Anda di halaman 1dari 13

LATAR BELAKANG SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN-ALIRAN DALAM

SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM

Dede Among,1 Mughni Azizzah,2 Nelly Nur Asmah,3


1
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(dedeamong.da@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(mughniazizzah19@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(nellynurasmah98@gmail.com)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang latar belakang historis lahirnya
keberagaman pemikiran dalam Islam, konsep Imamah dan Khilafah, dan konsep penentuan
Imam dan pemilihan khalifah. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif
dengan jenis penelitian kepustakaan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa keluhuran
derajat manusia dibanding makhluk lainnya. Di antara tugas khalifah adalah menjadi wakil
Allah SWT di muka bumi. Agama Islam adalah agama yang memberi kebebasan kepada
umatnya untuk mengekspresikan diri sesuai dengan kaidah ajaran Islam dan sejalan
dengan tujuan penciptanya, yakni untuk beribadah kepada Allah SWT. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa kita sebagai manusia khusunya umat Islam harus menyikapi
perbedaan terhadap sesamanya karena perbedaan itu adalah rahmat dari Allah SWT. Kita
juga sebagai pemeluk Islam harus waspada dan terus belajar tentang Islam sehingga
akhirnya kita menjadi orang Islam yang arif dan bijaksana.

ABSTRACT

This study aims to find out about the historical background of the birth of the diversity of
thought in Islam, the concept of Imamah and Khilafah, and the concept of determining the
Imam and the election of the caliph. This study uses a qualitative descriptive approach with
the type of library research. The result of this research is that the dignity of human beings
compared to other creatures. Among the duties of the caliph is to be the representative of
Allah SWT on earth. Islam is a religion that gives freedom to its people to express
themselves in accordance with the rules of Islamic teachings and in line with the purpose of
its creator, namely to worship Allah SWT. This study concludes that we as humans,
especially Muslims, must respond to differences towards each other because that difference
is a blessing from Allah SWT. We also as Muslims must be vigilant and continue to learn
about Islam so that in the end we become wise and wise Muslims.

Keyword : Sejarah, Aliran-aliran, Pemikiran Islam.

1
1. PENDAHULUAN
Perkembangan penduduk muslim yang cukup signifikan tentu saja
berpengaruh terhadap perilaku umat Islam itu sendiri. Pada zaman Rasulullah
SAW, umat Islam masih sedikit dan oleh karena itu penanganannya juga tidak
serumit saat ini. Berbagai macam kelompok muslim yang satu sama lain
memiliki persepsi tentang Islam, menjadikan Islam warna-warni. Sepanjang
saling menghargai dan toleransi antar intern agama, Islam Insya Allah akan
berkembang pesat dengan baik. Akan tetapi, apabila setiap kelompok
mengklaim bahwa kelompoknyalah yang paling benar, inilah awal dari
kehancuran. Kita sebagai pemeluk Islam harus waspada dan terus belajar
tentang Islam sehingga akhirnya kita menjadi orang Islam yang arif dan
bijaksana.
Islam adalah agama yang memberi kebebasan kepada umatnya untuk
mengekspresikan diri asalkan sesuai dengan kaidah ajaran Islam dan sejalan
dengan tujuan penciptanya, yakni untuk beribadah kepada Allah SWT.
Perjalanan sejarah umat Islam telah membuktikan bahwa setiap saat ada umat
senantiasa berposisi sebagai pemberi motivasi atau pembaru bagi masyarakat.
Sebagai khalifah, manusia diberi kedudukan oleh Allah SWT untuk
mengelola suatu wilayah. Dia berkewajiban untuk menciptakan suatu
masyarakat beserta tatanan yang baik yang sesuai dengan Allah SWT, yakni
kehidupan masyarakatnya harmonis, agama, akal, dan budayanya terpelihara.
2. METODE
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada hal yang
terpenting dari sifat suatu barang/jasa. Hal terpenting dari suatu barang atau
jasa berupa kejadian atau fenomena atau gejala sosial, hal tersebut bermakna
dibalik kejadian yang bisa dijadikan pelajaran berharga bagi suatu
pengembangan konsep teori.1 Jenis penelitian ini yang digunakan adalah
kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah suatu studi yang digunakan dalam
mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material
yang ada diperpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah
dan sebagainya.2 Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah mencari
informasi yang sesuai dengan judul, kemudian mencari dan menemukan bahan
bacaan yang diperlukan dan mengklasifikasi bahan bacaan tersebut, selanjutnya
meriview bacaan yang sudah dibaca dan terakhir mulai menulis penelitian ini
sampai menemukan kesimpulannya. 3 Penelitian ini bersumber dari buku, jurnal,
artikel dan skripsi.

1 Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta,
2014), 22
2Milya Sari dan Asmendri, ‚Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian
Pendidikan IPA‛, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no 01, (2020), 43
3 Milya Sari dan Asmendri, ‚Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian

Pendidikan IPA‛, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no 01, (2020), 44-4

2
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Latar Belakang Historis Lahirnya Keberagaman Pemikiran Dalam Islam
Manusia dalam pandangan Islam pada dasarnya secara fitrah semua
beragama. Beragama secara bahasa artinya menganut agama, beribadat, taat
pada agama dan mementingkan agama. Agama Islam diturunkan sebagai
rahmatan lil alamin dan Muhammad SAW sebagai pembawa syariatnya.
Pada zaman Nabi, umat Islam masih bersatu dan utuh dalam memahami
Al-Qur’an dan hadis, masalah yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan hadis
bisa ditanyakan langsung kepada Rasulullah SAW, jadi umat Islam tidak
pernah menghadapi masalah-masalah yang berat dan pertentangan-
petentangan antara suku dan kelompok yang berkaitan dengan Al-Qur’an
dan hadis.4
Semasa hidupnya Rasulullah SAW, aman dan tidak ada perselisihan yang
berat antara umat Islam, apalagi sampai mengarah kepada perpecahan umat
Islam, saling tuding, bahkan sampai mengkafirkan suatu golongan dengan
golongan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan mereka dapat
menanyakan langsung semua permasalahan yang sedang mereka hadapi
kepada Rasulullah SAW.
Kondisi seperti itu berlangsung sampai masa kekhalifahan Abu Bakar
dan Umar akan tetapi pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, integrasi
umat Islam mulai terganggu adanya fitnah besar yang menimpa umat Islam.
Kemudian pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan seterusnya umat
Islam mulai mengalami perpecahan, sejak itulah maka lahir berbagai
kelompok aliran-aliran.5
Abdullah bin Saba yaitu seseorang yang berposisi terhadap kekhalifahan
Usman ra, ia menyebarkan isu bahwa Ali bin Abi Thalib sepupu dan
menantu Rasulullah SAW yang berhak menduduki jabatan khalifah karena
ada wasiat Rasul untuk itu. Abu Bakar, Umar dan Usman mengambil hak
Ali secara ilegal. Hal ini terjadi pada tahun 30 hijriah dan paham Syi’ah
sebenernya sudah mulai muncul.
Khalifah Usman difitnah kemudian dikepung oleh para bughat (kaum
makar, pemberontak) di rumahnya. Kemudian khalifah Usman pun
terbunuh oleh pedang para pemberontak dan kota Madinah dikuasai oleh
suasana yang tidak menentu karena pada saat itu umat Islam kehilangan
seorang pemimpinnya. Kemudian penduduk Madinah dipaksa oleh kaum
pemberontak untuk segera mencari orang yang bersedia untuk menjadi
khalifah.6

4 Wildana Latif Mahmudi, ‚Pertumbuhan Aliran-aliran dalam Islam dan Historynya‛ Jurnal
Bangun Rekaprima 5, no. 2 (2019): 79.
5 Edi Maryanto, et al, Sejarah Munculnya Persoalan Kalam (Yogyakarta: K-Media, 2018), 22.

6 Muhammad Sabli, ‚Aliran-aliran Teologi dalam Islam‛, Jurnal Nur El-Islam 2, no. 1 (2015):

106.

3
Kemudian Ali terpilih sebagai khalifah, yang kemudian Mu’awiyah pada
waktu itu menjadi gubernur Syiria tidak mau mengakui Ali sebagai
khalifah, kemudian ia menuntut Ali untuk menghukum pembunuh-
pembunuh Usman bahkan ia juga menuduh Ali ikut campur dalam
pembunuhan tersebut. Dan terjadilah perang siffin, yakni perang yang
terjadi pada tahun 37 Hijriah antara khalifah Ali bin Abi Thalib melawan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan.7
Dalam pertempuran ini hampir saja dimenangkan oleh pihak Ali bin Abi
Thalib namun terjadilah perjanjian damai antara kedua belah pihak masing
pihak menunjuk pengantara, Amr bin Al-As dari pihak Mu’awiyah dan Abu
Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali. Ali menerima tipu muslihat Amr bin Al-As
dengan terpaksa dan tidak disetujui oleh sebagian tentaranya dan mereka
berpendapat bahwa hal serupa tidak dapat diputuskan oleh sepihak
kemudian mereka memandang Ali bin Abi Thalib berbuat salah kemudia
mereka meninggalkan barisannya. Golongan inilah dalam sejarah Islam
yang disebut dengan al-Khawarij (golongan yang keluar dan memisahkan
diri).8
Kaum khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr bin Al-As dan
Abu Musa Al-Asy’ari murtad maka mereka mesti di bunuh. Kemudian
munculah aliran Murji’ah yang berpendapat bahwa orang yang berbuat
dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun dosa besar yang
dilakukannya itu terserah Allah SWT untuk mengampuni atau tidak.
Kemudian munculah aliran Al-Qadariyah dan Al-Jabariyah, Al-Qadariyah
berpendapat bahwa manusia memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya sedangkan Al-Jabariyah sebaliknya yaitu segala perbuatan
manusia ditentukan oleh tuhannya.
Selain berbagai aliran teologi tersebut ada pula aliran Al-Asy’ariah, aliran
ini merupakan aliran teologi Islam yang menentang mu’tazilah yang
bercorak rasional. Ada pula aliran yang menentang Al-Maturidiyah, yang
tidak setradisional Al-Asy’ariyah juga tidak pula seliberal Al-Mu’tazilah.9
3.1.1 Konsep Imamah dan Khilafah
a. Konsep Imamah
Imamah menurut etimologi bermakna menjadi pelindung atau
panutan yang kemudian juga identik dengan kepemimpinan,
karena pemimpin adalah sebagai pelindung yang dianut.10
Dalam konteks shalat berjamaah, seorang imam adalah orang
yang wajib diikuti seluruh gerakannya. Kesalahan seorang imam

7 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press,
2016), 6.
Edi Maryanto, et al, Sejarah Munculnya Persoalan Kalam (Yogyakarta: K-Media, 2018) 36-37.
8

Edi Maryanto, et al, Sejarah Munculnya Persoalan Kalam (Yogyakarta: K-Media, 2018), 38.
9

10 Andi Rahman, ‚Hadis dan Politik Sektarian (Analsis Basis Argumentasi tentang Konsep

Imamah menurut Shi’ah),‛ Journal of Qur’anic and Hadith Studies 2, no. 1 (2013): 109.

4
seperti dalam bacaan atau gerakan harus segera diingatkan oleh
makmum dengan menggunakan isyarat tertentu. Semua ini
menggambarkan dimensi pergaulan dalam seluruh aspek
kehidupan manusia, baik dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.11
Dari istilah imam untuk shalat kemudian berkembang menjadi
imamah (pemimpin negara) yang ruang lingkupnya diperluas
menjadi pemimpin religios-politik sekaligus bagi umat Islam.
Maka istilah imam terfokus pada kepemimpinan dalam sebuah
negara atau imam dalam kapasitasnya sebagai kepala
pemerintahan (negara) Islam, yang dalam perkembangannya
istilah imamah lebih dikenal sebagai doktrin pokok ajaran
Syi’ah.12
Hal ini ditandai dengan adanya berbagai persyaratan tertentu
yang harus dimiliki seseorang untuk menduduki posisi imam.
Konsep imamah meyakini bahwa seorang pemimpin adalah
seseorang yang ditunjuk oleh Allah SWT dengan tujuan untuk
menegakkan budaya dan hukum-hukum agama dan
membimbing umat di jalan kebenaran. Itulah sebabnya konsep
imamah lebih banyak ditemui dalam literatur Syi’ah dan hal ini
kemudian menyebabkan konsep imamah justru lebih banyak
ditemui dalam wilayah kajian akidah, termasuk salah satu
masalah ilmu kalam.13
Dipandang demikian karena bermula dari masalah imamah ini
timbul aliran-aliran Ilmu Kalam. Sampai saat ini, di kalangan
Syi’ah terdapat ajaran keimanan kepada imamah yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah
SWT, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan
Qadhaqadar. Pemikiran ini muncul dalam ungkapan ‚Islam
sebagai al-dîn wa al-dawlah yang artinya Islam adalah agama dan
negara. Hal ini tentu sangat penting untuk memberikan
penegasan kepada kaum sekuler yang berpandangan bahwa
agama adalah agama dan negara adalah negara dan diantara
keduanya tidak ada hubungan sama sekali.14

11
Moch. Fachruroji, ‚Trigologi Kepemimpinan Islam (Analisis Teoritik terhadap Konsep
Khilafah, Imamah dan Imarah),‛ Jurnal Ilmu Dakwah 4, no. 12 (2008): 298
12 Rasuki, ‚Dinamika Konsep kepemimpinan Dalam Islam (Dari Khilafah, Imamah sampai

Imarah),‛ Jurnal Kariman 7, no. 01 (2019): 83-84


13 Moch. Fachruroji, ‚Trigologi Kepemimpinan Islam (Analisis Teoritik terhadap Konsep

Khilafah, Imamah dan Imarah),‛ Jurnal Ilmu Dakwah 4, no. 12 (2008): 299.
14
Moch. Fachruroji, ‚Trigologi Kepemimpinan Islam (Analisis Teoritik terhadap Konsep
Khilafah, Imamah dan Imarah),‛ Jurnal Ilmu Dakwah 4, no. 12 (2008): 299.

5
b. Konsep Khilafah
Kata khilafah dalam gramatika bahasa Arab merupakan
bentuk kata benda verbal yang mensyaratkan adanya subyek atau
pelaku yang aktif yang disebut khalifah. Kata khilafah dengan
demikian menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh seseorang, yaitu seseorang yang disebut khalifah. Secara
teknis, khilafah adalah lembaga pemerintahan Islam yang
berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Khilafah merupakan
medium untuk menegakkan agama dan memajukan syariah. Dari
pandangan yang demikian, muncullah suatu konsep yang
menyatakan bahwa Islam meliputi agama dan Negara.15
Khilafah adalah sistem politik dari ideologi Islam yang
mewadahi aturan hukum, pemerintah representatif, akuntabilitas
masyarakat melalui mahkamah independen dan prinsip
konsultasi representatif. Ia adalah pemerintahan yang dibangun
di atas konsep kewarganegaraan tanpa memandang etnis, jender
atau kepercayaan dan sepenuhnya menentang perlakuan represif
terhadap kelompok religius atau etnis.16
Dalam konsep khilafah, manusia telah dipilih oleh Allah SWT
sebagaimana sebagai khalifah di muka bumi ini. Al-Tabari
menjelaskan bahwa khalifah berarti pengganti, wakil. Sementara
Ibn Ishaq dalam al-Tabari memaknainya dengan pemakmur,
pembuat ketenangan. Konsep di atas senada dengan al-Qurtubi
yang mengatakan bahwa khalifah berarti pengganti sebelumnya
yang telah ada. Khalifatullah berarti menunaikan dan
melaksanakan hukum-hukum Allah, adapun al-Baghawi
menjelaskan bahwa khalifah berarti menjadi wakil yang artinya
adalah Adam a.s menjadi wakil sekaligus menggantika wakil
sebelumnya yakni jin. Dia menjadi wakil di bumi-Nya untuk
melaksanakan hukum-hukumnya. 17
Jadi khalifah adalah sebagai pemimpin resmi dalam
masyarakat Muslim dan para pengganti Nabi Muhammad SAW.
Khilafah dalam konteks politik pemerintahan Islam adalah para
pemimpin sepeninggal Nabi Muhammad SAW yang
menggunakan sistem pemerintahan teokrasi dengan prinsip-
prinsip syari’ah. Mereka bukan hanya pemimpin pemerintahan,
tetapi juga pemimpin keagamaan.

15 Ajat Sudrajat, ‚Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Sejarah,‛ Jurnal formasi , no 37 (2009):
02.
16 Idil Akbar, ‚Khilafah Islamiyah (Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan) (Republik Islam
Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi),‛ Journal of Goverment and Civil Society 1, no. 1 (2017): 97
17 Joko Christanto, ‚Konsep Khilafah dan Kesalehan Lingkungan dalam Tradisi Islam‛, Jurnal

Kebudayaan Islam 10, no. 1 (2012): 115-116

6
Konsep khilafah dalam konteks ini sesungguhnya telah
mengalami reduksi dari pengertian yang tertuang dalam Surat
Al-Baqarah ayat 30. Sebab pada kenyataannya, manusia secara
umum itulah yang dipercayai Allah SWT untuk menjalankan
amanah penjagaan bumi. Namun demikian, pendekatan
pemahaman khilafah dalam politik kenegaraan bukan berarti
penyempitan makna, melainkan lebih merupakan salah satu
metodologi operasional terhadap tugas dalam mengemban
amanah itu. 18
3.1.2 Konsep Penentuan Imam dan Pemilihan Khalifah
Fakta sejarah politik Islam membuktikan, proses pengangkatan
pemimpin negara setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yang
dimulai dari Abu Bakar sebagai khalifah pertama mengalami
perubahan dari masa ke masa. Hal ini dapat dilihat dari proses
pemilihan dan pembaiatan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi
Muhammad SAW melalui musyawarah, meskipun terjadi perdebatan
yang sengit antara kelompok Muhajirin dan Ansor. Kemudian
terpilihnya Umar Ibn Khatab sebagai amirul mukminin setelah Abu
Bakar melalui mandat yang diberikan oleh Abu Bakar kepada Umar
Ibn Khatab. Sedangkan pemilihan Ustman Ibn Affan sebagai
pengganti Umar Ibn Khatab melalui musyawarah ahlul halli wal aqdi
(dewan pemilih) yang ditunjuk oleh umar. Sementara Ali bin Abi
Thalib diangkat menjadi khalifah atas desakan para pengikutnya
setelah melalui pertikaian dan perebutan kekuasaan pada
muawiyyah. Adapun kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui
kekerasan, tipu daya dan pemberontakan.19 Kemudian ketika
muawiyyah akan turun tahta, ia mengumumkan penggantinya
kepada puteranya (Yazid).20 Sejak itu pula system pengangkatan
pemimpin Negara dilakukan secara turun temurun (memberikan
mandate kepada putra mahkota).
Menurut Al-Mawardi, untuk memilih dan mengangkat
pemimpin dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : pertama, dengan
cara dipilih oleh ahlul-halli wal-aqdi, kedua, dengan pemberian
(penyerahan) mandat dari pemimpin terdahulu (sebelumnya).
a. Prosedur memilih dan mengangkat pemimpin melalui ahlul halli wal
aqdi (badan legislatif)
1) Pengertian ahlul halli wal aqdi

18
Moch. Fachruroji, ‚Trigologi Kepemimpinan Islam (Analisis Teoritik terhadap Konsep
Khilafah, Imamah dan Imarah),‛ Jurnal Ilmu Dakwah 4, no. 12 (2008): 296-298
19 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 42.

20 Qamaruddi Khan, Al-Mawardis Theory of the State. Terj. Imron Rosyidi Kekuasaan,

Pengkhianatan dan Otoritas Agama: Telaah Kritis Teori Al- Mawardi Tentang Negara, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2000), 15.

7
Istilah ahlul halil wal aqdi berasal dari tiga suku kata, yaitu
ahlun, hallun dan aqdun. Dalam kamus bahasa arab kata “Ahlun”
mempunyai arti ahli atau keluarga sedangkan kata “hallun”
berarti membuka atau “aqdun” menguraikan berarti membuka
atau menguraikan, sedangkan “aqdun” memiliki arti mengikat
atau berarti kesepakatan.21 Dari ketiga suku kata tersebut dapat
dirangkai menjadi sebuah kata (istilah) yang mempunyai arti
‚orang-orang yang mempunyai wewenang melonggarkan dan
mengikat.‛22
Dalam terminology politik ahlul halil wal aqdi adalah dewan
perewakilan (lembaga legislatif) sebagai representasi dari seluruh
masyarakat (rakyat) yang akan memilih pemimpin (negara) serta
menampung dan melaksanakan aspirasi rakyat. Dalam hal ini
Mawardi mendefinisikan ahlul hallil wa aqdi sebagai kelompok
pemilih yang bertugas memilih pemimpin (imam/khalifah) untuk
umat. Namun Al Mawardi tidak menjelaskan unsur-unsur dari
ahlul halli wal aqdi. Abdul Karim Zaidan berpendapat , ahlul halli
wal aqdi adalah orang-orang yang berkecimpung langsung
dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada
mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil- wakilnya karena
ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan kejernihan pikiran serta
kegigihan mereka didalam memperjuangkan kepentingan
rakyatnya.
2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota ahlul halli wal
aqdi, al-Mawardi menjelaskan dalam bukunya al-Ahkam
Sulthaniyah, yaitu :
a) Adil, dengan syarat yaitu mempunyai kredibilitas dan
keseimbangan yang memenuhi semua kriteria, berupa
kepercayaan masyarakat atas dirinya bahwa ia benar-benar
mempunyai kemampuan secara umum dan memiliki karakter
yang baik yang meliputi sifat dan sikap dalam kehidupan
sehari-hari.
b) Memiliki pengetahuan yang dapat mengantarkanya mampu
mengetahui orang yang berhak diangkat sebagai pemimpin
(imam/khalifah) sesuai dengan syarat-syarat yang legal.
c) Memiliki gagasan dan sikap-sikap bijaksana yang
membuatnya mampu memilih orang yang paling layak

21Muhammad Yunus, Qamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah


dan Penafsir al-Qur‟an 1973), Cet. 1, 53.
22 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002), Cet. 1, 66.

8
diangkat menjadi imam (khalifah) dan paling tepat serta
paling arif dalam mengatur berbagai kepentingan

Orang yang tinggal sedaerah dengan pemimpin tidak memiliki


kelebihan apapun atas orang yang tinggal di daerah lain. Hanya
saja, orang yang tinggal sedaerah dengan imam secara otomatis
bertugas mengangkat imam sesuai dengan tradisi yang berlaku
dan bukan berdasarkan syariat.23

3) Jumlah anggota ahlul halli wal aqdi


Al Mawardi tidak menjelaskan secara pasti berapa jumlah
anggota ahlul halli wal aqdi yang akan memilih dang
mengangkatan kepala negara (pemimpin), ia hanya menjelaskan
tentang beberapa pendapat para ulama tentang minimal jumlah
anggota ahlul halli wal aqdi yang bisa memilih dan mengangkat
seseorang untuk menjabat sebagai pemimpin. Dalam hal berapa
jumlah minimal anggota ahlul halli wal aqdi yang bisa memilih dan
mengesahkan pengangkatan kepemimpinan, terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama dari berbagai kelompok.
Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pengangkatan
pemimpin hanya sah jika diikuti oleh mayoritas anggota ahlul
halli wal aqdi dari seluruh negeri sehingga kepemimpinanya itu
mendapat penerimaan secara tulus dan pengakuan secara umum.
Dasar hukum yang dijadikan alasan oleh kelompok ini adalah
adanya fakta baiat Abu Bakar untuk memangku kekhalifahan
yang hanya berdasarkan pemilihan orang-orang yang ada
bersamanya dan pelaksaan baiatnya tidak menunggu datangnya
orang-orang yang tidak berada ditempat saat itu. Namun berapa
prosentase yang dimaksud dengan ‚mayoritas‛, para penganut
kelompok ini tidak merinci secara jelas.
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa jumlah minimal
yang dapat mengesahkan pengangkatan kepamimpinan adalah
lima orang yang sepakat untuk mengangkat seseorang sebagai
pemangku jabatan itu, atau satu orang mencalonkan seseorang
kemudian disetujui oleh empat orang lainya.
Ketiga, kelompok dari ulama Kuffah. Mereka berpendapat
bahwa pengangkatan pemimpin dapat dilakukan oleh tiga orang
yaitu, satu orang memangku jabatan pemimpin negara dengan
persetujuan dua orang, sehingga satu orang menjadi pejabat dan
dua orang menjadi saksi. Mereka mendasarkan hal ini dengan

23 Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan
dalam Takaran Islam, Terj. Al-Ahkam al-Sulthaniyah (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet.1, 10.

9
analogi akad pernikahan yang sah dengan satu wali dan dua
orang saksi.
Keempat, kelompok ini berpendapat bahwa pengangkatan
pemimpin dapat dilakukan oleh satu orang. Mereka mendasarkan
hal ini dengan pembaiatan Ali oleh Abbas, Abbas berkata kepada
Ali, ‚Bentangkanlah tanganmu untuk aku baiat.‛ Maka orang-
orang berkata, ‚paman Rasulullah SAW telah membaiat anak
pamanya, maka tidak ada orang yang menentangnya karena hal
itu adalah hukum dan hukum satu orang dapat sah.‛24
b. Pengangkatan pemimpin berdasarkan penunjukkan imam
sebelumnya
Sudah menjadi budaya Arab sejak zaman dahulu, seorang ayah
memberikan pangkat dan kedudukan serta semua kemuliaan yang
ditinggalkan kepada anak-anaknya, khususnya kepada putra sulung
sebagai pemegang janji (waliyyu al-ahadi) dan kekuasaan. Tradisi ini
masih berlangsung hingga sekarang, bahkan tidak hanya terbatas
dikalangan Arab saja, akan tetapi sudah merambah dibeberapa
wilayah disekitar Arab. Hal ini yang menurut sosiolog disebut
‘suksesi’ (at-ta’aqub), yaitu perpindahan hak-hak yang berupa
pangkat, derajat dan kedudukan.
Dikalangan suku Quraisy, pemberian mandat jabatan pemimpin
kepada anak atau kerabat terdekat sudah berlaku bahkan sebelum
Islam datang. Bermula dari Qushayyi bin Kilab sebagai pendiri suku
Quraisy. Hal serupa juga dilakukan oleh Hasyim, Abdi Syam, Naufal
bin Manaf dan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW.
Mereka sepakat mengambil alih kemuliaan anak cucu Abdi Dar, hak
penjagaan, pertolongan, perairan, musyawarah dan panji
peperangan. Mereka mengaku sebagai orang yang berhak
menyandang kehormatan dan kemuliaan yang diwarisinya. 25
Tradisi yang berlaku sejak lama inilah yang menjadi cerminan
dan sumber inspirasi sistem pemerintahan dan kekuasaan Islam baik
pada masa Khulafa‟ur Rasyidin, Rezim Umayyah dan Dinasti
Abbasiyah terutama pada wilayah suksesi pemimpin. Menurut al-
Mawardi pengangkatan pemimpin dengan menyerahkan mandat
kepada seseorang oleh pemimpin sebelumnya boleh dilakukan dan
telah disepakati legalitasnya.26
Dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah al-Mawardi
menjelaskan bahwa ijma ulama menganggap sah terhadap pemimpin

24Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, (Al-Qahahirah: Dar al-Hadits, 2006), 19.


25Khalil Abdul Karim, Quraisy min al-Qabilah ila ad-Din al-Makaziyyah, Terj. M Faisol Fatawi
Hegemoni Quraisy, (Yogyakarta: LkiS, 2002), Cet. 1, 14-15.
26 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, (Al-Qahahirah: Dar al-Hadits, 2006), 25.

10
berdasarkan imam sebelumnya. Konsensus pengesahan tersebut
didasarkan pada dua peristiwa yang pernah dilakukan oleh kaum
Muslimin dan mereka tidak mengingkarinya:
1) Kasus Abu Bakar r.a yang menunjuk Umar ibn Khatab r.a untuk
menggantikanya sebagai imam (khalifah) dan umat Islam setuju
dengan penunjukan Umar ibn Khatab r.a sebagai pemimpin yang
diangkat melalui penunjukan Abu Bakar r.a dan mereka tidak
mengingkari hal itu.
2) Umar ibn Khatab r.a menyerahkan jabatan pemimpin
sepeninggalanya pada lembaga syura dan mereka menerimanya
karena mereka yakin bahwa cara seperti itu dapat dibenarkan.
Lembaga syura saat itu dipegang oleh tokoh-tokoh penting.
Memang ada juga sebagian sahabat yang tidak menyetujui hal itu,
misalnya Ali ibn Abi Thalib r.a berkata kepada Abbas ibn Abdul
Muthalib r.a yang mengkritiknya karena ia terlibat dalam
keanggotaan lembaga syura, ‚ini merupakan urusan besar dalam
Islam. Sungguh akutidak akan keluar dari urusan ini‛. Sejak itu,
pengangkatan imamah (kepemimpinan) melalui cara amanat
disepakati oleh para ulama.27

4. KESIMPULAN
Sejarah bergulir untuk dapat dijadikan sebagai pelajaran dengan mengambil
hikmah dari setiap kejadian dan peristiwa di masa lampau untuk memperbaiki
diri di masa yang akan datang. Apapun yang telah diyakininya oleh seseorang,
kita tidak boleh menyalahkan dan tidak berhak menghakimi pihak yang satu
adalah benar sementara pihak lainnya salah. Kepemimpinan dalam dunia Islam
baik yang menggunakan konsep Khilafah maupun Imamah memiliki arti yang
sama yakni pemimpin setelah Nabi Muhammad SAW. Kita sebagai manusia
khusunya umat Islam harus menyikapi perbedaan terhadap sesamanya karena
perbedaan itu adalah rahmat dari Allah SWT.
Kepemimpinan Islam adalah sebuah konsep yang tidak hanya bersifat
teologis sebagai sebuah doktrin, tetapi juga sebagai kebutuhan sosial umat
Islam. Islam Kepemimpinan diyakini mampu menjadi salah satu alat untuk
mencapai tujuan utama masyarakat sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah.
Oleh karena itu, kepemimpinan menduduki posisi yang strategis dalam
pandangan Islam. Kita juga sebagai pemeluk Islam harus waspada dan terus
belajar tentang Islam sehingga akhirnya kita menjadi orang Islam yang arif dan
bijaksana.

27 Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman, Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, Terj. al-Ahkam
al-Sulthaniyah, (Jakarta: Qisthi Press, 2015), 20.

11
5. SARAN DAN UCAPAN TERIMAKASIH
Berdasarkan pemaparan yang telah dipaparkan di atas, bahwa kita sebagai
pelajar terutama sebagai mahasiswa harus terus membaca terutama membaca
sejarah atau kejadian-kejadian pada masa lampau. Karena dengan kita banyak
membaca sejarah, dapat membuka dan menambah wawasan, berkontribusi
pada pemahaman moral, dapat mewujudkan warga negara yang baik,
membantu kita dalam memahami orang dan masyarakat, dapat merasakan
kejadian masa lampau, mengenang para pahlawan dan pejuang, serta masih
banyak lagi.
Selanjutnya penulis banyak mengucapkan terimakasih terutama kepada
bapak dosen yang sudah selalu membimbing kami dan memberikan banyak
ilmu serta pengalaman, terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan
yang insya Allah selalu diberikan semangat oleh Allah SWT dalam menimba
ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Idil. ‚Khilafah Islamiyah (Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan)


(Republik Islam Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi).‛ Journal of Goverment
and Civil Society 1, no. 1 (2017).
Al-Kattani, Abdul Hayyie dan Nurdin, Kamaluddin. Hukum Tata Negara dan
Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Terj. Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Jakarta:
Gema Insani, 2000.
Al-Mawardi. Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Al-Qahahirah: Dar al-Hadits, 2006.
Christanto, Joko. ‚Konsep Khilafah dan Kesalehan Lingkungan dalam Tradisi
Islam‛, Jurnal Kebudayaan Islam 10, no. 1 (2012).
Djam’an Satori dan Aan Komariah. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta, 2014.
Fachruroji, Moch. ‚Trigologi Kepemimpinan Islam (Analisis Teoritik terhadap
Konsep Khilafah, Imamah dan Imarah).‛ Jurnal Ilmu Dakwah 4, no. 12 (2008).
Karim, Khalil Abdul. Quraisy min al-Qabilah ila ad-Din al-Makaziyyah, Terj. M Faisol
Fatawi Hegemoni Qurais. Yogyakarta: LkiS, 2002.
Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman. Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, Terj. al-
Ahkam al-Sulthaniyah. Jakarta: Qisthi Press, 2015.
Khan, Qamaruddi. Al-Mawardis Theory of the State. Terj. Imron Rosyidi Kekuasaan,
Pengkhianatan dan Otoritas Agama: Telaah Kritis Teori Al- Mawardi Tentang
Negara. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000.
Mahmudi, Wildana Latif. ‚Pertumbuhan Aliran-aliran dalam Islam dan
Historynya‛. Jurnal Bangun Rekaprima 5, no. 2 (2019)
Maryanto, Edi. et al. Sejarah Munculnya Persoalan Kalam. Yogyakarta: K-Media, 2018
Milya Sari dan Asmendri. ‚Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam
Penelitian Pendidikan IPA‛. Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6,
no 01, (2020)

12
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI
Press, 2016.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
Rahman, Andi.‚Hadis dan Politik Sektarian (Analsis Basis Argumentasi tentang
Konsep Imamah menurut Shi’ah).‛ Journal of Qur’anic and Hadith Studies 2, no.
1 (2013).
Rasuki. ‚Dinamika Konsep kepemimpinan Dalam Islam (Dari Khilafah, Imamah
sampai Imarah).‛ Jurnal Kariman 7, no. 01 (2019)
Sabli, Muhammad.‚Aliran-aliran Teologi dalam Islam‛. Jurnal Nur El-Islam 2, no. 1
(2015)
Sudrajat, Ajat. ‚Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Sejarah,‛ Jurnal formasi , no 37
(2009)
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Yunus, Muhammad. Qamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah dan Penafsir Al-Qur’an 1973.

13

Anda mungkin juga menyukai