....Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat Ulama-ulama Syafi'iyah tentang masalah
dimaksud, yang penulis kutip dari kitab-kitab Tafsir, Kitab-kitab Fiqih dan Kitab-kitab Syarah
hadits, yang penulis pandang mu'tabar (dijadikan pegangan) di kalangan pengikut-pengikut madzhab
Syafi'i.
Juga Imam Nawawi di dalam kitab Takmilatul Majmu', Syarah Madzhab mengatakan. "Artinya :
Adapun bacaan Qur'an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit tsb,
menurut Imam Syafi'i dan Jumhurul Ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi,
dan keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah
Muslim". (As-Subuki, TAKMILATUL MAJMU' Syarah MUHADZAB, juz X, hal. 426).
2. Al-Haitami.
3. Imam Muzani
Imam Muzani, di dalam Hamisy AL-UM, mengatakan demikian. "Artinya : Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan
menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalan adalah untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain".
(Tepi AL-UM, AS-SYAFI'I, juz 7, hal.262).
4. Imam Al-Khuzani
Imam Al-Khuzani di dalam Tafsirnya mengatakan sbb. "Artinya : Dan yang masyhur dalam
madzhab Syafi'i, bahwa bacaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak
dapat sampai kepada mayit yang dikirimi". (Al-Khazin, AL-JAMAL, juz 4, hal.236).
5. Tafsir Jalalaian
Di dalam Tafsir Jalalaian disebutkan demikian. "Artinya : Maka seseorang tidak memperoleh pahala
sedikitpun dari hasil usaha orang lain". (Tafsir JALALAIN, 2/197).
6. Ibnu Katsir
Ibnu Katsir dalam tafsirnya TAFSIRUL QUR'ANIL AZHIM mengatakan (dalam rangka
menafsirkan ayat 39 An-Najm). "Artinya : Yakni, sebagaimana dosa seseorang tida dapat menimpa
kepada orang lain, demikian juga menusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil
amalnya sendiri,dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 An-Najm), Imam As-Syafi'i dan Ulama-
ualama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit adalah tidak sampai, karenabukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan
(pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik
dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada seorang Sahabat pun yang pernah mengamalkan
perbuatan tersebut, kalau toh amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu
mengerjakannya, padahal amalan qurban (mendekatkan diri kepada Allah) hanya terbatas yang ada
nash-nashnya (dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan tidak
boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat".
Demikian diantaranya pelbagai pendapat Ulama Syafi'iyah tentang TAHLILAN atau acara
pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, yang ternyata mereka mempunyai satupandangan,
yaitu bahwa mengirmkan pahala bacaan Qur'an kepada mayit/roh itu adalah tidak dapat sampai
kepada mayit atau roh yang dikirimi, lebih-lebih lagi kalau yang dibaca itu selain Al-Qur'an, tentu
saja akan lebih tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.
Di dalam kitab fiqih Madzhab Hanafy halaman 110 disebut : Bahwa membaca Qur'an dikuburan
orang mati itu hukumnya makruh, menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam
Ahmad, karena perbuatan ini termasuk BID'AH, tidak terdapat dalam sunnah Rasul.
Menurut pendapat Imam Syafi'I, bahwa ganjaran bacaan Qur'an itu tidak akan sampai kepada orang
mati. Alasan yang dipakai oleh beliau adalah firman Alloh Subhanahu wa ta'ala di surat An-Najam:
39, yang berbunyi : "Dan seseorang itu tidak akan mendapat melainkan hasil usahanya" (Q.S.An-
Najam: 39).
Seperti juga dalam sabda Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam : "Apabila seseorang anak Adam
meninggal, putuslah amalnya melainkan tiga perkara, sedekah jariyah atau ilmunya yang
dimanfaatkan atau anak yang sholeh mendo'akannya" (HR. Muslim)
Imam Nawawi pensyarah hadist Muslim didalam penjelasannya mengenai hadist tersebut, beliau
berkata: "Adapun bacaan Qur'an kemudian ganjarannya dihadiahkan kepada orang mati, atau
menggantikan sholatnya dan lain-lain ibadat, kesemuanya itu tidak akan sampai kepada orang mati".
Pendapat ini yang termasyur menurut Imam Syafi'I dan jumhur ulama. Penjelasan ini banyak
terdapat dalam Syarah kitab Muslim oleh Imam Nawawi sendiri.
Di dalam Syarah kitab Manhaj, Imam Nawaei berkata : "Menurut pendapat yang masyhur di dalam
madzhab Imam Syafi'I, sesunggguhnya bacaan Qur'an itu ganjarannya tidak akan sampai kepada
orang mati."
Syekh Izzu bin Abdis Salaam pernah ditanya pendapatnya, "Bagaimana hukumnya menghadiahkan
ganjaran bacaan Qur'an kepada orang mati, apakah sampai atau tidak ??"
Beliau menjawab : "Ganjaran bacaan itu hanya untuk orang yang membaca, bukan untuk orang
lain". Kemudian beliau berkata : "Tetapi alangkah anehnya masih ada ulama yang
membolehkannya. Alasan mereka ialah sebagai satu kebijaksanaan dan juga supaya tidak tidur
(berjaga) di rumah orang mati. Alasan demikian itu bukan merupakan suatu alasan yang berdasar
kepada agama, tetapi merupakan alasan yang dibuat-buat. Hal yang demikian ini tidak boleh
dijadikan sebagai satu hujjah." [1]
Note[1] :
Ironisnya, ada sekelompok orang yg merasa sebagai bagian dari pengikut Madzhab Imam Syafi'I
yang fanatik sekali, tetapi tidak mau mengikuti pendapat Imam Sayfi'I, khusus yg satu ini, atau
dengan kata lain mereka tidak mau mengikuti pendapat Imam Syafi'I yang menganggap bacaan
Qur'an untuk orang mati adalah tidak sampai.
Syekh Ibnu Abi Jumrah pernah berkata : "Sesungguhnya bacaan Qur'an dikuburan orang mati itu
termasuk perbuatan BID'AH, bukan sunnah Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam". Ucapan
tersebut dalam kitab Al-Madkhal.
Syekh Ad-Dardiiry didalam kitab As-Syarhus Shagir Juz : I halaman 180 menerangkan bahwa
"Bacaan Qur'an disisi orang mati atau sesudahnya, diatas kuburannya termasuk perbuatan yang
dibenci oleh Islam karena bukan merupakan perintah Alloh Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya,
atau bukan pula menurut perjalanan para sahabatnya, dan juga bukan menurut perjalanan para ulama
salaf. Sesuatu yang wajar dikerjakan oleh orang yang masih hidup terhadap salah seorang Muslim
ialah mendo'akan dan memintakan maghfiroh untuknya."
Imam Ahmad bin Hambal pernah melihat seorang yang sedang membacakan Al-Qur'an diatas
kuburan, maka beliau menghardiknya dengan ucapan : "Alangkah anehnya orang ini, ketahuilah
bahwa bacaan Qur'an di kuburan adalah termasuk perbuatan BID'AH".
Ibnu Taimiyah pernah berkata : "Ada beberapa orang yang meriwayatkan dari Imam Ahmad bin
Hambal : "Bahwa membaca Qur'an di kuburan itu termasuk perbuatan yang DIBENCI oleh agama.
Demikian pulan pendapat para ulama salaf dan para sahabat Imam Ahmad."
Ibnu Taimiyah : "Membaca Qur'an diatas orang mati itu termasuk perbuatan BID'AH. Berlainan
dengan membaca Surah Yaasin atas orang yang hampir mati (sedang Naza'I, ingat bukan yang sudah
mati, red), hal ini termasuk sunnah.
Imam Ahmad bin Hambal pernah berkata : "Bukan suatu kebiasaan (adat) bagi para ulama Salaf
menghadiahkan ganjaran puasa-puasa sunnah, sholat-sholat sunnah, haji ataupun bacaan Qur'an atas
orang mati. Justru karena itu tidak patut kita melakukan sesuatu amal yang tidak pernah mereka
kerjakan."
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam kitab Zaadul Ma'aad Juz I halaman 146 menjelaskan
bahwa "Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam tidak pernah beri contoh untuk BERKUMPUL-
KUMPUL dirumah orang yang kematian serta membacakan ayat-ayat Qur'an untuk mereka yang
telah meninggal. Amalah demikian ini bukanlah sunnah hukumnya, tetapi termasuk perbuatan
BID'AH yang dibenci oleh agama." [2]
Adapun riwayat yang berbunyi : "Bacalah Yaasin atas orang mati diantara kamu", riwayat ini tidak
boleh dijadikan hujjah untuk membolehkan bacaan Yaasin, karena derajatnya TIDAK SAH.
Riwayat ini dikatakan Ma'lul (berpenyakit), sedang sanadnyapun dikatakan Mudl-tharib dan ada
rawi yang Majhul. Dengan demikian menjadikan riwayat ini sebagai satu alasan boleh membaca
Yaasin atas orang mati TIDAK DAPAT DITERIMA.
Menurut Imam Al-Fairuz Baadiy : "Bacaan Qur'an untuk orang mati itu hukumnya BID'AH YANG
TERCELA dalam agama."
Note[2]:
Dalam masalah berkumpul-kumpul di rumah orang mati, marilah kita perhatikan pendapat dari para
ulama sebagai berikut :
1. Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah kitab Muhadz-dzab Juz V : halaman 286 baris ke-12 dan
seterusnya : "Adapun berkumpul-kumpul di rumah orang kematian, kemudian mereka mengadakan
makanan dan minuman untuk orang yang berkumpul-kumpul itu, maka perbuatan itu tidak syak lagi
adalah termasuk BID'AH, karena tidak ada satupun riwayat yang menerangkan bahwa pada zaman
Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam pernah terjadi hal-hal yang demikian itu.
Alasan yang kita dapati dalam larangan berkumpul-kumpul dan memakan makanan di rumah orang
keamtian ialah hadist Jabir bin Abdillah dimana beliau berkata: "Kami [para sahabat] menganggap
berkumpul-kumpul di rumah keluarga si mati, dan mereka mengadakan makanan sesudah
penguburan, adalah termasuk meratap [atas orang mati]." (HR Ahmad).
Di dalam kitab Majmu Juz V : halaman 287 baris ketiga dikatakan bahwa Ibnu Mundzir berkata :
"Kami telah meriwayatkan dari Qais bin Ubad : "Adalah para sahabat Rasululloh Shollallohu 'alaihi
wasallam tidak senang berteriak-teriak dalam tiga hal, pada waktu bertempur, pada waktu berada di
sisi jenazah, dan pada WAKTU BERDZIKIR."
Hasan Al-Bashri meriwayatkan suara mereka dari sahabat Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam :
"Bahwa mereka lebih suka merendahkan suara mereka di waktu mengantar jenazah, di waktu
MEMBACA QUR'AN dan di waktu perang."
Di dalam kitab Al-Umm karangan Imam Syafi'I, Juz I : halaman 247 baris ke-9, beliau berkata :
"Aku lebih senang kalau para tetangga atau kerabat dari keluarga yang mati itu membuatkan
makanan untuk mereka (keluarga si mati) pada hari dan malam kematiannya, karena perbuatan itu
termasuk sunnah."
Pada halaman 248 baris ke-6 Imam Syafi'I berkata : "AKU SANGAT BENCI TERHADAP
ORANG-ORANG YANG SUKA BERKUMPUL-KUMPUL DI RUMAH ORANG MATI,
WALAUPUN MEREKA ITU TIDAK MENANGIS ATAU MERATAP, KARENA PERBUATAN
MEREKA ITU TERMASUK MEMPERBAHARUI MASA BERKABUNG"
Di dalam kitab Al-Madkhzl Juz III : halaman 228 baris ke-21 dikatakan bahwa Imam Syafi'I dan
kawan-kawannya berpendapat : "Adapun berkumpul-kumpul di rumah orang mati kemudian
keluarga si mati mengadakan makanan untuk mereka, hal ini tidak ada satupun riwayat yang
diriwayatkan dari Rasululloh Shollallohu 'alaihi wasallam yang membolehkannya. Perbuatan ini
TIDAK termasuk perbuatan yang terpuji, bukan pula Mustahab."
Di halaman 289 baris ke-16 dikatakan bahwa Azhar bin Abdillah pernah berkat: "Barang siapa yang
mengadakan makanan karena Ria atau untuk dipuji, maka perbuatan ini Alloh Subhanahu wa ta'ala
tidak mewajibkan kita untuk mengahdirinya, sedang makanan yang dikeluarkan itu tidak akan
dibalas oleh Alloh Subhanahu wa ta'ala dengan memberi tambahan rizki pada yang
mengeluarkannya. Apakah perbuatan ini termasuk walimah perkawinan atau khitan dan lain-lain.
Oleh sebab itu hendaklah lebih berhati-hati didalam beramal, dan jangan sekali-kali dicampur
dengan semua perbuatan yang sia-sia yang banyak berlaku di sekeliling kita."
Demikian pula amalan-amalan yang tidak ada contohnya dari Rasululloh Shollallohu 'alaihi
wasallam misalnya mengadakan makanan pada tiga hari dari kematian seseorang.
Kesimpulan: Ke-empat Imam Madzhab berpendapat sama bahwa BACA'AN QUR'AN ADALAH
BUKAN UNTUK ORANG MATI, DAN PERBUATAN TERSEBUT TERMASUK BID'AH DAN
TERCELA.
Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati
02/04/2007
Sumber: NU online
Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai
kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa
do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada
orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
َ سن َلي
ْْس َواَن ِ اس َعى ِاالَّ ل ِْل
ِ الء ْن َ َم
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-
Najm 53: 39)
“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga
perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh
yang mendo’akan dia.”
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami,
ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului
kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari
Dunia sampai Akherat.
ِ َواسْ َت ْغفِرْ ل َِذ ْن ِب َك َول ِْلم ُْؤ ِم ِني َْن َو ْالم ُْؤمِن
ت
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih
mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di
atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak
seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak
menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan
perbuatan seseorang untuk orang lain.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat
tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24,
berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan
perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli
bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari
do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
TAHLIL
RITUAL TAHLIL
Tahlil telah menjadi perdebatan yang sampai sekarang belum belum menacpai kesepakatan. Tanpa ikut
berpolemik, sedikit kami urai permasalahan tahlil dan tawassul yang menurut sebagian orang dianggap
bid'ah dan syirik.
Arti tahlil secara lafdzi adalah bacaan kalimat Thayyibah ()الاله اال هللا. Namun kemudian kalimat tahlil menjadi
sebuah istilah dari rangkaian bacaan beberapa dzikir, alqur'an dan do'a tertentu yang dibaca untuk
mendo'akan orang yang sudah mati. Ketika diucapkan kata-kata tahlil pengertiannya berubah seperti itu.
Tahlil pada mulanya ditradisikan oleh Wali Sanga. Seperti yang telah kita ketahui, yang paling berjasa
menyebarkan ajaran Islam di indonesia adalah Wali Sanga. keberhasilan da'wah Wali Sanga ini tidak lepas
dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Sanga mengajarkan nilai-nilai
Islam secara luwes mereka tidak secara frontal menentang tradisi tradisi hindu yang telah mengakar kuat di
masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan hanya saja isinya diganti dengan nilai nilai islam, tradisi
dulu bila ada orang mati maka sanak famili dan tetangga berkumpul dirumah duka yang dilakukan bukannya
mendo'akan simati malah bergadang dengan bermain judi atau mabuk mabukan.
Wali Sanga tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun
acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit, jadi tahlil dengan pengertian diatas sebelum Wali Sanga
tidak dikenal.
Kalau begitu Tahlil itu bid'ah! Setiap perbuatan bid'ah sesat ! setiap sesat masuk neraka?
Tunggu dulu, anda berada didepan Komputer ini juga bid'ah sebab tidak pernah di kerjakan oleh nabi S A W
kalau begitu anda sesat dan masuk neraka? Akal sesat pasti menolak logika seperti ini.
Ulama membagi bid'ah menjadi dua ,bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah , sedangkan bid'ah hasanah sama
sekali tidak sesat meskipun tidak pernah dikerjakan oleh nabi jadi ukurannya bukan pernah dikerjakan oleh
nabi atau tidak , namun lebih luas dari itu, apakah sesuai dengan syariat atau tidak ! yang dimaksudkan
syariat disini tentu saja dalil dalil alquran sunnah ,atsarus shahabah , Ijma' dan qiyas . jika melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan dalail dalil tersebut maka sesat.
Sekarang kita lihat apakah dalam tahlil ada yang bertentangan dengan syari'at ? tidak ada, tahlil adalah
serangkaian kalimat yang berisi dzikir, bacaan alqur'an, yang disusun untuk sekedar mudah untuk di ingat,
biasanya dibaca secara berjemaah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit , rangkaian bacaan yang ada
mempunyai keutamaan yang mempunyai dasar yang kuat, dari sisi ini jelas tahlil tidak ada yang
bertentangan dengan syariat.
Jika yang dipermasalahkan adalah sampai dan tidaknya pahala maka perdebatan tidak akan menemui ujng
usai, sebab itu masalah khilafiyah dengan argumen masing masing ada yang mengatakan pahalanya bisa
sampai ada yang mengatakan tidak, pendekanya ulama' sepakat untuk tidak sepakat , ya sudah jangan
dipermasalahkan lagi.
Hemat kita urusan pahala adalah hak prerogatif Allah yang tidak bisa di interfensi oleh siapapun. Kita yang
membaca tahlil esensinya kan berdo'a semoga pahala bacaan kita disampaikan kepada mayit.
Lepas dari Khilafiyah itu KH Sahal Mahfud, kajen berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi
hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan
ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.
Hukum memberi jamuan dalam tahlilan
Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang mati, itu diperbolehkan. Banyak dari kalangan ulama
yang mengatakan bahwa semacam itu termasuk ibadah yang terpuji dan , memang, dianjurkan dengan
berbagai alasan. Karena hal itu, kalau ditilik dari segi jamuannya adalah termasuk sadaqah yang, memang,
dianjurkan oleh agama menurut kesepakatan ulama'. -- yang pahalanya dihadiyahkan pada orang telah mati.
Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu,(1) ikramud dlaif (memulyakan
tamu) (2) bersabar menghadapi musibah. (3) tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Ketiga masalah tersebut, semuanaya, termasuk ibadah dan perbuatan taat yang diridlai oleh Allah AWT serta
pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar.
Dengan catatan biaya jamuan tersebut tidak diambilkan dari harta ahli waris yang berstatus mahjuralaih.
Apabila biaya jamuan tersebut diambilakan harta ahli waris yang berstatus mahjuralaih.(seperti anak yatim),
maka hukumnya tidak bolehkan.
Adapun menghususkan selamatan pada mayit pada hari-hari tertentu adalah bidah yang tidak ada dasar
hukumnya, selamatan pada hari-hari itu juga tidak ada keutamaan atau manfaatnya keterangan dalam kitab
Matali ud daqo iq yang menyatakan bahwa selamatan pada hari 3, 7, 40, 100 dst itu mempunyai keutamaan
karena terkait dengan keberadaan atau proses yang dialami mayit dialam kubur adalah tidak benar.
Namun demikian shadakah itu sama sekali tidak mengurangi nilai pahala sedekah yang pahalanya
dihadiahkan pada mayit seperti penjelasan diatas. ada beberapa ulama seperti Syaikh nawawi syaikh isma
il dan lain lain menyatakan, bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sunnah (matlub) Cuma
hal itu tidak boleh disengaja dikaitkan dengan hari hari yang telah mentradisi di suatu komunitas masyarakat.
Malah jika acara tersebut dimaksudkan untuk meratapi mayit, maka haram.
Ma khod : Nihayatuz zain(281) , I anatut talibin 11/166
كما افتى بذلك السيد احمد دحالن بعض االيام من العوائد فقطvوالتصدق عن الميت بوجو شرعي مطلوب وال يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييد
وفى تمام العشرين وفى االربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حوال فى يوم وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت فىثالث من موته وفىسابع
مالم يكن من مال اليتام واال فيحرمv عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروهvالموت كما افاده شيخنا يوسف السنبالوى اما الطعام الذى يجتمع
كذافى كشف اللثام
281 نهاية الزين
فان ذلك جائز كما يدل عليه الحديث المذكور. وهي ما يصنعه أهل الميت من الوليمة ودعاء الناس اليها لألكل.ومنها مسألة مهمة وألجلها كانت هذه الرسالة
واما أن يكون بقصد اكرام.بل هو قربة من القرب ألنه اما أن يكون بقصد جصول األجر والثواب للميت وذلك من أفضل القربات التي تلجق الميت باتفاق
الصيف والتسلي عن المصاب وبعدا عن اطظهار الحزن وذلك أيصا من القربات والطعاب التي يرضاها رب العالمين وثيب فاعلها ثوابها عظيما وسواء كان
الى قوله.ذلك يوم الوفات عقب الدفن كما فعلته زوجة الميت المذكورة فى الحديث أو بعد ذلك وفى الحديث نص صريح فى مشروعية ذلك
برة من الثلثvvية معتvvوهذا كله كما هو ظاهر فيما اذا لم يوص الميت باتخاذ الطعام واطعامه للمعزين الحاضرين واال فيجب ذلك عمال بوصيته وتطون الوص
.208 ص3 ج-أي ثلث تركة الميت قال فى التحفة
181- 175 قرة العين بفتاوى الشيخ اسماعيل الزين
Di copy paste dari Sidogiri.com
Sebelumnya: Jumlah Huruf dalam Al Qur'an
Selanjutnya : Bid'ah