Penulis
Imas Damayanti
18 September 2018
Imam Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 Hijriyah dengan nama Abu Abdullah Muhammad bin
Idris As-Syafi’i Al Muthalibi Al Quraisyi. Dari namanya, beliau masih tergolong kerabat dari
Rasulullah saw. melalui klan Quraisy dari Bani Muthalib yang mana merupakan kakek Rasul.
Imam Syafi’i dikenal sebagai ulama besar yang cerdas, bahkan di usianya yang ke-15, keilmuan
Imam Syafi’i sudah setaraf seorang mufti. Tak pelak saat ini sosoknya telah dianggap sebagai
mufti besar Islam Sunni.
Sebelum kelahirannya, Rasulullah saw. sudah jauh-jauh hari meramalkan tentang kelahiran
seseorang yang baik laku budinya, cerdas akal pikirnya, dan kelak akan menjadi mujaddid Islam
penerus perjuangan Rasulullah. Rasulullah bersabda:
“Setiap seratus tahun sekali Allah akan membangkitkan seorang pemimpin besar dari
keturunanku (Quraisy) yang akan memperbarui keadaan umat dalam hal keagamaan. Adapun
orang pertama adalah Umar bin Abdul Aziz, sedangkan pada Abad Kedua adalah Muhammad bin
Idris As-Syafi’i.”
Pada usia dua tahun, ibunda Imam Syafi’i Fatimah binti Ubaidillah Al Azdiyah membawa pulang
beliau ke tanah airnya. Ketika itu kondisi Imam Syafi’i adalah seorang anak yatim yang ditinggal
mati ayahanda ketika ia masih di dalam kandungan. Di Mekkah, Imam Syafi’i dibesarkan oleh
ibunya dengan sederhana dan bahkan serba kekurangan.
Namun di tengah kondisi ekonomi yang serba kurang itu tak membuat Imam Syafi’i putus asa
apalagi bermalas-malasan dalam menuntut ilmu. Bahkan saking cintanya terhadap ilmu Allah,
Imam Syafi’i selalu mencatat ilmu-ilmu yang didapatnya di medium seperti tembikar, tulang-
belulang, serta pelepah kurma.
Tentang dunia literasi yang digelutinya, Imam Syafi’i menulis sebuah syair soal pentingnya
mencatat dan menulis ilmu pengetahuan yang didapat:
“Pengetahuan itu ibarat binatang buruan, yang jika ditangkap lekas diikat erat-erat. Suatu
kebodohan bagi seorang pemburu jika berburu rusa di hutan, setelah didapatinya buruan tersebut,
lalu dilepaskan,”
Imam Syafi’i banyak menghabiskan waktunya di Masjidil Haram untuk mempelajari berbagai
macam ilmu agama seperti ilmu fiqih, Alquran, Hadis, bahasa, dan kesusasteraan. Pada usia tujuh
tahun, Imam Syafi’i dapat menghafal Alquran sebanyak 30 juz dengan lancar dan fasih. Inilah
bukti kecerdasan otak dan akal budi yang dimiliki Imam Syafi’i. Karena tak semua manusia yang
memiliki kecerdasan otak bisa menghafal Alquran di usia semuda itu, kecuali jika Allah
menjaganya dari perbuatan dosa.
Selain kecerdasannya, Imam Syafi’i juga dikenal sebagai imam yang rajin berkelana demi
menuntut ilmu. Menurut Imam Syafi’i dari syair yang pernah ditulisnya, seseorang yang tidak
pergi dari kampung halamannya untuk menuntut ilmu, maka ia diibaratkan seperti air jernih yang
ada di dalam wadah kecil seperti gelas. Seiring berjalannya waktu, air jernih itu akan keruh. Beda
halnya dengan orang yang pergi menuntut ilmu, ia diibaratkan seperti air yang mengalir di
sungai. Jikapun bermuara, ia akan bertemu samudera yang luas dan jernih.
Imam Syafi’i merupakan murid Imam Malik. Pada usia sepuluh tahun, Imam Syafi’i mampu
menghafal kitab Muwatha yang disusun oleh Imam Malik. Dari kecintaannya pada kitab tersebut
jugalah yang pada akhirnya melabuhkan kakinya ke Madinah untuk berguru dan nyantri kepada
Imam Malik.
Haus akan ilmu jugalah yang pada akhirnya membuat Imam Syafi’i memohon izin pada Imam
Malik untuk menuntut ilmu kepada Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan, dan ulama-
ulama lainnya di Iraq. Tak hanya restu, Imam Malik juga mengantarnya hingga ke Baqi dan
membekali Imam Syafi’i dengan uang 45 dinar sebagai bentuk mengaminkan keinginan mulia
Imam Syafi’i.
Tercatat, Imam Syafi’i telah menuntut ilmu ke berbagai daerah. Selain Mekkah, Madinah, dan
Iraq, Imam Syafi’i juga berkelana menuntut ilmu ke Baghdad, Persia, Yaman, hingga Mesir.
Setelah lima tahun tinggal di Mesir inilah kemudian kondisi Imam Syafi’i mulai sakit-sakitan dan
pada akhirnya imam besar Sunni itu wafat di sana pada tahun 204 Hijriyah.
Peninggalan khazanah keilmuan Imam Syafi’i pada Islam Sunni yaitu adanya mazhab Syafi’i
yang dasar-dasarnya meliputi lima hal: Alquran, Hadis, Ijmak, Qiyas, dan Istidlal. Mazhab Syafi’i
juga dikenal dengan adanya pemahaman qaulul-qadim dan qaulul jadid. Selain mazhab Syafi’i
yang dikenal dan diamalkan oleh Islam Sunni, Imam Syafi’i juga meninggalkan karya-karya
tulisnya yang begitu banyak. Salah satu yang paling monumental adalah kitab Al Jadid yang
terdiri atas 20 jilid.
Semoga tulisan singkat mengenai Imam Syafi’i ini dapat memacu semangat kita untuk terus
belajar dan tawadu dengan apa-apa yang ingin kita raih demi kemaslahatan diri dan juga orang
lain. Amin ya Rabbal-alamin.
Wallahu a’lam.
BIOGRAFI SINGKAT UMAR BIN KHATTAB RA
Beliau dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari suku
Quraisy. Beliau merupakan khalifah kedua didalam islam setelah Abu Bakar
As Siddiq. Nasabnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin
Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bin
Ghalib. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada kakeknya Ka’ab.
Antara beliau dengan Nabi selisih 8 kakek. lbu beliau bernama Hantamah
binti Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumiyah. Rasulullah memberi beliau
“kun-yah” Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena Hafshah adalah anaknya yang
paling tua; dan memberi “laqab” (julukan) al Faruq.
Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza atau lebih dikenal
dengan Umar bin Khattab (581 – November 644) (bahasa Arab:ابن عمر
)الخطابadalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga adalah
khalifah kedua Islam (634-644). Umar juga merupakan satu diantara empat
orang Khalifah yang digolongkan sebagai Khalifah yang diberi petunjuk
(Khulafaur Rasyidin).
Umar dilahirkan di kota Mekkah dari suku Bani Adi, salah satu rumpun suku
Quraisy, suku terbesar di kota Mekkah saat itu. Ayahnya bernama Khattab
bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Umar
memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad yaitu Al-Faruk yang berarti
orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.
Sebelum memeluk Islam, Umar adalah orang yang sangat disegani dan
dihormati oleh penduduk Mekkah, sebagaimana tradisi yang dijalankan oleh
kaum jahiliyah Mekkah saat itu, Umar juga mengubur putrinya hidup-hidup
sebagai bagian dari pelaksanaan adat Mekkah yang masih barbar. Setelah
memeluk Islam di bawah Muhammad, Umar dikabarkan menyesali
perbuatannya dan menyadari kebodohannya saat itu sebagaimana
diriwayatkan dalam satu hadits “Aku menangis ketika menggali kubur untuk
putriku. Dia maju dan kemudian menyisir janggutku”.
Pada tahun 622 M, Umar ikut bersama Muhammad dan pemeluk Islam lain
berhijrah (migrasi) (ke Yatsrib (sekarang Madinah) . Ia juga terlibat pada
perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Pada tahun 625,
putrinya (Hafsah) menikah dengan Nabi Muhammad. Ia dianggap sebagai
seorang yang paling disegani oleh kaum Muslim pada masa itu karena selain
reputasinya yang memang terkenal sejak masa pra-Islam, juga karena ia
dikenal sebagai orang terdepan yang selalu membela Muhammad dan ajaran
Islam pada setiap kesempatan yang ada bahkan ia tanpa ragu menentang
kawan-kawan lamanya yang dulu bersama mereka ia ikut menyiksa
Muhammad dan para pengikutnya.
Pada saat kabar kematian Muhammad pada 8 Juni 632 M (12 Rabiul Awal, 10
Hijriah) di Madinah sampai kepada umat Muslim secara keseluruhan, Umar
dikabarkan sebagai salah seorang yang paling terguncang atas peristiwa itu,
ia menghambat siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk
pemakaman. Akibat syok yang ia terima, Umar berkeras bahwa Muhammad
tidaklah wafat melainkan hanya sedang tidak sadarkan diri, dan akan
kembali sewaktu-waktu.
Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah
satu penasehat kepalanya. Ssetelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun
634, Umar ditunjuk untuk menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah kedua
dalam sejarah Islam.
Menjadi khalifah
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya
hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat
sederhana.
Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak yang
fanatik pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Fairuz adalah orang Persia
yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon
dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz
merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara
adidaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23
H/644 M. Setelah kematiannya jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin
Affan.
Disampaikan oleh Ust Mahmun Nuruddin pada Talim Bakda Ashar di Masjid
Jamik Pesantren Darunnajah, Kamis 7 Februari 2013