Anda di halaman 1dari 5

Tahlilan dan Selamatan Menurut madzhab Syafi'I

Oleh :Drs Ubaidillah

TAHLILAN

Acara tahlilan, yaitu acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, merupakan tradisi yang
telah melembaga di kalangan masyarakat atau dengan kata lain, telah menjadi milik masyarakat
Islam di tanah air.

Dalam acara tersebut lazimnya dibacakan ayat-ayat Al Qur'an tertentu, bacaan laa ilaaha illallah,
subhanallah dll, dengan niat pahala bacaan tersebut dihadiahkan / dikirimkan kepada mayit / roh
tertentu atau arwah kaum Muslimin pada umumnya.

Satu hal yang belum banyak diketahui kaum muslimin itu sendiri ialah, pada umumnya mereka,
mengaku BERMADZAB SYAFI'I, baik dengan pengertian yang sebenarnya atau hanya ikut-
ikutan. Namun demikian, ironinya justru amalan Tahlilan atau Selamatan yang pahalanya
dikirimkan kepada mayit itu bertentangan dengan berbagai pendapat ulama-ulama dari kalangan
madzhab Syafi'I, termasuk Imam Syafi'i sendiri. Kalau toh ada pendapat lain dari kalangan
madzhab tersebut maka jumlahnya sangat sedikit dan dipandang lemah, sebab bertentangan
dengan ajaran Al Qur'an (ayat 39 Surat An Najm dan Sunnah Rasulullah serta para sahabatnya),
yang mendasari pendapat mereka.

Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat Ulama-Ulama Syafi'i tentang masalah tersebut
yang dikutib dari Kitab-kitab tafsir, Kitab-kitab Fiqih dan Kitab-kitab Syarah Hadits, yang penulis
pandang mu'tabar (jadi pegangan) di kalangan pengikut-pengikut madzhab Syafi'i.

Pendapat Imam As Syafi'i Rahimahullah.

Imam An Nawawi menyebutkan di dalam kitabnya, SYARAH MUSLIM, demikian : "Adapun


bacaaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyur dalam madzhab
Syafi'i, tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi...Adapun dalil Imam Syafi'i dan
pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya), "Dan seseorang tidak akan memperoleh,
melainkan pahala usahanya sendiri" dan sabda Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM,
"Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal yaitu,
sedakah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang berdoa untuknya." (An
Nawawi, SYARAH MUSLIM, Juz 1 Hal. 90).

Juga Imam Nawawi di dalam Kitab Takmilatul Majmu', Syarah Mahadzab mengatakan : "Adapun
bacaan Qur'an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit tsb,
menurut Imam Syafi'i dan Jumhurul Ulama', tidak sampai kepada mayit yang dikirimi. Keterangan
ini telah diulang-ulang oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah Muslim." (As Subuki,
TAKMILATUL MAJMU', syarah MUHADZAB, juz X, hal. 426). (Mengganti shalat mayit,
maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan almarhum semasa hidupnya).

Al Haitami, di dalam Kitabnya, Al FATAWA AL KUBRO AL FIGHIYAH, mengatakan demikian :


"Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari Ulama'
Mutaqaddimin (terdahulu), adpun bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat
sampai kepadanya, sebab pahala bacaan tersebut untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil
amalan tidak dapat dipindahkan dari amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, berdasarkan firman
Allah, "Dan Manusia tidak memperoleh, kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri." (Al Haitami,
AL FATAWA AL KUBRA AL FIGHIYAH, juz 2, hal. 9).

Imam Muzani, di dalam Hamisy AL UM, mengatakan demikian :

Page 1 of 5
"Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM memberitahukan sebagaimana yang
diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya
adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang
lain." (Tepi AL UM, AS SYAFI'I, juz 7, hal. 269).

Imam Al Khaizin di dalam tafsirnya mengatakan sebagai berikut: "Dan yang masyhur dalam
madzhab Syafi'i adalah, bacaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat
sampai kepada mayit yang dikirimi." (Al Khazin, AL JAMAL, juz 4, hal. 236).

Di dalam tafsir Jalalain disebutkan demikian :

"Maka sesorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari usaha orang lain." (Tafsir JALALAIN,
2/197).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya TAFSIRUL QUR'ANIL AZHIM menafsirkan ayat 39 Surat An Najm
dengan mengatakan "Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang
lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya
sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 An Najm), Imam Syafi'i ra. dan Ulama-ulama yang
mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit
tidak akan sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah
SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan
(pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash
maupun dengan isyarat. Juga tidak ada seorang sahabatpun yang pernah mengamalkan
perbuatan tersebut. Kalau toh amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu
mengerjakannya, padahal amalan qurban (mendekatkan diri kepada Allah
SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) hanya terbatas yang ada nash-nashnya (dalam Al Qur'an
dan Sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) dan tidak boleh dipalingkan
dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat."

Demikian diantaranya berbagai pendapat Ulama Syafi'iyah tentang acara tahlilan atau acara
pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, yang ternyata mereka mempunyai satu pandangan
yaitu, mengirimkan pahala bacaan Qur'an kepada mayit / roh tidak akan sampai kepada mayit
atau roh yang dikirimi, terlebih lagi kalau yang dibaca itu selain Al Qur'an, tentu saja akan lebih
tidak sampai kepada mayit yang dikirimi. Jika sudah jelas bahwa pengiriman pahala tersebut
tidak dapat sampai, maka acara-acara semacam itu adalah sia-sia belaka, atau merupakan
perbuatan tabdzir. Padahal Islam melarang umatnya berbuat sia-sia dan tabdzir.

Adapaun dasar hukum dari pendapat mereka itu adalah firman Allah SHALALLAAHU'ALAIHI
WASSALAM dalam surat An Najm ayat 39 dan Hasits Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI
WASSALAM tentang terputusnya amal manusia apabila ia telah meninggal dunia, kecuali tiga
hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan yang berdoa untuk orang tuanya. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kalau
seandainya setiap usai tahlilan lalu berdoa, ALLAHUMA AUSHIL TSHALALLAAHU'ALAIHI
WASSALAMABA MAA WARA'NAAHU ILA RUHI FULAN (Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan
kami tadi kepada roh si fulan)? Pertanyaan tadi dapat dijawab demikian : Ulama telah sepakat,
bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak sampai kepada toh yang dikirimi, sebab bertentangan
dengan firman Allah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM dalam Surat An Najm ayat 39. Adalah
sangat janggal, kalau kita berbuat mengirimkan pahala bacaan kepada mayit, yang berarti kita
telah melanggar syari'at-Nya, tetapi kemudian kita mohon agar perbuatan melanggar syari'at itu
dipahalahi dan lebih dari itu, mohon agar do'a tersebut dikabulkan. Jadi, kalau toh sehabis acara
tahlilan itu, kita lalu berdoa seperti itu, rasanya adalah janggal dan tetap tidak dapat dibenarkan,
karena mengandung hal-hal yang kontradiktif (bertentangan); yaitu di satu pihak, doa adalah
ibadah dan di pihak lain amalan megirim pahala bacaan adalah amalan sia-sia, yang berarti
melanggar syari'at, yang kemudian, amalan semacam itu kita mohonkan agar dipahalahi, dan
pahalanya disampaikan kepada roh.

Page 2 of 5
SELAMATAN KEMATIAN

Demikian juga selamatan atau berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit,
baik pada saat hari kematian, hari ke dua, hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus
dsb..maupun dalam upacara yang sifatnya massal yang lazimnya dilakukan di perkuburan
(maqrabah) yang biasa disebut khaul dll. yang di situ juga di adakan acara selamatan atau
makan-makan, maka sebenarnya apabila kita periksa di dalam kitab-kitab Syafi'iyah, baik kitab-
kitab fiqih, tafsir maupun syarah-syarah hadits, amalan tersebut dinyatakan sebagai amalan
'terlarang' atau dengan kata lain 'haram'.

Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan madzhab Syafi'i itu sendiri, atau kalau toh
ada yang tahu, maka jumlahnya tidak banyak, maka marilah kita ikuti bersama bagaimana
pandangan mereka tentang masalah ini. Di dalam kitab Fiqih I'anatut Thalibin dinyatakan
demikian:

"Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya
makanan untuk itu, adalah termasuk bid'ah munkarat bid'ah yang di ingkari agama) yang bagi
orang yang memberantasnya akan diberi pahala." (I'anatut Thalibin. Syarah Fat-hul Mu'in, juz 2,
hal.145).

Imam Syafi'i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di rumah ahli mayit ini, seperti yang beliau
kemukakan dalam Kitab AL UM sbb : "Aku tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah
keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan
kesedihan baru." (As Syafi'i AL UM, juz 1, hal. 248).

Selanjutnya di dalam Kitab I'anatut Thalibin tersebut dikatakan demikian: "Dan apa yang
dibiasakan orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada para
undangan, adalah bid'ah yang tidak disukai dalam agama, sebagaimana halnya berkumpul di
rumah keluarga mayit itu sendiri, karena ada hadits shahih yang di riwayatkan Jarir yang berkata:
"Kami mengganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan
adalah sama dengan hukum niyahah (meratapi mayit) yakni haram." (I'anatut Thalibin, juz 2, hal.
146).

Juga pengarang I'anah mengutip keterangan dari Kitab BAZZAZIYAH sebagai berikut: "Dan tidak
disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian), hari ke tiga, sesudah
seminggu dan juga memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (seperti peringatan
khaul - pen) (I'anatut thalibin, juz2, hal. 146).

Di dalam Kitab Fiqih Mughnil Muhtaj disebutkan demikian: "Adapun menyediakan hidangan
makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah bid'ah, dan dalam
hal ini Imam Ahmad yang sah dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, "Kami menganggap, bahwa
berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit untuk
acara itu, adalah sama hukumnya dengan niyahah (meratapi mayit), yaitu haram." (MUGHNIL
MUHTAJ, juz 1, hal. 268).

Di dalam Kitab Fiqih Hasyiyatul Aqlyubi, dinyatakan demikian: "Syekh Ar Ramli berkata, "Di
antara bid'ah yang munkarat (yang tidak dibenarkan agama), yang tidak disukai dikerjakan, yaitu
sebagaimana diterangkan di dalam Kitab Ar Raudlah, yaitu apa yang dikerjakan orang, yang
disebut: kirafah," dan hidangan makanan untuk acara berkumpul di rumah keluarga mayit, baik
sebelum maupun sesudah kematian, dan juga penyembelihan di kuburan." (Hasyiyatul Qalyubi,
juz 1, hal. 353).

Di dalam Kitab Fiqih karangan Imam Nawawi, AL MAJMU' syarah MUHADZAB, antara lain
dikatakan demikian: "Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan

Page 3 of 5
berkumpulnya orang banyak di situ adalah tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu adalah
bid'ah. " (An-Nawawi, AL MAJMU' SYARAH MUHADZAB, juz 5, hal. 286).

Juga pengarang I'anatut Thalibin mengutip keterangan dalam Kitab AL JAMAL SYARAH AL
MINHAJ, yang berbunyi demikian: "Dan di antara bid'ah yang munkarat yang tidak disukai, ialah
apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara
hari ke empatpuluh, bahkan semua itu adalah haram." (I'anatut Thalibin, juz2,hal. 145-146).

Selanjutnya pengarang Kitab tersebut mengutip keterangan dalam Kitab TUHFATUL MUHTAJ
SYARAH AL MINHAAJ, sebagai berikut: "Apa yang dibiasakan orang tentang menghidangkan
makanan untuk acara mengundang orang banyak ke rumah mayit adalah bid'ah yang tidak
disukai, sebab ada hadits yang diriwayatkan Jarir, bahwa ia berkata, "Kami (para sahabat
Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) menganggap, bahwa berkumpul di rumah
keluarga mayit dan menghidangkan makanan untuk itu adalah sama hukumnya dengan niyahah
(meratapi mayat), yaitu haram." (I'anatutThalibin, juz 2, hal. 145-146).

Lebih lanjut pengarang kitab tersebut mengutip fatwa Mufti Madzhab Syafi'i, Ahmad Zaini bin
Dahlan sebagai berikut: "Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid'ah
munkarat ini adalah berarti menghidupkan sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI
WASSALAM, mematikan bid'ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-
rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal
yang akan membawa kepada hal yang diharamkan." (I'natut Thalibin, juz 2, hal. 145-146).

Dan di dalam Kitab Fiqih Alal Madzahibil Arba'ah, dinyatakan demikian: "Dan di antara bid'ah
yang tidak di sukai agama ialah, apa yang dikerjakan orang tentang memotong binatang-binatang
ketika mayit di keluarkan dari tempat bersemayamnya atau di kuburan dan juga menyediakan
hidangan makanan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang ta'ziyah." (Abdurrahman Al
Jaza'iri, AL FIQHU ALAL MADZAHIBIL ARBA'AH, juz 1, hal.539).

Demikian pendapat Ulama Syafi'iyah tentang selamatan kematian yang sepakat bahwa amalan
tersebut adalah BID'AH MUNKARAT. Dasar mereka ialah kesepakatan (ijma') Sahabat
Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, yang menganggap 'haram' hukum amalan
tersebut.

Jika timbul pertanyaan tentang masalah semacam ini dapat dijawab sbb: Bahwa sedekah itu
akan lebih tepat mengena pada sasarannya, lebih berarti dan tentu lebih utama, kalau di
wujudkan dalam bentuk selamatan atau walimahan, tapi diberikan langsung kepada FUQORA'
MASAKIN, sebab dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir dan yang di undang adalah
orang-orang yang mampu, sehingga apa yang diniatkan sebagai sedekah itu tentu akan kurang
berarti bagi mereka, kalau tidak boleh dikatakan hampir tidak berarti sama sekali. Ini kalau
dipandang makna sedekah itu dari segi kepantingan materil para fuqaha dan masakin.

Tambahan lagi, kalau amalan tersebut diniatkan sebagai sedekah, maka akan terjadi talbisul haq
bil bathil (mencampuraduk antara yang haq dan bathil).

Sebab di satu pihak, sedekah adalah di perintahkan agama sedang dipihak lain yaitu berkumpul
dengan hidangan makanan di rumah ahlil mayit adalah haram, dan mengirim pahala semacam
itu sendiri juga perbuatan sia-sia. Di sinilah letaknya, bahwa kalau hidangan makanan itu
diniatkan sebagai sedekah, maka terjadi campuraduk antara yang haq dan bathil.

SANTUNAN UNTUK KELUARGA MAYIT

Menurut sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, kepada tetangga dari keluarga


yang ditimpa musibah kematian anggota keluarganya, dianjurkan agar mambantu meringankan
beban penderitaan lahir maupun bathin, dengan sekedar memberikan santunan berupa bahan
makan, lebih-lebih jika keluarga mayit itu orang-orang yang tidak mampu atau keluarga miskin.

Page 4 of 5
Imam Syafi'i didalam Kitabnya AL UM, antara lain mengatakan demikian: "Dan aku menyukai,
bagi tetangga mayit atau sanak kerabatnya untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayit,
pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengeyangkan mereka,
dan amalan yang demikian itu adalah sunnah." ( As Syafi'i, AL UM, juz 1, hal. 247).

Selanjutnya Imam Syafi'i mengatakan bahwa hal itu berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Ja'far
sbb: "Abdullah bin Ja'far berkata, tatkala tersiar berita terbunuhnya Ja'far, Rasulullah
SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM bersabda, "Hendaklah kamu membuat makanan untuk
keluarga Ja'far, sebab mereka telah ditimpa hal yang menyusahkan." (HR. As Syafi'i/AL UM, juz
1, hal. 247).

Hadits ini menunjukkan bahwa menurut sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM,


kaum Muslimin baik tetangga mayit atau sanak kerabatnya, hendaknya berusaha menghibur
keluarga mayit yang sedang ditimpa kesusahan itu dengan cara memberikan bantuan barupa
bahan makanan dan semacamnya, terutama kepada keluarga mayit yang tidak mampu atau
miskin. Maka Imam Syafi'i menganjurkan juga kepada kaum Muslimin agar mengamalkan ajaran
yang mulia ini, karena hal itu sesuai dengan sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI
WASSALAM. Sementara tradisi masyarakat muslim di tanah air kita ini masih berbuat hal yang
bertentangan dengan anjuran Imam Syafi'i tersebut yaitu masih berlanjutnya tradisi selamatan
hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, ke seribu dsb. dengan menyediakan hidangan
makanan yang di samping acara selamatan juga disertai acara tahlilah, yang justru keduanya
merupakan amalan yang tidak dibenarkan oleh ulama-ulama Syafi'iyah yang berpedoman
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM.

Page 5 of 5

Anda mungkin juga menyukai