Anda di halaman 1dari 3

Paradigma Islam Terhadap Gender: Kesetaraan atau

Keserasian?
Adib Fattah, S.Pd
Peserta PKU Gontor XIV
adibfattah13@gmail.com

Belakangan ini isu tentang gender sedang hangat diperbincangkan. Pemicunya


adalah karena polemik seputar disahkan atau tidaknya Rancangan Undang – Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PK-S) oleh anggota Panja DPR RI. Tampaknya,
RUU PK-S yang diajukan kaum feminis ini adalah tindak lanjut dari Rancangan Undang-
Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang telah dibatalkan pada tahun
2011 silam.

Menurut Henri Shalahuddin, peneliti INSISTS bidang gender dan pemikiran


Islam, indikasi terhegemoninya nalar feminis Indonesia oleh feminis Barat terlihat begitu
jelas dalam pengajuan RUU PK-S, sebagaimana sebelumnya mereka juga mengajukan
RUU KKG. Menurutnya, salah satu indikasi yang sangat jelas terlihat dari bagaimana
kaum feminis mendefinisikan kekerasan seksual dalam RUU PK-S ini.

Di antara poin yang menjadi catatan dalam definisi kekerasan seksual yang
mereka canangkan adalah bahwa setiap perbuatan merendahkan dan menghina hasrat
seksual seseorang secara paksa yang bertentangan dengan kehendak seseorang adalah
termasuk kekerasan seksual. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah ketika ada orang
yang melarang homo, lesbi, perzinahan, dan segala perilaku seks menyimpang lainya
akan dipidana karena termasuk tidak menghormati hasrat seksual seseorang? Jika
demikian maka RUU PK-S ini dapat menjadi pintu gerbang untuk terbukanya praktik
seks menyimpang atau LGBT di Indonesia. Tentu saja hal ini bertentangan dengan norma
yang dianut masyarakat Indonesia.

Jika diperhatikan secara seksama, ideologi gerakan feminisme yang ada di


Indonesia ini adalah impor dari feminisme Barat. Menurut Prof. Saparinah, pemimpin
Program Studi Wanita di Pasca Sarjana Universitas Indonesia, perkembangan feminis di
Indonesia baru setingkat repetisi tentang isu-isu feminisme dan belum mampu untuk
menghasilkan gagasan yang orisinal, murni dan khas budaya nusantara. Oleh karena itu
para feminis Indonesia cenderung membebek terhadap konsep-konsep Barat yang
terkadang tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan.

Di Barat sendiri, munculnya paham feminisme berakar dari problem relasi antara
wanita dan pria yang tidak harmonis. Dahulu ketika Otoritas Gereja masih
menghegemoni masyarakat Eropa, posisi wanita betul-betul tertindas. Wanita diposisikan
sebagai manusia kelas dua, bahkan dianggap jelmaan setan. Lebih dari pada itu,
penindasan terhadap wanita tidak hanya bersifat verbal, tapi juga penindasan fisik bahkan
seksual. Banyak wanita yang menjadi korban inqusisi oleh pihak gereja karena dituduh
sebagai penyihir.

Setelah Revolusi Prancis paham feminisme semakin masif perkembangannya.


Tulisan Mary Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman
dianggap sebagai salah satu karya tulis feminis awal yang berisi kritik terhadap Revolusi
Prancis yang hanya berlaku untuk laki-laki namun tidak untuk perempuan. Seiring
dengan perkembangannya, feminisme kemudian terbagi dalam beberapa aliran, seperti
feminisme Liberal, feminisme radikal, feminisme marxisme, dan feminisme sosialisme.

Namun terlepas dari berbagai aliran yang ada, pada intinya Feminisme adalah
serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang
sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di
lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Feminisme menggabungkan posisi bahwa
masyarakat memprioritaskan sudut pandang laki-laki, dan bahwa perempuan
diperlakukan secara tidak adil di dalam masyarakat tersebut.

Para penggagas Feminisme membedakan pengertian antara gender dan sex. Bagi
mereka gender merupakan hasil konstruksi sosial yang ada di masyarakat yang
memberikan stereotip pada peran perempuan dan laki-laki. Sedangkan Seks itu hanya
pembedaan jenis kelamin dan keadaan biologis terhadap perempuan dan laki-laki. Maka
dari sini gerakan mereka adalah untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Artinya kaum
feminis menginginkan agar terjadi persamaan peran antara laki-laki dan perempuan
dalam lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial.
Pandangan Islam tentang Gender

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi memberikan beberapa kritik mendasar terhadap RUU
Kesetaraan Gender, utamanya terkait dengan istilah “Kesetaraan Gender”. Sebagai
gantinya beliau melontarkan istilah “Keserasian Gender”, sebuah gagasan cerdas untuk
menjembatani gap antara karakter dasar dan peran sosial yang terlahir dari pendefinisian
Timja RUU ini.

Jika kita lihat, Islam sangat memuliakan peran perempuan dan memandang
sebagai mitra sejajar bagi kaum laki-laki. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
ternaskan di dalam ajaran Islam. sebab pada prinsipnya, segala perintah dan larangan
Allah (taklif) ditujukan kepada laki-laki dan perempuan. Taklif ini bersifat umum sampai
ada nash khusus lainnya yang mengecualikannya secara jelas.

Adanya pengecualian dan pengkhususan, tidak berarti Islam merendahkan


martabat perempuan. Sebab kedudukan jenis kelamin (karakter biologis) dan gender
(sifat, peran, posisi dan tanggung jawab) antara laki-laki dan perempuan tidak dipandang
secara dikhotomis (terpisah dan dipertentangkan antara satu dan lainnya). Sebaliknya
Islam memandang secara integral dan komprehensif. Hal ini dapat dibuktikan dengan
adanya konsep keluarga yang dijalankan dengan sikap takaful (saling menopang) dan
ta’awun (saling menolong). Konsep-konsep dalam Islam ini berbeda dari cara pandang
individualistik-emosional yang menuntut kesetaraan secara empirik dan kuantitatif
berbasis persaingan yang antagonis.

Di antara keindahan dalam Islam adalah ajarannya yang menekankan pada konsep
keserasian. Keserasian lahir dari keberagaman dan perbedaan. Setiap perbedaan
diperankan sesuai kapasitasnya. Sebaliknya, istilah “kesetaraan gender” sering
diekspresikan sebagai bentuk ketidakpuasan untuk menuntut kesamaan peran dan
kedudukan. Berbeda dengan keserasian yang tidak menuntut kesamaan dan persamaan,
apalagi penyamaan. Keserasian adalah keharmonisan, kesepadanan dan kesesuaian. []

Anda mungkin juga menyukai