang yang


memberikan ketetapan hukum dengan jalan hanya untuk
berhati-hati, maka ia telah memberikan ketetapan hukum
dengan prasangka (dzann). Jika ia memberikan ketetapan
hukum dengan prasangka (dzann), maka ia telah bohong atau
ketetapan hukum dianggap batil. Sementara perbuatan ini
terlarang karena ketetapan hukum hanya bersandar pada
hawa nafsu. 1

1 Lebih lengkapnya lihat, Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 27-30.

96 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Syarat Realisasi Kaidah Sadd al-Dzarî`ah

Sadd al-dzarî`ah sebagai salah satu piranti ijtihad memiliki


sumbangsih yang sangat besar dalam perkembangan fikih
Islam. Meski demikian, sadd al-dzarî`ah tidak dapat
diterapkan dengan hanya bersandar pada hawa nafsu. Ada
standar dan batasan-batasan yang harus diperhatikan
sehingga piranti tersebut tetap sejalan dengan tujuan dasar
diturunkannya hukum syariah. Setidaknya ada lima poin
yang dianggap sebagai standar atau syarat realisasi sadd
dzarî`ah, yaitu:

1. Mafsadah yang ditimbulkan jauh lebih besar


dibandingkan dengan maslahat yang didapatkan.
Karena jika tidak, maka akan membawa umat pada
kerugian dan kehancuran. Namun jika mafsadah yang
ditimbulkan lebih rendah dari maslahat yang mungkin
dihasilkan, maka tidak boleh menggunakan kaidah sadd
al-dzarî`ah. Jika mafsadah dan maslahat berada pada satu
tingkatan, maka dzarî`ah dapat ditutup atau dibuka
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

2. Tidak bertentangan dengan maqâshid syariah.


Syariah Islam datang dengan membawa maslahat bagi
umat manusia. Jika dikaji lebih mendalam mengenai
tujuan dasar diturunkannya hukum syariat, maka akan
diketahui bahwa segala perintah Allah selalu
membawa maslahat bagi umat manusia, sementara
semua larangan-Nya demi menjaga umat manusia agar
tidak jatuh pada kerusakan dan kebinasaan. Penerapan
sadd al-dzarî`ah tidak boleh keluar dari tujuan dasar
diturunkannya syariah. Jika tidak, justru akan
membawa madharat bagi umat manusia.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 97
3. Tidak bertentangan dengan prinsip dasar dan kaidah
umum syariah.
Syariat sebagai hukum Allah memiliki prinsip-prinsip
dasar yang bermuara pada maslahat bagi umat
manusia. Prinsip dasar tersebut di antaranya bersifat
universal, moderat dan adil. Syariah Islam akan selalu
sesuai dengan ruang waktu. Penerapan sadd al-dzarî`ah
harus selalu mengacu pada prinsip dan kaidah umum
ini agar tidak terjadi ketimpangan dalam masyarakat.
Yang dimaksudkan dengan kaidah umum adalah
kaidah fiqhiyyah kulliyyah, yatu konsepsi universal yang
dapat dijadikan sebagi acuan untuk mengetahui
persoalan yang bersifat partikular. Dalam hal ini,
terdapat lima pokok kaidah, yaitu
a. ‫األمور ِبقاصدها‬
(Setiap perkara bergantung pada niatnya)
b. ‫الضرر ال يزال بضرار األكرب‬
(Suatu mudarat tidak dapat dihilangkan dengan
mendatangkan mudarat yang lebih besar)
c. ‫العادة حمكﻤة‬
(Tradisi menjadi ketetapan hukum)
d. ‫اليقّي ال يزول بالشك‬
(Keyakinan tidak dapat digugurkan dengan
keraguan)
e. ‫املشقة َتلب التيسري‬
(Kesulitan membolehkan untuk melakukan yang
mudah)

98 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
4. Tidak menggugurkan hak yang telah ditetapkan
syariah.
Hak dalam Islam merupakan anugerah Tuhan yang
dapat diketahui melalui berbagai sumber hukum yang
mengacu pada nas syariah. Dengan demikian, hak
secara syariah hanya dapat diketahui melalui dalil.
Meski demikian, Islam tetap memberikan batasan-
batasan tertentu terhadap individu dalam
menggunakan hak yang dimilikinya. Batasan tersebut
berkisar seputar maslahat dan mafsadah yang akan
ditimbulkan pada masyarakat sekitar. Tidak
diperkenankan menggunakan hak, jika dapat berakibat
pada timbulnya madharat pada orang lain. Maka, tidak
ada hak mutlak dalam Islam. Hak sendiri masih dibagi
mejadi tiga; hak manusia dengan Tuhan, hak manusia
dengan sesama manusia dan hak yang mengandung
hak Tuhan dan manusia sekaligus. Hak tersebut harus
selalu dijaga sehingga tidak diperkenankan
menerapkan kaidah sadd al-dzarî`ah yang kiranya dapat
menggugurkan berbagai hak di atas.

5. Ketetapan hukum pada sarana tersebut tidak menjurus


pada keterbelakangan dan kemunduran umat.
Efektifitas suatu hukum dalam upaya membangun
suatu tatanan masyarakat sangat berkaitan erat dengan
sarana yang digunakan. Suatu sarana dibolehkan jika
menjurus pada tujuan yang dapat membawa mashahat,
dan dilarang jika berdampak pada mafsadah. Jika
seorang mujtahid sudah mengetahui secara pasti
mengenai maslahat yang akan ditimbulkan, maka ia
sudah dapat memberikan ketetapan hukum pada
sarana yang akan digunakan. Jika suatu perbuatan
tidak mengandung nilai maslahat, atau dapat

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 99
menggugurkan maslahat lain yang lebih penting atau
dapat berakibat pada madharat yang lebih besar, maka
seorang mujtahid harus melarang sarana yang akan
digunakan. Secara sederhana, sadd al-dzarî`ah tidak
dapat diterapkan jika berdampak pada kemunduran
dan keterbelakangan umat Islam.1

Bagian Sadd al-Dzarî`ah

Imam Syathibi membagi sadd al-dzarî`ah dilihat dari besar


kecilnya maslahat atau mafsadah yang ditimbulkan menjadi
empat bagian:

1. Suatu perbuatan yang pasti (qath’iy) dapat


menimbulkan mafsadah, seperti orang yang membuat
sumur di tengah jalan, atau membuat lobang di
rumahnya yang dapat meruntuhkan dinding rumah
tetangga. Dalam hal ini ada dua poin yang harus
diperhatikan. Pertama, perbuatan yang pada prinsipnya
dibolehkan, karena memang mengandung manfaat
bagi pelakunya. Kedua: madharat yang ditimbulkan
bagi orang lain. Jika terjadi benturan antara manfaat
pribadi dengan madharat yang akan menimpa oang
lain, maka dirajihkan pada sisi madharat. Tentu saja ini
sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:

‫دفع املضار مقدم على جلب املنافع‬

Artinya: Menghindari madharat lebih didahulukan


dibanding dengan upaya untuk mencapai manfaat.

1 Lebih lengkapnya lihat, Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 122-128. Lihat juga, Prof. Dr. Zainul `Abidin al-Abdi
Muhammad Nur, op. cit., hal. 298.

100 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Jika seseorang menggali lubang di rumahnya dan
berakibat dapat merobohkan rumah tetangga, maka
sebagian ulama yang melihat pada poin kedua
berpendapat bahwa dia wajib mengganti rugi atas
kerusakan yang ditimbulkan. Sementara ulama lain
yang lebih melihat pada poin pertama mengatakan
bahwa ia tidak berhak menanggung ganti rugi.

2. Suatu perbuatan yang terkadang (nâdiran) dapat


menimbulkan mafsadah, seperti menjual makanan yang
biasanya tidak berdampak pada madharat, atau
menanam anggur, meski ada kemungkinan bahwa
anggur dapat dibuat khamar. Dalam hal ini, melakukan
perbuatan tersebut hukumnya boleh.

3. Suatu perbuatan yang kemungkinan besar (ghâliban)


dapat menimbulkan mafsadah. Dalam hal ini, lebih baik
sarana menuju perbuatan ditutup sebagai sikap hati-
hati. Contoh: menjual senjata pada waktu terjadi fitnah
dan menjual anggur pada pembuat khamar. Menjual
barang dalam kondisi seperti ini hukumnya haram.

4. Suatu perbuatan sering menimbulkan mafsadah. Meski


demikian, mafsadah yang ditimbulkan tidak sampai
pada tingkatan praduga (dzann) yang pasti (qath’iy).
Contoh: jual beli yang dapat dijadikan sebagai sarana
untuk melakukan perbuatan riba, atau akad salîm yang
dimaksudkan untuk melakukan perbuatan riba.1 Pada

1 Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûli al-Syarî`ah, Syarh dan Tahqîq Syaikh Abdullah Daraz, Al-Maktabah
al-Taufîqiyyah, vol II, Kairo, hal. 296 et seqq. Imam Abu Zahrah, op. cit., hal. 261 et seq. Dr. Yusuf Ahmad Muhammad
Badawi, Maqâshid al-Syarî`ah `inda Ibnu Taimiyyah, Dâr al-Nafâ’is, 2000, hal. 363. Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal.
244 et seq.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 101
bagian keempat ini terjadi perbedaan pendapat
dikalangan para ulama antara yang melarang dan
membolehkan.

Ibnu al-Qayyim membagi al-dzarî`ah dilihat dari nilai yang


dihasilkan menjadi dua:
1. Sarana yang dapat menimbulkan mafsadah, seperti
meminum khamar yang dapat menyebabkan mabuk
2. Sesuatu yang sesungguhnya dibolehkan atau
disunnahkan oleh syariat, namun digunakan untuk
menghasilkan sesuatu yang diharamkan, baik secara
langsung atau tidak langsung. Contoh pertama: orang
menikah dengan tujuan tahlîl atau jual beli dengan
tujuan melakukan perbuatan riba. Contoh kedua:
mengumpat Tuhan sembahan orang musyrik didepan
mereka. Bagian ini juga di bagi menjadi dua:
a. Maslahat yang dihasilkan lebih besar dibanding
dengan mafsadah.
b. Mafsadah yang dihasilkan lebih besar dibandingkan
dengan maslahat.

Dengan demikian, maka al-dzarî`ah dilihat dari nilai yang


ditimbulkan dapat dibagi menjadi empat bagian:
1. Suatu perbuatan yang pada prinsipnya menghasilkan
mafsadah, seperti meminum minuman keras yang dapat
menyebabkan mabuk.
2. Suatu perbuatan yang pada prinsipnya dibolehkan,
namun dijadikan sebagai sarana untuk melakukan
perbuatan yang dapat menimbulkan mafsadah, seperti
akad nikah dengan tujuan tahlîl dan akad jual beli
dengan tujuan riba.
3. Suatu perbuatan yang pada prinsipnya boleh dan tidak
dimaksudkan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat

102 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
menimbulkan mafsadah, namun pada ghalibnya sering
menimbulkan mafsadah. Contoh: mengumpat Tuhan
sembahan orang-orang musyrik di hadapan mereka.
4. Suatu perbuatan yang pada prinsipnya dibolehkan,
namun terkadang dapat menimbulkan mafsadah. Hanya
saja, maslahat yang ditimbulkan jauh lebih besar.
Contoh: memandang orang yang akan dilamar
(makhthûbah).1

Tinjauan Sadd al-Dzarî`ah dalam Tataran Praktis

Perbedaan dalam menggunakan piranti hukum berimplikasi


pada perbedaan mereka dalam memberikan ketetapan
hukum fikih. Perbedaan kesimpulan hukum tidak hanya
terjadi antara mereka yang menggunakan atau tidak
menggunakan al-dzarî`ah atau sadd dzarî`ah, bahkan antara
sesama mereka yang menggunakan metode ini dalam
beberapa kasus juga memiliki implikasi hukum yang
berbeda. Di bawah ini, penulis sedikit akan memberikan
contoh praktis ketetapan hukum yang dihasilkan dari
polemik kaidah al-dzarî`ah atau sadd al-dzarî`ah, baik
persoalan tersebut sudah menjadi konsensus antara ulama
atau masih dalam perdebatan, baik yang berkaitan dengan
menutup sarana atau yang berkaitan dengan membuka
sarana.

1. Jika dilihat dari empat bagian sebagaimana diungkapkan


Imam Syathibi di atas, jumhur ulama yang mengakui
hujjiyyah sadd al-dzarî`ah sepakat pada 3 poin bagian
pertama. Namun terjadi silang pendapat di antara
mereka pada poin bagian keempat. Persoalan muncul

1 Dr. Wahbah Zuhaili, op. cit., hal. 913. Ibnul Qayyim, op. cit., 119 et seqq.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 103
dari suatu pertanyaan, apakah perbuatan tersebut
dianggap sebagai sarana menuju perbuatan riba
sehingga sarana harus dilarang, ataukah tidak sehingga
sarana dibolehkan. Bagi yang melarang lebih melihat
pada kemungkinan madharat yang akan ditimbulkan,
sementara bagi yang membolehkan melihat pada prinsip
dasar dibolehkannya suatu akad. Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafii melihat pada prinsip kedua, yaitu
dibolehkannya suatu perbuatan sehingga sarana menuju
ke arah sana tidak diharamkan. Dengan demikian, akad
jual beli atau salîm tidak dianggap fasâd. Bagi mereka,
fasâd kemungkinan besar tidak terjadi. Dalam hal ini,
perbuatan tersebut dibolehkan, karena ketetapan hukum
haram atau menggugurkan suatu perbuatan ditinjau dari
kerusakan yang ditimbulkan. Suatu perbuatan yang
prinsip awalnya dibolehkan, tidak dapat berubah
menjadi haram jika tidak terdapat indikator yang dapat
dijadikan sebagai justifikasi.

Imam Malik dan Imam Ahmad dengan melihat pada


madharat yang mungkin ditimbulkan pada akhirnya
memberikan ketetapan hukum haram. Akad jual beli
atau salîm dianggap batal. Ketetapan hukum tersebut
diambil sebagai upaya antisipasi terhadap mafsadah,
meskipun pada prinsipnya, esensi perbuatan tersebut
dibolehkan. Mereka lebih berpedoman pada kaidah
fiqhiyyah:

‫دفع املضار مقدم على جلب املنافع‬

104 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Artinya : Menghindari madharat lebih didahulukan
dibanding dengan upaya untuk mencapai manfaat.1

2. Ibnu Hazm membolehkan anak menjadi saksi bagi kasus


yang menimpa orang tuanya di depan peradilan. Bagi
Ibnu Hazm, tidak ada nas sharîh yang melarang mereka
yang memiliki sifat `adâlah (orang baik-baik)untuk
menjadi saksi. Sementara jumhur ulama melarangnya
sebagai upaya antisipasi kemungkinan terjadinya
kesaksian palsu atau pembelaan subyektif dari sang
anak.2
3. Larangan ber-khalawat dengan wanita yang bukan
mahramnya untuk menghindari perbuatan zina.
4. Larangan safar wanita tanpa ditemani oleh suaminya
untuk menghindari mafsadah yang mungkin ditimbulkan.
5. Dibolehkan membayar uang tebusan bagi tahanan kaum
muslimin. Pada prinsipnya, dilarang memberikan harta
kepada musuh Islam karena dapat memperkuat posisi
dan pertahanan mereka, selain juga dapat
mengakibatkan madharat bagi kaum muslimin. Meski
demikian, membayar tebusan dibolehkan untuk
memberikan kebebasan bagi segolongan kaum
muslimin. Membebaskan mereka juga dapat
menguatkan barisan kaum muslimin. Ketetapan hukum
tersebut diambil dengan membuka al-dzarî`ah.
6. Dibolehkan bagi kaum muslimin membayar sejumlah
harta kepada pemerintahan yang memusuhi umat Islam
untuk mendapatkan jaminan keamanan dan menjaga
eksistensi mereka, jika kondisi kaum muslimin di daerah
tersebut dalam posisi lemah.

1 Ibid., hal. 265.


2 Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 939. Lebih lengkapnya lihat, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, op. cit., 140 et seqq.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 105
7. Mazhab Hambali dan Hanafi membolehkan memberi
uang suap untuk mengangkat tindak kezhaliman jika
tidak ada jalan lain selain dengan suap. Namun jika ada
cara lain yang lebih baik, atau minimal sepadan tanpa
harus melakukan suap, maka suap menjadi tidak boleh.1

Al-Hail al-Syar`iyyah

Para ulama memasukkan bahasan hail dalam bagian sadd al-


dzarî`ah. Hal ini karena hail masih mengkaji mengenai sarana
untuk mencapai sesuatu, meskipun ditinjau dari titik tolak
yang berbeda. Hail lebih dianggap sebagai upaya tipu
muslihat untuk menghindari suatu ketetapan hukum, atau ia
dimaksudkan sebagai upaya seseorang untuk lari dari
kaidah syariah yang telah baku. Hail lebih spesifik
dibandingkan dengan al-dzarî`ah.

Jika hail dimaksudkan sebagai suatu sarana untuk mencapai


tujuan yang diharamkan, maka hukumnya haram. Jika ia
dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang dibolehkan,
hukumnya boleh. Dengan demikian, hailah dapat dibagi
menajdi dua
1. Hailah syar`iyyah mubâhah, yaitu suatu sarana yang
dibolehkan secara syariat yang sesungguhnya
diletakkan untuk mencapai tujuan tertentu, namun
kemudian digunakan dalam kondisi yang lain demi
mendapatkan hak, atau untuk menghindari
kezhaliman, atau untuk mempermudah sesuatu karena
tuntutan kebutuhan. Dalam hal ini, hail tidak dianggap
melanggar maslahah syar`iyyah dan dibolehkan oleh
syariat. Hail seperti ini tidak dimaksudkan untuk

1 Imam Abu Zahrah, op. cit., hal. 264.

106 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
menggugurkan kebenaran, namun ia dimaksudkan
untuk mengeluarkan ketetapan hukum fikih agar yang
bersangkutan dapat keluar dari problem yang sedang
dihadapi. Selain itu, ia juga tidak dimaksudkan untuk
menggugurkan hukum syariat atau melanggar hak
orang lain baik dalam harta maupun jiwanya.

Contoh: seseorang yang bersumpah akan menggauli


istrinya pada siang bulan Ramadhan. Orang tersebut
menghadapi suatu dilema, jika dia menggauli istrinya
berarti dia telah melanggar perintah Allah, sementara
jika tidak berarti dia melanggar sumpah. Dari sini Abu
Hanifah memberikan fatwa agar yang bersangkutan
melakukan safar. Dengan demikian, dia boleh berbuka
dan boleh menggauli istrinya.

2. Hailah syar`iyyah mahzhûrah, (hailah yang dilarang oleh


syariat), yaitu suatu sarana yang dibolehkan secara
syariat yang sesungguhnya diletakkan untuk mencapai
tujuan tertentu, namun kemudian digunakan dalam
kondisi yang lain yang secara zahir dapat dibenarkan,
namun sesungguhnya hanya sekedar tipu muslihat
belaka. Contoh mengkhususkan sebagian harta warisan
dengan wasiat, atau menginfakkan sedikit dari
hartanya untuk menghindari zakat.

Hanafiyah dan sebagian dari Syafi`iyyah membolehkan


model hail seperti di atas dengan syarat jika tidak
dimaksudkan untuk menggugurkan hukum syariat
secara sharîh. Hanya saja, para Imam lainnya; Imam
Syafii, Imam Ahmad dan Imam Malik menganggap
bahwa perbuatan tersebut diharamkan. Mereka
berlandaskan pada kaidah ushûliyyah yang berbunyi:

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 107
a. ‫األمور ِبقاصدها‬
(Setiap perbuatan bergantung pada niatnya)
b. ‫العربة ِف العقود للﻤقاصد و املعاِن ال لأل لفا ظ و املباِن‬
(Prinsip dalam sistem akad, dilihat dari niat dan
maksudnya, bukan dari lafal dan kata-katanya)
c. 1 ‫التشريع مبنية على مصاحل مقصودة‬
(Syariah dibangun di atas landasan tujuan maslahat )

Jika dilihat dari keterangan di atas, hampir semua madzhab


menggunakan kaidah dzaî`ah kecuali Ibnu Hazm dan
pengikut madzhab Zhâhîriyyah. Imam Ahmad dan Imam
Malik terkenal dengan ulama yang paling banyak
menggunakan dzarî`ah, baru setelahnya adalah Imam Syafii
dan Imam Abu Hanifah. Hanya saja, dua Imam terakhir ini
tidak menerima dzarî`ah secara mutlak. Mereka juga tidak
menganggap dzarî`ah sebagai sumber hukum yang
independen. Dzarî`ah masuk dalam landasan lain yang telah
ditetapkan seperti qiyâs dan istihsân.

Meksi demikian, tidak boleh berlebihan dalam mengambil


dzarî`ah. Terlalu bersikap hati-hati dapat melarang seseorang
untuk tidak melakukan suatu perkara yang sesungguhnya
dibolehkan atau diwajibkan, dengan alasan takut jatuh
dalam perbuatan zhalim. Contoh: orang yang dapat
dipercaya karena memiliki sifat `adâlah tidak mau menjadi
wali bagi harta anak yatim atau harta wakaf karena takut
terjatuh pada perbuatan maksiat atau tuduhan negatif dari
orang lain. Jika hal ini dilakukan, tentu banyak amanah yang
akan terbengkalai.

1 Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., 940 et seqq.

108 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Dzarî`ah juga akan menimbulkan masalah jika dilaksanakan
tanpa batasan yang jelas. Bahkan menurut hemat penulis,
banyak persoalan yang sesugguhnya dapat disikapi dengan
cara lain, namun karena sikap hati-hati yang berlebihan pada
akhirnya menutup banyak perbuatan yang sesungguhnya
dibolehkan. Tentu saja ini berimplikasi negatif, karena akan
mengharamkan perkara yang sesungguhnya dihalalkan
syariah.

Sebagian ulama Islam, mengharamkan beberapa cabang


ilmu pengetahuan karena dianggap bidah dan sesat
menyesatkan. Ilmu filsafat dituding sebagai cabang ilmu
yang dapat menjurus pada sikap atheis. Untuk itu, sarana
menuju sikap atheis harus ditutup. Maka keluarlah fatawa
mengenai haramnya belajar ilmu filsafat. Demikian juga
dengan ilmu logika yang dianggap akan berakibat pada
rasionalisasi seluruh teks-teks agama. Tidak hanya sampai di
situ, ilmu balâghah dengan berbagai cabangnya; bayân, badî’
dan ma`âniy, juga dilarang karena anggapan bahwa cabang
ilmu tersebut hanya akan dijadikan sebagai alat untuk
mengotak-atik dan memberikan takwilan pada nas al-Quran.
Lebih jauh lagi, mereka tidak hanya mengharamkan cabang
ilmu, namun juga melarang bacaan pemikiran tertentu
karena dianggap telah melenceng dari nilai-nilai keislaman.
Lebih naif lagi, sikap mereka cenderung arogan sehingga
sangat mudah melontarkan berbagai tudingan dan tuduhan
negatif; murtad, kafir, kaki tangan Zionis, antek-antek
Amerika dan lain sebagainya.

Persoalan muncul karena ketetapan hukum tersebut didasari


dari sikap subyektif mereka dalam memandang nas al-Quran
ataupun Hadis. Kebenaran yang sesungguhnya adalah

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 109
kebenaran sebagaimana yang mereka pahami. Pendapat
yang lain adalah sesat dan salah yang harus diperangi. Sadd
al-dzarî`ah pada akhirnya hanya sebagai justifikasi untuk
memberangus pemikiran yang berbeda.

Menurut hemat penulis, berbagai cabang ilmu yang


diharamkan tersebut sesungguhnya bebas dari tudingan
mereka. Ilmu pengetahuan bersikap netral. Ia baru akan
menjadi ilmu yang berdampak negatif, ketika diterapkan dan
direalisasikan secara salah oleh empunya. Secara sederhana,
pengguna ilmu tersebut yang memiliki tangung jawab
mutlak terhadap dampak negatif yang ditimbulkan, bukan
pada esensi ilmu. Ilmu pengetahuan bagaikan senjata yang
akan berdampak positif jika digunakan oleh orang shalih.
Namun ia akan dapat menghancur-leburkan umat manusia
manakala dikendalikan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.

Sadd al-dzarî`ah yang berlebihan tidak hanya menimpa pada


ilmu pengetahuan, bahkan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan banyak perbuatan diharamkan dengan
justifikasi kaidah sadd al-dzarî`ah. Wanita muslimah dilarang
pergi ke masjid, menuntut ilmu, bekerja dan bentuk-bentuk
diskriminasi lainnya dengan alasan sadd al-dzarî`ah. Menurut
mereka, wanita keluar rumah, baik untuk belajar atau
lainnya akan berdampak pada perbuatan ikhthilâth yang
diharamkan syariah. Untuk itu, sarana yang dapat
mengantarkan wanita pada perbuatan terlarang juga harus
dilarang.

Dzarî`ah sebagaimana boleh ditutup, ia juga dapat dibuka.


Kaidah ini akan berdampak positif bagi kelangsungan
peradaban Islam modern jika diterapkan secara

110 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
proporsional. Sikap berlebihan pada akhirnya hanya akan
merugikan diri sendiri. Maka yang dibutuhkan adalah sikap
moderat dan seimbang serta mampu memandang berbagai
persoalan secara komprehensif.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 111
BAGIAN KEDUA

FIKIH

112 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
BAB V

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 113
Onani dalam Perspektif Hukum
Islam

Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa laki-laki akan selalu


membutuhkan wanita begitu pula sebaliknya. Keduanya
dapat hidup berdampingan secara serasi dan seimbang serta
saling melengkapi kekurangan pihak lain. Dalam al-Qur’an
Allah Swt., berfirman:

‫اس ََلُ َّن‬ ِ ِ


ٌ َ‫اس لَ ُك ْم َوأَنْتُ ْم لب‬
ٌ َ‫ُه َّن لب‬
Artinya: “Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah
pakaian mereka” (QS. Al-Baqarah: 187).

Allah menciptakan manusia secara sempurna. Manusia


adalah makhluk terbaik di jagat raya. Manusia diberi
anugerah insting dan akal pikiran. Dengan insting dan akal
pikiran, antar sesama manusia dapat saling mengenal.
Sebagaimana firman Allah Swt., yang berbunyi:

‫َّاس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوأُنْثَ ٰى َو َج َعلْنَا ُك ْم ُش ُعوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َع َارفُوا‬
ُ ‫يَا أَيُّ َها الن‬
‫يم َخبِ ٌري‬ ِ َّ ‫اَّلل أَتْ َقا ُكم ۚ إِ َّن‬ َِّ ‫ۚ إِ َّن أَ ْكرم ُكم عِْن َد‬
ٌ ‫اَّللَ َعل‬ ْ ْ ََ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara

114 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Al-Hujurât: 13).

Dengan insting dan cinta terhadap lawan jenis, manusia


dapat melanjutkan keturunan, tentu harus dengan jalan yang
dikehendaki Allah Swt.. Namun jika manusia kurang pandai
dalam mengendalikan insting yang Allah anugerahkan
kepadanya manusia mudah terjerumus ke dalam lembah
dosa.

Pergaulan bebas yang sudah sangat menggejala belakangan


ini, akibat manusia terlalu mengumbar hawa nafsu. Manusia
tidak pandai menggunakan insting sesuai perintah Allah. Ini
menimbulkan berbagai dampak negatif, baik secara
psikologis sosial ataupun kesehatan. Banyak penyakit
mematikan yang muncul akibat sikap manusia tersebut.
Belum lagi bayi-bayi yang dibuang di tong sampah. Jika
ibunya masih punya sikap lemah lembut dan bersedia
mengasuh anaknya, pun akan mengakibatkan tekanan psikis
yang mendalam baik bagi si ibu atau bagi si anak.

Dari sini kita perlu mengkaji kembali mengenai tata nilai dan
hukum Islam yang mengatur masalah insting tersebut. Onani
adalah permasalahan umum yang berkaitan dengan insting
dan membutuhkan jawaban syar’i. Ini karena onani sering
terjadi khususnya di kalangan para pemuda. Secara hukum
pun, onani masih terdapat silang pendapat di kalangan para
ulama. Keduanya sama-sama menggunakan argumentasi,
baik yang berasal dari nas ataupun akal. Di bawah ini,
penulis mencoba untuk mengupas hukum onani sesuai
dengan pandangan para ulama, kemudian mentarjih
pendapat yang dianggap lebih kuat.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 115
Pembahasan

Pengertian Onani

Onani atau masturbasi (al-‘âdah al-sirriyah), adalah seseorang


memaksa untuk mengeluarkan mani tanpa melakukan
jimak, baik dilakukan dengan tangan atau dengan alat lain.1
Menurut Fayumi dalam kitab al-Misbâh, onani adalah
mengeluarkan mani tanpa melakukan jimak sampai mani
tersebut memancar atau keluar.2 Menurut Ibnu Hazm dan al-
Hasan, onani adalah mengurut zakar hingga mengeluarkan
mani.

Onani disebut juga dengan khadhkhadhah, jildu ‘umairah, al-


‘âdah al-sayyi’ah, al-istiqshâ’ dan al-istimnâ’. Khadhkhadhah bisa
berarti menggerakkan air, atau juga mengeluarkan air mani
dengan tangan. Disebut al-‘âdah al-sayyi’ah, karena pada
umumnya orang yang melakukan onani akan menjadi
kebiasaan dan hobi bagi dirinya, serta sering dilakukan
secara sembunyi-sembunyi. Menurut Abdullah al-Idrisi,
disebutkan menggunakan tangan, karena umumya onani
dilakukan dengan tangan.

Kesimpulan dari berbagai definisi di atas adalah bahwa


khadhkhadhah, jildu ‘umairah, al-‘âdah al-sayyi’ah, al-istiqshâ’
dan al-istimnâ’ memiliki satu makna, yaitu mengeluarkan
mani tanpa melakukan jimak.3

1 Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq al-Husni, Al-Istiqshâ li'adillati Tahrîmi al-Istimnâ'wa al-'Âdah al-
Sirriyyah min Nâhiyataini al-Dîniyyah wa al-shihhiyyah, Maktabah al-Qâhirah hal. 5
2 Ini sesuai dengan firman Allah Swt:
Artinya: “Dia di ciptakan dari air yang terpancar” (QS. Al-Thâriq: 6)
3 Ibid

116 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Pandangan Hukum

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum onani.


Jumhur ulama seperti Syafi’iyah, Malikiyah, sebagian dari
Hanafiyah mengatakan bahwa onani diharamkan.
Sementara Ibnu Hazm, Imam Ahmad dan sebagian dari
Hanafiyah membolehkan,1 hal ini berdasarkan dari dalil nas
dan akal.

1. Onani Adalah Mubah

A. Dalil Nash

1. Firman Allah Swt:

‫ص َل لَ ُك ْم َما َحَّرَم َعلَْي ُك ْم‬


َّ َ‫ف‬
Artinya: “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada
kamu apa yang diharamkan-Nya untukmu.” (QS. Al An’âm: 119)

Secara jelas Allah mengatakan bahwa sesuatu yang


diharamkan telah dijelaskan secara rinci. Jika dilihat lebih
lanjut, tidak ada satu nash pun yang secara eksplisit
mengharamkan onani.2

2. Firman Allah Swt:

1 Dr. Yûsuf al-Qaradhawiy, Al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islâm, Maktabah Wahbah, cet 28, hal. 153. Lihat
juga, Ibnu Hazm al-Andalusiy, Al-Muhallâ, jilid 11, hal. 2-3

2 Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq al-Husni, op cit, hal. 51. Al-Sayyid al-Sâbiq, Fikih al-Sunnah, Maktabah
Dâr al-Turâts, jilid II, hal 279

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 117
‫ك نَ ِسيًّا‬
َ ُّ‫َوَما َكا َن َرب‬
Artinya: “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS. Maryam: 64)

Ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah sekali-kali tidak


akan lupa untuk memberikan ketentuan hukum pada
hamba-Nya. Kenyataannya, mengenai haramnya onani tidak
disebutkan oleh nas, baik al-Qur’an maupun Sunah, ini
menunjukkan bahwa onani dibolehkan.

3. Firman Allah Swt:

ِ ِ ِ ِ ِ َّ
ْ ‫ين ُه ْم ل ُف ُروج ِه ْم َحافظُو َن () إَِّال َعلَ ٰى أ َْزَواج ِه ْم أ َْو َما َملَ َك‬
‫ت أ َْْيَانُ ُه ْم‬ َ ‫َوالذ‬
ِ
‫ّي‬ ُ ‫فَإِن‬
َ ‫َّه ْم َغْي ُر َملُوم‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5),
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki;
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (6), barang
siapa yang mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-
orang yang melampaui batas” (QS. Al-Mu’minîn: 5-7).

Pemahaman dari ayat di atas adalah:


1. Allah mengizinkan seorang mukmin untuk melakukan
hubungan seksual dengan istri dan budaknya,
sementara hubungan seksual selain mereka
diharamkan. Jadi jelas bahwa konteks ayat tersebut
adalah tentang perzinahan. Artinya, orang-orang yang
melampaui batas adalah orang-orang yang tidak

118 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
menjaga kemaluannya dari perbuatan zina, jelasnya
lagi bahwa onani tidak masuk dalam ayat ini.1

2. Konteks zina ini selain dapat diketahui dari ayat


tersebut, juga dapat dipahami dari tradisi yang
berkembang pada masa turunnya ayat. Sebagaimana
diketahui, bahwa perzinahan pada masa turunnya ayat
adalah hal yang biasa. Bahwa sebagian pelacur
menaruh bendera di depan rumahnya agar diketahui
bahwa dia adalah pelacur. Dengan demikian, dia dapat
menarik “mangsa” secara lebih mudah. Jika memang
demikian adanya, maka dapat digunakan kaidah usul
yang mengatakan:
‫العادة ختصص العام‬

Artinya: “Tradisi dapat mengkhususkan keumuman lafal”.2

3. Selain itu, tidak terdapat satu nash pun yang


mengkhususkan ayat tersebut dengan onani. Ini
artinya, keumuman ayat tersebut hanya zina,
sementara onani tidak masuk ke dalamnya. Hal ini juga
dapat menggunakan kaidah usul yang mengatakan:
‫إبقاء العام على عﻤومه إذا مل تكن ِف الكَلم قرينة‬
Artinya: “Membiarkan lafal umum tetap umum selama
dalam konteks lafal tersebut tidak ada indikator”3

1 Ibid. hal. 49-50


2 Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajîz fî Ushûlil Fikih, Dâr al-Tawzî' wa al-Nasyr-al-Islâmiyyah, cet I, 1993,
hal. 308
3 Ibid. hal. 304

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 119
4. Firman Allah Swt:
ِ ‫ُه َو الَّ ِذي َخلَ َق لَ ُك ْم َما ِِف األ َْر‬
َِ ‫ض‬
‫َج ًيعا‬
Artinya: “Dia lah Allah, yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah: 29).

Bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah


untuk kepentingan manusia, karena tidak ada larangan
yang jelas mengenai onani, berarti onani juga untuk
manusia. Dengan kata lain, onani hukumnya boleh.1
Hal ini sesuai dengan kaidah usul yang mengatakan:

‫األصل ِف األشياء اإلباحة‬


Artinya: “Hukum asal dari sesuatu adalah boleh”.

5. Firman Allah Swt:

‫ضلِ ِه‬
ْ َ‫اَّللُ ِم ْن ف‬
َّ ‫احا َح َّ َّٰت يُ ْغنِيَ ُه ُم‬ ِ ِ
ً ‫ين َال ََي ُدو َن ن َك‬
ِ َّ ِ ِ
َ ‫َولْيَ ْستَ ْعفف الذ‬
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaknya menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah
mampukan mereka dengan kurnia-Nya.” (QS. Al-Nûr: 33)

Ayat di atas memerintahkan kita untuk bersikap ‘iffah


atau menjaga diri dari perbuatan maksiat, salah
satunya adalah zina. Onani juga dapat menjaga
seseorang dari perbuatan zina. Dengan demikian,
berarti onani diperbolehkan.

1 Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq al-Husni, op cit., hal 47

120 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
6. Firman Allah Swt:
ٍ ‫أَ َملْ ََنْلُ ْق ُكم ِم ْن َم ٍاء َم ِه‬
‫ّي‬ ْ
Artinya: “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang
hina.”

Ayat di atas menyatakan bahwa mani merupakan air


yang hina. Ini menunjukkan bahwa mani adalah
barang sisa yang boleh dikeluarkan kapan saja.1

7. Firman Allah Swt:

ِ ِ ِ ِ ِ َّ
‫ت أَْْيَانُ ُه ْم‬ْ ‫ين ُه ْم ل ُف ُروج ِه ْم َحافظُو َن * إَِّال َعلَى أ َْزَواج ِه ْم ْأو َما َملَ َك‬
َ ‫الذ‬
ِ
‫ادو َن‬
ُ ‫ك ُه ُم الْ َع‬َ ِ‫ك فَأُولَئ‬
َ ‫ّي * فَ َﻤ ِن ابْتَ غَى َوَراءَ َذل‬ ِ
ُ ‫فَإِن‬
َ ‫َّه ْم َغْي ُر َملُوم‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5),
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela
(6), barang siapa yang mencari yang di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-
Mu’minîn: 5-7).

Ayat tersebut melarang perbuatan yang melampaui


batas, yang dimaksud perbuatan melampaui batas
adalah berzina sebagaimana makna hakiki yang
diharamkan. Sementara melampaui batas juga bisa
bermakna majazi yaitu onani yang diperbolehkan. Hal

1 Ibid. hal. 58

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 121
ini mengingat bahwa tidak semua larangan hukumnya
haram, namun kadang juga ibâhah dan nadab.1

8. Para sahabat pernah melakukan onani, khususnya


ketika dalam peperangan, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Qatadah, Hasan Bashri, Mujahid,
Atha Ziyad bin Abi al-Ala dan lain sebagainya.
Perkataan dan perbuatan sahabat dapat dijadikan
sebagai hujah. Ini menunjukkan bahwa onani
diperbolehkan.

9. Hukum menyentuh kemaluan adalah boleh,


sementara onani juga merupakan bagian dari
menyentuh kemaluan. Bedanya onani adalah memijat
kemaluan hingga mengeluarkan air mani. Ini
menunjukkan bahwa onani diperbolehkan.2

10. Hadits yang melarang onani adalah hadits lemah,


sementara dalam kaidah ushul dikatakan:

‫اْلديث الضعيف ال يعﻤل به ِف األحكام و ال ِف الفضائل‬

Artinya: “Hadis dhaif (lemah) tidak dapat diamalkan baik


yang berkaitan dengan hukum atau dalam amalan-amalan
utama”

B. Dalil Akal

1 Ibid. hal. 44
2 Ibid. hal. 45

122 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
1. Mani adalah barang sisa. Dengan demikian, mani dapat
dikiyaskan terhadap barang sisa lainnya yang boleh
dikeluarkan kapan saja.1
2. Mengumbar nafsu syahwat hukumnya haram,
sementara onani dapat mengurangi nafsu syahwat.
Dengan demikian, hukum onani diperbolehkan.2
3. Onani dibolehkan jika kondisi menuntut demikian,
seperti halnya seorang pemuda yang sedang belajar di
negeri orang, sementara berbagai godaan syahwat
berada di hadapannya. Dalam kondisi seperti ini, onani
akan dapat menyelamatkan dirinya dari perbuatan
zina.

2. Onani Adalah Haram

A. Dalil Nash

1. Firman Allah Swt:

ِ ِ ِ ِ ِ َّ
‫ت أَْْيَانُ ُه ْم‬ْ ‫ين ُه ْم ل ُف ُروج ِه ْم َحافظُو َن * إَِّال َعلَى أ َْزَواج ِه ْم ْأو َما َملَ َك‬
َ ‫الذ‬
ِ
‫ادو َن‬ َ ِ‫ك فَأُولَئ‬
ُ ‫ك ُه ُم الْ َع‬ َ ‫ّي * فَ َﻤ ِن ابْتَ غَى َوَراءَ ذَل‬ ِ
ُ ‫فَإِن‬
َ ‫َّه ْم َغْي ُر َملُوم‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5),
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela
(6), barang siapa yang mencari yang di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-
Mu’minîn: 5-7).

1 Ibid. hal. 57
2 Al-Sayyid al-Sâbiq, op. cit., hal 51

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 123
Ayat tersebut memuji orang-orang mukmin yang
mampu menjaga dirinya dari perbuatan tercela, yaitu
mereka yang mampu menjaga kemaluannya. Bagi siapa
saja yang tidak dapat menjaga kemaluannya dianggap
telah melampaui batas. Dalam ayat lain dikatakan
bahwa orang yang melampaui batas adalah orang yang
zalim, firman Allah Swt.:

َِّ ‫ومن ي ت ع َّد ح ُدود‬


ُ‫اَّلل فَ َق ْد ظَلَ َم نَ ْف َسه‬ َ ُ َ ََ ْ َ َ
Artinya: “Dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum
Allah (melampaui batas), maka sesungguhnya dia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri” (QS. Al-Thalâq: 1).

Jika kita menggunakan kiyas, maka akan menghasilkan


konklusi sebagai berikut:
Barang siapa yang mencari di balik itu, maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas dan orang
yang melampaui batas adalah orang yang zalim,
dengan demikian, orang yang mencari di balik itu
adalah orang yang zalim. Sementara, setiap perbuatan
zalim diharamkan oleh Allah Swt.. Di sini, onani masuk
dalam perbuatan melampaui batas yang diharamkan
Allah.

A. Lafal ( ‫ )فﻤن إبتغى و راء‬bersifat umum, mencakup zina,


homoseksual, hubungan seks dengan binatang dan
juga onani. Dalam kaidah usul dikatakan:

‫إبقاء العام على عﻤومه إذا مل تكن ِف الكَلم قرينة‬

124 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Artinya: “Membiarkan lafal umum tetap umum selama
dalam konteks lafal tersebut tidak ada indikator”.
Karena ayat tersebut masih bersifat umum, maka
onani termasuk dalam perbuatan melampaui batas
yang diharamkan.

B. Bagi mereka yang mengatakan bahwa yang


dimaksud dengan ( ‫)فﻤن إبتغى و راء‬ adalah zina,
homoseksual dan hubungan seks dengan binatang
saja, dengan alasan bahwa tradisi dapat
mengkhususkan keumuman ayat tersebut, tidak
dapat diterima. Hal ini karena tradisi yang dapat
mengkhususkan nas adalah tradisi yang bersifat
perkataan (qauliyyah), bukan tradisi yang berupa
perbuatan (fi’liyyah). Sementara tradisi dalam
konteks ayat di atas adalah tradisi fi’liyyah.

C. Jika yang dimaksud dengan ( ‫)فﻤن إبتغى و راء‬, dalam


ayat di atas hanyalah zina, maka konteks ayat
menjadi tidak berguna. Hal ini mengingat bahwa
hukum zina sudah jelas diterangkan dalam al-
Qur’an, maka jelaslah bahwa onani masuk dalam
konteks ayat tersebut.1

2. Firman Allah Swt.:

1 Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq al-Husni, op cit., hal. 7-11. Lihat juga, Syaikh Muhammad Ali Al-
shâbûniy, Mukhtashar Tafsir Ibni Katsîr, Dâr al-Shâbûniy, cet. 7, jilid II, hal. 559

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 125
‫ضلِ ِه‬
ْ َ‫اَّللُ ِم ْن ف‬
َّ ‫احا َح َّ َّٰت يُغْنِيَ ُه ُم‬ ِ ِ
ً ‫ين َال ََي ُدو َن ن َك‬
ِ َّ ِ ِ
َ ‫َولْيَ ْستَ ْعفف الذ‬
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. Al-Nûr:
33).

1. Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan bagi


orang yang tidak mampu menikah untuk bersikap
‘iffah (menjaga kesucian dirinya). Dalam kaidah
usul dikatakan:

‫األمر يفيد الوجوب إال إذا صرفته قرينة‬


Artinya: “Kata perintah menunjukkan wajib
kecuali jika terdapat indikator”.

Dengan demikian, bersikap ‘iffah hukumnya wajib,


maka segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap
ini juga termasuk wajib, seperti zina, homoseksual,
hubungan seks dengan binatang dan termasuk di
dalamnya tidak melakukan onani.

2. Jika dikatakan bahwa melakukan onani juga bagian


dari sikap ‘iffah agar terhindar dari perbuatan zina,
maka perkataan seperti ini tidak dapat diterima.
Jika onani adalah bagian dari ‘iffah, tentu onani
menjadi wajib, karena hukum ‘iffah sendiri adalah
wajib, dan pendapat seperti ini gugur.

3. Jika dikatakan bahwa ‘iffah dalam ayat tersebut


mengandung dua makna, yaitu makna hakiki yang

126 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
diharamkan, yaitu zina, homoseksual dan
berhubungan seks dengan binatang, dan juga
makna majazi (kiasan) yang dibolehkan yaitu
onani, maka pendapat ini juga tidak dapat
diterima. Hal ini karena menggabungkan dua
makna hakikat dan majazi dalam satu lafal,
sedangkan ini tidak dibenarkan. Selain itu, dua
makna tersebut juga saling bertentangan, yaitu
antara sesuatu yang dilarang dengan yang
dibolehkan.

4. Jika dikatakan bahwa tidak semua kata perintah


mengandung makna wajib, namun terkadang
mengandung makna nadab atau ibâhah, perkataan
seperti ini dapat dibenarkan dengan catatan
terdapat indikator. Kenyataannya, dalam ayat di
atas tidak terdapat indikator yang dapat
memalingkan atau menggabungkan makna-makna
tersebut.

5. Allah memerintahkan bagi orang yang tidak dapat


menikah agar berlaku ‘iffah. Antara nikah dengan
‘iffah tidak terdapat “penengah” yang dapat
menjembatani keduanya. Dengan demikian, onani
tetap diharamkan.

6. Jika saja onani dibolehkan, tentu dalam ayat di atas,


Allah memberikan keterangan, kenyataannya tidak
terdapat keterangan. Dalam kaidah usul dikatakan:

‫السكوت ِف مقام البيان يفيد القصر‬

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 127
Artinya: “Diam dalam kondisi yang membutuhkan
keterangan mengandung makna qashr”. Karena
ayat tersebut membutuhkan keterangan, sementara
tidak diterangkan, maka hukum onani menjadi
haram.1

3. Sabda Rasulullah Saw:

‫ يا معشر الشباب من استطاع منك‬:‫قال النىب صلى هللا عليه و سلم‬


‫الباءة فليتزوج و من مل يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء‬

Artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian


yang sudah sanggup menikah maka nikahlah, dan barang
siapa yang belum sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena
puasa itu sebagai perisai” (HR. Bukhari).

a. Bahwa syariat menganjurkan bagi orang yang


tidak sanggup untuk menikah agar dia berpuasa.
Jika saja onani dibolehkan tentu Rasulullah
menerangkan dalam hadits tersebut,
kenyataannya Rasul tidak menerangkan. Dengan
demikian, maka onani hukumnya haram. Hal ini
juga sesuai dengan kaidah usul: Artinya: “Diam
dalam kondisi yang membutuhkan keterangan
mengandung makna qashr”

b. Rasul memerintahkan bagi orang yang tidak dapat


menikah agar berpuasa, padahal onani lebih
mudah dikerjakan dari pada berpuasa, karena

1 Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq al-Husni, Ibid., hal. 21-25

128 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Rasulullah tidak menyinggung onani maka tidak
diperbolehkan.1

4. Sabda Rasulullah Saw:

‫جاء رجل إَل رسول هللا صلى هللا و سلم فقال يا رسول هللا ائذن يل‬
‫أن أختصي فقال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم خصاء أميت الصيام‬
‫و القيام‬
Artinya: “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah, dia
bertanya: wahai Rasulullah ijinkanlah aku untuk mengebiri
diri. Rasulullah Saw., bersabda: mengebiri bagi umatku
adalah puasa dan shalat” (HR. Ahmad)

Dalam hadits tersebut Rasulullah tidak membolehkan


seseorang mengebiri diri sendiri, juga Rasul tidak
memerintahkannya untuk melakukan onani. Bahkan
secara jelas Rasul memerintahkannya untuk melakukan
puasa dan shalat, ini menunjukkan onani hukumnya
haram.2

5. Sabda Rasulullah Saw:

‫إن النيب صلى هللا عليه و سلم قال سبعة ال ينظر هللا إليهم يوم القيامة‬
‫و ال يزكيهم و ال يجمعهم مع العالمين و يدخلهم النار فى أول الداخلّي إال أن‬

1 Ibid. hal. 27-28


2 Ibid. hal. 29-33

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 129
‫ الناكح يده و الفاعل و املفعول به‬:‫يتوبوا و من تاب تاب هللا عليه‬
‫و مدمن اخلﻤر و الضارب والديه حَّت يستغينا و املوذي جريانه حَّت‬
‫يلعنه الناس و الناكح حليله جاره‬

Artinya: “Bahwa Nabi Saw., bersabda: tujuh golongan di


mana Allah Swt., tidak akan memandang mereka pada hari
kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak mengumpulkan
mereka dengan (orang-orang) sekalian alam dan akan
dimasukkan ke dalam neraka dengan orang-orang yang
pertama-tama masuk ke dalamnya, kecuali jika mereka
bertaubat. Barang siapa bertaubat, maka Allah akan
menerima taubatnya, mereka itulah pelaku onani,
homoseksual, pecandu khamar, memukul orang tuanya
sampai dia berteriak, orang yang menyakiti tetangganya
hingga semua orang melaknatnya dan orang yang berzina
kepada tetangganya. (HR. Baihaqi).

1. Dalam hadits tersebut terdapat ancaman yang


sangat keras bagi orang yang melakukan onani, ini
menunjukkan bahwa onani hukumnya haram.

2. Jika dikatakan bahwa hadits ini lemah dan tidak


dapat dijadikan sandaran hukum, maka jawabannya
adalah bahwa hadits lemah yang tidak dapat
dijadikan sandaran adalah hadits lemah yang tidak
ada penguat dari nash lain, jika terdapat nash yang
menguatkannya maka hadits tersebut dapat
diamalkan. Selain itu, juga terdapat hadits senada
dengan jalur periwayatan yang berbeda yang
mencapai derajat hasan. Dengan demikian dapat

130 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
dikatakan bahwa hadits yang telah disebutkan di
atas adalah hadits hasan li ghairihi.

3. Jika pun dua hadits tersebut dianggap lemah dan


tidak dapat dijadikan sandaran hukum, maka
sesungguhnya pendapat ini bertentangan dengan
apa yang dilakukan oleh mayoritas ulama. Dalam
berbagai karya, seperti karya Imam Syafi’i banyak
juga ditemukan hadis lemah. Al-Hafizh Abu Fathi
dalam kitab Matzmâniy wa al-Battar yang banyak
menukil dari pendapat Imam Malik, juga terdapat
hadis lemah. Penulis buku tersebut mengatakan
“menggunakan hadits lemah sebagai hujah dalam
masalah hukum tidak hanya dilakukan oleh mazhab
Maliki, namun juga dilakukan oleh seluruh imam
mazhab. Oleh karena itu, perkataan para ulama yang
mengatakan bahwa hadis lemah tidak dapat
dijadikan sebagai sandaran dalam hukum adalah
perkataan yang tidak dapat dipahami secara mutlak,
seperti yang sering dipahami oleh banyak orang. Hal
ini dikarenakan, jika kita melihat berbagai pendapat
para imam yang berkaitan dengan hukum, baik
pendapat mereka sendiri secara independen atau
hasil dari ijmak atau konsensus, maka kita akan
menemukan bahwa hadits lemah yang mereka
gunakan lebih dari 50%, bahkan terkadang hadits-
hadits tersebut hampir mendekati predikat hadits
maudhû’. Hanya saja sebagian dari para ulama
tersebut mengatakan bahwa hadits ini dapat
diterima, atau mereka mengatakan sudah menjadi
konsensus ulama menerima hadits ini. Sebagian lagi
mengatakan bahwa hadits ini sesuai dengan kiyas,
mereka tetap menggunakan hadits tersebut tanpa

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 131
melihat kembali kaidah yang mengatakan bahwa
hadits yang lemah tidak dapat dijadikan sebagai
sandaran dalam menentukan sebuah hukum.1

B. Dalil Akal

1. Berdasarkan perspektif kedokteran, onani dapat


menimbulkan banyak penyakit atau efek samping
negatif terhadap kesehatan, di antaranya adalah:
a. Dapat melemahkan pandangan mata
b. Melemahkan alat kelamin dan dapat menimbulkan
penyakit impotensi
c. Dapat melemahkan anggota tubuh
d. Melemahkan fungsi testis sehingga tidak dapat
tumbuh secara normal
e. Berdampak negatif terhadap air mani, sehingga air
mani menjadi lebih encer dan sering terjadinya
ejakulasi dini (air mani cepat keluar) ketika
berhubungan seksual
f. Menimbulkan rasa nyeri pada tulang punggung dan
dapat mengakibatkan kebungkukan
g. Mengurangi dan melemahkan air mani, akibatnya
menyulitkan terjadinya pembuahan. Jika pun
pembuahan dapat terjadi, janin yang dihasilkan akan
lemah
h. Dapat menimbulkan tulang kaki lemah, akibatnya
kaki mudah gemetaran
i. Melemahkan otak
j. Dapat menyebabkan berbagai penyakit kelamin2

1 Ibid. hal. 33-40


2 Ibid. hal. 40

132 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
2. Dalam kaidah fikih dikatakan:
‫ال ضرر و ال ضرار‬
Artinya: “Tidak boleh melakukan perbuatan yang
mengandung mudarat bagi diri sendiri dan orang lain”.1

Jika onani dapat menimbulkan berbagai macam penyakit


sebagaimana disebutkan di atas, maka jelas bahwa
hukum onani adalah haram.

3. Air mani bukanlah barang sisa (fudhlah) seperti darah, air


kencing dan sebagainya, sebagaimana, sebagaimana
anggapan sebagian ulama. Benar bahwa mani di dalam
al-Qur’an disebutkan sebagai air yang hina, sebagaimana
firman-Nya:

ٍ ‫أَ َملْ ََنْلُ ْق ُكم ِم ْن َم ٍاء َم ِه‬


‫ّي‬ ْ
Artinya: “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang
hina” (QS. Al-Mursalât: 20).

Hanya saja, hina di sini maksudnya adalah lemah.


Artinya, manusia diciptakan dari air yang lemah, yang
tidak sanggup menjadi bakal manusia kecuali sesuai
dengan kehendak Allah Swt.. Jika pun diterima bahwa
mani adalah barang sisa, namun mani tidak dapat
disamakan dengan barang sisa lainnya.2

4. Bahwa mani di dalam al-Qur’an dianggap sebagai suatu


anugerah yang besar dan bagian dari nikmat Allah yang

1 Prof. Dr. Muhammad Bakr Ismâ'îl, Al-Qawâ'id al- fiqhiyyah baina al-Ashâlah wa al-Taujîh, Dâr al-manân cet I, hal. 96
2 Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq al-Husni, op.cit. hal. 51-52

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 133
tidak dapat dihitung. Allah Swt., di dalam al-Qur’an
mengatakan:

َ‫اخلَالِ ُقون‬ ‫ أَأَنتُ ْم َختْلُ ُقونَهُ أ َْم ََْن ُن‬. ‫أ َُفَ َرأَيْتُم َّما َتُْنُو َن‬

Artinya: “Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang


kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau
Kamikah yang menciptakannya.” (QS. Al-Waqî’ah: 59).

Sementara itu, Allah tidak pernah menyebutkan


anugerah lain seperti darah ataupun air kencing di dalam
al-Qur’an, sebagaimana Allah menyebutkan air mani. Ini
menunjukkan bahwa mani berbeda dengan barang sisa
lainnya. Selain itu jika suatu anugerah disebutkan dalam
al-Qur’an, berarti anugerah Allah itu adalah perkara
yang mempunyai nilai lebih, sebagaimana Allah
menyebutkan tentang alam raya, penciptaan manusia
dan lain sebagainya.1

5. Mani adalah barang yang suci. Untuk menguatkan


statemen ini, Ibnu Qayim mengatakan bahwa Allah Swt.,
banyak memberitahukan kepada kita mengenai ayat ini
dan juga banyak menyebutkan dalam al-Qur’an. Al-
Qur’an juga banyak memberikan sifat mani, di antaranya
adalah:

ِ ِ‫ب والتَّرائ‬
‫ب‬ ِ ْ َ‫( َُيْرج ِمن ب‬6) ‫ُخلِ َق ِمن َّماء َدافِ ٍق‬
ِ ُّ ‫ّي‬
َ َ ‫الص ْل‬ ُُ

1 Ibid. hal. 52

134 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Artinya: “Manusia diciptakan dari air yang memuncrat ()
Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada
perempuan.” (QS. Al-Talâq: 6-7).

Firman Allah Swt:

ٍ ِ‫فَ َﺠ َعلْنَاهُ ِِف قَرا ٍر َمك‬


‫ّي‬ َ
Artinya: “Kemudian Kami letakkan di dalam tempat yang
kokoh (rahim)” (QS. Al-Mursalât: 21).

Allah tidak menyebutkan dan mengulang-ulang sifat


seperti ini pada air kencing atau kotoran lainnya. Ini
menunjukkan—-masih menurut Ibnu Qayim— bahwa
mani bukanlah barang najis, sementara sifat hina dalam
ayat lain, bukan berarti mani bukan sesuatu yang najis,
namun air yang lemah. Meski demikian, dengan
kehendak-Nya, Allah dapat menciptakan manusia.1

6. Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang mulia.


Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

ِ ‫ولََق ْد َكَّرمنَا ب ِِن آدم و ََحلْنَاهم ِِف الْب ِر والْبح ِر ورزقْ نَاهم ِمن الطَّيِب‬
‫ات‬َ َ ُ ََ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ ََ َ ْ َ
ِ ِ ِ
ً‫اه ْم َعلَى َكث ٍري ِم َّْن َخلَ ْقنَا تَ ْفضيَل‬
ُ َ‫ضلْن‬
َّ َ‫َوف‬
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka

1 Ibid. hal. 54

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 135
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isrâ’).

Mani merupakan bahan awal dalam proses penciptaan


manusia yang telah dimuliakan Allah, dengan demikian,
tidak logis jika manusia hanya diciptakan dari barang
sisa. Jadi, mani bukanlah barang sisa.1

7. Mani keluar dari tubuh manusia secara nikmat. Untuk


itulah, Allah memerintahkan agar manusia menikah.
Dengan ini pula, manusia dapat melanjutkan keturunan.
Sementara barang sisa lainnya keluar dari tubuh hanya
sekadar untuk menghilangkan mudarat bagi manusia,
seperti halnya buang air besar dan buang air kecil, atau
untuk pengobatan, seperti mengeluarkan darah kotor
dalam bekam, atau seperti sunah memotong kuku untuk
tujuan kebersihan. Hal ini menunjukkan bahwa mani
bukanlah barang sisa.2

8. Adapun bahwa mani berbeda dengan barang sisa seperti


darah dan lainnya, dapat juga dilihat dari sisi lain, bahwa
mengeluarkan darah dengan bekam dapat menjadi
sebuah profesi. Ini artinya, orang yang melakukan
praktek bekam diperbolehkan menerima upah, jelas ini
berbeda dengan mani.

9. Keluarnya darah atau barang sisa lainnya tidak


diwajibkan mandi. Berbeda dengan mani yang jika
keluar, meski dengan onani tetap diwajibkan untuk
mandi.3

1 Ibid. hal. 55
2 Ibid. hal. 55-56
3 Ibid. hal. 57

136 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
10. Keluarnya barang sisa seperti darah, air kencing dan yang
lainnya tidak membatalkan puasa. Berbeda dengan mani
yang jika keluar dapat membatalkan puasa.

11. Pendapat yang mengatakan bahwa para sahabat juga


melakukan onani tidak dapat diterima:
a. Pendapat para sahabat bukanlah hujah yang bisa
dipegang. Hal ini karena pendapat mereka adalah
ijtihad yang masih ada kemungkinan salah. Di
antara mereka juga ada yang hanya mengikuti
sahabat lainnya. Baik pendapat mujtahid atau
muqallid tidak dapat dijadikan sebagai hujah.
b. Pendapat bahwa para sahabat melakukan onani
diriwayatkan dari sebagian tâbi’în, di antaranya,
Ziyad Abu Al-‘Ala, Hasan dan Mujahid. Mereka
tidak menyebutkan bahwa para sahabat melakukan
hal itu pada masa Nabi Saw.. Dengan demikian, ini
bisa disebut dengan atsar mauqûf yang juga tidak
dapat dijadikan hujah.
c. Jika pun dikatakan bahwa pendapat para sahabat
adalah hujah, bagi orang yang mengakui perkataan
para sahabat, ini pun masih tidak dapat diterima
karena bertentangan dengan nas yang sudah
disebutkan sebelumnya.
d. Dalam kaidah ushul dikatakan bahwa jika terdapat
dua dalil yang saling bertentangan sementara dua
dalil tersebut tidak bisa digabungkan maka harus
dilakukan tarjih, dengan mendahulukan dalil
terkuat. Dilihat dari dua dalil tersebut, maka dalil
yang mengharamkan onani jauh lebih kuat.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 137
Alasannya yang pertama, karena dalil tersebut
adalah firman Allah dan sabda Rasulullah Saw..
Kedua, bahwa hasil penggalian hukum dari nas
tersebut adalah haram. Sementara perkataan sahabat
adalah boleh. Jika antara haram dan mubah
berbenturan maka didahulukan yang haram. Hal ini
sesuai dengan kaidah fikih.

‫درء املفسدة مقدم على جلب املصلحة‬

Artinya: “Mencegah kerusakan lebih didahulukan


dibandingkan dengan mengambil manfaat”.1

12. Onani juga berdampak negatif secara psikis. Hal ini


karena orang yang melakukan onani akan selalu merasa
bersalah sehingga dalam dirinya terjadi perasaan tidak
tenang. Tentu ini akan mengganggu aktivitas lainnya dan
dapat mengurangi produktivitas dirinya.

Munâqasyah dan Tarjih

Jika kita melihat kembali dua pendapat di atas beserta


argumen yang telah dikemukakan, maka akan terlihat bahwa
di dalam kedua pendapat tersebut, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kekurangan pandangan pertama
adalah bahwa mereka hanya melihat mani adalah barang
sisa, tampak menilik lebih mendalam mengenai dampak
negatif onani baik secara psikilogis ataupun kedokteran.
Sementara kelemahan pendapat kedua adalah, bahwa
terdapat beberapa argumen yang terkesan dipaksakan,
seperti pemakaian hadits dhaif serta terlalu menganggap

1 Ibid. hal. 58-59

138 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
remeh pendapat para sahabat. Bagi kalangan Ahlu Sunnah,
para sahabat adalah adil. Mereka tidak akan melakukan
perbuatan haram yang dilarang oleh Rasulullah Saw., pun
mereka tidak akan diam jika melihat kemungkaran, apalagi
yang berkaitan dengan hukum. Perkataan sahabat memang
bisa berupa ijtihad mereka yang tidak hanya mengandung
kebenaran, akan tetapi bisa juga mengandung kesalahan.
Hanya, posisi sahabat berbeda dengan posisi imam madzhab
lainnya. Mereka juga lebih dekat dengan nabi dan lebih
mengetahui turunnya syariat.

Meski demikian, jika kita bandingkan antara dua argumen


tersebut, maka argumen yang mengatakan bahwa onani
adalah haram adalah lebih kuat, argumen ini pula yang
dirajihkan oleh jumhur ulama. Para ulama yang
membolehkannya pun, seperti Imam Ahmad, Abu Hanifah
dan juga Dr. Yusuf al-Qaradawi, mereka membolehkan jika
dalam kondisi darurat. Di sini sesungguhnya yang berlaku
adalah kaidah fikih:

‫الضرورة تبيح احملظورات‬

Artinya: “Kondisi yang mendesak dapat membolehkan melakukan


perbuatan yang dilarang.”1

‫إرتكاب أخف الضررين و أهون الشريرين‬

1 Prof. Dr. Muhammad Bakr Ismâ'îl, op. cit. hal. 73

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 139
Artinya: “Dianjurkan melakukan perbuatan yang mengandung
bahaya yang lebih ringan dan mengandung keburukan yang paling
minimal”1

Hanya saja kaidah ini dilanjutkan dengan kaidah yang lain:

‫الضرورة تقدر بقدرها‬


Artinya: “Melakukan hal yang dilarang, sesuai dengan kadar
kebutuhannya (secukupnya).”2

Dengan kata lain, berlebih-lebihan dalam melakukan hal


terlarang dalam keadaan darurat tetap diharamkan.

Sebab-Sebab Orang Melakukan Onani

1. Sering melihat film atau majalah porno.


2. Sering membaca tulisan porno
3. Sering mendengar sesuatu yang dapat membangkitkan
syahwat
4. Sering pergi ke tempat-tempat maksiat
5. Tidak mengetahui hukum Allah Swt
6. Mengikuti hawa nafsu setan
7. Tidak menikah
8. Tidak pandai menjaga detikan pikiran yang berasal dari
setan dan hawa nafsu
9. Tidak menjaga pandangan
10. Tidak menyibukkan diri dengan ibadah dan dakwah

1 Ibid. hal. 104


2 Ibid. hal. 78

140 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
11. Tidak peduli terhadap dampak negatif yang
ditimbulkan
12. Menganggap onani adalah perbuatan biasa
13. Tidak memiliki keinginan yang kuat untuk
menghindari onani
14. Sering menyendiri
15. Meremehkan hasil yang diperoleh dari puasa
16. Tidak mengindahkan etika tidur sesuai dengan syariat
Islam
17. Tidak konsisten dengan doa dan zikir yang
disyariatkan.1

Cara Mengatasi Onani

Onani jika telah menjadi kebiasaan akan sulit terobati. Onani


bisa menjadi candu bagi siapa saja yang pernah
melakukannya. Hanya setiap penyakit pasti ada obatnya. Di
bawah ini, penulis akan mencoba memberikan solusi untuk
keluar dari kebiasaan buruk tersebut:
a. Jaga pandangan, jangan membiarkan mata Anda jatuh
pada hal-hal yang diharamkan Allah. Jangan sekali-kali
melihat film porno, majalah atau tulisan porno.
Pandangan adalah salah satu panah setan. Jika Anda
sudah dapat menjaga pandangan, maka Anda juga akan
dapat menjaga pikiran dan hati Anda dari ilustrasi kotor.
Dengan demikian, Anda akan selamat dari perbuatan
onani.

b. Jaga telinga Anda. Jangan biarkan telinga Anda


mendengar sandiwara atau perbincangan yang dapat

1 Muhammad Shalih al-Munjid, al'Âdah al-Sayyi'ah, Maktabah al-Shafâ, cet I, 2001, hal 5-9

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 141
membangkitkan syahwat. Itu akan merasuk ke dalam
otak Anda dan membayangi pikiran Anda. Usahakan
Anda mendengar hal yang baik-baik, seperti bacaan kitab
suci dan ceramah agama. Jika Anda dapat menjaga
telinga Anda, maka otak pikiran Anda akan terjaga dan
Anda akan selamat dari kebiasaan onani.

c. Jaga mulut Anda. Jangan biarkan mulut Anda berbicara


atau menimpali pembicaraan yang mengundang nafsu
syahwat. Itu juga akan menimbulkan ilustrasi yang
buruk dalam otak Anda. Bicaralah yang baik-baik atau
jika tidak dapat berbicara baik, maka bersikaplah diam,
karena itu lebih baik dan selamat bagi Anda.

d. Hati-hati dalam bergaul. Sahabat Anda adalah diri Anda


sendiri. Jika Anda terbiasa bersahabat dengan orang
yang memiliki kebiasaan buruk, lambat laun anda akan
terpengaruh. Bergaullah dengan sahabat yang dapat
menuntun Anda ke jalan yang benar. Mengenai sahabat
ini, Allah Swt., berfirman:

ِ ٍ ‫ض ُه ْم لِبَ ْع‬ ٍِ ِ
َ ‫ض َع ُد ٌّو إَِّال الْ ُﻤتَّق‬
‫ّي‬ ُ ‫ْاألَخ ََّلء يَ ْوَمئذ بَ ْع‬
Artinya: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya
menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang
yang bertaqwa” (QS. Al-Zukhruf: 67).

e. Hendaknya Anda mengetahui halal-haram. Dengan


demikian, Anda tidak akan mudah jatuh ke dalam
perbuatan dosa.

f. Konsistenlah dalam menjalankan shalat lima waktu.


Shalat yang baik akan berimplikasi positif dalam tingkah

142 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
laku Anda. Jika kehidupan Anda selalu digantungkan
kepada Sang Pencipta, hati Anda akan tenang,
kehidupan Anda akan lapang. Anda akan dapat
mengendalikan diri Anda, Anda akan merasa malu
dengan Sang Pencipta. Pada akhirnya, Anda akan
selamat dari segala perbuatan tercela.

g. Hadirilah berbagai pengajian atau majelis ilmu. Ingatlah


bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Anda akan
menjadi orang mulia di dunia dan akhirat. Jika Anda
sudah merasakan nikmatnya ilmu, niscaya Anda tidak
akan merasa bosan, Anda akan sibuk dengan ilmu dan
pada akhirnya Anda akan dapat meninggalkan
perbuatan buruk Anda.

h. Isilah waktu kosong Anda dengan sesuatu yang


bermanfaat. Isilah kekosongan dengan sunah-sunah
Rasul dan jauhilah teman yang selalu mengajak kepada
kejahatan.

i. Puasa adalah salah satu cara yang paling jitu untuk


mengatur hawa nafsu. Puasa dapat mendorong orang
untuk lebih taat kepada perintah Allah Swt., dan
menjauhkan diri dari segala larangan-larangan-Nya.
Puasa akan menambah kedekatan kita kepada Allah
Swt., serta meningkatkan ketaqwaan. Dalam al-Qur’an
Allah berfirman:

‫ب َعلَى‬ ِ ِ ِ ِ َّ
َ ‫ب َعلَْي ُك ُم الصيَ ُام َك َﻤا ُكت‬ َ ‫ين َآمنُواْ ُكت‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
‫ين ِمن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّ ُقو َن‬ ِ َّ
َ ‫الذ‬

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 143
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

j. Berusaha untuk selalu melangkah dengan mengharap


ridha Allah Swt., yaitu dengan mentaati segala perintah-
Nya. Dengan demikian, diri kita akan terjaga dari
perbuatan buruk.

k. Menikah adalah salah satu sarana untuk mengatasi


onani. Menikah adalah rahmat Allah bagi umat manusia.
Selain terhindar dari perbuatan tercela, menikah dapat
menenangkan batin dan menjadikan hidup lebih
bermakna. Anda akan selalu riang gembira dengan
pasangan Anda. Insting Anda akan tersalurkan dengan
halal, bahkan dianggap sebagai bagian dari ibadah
kepada Allah Swt.. Mengenai kewajiban menikah, Allah
berfirman:

‫ّي ِم ْن عِبَ ِاد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم ۚ إِ ْن يَ ُكونُوا‬ ِِ َّ ‫وأَنْكِحوا ْاألَيامى ِمنْ ُكم و‬
َ ‫الصاْل‬ َْ ََٰ ُ َ
‫يم‬ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ‫فُ َقَراءَ يُغْنِ ِه ُم‬
ٌ ‫اَّللُ َواس ٌع َعل‬َّ ‫ضله ۚ َو‬ ْ َ‫اَّللُ م ْن ف‬
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yang patut (nikah) dari hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan mampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS.
24:32).

Jadi Anda jangan takut menikah karena persoalan materi,


karena Allah Swt., akan selalu menolong Anda. Ingatlah ayat
di atas, “Jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan

144 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.1

Penutup

Onani adalah perbuatan tercela yang secara jelas dilarang


oleh syariat. Onani sering dilakukan oleh para pemuda,
apalagi ketika mereka disuguhi dengan berbagai hal yang
dapat membangkitkan syahwat. Pada masa sekarang,
menjaga diri dan berlaku ‘iffah memang berat. Di mana-mana
kita disuguhi dengan berbagai adegan yang dapat membuat
kita mengumbar nafsu. Tidak hanya di jalan raya, bahkan di
rumah kita sekalipun. Berbagai acara televisi yang
menggiurkan justru semakin semarak dan sangat
digandrungi oleh masyarakat. Betapa Inul Daratista begitu
masyhur dengan goyang ngebornya. Betapa nyanyian
“Cecak Rowo” yang sangat porno dan vulgar begitu familier,
bahkan di telinga anak-anak balita sekali pun. Jika setiap hari
kita disuguhi dengan berbagai tayangan yang tidak sehat
seperti ini, akan jadi apakah generasi muda mendatang?

Itu mungkin belum seberapa. Kita akan lebih terkejut


manakala CD “Bandung Lautan Asmara” tidak hanya
muncul sekali. Namun muncul berbagai macam CD serupa
mempertontonkan adegan porno, bukan dari Amerika,
namun berasal dari negara muslim terbesar di dunia;
Indonesia.

Mungkin benar poling dari salah satu koran yang


mengatakan bahwa 90% perawan Yogya sudah tidak
perawan. Bahkan dalam media lain mengungkapkan, bahwa

1 Ibid. hal. 9-50

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 145
kasus “tidak perawan” ini juga sudah disaingi oleh Bandung
dan Surabaya. Seks bebas ternyata telah menjadi tren di
kalangan para remaja, pelajar dan mahasiswa, sungguh
sangat memilukan hati.

Beban dakwah semakin berat. Dakwah amar makruf nahi


munkar yang merupakan sebuah kewajiban bagi setiap
muslim, semakin membutuhkan kerja keras. Amar makruf
nahi munkar inilah yang akan menyelamatkan manusia dari
gerbang kehancuran.

Dari mana kita memulai? Tentu dari komponen terkecil. Dari


diri kita, keluarga kita, tetangga kita dan begitu seterusnya.
Dengan demikian, lambat laun Islam akan kembali bersinar
di negeri kita.

Onani seakan persoalan yang sepele, namun persoalan kecil


jika dibiarkan lambat laun akan menumpuk dan menjadi
besar. Pun itu adalah hal kecil di mata manusia. Banyak hal
kecil menurut kita, namun di mata Allah adalah perkara
yang sangat besar. Betapa Allah memasukkan seseorang ke
dalam surga karena memberi minum anjing, namun juga
memasukkan seseorang ke dalam neraka hanya karena
menyekap seekor kucing.

Semoga kita diberi pengetahuan yang bermanfaat, semoga


kita menjadi hamba yang dapat mengamalkan ilmu yang kita
dapat. Semoga segala langkah kita hanyalah mengharap
ridha Allah semata, amin.

146 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
BAB VI

Hukum Wanita Menjadi Imam


Shalat
Bagi Makmum Laki-laki

Pada hari Jumat, 18 Maret 2005, dunia Islam dikejutkan oleh


peristiwa di sebuah gereja di Amerika Serikat. Ketika itu,
seorang tokoh Islam yang dikenal aktif memperjuangkan
kesetaraan gender, bernama Prof. Dr. Aminah Wadud,
menjadi imam dan khatib untuk salat Jum'at.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 147
Jama’ahnya berjumlah sekitar 100 orang bercampur laki-laki
dan wanita. Dari gambar-gambar yang disiarkan oleh media
massa terlihat shaf shalat bercampur aduk antara laki-laki
dan wanita. Shaf laki-laki dan wanita sejajar. Di samping itu,
muadzinnya seorang wanita yang tidak mengenakan jilbab,
tetapi ia ikut shalat jumat juga.

Shalat jumat kontroversial tersebut menimbulkan banyak


polemik di dunia Islam. Para intelektual Islam kembali
mempertanyaan keabsaahan wanita mejadi imam shalat bagi
kaum laki-laki. Para intelektual muslim dituntut untuk
kembali mengkaji dan membuka lembaran kitab kuning agar
dapat diketahui ketetapan hukum yang sebenarnya.

Namun yang perlu digarisbawahi adalah justifikasi Aminah


Wadud ketika diwawancarai mengenai latar belakang
mengapa dia berani menjadi imam dan khatib shalat jumat.
Aminah Wadud tidak berbicara mengenai landasan ataupun
ketetapan hukum fikih, namun lebih pada luapan emosional
terhadap diskriminasi kaum wanita, termasuk di dalamnya
dalam urusan ibadah. "Kami memperjuangkan hak-hak
perempuan dalam Islam. Kami tidak lagi mau sekadar
menjadi pintu belakang atau bayang-bayang," katanya,
seperti dikutip Associated Press. "Pada saatnya kelak, kami
akan memimpin muslim sedunia."

Di bawah ini, penulis tidak akan memberikan ketetapan


hukum terhadap apa yang dilakukan oleh Aminah Wadud.
Bagi penulis, pelaksanaa shalat jumat dengan tujuan selain
ibadah kepada Allah jelas tidak sah. Rasulullah bersabda:

148 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
1‫ات وإََِّّنَا لِ ُك ِل ْام ِر ٍئ ما نَ َوى‬
ِ َّ‫ال بالنِي‬ ْ ‫إََِّّنَا األ‬
ُ ‫َع َﻤ‬

Artinya: “Hanya saja setiap amal perbuatan bergantug pada


niat, dan hanya saja setiap orang itu bergantung pada niatnya”.

Dalam kaidah fiqhiyah juga dikatakan:

‫األمور ِبقاصدها‬
Artinya: Setiap sesuatu bergantung pada maksudnya (niat).

Dalam kasus Aminah Wadud, shalat jumat yang


dilaksanakan di katederal Kristen tersebut, antara jamaah
wanita dan pria berdiri sejajar dan berdampingan serta
terjadi ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita).
Tidak heran jika sederet ulama besar seperti Dr. Yusuf al-
Qaradhawi dan Syaikh al-Azhar Muhammad Sayyid
Thanthawi menentang keras dan menganggapnya sebagai
orang yang telah melakukan perbuatan bid’ah. Bahkan
lembaga hukum Fiqih Islam yang bernaung di bawah OKI ini
menilai apa yang dilakukan Wadud ini sebagai bid'ah yang
menyesatkan dan musibah.

Gambaran Masalah

Dalam praktek beribadah, Islam mengenal dua pendekatan

1 HR. Bukhari dalam kitab bad’u’l wahyiy, bab bad’u’l wahyiy, hadis no. 1. HR. Muslim dalam kitab al-Imârah, hadis
no. 3530. HR. Tiridzi dalam kitab fadhâ’ilu’l jihâd, hadis no. 1571. HR. Nasa’i dalam kitab thahârah, hadis no. 74.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 149
sekaligus, yaitu "hablun minalLâah" (membina hubungan
dengan Allah) dan "hablun min al-nâs" (menjalin hubungan
dengan sesama manusia). Mengenai ibadah yang langsung
berhubungan dengan Allah, harus ada keterangan yang jelas
dari nas al-Qu’an atau al-Hadis, baik yang tersebut dalam
ayat-ayat Al-Qur'an ataupun yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Saw.. Cara orang Islam shalat misalnya, tidak
dirinci dalam Qur'an, namun langsung mendapatkan contoh
dari praktek Rasulullah Saw.. Kita yakin bahwa Nabi
melakukannya seperti yang ditunjukkan oleh Allah, baik
waktu maupun jumlah rakaat serta masalah-masalah teknis
lainnya. Kita boleh menduga-duga mengapa demikian,
tetapi tidak tahu dugaan mana yang paling benar. Shalat,
berpuasa, dan haji adalah bagian dari ibadah yang langsung
berhubungan dengan Allah (hablun minalLâh) sehingga kita
harus melakukan sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi
Muhammad Saw..

Prinsip dalam beribadah adalah ta’abud dan ittibâ’


sebagaimana yang tertuang dalam kaidah fiqhiyyah:

‫األصل ِف العبادة التعبد واالتباع‬

Artinya: Prinsip dalam beribadah adalah untuk menyembah


(Allah) dan mengikuti (Sunnah Rasulullah).

Maka dalam hal ini tidak boleh melakukan ibadah dengan


inovasi sendiri tanpa ada landasan hukum yang jelas,
termasuk di dalamnya tentang siapa yang menjadi imam
dalam shalat. Karena perbuatan tersebut akan masuk dalam

150 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
perbuatan bid’ah, yaitu mengada-ada dalam urusan agama.
Sementara secara tegas Rasulullah bersabda:

1‫ب َعلَ َّي ُمتَ َع ِﻤ ًدا فَ ْليَتَبَ َّوأْ َم ْق َعده ِم ْن النَّار‬


َ ‫َم ْن َك َذ‬

Artinya: “Barang siapa yang berbohong dalam urusanku secara


sengaja, maka tempat duduknya adalah neraka”.

Tentu ini sangat berbeda dengan ibadah yang berkaitan


dengan interaksi antara sesama manusia (hablun min al-nâs).
Dalam ilmu fikih biasanya masuk dalam kajian fikih
muammalat. Jika prinsip ibadah adalah ta’abbud dan ittibâ,
maka muammalat memiliki prinsip yang berbeda. Dalam
kaidah fiqhiyyah dikatakan:

‫األصل ِف املعﻤَلت االلتفات إَل املعاِن واملقاصد‬

Artinya: Prinsip dalam muammalat adalah melihat makna


dan maksud.

Dua macam ibadah tersebut; hablun minalLâh dan hablun min


al-nâs tidak boleh dicampur aduk, karena akan mengaburkan
prinsip ibadah. Dari sini tidak boleh kemudian melakukan
ibadah dengan menggunakan prinsip kesetaraan gender,
demi terciptanya hak asasi manusia, mendobrak tatanan

1 HR. Muslim kitab muqaddimah, hadis no. 5. HR. Muslim kitab janâ’iz, hadis no. 0549. HR. Tirmidzi kitab janâ‘iz,
hadis no. 921.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 151
masyarakat yang patriarki atau argumentasi lainnya.

Melihat kenyataan di atas, maka eksistensi imam wanita


perlu mendapatkan tinjauan hukum yang jelas, baik melalui
tinjauan langsung dari al-Quran atau jika tidak ditemukan,
maka kita akan merujuk pada keterangan dari Rasulullah
Saw.. Di bawah ini, penulis mencoba melihat persoalan
tersebut dari tinjauan fikih dan bukan studi kasus
sebagaimana yang terjadi pada Aminah Wadud. Penulis
merujuk pada pandangan ulama terdahulu, ulama
kontemporer dan mengumpulkan berbagai letupan yang
muncul di beberapa milis.

Pandangan Hukum

Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya


wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki. Sebagan ada
yang membolehkan, namun sebagian lain ada yang
mengharamkan. Secara detailnya sebagai berikut:1

1 Penulis tidak mengatakan ijmak karena dalam kitab ushul fikih dikatakan bahwa ijmak adalah konsensus seluruh
para mujtahid dari umat Muhammad Saw. pada masa tertentu setelah nabi Muhammad Saw. wafat mengenai
ketetapan hukum syaiat dalam perkara yang bersifat praktis. Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushûlu’l Fikihi, Dâr al-
Fikri al-Arabiy, hal. 185. Mafhûm mukhâlafah dari definisi tadi adalah, jika masih ada mujtahid yang tidak sependapat
berarti perkara tersebut belum disebut ijmak, atau masih mukhtalaf fîhi. Hal ini dikuatkan dengan pandangan ulama
terdahulu yang masih menganggapnya sebagai perkara khilafiyah. Lebih lengkapnya lihat, Ibnu Quddamah, al-
Mughniy, Tahqîq Dr. Muhammad Syarafuddin Khithâb dan Dr. Al-Sayyid Muhammad al-Sayyid, Dârt al-Hadîts, vo.
II, 2004, hal. 313. Ibnu Rusyd, Bidâyatu’l Mujtahid wa Nihâyatu’l Muqtashid, Tanqîh wa Tashhîh Khâlid al-Îththâr, Dâr
al-Fikr, vol. I, hal, 118. Di antara ulama kontemporer yang menganggapnya sebagai persoalan khilafiyah adalah Dr.
Ali Jumah dan Prof. Dr. Thaha Jabir al-Alwani. Yang terkakhir ini pernah mengatakan dalam acara "Min
Washington" di TV Al-Jazeera pada kamis malam (17/3/2005), “Masalah ini adalah khilafiyyah. Pendapat ketiga
ulama tadi (maksudnya al-Thabari, al-Muzanni dan Abu Tsaur) patut dipertimbangkan untuk kondisi saat ini,

152 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
A. Wanita Tidak Boleh Menjadi Imam bagi Makmum
Laki-laki

Mereka adalah jumhur ulama, di antaraya imam Syafi’i,


imam Malik, imam Ahmad, Ibnu Hazm, Ibnu Quddamah
dan Ibnu Rusyd mengatakan bahwa wanita tidak boleh
menjadi imam bagi makmum laki-laki.1 Di antara ulama
kontemporer yang sependapat dengan jumhur adalah Dr.
Yusuf al-Qaradhawi dan Saikh al-Azhar Imam Akbar prof.
Dr. Muhammad Sayyid Thantawi. Adapun arugmentasi
yang mereka gunakan berasal dari dalil manqûl dan ma’qûl.

1. Dalil Manqûl
Sabda Rasulullah Saw.:
2
ً‫الَ تَ ُؤَّم َّن ْامَرأَةٌ َر ُجَل‬
Artinya: Janganlah seorang perempuan mengimami laki-
laki.

‫َخَرُه َّن هللا‬


َّ ‫وه َّن حيث أ‬ ِ
ُ ‫أَخ ُر‬
3

apalagi ketiganya cukup kompeten dalam ilmu fikih”. Beliau juga mengatakan bahwa secara prinsip menerima,
hanya saja timing-nya yang kurang tepat.
1 Lebih lengkapnya lihat, Ibnu Quddamah, op. cit., Ibnu Rusy, op. cit, Imam Nawawiy, Kitâbu’l Majmû’ Syarhu al-
Muhadzdzab li al-Syairâziy, Tahqîq, Muhammad Mujib al-Muthî’I, Maktabah al-Irsyâd, vol. IV, hal. 151 et. Seq.,
Hâsyiystâni Qalyûbi-Umairah, Dâr al-Fikr, vol I, 1998, hal. 267. Mausû’atu al-Fikihi al-Islâmiy, Wizâratu’l Auqâf Majlis
A’lâ li Syu’ûni al-Islâmiyyah, vol. XXV, 1996, hal. 49-118.
2 HR. Ibnu Majah.
3 Demikianlah tercantum dalam kitab “Bidâyatu’l Mujtahid” yang menganggap bahwa perkataan tersebut adalah
sabda Rasulullah. Dalam kitab “Aunu’l Ma’bûd Syarh Abû Dâwud” perkataan ini tidak langsung dinisbatkan pada
Rasulullah Saw., namun pada Ibnu Mas’ud. Pertanyaannya kemdudian, apakah perkataan Ibnu Mas’ut tersebut

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 153
Artinya: Letakkan para wanita dibelakang sebagaimana
Allah meletakkan mereka di belakang.

Wajhu al-dilâlah:

Hadis pertama secara sharîh melarang wanita menjadi imam


bagi makmum laki-laki. Sementara hadis kedua secara
mafhûm dapat dipahami bahwa jika dalam shalat wanita
harus berada pada shaf belakang setelah laki-laki, bagaimana
mungkin mereka dapat menjadi imam yang berada pada
barisan paling depan.

Dalil Ma’qûl:

1. Jika benar bahwa wanita dapat menjadi imam shalat


tentu dapat diketahui dari riwayat para sahabat dan
dilaksanakan oleh para pendahulu. Kenyataannya hal ini
tidak pernah terjadi.1

2. Shalat dalam Islam bukan hanya doa seperti dalam


sembahyangnya agama Kristen, tapi dalam shalat
terdapat gerakan-gerakan, duduk, rukuk dan sujud. Dan
gerakan-gerakan itu tak etis dilakukan seorang wanita di
depan laki-laki. Apalagi berkaitan dengan shalat yang
merupakan ibadah yang dituntut adanya khusyu hati,
ketenangan jiwa dan konsentrasi dalam bermunajat

dianggap marfu’ kepada Rasulullah ataukah hanya fatwa belia saja? Secara lengkap hadis tersebut berbunyi, ‫ال اِبْن‬
َ َ‫ق‬

‫اَّلل‬ ُ ْ‫وه َّن ِم ْن َحي‬


َّ ‫ث أَخََّرُه َّن‬ ِ
ُ ‫ َم ْسعُود أَخ ُر‬. HR. Bukhari hadis no. 685, HR Abu Dawud hadis no. 515.

1 Ibnu Quddamah, op. cit.

154 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
kepada Allah. Sedangkan tubuh wanita tercipta berbeda
dengan tubuh laki-laki, di mana seorang wanita memiliki
tubuh yang dapat merangsang laki-laki.1

3. Karena itu, untuk menghindari fitnah dan upaya


preventif, maka syariat menjadikan masalah imam,
adzan dan iqamat untuk laki-laki. Posisi shaf shalat
wanita di belakang shaf laki-laki dan menjadikan shaf
paling utama laki-laki di depan dan bagi wanita paling
belakang.2

4. Walhasil, selain akan menambah gharâbah (asing) dan


nakarah (ketidakpastian), juga akan menambah sulit
pemahaman fikih Hadis. Landasan mereka mengenai
dibolehkannya imam wanita adalah Hadis riwayat
Ummi Waraqah yang berbunyi:

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه‬ َّ ‫ أ‬،‫صا ِريَِّة‬ َِّ ‫ت عب ِد‬ ِ


َ ‫َّيب‬َّ ِ‫َن الن‬ َ ْ‫اَّلل بْ ِن نَ ْوفَ ٍل ْاألَن‬ َْ ‫َع ْن أُِم َوَرقَةَ بِْن‬
‫ ائْ َذ ْن ِيل ِِف الْغَْزِو‬، ‫ول هللا‬ َ ‫ يَا َر ُس‬:ُ‫ت لَه‬ ُ ‫ قُ ْل‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،‫َو َسلَّ َم لَ َّﻤا َغَزا بَ ْد ًرا‬
ِ ِ‫ «قَ ِري ِِف ب يت‬:‫ال‬
‫ك‬ َْ َ َ‫ ق‬،ً‫ لَ َع َّل هللا أَ ْن يَْرُزقَِِن َش َه َادة‬،‫ضا ُك ْم‬ َ ‫ض َم ْر‬ ُ ‫ك أ َُم ِر‬ َ ‫َم َع‬
:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫يدة‬ َ ‫الش ِه‬
َّ ‫ت تُ َس َّﻤى‬ ْ َ‫ فَ َكان‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،»‫َّه َاد َة‬ ِ َّ ‫فَِإ َّن‬
َ ‫اَل يَْرُزقُك الش‬ َ ‫اَّللَ تَ َع‬
‫َّخ َذ‬ِ ‫ت النَِّيب صلَّى هللا علَي ِه وسلَّم أَ ْن تَت‬ ِ َ‫َت الْ ُقرآ َن فَاستَأْ َذن‬ ِ ‫وَكانَت قَ ْد قَرأ‬
َ َ َ ْ َ ُ َ َّ ْ ْ َ ْ َ
3ً‫رية‬
َِ ‫ت غُ ََل ًما ََلَا َو َجا‬ ْ ‫ت قَ ْد َدبََّر‬ ْ َ‫ َوَكان‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ فَأ َِذ َن ََلَا‬،‫ِِف َدا ِرَها ُم َؤِذنًا‬

1 Dr. Yusud Qaradhawi yang dinukil dari www. Eramuslim.com


2 Ibid.
3 HR. Ahmad dalam kitab Min Musnad al-Qabâil, hadis no. 26022.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 155
Artinya: Dari Ummi Waraqah binti Abdillah bin Naufal al-
Anshari bahwa Nabi Saw ketika terjadi perang Badar, ia
(Ummi Waraqah) berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, ijinkan aku ikut berperang bersamamu
untuk mengobati orang-orang sakit di antara kalian semua,
semoga Allah memberikan rezeki kepadaku dengan mati
syahid”. Bersabda (Rasulullah), “Tinggallah engkau
dirumahmu. Sesungguhnya Allah akan memberikan rezeki
syahid kepadamu”. Kemudian ia (Ummi Waraqah) dijuluki
dengan al-Syahîdah. Ia telah hafal al-Qur’an, maka ia meminta
ijin kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mengambil seorang
muadzin di rumahnya, naka Rasulullah memberikan idzin
kepadanya. Dan dia telah menjanjikan merdeka jika dia
meninggal atas seorang budak laki-laki dan seorang budak
perempuan.

‫ورَها ِِف بَْيتِ َها َو َج َع َل ََلَا ُم َؤِذنًا‬ ُ ‫اَّلل صلى هللا عليه وسلم يَُز‬
َِّ ‫ول‬ ُ ‫َوَكا َن َر ُس‬
‫ت ُم َؤِذنَ َها‬ ُ ْ‫الر َْحَ ِن فَأَنَا َرأَي‬
َّ ‫ال َعْب ُد‬َ َ‫ ق‬.‫يُ َؤِذ ُن ََلَا َوأ ََمَرَها أَ ْن تَ ُؤَّم أ َْه َل َدا ِرَها‬
1‫شيخا كبِريا‬
ً َ ً َْ
Artinya: “Rasulullah Saw. mengunjunginya di rumahnya dan
menjadikan seorang muadzin untuk melantunkan adzan dan
beliau memerintahkan (Ummi Waraqah) untuk menjadi imam
(shalat) ahli keluarganya. Abdurrahman berkata, “Saya
melihat tukang adzannya seseorang yang sudah lanjut usia”.”

Artinya, siapakah yang menjadi makmumnya Ummu


Waraqah? Apalah laki-laki yang sudah masuk usia

1 HR. Ahmad, dalam kitab min musnad al-qabâ’il, hadis no. 26022. HR. Abu Dawud dalam kitab shalât, hadis no. 500.

156 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
tamyiz di antara mereka atau hanya perempuan? Jika
jawabannya adalah ada ghulâm (budak laki-laki), maka
tidak ada masalah fikih yang sekarang diperselisihkan.
Perempuan boleh mengimami budak laki-laki.1

5. Kata “Mu’adzdzin” di sini, apakah berarti tukang adzan,


atau pemberi izin (seperti satpam) sebagaimana
dimaksud dalam cerita Nabi Yusuf di al-Qur’an (QS:
Yûsuf: 70). Jika berati tukang adzan (bilal), untuk
keperluan apa bilal? Toh shalat yang diizinkan diimami
Ummu Waraqah hanya sebatas lingkungan rumahnya.
Jika diartikan pemberi idzin (satpam), maka apakah
waktu shalat beliau ikut shalat berjama’ah atau tidak?
Bukankah suatu yang mungkin, ketika shalat dia tidak
ikut karena bertugas menjaga pintu?2

6. Semua kemungkinan tersebut tetap ada, meski ada


lemahnya. Artinya, menggunakan dalil pembolehan dan
tidaknya dengan menggunakan kedua hadis ini, sama-
sama lemah. Lantas, adakah dalil yang lebih kuat?
Jawabannya ada dan banyak, yaitu Amaliyah Rasulullah
Saw dan Khulafaurrasyidin.

7. Sejarah Rasulullah Saw. dan Khulafaurrasyidin tidak


mencatat sama sekali berdirinya ‘Aisyah –sebagai salah
satu perempuan terpantas untuk dijadikan imam–
sebagai imam di Masjid dengan makmum laki-laki,

1 Perkataan Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. Penulis adalah dosen Ulum al-Hadits pasca sarjana UI, UIN Jakarta, UMJ
dan IAIN Bandung, dinukil dari sebuah situs internet.
2 Ibid.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 157
apalagi menjadi khatib shalat Jum’at. Padahal, jika mau
dibandingkan dengan taraf kedudukan ‘Aisyah, maka
seharusnya beliau sudah menjadi imam dan khatib di
salah satu masjid kota Madinah pada masa-masa setelah
Ali bin Abu Talib pindah ke Kufah, atau sekitar tahun 38
sampai tahun 57 H (tahun wafat A’isyah). Sebab, pada
masa itu, ‘A’isyah merupakan tokoh utama, kedudukan
sebagai Ummul Mu’minin dan kepakarannya yang
memang dikenal cerdas, layak dan patut dijadikan
sebagai khatib dan imam shalat jumat. Kenyataannya, al-
Sunnah, al-Sirah dan buku-buku rujukan mu’tamad
lainnya tidak menggoreskan catatan tentang kejadian
ini.1

8. Menurut kaidah ilmu fikih al-Hadis, hadis fi’liy lebih kuat


dibanding hadis qauliy. Riwayat ke-imam-an laki-laki
yang terus menerus dalam shalat, begitu juga tidak ada
riwayat fi’liy perempuan pernah menjadi imam di Masjid
Nabawi atau Masjid al-Haram, serta Masjid-masjid
lainnya di seputar kota Makkah dan Madinah,
menunjukkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi
imam jika ma’mumnya laki-laki.2

B. Wanita Boleh Menjadi Imam Salat bagi Makmum Laki-


laki

Di antara para ulama yang melarang adalah Imam


Thabari, Dawud, Abu Tsaur, Ibnu Arabi dan al-Muzanni
mengatakan bahwa wanita boleh menjadi imam secara

1 Ibid.
2 Ibid.

158 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
mutlak.1 Di antara ulama kontemporer yang
membolehkan waita menjadi imam laki-laki adalah Dr.
Ali Jumah2 dan Prof Dr. Thaha Jabir al-Alwani. Mereka
juga menggunakan dalil manqûl dan ma’qûl:

1. Dalil Manqûl:

Hadis Nabi yang diriwayatkan olah Ummi Waraqah binti


Abdillah:

1 Penulis hanya dapat menemukan pendapat para ulama tersebut dari referensi kedua, seperi kitab al-Mughni,
Bidâyatu’l Mujtahid, Subulu al-Salâm dan Kitâb Majmu’. Hal ini karena sampai saat ini penulis belum menemukan
pendapat mereka dari hasil karyanya masing-masing. Ibnu Arabi mengatakan, “Terdapat ulama yang membolehkan
wanita menjadi imam kaum lelaki dan kaum wanita secara mutlak. Saya juga setuju dengan pendapat ini. Ada pula
ulama yang melarang wanita menjadi imam (kaum lelaki dan kaum perempuan) secara mutlak. Begitu juga ada
ulama yang mengharuskan wanita menjadi imam kaum wanita tanpa kaum lelaki. Demikian itu karena mengambil
iktibar dari pengakuan Rasulullah tentang kesempurnaan setengah wanita sebagaimana juga pengakuan Rasulullah
terhadap kesempurnaan setengah lelaki walaupun kaum lelaki lebih sempurna dari wanita seperti dalam kenabian
(al-nubuwwah)”.
Yang dimaksudkan lelaki lebih sempurna dari perempuan menurut pandangan Ibn Arabi ialah dalam perkara
nubuwwah. Namun begitu ia mengatakan bahwa kelebihan laki-laki tersebut tidak boleh menyekat wanita menjadi
imam shalat lelaki. Lihat Ibnu Arabiy, Futuhât al-Makiyyah, hal. 535.
2 Dr. Ali Jumah berkata, “Karena terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai wanita menjadi
imam shalat bagi kaum lelaki, maka tidak menjadi persoalan Amina Wadud menjadi imam shalat jumat yang turut
dihadiri kaum lelaki pada 18 Maret lalu”. Beliau berkata begitu dalam wawancara dengan televisi Mesir dalam acara
“al-Bait Baitak”. Beliau mengakui, “Jumhur ulama menganggap wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi
makmum lelaki, tetapi sebagian kecil ulama lain seperti Imam al-Tabari dan Imam Ibn Arabi menganggap wanita
boleh menjadi imam shalat bagi makmum lelaki. Perkara khilafiah seperti itu terserah kepada orang yang berpegang
dengan perkara itu. Jika mereka menerima wanita menjadi imam shalat mereka, itu adalah urusan mereka dan tidak
menjadi masalah selama tidak keluar dari pandangan-pandangan terkenal itu. Sebaliknya jika mereka menolak
(wanita menjadi imam shalat lelaki), itu adalah urusan mereka juga dan ini sama seperti kebanyakan negara Islam
termasuk Mesir yang dipercayai tidak mungkin melakukan perkara itu kerana bertentangan dengan yang ada dalam
pemikiran dan adat masyarakat yang Mesir sendiri”. Pandangan Dr. Ali Jumah pernah dimuat dalam situs:
http://www.alarabiya.net/Article.aspx?v=11294

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 159
‫عن أم ورقة بنت عبد هللا بن نوفل األنصارية أن النيب صلى هللا عليه وسلم‬
‫ملا غزا بدرا قالت قلت له يا رسول هللا ائذن يل ِف الغزو معك أمرض‬
‫مرضاكم لعل هللا أن يرزقِن شهادة قال قري ِف بيتك فإن هللا تعاَل يرزقك‬
‫الشهادة قال فكانت تسﻤى الشهيدة قال وكانت قد قرأت القرآن فاستأذنت‬
‫النيب صلى هللا عليه وسلم أن تتخذ ِف دارها مؤذنا فأذن َلا قال وكانت قد‬
1‫دبرت غَلما َلا وجارية‬
Artinya: Dari Ummi Waraqah binti Abdillah bin Naufal al-
Anshari bahwa Nabi Saw ketika terjadi perang Badar, ia (Ummi
Waraqah) berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, ijinkan aku ikut berperang bersamamu untuk
mengobati orang-orang sakit di antara kalian semua, semoga Allah
memberikan rezeki kepadaku dengan mati syahid””. Bersabda
(Rasulullah), “Tinggallah engkau dirumahmu. Sesungguhnya
Allah akan memberikan rezeki syahid kepadamu”. Kemudian ia
(Ummi Waraqah) dijuluki dengan al-Syahîdah. Ia telah hafal al-
Qur’an, maka ia meminta ijin kepada Nabi Muhammad Saw. untuk
mengambil seorang muadzin di rumahnya, naka Rasulullah
memberikan idzin kepadanya. Dan dia telah menjanjikan merdeka
jika dia meninggal atas seorang budak laki-laki dan seorang budak
perempuan.

‫وكان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يزورها ِف بيتها وجعل َلا مؤذنا يؤذن‬
2‫َلا وأمرها أن تؤم أهل دارها قال عبد الرَحن فأنا رأيت مؤذهنا شيخا كبريا‬

1 HR. Ahmad dalam kitab Min Musnad al-Qabâ’il, hadis no. 26022.
2 HR. Ahmad, dalam kitab min musnad al-qabâ’il, hadis no. 26022. HR. Abu Dawud dalam kitab shalât, hadis no. 500.

160 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Artinya: “Rasulullah Saw. mengunjunginya di rumahnya dan
menjadikan seorang muadzin untuk melantunkan adzan dan beliau
memerintahkan (Ummi Waraqah) untuk menjadi imam (shalat)
bagi keluarganya. Abdurrahman berkata, “Saya melihat tukang
adzannya seseorang yang sudah lanjut usia”.”

Wajhu al-dilâlah:

Hadis di atas menunjukkan bahwa wanita boleh menjadi


imam shalat meski terdapat makmum laki-laki.1 Ummi
Waraqah mempunyai seorang tukang adzan, yaitu seorang
lelaki tua sebagaimana disebut dalam riwayat itu. Dalam
riwayat sebelumnya disebutkan bahwa makmumnya adalah
seorang budak perempuan dan budak laki-laki (ghulâm).

Dalil Ma’qûl:
1. Mengenai persoalan ikhtilâth, bukanlah alasan utama
dalam masalah larangan imam wanita. Bisa saja jika
imamnya perempuan shalat tetep berjalan seperti biasa
sebagaimana dalam shalat berjamaah di mana ada
makmum laki-laki dan perempuan, namun tetap tidak
berbaur (ikhtilât), yakni dengan menukar posisi
makmum. Semua perempuan (baik makmum dan
imamnya) menduduki tempat laki-laki. Dengan kata lain,
mereka berada dalam shaf terdepan. Sementara laki-laki
dalam shaf belakang. Hanya saja, antara shaf laki-laki
dan wanita diberi pembatas (tabir). Atau bisa juga, tabir
diletakkan antara imam dan makmum laki-laki,
sementara shaf makmum wanita tetap berada di
belakang.

1 Muhammad Ibnu Ismail al-Amir al-Yamani Al-Shan’âniy, Subulu al-Salâm, Tahqîq Ishamuddin al-Shababithi dan
Imadussayyid, Dâr al-Hadîs vol. II, 2004, hal. 49 et seq.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 161
2. Kekhawatiran mengenai terjadinya fitnah dapat ditepis,
karena fitnah tidak bisa diduga, tidak mengenal tempat
dan waktu, bisa terjadi kapanpun dan dimanapun.

3. Alasan para ulama di antaranya adalah dalil suara


perempuan itu aurat. Tetapi menurut Ibnu Hazm1, "Dua
orang muslim sekalipun tidak berbeda pendapat bahwa
orang-orang masa itu mendengarkan perkataan istri-istri
Nabi Saw., boleh bagi para laki-laki dan juga tidak ada
nas yang melarang hal itu pada seluruh wanita”. Dan
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm, “Kami tidak
menemukan dalil (sahih) yang menunjukkan bahwa
suara wanita itu aurat sebagaimana yang disebutkan
para fuqaha." Di antara ulama kontemporer yang
menolak suara wanita sebagai aurat adalah shaikh
Muhammad al-Ghazali.2

4. Terkait persoalan aurat wanita dalam shalat, mayoritas


ulama mengatakan bahwa apabila seorang shalat
sementara auratnya terbuka, maka shalatnya batal.
Tetapi pendapat ini dibantah oleh al-Syaukani.
Menurutnya, shalatnya tidak batal, sedangkan menutup
aurat adalah kewajiban yang lain lagi.3 Melihat alasan
yang keempat ini maka laki-laki jadi makmum
perempuan bisa saja sah, sedang persoalan lain yang
dilarang sesungguhnya masuk dalam larangan tersendiri
yang tidak mempengaruhi shalatnya secara langsung.

1 Ibnu Hazm, al-Muhallâ, Vol. III, hal. 55.


2 Lebih lengkapnya lihat, Muhammad al-Ghazali, Qadhayâ al-Mar’ah baina al-Taqâlîd al-Râkid wa al-Wâfid, Dâr al-
Syurûq, cet. V, 1994, hal. 164.
3 Muhammad ibnu Ali Syaukâni, Nailul Authar, Taqdîm wa Taqrîzh wa Ta’rîf Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Dâr al-
Salâm Vol. II, hal. 372.

162 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
5. Bagaimana dengan syarat-syarat yang lain untuk menjadi
Imam? Misalnya hendaklah diutamakan orang yang baik
bacaan al-Qur'annya, mengikut sebuah Hadist: "Jika
mereka bertiga, seorang daripada mereka hendaklah
menjadi imam; sedangkan ia adalah orang yang
terpandai dalam bacaan al-Qur'annya (diantara
mereka)". Seterusnya dalam Hadis yang lain dinyatakan
jika mereka sama baiknya dalam bacaan, maka orang
yang terpandai dalam hadis Nabi hendaklah menjadi
Imam.1

6. Jika Rasulullah tidak melakukan sesuatu, demikian juga


shahabat, tabiin dan salaf saleh seterusnya, maka apakah
sesuatu itu menjadi tidak boleh dan terlarang?
Kenyataannya tidak selamanya demikian. Banyak bukti
menunjukkan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah
Saw. mempunyai kemungkinan lain selain larangan.
Sekadar menyebut contoh. Pertama: Nabi tidak
melakukannya karena tidak biasa, seperti ketika beliau
disuguhkan kadal (dhabb) bakar.2 Kedua: ditinggalkan
karena beliau lupa, seperti ketika Rasullullah Saw. lupa
dalam shalatnya, kelebihan atau kekurangan rakaat.3
Ketiga: ditinggalkan karena khawatir itu dianggap wajib
bagi umatnya, seperti dalam kasus salat tarawih ketika
beliau absen dari jamaah di Masjid. Keempat: ditinggalkan
karena saat itu belum terpikir dalam benak Rasul, seperti
ketika khutbah yang mengandalkan batang pohon
kurma. Ketika ada yang mengusulkan untuk membuat

1 Dari poin 1-5 disarikan dari milis KMNU2000, Sabtu, 27 Maret 2005 dengan perubahan seperlunya.

2 HR. Bukhari Muslim.


3 HR. Bukhari dan Muslim.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 163
mimbar beliau menyetujuinya.

Masih banyak contoh lain dalam kitab-kitab Hadis. Dari


sini dapat dikatakan, sesuatu yang ditinggalkan atau
tidak dikerjakan Rasul tidak berarti mengandung
larangan. Ia menjadi terlarang jika ada nas lain yang
melarangnya. Ibnu Hazm menyebut alasan ulama
mazhab Hanafi dan Maliki yang menyatakan makruh
hukumnya shalat dua rakaat sebelum magrib dengan
mengutip perkataan Ibrahim al-Nakha`iy bahwa Abu
Bakar, Umar dan Usman tidak melakukannya. Lalu ia
komentari: "Kalaupun perkataan al-Nakha`iy itu benar,
tidak dapat dijadikan landasan, sebab tidak ditemukan
nash dari mereka yang melarangnya". Ia juga mengutip
alasan lain bahwa Ibnu Umar berkata, "Tidak kutemukan
seorang pun melakukannya". Lalu ia komentari lagi: "Ini
juga tidak dapat dijadikan alasan, kalau itu benar pasti ia
akan melarangnya".1

Syeikh Abdullah Shiddiq al-Ghumariy, dalam bukunya


"Husnu al-Tafahhum wa al-Dark li Mas`alat al-Tark", telah
membahas secara gamblang permasalahan hukum
sesuatu yang tidak dilakukan Rasul dan salaf saleh.

7. Kemungkinan dalil lain yang digunakan jumhur ulama


adalah kaidah preventif dalam ilmu fiqih; saddu al-dzarâ`i,
yaitu mencegah kekhawatiran jika wanita menjadi imam,
seperti sulitnya mencegah pandangan mata, suara wanita
yang dapat mengundang syahwat dan seterusnya.
Kaidah tersebut banyak menimbulkan permasalahan.
Berkata imam Syafi’I dalam kitab al-‘Um, “Tidak

1 Ibnu Hazm, op. cit. vol. II, hal. 254

164 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
dibolehkan seorang wanita menjadi imam bagi laki-laki
dalam kondisi apapun. Demikian juga jika yang shalat
bersamanya (makmum) adalah seorang khuntsâ musykil
shalatnya tidak mendapat pahala. Jika khuntsâ musykil
shalat bersamanya (menjadi makmum), shalatnya belum
selesai sampai kemudian diketahui bahwa imamnya
adalah wanita, maka saya lebih suka ia mengulangi
shalatnya dan saya kira shalatnya (yang pertama) tidak
mendapatkan pahala. Karena ketika ia shalat, ia
bermakmum pada seseorang yang tidak boleh menjadi
imam.”1

‫َخَرُه َّن هللا‬


َّ ‫وه َّن حيث أ‬ ِ
9. Hadis yang berbunyi: ُ ‫أَخ ُر‬ adalah
perkataan Ibnu Mas’ud. Karenanya ungkapan tersebut
tidak bisa dikatakan sebagai sabda dari Rasul. Dalam
ilmu Hadis, perkataan (qaul) shahabat memiliki status
hukum sebagai hadis Rasul (marfû`) jika memenuhi dua
syarat: 1) Qaul tersebut berkaitan dengan sesuatu yang
tidak dapat dinalar (fî mâ lâ majâla li al-ra`yi fîh); 2)
Shahabat termasuk tidak dikenal sering mengambil dari
sumber-sumber isrâ`iliyyât. Perkataan Ibnu Mas`ud di
atas tidak memenuhi syarat yang pertama. Kalaupun itu
benar, matan Hadis tersebut akan bertabrakan dengan
sejumlah ayat yang menyatakan kesamaan antara laki-
laki dan perempuan (tentunya dengan memperhatikan
perbedaan yang ada). 2

Tarjih:

1 Imam al-Syafii, Al-Um, vol. I hal. 164.


2 Point 6 dan 7 disarikan dari perkataan Ust. Mukhlis Hanafi dalam milis INSIST.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 165
Dari dua pandangan di atas penulis melihat bahwa pendapat
yang paling kuat adalah pendapat jumhur ulama dengan
beberapa alasan sebagai berikut:
1. Argumentasi yang dikemukakan lebih dapat diterima.
2. Hadis Ummi Waraqah masih memiliki banyak tafsiran.
Siapakah yang menjadi makmum pada waktu itu? Jika
memang terdapat makmum laki-laki, apakah Hadis
tersebut hanya dikhususkan pada Ummi Waraqah saja,
atau boleh dilaksanakan untuk umat Islam secara
umum?. Jika dibolehkan oleh umat Islam secara umum,
mengapa dalam sejarah Islam tidak pernah terjadi
seorang wanita menjadi Imam? Dan masih banyak
pertanyaan lain.

Penutup

Imam wanita sebagaimana yang dilaksanakan Aminah


Wadud memang banyak menimbulkan polemik dikalangan
ulama Islam. Meski sebenarnya permasalahan ini sudah
banyak dibahas oleh para ulama terdahulu, namun
menuntut para ulama kontemporer untuk mengkaji kembali
berbagai pandangan ulama tersebut. Aminah Wadud tidak
bergerak dalam tataran wacana, namun berani
melaksanakan wacana klasik dalam tatanan sosial
masyarakat. Bisa jadi, keberanian Aminah Wadud karena
kondisi sosial yang melingkupinya. Bagaimanapun juga,
pemikiran dan tingkah laku seseorang biasanya tidak akan
lepas dari pengaruh ruang waktu.

Persoalan muncul ketika ruang waktu ikut dijadikan sebagai


justifikasi dalam melaksanakan ibadah mahdhah yang
bersifat taabbudiy dan ittibâ’. Di sini urusan agama dapat

166 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
diinterpretasikan sesuai dengan tuntutan zaman. Maka yang
terjadi adalah distorsi atas norma dan nilai agama. Jika sudah
demikian, agama dapat berubah mengikuti arus perjalanan
peradaban manusia yang pada akhirnya akan mengaburkan
dan bahkan menghapuskan eksistensi agama yang
sesungguhnya. Motif apa sesungguhnya yang berdada di
balik semua itu, apakah hanya sekedar tuntutan kesetaraan
gender ataukah ada motif lain? Itulah yang masih
menyisakan banyak pertanyaan dalam benak kita. WalLahu
a’lam.

BAB VII

Hukum Penggunaan Ilmu Hisab dalam


Penentuan awal Bulan Ramadhan dan
Syawal

Bulan Ramadhan adalah bulan suci umat Islam yang


memiliki banyak nilai keutamaan. Pada bulan Ramadhan,
umat Islam diwajibkan melakukan ibadah puasa selama
sebulan penuh. Dengan puasa itu pula, keimanan dan
ketaqwaan setiap insan muslim akan diuji. Jika insan muslim
berhasil menggunakan waktu ibadah pada bulan Ramadhan
dengan sebagi mungkin, maka ia akan keluar dari bulan
Ramadhan seperti halnya seorang anak yang baru saja
dilahirkan dari rahim ibu. Ia memasuki bulan Syawal
menjadi orang yang bersih dari titik-titik dosa.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 167
Pada tanggal 1 Syawal, seluruh umat Islam di dunia akan
merayakan hari kemenangan. Menang dari berbagai godaan
setan selama satu bulan. Menang karena dia telah menjalani
sebuah latihan spiritual yang akan membawanya kepada
kebersihan hati dan kelapangan jiwa. Menang karena
seluruh dosa yang melekat pada dirinya telah dicuci bersih,
dan dia kembali membuka lembaran baru untuk melangkah
pada hari-hari berikutnya. Pada hari ini, Allah
mengharamkan umat Islam untuk berpuasa. Hari ini benar-
benar hari kebahagiaan bagi setiap insan muslim yang telah
berhasil menjalani berbagai ujian dan cobaan serta latihan
spiritual selama bulan suci Ramadhan.

Kenyataannya, meski semua sepakat bahwa bulan


Ramadhan adalah bulan puasa bagi seluruh umat Islam,
serta tanggal 1 Syawal merupakan hari yang diharamkan
berpuasa, namun umat Islam masih sering terjadi selisih
pendapat mengenai awal dari kedua bulan tersebut. Tidak
jarang dalam satu negara, satu kampung, bahkan satu
keluarga memulai Ramadhan dan berlebaran di hari yang
berbeda.

Perbedaan itu muncul sesungguhnya dari perbedaan para


ulama dalam menggunakan sarana untuk menentukan awal
dari bulan Ramadhan dan Syawal. Sebagian ulama memilih
rukyah, sebagian lagi memilih hisab, dan ada pula yang
menggabungkan antara rukyat dan hisab. Dalam rukyah
sendiri masih terbagi menjadi beberapa aliran, sebagaimana
dalam hisab juga terdapat beberapa aliran. Khusus untuk
ilmu hisab, ada sebagian ulama yang menganggap bahwa
penggunaan ilmu hisab dalam menentukan waktu-waktu
ibadah, termasuk juga penentuan awal Ramadhan
diharamkan. Tentunya ini berdasarkan dari pemahaman

168 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
mereka terhadap berbagai dalil naqli yang dijadikan sebagai
sandaran bagi ijtihad mereka.

Benarkah penggunaan ilmu hisab diharamkan? Di bawah ini,


penulis akan sedikit memaparkan tentang pandangan para
ulama mengenai hukum menentukan awal bulan Ramadhan
dan Syawal dengan menggunakan ilmu hisab.

Definisi Ilmu Hisab

Sebelum menginjak kepada pembahasan tentang pandangan


hukum, alangkah lebih baiknya jika kami mengetengahkan
lebih dahulu mengenai definisi ilmu hisab, ilmu falak atau
astronomi dan astrologi sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman dalam pengambilan ketetapan hukum.
Ilmu falak atau astronomi adalah ilmu tentang matahari,
bulan, bintang dan planet-planet lainnya. Atau ilmu falak
adalah ilmu yang mempelajari tentang tata lintas benda-
benda angkasa secara sistematis dan ilmiah. Kata aflak
bermakna orbit edarnya benda-benda angkasa. Astrologi
adalah ilmu perbintangan yang dipakai untuk meramal dan
mengetahui nasib orang. Ilmu hisab sesungguhnya adalah
bagian dari ilmu falak, hanya saja ia khusus mengkaji
masalah falak syar;i saja. Yang dimaksud dengan falak syar’i
adalah kajian falak yang hanya berkaitan dengan urusan
syariat, seperti menentukan penanggalan Qamariyah, awal
Ramadhan dan Syawal, penentuan arah kiblat dan
sebagainya. Sementara falak ilmi adalah kajian falak secara
umum. Dengan demikian, pembahasan falak ilmi jauh lebih
luas dan lebih mencakup.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 169
Di dunia Islam klasik, selain istilah ilmu falak, juga ada
istilah lain meski pembahasannya adalah sama, yaitu ilmu an-
nujûm, ilmu hay’ah, ilmu hay’ah al-aflâk, ilmu hay’ah al-âlam,
ilmu al-aflâk, ilmu shinâ’ah an-nujûm, ilmu at-tanjîm, ilmu ahkâm
an-nujûm dan lain sebagainya.

Pandangan Hukum

Hukum Menggunakan Ilmu Hisab Tidak Boleh

Dalil Naqli

1. Firman Allah:
ِ
ُ‫ص ْﻤه‬ ْ ‫فَ َﻤن َش ِه َد من ُك ُم الش‬
ُ َ‫َّهَر فَلْي‬
Artinya: Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu.

Wajhu al-Dilâlah

Ayat di atas dapat dipahami bahwa setiap orang Islam


yang menyaksikan hilal pada bulan Ramadhan, maka
umat Islam sudah diwajibkan berpuasa.

2. Sabda Rasulullah:

170 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ُ ‫ص‬
‫يب َعلَْي ُك ْم‬ ِ َّ ‫ال النَِّيب صلَّى‬
ُ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
َ ُ‫وموا ل ُرْؤيَته َوأَفْط ُروا ل ُرْؤيَته فَإ ْن غ‬ َ ُّ َ َ‫ق‬
ِ ِ ِ
َ ‫فَأَ ْكﻤلُوا ع َّدةَ َش ْعبَا َن ثَََلث‬
‫ّي‬

Artinya: “Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan


berbukalah karena kamu melihat hilal. Jika kamu terhalang oleh
kabut, maka sempurnakanlah jumlah bilangan bulan Sya'ban
menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari)

Wajhu al-Dilâlah

Secara jelas hadits di atas menerangkan kepada kita


bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan atau
Syawal adalah dengan rukyah. Jika tidak dapat rukyah
karena langit terhalang mendung, umat Islam cukup
menyempurnakan bilangan Sya'ban menjadi tiga puluh
hari.

3. Sabda Rasulullah:

ِ ِ ِ َّ ‫ال النَِّيب صلَّى‬


‫َّه ُر‬
ْ ‫ب الش‬ ُ ُ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم إنَّا أ َُّمةٌ أُميَّةٌ َال نَكْت‬
ُ ‫ب َوَال ََْن ُس‬ َ ُّ َ َ‫ق‬
ِ ِ ِ
‫ّي‬ َ ‫َه َك َذا َوَه َك َذا يَ ْع ِِن َمَّرةً ت ْس َعةً َوع ْش ِر‬
َ ‫ين َوَمَّرةً ثَََلث‬
Artinya: Nabi Muhammad Saw. bersabda:
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi yang tidak
dapat menulis dan menghitung. Jumlah bulan ini seperti ini
dan seperti ini dan seperti ini, maksudnya, satu bulan
terkadang jumlahnya dua puluh sembilan hari dan kadang kali
tiga puluh hari”.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 171
Wajhu al-Dilâlah

Hadits di atas menerangkan bahwa umat Islam adalah


umat yang tidak dapat membaca dan menghitung. Untuk
itu sebagai sarana termudah terutama untuk mengetahui
awal bulan adalah dengan cara rukyah.

4. Sabda Rasulullah:

‫وموا َح ََّّت تََرْوا ا َْلََِل َل َوَال‬


ُ‫ص‬
ِ َّ ‫اَّللِ صلَّى‬
ُ َ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َال ت‬ َ َّ ‫ول‬ َ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫َُق‬
ِ
ُ‫تُ ْفط ُروا َح ََّّت تَ َرْوهُ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْ ُد ُروا لَه‬
Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian semua
berpuasa sehingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian
berbuka sehingga kalian melihat hilal. Jika hila tertutup awan,
maka hitunglah bulan itu”.

Wajhu al-Dilâlah

Hadits di atas dapat dipahami bahwa puasa dilarang


sebelum hilal benar-benar dapat dilihat. Dalam hadits di
atas menggunakan huruf lâm al-nahiy yang berarti
larangan. Sementara dalam kaidah ushuliyyah
dikatakan:

‫النهي يفيد التحرمي إال إذا صرفته قرينة‬


ِ
Artinya: Larangan menunjukkan makna haram, kecuali
jika terdapat indikasi lain.

172 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Imam al-Sindi memberikan catatan bahwa dengan hadits
ini menerangkan haramnya puasa sebelum melihat hilal
dan tidak ada kewajiban puasa sebelum hadirnya hilal.

Dalil Aqli

1. Puasa adalah ibadah, sebagaimana shalat dan haji.


Sementara waktu ibadah sudah ada keterangannya
yang jelas dari syariat. Dengan demikian,
menggunakan ilmu hisab dalam hal yang berkaitan
dengan ibadah tidak dibenarkan. Hal ini sesuai dengan
kaidah ushul yang menyatakan:

‫األصل ِف العبادة التعبد و اإلتباع‬

Artinya: Prinsip dalam beribadah adalah ta’abud dan


ittiba’.

2. Ajaran Islam adalah mudah (yusrun), dan diturunkan


kepada umat Islam untuk kemudahan. Sementara falak
adalah rumit dan memberatkan umat. Berbeda dengan
rukyat yang lebih mudah dan efisien dan dapat
dilakukan oleh sebagian besar umat Islam. Dengan
demikian, penggunaan rukyat lebih utama
dibandingkan dengan hisab.

Syarat Sahnya Rukyat

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 173
Meskipun rukyat dapat dilakukan oleh sebagian besar umat
Islam, namun demikian ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Dengan demikian, rukyat akan menghasilkan
ketetapan hukum yang lebih valid. Di antara syarat-syarat
tersebut adalah:
1. Dilaksanakan saat keadaan udara cerah dan tidak ada
penghalang apapun (faktor-faktor lain yang
menyebabkan tidak dimungkinkan bulan terlihat).
2. Harus diperhitungkan juga tempat yang digunakan
untuk melihat dan mengamatinya. Begitu juga
diperhitungkan ketinggian tempat tersebut.
3. Orang yang melihat harus orang yang adil, sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan syariat.
4. Matanya harus dalam keadaan sehat.
5. Dia harus orang yang sudah terlatih di dalam masalah
ini, paling tidak dia mampu melaksanakan tugasnya
dengan baik.
6. Tidak dipengaruhi faktor-faktor kejiwaan yang
mengganggu proses pengamatan.

Hukum Menggunakan Ilmu Hisab Boleh

Dalil Naqli
1. Firman Allah:
ِ ‫يت لِلن‬
‫َّاس َوا ْْلَ ِج‬ ِ ِ ِِ
ُ ‫َي ْسأَلُونَكَ َع ِن األهلَّة قُ ْل ه َي َم َواق‬
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah :"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji". (QS. 2:189)

174 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas menunjukkan bahwa perputaran bulan
merupakan petunjuk dari waktu ibadah haji dan juga
ibadah lainnya.

2. Firman Allah:
‫َّرهُ َمنَا ِزَل لِتَ ْعلَ ُﻤواْ َع َد َد‬ ِ ‫هو الَّ ِذي جعل الشَّﻤ‬
َ ‫س ضيَاء َوالْ َق َﻤَر نُ ًورا َوقَد‬
َ ْ َ ََ َُ
‫ات لَِق ْوٍم‬
ِ ‫صل اآلي‬ ِ
َ ُ ‫ك إالَّ با ْْلَ ِق يُ َف‬
ِ ِ َ ِ‫اب ما َخلَ َق اَّللُ ذَل‬ ِ
َ َ ‫ّي َوا ْْل َس‬
ِِ
َ ‫السن‬
‫يَ ْعلَ ُﻤو َن‬
Artinya: "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah
tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.
Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-
orang yang mengetahui." (QS. 10:5)

Wajhu al-Dilâlah

Ayat di atas menunjukkan bahwa peredaran matahari


dan bulan dapat dijadikan pedoman bagi umat manusia
untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
waktu.

3. Firman Allah:

‫ات ِم َن ا َْلَُدى‬
ٍ َ‫َّاس وب يِن‬ ِ ِِ ِ َّ
َ َ ِ ‫ي أُن ِزَل فيه الْ ُق ْرآ ُن ُه ًدى للن‬
َ ‫ضا َن الذ‬ َ ‫َش ْه ُر َرَم‬
ِ ِ
َ ُ‫ص ْﻤه‬ ْ ‫َوالْ ُف ْرقَان فَ َﻤن َش ِه َد من ُك ُم الش‬
ُ َ‫َّهَر فَلْي‬

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 175
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)
al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
berpuasalah.” (QS. (2) Al-Baqarah:185)

Wajhu al-Dilâlah

َ dalam bahasa Arab memiliki empat makna:


َ‫ش ِهد‬
1. ‫( أخبر‬memberikan informasi)
2.
‫شهد أعرايب عند رسول هللا بأنه أهل اَلَلل باألمس‬

Salah seorang pedalaman memberikan informasi


kepada Rasulullah bahwa dia melihat hilal kemarin.
3. ‫( أطلع علي األمر و عنايته‬melihat sesuatu)
4. ‫شهدت فَلنايصلي ِف املصلى‬
Aku melihat si fulan shalat di masjid
5. ‫( حضر‬Menghadiri)

‫شهدنا العيد‬

Artinya: Kami menghadiri shalat Id


6. ‫( علم‬menyatakan atau mengetahui)
‫شهد هللا أنه ال إله إال هو‬

176 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah
(yang berhak disembah) melainkan Dia.”

Dalam ayat di atas boleh digunakan empat makna


tersebut secara keseluruhan, atau juga bisa satu
dari empat makna tadi. Dengan kata lain, kita tidak
dapat mengklaim bahwa makna َ adalah
َ‫ش ِهد‬
menyaksikan saja dengan mengabaikan makna
lainnya.

4. Sabda Rasulullah Saw.:

ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ُ ‫ص‬
‫يب‬ ِ َّ ‫ال النَِّيب صلَّى‬
ُ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
َ ُ‫وموا ل ُرْؤيَته َوأَفْط ُروا ل ُرْؤيَته فَإ ْن غ‬ َ ُّ َ َ‫ق‬
ِ ِ ِ
َ ‫َعلَْي ُك ْم فَأَ ْكﻤلُوا ع َّد َة َش ْعبَا َن ثَََلث‬
‫ّي‬

Artinya: Nabi bersabda: “Berpuasalah karena kamu


melihat hilal, dan berbukalah karena kamu melihat hilal. Jika
kamu terhalang oleh kabut, maka sempurnakanlah jumlah
bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari”.

Wajhu al-Dilâlah
‫ الرأية‬memiliki beberapa makna
1. ‫( العلم بالشئ‬mengetahui sesuatu).

‫اب الْ ِف ِيل‬


ِ ‫َصح‬ ِ َ ُّ‫ف فَ َعل رب‬
َ ْ ‫ك بأ‬ َ َ َ ‫أ َُ َملْ تَ َر َكْي‬
Artinya: Apakah kamu tidak mengetahui bagaimana
Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah.
(QS. 105:1)

2. ‫(التقدير العقلي‬perkiraan dengan akal pikiran)

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 177
‫ِن إِِِن أ ََرى ِِف الْ َﻤنَ ِام أَِِن‬
ََّ ُ‫ال يَا ب‬
َ َ‫الس ْع َي ق‬
َّ ُ‫فَلَ َّﻤا بَلَ َغ َم َعه‬
‫ك فَانظُْر َماذَا تَ َرى‬
َ ُ‫أَ ْذ َِب‬
Artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" (QS. (37) Al-Shâffât:102).
3. ‫البحتة و التﺠارب املعﻤلية‬ ‫(الحسابات العلمية‬perhitungan
secara ilmiah dan eksperimen di laboratorium)
ِ ِ َّ
َ ِ‫ك ِمن َّرب‬
‫ك ُه َو‬ َ ‫ين أُوتُوا الْعِْل َم الَّذي أُن ِزَل إِلَْي‬
َ ‫َويََرى الذ‬
ِ ‫اط الْع ِزي ِز ا ْْل ِﻤ‬
ِ ِ ِ
‫يد‬ َ َ ‫ا ْْلَ َّق َويَ ْهدي إِ ََل صَر‬
Artinya: “Dan orang-orang yang diberi ilmu berpendapat
bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu
itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan
Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. (34)
Saba’:6)
4. ‫( البصر‬melihat dengan mata)
‫ان َوََّل ُم ْدبًِرا‬
ٌّ ‫آها تَ ْهتَ ُّز َكأَن ََّها َج‬
َ ‫اك فَلَ َّﻤا َر‬ َ‫ص‬ َ ‫َوأَلْ ِق َع‬
‫ي‬ ُ َ‫ف إِِِن َال َُي‬
َّ ‫اف لَ َد‬ ِ
ْ َ‫وسى َال َخت‬ َ ‫ب يَا ُم‬ ْ ‫َوَملْ يُ َعق‬
‫الْ ُﻤ ْر َسلُو َن‬
Artinya: “’Dan lemparkanlah tongkatmu’. Maka tatkala
(tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-
gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke
belakang tanpa menoleh".Hai Musa, janganlah kamu
takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak
takut di hadapan-Ku.” (QS. (27) Al-Naml:10)
5. ‫(التذكير‬mengingatkan sesuatu)

178 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
ِ
‫وت َوَما‬ َ ُ‫يت ا ْْل‬ُ ‫الص ْخَرةِ فَإِِِن نَس‬ َّ ‫ت إِ ْذ أ ََويْنَا إِ ََل‬ َ ْ‫ال أ ََرأَي‬
َ َ‫ق‬
‫َنسانِيهُ إَِّال الشَّْيطَا ُن أَ ْن أَذْ ُكَرهُ َو َّاختَ َذ َسبِيلَهُ ِِف الْبَ ْح ِر‬
َ ‫أ‬
‫َع َﺠبًا‬

Artinya: “Muridnya menjawab: 'Tahukah kamu tatkala


kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka
sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu
dan tidak adalah yang melupakan aku untuk
menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil
jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali'". (QS. (18)
Al-Kahfi:63).
6. ‫(الرؤيا املنامية‬bermimpi)
‫ِن إِِِن أ ََرى ِِف الْ َﻤنَ ِام أَِِن‬
ََّ ُ‫ال يَا ب‬
َ َ‫الس ْع َي ق‬
َّ ُ‫فَلَ َّﻤا بَلَ َغ َم َعه‬
ِ ‫ال يا أَب‬
‫ت افْ َع ْل َما تُ ْؤَم ُر‬ َ َ َ َ‫ك فَانظُْر َماذَا تَ َرى ق‬ َ ُ‫أَ ْذ َِب‬
ِ َّ ‫اَّللُ ِمن‬ ِ ِ
َ ‫الصاب ِر‬
‫ين‬ َ َّ ‫َستَﺠ ُدِِن إن َشاء‬
Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata: 'Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!'". (QS. (37) Al-Shâffât:102).

Jika kita lihat bahwa penggunaan kata ‫ الرأية‬di atas,


memiliki berbagai makna tergantung dari konteks
ayat tersebut. Hanya saja yang perlu dipahami
adalah bahwa kita tidak dapat mengikat makna ‫الرأية‬
pada satu makna saja mana, yaitu melihat dengan

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 179
mata telanjang, kecuali dalam konteks nas terdapat
indikator yang menunjukkan kepada makna
tersebut. Dalam kaidah ushul dikatakan:

‫إبقاء العام على عﻤومه إذا مل تكن ِف الكَلم قرينة‬

Artinya: Membiarkan lafal umum tetap umum


selama dalam konteks lafal tersebut tidak ada
indikator.

Sementara perintah ‫الرأية‬dalam menentukan awal


Ramadhan atau Syawal, tidak terdapat satu pun
indikator yang hanya menunjukkan pada satu
makna saja, yaitu melihat dengan mata. Dengan
demikian, ‫الرأية‬bisa berarti melihat dengan mata,
atau juga melihat dengan menggunakan akal
pikiran. Penggunaan ilmu hisab untuk menentukan
awal bulan Ramadhan dan Syawal pada hakikatnya
adalah bagian dari rukyah. Hanya ia bukan rukyah
dengan mata telanjang, namun rukyah dengan ilmu
pengetahuan.

6. Sabda Rasulullah Saw.:

‫وموا َح ََّّت تََرْوا ا َْلََِل َل َوَال‬


ُ‫ص‬
ِ َّ ‫اَّلل صلَّى‬
ُ َ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َال ت‬ َ َّ ‫ول‬
ِ َ ‫ال رس‬
ُ َ َ َ‫َُق‬
ِ
ُ‫تُ ْفط ُروا َح ََّّت تَ َرْوهُ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْ ُد ُروا لَه‬
Rasulullah Saw. Bersabda: janganlah kalian semua
berpuasa sehingga kalian melihat hilal, dan janganlah

180 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal. Jika hila
tertutup awan, maka hitunglah bulan itu.

Wajhu al-Dilâlah

Dalam hadits di atas dikatakan bahwa jika pada akhir


Sya'ban langit terhalang sesuatu, maka Rasulullah
memerintahkan kita untuk menghitung bilangan pada

ُ‫فَاقْ ُد ُروا لَه‬oleh imam Ibnu hajar dan


bulan tersebut. Kata

imam Ahmad diartikan sebagai hitungan (‫)فحسبوه‬.

Menurut Ibnu Qudamah, ُ‫(فَاقْ ُد ُروا لَه‬ukurlah ia)


mengandung makna:
1. ‫فاكﻤلوا‬: sempurnakanlah hitungan 30 hari.
2. ‫فحسبوا‬: hisablah, lakukan perhitungan.
3. ‫فضيقوا‬: ambillah yang singkat.

Hanya saja, arti harfiyah ُ‫ فَاقْ ُد ُروا لَه‬yang merupakan arti


paling tersirat dan paling generik adalah “ukurlah”, yaitu
perintah untuk melakukan pengukuran. Makna ini
berhubungan erat dengan kata yang sama di dalam surat
Yunus ayat ke-5:

ِ ِِ ِ
‫اب‬ َ ‫َّرهُ َمنَا ِزَل لتَ ْعلَ ُﻤواْ َع َد َد السن‬
َ ‫ّي َوا ْْل َس‬ َ ‫َوقَد‬

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 181
“… dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu) …”

7. Sabda Rasulullah Saw.:

‫ب‬ ِ ِ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه وسلَّم أَنَّهُ ق‬


َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫َع ْن الن‬
ُ ‫ب َوَال ََْن ُس‬
ُ ُ‫ال إنَّا أ َُّمةٌ أُميَّةٌ َال نَكْت‬ َ ََ َ ‫َّيب‬
ِ ِ ِ
‫ّي‬
َ ‫ين َوَمَّرةً ثَََلث‬َ ‫َّه ُر َه َك َذا َوَه َك َذا يَ ْع ِِن َمَّرًة ت ْس َعةً َوع ْش ِر‬
ْ ‫الش‬
Artinya: Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya
kami adalah umat yang ummi yang tidak dapat menulis dan
menghitung. Jumlah bulan ini seperti ini dan seperti ini dan
seperti ini, maksudnya, satu bulan terkadang jumlahnya dua
puluh sembilan hari dan kadang kali tiga puluh hari”.

Wajhu al-Dilâlah

Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad


Saw. Diutus di tengah-tengah orang yang tidak dapat
membaca dan menghitung. Ini bukan berarti bahwa umat
Muhammad Saw. Adalah umat yang selamanya bodoh
yang tidak pandai baca tulis. Perhitungan bulan yang
sangat sederhana sebagaimana diberitahukan Rasulullah,
memang sangat cocok untuk umat Islam masa itu. Hanya
saja, hadits tersebut mengandung illah, yaitu tentang
tentang umat yang tidak dapat membaca dan menghitung.
Dalam kaidah ushul dikatakan:

‫اْلكم يدور مع علته وجودا و عدما‬

Ketentuan hukum akan sangat bergantung kepada illah.

182 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Jika illah tersebut telah hilang, maka hukum pun akan
berubah. Demikian halnya dengan hadits di atas, mana
kala umat Muhammad Saw. Sudah dapat membaca dan
menghitung, maka yang harus digunakan adalah
perhitungan bulan dengan hitungan tersebut. Dengan kata
lain, bahwa tidak menghisab bil ilmi itu dikarenakan tidak
bisa, seandainya bisa maka metode hisab bil ilmui itu yang
akan digunakan oleh Nabi Saw. untuk menetapkan kapan
hadirnya hilal, atau dengan metode wujudul hilal itulah
cara yang utama untuk menetapkan awal bulan itu.
Karena keterbatasan fasilitaslah sehingga tidak
memungkinkan untuk menggunakan metode ini pada saat
itu. Maka rasulullah Saw. memberikan sebuah solusi
dengan cara melihat hilal fil fi’li/bil aini. Sekaligus
pernyataan rasulullah tersebut menepis suatu anggapan
bahwa rasulullah Saw. Tetap tidak mau menggunakan
hisab meskipun para sahabat pada saat itu orangnya
pintar-pintar dan ilmu hisab itu sudah ada.

Dalil Aqli

1. Puasa adalah ibadah sebagaimana shalat dan haji.


Waktu ibadah tersebut memang sudah ditentukan
oleh syariat. Hanya saja, sarana mengetahui waktu
dapat berubah sesuai dengan perkembangan
teknologi. Dengan demikian, menggunakan ilmu
hisab untuk mengetahui waktu ibadah dibolehkan.
Kenyataannya, seluruh ulama sepakat menggunakan
ilmu hisab dalam menentukan waktu shalat. Puasa
adalah ibadah seperti halnya shalat. Dengan
demikian, menentukan awal bulan puasa juga dapat
menggunakan ilmu hisab sebagaimana shalat.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 183
2. Melihat hilal dengan menggunakan ilmu
pengetahuan (ilmu hisab) menghasilkan nilai yang
bersifat qath’iy, sementara sesuatu yang qath’iy harus
lebih di dahulukan daripada yang zanniy.

3. Rukyah dengan mata telanjang juga mempunyai


kelemahan. Setidaknya, rukyah sangat bergantung
pada psikis, fisik dan kondisi udara perukyah.

4. Selain awan yang dapat menghalangi pandangan, di


udara banyak partikel atau butiran kecil yang
menghambat pandangan, yaitu partikel yang berasal
dari air (hidrometeor), misalnya kabut, mist (kabut
tipis) dan hujan dan partikel lainnya (litometeor),
misalnya debu dan asap. Partikel pencemar udara
juga dapat mengganggu pandangan. Partikel-partikel
ini mempunyai dampak terhadap pandangan sebagai
berikut:
a. Mengurangi cahaya
b. Mengaburkan citra dari benda yang diamati.
c. Menghamburkan cahaya.

Kriteria Wujudul Hilal

Menurut Bapak Sutrisno Muliawan Syah (dewan hisab dan


rukyat PP Persis) bahwa ada beberapa kriteria yang dimiliki
wujudul hilal untuk mengantisipasi beberapa kemungkinan:

1. Jika ketinggian hilal telah mencakup seluruh negeri,


maka besoknya diputuskan masuknya tanggal bulan
hijriyah.

184 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
2. Bila garis tanggal/garis ketinggian hilal membelah
suatu negeri maka putusan ada di tangan menteri
agama sebagai qadhi qudhat/hakim penentu yang
berkompeten untuk memutuskannya, yang jelas
esoknya dinyatakan masuk tanggal bila hilal positif di
atas ufuk mar’i.

3. Menteri dalam kondisi si atas (no. 1) harus melihat


bahwa negerinya merupakan wilayatul hukmi.

4. Hanya saja, keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid


menetapkan bahwa daerah yang belum nampak
(masih negatif) mengikuti yang sudah nampak
dengan alasan karena masih dalam batas wilayatul
hukmi.

Munaqasyah dan Tarjih

1. Dilihat dari dua argumentasi di atas, yaitu antara yang


membolehkan dan melarang, dalil yang digunakan
bagi orang yang membolehkan lebih kuat. Hal ini
dilihat dari makna rukyah dalam al-Qur'an yang
kenyataannya tidak hanya memiliki satu makna saja.
2. Selain itu, dalam al-Qur'an secara jelas juga banyak
menyebutkan mengenai salah satu tujuan daripada
peredaran bulan, bumi dan matahari, yaitu untuk
mengetahui hitungan waktu dan tahun, termasuk di
dalamnya hitungan waktu ibadah.
3. Di masa-masa awal Islam, terutama di zaman Nabi
Muhammad Saw. Bahkan pada generasi sesudahnya,
penerapan awal bulan Qamariyyah khususnya awal

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 185
ramadhan selalu didasarkan atas metode rukyatul
hilal, tepatnya melihat bulan sabit dengan mata
telanjang. Kalau karena satu dan lain hal terganggu
dan karena rukyatul hilal tidak mungkin dilakukan,
maka dengan sendirinya rukyatul hilal ditiadakan
atau tidak dilakukan. Kompensasi atau jalan keluar
yang diberikan untuk mengantisipasi itu, penetapan
awal bulan Ramadhan harus dilakukan dengan cara
menyempurnakan atau tepatnya menggenapkan
bilangan bulan Sya'ban yakni menjadi 30 hari. Barulah
keesokan harinya umat Islam berpuasa Ramadhan.
Ketentuan ini jelas-jelas tertera pada periwayatan
hadits di atas yang satu sama lain saling mendukung
dan melengkapi.
4. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) yang nyata-nyata merupakan
karunia Allah Swt. Juga, selain dimungkinkan
menggunakan alat-alat bantu seperti teropong (al-
marâshid) dan lain-lain yang lebih meyakinkan
penglihatan mata. Sebatas ini, umumnya ulama atau
bahkan seluruh ulama membolehkan pelibatan alat-
alat teropong dan ilmu hisab dalam melakukan
kegiatan rukyatul hilal; tetapi dalam fungsinya
sebagai alat bantu atau penguat semata-mata, bukan
kapasitasnya sebagai penentu. Dan karenanya, maka
penetapan awal bulan Ramadhan berdasarkan ilmu
hisab tetap ditolak oleh kebanyakan ulama jika
kegiatan hisab dilakukan secara mandiri tanpa
menyertakan rukyah yang menjadi andalannya.
5. Dalam perjalanan selanjutnya, seiring dengan
perkembangan IPTEK yang semakin maju, serta
kecanggihan ilmu falak, perlahan-lahan namun pasti
tidak sedikit ulama yang kemudian membolehkan

186 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
penetapan awal bulan Ramadhan khususnya dan
bulan-bulan qamariyah yang lain pada umumnya
dilakukan berdasarkan hasil ilmu hisab dan ilmu falak
semata-mata; tidak perlu lagi dilakukan dengan
melibatkan rukyatul hilal. Jika perlu, hisab tidak
hanya dilakukan untuk satu tahun takwim berjalan,
akan tetapi bulan qamariyah khususnya awal
Ramadhan dan 1 Syawal sudah ditentukan sedini
mungkin dengan bertumpu kepada ilmu hisab dan
ilmu falak. Pendapat ini didasarkan pada semangat
dari penyariatan (ruh al-tasyrî) sejumlah ayat di atas
yang pada intinya Allah menciptakan matahari dan
bulan yang di antara tujuan dan fungsi utamanya
ialah untuk menetapkan perihal bilangan tahun dan
bulan bahkan pekan dan hari. Belum lagi
memperhatikan kondisi obyektif ayat-ayat al-Qur’an
itu sendiri yang secara lugas mendorong manusia
muslim untuk menggali ilmu-ilmu hisab dan falak.

Penutup

Sebagai kesimpulan terakhir, bahwa penetapan awal bulan


Qamariyah utamanya awal bulan Ramadhan, 1 Syawal dan
10 Zulhijah boleh dilakukan dengan metode hisab di
samping juga boleh menggunakan metode rukyah. Akan
lebih baik manakala awal penetapan bulan qamariyah
dilakukan dengan cara kombinasi, dalam artian
menggabungkan atau memadukan antara keduanya, yakni
dengan hisab rukyah sekaligus atau rukyah hisab secara
paralel.

Dengan melihat perkembangan hisab belakangan ini,


sekiranya boleh diprediksikan, ke depan penetapan awal

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 187
bulan Qamariyah berdasarkan pendekatan hisab akan
semakin dianut banyak orang seperti halnya penetapan arah
kiblat, waktu shalat dan hari-hari puasa. Semuanya telah
digantikan dengan hasil-hasil rekayasa IPTEK dalam kaitan
ini kompas dan jam.

Demikianlah kiranya sedikit mengenai pandangan ulama


tentang hukum penggunaan hisab dalam menentukan awal
bulan Ramadhan dan Syawal. Meski pembahasan ini terlalu
sederhana, namun setidaknya dapat memberikan sedikit
titik terang mengenai sebab perbedaan pandangan ulama
tersebut. Meski secara fikih madzhab hisab terkesan lebih
kuat, namun kita tetap harus toleransi terhadap mereka yang
menggunakan manhaj lain. Toh kedua-duanya memiliki
sandaran hukum. Hanya sebagai insan akademis tentu kita
tidak boleh taklid buta, mengikuti perkataan “atasan” kita
tanpa mengetahui argumentasi mereka. Jika umat Islam
dapat saling mengerti mengenai sandaran ijtihad orang lain,
maka umat Islam akan dapat terhindar dari sikap terpecah
belah.

Semoga dengan ini antara satu golongan dengan lainnya ada


kesepahaman sehingga kita tetap dapat bersatu meski dalam
bingkai perbedaan. Toh ulama kita terdahulu juga sering
berbeda, namun mereka tetap dapat hidup berdampingan.
Mereka sangat hormat terhadap pendapat yang dipegang
oleh ulama lainnya. Fanatisme buta hanya akan membawa
mudarat bagi umat Islam. Dan pada akhirnya, yang akan
bersorak gembira adalah musuh-musuh Islam. Wallau A’lam.

188 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
BAB VIII

Taharah
Bagi Wanita Muslimah

Taharah secara etimologi berarti membersihkan dan


mensucikan dari kotoran-kotoran atau noda yang bersifat
indrawi atau kotoran yang bersifat maknawi. Contoh
kotoran inderawi adarah air kencing, kotoran binatang dan
lain sebagainya. Contoh kotoran maknawi adalah dengki, iri
dan segala dosa yang dilakukan oleh manusia. Maksud
taharah di sini adalah memastikan kebersihan tempat yang
terkena kotoran.

Taharah secara terminologi adalah membersihkan sesuatu


dari najis, baik berupa najis hakiki, yaitu najis dari kotoran-
kotoran, atau hukmiyah, yaitu hadas. Imam Nawawi
mengartikan taharah sebagai upaya untuk menghilangkan
kotoran-kotoran, najis, atau segala kotoran lainnya. Makna
dari pengertian terakhir ini mencakup taharah seperti
tayamum, mandi sunnah dan wudhu.

Taharah sebagai bagian ibadah, memiliki posisi penting


dalam Islam. Karena sesung-guhnya Islam mencintai orang-

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 189
orang yang suka mensucikan diri. Suci di sini mencakup
segala hal, suci atau bersih pakain kita, suci tempat tinggal
kita, suci lingkungan kita, atau mensucikan tubuh kita baik
dari hadas kecil, ataupun hadas besar. Namun yang lebih
penting dari itu semua adalah suci dari segala penyakit hati,
seperti hasad, dengki, dendam dan lain sebagainya. Firman
Allah:

ِ ُّ ‫ّي َوُِحي‬
َ ‫ب الْ ُﻤتَطَه ِر‬
‫ين‬ ُّ ‫إِ َّن اَّللَ ُِحي‬
َ ِ‫ب الت ََّّواب‬
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah:
222)

Taharah merupakan syarat utama sahnya shalat. Jika


seseorang melakukan ibadah salat sementara ia dalam
keadaan junub, maka salatnya dianggap tidak sah. Salat
sendiri merupakan hubungan fertikal antara manusia
dengan Tuhannya. Jika kita dalam berinteraksi dengan
sesama manusia saja selalu mengedepankan aspek
kebersihan, maka berinteraksi dengan Tuhan tentu harus
lebih dikedepankan.

Karena segala sesuatu yang berkaitan dengan taharah sangat


luas, maka dalam tulisan ini kami hanya akan
mencantumkan beberapa hal yang berkaitan dengan taharah
wanita muslimah dan implikasinya dalam ibadah mahdah.

Haid, Nifas dan Istihadah

Darah yang keluar dari kemaluan wanita ada tiga macam;


darah haid, nifas dan istihadah. Darah haid adalah darah

190 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
yang keluar dari kemaluan wanita ketika ia dalam keadaan
sehat. Haid juga sering disebut dengan datang bulan. Darah
istihadah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita,
karena sakit (darah penyakit). Darah nifas adalah darah yang
keluar dari kemaluan wanita ketika ia melahirkan.

Pengertian Haid

Haid secara etimologi adalah sesuatu yang mengalir. Secara


terminologi, adalah darah yang keluar dari pangkal rahim
wanita, tidak disebabkan karena ia sedang melahirkan atau
sakit, dan terjadi dalam batas-batas waktu tertentu. Biasanya
darah haid berwarna kehitaman, panas dan ketika keluar
terasa perih. Mengenai hal ini, Allah berfirman:

ِ ‫ك َع ِن الْ َﻤ ِح‬
‫يض قُ ْل ُه َو أَذًى‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah:"Haid itu adalah suatu kotoran" (QS. al-Baqarah:
222)

Ummul mukminin, Sayyidah Aisyah per-nah menangis


karena tiba masa haidnya pada waktu haji, sementara ia
belum bertahallul. Meli-hat istrinya seperti itu, Rasulullah
kemudian bersabda:

)‫إن هذا أمر كتبه هللا على بنات آدم (رواه مسلم‬
Artinya: “Ini adalah sesuatu yang telah dituliskan Allah kepada
waita anak turunan Adam.” (HR. Muslim)

Waktu Haid

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 191
Terkadang haid bagi wanita dimulai ketika ia menginjak
umur 9 tahun dan berakhir sampai pada usia menopause
(berhenti haid). Jika terlihat darah sebelum atau sesudah
umur tersebut, biasanya darah penyakit. Dengan kata lain,
itu bukan darah haid. Bisa jadi ia sedang terkena pendarahan
atau penyakit lainnya.

Wanita yang sudah haid, dianggap telah dewasa. Dalam


bahasa agama sering disebut dengan aqil balig. Dengan
demikian, ia telah terkena beban hukum syariat. Dalam
istilah agama, ia sudah dapat disebut sebagai orang
mukallaf. Maka, ia sudah wajib menjalankan shalat, puasa,
zakat, haji dan lain-lain. Jika ia tidak menjalankan kewajiban
tersebut, ia sudah dianggap melakukan perbuatan dosa.
Persoalannya kemudian, jika wanita katakanlah sudah
berumur 20 tahun, namun belum juga haid, bagaimana cara
mengetahui bahwa ia sudah dianggap wanita dewasa? Para
ulama mengatakan bahwa ketika wanita berumur 15 tahun,
maka ia sudah dapat digolongkan sebagai wanita dewasa
atau balig, baik itu ia sudah haid atau belum.

Sampai kapan wanita akan mengalami haid (menopause)? Di


sini, terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Perbedaan tersebut muncul karena tidak ada keterangan
sharih, baik dari nash al-Qur’an maupun al-Hadis. Maka di
sini para ulama melakukan ijtihad dengan melakukan
berbagai penelitian dan analisa terhadap kondisi wanita.

Menurut madzhab Hanafi, usia menopause bagi wanita


ketika ia sudah mencapai umur 55 tahun. Sementara dalam
madzhab Maliki, usia menopause ketika wanita sudah
mencapai umur 70 tahun. Madzhab Syafi’i sendiri

192 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
menganggap, tidak ada batas pasti mengenai usia
menopause. Menurut madzhab ini Syafi'i, selama wanita
masih hidup, maka masih memungkinkan terjadinya haid.
Hanya saja, pada umumnya, wanita sudah tidak haid lagi
ketika ia berusia 62 tahun.

Madzhab Hanbali berpendapat bahwa usia menopause


adalah 50 tahun. Hal ini berlandaskan pada perkataan
Aisyah Ra., “Jika wanita telah sampai umur 50 tahun, maka ia
telah terbebas dari darah haid.” Beliau juga pernah berkata,
“Kamu sekalian tidak akan melihat seorang anak di perut(ibunya)
setelah ia berumur lima puluh tahun.

Batasan Masa Haid

Banyak perbedaan pendapat mengenai batasan minimum


dan maksimum masa haid. Menurut madzhab Syafi’i,
batasan minimum masa haid adalah satu hari satu malam (24
jam), sedangkan menurut mazhab Hanafi, batas minimum
masa haid selama 3 hari. Untuk batas maksimum menurut
Imam Malik dan Syafi`i adalah 15 hari, sedangkan menurut
Imam Abu Hanifah batas maksimum selama 15 hari.

Pengertian Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita setelah


ia melahirkan. Batas minimum masa nifas sekecap (lahzhah).
Sebagian ulama berpendapat bahwa nifas tidak memiliki
batas minimum karena tidak ada keterangan pasti dari
syariat. Nifas akan sangat kondisional, tergantung kepada
faktor biologis wanita. Terkadang darah nifas cukup banyak,
namun terkadang sangat sedikit dan bahkan ada yang tidak
keluar darah nifas sama sekali. Diriwayatkan dalam sebuah

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 193
hadits bahwa pada masa Rasulullah Saw. ada seorang
wanita melahirkan dan ia tidak keluar darah nifas. Wanita itu
kemudian dijuluki dengan “dzâtul jufûf” (Wanita yang
darahnya kering). Menurut madzhab Syafi’i, biasanya nifas
berlangsung selama 40 hari. Dan batasan maksimum nifas
adalah 60 hari.

Implikasi Haid dan Nifas dalam Ibadah

Haid dan nifas memiliki implikasi dalam ibadah. Sesuai


dengan keterangan syariat, wanita yang sedang keluar darah
nifas atau haid, maka ia memiliki beberapa beban hukum, di
antaranya adalah:

1. Wajib Mandi

Jika wanita mengeluarkan darah haid atau nifas, setelah


darahnya berhenti mengalir ia wajib mandi. Hal ini
didasarkan dari firman Allah:

ِ ‫اعتَ ِزلُواْ النِ َساء ِِف الْ َﻤ ِح‬


َ‫يض َوال‬ ْ َ‫يض قُ ْل ُه َو أَذًى ف‬ ِ ‫ك َع ِن الْ َﻤ ِح‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬
ُ ‫وه َّن ِم ْن َحْي‬
ُ‫ث أ ََمَرُك ُم اَّلل‬ ُ ُ‫َّت يَطْ ُه ْر َن فَإِذَا تَطَ َّه ْر َن فَأْت‬
ََّ ‫وه َّن َح‬
ُ ُ‫تَ ْقَرب‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah:"Haid itu
adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. (QS. Al-Baqarah: 222).

2. Pertanda akil balig (bulûgh)

194 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Wanita haid dianggap telah dewasa (balig) serta telah
menanggung beban hukum sebagaimana digariskan syariat.
Dalam hal ini Rasulullah Saw. Bersabda;

)‫ال تقبل صَلة اْلائض إال خبﻤار (رواه الرتمذى‬

“Allah tidak menerima shalat orang yang telah haid terkecuali


dengan pakaian (yang menutup aurat)”. (HR. Al-Tirmidzî)

3. Menandakan Bahwa Ia Tidak Sedang Mengandung

Wanita yang sedang haid, menandakan bahwa ia tidak


mengandung. Masa haid merupakan tolak ukur
penghitungan masa idah, yaitu masa dimana seorang
perempuan yang ditalak atau ditinggal wafat suaminya
untuk menikah lagi.

Masa idah berfungsi untuk mengetahui apakah wanita


mengandung ataukah tidak. Jika ia mengandung, berarti
jalur nasab anak pada suami pertama. Namun jika ia tidak
mengandung, jika kemudian ia menikah lagi, dan memiliki
anak, maka jalur nasab akan dinisbatkan pada suami kedua.

Hanya persoalannya, kapan mulai masa idah itu? Di sinilah


perbedaan para ulama. Seperti yang kita ketahui
sebelumnya, bahwa suami tidak diperbolehkan mentalak
istrinya ketika ia sedang haid. Setelah ia taharah dari haid,
baru suami boleh mentalak istrinya. Di sini mulai muncul
persoalan, sejak kapan kita menghitung masa idah? Ada
yang mengatakan bahwa hitungan idah, dimulai ketika
wanita mulai waktu haid, namun ada yang mengatakan,
bahwa waktu idah itu mulai ketika wanita sudah suci. Hal

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 195
ini diakibatkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama
mengenai lafal “qurû” dalam ayat di bawah ini:

‫ص َن بِأَن ُف ِس ِه َّن ثََلَثَةَ قُ ُرَوٍء َوالَ َِحي ُّل ََلُ َّن أَن يَكْتُ ْﻤ َن َما َخلَ َق‬ ُ ‫َوالْ ُﻤطَلَّ َق‬
ْ َّ‫ات يَتَ َرب‬
ِ ‫اَّلل ِِف أَرح ِام ِه َّن إِن ُك َّن ي ْؤِم َّن بِاَّللِ والْي وِم‬
‫اآلخ ِر‬ َْ َ ُ َْ ُ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan
apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Hanafi dan Hambali mengartikan qurû dengan masa haid,


sementara Maliki, Syafii dan Ja'fari mengartikannya
dengan suci. Dari perbedaan lafal itulah muncul perbedaan
pandangan.

Gambaran Madzhab Pandangan


Masalah Hukum
Penghitungan Maliki, Syafii Dimulai ketika
masa Iddah dan Ja'fari wanita selesai
dari haid
Hanafi dan Dimulai ketika
Hambali wanita mulai
haid

Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita Haid atau Nifas

196 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
1. Masuk atau Beritikaf di Masjid

Menurut jumhur ulama bahwa wanita haid diharamkan


masuk masjid. Sementara Imam Ahmad berpendapat bahwa
wanita haid boleh masuk masjid, namun ia harus berwudu
terlebih dahulu. Hal ini didasarkan pada Firman Allah:

‫َّت تَ ْعلَ ُﻤواْ َما تَ ُقولُو َن‬ ِ َّ


ََّ ‫الصَلَةَ َوأَنتُ ْم ُس َك َارى َح‬
َّ ْ‫ين َآمنُواْ الَ تَ ْقَربُوا‬
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
ْ‫َّت تَ ْغتَ ِسلُوا‬ ٍ ِ ِ ِ َّ ِ
ََّ ‫َوالَ ُجنُبًا إال َعابري َسبيل َح‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa
yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi.” (QS. Al-Nisâ:43)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan al-


Thabrani dari Ummi Salamah bahwa Nabi Muhammad Saw.
masuk ke dalam halaman masjid, kemudian beliau bersabda
dengan suara keras:

)‫إِن ال أحل املسﺠد ْلائض وال جنب (رواه أبو داود‬


Artinya: “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi
wanita yang sedang haid dan juga junub” (HR. Abu Dawud)

Hanya semua imam empat bersepakat bahwa masuk masjid


dibolehkan jika yang bersangkutan memiliki keperluan
mendesak, seperti mengambil barang yang ketinggalan atau
lain sebagainya. Konon para sahabat sering melewati masjid
untuk mengambil air. Mereka melakukan hal itu karena

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 197
memang tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain
dengan melintasi masjid.

Imam Laits dan Ibnu Hambal membolehkan wanita haid dan


nifas masuk masjid, dengan catatan dia berwudhu terlebih
dahulu. Hal ini sesuai dengan sebuah hadis yang berbunyi:

‫ رأيت رجاال من‬:‫روى سعيد بن منصور واألثرم عن عطاء بن يسار قال‬


،‫ وهم جمْنبون‬،‫ َيلسون ِف املسﺠد‬،‫أصحاب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫إذا توضأوا وضوء الصَلة‬
Artinya: Diriwayatkan dari Said bin Manshur dan Atsram dari Atha
bin Yasar dia berkata, "Saya melihat banyak dari sahabat Nabi
Muhammad Saw. duduk-duduk di masjid sementara mereka dalam
kondisi junub, setelah mereka melakukan wudhu seperti wudhunya
orang mau shalat.

Imam Ahmad dan Muzanni membolehkan wanita nifas dan haid


masuk masjid, meski mereka tidak dalam kondisi wudhu. Menurut
mereka, hadis larangan wanita haid dan nifas masuk masjid adalah
dhaif. Mereka juga berpegang dari hadis nabi yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim:

‫املسلم ال ينﺠس‬
Artinya: "Seortang muslim tidak najis".

Gambaran Madzhab Pandangan


Masalah Hukum
Masuk atau Jumhur ulama Haram
Beritikaf di Hambali dan Boleh jika dia

198 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Masjid bagi Laits berwudhu
wanita haid Imam Ahmad Boleh meski
dan nifas dan Muzanni tidak
berwudhu

1. Membaca al-Quran

Menurut jumhur ulama, wanita haid dan nifas diharamkan


membaca al-Qur’an, dalam hadits disebutkan;

)‫ال تقرأ اْلائض وال اجلنب شيئا من القرآن (رواه الرتمذى‬


Artinya: “Orang yang haid dan junub tidak diperkenankan untuk
membaca al-Qur’an” (HR. Al-Tirmidzî)

Jika wanita yang sedang haid atau nifas membaca Al-Qur’an


dengan tujuan untuk memuji keagungan Tuhan, untuk
berdoa, sebagai pembuka atas suatu perintah, atau pembuka
dalam majelis taklim, isti’âdzah (minta perlindungan Allah),
atau untuk berdzikir, maka bacaan seperti itu tidak
diharamkan. Seperti ketika akan naik kendaraan kemudian
ia membaca,

ِ ِ
َ ‫ُسْب َحا َن الَّذي َس َّخَر لَنَا َه َذا َوَما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرن‬
‫ّي‬
atau ketika turun dari kendaraan membaca,

ِ ِ ‫َُقُل ر‬
َ ‫ت َخ ْري الْ ُﻤْن ِزل‬
‫ّي‬ َ ْ‫ب أَنْ ِزلِِْن ُمْن َزًال ُمبَ َارًكا َوأَن‬ َْ
dan ketika terkena musibah mengucapkan,

‫َّلل َوإِنَّا إِلَْي ِه َر ِاجعو َن‬


ِ ِ ‫إِنَّا‬

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 199
Ia juga tidak diharamkan membaca al-Qur’an karena
ketidaksengajaan. Tidak diharamkan membaca basmalah,
surat al-Fatihah, dan ayat kursi dengan tujuan untuk
berdzikir kepada Allah. Hal ini bersandarkan dari hadits
yang diriwayatkan Imam Muslim dari Aisyah bahwa ia
berkata:

َِّ ‫ول‬
ْ ‫اَّللَ َعلَى ُك ِل أ‬
)‫َحيانه (رواه مسلم‬ َّ ‫اَّلل يَ ْذ ُك ُر‬ ُ ‫َكا َن َر ُس‬
Artinya: “Adalah Rasulullah Saw. selalu berdzikir kepada Allah
dalam tiap saat”. (HR. Muslim)

Sementara menurut Imam Malik, Ibnu Taimiyah dan Imam


Syaukani bahwa wanita haid dan nifas dibolehkan membaca
al-Quran. Alasannya sebagai berikut:
1. Prinsip segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil
yang mengharamkannya. Sementara tidak ada dalil yang
mengharamkan wanita haid dan nifas membaca Qur'an.
2. Membaca al-Quran sangat dianjurkan oleh Allah. Bahkan
mereka akan mendapatkan pahala yang sangat besar.
Dengan demikian, mereka tetap dibolehkan membaca
Quran, selama tidak ada dalil yang melarangnya.
3. Larangan membaca Quran bagi wanita haid dan nifas
akan menghilangkan kesempatan mereka untuk
mendapatkan pahala besar tersebut.

Gambaran Madzhab Pandangan


Masalah Hukum
Hukum Jumhur Tidak boleh
membaca Imam Malik, Boleh
Quran bagi Ibnu Taimiyah,
wanita haid Imam Syaukani

200 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
dan nifas

2. Berpuasa

Wanita haid dan nifas diharamkan menjalankan ibadah


puasa. Jika ia tetap melakukan ibadah puasa maka puasanya
tidak sah. Selanjutnya ia harus meng-qadha semua hari yang
telah lalu sewaktu ia haid dan nifas. Namun demikian ia
tidak diwajibkan meng-qadha shalat, karena shalat dikerjakan
secara berulang-ulang. Hal ini dilandasi dari hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim:jama’ah dari Mu’adzah bahwa ia
berkata,

‫الص ْوَم َوَال‬


َّ ‫ضي‬ ِ ‫ض تَ ْق‬ِ ِ‫ال ا ْْلَائ‬ ُ َ‫ت َما ب‬ ِ
ُ ‫ت َعائ َشةَ فَ ُق ْل‬ ُ ْ‫ت َسأَل‬ْ َ‫َع ْن ُم َعا َذةَ قَال‬
ِ ٍ ِ ‫ت قُ ْلت لَس‬ ِ ْ‫ت أَحروِريَّةٌ أَن‬ ِ ‫تَ ْق‬
‫ت‬ ْ ‫ت ِبَُروِريَّة َولَك ِِن أ‬
ْ َ‫َسأ َُل قَال‬ ُ ْ ُ ُ َ ْ َ‫الص ََلةَ فَ َقال‬
َّ ‫ضي‬
)‫الص ََل ِة (رواه مسلم‬ َّ ‫ض ِاء‬ ِ َّ ‫صيب نا ذَلِك فَن ؤمر بَِقض ِاء‬
َ ‫الص ْوم َوَال نُ ْؤَم ُر بَِق‬ َ ُ َ ْ ُ َ َ ُ ِ ُ‫َكا َن ي‬
Artinya: “Dari Mu’adzah al-‘Adawiyyah, aku bertanya kepada
Aisyah RA.:“Mengapa orang haid mengqadha puasa dan tidak
mengqadha shalat? Aisyah balik bertanya: “Apakah engkau dari
golongan Haruriyyah?”. Aku menjawab, “Aku bukan dari
golongan Haruriyyah. Aku hanya ingin bertanya”. Aisyah
kemudian menjawab, “Seperti itu kami pernah mengalaminya
ketika masih bersama dengan Rasulullah Saw., maka kami
diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan
untuk mengqadha shalat” (HR. Muslim)

3. Thawaf

Wanita haid dan nifas diharamkan berthawaf di Ka’bah,


karena thawaf adalah shalat seperti sabda Nabi Muhammad

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 201
Saw. kepada Aisyah:

ِ ‫اج َغري أَ ْن َال تَطُ ِوِف بِالْب ي‬


)‫ت َح ََّّت تَطَّ َّه ِري (رواه مسلم‬ ِ ِ
َْ ْ ُّ َ‫افْ َعلي َما يَ ْف َع ُل ا ْْل‬
Artinya: “Berbuatlah seperti yang diperbuat orang yang sedang
menunaikan ibadah haji, namun jangan berthawaf di Ka’bah
sehingga engkau telah suci”(HR. Muslim)

4. Bersetubuh

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid dan nifas untuk


besetubuh. Diriwayatkan dari hadits Anas bahwa ia berkata,
“Jika wanita orang Yahudi sedang haid, mereka tidak diberi
makan dan tidak digauli”. Para sahabat bertanya mengenai
masalah ini kepada Rasulullah Saw. Maka Allah
menurunkan ayat berikut;

َ‫يض َوال‬ ِ ‫اعتَ ِزلُواْ النِ َساء ِِف الْ َﻤ ِح‬ ْ َ‫يض قُ ْل ُه َو أَذًى ف‬ ِ ‫ك َع ِن الْ َﻤ ِح‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬
‫ب‬ُّ ‫ث أ ََمَرُك ُم اَّللُ إِ َّن اَّللَ ُِحي‬
ُ ‫وه َّن ِم ْن َحْي‬
ُ ُ‫َّت يَطْ ُه ْر َن فَإِذَا تَطَ َّه ْر َن فَأْت‬
ََّ ‫وه َّن َح‬
ُ ُ‫تَ ْقَرب‬
ِ
َ ‫ب الْ ُﻤتَطَه ِر‬
‫ين‬ ُّ ‫ّي َوُِحي‬
َ ِ‫الت ََّّواب‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah:"Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah: 222)

202 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:

ِ ٍِ
َ ‫اصنَعُوا ُك َّل َش ْيء إالَّ الن َك‬
)‫اح (رواه مسلم‬ ْ
Artinya: “Berbuatlah apa saja terkecuali menikah (bersetubuh).”
(HR. Muslim)

Berkata Imam Nawawi, “Jika seorang muslim berkeyakinan


bahwa bersetubuh dengan istri yang sedang haid hukumnya halal,
maka ia telah kafir dan murtad. Dan jika ia melakukannya bukan
karena keyakinan bahwa perbuatan tersebut halal, dikarenakan ia
lupa atau tidak tahu bahwa perbuatan tersebut diharamkan, atau
karena ia tidak tahu jika wanita sedang haid, maka ia tidak berdosa
dan tidak wajib kaffârah. Dan jika ia melaksanakan secara sengaja
sementara ia mengetahui bahwa istri sedang haid dan juga
mengetahui hukumnya haram, maka ia telah melaksanakan suatu
maksiat yang besar dan wajib bertaubat”.

Apakah mereka yang melakukan persetubu-han dengan istri


yang sedang haid dan nifas harus membayar kafarat? Dalam
hal ini ada dua pendapat, sebagian mewajibkan kafarat dan
sebagian lagi tidak. Namun, pendapat paling sahih adalah
mereka yang mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak
wajib membayar kafarat.

Menurut Imam Nawawi, dibolehkan bagi seorang suami


bermain dengan istrinya selain daerah antara pusar dan
lutut. Akan tetapi diharamkan melakukan permainan antara
pu-sar dan lutut selain kemaluan dan dubur.

Menurut imam Nawawi, hal itu halal namun makruh.


Dalil yang dijadikan landasan Imam Nawawi adalah hadits
yang diriwayatkan oleh istri-istri Rasulullah Saw.:

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 203
ِ ِ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َكا َن " إِذَا أ ََر َاد ِم َن ا ْْلَائ‬
‫ض َشْيئًا أَلْ َقى َعلَى‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫أ‬
َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َّيب‬
)‫ " (رواه أبو داود‬.‫فَ ْرِج َها ثَ ْوبًا‬

Artinya: “Sesungguhnya jika Nabi Saw. ingin (menggauli)


istrinya yang sedang haid, maka beliau akan menaruh kain (yang
menutup) kemaluannya”. (HR. Abû Dâud).

5. Talak

Diharamkan menjatuhkan talak kepada istri ketika ia sedang


haid. Jika hal ini sampai terjadi, maka hal ini dianggap
sebagai talak bid’i. Hal itu dikarenakan seorang suami
dianggap telah memperpanjang masa idah bagi wanita, serta
menyalahi aturan Allah sebagaimana tercantum dalam
firman-Nya;

َّ ‫صوا الْعِ َّدةَ َواتَّ ُقوا‬ ِِ ِ ِ ‫إِذَا طَلَّ ْقتم النِساء فَطَلِ ُق‬
َ‫اَّلل‬ ُ ‫َح‬
ْ ‫وه َّن لعدَِّت َّن َوأ‬
ُ َ ُُ
Artinya: “Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah
itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu” (QS. Al-Thalâq:1)

Artinya, di waktu mereka dapat menjala-ni masa iddah.


Karena sisa masa haid tidak dianggap sebagai masa idah.
Jadi, hal ini akan memberatkan pihak wanita. Karena masa
penantian semakin panjang.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan;

204 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
‫َخبَ َرهُ رضي هللا عنهﻤا أخربهَ نَّهُ طَلَّ َق اِ ْمَرأَة لَهُ َوِه َي َحائِض‬ ْ ‫أن عبد هللا ُع َﻤر أ‬
‫اَّلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فتغيظ فيه رسول هللا صلى هللا‬ َّ ‫صلَّى‬ ِ ‫فَ َذ َكر عُﻤر لِرس‬
َ ‫اَّلل‬
َّ ‫ول‬ َُ َ َ
‫عليه وسلم ُث قال لرياجعها ُث ْيسكها حَّت تطهر ُث حتيض فتطهر فإن بَ َدا‬
‫ضتِ َها قَ ْب َل أَ ْن ْيََس َها فتلك العدة كﻤا‬ ِ ِ
َ ‫ فَلْيُطَل ْق َها طَاهراً م ْن َحْي‬،‫لَهُ أَ ْن يُطَل َق َها‬
)‫أمر هللا عز وجل (رواه البخارى‬
Artinya: Bahwasanya Abdullah ibnu Umar memberitahukan
kepada Umar bahwa ia telah mentalak istrinya dalam keadaan haid.
Maka Umar mengadukan hal itu kepada Rasulullah Saw. Lantas
Rasulullah Saw. menahan amarah, kemudian beliau bersabda,
“Perintahkan kepadanya agar merujuk (istrinya) sampai ia suci,
kemudian haid, kemudian suci kembali. Jika ia (ibnu Umar) masih
tetap ingin mentalak istrinya, maka hendaklah ia mentalaknya
dalam keadaan suci sebelum ia menyentuhnya (menggaulinya).
Itulah masa idah yang telah diperintahkan oleh Allah” (HR. Al-
Bukhârî)

Pengertian Istihadah

Ishtihadah adalah darah yang mengalir dari ujung bawah


rahim, bukan pada waktu haid atau nifas, tapi karena sakit.
Setiap pendarahan bagi wanita sebelum waktu haid, yaitu di
bawah umur 9 tahun, atau kurang dari batas minimum
waktu haid, atau lebih dari batas maksimum waktu haid,
atau batas maksimum nifas, atau lebih dari batasan normal,
atau darah yang keluar pada saat wanita mengandung,
maka semua darah yang keluar tersebut disebut sebagai
darah c.

Istihadah tidak berpengaruh terhadap tanggungan hukum

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 205
syariat seperti shalat, puasa, haji, iktikaf, thawaf, masuk
masjid, membaca al-Qur’an, bersetubuh.

Menurut madzhab Syafi`i bahwa wanita yang mengeluarkan


darah istihadah ketika ia akan menjalankan shalat, ia hanya
diwajibkan berwudhu saja. Ia juga diperbolehkan ikut shalat
jenazah, atau shalat sunnah lainnya. Hendaknya ia segera
melaksanakan shalat setelah berwudhu, terkecuali karena
kebutuhan tertentu, seperti menutup aurat, mendengar
adzan dan iqamah, menanti waktu shalat jama’ah, berijtihad
dalam mencari arah qiblat, pergi ke masjid dan lain-lain.

BAB VIII

206 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Rukun dan Syarat Pernikahan

Pernikahan merupakan awal menuju kehidupan baru.


Pernikahan, yang merupakan bersatunya dua insan, oleh al-
Qur'an disebut dengan "janji yang sangat berat". Hal ini,
karena dengan adanya pernikahan akan memunculkan
banyak konsekwensi, baik secara individu maupun sosial.
Banyak tanggung jawab yang akan dipikul oleh kedua belah
pihak dalam mengarungi bahtera kehidupan bersama.

Pernikahan yang didasari atas landasan al-Qur'an dan


Sunnah akan dapat membentuk keluarga sakinah, mawadah
dan rahmah. Keluarga yang dibangun dapat menjadi surga
dunia, manakala pernikahan sesuai dengan rel yang telah
digariskan oleh syariat.

Pernikahan selain bertujuan untuk membentuk keluarga


bahagia, juga untuk menjaga keturunan dan membentuk
generasi rabbani. Pernikahan menjadi pintu pertama dalam
menjaga kelangsungan umat untuk melangkah ke medan
dakwah selanjutnya.

Tentu saja, bukan bearti dalam mengarungi bahteri


kehidupan, rumah tangga terbebas dari semua masalah.
Akan selalu ada rintangan dan persoalan yang menanti.
Namun riak persoalan tersebut justru akan menjadi bumbu
harmonis dalam menapaki kehidupan selanjutnya selama
mereka mampu bersikap sesuai dengan anjuran Nabi.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 207
Hanya saja, sebelum berlanjut kepada jenjang pernihakan,
ada syarat dan rukun yang layak diketahui bersama. Syarat
rukun tersebut yang menjadi pondasi awal dalam
pembentukan rumahtangga. Jika syarat rukun cacat, maka
keabsahan pernihanan juga akan cacat.

Untuk itu, di bawah ini penulis sampaikan mengenai syarat


dan rukun nikah. Penulis tidak hanya mencantumkan dari
satu mazhab saja, namun juga mencantumkan pendapat dari
madzhab lainnya. Tujuannya tidak lain adalah agar kita lebih
terbuka dan mampu melihat perbedaan pendapat di
kalangan para ulama. Dengan demikian, ketika menghadapi
perbedaan, kita tidak fanatik dan lebih mampu bersikap
toleran.

Definisi Rukun

Rukun artinya bagian dari hakikat sesuatu, dimana sesuatu


tersebut tidak akan ada kecuali bagian tadi ada. Dengan kata
lain, tidak dianggap nikah manakala tidak terpenuhi rukun
pernikahan. Seperti akad nikah yang merupakan bagian dari
rukun nikah. Pernikahan tidak dianggap, mana kala tidak
ada akad.1 Menurut Imam Hanafi, rukun adalah keberadaan
sesuatu, yang bergantung kepada sesuatu yang lain, dan
sesuatu tersebut merupakan bagian dari hakikat secara
keseluruhan. Menurut jumhur ulama, rukun adalah sesuatu
yang menjadi sandaran terhadap keberadaan hakikat, dan
hakekat sesuatu tidak ada kecuali terpenuhi sesuatu
tersebut.2

1 Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fî Ahkâmi al-Mar'ati wa Baiti al-Muslimi fî al-Syarî'ati al-
Islâmiyyati, Muassasah al-Risâlah, cet. III, vol VI, Beirut, hal. 80
2 Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fikihu al-Islmiy wa Adillatuhu, Dâr al-Fikri, vol IX, cet. IV, Beirut, hal. 6521

208 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Secara sederhana, rukun adalah bagian dari pernikahan.
Nikah tidak dianggap sah mana kala tidak dipenuhi semua
rukun nikah. Namun, apa saja rukun nikah tersebut? Berikut
penulis sampaikan secara lebih terperinci.
Sebagian mazhab Hambali berpendapat bahwa rukun nikah
ada tiga, yaitu suami, istri, dan shîgah (ijab kabul). Sementara
itu, menurut mazhab Syafi'i dan sebagian mazhab Hambali
bahwa rukun nikah ada lima, yaitu suami, istri, shîghah, saksi
dan wali.1

Dalam kitab fikih bermazhab Hanafi, “Syarh Munthaha al-


Irâdath” diterangkan bahwa rukun nikah adalah ijab kabul
saja. Demikian juga dalam kitab “Badâ'i” bahwa rukun nikah
adalah ijab dan kabul. Sebagian besar dari madzhab Hambali
juga berpendapat bahwa rukun akad nikah adalah ijab
kabul.2

no Madzhab Rukun
Nikah
1. Sebagian madzhab Suami, istri
Hambali dan sighah
2. Madzhab Syafii dan Suami, istri,
sebagian madzhab shîghah, saksi
Hambali dan wali

1 Dr. Raja' Ahmad Ahmad, Dirâsah limadzhabi al-Syâfi'iy fî al-Zawâj wa Ahkâmuhu, Diktat Kuliyah
Dirâsah Islâmiyyah wa al-'Arabiyyah li'l Banât, hal. 72
2 Dr. Fikriyah Ahmad Said, al-akhwal al-shakhsiyah fi al-syariati al-oslamiyah, Diktat Kuliyah Dirasah Al-
arabiyah lil'Banat, hal.72

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 209
Madzhab Syafii berpendapat bahwa rukun nikah ada lima,
yaitu:1
a. ijab Kabul (Shîgah)
b. Mempelai laki-laki
c. Mempelai perempuan
d. Wali
e. Dua orang saksi

A. Ijab Kabul (Shîgah)


Makna Ijab Kabul

Ijab adalah ucapan pertama dari pihak laki-laki, sedangkan


kabul adalah jawaban dari pihak perempuan.2 Ungkapan
akad nikah tersebut sering disebut dengan shîgah, dan isi dari
pada shîgah adalah ijab kabul.3

Makna ijab menurut madzhab Hanafi adalah ucapan


pertama dari kedua mempelai dan kabul adalah ucapan
kedua setelah lafal ijab.4

Syarat -syarat Ijab dan Kabul (Shîghah)

1. Lafal akad dalam satu tempat


Jumhur ulama mengatakan bahwa ungkapan lafal kabul
harus terucap setelah lafal ijab, walaupun tempatnya
berbeda. Shîgah (ungkapan ijab Kabul) tetap sah, jika lafal
ijab dan kabul langsung terucap, tidak ditunda dengan
pekerjaan atau dengan perbincangan lainnya.

1 Dr. Fathiyah Mahmud al-Hanafi, al-zawaj wa al-akhkam al-Khashah bihi, Diktat kuliah Dirasah al-
Islamiyah lil'Banat, hal.132
2 Dr, Abdul Karim Zaidan., Op. Cit., hal . 80
3 Ibid., hal 81
4 Dr, Fikriyah Ahmad Said, hal. 73

210 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Ini juga berlaku pada ketetapan hukum tentang lafal ijab
kabul melalui telepon, internet, atau alat komunikasi
lainnya. Selama diucapkan secara langsung dan tidak
diselingin dengan sesuatu, maka hukumnya sah.

Tentang lafal ijab kabul yang diucapkan secara langsung


(tidak diselingi dengan perbuatan lain), ada perbedaan
pendapat. Apakah lafal ijab kabul termasuk salah satu
dari syarat shîghah atau tidak? Madzhab Maliki, Hanafi
dan Hambali berpendapat bahwa lafal ijab kabul secara
langsung bukan termasuk syarat shîghah, sedangkan
Syafi'i berpendapat bahwa lafal ijab kabul secara
langsung adalah salah satu dari syarat shîghah. Jumhur
ulama banyak merajihkan pendapat pertama.

Gambaran Madzhab Hukum


masalah
Ijab kabul Madzhab Bukan
yang Maliki, termasuk
diucapkan Hanafi syarat
secara dan shîghah
langsung Hambali
Madzhab Termasuk
Syafi'i syarat
shîghah

2. Shîghah (ungkapan ijab dan kabul) harus terdengar dan


dapat dipahami. Bagi orang buta dan tuli, jika lafal akad
nikah dilakukan dengan surat atau bahasa isyarat,
selama dapat dipahami maka hukum lafal akad tetap sah.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 211
3. Perkataan mujib tidak ditarik kembali sebelum lafal
kabul terucap.
4. Kesepakatan dalam mengucapkan lafal ijab kabul.
5. Lafal ijab kabul harus bersifat mutlak, tidak terikat.1

Ungkapan Ijab Kabul (Shîgah)

Pertama: dilihat dari segi lafal kabul.


Para fuqaha sepakat bahwa lafal kabul boleh dengan
ungkapan apa saja asalkan dapat menunjukkan kepada
keridaan dan kesepakatan dari pihak pertama (ijab).

Kedua: dilihat dari segi lafal ijab.


Para fuqaha sepakat bahwa dibolehkan menggunakan lafal
ijab dengan lafal al-inkhâh atau al-tazwîj atau lafal lain yang
dapat menunjukkan keridaan kedua mempelai.
Di sini ada perbedaan pendapat tentang lafal ijab:

1. Mazhab Syafi'i dan Hamabi yang berpendapat bahwa


bahwa syarat ungkapan lafal akad nikah hanya bisa
dengan lafal al-tajwîz atau al-inkhâh tidak boleh dengan
lafal lain. Hal ini didasari dari firman Allah:
‫اب لَ ُكم ِم َن النِ َساء َمثْ ََن‬ ِ ِ
َ َ‫َوإِ ْن خ ْفتُ ْم أَالَّ تُ ْقسطُواْ ِِف الْيَتَ َامى فَانك ُحواْ َما ط‬
ِ
ِ ِ ِ ِ
‫ك‬َ ‫ت أَْْيَانُ ُك ْم ذَل‬ْ ‫اع فَِإ ْن خ ْفتُ ْم أَالَّ تَ ْعدلُواْ فَ َواح َدةً أ َْو َما َملَ َك‬
َ َ‫ث َوُرب‬ َ َ‫َوثَُل‬
ْ‫أ َْد ََن أَالَّ تَ ُعولُوا‬
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu

1 ]Dr. Fathiyah Mahmud al-Hanafi, Op. Cit., hal. 103-106

212 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. Al-Nisa:
3)

Di sebutkan juga dalam hadits:

ِ ُّ ‫ فَإِنَّه أَ َغ‬،‫اب م ِن استطَاع ِمْن ُكم الباء َة فَ ْليت زَّوج‬


،‫ص ِر‬
َ َ‫ض ل ْلب‬ ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ َ ِ َ‫يَا َم ْع َشَر الشَّب‬
ِ ِ َّ ِ‫يع فَ َعلَْي ِه ب‬ ِ ِ ‫وأَح‬
ٌ‫ فَإنَّهُ لَهُ َو َجاء‬،‫الص ْوم‬ ْ ‫ َوَم ْن َملْ يَ ْستَط‬،‫ص ُن ل ْل َفرِج‬
َ ْ َ
Artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian
yang sudah mampu (menikah), maka menikah lah. Dan barang
siapa yang tidak mampu, maka berpuasalah karena puasa dapat
menjadi perisai.” ( HR. Bukhari).1

2. Pendapat madzhab Hanafi mengatakan bahwa lafal


nikah adalah lafal al-tamlîk (yang bearti mengandung
makna memiliki). Di sini madzhab Hanafi membolehkan
lafal ijab kabul dengan selain lafal al-tajwîz atau al-inkhâh.
Menurut mereka, lafal hibah, sedekah dan al-milk juga
dapat digunakan. Hal ini dilandasi dari firman Allah:

‫ت‬ْ ‫ورُه َّن َوَما َملَ َك‬


َ ‫ُج‬
ُ ‫تأ‬ َ ‫الَلِِت آتَ ْي‬ َّ ‫ك‬ َ ‫اج‬َ ‫ك أ َْزَو‬ ْ ‫َّيب إِنَّا أ‬
َ َ‫َحلَلْنَا ل‬ ُّ ِ‫يَا أَيُّ َها الن‬
‫ك‬ ِ ِ ‫ات ع َّﻤاتِك وب ن‬
َ ‫ات َخال‬ ََ َ َ َ ِ َ‫ك َوبَن‬ َ ‫ات َع ِﻤ‬ِ َ‫ك وب ن‬ َّ ‫ك ِِمَّا أَفَاء‬
َ َ َ ‫اَّللُ َعلَْي‬ َ ُ‫َْيِين‬
ِ َ ِ‫ات َخ َاالت‬ ِ َ‫وب ن‬
‫ت نَ ْف َس َها‬ْ َ‫ك َو ْامَرأَةً ُّم ْؤمنَةً إِن َوَهب‬ َ ‫الَلِِت َه‬
َ ‫اج ْر َن َم َع‬ َّ ‫ك‬ ََ
ِ
ِ ِ ِ ِ َ َّ‫َّيب إِ ْن أَراد النَِّيب أَن يستَنكِحها خالصةً ل‬ ِ
‫ّي قَ ْد‬
َ ‫ك من ُدون الْ ُﻤ ْؤمن‬ َ َ َ َ ْ َ ُّ َ َ ِ ِ‫للن‬

1 Al-Kutub al-Sittah, Raid Shabri bin Abi Ulfa ed, Maktabah al-Rusyd, jilid I, 2005, hal. 517

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 213
‫ت أَْْيَانُ ُه ْم لِ َكْي ََل يَ ُكو َن‬ ِ ْ ‫َعلِ ْﻤنَا َما فَ َر‬
ْ ‫ضنَا َعلَْي ِه ْم ِِف أ َْزَواج ِه ْم َوَما َملَ َك‬
‫يﻤا‬ ِ
ً ‫اَّللُ غَ ُف ًورا َّرح‬
َّ ‫ك َحَر ٌج َوَكا َن‬ َ ‫َعلَْي‬
Artinya: “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan
bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya
dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang
kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah
untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari
saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu,anak-anak perempuan dari saudara laki-
laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan
ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan
mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi
mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah
mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang
istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya
tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzâb: 50)

Disebutkan juga dalam hadits:


: ‫ وقالت‬، ‫أن امرأة جاءت إَل النيب صلى هللا عليه وسلم فوقفت عليه‬
‫ يا رسول هللا إن مل‬: ‫رجل‬
ٌ ‫ فقال‬. ‫يا رسول هللا ; إِن وهبت لك نفسي‬
‫يكن لك فيها حاجة فزوجنيها‬

Artinya:” Bahwa Nabi Muhammad Saw. didatangi


seorang wanita. Wanita itu berdiri di hadapan Nabi lalu
berkata: “Ya Rasulullah aku hibahkan diriku untukmu”.
Kemudian wanita itu berdiri lama, maka seorang laki-

214 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
laki berkata: “Ya Rasulullah, jika engkau tidak berkenan,
nikahkan saja dia untukku”.

Maka Nabi bertanya kepadanya mengenai mahar yang


akan diberikan kepadanya. laki itu menjawab aku tidak
mempunyai apaun. Rasulullah bersabda:

‫أنكحتكها على ما معك من القرآن‬

Artinya “Aku nikahkan dia kepadamu dengan hafalan Qur'an


yang engkau miliki”. (HR. Nasa'i).1
Alasan Hanafiyah adalah:

Pertama: Rasul pernah nikah dengan lafal hibah. Dengan


demikian, jika ada umatnya yang menikah dengan lafal
hibah, maka pernikahannya dianggap sah. Selain itu,
sesuatu yang masyru' (dibolehkan) oleh Rasul, tentu juga
dibolehkan untuk umatnya.

Kedua: Hadis nabi yang mengatakan:


‫أخذَتوهن بأمانة هللا واستحللتم فروجهن بكلﻤة هللا‬

Artinya: “Kalian telah mengambilnya dengan amanah Allah,


dan kalian semua menghalalkan kemaluannya dengan kalimat
Allah” .

Kemudian diambil kesimpulan bahwa yang


dimaksudkan dengan “kalimat Allah” adalah al-tazwîj
dan al-inkâh dapat dibantah. Hal ini karena arti "kalimat

1 Ibid, Jilid II, hal. 2489

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 215
Allah" bisa berarti hukum Allah. Sebagaimana firman-
Nya:

‫اَّلل ِه َي الْعُلْيَا‬
ِ ُ‫الس ْفلَى وَكلِﻤة‬
َ َ ُّ ْ‫ين َك َف ُروا‬
ِ َّ ِ
َ ‫َو َج َع َل َكل َﻤةَ الذ‬
Artinya: “Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir
itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi.”
(QS. At-Taubah: 40)

Hukum Allah menerangkan bahwa dibolehkan menikah


dengan ungkapan selain lafal al-tazwîj dan al-inkâh.
Dalam pernikahan hal terpenting adalah bahwa
ungkapan tersebut mengandung makna kepemilikan.

Lafal "sewaan" (ijârah) dalam akad nikah sama sekali


tidak dibolehkan, karena ia tidak mengandung arti
kepemilikan.

Dengan demikian, orang yang menggunakan ungkapan


“sewaan” dalam ijab kabul, maka nikahnya tidak sah.1 Ini
dapat dipahami dari petunjuk ayat di atas.
Contoh: aku sewakan anakku dengan mahar seperangkat
alat shalat.-------→ nikahnya tidak sah.

Ketiga: pendapat madzhab Maliki yang mengatakan bahwa


nikah tidak boleh dengan lafal hibah dan tamlîk. Contoh,
"Aku miliki Anda dengan mahar seperangkat alat shalat.
Ungkapan seperti ini tidak sah.

Keempat: al-Zhahiriyah mengatakan bahwa akad nikah


dibolehkan dengan menggunakan ungkapan yang

1 Dr Abdul Karim Zaidan, op. cit, hal 83

216 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
mengandung arti milik (al-tamlik) atau lafal selain at-tazwij
dan al-inkâh.

Contoh sebagai berikut: “Dia sudah menjadi milikku dengan


Qur'an yang kau miliki.”

Ketiga madzhab Hanafi mengatakan bahwa ungkapan akad


nikah selain dengan lafal al-tazwîj atau al-inkâh, dianggap sah.
Menurutnya, akad nikah seperti akad jual beli dan akad-akad
lainnya.

Pendapat yang dianggap rajah oleh jumnur ulama adalah


pendapat madzhab Syafi'i dan Hambali, yaitu yang
mengatakan bahwa nikah menggunakan ungkapan al-inkhâh
atau al-tazwîj saja.1

Keempat: Hanabila mengatakan tidak sah jika ijab akad tidak


menggunakan lafal selain al-tazwij atau al-inkâh (ungkapan
nikah) sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:

‫ أخذَتوهن بأمانة هللا واستحللتم‬،‫ فإهنن عوان عندكم‬،‫اتقوا هللا ِف النساء‬


‫فروجهن بكلﻤة هللا‬

Artinya: Bertakwalah kalian kepada Allah tentang perempuan,


sesungguhnya mereka adalah patner bagi kalian. Sesungguhnya
kalian semua telah mengambil mereka dengan amanat Allah dan
kalian semua telah menjadikan kemaluan mereka halal dengan
kalimat Allah. (HR. Imam Muslim).

1 Dr, Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal 73-82

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 217
Pendapat yang dianggap rajih adalah yang mengatakan
bahwa mengucapkan ungkapan ijab kabul hanya dibolehkan
dengan menggunakan ungkapan pernikahan (at-tankhîh atau
al-inkâh), karena dengan dua lafal ini, perjanjian dalam akad
nikah dapat diketahui secara pasti.

Contoh: aku nikahkan anakku dengan mahar, "Seperangkat


alat shalat".-----→ nikahnya sah.

Persoalan Madzhab Hukum


Mengucapkan Syafi'i Tidak sah
ijab kabul dan
dengan lafal Hambali
selain ungkapan Hanafi Sah
pernikahan (at- Maliki Tidak sah
tankhîh atau al- dengan lafal
inkâh), hibah dan
tamlik
Zhahiri Sah
Hambali Tidak sah

Ungkapan Ijab Kabul

Para fuqaha mensyaratkan dua ungkapan dalam akad.


Pertama: ungkapan ijab kabul yang menunjukkan masa yang
sudah lampau; (mâdhi). Kedua: ijab menggunakan ungkapan
yang sudah lampau (mâdhi), sementara kabul menggunakan
ungkapan yang akan datang (mustaqbal). Contoh bentuk
pertama: ucapan bagi yang menikahi: “zawajtuka ibnati” (saya
telah nikahkan anak saya) dan yang menerima
menjawab”qabiltu” (telah aku terima) dan contoh yang kedua

218 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
adalah: ucapan bagi khatib: “uzawwijuka ibnati” (sekarang
aku nikahkan anakku dengan Anda) dan wali
menjawab:”qabiltu”(Telah aku terima).1

Fuqaha sepakat, lafal ijab kabul akan dianggap sah, apabila


lafal tersebut menggunakan dengan lafal al-tazwîj atau al-
inkâh. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur'an:

ِ َ‫والَ تَنكِحواْ ما نَ َكح آبا ُؤُكم ِمن النِساء إِالَّ ما قَ ْد سلَف إِنَّه َكا َن ف‬
ً‫اح َشة‬ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ
ِ
ً‫َوَم ْقتًا َو َساء َسبيَل‬
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). (QS. An-Nisâ: 22)2

Pada hakikatnya shîghah (ungkapan) akad nikah,


diucapkannya dengan shîghah mâdhi (ungkapan lampau),
karena shîghah mâdhi (ungkapan lampau) lebih kuat dari
shîghah lainnya, tetapi menggunakan shîghah selain shîghah
mâdhi juga boleh, dengan syarat harus ada indikator (qarînah)
dalam akad tersebut.3

Ijab Kabul Huku


m

1 Al-Sayyid Sabiq, Fikihu al-Sunnah, Muhammad Sayyid Sabiq ed, al-Fathu li'l I'lâm al-'Arabiy, cet. III,
Kairo vol II, hal. 323
2 Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fî Ahkâmi al-Mar'ati wa Baiti al-Muslimi fî al-Syarî'ati al-
Islâmiyyati, Muassasah al-Risâlah, cet. III, vol VI, Beirut, hal. 81
3 Ibid., hal 82-83

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 219
“zawajtuka ibnati” ”qabiltu” Sah
(Aku telah nikahkan (telah aku
anakku) terima)
“Uzawwijuka ibnati” ”qabiltu”(Tel Sah
(Sekarang aku ah aku
nikahkan anakku terima)
dengan Anda)

Hukum Lafal Ijab Kabul dengan Menggunakan Selain


Bahasa Arab

Para fuqaha berpendapat bahwa ijab kabul dengan


menggunakan selain bahasa dianggap sah. Menurut Imam
Syafi'i dan Ibnu Qudama, seperti termaktub dalam kitab al-
mughnî bahwa bagi yang menguasai lafal ijab kabul dengan
bahasa Arab, maka dia harus menggunakan ijab kabul
dengan bahasa Arab. Jika tidak, maka nikahnya diangap
tidak sah.

Sementara itu, Abu Hanifah membolehkan akad nikah


dengan selain bahasa Arab, walaupun mempelai mahir
berbahasa Arab. Hal ini karena ungkapan ijab kabul adalah
ungkapan khusus yang hanya diucapkan ketika pernikahan
saja.1

Menurut Abdul Karim Zaidan, bahwa ijab Kabul dapat


diucapkan dengan bahasa apapun. Islam adalah agama yang
mudah sehingga diharapkan tidak mempersulit sesuatu
yang sudah dimudahkan oleh Islam. Ijab dan kabul
sesungguhnya dimaksudkan agar kedua mempelai, ketika
menikah saling memahami dan saling merestui, dan bukan

1 Al-Sayyid Sabiq, Fikihu al-Sunnah, al-Fathu li'l I'lâm al-'Arabiy, cet. III, Kairo vol II, hal. 322

220 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
karena unsur keterpaksaan. Ungkapan ijab kabul
sesungguhnya adalah bukti dari kerelaan kedua mempelai
tersebut.1

Menurut madzhab Hambali, jika kedua mempelai paham


berbahasa Arab, maka hendanyak ungkapan akad nikah
dilafalkan dengan bahasa Arab. Jika kedua mempelai tidak
paham bahasa Arab, maka ungkapan akad nikah boleh
dilafalkan dengan bahasa selain bahasa Arab.

Sebagian fuqaha mengatakan jika kedua mempelai mahir


dan paham bahasa Arab, maka tidak boleh akad diucapkan
dengan ungkapan selain bahasa Arab. Pendapat yang
dianggap rajih adalah pendapat Hanafi yang mengatakan
bahwa hukum akad dengan selain bahasa Arab dianggap
sah, meski kedua mempelai paham bahasa Arab, selama
bahasa tersebut dapat dipahami oleh saksi dan yang lainnya.2

Gambara Pendapat Catata Huku


n Masalah Madzhab/ n m
Ulama
Lafal Ijab Imam Jika Tidak
Kabul Syafi'i dan mempe sah
dengan Ibnu lai bisa
Menggun Qudama bahasa
akan arab
Selain Imam Jika Sah
Bahasa Syafi'i dan mempe
Arab lai

1 Ibid., hal. 323


2 Dr. Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal. 90

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 221
Ibnu tidak
Qudama bias
bahasa
Arab
Abu Meski Sah
Hanifah, mempe
Abdul lai bisa
karim bahasa
Zaidan Arab
Madzhab Jika Sah
Hambali mempe
lai bisa
bahasa
Arab,
hendak
nya
mengg
unakan
bahasa
Arab

Hukum Ijab Kabul dengan Isyarat

Para fuqaha membolehkan lafal ijab kabul dengan bahasa


isyarat selama dapat dipahami. Jika bahasa isyarat tidak
dipahami oleh para saksi, maka hukum akad batal dan tidak
sah. Intinya adalah pemahaman tersebut, sehingga hukum
ijab kabul dengan bahasa isyarat sama dengan mengucapkan

222 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
lafal dengan bahasa selain bahasa Arab. Jika tidak paham
dengan cara tersebut, maka akad tidak sah.1

Ijab kabul dengan bahasa isyarat dapat dilakukan ketika


seseorang tidak dapat bicara, bisu, atau karena faktor
lainnya.

Hukum Orang Bisu yang Mengucapkan Akad Nikah


dengan Bahasa Isyarat atau dengan Tulisan

Menurut madzhab Hambali bahwa bagi orang bisu yang


menikah dengan ijab kabul menggunakan bahasa isyarat
atau tulisan, selama isyarat tersebut dapat dipahami, maka
nikahnya sah. Menurut madzhab Hambali bahwa
mengungkapkan ijab kabul dengan tulisan bagi orang bisu
lebih diutamakan. Hal ini karena tulisan lebih jelas dan lebih
dapat dipahami. Meski demikian, Hanabilah tetap
membolehkan orang bisu melafalkan ijab kabul dengan
isyarat, walaupun ia bisa menulis dan membaca.2

Para fuqaha sepakat bahwa akad nikah dengan isyarat hanya


diperbolehkan bagi orang bisu dan tuli, selama isyarat
tersebut dapat dipahami oleh saksi dan orang lain.

Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih


diutamakan dibandingkan dengan bahasa isyarat. Tulisan
kedudukannya sama dengan ungkapan dengan kata-kata.
Maliki dan Hanabilah mengatakan bahwa lafal ijab kabul
dengan isyarat atau tulisan mempunyai kedudukan yang
sama. Artinya tidak ada yang lebih baik antara satu dengan

1 Ibid.Lihat juga, Dr. Abdul karim Zaidan, op. cit., hal. 85


2 Ibid., hal. 89

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 223
yang lainnya. Hanafi mengatakan tulisan lebih baik dari
isyarat, karena tulisan lebih dipahami oleh orang lain.

Gambaran masalah Madzhab Huku


m
Orang Bisu Semua sah
Dibolehkan madzhab
Mengucapkan
akad nikah dengan
bahasa Isyarat atau
dengan Tulisan

Hukum Akad Nikah, Ketika Salah Satu dari Mempelai


Tidak di Tempat

Jika akad nikah dilaksanakan sementara salah satu dari


mempelai tidak ada di tempat, maka hukum akad nikah
dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti
salah satu mempelai mengirim utusan atau surat sebagai
perwakilan dalam akad nikah.1 Dari sini pula bisa dikatakan
bahwa nikah dengan menggunakan intennet, chating, skypi
dianggap sah.

Hukum Akad Nikah dengan Syarat

Maksud syarat di sini adalah ketika salah seorang dari kedua


mempelai dalam akad nikah meminta syarat tertentu.

1 Al-Sayyid Sabiq, op, cit., hal. 323. Lihat juga, Imam Abi Abdhillah bin Idris al-Syafi'i, Mausu'atu al-
Um, Khairi Said, ed, al-Maktabah al-Taufîqiyah, vol. V, hal. 27-28

224 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Menurut Madzhab Hanafi bahwa syarat dibagi menjadi tiga;
pertama, syarat yang benar. Kedua, syarat yang salah. Ketiga,
syarat yang batil.
Keterangan, sebagai berikut:
1. Syarat dari para mempelai dianggap sah manakala
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Syarat yang berkaitan dengan akad, seperti; syarat
seorang istri kepada suaminya yang meminta agar
seorang suami memberi nafkah bagi dirinya.
b. Syarat yang menguatkan akad, seperti; seorang istri
meminta mahar kepada suaminya.
c. Syarat yang dibolehkan oleh syariat meskipun tidak
ada hubungannya dengan akad atau tidak
menguatkan akad, seperti; seorang istri meminta
dibolehkan cerai jika dia minta cerai dari suaminya.
d. Syarat akad yang sesuai dengan tradisi, seperti;
pemberian mahar sebelum akad nikah.
2. Syarat dari para mempelai yang dianggap tidak sah,
dengan rincian sebagai berikut:
a. Syarat yang tidak berkaitan dengan akad.
b. Syarat yang tidak menguatkan akad.
c. Syarat yang tidak dibolehkan oleh syariat meskipun
tidak ada hubungannya dengan akad atau tidak
menguatkan akad.
d. Syarat akad yang tidak sesuai dengan tradisi.

3. Syarat-syarat yang batil, yaitu akad nikah dengan syarat-


syarat yang dilarang oleh syariat. Atau memberikan
syarat dengan mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.1

1 Dr. Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal. 108-111

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 225
Jika akad nikah disertai dengan syarat tertentu, syarat
tersebut bisa jadi berkaitan dengan akad nikah, atau tidak
ada kaitannya sama sekali dengan akad nikah. Syarat
tersebut bias saja mempunyai manfaat bagi kedua
mempelai, atau justru bertentangan dengan syariat dan
tidak memberikan manfaat apapun bagi mempelai.
Tentu saja, setiap persoalan tersebut mempunyai
ketetapan hukum sendiri. Lebih detailnya sebagai
berikut:
1. Syarat yang harus dipenuhi
Yaitu apabila wali atau suami mengajukan syarat
yang baik bagi istrinya seperti: "Setelah menikah saya
akan menafkahimu”. Syarat seperti ini harus dipenuhi
oleh suami.
2. Syarat yang tidak boleh dipenuhi.
Yaitu apabila suami mengajukan syarat kebalikan dari
syarat di atas, seperti: "Setelah saya menikahimu, saya
tidak mau menafkahimu” atau “Setelah saya
menikahimu, saya tidak mau berhubungan badan
denganmu” atau “Setelah saya menikahimu, saya
akan menafkahi dengan hasil pekerjaan haramku”.
3. Syarat yang berguna bagi istri.
Yaitu syarat yang memberikan manfaat bagi isti,
seperti, “Setelah saya menikahimu, saya akan pergi ke
negerimu”. Menurut Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan
sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa syarat seperti
ini, tidak mempengaruhi sah tidaknya akad
pernikahan. Artinya dengan syarat ini, pernikahan
tetap dianggap sah, walaupun suami tidak menepati
janjinya tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa
syarat tersebut harus ditepati. Jika tidak ditepati,
hukum nikah menjadi rusak. Dalil dari pendapat

226 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Imam Syafi'i, Abu Hanifa, dan sebagian ulama lain
sebagai berikut:

ِ ‫اَّللِ فَهو ب‬
‫ َوإِ ْن َكا َن ِمائَةَ َش ْر ٍط‬, ‫اط ٌل‬ ِ ِ ٍ
َ َ ُ َّ ‫س ِِف كتَاب‬
َ ‫ُك ُّل َش ْرط لَْي‬
Artinya: “Setiap syarat yang bertentangan dengan kitab
Allah (al-Qur'an) maka ia batal, meskipun sampai seratus
syarat.” (HR. Bukhari).

Hukum Lafal Akad yang Terpengaruh Logat Daerah

Jika tradisi suatu daerah mengucapkan akad tidak fasih,


sebagai contoh zawaj berubah jadi (Jawâj), sehingga terjadi
kesalahan dalam ungkapan lafal akad tersebut, maka
kesalahan tersebut dapat dimaklumi dan akad pun dianggap
sah. Contoh, jika wali mengatakan, “Jawwaztuki binti hâdzihi”
(aku nikahkan anakku ini), kemudian orang yang melamar
menjawab, “qabiltu hâdza al-jawâz” (aku terima pernikahan
ini). Demikian juga jika dalam ucapan ijab terdapat
kesalahan dalam i'rab atau dalam struktur kalimat, maka ijab
kabul tetap dianggap sah. Sebagaimana jika seorang wali
mengatakan “zawajtu laka binti aw zawajtu binti ilaika” (aku
nikahkan anak putriku kepadamu). Nikah dianggap sah,
selama tidak merusak makna. 1

Contoh lain:
"Aku neeekahkan anakku dengan mahar seperangkat alat
shalat." Wali tidak menggunakan ungkapan nikah, tapi
neeekah. Meski secara bahasa salah, namun maksud dari
akad tersebut dapat dipahami sehingga akad dianggap sah.

1 Dr. Abdul Karim Zaidan, op. Cit., hal 81

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 227
Hukum Lafal Ijab Kabul dengan Tulisan

Madzhab Hanafi berpendapat bahwa akad nikah dengan


tulisan, dapat digolongkan ke dalam dua bangian.

Pertama, ungkapan lafal akad di mana salah satu dari


mempelai sedang tidak ada di tempat, seperti calonsuami di
Indonesia, sementara calon istri ada di Mesir.

Kedua, ungkapan akad nikah dengan tulisan, sementara


kedua mempelai ada di tempat.

Ungkapan akad dengan tulisan, jika memang salah satu dari


kedua mempelai tidak ada di tempat diperbolehkan. Namun
jika kedua-duanya ada di tempat, maka akad dengan tulisan
tidak diperbolehkan.

Madzhab Hambali dan Syafi'i mengatakan bahwa akad


nikah dengan tulisan, hanya dibolehkan ketika salah satu
mempelai tidak ada di tempat. Menurut mereka, barangsiapa
yang dapat mengungkapkan lafal akad nikah dengan lisan,
maka dia harus mengungkapkannya dengan lisan.1

Madzhab Hanafi menambahkan bahwa ungkapan akad


nikah dengan tulisan diperbolehkan bagi mempelai yang
tidak ada di tempat, dengan tujuan untuk mempermudah
urusan pernikahan.2

Gambaran Kondisi Madzhab Hukum


masalah

1 Ibid.
2 Ibid, dan lih. Dr, Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal. 85-86

228 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Lafal Ijab Ketika Semua Sah
Kabul salah satu madzhab
dengan mempelai
Tulisan tidak ada
di tempat
Ketika Tidak
semua sah
mempelai
ada di
tempat

Hukum Ungkapan Akad Nikah yang Diwakilkan

Dalam kitab al-Badâ'i karya al-Kasa'i dikatakan bahwa


seorang laki-laki mengutus seseorang untuk meminta
dinikahkan, kemudian utusan tersebut diterima kedua orang
saksi. Model akad nikah seperti ini dibolehkan. Meski yang
datang ke tempat akad nikah adalah utusannya, namun akad
tetap dianggap sah dan mempelai dianggap masih dalam
satu tempat. ungkapan akad nikah dari utusan, posisinya
dianggap sama persis dengan akad yang diungkapkan oleh
orang yang diwakili.

Madzhab Hanafi mengatakan bahwa hendaknya utusan


seorang pria remaja yang sudah baligh. Imam Sarkhasi
membolehkan bagi orang yang menjadi wakil, dia adalah
orang merdeka, atau budak, atau orang dewasa, atau remaja.
Baginya, mereka itu sama saja. Seorang wakil, menempati
posisi orang yang meminta diwakilkan. Apa yang dia
katakana dan dia akadkan, sesungguhnya adalah sama
seperti apa yang diakadkan dan dikatakan oleh orang yang

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 229
meminta diwakilkan. Singkatnya, akad nikah yang
dilakukan oleh perwakilan, dibolehkan.1

Hukum Ungkapan Akad Nikah (Ijab dan Kabul) yang


Diucapkan oleh Satu Orang

Prinsipnya, ungkapan ijab dilakukan oleh satu orang,


demikian juga ungkapan kabul yang dilakukan oleh satu
orang. Hal ini karena akad nikah dapat disetarakan dengan
akad jual beli, hibah, dan lainnya. Semua ungkapan dalam
transaksi tersebut terdapat lafal serah dan terima.
Perbedaannya, dalam jual beli tidak boleh dalam akad
transaksinya hanya dilakukan oleh satu orang saja. Artinya
yang mengatakan "Saya membeli" dan "Saya menerima",
hanya satu orang. Sejatinya, "Saya serahkan barang belian
ini", diungkapkan oleh penjual, dan "Saya terima barang ini",
diungkapkan oleh pembeli.

Jika ada pertanyaan, apakah ungkapan akad nikah dapat


diungkapkan oleh satu orang saja? Mengenai hal ini, para
fuqaha berbeda pendapat. Madzhab Hanafi membolehkan
ungkapan akad nikah dilaksanakan oleh satu orang saja,
namun dengan syarat berikut:
1. Orang tersebut adalah wali dari kedua mempelai.
2. Orang tersebut merupakan orang yang hendak
menikah, dan sekaligus ia wali dari perempuan.
3. Orang tersebut wakil dari salah satu calon mempelai
dan wali dari mempelai yang lain.2

1 Ibid., hal. 91
2 Dr, Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal.93

230 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Selain dengan syarat di atas, menurut madzhab Hanafi tidak
sah akad nikah, dalam kondisi berikut:
1. Orang yang mengungkapkan akad nikah, bukan dari
pihak wali atau yang menikah sendiri.
2. Orang yang mengungkapkan lafal akad, bukan pihak dari
wali atau wakil.
3. Seorang kakek yang menikahkan cucunya yang
perempuan, padahal kakek si perempuan tidak
menyuruhnya sebagai wakil atau wali.
4. Jika ada seorang yang mengaku sebagai wali atau wakil
dari kedua mempelai.

Mengenai persoalan ini, madzhab Syafi'i mengatakan bahwa


apa yang dikatakan oleh madzhab Hanafi, seluruhnya tidak
sah, kecuali jika seorang kakek menikahkan cucu perempuan
dengan cucu laki-lakinya sendiri. Dalam kondisi seperti ini,
ungkapan akad nikah oleh satu orang dianggap sah.1

B. Saksi

Hukum Saksi dalam Akad Nikah

Jumhur ulama mengatakan bahwa akad nikah belum


dikatakan sah, jika tidak ada saksi yang bias hadir di tempat
acara pernikahan. Hal ini dilandaskan dari hadis yang
diriwayatkan Aisyah bahwa:
‫ال نكاح إال بويل وشاهدي عدل‬

Artinya: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan saksi yang
adil”.

1 Ibid, hal. 93-94

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 231
Syarat Saksi Nikah

1. Islam

Para ulama sepakat bahwa keislaman seseorang menjadi


syarat dia dibolehkan menjadi saksi pernikahan. Tentu saja,
jika yang sedang melangsungkan akad pernikahan adalah
orang Islam.1

Tentang syarat keislaman saksi, didasarkan pada firman


Allah Swt, yang berbunyi:

ِ ٍ ِ
‫يدا‬ َ ِ‫ف إِذَا جْئ نَا ِمن ُك ِل َّأم ٍة بِ َش ِهيد َوجْئ نَا ب‬
ً ‫ك َعلَى َه ُؤالء َش ِه‬ َ ‫فَ َكْي‬
Artinya:Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti),
apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap
umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi
atas mereka itu (sebagai umatmu). (QS. Annisâ: 41)

Hukum Saksi Yang Beragama Kristen atau Yahudi

Ada Perbedaan pendapat tentang saksi nikah yang beragama


Kristen dan Yahudi (ahli kitab) di antaranya:
a. Jumhur fuqaha mengatakan bahwa syarat sahnya saksi,
ia harus beragama Islam. Sedangkan saksi yang
beragama Kristen atau Yahudi (Ahli Kitab) tidak sah,

1 Al-Sayyid Sabiq op. Cit., hal. 339

232 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
dengan landasa dalil di atas. Juga berdasarkan dari hadits
Nabi:
‫ال نكاح إال بويل وشاهدي عدل‬

Artinya: tidak sah menikah kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil.
b. Madzha Hanafi berpendapat bahwa saksi akad nikah,
boleh dari kalangan orang Kristen atau Yahudi (Ahli
Kitab), dengan alasan karena saksi adalah syarat yang
sudah ditetapkan dalam syariat pernikahan, baik itu
Islam ataupun Ahlu Kitab.

Pendapat yang dianggap rajih adalah pendapat pertama


yang mengatakan bahwa saksi pernikahan harus dari
kalangan orang Islam.

Gambaran Madzhab Hukum


masalah
Saksi Yang Jumhur Tidak boleh
Beragama ulama
Kristen dan Hanafi Boleh
Yahudi

Sementara itu, syarat-syarat saksi akad nikah selain Islam


adalah
1. Baligh dan berakal
2. Merdeka.

Madzhab Hanafi dan Syafi'i mengatakan bahwa merdeka


menjadi syarat bagi saksi nikah. Budak tidak boleh menjadi
saksi, karena dia tidak mempunyai wali bagi dirinya sendiri.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 233
Pendapat Hanabilah dan Ahmad mengatakan bahwa
merdeka bukan termasuk syarat. Dengan demikian, budak
bisa menjadi saksi nikah, selama budak tersebut jujur dan
dapat dipercaya.

2. Saksi Lebih dari Satu (Ta`addud)

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang


berbunyi:

‫ان ِِمَّن‬
ِ َ‫ّي فَرجل وامرأَت‬
ِ َّ ِ ِ ِ َ ‫استَ ْش ِه ُدواْ َش ِه‬
َ ْ َ ٌ ُ َ ْ َ‫يديْ ِن من ر َجال ُك ْم فَإن ملْ يَ ُكونَا َر ُجل‬ ْ ‫َو‬
‫ُّه َداء‬ ِ ‫تَر‬
َ ‫ض ْو َن م َن الش‬ َْ
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka
(boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai.” (QS. Al-Baqarah: 282).

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam urusan harta benda,


dianjurkan adanya saksi dan hendaknya saksi tersebut
jumlahnya dua orang atau satu laki-laki atau dua orang
perempuan.

Untuk masalah akad nikah, saksi lebih baik lebih dari satu
orang laki-laki, atau dua orang laik-laki atau dua orang
perempuan. Semakin banyak saksi, semakin baik.

Hukum Saksi Wanita dalam Akad Nikah

Madzhab Syafi'i dan Hambali membolehkan wanita menjadi


saksi dalam berbagai macam persoalan, kecuali saksi nikah.

234 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Hal ini berlandaskan dari Hadis yang diriwayatkan Abu
Abid: “Bahwa wanita tidak layak sebagai saksi dalam batas-batas
tertentu yaitu saksi dalam perkawinan dan saksi dalam thalak”

Perempuan tidak boleh menjadi saksi nikah, karena akad


nikah bukanlah akad yang berkaitan dengan harta benda,
dan bukan akad jual beli. Dengan demikian, saksi laki-laki
lebih baik dari pada perempuan.
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa wanita boleh menjadi
saksi nikah, dengan catatan didampingi dengan dua laki-laki
dan dua orang perempuan. Hal ini dilandasi dari firman
Allah Swt yang berbunyi:

‫ان ِِمَّن‬
ِ َ‫ّي فَرجل وامرأَت‬
ِ َّ ِ ِ ِ َ ‫استَ ْش ِه ُدواْ َش ِه‬
َ ْ َ ٌ ُ َ ْ َ‫يديْ ِن من ر َجال ُك ْم فَإن ملْ يَ ُكونَا َر ُجل‬ ْ ‫َو‬
‫ُّه َداء‬ ِ ‫تَر‬
َ ‫ض ْو َن م َن الش‬ َْ
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka
(boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Madzhab Syafi'i mengatakan bahwa laki-laki adalah salah


satu syarat dari syarat saksi. Menurut mereka, akad nikah
belum dikatakan sah, jika saksi tersebut kurang dari dua
orang laki-laki. Hal ini didasari dari hadits Nabi:

‫ال نكاح إال بويل‬

Artinya: “Nikah (tidak sah) tanpa adanya wali”. (HR. Tirmidzi).

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 235
Madzhab Hanafi membolehkan saksi seorang laki-laki dan
dua orang perempuan, sesuai dengan hadis Nabi Saw:

‫ال نكاح إال بويل وشاهدي عدل‬

Artinya: Tidak sah menikah kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil.

Gambaran Madzhab Hukum


masalah
Saksi Wanita Syafi'i dan Tidak boleh
dalam Akad Hambali
Nikah Hanafi Boleh denan
didampingi
saksi laki-laki

3. Adil (Orang Baik-baik)

Madzhab Syafi'i dan Hambali mengatakan bahwa tidak sah


akad nikah jika saksi seorang fasik, dengan alasan
sebagaimana hadits:
‫ال نكاح إال بويل وشاهدي عدل‬

Artinya: Tidak sah menikah kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil.

Keberadaan saksi nikah sesungguhnya sebagai wujud


penghormatan atas sakralitas akad nikah. Saksi juga akan
menjadi bukti riil atas berlangsungnya akad nikah. Oleh
karenanya, oang fasik dilarang menjadi saki akad nikah.

236 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Menudut mazhab Maliki, bahwa syarat saksi adalah orang
baik-baik (adil). Jika tidak ada orang baik-baik, setidaknya
secara lahiriyah, terdapat dua orang baik (adil). Maksud dari
keberadaan saksi adalah sebagai informasi kepada semua
orang atas berlangsungnya akad pernikahan. Di sini, saksi
orang baik-baik dengan orang yang kurang baik, sama saja.

Madzhab Hanafi mengatakan bahwa orang baik-baik bukan


termasuk dalam syarat saksi nikah.1

Gambaran Madzhab Hukum


masalah
Saki Bukan Madzhab Tidak sah
Orang Baik- Syafi'i dan
baik (Ghair Hambali
Adalah) Hanafi Sah

4. Dapat Melihat dan Mendengarkan Secara Lagsung

Saksi dapat melihat dan mendengarkan secara lagsung apa


yang terucap dalam ungkapan akad nikah, serta mengerti
maksud arti ungkapan tersebut. Madzhab Syafi'i
mensyaratkan bahwa seorang saksi harus orang yang bisa
melihat dan mendengar. Sedangkan madzhab Hanafi tidak
mensyaratkan hal tersebut.

Gambaran masalah Madzhab Hukum


Syafi'i Tidak sah

1 Ibid, hal. 142-145

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 237
Tidak dapat Hanafi Sah
melihat dan
mendengarkan
akad nikah secara
lagsung
C. Perwalian

Makna Wali

Menurut bahasa, wilâyah artinya pertolongan atau


keturunan. Ada yang mengatakan bahwa wali artinya
hakim. Menurut jumhur ulama, seorang wali nikah, lebih
baik dari kerabat dekatnya. Wali dimaksudkan bukan untuk
mengekang calon mempelai, atau merubah nasab mempelai.

Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila wanita tidak


mempunyai wali, ataupun dia mempunyai wali tetapi
mengekang keberadaannya, maka perwalian bias diambil
alih oleh hakim. Madzhab Hanafi menambahkan bahwa
syarat wali di antaranya adalah bahwa ia orang merdeka,
menyanggupi sebagai wali, orang terdekat dari mempelai,
atau seorang hakim. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang
diriwayatkan Aisyah bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

‫ت بغري إذن مواليها فنكاحها باطل باطل باطل‬ ِ


ْ ‫أْيا امرأة نُك َح‬
Artinya: “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya,
maka pernikahan tersebut batil, batil, batil”.1

Pembagian Wali

1 Ibid, hal. 399

238 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Pertama: ijbâriyyah yaitu wali sebenarnya, seperti ayahnya
atau kakeknya.
Kedua: ikhtiyâriyyah yaitu wali yang bukan sebenarnya,
namun dapat dijadikan sebagai wali dengan faktor tertentu,
seperti perwakilan dari selain ayah dan kakek.1

Syarat Wajib Wali

1. Islam
Seorang wali harus beragama Islam sebagaimana dalam
firman Allah Swt, yang berbunyi:

‫صو َن بِ ُك ْم فَِإن َكا َن لَ ُك ْم فَ ْت ٌح ِم َن اَّللِ قَالُواْ أَ َملْ نَ ُكن َّم َع ُك ْم َوإِن‬ ِ َّ


ُ َّ‫ين يَتَ َرب‬
َ ‫الذ‬
ِِ ِ ِ ‫َكا َن لِلْ َكافِ ِر‬
َ ‫يب قَالُواْ أَ َملْ نَ ْستَ ْح ِو ْذ َعلَْي ُك ْم َوَّنَْنَ ْع ُكم م َن الْ ُﻤ ْؤمن‬
ُ‫ّي فَاَّلل‬ ٌ ‫ين نَص‬ َ
ً‫ّي َسبِيَل‬ ِِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ين َعلَى الْ ُﻤ ْؤمن‬ َ ‫َْحي ُك ُم بَْي نَ ُك ْم يَ ْوَم الْقيَ َامة َولَن ََْي َع َل اَّللُ للْ َكاف ِر‬
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang menunggu (peristiwa) yang
akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika
terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata:"Bukankah
kami (turut berperang) beserta kamu" Dan jika orang-orang kafir
mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:
"Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu" Dan jika orang-
orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka
berkata:"Bukankah kami turut memenangkan kamu, dan membela
kamu dari orang-orang mukmin". Maka Allah akan memberi
keputusan di antara kamu di hari dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisâ: 141)

1 Dr. Fathiyah Mahmud al-Hanafi, Op. Cit., hal. 141

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 239
2. Baligh dan berakal
Ini sudah menjadi kesepakatan di kalangan para ulama.

3. Orang yang merdeka


Budak laki-laki ataupun perempuan tidak boleh menjadi
wali karena budak menjadi milik tuannya.

4. Laki-laki
Menurut Syafiiyah, perempuan tidak boleh menjadi wali. Dia
juga tidak diperkenankan menikahkan diri sendiri atau
menikahkan orang lain, baik diizinkan atau tidak diizinkan
oleh orang yang bersangkutan, karena secara etika tidak baik
dan kurang sopan. Hal ini didasarkand ari firman Allah:

‫ال قَ َّو ُامو َن َعلَى النِ َساء‬ ِ


ُ ‫الر َج‬
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”.

Menurut madzhab Syafii, ayat di atas menerangkan bahwa


seorang perempuan tidak boleh menjadi wali bagi dirinya
ataupun orang lain. Syafi'i menetapkan laki-laki sebagai
salah satu dari syarat wali. Sedangkan madzhab Maliki,
Hambali dan Hanafi mengatakan bahwa perempuan pun
boleh manjadi wali nikah.

Gambaran Madzhab Hukum


masalah
Syafii Tidak sah

240 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Perempuan Maliki, Sah
menjadi wali Hambali dan
nikah Hanafi

5. Orang Baik-baik (Adil)

Menurut madzhab Syafi'i bahwa di antara syarat seorang


wali, ia adalah orang baik-baik (âdil). Sementara menurut
madzhab Hanafi, Hambali dan Maliki, bahwa orang baik-
baik tidak menjadi syarat seseorang menjadi wali nikah.1

Gambaran Madzhab Hukum


masalah
Bukan orang Syafii Tidak sah
baik-baik Hanafi, Sah
menjadi wali Hambali dan
Maliki

6. Rusydu
Yaitu anak kecil yang belum balig tapi sudah mengerti
dan berakal.

Mengenai rusyd ini, di kalangan madzhab Syafii sendiri


terjadi silang pendapat. Sebagian mengatakan bahwa
rusydu termasuk syarat wali. Alasannya, seseorang tidak
mungkin menjadi wali, manakala dia belum dapat
berfikir dengan baik. Sementara menurut madzhab
Hambali, Hanafi, Maliki dan sebagian ulama dari
kalangan Syafiiyyah menganggap bahwa rusyd dan juga
safîh (pemboros) bukan termasuk syarat dari wali nikah.

1 Ibid. hal.141-146

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 241
Gambaran Madzhab Hukum
masalah
Rusydu Sebagian Termasuk
madzhab Syafii syarat wali
Hanafi, Bukan
Hambali, termasuk
Maliki dan syarat wali
sebagian
madzhab Syafii

Orang yang Berhak Menjadi Wali

Jumhur ulama dari kalangan madzhab Tsauri, Maliki, Laithi


dan Syafi'i sepakat bahwa wali dalam akad nikah adalah
orang terdekat dari mempelai perempuan. Madzhab Syafi'i
menambahkan bahwa wanita tidak boleh menjadi wali
dalam akad nikah. Jika tidak ada kerabat dekat, maka wali
dapat diambil alih oleh hakim. Menurut madzhab Syafi'i,
orang-orang yang dilarang menjadi wali adalah orang gila,
anak kecil dan orang tua yang sudah pikun.

Hukum Wali Perempuan dalam Akad Nikah

Para ulama dai kalangan madzhab Syafi'i dan Hambali


berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjadi wali. Hal ini
didasari dari firman Allah Swt.:

‫ّي ِم ْن عِبَ ِاد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم إِن يَ ُكونُوا فُ َقَراء‬ ِِ َّ ‫وأَنكِحوا ْاألَيامى ِمن ُكم و‬
َ ‫الصاْل‬ َ ْ ََ ُ َ
‫يم‬ِ ِ َّ ‫ضلِ ِه و‬ ِ َّ ‫ي ْغنِ ِهم‬
ٌ ‫اَّللُ َواس ٌع َعل‬ َ ْ َ‫اَّللُ من ف‬ ُ ُ

242 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur:32)

Allah Swt. juga menegaskan dalam firman-Nya:

‫ات َح ََّّت يُ ْؤِم َّن‬


ِ ‫وُالَ تَنكِحواْ الْﻤ ْش ِرَك‬
ُ ُ َ
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman

Dua ayat tadi menegaskan bahwa laki-laki yang hendaknya


menjadi wali dalam akad nikah, dan bukan perempuan.
Alasan lain, karena laki-laki bisa menikahi banyak wanita,
sedangkan wanita tidak layak menikahi banyak laki-laki.
Secara adat dan tradisi, laki-laki juga umum menjadi wali
dalam akad nikah. Laki-laki diangap lebih pantas karena
mereka dapat memberikan penilaian secara lebih baik
mengenai calon pasangan sehingga mereka lebih layak
untuk dijadikan sebagai wali nikah.”1

Hukum Wanita Menjadi Wali Bagi Dirinya Sendiri

Mengenai masalah ini, terjadi silang pendapat di kalangan


para ulama:
a. Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa wanita tidak boleh
menikahi dirinya sendiri. Dia juga tidak boleh
mengungkapkan lafal ijab kabul dengan dirinya sendiri.

1 Mengenai wali pernikahan, selengkapnya lihat, Habdul Halim Muhammad Abu Syaqqah, Tahrîru al-
Mar'ati fî 'Ashri al-Nubuwwati, Dâr al-Qalam li al-Nasyr wa al-Tauzî', vol. V, cet. VI, 2002, hal. 70

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 243
Sederhananya, wanita tidak boleh menjadi wali bagi
dirinya sendiri.
b. Madzhab Maliki berpendapat bahwa wanita tidak boleh
menjadi wali bagi dirinya sendiri atau menjadi wali bagi
orang lain, baik dia masih kecil, masih perawan, sudah
berakal atau sudah janda.
c. Madzhab Hambali berpendapat bahwa wanita tidak boleh
menjadi wali bagi dirinya sendiri, dan tidak boleh
menjadi perwakilan wali nikah bagi orang lain. Apabila
dia tetap ngotot menjadi wali, maka pernikahan
dianggap tidak sah.
d. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa wanita yang sudah
baligh yang berakal, boleh menjadi wali bagi dirinya
sendiri. Dia juga boleh menjadi wali bagi orang lain.
e. Madzhab Ja'fari berpendapat bahwa nikah dianggap sah
dengan ucapan ijab dari salah satu mempelai dan kabul
dari mempelai yang lain. Bisa saja orang yang
mengucapkan ijab adalah suami, atau walinya atau
wakilnya, dan yang mengucapkan kabul adalah istri,
atau walinya, baik dia mukallaf atau tidak.1

Gambaran Madzhab Hukum


masalah
Wali Syafii, Tidak sah
Perempuan Hambali dan
dalam Akad Maliki
Nikah Hambali dan Sah
Ja'fari

1 Ibid., hal. 96

244 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Hukum Wali yang Menentukan Besaran Mahar

Para ulama sepakat bahwa seorang wali tidak boleh


mencegah dan melarang apa yang diinginkan calon
pengantin. Contoh, apabila laki-laki ingin menikah dengan
sedikit mahar dan mempelai perempuan menyetujui mahar
tersebut, maka wali tidak boleh menolak dan melarang
perkawinan mereka. Kecuali jika memulai wanita meminta
kepada wali untuk mendapatkan mahar yang lebih besar.

Namun sebaliknya, wali tidak boleh menuntut mahar dari


calon pempelai laki-laki. Jika ini dilakukan, maka wali
dianggap telah menzhalimi calon kedua mempelai. Wali
dianggap telah melakukan pengekangan kepada kedua
mempelai. Dan sikap ini dilarang oleh syariat Islam. Hal ini
didasari dari firman Allah:

‫اج ُه َّن إِذَا‬ ِ ِ


َ ‫وه َّن أَن يَنك ْح َن أ َْزَو‬ ُ ُ‫ضل‬ ُ ‫َجلَ ُه َّن فََلَ تَ ْع‬ َ ‫َوإِذَا طَلَّ ْقتُ ُم الن َساء فَبَ لَغْ َن أ‬
‫اَّلل َوالْيَ ْوِم‬
ِ ِ‫ظ بِِه من َكا َن ِمن ُكم ي ؤِمن ب‬
ُ ُْ ْ َ ُ ‫وع‬ َ ُ‫ك ي‬
ِ ِ
َ ‫اض ْواْ بَْي نَ ُهم بِالْ َﻤ ْع ُروف ذَل‬ َ ‫تَ َر‬
‫اآلخ ِر ذَلِ ُك ْم أ َْزَكى لَ ُك ْم َوأَطْ َه ُر َواَّللُ يَ ْعلَ ُم َوأَنتُ ْم الَ تَ ْعلَ ُﻤو َن‬
ِ

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis


iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka
kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaaan
di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah: 232)

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 245
Ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penentuan
mahar oleh wali nikah diharamkan dan dilarang oleh agama.
Hanya saja, wali boleh melarang calon pengantin untuk
menikah, jika laki-laki yang dipilih perempuan tersebut tidak
sepadan (sekufu). Wali berhak mencari laki-laki yang lebih
kafaah dari pilihan perempuan tersebut. Sikap seperti ini,
bukan termasuk turut campur wali dalam urusan mahar.

Jika seseorang diminta untuk menjadi wali, namun dia tidak


sanggup, atau menolak, maka hakim boleh menggantikan
sebagai wali. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang
berbunyi:

‫ت بغري إذن مواليها فنكاحها باطل فإن دخل ّبا فاملهر َلا‬ ِ
ْ ‫أْيا امرأة نُك َح‬
‫ِبا أصاب منها فإن تشاجروا فالسلطان ويل من ال ويل له‬

Artinya: “Setiap wanita yang menikah tanpa seijin walinya, maka


nikahya batil. Maka jika dia disetubuhi, dia berhak mendapatkan
mahar. Jika dia sebatang karang, maka pemerintahlah yang berhak
untuk menjadi walinya. (HR. Tirmidzi).

Khatib Syarbini menyebutkan bahwa wali yang tidak mau


menjadi wali, padahal calon mempelai sudah kafaah disebut
'adlhul wali". Sikap sepserti ini tidak dibenarkan dan dilarang
oleh syariat1

Wali Ijbâr

1 Dr. Fathiyah Mahmud al-Hanafi, Op. Cit., hal. 147-148

246 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Wali ijbar adalah seorang wali yang memaksa anaknya untuk
menikah. Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa wali ijbâr
dapat dibagi menjadi dua;

Pertama: calon mempelai wanita seorang perawan. Ia boleh


dipaksa menikah, dengan syarat:
1. Tidak ada permusuhan antara wali dan anaknya.
2. Calonnya sekufu.
3. Besaran mahar sesuai keinginan calon mempelai wanita.
4. Mahar dengan menggunakan mata uang negara calon
mempelai wanita.
5. Mahar tidak menyulitkan pihak calon pengantin laki-laki
6. Wali tidak boleh memaksa anaknya untuk menikahi
orang buta atau orang lanjut usia.

Mengenai wali ijbâr ini, sebaiknya sebelum menikahkan


anaknya, seorang wali meminta izin terlebih dahulu kepada
anaknya. Tetapi jika anaknya masih kecil (belum mukallaf),
wali boleh tidak minta izin.1

Kedua; seorang wali (wali ijbâr) tidak boleh memaksa janda


untuk menikah, sebagaimana hadits Nabi:

ِ ِ ِ
َ ‫ ق‬. " ‫ َوال تُْن َك ُح الْبك ُْر َح ََّّت تُ ْستَأْذَ َن‬، ‫ب َح ََّّت تُ ْستَأْ َمَر‬
: ‫يل‬ ُ ‫ال تُْن َك ُح الثَّي‬
‫وت‬
ُ ‫الص ُﻤ‬ ُّ " : ‫ال‬ َ َ‫َوَما إِ ْذنُ َها ؟ ق‬
Artinya: “Seorang janda tidak dapat dinikahi hingga dimintai
persetujuan dia secara langsung, dan wanita perawan tidak dapat
dinikahi hingga dimintai izin kepadanya”. Lalu dikatakan,

1 Ibid, 148-150

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 247
“Bagaimana bisa tau bahwa dia telah mengizinkannya?”
Rasul menjawab, “Dan izinnya adalah diamnya”. (HR. Muslim)

Hal ini karena janda dianggap lebih banyak pengalaman dan


sudah mempunyai pengetahuan tentang pernikahan. Jadi,
tidak ada wali ijbâr untuk janda, baik janda tersebut masih
kecil, gila, budak ataupun janda yang belum pernah
berhubungan badan dengan suaminya.1

Kesimpulan bahwa seorang wali (wali al-ijbâr) boleh


memaksa anaknya untuk menikah jika anaknya sakit jiwa
atau masih kecil (belum baligh). Syarat wali ijbâr sama
dengan syarat wali pada pernikahan biasa. Selain itu, syarat
wali ijbâr sama dengan wali akad nikah biasa. Menurut imam
Hanafi, bahwa hukum wali ijbâr sama dengan hukum wali
akad nikah biasa, kecuali wali ijbâr terhadap anak kecil.
Menurut madzhab Maliki dan Ahmad bahwa yang berhak
menjadi wali ijbâr bagi anak kecil adalah bapak dan
keluarganya saja.2

Hukum Wanita yang Tidak Mempunyai Wali dan Tidak


Sanggup untuk ke Wali Hakim

Al-Qurthubi berpendapat, apabila wanita tidak mempunyai


wali dan tidak sanggup ke wali hakim, maka boleh tetangga
atau orang terdekat untuk mewakili menjadi wali dengan
syarat dia dapat dipercaya. Madzhab Maliki berpendapat,
jika wanita dalam keadaan demikian, maka wali bisa dari
siapa saja, asalkan dekat dan dapat dipercaya. Pada
hakikatnya setiap muslim bisa menjadi wali asalkan

1 Ibid, hal. 150


2 Al-Sayyid Sabiq op. Cit., hal. 405

248 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
memenuhi syarat-syarat wali tersebut. Hal ini juga
diungkapkan oleh madzhab Syafi'i yang mengatakan bahwa
wanita yang memang benar-benar tidak punya wali dan
tidak sanggup ke wali hakim, maka laki-laki yang dikenal
bisa menjadi wali dalam pernikahan.1

Kapan Hakim bisa Menjadi Wali?

Hakim bisa menjadi sebagai wali dengan dua syarat:


1. Apabila wali yang sebenarnya (bapaknya) mengekang
anak perempuannya. Orang tuanya tidak mengizinkan
dia menikah.2
2. Apabila tidak ada seorang pun yang menjadi wali.3

Hukum Nikah Tanpa Wali

Bagaimana hukum menikah tanpa wali? Terdapat hadis dari


rasulullah saw yang diriwayatkan Ashab Sunan:
“Bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda bahwa seorang tidak boleh
nikah tanpa wali, dan hanyalah orang perzinahan yang nikah
tanpa wali”.

Menurut Imam Nawawi, terdapat perbedaan pendapat


mengenai nikah tanpa wali. Madzhab Syafi'i dan Maliki
berpendapat tidak sah akad nikah seseorang tanpa wali.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wali tidak
disyaratkan dalam pernikahan. Sederhananya, imam Abu
Hanifah membolehkan nikah tanpa wali.4 Abu Tsaur juga

1 Ibid., hal. 409


2 Ibid., hal. 411
3 Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Quddamah al-Muqaddasi, Al-Mughniy, Dr.
Muhammad Syarafuddin Khathab dan Dr. Al-Sayyid Muhammad al-Sayyid, ed, Dâr al-Hadîts, vol. IV, hal. 135
4 Ibid., hal. 119

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 249
sependapat dengan Abu Hanifah, tapi dengan syarat bahwa
yang menikah adalah wanita janda. Imam Abu Daud
menambahkan, nikah tanpa wali boleh, asalkan wali
mempelai yang bersangkutan sedang tidak ada ditempat.

Menurut jumhur ulama bahwa nikah tanpa wali tidak sah.


Alasannya, jika saja setiap wanita diberi kesempatan untuk
menjadi wali bagi dirinya sendiri, maka akan banyak terjadi
kerancuan dan kekacauan. Wanita akan sangat mudah
menikahkan dirinya sendiri.1

Gambara Madzha Huku Catatan


n b m
masalah
Nikah Syafi'i tidak
Tanpa sah
Wali Abu sah
Hanifah
Abu Abu Wanita yang
Tsaur Tsaur menikah
adalah
wanita
janda
Abu Abu Wali
Daud Tsaur mempelai
yang
bersangkuta
n sedang

1 Athiyah Shaqar, Mausû'ah al-Usrah al-Muslimah, Marâhil Takwîni al-Usrah, Maktabah Wahbah, cet. I,
2003, vo. I, hal. 256

250 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
tidak ada
ditempat

D. Syarat Nikah

Syarat adalah sesuatu yang wajib kita laksanakan sebagai


tolak ukur sah atau tidaknya sesuatu yang lain. Namun ia
bukan bagian dari sesuatu yang lain tersebut, seperti wudhu
sebagai syarat sahnya shalat, namun wudhu bukan bagian
dari shalat.1

Menurut madzhab Hanafi bahwa syarat akad mempunyai


empat macam yaitu:
1. Syarat yang berkaitan dengan akad nikah
2. Syarat sah akad nikah
3. Syarat terlaksana akad nikah
4. Syarat lazim akad nikah

1. Syarat Akad Nikah

A. Balig dan berakal

Maksudnya berakal, orang tersebut tahu dan memahami


makna lafal ungkapan ijab kabul dalam akad nikah.
a. Orang yang dinikahi benar-benar perempuan (bukan
banci).
b. Bukan muhrim atau bukan saudara satu susuan.

2. Syarat Sah Akad Nikah


a. Bukan muhrim

1 Dr, Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal. 96

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 251
b. Ta`bîdu al-shîgah yaitu lafal shigah tersebut tanpa batasan
atau ikatan, seperti; nikah mut'ah dan nikah mu'aqqat1
Jumhur ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaidiyah
mengatakan bahwa nikah mutah tidak akan sah.2
c. Saksi
Mengenai saksi, terdapat perbedaan pendapat di antara
para ulama. Madzhab Syafi'i dan sebagian Hanafi
mengatakan bahwa akad nikah belum dianggap sah, jika
tidak ada dua orang saksi. Sebagian madzhab Hanafi
mengatakan bahwa jika akad nikah tidak ada saksi, maka
akad tersebut akan rusak dan merusak syarat-syarat
lainnya. Pendapat mashzab Zhahiri bahwa saksi tidak
menjadi syarat-syarat sah akad nikah.

Madzhab Maliki mempunyai tiga pendapat, yaitu:


1. Saksi termasuk syarat sah nikah.
2. Saksi tidak termasuk syarat sah nikah.

Yang terpenting adalah ada orang yang bisa memberi


informasi atas berlangsungnya akad nikah, meski tidak
disebut dengan saksi.
d. Wanita adalah orang yang halal dinikahi.
Maksudnya adalah bahwa wanita yang harus dinikahi,
bukan merupakan wanita yang haram nikah, baik itu
haram karena kerabat dekat, sesusuan, karena besanan,
atau karena haramnya bersifat sementara seperti
menikahi dua saudara kandung, atau karena
pengharaman secara mutlak seperti halnya menikahi
orang tua sendiri.
e. Wanita atau laki-laki yang bukan dalam keadaan ihram.

1 Lebih jelas lagi, baca makalah punya k' Aisyah


2 Dr. Fikriyyah Ahmad al-Sayyid, Al-Ahwâl al-Syahsyiyyah fî al-Syarî'ah al-Islâmiyyah, Diktat Kuliyah
Dirâsah Islâmiyyah wa 'Arabiyyah Jâmiatu al-Azhar, hal. 115

252 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Menurut jumhur ulama, madzhab Maliki, madzhab
Zhahiri, madzhab Syafi'i mengatakan bahwa syarat sah
nikah, salah satunya adalah wanita atau laki-laki yang
tidak dalam mengerjakan ihram, baik ihram haji ataupun
ihram umrah. Jika salah satu atau kedua-duanya sedang
melaksanakan ihram, atau wali serta wakil kedua
mempelai sedang berihram, kemudian melangsungkan
akad nikah, maka akad tersebut tidak sah. Dalam sebuah
hadits dikatakan:

Artinya: “Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah,


tidak boleh dinikahi dan tidak boleh melamar”.

Madzhab Hanafi berbeda dengan pendapat jumhur,


yang mengatakan bahwa laki-laki atau perempuan yang
sedang berihram boleh melangsungkan akad nikah.
Menurut mereka, wali atau wakil juga boleh menikahkan
pengantin dalam keadaan ihram. Mereka bersandar dari
hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dari Rasulullah
Saw . bahwasanya Rasulullah Saw. menikahkan
Maimunah dalam keadaan berihram. Hadits lain yang
mengatakan: “Tidak boleh orang yang menikah dan
menikahkan dalam keadaan ihram”.

Menurut madzhab Hanafi bahwa hadits yang


mengatakan seseorang dilarang menikah dalam keadaan
ihram, maksud menikah di sini bukanbearti pernikahan,
tapi maksudnya adalah larangan berhubungan badan.
Jadi hadits itu tidak ada sangkut pautnya dengan nikah.1
f. Kafaah

1 Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., 115

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 253
Sebagian syarat sah nikah adalah mempelai laki-laki
harus sepadan (kafaah) dengan mempelai wanita. Hanya
saja, tentang kafaah ini masih menjadi perdebatan di
kalangan para ulama. Ada yang mengatakan kafaah
termasuk syarat sah pernikahan, namun ulama lain
mengatakan bahwa kafaah bukan termasuk syarat sah
nikah.1
g. Tidak boleh menikahi wanita yang sudah menjadi istri
orang lain.
h. Tidak boleh menikahi wanita yang masih dalam waktu
iddah.
i. Tidak boleh menikahi wanita murtad
j. Tidak boleh menikahi wanita Majusi.
k. Tidak boleh menikahi wanita yang menjadi saudara
karena hubungan besan.
l. Tidak boleh menikahi wanita lagi jika sudah memiliki
empat istri.
m. Tidak boleh menikahi wanita yang sudah ditalak tiga
sebelum wanita itu menikah kembali dan kemudian
ditalak oleh suaminya.
n. Tidak boleh menikahi wanita mantan istri karena dia
sudah pernah melaknatnya karenatuduhan zina (li'ân).
o. Tidak boleh menikahi wanita yang masih sesusuan.2

3. Syarat Terlaksananya akad Nikah


Yaitu syarat yang sudah terpenuhi dari syarat akad nikah
dan syarat sah akad nikah. Maka syarat-syarat terlaksananya
akad nikah adalah:
a. Kedua mempelai Balig dan berakal.

1 Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., 104. Tentang kafaah dapat dilihat dalam makalah sebelumnya.
2 Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Quddamah al-Muqaddasi, op. cit., hal. 285

254 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
b. Kedua mempelai mempunyai sifat syar'i yaitu
mempelai pria, wali dan wakil.
c. Wali ikhtiyâriyyah tidak boleh melangkahi wali ijbâr.
d. Wakil harus mentaati semua perintah wali

4. Syarat lazim Akad Nikah


a. Mempelai dari bapak, kakek yang berperilaku baik
b. Suami sekufu dengan istri wali dari keduanya
c. Mahar tidak sedikit dengan mahar mitsliy1
d. Tidak ada penipuan dalam akad.2

Penutup

Dari pemaparan singkat mengenai pernikahan di atas, kita


lihat tentang perbedaan pendapat antara para ulama terkait
dengan hukum, rukun dan syarat-syarat pernikahan. Tetapi
perbedaan tersebut bukan menjadikan perpecahan antara
mereka. Tidak ada satu pun yang menganggap bahwa
ijtihadnya paling benar sementara yang lain salah, atau
bahkan sesat. Perbedaan mereka tetap terbingkai dengan
sikap toleransi dan saling menghargai.

Tentu ini menjadi pelajaran berharga bagi kita dalam


menyikapi setiap perbedaan fikih. Sudah bukan waktunya
lagi untuk menjadikan perbedaan ijtihad sebagai biang kerok
perpecahan. Selama ijtihad seseorang berlandaskan pada
dalil al-Qur'an dan Sunnah, selama itu pula kita
menghormati dan menghargai.

1 Mistal , adalah jumlah mahar yang senilai dengan mahar yang biasa diterima oleh keluarganya.
2 Dr, Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal. 153-155

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 255
Persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini sudah semakin
kompleks. Bukan hanya persoalan fikih, namun menyangkut
persoalan lain; kemiskinan, keterbelakangan, pendidikan,
kesehatan dan lain sebagainya. Kita berada di belakang
gerbong peradaban.

Tentang pernikahan ini, mengenai syarat dan rukunnya,


layak diketahui oleh semua kalangan. Jangan sampai,
seorang muslim menikah, namun cacat dalam hal syarat dan
rukunnya. Karena hal ini akan berakibat fatal dalam
bangunan rumah tangga setelahnya.

Islam mengatur pernikahan, karena menganggap bahwa


pernikahan adalah janji yang sangat berat. Pernikahan bukan
hanya menyatukan antara dua pasangan, namun lebih dari
itu, pernikahan adalah awal dalam pembentukan generasi
umat yang akan meneruskan cita-cita dakwah Islam.
Pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam,
Insya Allah akan menjadi awal dari keluarga sakinah,
mawadah dan rahmah.

Apalagi, belakangan mucul berbagai persoalan generasi


muda terkait pergaulan bebas. Mereka sudah tidak
mengindahkan lagi masalah pernikahan. Hubungan antar
mereka hanya dilandasi nafsu yang berakibat pada
bobroknya moral umat.

Generasi kita membutuhkan bimbingan yang benar


mengenai arti pernikahan dan juga dampak negatif yang
ditimbulkan akibat pergaulan bebas yang kian hari kian
mengerikan. Wallahu a'lam

256 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
BAB IX

PemimpinWanita;
Perspektif Ulama Timur Tengah

Naiknya Megawati Sukarno Putri sebagai presiden RI


menggantikan K.H. Abdurrahman Wahid menimbulkan
banyak polemik, tidak hanya dalam skala lokal namun juga
internasional. Para ulama Islam kembali mempertanyakan
keabsahan presiden wanita menurut hukum Islam. Panglima
laskar jihad Ja’far Umar Thalib dalam home page Laskar

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 257
Jihad mengatakan bahwa ia tetap konsisten dengan
keyakinannya atas larangan presiden wanita.

Sedangkan Dr. Hidayat Nur Wahid ketika diwawancarai


radio BBC mengenai sikap Hamzah Haz atas terpilihnya
Mega mengatakan, “Disana ada qoul qodim (yang
mengharamkan larangan pemimpin wanita) dan qoul jadid
(yang membolehkan pemimpin wanita)”. Perlu diketahui
bahwa sebelumnya Hamzah Haz tergolong orang yang
mengharamkan pemimpin wanita.

Sebenarnya ini bukanlah persoalan baru bagi umat Islam,


sebagaimana Mega juga bukan pemimpin wanita pertama di
duna Islam, namun mengingat Indonesia sebagai negeri
muslim terbesar, seakan membangunkan para ulama untuk
kembali membahas persoalan ini. Di sejumlah negeri
muslim, wanita pernah menjadi kepala negara (Benazir
Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh).
Sampai saat ini para ulama berselisih pendapat, sebagian
mengharamkan dan sebagian lain membolehkan dengan
syarat tertentu.

Boleh Dengan Syarat

Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Grand Syeikh


Universitas al-Azhar, ketika menjawab pertanyaan
wartawan pada kunjungannya ke Indonesia tahun 1999
mengatakan, “Islam tidak mengharamkan presiden wanita,
meskipun Islam lebih mengutamakan laki-laki dibanding
wanita”. Menurutnya, negara dipimpin oleh seorang laki-
laki atau wanita itu tidak menjadi persoalan, yang terpenting
adalah akhlak mulia, keimanan dan perhatian atas
kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Sedangkan Dr.

258 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Abdul Mukti Bayumi, dekan fakultas ushuluddin Al Azhar
mengtakan, ”Jika kelak Megawati memimpin negara secara
absolut dengan pengambilan keputusan negara secara
sepihak sebagaimana Buran putri kaisar Persia maka
kepemimpinannya haram hukumnya. Dengan demikaian ia
dapat di golongkan pada hadits Rasul saw:

ً‫لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأَة‬


Artinya: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang
wanita" (HR. Bukhari)”.

Adapun jika ia memerintah dengan sistem musyawarah


dalam hal ini terdapat pembagian tugas antara MPR sebagai
badan legeslatif, Presiden sebagai badan eksekutif dan
Mahkamah Agung sebagai badan yudikatif, maka
kepemimpinannya sah-sah saja. Presiden adalah bagian dari
lembaga kenegaraan sehingga dapat terhindar dari
kepemimpinan diktator. Dengan demikian ia tidak termasuk
kedalam hadits Rasul di atas. Bentuk pemerintahan seperti
ini tidak terdapat dalam sistem kekaisaran Persia. Berbeda
dengan apa yang terjadi di Indonesia dimana MPR dapat
menurunkan presiden Abdulrahman Wahid yang
selanjutnya diganti dengan wakilnya Megawati Sukarno
Putri. Dengan demikian presiden bukanlah satu-satunya
lembaga yang mempunyai hak untuk membuat keputusan.
Al-Quran sendiri mencantumkan kisah ratu Balqis karena ia
menggunakan sistem musyawarah. Firman Allah:

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 259
ِ
ِ ‫اطعةً أَمرا ح َّ َّٰت تَ ْشه ُد‬
‫ون ()قَالُوا‬ َ َ ً ْ َ َ‫ت ق‬ ُ ْ‫ت يَا أَيُّ َها الْ َﻤ َألُ أَفْ تُ ِوِن ِِف أ َْم ِري َما ُكن‬
ْ َ‫قَال‬
ِ ِ ٍِ ٍ
َ ‫ََْن ُن أُولُو قُ َّوة َوأُولُو بَأْ ٍس َشديد َو ْاأل َْم ُر إلَْيك فَانْظُِري َماذَا تَأْ ُم ِر‬
‫ين‬
Artinya: ”Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku
pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan
sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).”
Mereka menjawab, ”Kita adalah orang-orang yang memiliki
kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam
peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka
pertimbangkanlah apa yang akan kau perintahkan”. (QS. An
Naml: 32-33).

Maksudnya adalah bahwa ratu Balqis tidak akan


memberikan suatu perintah sebelum bermusyawarah serta
mendapat persetujuan dari mereka. Kitapun siap
merealisasikan hadits sesuai dengan peristiwa turunnya
hadits (asbabul wurud), karena i’tibar terletak pada
keumuman lafadz bukan pada kekhususan sebab turunnya
lafadz (al-ibrah bi umumil lafdhzi la bi khususi as-sabab). Jika
sebab turunnya hadits nabi di atas adalah peristiwa Buran
putri kaisar Persia, maka hadits nabi layak direalisasikan
pada peristiwa yang mirip seperti itu. Dan jika kondisinya
lain maka hukumnyapun akan lain juga.

Menurut Dr. Yusuf Qardawi bahwa kaum muslimin dilarang


mengangkat wanita sebagai imam al-udzma (khalifatul
mukminin) sebagaimana ijma’ ulama yang mereka pahami
dari hadits Rasul Saw.:
ً‫لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأَة‬

260 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Artinya: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang
wanita" (HR. Bukhari).

Hanya saja menurut beliau sejak khilafah Islamiyah


digugurkan oleh Musthafa Kamal tahun 1924 umat Islam
tidak memiliki khalifah. Negara-negara Islam saat ini tidak
dapat disamakan dengan khalifah, namun lebih layak
disetarakan dengan propinsi. Dalam masyarakat demokrasi,
seorang pemimpin tidak memiliki kekuasaan mutlak.
Presiden adalah satu dari sekian lembaga pemerintah
sehingga wanita sebagai presiden hanya bagian dari mereka
saja. Ia hanyalah wakil dari partai, jika partai menghendaki
turun ia harus turun.

Dr. Abdul Mahdi Abdul Qadir dosen hadits Kairo melihat


ada dua aliran penafsiran atas hadits shahih yang
diriwayatkan imam Bukhari di atas. Aliran pertama
memandang hadits secara tekstual (dzahiri) dimana
perempuan tidak sah memimpin negara. Dalam hal ini imam
Ali bin Abi Thalib berkata, ”Jika saja perempuan boleh
menjadi seorang khalifah tentu Aisyah sudan menjadi
khalifah”. Aliran ini bersandar pada firman Alah:

‫ض َوِِبَا أَنْ َف ُقوا ِم ْن‬


ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬
َ ‫اَّللُ بَ ْع‬
َّ ‫َّل‬ ِِ ِ ِ
َ ‫ال قَ َّو ُامو َن َعلَى الن َساء ِبَا فَض‬
ُ ‫الر َج‬
‫أ َْم َواَلِِ ْم‬

”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh


karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka ((laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka...”(QS. An Nisaa’: 34).

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 261
Juga firman Allah,

‫ان ِِمَّن‬
ِ َ‫ّي فَرجل وامرأَت‬ ِ َّ ِ ِ ِ
َ ْ َ ٌ ُ َ ْ َ‫يديْ ِن من ر َجال ُك ْم فَإن ملْ يَ ُكونَا َر ُجل‬ َ ‫استَ ْش ِه ُدواْ َش ِه‬
ْ ‫َو‬
‫ُخَرى‬ ُ ‫اﻤﻫَا فَتُ َذكَِر إِ ْح َد‬
ْ ‫اﻤﻫَا األ‬
ِ َ‫ضو َن ِمن الشُّه َداء أَن ت‬
ُ ‫ض َّل إْ ْح َد‬ َ َ ْ َ ‫تَ ْر‬
Artinya: ”...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang
lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang laki-laki maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya...( QS. Al Baqarah:282)

Dua ayat di atas menunjukkan kelemahan seorang


perempuan, bahwa perempuan itu lebih rendah dari laki-
laki. Dalam hukum fiqih dikatakan, ”Tidak boleh seorang
perempuan menjadi imam shalat laki-laki”. Inipun dapat
dijadikan argumen perempuan dilarang menjadi imamah al
udzma (khalifah).

Aliran yang kedua menganggap hadits di atas turun pada


kejadia tertentu. Ketika Rasul Saw. mengatakan pada bangsa
Persi:
‫لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأًَة‬

Artinya: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang


menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang
wanita" (HR. Bukhari)”,

Hadis ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hukum


larangan kepemimpinan wanita.

262 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Namun Dr. Abdul Mahdi memilih aliran pertama.
Menurutnya argumentasi aliran pertama lebih kuat dan lebih
realis karena imamah al udzma memang dibutuhkan sikap
kelaki-lakian dan kepribadian yang meiliki kemauan keras.
Nampaknya dalam hal ini laki-laki lebih berkompeten
dibanding perempuan. Bagaimanapun cerdiknya dan
kuatnya seorang perempuan, namun tetap saja kaki-laki
lebih kuat. Umat hendaknya memilih seorang laki-laki
terpandai dan terbaik untuk diangkat menjadi immah al
udzma. Dan tetap saja lelaki lebih layak dibanding
perempuan.

Haram

Ketika mufti Mesir Dr. Nasir Farid diwawancarai mengenai


hukum perempuan menjadi gubenur atau hakim, beliau
menjawab, ”Islam sangat menganjurkan bagi siapa saja yang
akan bertugas pada hal-hal yang berhubungan dengan
kemaslahatan orang banyak diharuskan menguasai
pengetahuan mengenai apa yang akan ia jalankan, ia harus
bersikap adil, amanah, menjaga kehormatan, berakhlak
mulia, berpikiran jernih serta memiliki pengalaman cukup.
Jika perempuan memiliki sifat ini serta memenuhi syarat
tehadap tugas yang akan dibebankan kepadanya, maka ia
boleh saja diangkat menjadi gubenur ataupun pengacara.
Untuk presiden ataupun hakim, mayoritas ulama
mengharamkannya. Alasannya bahwa untuk menjadi
presiden atau hakim harus memiliki sifat-sifat tertentu yang
tidak dimiliki perempuan. Dalam kondisi haidh, nifas atau
hamil, tentu akan mempengaruhi sikap mereka. Oleh karena
itu Rasulullah Saw. bersabda:

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 263
ً‫لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأَة‬
Artinya: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang
wanita" (HR. Bukhari)”.

Namun menurut Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama


lainnya membolehkan perempuan untuk diangkat sebagai
hakim, dikiaskan dengan dibolehkannya mereka sebagai
mufti.

Haram Menurut Ijmak

Menurut Dr. Rif’at Usman, dekan kuliah Syariah wal Qonun


Universitas al-Azhar bahwa menurut syariah kepemimpinan
Megawati Sukarno Putri tidak sah. Ia mengatakan, ”Ijma’
ulama dari masa awal periode Islam hingga saat ini
mengharamkan seorang perempuan menjadi pemimpin
negara. Ijma’ adalah hukum Islam independen yang dapat
dijadikan argumen (dalil). Hal ini bersandar dari sabda
Rasulullah s.a.w yang berbunyi

‫ضَللَِة‬
َ ‫ال ََْتتَ ِﻤ ُع أ َُّم ِيت َعلَى‬
Artinya: ”Umatku tidak akan bersatu dalam kesalahan”.
Disamping ijma’ juga termasuk ke-3 sumber hukum Islam
setelah quran dan sunnah.

Adapun ijma’ mengenai haramnya perempuan sebagai


pemimpin negara disandarkan dari sabda Rasul SAW,

264 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
ً‫لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأَة‬
”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan
urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita" (HR.
Bukhari).

Sejarah mengenai hadits ini sebagaimana diriwayatkan oleh


Abu Bakrah tidak hanya berlaku pada Buran putri kaisar
Persia, karena dalam peristiwa Jamal, beliau pernah ingin
bergabung dengan pasukan Zubair dan Thalhah untuk
memerangi Ali bin Abi Thalib. Namun ketika beliau
mengetahui bahwa Sayidah Aisyah berada diantara mereka
segera mengurungkan niatnya. Selanjutnya beliau
membacakan hadits Rasul Saw:

‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَيَّ َام‬


َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫اَّلل بِ َكلِﻤ ٍة َِْس ْعتُها ِمن رس‬
َ ‫اَّلل‬ َُ ْ َ َ َُّ ‫لََق ْد نَ َف َع ِِن‬
‫ لَ َّﻤا‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬. ‫اب ا ْجلَ َﻤ ِل فَأُقَاتِ َل َم َع ُه ْم‬ِ ‫َصح‬ ِ
َ ْ ‫ت أَ ْن أَ ْْلَ َق بأ‬
ِ
ُ ‫ا ْجلَ َﻤ ِل بَ ْع َد َما ك ْد‬
َّ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أ‬ َِّ ‫ول‬
‫ت‬َ ‫س قَ ْد َملَّ ُكوا َعلَْي ِه ْم بِْن‬ ِ
َ ‫َن أ َْه َل فَار‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫اَّلل‬ َ ‫بَلَ َغ َر ُس‬
ً‫ لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأَة‬: ‫ال‬َ َ‫كِ ْسَرى ق‬
Artinya: Sungguh Allah SWT telah memberikan manfaat - dari
kata-kata yang pernah kudengar dari Rasulullah SAW - pada saat
perang Jamal, setelah semula hampir saja aku mengikuti tentara
Jamal (yang dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai unta) dan
berperang di pihak mereka.- Lalu ia melanjutkan : -Ketika sampai
berita kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia telah
mengangkat putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda: -Tidak
akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan
(pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 265
Hadits ini jelas melarang perempuan sebagai pemimpin
negara karena kepemimpinan dibutuhkan kemampuan akal,
kekuatan jasmani serta mempunyai kemampuan
kepemimpinen. Hal ini tidak terpenuhi dalam diri seorang
perempuan, kalaupun ada sangat jarang. Adapun posisi
Megawati Sukarno Putri sebagai wakil, tidak dapat
dijadikan argumen bahwa ia berhak menggantikan
Abdulrahman Wahid menjadi presiden. Mestinya undang-
undang di Indonesia mencantumkan bahwa yang berhak
menjadi wakil presiden harus laki-laki.

Menurut Dr. Abdul Qadir Sayid Abdul Rauf bahwa ijma'


ulama mengharamkan wanita sabagai pemimpin negara,
mentri, dan wali (gurbenur). Untuk menguatkan pendapat
ini beliau mengutip sebuah hadits,"

ً‫لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأَة‬


Artinya: Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang
wanita" (HR. Bukhari).”

Hikmah dibalik pelarangan perempuan menjadi seorang


pemimpin bukan pada kelebihan laki-laki dibanding
perempuan, namun lebih karena tabiat perempuan itu
sendiri. Perempua tidak mampu menjadi seorang pemimpin
sebagai mana seorang laki-laki. Karena pemimpin dalam
Islam bukanlah sekedar simbul saja, namun ia adalah
seorang pemimpin masyarakat yang memiliki kekuasaan
luas dan sangat bepengaruh pada masa depan rakyat. Hal ini
tentunya tidak sesuai dengan psikologis dan sifat sensitif
seorang perempuan. Padahal perempuan memiliki tugas

266 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
yang lebih mulia, yaitu menjadi ibu rumah tangga yang
semestinya memberikan hak dan kewajiban kepada anak dan
suami. Tentunya ini membutuhkan banyak waktu, dan hal
ini akan banyak tersita jika seorang perempuan menjadi
pemimpin negara.

Ijma Para Ulama Salaf

Mantan anggota DPR Mesir Syaikh Yusuf Albadri berkata,


”Ulama kontemporer berselisih pendapat mengenai hadits
Rasul Saw.:

ً‫لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأَة‬


Artinya: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang
wanita" (HR. Bukhari).”

Sedangkan para ulama salaf sepakat bahwa hadits di atas


wajib diyakini kebenarannya sereta direalisasikan secara
tekstual. Menurutnya hadits tersebut tidak hanya berlaku
pada peristiwa tertentu, namun juga berlaku dalam peristiwa
secara umum sebagaimana kita lihat dari bentuk (shighah)
bahasa Arab. Kalimat dalam hadits di atas menggunakan
uslub perintah terkuat meskipun berbentuk jumlah khobariyah.
Dan uslub seperti ini tidak asing bagi para ulama ushul
sebagaimana mereka juga merealisasikan sejak masa
turunnya wahyu hingga saat ini.

Selanjutnya beliau menambahkan, ”Islam tidak menjadikan


perempuan sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri, artinya
kepemimpinan atas dirinya terbatas. Ini adalah hukum Allah

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 267
sejak zaman dahulu sehingga para nabi ataupun Rasul tidak
dari kalangan perempuan. Sebagaimana diketahui bahwa
imamah al-kubra, yaitu pemimpin negara mencakup semua
kepemimpinan, termasuk juga imamah ash-shughra atau
imam shalat. Menurut Ijma’ ulama haram hukumnya bagi
perempuan menjadi imam shalat. Jika imam as sughra
diharamkan, bagaimana dengan imamah al kubra?”

Sayidah Asyifa Binti Abdullah pernah meminta kepada


Rasulullah Saw. agar diizinkan adzan, namun Rasulullah
Saw. melarangnya. Lalu beliau mengutus seorang laki-laki
tua untuk beradzan serta memerintahkan Sayidah Asyifa
untuk menjadi imam shalat bagi kaum wanita di rumahnya.

Selanjutnya Saikh Yusuf al-Badri mengutip perkataan Imam


al-Mawardi; pengarang kitab al-ahkâm ash-shulthâniyyah yang
berpendapat bahwa larangan pemimin wanita dalam Islam
bersumber dari nash yang dikuatkan oleh pendapat para
ulama. Perempuan pada dasarnya harus tertutupi, dan
dalam posisi ia sebagai kepala negara memungkinkan ia
untuk selalu bersama orang yang bukan muhrimnya
(ikhtilât).

Bahkan para ulama memakruhkan berdagang dengan


mereka serta mempersempit ruang gerak selain tugas untuk
merawat anak kecil. Ia hanya boleh menjadi saksi dalam
perkara yang berhubungan dengan harta saja serta melarang
mereka menjadi saksi dalam perkara hudud.

Warisan Sosial

Menurut dosen ilmu sosiologi universitas Zaqoziq Dr. Sayid


Hanafi, negara Arab serta negara Islam lainnya menolak

268 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
presiden wanita karena selama ini hanya para kaum laki-laki
yang selalu menjadi pemimpin. Rata-rata mereka enggan
dipimpin wanita meskipun ia mempunyai kemampuan yang
cukup. Tentunya ini disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya adalah faktor warisan. Entah apakah larangan
pemimpin wanita itu benar atau salah menurut syari’at.
Hanya saja tradisi menolak pemimpin wanita memang ada
dalam masyarakat kita.

Di samping susunan biologi wanita memang terkadang


mempengaruhi arah pemikiran mereka. Wanita haid dan
melahirkan, dan para ilmuanpun menyatakan bahwa urat
syaraf wanita terpengaruhi oleh hal ini yang juga
berpengaruh pada pengambilan keputusan.

Kehendak Rakyat

Dosen psikologi Universitas Ainu Al Syams Hamid Zahron


mengatakan, rakyat Indonesia telah memilih Megawati
melalui wakilnya yang duduk di parlemen. Sebelumnya ia
duduk sebagai wakil presiden, dan ia berhak menjadi
presiden menggantikan Abdulrahman Wahid yang gagal
dalam mengendalikan roda pemerintahan serta dituduh
melakukan tindakan korupsi. Ini adalah kehendak rakyat
yang selayaknya dihormati oleh lembaga pemerintah dan
non pemerintah. Selanjutnya beliau menambahkan, ”Selama
suatu negara menggunakan sistem demokrasi, yang berhak
mengangkat pemimpin negara adalah rakyat. Dari sini tidak
ada larangan jika suatu negara dipimpin oleh seorang
perempuan. Rakyatlah yang akan menentukan apakah
presiden akan terus memimpin negara atau berhenti. Selama
rakyaat yang memilih Megawati, berarti ialah yang paling
layak untuk memimpin negara.”

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 269
270 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan
Ushul Fikih
Daftar Pustaka

1. Abu Zahrah, Al-Imam, Ushûlu’l Fikih, Dâru’l Fikri’l


`Arabiy, Kairo, 2004.
2. Badawi, Dr. Yusuf Ahmad Muhammad, Maqâshid al-
Syarî`ah `inda Ibnu Taimiyyah, Dâr al-Nafâ’is, 2000.
3. Al-Zuhaili,. Wahbah, Dr, Ushûlu’l Fikihi’l Islâmiy, Dâru’l
Fikri, vol. II, cet. II, Beirut, 2001.
4. Abu Syaqqah, Habdul Halim Muhammad, Tahrîru al-
Mar'ati fî 'Ashri al-Nubuwwati, Dâr al-Qalam li al-Nasyr
wa al-Tauzî', vol. V, cet. VI, 2002.
5. Al-Husni, Abu al-Fadl Abdullah bin Shadiq, Al-Istiqshâ
li'adillati Tahrîmi al-Istimnâ'wa al-'Âdah al-Sirriyyah min
Nâhiyataini al-Dîniyyah wa al-shihhiyyah, Maktabah al-
Qâhirah.
6. Al-Qaradhâwiy, Yûsuf, Dr., Al-Halâl wa al-Harâm fî al-
Islâm, Maktabah Wahbah, cet 28
7. Al-Andalusiy, Ibnu Hazm, Al-Muhallâ, jilid 11
8. Al-Sayyid, Ibnu Rusyd, Bidâyatu’l Mujtahid wa
Nihâyatu’l Muqtashid, Tanqîh wa Tashhîh Khâlid al-
Îththâr, Dâr al-Fikr, vol. I
9. Al-Syafi'i, Imam Abi Abdhillah bin Idris, Mausu'atu al-
Um, Khairi Said, ed, al-Maktabah al-Taufîqiyah, vol. V.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 271
10. Al-Sâbiq, Sayyid, Fikih al-Sunnah, Maktabah Dâr al-
Turâts, jilid II
11. Al-Munjid, Muhammad Shalih, al'Âdah al-Sayyi'ah,
Maktabah al-Shafâ, cet I, 2001
12. Ahmad, Raja' Ahmad, Dr., Dirâsah limadzhabi al-Syâfi'iy
fî al-Zawâj wa Ahkâmuhu, Diktat Kuliyah Dirâsah
Islâmiyyah wa al-'Arabiyyah li'l Banât.
13. Al-Shâbûniy, Syaikh Muhammad Ali, Mukhtashar Tafsir
Ibni Katsîr, Dâr al-Shâbû
14. Al-Shan’âniy, Muhammad Ibnu Ismail al-Amir al-
Yamani, Subulu al-Salâm, Tahqîq Ishamuddin al-
Shababithi dan Imadussayyid, Dâr al-Hadîs vol. II, 2004
15. Al-Ghazali Muhammad, Qadhayâ al-Mar’ah baina al-
Taqâlîd al-Râkid wa al-Wâfid, Dâr al-Syurûq, cet. V, 1994
16. Al-Zuhaili, Wahbah, Dr., Al-Fikihu al-Islmiy wa
Adillatuhu, Dâr al-Fikri, vol IX, cet. IV, Beirut.
17. Al-Zhahiri, Ibnu Hazm, al-Muhallâ, Vol. III
18. Al-Syafii, Imam ibnu Idris, al-Um, vol. I
19. Al-Syathibi, Abu Ishaq, Al-Muwâfaqât fî Ushûli al-
Syarî`ah, Syarh dan Tahqîq Syaikh Abdullah Daraz, Al-
Maktabah al-Taufîqiyyah, vol II, Kairo.
20. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad,
Ihyâ'u Ulûmu al-Dîn, Maktabah Taufiqiyyah, vol. II.
21. Al-Sayyid, Fikriyyah Ahmad, Dr., Al-Ahwâl al-
Syahsyiyyah fî al-Syarî'ah al-Islâmiyyah, Diktat Kuliyah
Dirâsah Islâmiyyah wa 'Arabiyyah Jâmiatu al-Azhar.
22. Butar-butar, Arwin Juli Rahmadi, Pengantar Ilmu Falak.
23. Hâsyiystâni Qalyûbi-Umairah, Dâr al-Fikr, vol I, 1998
24. Hasan, Amir Husain, Dr., Al-Adillah al-Syar’iyyah fiy
itsbâti al-Syuhûr al-Arabiyyah bi al-Hisâbât al-Falakiyyah,
Dâr al-Kitâb al-Dzahabiy, tanpa tahun.
25. Ibnu Arabiy, Futuhât al-Makiyyah
26. Home page laskar jihad

272 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
27. Kamus besar bahasa Indonesia
28. Koran aqidati,7-8-2001
29. Maliki, Eli Warti, al-Ahkâm al-Syar`iyyah al-Mustanbathah
min Qâ’idati saddi al-Dzarâ’i` fî Fikihi’l Mar`ati wa
Ta’tsîrihâ `alâ Binâ’i’l Mujtama’, Jâmi`atu’l Azhar al-
Syarîf Kuliyatu al-Dirâsât al-Islâmiyyah wa al-
`Arabiyyah Far`un li’l Banât, Kairo, 2004.
30. Muhammad Nur. Zainul `Abidin al-Abdi, , Prof. Dr,
Ra’yu’l Ushûliyyîn fi’l Mashâlihi’l Murslah wa’l Istihsân
min Haitsu’l Hujjiyyah, Dâru’l Buhûts li al-Dirâsât al-
Islâmiyyah wa Ihyâ’i al-turâts, vol. II, Dubai, 2004.
31. Min fikihi al daulah filislam Dr. Yusuf AL Qardawi
32. Metode Penggunaan Rukyat dan Hisab serta
Pengaruhnya Terhadap Persatuan Umat, Makalah Ust
Zain an-Najah pada Himpunan Putusan Tarjih
Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM)
Kairo Mesir.
33. Mausû’atu al-Fikihi al-Islâmiy, Wizâratu’l Auqâf Majlis
A’lâ li Syu’ûni al-Islâmiyyah, vol. XXV, 1996
34. Milis INSIST
35. Nawawiy, Imam, Kitâbu’l Majmû’ Syarhu al-Muhadzdzab
li al-Syairâziy, Tahqîq, Muhammad Mujib al-Muthî’I,
Maktabah al-Irsyâd, vol. IV
36. Syaukâni, Muhammad ibnu Ali, Nailul Authar, Taqdîm
wa Taqrîzh wa Ta’rîf Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Dâr al-
Salâm Vol. II
37. Milis KMNU2000, Sabtu, 27 Maret 2005
38. Prof. Dr. H.M Amin Summa, S.H., M.A., Penentuan
Awal Bulan Qamariyah Perspektif Muhammadiyah,
Makalah yang dipresentasikan pada acara workshop
nasional Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam Muhammadiyah.

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 273
39. Raid Shabri bin Abi Ulfah, Al-Kutub al-Sittah,, Maktabah
al-Rusyd, jilid I, 2005,
40. Ruskanda, Farid, Dr. IR. H.S M.Sc, 100 Masalah Hisab dan
Rukyat, APU, Gema insani press, Jakarta 1996.
41. Rauf, Abdul Qadir Sayid Abdul, Dr. Adhwa 'ala
annudhzum al Islamiyah
42. Syakir, Mamud Ahmad, Âwâ’il al-Syuhûr al-‘Arabiyyah,
Hal- Yajûzu Syar’an, Maktabah Ibnu Taimiyah.
43. Sulaiman, Muhammad Ahmad, Prof, Dr., Nahwu
Shiyâghah Mabâdi’ al-Taqwîm al-Islâmiy al-âlamiy.
44. ---------------------------------------------------, Sabâhah
Fadhâiyyah fiy Âfâqi ‘Ilmiy al-Falak, Maktabah al-Azizi,
Kuwait.
45. Sutrisno Muliawan Syah (Dewan Hisab dan Rukyat
PERSIS), Imkanur-rukyat atau Wujudul Hilal?, Makalah
yang dipresentasikan pada acara workshop nasional
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
Muhammadiyah..
46. Shaqar, Athiyah, Mausû'ah al-Usrah al-Muslimah,
Marâhil Takwîni al-Usrah, Maktabah Wahbah, cet. I,
2003, vo. I.
56. 58. Wawancara Dr. Hidayat Nur Wahid dengan reporter BBC
seksi bahasa arab.
47. Zaidan,. Abdul Karim, Dr, Al-Wajîz fî Ushûli’l Fikihi, Dâr
al-Tauzî’ wa al-Nasyri al-Islâmiyyah, cet I, Kairo, 1993.
48. www.alarabiya.net
49. www. Eramuslim.com
50. Zaidan, Abdul Karim, Dr., Al-Mufashshal fî Ahkâmi al-
Mar'ati wa Baiti al-Muslimi fî al-Syarî'ati al-Islâmiyyati,
Muassasah al-Risâlah, cet. III, vol VI, Beirut

274 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul
Fikih 275
Biografi Penulis

Penulis buku ini bernama Wahyudi Sarju Abdurrahim. Ia lahir


di Temanggung 18 April 1979. Pernah nyantri selama tiga tahun
(1993-1996) di Madrasah Mu`allimin Muhammadiyah
Yogyakarta. Lalu melanjutkan studinya di Ma`had Dirâsah
Khashshah al-Azhar Kairo (1996-1997), Ma’had al-Bu’ûts al-
Islâmiyyah al-Azhar Alexandria (1997-2001) dan kuliah
Usuluddin jurusan Akidah dan Filsafat Universitas al-Azhar
Kairo (2005). Kemudian melanjutkan syudi SII di Ma’had li al-
Dirâsât al-Islâmiyyah Zamalik Kairo.

Pernah aktif di beberapa organisasi, di antaranya adalah


anggota kajian al-Mizân Study Club (2002-2005), Direktur
Eksekutif Center for Information Middle East and Africa
Studies (CIMAS) ICMI Orsat Kairo (2002-2004), staf redaksi
jurnal OASE ICMI Orsat Kairo (2002-2004), staf redaksi pada
jurnal al-Umrân Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah
(PCIM) (2004-2006), editor majalah SINAR Muhammadiyah
(2003-2005), anggota kajian al-Hikmah PCIM (2002-2006), staf
Majelis Tabligh Ikatan Keluarga Muhammadiyah (2001-2002),
koordinator Majelis Pendidikan PCIM (2002-2004) dan
sekretaris Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam

276 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
PCIM (2004-2006). Ia juga penggagas kajian reguler Syariah
Islâmiyyah al-Risâlah PCIM, kajian reguler Ushuluddin al-
Washatiyyah PCIM dan Lingkaran Sastra PAPYRUS PCIM,
ketua PCIM (2008-2010). Selain itu, ia juga telah
menerjemahkan lebih dari 10 judul buku keislaman.
Hp: 01120004899/201094424480
Facebook: Wahyudi Abdurrahim (karangful@yahoo.com)

Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul


Fikih 277
Miliki Segera…………

278 I Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan


Ushul Fikih
Islam Menjawab; Menguak Beberapa Persoalan Fikih dan Ushul
Fikih 279

Anda mungkin juga menyukai