Anda di halaman 1dari 124

Ayatullah Sayyid Ali Husayni Khamene’i

Kepemimpinan Republik Islam Iran sesudah ditinggalkan Imam


Khomeini yang wafat pada tahun 1989 digantikan oleh seorang ayatullah
yang sangat berpengaruh, yakni Ayatullah al-Uzma as-Sayyid Ali
Khamene’I yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Presiden Republik
Islam Iran selama dua masa periode. Pada diri Ayatullah Sayyied
Khamenei ini terdapat kepribadian yang agung, yaitu perpaduan antara
kecerdasan, keberanian dan kebijaksanaan. Beliau merupakan seorang
faqih (ahli fikih) yang terkemuka di zamannya; dan juga seorang yang
menekuni banyak dalam bidang sejarah dan sastra. Dalam kegiatan
akademisnya yang sampai sekarang masih dilakukannya adalah mengajar
ilmu fiqh kepada para ulama yang telah sampai pada tingkat tertinggi di
Hauzah ilmiah, atau yang lazim disebut dengan tingkatan bahtsul kharij.

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei lahir pada tahun 1929 dari


keluarga yang taat beragama di kota suci Masyhad, Iran. Ayahnya
Ayatullah Agha Sayyid Jawad adalah mujtahid terkemuka dan ulama
terkenal di Masyhad. Demikian juga kakeknya yang merupakan ulama
terkenal dari Azerbaijan yang tinggal di Najaf Ashraf. Semua ini tak dapat
disangkal telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi
perkembangan Sayyid Ali Khameini.

Pada usia lima tahun Sayyid Ali Khamenei memulai sekolah


dasarnya bersama dengan kakaknya Sayyid Muhammad. Disamping itu ia
juga belajar di sekolah dasar Islam yang disebut Darut Ta’leem Diyanati.
Setelah itu dia melanjutkan ke sekolah menengah yang diselesaikan
hanya dua tahun.

Selama tiga kuartal beliau belajar ilmu fiqh (kitab lum’ah) dengan yang
mulia ayahnya dan pada saat senggang lainnya dengan almarhum
gurunya yang lain, Syaikh Hashim Qazweeni dalam studi fiqh, terutama
kitab Kitab Rasa’il dan Makasib. Selanjutnya beliau mengikuti kuliah-
kuliah yang dilaksanakan oleh Ayatullah Uzma Milaani.

Pada tahun 1957 Sayyid Khamenei pindah ke Najaf Ashraf. Di sana beliau
banyak mengikuti kuliah-kuliah dari Ayatullah Uzma al-Hakim, al-Kho’i dan
Shahroodi. Sesudah itu beliau kembali ke Iran dan meneruskan
pelajrannya dari Ayatullah Sayyid Boroujerdi dan Syaikh Murtaza Ha’iri.
Sementara dalam studi fiqih dan ushul Fiqh beliau mengikuti kuliah yang
diberikan oleh Ayatullah al-Uzma Imam Khomeini.

Secara politis, perjuangan Sayyid Khamenei melawan rezim


Pahlevi di mulai sejak tahun 1955. Semangat dan keberaniannya
menentang kezhaliman membuat ia tidak mudah menyerah sampai
kemudian revolusi Islam Iran berhasil dimenangkan dengan ditandai
jatuhnya Syah Iran yang kemudian melarikan diri ke Amerika Serikat.
Revolusi ini berhasil dibawah kepemimpinan Imam Khomeini dimana
Ayatullah Khameini ikut berperan aktif.

Selama pemerintahan Islam Iran sebelum menggantikan posisi Imam


Khomeini sebagai waliy faqih, Ayatullah Sayyid Khamenei pernah
menjabat sebagai anggota dewan revolusi, Imam Jum’ah di Teheran dan
Presiden Iran. Karya tulisnya antara lain Lesson From The NAHJUL-
BALAGHAH, Discourse on Patience, Essence of Tawhid, dan Human Rights
in Islam.

Itulah Ayatullah Khameini yang telah memperjuangkan Islam dan


kebenaran dengan mengorbankan seluruh hidupnya untuk kemenangan
Islam. Ia telah memberikan tanda pada dirinya sebagai bukti kesungguhan
dan keteguhannya, tangannya adalah sejarah hidupnya, tangan tersebut
telah menjadi korban pengeboman dari lawan-lawan politiknya yang
sasarannya adalah dirinya sendiri, tangan itu telah menjadi simbol
pengorbanannya.
Abu Dzar Al-Ghifari ra

Abu Dzar al-Ghifari ra merupakan seorang sahabat Nabi SAWW yang


terkenal dengan perbendaharaan ilmu pengetahuannya dan
kesholehannya. Ali as berkata mengenai Abu Dzar ra: "Abu Dzar ialah
penyimpan jenis-jenis ilmu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dari
orang lain."

Ketika dia mulai mendengar khabar tentang kerasulan Nabi SAWW,


dia telah mengutus saudara lelakinya menyelidiki lebih lanjut mengenai
orang yang mengaku menerima berita dari langit. Setelah puas
menyelidiki, saudaranya pun melaporkan kepada Abu Dzar bahwa Nabi
Muhammad SAWW itu seorang yang sopan santun dan baik budi
pekertinya. Ayat-ayat yang dibacakan kepada manusia bukannya puisi
dan bukan pula kata-kata ahli syair.

Laporan yang disampaikan itu masih belum memuaskan hati Abu


Dzar. Dia sendiri keluar untuk mencari kenyataan. Setibanya di Makkah,
dia terus ke Baitul Haram. Pada waktu itu dia tidak kenal Nabi SAWW, dan
melihat keadaan pada waktu itu dia merasa takut hendak bertanya
mengenai Nabi SAWW. Ketika menjelang malam, dia dilihat oleh Ali as.
Oleh karena ia seorang musafir, Ali terpaksa membawa Abu Dzar ke
rumahnya dan melayani Abu Dzar sebaik-baiknya sebagai tamu. Ali tidak
bertanya apapun dan Abu Dzar tidak pula memberitahu Ali tentang
maksud kedatangannya ke Makkah. Pada keesokkan harinya, Abu Dzar
pergi sekali lagi ke Baitul Haram untuk mengetahui siapa dia Muhammad.
Sekali lagi Abu Dzar gagal menemui Nabi karena pada waktu itu orang-
orang Islam sedang diganggu hebat oleh orang-orang kafir musyrikin.
Pada malam yang keduanya, Ali membawa Abu Dzar ke rumahnya.
Pada malam itu Ali bertanya: "Saudara, apakah sebabnya saudara
datang ke kota ini?"

Sebelum menjawab Abu Dzar meminta Ali berjanji untuk berkata


benar. Kemudian dia pun bertanya kepada Ali tentang Nabi SAWW. Ali
berkata: "Sesungguhnya dialah pesuruh Allah. Esok engkau ikut aku dan
aku akan membawamu menemuinya. Tetapi awas, bencana yang buruk
akan menimpa kamu kalau hubungan kita diketahui orang. Ketika berjalan
esok, kalau aku dapati bahaya mengancam kita, aku akan berpisah agak
jauh sedikit dari kamu dan berpura-pura membetulkan sepatuku. Tetapi
engkau terus berjalan supaya orang tidak curiga hubungan kita."

Pada keesokkan harinya, Ali pun membawa Abu Dzar bertemu


dengan Nabi SAWW. Tanpa banyak tanya jawab, dia telah memeluk agama
Islam. Karena takut dia diapa-apakan oleh musuh, Nabi SAWW
menasihatkan supaya cepat-cepat balik dan jangan mengabarkan
keislamannya di khalayak ramai. Tetapi Abu Dzar menjawab dengan
berani: "Ya Rasullulah, aku bersumpah dengan nama Allah yang jiwaku di
dalam tanganNya, bahwa aku akan mengucap dua kalimah syahadah di
hadapan kafir-kafir musyrikin itu."

Janjinya kepada Rasulullah SAWW ditepatinya. Selepas ia


meninggalkan baginda, dia mengarah langkah kakinya ke Baitul Haram di
hadapan kaum musyrikin dan dengan suara lantang dia mengucapkan
dua kalimah syahadah.

"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad itu pesuruh Allah."

Tatkala mendengar ucapan Abu Dzar itu, orang-orang kafir pun


menyerbunya lalu memukulnya. Kalau tidak karena Abbas, paman Nabi
yang ketika itu belum Islam, tentulah Abu Dzar menemui ajalnya di situ.
Kata Abbas kepada orang-orang kafir musyrikin yang menyerang
Abu Dzar: "Tahukah kamu siapa orang ini? Dia adalah turunan Al Ghifar.
Khafilah-khafilah kita yang pulang pergi ke Syam terpaksa melalui
perkampungan mereka. Kalaulah ia dibunuh, sudah tentu mereka
menghalangi perniagaan kita dengan Syam."

Pada hari berikutnya, Abu Dzar sekali lagi mengucapkan dua


kalimah syahadah di hadapan orang-orang kafir Quraisy dan pada kali ini
juga ia telah diselamatkan oleh Abbas.

Kegairahan Abu Dzar mengucapkan dua kalimah syahadah di


hadapan kafir Quraisy sungguh-sungguh luar biasa jika dikaji dalam
konteks larangan Nabi SAWW kepadanya. Apakah dia bisa dituduh telah
mengingkari perintah Nabi? Jawabannya tidak. Dia tahu bahwa Nabi
SAWW sedang mengalami penderitaan yang berbentuk gangguan dalam
usahanya ke arah menyebarkan agama Islam. Dia hanya hendak
menunjukkan Nabi SAWW walaupun ia mengetahui, dengan berbuat
demikian dia melibatkan dirinya dalam bahaya. Semangat keislamannya
yang beginilah yang telah menjadikan para sahabat mencapai puncak
keimanan dalam alam lahiriyah serta batiniyah.

Keberanian Abu Dzar ini selayaknya menjadi contoh kepada umat


Islam dewasa ini dalam rangka usaha mereka menjalankan dakwah
Islamiyah. Kekejaman, penganiyaan serta penindasan tidak semestinya
bisa melemahkan semangat mereka yang telah mengucapkan dua
kalimah syahadah.

Abdus Salam
Ia besar dalam dua kehidupan yang berbeda dan bertolak belakang.
Di satu sisi, dia menjadi manusia yang sangat taat pada agama dan
menemukan pembenaran di dalam Alquran yang senantiasa mengilhami
dasar pikiran karya keilmiahannya.

Pada sisi lain, ia adalah seorang politisi yang menjunjung tinggi asas
kemuliaan serta sama sekali tak merendahkan politisi yang
mempraktekkan real politic untuk memperoleh kekuasaan.

Dialah Prof Abdus Salam. Nama besarnya ikut mengangkat derajat


dunia Islam. Pria yang arif menjalani kehidupan itu pernah meraih
penghargaan Nobel bidang fisika tahun 1979. Ia menyediakan tenaganya
untuk memperbaiki kondisi kehidupan di Dunia Ketiga dengan
menempatkan dirinya sebagai pejuang dalam hak-hak seluruh bangsa.

Pria ini dilahirkan di negara Islam Pakistan pada 29 Januari 1926.


Saat itu, Pakistan masih dalam cengkeraman penjajah Inggris. Salam
menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di dalam negeri.
Pendidikan tingginya (master dan doktor) ia selesaikan di Inggris. Bahkan,
gelar doctor of phylosophy (PhD) dalam bidang fisika teori diperolehnya
dari laboratorium Cavendish, Universitas Cambridge, Inggris dalam usia
26 tahun.

Prestasi-prestasi besar yang dicapainya dalam disiplin ilmu fisika


membuatnya banyak menerima penghargaan dari berbagai kalangan.
Antara tahun 1957 dan 1982 M saja, lebih dari 18 universitas dari
berbagai negara maju dan berkembang silih berganti menganugerahinya
gelar doctor of science honoris causa atas jasa-jasanya dalam dunia ilmu
pengetahuan.

Ia bekerja sebagai guru besar (profesor) fisika teori di Imperial


College, Universitas London sejak tahun 1957. Sejak 1964 menjabat
sebagai direktur International Centre for Theoritical Physics di Trieste.
Karya-karya ilmiahnya yang telah diterbitkan lebih dari 200 judul. Di
samping menerima anugerah Nobel, ia juga mendapatkan penghargaan
dan keanggotaan terhormat masyarakat akademis.

Dengan prestasi itu, ia kembali ke Lahore sebagai guru besar pada


umur amat muda, kurang dari 30 tahun. Selama tiga tahun mengabdi di
Lahore, rupanya tidak membahagiakannya. Salam kehilangan kontak
dengan sejawat ilmuwan dan peneliti dan aktivitasnya pun kurang
produktif.

Menurut dia, inilah penyebab utama atmosfir dunia penelitian amat


menyedihkan dan menggelayuti hampir seluruh negara berkembang.
Mereka yang mendapat pendidikan di luar negeri, bila kembali ke negara
asal menghadapi banyak kesulitan dan ketidaksesuaian untuk
berkembang terus.

Ia merasa layaknya orang terisolasi. Pengisolasian dalam fisika


teoretis ibarat sebuah kematian. Ini pula yang dihadapi Salam ketika
berasosiasi dengan Universitas Lahore.

Ia merasa tidak bisa "dikubur hidup-hidup" secara perlahan-lahan.


Pada 1954 ia kembali ke Inggris sebagai lektor di Cambridge. Setelah
merumuskan teori neutrino pada umur 31 tahun, Salam menjadi guru
besar fisika teoretis selama 30 tahun (1957-1987) di London Imperial
College untuk sains dan teknologi. Dengan usaha Salam, Imperial menjadi
salah satu pusat terkemuka dalam teori fisika. Salam mendorong teoretisi
di Imperial ke arah problema simetri dalam klasifikasi partikel dan teori
grup dalam fisika partikel.

Meski berada di negeri orang, dan tak pernah kembali menduduki


jabatan akademi reguler di Pakistan, ia tak pernah kehilangan kontak
pribadi dengan tanah airnya. Ia pun merasa bangga sebagai Muslim
pertama mendapatkan Hadiah Nobel.

Salam adalah seorang berhati besar seperti pemikirannya. Ingatan


terisolasi dari sumber informasi ilmiah, ia bertekad menyediakan sarana
bagi ilmuwan muda yang berbakat dari negara kurang berkembang,
supaya mereka tidak mati dalam arti intelektual karena keterasingan dari
sumber informasi ilmiah tanpa harus meninggalkan negerinya.

Salam merintis pendirian International Centre for Theoretical Physics


(ICTP), di Trieste, Italia sejak 1964 dan menjadi direktur ICTP (1864-1990)
yang didanai oleh pemerintah Italia (50%), PBB (Unesco-IAEA), dan SIDA
(Swedish Agency for International Development). Fasilitas di Trieste
pertama kali disediakan sepenuhnya oleh pemerintah Italia. Sikap ini
seakan-akan membayar kembali sumbangan pemikiran ilmuwan Muslim
yang merasuki Italia sejak jatuhnya kota Constatinopel pada 1453 dari
Kekaisaran Romawi Timur, yang melahirkan Zaman Renaissance di Eropa.

Pemikiran dan karya

Sang jenius kaliber internasional ini, dalam upayanya mengungkap


sesuatu dan menelorkan pemikirannya serta penelitiannya, selalu
mendasarkan pada konsep-konsep Islam, terutama tentang kosmos.
Salam menganut sistem integrasi ilmu (agama dan pengetahun).

Karena itu, dia tidak percaya adanya konflik antara sains dengan
Islam. Ia menegaskan bahwa dari tahun 750-1100 M hampir seluruh sains
adalah sumbangan Islam, yang menurut George Sarton (A History of
Science) secara tak putus serta berturut-turut adalah zamannya Jabir,
Khwarizmi, Haytham, Razi, Masudi, Wafa, Biruni, Ibn Sina, Omar Khayyam,
dan lainnya.
Selain Salam, tokoh berpengaruh dalam bidang sains ialah Ishrat
Usmani, ketua Komisi Tenaga Atom Pakistan. Menurut Usmani,
"Kebanyakan usaha keilmiahan di Pakistan ditimbulkan oleh imajinasi
Abdus Salam dan bobot pengaruh pribadinya. Abdus Salam adalah simbol
kebanggaan dan gengsi bangsa Pakistan dalam dunia keilmiahan."

Karena pengaruhnya maka penghargaan berlebih-lebihan yang


sebelumnya diberikan kepada seni dan ilmu-ilmu sosial dengan
mengorbankan sains telah dipatahkan. Presiden Ayub Khan pun membagi
kegairahan perhatian Abdus Salam pada penerbitan buku-buku pelajaran
sains. Bertambah banyak mahasiswa mengambil studi sains di
universitas.

Bagi Salam, ruang lingkup intelektual sains ialah memanunggalkan


hukum-hukum alam yang terdiri dari prinsip/asas sederhana. Pencarian ini
dimulai pada zaman Yunani Kuno dan dilanjutkan dalam Islam oleh Al-
Biruni (973-1050 M) yang menegaskan bahwa alam memiliki hukum yang
sama di mana saja, di Bumi atau di Bulan.

Dengan diwujudkannya pertemuan dua peradaban ini maka


dimulailah sains moderen dari Galileo ke Einstein. Salam telah
memberikan sumbangan fundamental dengan teori electroweak, yaitu
kemanunggalan gaya elektromagnetisme dengan gaya nuklir lemah yang
dihargai oleh dunia masyarakat sains dengan hadiah Nobel Fisika 1979.

Inilah prestasi terbesar umat Islam di abad 20. Tentu saja semua
keberhasilan itu tidak datang dengan sendirinya. Selain keteguhan dan
jihad sosialnya yang tinggi, hampir seluruh yang dikerjakan oleh Salam
ialah kuatnya keterkaitan kepada agama Islam, dijabarkan dari tanah
airnya Pakistan. Dengan ciri segala kerendahan hati ia menyampaikan
bahwa apa yang telah dicapainya dianggap berasal dari semangat
warisan Islam.
Ia berkata, "Saya banyak melibatkan diri pada pemikiran
kesimetrian alam, yang datang dari konsep Islam, karena dalam Islam kita
merenungkan universum ciptaan Allah dengan ide keindahan dan
kesimetrian serta keharmonisan, dan diperoleh kepuasan dapat melihat
sebagian kecil dari rahasia alam ini." Berkat kejeniusannya ini, selain
Nobel, puluhan penghargaan dan jabatan pernah ia peroleh dari berbagai
universitas ternama dunia, baik yang ada di negara berkembang maupun
negara maju.

Jasa Salam tak bisa terlupakan. Ia telah meninggalkan warisan


paling berharga (karya intelektual) bagi generasi penerus. Usaha kerasnya
pun tak dapat ia teruskan, ketika stroke menyerang Salam. Sesudah tak
sanggup lagi berkomunikasi selama tiga tahun terakhir oleh penyakit
melumpuhkan itu, akkhirnya ruh meninggalkan jasadnya pada 20
November 1996 di Oxford, Inggris diiringi oleh doa Salam sendiri, jauh dari
tanah air yang dicintainya.

Abbas Mahmud Aqqad

Ia mempunyai andil besar dalam membangkitkan kecerdasan


generasi Mesir melalui tulisan-tulisannya yang bercorak politik di berbagai
media setempat. Lebih dari itu, sumbangan besarnya dalam keagamaan
dan kemasyarakatan terlihat dari karya-karyanya yang mencapai 50 buku,
yang hingga kini tetap menjadi rujukan para penulis modern, termasuk
para pemikir Indonesia.

Siapa sebenarnya tokoh dan pemikir Mesir modern yang juga salah
satu murid tokoh pembaharu, Syekh Muhammad Abduh itu.
Dilahirkan di Provinsi Aswan, Mesir, pada 28 Juni 1889, Abbas
Mahmud Aqqad dikenal mempunyai kecerdasan sejak kecil. Keluarganya
yang taat beragama, dan lingkungan sekitar yang begitu ramah dan
toleran, menjadikan Aqqad tumbuh secara dinamis, khususnya bagi
pengembangan intelektualnya.

Bahkan kedua orang tuanya tak hanya menyurus Aqqad bergaul


dengan anak-anak sebayanya, namun juga memintanya bergaul dengan
orang yang lebih tua darinya, sehingga ia terpaksa 'dewasa' sebelum
waktunya. Pendidikannya, dari ibtidaiyah (SD) hingga sekolah tinggi, ia
lalui di tempat kelahirannya. Baru setelah menginjak dewasa, ia hijrah ke
kota Kairo.

Kelahirannya memang tidak secara kebetulan, sebab pada masanya


itulah, Aqqad benar-benar dihadapkan pada kenyataan sosio-kultural
Mesir dan dunia pada umumnya. Di penghujung abad 19, peradaban umat
manusia berubah secara mendasar dengan lahirnya peristiwa-peristiwa
besar, seperti revolusi industri di Inggris, dan juga merebaknya invasi
kekuasaan dunia Barat atas dunia ketiga yang mewarnai penjajahan, tak
terkecuali penjajahan atas Mesir.

Melihat kenyataan memprihatinkan inilah, bersama beberapa tokoh


lainnya, seperti Saad Zaghlul, Qasim Amin, dan lainnya, ia bergerak
memelopori revolusi 1919 di Mesir, guna mengusir penjajah Inggris saat
itu. Gerakan massa ini memang kelak berhasil mengusir penjajah, namun
tak lama kemudian penjajah lainnya, Prancis, datang menggantikan
Inggris. Dan sekali lagi, Aqqad terlibat dalam perlawanan menentang
imperialisme.

Ia juga terlibat dalam revolusi tahun 1952, sebuah revolusi yang dipimpin
Jenderal Gamal Abdel Nasser, yang mengubah Mesir dari kerajaan ke
bentuk republik.
Sebagai penulis

Kegemarannya menulis sejak kecil, kelak mengantarkan Aqqad


menjadi sosok yang dikenal luas sebagai penulis, jurnalis, sastrawan, dan
tokoh-pemikir. Tak heran karena kecerdasannya itu, para gurunya, seperti
Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani, Sa'ad Zaghlul, Abdullah Nadim
Al Aqqad, dan Syekh Fakhruddin Muhammad, memuji keindahan bahasa
yang ia gunakan.

Karirnya sebagai jurnalis ia mulai sejak berumur 16 tahun. Awalnya


Aqqad ingin bekerja sebagai pegawai pemerintah, namun peraturan yang
ada mensyaratkan calon pegawai harus berumur 18 tahun. Ia terpaksa
menunggu dua tahun lagi. Pada masa penantian inilah, ia menerbitkan
mingguan Raj'u Sada, selain sebagai penulis tetap di beberapa media; Al
Jaridah, Az Zahir, Al Muayyad, dan Al Liwa. Yang terakhir ini masih eksis
hingga saat ini.

Sebagai sastrawan, sumbangan Aqqad terlihat pada tulisannya, baik


dalam bentuk puisi maupun prosa. Menulis puisi sejak sebelum Perang
Dunia I, antara lain Diwan Asy Syi'r (1916), Wahyu Al Arbain, 'Abeer
Sabeel (buku kumpulan syair). Ciri khas dari puisi dan syair Aqqad adalah
mengutamakan pikiran dan perasaan. Ia juga memberikan kritik terhadap
puisi dan prosa yang ada, sambil memberikan interpretasi untuk
memperbaruinya. Menurutnya, seorang penulis hendaknya mempunyai
ide dan metode tersendiri tanpa mencontoh sedikitpun karya-karya
sebelumnya.

Karena itu, ia mengkritik penulis-penulis seperti Ahmed Syauqi dan


Thoha Hussein, yang dianggapnya tidak sesuai dengan pola yang ia
tawarkan.
Karyanya

Puluhan karya Abbas Mahmud Aqqad oleh beberapa pemikir


dikategorikan ke dalam karya multi-disiplin. Hal ini lantaran pemikiran-
pemikirannya yang ia tuangkan dalam karyanya membahas berbagai
masalah dan aspek kehidupan. Karya-karyanya setidaknya mempunyai
delapan kategori. Pertama, adab dan kritik sastra; kedua, akidah dan
agama; ketiga, filsafat; keempat, biografi; kelima, politik; keenam,
sosiologi; ketujuh, novel, dan terakhir, shirah dzatiyah.

Beberapa karyanya yang sangat berpengaruh dan menjadi rujukan


berbagai penulisan dan pemikiran setelahnya, di antaranya; Asytaal
Mujtama (Kegoncangan Masyarakat), Ibnu Rumi Hayatuhu min Siji Nihi,
Bayn Al Kutub wan Naar (Antara Kitab dan Neraka), Al Abqariyat
(Kejeniusan), Al Qarn Isyein ma kaana wa ma Sayakunu (Abad 20, yang
Telah dan yang Akan Terjadi), Muhammad 'Abduh; Mutalaat fil Kutub wal
Hayat (Kajian Tentang Kitab dan Kehidupan); Al Insan fil Quran (Manusia
Dalam Alquran), Falsafah Alquraniyyat (Filsafat Alquran), dan Murajaat fil
Adab wal Funun (Referensi untuk Sastra dan Seni).

Selain itu, kumpulan karangannya telah diterbitkan oleh penerbit


Dar El Kitab El Araby, Beirut, pada 1970, sebanyak 5 jilid dengan judul
Ensiklopedi Abbas Mahmud Aqqad.

Pemikirannya

Abbas Mahmud Aqqad dapat disebut sebagai penulis, pemikir dan


cendekiawan yang memiliki pemikiran progresif, moderat, dan substantif.
Hal ini dapat dilacak dari berbagai karyanya. Dalam masalah kehidupan
manusia berkaitan dengan petunjuk (Alquran) misalnya, Aqqad
berpandangan bahwa apa yang terbaik dari ajaran Alquran, terutama
dalam bidang ilmu, adalah dorongannya kepada manusia supaya berfikir.

"Alquran membuka jalan seluas-luasnya bagi akal fikiran manusia untuk


melakukan pembahasan dan penelitian guna menyempurnakan
kepribadiannya,"
tulis Aqqad dalam Filsafat Alquran.

Oleh karena itu, manusia Alquran, menurutnya, adalah manusia


abad 20. Kedudukan manusia abad 20 dan setelahnya lebih serasi dan
lebih kokoh daripada abad sebelumnya.

Dengan pengetahuannya yang luas, disertai argumen yang kuat


serta kelebihannya dalam meyakinkan orang, Aqqad selalu sukses dalam
mencurahkan kecemburuan atas nama agama, dengan membela
orisinalitas Islam. Mencermati Aqqad dalam studi keislamannya, dapat
ditinjau dari dua hal. Pertama, pembelaan terhadap Islam dari kebatilan
lawan; dan kedua, format Islam dalam bentuknya yang sebenarnya.

Di bidang filsafat, Aqqad memiliki madzhab tersendiri. Ia


menggeneralisasi aliran filsafat yang ada saat ini ke dalam dua madzhab;
aliran materialis (maadi), dan aliran spiritualis (ruhaniyah).

Paham materialis menurutnya, adalah mengembalikan semua akar


permasalahan kepada kondisi kasat mata (indrawi). Sementara aliran
kedua, spiritualis, dan paham sejenisnya, membahas suatu permasalahan
kosmos dengan unexperiment indrawi. Tetapi secara singkat, Aqqad ingin
mengatakan, bahwa sandaran berfilsafat adalah ruh, iman, mengakui
adanya puncak kekuasaan dan menghargai kehormatan manusia.

Sementara dalam hal makrifat (pengetahuan), ia membedakan


antara berfikir ilmiah dan berfikir matematis. Menurutnya, berfikir dan
bereksperimen secara ilmiah sangat penting bagi para peneliti, khususnya
dalam masalah yang bersifat quivalent maupun ambivalent. Dengan
demikian, diharapkan akan menghasilkan penelitian yang bersifat
universal indrawi. Sementara berfikir sistematis cukup seorang peneliti
memahami obyek yang dituju oleh akal secara pasti maupun berdasarkan
rasio.

Sedikit banyak, jalan pikiran Aqqad yang demikian dipengaruhi oleh


pemikiran gurunya, Muhammad Abduh, yang lebih mengedepankan rasio.
Tak berlebihan jika gurunya itu memuji Aqqad muda sebagai pemikir yang
rasionalis. Corak pemikiran demikian terlihat terutama sekali ketika ia
menjabarkan nilai-nilai Islam sebagai sumber peradaban universal, juga
ajaran yang menyeluruh, dan relevan dalam kehidupan umat manusia.

Aqqad melihat bahwa Islam sangat menganjurkan kepada sikap


berfikir dan selalu menyerahkan kemampuan akal untuk menimbang
suatu permasalahan yang sangat vital sekalipun, seperti masalah akidah
dan pendidikan.

Namun sayang, sebelum ia melihat buah karyanya secara


menyeluruh, sang Khaliq mendahului memanggilnya, tepat pada 12 Maret
1964. "Aku tidak mengharapkan umurku mencapai 100 tahun seperti apa
yang diharapkan orang lain. Harapanku hanyalah hidup ini berakhir ketika
berakhir pula kekuatanku untuk membaca dan menulis, meskipun ajal itu
datang esok sekalipun," kalimat terakhir yang ia ucapkan.

Warisan yang ia tinggalkan dan paling berharga (puluhan buku) kini


telah dan terus mewarnai kancah pemikiran dan wacana keislaman.

Abu Thalib
Seorang Mu’min
Segala Puja dan Puji bagi Allah, sebanyak tetesan air hujan,
sebanyak butiran biji-bijian, sebanyak makhluk-Nya dilangit, dibumi dan
diantara keduanya.

Segala Puja dan Puji yang banyak dan tak berkesudahan untuk
Allah, meskipun puja segala pemuji selalu kurang dari sewajarnya.

Segala Puja dan Puji untuk Allah seagung pujian-Nya terhadap diri-
Nya.

Shalawat dan Salam yang tiada pernah terputus dan tiada pernah
terhenti terus-menerus, sambung-menyambung sampai ke akhir zaman
untuk Nabi yang dicintai dan dikasihi oleh ruh, jiwa dan jasad kami,
Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya, juga untuk keluarganya yang
telah disucikan dari segala noda dan nista, serta para sahabat yang
berjihad bersamanya dan setia padanya sepanjang hayatnya.

Dalam berbagai kesempatan alfagir hamba Allah penulis risalah ini


sering mendengar dalam khutbah-khutbah, diskusi-diskusi, maupun
dialog-dialog bahwa Abu Thalib paman tercinta Rasulullah SAAW
dikatakan kafir. Beberapa rekan sering bertanya tentang masalah ini,
akhirnya alfagir harapkan risalah ini sebagai jawaban atas semuanya itu,
sebaga pembelaan terhadap Abu Thalib dan terhadap Nabi SAAW, semoga
beliau SAAW meridhainya Amin.

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah


akan melaknatinya (mengutuknya) didunia dan diakhirat, dan
menyediakan baginya siksa yang menghinakan”. (Q.S. 33:57)

“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang
pedih”. (Q.S. 9:61)”
Diriwayatkan dari Al-Thabrani dan AL- Thabrani dan Al-Baihaqi,
bahwa anak permpuan Abu Lahab (saudara sepupu Nabi saaw ) yang
bernama Subai’ah yang telah masuk Islam datang ke Madinah sebagai
salah seorang Muhajirin, seseorang berkata kepadanya : “Tidak cukup
hijrahmu ini kesini, sedangkan kamu anak perempuan kayu bakar neraka”
(menunjuk surat Allahab). Maka ia sakait mendengar kata-kata tersebut
dan melaporkannya pada Rasulullah saaw. Demi mendengar laporan
semacam itu beliau saaw jadi murka, kemudian beliau naik mimbar dan
bersabda :

“Apa urusan suatu kaum menyakitiku, baik dalam nasabku (silsilahku)


maupun sanak kerabatku. Barang siapa menyakiti nasabku serta sanak
kerabatku, maka telah menyakitiku dan barang siapa yang menyakitiku,
maka dia menyakiti Allah SWT.

Sa’ad bin Manshur dalam kitab Sunannya meriwayatkan dari Sa’id


bin Jubair tentang Firman Allah SWT (Q.S; 42,23) : “Katakanlah (wahai
Muhammad): Aku tidak meinta dari kalian sesuatu upahpun atas seruanku
kecuali kasih sayang terhadap keluarga (Ahlul Bait)”.

Ia berkatyang dimaksud keluarga dalam ayat itu adalah keluarga


Rasulullah saaw, (Hadits ini disebutkan juga oleh Al-Muhib Al-Thabari
dalam Dzkhair Al-Uqbah ha.9 Ia mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh
Ibnu Al-Sirri, dikutib pula oleh Al-Imam Al-Hafid Jalaluddin Abdurrahman
bin Abi Bakar Al-Suyuthi dalam kitab Ihyaul Maiyit Bifadhailil Ahlil Bait
hadits nomer 1 dan dalam kitab tafsir Al-Dur Al-Mantsur ketika
menafsirkan ayat Al-Mawaddah :42,43)

Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya Juz 4 hal.210 hadits no.177


meriwayatkan:
Abbas paman Nabi SAAW masuk menemui rasulullah saaw, lalu
berkata: “Wahai rasulullah, sesungguhnya kita (bani hasyim) keluar dan
melihat orang-orang quraisy berbincang-bincang lalu jika mereka melihat
kita mereka diam”. Mendengar hal itu rasulullah saaw marah dan
meneteskan airmata kemudian bersabda : “Demi Allah tiada masuk
keimanan ke hati seseorang sehingga mereka mencintai kalian (keluarga
nabi saaw) karena Allah dan demi hubungan keluarga denganku”. (hadits
serupa diriwayatkan pula oleh Al-Turmudzi, Al-Suyuthi, Al-Muttaqi Al-Hindi,
Al-Nasa’i, Al-Hakim dan Al-Tabrizi).

Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri
ia berkata bahwa Rasulullah saaw bersabda: “Barang siapa yang
membenci kami Ahlul Bayt (Nabi dan keluarganya) maka ia adalah
munafiq”. (At-Athabrani dalam Dzakair, Ahmad dalam Al-Manaqib, Al-
Syuthi dalam Al-Dur Al-Mantsur dan dalam Ihyaul Mayyit).

Al-Thabrani dalam kitab Al-Awsath dari Ibnu Umar, ia berkata: Akhir


ucapan rasulullah saaw sebelum wafat adalah: “Perlakukan aku
sepeninggalku dengan bersikap baik kepada Ahlul Baitku.” (Ibnu Hajar
dalam Al-Shawaiq). Al-Khatib dalam tarikhnya meriwayatkan dari Ali
bersabda : “Syafa’at (pertolongan diakhirat kelak) ku (hanya) teruntuk
orang yang mencintai Ahlul Baytku. (Imam Jalaluddin Al-Syuthi dalam
Ihyaul Maiyit) .

Al-Dailami meriwayatkan dari Abu Sa’id ia berkata bahwa Rasulullah


saaw bersabda :

”Keras kemurkaan Allah terhadap orang yang menggaguku dengan


menggangu itrahku”.
(Al-Suyuthi dalam Ihyaul Maiyit, dikutib juga oleh Al-Manawi dalam Faidh
Al-Qadir, dan juga oleh Abu Nu’aim).
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Imam Ali a.s. bahwasanya Rasulullah
bersabda :
“Barang siapa yang menyakiti seujung rambut dariku maka ia telah
menyakitiku dan barang siapa yang menyakitiku berarti ia telah menyakiti
Allah SWT”.

Dengan demikian jelaslah bahwa siapa yang menyakiti Abu Thalib berarti
menyakiti Rasulullah beserta cucu-cucu beliau pada setiap masa.
Rasulullah bersabda :

” Janganlah kalian menyakiti orang yang masih hidup dengan mencela


orang yang telah mati”.

Sebenarnya pandangan tentang kafirnya Abu Thalib adalah hasil


rekayasa politik Bany Umaiyah di bawah kendali Abu Sufyan seseorang
yang memusuhi Nabi saaw sepanjang hidupnya, memeluk Islam karena
terpaksa dalam pembebasan Makkah, kemudian dilanjutkan oleh putranya
Muawiyah, seorang yang diberi gelar oleh Nabi saaw sebagai kelompok
angkara murka, yang neracuni cucu Nabi saaw, Imam Hasan ibn Ali a.s.
Dalam kitab Wafiyat Al-A’yan Ibnu Khalliqan menuturkan cerit Imam Nasa-
i (penyusun kitab hadits sunna Al-Nasa-i), bahwasanya sewaktu Nasa-i
memasuki kota Damaskus, ia didesak orang untuk meriwayatkan
keutamaan Muawiyah, kata Nasa-i: “ Aku tidak menemukan keutamaan
Muawiyah kecuali sabda Rasul tentang dirinya – semoga Allah tidak
mengenyangkan perutnya”. Selanjutnya dilanjutkan oleh Yazid anak
Muawiyah si pembunuh Husein ibn Ali cucu Nabi Muhammad saaw di
padang Karbala bersama 72 keluarga dan sahabatnya. Muawiyah yang
sebagian Ulama dikatagorikan sebagai sahabat Nabi saaw , telah
memerintahkan pelaknatan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib hampir
70.000 mimbar umat Islam dan dilanjutkan oleh anak cucu-cucuBany
Umaiyah selam 90 tahun sampai masa Umar bin Abdul Azizi. Ibnu Abil
Hadid menyebutkan Muawiyah membentuk sebuah lembaga yan bertugas
mencetak hadits-hadits palsu dalam berbagai segi terutama yang
menyangkut keluarga Nabi saaw, lembaga tersebut beranggotakan
beberapa orang sahabat dan Tabi’in (sahabtnya sahabat) diantaranya
“Amr ibn Al-ash, Mughirah ibn Syu’bah dan Urwah ibn Zubair).

Sebagai contoh Ibnu Abil Hadid menebutkan hadits produksi lembaga


tersebut :

“Diriwayatkan oleh Al-Zuhri bahwa : Urwah ibn Zubair


menyampaikan sebuah hadits dari Aisyah bibinya ia berkata : Ketika aku
bersama Nabi saaw, maka datanglah Abbas (paman Nabi saaw) dan Ali
bin Abi Thalib dan Nabi saaw berkata padaku :”Wahai Aisyah kedua orang
itu akan mati tidak atas dasar agamaku (kafir)”.

Inil adalah kebohongan besar tak mungkin Rasul saaw bersabda


seperti itu yang benar Rasul saaw bersabda seprti yang termaktub dalam
kitab : Ahlul Bayt wa Huququhum hal.123, disitu diterangkan: Dari Jami’
ibn Umar seorang wanita bertanya pada Aisyah tentang Imam Ali, lalu
Aisyah menjawab : “Anda bertanya kepadaku tentang seorang yang demi
Allah SWT, aku sendiri belum pernah mengetahui ada orang yang paling
dicintai Rasulullah saaw selin Ali,dan di bumi ini tidak ada wanita yang
paling dicintai putri Nabi saaw, yakni ( Sayyidah Fatimah Az-Zahra a.s istri
Imam Ali a.s). Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, Al-Suyuthi dalam kitab
Al-Jami Ash-Shaghir dan juga Al-Thabrani dalam kitab Al-Kabir dari Ibnu
Abbas, Rasulullah saaw bersabda :” Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah
pintunya, Maka barangsiapa ingin mendapat Ilmu, hendaknya ia
mendatangi pintunya”. Imam Ahmad bin Muhammad Ash-Shadiq Al-
Maghribi berdasarkan hadits ini telah membuat kitab khusus yang diberi
judul :”Fathul Malik al’Aliy bishihati hadits Babul Madinatil Ilmi Ali” yang
membuktikan ke shahihan hadits tersebut.
Tidak mungkin kami menyebutkan hadits-hadits keutamaan Imam
Ali satu persatu karena jumlahnya sangat banyak , cukuplah yang
dikatakan Imam Ahmad (pendiri mazhab sunni Hambali) seperti yang
diriwayatkan oleh putranya Abdullah ibn Ahmad sbb: “Tidak ada seorang
pun diantara para sahabat yang memiliki Fadha’il (keutamaan) dengan
sanad-sanad yang shahih seperti Ali bin Abi Thalib”. Bany Umaiyah tidak
cukup dengan menciptakan hadits-hadits palsu bahkan mengadakan
program kekerasan bagi siap yang berani mengungkap hadits-hadits yang
menyebutkan keutamaan keluarga Nabi saaw. Mereka meracuni dan
mempengaruhi pikiran umat Islam bahwa orang yang mengungkap
keutamaan keluarga Nabi saaw adalah para pengacau, musuh Islam dan
mereka adalah orang-orang zindiq.

Maka tidak sedikit Ulama’ Islam yang menjadi korban karena


mereka berani secara tegas menyebarkan hadits-hadits tersebut. Dimana
Bany Umaiyah kemudian dimasa Bany Abbasiyah, Keluarga Nabi saaw dan
anak, cucunya terus menerus menjadi korban intimidasi yang tidak henti-
hentinya, mengalami pengejaran, pembunuhan, seperti pembantaian
Karbala, pembantaian Imam Ali Zainal Abidin, Annafsuzzakia , peracuni
Imam Al-Baqir, Ash-shodiq, Al-Khadzim, Ar-Ridha dll, sampai seorang
sejarawan terkenal Abul Faraj yang diberi judul “Maqatilut – Thalabiyin”.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa mereka berlaku demikian itu


dan apa yang mendasarinya?, jawabannya tiada lain hanyalah kaena
dengki dan irihati terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah kepada
keluarga Nabi saaw. “Ataukah mereka dengki kepada (sebagian ) manusia
(=Muhammad dan keluarganya) lantaran karunia-karunia yang Allah SWT,
telah limpahkan kepadanya...?” (QS; 4,54) Al-Hafid Ibnu Hajar dalam
kitabnya As-Sawaiq meriwayatkan dari Ibnu Mughazili Asy-Syafi’i
bahwasanya Imam Muhammad Al-Bagir berkata: “Kamilah Ahlul Bayt
adalah orang yang kepada mereka sebagian manusia menunjukkan rasa
iri dan dengki”.

Para pengutbah dan penceramah tentunya telah mengetahui semua


hadits-hadits yang mengkafirkan Abu Thalib yang jumlahnya kurang lebih
9 hadits, oleh karena itu hamba AllahSWT tidak akan menyebutkan lagi
disini. Dengan menggunakan Ilmu hadits dan memeriksa Rijal (orang-
orang yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut. Tidak mungkin merinci
komentar para ahli Jarh (kritik hadits) disini, sebagai contoh ; salah
seorang perawi hadits dari kalangan sahabat bernama Abi Hurairah,
disepakati oleh para ahli sejarah bahwa dia masuk Islam pada perang
Khaibar, tahun ke-7 Hijriyah, sedangkan Abu Thalib meninggal satu dua
tahun sebelum Hijrah. Apakah dia berhadits ?.

Anehnya beberapa periwayat hadits tersebut menyebutkan


beberapa Asbabul Nuzul (sebab-sebab turunya ayat dalam Al-Quran)
dihubungkan untuk mengkafirkan Abu Thalib, sebagai contoh; Surah Al-
Tawbah 113 dan Al-Qashash 56, surah Al-Tawbah ayat 113 menurut para
ahli tafsir termaasuk surah yang terakhir turun di Madinah, sedang Al-
Qashash ayat;56 turun pada waktu perang Uhud (sesudah Hijrah), jadi
baik antara kedua surah itu ada jarak yang bertahun-tahun juga antara
kedua surah tersebut dengan kewafatan Abu Thalib ada jarak yang
bertahun-tahun pula. Sekarang kita telah menolak hadits yang
mengkafirkan Abu Thalib dan akan mengetengahkan hadits-hadits yang
menyebut beliau (semoga Allah meridhainya) sebagai seorang muslim,
namun sebelumnya akan kami ketengahkan terlebih dahulu siapakah Abu
Thalib itu?

Beliau Abu Thalib nama aslinya adalah Abdu Manaf, sedang nama
Abu Thalib adalah nama Kauniyah (panggilan) yang berasal dari putra
pertamanya yaitu Thalib, Abu berarti Bapak. Abu Thalib adalah paman
dan ayah asuh Rasulullah saaw, dia membela Nabi saaw dengan jiwa
raganya. Ketika Nabi saaw berdakwah dan mendapat rintangan Abu Thalib
dengan tegar berkata: “Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad
sebelum kalian menguburkanku”. Ketika Nabi saaw dan pengikutnya di
baikot di sebuah lembah, Abu Thalib mendampingi Nabi saaw dengan
setia. Ketika dia melihat Ali shalat di belakang Rasulullah saaw. Ketika
mau meninggal dunia berwasiat kepada keluarganya untuk selalu berada
di belakang Nabi saaw dan membelanya untuk menenangkan dakwahnya.

Beliau telah menerima amanat dari ayahnya Abdul Mutthalib untuk


mengasuh Nabi saaw dan telah dilaksanakan amanat tersebut. Nabi saaw
adalah sebaik-baik asuhan dan Abu Thalib adalah sebaik-baik pengasuh.
Beliau mengetahu akan kenaibian Muhammad saaw jauh sebelum Nabi
saaw diutus oleh Allah SWT, sebagai Rasul di atas dunia ini. Dia
menyebutkan hal tersebut ketika berpidato dalam pernikahan Nabi saaw
dengan Sayyidah Khadijah a.s. Abu Thalib berkata : “ Segala Puji bagi
Allah yang telah menjadikan kita sekalian sebagian anak cucu Ibrohim dan
Ismail, menjadikan kita sekalian berpangkal dari Bany Ma’ad dan Mudhar
menjadikan kita penanggung jawab rumah-Nya (ka’bah) sebagai tempat
haji serta tanah haram yang permai, menjadikan kita semua sebagai
pemimpin-pemimpin manusia. Kemudian ketahuilah bahwa kemponakan
saya ini adalah Muhammad ibn Abdullah yang tidak bisa dibandingkan
dengan laki-laki manapun kecuali ia lebih tinggi kemuliaannya, keutamaan
dan akalnya. Dia (Muhammad ), demi Allah setelah ini akan datang
dengan sesuatu kabar besar dan akan mengahadapi tantangan yang
berat”.

Kata-kata beliau ini, adalah hasil kesimpulan apa yang beliau lihat
tentang pribadi Nabi saaw sejak kecil, atau sebuah ilham dan dari kaca
mata sufi adalah sesuatu yang diperoleh dari Ilmu Mukasyafah atau beliau
seorang Kasyaf.
Pada saat Abu Thalib berekspidisi ke Syiria (Syam), pada waktu itu
Nabi saaw masih berusia 9 tahun dan diajak oleh Abu Thalib, ketika itu
bertemu dengan seorang rahib Nasrani bernama Buhairah yang
mengetahui tanda-tanda kenabian yang terdapat pada Nabi saaw dan
memberitahukan pada Abu Thalib kemudian menyuruhnya membawa
pulang kembali ke Mekkah karena takut akan gangguan orang
Yahudi.Maka Abu Thalib tanpa melihat resiko perdagangannya dengan
serta merta membawa Nabi saaw pulang ke Mekkah.

Jika Abu Thalib hendak makan bersama keluarganya, beliau selalu


berkata: Tetaplah kalian menunggu hingga Muhammad datang, kemudian
Nabi saaw datang serta makan bersama mereka hingga mereka menjadi
kenyang, berbeda seandainya mereka makan tanpa keikut sertaan Nabi
saaw, biasa hidangannya adlah susu, maka Nabi saaw dipersilahkan lebih
dahulu, baru bergiliran mereka. Abu Thalib berkata kepada Nabi saaw:
“Sesungguhnya Engkau adalah orang yang di berkati Tuhan”.

Setiap Nabi akan tidur Abu Thalib membentangkan selimutnya


dimana beliau saaw biasa tidur. Beberapa saat setelah beliau saaw
tertidur, dia membangunkan beliau saaw lagi dan kemudian
memerintahkan sebagian ank-anaknya untuk tidur ditempat Rasulullah
saaw tidur, sementara Rasulullah dibentangkan selimut ditempat lain agar
Nabi saaw tidur disana. Semua ini dilakukkan oleh Abu Thalib demi
keselamatan Nabi saaw.

Ya Allah, Engkaulah yang dituduh oleh sebagian umat Nabi-Mu ,


tidak mau memberi hidayah Islam kepada seseorang yang mencintai Nabi
saaw yang tiada melebihinya dan Nabi saaw mencintainya dengan
teramat sangat.

Ya Allah, sungguh prasangkaku baik kepada-Mu, tak mungkin


engkau tidak memberi iman kepadanya. Ya Allah Yang Maha Pemurah dan
Engkau terjauh dari perasangka buruk. Ya Allah, apakah mungkin umat
Nabi-Mu akan menerima Syafa’at dari padanya, sedang lidah-lidah mereka
tiada kering dari mengkafirkan paman kesayangannya. Ya Allah Engkau
adalah Tuhan Yang Maha Adil dan Engkau akan mengukum siapa saja yang
menyakiti Nabi-Mu dan keluarganya. Dalam salah satu sya’irnya Imam
Syafi’i berkata : Wahai Keluarga Rasulullah

Kecintaan kepadamu

Allah wajibkan atas kami

Dalam Al-Quran yang diturunkan

Cukuplah tanda kebesaranmu

Tidak sah shalat tanpa shalawat padamu

(maksudnya : Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa ali Muahammad)

Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) dalam sya’irnya:

Kecintaan Yahudi kepada keluarga Musa nyata

Dan bantuan mereka kepada keturunan saudaranya jelas

Pemimpin mereka dari keturunan Harun lebih utama

Kepadanya mereka mengikut dan bagi setiap kaum ada penuntun

Begitu juga Nasrani sangat memuliakan dengan penuh cinta

Kepada Al-Masih dengan menuju perbuatan kebajikan


Namun jika seorang muslim membantu keluaga Ahmad
(Muhammad)

Maka mereka bunuh dan mereka sebut kafir

Inilah penyakit yang sulit disembuhkan, yang telah menyesatkan


akal

Orang-oramg kota dan orang-orang desa, mereka tidak menjaga

Hak Muhammad dalam urusan keluarganya dan Allah Maha


Menyaksikan.

Dalam Sya’irnya Imam Zamakhsyari bertutur:

Beruntung anjing karena mencintai Ashabul kahfi

Mana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi saaw

Abu Hasyim Isma’il bin Muhammad Al-Humairi dalam salah satu sya’i
permohonan syafa’at pada nabi saaw:

Salam sejahtera kepada keluarga dan kerabat Rasul

Ketika burung-burung merpati beterbangan

Bukankah mereka itu kumpulan bintang gemerlapan dilangit

Petunjuk-petunjuk agung tak diragukan

Dengan mereka itulah aku disurga, aku bercengkrama


Mereka itu adalah lima tetanggaku, Salam sejahtera.

Kini tibalah saatnya untuk kami ketengahkan hadits-hadits tentang


Mukminnya Abu Thalib, namun akan kami kutip sebagian saja.

Dari Ibnu Adi yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik, ia berkata;
“Pada suatu saat Abu Thalib sakit dan Rasulullah menjenguknya, maka ia
berkata; “Wahai anak sudaraku, berdo’alah kamu kepada Allah agar ia
berkenan menyembuhkan sakitku ini”, dan Rasulullah pun berdo’a: Ya
Allah, ...sembuhkanlah paman hamba”, maka seketika itu juga dia berdiri
dan sembuh seakan dia lepas dari belenggu”. Apakah mungkin Rasulullah
berdoa untuk orang yang kafir padanya ?, apakah mungkin orang kafir
minta do’a kepada Rasulullah , apakah mungkin orang yang menyaksikan
mukjizat yang demikian lantas tidak mau beriman ?. Perkaranya kembali
pada logika orang yang waras.

“Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aqil bin Abu Thalib, diterangkan


bahwa orang-orang Quraisy berkata kepada Abu Thalib:

”Sesungguhnya anak saudramu ini telah menyakiti kami”,

maka Abu Thalib berkata kepada Nabi Muhammad saaw:

”Sesungguhnya mereka Bany pamanmu,menuduh bahwa kamu menyakiti


mereka”.

Beliau menjawab :

“ Jika seandainya kalian (wahai kaum Quraisy) meletakkan matahari


ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku untuk aku tinggalkan perkara
ini, sehingga Allah menampakkannya atau aku hancur karenanya niscaya
aku tidak akan meninggalkannya sama sekali”.

Kemudian kedua mata beliau mencucurkan air mata karena


menangis, maka berkatalah Abu Thalib kepada beliau saaw:

”Hai anak saudaraku, katakalah apa yang kamu suka, demi Allah aku
tidak akan pernah menyerahkanmu kepada mereka selamanya”.

Dia juga berkata kepada orang-orang Quraisy,

“Demi Allah, anak saudaraku tidak bohong sama sekali”.

Kami bertanya apakah kata-kata dan pembelaan demikian ini dapat


dilakukan oleh orang kafir, yang agamanya sendiri dicela habis-habisan
oleh Nabi saaw ? Kalau yang demikian ini dikatakan tidak beriman, lalu
yang bagaimana yang beriman itu ? apakah yang KTP ?

Dari Al-Khatib Al-Baghdadi dari Imam Ja’far Ash-Shadiq yang


sanadnya sampai pada Imam Ali, berkata aku mendengar Abu Thalib
berkata: Telah bersabda kepadaku, dan dia demi Allah adalah orang yang
paling jujur, Abu Thalib berkata selanjutnya: “Aku bertanya kepada
Muhammad, Hai Muhammad, dengan apa kamu diutus (Allah) ?” beliau
saaw menjawab : “Dengan silaturrahmi, mendirikan shalat, serta
mengeluarkan zakat”.

Al-Khatib Al-Baghdadi adalah seorang ulama besar dan beliau


menerima hadits yang diriwayatkan oleh Abi Thalib, jika Abu Thalib bukan
mukmin maka tentu haditsnya tidak akan diterima, demikian juga Imam
Ali dan Imam Ash-Shadiq dll. Penelaahan lebih jauh tentang hadis ini kita
akan menemukan bahwa beliau mukmin.
Dari Al-Khitab, yang bersambung sanadnya, pada Abi Rafik maula
ummu Hanik binti Abi Thalib bahwasannya ia mendengar Abu Thalib
berkata :”Telah berbicara kepadaku Muhammad anak saudaraku,
bahwanya Allah memerintahkannya agar menyambung tali silaturrahmi,
menyembah Allah serta tidak boleh menyembah seseorang selain-Nya”.
(tidak menyekutukan-Nya), kemudian Abu Thalib berkata: “Dan Aku Abu
Thalib berkata pula: “Aku mendengar anak saudaraku
berkata:”Bersyukurlah, tentu kau akan dilimpahi rizki dan janganlah kufur,
niscaya kau akan disiksa”. Apakah ada tanda-tanda beliau orang kafir
dalam hadits di atas?, wahai saudaraku anda dikaruniai kemauan berpikir
pergunakanlah, jangan seperti domba yang digiring oleh gembala. 14
Abad umat Muhammad telah ditipu oleh rekayasa Bany Umaiyah, kapan
mereka mampu mengakhirinya. Ketahuilah lebih 13 abad yang lampau
Bany Umaiyah telah ditelan perut bumi akibat kedengkiannya kepada
keluarga Nabi, namun fitrahnya tidak habis-habisnya.

Dari Ibnu Sa’ad Al-Khatib dan Ibnu Asakir dari Amru ibn Sa’id,
bahwasanya Abu Thalib berkata : “Suatu saat berada dalam perjalanan
bersama anak saudaraku (Muhammad), kemudian aku merasa haus dan
aku beritahukan kepadnya serta ketika itu aku tidka melihat sesuatu
bersamanya, Abu Thalib selanjutnya berkata, kemudian dia (Muhammad)
membengkokkan pangkal pahanya dan menginjakkan tumitnya diatas
bumi, maka tiba-tiba memancarlah air dan ia berkata kepadku:”Minumlah
wahai pamanku !”, maka aku kemudian minum”.

Ini adalah mukjizat Nabi saaw dan disaksikan oleh Abu Thalib, yang
meminum air mukjizat, adakah orang kafir dapat meminum air
Alkautsar ?. Berkata Al-Imam Al-Arifbillah Al-Alamah Assayyid Muhammad
ibn Rasul Al-Barzanji:”Jika Abu Thalib tidak bertauhid kepada Allah, maka
Allah tidak akan memberikannya rizki dengan air yang memancar untuk
Nabi saaw yang air tersebut lebih utama dengan air Al-Kautsar serta lebih
mulia dari air zamzam.
Dari Ibnu Sa’id yang diriwayatkan dari Abdillah Ibn Shaghir Al-Udzri
bahwasanya Abu Thalib ketika menjelang ajalnya dia memanggil Bany
Abdul Mutthalib seraya berkata:”Tidak pernah akan putus-putusnya kalian
dengan kebaikan yang kalian dengar dari Muhammad dan kalian
mengikuti perintahnya, maka dari itu ikutilah kalian, serta bantulah dia
tentu kalian akan mendapat petunjuk”. Jauh sekali anggapan mereka, dia
tahu bahwa sesungguhnya petunjuk itu di dalam mengikuti beliau saaw.
Dia menyuruh orang lain agar mengikutinya, apakah mungkin dia sendiri
menginggalkannya?. Sekali lagi hanya logika yang waras yang bisa
menentukannya dan ma’af bukan domba sang gembala.

Dari Al-Hafidz (si penghafal lebih dari 100.000 hadits) Ibn Hajar dari
Ali Ibn Abi Thalib a.s bahwasanya ketika Ali memeluk Islam, Abu Thalib
berkata kepadanya:”Teteplah kau bersama anak pamanmu !”. Pertanyaan
apa yang bisa ditanyakan terhadap seorang ayah yang menyuruh
anaknya memluk Islam, sedangkan dia sendirian dikatakn bukan Islam,
adakah hal itu masuk akal ?.

Dari Al-Hafidz Ibn Hajar yang riwayatnya sampai pada Imran bin
Husein, bahwasanya Abu Thalib : bershalatlah kamu bersama anak
pamanmu, maka dia Ja’far melaksanakan shalat bersama Nabi
Muahmmad saaw, seperti juga ia melksanakannya bersama Ali bin Abu
Thalib. Sekiranya Abu Thalib tak percaya akan agama Muhammad, tentu
dia tidak akan rela kedua putranya shalat bersama Nabi Muhammad saaw,
sebab permusuhan yang timbul karena seorang penyair berkata:”Tiap
permusuhan bisa diharapkan berakhirnya, kecuali permusuhan dengan
yang lain dalam masalah agama”.

Dari Al-Hafidz Abu Nu’aim yang meriwayatkan sampai kepada Ibnu


Abbas, bahwasannya ia berkata : “Abu Thalib adalah orang yang paling
mencintai Nabi saaw, dengan kecintaan yang amat sangat (Hubban
Syadidan) tidak pernah ia mencintai anak-anaknya melebihi kecintaannya
kepada Nabi saaw. Oleh karena itu dia tidak tidur kecuali bersamanya
(Rasulullah saaw).

Diriwayatkan dalam kitab Asna Al-Matalib fi najati Abu Thalib oleh


Assayid Al-Almah Al-Arifbillah, Ahmad bin Sayyid Zaini Dahlan Mufti
mazhab Syafi’i di Mekkah pada zamannya:”Sekarang orang-orang Quraisy
dapat menyakitiku dengan sesuatu yang takpernah terjadi selama Abu
Thalib hidup”. Tidaklah orang-orang Quraisy memperoleh sesuatu yang
aku tidak senangi (menyakitiku) hingga Abu Thalib wafat”. Dan setelah
beliau melihat orang-orang Quraisy berlomba-lomba untuk menyakitinya,
beliau bersabda:” Hai pamanku, alangkah cepatnya apayang aku peroleh
setelah engkau wafat”. Ketika Fatimah binti Asad (isteri Abi Thalib) wafat,
Nabi saaw menyembahyangkannya, turun sendiri ke liang lahat,
menyelimuti dengan baju beliau dan berbaring sejenak disamping
jenazahnya, beberapa sahabat bertanya keheranan, maka Nabi saaw
menjawab:” Tak seorangpun sesudah Abu Thalib yang kupatuhi selain dia
(Fatimah binti Asad).

Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah istri Nabi saaw, wafat dalam
tahun yang sama, oleh karena itu tahun tersebut oleh Nabi saaw disebut
Aamul Huzn dalam tahun dukacita. Jika Abu Thalib seorang kafir patutlah
kematiannya disedihkan. Dan apakah patut Nabi bercinta mesrah dengan
orang kafir, dengan berpandangan bahwa Abu Thalib kafir sama dengan
menuduh Allah, menyerahkan pemeliharaan Nabi saaw, pada seorang
kafir dan membiarkan berhubungan cinta-mencintai dan kasih-mengasihi
yang teramat sangat padahal dalam Al-Quran disebutkan:”Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka(QS;48,29). Dan diayat yang lain Allah berfirman: “Kamu tidak
akan mendpati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akherat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menetang Allah
dan Rasul-Nya. Sekalipun orang itu bapak-bapak, atu anak-anak saudara-
saudara atupun keluarga mereka”.(QS;58,29)

Seandainya kami tidak khawatir anda menjadi jemu, maka akan


kami sebutkan hadits yang lainnya, kini untuk memperkuat argumentasi
di atas akan kami ketengahkan disini sya’ir-sya’ir Abu Thalin:

Saya benar-benar tahu bahwa agama Muhammad adalah paling baiknya


agama di dunia ini.

Di sya’ir yang lain beliau berkata:

“Adakah kalian tidak tahu, bahwa kami telah mengikuti diri

Muahmmad sebagai Rasul seperti Musa yang telah dijelaskan pada kitab-
kitab”.

Simaklah sya’ir beliau ini, bahwa beliau juga beriman pad Nabi-Nabi yang
lain seperti Nabi Musa a.s, dan ketika Rahib Buhairah berkata padanya
beliau juga menimani akan kenabian Isa a.s , sungguh Abu Thalib adalah
orang ilmuan yang ahli kitab-kitab sebelumnya.

Dalam sya’ir yang lain:

“Dan sesungguhnya kasih sayang dari seluruh hamba datang kepadanya


(Muhammad). Dan tiada kebaikan dengan kasih sayang lebih dari apa
yang telah Allah SWT khususkan kepadanya”.

“Demi Tuhan rumah (Ka’bah) ini, tidak kami akan serahkan Ahmad
(Muhammad)kepada bencana dari terkaman masa dan malapetaka”.
“Mereka (kaum Quraisy) mencemarkan namanya untuk melemahkannya.
Maka pemilik Arsy (Allah) adalah dipuji (Mahmud) sedangkan dia terpuji
(Muhammad)”.

“Demi Allah, mereka tidak akan sampai kepadamu dengan kekuatannya.


Hingga Aku terbaring diatas tanah”. Maka sampaikanlah urusanmu secara
terang-terangan apa yang telah diperintahkan tanpa mengindahkan
mereka. Dan berilah kabar gembira sehingga menyenangkan dirimu. Dan
engkau mengajakku dan aku tahu bahwa engkau adalah jujur dan benar.
Engkau benar dan aku mempercayai. Aku tahu bahwa agama Muhammad
adalah paling baiknya agama di dunia ini”. Dan sebilah pedng meminta
siraman air hujan dengan wajahnya, terhadap pertolongan anak yatim
sebagai pencegahan dari muslim paceklik. Kehancuran jadi tersembunyi
dari bany Hasyim (marganya Nabi saaw), maka mereka disisinya
(Muhammad) tetap dalam bahgia dan keutamaan.

“Sepanjang umur aku telah tuangkan rasa cinta kepada Ahmad.

Dan aku menyayanginya dengan kasih sayang tak terputus.

Mereka sudah tahu bahwa anak yatim tidak berbohong.

Dan tidak pula berkata dengan ucapan yang bathil.

Maka siapakah sepertinya diantara manusia hai orang yang berfikir.

Jika dibanding pemimpinpun dia lebih unggul.

Lemah lembut, bijaksana, cerdik lagi tidak gagabah, suka santun serta
tiada pernah lalai.
Ahmad bagi kami merupakan pangkal, yang memendekkan derajat yang
berlebihan.

Dengan sabar aku mengurusnya, melindungi serta menepiskan darinya


semua gangguan”.

Kiranya cukup, apa yang kami ketengahkan dari sya’ir-sya’ir Abu


Thalib yang membktikan bahwa beliau adalah seorang mukmin dan telah
menolong dan membela Nabi saaw, maka beliau termasuk orang-orang
yang beruntung.

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,


menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al-Quran) mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS;
7;15)

Sesungguhnya Abu Thalib adalah orang yang telah


mempercayainya, memuliakannya serta menolongnya, sehingga ia
menentang orang-orang Quraisy. Dan ini telah disepakati oleh seluruh
sejarahawan. Sebauah hadits Nabi saaw menyebutkan :”Saya (Nabi saaw)
dan pengawal yatim, kedudukannya disisi Allah SWT bagaikan jari tengah
dengan jari telunjuk”. Siapakah sebaik-baik yatim? Dan siapakah sebaik-
baik pengasuh yatim itu?, Bukankah Abu Thalib mengasuh Nabi saaw dari
usia 8 tahun sampai 51 tahun.

Dalam Tarikh Ya’qubi jilid II hal. 28 disebutkan :

“Ketika Rasul saaw diberi tahu tentang wafatnya Abu Thalib, beliau
tampak sangat sedih, beliau datang menghampiri jenazah Abu Thalib dan
mengusap-usap pipi kanannya 4 kali dan pipi kiri 3 kali. Kemudian
beliauberucap :”Paman, engkau memlihara diriku sejak kecil,
mengasuhkusebagai anak yatim dan membelaku disaat aku sudah besar.
Karena aku, Allah SWT melimpahkan kebajikan bagimu”. Beliau lalu
berjalan perlahan-lahan lalu berkata : ”Berkat silaturrahmimu Allah SWT
melimpahkan kebajikan bagimu paman”.

Dalam buku Siratun Nabi saaw yang ditulis oleh Ibnu Hisyam, jilid I
hal.252-253 disebutkan: Abu Thalibmeninggal dunia tanpa ada kafir
Quraisy disekitarnya dan mengusapkan dua kalimat syahadat yang
didengar oleh Abbas bin Abdul Mutthalib. Demikian pula dalam buku Abu
Thalib mukmin Quraisy oleh Syeckh Abdullah al-Khanaizy diterangkan :
bahwa Abu Thalib mengusapkan kalimat Syahadat diriwayatkan oleh Abu
Bakar, yang dikutib oleh pengarang tersebut dari buku Sarah Nahjul
balaghah III hal.312, Syekh Abthah hal.71nAl-Ghadir VII hal.370 & 401, Al-
A’Yan XXXIX hal.136.

Abu Dzar Al-Ghifari seorang sahabat Nabi saaw yang sangat dicintai
Nabi saaw bersumpah menyatakan, bahwa wafatnya Abu Thalib sebagai
seorang mukmin (Al-Ghadir Vii hal.397).

Diriwayatkan dari Imam Ali Ar-Ridha dari ayahnya Imam Musa Al-
Kadzim, riwaya ini bersambung sampai pada Imam Ali bin Abi Thalib dan
beliau mendengar dari Nabi saaw, bahwa : “Bila tak percaya akan
Imannya Abu Thalib maka tempatnya di neraka”. (An-Nahjul III hal.311, Al-
Hujjah hal.16, Al-Ghadir VII hal.381 & 396, Mu’janul Qubur hal.189, Al-
A’Yan XXXIX hal.136, As-Shawa’iq dll). Abbas berkata ;” Imannya Abu
Thalib seperti imannya Ashabul Kahfi”.

Boleh jadi sebagian para sahabat tidak mengetahui secara terang-


terangan akan keimana Abu Thalib. Penyembunyian Iman Abu Thalib
sebagai pemuka Bany Hasyim terhadap kafir Quraisy merupakan strategi,
siasat dan taktik untuk menjaga dan membela Islam pada awal
kebangkitannya yang masih sangat rawan itu sangat membantu tegaknya
agama Allah SWT.
Penyembunyian Iman itu banyak dilakukan ummat sebelum Islam
sebagaimana banyak kita jumpai dalam Al-Qur’an, seperti Ashabul Kahfi
(pemuda penghuni gua), Asiah istri Fir’aun yang beriman pada Nabi Musa
a.s dan melindungi, memlihara dan membela Nabi Musa a.s, juga seorang
laki-laki dalam kaumnya Fir’aun yang beriman dan membela pada Nabi
Musa, Lihat Al-Quran; 40:28 berbunyi :”Dan seorang laki-laki yang
beriman diantara pengikut-pengikut (kaum) Fir’aun yang
menyembunyikan imannya berkata:’Apakah kamu akan membunuh
seorang laki-laki (Musa) karena dia menyatakan: “Tuhanku adalah Allah
padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-
keterangan dari Tuhanmu. Dan jika dia seorang pendusta maka dialah
yang menanggung (dosa) dosanya itu, dan jika dia seorang yang benar
niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan
menimpamu. Sesungguhnya Allah SWT, tidak menunjuki orang-orang
yang melampaui batas lagi pendusta”.

Jadi menyembunyikan iman terhadap musuh-musuh Allah tidaklah


dilarang dalam Islam. Ada suatu riwayat dizaman Rasulullah saaw,
demikian ketika orang-orang kafir berhasil menangkap Bilal, Khabab,
Salim. Shuhaib dan Ammar bin Yasar serta ibu bapaknya, mereka digilir
disiksa dan dibunuh sampai giliran Ammar,melihat keadaan yang
demikian Ammar berjihad untuk menuruti kemauan mereka dengan lisan
dan dalam keadaan terpaksa. Lalu dibritahukan kepada Nabi saaw bahwa
Ammar telah menjadi kafir, namun baginda Nabi saaw menjawab:” Sekali
lagi tidak, Ammar dipenuhi oleh iman dari ujung rambutnya sampai
keujung kaki, imannya telah menyatu dengan darah dagingnya”.
Kemudian Ammar datang menghadap Rasulullah saaw sambil menangis,
lalu Rsulullah saaw mengusap kedua matanya seraya berkata:”Jika
mereka mengulangi perbuatannya, mak ulangi pula apa yang telah
engkau ucapkan”. Kemudian turunlah ayat (QS; 16;106) sebagai
pembenaran tindakan Ammar oleh Allah SWT berfirman:”Barang siapa
yang kafir kepada Allah SWT sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (tidak berdosa), akan tetapi orang-orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah SWT
menimpahnya dan baginya azab yang besar”.

Imam Muhammad bin Husein Mushalla AlHanafi (yang bermazhab


Hanafi) ia menyebut dalam komentar terhadap kitab Syihabul Akhbar
karya Muhammad ibn Salamah bahwa: “Barangsiapa yang mencela Abu
Thalib hukumnya adalah kafir”. Sebagian ulama dari Mazhab Maliki
berpandangan yang sama seperti Ali Al-Ajhuri danAt-Tulsamany, mereka
ini berkata orang yang mencela Abu Thalib (mengkafirkan) sama dengan
mencela Nabi saaw dan akan menyakiti beliau, maka jika demikian ia
telah kafir, sedang orang kafir itu halal dibunuh. Begitu pula ulama besar
Abu Thahir yang berpendapat bahwa barangsiapa yang mencela Abu
Thalib hukumannya adalah kafir.

Kesimpulannya, bahwa siapapun yang coba-coba menyakiti


Rasulullah saaw adalah kafir dan harus diperangi (dibunuh), jika tidak
bertaubat. Sedang menurut mazhab Maliki harus dibunuh walau telah
taubat. Imam Al-Barzanji dalam pembelaan terhadap Abu Thalib, bahwa
sebagian besar dari para ulama, para sufiah dan para aulia’ yang telah
mencapai tingkat ”Kasyaf”, seperti Al-Qurthubi, As-Subki, Asy-Sya’rani dll.
Mereka sepakat bahwa Abu Thalib selamat dari siksa abadi, kata
mereka :” Ini adalah keyakinan kami dan akan
mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT kelak”.

Akhirnya mungkin masih ada kalangan yang tanya, bukankah


sebagian besar orang masih menganggap Abu Thalib kafir,
jawabnya :”Banyaknya yang beranggapan bukan jaminan suatu
kebenaran”.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah SWT. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah SWT) (QS;6:115).

Semoga kita dijadikan sebagian golongan yang mencintai dan


mengasihi sepenuh jiwa ruh dan jasad kepada Nabi Muhammad saaw dan
Ahlul Baitnya yang telah disucikan dari segala noda dan nista serta para
sahabatnya yang berjihad bersamanya yang setia mengikutinya sampai
akhir hanyatnya.

Sesungguhnya taufiq dan hidayah hanyalah dari Allah SWT, kepada-


Nya kami berserah diri dan kepada-Nya kami akan kembali.

Abul A’la Maududi

Sayyid Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan


Islam pada dasawarsa-dasawarsa pertengahan abad 20. Interpretasi
Islamnya menjadi fondasi pemikiran kebangkitan Islam kontemporer.
Ditunjang oleh kemampuannya dalam menulis, pemikiranya berpengaruh
besar pada pemikir Muslim kontemporer, sejak dari Mindanao sampai
Maroko. Sejak dari Sayyid Quthb di Mesir, sampai aktivis kebangkitan
Islam di Aljazair, Iran, Malaysia atau Sudan, berkembang di seputar
mukadimah Maududi. Pengaruhnya yang paling kuat terasa di Asia
Selatan.

Pemikiran politiknya di Asia Selatan mendapatkan bentuknya yang


nyata melalui organisasi Jama’ati Islami (Partai Islam), yang selama lebih
lima puluh tahun terakhir, berperan dalam sejarah dan politk Pakistan,
India, Bangladesh, Sri Lanka, dan komunitas Teluk Persia Asia Selatan, dan
juga mereka yang mungkin di Barat. Luasnya pengaruh pemikiran dan
dampak politik membuat studi atas biografinya, asal-usul biografinya,
asal-susul perspektif ideologinya, visi revolusi Islam dan negara Islamnya,
serta perwujudannya dalam politik Jama’at, menjadi penting dalam,
memahami politisasi pemikiran Islam belakangan ini.

Maududi lahir di Aurangabad India Selatan, pada 25 September


1903 (3 Rajab 1321). Dia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh
Muslim India Utara) dari Delhi, yang bermukim di Deccan. Keluarga ini
keturunan wali sufi besar tarekat Chishti yang membantu menanamkan
benih Islam di bumi India. Keluarga Maududi pernah mengabdi Moghul,
dan khususnya dekat dengan istana selama pemerintahan Bahadur Syah
Zafar, penguasa terakhir dinasti itu. Keluarga Maududi kehilangan
statusnya, setelah Pemberontakan Besar dan jatuhnya dinasti Moghul
pada 1858. Warisan pengabdian mereka kepada penguasa Muslim
menyebabkan mereka dapat terus merasa dekat dengan kejayaan sejarah
Muslim di India; karena itu mereka tidak akur dengan pemerintahan
Inggeris. Keluarga Maududi akhirnya meninggalkan Delhi dan menetap di
Deccan. Di sana, mereka mengabdi pada generasi demi generasi Nizam
Hyderabad.

Pada usia sebelas tahun, Maududi masuk sekolah di Aurangabad.


Di sini dia mendapat pelajaran modern, khususnya sains, untuk pertama
kalinya. Maududi terpaksa meninggalkan pendidikan formalnya lima
tahun kemudian, pada usia enam belas tahun, setelah ayahnya sakit
keras dan meninggal. Kemudian Maududi berupaya untuk memenuhi
minat intelektualnya sendiri. Dia tidak tertarik kepada soal-soal agama.
Dia hanya suka soal politik. Pada waktu itu, semangatnya adalah
nasionalisme India. Misal, antara 1918 dan 1919, dia menulis beberapa
esai yang memuji pemimpin Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi
dan Madan Muhan Malaviya. Pada 1918, dia ke Bijnur untuk bergabung
dengan saudaranya, Abu Khair, di mana dia memulai karier di bidang
jurnalistik.
Tak lama kemudian, kedua bersaudara ini pindah ke Delhi. Di
Delhi, Maududi berhubungan dengan arus intelektual dalam komunitas
Muslim. Dia tahu soal pandangan modernis, dan ikut dalam gerakan
kemerdekaan. Pada 1919 dia ke Jubalpur untuk bekerja pada mingguan
pro-Kongres yang bernama Taj. Di sini dia jadi sepenuhnya aktif dalam
gerakan khilafah, dan aktif juga dalam memobilisasi kaum Muslim untuk
mendukung Partai Kongres. Tulisannya membela tujuannya.
Mengakibatkan mingguan ini ditutup.

Runtuhnya Gerakan Khilafah Islam pada 1924 di Turki, kehidupan


Maududi mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap
nasionalisme yang kini diyakininya menyesatkan orang Turki dan Mesir,
menyebabkan mereka merongrong kesatuan Muslim denbgan cara
menolak imperium ‘Utsmaniah dan kekhalifahan Muslim. Dia juga tak lagi
percaya kepada nasionalisme India. Dia percaya bahwa Partai Kongres
hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen
nasionalis. Pendekatannya jadi sangat komunalis. Dia ungkapan
ketidaksukaannya kepada gerakan nasionalis dan sekutu Muslimnya. Pada
saat inilah dia merasa pandangannya bertentangan dengan ulama Jami’at
yang mendukung upaya Kongres mengakhiri pemerintahan Inggris.
Maududi meninggalkan Jami’at, berpisah jalan dengan para penasehat
Deobandinya.

Kemudian pada 26 Agustus 1941 di Lahore, partai Jama’at-I Islami


didirikan Partai ini merupakan perwujudan dari visi ideologi Abu A’ala Al-
Maududi. Maududi terlibat dalam politik Islam sejak 1938, dengan tujuan
melindungi kepentingan Muslim. Dia menentang tindakan
mengakomodasi partai Konggres. Dia percaya bahwa pretensi sekular
Partai Kongres mengaburkan janjinya untuk mendirikan pemerintahan
Hindu, yang berarti akhir Islam di India. Maududi memimpin Jama’at Islami
hingga tahun 1971, ia meninggal pada 22 September 1979 di Buffalo,
New York, Amerika Serikat. Dia dimakamkan di rumahnya, di Ichhrah,
Lahore.

Perkembangan kebangkitan Islam dalam karya Maududi dan politk


Jama’at, memberikan wawasan penting mengenai asal-usul dan kerja
ideologi Islam dan keseluruhan strategi. Kendati pandangan Maududi dan
agenda Jama’at cukup berbeda dengan manifestasi lain kebangkitan
Islam, sehingga memberikan model yang berbeda dengan model yang
dianjurkan di Iran atau di Mesir, namun membentangkan sifat kebangkitan
Islam. Karena kelompok Islam sejak dari Aljazair sampai Malaysia, memilih
ikut pemilu ketimbang revolusi, jejak Jama’at barangkali lebih banyak
diikuti di dunia Muslim.

Ali Syariati

Salah seorang tokoh yang membantu perjuangan Imam Khomeini


dalam menjatuhkan rezim Syah Iran yang lalim, untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan menurut ajaran Islam adalah Syariati. Doktor
sastra lulusan Universitas Sorbonne Perancis ini berjuang tak kenal lelah
dan takut. Selama hidupnya ia mengabdikan dirinya untuk
membangunkan masyarakat Islam Iran dari belenggu kezaliman. Pikiran-
pikiran dalam ceramahnya telah membuat para pemuda dan mahasiswa
Iran tergugah semangat untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Syariati, anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24


November 1933. Bertepatan dengan periode ketika ayahnya
menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah
sekolah dasar, Syerafat. ‘Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam
keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama. Islam
Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain,
Syariati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miser?able karya
Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak
tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-
buku filsafat, sastra, syair , ilmu sosial dan studi keagamaan di
perpustakaan ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah
yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.

Pada 1955, Syariati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad


yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi
persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru full-time,
Syariati paling tinggi rangkingnya di kelas. Bakat, pengetahuan dan
kesukaannya kepada sastra menjadikannya popular di kalangan
mahasiswa.

Di universitas, Syari’ati bertemu Puran-e Syari’at Razavi, yang


kemudian menjadi istrinya. Karena prestasi akademisnya di Universitas
ini, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri. Pada
April 1959, Syariati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru
lahir, bernama Ehsan bergabung dengannya setahun kemudian.

Selama di Paris, Syariati berkenakan dengan karya-karya dan


gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi
pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-
kuliah para akademisi, filosof, penyair, militan, dan membaca karya-karya
mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati
karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka Syari’ati
mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada
mereka. Di sinilah Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual
barat antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon,
Jacques Berque dan lain-lain.
Namun pribadi Syariati yang penuh dengan semangat perjuangan
menegakkan kebenaran dan keadilan, walaupun tidak berada di Iran, ia
tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu
Syariati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya.

Setelah meraih gelas doktornya pada 1963, setahun kemudian


Syariati dan keluarganya kembali ke Masyhad, Iran. Di sini ia mengajar di
sekolah menengah atas. Pada 1965, dia bekerja di Pusat Penelitian
Kementerian Pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967 Ali Syariati
mulai mengajar di universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya Ali Syariati
dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif
tenang dan teduh, segera saja semarak. Kelas Syariati tak lama kemudian
menjadi kelas favorit. Gaya orator Syariati yang memukau memikat
audiens, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk
berpikir.

Sejak Juni 1971, Syariati meninggalkan jabatan mengajarnya di


Universitas Masyhad, lalu dikirim ke Teheran. Ia bekerja keras untuk
menjadikan Hosseiniyeh Ershad menjadi sebuah ‘Universitas Islam’ radikal
yang modernis. Berbagai peristiwa politik di Iran pada 1971 memainkan
peranan penting dalam membentuk dan mengarahkan orientasi serta
aktivitas Hosseiniyeh Ersyad yang semakin militan dan akibatnya semakin
terkenal di kalangan kaum muda. Namun pada tanggal 19 November
1972 Hosseiniyeh Ersyad ditutup dan Syariati di penjara karena berbagai
aktivitas politiknya, yang mengecam rezim Syah.

Pada 16 Mei 1977, Syariati meninggalkan Iran. Ia mengganti


namanya menjadi ‘Ali Syariati. Tentara Syah, SAVAK akhirnya mengetahui
kepergian Ali Syariati mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di
London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syariati terbujur di lantai
tempat ia menginap.
Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh
memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa
yang dianggapnya benar. Ali Syariati telah mengkuti jejak sahabat Nabi
dan Imam Ali yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya,
Abu Dzar Al-Ghifari.

Ayatullah Sayyid Al-Khui

Hari itu, sabtu, 8 Agustus 1992 di Kufa Irak, umat Islam di dunia
kehilangan salah tokoh mujtahid terkemuka. Sinar matahari tertutup awan
kedukaan, umat Islam kehilangan tokoh yang merupakan salah satu
marja’i taqlid di kalangan Syi’ah yang banyak pengikutnya. Mujtahid itu
adalah Ayatullah Uzma Seyyed Abul Qasijm Al-Khui, seorang ulama yang
berpengaruh dan luas ilmunya. Ia meninggal karena gagal jantung.

Ayatullah al-Khui lahir pada 15 Rajab 1317 H bertepatan dengan 19


November 1899 di Azerbaijan, Iran. Ketika ia berumur 13 tahun, al-Khui
kecil pindah ke Najaf al-Ashraf, Irak untuk belajar ilmu pengetahuan. Al-
Khui belajar di Hauzah yang didirikan oleh Muhammad ibn al-Hasan al-
Tusi, seorang filosof besar pada abad sepuluh. Di Hauzah ini al-Khui
belajar kepada Syaikh Fath Allah yang dikenal dengan Syaikh al-Shareea
al-Isfahani, Syaikh Mahdi al-Mazandarani, Syaikh Diyaud –Deen al-Iraqi,
Syaikh Muhammad Hussain al-Naeeni, Syaikh Muhamamd Jawad al-
Balaghi dan lain-lain. Dari mereka lah al-Khui belajar berbagai ilmu fiqh,
ushul, hadist, rijal, tafsir dan ilmu kalam.

Salah seorang murid al-Khui, Syaikh Muhammad Jawad Mughniyah


menggambarkan kecerdasan dan ketekunan gurunya bagai matahari yang
menyinari segenap penjuru. Al-Khui adalah profesor saya dan juga
profesor dari para sarjana di al-Najaf al-Ashraf. Buku-buku yang ditulis
oleh al-Khui sekitar sembilan puluh buku. Yang membahas topik-topik
mengenai hukum Islam, biografi orang religius, filsafat dan pendapatnya
tentang al-Qur’an. Karya-karya banyak menjadi rujukan orang-orang
Syi’ah dari berbagai negara.

Peranan al-Khui yang penting ialah ketika ia memimpin Sekolah


Teologi Najaf (al-hawzah al-ilmiyya) menggantikan Ayatullah al-Uzma
Muhsin al-Tabatabai al-Hakim pada tahun 1970, ia menjadikan Hauzah
tersebut terbuka terhadap berbagai ilmu pengetahuan. Sejak awal
berdirinya Hauzah telah mencapai lebih dari 10000 mahasiswa, yang
belajar beragai disiplin ilmu seperti filsafat, teologi, dan hukum Islam.

Al-Khui mendapat gelar ayatullah pada usia 30 tahun. Banyak


sudah sarjana-sarjana Islam yang telah belajar kepadanya antara lain
Ayatullah Sayyid Muhammad Baqir al-Sadr, Syaikh Muhammad Mahdi
Shamsud Deen, Ayatullah Sayyid Taqi al-Qummi, Syaikh Muhammad Taqi
al-Ja’fari, Ayatullah Sayyid Behesti, Ayatullah Sayyid Ali al-Sistani, Hujjatul
Islam Sayyid Muhammad Hussein Fadlallah dan lain-lain. Banyak dari
murid-muridnya yang kemudian menjadi mujtahid dan tokoh Islam
terkemuka.

Sebagai tokoh muslim dunia ia mengorganisasikan pengikutnya


dengan baik, dengan cara membuat perwakilan di berbagai negara.
Perhatian al-Khui kepada kaum muslimin amat tinggi. Misalnya pada
waktu perjuangan Afghanistan melawan Rusia, al-Khui membantu korban-
korban perang Afghanistan. Berbagai korban bencana alam di wilayah
Bangladesh, India, Kashmir dan Iran tidak luput dari perhatiannya.

Sejak dia memimpin Hauzah di Najaf, al-Khui kemudian juga


mendirikan berbagai Hauzah dan institute di berbagai belahan dunia yang
di bawah organisasinya. Seperti Educational Charitable Complex di
Bombay India, Madeenat al-‘Ilm di Qum Iran, Al-Khoe’s Mabarrah di Beirut
Lebanon, Ayatullah al-Khoe’s School and Library of Mashad di Iran, Dar
al-‘Ilm School di Najaf Irak, kantor—kantor perwakilan di Malaysia, India,
Pakistan dan lain-lain.

Ayatullah al-Khui adalah pribadi agung. Walaupun ia merupakan


pemimpin Islam dunia. Namun kesederhanaan adalah jalan hidupnya. Ia
tidak pernah membeli baju untuk dirinya sendiri, kecuali jika baju itu telah
rusak. Ia peduli dan sayang pada anggota keluarganya, ia tidak pernah
marah dan selalu tersenyum kepada keluarganya. Ia selalu bangun
sebelum pagi hari untuk shalat tahajud. Bersama keluarganya ia makan
pagi, dengan sepotong roti. Ia banyak membantu pekerjaan rumah.
Menjelang malam ia membaca atau mendengarkan berita untuk
mengetahui perkembangan dunia Islam.

Itulah Ayatullah al-Khui yang pada akhir kehidupannya ia sempat


dipenjarakan sebelum akhirnya dikenakan tahanan rumah oleh
Pemerintahan Irak Saddam Hussein karena menolak bekerjasama
dengannya. Sungguh dunia Islam telah kehilangan seorang besar yang
luas ilmu pengetahuan dan pengaruhnya.

Hamzah bin Abdul Muthalib ra

Thabarani telah mengeluarkan dari Al-Harits At-Taimi dia berkata:


Adalah Hamzah bin Abdul Muthalib r.a. pada hari pertempuran di Badar
membuat tanda dengan bulu burung Na'amah (Bangau). Sesudah selesai
peperangan, maka seorang dari kaum Musyrikin bertanya: Siapa orang
yang bertanda dengan bulu burung Na'amah itu? Maka orang berkata:
Dialah Hamzah bin Abdul Mutthalib. Sambut orang itu lagi: Dialah orang
yang banyak memalu kita di dalam peperangan itu. (Majma'uz Zawa'id
6:81)

Bazzar mengeluarkan dari Abdul Rahman bin Auf , dia berkata:


Bertanya Umaiyah bin Khalaf kepadanya: Hai Abdullah! Siapa orang yang
memakai bulu burung Na'amah di dadanya pada perang Badar itu?
jawabku: Dia itu paman Muhammad, dialah Hamzah bin Abdul Mutthalib
ra. Berkata lagi Umaiyah bin Khalaf: Dialah orang yang banyak memalu
kita dengan senjatanya sehingga dia dapat membunuh ramai di antara
kita. (Majma'uz Zawa'id 6:81)

Hakim telah mengeluarkan dari Sabir bin Abdullah , dia berkata:


Rasulullah SAWW mencari-cari Hamzah pada hari Ubud setelah selesai
peperangan, dan setelah semua orang berkumpul di sisinya: Di mana
Hamzah? Maka salah seorang di situ menjawab: Tadi, saya lihat dia
berperang di bawah pohon di sana, dia terus menerus mengatakan: Aku
singa Allah, dan singa RasulNya! Ya Allah, ya Tuhanku! Aku mencuci
tanganku dari apa yang dibawa oleh mereka itu, yakni Abu Sufyan bin
Harb dan tentera Quraisy. Dan aku memohon uzur kepadamu dari apa
yang dibuat oleh mereka itu dan kekalahan mereka, yakni tentera Islam
yang melarikan diri! Lalu Rasulullah SAWW pun menuju ke tempat itu, dan
didapati Hamzah telah syahid. Bila Beliau melihat dahinya, Beliau
menangis, dan bila melihat mayatnya dicincang-cincang, Beliau menarik
nafas panjang. Kemudian Beliau berkata: Tidak ada kain kafan buatnya?!
Maka segeralah seorang dari kaum Anshar membawakan kain kafan
untuknya. Berkata Jabir seterusnya, bahwa Rasulullah SAWW telah
berkata: Hamzah adalah penghulu semua orang syahid nanti di sisi Allah
pada hari kiamat. (Hakim 3:199)
Ibnu Ishak telah mengeluarkan dari Ja'far bin Amru bin Umaiyah
Adh-Dhamri, dia berkata: Aku keluar bersama Abdullah bin Adiy bin Al-
Khiyar pada zaman Mu'awiyah ... dan disebutkan ceritanya hingga kami
duduk bersama Wahsyi (pembunuh Hamzah ra.), maka kami berkata
kepadanya: Kami datang ini untuk mendengar sendiri darimu, bagaimana
engkau membunuh Hamzah ra. Wahsyi bercerita: Aku akan memberitahu
kamu berdua, sebagai mana aku sudah memberitahu dahulu kepada
Rasulullah SAWW ketika Beliau bertanya ceritanya dariku.

Pada mulanya, aku ini adalah hamba kepada Jubair bin Muth'im, dan
pamannya yang bernama Thu'aimah bin Adiy telah mati terbunuh di
perang Badar. Apabila kaum Quraisy keluar untuk berperang di Uhud,
Jubair berkata kepadaku: Jika engkau dapat membunuh Hamzah, paman
Muhammad untuk menuntut balas kematian pamanku di Badar, engkau
akan aku merdekakan. Bila tentera Quraisy keluar ke medan Uhud, aku
turut keluar bersama mereka. Aku seorang Habsyi yang memang mahir
untuk melempar pisau bengkok, dan sebagaimana biasanya orang Habsyi,
jarang-jarang tidak mengenai sasaran apabila melempar. Apabila kedua
belah pihak bertempur di medan Uhud itu, aku keluar mencari-cari
Hamzah untuk kujadikan sasaranku, sehingga aku melihatnya di antara
orang yang bertarung, seolah-olahnya dia unta yang mengamuk, terus
memukul dengan pedangnya segala apa yang datang menyerangnya,
tiada seorang pun yang dapat melawannya. Aku pun bersiap untuk
menjadikannya sasaranku. Aku lalu bersembunyi di balik batu berdekatan
dengan pohon yang dia sedang bertarung, sehingga apabila dia datang
berdekatan denganku, mudahlahlah aku melemparkan pisau racunku itu.

Tatkala dia dalam keadaan begitu, tiba-tiba datang menyerangnya


Sibak bin Abdul Uzza. Apabila Hamzah melihat Sibak datang kepadanya,
dia berteriak: Mari ke sini, siapa yang hendak mencari maut! Dipukulnya
dengan sekali pukulan kepalanya terus berguling di tanah. Maka pada
ketika itulah, aku terus mengacung-acungkan pisau bengkokku itu, dan
apabila aku rasa sudah tepat sasaranku, aku pun melemparnya kepada
Hamzah mengenai bawah perutnya terus rnenembusi bawah
selangkangnya. Dia mencoba hendak menerkamku, tetapi dia sudah tidak
berdaya lagi, aku lalu meninggalkannya di situ sehinggalah dia mati.
Kemudian aku kembali lagi untuk mengambil pisau bengkokku itu, dan
aku membawanya ke perkemahan kami. Aku duduk di situ menunggu, dan
aku tidak punya hajat yang lain, selain dari hendak membunuh Hamzah
agar aku dapat dimerdekakan oleh tuanku.

Apabila kami kembali ke Makkah, seperti yang dijanjikan oleh


tuanku, aku dimerdekakan. Aku terus tinggal di Makkah. Dan apabila kota
Makkah ditakluki oleh Rasulullah SAWW aku pun melarikan diri ke Tha'if
dan menetap di sana. Apabila rombongan orang-orang Tha'if bersiap-siap
hendak menemui Rasulullah SAWW untuk memeluk Islam, aku merasa
serba salah tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Aku berfikir, apakah
aku harus melarikan diri ke Syam, atau ke Yaman, ataupun ke negeri-
negeri lainnya, sampai kapan aku akan menjadi orang buruan?! Demi
Allah, aku merasakan diriku susah sekali. Tiba-tiba ada orang yang datang
kepadaku memberi nasihat: Apa yang engkau susahkan? Muhammad
tidak membunuh orang yang masuk ke dalam agamanya, dan
menyaksikan syahadat kebenaran! Aku tidak ada jalan melainkan
menerima nasihat itu. Aku pun menuju ke Madinah untuk menemui
Rasulullah SAWW Memang tiada disangka-sangkanya melainkan dengan
tiba-tiba Beliau melihatku berdiri di hadapannya menyaksikan syahadat
kebenaran itu. Beliau lalu menoleh kepadaku seraya berkata: Apakah
engkau ini Wahsyi? Jawabku: Saya, wahai Rasulullah! Beliau berkata lagi:
Duduklah! Ceritakanlah bagaimana engkau rnembunuh Hamzah?! Aku lalu
menceritakan kepadanya seperti aku menceritakan sekarang kepada
kamu berdua.
Apabila selesai bercerita, Beliau berkata kepadaku: Awas! Jangan
lagi engkau datang menunjukkan wajahmu kepadaku! Kerana itu aku
terus-menerus menjauhkan diri dari Rasulullah SAWW supaya Beliau tidak
melihat wajahku lagi, sehinggalah Beliau wafat meninggalkan dunia ini.
Kemudian apabila kaum Muslimin keluar untuk berperang dengan
Musailimah Al-Kazzab, pemimpin kaum murtad di Yamamah, aku turut
keluar untuk berperang dengannya. Aku bawa pisau bengkok yang
membunuh Hamzah itu. Ketika orang sedang gawat bertempur, aku
mencuri-curi masuk dan aku lihat Musailimah sedang berdiri dan di
tangannya pedang yang terhunus, maka aku pun membuat persiapan
untuk melemparnya dan di sebelahku ada seorang dari kaum Anshar yang
sama tujuan denganku. Aku terus mengacung-acungkan pisau itu ke
arahnya, dan apabila aku rasa sudah boleh mengenai sasarannya, aku
pun melemparkannya, dan mengenainya, lalu orang Anshar itu
menghabiskan hidupnya dengan pedangnya. Aku sendiri tidak
memastikan siapa yang membunuh Musailimah itu, apakah pisau
bengkokku itu, ataupun pedang orang Anshar tadi, hanya Tuhan sajalah
yang lebih mengetahui. Jika aku yang membunuhnya, maka aku telah
membunuh orang yang terbaik pada masa hayat Rasulullah SAWW dan
aku juga sudah membunuh orang yang paling jahat sesudah hayat Beliau.
(Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:18)

Bukhari telah mengeluarkan dari Ja'far bin Amru sebagaimana cerita


yang sebelumnya, cuma apabila orang ramai berbaris untuk berperang,
lalu keluarlah Sibak seraya menjerit: Siapa yang akan melawanku?
Hamzah pun keluar untuk melawannya, lalu Hamzah berkata kepadanya:
Hai Sibak! Hai putera Ummi Anmar, tukang sunnat orang perempuan!
Apakah engkau hendak melawan Allah dan RasulNya? Hamzah lalu
menghantamnya dengan suatu pukulan yang keras menghabiskannya.

Ayatullah Uzma Muhammad Taqi Bahjat


AYATULLAH UZMA MUHAMMAD TAQI BAHJAT Umat Islam di dunia
khususnya mazhab Ahlul Bait dalam mengamalkan hukum Islam harus
merujuk pada seorang Mujtahid. Para mujtahid ini dikenal sebagai marja.
Salah seorang marja yang berpengaruh itu adalah Ayatullah Uzma
Muhammad Taqi Bahjat. Ayatullah Bahjat lahir pada 1915 M (1334 H) di
Fuman Iran. Ayahnya, Karba'i Muhammad Bahjat adalah seorang pribadi
yang jujur dan dipercaya di daerah itu. Hal ini memberikan pengaruh yang
besar bagi perkembangan Ayatullah Bahjat kemudian.

Ayatulah Bahjat menyelesaikan sekolah dasarnya di tempat


kelahirannya, Fuman Iran. Di sini pula ia mendapatkan pendidikan dasar
agama hingga tahun 1922, kemudian Ayatullah Bahjat melanjutkan ke
kota suci Qum setelah menyelesaikan pelajaran bahasa Arab di Fuman.
Ayatullah Bahjat hanya tinggal sebentar di Qum, kemudian ia pindah ke
kota suci Karbala di Irak dan menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan
Sayyid Abul Qasim al-Khu'i. Pada 1933, Ayatulllah Bahjad pergi ke Najaf
untuk menyelesaikan pelajarannya, Ayatullah Bahjat mengikuti kuliah-
kuliah Akhund Khurasani. Sesudah menyelesaikan kuliah Ayatullah Dia' al-
Iraqi dan Ayatullah Mirza Na'ini,

Ayatullah Bahjat kemudian belajar pada Ayatullah Hajj Syaikh


Muhammad Husayn al-Gharawi. Dari kuliah-kuliah di Najaf ini, Ayatullah
Bahjat mendapatkan manfaat yang besar dari kuliah Ayatullah Uzma Hajj
Sayyid Abul Hasan al-Isfahani dan Hajj Syaikh Muhammad Kazim Shirazi.
Selain mempelajari ilmu fiqh dan ushul fiqh Ayatullah Bahjat mempelajari
juga buku "al-Isharat" karya Ibnu Sina dan "al-Asfar al-Arba'a karya Mulla
Shadra Shirazi dibawah bimbingan Sayyid Husain al-Baadkoube'i. Pada
1944, Ayatullah Bahjat kembali ke Iran dan menjadi murid Ayatullah Uzma
al-Kouhkamar'i, disamping mengikuti kuliah fiqh dan ushul fiqh pada
AyatullahBoroujerdi. Kini di usia yang telah mencapai lebih dari 80 tahun,
beliau telah memberikan kuliah fiqh dan ushul fiqh selama 50 tahun lebih
di rumahnya untuk menghindari publisitas. Karya-karyanya berupa buku
dan artikel telah banyak ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.

Demikianlah Ayatullah Bahjat, seorang alim besar dan wali Islam,


yang kehadirannya memberikan dimensi spritual bagi orang yang
bertemu dengannya.

Ayatullah Ruhullah Khomeini

Pada akhir tahun 70-an dunia diguncangkan oleh sebuah revolusi


yang digerakkan oleh seorang ulama. Republik Iran yang begitu kuat di
bawah kepemimpinan Syah akhirnya harus tumbang melalui perjuangan
panjang ulama tersebut. Ulama itu, tak lain adalah Imam Khomeini,
seorang sufi, teolog, fakih, filosof dan sekaligus politikus. Seorang pribadi
besar, yang kokoh dalam pendirian dan keteguhan perjuangan
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tanpa mengenal putus asa.

Ayatullah Khomeini lahir di Khomein pada 24 oktober 1902.


Khomein, merupakan dusun yang berada di Iran tengah. Keluarga
Khomeini adalah keluarga Sayyid Musawi, keturunan Nabi melalui jalur
Imam ketujuh Syi’ah, Imam Musa Al-Kazhim. Mereka berasal dari
Neysyabur, Iran timur laut. Pada awal abad kedelapan belas, keluarga ini
bermigrasi ke India, dan mukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow di
kerajaan Qudh, yang penguasanya adalah pengikut Syi’ah Dua Belas
Imam. Kakek Sayed Ruhullah Khomeini yang bernama Sayyid Ahmad
Musawi Hindi, lahir di Kintur . Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama
terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Neysyaburi, yang karyanya, Abaqat
Al-Anwar, jadi kebanggan Syi’ah India.

Sayyid Ahmad ini meninggalkan India pada sekitar tahun 1830


untuk pergi ziarah ke kota suci Najaf. Di Najaf dia bertemu seorang
saudagar terkemuka Khomein. Menerima undangan sang saudagar,
Sayyid Ahmad lalu pergi ke Khomein untuk jadi pembimbing spritual
dusun itu. Di Khomein Sayyid Ahmad menikah dengan Sakinah, putri tuan
rumahnya. Pasangan ini dikaruniai empat anak, antara lain Sayyid
Mustafa, yang lahir pada 1856. Sayyid Mustafa belajar di Najaf, di bawah
bimbingan Mirza Hasan Syirazi, kemudian pada 1894 kembali ke Khomein.
Di sana dia menjadi ulama dan dikaruniai enam anak. Sayyid Ruhullah
adalah yang bungsu dan satu-satunya yang panggilannya adalah
Khomeini.

Semasa kecil, Sayyid Khomeini mulai belajar bahasa Arab, syair


Persia dan kaligrafi di sekolah negeri dan di ‘maktab’. Menjelang dewasa,
Sayyid Ruhullah mulai belajar agama dengan lebih serius. Ketika berusia
lima belas tahun, dia mulai belajar tatabahasa Arab kepada saudaranya,
Murtaza, yang belajar bahasa Arab dan teologi di Isfahan. Pada usia tujuh
belas tahun Ruhullah pergi ke Arak, kota dekat Isfahan untuk belajar dari
Syaikh ‘Abdul Karim Ha’eri Yazdi, seorang ulama yang terkemuka yang
meninggalkan Karbala untuk menghindari pergolakan politik. Sikap ini
kemudian mendorong kebanyakan ulama terkemuka untuk menyatakan
penentangannya kepada pemerintahan Inggeris.

Setelah runtuhnya imperium ‘Utsmaniah, Syaikh Ha’eri enggan


tinggal di kota-kota yang ada di bawah mandat Inggeris. Ia kemudian
pindah ke Qum. Sayyid Ruhullah Khomeini lima bulan kemudian mengikuti
jejak Syaikh Ha’eri pindah ke Qum. Di tempat yang baru ini Sayyid
Ruhullah Khomeini belajar retorika syair dan tata bahasa dari gurunya
yang bernama Syaikh Muhammad Reza Masjed Syahi.

Selama belajar di Qum, Sayyid Ruhullah Khomeini menyelesaikan


studi fiqh dan ushul dengan seorang guru dari Kasyan, yang sebelas tahun
lebih tua darinya, yaitu Ayatullah ‘Alio Yasrebi.

Pada awal tahun 1930-an, dia menjadi mujtahid dan menerima


ijazah untuk menyampaikan hadis dari empat guru terkemuka. Yang
pertama dari keempat guru itu adalah Syaikh Muhsin Amin ‘Ameli,
seorang ulama terkemuka dari Lebanon, dimana Imam Musa Shadr di
kemudian hari menggantikan kedudukan Amin sebagai pemimpin Syi’ah
Lebanon.

Yang kedua adalah Syaikh ‘Abbas Qumi, ahli hadis terkemuka dan
sejarawan Syi’ah. Qumi adalah penulis prolifik yang tulisannya sangat
digemari di Iran modern, terutama bukunya yang berjudul Mafatih Al-Jinan
(Kunci Surga).

Guru ketiganya adalah Abul Qasim Dehkordi Isfahani –seorang


mullah terkemuka di Isfahan.

Guru keempatnya adalah Muhammad Reza Masjed Syahi, yang


datang ke Qum pada 1925 karena protes menetang kebijakan anti Islam
Reza Syah.

Pada usia dua puluh tujuh tahun, Sayyid Ruhullah menikah dengan
Syarifah Batul, putri dari seorang ayatullah yang bermukim di Teheran.
Mereka dikarunia lima orang anak, dua putra dan tiga putri.

Imam Khomeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989 dengan memberikan


sesuatu keyakinan kepada kaum Muslimin diseluruh dunia bahwa ajaran
Islam merupakan ajaran yang mampu menuntun manusia pada
kebenaran. Memang peranan dan kharismanya dalam Islam modern dan
sejarah Iran tak dapat disangkal. Semoga harapan dan cita-citanya dapat
menjadi kenyataan dalam sejarah umat Islam di dunia.

Hasan Al-Banna

Dunia Islam khususnya di Mesir pada sekitar pertengahan abad dua


puluh mempunyai tokoh kharismatis yang memperjuangkan Islam melalui
sebuah tradisi penegakkan Islam melalui keluarga (al-usrah). Kelompok-
kelompok usroh inilah yang dikenal dengan nama gerakan ikhwanul
Muslimin, sedangkan tokohnya adalah Hasan Al-Banna. Gerakan ini
menekankan pada aspek penegakkan syariat Islam dengan penuh
keyakinan dan keikhlasan dibandingkan pada perkembangan pemikiran
Islam modern.

Ketika Ikhwanul Muslimin didirikan tahun 1928, pada saat itu


Hasan Al-Bana baru berusia 22 tahun yang bekerja sebagai seorang guru.
Gerakan ini merupakan gerakan paling berpengaruh pada abad dua puluh
yang mengarahkan kembali masyarakat Muslim ke tatanan Islam Murni.
Hasan Al-Banna dalam gerakannya untuk mengubah mode intelektual
elite menjadi gejala popular yang kuat pengaruhnya pada interaksi antara
agama dan politik, bukan saja di Mesir, namun juga di dunia Arab dan
Muslim.

Hasan Al-Banna merupakan tokoh kharismatis yang begitu dicintai


oleh pengikutnya. Cara memimpin jamaahnya bagai seorang syaikh sufi
memimpin tarekatnya. Banna dalam segi gerakan sangat memperhatikan
fungsi setiap komponen organisasi. Unit terkecil yakni usrah (keluarga)
menurutnya memiliki tiga tiang. Yang pertama adalah saling kenal, yang
akan menjamin persatuan. Kedua, anggota usroh harus saling memahami
satu sama lain, dengan saling menasehati. Dan yang ketiga adalah
memperlihatkan solidaritas dengan saling membantu. Bagi Hasan Al-
Banna al-usroh merupakan mikrokosmos masyarakat Muslim ideal, di
mana sikap orang beriman terhadap satu sama lain seperti saudara, dan
sama-sama berupaya meningkatkan segi religius, sosial, dan kultural
kehidupan mereka.

Pemikiran Hasan Al-Bana ini tidak terlepas dari kehidupan masa


kecilnya. Banna dibesarkan di kota delta Mesir, Mahmudiah. Ayahnya,
selain tukang reparasi jam, yang juga ulama. Pada umumnya masyarakat
Mesir, Banna mengikuti jejak ayahnya. Banna belajar mereparasi jam, dan
mendapat pendidikan agama dasar. Ketika berumur dua belas tahun ia
masuk sekolah dasar negeri. Pada saat itu juga ia mengikuti kelompok
Islam, Himpunan Perilaku Bermoral. Yang menekankan kewajiban kepada
anggotanya untuk mengikuti Islam dengan seksama dan menjatuhkan
hukum kepada yang melanggar. Banna pada saat itu juga mengikuti
Himpunan Pencegah Kemungkaran yang menekankan agar menjalankan
ritual dan moralitas Islam sepenuhnya, dan mengirimkan surat ancaman
kepada yang ketahuan melanggar standar Islam. Dan pada usia tiga
belas tahun ia mengikuti tarekat sufi Hasafiyah, yang kemudian banyak
mempengaruhi dirinya.

Pada 1923 Banna pergi ke Kairo, untuk masuk Dar Al-‘Ulum sekolah
tinggi guru Mesir. Selama lima tahun di kota ini ia langsung mengalami
westernisasi kultural Mesir, yang bagi dia merupakan ateisme dan
ketakbermoralan. Banna juga memprihatinkan melihat usaha Mustafa
Kemal Ataturk untuk menghapus kekhalifahan dan program Kemal untuk
mensekularkan Turki. Gerakan di Mesir yang mendirikan universitas negeri
sekular pada 1925, menurut Banna merupakan langkah pertama meniru
Turki mencampakkan Islam. Dia juga memandang dengan prihatin banjir
artikel koran dan buku yang mempromosikan nilai sekular Barat.
Hal inilah yang membuat Banna prihatin. Untuk mewujudkan visi
Islam sejati dan meluncurkan perjuangan melawan dominasi asing, ia
mendirikan Ikwanul Muslimin pada bulan Maret 1928. Seiring dengan
perkembangan Ikhwanul Muslimin yang pesat, Banna mengembangkan
struktur administrasi yang memungkinkan Banna memegang kendali kuat.
Selama sepuluh tahun berikutnya, Ikhwan menerbitkan persnya sendiri,
berkalanya sendiri dan program budayanya sendiri.

Kian besarnya organisasi ini membawa Banna terlibat dalam politik


nasional. Pada 1936, Banna menulis surat kepada raja, perdana menteri,
dan penguasa Arab lainnya, agar mempromosikan tatanan Islam.
Kemudian Hasan Al-Banna juga menyerukan untuk membubarkan partai-
partai politik di Mesir, karena partai-partai itu korupsi dan berdampak
memecah-belah negara. Setelah perang, Ikhwan berperan penting dalam
kampanye yang dilancarkan berbagai kelompok di Mesir menentang
pendudukan Inggeris. Pada Desember 1948, seorang anggota Ikhwan
membunuh perdana menteri. Pihak berwenang Mesir menyerang balik :
beberapa anggota polisi rahasia membunuh Hasan Al-Banna pada 12
Februari 1949.

Hasan Al-Banna dengan segala kegigihannya telah berjuang untuk


menegakkan tatanan Islam. Hasan Al-Bana merupakan figur yang dengan
keikhlasannya telah memperjuangkan nilai-nilai Islam. Usahanya yang tak
kenal lelah dalam membangun masyarakat muslim yang berawal keluarga
dapat menjadi contoh kita membuat gerakan dakwah melalui tatanan
sosial yang paling kecil itu.
Hossein Nashr

Seyyed Hossein Nashr merupakan tokoh intelektual muslim yang


terkemuka dalam pengetahuan sains Islam. Dalam usia relaif yang masih
muda, 25 tahun, ia sudah menyelesaikan Ph.D dari Universitas Harvard,
Amerika Serikat dengan disertasinya “Conception of Nature in Islamic
Thought” setelah sebelumnya meraih gelar kesarjanaanya di bidang
fisika dari Universitas MIT dan master geologi dan geofisika dari
Universitas Harvard.

Perjalananan intelektual Nashr yang hingga saat ini telah


menghasilkan lebih dari 50 buah buku dan lebih dari 500 paper
merupakan sebuah dedikasi pada ilmu pengetahuan semangat mencari
kebenaran. Karya-karyanya mencakup banyak bidang ilmu seperti filsafat
agama dan spritual, musik dan arsitektur, sains dan sastra, serta
mengenai dialog peradaban dan lingkungan hidup. Autoritasnya dalam
bidang tersebut ditunjukkannya dalam kuliah, tulisan-tulisannya dan
ceramahnya.

Professor pada Universitas George Washington, Washingtons D.C Amerika


Serikat, dalam bidang Studi Islam ini, lahir tanggal 7 April 1933 di Teheran
Iran dan pindah ke AS pada usia 12 tahun. Nashr lahir dari keluarga
sarjana fisika yang terkemuka di Iran yakni ayahnya, Seyyed Valiallah. Hal
ini berpengaruh besar pada dirinya, ketika sedang belajar sains fisika di
MIT, ia mengalami guncangan yang besar. Ia frustasi melihat sains
modern yang tidak mampu menjelaskan persoalan-persoalan metafisika.
Apalagi jawaban filosof Betrand Russel ketika memberi kuliah di MIT
memberi jawaban yang seperti ini “that physics does not concern itself
with the nature of physical realitay per se but with mathematical
structures related to pointer readings “ ketika ditanyakan olehnya.
Namun berkat pengaruh ayahnya ia akhirnya dapat menyelesaikan
kuliahnya.

Setelah menyelesaikan program doktornya di Harvard, ia kembali


ke Iran dan menjadi staf pengajar di fakultas sastra di Universitas Teheran
dalam bidang filsafat dan sejarah sains. Pada periode ini ia banyak
mendidik sarjana-sarjana yang kemudian menjadi ilmuwan terkemuka
dalam bidang literatur sufi dan filsafat yang ditulis dalam bahasa Persia.
Seperti William Chittick dari Amerika dan Sachiko Murata dari Jepang.
Disamping itu ia banyak menulis berbagai paper dalam bahasa Persia dan
Inggeris dan terkadang Perancis dan Arab.

Dimensi lain yang penting dalam perjalanan aktivitas intelektual


Nashr setelah kembali ke Iran adalah ia mempelajari Hikmah dan
membaca banyak teks tradisional mengenai filsafat Islam dan irfan. Nashr
banyak belajar dari Sayyid Muhammad Kazim mengenai hukum Islam dan
kepada Allamah Sayyid Muhammad Husain Tabatabai dan Sayyid Abul-
Hasan Qazwani tentang irfan dan filsafat. Buku-buku tradisonal yang
dibacanya meliputi al-Asfar al-Arbaah karya Mulla Shadra, serta karya-
karya Suhrawardi dan Ibnu Sina. Nashr yang pertama kali
memperkenalkan pikiran-pikiran Mulla Shadra ke dalam masyarakat yang
berbahasa Inggeris (Barat).

Walaupun Nashr tinggal di Iran ia banyak berkunjung ke berbagai


negara. Ia banyak diundang untuk memberikan ceramah dan kuliah di
berbagai universitas di dunia. Antara lain Universitas Chicago (1966)
untuk memberikan ceramah mengenai beberapa aspek hubungan antara
Agama, Filsafat dan Krisis Lingkungan. Pada tahun 1964-65 ia menjadi
Profesor Studi Islam di Universitas Amerika, Beirut. Antara 1962-1965 ia
menjadi dosen di Universitas Harvard dan dan pada masa yang sama
memberikan kuliah juga di Universitas Princeton dan Universitas Utah.
Pada saat terjadi revolusi Islam Iran tahun 1979, Nashr bersama
keluarganya pindah ke Amerika Serikat. Di kalangan akedemik Amerika
Nashr diakui sebagai seorang tradisonalis dan pendukung pandangan
filsafat perennial. Pada tahun 1986 ia mengedit buku pakar filsafat
perennial Frthjof Schuon, dan pada 1990 diangkat sebagai ketua Center
for the Study of Islam and Christian –Muslim pada Sally Oaks College di
Birmingham.

Kini, pada usianya yang menjelang tua aktivitas kehidupan


intelektualnya terus berjalan. Berbagai undangan seminar dan konferensi
menumpuk di meja kerjanya disamping kesibukan sehari-harinya mengisi
kuliah. Nashr telah menjadi duta Islam pada masyarakat Barat, ia telah
memainkan peran pada posisinya, yang disitu dia mendapatkan
kepuasan.

Hasan Hanaf

Hasan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah


satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan
revolusioner, seperti Islam kiri, oksidentalisme, dan lain sebagainya.
Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan
pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan
kolonialisme modern.

Dilahirkan di Kairo, Mesir, pada 14 Februari 1934, Hanafi kecil,


layaknya orang Mesir lainnya, mendapatkan pendidikan agama yang
cukup. Pendidikan dasar dan tingginya ia tempuh di kota kelahirannya.
Sedangkan gelar doktor dia raih pada 1966 di Universitas Sorbonne, Paris,
Prancis dengan disertasi berjudul Essai Sur la Methode d'exegese (Essai
tentang Metode Penafsiran).
Pada 1971, disertasi ini memperoleh hadiah sebagai karya tulis
terbaik di Mesir. Dari Paris, ia kembali ke almamaternya, Universitas Kairo
dan mengajar filsafat Islam. Ia kini dipercaya sebagai ketua jurusan
program tersebut.

Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya


pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats
wa Tajdid (Turats dan Pembaruan), dan Al Yasar Al Islami (Islam Kiri) yang
ia cetuskan pada 1981. Konsrp itu merupakan kepanjangan dari gagasan
Al Urwatul Wutsqo-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh.
Menurutnya, penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra
akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme.
Menurutnya, kiri Islam adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang
merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat.

Hanafi berpendapat kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-


gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan
Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional.
Umat Islam di negeri tersebut ingin memelihara otentisitas dan kreativitas
dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta menggerakkan umat
islam di tempat lain. Esensi kiri Islam, adalah pencurahan segala potensi
untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme,
zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta
kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan sebagai ancaman
internal.

Untuk proyek besar seperti itu, menurut dia, tak bisa mengandalkan
kebaikan orang lain. ''Yang bisa menolong kaum muslim sendiri,'' ujarnya
dalam satu diskusi yang diselenggarakan mahasiswa Indonesia di Mesir
pada tahun 2000. Untuk dapat mengubah kondisi tersebut, yang
mendesak dilakukan umat Islam adalah rekonstruksi (i'adah
bina/pembangunan kembali) pemikiran Islam. Selama ini, menurut dia
telah terjadi stagnasi pemikiran. Dan itu, katanya, menjadi penyebab
utama kemunduran umat Islam.

Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan


tradisi klasik dalam standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi
tersebut harus diubah. Atau, katanya, harus ada penafsiran ulang
terhadap sumber-sumber asal di mana tradisi tersebut terbentuk.

Dengan upaya ini, Hanafi yakin umat Islam akan mampu


menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan
masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan
kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat. Dunia Islam, katanya,
ditandai oleh disparitas kaya-miskin dan penindasan kebebasan. Kondisi
tersebut harus diubah.

Yang terjadi selama ini adalah hidupnya al-turath (tradisi), yang


merupakan akumulasi penafsiran yang diberikan berbagai generasi dalam
menjawab tantangan zamannya, justru menguatkan ketidakadilan
tersebut. Tradisi macam inilah yang ia sebut sebagai 'kanan Islam'.

Dalam menghadapi hegemoni Barat, Hanafi merumuskan


paradigma pikir yang ia sebut oksidentalisme--cara memandang Barat--
sebagai anti-tesa orientaslime Barat. Untuk ini, ia menulis buku khusus
berjudul Muqaddimah fi 'Ilmi Istighrab, yang telah di-Indonesiakan dengan
judul: Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Ia mengajak umat
Islam mengkritisi hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat, yang
dikemas di balik kajian orientalisme.

Hanafi yakin orientalisme sama saja dengan imperialisme, seperti


kepopuleran imperalisme kultural yang digelar Barat melalui media
informasi dengan mempropagandakan Barat sebagai pusat kebudayaan
kosmopolitan. Bahkan, orientalisme dijadikan kedok belaka untuk
melancarkan ekspansi kolonialisme Barat (Eropa) terhadap dunia Timur
(Islam).

Apakah dengan oksidentalisme ini Hanafi berambisi merebut


kekuasaan orientalisme? Tidak. Hanafi menulis, oksidentalisme hanya
ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman kolonialisme
orientalis. Menurut Hanafi, ego oksidentalisme lebih bersih, objektif, dan
netral dibandingkan dengan ego orientalisme. Oksidentalisme sekadar
menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, kekuatan, yang selama ini
memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan. Dengan
oksidentalisme, Hanafi berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan
mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi (kekuatan)
dunia.

Islam Indonesia, kritikan hingga karya

Hanafi juga rajin mengikuti perkembangan Islam di Indonesia. Pada


seminar di Kairo (1996), ia mengatakan konsep Islam nasionalis (Islam Al
Watani) sangat tepat diterapkan di Indonesia. Islam nasionalis adalah
Islam yang membela kepentingan nasional, memelihara persatuan bangsa
dan kesatuan teritorial dari ancaman disintegrasi dan sektarianisme.

Konsep Islam nasionalis berbentuk solusi riil problem umat Islam saat ini,
seperti keadilan sosial, lintas etnik, toleransi beragama, membangun etos
kerja, menolak penjarahan tanah, dan praktik kekerasan berdarah. ''Saya
ingin memperkenalkan Islam modern, yang memberi penafsiran baru
terhadap teks-teks ajaran Islam hingga mampu menghadapi tantangan
modernitas, tanpa harus taklid pada Barat dan juga ulama klasik Arab.
Islam yang saya maksud mendorong bangkitnya budaya nasional serta
melestarikan identitas bangsa Indonesia,'' paparnya.
Dalam pandangannya, Islam yang dibutuhkan Indonesia bukan konservatif
yang hanya terbuai dengan syiar-syiar agama dan bukan pula sekuler
Barat yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa Indonesia. ''Apa
yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia Islam lainnya sesungguhnya
sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu, yakni teritorial
dan identitas budaya, serta nasionalisme, dan khasanah warisan di satu
sisi dan legitimasi modernitas yang ditandai dengan keterbukaan,
kebebasan, keadilan, supremasi hukum di sisi lain.

Bapak tiga anak ini menulis sedikitnya 20 buku dan puluhan makalah
ilmiah. Karyanya yang populer di Indonesia antara lain Al-Yasar al-Islami
(Kiri Islam), Min al-`Aqidah ila al-Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi), Turath
wa Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995),
dan lainnya. Hasan Hanafi bukan sekedar pemikir revolusioner, tapi juga
reformis tradisi intelektual Islam klasik.

Ibnu Araby

Ibnu 'Araby dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak


pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi
kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan imam para
filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali. Lahir pada 17 Ramadhan 560
H/29 Juli 1165 M, di Kota Marsia, ibukota Andalusia Timur (kini Spanyol),
Ibnu 'Araby bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama
Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang
terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Ia juga mendapat
gelar sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.
Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong
seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan
materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap
demikian kelak ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak terkecuali Ibnu
'Araby. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H
keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia.

Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan


intelektualisme 'Araby kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan
kepribadian Ibnu 'Araby. Kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih
dan sastra. Karena itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja
sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang
astrologi dan kosmologi.

Meski Ibnu 'Araby belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin
Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad
bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira'ahnya, serta kepada Ali
bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul
Mun'im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis madzhab Imam Malik
dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu 'Araby sama sekali tidak bertaklid
kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.

Ibnu 'Araby membangun metodologi orisinal dalam menafsirkan


Alquran dan Sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para
pendahulunya. Hampir seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran
teosofik yang sangat cemerlang. "Kami menempuh metode pemahaman
kalimat-kalimat yang ada itu dengan hati kosong dari kontemplasi
pemikiran.

Kami bermunajat dan dialog dengan Allah di atas hamparan adab,


muraqabah, hudhur dan bersedia diri untuk menerima apa yang datang
dari-Nya, sehingga Al-Haq benar-benar melimpahkan ajaran bagi kami
untuk membuka tirai dan hakikat... dan semoga Allah memberikan
pengetahuan kepada kalian semua..." ujar Ibnu 'Araby suatu kali.

Jalan tengah

Pada perjalanan intelektualismenya, Ibnu 'Araby akhirnya


menempuh jalan halaqah sufi (tarekat) dari beberapa syeikhnya.
Setidaknya, ini terlihat dari apa yang ia tulis dalam salah satu karya
monumentalnya Al-Futuhatul Makkiyah, yang sarat dengan permasalahan
sufisme dari beberapa syeikh yang memiliki disiplin spiritual beragam.
Pilihan ini juga yang membuat ia tak menyukai kehidupan duniawi,
sebaliknya lebih memusatkan pada perhatian ukhrawi.

Untuk kepentingan ini, ia tak jarang melanglang buana demi


menuntut ilmu. Ia menemui para tokoh arif dan jujur untuk bertukar dan
menimba ilmu dari ulama tersebut. Tidak mengherankan bila dalam usia
yang sangat muda, 20 tahun, Ibnu 'Araby telah menjadi sufi terkenal.

Menurutnya, tarekat sufi dibangun di atas empat cabang, yakni:


Bawa'its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa'i (pilar
pendorong ruhani jiwa); Akhlaq, dan Hakikat-hakikat. Sementara
komponen pendorongnya ada tiga hak. Pertama, hak Allah, adalah hak
untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Kedua,
hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita
terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka. Ketiga, hak
hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (tarekat) yang di
dalamnya kebahagiaan dan keselamatannya.

Pada hak Allah (hak pertama), dapat dilacak secara sempurna pada
seluruh karya Ibnu 'Araby. Di sini, tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman
sebagai cahaya hati, dan Alquran sebagai akhlaknya. Lalu naik ke tahap
yang tak ada lagi selain al-Haq, yakni Allah SWT. Karakter Ibnu 'Araby
senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur. Kuncinya senantiasa
bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi al-Haq.

Sementara rahasia batinnya bermukim menyertai-Nya, tak ada yang


lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya. Ibnu 'Araby
menggunakan kendaraan mahabbah (kecintaan), bermadzhab ma'rifah,
dan ber-wushul tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya dalam
pandangan 'Araby hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Mahakuasa, Yang
Suci dari pertemanan dan peranakan.

Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan


mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah ketika kosong atas
tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan
mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani dimana
semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haq.
Seluruh semesta bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan
kebesaran-Nya. Hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban
agar sampai pada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang
dilandaskan pada sifat-sifat al-Haq, dan upaya penyucian dalam taman
Zat-Nya.

Kontroversial

Meski demikian, tak sedikit yang menilai pandangan-pandangan


filsafat tasawuf Ibnu 'Araby, terutama kaum fuqaha' dan ahli hadis,
sebagai sangat kontroversial. Sebut saja, misalnya, teorinya tentang
Wahdatul Wujud yang dianggap condong pada pantheisme. Salah satu
sebabnya adalah lantaran dalam karya-karyanya itu Ibnu 'Araby banyak
menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya
kalangan awam. Karenanya, tidak sedikit yang mengganggap 'Araby telah
kufur, misalnya Ibnu Taymiyah, dan beberapa pengikutnya yang
menilainya sebaga 'kafir'.
Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu
'Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari
asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna
metafora Ibnu 'Araby. "Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan
pengikut Ibnu 'Araby yang tidak memahami makna sebenarnya,"
komentar Ibnu Taimiyah.

Di Indonesia, ketersesatan memahami Ibnu 'Araby juga terjadi


khususnya di Jawa, ketika aliran kebatinan Jawa Singkretik dengan
tasawuf Ibnu 'Araby. Diskursus Manunggaling Kawula Gusti telah membuat
penafsiran yang menyesatkan di kebatinan Jawa, yang sama sekali tidak
pantas untuk dikaitkan dengan Wahdatul Wujud-nya Ibnu 'Araby. Bahkan
di pulau padat penduduk ini, sudah melesat ke arah kepentingan jargon
politik yang menindas atas nama Tuhan. Karena itulah, untuk memahami
karya-karya dan wacana Ibnu 'Araby, harus disertai tarekat secara penuh,
komprehensif dan iluminatif.

Menurut penelitian para ulama dan orientalis, Ibnu Araby


mempunyai sedikitnya 560 kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan
dan umum. Malah ada yang mengatakan, termasuk risalah-risalah
kecilnya, mencapai 2.000 judul. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir
al-Kabir yang terdiri 90 jilid, dan ensiklopedi tentang penafsiran sufistik,
yang paling masyhur, yakni Futuhatul Makkiyah (8 jilid), serta Futuhatul
Madaniyah. Sementara karya yang tergolong paling sulit dan penuh
metafora adalah Fushushul Hikam. Dalam lentera karya dan pemikirannya
itulah, ia begitu kuat mewarnai dunia intelektualisme Islam universal.

Ibnu Rusyd
Dunia barat (Eropa) pantas berterima kasih pada Ibnu Rusyd. Sebab,
melalui pemikiran dan karya-karyanyalah Eropa melek peradaban. "Suka
atau tidak, filosofi Cordova dan mahagurunya, Ibnu Rusyd, telah
menembus sampai ke Universitas Paris," tulis Ernest Barker dalam The
Legacy of Islam.

Dilahirkan pada 1126 M di Cordova (Spanyol--red), Ibnu Rusyd


bernama lengkap Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn
Rusyd. Di Barat, ia dikenal sebagai Averrous. Keluarganya dikenal
memberikan perhatian dan apresiasi besar pada ilmu pengetahuan dan
tergolong masyhur di kota Cordova.

Itu yang membuat Rusyd kecil haus ilmu dan menunjukkan talen
serta kejeniusan yang luar biasa sejak masa kanaknya. Sementara, ayah
dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Bakat ini
pula yang menurun kepada Rusyd, ketika ia diamanati menjabat sebagai
qadi (hakim) di Sevilla (Spanyol) dan sebagai qadi al-qudaad (hakim
agung) di Cordova.

Tak seperti anak-anak seusianya, masa kecil Rusyd dihabiskan untuk


belajar berbagai disiplin ilmu: Alquran, tafsir, hadits, fiqih, serta
mendalami ilmu-ilmu eksakta seperti matematika, astronomi, logika,
filsafat dan kedokteran.

Itu sebabnya, Ibnu Rusyd dikenal sebagai ahli berbagai ilmu


pengetahuan. Sebagai qadi al-qudaad, ia dekat dengan para amir
(penguasa) Dinasti Al Muwahhidun yang memerintah saat itu, khususnya
dengan Abu Yusuf Yakqub al Mansur, amir dinasti ketiga Muwahhidun.

Beberapa kalangan ulama yang tidak suka dengannya, karena


ajaran filsafatnya, berupaya menyingkirkan Rusyd dengan cara memfitnah
bahwa dia telah menyebar ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran
Islam. Atas tuduhan itu, Rusyd diasingkan ke suatu tempat bernama
Lucena. Tak hanya itu, karya-karyanya menyangkut filsafat dibakar dan
diharamkan mempelajarinya.

Sejak saat itu, filsafat tak lagi mendapat tempat dan berkembang di
dunia Islam. Namun, beberapa tahun kemudian, amir Al Mansur
memaafkan dan membebaskannya. Ia lalu pergi ke Maroko dan
menghabiskan sisa hidupnya di negeri tanduk Afrika Utara ini hingga
wafatnya pada 1198 M.

Pemikiran Rusyd

Membaca Ibnu Rusyd, yang paling menonjol adalah aspek falsafaty


(estetika logika dan filsafat) yang terbentang di hampir setiap karyanya.
Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam
mentakwilkan dan menafsirkan Alquran sebagai kitab teks, yang selalu
membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual
dan bukan artikulasi lafadz.

Islam sendiri, demikian Rusyd, tidak melarang orang berfilsafat,


bahkan Al Kitab, dalam banyak ayatnya, memerintahkan umatnya untuk
mempelajari filsafat. Menurut Rusyd, takwil (pentafsiran) dan interpretasi
teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara
pendapat akal dan filsafat serta teks Alquran. Ia memaparkan, takwil yang
dimaksud di sini adalah meninggalkan arti harfiah ayat dan mengambil
arti majasinya (analogi). Hal ini pula yang dilakukan para ulama klasik
periode awal dan pertengahan.

Dalam kaitan kandungan Alquran ini, Rusyd membagi manusia


kepada tiga kelompok: awam, pendebat, dan ahli fikir. Kepada ahli awam,
kata Rusyd, Alquran tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat
memahami secara tertulis. Demikian juga kepada golongan pendebat,
takwil sulit diterapkan. Takwil, secara tertulis dalam bentuk karya, hanya
bisa diperuntukkan bagi kaum ahli fikir.

Dalam cakra pandang itulah, kata Rusyd, takwil atas teks secara
benar dapat dilakukan dan dipahami oleh ahlul fikir. Pemikiran Rusyd
tersebut kemudian dikenal sebagai teori perpaduan agama dan filsafat.
Sementara itu, menyangkut pemaknaan atas Quran, Rusyd berpendapat
bahwa Alquran memiliki makna batin di samping makna lahir.

Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori


Kausalitas (hukum sebab-akibat), berpendapat bahwa memahami alam
harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan
eksistensi alam.

Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori itu, kata Rusyd.

Pertama, dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam


dan seluruh kejadian yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam,
matahari dan bulan, semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang
teratur dan rapi yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini
mendorong orang untuk melakukan penyelidikan dan penggalian yang
terus menerus sesuai dengan pandangan akal fikirannya. Dalil ini pula
yang akan membawa kepada pengetahuan yang benar sesuai dengan
ketentuan Alquran.

Kedua, dalil ikhtira' yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa


penciptaan alam dan makhluk di dalamnya nampak jelas dalam gejala-
gejala yang dimiliki makhluk hidup. Semakin tinggi tingkatan makhluk
hidup itu, kata Rusyd, semakin tinggi pula berbagai macam kegiatan dan
pekerjaannya. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Sebab, bila terjadi
secara kebetulan, tentu saja tingkatan hidup tidak berbeda-beda. Ini
menunjukkan adanya pencipta yang mengatur kehidupan. Dalil ini sesuai
dengan syariat Islam, dimana banyak ayat yang menunjukkan perintah
untuk memikirkan seluruh kejadian alam ini.

Ketiga, dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang


diambil dari Aristoteles. Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam
semesta bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini
mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan
berbenda, yaitu Tuhan.

Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan


oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak
mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita
anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya
penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada
menjadi wujud. Rusyd yang juga dikenal sebagai 'pelanjut' aliran
Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih dahulu itulah yang
memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan
kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya.

Hal lain yang tidak lepas dari sosok Ibnu Rusyd adalah, ketika
polemik hebat antara dia dengan Al Ghazali. Ketidaksepakatan Al Ghazali
terhadap filsafat (hingga mengkafirkan Rusyd) ia tuangkan dalam buku
berjudul Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd membalas dengan
menulis Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan).

Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya


kembali manusia setelah meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang
di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan ruhy, bukan jasmani.
Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd, juga
kaum filosof lainnya, yang penting bagi manusia adalah jiwanya.
Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang
bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi
juga jasmaniyah.

Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun rules of


dialogue, dalam kaitan memahami 'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia
dasarkan pada tiga prinsip epistemologis.

Pertama, keharusan untuk memahami 'yang lain' dalam sistem


referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode
aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.

Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip


menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan
mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat
bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi
terjadi harmoni di antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan
identik. Karena itu, hak untuk berbeda harus dihargai.

Ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara


Al Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran.
"Tujuan saya," kata Al Ghazali, "adalah mempertanyakan tesis mereka dan
saya berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh
orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari
kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan."

Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah


mengajarkan kita prinsip dan nilai-nilai beragama yang rasional, toleran,
dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula
yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan. n hery
sucipto

Barat Terkagum Karya Rusyd


Pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusdy sampai ke dunia Barat
melalui Ernest Renan, seorang penulis dan sejarawan asal Perancis.
Renan, penulis biografi Rusyd berjudul Averroes et j'averroisme
mengatakan, filosof Rusyd telah menulis lebih dari 20 ribu halaman dalam
berbagai disiplin ilmu.

Apresiasi dunia Barat yang demikian besar terhadap karya Rusyd,


kata Alfred Gillaume dalam //Warisan Islam//, menjadikan Rusyd lebih
menjadi milik Eropa dari pada milik Timur. "Averroisme tetap merupakan
faktor yang hidup dalam pemikiran Eropa sampai kelahiran ilmu
pengetahuan eksperimental modern," tulis Gillaume.

"Ibnu Rusyd adalah seorang rasionalis, dan menyatakan berhak


menundukkan segala sesuatu kepada pertimbangan akal, kecuali dogma-
dogma keimanan yang diwahyukan. Tetapi ia bukanlah free thinker, atau
seorang tak beriman," tulis Phillip K Hitti.

Selain Tahaafutut Tahaafut, beberapa karya besar Rusyd lain adalah


Kitab fil Kulliyat fi at Tibb (kaidah-kaidah umum dalam ilmu kedokteran)
yang telah diterjemahkan ke bahasa latin dan menjadi rujukan penting
kedokteran; Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Kitab permulaan
bagi mujtahid dan akhir makna/maksud); Kitab Fashl al Maqal fii ma Baina
Syariah wa al Hilmah min al Ittisal, (menguraikan adanya keselarasan
antara agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan); Al
Kasyf 'an Manahij al Adillah fi 'Aqaid al Millah (menyingkap masalah
metodologi dan dalil-dalil kaum filsuf dalam keyakinan beragama).

Ismail Raji Al-Faruqi


Nama besarnya telah membelah perhatian dunia intelektualisme
universal. Konsep dan teorinya tentang penggabungan ilmu pengetahuan
telah mengilhami berdirinya berbagai megaproyek keilmuan, semisal
International Institute of Islamic Thougth (IIIT) di Amerika Serikat dan
lembaga sejenis di Malaysia.
Berkat dia pula agenda besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan' hingga kini
tumbuh dan berkembang di berbagai negara, meski untuk itu harus
menuai badai kritik dan kecaman. Proyek Pan-Islamisme Jamaluddin Al
Afghani pun dilanjutkannya, walau hasilnya tak optimal.

Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang
sangat dihormati dan disegani berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan,
Islam dan Barat, ini dilahirkan di daerah Jaffa, Palestina, pada 1 Januari
1921. Saat itu, negerinya memang tak separah dan setragis sekarang,
yang menjadi sasaran senjata canggih pemerintahan zionis, Israel.
Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab, ketika
Faruqi dilahirkan.

Al Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres,


Lebanon sejak 1926 hingga 1936. Pendidikan tinggi ia tempuh di The
American University, di Beirut. Gelar sarjana muda pun ia gapai pada
1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya menjadi pegawai di
pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris selama empat tahun,
sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir.
Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel,
hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat.

Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun
menggeluti dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang
filsafat ia raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master
keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The
God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran
Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar doktornya
diraih dari Universitas Indiana. Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam
ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun.

Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus


dengan mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1959
selama dua tahun. Pada 1962 Al Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan,
karena terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research.

Setahun kemudian, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan


memberikan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago, dan
selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse,
New York. Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple, Philadelphia,
sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi
tersebut.

Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara,


seperti di Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran.
Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College
Chicago. Al Faruqi mengabdikan ilmunya di kampus hingga akhir
hayatnya, pada 27 Mei 1986, di Philadelphia.

Pemikiran

Ilmuwan yang ikut membidani berbagai kajian tentang Islam di berbagai


negara --Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab
Saudi-- ini sangat terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu
pengetahuan (umum) dan agama. Dalam keyakinan agamanya, ia tidak
melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu
dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni
Alquran dan Hadis.
"Bukan seperti sekarang, saat dunia Barat maju dalam bidang ilmu
pengetahuan, namun kemajuan itu kering dari ruh spiritualitas. Itu tak
lain karena adanya pemisahan dan dikotomi antara ilmu pengetahuan
dan agama,'' kilahnya.

Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan


proyek integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu
pengetahuan', itu dituangkan dalam banyak tulisan, baik di majalah,
media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa,
telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan.
Di antara karyanya yang terpenting adalah: A Historical Atlas of the
Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic
Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (Atlas
Budaya Islam), Islam and Cultural (keduanya telah di Indonesiakan).

Gagasan 'Islamisasi ilmu pengetahuan' tak hanya ia perjuangkan


dalam bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan
mendirikan IIIT pada 1980, di Amerika Serikat. Kini, lembaga bergengsi
dan berkualitas itu memiliki banyak cabang di berbagai negara, termasuk
di Indonesia dan Malaysia. Namun pemikirannya juga menimbulkan pro-
kontra di kalangan ilmuwan Muslim dan Barat.

Hal demikian tak membuatnya larut dalam kritikan. Suara-suara


sumbang itu malah ia kelola sedemikian rupa sehingga berpotensi
menjadi stimulasi pengembangan pemikirannya tersebut. Tak cukup
dengan IIIT saja, ia dirikan pula The Association of Muslim Social Scientist
pada 1972. Kedua lembaga internasional yang didirikannya itu
menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu Sosial Islam.

Berbagai kegiatan ini ia lakukan semata didorong oleh


pandangannya bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini benar-benar telah
sekuler dan karenanya jauh dari tauhid. Maka, dirintislah teori dan 'resep'
pengobatan agar kemajuan dan pengetahuan tidak berjalan kebablasan di
luar jalur etik, lewat konsep Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam
pendidikan dan pengetahuan.

Pemikirannya tentang Pan-Islamisme (Persatuan Negara-negara


Islam) pun tak kalah penting. Seakan tak merasa risih dan pesimis,
pemikiran Pan-Islamismenya terus didengungkannya di tengah
berkembangnya negara-negara nasional di dunia Islam dewasa ini. Al
Faruqi tak sependapat dengan berkembangnya nasionalisme yang
membuat umat Islam terpecah-pecah.

Baginya, sistem khilafah (kekhalifahan Islam) adalah bentuk negara


Islam yang paling sempurna. "Khilafah adalah prasyarat mutlak bagi
tegaknya paradigma Islam di muka bumi. Khilafah merupakan induk dari
lembaga-lembaga lain dalam masyarakat. Tanpa itu, lembaga-lembaga
lain akan kehilangan dasar pijaknya," tegasnya.

Dengan terbentuknya khilafah, jelasnya, keragaman tidak berarti


akan lenyap. Dalam pandangannya, khilafah tetap bertanggung jawab
melindungi keragaman. Bahkan, khilafah wajib melindungi pemeluk
agama lain, seperti Kristen, Yahudi dan lain sebagainya. ''Tak ada paksaan
dalam Islam,'' katanya. Menurutnya, negara-negara Islam yang ada saat
ini akan menjadi provinsi-provinsi federal dari sebuah khilafah yang
bersifat universal yang harus senantiasa diperjuangkan.

Dalam bidang perbandingan agama, kontribusi pemikiran Al Faruqi


tak kecil. Karyanya A Historical Atlas of Religion of the World, oleh banyak
kalangan dipandang sebagai buku standar dalam bidang tersebut. Dalam
karya-karyanya itulah, ia selalu memaparkan pemikiran ilmiahnya untuk
mencapai saling pengertian antarumat beragama, dan pemahaman
intelektual terhadap agama-agama lain. Baginya, ilmu perbandingan
agama berguna untuk membersihkan semua bentuk prasangka dan salah
pengertian untuk membangun persahabatan antara sesama manusia.

Karena itu pula, Al Faruqi berpendapat bahwa Islam tidak


menentang Yahudi. Yang ditentang Islam adalah Zionisme. Antara
keduanya (Yahudi dan Zionisme) terdapat perbedaan mendasar.
Ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan Zionisme, menurutnya,
begitu rumit, majemuk, dan amat krusial, sehingga praktis tidak terdapat
cara untuk menghentikannya tanpa suatu kekerasan perang. Dalam hal
ini, negara zionis harus dihancurkan. Sebagai jalan keluarnya, orang-orang
Yahudi diberi hak bermukim di mana saja mereka kehendaki, sebagai
warga negara bebas. Mereka harus diterima dengan baik di negara
Muslim.

Lantaran pemikirannya inilah, kalangan Yahudi tidak senang


dengannya. Nasib tragis pun menimpa diri dan keluarganya, ketika
meletus serangan teroris di Eropa Barat, yang lalu merembet pada
kerusuhan di AS pada 1986. Gerakan anti-Arab serta semua yang berbau
Arab dan Islam begitu marak dipelopori beberapa kalangan tertentu yang
lama memendam perasaan tak senang terhadap Islam dan warga Arab.
Dalam serangan oleh kelompok tak dikenal itulah, Al Faruqi dan istrinya,
Dr Lois Lamya, serta keluarganya tewas. Untuk mengenang jasa-jasa,
usaha, dan karyanya, organisasi masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA)
mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al Faruqi
Memorial Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita 'Islamisasi ilmu
pengetahuan'.

Jabir Ibn Hayyan

Jauh sebelum berkembang pesat seperti sekarang, ilmu kimia telah


dikenal luas masyarakat abad pertengahan. Saat itulah awal mula cabang
ilmu eksakta ini ada. Tapi, tahukah Anda siapa penemu dan pengembang
ilmu kimia ini? Adalah Abu Musa Jabir Ibn Hayyan (721-815 H), ilmuwan
Muslim pertama yang menemukan dan mengenalkan disiplin ilmu kimia
tersebut.

Lahir di pusat peradaban Islam klasik, Kuffah (Irak), ilmuwan Muslim


ini lebih dikenal dengan nama Ibnu Hayyan, dan di Barat disebut dengan
nama Ibnu Geber. Ayahnya, seorang penjual obat, meninggal sebagai
'syuhada' demi penyebaran ajaran Syi'ah. Jabir kecil menerima
pendidikannya dari imam terkenal, Imam Ja’far Shadiq as. Ia juga pernah
berguru pada Barmaki Vizier pada masa kekhalifahan Abbasiyah pimpinan
Harun Al Rasyid.

Ditemukannya kimia oleh Hayyan ini membuktikan, bahwa ulama di


masa lalu tidak melulu lihai dalam ilmu-ilmu agama, tapi sekaligus juga
menguasai ilmu-ilmu umum. "Sesudah ilmu kedokteran, astronomi, dan
matematika, bangsa Arab memberikan sumbangannya yang terbesar di
bidang kimia," tulis sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of The
Arabs.

Berkat penemuannya ini pula, Jabir dijuluki sebagai Bapak Kimia


Modern.
Dalam karirnya, ia pernah bekerja di laboratorium dekat Bawwabah di
Damaskus. Jabir mendasari eksperimennya secara kuantitatif dan
instrumen yang dibuatnya sendiri, menggunakan bahan berasal dari
logam, tumbuhan, dan hewani. Adalah menjadi kebiasaannya mengakhiri
uraian suatu eksperimen dengan menuliskan:

''Saya pertama kali mengetahuinya dengan melalui tangan dan otak saya,
dan saya menelitinya hingga sebenar mungkin, dan saya mencari
kesalahan yang mungkin masih terpendam.''
Dari Damaskus ia kembali ke kota kelahirannya, Kuffah. Setelah 200
tahun kewafatannya, ketika penggalian tanah dilakukan untuk pembuatan
jalan, laboratoriumnya yang telah punah, ditemukan. Di dalamnya
didapati peralatan kimianya yang hingga kini masih mempesona, dan
sebatang emas yang cukup berat.

Jabir ibnu Hayyan membuat instrumen pemotong, peleburan dan


pengkristalan. Ia menyempurnakan proses dasar sublimasi, penguapan,
pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan,
pemurnian, sematan (fixation), amalgamasi, dan oksidasi-reduksi. Semua
ini telah ia siapkan tekniknya, praktis hampir semua 'technique' kimia
modern. Ia membedakan antara penyulingan langsung yang memakai
bejana basah dan tak langsung yang memakai bejana kering. Dialah yang
pertama mengklaim bahwa air hanya dapat dimurnikan melalui proses
penyulingan.

Khusus menyangkut fungsi dua ilmu dasar kimia, yakni kalsinasi dan
reduksi, Jabir menjelaskan, bahwa untuk mengembangkan kedua dasar
ilmu itu, pertama yang harus dilakukan adalah mendata kembali dengan
metoda-metoda yang lebih sempurna, yakni metoda penguapan,
sublimasi, destilasi, penglarutan, dan penghabluran. Setelah itu, papar
Jabir, memodifikasi dan mengoreksi teori Aristoteles mengenai dasar
logam, yang tetap tidak berubah sejak awal abad ke 18 M. Dalam setiap
karyanya, Jabir melaluinya dengan terlebih dahulu melakukan riset dan
eksperimen. Metode inilah yang mengantarkannya menjadi ilmuwan besar
Islam yang mewarnai renaissance dunia Barat.

Namun demikian, Jabir tetap saja seorang yang tawadu' dan


berkepribadian mengagumkan. "Dalam mempelajari kimia dan ilmu fisika
lainnya, Jabir memperkenalkan eksperimen objektif, suatu keinginan
memperbaiki ketidakjelasan spekulasi Yunani. Akurat dalam pengamatan
gejala, dan tekun mengumpulkan fakta. Berkat dirinya, bangsa Arab tidak
mengalami kesulitan dalam menyusun hipotesa yang wajar," tulis Robert
Briffault.

Menurut Briffault, kimia, proses pertama penguraian logam yang


dilakukan oleh para metalurg dan ahli permata Mesir, mengkombinasikan
logam dengan berbagai campuran dan mewarnainya, sehingga mirip
dengan proses pembuatan emas. Proses demikian, yang tadinya sangat
dirahasiakan, dan menjadi monopoli perguruan tinggi, dan oleh para
pendeta disamarkan ke dalam formula mistik biasa, di tangan Jabir bin
Hayyan menjadi terbuka dan disebarluaskan melalui penyelidikan, dan
diorganisasikan dengan bersemangat.

Terobosan Jabir lainnya dalam bidang kimia adalah preparasi asam


sendawa, hidroklorik, asam sitrat dan asam tartar. Penekanan Jabir di
bidang eksperimen sistematis ini dikenal tak ada duanya di dunia. Inilah
sebabnya, mengapa Jabir diberi kehormatan sebagai 'Bapak Ilmu Kimia
Modern' oleh sejawatnya di seluruh dunia. Dalam tulisan Max Mayerhaff,
bahkan disebutkan, jika ingin mencari akar pengembangan ilmu kimia di
daratan Eropa, maka carilah langsung ke karya-karya Jabir Ibn Hayyan.

Puaskah Jabir? Tidak! Ia terus mengembangkan keilmuannya sampai


batas tak tertentu. Dalam hal teori keseimbangan misalnya, diakui para
ilmuwan modern sebagai terobosan baru dalam prinsip dan praktik alkemi
dari masa sebelumnya. Sangat spekulatif, di mana Jabir berusaha
mengkaji keseimbangan kimiawi yang ada di dalam suatu interaksi zat-zat
berdasarkan sistem numerologi (studi mengenai arti klenik dari sesuatu
dan pengaruhnya atas hidup manusia) yang diterapkannya dalam kaitan
dengan alfabet 28 huruf Arab untuk memperkirakan proporsi alamiah dari
produk sebagai hasil dari reaktan yang bereaksi. Sistem ini niscaya
memiliki arti esoterik, karena kemudian telah menjadi pendahulu
penulisan jalannya reaksi kimia.
Jelas dengan ditemukannya proses pembuatan asam anorganik oleh
Jabir telah memberikan arti penting dalam sejarah kimia. Di antaranya
adalah hasil penyulingan tawas, amonia khlorida, potasium nitrat dan
asam sulferik. Pelbagai jenis asam diproduksi pada kurun waktu
eksperimen kimia yang merupakan bahan material berharga untuk
beberapa proses industrial. Penguraian beberapa asam terdapat di dalam
salah satu manuskripnya berjudul Sandaqal-Hikmah (Rongga Dada
Kearifan).

Seluruh karya Jabir ibnu Hayyan lebih dari 500 studi kimia, tetapi
hanya beberapa yang sampai pada zaman Renaissance. Korpus studi
kimia Jabir mencakup penguraian metode dan peralatan dari pelbagai
pengoperasian kimiawi dan fisikawi yang diketahui pada zamannya. Di
antara bukunya yang terkenal adalah Al Hikmah Al Falsafiyah yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul Summa Perfectionis.

Suatu pernyataan dari buku ini mengenai reaksi kimia adalah: "Air
raksa (merkuri) dan belerang (sulfur) bersatu membentuk satu produk
tunggal, tetapi adalah salah menganggap bahwa produk ini sama sekali
baru dan merkuri serta sulfur berubah keseluruhannya secara lengkap.

Yang benar adalah bahwa keduanya mempertahankan karakteristik


alaminya, dan segala yang terjadi adalah sebagian dari kedua bahan itu
berinteraksi dan bercampur, sedemikian rupa sehingga tidak mungkin
membedakannya secara seksama. Jika dihendaki memisahkan bagian-
bagian terkecil dari dua kategori itu oleh instrumen khusus, maka akan
tampak bahwa tiap elemen (unsur) mempertahankan karakteristik
teoretisnya. Hasilnya adalah suatu kombinasi kimiawi antara unsur yang
terdapat dalam keadaan keterkaitan permanen tanpa perubahan
karakteristik dari masing-masing unsur."
Ide-ide eksperimen Jabir itu sekarang lebih dikenal/dipakai sebagai
dasar untuk mengklasifikasikan unsur-unsur kimia, utamanya pada bahan
metal, nonmetal dan penguraian zat kimia. Dalam bidang ini, ia
merumuskan tiga tipe berbeda dari zat kimia berdasarkan unsur-
unsurnya: 1) Air (spirits), yakni yang mempengaruhi penguapan pada
proses pemanasan, seperti pada bahan camphor, arsenik dan amonium
klorida, 2) Metal, seperti pada emas, perak, timah, tembaga, besi, dan 3)
Bahan campuran, yang dapat dikonversi menjadi semacam bubuk.
Dengan prestasinya itu, dunia ilmu pengetahuan modern pantas
'berterima kasih' padanya.n hery sucipto

Pangeran dan Filsuf

Di abad pertengahan risalah-risalah Jabir di bidang ilmu kimia


--termasuk kitabnya yang masyhur, yakni Kitab Al-Kimya dan Kitab Al-
Sab'een, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Terjemahan Kitab Al-
Kimya bahkan telah diterbitkan oleh ilmuwan Inggris, Robert Chester
tahun 1444, dengan judul //The Book of the Composition of Alchemy. Buku
kedua (Kitab Al-Sab'een), diterjemahkan juga oleh Gerard Cremona.

Berikutnya di tahun 1678, seorang Inggris lainnya, Richard Russel,


mengalihbahasakan karya Jabir yang lain dengan judul Summa of
Perfection. Berbeda dengan pengarang sebelumnya, Richard-lah yang
pertama kali menyebut Jabir dengan sebutan Geber, dan memuji Jabir
sebagai seorang pangeran Arab dan filsuf. Buku ini kemudian menjadi
sangat populer di Eropa selama beberapa abad lamanya. Dan telah pula
memberi pengaruh pada evolusi ilmu kimia modern.

Karya lainnya yang telah diterbitkan adalah; Kitab al Rahmah, Kitab


al Tajmi, Al Zilaq al Sharqi, Book of The Kingdom, Book of Eastern Mercury,
dan Book of Balance (ketiga buku terakhir diterjemahkan oleh Berthelot).
"Di dalamnya kita menemukan pandangan yang sangat mendalam
mengenai metode riset kimia," tulis George Sarton.

Jamaluddin Al-Afghani

Sayyid Jamaluddin Al-Afghani (1838/9-1897) merupakan salah satu


tokoh yang pertama kali menyatakan kembali tradisi Muslim dengan cara
yang sesuai untuk menjawab berbagai problem penting yang muncul
akibat Barat semakin mengusik Timur-Tengah di abad kesembilanbelas.

Sebagai modernis Islam pertama, yang pengaruhnya dirasakan di


beberapa negara, Afghani memicu kecenderungan menolak
tradisionalisme murni dan westernisme murni. Meski Afghani di kemudian
hari, dan sejak meninggalnya, dikaitkan khususnya dengan pan-Islam,
tulisan pan-Islamnya hanya menjadi bagian dari dasawarsa penting 1880-
an. Dalam hidupnya dia mempromosikan berbagai sudut pandang yang
sering bertentangan. Dan pikirannya juga memiliki afinitas dengan
berbagai kecenderungan di dunia Muslim. Ini meliputi liberalisme Islam
yang diserukan khususnya oleh Muhammad’Abduh, orang Mesir yang
menjadi muridnya.

Pada masa mudanya ia dididik di Iran, dan juga di kota-kota suci


Syi’ah di Irak dia piawai dalam filsafat Islam dan juga dalam Syi’ah
mazhab Syaikhi, yang merupakan ragam Syi’ah yang sangat filosofis pada
abad kedelapan belas dan kesembilan belas.

Tak seperti dunia Arab dan Turki, di mana kebanyakan filsafat yang
mendapat inspirasinya dari Yunani selama berabad-abad tidak diajarkan
karena dianggap menyimpang dari Islam, di Iran tradisi filsafat terus
berlangsung. Buku-buku karya Ibn Sina dan di kemudian hari karya filosof
Iran diajarkan di sekolah keagamaan.
Ketika Afghani ke Istanbul, pada tahun 1869-70, dia
mengemukakan gagasan yang bersal dari filosof Islam. Dan ketika ke
Mesir pada 1870-an, dia mengajar murid-murid mudanya terutama
tentang filosof-filosof Iran ini.

Perjalanan yang panjang dalam hidup Afghani dilalui dengan


berdakwah di banyak negara. Pada usia yang masih muda, sekitar 20
tahun, Afghani sudah pergi ke India dan berjuang untuk mengusir
pemerintahan Ingeris dari bumi Muslim di India. Setelah tinggal di India,
Afghani pergi haji ke Makkah, lalu ke kota-kota suci Syi’ah, dan kemudian
ke Afghanistan lewat Iran. Perjuangannya yang anti Inggeris ini
menyebabkan Afghani harus keluar dari Afghanistan pada Desember
1868, karena jatuhnya A’zham Khan dan naik tahtanya Shir’Ali yang pro
Inggeris. Kemudian dia ke Bombai, Kairo, lalu ke Istanbul pada 1869.

Pada 1870, Afghani diangkat menjadi menjadi Dewan Pendidikan


‘Utsmaniah resmi yang reformis. Karena ikatannya dengan berbagai ahli
pendidikan terkemuka, dia diundang untuk menyampaikan kuliah umum.
Namun kuliah umum ini menimbulkan reaksi yang keras dari para ulama,
karena dianggap menyimpang dari agama. Akibatnya Afghani diusir dari
Istanbul.

Setelah itu Afghani pergi ke Kairo. Di Kairo ini mendirikan Koran


yang membahas isu-isu politik. Seiring dengan perubahan kekuasaan di
Mesir, di bawah Pemerintahan yang Pro Inggeris, Taufiq. Afghani akhirnya
diusir dari Mesir karena sikapnya yang anti Inggeris. Kemudian Afghani
pergi ke Hyderabad di India Selatan. Dari India Afghani ke London, dan
kemudian pada 1883 ke Paris. Di Paris Afghani bersama dengan
Muhammad ‘Abduh, mereka menerbitkan koran berbahasa Arab,
Al-‘Urwah Al-Wutaqa yang mendapat subsidi dari para pengagum.
Sebelum meninggal pada tahun 1987 di Iran, Afghani sempat juga pergi
ke Rusia, Eropa dan Irak.

Afghani merupakan figur besar dalam dunia Muslim.


Penekanannya bahwa Islam merupakaan kekuatan yang sangat penting
untuk menangkal Barat dan untuk meningkatkan solidaritas kaum Muslim,
seruannya agar ada pembaruan dan perubahan di dalam sistem politik
despotis yang berbendera Islam, serta serangannya terhadap mereka
yang memihak imperialisme Barat atau yang memecah-belah umat
Muslim, semuanya merupakan tema-tema yang diperjuangkannya.

Mahmud Syaltut

Ungkapan syeikh Mahmud Syaltut itu memberikan pelajaran penting


pada kita, khususnya dalam relasi antaragama, bahwa pluralisme adalah
suatu kemestian. Betapa pun, pemahaman Syaltut yang demikian
memiliki dasar dan landasan kuat dari apa yang ia ketahui dari agamanya.

Sosoknya sebagai tokoh dan ulama Islam moderat yang tersohor


dalam percaturan dunia Islam, merupakan kredibilitas intelektualitasnya.
Pemahaman dan pemikirannya tak lepas dari lingkungan yang
membesarkannya.

Dilahirkan pada tahun 1893 di Desa Munyah, Bani Mansur Provinsi


Buhairoh, Mesir, sejak kecil Syaltut memperlihatkan kesungguhan dan
keuletan dalam ber-tafaquh fid diin (belajar Islam).

Keluarganya yang haus ilmu pengetahuan dan taat beragama, serta


hormat pada ulama, berperan besar dalam membentuk kepribadiannya.
Pendidikan Syaltut dimulai di kampung halamannya dengan
menghafal Alquran pada seorang ulama setempat. Baru pada tahun 1906,
ketika usianya menginjak 13 tahun, ia mulai pendidikan formalnya dengan
masuk Ma'had Al Iskandariah.

Studinya ini dirampungkan setelah ia mendapat Syahadah


'Alamiyah (setingkat ijazah S-1) pada tahun 1918. Pada 1919, Syaltut
mengajar di almamaternya. Bersamaan itu pula terjadi gerakan revolusi
rakyat Mesir melawan kolonial Inggris. Ia ikut berjuang melalui ketajaman
pena dan kepiawaian lisannya.

Dari almamaternya Syaltut lalu pindah ke Al Azhar. Selain sebagai


pengajar, di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa
jabatan penting, mulai dari penilik pada sekolah-sekolah agama, wakil
dekan Fakultas Syariah, pangawas umum kantor lembaga penelitian dan
kebudayaan Islam Al Azhar, wakil syeikh Azhar, sampai akhirnya pada
tanggal 13 Oktober 1958 diangkat menjadi syeikh Azhar (pimpinan
tertinggi Al-Azhar).

Syeikh Mahmud Syaltut merupakan sosok yang selalu menggeluti


dunianya dengan aktivitas keagamaan, ilmu pengetahuan,
kemasyarakatan dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan ketika
masih muda, ia sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fikih
besar, pembaharu masyarakat, penulis yang hebat, seorang khatib yang
hebat dengan penyampaian bahasa yang mudah dipahami, argumentasi
yang rasional dan pemikiran yang bijak.

Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, Syaltut diutus Majelis
Tertinggi Al Azhar untuk mengikuti muktamar tentang Alqanun al Dauli al
Muqaran (Perbandingan Hukum Internasional) di Lahay, Belanda. Dalam
muktamar itu, ia sempat mempresentasikan pemikirannya, tentang
relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan
zaman. Sontak, pandangannya ini mendapat sambutan peserta.

Sepanjang hayatnya, Syaltut senantiasa mengarahkan hidupnya


untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan syiar Islam. Darinya terpancar
sosok seorang sufi yang saleh, dan cerdik yang bijak. Ia bagaikan angin
topan yang tak pernah berhenti memperjuangkan kebenaran sampai
dirasakan nilai-nilai keadilan oleh semua manusia.

Sebagai seorang faqih, semangat berijtihad dan jihad selalu


menyatu dalam dirinya. Dalam mengistinbatkan sebuah hukum, ia selalu
mengondisikan dengan perkembangan yang terjadi, dan mengambill serta
memilih pendapat yang dianggap mempunyai nilai relevansi dengan
masalah yang ada. Karena itu apa yang dilontarkannya tidak terbatas
pada satu madzhab saja, tetapi fatwa yang dikeluarkannya senantiasa
sejalan dengan nilai-nilai syariah Islam yang fleksibel dan universal.

Pemikiran dan karyanya

Dalam percaturan intelektual, Syaltut dikenal sebagai tokoh dan


cendekiawan yang memiliki tipologi seorang mujtahid dan mujaddid
dengan pemikiran Islam moderat dan fleksibel. Itu bisa dilihat terutama
dalam pandangannya mengenai relasi antaragama, hukum Islam,
pluralisme, dan ragam aliran pemikiran dalam Islam.

Dalam masalah kebebasan beragama misalnya, Syaltut melihat


bahwa hal itu sesuatu yang mesti dan dijamin dalam Islam. Manusia,
katanya, mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya.
Dengan kemampuan akal dan amal yang diperbuatnya, derajat manusia
akan makin dekat dengan sang Khalik. Manusia diciptakan Tuhan bebas
untuk melakukan apa yang diingininya.
Dalam mengkaji suatu masalah, ia selalu menggunakan pendekatan
naql dan aql. Hal demikian lalu ia konvergensikan dengan penajaman
pandangannya, dan menimbang apa yang dikemukakan oleh ulama-
ulama sebelumnya untuk kemudian ia pertimbangkan menjadi suatu
keputusan hukum. Konsistensi dalam berpendapat selalu dipegang erat.
Karena itu, tak jarang Syaltut berbeda pendapat dengan ulama lain.

Fatwanya yang dianggap paling kontroversial adalah tentang


halalnya menaruh harta di bank dan diperbolehkannya pembatasan
keturunan (KB). Setidaknya, hal itu dapat ditemui dalam kitab "Al Fatawa".

Dalam upaya kontekstualisasi Islam, Syaltut mencoba merumuskan


suatu konsep yang memudahkan umat Islam. Formulasi itu secara ringkas
dapat dijelaskan dalam pandangannya, bahwa Islam sebagai sebuah
ajaran tidak pernah tertinggal oleh dinamika zaman dan karenanya akan
selalu kontekstual dengan masa. Baginya, Islam adalah syariah dan
akidah yang karena keduanya manusia akan menemukan kedamaian dan
kesejahteraan hidup.

Untuk itulah, tegasnya, ajaran Islam harus selalu dikontekstualkan


dengan pemahaman-pemahaman yang tercerahkan. "Islam memberikan
tempat yang luas sekali kepada kita untuk menerjemahkannya bukan
dalam konteks ideologis semata, tetapi juga sebuah nilai hidup. Islam
memberikan kebebasan berpikir manusia untuk memahami agamanya
sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya," ujarnya dalam Islam Aqidah wa
Syariah.

Dalam kaitan pemikiran keyakinan, Syaltut melihat bahwa substansi


akidah Islam adalah keimanan, baik iman kepada adanya pencipta
maupun terhadap apa yang akan diciptakan oleh sang Pencipta. Kalimat
syahadat, paparnya, adalah bentuk perjanjian keimanan manusia dan
pernyataan ideologis manusia kepada Tuhannya yang satu dan
Muhammad sebagai utusanNya. Dengan syahadat ini, akan membuka hati
dan pikiran manusia untuk memahami Islam lebih dalam dan luas.

Untuk mencari kebenaran Tuhan, menurut Syaltut, manusia harus


menyadari bahwa ada sesuatu yang harus diketahuinya hanya sebatas
untuk tahu, dan ada sesuatu yang diketahuinya dan memang harus
diamalkannya. Syaltut menjelaskan, untuk memperoleh kebenaran itu
manusia harus melalui pendekatan rasional dan irasional.

Syaltut menegaskan, walaupun banyak terjadi perbedaan pendapat


dalam memahami akidah, namun ada tiga hal yang harus dibatasi dalam
upaya menyikapi perbedaan itu.

Pertama, bahwa dalam memahami akidah dan proses pencarian


kebenaran Tuhan itu, kita harus memakai dalil yang qath'i.

Kedua, pemahaman akidah yang berangkat dari dalil yang tidak


qath'i pada akhirnya menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat,
tidaklah dapat dikatakan sebagai konklusi dari akidah yang benar, dan
pendapat satu kelompok tertentu bukanlah merupakan pendapat yang
paling benar dengan menafikan kebenaran kelompok lain.

Ketiga, apa yang terdapat dalam buku-buku tauhid tidaklah dapat


disebut bahwa masalah akidah yang diwajibkan oleh Tuhan kepada kita
untuk mengetahuinya telah terangkum dalam kitab tersebut. Kitab-kitab
itu hanya merupakan karya-karya ilmiah yang mungkin bisa berbeda
dengan apa yang terdapat dalam nash-nash syar'i, dan karena itu,
merupakan lapangan ijtihad para ulama.

Dalam kaitan ini, lanjut Syaltut, "syariah dan akidah merupakan satu
sistem yang tidak dapat dipisahkan". Akidah merupakan dasar yang
mendorong manusia untuk menjalankan syariah Tuhan, dan syariah
adalah refleksi panggilan hati manusia yang berakidah. Karena itu
manusia yang berakidah tanpa menjalankan syariah Tuhan, atau manusia
yang menjalankan syariah Tuhan tetapi tanpa memiliki akidah tidak
dianggap seorang Muslim, juga tidak dihukumi Islam.

Berkaitan dengan perbedaan pendapat, Syaltut menilai, hal itu


sebagai sesuatu yang wajar. Perbedaan pendapat, jelasnya, disebabkan
oleh metodologi yang berbeda pada seorang mujtahid dalam memahami
nash-nash syar'i, juga cara pandang yang berbeda dalam melihat sebuah
masalah, sehingga hasil ijtihadnya pun berbeda.

Perbedaan-perbedaan yang muncul dan akhirnya menjadi sekte-


sekte ataupun aliran-aliran, menurutnya merupakan proses menyejarah.
Hal demikian pun terjadi pada zaman Nabi dan para sahabat. Namun
perbedaan itu pada hakikatnya memiliki sasaran yang sama, yakni upaya
pribumisasi nilai Islam.

Selain itu, karena antara satu madzhab dengan madzhab lainnya


dalam memahami nash-nash syar'i, khususnya kalangan Sunni dan Syiah
berbeda pandangan, Syaltut melontarkan gagasan jalan tengah yang
dikenal sebagai "Taqrib al Madzahib", (rekonsiliasi antar-madzhab).
Artinya, kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi pemahaman
keagamaan tanpa melihat simbol-simbol aliran yang kita yakini, dan
dengan meminimalisir fanatisme madzhab yang selama ini membekas
dalam perilaku keagamaan.

Gagasan ini bukan berarti kita harus menghilangkan dan


menghapuskan pluralisme madzhab yang ada, atau menyatukan antara
satu madzhab dengan madzhab lainnya, tetapi diarahkan untuk
mengurangi sekat-sekat keagamaan yang telah menyejarah dan
membersihkannya dari unsur-unsur fanatisme aliran, sehingga umat Islam
bisa menyamakan barisannya, dan menghimpun kekuatannya dalam satu
kekuatan besar tanpa melihat madzhab yang diyakininya.

Gagasannya ini kemudian ditindak-lanjuti pihak Al Azhar dan


otoritas keagamaan di Iran, dengan membentuk lembaga 'Rekonsiliasi
Antar-Madzhab'. Hingga kini, lembaga itu masih eksis mengemban
misinya. Pada tahun 2000 lalu, dalam rangka peringatan 50 tahun
berdirinya lembaga tersebut, diselenggarakan konferensi selama tiga hari
di Teheran, Iran tentang perdamaian dan rekonsiliasi antarmadzhab.

Bagaimanapun, syeikh Mahmud Syaltut, dengan gagasan-


gagasannya telah mengajarkan kita bagaimana memahami Islam secara
kaffah dan diamalkan dengan mudah, bukan berangkat dari pemaksaan,
tetapi berangkat dari semangat kemanusiaan, ketuhanan, dan semangat
ketaatan pengabdian manusia sebagai khalifah Tuhan.

Sikap keberagamaan manusia, baginya harus dimanifestasikan dan


terpolakan dalam bentuk yang dinamis, fleksibel dan dewasa, sehingga
Islam sebagai rahmatan lil 'alamin dan sholih likulli zamanin wa makanin
benar-benar mewarnai dalam semua tatanan kehidupan manusia.

Pengabdian panjang itu berakhir pada 1963, ketika sang Khalik


memanggilnya untuk selamanya. Di antara karya monumentalnya adalah,
Islam Aqidah wa Syariah; Tafsir Alquranul Karim, dan Fatawa Al Muashirah.

Muhammad Baqir ash-Shadr

Wacana ilmiah yang berkembang di dunia Islam sekarang ini telah


semakin mengedepan dalam menjawab tantangan masyarakat ilmiah
barat. Pada masa sebelum abad dua puluh untuk menjawab tantangan
para pemikir Barat, para intelektual Islam lebih banyak berapologi. Hal ini
terjadi karena tertutupnya pintu ijtihad dan tengelamnya kajian-kajian
filsafat khususnya di dunia Islam Sunni, serta kurang terinformasinya
karya-karya pemikir barat di kalangan pemikir Islam.

Muhammad Baqir Ash-Shadr adalah sedikit dari tokoh-tokoh Islam


yang mampu berbicara dengan fasihnya pemikiran-pemikiran Barat.
Kesan apalogi yang selama ini melekat pada pemikir Islam, ia tepis
dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Ia begitu akrab dengan
karya-karya pemikir Islam klasik maupun modern, tapi ia juga paham
pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang
terkenal yaitu Falsatuna dan Iqtishaduna ia dengan fasihnya
mengutarakan kritik-kritik terhadap pemikiran Barat seperti Karl Marx,
Descartes, John Locke dan lain-lain.

Falsafatuna dan Iqtishaduna telah mencuatkan Mehammad Baqir


Shadr sebagai teoritisi kebangkitan Islam terkemuka. Sistem filsafat dan
ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan lembaga.
Dalam Falsafatuna dan Iqtishaduna, Baqir Shadr ingin menyajikan kritik
yang serius terhadap aliran marxisme dan kapitalisme. Buku ini baik dari
segi sturuktur maupun metodologi, tak diragukan lagi inilah sumbangsih
paling serius dan paling banyak disaluti di bidang ini.
Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana,
ulama, guru dan tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25
DzulQa’dah 1353H/1 Maret 1935 M dari keluarga religius. Pada usia empat
tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian
diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya, Isma’il, yang juga
seorang mujtahid kenamaan di Irak. Muhammad Baqir Ash-Shadr
menunjukkan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak. Pada usia
sepuluh tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang
beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia mampu menangkap isu-isu
teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika
usia sebelas tahun, dia mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku
yang mengkritik para filosof.

Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan kepadanya


‘Ushul ‘ilm al-fiqh (asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum Islam –
yang terdiri atas Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas ). Pada usia sekitar
enam belas tahun, dia pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang
lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islami. Sekitar empat tahun
kemudian, dia menulis sebuah ensiklopedi tentang ‘Ushul, Ghayat Al-Fikr fi
Al-‘Ushul ( pemikiran puncak dalam ‘Ushul ). Muhammad Baqir Ash-Shadr
menjadi seorang mujtahid pada usia tiga puluh tahun.

Sebagai salah seorang pemikir yang paling terkemuka, Muhammad


Baqir Ash-Shadr melambangkan kebangkitan intelektual yang
berlangsung di Najaf antara 1950-1980. Ciri lain yang mencolok dari
kebangkitan itu adalah dimensi politiknya, dan saling pengaruh antara
apa yang terjadi di lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu Najaf, dan
Timur-Tengah pada umumnya. Peristiwa pengeksekusian Shadr bersama
saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda pada 8 April 1980,
barangkali ini merupakan titik puncak tantangan terhadap Islam di Irak.
Dengan meninggalnya Shadr, Irak kehilangan aktivis Islamnya yang paling
penting.

Tapi ketenaran Shadr justru setelah ia dihukum gantung oleh


pemerintahan Irak. Reputasi Shadr semenjak itu diakui di berbagai
kalangan masyarakat. Namanya telah melintasi Mediterania, ke Eropa dan
Amerika Serikat. Pada 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle
East Journal di Washington, menunjukkan pada orang-orang pentingnya
Shadr bagi gerakan bawah tanah Syi’ah di Irak. Pada 1984, Istishaduna
diterjemahkan sebagian ke dalam bahasa Jerman, disertai mukadimah
panjang mengenal alim Syi’ah ini oleh seorang orientalis muda Jerman.
Jadi tidak mungkin lagi mengabaikan nilai penting Muhammad Baqir Ash-
Shadr dalam kebangkitan berbagai gerakan politk Islam, di Irak, di dunia
Syi’ah dan di dunia Muslim pada umumnya.

Muhammad Husayn Thabathaba’i

Darakah, sebuah desa kecil di sisi pegunungan dekat Teheran, di


tempat inilah Allamah Thabathaba'i menghabiskan bulan-bulan musim
panas, menyingkir dari panas Kota Qum, kediamannya. Di desa inilah
Profesor Kenneth Morgan, seorang orientalis terkemuka berkunjung untuk
memintanya menulis mengenai pandangan-pandangan Islam Syi’ah
untuk masyarakat intelektual Barat. Dengan kemampuannya yang
mumpuni dan penguasaannya pada ilmu-ilmu Islam tradisional serta
pengenalannya terhadap pemikiran Barat menjadikan Allamah
Thabathaba'i memang orang yang tepat untuk menulis hal tersebut.

Di dalam dirinya terdapat kerendahhatian dan kemampuan analisis


intelektualnya bergabung. Dalam kelompok ulama tradisional Allamah
Thabathaba'i memiliki kelebihan sebagai seorang Syaikh dalam bidang
Syariat dan ilmu-ilmu esoteris, sekaligus seorang hakim (filosof atau,
tepatnya, teosof Islam tradisonal) terkemuka. Allamah Thabathaba'i telah
membaktikan segenap hidupnya untuk mengkaji agama. Sebuah dedikasi
tinggi terhadap perkembangan ilmu-ilmu Islam dan ilmu pengetahuan
pada umumnya.

Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i dilahirkan di Tabriz


pada tahun 1321 H /1903 M, dari suatu keluarga keturunan Nabi
Muhammad –yang selama empatbelas generasi telah mengahasilkan
ulama-ulama Islam terkemuka. Ia memeperoleh pendidikan di kota
kediamannya, menguasai unsur-unsur bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama,
dan ketika usia duapuluh tahun berangkat ke Universitas Najaf untuk
melanjutkan pelajarannya. Disana ia mempelajari Syariat dan ushul al-fiqh
dari dua diantara syaikh-syaikh terkemuka masa itu yaitu Mirza
Muhammad Husain Na’ini dan Syaikh Muhammad Husain Isfahani.

Namun menjadi Mujtahid bukan tujuannya. Thabathaba'i lebih


tertarik pada ilmu-ilmu aqliah, dan mempelajari dengan tekun seluruh
dasar matematika tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khwansari, dan
filsafat Islam tradisional, termasuk naskah baku asy-Syifa karya Ibnu Sina
dan al-Asfar karya Sadr al-Din Syirazi serta Tamhid al-Qawa’id karya Ibnu
Turkah dari Sayyid Husain Badkuba’i.

Thabathaba'i juga mempelajari ‘ilm Hudhuri (ilmu-ilmu yang


dipelajari langsung dari Allah SWT), atau ma’rifat, yang melaluinya
pengetahuan menjelma menjadi penampakan hakekat-hakekat
supranatural. Gurunya, Mirza Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke
arah rahasia-rahasia Ilahi dan menuntunnya dalam perjalananan menuju
kesempurnaan spritual. Sebelum berjumpa dengan Syaikh ini,
Thabathaba'i mengira telah benar-benar mengerti buku Fushulli al-Hikam
karya Ibn Arabi. Namun ketika bertemu dengan Syaikh besar ini, ia baru
sadar bahwa sebenarnya ia belum tahu apa-apa. Berkat sang Syaikh ini,
tahun-tahun di Najaf tak hanya menjadi kurun pencapaian intelektual,
melainkan juga kezuhudan dan praktek-praktek spritual yang
memampukannya untuk mencapai keadaan realisasi spritual.

Pada 1934 Allamah Thabathaba'i kembali ke Tabriz dan


menghabiskan beberapa tahun yang sunyi di kota itu, mengajar sejumlah
kecil murid. Kejadian-kejadian pada Perang Dunia Kedua dan pendudukan
Rusia atas Persialah yang membawa Allamah Thabathaba'i dari Tabriz ke
Qum (1945). Pada waktu itu, dan seterusnya sampai sekarang, Qum
merupakan pusat pengkajian keagamaan di Persia. Ia mengajar tafsir
Qur’an serta filsafat dan teosofi tradisional, yang selama bertahun-tahun
sebelumnya tidak diajarkan di Qum.
Dengan demikian Allamah Thabathaba'i telah memberikan
pengaruh yang amat besar, baik di dalam basis tradisional maupun
modern. Dia telah mencoba untuk menciptakan suatu elite intelektual
baru di kalngan kelompok masyarakat berpendidikan modern yang ingin
menjadi akrab dengan intelektualitas Islam di samping dengan dunia
modern. Banyak murid tradisionalnya yang termasuk kelompok ulama
telah mencoba untuk mengikuti teladannya dalam upayanya yang amat
penting ini. Beberapa muridnya seperti Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dari
Universitas Masyhad dan Murtadha Muthahhari dari universitas Teheran
juga dikenal sebagai sarjana yang mempunyai reputasi istimewa.

Dia adalah pribadi yang agung, yang telah mencurahkan segenap


hidupnya untuk didekasikan kepada kebenaran. Kecintaannya pada ilmu
telah mengejawantah dalam pribadi agung ini. Dia telah menjadi lambang
dari suatu tradisi panjang kesarjanaan dan ilmu-ilmu tradisional Islam.
Kehadirannya meniupkan suatu aroma dari pribadi yang telah
mendapatkan buah Pengetahuan Ketuhanan. Ia mencontohkan dalam
kepribadiannya, kemuliaan, kerendahhatian dan kecintaannya pada
kebenaran, yang selama berabad-abad telah terdapat dalam pribadi-
pribadi Muslim sejati.

Mulla Shadra

Setelah masa Al-Ghazali dunia pemikiran Islam seakan-akan


mengalami kemunduran. Tapi ini tidak terjadi pada tradisi Islam mazhab
ahlul bait yang terus melanjutkan tradisi berijtihad dan mengembangkan
kajian-kajian filsafat secara serius. Sebaliknya di kalangan Islam Sunni
tradisi berijtihad telah tertutup pada Imam Mazhab yang empat yakni
Hanafi, Syafeii, Hambali dan Maliki (pada saat ini pintu ijtihad mulai
dibuka kembali) dan kajian filsafat mengalami stagnasi. Salah seorang
tokoh yang mengembangkan pemikiran Islam secara fenomenal ini dalam
tradisi mazhab Ahlul Bait ini adalah Muhammad Sadr al-Din Shirazi atau
yang dikenal dengan Mulla Shadra.

Pemikiran orisinalitas Mulla Shadra banyak diakui dari berbagai


kalangan Islam dan Barat. Mulla Shadra telah mengembangkan suatu
mazhab filsafat Islam yang cukup fenomenal. Mulla Shadra, dalam
karyanya yang monumental al-Hikmat al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah
al-Arba’ah telah mengembangkan ajaran wujud adalah realitas satu-
satunya. Hal ini bertolak belakang dengan pemikiran Islam yang dominan
saat itu, yang direpsentasikan oleh Surahwardi dalam karyanya Hikmat al-
Isyraq dengan ajaranya bahwa esensi adalah realitas sebenarnya.

Lahirnya pemikiran ini tidaklah dengan sederhana. Pemikiran ini


lahir melalui perenungan yang mendalam dan lama, serta dibarengi
praktek-praktek keagamaan yang berat. Bagi Shadra pemikiran yang
dimotivasi dari luar hanya akan menjadi filsafat yang mandul, karena
pertimbangan-pertimbangan lahiriah -seperti memperoleh kekuasaan dan
ketenaran duniawi- akan menurunkan pencarian filsafat yang sebenarnya.
Hal inilah mengapa ia mengkritik Ibnu Sina karena mencari kedokteran
dan karier profesional, padahal Tuhan telah memberinya kemampuan
untuk ilmu yang lebih tinggi –filsafat.

Mulla Shadra, tokoh besar dalam filsafat Islam ini lahir pada 979
H/1571M di Shiraz, Iran. Ayahnya, Khwajah Ibrahim Qavani adalah
pejabat di Shiraz. Seperti pada umumnya keluarga pejabat saat itu , Mulla
Shadra tidak masuk sekolah umum. Ia belajar berbagai macam ilmu
pengetahuan seperti sastra, bahasa Arab, puisi persia dan kaligrafi dari
guru privat yang diundangnya ke rumah. Setelah masa ini Mullah Shadra
banyak bepergian ke berbagai kota untuk belajar dengan para guru
terkemuka.
Saat kepindahan ayahnya ke Qazwin (ibukota Iran waktu itu),
Mulla Shadra ikut serta. Di kota ini ia belajar kepada Syaikh Baha’i dan Mir
Damad dari tahun 1595 M-1599M. Seiring dengan perpindahan ibukota
dari Qazwin ke Isfahan dimana Syaikh Baha’i dan Mir Damad (imam
sholat jum’at ibu kota) berpindah kesana ketika masa Shah Abbas I pada
1598 M, Mulla Shadra juga ikut pindah. Di sinilah ia mencapai tingkatan
yang tinggi pada ilmu peripatetik, filsafat iluminisionis, mistis Islam,
logika, kalam, fiqh dan hadist. Mulla Shadra juga menguasai astronomi,
matematika, dan pengobatan.

Setelah itu Mulla Shadra tinggal di Kahak sebuah desa kecil dekat
Qum. Di sini ia mulai mengajar sejumlah kecil murid.Di antara muridnya
yang cukup dikenal adalah Mulla Muhsin Fayd Kashani dan Mulla Abdul
Razzaq Lahiji yang diangkat anak olehnya.

Kemudian Mulla Shadra kembali ke Shiraz karena Imam Qali Khan,


pejabat otonomi Wilayah Teluk Persia mengundangnya untuk mengelola
lembaga pendidikan di Shiraz. Di kota ini Mulla Shadra mengajar filsafat,
hadist, dan menulis komentar Ushul Kafi (kitab hadist Syi’ah yang
dikumpulkan oleh Kulayni). Pada periode ini pula ia menulis beberapa
buku mengenai fisafat dan teosofi transendent. Mulla Shadra meninggal
setelah melaksanakan haji yang ke tujuh kalinya, ketika tiba di Irak ia
jatuh sakit. Di Irak pula ia dikuburkan pada 1637 M.

Mulla Shadra telah lama tiada, namun karyanya yang monumental


itu telah menjadi rujukan para intelektual Islam kemudian dan menjadi
kitab pegangan di Hauza Islamiyah Qum, Iran sekarang ini. Pemikirannya
yang orisinil dan brilyan ini telah menjadi simbol keagungan pemikiran
filsafat Islam. Di tengah-tengah pendewaan terhadap filsafat dan pemikir
Barat. Mulla Shadra hadir menyeruak dan menimbulkan decak kagum
kepada orang yang setuju atau tidak atas pemikirannya. Sehingga kaum
muslimin dapat berdiri tegak di barisan depan peradaban dunia.
Murtadha Muthahari

Murtadha Mutahhari adalah salah satu figur ulama yang dapat


memadukan keulamaan dan keintelektualan. Seorang tokoh ulama yang
menguasai tidak hanya memahami ilmu-ilmu Islam tradisional tapi juga
akrab dengan literatur Barat modern maupun klasik. Ia fasih berbicara
tentang mazhab-mazhab pemikiran Barat mengenai konsep-konsep
materialisme, sosialisme, kapitalisme dan juga humanisme. Sebuah
kemampuan langka yang ada dalam satu pribadi. Mutahhari adalah
sedikit figur yang berjuang tidak hanya menggunakan kemampuan
intelektualnya saja, tapi ia juga seorang ulama yang berjuang melalui
gerakan-gerakan politik untuk mewujudkan cita-cita politiknya dibawah
kepemimpinan Imam Khomeini.

Murtadha Muthhari lahir pada tanggal 2 Februari 1919 dari seorang


keluarga shaleh di Khurasan. Ayahnya, Hujjatul Islam Muhammad Husein
Muthahari adalah seorang alim yang dihormati. Sejak menjadi mahasiswa
di Qum Muthhari sudah menunjukkan minatnya pada filsafat dan ilmu
pengetahuan modern. Di Qum ia belajar kepada Ayatullah Boroujerdi dan
Ayatullah Khomeini. Dalam filsafat ia banyak belajar kepada Allamah
Tatabai. Mutahhari begitu antusias dalam mempelajari filsafat. Buku-Buku
yang ditulis oleh Will Durant, Sigmund Freud, Bertrand Russel, Albert
Einstein, Erich Fromm dan pemikir-pemikir Barat lainnya ia telaah dengan
serius. Muhtahari mempelajari pemikiran Barat bukan karena rendah diri,
dan malu-malu menonjolkan pemikiran Islam. Muthahhari dengan fasih
berbicara Islam, seraya mengedepankan pemikiran Islam dibanding
dengan pemikiran Barat.

Itulah Mutahhari yang pada usia relatif masih muda sudah mengajar
logika, filsafat dan fiqh di Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Ia juga
menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat. Disamping iu, ia juga mumpuni
dalam bidang kuliah-kuliah seperti : kuliah al-Ushul, kuliah Ilmu Kalam,
kuliah al-Irfan. Dengan keluasan ilmunya ini, Muthahhari tidak memilih
kenyaman hidup. Walaupun hal itu dapat ia lakukan. Ia terpanggil untuk
menegakkan nilai-nilai yang diajarkan kepada muridnya untuk diwujudkan
dalam masyarakat.

Dia lah Muthahhari yang dalam perjalanan sejarah kehidupannya,


Muthahhari tidak memilih ketenangan. Ia justru memilih badai daripada
damai. Ia aktif di politik dan berjuang bersama-sama Imam Khomeini
menentang rezim Pahlevi yang lalim. Pada tahun 1963 bersama-sama
Imam Khomeini, ia ditahan. Ketika Imam Khomeini dibuang ke Turki, ia
mengambil alih imamah dan menggerakkan para ulama mujahiddin untuk
meneruskan semangat perjuangan sang Imam. Langkah-langkah
politiknya jelas terlihat, bersama-sama dengan ulama lainnya ia
mendirikan Husainiya-yi Irsyad yang menjadi basis kebangkitan intelektual
Islam. Ia juga menggalang bantuan untuk rakyat Palestina dan pernah
menjadi imam Masjid al-Jawad serta menjadikan masjid tersebut pusat
gerakan politk Islam. Mutahhari juga merupakan salah satu tokoh arsitek
Revolusi Islam Iran. Dan pada saat revolusi Islam Iran 1979 Ia menjadi
anggota Dewan Revolusi.

Karakateristik yang menonjol pada diri Muthahari dan menjadi


tipikal ulama Syi’ah di Iran umumnya adalah kedalaman pengertiannya
tentang Islam, keluasan pengetahuannya tentang filsafat dan sains
modern dan keterlibatan yang nonkompromistis terhadap keyakinan dan
ideologi mereka. Perpaduan tiga hal tersebut menjadikan mereka menjadi
ideolog-ideolog yang tangguh. Perjuangan mereka dengan kemampuan
intelektual dan aktivisnya menjadikan sebuah semangat yang tak
tergoyahkan. Karena keyakinan yang diiringi dengan ilmu akan
memberikan keyakinan yang sejati.
Perjuangan Muthahhari dalam menegakkan prinsip-prinsip Islam
yaitu kebenaran dan keadilan akhirnya harus ditebus dengan nyawanya.
Ia syahid pada 2 Mei 1979, ditembak oleh kelompok ekstrim, Furqan.
Muthahari kini telah tiada, tapi jasanya dalam menegakkan kebenaran
melalui keteguhan keyakinan dan keluasan ilmu dapat menjadi suri bagi
kaum muslimin. Ia adalah figur yang telah menorehkan sejarah hidupnya
dengan prinsip-prinsip Islam yang sejati.

Rifa’at Thohthowi

Nama lengkapnya Rifa'at bin Badwi bin Ali bin Muhammad bin Ali
bin Rofi'. Rifa'at lahir di kampung Thahtha distrik Suhaz pada 15 Oktober
1801 M, bertepatan dengan 7 Jumadil Tsani 1612 H. Ia adalah pemikir
peletak batu pertama kebangkitan Arab modern. Namanya terukir dalam
sejarah sebagai pejuang dalam kemenangan Arab, yang mampu
membawa Arab, khususnya Mesir, dari masa kegelapan ke masa
pencerahan.

"Kalaulah tidak ada Thohthowi, niscaya negeri-negeri Arab akan


tetap dalam kegelapan dan keterbelakangan," tulis cendekiawan Mesir, Dr
Jabeer Usfour, dalam rangka memperingati 120 tahun wafatnya Thohthowi
(1994). Jasa dan peran Thohthowi dalam pencerahan dunia Arab memang
tak bisa dianggap remeh. Dialah perancang pendidikan modern, pionir
dalam penerbitan surat kabar, mendirikan sekolah-sekolah,
menerjemahkan berbagai buku berbahasa Prancis ke dalam bahasa Arab
dan juga menulis berbagai buku dalam berbagai macam disiplin ilmu.

Thohthowi berusaha memadukan peradaban timur yang kaya


dengan sejarah kejayaan masa lampau (turas) dengan peradaban barat
modern. Salah satu karyanya yang representatif dan monumental adalah
'Tahlis al-Ibriz fi Talshils al-Fariz'. Dalam buku ini, Thohthowi memberikan
gambaran sebab-sebab kemajuan Prancis dan mengajak dunia Arab untuk
menempuh jalan yang sama dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai
Islam sebagai pijakan.

Perjalanan berliku

Untuk sampai kepada kematangan ilmu dan tokoh serta pemikir


yang sangat disegani, Thohthowi harus menempuhnya dengan penuh liku.
Termasuk, ketika ia berusia 12 tahun, sudah harus hidup malang
melintang, berpindah dari satu kampung ke kampung lainnya. Tak lama
kemudian, Thohthowi harus kehilangan ayah tercintanya untuk
selamanya.

Setelah ayahnya meninggal, Rifa'at kembali ke Thohtho untuk


memperdalam ilmu di Baitul Ilmi (sejenis sekolah) yang ada di sana,
sehingga Rifa'at bisa belajar dari para ulama tentang ilmu fikih, nahwu,
logika, tafsir dan hadis. Di usia ke-16, Thohthowi berangkat ke Kairo
dengan tujuan ingin belajar di Al Azhar. Ia berguru pada ulama-ulama
Azhar seperti Syekh al Fudhali, Syekh Hasan al-Kuwaisini, Syekh al-
Bukhari, Syekh al-Damanhuri, Syekh Muhammad Hubais, Syekh al-Bajuri,
dan lainnya. Gurunya yang paling berpengaruh pada pemikiran-pemikiran
Thohthowi adalah Syekh Hasan al-Attar (1766-1830 M/1180-1251 H).

Beliaulah yang menyampaikan Thohthowi masuk dalam lingkungan


ulama-ulama Azhar dan memberikan rekomendasi untuk berangkat ke
Paris, Prancis.

Di Paris, Thohthowi belajar pada ilmuwan-ilmuwan Prancis, seperti


Edme Francois Jomar, Silvestre de Sacy, Caussin de Perceval dan lainnya.
Sebelum kembali ke Mesir (1831 M/1247 H) Thohthowi sempat
menerjemahkan lebih dari 12 teks berbahasa Prancis baik berupa artikel
maupun buku. Setibanya di Mesir, Thohthowi menunjukkan buku 'Tahlis al-
Ibriz fi Talshils al-Fariz' yang mengupas sebab-sebab kemajuan Perancis,
kepada Syekh Hasan al Attar, kemudian menunjukkannya kepada
Muhammad Ali Basa (penguasa Mesir saat itu) yang merasa kagum atas
hasil karyanya tersebut. Salah satu agenda Thohthowi setelah
kepulangannya ke Mesir adalah mendirikan sekolah. Ia ingin
memodernisasi pendidikan, yaitu menghasilkan intelektual Islam yang
kreatif dalam semua bidang namun tetap terikat dengan nilai-nilai Islam.

Thohthowi mengakui, bahwa Barat telah mengungguli Timur dalam


ilmu pengetahuan dan teknologi, karena ilmu pengetahuan di Barat
bergerak lewat perjalanan evolusioner. Namun bila menyangkut masalah
moral dan spiritual, Timur lebih kaya dari Barat.

Ia merupakan orang Timur pertama yang mengkaji peradaban Barat


(baca: Prancis) dengan serius. Ia bertekad untuk memberikan yang terbaik
bagi Arab sebagaimana pendahulu-pendahulunya yang telah mentransfer
ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia, India, ke dunia Arab.

Ia bercita-cita untuk membawa dunia Arab yang kedua kalinya ke


gerbang kejayaan setelah hanyut akibat sistem feodalisme raja-raja
selama enam abad.

Dari dasar inilah Thohthowi ingin menyambungkan benang merah


sebagai sintesa antara peradaban Arab dengan peradaban Barat modern.
Langkah pertama yang diambilnya adalah membuka wawasan berfikir
Arab dari fanatisme buta agar bisa menerima peradaban modern yang
sebelumnya mereka tolak mentah-mentah. Langkah selanjutnya adalah
memotori penggabungan peradaban Mesir yang kaya warisan-warisan
masa lampau (turas) dengan peradaban Barat modern.

Namun demikian, Thohthowi juga tidak menutup mata bahwa


peradaban Eropa modern tak luput dari segi-segi negatifnya sebagai
konsekuensi dari kehidupan materialistik yang telah mengikis nilai-nilai
keimanan. Dalam pandangannya, segi-segi negatif dari krisis-krisis
modern adalah akibat dari penolakan terhadap nilai-nilai spiritualisme.
Untuk itulah, Thohthowi mengingatkan dunia Arab agar mengambil segi-
segi positifnya saja dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam
sebagai acuan dan pijakan. Karena itu, meski mengakui keunggulan
tersebut, ia kerap kali mengkritik keras peradaban Barat yang sarat bebas
nilai/moral.

Pemikirannya

Pemikiran tokoh pencerah ini banyak kemiripan dengan pemikiran


Mesir modern, Hassan Hanafi. Ia menolak keras sekularisasi dalam
berbagai coraknya. Misalnya, ketika menerjemahkan buku "Kumpulan
Hukum Napoleon Bonaparte" (cetakan 1866 M/1283 H) --dalam
mukadimahnya-- Thohthowi menulis bahwa tujuan dari penerjemahan
tersebut adalah agar mengetahui aturan main yang dipakai dalam sistem
perdagangan asing, bukan untuk dijadikan sebagai hukum yang dipakai di
negara-negara Islam. Selain mengkritik sekularisme Barat, Thohthowi juga
menyeru pada Islamisasi dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang
hukum.

Ia menjelaskan tentang pembahasan syariah dalam berbagai


cabang yang mengatur aturan dalam setiap bidang. Ia mengajak para
pembaru Islam (mujaddid) untuk mengembangkan fikih Islam
kontemporer agar tetap sesuai dengan konteks zaman dan bisa
menyelesaikan problematika masyarakat modern yang belum muncul
sebelumnya.
Dalam bidang politik, pemikirannya yang terpenting di antaranya
adalah tentang urgensi politik bagi umat Islam. Ia menjelaskan urgensi
politik dalam membangun tatanan masyarakat yang ideal dalam satu
wadah yang dinamakan negara. Thohthowi memberikan batasan, politik
yang harus dikembangkan bukanlah politik kotor yang bercirikan
manipulasi, pengekangan dan penindasan yang hanya cocok untuk
pemerintah yang lalim.

Konsep politik yang ditawarkan Thohthowi adalah politik sebagai


sistem roda kehidupan yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama,
mengatur administrasi negara, perlindungan terhadap hak-hak rakyat,
proses pemilihan kepala negara, dan lainnya yang termasuk dalam
kategori politik dalam negeri ataupun luar negri, seperti mengadakan
hubungan diplomatik dengan negara lain.

Thohthowi, membagi politik dalam lima macam:

Pertama, politik profetik (nubuwah), yaitu politik khusus para nabi


dan rasul di mana proses pemilihan nabi dan rasul adalah hak dan
wewenang Allah.

Kedua, politik kekuasaan/pemerintahan, yaitu politik yang bertujuan


mengatur tata negara, menggalakkan pembangunan untuk kepentingan
bangsa. Politik ini dikenal sebagai politik tinggi kenegaraan.

Ketiga, politik umum, yaitu politik kepemimpinan dalam suatu


kelompok masyarakat dalam konteks lebih kecil dari negara seperti
kepemimpinan dalam militer atau organisasi sipil.

Keempat, politik khusus, yaitu politik dalam tata aturan rumah


tangga sebagai masyarakat terkecil. Dan kelima, politik personal, yaitu
sistem tata aturan setiap individu dari manusia untuk mengatur
kehidupannya sendiri.

Ia mensinyalir ada dua jalur kekuatan politik: pertama, kekuatan


rakyat dimana negara harus menjamin dan menyalurkan hak-hak
politiknya, memberikan kebebasan agar bisa menikmati hasil
pembangunan negaranya dan juga melaksanakan kewajiban-
kewajibannya sebagai warga negara. Kedua, kekuatan
pemerintah/penguasa yaitu sebagai pembuat undang-undang, pelaksana
pemerintahan dan pengawas pemerintah dalam melaksanakan
pembangunan. Sistem kekuasaan yang kedua ini dibagi menjadi tiga:
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Dalam proses tasyri' (penetapan hukum), Thohthowi melakukan


pendekatan dengan memadukan warisan fikih Islam dengan perundang-
undangan modern. Ia bercita-cita merekonstruksi tata aturan hukum dan
perundang-undangan dengan berpijak kepada dua landasan yaitu:
warisan sistem tata aturan hukum Islam (fikih Islam) dan adopsi sistem
perundang-undangan modern yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.
Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan akan mampu membawa
kepada kesejahteraan manusia.

Pemikirannya dalam masalah kebebasan/kemerdekaan (hurriyah)


juga nampak jelas. Pemikirannya ini, sebagaimana diakui Dr Muhammad
Imarah (1995), banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran demokrasi liberal
yang pada zamannya sangat terkenal dalam percaturan politik. Thohthowi
mendefinisikan kebebasan secara sederhana, yaitu segala aktivitas yang
dibolehkan tanpa adanya pelarangan dan halangan dari pihak lain.

Menurutnya, kebebasan ada lima macam bentuk:


Pertama, kebebasan atau kemerdekaan pembawaan, yaitu
pembawaan seseorang sejak diciptakan seperti, makan, minum dan
sebagainya.

Kedua, kemerdekaan bertindak.


Menurutnya, seluruh aktivitas manusia bebas, hanya kebebasan dalam
kerangka aturan yang telah disepakati bersama dan difikirkan lewat akal.

Ketiga, kebebasan beragama, yaitu kebebasan dalam menganut


suatu agama atas madzhab yang diyakini.

Keempat, kebebasan sosial, yaitu hak-hak masyarakat yang ada


dalam suatu kota atau daerah tertentu untuk saling membutuhkan dan
bantu-membantu, tanpa ikut campur atau mengganggu kebebasan orang
lain.

Kelima, kebebasan politik, yaitu jaminan negara atas rakyatnya


dalam memberikan kebebasan demi menyalurkan aspirasi dan hak-hak
politiknya.

Ia mengakui ada dua faktor fundamental yang dianggap telah


melahirkan peradaban modern dan dalam mengubah Eropa dari tahap
kejumudan ke tahap kebangkitan dan pergerakan. Pertama, faktor
ekonomi yang mendorong lahir dan tumbuhnya borjuasi setelah
merosotnya feodalisme. Kedua, peranan intelektual. Kaum intelektual
abad 14 M tidak bermaksud menolak agama.

Mereka hanya hendak mengubah agama Kristen abad pertengahan


menjadi suatu agama kehidupan. Mereka ingin menggantikan perhatian
lama di sekitar spirit, moralisme dengan cakrawala baru tentang
kehidupan dan kegiatan-kegiatan sosial, yang hasilnya adalah lahirnya
agama Protestan. Thohthowi melihat, tokoh-tokoh seperti Luther, Calvin,
Kepler, Galileo, Descartes, Kant, Francis Bacon adalah orang-orang yang
sangat berjasa dalam melahirkan peradaban modern.

Di antara pemikiran Thohthowi dalam tatanan sosial ekonomi,


misalnya dapat dilihat dalam membuat kriteria kemuliaan dan martabat
seseorang dalam masyarakat, dimana sebelumnya kriteria derajat
kemuliaan kedudukan seseorang diukur dengan banyaknya harta,
keturunan yang baik atau masih ada keturunan dengan Rasulullah.

Ia menolak kriteria-kriteria tersebut. Dia mengajak kita mengamati


tentang konsep Islam dalam kemuliaan derajat seseorang. Dalam Islam,
orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang berakhlak dan
bertakwa. Kemuliaan seseorang dalam agama Islam tidak diukur dengan
banyaknya harta atau tingginya jabatan. Contoh yang paling mudah
dalam hal ini adalah kemuliaan Rasulullah. Orang sepakat bahwa
kedudukan Rasulullah sangat mulia padahal dia tidak mempunyai harta
yang banyak dan kedudukan duniawi yang tinggi.

Dari sinilah, menurutnya, bisa diambil kesimpulan bahwa kemuliaan


seseorang lebih ditentukan oleh amal baiknya. Banyak hal yang dapat kita
ambil dan praktikkan dari tokoh pendiri sekolah wanita pertama di dunia
Arab ini.

Sayyida Nafsa

Sejarah Islam hanya mencatat sedikit saja nama ulama perempuan.


Umat lebih mengenal nama ulama lelaki daripada perempuan. Umat Islam
di Indonesia lebih mengenal Syafii, Hanafi, Hanbali, Maliki, dan banyak
lagi. Tapi tak pernah mendengar dari siapa mereka belajar.
Popularitas ulama perempuan tenggelam di balik kharisma mereka
yang belajar darinya. Padahal tak ada hilir jika tak ada hulu. Tak kenal
maka tak sayang. Kita memang tak tahu mereka. Bagaimana kita
menyayanginya?

Tersebutlah sebuah nama, Sayyida Nafisa. Darinya Syafii


memperoleh pengajaran ilmu fiqh, Quran dan hadis. Pendiri salah satu
dari empat madzhab, bahkan madzhab terbesar yang diikuti umat Islam
Indonesia ini, sengaja datang dari Baghdad. Ia menyusul cucu Imam
Hasan as, lima tahun setelah perempuan itu berada di Kairo Mesir. Tapi
nama Sayyida Nafisa seolah tak dikenal umat Islam Indonesia. Mereka
hanya tahu Syafii, pendiri madzhab Syafii.

Sayyida Nafisa lahir di Madinah pada tahun 145 Hijriah. Ia keturunan


langsung Nabi Muhammad SAWW melalui cucu beliau Imam Hasan as.
Putera pasangan Imam Ali as dan Sayyida Fatimah as itu memiliki seorang
anak bernama Zaid, dan selanjutnya Zaid mempunyai anak bernama
Hasan Al Anwar, ayah Nafisa. Jadi, Hasan Al Anwar adalah cucu Imam
Hasan as.

Karena itu wajar jika Sayyida Nafisa juga mewarisi kecerdasan


sekaligus kefasihan berbicara. Dari keluarganya, ia memperoleh
pengetahuan tentang Islam. Pendeknya jalur kekeluargaan serta
kehidupan keseharian yang ia jalankan membuat wawasannya tentang
Alquran dan hadis Nabi sangat luas.

Nafisa kecil selalu dibawa ayahnya ke Masjid Nabawi untuk shalat


dan bermunajat. Hasan Al Anwar yang sempat menjadi gubernur Madinah
biasa berlama-lama di makam datuknya Muhammad SAWW. Nafisa kecil
mendampingi tiap kali ayahnya ke Al Haram. Kala itu usianya masih
balita. Ia masih dituntun menuju makam Rasul sampai usianya enam
tahun.
Hasan Al Anwar kerap memperkenalkan anaknya pada Rasulullah.
''Ya Rasulullah, ini aku datang bersama putriku Nafisa.'' Kunjungan itu ia
lakukan terus sampai satu kali ia bermimpi berjumpa kakeknya yang
mengatakan senang berjumpa Nafisa. Rasulullah dalam mimpi Hasan
mengaku senang pada Nafisa karena Allah juga menyukainya.

Kebiasaan semasa kecil terbawa terus. Nafisa menjadi perempuan


yang rajin belajar dan terus-menerus beribadah di masjid. Karena itu tak
heran jika sejak kecil ia telah menghafal Alquran dan mengerti hukum
Islam sejak belia. Melanjutkan tradisi keluarga Rasul, ia juga terbiasa
bermunajat di makam Rasul.

Kefasihan bicara, penguasaan ilmu yang baik serta kekhusyukannya


beribadah menjadikan Nafisa rujukan penduduk Madinah yang hendak
bertanya. Perempuan yang sangat zuhud dan alim ini segera disukai
penduduk Madinah.

Ia kemudian punya beberapa gelar antara lain Nafisat Al Ilm wal


Ma'rifat, Nafisat Tahira (wanita suci), Nafisat Al Abida (Nafisa ahli ibadah),
Nafisat Al Darayn, Sayyidat Ahlul Fatwa, Sayyidat Al Karamat dan Umm Al
Awaajiz. Kesemuanya itu merujuk pada kehidupan dan keulamaannya.

Hidup miskin

Diusia 16 tahun, Nafisa menikah. Ia disunting Ishaq Mu'taman,


keturunan langsung Imam Husain as, saudara Imam Hasan as putra Imam
Ali as dan Sayyida Fatimah as. Dari pernikahan ini, Nafisa memiliki dua
anak Al Qasim dan Ummu Kaltsum.

Menikah, tak menjadikan perempuan ini menarik diri dari kegiatan


belajar dan mengajar. Karena memang itu pesan yang disampaikan
datuknya Muhammad SAWW. Ia juga berangkat ke Makkah untuk ibadah
haji. Dan ia memilih jalan kaki sementara yang lain berkendaraan unta.
''Aku malu pada kakekku Muhammad bila pergi ke Makkah berkendaraan.''
Begitu dia memberi alasan.

Saat berusia 44 tahun, Sayyida Nafisa hijrah ke Mesir. Tak ada


penjelasan mengapa ia pindah ke negeri di seberang benua itu. Namun
sebelum ia tiba, simpati masyarakat telah diperolehnya. Masyarakat Mesir
sangat menghormati ulama perempuan keturunan Rasulullah SAWW. Saat
datang, Sayyida Nafisa disambut bak putri. Ia diarak dengan lagu-lagu
shalawat.

Putri Hasan Al Anwar ini lantas tinggal di kediaman Jamaluddin


Abdullah Al Jassas, rekannya yang orang Mesir. Tiap saat rumah ini selalu
dikerumuni orang. Mereka datang untuk belajar, meminta doa, ber-
tabarruk, atau ikut beribadah.

Merasa tak enak hati dengan pemilik rumah, Sayyida Nafisa pindah
ke rumah temannya Ummu Hani yang sekarang berada di distrik al
Hasaniyya. Namun kepindahan tak membawa perubahan. Umat Islam
Mesir dari berbagai pelosok masih mengunjunginya.

Pada akhirnya, Sayyida Nafisa merasa tak lagi bisa khusyuk dalam
berdoa. Rumahnya selalu ramai. Sementara tak mungkin menolak
permintaan masyarakat yang datang meminta doa, ia merasa kehilangan
waktu untuk berdua saja dengan Sang Pencipta, atau saat ia hendak
berbicara dengan kakeknya Rasulullah SAWW.

Perempuan ini menyerah. Ia memutuskan untuk kembali ke Madinah


Al Munawwarah. Namun, keputusannya mengecewakan rakyat Mesir.
Melalui gubernur Mesir, mereka memohon salah satu keturunan Nabi itu
tak meninggalkannya. Umat Islam Mesir butuh bimbingannya. Mereka
merasa kehadiran Sayyida Nafisa membawa berkah.

Lagi-lagi ia tak dapat mengelak. Sayyida Nafisa mengalah. Ia tak


mungkin meninggalkan masyarakat yang begitu mencintainya. Ia
memutuskan untuk tinggal. Tentu masyarakat Mesir bersuka cita.

Sebagai rasa terima kasih, gubernur Mesir kala itu Sirri bin Hakam
menghadiahkan sebuah rumah di tempat lain. Rumah itu berada di lahan
yang lebih besar. Dengan begitu kerumunan dapat tertampung. Ia juga
bisa mengatur waktu untuk bermunajat, mengajar dan menerima
kunjungan. Pada akhirnya ia menerima masyarakat pada hari tertentu.
Selebihnya adalah waktu pribadi untuk ibadah dan mengajar.

Di rumah baru itu kemudian Sayyida Nafisa menerima murid. Ia


khusus mengajar hukum Islam, Alquran dan hadis. Salah satu muridnya
yang kemudian sangat terkenal adalah Syafii. Syafii datang lima tahun
setelah Nafisa tiba di Kairo. Murid lain yang juga menjadi besar adalah
Utsman bin Said Al Misri, Dzun Nun Al Misri, dan Masri Al Samarkandi.

Syafii dan Sayyida Nafisa lantas berkolaborasi. Mereka mengelola


majelis pembelajaran itu bersama. Di tempat Sayyida Nafisa, Syafii bisa
tinggal enam jam dalam sehari. Ia mengajar ilmu kalam, figh dan tafsir.

Syafii juga memimpin shalat di markas Sayyida Nafisa. Gurunya itu


akan menjadi makmum dan berdiri di belakang. Sampai saat sakitnya,
Syafii masih berkunjung ke rumah Sayyida Nafisa. Ia meminta doa. Dan
saat tak mampu lagi berjalan, ia mengirim muridnya untuk duduk di
majelis yang dipimpin Sayyida Nafisa.

Si murid lantas menyampaikan salam Syafii. ''Saudara sepupumu ini


tengah terbaring sakit. Doakan aku agar segera sembuh.'' Begitu pesan
yang dititipkan Syafii buat guru Sayyida Nafisa. Sampai satu saat, Sayyida
Nafisa mengatakan kepada orang yang dititipi pesan kata-kata 'Mudah-
mudahan Allah akan bertemu dengannya. Sebuah pertemuan yang
teramat baik.'

Pesan tersebut dimaknai Syafii sebagai pertanda bahwa saat


kematiannya telah dekat. Ia lantas mengirimkan lagi utusan yang
menyampaikan permohonan terakhir agar Sayyida Nafisa berkenan
menshalatkan jenazahnya setelah ia meninggal.

Sayyida Nafisa menshalatkan Syafii di rumahnya, tempat mereka


biasa mengaji bersama. Jenazah Syafii dibawa ke rumah Sayyida Nafisa
untuk dishalatkan.

Ulama yang satu ini hidup sebagai seorang sufi. Diriwayatkan ia


hanya makan sekali tiap tiga hari. Ia bahkan menyalurkan lagi hadiah
yang diberikan gubernur Mesir berupa uang kepada orang miskin di
sekitarnya. Apapun yang dihadiahkan kepadanya akan ia sebar lagi
kepada mereka yang membutuhkan. Ia memilih hidup sangat miskin
meski dengan kepintaran yang sangat kaya.

Syekh Mufd

Dalam kamus Ahlul Bait jika disebut dua orang mahaguru, al-
Syekhain, maka yang pertama adalah Syekh Mufid, yang nama
lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Muhammad Nu’man al-
Haritsi al-Baghdadi, dan kedua, muridnya sendiri Syekh Tusi. Sebutan
mahaguru, Syekh, kepada al-Mufid menunjukkan betapa ia amat
dihormati dan memiliki kedudukan yang amat tinggi. Ibn Nadhim ulama
terkenal Ahlussunnah yang sezaman dengannya dan sempat bertemu
memberikan pengakuan dan perhormatan dalam kitabnya al-Fihrist:
“Ibnul-muallim —gelar lain untuk Syekh Mufid— Abu Abdillah Muhammad
Ibn Muhammad Ibn Nu’man, yang sezaman dengan kita, adalah tokoh
ulama Syi’ah. Jago dalam ilmu kalam, teliti, cerdas, dan aku telah bertemu
dengannya; Aku lihat ia seorang yang luar biasa dan memiliki beberapa
karya”. Allamah al-Hilli menggambarkan; “Syekh Mufid adalah tokoh Syiah
yang ternama, pemimpin mereka dan guru besar. Orang-orang yang
datang sesudahnya semuanya pernah menimbah ilmu darinya.
Keutamaannya jauh lebih populer dari apa yang bisa digambarkan
tentangnya, baik dalam bidang fiqh, kalam, maupun hadis. Syekh Mufid
adalah orang yang paling tsiqah, dipercaya, dan paling pandai pada
zamannya.”

Memang Syekh Mufid adalah seorang yang sangat luar biasa.


Keahlian dan keunggulannya dalam berbagai disiplin ilmu membuatnya
sangat dihormatidan menjadi rujukan semua pihak, baik Sunni, lebih-lebih
bagi pengikut Ahlulbait. Ibn Katsir, tokoh Sunni yang sangat mengagumi
dan memujinya dengan penghormatan yang tinggi menceritakan dalam
kitab tarikhnya, al-Bidayah wa al Nihayah: “Majelis, kelasnya berjubel
dipenuhi penuntut ilmu dari semua golongan Islam.” Pada kesempatan
lain Ibn Katsir berkisah: “Bahwa tatkala al-Mufid meninggal dunia, tidak
kurang dari 80 ribu penduduk Baghdad, Sunni dan Syi’i ikut mengantar
jenazahnya. ”Bahkan sejarah mencatat, karena begitu banyaknya orang
yang ikut dalam shalat jenazah Syekh Mufid dan menangisi kepergiannya,
digambarkan bahwa tidak pernah ada shalat jenazah yang begitu banyak
pesertanya seperti yang pernah dilakukan terhadap Syekh Mufid.

Syekh Mufid lahir pada tahun 336 H di kota kecil Akbara, 10 parsakh
dari Baghdad. Ayahnya adalah seorang guru, muallim, karena itu ia
dipanggil dengan sebutan Ibnul-muallim yang berarti putra guru. Guru
pertamanya adalah ayahnya sendiri. Dan ketika sang ayah melihat bakat
yang luar biasa pada sang anak, ia segera mengirim Syekh Mufid ke
Baghdad, pusat kekhalifahan dan kota ilmu, berguru kepada tokoh-tokoh
ternama. Pertama, ia berguru kepada Syekh Abu Abdillah Husain Ibn ‘Ali
al-Ja’li. Kemudian kepada Syekh Abi Yasir. Kemudian ia disarankan untuk
berguru kepada ‘Ali Ibn Isa al-Rummani, tokoh Mu’tazilah yang sangat
terkenal di Baghdad. Dari situlah gelar al-Mufid (berguna) diperolehnya.

Dikisahkan bahwa ketika hari pertama ia memasuki kelas ‘Ali Ibn Isa
al-Rummani, dilihatnya kelas penuh sesak. Ia kemudian duduk dipojokan.
Ketika pelajaran selesai, seseorang mendekati ‘Ali Ibn Isa dan terjadilah
perdebatan panjang antara keduanya. Orang itu bertanya kepada ‘Ali Ibn
Isa: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Ghadir, peristiwa pengangkatan
Imam ‘Ali sebagai pengganti Rasulullah, dan al-Ghar, peristiwa
bersembunyinya Nabi Muhammad Saw bersama Abu Bakar di gua Tsur?
‘Ali Ibn Isa menjawab: “Peristiwa al-Ghadir adalah riwayah sementara al-
Ghar adalah dirayah. Riwayah tidak dapat mengungguli dirayah.
Mendengar jawaban ‘Ali Ibn Isa, orang itu terdiam dan ngeloyor pergi.
Syekh Mufid bertutur: “Aku lalu menghadap ‘Ali Ibn Isa dan bertanya
kepadanya: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang memerangi
Imam yang adil? Ali Ibn Isa menjawab: “ Kafir, kemudian meralat, bukan,
fasik. Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana pendapatmu tentang Amirul
Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib?” Ia menjawab: “Seorang Imam.” Aku
bertanya lagi: “Bagaimana pendapatmu tentang Talhah dan Zubair dalam
perang Jamal?” Ia menjawab: “Kedua-duanya bertaubat”. Maka kukatakan
kepadanya: “Adapun peristiwa perang Jamal adalah dirayah sedang
tentang taubat keduanya adalah riwayah”. Ali bin Isa terperanjat dan
bertanya kepada Syekh Mufid: “Apakah engkau mendengar perkataanku
kepada orang Bashrah tadi?” “Ya”, jawab Syekh Mufid. Riwayah lawan
riwayah dan dirayah lawan dirayah, tambahnya”. Kemudian ‘Ali Ibn Isa
mengirim surat kepada Abi Yasir mengungkapkan kekagumannya dan
menamakan murid barunya itu, al-Mufid.

Belum genap berumur dua puluh tahun, Syekh Mufid telah membuat
semua orang kagum akan kepandaian dan kecerdasannya. Kelas-kelasnya
penuh dengan para penimbah ilmu dari berbagai kalangan. Bahkan
dihadiri oleh ulama-ulama terkemuka dari berbagai Mazhab pemikiran
Islam. Itu karena Syekh Mufid menerapkan metode diskusi terbuka, bebas
dan dalam. Hampir semua ulama terkemuka pada zamannya, dari semua
golongan Islam, pernah mengikuti kelasnya dan melakukan debat terbuka
dengan sang Syekh. Baca saja pengakuan Ibn al Jauzi tentang kelasnya:
“Ibnul-muallim memiliki majlis nazhar kelas diskusi dirumahnya di Darb
Ribah, Baghdad, yang dihadiri seluruh ulama”.

Dan karena ketinggian ilmu dan sikap terbukanya yang luar biasa
itu, Syekh Mufid sangat dihormati oleh semua lapisan masyarakat dari
seluruh golongan pemikiran Islam, tidak terkecuali para penguasa Dinasti
Abbasiyah. Bahkan orang yang paling berkuasa dikekhalifahan Abbasiyah.
Bahkan orang yang paling berkuasa di kekhalifahan Abbasiyah, Adhudud-
daulah, kerap berkunjung ke rumah Syekh Mufid dan selalu menjenguknya
jika sang Syekh sakit. Meskipun demikian, akibat fitnah yang dilancarkan
oleh orang yang tidak beretanggungjawab. Syekh Mufid sampai dua kali
harus diasingkan dari Baghdad, walaupun kemudian dipanggil kembali
oleh penguasa Abbasiyah dengan penuh takzim dan penghormatan yang
lebih tinggi dari sebelumnya.

Cukup untuk menunjukkan keagungan Syekh Mufid adalah bahwa


dari tangannya yang dingin telah lahir ratusan ulama besar yang nama-
nama mereka telah memenuhi khazanah keilmuan Islam di seluruh dunia,
antara laihn Sayyid Murtadha, Syekh Tusi, dan an-Najasyi. Ratusan karya
ilmiah dari berbagai disiplin ilmu Islam. Menurut Syekh Tusi ada sekitar
dua ratusan karya Syekh Mufid ; sebagian besar beredar luas, sebagian
masih dalam bentuk manuskrip, dan sebagian lagi hilang ditelan waktu.
Karya-karya itu antara lain: 1. al-Muqniah, karya fiqh dan beredar luas. 2.
al-Arkan fi Dâim al-Din. 3. al-Idhah fi al-Imamah. 4. al-Irsyad, 5. al-Uyun wa
al-Mahasin, 6. Masail ahlul-Khilaf, 7. Dalail al-Quran, 8. al-Masail al-
Shaghaniyah, 9. al-Naqd ‘ala Ali Ibn Isa al-Rummani, 10.al-Masail al-Asyr fi
al-Ghibah, 11. Kasyful Iltibas, 12. Waq’atul-Jamal, 13. al-Istibshar fima
Jamaahu al-Syafii, 14. al-Rad ala al Sya’bi, 15. al-Rad ala Ibn Aun fi al-
Makhluq, 16. Al- Rad ala Ibn Rusyd, 17. Syarh Kitab al-A’lam, 18. al-
Maqalat, 19. Uusulul-Fiqh dan 20. al-Risalah al-Alawiyah.

Syekh Mufid meninggal dunia pada tahun 413 H dalam usia yang
cukup sepuh, 77 tahun, dikebumikan di Baghdad, kemudian dipindahkan
kepemakaman Quraiys dekat makam Imam al-Jawad. Seperti yang
dikemukakan di atas, ketika Syekh Mufid meninggalkan beberapa orang
anak antara lain, ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn al-Nu’man,
seorang ulama besar, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Mustafid. Tapi
kelas-kelas pelajarannya diteruskan oleh menantunya Muhammad Ibn al-
Hasan al-Ja’fari Abu Ya’la, seorang yang disebut al-Najasyi sebagai
khalifah al-Mufid, ahli kalam, faqih terkemuka yang jago dalam dua
disiplin, Sunni dan Syi’ah sekaligus.
Yusuf Qardhawi

Yusuf Qardhawi, adalah seorang pemikir Islam modern yang sangat


yakin akan kebenaran cara pemikiran Islam yang moderat (al-washatiyah
al-Islamiyah). Sebagai ulama yang memiliki apresiasi tinggi terhadap
Alquran dan Sunnah Nabi, Qardhawi sangat fleksibel dalam memandang
ajaran Islam. Namun pada saat yang sama, ia juga sangat kuat dalam
mempertahankan pendapat-pendapatnya yang digali dari Alquran dan
Hadits.

Yusuf Qardhawi lahir di Shafth Turaab, sebuah desa kecil di Mesir,


pada 9 September 1926. Ia tidak sempat mengenal ayah kandungnya
dengan baik, karena saat usianya baru mencapai dua tahun, sang ayah
meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, ia dibesarkan oleh ibu
kandungnya. Akan tetapi pada saat ia duduk di tahun keempat ibtida'iyah,
ibunya pun dipanggil Yang Mahakuasa.
Beruntung, ibu yang dicintainya masih sempat menyaksikan putra
tunggalnya ini hafal seluruh Alquran dengan bacaan yang sangat fasih,
karena pada usia sembilan tahun sepuluh bulan, ia telah hafal Alquran.
Kemampuannya dalam menghafal Alquran itulah yang menyebabkan
kaum kerabatnya kerap memanggil Qardhawi "syaikh".

Pendidikan formalnya dimulai pada salah satu lembaga pendidikan


Al-Azhar yang dekat dengan kampungnya. Di lembaga pendidikan inilah
Qardhawi kecil mulai bergelut dengan kedalaman khazanah Islam. Setelah
menyelesaikan pendidikannya di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi,
Qardhawi melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, hingga
lulus tahun 1952.

Namun karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya


rezim yang berkuasa saat itu, gelar doktornya baru dia peroleh pada
tahun 1972, dengan desertasi Zakat dan Dampaknya Dalam
Penanggulangan Kemiskinan. Desertasinya itu kemudian disempurnakan
menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif dalam
membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.

Kedalaman dan ketajamannya dalam menangkap ajaran Islam ini,


sangat membantunya untuk selalu bersikap arif dan bijak. Dalam buku-
buku yang ditulisnya, dia selalu mendengungkan kelebihan Islam dalam
segala lini. Qardhawi dengan gencar mengedepankan Islam yang toleran
serta kelebihan-kelebihannya yang tidak dimiliki oleh umat di luar Islam.

Qardhawi juga amat selektif terhadap berbagai propaganda


pemikiran Barat maupun Timur, termasuk dari kalangan umat Islam
sendiri. Dia bukanlah pengikut buta dari mazhab atau gerakan Islam
modern tertentu. Bahkan dia tidak segan-segan berbeda pendapat
dengan senior-seniornya dalam pergerakan Islam. Singkatnya, Qardhawi
memiliki pendirian yang sangat kokoh terhadap apa yang dia yakini
sebagai kebenaran dan prinsip Islam, walaupun seringkali mendapat
tekanan dari berbagai pihak.

Di mata Qardhawi, umat Islam sudah lama mengidap krisis identitas


akibat perang pemikiran (ghazwul fikr) Barat yang tidak menginginkan
Islam bangkit kembali. Akibatnya, umat Islam justru lebih percaya kepada
peradaban Barat ketimbang pada agamanya sendiri. Oleh karena itu,
Qardhawi tak henti-hentinya berusaha mengembalikan identitas umat
dengan melakukan penyebaran pemikiran Islam yang benar melalui
berbagai tulisan serta seminar-seminar di tingkat internasional.

Pandangan bahwa Islam sangat menghargai makna pluralisme


agama sebagai sebuah realitas sosial yang tidak mungkin dihilangkan,
membuat Qardhawi sangat anti-terhadap gerakan-gerakan militan apalagi
anarkis. Sikap seperti itu, menurutnya, hanya memperburuk citra Islam
yang cinta damai dan sangat manusiawi dalam memperlakukan orang
lain. Namun di saat yang sama, Qardhawi juga mengingatkan bahwa
tindakan militan umat Islam bukan muncul dari keinginan mereka.

Tindakan tersebut muncul akibat kemerdekaan mereka telah


dirampas oleh para penguasa yang tidak memberikan ruang yang leluasa
untuk menjalankan keyakinan mereka.

Qardhawi juga dikenal sebagai seorang ulama yang menolak


pembagian ilmu secara dikotomis. Menurutnya, semua ilmu bisa Islami
dan tidak Islami, tergantung kepada orang yang memandang dan
mempergunakannya.

Qardhawi memandang bahwa pemisahan ilmu secara dikotomis


telah menghambat kemajuan umat Islam. Padahal, peradaban bisa
melesat maju jika peradaban tersebut bisa menyerap sisi-sisi positif dari
peradaban yang lebih maju dengan tanpa meninggalkan akar-akar
pembangunan peradaban yang dianjurkan Islam

Zainab Al-Kubra ra

ZAINAB AL KUBRA R.A. , Seorang wanita cucu Rasulullah saww,


yang begitu tabah dan tetap tegar menghadapi ujian dan cobaan, demi
kemuliaan keturunan Rasulullah saww.

Menulis tentang Sitti Fatimah Azzahra as dengan meninggalkan


begitu saja kedua puterinya, rasanya memang kurang afdhal. Apalagi
kalau yang dibicarakan itu menyangkut puterinya yang bernanna Zainab
Al-Kubra. Ia tercatat dalam sejarah Islam sebagai wanita yang tabah dan
gagah berani Seperti diketahui, di samping kedua puteranya yang
termasyhur itu, dalam perkawinannya dengan Imam Ali as., Sitti Fatimah
Azzahra juga diberkahi oleh Allah s.w.t. dengan dua orang puteri. Mereka
itu adalah Zainab Al-Kubra dan Zainab Ash-Sugra. Bersama dengan Al-
Hasan dan Al-Husain as., kedua wanita itu sudah sejak masa anak-anak
ditinggalkan untuk selamalamanya oleh ibundanya. Dalam usia yang
masih muda sekali ini, sesaat sebelum wafat Sitti Fatimah as. telah
berpesan khusus kepada Zainab Al-Kubra agar ia menjaga baik-baik kedua
saudara lelakinya itu.

Memang, beban yang terberat bagi Sitti Fatimah Azzahra sebelum


meninggal dunia rupanya adalah keempat anaknya yang masih kecil-kecil
itu. Dikisahkan bahwa sesaat sebelum menghembuskan nafasnya yang
terakhir Sitti Fatimah as tak dapat menahan kepedihan hatinya. Ia harus
memenuhi panggilan Ilahi pada usia yang begitu muda, 28 tahun.
Sedangkan anak-anaknya belum satu pun yang mencapai usia sepuluh
tahun.
Sesudah itu pada usia masih remaja, bahkan masih anak-anak,
Zainab Al-Kubra sudah diserahi tanggung jawab untuk menjaga adik-adik
dan merawat kakak-kakaknya. Tidak banyak yang bisa diungkapkan
mengenai peran masa anak-anak yang dilakukan oleh kedua puteri Sitti
Fatimah Azzahra itu. Riwayat-riwayat hanya mengungkapkan kehidupan
dan perkembangan Al Hasan dan Al Husain as. Hal ini tidak perlu
diherankan, karena dunia kehidupan Arab yang keras jarang sekali
mengedepankan peran seorang wanita. Jadi walaupun Zainab Al-Kubra
dan Zainab Ash Sugra termasuk dalam lingkungan keluarga sangat mulia
nama mereka jarang sekali ditonjolkan.

Baru beberapa tahun kemudian setelah Zainab Al Kubra meningkat


remaja, maka peranannya diungkapkan oleh para periwayat. Sejarah
akhirnya mencatat namanya dan mengakui peran penting yang dijalankan
oleh Zainab Al Kubra dalam melindungi kesinambungan generasi penerus
keluarga RASUL Allah saww. Bagaimana pun juga, walau Zainab Al Kubra
seorang wanita, tetapi ada darah kemuliaan dan kesucian yang mengalir
dalam tubuhnya. Sejak masa anak-anak ia telah turut memikul tanggung
jawab kehidupan rumah tangga Imam Ali as yang ditinggal wafat oleh Sitti
Fatimah Azzahra. Zainab Al Kubra dengan tekun dan tabah melaksanakan
amanat yang ditinggalkan oleh bundanya sesaat sebelum wafat. Dengan
penuh tanggung jawab dirawatnya adik-adik dan kedua kakaknya itu.
Boleh dikatakan ia tak pernah berpisah jauh dari kedua saudara lelakinya
itu.

Tidak ada pengungkapan mengenai kelanjutan kehidupan Zainab


Ash-Sugra. Sedangkan tentang Zainab Al Kubra justru makin menonjol
setelah Al-Husain as. syahid di Karbala. Wanita inilah pada usia sudah
lebih setengah abad tanpa mengebal gentar sedikit pun sedia mati untuk
menyelamatkan keturunan langsung Rasul Allah saww. Ia menjadi saksi
hidup tentang siksaan yang dialami oleh saudara lelakinya itu sampai Al-
Husain as syahid dengan gagah berani.

Anda mungkin juga menyukai