Disusun Oleh :
Nama : Salsabila Nuzulul Aini
No Absen : 28
Kelas : VIIIE
Dinasti Umayyah tidak hanya mengukir prestasi dalam menaklukan dan memperluas
wilayah, namun juga diantara khalifah-khalifah yang memimpin dinasti ini ada juga yang
tertarik dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Pada masa Dinasti inilah banyak muncul ilmuwan yang menghasilkan karya yang
bermanfaat bagi peradaban umat manusia. Karya mereka menduduki peranan yang amat
penting dalam menunjang kemajuan peradaban Islam dan dunia.
Dalam Bidang Tafsir: Abdullah Bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Said bin Jabir
Ilmu Kimia: Abbas bin Firnas juga dikenal sebagai Abbas Abu al-Qasim bin Firnas
ibn Wirdas al-Takurini
1.
2. Ilmu Kedokteran: Abu al-Qasim al-Zahrawi
3.
4. Ilmu Sejarah: Abu Marwan Abdul Malik bin Habib,Abu Bakar Muhammad bin Umar
(Ibnu Quthiyah)
5.
6. Ilmu Bahasa dan Sastra: Ali al-Qali, Abu Amr Ahmad bin Muhammad bin Abd
Rabbih, abu Amir Abdullah bin Syuhaid
Biografi Imam Abu Hanifah
Orang Pertama Peletak Dasar-dasar Fikih
Demikian juga dalam permasalahan agama secara umum, para sahabat dimudahkan dalam
memahami Islam karena mereka bisa bertanya langsung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para tabi’in bisa bertanya kepada para sahabat. Adapun orang-orang setelah mereka,
dengan penyebaran Islam yang luas membutuhkan penyederhanaan yang lebih mudah dipahami
oleh akal pikiran mereka. Orang pertama yang melakukan usaha besar menyederhanakan
permasalahan ini adalah seorang imam besar yang kita kenal dengan Imam Abu Hanifah
rahimahullah. Beliau menyusun kajian fikih dan mengembangkannya demi kemudahan umat Islam.
Sebagaimana orang-orang lebih mengenal Imam Syafii daripada nama aslinya yaitu
Muhammad bin Idris, jarang juga orang yang tahu bahwa nama Imam Abu Hanifah adalah Nu’man
bin Tsabit bin Marzuban, kun-yahnya Abu Hanifah. Ia adalah putra dari keluarga Persia (bukan
orang Arab). Asalnya dari Kota Kabul (ibu kota Afganistan sekarang). Kakeknya, Marzuban,
memeluk Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, lalu hijrah dan menetap di Kufah.
Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang
pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang
pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang
shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj
bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian
lainnya sambil mempelajari ilmu agama.
Memulai Belajar
Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal
Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni
belajar agama dari ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan
atau sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dll.
Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji
dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwaroh. Dalam
perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama terbaik
di kota Mekah.
Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari
sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah guru
yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh perjalanan
dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama. Beliau menunaikan haji sebanyak
55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk
berdakwah kepada kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan suatu
permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta
argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan
menggunakan dalil dari Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung
seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang dikenal
dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.
Metode ini dianggap sangat efektif untuk mer4ngsang logika para murid Imam Abu Hanifah
sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah
dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf,
Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dan lain-lain. dan majlis beliau menjadi sebuah metode dalam
kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuah sebuah kitab yang
istimewa, al-Fiqh al-Akbar.
Imam Abu Hanifah pernah dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah akibat beberapa kali
ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufa, namun tawaran tersebut
senantiasa beliau tolak.
Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan
suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta
argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan
menggunakan dalil dari Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung
seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang dikenal
dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.
Metode ini dianggap sangat efektif untuk merangsang logika para murid Imam Abu Hanifah
sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah
dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf,
Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dll. dan majlis beliau menjadi sebuah metode dalam kerangka
ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuah sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh
al-Akbar.
Imam Abu Hanifah beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di
Kufa, namun tawaran tersebut senantiasa beliau tolak. Hal inilah di antara yang menyebabkan
beliau dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah.
Wafatnya
Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu Katsir
mengatakan, “6 kelompok besar Penduduk Baghdad menyolatkan jenazah beliau secara bergantian.
Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”
Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar Sinan didedikasikan
untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan
menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki
Utsmani. Saat ini madzhab beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan
India.
Biografi Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas termasuk salah satu Imam Madzhab, yaitu madzhab Maliki dengan
kitabnya yang terkenal Al Muwatha'. berikut ini kami tampilkan Biografi Imam Malik bin Anas.
Pertumbuhan beliau
Nama: Mâlik bin Anas bin Mâlik bin Abi Amir bin Amru bin Al Harits bin ghailân bin Hasyat bin
Amru bin Harits.
Nasab beliau:
1. Al Ashbuhi; adalah nisbah yang di tujukan kepada dzi ashbuh, dari Humair
2. Al Madani; nisbah kepada Madinah, negri tempat beliau tinggal.
Tanggal lahir:
Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H, bertepatan dengan tahun meninggalnya sahabat yang
mulia Anas bin Malik. Ibunya mengandung dia selama tiga tahun.
Imam Malik tumbuh ditengah-tengah ilmu pengetahuan, hidup dilingkungan keluarga yang
mencintai ilmu, dikota Darul Hijrah, sumber mata air As Sunah dan kota rujukan para alim ulama.
Di usia yang masih sangat belia, beliau telah menghapal Al Qur`an, menghapal Sunah Rasulullah,
menghadiri majlis para ulama dan berguru kepada salah seorang ulama besar pada masanya yaitu
Abdurrahman Bin Hurmuz.
Kakek dan ayahnya adalah ulama hadits terpandang di Madinah. Maka semenjak kecil, Imam Malik
tidak meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber
ilmu yang berlimpah dengan kehadiran ulama-ulama besar.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada
ayah dan paman-pamannya. Disamping itu beliau pernah juga berguru kepada para ulama terkenal
lainnya
Dalam usia yang terbilang muda, Imam Malik telah menguasai banyak disiplin ilmu. Kecintaannya
kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya di salurkan untuk memperoleh ilmu.
Rihlah beliau
Meskipun Imam Malik memiliki kelebihan dalam hafalan dan kekuatan pengetahuannya,
akan tetapi beliau tidak mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadits, karena beliau
beranggapan cukup dengan ilmu yang ada di sekitar Hijaz. Meski beliau tidak pernah mengadakan
perjalanan ilmiyyah, tetapi beliau telah menyangdang gelar seorang ulama, yang dapat memberikan
fatwa dalam permasalahan ummat, dan beliau pun membentuk satu majlis di masjid Nabawi pada
saat beliau menginjak dua puluh satu tahun, dan pada saat itu guru beliau Nafi’ hiudp. Semua itu
agar dapat mentransfer pengetahuannya kepada kaum muslimin serta kaum muslimin dapat
mengambil manfaat dari pelajaran yang di sampaikan sang imam
Guru-guru beliau
Imam Malik berjumpa dengan sekelompok kalangan tabi’in yang telah menimba ilmu dari para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang paling menonjol dari mereka adalah
Nafi’ mantan budak Abdullah bin ‘Umar. Malik berkata; ‘Nafi’ telah menyebarkan ilmu yang
banyak dari Ibnu ‘Umar, lebih banyak dari apa yang telah disebarkan oleh anak-anak Ibnu Umar,’
Guru-guru imam Malik, selain Nafi’, yang telah beliau riwayatkan haditsnya adalah;
Murid-murid beliau
Banyak sekali para penuntut ilmu meriwayatkan hadits dari imam Malik ketika beliau masih muda
belia. Disini kita kategorikan beberapa kelompok yang meriwayatkan hadits dari beliau,
diantaranya;
Muwaththa` merupakan hasil karya imam Malik yang paling spektakuler, dan disana masih ada
beberapa karya beliau yang tersebar, diantaranya;
1. Risalah fi al qadar
2. Risalah fi an nujum wa manazili al qamar
3. Risalah fi al aqdliyyah
4. Risalah ila abi Ghassan Muhammad bin Mutharrif
5. Risalah ila al Laits bin Sa’d fi ijma’i ahli al madinah
6. Juz`un fi at tafsir
7. Kitabu as sirr
8. Risalatu ila Ar Rasyid.
Wafatnya beliau
Beliau meninggal dunia pada malam hari tanggal 14 safar 179 H pada usia yang ke 85 tahun
dan dimakamkan di Baqî` Madinah munawwarah
Biografi Rabi'ah al-Adawiyyah – Wanita Sufi Zuhud
Rabiah Al-Adawiyah (Arab: )رابعة العدوية القيسيةdikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri
adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan dan kecintaannya terhadap Allah.
Rabi'ah merupakan klien (bahasa Arab: Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana ia
terkenal dengan sebutan al-Qaysyah.
Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi, atau 95 - 99 Hijriah, di kota Basrah,
Irakdan meninggal sekitar tahun 801 Masehi / 185 Hijriah. Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat
miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabiah yang
berarti anak keempat. Ayahnya bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran Rabi'ah,
keadaan ekonomi keluarga Ismail sangatlah buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan penerangan
untuk menemani istrinya yang akan melahirkan.
Sejak kecil Rabi'ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat beragama. Beberapa tahun
kemudian, ayahnya, Ismail, meninggal dunia kemudian disusul oleh ibunya, sehingga Rabi'ah dan
ketiga saudara perempuannya menjadi anak yatim piatu. Ayah dan Ibunya hanya meninggalkan
harta berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi'ah untuk mencari nafkah. Rabi'ah
bekerja sebagai penarik perahu yang menyebrangkan orang dari tepi Sungai Dajlah ke tepi sungai
yang lain. Sementara ketiga saudara perempuannya bekerja dirumah menenun kain atau memintal
benang.
Nama lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah. Rabiah merupakan sufi
wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang menjadi pemimpin dari murid-murid
perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat
takut dan taat kepada Tuhan.
Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai "The Mother of the Grand Master" atau Ibu Para Sufi Besar
karena kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun
Nun al-Misri. Kezuhudan Rabi'ah juga dikenal hingga ke Eropa. Hal ini membuat banyak
cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya, seperti Margareth
Smith, Masignon, dan Nicholoson.
Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabi'ah pergi mengembara di padang pasir. Setelah beberapa
saat tinggal di padang pasir, ia menemukan tempat tinggal. Di tempat itulah ia menghabiskan
seluruh waktunya beribadah kepada Allah. Rabiah juga memiliki majelis yang dikunjungi banyak
murid. Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain untuk bertukar pikiran. Di antara
mereka yang pernah mengunjungi majelis Rabi'ah adalah, Malik bin Dinar (wafat 748/130 H),
Sufyan as-Sauri (wafat 778 / 161H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H). Rabi'ah hanya tidur
sedikit disiang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat sehingga ia dikenal
sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah. Rabi'ah telah terkenal
karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok negeri sehingga ia menerima banyak lamaran untuk
menikah.
Rabi'ah memilih untuk tidak menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan
anak-anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah. Tidak ada
satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah. Sehingga atas dasar itulah, Rabi'ah
memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.
Akhir hidup
Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, kesehatan Rabi'ah mulai
menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya
dengan baik hingga akhir hidupnya. Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang lain, sehingga ia
meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain kafan yang telah ia
sediakan sejak lama. Menjelang kematiannya, banyak orang-orang saleh ingin mendampinginya,
namun Rabi'ah menolak. Rabiah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801
Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak.
Ajaran
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh amal
ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan dari azab
neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Bahasa Arab: Al-mahabbah, artinya
cinta tanpa pamrih) dan uns (kedekatan dengan Tuhan). Perkataan mistik Rabi'ah menggambarkan
kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang
tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam. Rabi'ah al-Adawiyah terkenal zahid (tak tertarik pada
harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan pada ornag lain. Ketika ia
ditanya orang mengapa ia bersikap demikian, Rabi'ah menjawab:
“Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan
menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada
mereka yang kaya. Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak memberi
rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki begitu, maka kita harus menyadari
posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati rida (senang).”
Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah dalam
menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau takut
kepada nerakanya. Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada Allah sebagai kekasihnya.
Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase
dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang
maksimal kepada-Nya. Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri
sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai
zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga ia menjadi
teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sufyan ath-Thawri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan
Malik bin Dinar.
Karamah Rabi’ah
Rabiah al-Adawiyah hidup di zaman Imam Sufyan at-Tsuari. Rabiah termasuk wanita ahli ibadah,
zuhud, dan selalu khusyu, dan sering memberikan penjelasan tentang hikmah.
Abu Said bin al-Arabi mengatakan, ‘Terkait Rabiah, masyarakat banyak mendapatkan hikmah yang
banyak darinya.’
Sufyan at-Tsauri (wafat 161 H) pernah mendapat pesan dari Rabiah,
"Kamu hanyalah hitungan hari tertentu. Jika sudah berlalu satu hari, hilang sebagian dirimu. Jika
sudah hilang sebagian, sebentar lagi akan hilang semuanya. Dan kamu telah memahaminya,
karena itu beramal-lah."
Diantara perkataan hikmah Rabi’ah, Aku memohon ampun kepada Allah karena kurang jujur ketika
saya membaca istighfar.
Salah satu wanita yang melayani Rabiah, bernama Abdah bintu Abi Syawwal pernah mengatakan,
"Rabiah melaksanakan shalat semalaman. Ketika sudah terbit fajar, beliau tidur sejenak di tempat
shalatnya, hingga fajar mulai menguning."
Ketika beliau terbangun dari tidurnya, aku sering mendengar beliau mengucapkan,
"Wahai jiwaku, berapa lama kau tidur? Sampai berapa lama kau akan bicara? Hampir saja ketika
kamu tidur, kamu tidak akan bangun kecuali sampai kiamat. (Siyar A’lam an-Nubala’, 8/242)"
Menurut Abdah bin Abi Syawal, ini merupakan kebiasaan Rabi’ah selama hidupnya hingga beliau
wafat. Rahimahallah rahmatan wasiah…
Tidak ada riwayat yang shahih mengenai mukjizat atau karamah Rabi’ah sebagaimana yang sering
diramaikan masyarakat.
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa usia beliau 80 tahun dan beliau meninggal di tahun 180 H.
Semoga Allah merahmati beliau dan semua umat yang meniti jalan kebenaran.