Ada sebuah ungkapan bahwa sejarah pasti akan terulang, yang berbeda hanya
waktu, tempat dan pelakunya saja, namun fenomenanya tetaplah sama. Saya rasa
ungkapan tersebut sangat relevan dengan fenomena masuk Islamnya orang-orang yang
pada mulanya sangat membenci Islam kemudian menjadi pecinta Islam. Fenomena ini
terjadi sepanjang zaman, dari masa Rasulullah hingga masa kita sekarang ini.
Di masa Rasulullah, kita mengenal sosok Umar bin Khathab. Pada mulanya,
beliau adalah salah satu tokoh Quraisy yang paling menentang dakwah Nabi Muhammad.
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri sampai menyebutkan bahwa sangat banyak kaum
Muslimin yang merasakan beragam penganiayaan darinya.1 Bahkan Ibnu Hisyam
menyebutkan bahwa Umar bin Khathab telah keluar dari rumahnya dengan menghunus
pedang untuk membunuh Rasulullah. Namun kemudian, ternyata Allah berkenan
menurunkan hidayahnya kepada Umar bin Khatab dan memilihnya sebagai salah satu
dari singa-singa pejuang Islam.2
Ternyata masuk Islamnya Umar bin Khatab tidak lepas dari doa Nabi Muhammad
yang meminta agar Islam dikuatkan dengan keislaman salah satu dari dua tokoh, yaitu
Umar bin Khathab atau Abu Jahal bin Hisyam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda,
1
Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad, Terj. Hanif Yahya,
(Jakarta: CV. Mulia Sarana, 2001), hal. 134
2
Abdul Malik Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabwiyah, (Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Babiy,
1955), hal. 342.
1
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang yang lebih Engkau cintai dari
kedua laki-laki ini: Abu Jahal atau Umar bin Al-Khaththab.” Sang perawi mengatakan,
ternyata yang lebih dicintai oleh Allah adalah Umar. (HR. Tirmidzi, no. 3681; Ahmad,
2:95. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Fenomena seperti yang terjadi pada Umar bin Khathab juga dapat kita jumpai di
zaman kita sekarang. Yaitu seperti yang terjadi pada sebagian Orientalis Barat pembenci
Islam. Mereka berupaya mencari-cari kesalahan dalam ajaran Islam dengan tujuan untuk
membuat fitnah atas Islam. Di tengah upaya mereka untuk mencari kelemahan dan
kesalahan ajaran Islam itu, justru Allah membuka hati dan kesadaran mereka akan
kebenaran agama Islam. Hingga akhirnya mereka dengan mantap menjadi seorang
muslim dan berkomitmen menjalankan ajaran agama Islam.
Kisah perjalanan hidup mereka inilah yang patut kita telaah dan renungkan.
Bagaimana seorang yang sangat benci pada Islam berubah menjadi cinta pada Islam. Apa
faktor yang membuat mereka berbalik haluan, dari benci menjadi cinta? Dan
bagaimanakah kita harus bersikap jika ada orang yang benci pada Islam, apakah kita
doakan keburukan atau kita berdoa agar Allah memberinya hidayah?
Sebelum kita mengungkap kisah-kisah para orientalis yang masuk Islam, ada
baiknya jika kita mengenal terlebih dahulu definisi dan sejarah orientalisme Kata
orientalisme adalah kata yang dinisbatkan kepada sebuah studi/penelitian yang dilakukan
oleh selain orang Timur terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran, baik bahasa, agama,
sejarah, dan permasalahan-permasalahan sosio-kultural bangsa Timur.3Atau juga ada
yang mengatakan orientalisme adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang
ketimuran.4
Adapun orientalis adalah “Sekelompok orang atau golongan yang berasal dari
negara-negara dan ras yang berbeda-beda, yang mengonsentrasikan diri dalam berbagai
3
Lihat: Dr. Abdurrahman Hasan el-Madani, Ajnihatul Mukr ats-Tsalatsah, (Beirut: Dar al-Qalam,
1980), hal. 83
4
Lihat: Mahmud Zaqzuq, Orientalisme dan Kemunduran Berpikir Menghadapi Pergulatan
Peradaban, hal. 18
2
kajian ketimuran, khususnya dalam hal keilmuan, peradaban, dan agama, khususnya
negara Arab, Cina, Persia, dan India.” Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini identik
ditujukan kepada orang-orang Kristen yang sangat berkeinginan untuk melakukan studi
terhadap Islam dan bahasa Arab.5
Dr. Hassan Abdur Rauf dan Dr. Abdurrahman Ghirah menyebutkan bahwa
orientalisme muncul di Andalusia (Spanyol) pada abad ke tujuh Hijriah, ketika kaum
salibis Spanyol menyerang kaum muslim. Kala itu, Alfons, raja Konstantinopel,
memerintahkan seseorang yang bernama Michael Scott untuk melakukan penelitian
terhadap disiplin ilmu-ilmu yang ada pada kaum muslim Andalusia; Segera Scott
mengumpulkan beberapa orang pendeta yang direkrut dari beberapa kampung dekat kota
Thalitha guna memulai proyek penerjemahan dari buku-buku berbahasa Arab ke dalam
bahasa Perancis. Setelah rampung, Scott menyerahkan salinan terjemahan tersebut
kepada raja Sicilia untuk kemudian sang raja menghadiahkannya kepada Universitas
Paris. Demikian juga pemimpin keuskupan Thalitha, Raymond Laol, melakukan hal yang
sama, sangat bersemangat dalam proyek transliterasi karya-karya ulama Islam
Andalusia.6
Orientalis: dari benci, kemudian simpati, dan akhirnya cinta pada Islam
Berikut ini adalah beberapa kisah para orientalis yang pada mulanya mereka
mempelajari Islam dengan tujuan untuk menjatuhkan dan memfitnah Islam. Namun
ternyata mereka justru menemukan kebenaran dan keindahan agama Islam, hingga
akhirnya pun mereka menjadi seorang muslim.
1. Lord Headly
5
Muhammad Izat Tahtawy, Tabsyir wal Istisyraq, (Kairo: Majma’ Buhuts Islam, 1977), hal. 35.
6
Hassan Abdur Rauf dan Abdurrahman Ghirah, penj. Andi Subarkan, Orientalisme dan
Misionarisme, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 5
3
terhadap Islam. Selesai menulis itu, di luar dugaan Headley justru menjadi Muslim. Ia
pun berganti nama menjadi Syaikh Rahmatullah Al-Farooq.
2. Ethan Deneeh
Seorang Perancis yang tumbuh dari orang tua beragama Nasrani dan senantiasa
diajarkan mengenai konsep trinitas, penyaliban, penebusan dosa, dan pembaptisan. Akan
tetapi ia merasa gelisah dan khawatir. Ia mulai berpikir dan merenung tentang agama
Nasrani, tentang gereja, tentang Paus Paulus yang bebas dari dosa, tentang Isa yang
mereka yakini sebagai Anak Tuhan di satu sisi, dan sebagai Tuhan sekaligus manusia di
sisi lain, ,kemudian disalib untuk membersihkan dosa anak manusia. Ia ragu bagaimana
semua itu bisa berkumpul pada seorang manusia yang bernama Isa.
3. Gery Miller
4
kehidupan nabi Muhammad. Namun, dugaan tersebut salah. Al-Qur’an kata Miller, tidak
menjelaskan fase kesulitan hidup yang dialami Nabi seperti kematian Khadijah, putri atau
putranya.
Kesimpulan