1. Biografi Abu al-hasan al-asy’ari Namanya Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Adalah salah seorang keturunan dari sahabat Rasulullah SAW, Abu Musa Al-asy’ari. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M. ➢ Masa kecil Ayah beliau, Ismail adalah seorang ulama ahli hadist yang menganut paham ahlussunnah wal jama’ah. Hal initerbukti bahwa ketika Ismail menjelang wafat berwasiat agar Al-asy’ari diasuh oleh Zakaria As-saji, pakar hadist dan fiqih madzhab syafi’i yang sangat populer di kota bashrah. Pada masa kecilnya, al-asy’ari selain berguru kepada al-saji, beliau juga menimba ilmu dari ulama-ulama ahli hadist yang lain, seperti Abdurrahman bin Khalaf al-Dhabbi, sahal bin Nuh al-Bashri, Muhammad bin Ya’qub al-Maqburi, dan lain-lain. ➢ Keluar dari Muktazilah Abu al-Hasan al-Asy'ari mengikuti aliran Muktazilah hingga berusia 40 tahun. Namun kemudian setelah sekian lama akhirnya al-Asy'ari keluar dari aliran Muktazilah. Menurut data sejarah yang disampaikan oleh para ulama, seperti Ibnu Asakir, Syamsuddin ibn Khallikan, dan Tajuddin asSubuki, setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi keluarnya al-Asy'ari dari Muktazilah. 2. Biografi Imam Abu Mansyur Al Maturidi Abu Mansur al-Maturidi, yang nama lengkapnya Abu Mansur Muhamad bin Muhamad bin Mahmud al-Maturidi, adalah salah satu tokoh Teologi Islam madzhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah Khalafiah, dilahirkan di Maturid (sehingga dia lebih populer dengan nama alMaturidi, dinisbahkan dengan tempat kelahirannya), sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Masa hidup al-Maturidi tersebut kebetulan berada pada masa penguasa Samarkand yang terkenal luhur budi, cinta ilmu, dan senantiasa memuliakan para ulama’ yakni keluarga Abu Saman yang menguasai wilayah Khurasan dan Transoxania pada tahun 261 H/389 M; keluarga penguasa yang berasal dari sebuah desa bernama Saman itu, salah satunya yang pernah ikut berkuasa adalah Asad bin Saman. Dengan demikian al-Maturidi berarti hidup pada masa khalifah al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M. B. Tokoh aswaja di bidang Fiqih 1. Imam Hanafi Imam Abu Hanifah dikenal dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit Al Kufi, lahir di Irak (kufah) pada tahun 80 Hijrah ( 699 M). Ia hidup pada dua masa: masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan dan masa Bani Abbas, Khalifah Al-Manshur. Digelar Abu Hanifah (suci lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia, serta menjahui perbuatan dosa dan keji. Imam Abu Hanifah tinggal di kota kupah di Irak. Kota ini terkenal sebagai kota yang dapat menerima perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Ia seorang yang bijak dan gemar ilmu pengetahuan. Imam Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai gambaran, dia pernah belajar fiqih kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu, yakni Humad Bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya.Setelah wafat gurunya, Imam Abu Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak majelis ilmu di Kuffah. Sepuluh tahun sepeninggal gurunya, yakni pada tahun 130 H, Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan Kuffah menuju Makkah. Dia tinggal beberapa tahun lamanya di sana, dan di tempat itu pula dia bertemu dengan salah seorang murid Abdullah Bin Abbas r.a. Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. 2. Imam Maliki Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M. Dia dilahirkan pada zaman al-walid bin abdul malik dan meninggal di Madinah pada zaman pemerintah al-rasyid. Dia tidak pernah keluar daerah meninggalkan Madinah. Sama seperti imam abu hanifah, dia hidup dalam dua zaman pemerintahan, yaitu bani umayyah dan Bani abbasiyah. Dia berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Malik , adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu‟ yang sangat terkenal. Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma‟mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang. 3 . Imam Syafi’i Imam Syafi’i bernama Abu Abdullah Muhammad bin Idris binal Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushai Al Qurasyi Al Muththalibi Asy-Syaif’i Al Hijazi Al-Makki. Dia terhitung masih keluarga Rasulullah SAW yang keturunannya bertemu pada Abdu Manaf. Ia dilahirkan pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia dilahirkan di Ghazzah, ketika umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Keduanya pun menetap disana. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya. Imam Syafi’I ketika umurnya kurang lebih 10 tahun dibawa oleh ibunya ke Mekkah, ketika itu beliau telah hafal Al-Qur’an Di Mekkah beliau banyak mendapatkan Hadits dari ulama-ulama Hadits. Imam Syafi’i datang menemui Imam Malik saat berusia tiga belas tahun, kemudian ia berangkat ke Yaman hingga dikenal masyarakat lantaran riwayat hidupnya yang baik, arahannya agar selalu berpedoman kepada sunnah, metode yang baik dan lain sebagainya. Namun demikian, Imam Syafi’i belum puas menuntut ilmu karena semakin dalam ia menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum ia mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i sangat banyak, sama dengan banyak muridnya. Ulama Mekkah yang menjadi gurunya ialah, Muslim bin Khalid Az-Zinji, Sufyan bin Uyainah, Said bin Al-Kudah, Daud bin Abdur Rahman, Al-Attar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud. Sementara di Madinah ialah Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad AlAnsari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dawardi, Ibrahim bin Yahya Al-Usami, Muhammad Said bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ As-Saigh, Imam Syafi’i lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum karena inti pemikiranya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Menurut Ar-Rabi Imam syafi’i wafat pada malam jum’at setelah magrib saat aku sedang berada di sampingnya. Jasadnya kemudian disemayamkan setelah Ashar pada hari Jum’at , yaitu hari terakhir bulan Rajab tahun 204 H. kuburnya berada di Mesir. Ia sangat dihormati dan disanjung lantaran predikat imam yang disandangnya. 4. Imam Ahmad Bin Hambal Beliau ialah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy-Syaibani, beliau lahir Di Baghdad pada tahun 164 H Bulan Rabiul Awwal, Imam Ahmad biasanya dinisbatkan kepada kakeknya, maka dia dinamakan” Ahmad bin Hambal, karena kakeknya lebih terkenal dari pada ayahnya. Ayahnya wafat ketika dia berumur tiga tahun, beliau wafat ketika umur tujuh puluh tahun. Ibunya adalah Shafiah binti Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibani, dia berasal dari Syaiban seperti ayahnya dia adalah orang yang mengurus, merawat dan mendidik Imam Ahmad dengan sangat baik. Ahmad bin Muhammad bin hambal atau Ahmad bin hambal adalah Imam yang keempat dari para Fuqaha Islam. Beliau adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat yang luhur dan tinggi yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang hidup semasa dengannya, juga orang yang mengenalinya. Beliau Imam bagi umat Islam seluruh dunia, juga Imam bagi Darul Salam, mufti bagi negeri Irak dan seorang yang alim tentang hadis- hadis Rasulullah SAW. Kepandaian Imam Hambali dalam ilmu hadis tak diragukan lagi putra sulungnya Abdullah bin Ahmad, menyatakan bahwa Imam Hambali telah hafal 700.000 hadis di luar kepala. Hadis sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya Al-Musnad berjumlah 40.000 hadis berdasarkan susunan nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaian Imam Hambali mengundang banyak tokoh ulama yang berguru kepadanya dan melahirkan banyak ulama dan pewaris hadis terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud. Imam Ahmad tidak menulis kitab-kitabnya sendiri, meskipun beliau mempunyai banyak catatan tentang Hadis, kitab Musnad Ahmad Ibn Hambal dalam hadis, disusun, dan dikumpulkan oleh putranya yang bernama Abdullah. Bahkan untuk masalah fiqih , tidak mencatatnya. Fiqih Imam Ahmad kemudian ditulis oleh murid- muridnya. Adalah Abdullah bin Ahmad, Abu Bakar al-Asdom, Abdul Malik, al- Malmuny, Ibrahim bin Ishak, al-Hasbi, dan lain- lain. Murid-muridnya ini menulis risalah-risalah dan melaksanakannya berdasarkan fiqih yang diterima dari Imam Ahmad. Perjalanan hidup Imam Hambali yang penuh dengan derita dan luka tak menggetarkan dia untuk mencari ilmu dan membuat karya. Ahmad Ibn Hambal meninggal pada hari Jum’at pagi tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H/ 855 M dalam usia 77 tahun. Dimakamkan di pemakaman Bab Harb di kota Bagdad. C. Tokoh aswaja di bidang Tasawuf 1. Imam Al Ghazali Nama aslinya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali, yang secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali, lahir di kota bersejarah Ghazlah, Thus Khurusan, sebuah kota di Iran pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Ayah Al-Ghazali merupakan seorang muslim yang taat dan meninggal saat putranya masih bayi. Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad,kemudian dibesarkan oleh ibu mereka yang memastikan mereka menerima pendidikan yang baik. Sebelum menginjak usia lima belas tahun, Al-Ghazali menguasai bahasa dan tata bahasa Arab, Alquran, hadits, fikih, serta aspek-aspek pemikiran dan puisi sufi. Selanjutnya, dia melakukan studi rinci mengenai fiqih di bawah bimbingan Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Radhkani di Thus dan Abul Qasim Ismail bin Mas’ada Al-Ismaili, seorang ahli terkemuka dalam bidang ini dalam seminar Jurjan. Menjelang usia dua puluhan, Al-Ghazali berangkat menuju Naishabur untuk mengejar pelajaran lanjutan dalam ilmu ilmu keislaman. Dia mempelajari teologi islam dan fikih di bawah bimbingan "Imam Al-Haramain" Abdul Ma'ali Abdul Malik al-Juwaini (w. 478 H/1086 M). Al-Juwaini mengajar di madrasah Nizamiyyah yang terkenal di Naishabur dan Al-Ghazali menjadi salah seorang murid favoritnya. Al-Juwaini sangat terkesan dengan kecemerlangan intelektual dan kemampuan analisis Al-Ghazali, sehingga ia mencalonkan AlGhazali sebagai asisten pengajarnya. Al-Ghazali berguru kepada Imam Al-Juwaini hingga menguasai ilmu manthiq, kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika perdebatan. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan napas terakhirnya di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M, atau pada Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah, dengan banyak meninggalkan karya tulis. 2. Syekh Junaid Al Baghdad Al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz alNahawandî al-Baghdadi al-Syafi'i, atau lebih dikenal dengan Al-Junaid al-Baghdadî, lahir di Nihawand, Persia, tetapi keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Imam Syafi'i, dan akhirnya menjadi qadi kepala di Baghdad. Dia mempelajari ilmu fiqih kepada Abu Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi'i Al-Junaid mempelajari ilmu tasawuf dari pamannya sendiri, Syekh as-Sari as-Saqti hingga pada akhirnya ketinggian ilmu Al-Junaid menjadi dirinya sebagai ulama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Demikianlah, bahwa kecintaannya terhadap ilmu tasawuf sangatlah tinggi, hal ini diungkapkannya dengan berkata: “Apabila saya telah mengetahui suatu ilmu yang lebih besar dari Tasawuf, tentulah saya telah pergi mencarinya, sekalipun harus merangkak.” Al-Junaid dikenal sebagai tokoh sufi yang sangat menekankan pentingnya keselarasan antara praktik dan doktrin tasawuf dengan kaidah-kaidah syari’at. Salah satu ungkapan AlJunaid tentang ilmu tasawuf yang dikutip oleh al-Kūrânī dalam Itḥâf al-dhakī adalah ucapannya: “pengetahuan kami ini terikat dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.” Dengan ini mengindikasikan bahwa ajaran tasawuf menurut Al-Junaid haruslah tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Syekh Junaid al-Bagdadi wafat pada tahun 298. Referensi https://islam.nu.or.id/post/read/121064/abu-manshur-al-maturidi--imam-aqidah- ahlusunnahwal-jama-ah Idrus Ramli, Muhammad (2014). Madzhab Al-Asy'ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama'ah?: Jawaban Terhadap Aliran Salafi. Surabaya Al-Subki. Thabaqat al-Syafi'iyyah al-Kubra, juz 3. Beirut: Dar Ihya' al-Kutub.