Selama tiga kuartal beliau belajar ilmu fiqh (kitab lum’ah) dengan yang
mulia ayahnya dan pada saat senggang lainnya dengan almarhum
gurunya yang lain, Syaikh Hashim Qazweeni dalam studi fiqh, terutama
kitab Kitab Rasa’il dan Makasib. Selanjutnya beliau mengikuti kuliah-
kuliah yang dilaksanakan oleh Ayatullah Uzma Milaani.
Pada tahun 1957 Sayyid Khamenei pindah ke Najaf Ashraf. Di sana beliau
banyak mengikuti kuliah-kuliah dari Ayatullah Uzma al-Hakim, al-Kho’i dan
Shahroodi. Sesudah itu beliau kembali ke Iran dan meneruskan
pelajrannya dari Ayatullah Sayyid Boroujerdi dan Syaikh Murtaza Ha’iri.
Sementara dalam studi fiqih dan ushul Fiqh beliau mengikuti kuliah yang
diberikan oleh Ayatullah al-Uzma Imam Khomeini.
"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad itu pesuruh Allah."
Abdus Salam
Ia besar dalam dua kehidupan yang berbeda dan bertolak belakang.
Di satu sisi, dia menjadi manusia yang sangat taat pada agama dan
menemukan pembenaran di dalam Alquran yang senantiasa mengilhami
dasar pikiran karya keilmiahannya.
Pada sisi lain, ia adalah seorang politisi yang menjunjung tinggi asas
kemuliaan serta sama sekali tak merendahkan politisi yang
mempraktekkan real politic untuk memperoleh kekuasaan.
Karena itu, dia tidak percaya adanya konflik antara sains dengan
Islam. Ia menegaskan bahwa dari tahun 750-1100 M hampir seluruh sains
adalah sumbangan Islam, yang menurut George Sarton (A History of
Science) secara tak putus serta berturut-turut adalah zamannya Jabir,
Khwarizmi, Haytham, Razi, Masudi, Wafa, Biruni, Ibn Sina, Omar Khayyam,
dan lainnya.
Selain Salam, tokoh berpengaruh dalam bidang sains ialah Ishrat
Usmani, ketua Komisi Tenaga Atom Pakistan. Menurut Usmani,
"Kebanyakan usaha keilmiahan di Pakistan ditimbulkan oleh imajinasi
Abdus Salam dan bobot pengaruh pribadinya. Abdus Salam adalah simbol
kebanggaan dan gengsi bangsa Pakistan dalam dunia keilmiahan."
Inilah prestasi terbesar umat Islam di abad 20. Tentu saja semua
keberhasilan itu tidak datang dengan sendirinya. Selain keteguhan dan
jihad sosialnya yang tinggi, hampir seluruh yang dikerjakan oleh Salam
ialah kuatnya keterkaitan kepada agama Islam, dijabarkan dari tanah
airnya Pakistan. Dengan ciri segala kerendahan hati ia menyampaikan
bahwa apa yang telah dicapainya dianggap berasal dari semangat
warisan Islam.
Ia berkata, "Saya banyak melibatkan diri pada pemikiran
kesimetrian alam, yang datang dari konsep Islam, karena dalam Islam kita
merenungkan universum ciptaan Allah dengan ide keindahan dan
kesimetrian serta keharmonisan, dan diperoleh kepuasan dapat melihat
sebagian kecil dari rahasia alam ini." Berkat kejeniusannya ini, selain
Nobel, puluhan penghargaan dan jabatan pernah ia peroleh dari berbagai
universitas ternama dunia, baik yang ada di negara berkembang maupun
negara maju.
Siapa sebenarnya tokoh dan pemikir Mesir modern yang juga salah
satu murid tokoh pembaharu, Syekh Muhammad Abduh itu.
Dilahirkan di Provinsi Aswan, Mesir, pada 28 Juni 1889, Abbas
Mahmud Aqqad dikenal mempunyai kecerdasan sejak kecil. Keluarganya
yang taat beragama, dan lingkungan sekitar yang begitu ramah dan
toleran, menjadikan Aqqad tumbuh secara dinamis, khususnya bagi
pengembangan intelektualnya.
Ia juga terlibat dalam revolusi tahun 1952, sebuah revolusi yang dipimpin
Jenderal Gamal Abdel Nasser, yang mengubah Mesir dari kerajaan ke
bentuk republik.
Sebagai penulis
Pemikirannya
Abu Thalib
Seorang Mu’min
Segala Puja dan Puji bagi Allah, sebanyak tetesan air hujan,
sebanyak butiran biji-bijian, sebanyak makhluk-Nya dilangit, dibumi dan
diantara keduanya.
Segala Puja dan Puji yang banyak dan tak berkesudahan untuk
Allah, meskipun puja segala pemuji selalu kurang dari sewajarnya.
Segala Puja dan Puji untuk Allah seagung pujian-Nya terhadap diri-
Nya.
Shalawat dan Salam yang tiada pernah terputus dan tiada pernah
terhenti terus-menerus, sambung-menyambung sampai ke akhir zaman
untuk Nabi yang dicintai dan dikasihi oleh ruh, jiwa dan jasad kami,
Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya, juga untuk keluarganya yang
telah disucikan dari segala noda dan nista, serta para sahabat yang
berjihad bersamanya dan setia padanya sepanjang hayatnya.
“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang
pedih”. (Q.S. 9:61)”
Diriwayatkan dari Al-Thabrani dan AL- Thabrani dan Al-Baihaqi,
bahwa anak permpuan Abu Lahab (saudara sepupu Nabi saaw ) yang
bernama Subai’ah yang telah masuk Islam datang ke Madinah sebagai
salah seorang Muhajirin, seseorang berkata kepadanya : “Tidak cukup
hijrahmu ini kesini, sedangkan kamu anak perempuan kayu bakar neraka”
(menunjuk surat Allahab). Maka ia sakait mendengar kata-kata tersebut
dan melaporkannya pada Rasulullah saaw. Demi mendengar laporan
semacam itu beliau saaw jadi murka, kemudian beliau naik mimbar dan
bersabda :
Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri
ia berkata bahwa Rasulullah saaw bersabda: “Barang siapa yang
membenci kami Ahlul Bayt (Nabi dan keluarganya) maka ia adalah
munafiq”. (At-Athabrani dalam Dzakair, Ahmad dalam Al-Manaqib, Al-
Syuthi dalam Al-Dur Al-Mantsur dan dalam Ihyaul Mayyit).
Dengan demikian jelaslah bahwa siapa yang menyakiti Abu Thalib berarti
menyakiti Rasulullah beserta cucu-cucu beliau pada setiap masa.
Rasulullah bersabda :
Beliau Abu Thalib nama aslinya adalah Abdu Manaf, sedang nama
Abu Thalib adalah nama Kauniyah (panggilan) yang berasal dari putra
pertamanya yaitu Thalib, Abu berarti Bapak. Abu Thalib adalah paman
dan ayah asuh Rasulullah saaw, dia membela Nabi saaw dengan jiwa
raganya. Ketika Nabi saaw berdakwah dan mendapat rintangan Abu Thalib
dengan tegar berkata: “Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad
sebelum kalian menguburkanku”. Ketika Nabi saaw dan pengikutnya di
baikot di sebuah lembah, Abu Thalib mendampingi Nabi saaw dengan
setia. Ketika dia melihat Ali shalat di belakang Rasulullah saaw. Ketika
mau meninggal dunia berwasiat kepada keluarganya untuk selalu berada
di belakang Nabi saaw dan membelanya untuk menenangkan dakwahnya.
Kata-kata beliau ini, adalah hasil kesimpulan apa yang beliau lihat
tentang pribadi Nabi saaw sejak kecil, atau sebuah ilham dan dari kaca
mata sufi adalah sesuatu yang diperoleh dari Ilmu Mukasyafah atau beliau
seorang Kasyaf.
Pada saat Abu Thalib berekspidisi ke Syiria (Syam), pada waktu itu
Nabi saaw masih berusia 9 tahun dan diajak oleh Abu Thalib, ketika itu
bertemu dengan seorang rahib Nasrani bernama Buhairah yang
mengetahui tanda-tanda kenabian yang terdapat pada Nabi saaw dan
memberitahukan pada Abu Thalib kemudian menyuruhnya membawa
pulang kembali ke Mekkah karena takut akan gangguan orang
Yahudi.Maka Abu Thalib tanpa melihat resiko perdagangannya dengan
serta merta membawa Nabi saaw pulang ke Mekkah.
Kecintaan kepadamu
Abu Hasyim Isma’il bin Muhammad Al-Humairi dalam salah satu sya’i
permohonan syafa’at pada nabi saaw:
Dari Ibnu Adi yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik, ia berkata;
“Pada suatu saat Abu Thalib sakit dan Rasulullah menjenguknya, maka ia
berkata; “Wahai anak sudaraku, berdo’alah kamu kepada Allah agar ia
berkenan menyembuhkan sakitku ini”, dan Rasulullah pun berdo’a: Ya
Allah, ...sembuhkanlah paman hamba”, maka seketika itu juga dia berdiri
dan sembuh seakan dia lepas dari belenggu”. Apakah mungkin Rasulullah
berdoa untuk orang yang kafir padanya ?, apakah mungkin orang kafir
minta do’a kepada Rasulullah , apakah mungkin orang yang menyaksikan
mukjizat yang demikian lantas tidak mau beriman ?. Perkaranya kembali
pada logika orang yang waras.
Beliau menjawab :
”Hai anak saudaraku, katakalah apa yang kamu suka, demi Allah aku
tidak akan pernah menyerahkanmu kepada mereka selamanya”.
Dari Ibnu Sa’ad Al-Khatib dan Ibnu Asakir dari Amru ibn Sa’id,
bahwasanya Abu Thalib berkata : “Suatu saat berada dalam perjalanan
bersama anak saudaraku (Muhammad), kemudian aku merasa haus dan
aku beritahukan kepadnya serta ketika itu aku tidka melihat sesuatu
bersamanya, Abu Thalib selanjutnya berkata, kemudian dia (Muhammad)
membengkokkan pangkal pahanya dan menginjakkan tumitnya diatas
bumi, maka tiba-tiba memancarlah air dan ia berkata kepadku:”Minumlah
wahai pamanku !”, maka aku kemudian minum”.
Ini adalah mukjizat Nabi saaw dan disaksikan oleh Abu Thalib, yang
meminum air mukjizat, adakah orang kafir dapat meminum air
Alkautsar ?. Berkata Al-Imam Al-Arifbillah Al-Alamah Assayyid Muhammad
ibn Rasul Al-Barzanji:”Jika Abu Thalib tidak bertauhid kepada Allah, maka
Allah tidak akan memberikannya rizki dengan air yang memancar untuk
Nabi saaw yang air tersebut lebih utama dengan air Al-Kautsar serta lebih
mulia dari air zamzam.
Dari Ibnu Sa’id yang diriwayatkan dari Abdillah Ibn Shaghir Al-Udzri
bahwasanya Abu Thalib ketika menjelang ajalnya dia memanggil Bany
Abdul Mutthalib seraya berkata:”Tidak pernah akan putus-putusnya kalian
dengan kebaikan yang kalian dengar dari Muhammad dan kalian
mengikuti perintahnya, maka dari itu ikutilah kalian, serta bantulah dia
tentu kalian akan mendapat petunjuk”. Jauh sekali anggapan mereka, dia
tahu bahwa sesungguhnya petunjuk itu di dalam mengikuti beliau saaw.
Dia menyuruh orang lain agar mengikutinya, apakah mungkin dia sendiri
menginggalkannya?. Sekali lagi hanya logika yang waras yang bisa
menentukannya dan ma’af bukan domba sang gembala.
Dari Al-Hafidz (si penghafal lebih dari 100.000 hadits) Ibn Hajar dari
Ali Ibn Abi Thalib a.s bahwasanya ketika Ali memeluk Islam, Abu Thalib
berkata kepadanya:”Teteplah kau bersama anak pamanmu !”. Pertanyaan
apa yang bisa ditanyakan terhadap seorang ayah yang menyuruh
anaknya memluk Islam, sedangkan dia sendirian dikatakn bukan Islam,
adakah hal itu masuk akal ?.
Dari Al-Hafidz Ibn Hajar yang riwayatnya sampai pada Imran bin
Husein, bahwasanya Abu Thalib : bershalatlah kamu bersama anak
pamanmu, maka dia Ja’far melaksanakan shalat bersama Nabi
Muahmmad saaw, seperti juga ia melksanakannya bersama Ali bin Abu
Thalib. Sekiranya Abu Thalib tak percaya akan agama Muhammad, tentu
dia tidak akan rela kedua putranya shalat bersama Nabi Muhammad saaw,
sebab permusuhan yang timbul karena seorang penyair berkata:”Tiap
permusuhan bisa diharapkan berakhirnya, kecuali permusuhan dengan
yang lain dalam masalah agama”.
Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah istri Nabi saaw, wafat dalam
tahun yang sama, oleh karena itu tahun tersebut oleh Nabi saaw disebut
Aamul Huzn dalam tahun dukacita. Jika Abu Thalib seorang kafir patutlah
kematiannya disedihkan. Dan apakah patut Nabi bercinta mesrah dengan
orang kafir, dengan berpandangan bahwa Abu Thalib kafir sama dengan
menuduh Allah, menyerahkan pemeliharaan Nabi saaw, pada seorang
kafir dan membiarkan berhubungan cinta-mencintai dan kasih-mengasihi
yang teramat sangat padahal dalam Al-Quran disebutkan:”Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka(QS;48,29). Dan diayat yang lain Allah berfirman: “Kamu tidak
akan mendpati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akherat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menetang Allah
dan Rasul-Nya. Sekalipun orang itu bapak-bapak, atu anak-anak saudara-
saudara atupun keluarga mereka”.(QS;58,29)
Muahmmad sebagai Rasul seperti Musa yang telah dijelaskan pada kitab-
kitab”.
Simaklah sya’ir beliau ini, bahwa beliau juga beriman pad Nabi-Nabi yang
lain seperti Nabi Musa a.s, dan ketika Rahib Buhairah berkata padanya
beliau juga menimani akan kenabian Isa a.s , sungguh Abu Thalib adalah
orang ilmuan yang ahli kitab-kitab sebelumnya.
“Demi Tuhan rumah (Ka’bah) ini, tidak kami akan serahkan Ahmad
(Muhammad)kepada bencana dari terkaman masa dan malapetaka”.
“Mereka (kaum Quraisy) mencemarkan namanya untuk melemahkannya.
Maka pemilik Arsy (Allah) adalah dipuji (Mahmud) sedangkan dia terpuji
(Muhammad)”.
Lemah lembut, bijaksana, cerdik lagi tidak gagabah, suka santun serta
tiada pernah lalai.
Ahmad bagi kami merupakan pangkal, yang memendekkan derajat yang
berlebihan.
“Ketika Rasul saaw diberi tahu tentang wafatnya Abu Thalib, beliau
tampak sangat sedih, beliau datang menghampiri jenazah Abu Thalib dan
mengusap-usap pipi kanannya 4 kali dan pipi kiri 3 kali. Kemudian
beliauberucap :”Paman, engkau memlihara diriku sejak kecil,
mengasuhkusebagai anak yatim dan membelaku disaat aku sudah besar.
Karena aku, Allah SWT melimpahkan kebajikan bagimu”. Beliau lalu
berjalan perlahan-lahan lalu berkata : ”Berkat silaturrahmimu Allah SWT
melimpahkan kebajikan bagimu paman”.
Dalam buku Siratun Nabi saaw yang ditulis oleh Ibnu Hisyam, jilid I
hal.252-253 disebutkan: Abu Thalibmeninggal dunia tanpa ada kafir
Quraisy disekitarnya dan mengusapkan dua kalimat syahadat yang
didengar oleh Abbas bin Abdul Mutthalib. Demikian pula dalam buku Abu
Thalib mukmin Quraisy oleh Syeckh Abdullah al-Khanaizy diterangkan :
bahwa Abu Thalib mengusapkan kalimat Syahadat diriwayatkan oleh Abu
Bakar, yang dikutib oleh pengarang tersebut dari buku Sarah Nahjul
balaghah III hal.312, Syekh Abthah hal.71nAl-Ghadir VII hal.370 & 401, Al-
A’Yan XXXIX hal.136.
Abu Dzar Al-Ghifari seorang sahabat Nabi saaw yang sangat dicintai
Nabi saaw bersumpah menyatakan, bahwa wafatnya Abu Thalib sebagai
seorang mukmin (Al-Ghadir Vii hal.397).
Diriwayatkan dari Imam Ali Ar-Ridha dari ayahnya Imam Musa Al-
Kadzim, riwaya ini bersambung sampai pada Imam Ali bin Abi Thalib dan
beliau mendengar dari Nabi saaw, bahwa : “Bila tak percaya akan
Imannya Abu Thalib maka tempatnya di neraka”. (An-Nahjul III hal.311, Al-
Hujjah hal.16, Al-Ghadir VII hal.381 & 396, Mu’janul Qubur hal.189, Al-
A’Yan XXXIX hal.136, As-Shawa’iq dll). Abbas berkata ;” Imannya Abu
Thalib seperti imannya Ashabul Kahfi”.
Ali Syariati
Hari itu, sabtu, 8 Agustus 1992 di Kufa Irak, umat Islam di dunia
kehilangan salah tokoh mujtahid terkemuka. Sinar matahari tertutup awan
kedukaan, umat Islam kehilangan tokoh yang merupakan salah satu
marja’i taqlid di kalangan Syi’ah yang banyak pengikutnya. Mujtahid itu
adalah Ayatullah Uzma Seyyed Abul Qasijm Al-Khui, seorang ulama yang
berpengaruh dan luas ilmunya. Ia meninggal karena gagal jantung.
Pada mulanya, aku ini adalah hamba kepada Jubair bin Muth'im, dan
pamannya yang bernama Thu'aimah bin Adiy telah mati terbunuh di
perang Badar. Apabila kaum Quraisy keluar untuk berperang di Uhud,
Jubair berkata kepadaku: Jika engkau dapat membunuh Hamzah, paman
Muhammad untuk menuntut balas kematian pamanku di Badar, engkau
akan aku merdekakan. Bila tentera Quraisy keluar ke medan Uhud, aku
turut keluar bersama mereka. Aku seorang Habsyi yang memang mahir
untuk melempar pisau bengkok, dan sebagaimana biasanya orang Habsyi,
jarang-jarang tidak mengenai sasaran apabila melempar. Apabila kedua
belah pihak bertempur di medan Uhud itu, aku keluar mencari-cari
Hamzah untuk kujadikan sasaranku, sehingga aku melihatnya di antara
orang yang bertarung, seolah-olahnya dia unta yang mengamuk, terus
memukul dengan pedangnya segala apa yang datang menyerangnya,
tiada seorang pun yang dapat melawannya. Aku pun bersiap untuk
menjadikannya sasaranku. Aku lalu bersembunyi di balik batu berdekatan
dengan pohon yang dia sedang bertarung, sehingga apabila dia datang
berdekatan denganku, mudahlahlah aku melemparkan pisau racunku itu.
Yang kedua adalah Syaikh ‘Abbas Qumi, ahli hadis terkemuka dan
sejarawan Syi’ah. Qumi adalah penulis prolifik yang tulisannya sangat
digemari di Iran modern, terutama bukunya yang berjudul Mafatih Al-Jinan
(Kunci Surga).
Pada usia dua puluh tujuh tahun, Sayyid Ruhullah menikah dengan
Syarifah Batul, putri dari seorang ayatullah yang bermukim di Teheran.
Mereka dikarunia lima orang anak, dua putra dan tiga putri.
Hasan Al-Banna
Pada 1923 Banna pergi ke Kairo, untuk masuk Dar Al-‘Ulum sekolah
tinggi guru Mesir. Selama lima tahun di kota ini ia langsung mengalami
westernisasi kultural Mesir, yang bagi dia merupakan ateisme dan
ketakbermoralan. Banna juga memprihatinkan melihat usaha Mustafa
Kemal Ataturk untuk menghapus kekhalifahan dan program Kemal untuk
mensekularkan Turki. Gerakan di Mesir yang mendirikan universitas negeri
sekular pada 1925, menurut Banna merupakan langkah pertama meniru
Turki mencampakkan Islam. Dia juga memandang dengan prihatin banjir
artikel koran dan buku yang mempromosikan nilai sekular Barat.
Hal inilah yang membuat Banna prihatin. Untuk mewujudkan visi
Islam sejati dan meluncurkan perjuangan melawan dominasi asing, ia
mendirikan Ikwanul Muslimin pada bulan Maret 1928. Seiring dengan
perkembangan Ikhwanul Muslimin yang pesat, Banna mengembangkan
struktur administrasi yang memungkinkan Banna memegang kendali kuat.
Selama sepuluh tahun berikutnya, Ikhwan menerbitkan persnya sendiri,
berkalanya sendiri dan program budayanya sendiri.
Hasan Hanaf
Untuk proyek besar seperti itu, menurut dia, tak bisa mengandalkan
kebaikan orang lain. ''Yang bisa menolong kaum muslim sendiri,'' ujarnya
dalam satu diskusi yang diselenggarakan mahasiswa Indonesia di Mesir
pada tahun 2000. Untuk dapat mengubah kondisi tersebut, yang
mendesak dilakukan umat Islam adalah rekonstruksi (i'adah
bina/pembangunan kembali) pemikiran Islam. Selama ini, menurut dia
telah terjadi stagnasi pemikiran. Dan itu, katanya, menjadi penyebab
utama kemunduran umat Islam.
Konsep Islam nasionalis berbentuk solusi riil problem umat Islam saat ini,
seperti keadilan sosial, lintas etnik, toleransi beragama, membangun etos
kerja, menolak penjarahan tanah, dan praktik kekerasan berdarah. ''Saya
ingin memperkenalkan Islam modern, yang memberi penafsiran baru
terhadap teks-teks ajaran Islam hingga mampu menghadapi tantangan
modernitas, tanpa harus taklid pada Barat dan juga ulama klasik Arab.
Islam yang saya maksud mendorong bangkitnya budaya nasional serta
melestarikan identitas bangsa Indonesia,'' paparnya.
Dalam pandangannya, Islam yang dibutuhkan Indonesia bukan konservatif
yang hanya terbuai dengan syiar-syiar agama dan bukan pula sekuler
Barat yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa Indonesia. ''Apa
yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia Islam lainnya sesungguhnya
sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu, yakni teritorial
dan identitas budaya, serta nasionalisme, dan khasanah warisan di satu
sisi dan legitimasi modernitas yang ditandai dengan keterbukaan,
kebebasan, keadilan, supremasi hukum di sisi lain.
Bapak tiga anak ini menulis sedikitnya 20 buku dan puluhan makalah
ilmiah. Karyanya yang populer di Indonesia antara lain Al-Yasar al-Islami
(Kiri Islam), Min al-`Aqidah ila al-Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi), Turath
wa Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995),
dan lainnya. Hasan Hanafi bukan sekedar pemikir revolusioner, tapi juga
reformis tradisi intelektual Islam klasik.
Ibnu Araby
Meski Ibnu 'Araby belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin
Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad
bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira'ahnya, serta kepada Ali
bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul
Mun'im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis madzhab Imam Malik
dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu 'Araby sama sekali tidak bertaklid
kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.
Jalan tengah
Pada hak Allah (hak pertama), dapat dilacak secara sempurna pada
seluruh karya Ibnu 'Araby. Di sini, tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman
sebagai cahaya hati, dan Alquran sebagai akhlaknya. Lalu naik ke tahap
yang tak ada lagi selain al-Haq, yakni Allah SWT. Karakter Ibnu 'Araby
senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur. Kuncinya senantiasa
bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi al-Haq.
Kontroversial
Ibnu Rusyd
Dunia barat (Eropa) pantas berterima kasih pada Ibnu Rusyd. Sebab,
melalui pemikiran dan karya-karyanyalah Eropa melek peradaban. "Suka
atau tidak, filosofi Cordova dan mahagurunya, Ibnu Rusyd, telah
menembus sampai ke Universitas Paris," tulis Ernest Barker dalam The
Legacy of Islam.
Itu yang membuat Rusyd kecil haus ilmu dan menunjukkan talen
serta kejeniusan yang luar biasa sejak masa kanaknya. Sementara, ayah
dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Bakat ini
pula yang menurun kepada Rusyd, ketika ia diamanati menjabat sebagai
qadi (hakim) di Sevilla (Spanyol) dan sebagai qadi al-qudaad (hakim
agung) di Cordova.
Sejak saat itu, filsafat tak lagi mendapat tempat dan berkembang di
dunia Islam. Namun, beberapa tahun kemudian, amir Al Mansur
memaafkan dan membebaskannya. Ia lalu pergi ke Maroko dan
menghabiskan sisa hidupnya di negeri tanduk Afrika Utara ini hingga
wafatnya pada 1198 M.
Pemikiran Rusyd
Dalam cakra pandang itulah, kata Rusyd, takwil atas teks secara
benar dapat dilakukan dan dipahami oleh ahlul fikir. Pemikiran Rusyd
tersebut kemudian dikenal sebagai teori perpaduan agama dan filsafat.
Sementara itu, menyangkut pemaknaan atas Quran, Rusyd berpendapat
bahwa Alquran memiliki makna batin di samping makna lahir.
Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori itu, kata Rusyd.
Hal lain yang tidak lepas dari sosok Ibnu Rusyd adalah, ketika
polemik hebat antara dia dengan Al Ghazali. Ketidaksepakatan Al Ghazali
terhadap filsafat (hingga mengkafirkan Rusyd) ia tuangkan dalam buku
berjudul Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd membalas dengan
menulis Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan).
Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang
sangat dihormati dan disegani berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan,
Islam dan Barat, ini dilahirkan di daerah Jaffa, Palestina, pada 1 Januari
1921. Saat itu, negerinya memang tak separah dan setragis sekarang,
yang menjadi sasaran senjata canggih pemerintahan zionis, Israel.
Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab, ketika
Faruqi dilahirkan.
Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun
menggeluti dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang
filsafat ia raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master
keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The
God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran
Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar doktornya
diraih dari Universitas Indiana. Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam
ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun.
Pemikiran
''Saya pertama kali mengetahuinya dengan melalui tangan dan otak saya,
dan saya menelitinya hingga sebenar mungkin, dan saya mencari
kesalahan yang mungkin masih terpendam.''
Dari Damaskus ia kembali ke kota kelahirannya, Kuffah. Setelah 200
tahun kewafatannya, ketika penggalian tanah dilakukan untuk pembuatan
jalan, laboratoriumnya yang telah punah, ditemukan. Di dalamnya
didapati peralatan kimianya yang hingga kini masih mempesona, dan
sebatang emas yang cukup berat.
Khusus menyangkut fungsi dua ilmu dasar kimia, yakni kalsinasi dan
reduksi, Jabir menjelaskan, bahwa untuk mengembangkan kedua dasar
ilmu itu, pertama yang harus dilakukan adalah mendata kembali dengan
metoda-metoda yang lebih sempurna, yakni metoda penguapan,
sublimasi, destilasi, penglarutan, dan penghabluran. Setelah itu, papar
Jabir, memodifikasi dan mengoreksi teori Aristoteles mengenai dasar
logam, yang tetap tidak berubah sejak awal abad ke 18 M. Dalam setiap
karyanya, Jabir melaluinya dengan terlebih dahulu melakukan riset dan
eksperimen. Metode inilah yang mengantarkannya menjadi ilmuwan besar
Islam yang mewarnai renaissance dunia Barat.
Seluruh karya Jabir ibnu Hayyan lebih dari 500 studi kimia, tetapi
hanya beberapa yang sampai pada zaman Renaissance. Korpus studi
kimia Jabir mencakup penguraian metode dan peralatan dari pelbagai
pengoperasian kimiawi dan fisikawi yang diketahui pada zamannya. Di
antara bukunya yang terkenal adalah Al Hikmah Al Falsafiyah yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul Summa Perfectionis.
Suatu pernyataan dari buku ini mengenai reaksi kimia adalah: "Air
raksa (merkuri) dan belerang (sulfur) bersatu membentuk satu produk
tunggal, tetapi adalah salah menganggap bahwa produk ini sama sekali
baru dan merkuri serta sulfur berubah keseluruhannya secara lengkap.
Jamaluddin Al-Afghani
Tak seperti dunia Arab dan Turki, di mana kebanyakan filsafat yang
mendapat inspirasinya dari Yunani selama berabad-abad tidak diajarkan
karena dianggap menyimpang dari Islam, di Iran tradisi filsafat terus
berlangsung. Buku-buku karya Ibn Sina dan di kemudian hari karya filosof
Iran diajarkan di sekolah keagamaan.
Ketika Afghani ke Istanbul, pada tahun 1869-70, dia
mengemukakan gagasan yang bersal dari filosof Islam. Dan ketika ke
Mesir pada 1870-an, dia mengajar murid-murid mudanya terutama
tentang filosof-filosof Iran ini.
Mahmud Syaltut
Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, Syaltut diutus Majelis
Tertinggi Al Azhar untuk mengikuti muktamar tentang Alqanun al Dauli al
Muqaran (Perbandingan Hukum Internasional) di Lahay, Belanda. Dalam
muktamar itu, ia sempat mempresentasikan pemikirannya, tentang
relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan
zaman. Sontak, pandangannya ini mendapat sambutan peserta.
Dalam kaitan ini, lanjut Syaltut, "syariah dan akidah merupakan satu
sistem yang tidak dapat dipisahkan". Akidah merupakan dasar yang
mendorong manusia untuk menjalankan syariah Tuhan, dan syariah
adalah refleksi panggilan hati manusia yang berakidah. Karena itu
manusia yang berakidah tanpa menjalankan syariah Tuhan, atau manusia
yang menjalankan syariah Tuhan tetapi tanpa memiliki akidah tidak
dianggap seorang Muslim, juga tidak dihukumi Islam.
Mulla Shadra
Mulla Shadra, tokoh besar dalam filsafat Islam ini lahir pada 979
H/1571M di Shiraz, Iran. Ayahnya, Khwajah Ibrahim Qavani adalah
pejabat di Shiraz. Seperti pada umumnya keluarga pejabat saat itu , Mulla
Shadra tidak masuk sekolah umum. Ia belajar berbagai macam ilmu
pengetahuan seperti sastra, bahasa Arab, puisi persia dan kaligrafi dari
guru privat yang diundangnya ke rumah. Setelah masa ini Mullah Shadra
banyak bepergian ke berbagai kota untuk belajar dengan para guru
terkemuka.
Saat kepindahan ayahnya ke Qazwin (ibukota Iran waktu itu),
Mulla Shadra ikut serta. Di kota ini ia belajar kepada Syaikh Baha’i dan Mir
Damad dari tahun 1595 M-1599M. Seiring dengan perpindahan ibukota
dari Qazwin ke Isfahan dimana Syaikh Baha’i dan Mir Damad (imam
sholat jum’at ibu kota) berpindah kesana ketika masa Shah Abbas I pada
1598 M, Mulla Shadra juga ikut pindah. Di sinilah ia mencapai tingkatan
yang tinggi pada ilmu peripatetik, filsafat iluminisionis, mistis Islam,
logika, kalam, fiqh dan hadist. Mulla Shadra juga menguasai astronomi,
matematika, dan pengobatan.
Setelah itu Mulla Shadra tinggal di Kahak sebuah desa kecil dekat
Qum. Di sini ia mulai mengajar sejumlah kecil murid.Di antara muridnya
yang cukup dikenal adalah Mulla Muhsin Fayd Kashani dan Mulla Abdul
Razzaq Lahiji yang diangkat anak olehnya.
Itulah Mutahhari yang pada usia relatif masih muda sudah mengajar
logika, filsafat dan fiqh di Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Ia juga
menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat. Disamping iu, ia juga mumpuni
dalam bidang kuliah-kuliah seperti : kuliah al-Ushul, kuliah Ilmu Kalam,
kuliah al-Irfan. Dengan keluasan ilmunya ini, Muthahhari tidak memilih
kenyaman hidup. Walaupun hal itu dapat ia lakukan. Ia terpanggil untuk
menegakkan nilai-nilai yang diajarkan kepada muridnya untuk diwujudkan
dalam masyarakat.
Rifa’at Thohthowi
Nama lengkapnya Rifa'at bin Badwi bin Ali bin Muhammad bin Ali
bin Rofi'. Rifa'at lahir di kampung Thahtha distrik Suhaz pada 15 Oktober
1801 M, bertepatan dengan 7 Jumadil Tsani 1612 H. Ia adalah pemikir
peletak batu pertama kebangkitan Arab modern. Namanya terukir dalam
sejarah sebagai pejuang dalam kemenangan Arab, yang mampu
membawa Arab, khususnya Mesir, dari masa kegelapan ke masa
pencerahan.
Perjalanan berliku
Pemikirannya
Sayyida Nafsa
Hidup miskin
Merasa tak enak hati dengan pemilik rumah, Sayyida Nafisa pindah
ke rumah temannya Ummu Hani yang sekarang berada di distrik al
Hasaniyya. Namun kepindahan tak membawa perubahan. Umat Islam
Mesir dari berbagai pelosok masih mengunjunginya.
Pada akhirnya, Sayyida Nafisa merasa tak lagi bisa khusyuk dalam
berdoa. Rumahnya selalu ramai. Sementara tak mungkin menolak
permintaan masyarakat yang datang meminta doa, ia merasa kehilangan
waktu untuk berdua saja dengan Sang Pencipta, atau saat ia hendak
berbicara dengan kakeknya Rasulullah SAWW.
Sebagai rasa terima kasih, gubernur Mesir kala itu Sirri bin Hakam
menghadiahkan sebuah rumah di tempat lain. Rumah itu berada di lahan
yang lebih besar. Dengan begitu kerumunan dapat tertampung. Ia juga
bisa mengatur waktu untuk bermunajat, mengajar dan menerima
kunjungan. Pada akhirnya ia menerima masyarakat pada hari tertentu.
Selebihnya adalah waktu pribadi untuk ibadah dan mengajar.
Syekh Mufd
Dalam kamus Ahlul Bait jika disebut dua orang mahaguru, al-
Syekhain, maka yang pertama adalah Syekh Mufid, yang nama
lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Muhammad Nu’man al-
Haritsi al-Baghdadi, dan kedua, muridnya sendiri Syekh Tusi. Sebutan
mahaguru, Syekh, kepada al-Mufid menunjukkan betapa ia amat
dihormati dan memiliki kedudukan yang amat tinggi. Ibn Nadhim ulama
terkenal Ahlussunnah yang sezaman dengannya dan sempat bertemu
memberikan pengakuan dan perhormatan dalam kitabnya al-Fihrist:
“Ibnul-muallim —gelar lain untuk Syekh Mufid— Abu Abdillah Muhammad
Ibn Muhammad Ibn Nu’man, yang sezaman dengan kita, adalah tokoh
ulama Syi’ah. Jago dalam ilmu kalam, teliti, cerdas, dan aku telah bertemu
dengannya; Aku lihat ia seorang yang luar biasa dan memiliki beberapa
karya”. Allamah al-Hilli menggambarkan; “Syekh Mufid adalah tokoh Syiah
yang ternama, pemimpin mereka dan guru besar. Orang-orang yang
datang sesudahnya semuanya pernah menimbah ilmu darinya.
Keutamaannya jauh lebih populer dari apa yang bisa digambarkan
tentangnya, baik dalam bidang fiqh, kalam, maupun hadis. Syekh Mufid
adalah orang yang paling tsiqah, dipercaya, dan paling pandai pada
zamannya.”
Syekh Mufid lahir pada tahun 336 H di kota kecil Akbara, 10 parsakh
dari Baghdad. Ayahnya adalah seorang guru, muallim, karena itu ia
dipanggil dengan sebutan Ibnul-muallim yang berarti putra guru. Guru
pertamanya adalah ayahnya sendiri. Dan ketika sang ayah melihat bakat
yang luar biasa pada sang anak, ia segera mengirim Syekh Mufid ke
Baghdad, pusat kekhalifahan dan kota ilmu, berguru kepada tokoh-tokoh
ternama. Pertama, ia berguru kepada Syekh Abu Abdillah Husain Ibn ‘Ali
al-Ja’li. Kemudian kepada Syekh Abi Yasir. Kemudian ia disarankan untuk
berguru kepada ‘Ali Ibn Isa al-Rummani, tokoh Mu’tazilah yang sangat
terkenal di Baghdad. Dari situlah gelar al-Mufid (berguna) diperolehnya.
Dikisahkan bahwa ketika hari pertama ia memasuki kelas ‘Ali Ibn Isa
al-Rummani, dilihatnya kelas penuh sesak. Ia kemudian duduk dipojokan.
Ketika pelajaran selesai, seseorang mendekati ‘Ali Ibn Isa dan terjadilah
perdebatan panjang antara keduanya. Orang itu bertanya kepada ‘Ali Ibn
Isa: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Ghadir, peristiwa pengangkatan
Imam ‘Ali sebagai pengganti Rasulullah, dan al-Ghar, peristiwa
bersembunyinya Nabi Muhammad Saw bersama Abu Bakar di gua Tsur?
‘Ali Ibn Isa menjawab: “Peristiwa al-Ghadir adalah riwayah sementara al-
Ghar adalah dirayah. Riwayah tidak dapat mengungguli dirayah.
Mendengar jawaban ‘Ali Ibn Isa, orang itu terdiam dan ngeloyor pergi.
Syekh Mufid bertutur: “Aku lalu menghadap ‘Ali Ibn Isa dan bertanya
kepadanya: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang memerangi
Imam yang adil? Ali Ibn Isa menjawab: “ Kafir, kemudian meralat, bukan,
fasik. Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana pendapatmu tentang Amirul
Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib?” Ia menjawab: “Seorang Imam.” Aku
bertanya lagi: “Bagaimana pendapatmu tentang Talhah dan Zubair dalam
perang Jamal?” Ia menjawab: “Kedua-duanya bertaubat”. Maka kukatakan
kepadanya: “Adapun peristiwa perang Jamal adalah dirayah sedang
tentang taubat keduanya adalah riwayah”. Ali bin Isa terperanjat dan
bertanya kepada Syekh Mufid: “Apakah engkau mendengar perkataanku
kepada orang Bashrah tadi?” “Ya”, jawab Syekh Mufid. Riwayah lawan
riwayah dan dirayah lawan dirayah, tambahnya”. Kemudian ‘Ali Ibn Isa
mengirim surat kepada Abi Yasir mengungkapkan kekagumannya dan
menamakan murid barunya itu, al-Mufid.
Belum genap berumur dua puluh tahun, Syekh Mufid telah membuat
semua orang kagum akan kepandaian dan kecerdasannya. Kelas-kelasnya
penuh dengan para penimbah ilmu dari berbagai kalangan. Bahkan
dihadiri oleh ulama-ulama terkemuka dari berbagai Mazhab pemikiran
Islam. Itu karena Syekh Mufid menerapkan metode diskusi terbuka, bebas
dan dalam. Hampir semua ulama terkemuka pada zamannya, dari semua
golongan Islam, pernah mengikuti kelasnya dan melakukan debat terbuka
dengan sang Syekh. Baca saja pengakuan Ibn al Jauzi tentang kelasnya:
“Ibnul-muallim memiliki majlis nazhar kelas diskusi dirumahnya di Darb
Ribah, Baghdad, yang dihadiri seluruh ulama”.
Dan karena ketinggian ilmu dan sikap terbukanya yang luar biasa
itu, Syekh Mufid sangat dihormati oleh semua lapisan masyarakat dari
seluruh golongan pemikiran Islam, tidak terkecuali para penguasa Dinasti
Abbasiyah. Bahkan orang yang paling berkuasa dikekhalifahan Abbasiyah.
Bahkan orang yang paling berkuasa di kekhalifahan Abbasiyah, Adhudud-
daulah, kerap berkunjung ke rumah Syekh Mufid dan selalu menjenguknya
jika sang Syekh sakit. Meskipun demikian, akibat fitnah yang dilancarkan
oleh orang yang tidak beretanggungjawab. Syekh Mufid sampai dua kali
harus diasingkan dari Baghdad, walaupun kemudian dipanggil kembali
oleh penguasa Abbasiyah dengan penuh takzim dan penghormatan yang
lebih tinggi dari sebelumnya.
Syekh Mufid meninggal dunia pada tahun 413 H dalam usia yang
cukup sepuh, 77 tahun, dikebumikan di Baghdad, kemudian dipindahkan
kepemakaman Quraiys dekat makam Imam al-Jawad. Seperti yang
dikemukakan di atas, ketika Syekh Mufid meninggalkan beberapa orang
anak antara lain, ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn al-Nu’man,
seorang ulama besar, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Mustafid. Tapi
kelas-kelas pelajarannya diteruskan oleh menantunya Muhammad Ibn al-
Hasan al-Ja’fari Abu Ya’la, seorang yang disebut al-Najasyi sebagai
khalifah al-Mufid, ahli kalam, faqih terkemuka yang jago dalam dua
disiplin, Sunni dan Syi’ah sekaligus.
Yusuf Qardhawi
Zainab Al-Kubra ra