Anda di halaman 1dari 12

SELAMATAN & TAHLILAN

MENURUT MAHDZAB SYAFI’I

(MEMBUKA WAWASAN BAGI YANG MAU BELAJAR)

1
BAB PERTAMA
TAHLILAN
(MENGIRIM PAHALA BACAAN KEPADA MAYIT)

ACARA TAHLILAN, yaitu acara pengiriman pahala bacaan


kepada mayit / roh, adalah merupakan tradisi yang telah melembaga
dikalangan masyarakat, atau dengan kata lain, telah menjadi milik
masyarakat Islam di tanah air kita ini.

Dalam acara tersebut lazimnya dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an


tertentu, bacaan laa ilaaha illallah, subhanallah dll, dengan niat pahala-
pahala bacaan tersebut dihadiahkan / dikirimkan kepada mayit / roh
tertentu atau arwah kaum Muslimin pada umumnya.

Satu hal yang belum banyak diketahui kaum Muslimin itu sendiri
ialah, bahwa pada umumnya mereka, baik dengan pengertian yang
sebenaranya atau hanya ikut-ikutan, mereka mengaku BERMADZAB
SYAFI’I. Namun demikian, ironinya ialah,justru dalam hal amalan
TAHLILAN dan SELAMATAN yang pahalanya dikirimkan pada mayit ini
bertentangan dengan pelbagai pendapat Ulama’-Ulama’ dari kalangan
madzab Syafi’i termasuk IMAM SYAFI’I sendiri, kalau toh ada pendapat
lain dari kalangan madzab tersebut maka jumlahnya sangat sedikit dan
tentu saja pendapat tersebut dipandang lemah sebab bertentangan
dengan ajaran Al-Qura’an (ayat 39 surat An Najm dan Sunnah Nabi
serta Sahabat-sahabatnya), yang mendasari pendapat mereka itu.

Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat Ulama’-Ulama’


Syafi’iyah tentang masalah dimaksud, yang penulis kutip dari Kitab-kitab
Tafsir, Kitab-kitab Fiqih dan Kitab-kitab Syarah Hadis, yang penulis
pandang mu’tabar (dijadikan pegangan) dikalangan pengikut-pengikut
madzab Syafi’i.

1. Pendapat Imam As Syafi’i rahimahullah.

Imam An Nawawi menyebutkan dalam Kitabnya SYARAH MUSLIM,


demikian:
“Adapun bacaan Qur-an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit),
maka yang masyhur dalam madzab Syafi’i, tidak dapat sampai
kepada mayit yang dikirimi... Sedang dalilnya Imam Syafi’i dan
pengikut- pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya), ”Dan
2
seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya
sendiri” dan sabda Nabi saw (yang artinya), ”Apabila manusia telah
meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal,
yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak saleh
(laki/perempuan) yang berdo’a untuknya (mayit).” (An Nawawi,
SYARAH MUSLIM, juz 1 hal.90).

Juga Imam Nawawi di dalam Kitab Takmilatul Majmu’, Syarah


Mahadzab mengatakan:
”Adapun bacaan Qur’an dan mmengirimkan pahalanya untuk mayit
dan mengganti shalatnya mayit dsb., menurut Imam Syafi’i dan
Jumhurul Ulama’ adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang
dikirimi, dan keterangan seperti ini telah di ulang-ulang oleh Imam
Nawawi didalam Kitabnya, Syarah Muslim.” (As Subuki,
TAKMILATUL MAJMU’,syarah MUHADZAB,juz X,hal. 426).

(menggantikan shalatnya mayit, maksudnya menggantikan shalat yang


ditinggalkan almarhum semasa hidupnya -pen).

2. Pendapat Al Haitami. Di dalam Kitabnya, AL FATAWA AL KUBRA


AL FIGHIYAH, mengatakan demikian:
“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan
yang mutlak dari Ulama’ Mutaqaddimin (terdahulu), bahwa bacaan
(yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat
sampai kepadanya. sebab pahala bacaan itu adalah untuk
pembacaannya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat
dipindahkana dari amil (yang mengamalkan) perbuatan itu,
berdasarkan firman Allah (yang artinya), ”Dan manusia tidak
memperoleh, kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri”. (AL
Haitami, AL FATAWA AL KUBRA AL FIGHIYAH, juz 2, hal.9).

3. Pendapat Imam Muzani. Dalam Hamisy AL UM, mengatakan


demikian:
“Rasulullah saw memberitahukan sebagaimana yang diberitakan
Allah,bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti
halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain
dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain.” (Tepi AL UM,AS
SYAFI’I, juz 7,hal 269).

4. Pendapat Imam Al Khazim, di dalam Tafsirnya mengatakan sbb:

3
“Dan yang masyhur dalam madzab Syafi’i, bahwa bacaan Qur’an
(yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat
sampai kepada mayit yang dikirimi” (Al Khazimi, AL JAMAL, juz 4,
hal.236)

5. Di dalam Tafsir Jalalain disebutkan demikian:


“Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikit pun dari hasil
usaha orang lain.” (Tafsir JALALAIN, 2/197).

6. Pendapat Ibnu Katsir.

Didalam Tafsirnya, TAFSIRUL QUR’ANIL AZHIM mengatakan (dalam


rangka menafsirkan ayat 39 An Najm) :
“Yakni, sebagaimana seseorang tidak dapat menimpa kepada orang
lain,demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala
melainkan dari hasil amalnya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini
(ayat 39 An Najm), Imam As-Syafi’i ra dan Ulama’-Ulama’ yang
mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang
pahalanya yang dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat
sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu
Rasulullah saw tidak pernah menganjurkan umatnya untuk
mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah
memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat,
dan tidak ada seorang Sahabat pun yang pernah mengamalkan
perbuatan tersebut, kalau toh amalan semacam itu memang baik,
tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan
qurban (mendekatkan diri kepada Allah) hanya terbatas yang ada
nash-nashnya (dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul saw) dan tidak
boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”.

Demikian di antaranya pelbagai pendapat Ulama’ Syafi’iyah


tentang acara TAHLILAN atau acara pengiriman pahala bacaan
kepada mayit / roh, yang ternyata mereka mempunyai satu
pandangan, yaitu bahwa mengirimkan pahala bacaan Qur’an
kepada mayit / roh itu adalah tidak dapat sampai kepada mayit
atau roh yang dikirimi, lebih-lebih lagi kalau yang dibaca itu
selain Al-Qur’an, tentu saja akan lebih tidak dapat sampai
kepada mayit yang dikirimi.

4
Kalau sudah jelas, bahwa pengiriman pahala tersebut tidak dapat
sampai, maka acara-acara semacam itu adalah sia-sia belaka, atau
dengan kata lain merupakan tabdzir, padahal Islam melarang umatnya
berbuat sia-sia dan tabdzir.

Adapun dasar hukum dari pendapat mereka itu adalah firman Allah
swt dalam surat An Najm ayat 39, dan hadis Nabi saw tentang
terputusnya amal manusia apabila ia telah meninggal dunia kecuali tiga
hal, yaitu:

1. Sedekah jariyah
2. Ilmu yang diambil manfaatnya
3. dan anak yang saleh, baik laki-laki maupun perempuan yang
berdo’a untuk orang tuanya.

Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kalau seandainya setiap


usai tahlilan lalu berdo’a, ALLAHUMMA AUSHIL TSAWABA MAA
WARA’NAHU ILA RUHI FULAN (=Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan
kami tadi kepada roh Fulan)?

Pertanyaan ini dapat dijawab demikian: Ulama’ telah sepakat,


bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak dapat sampai kepada roh
yang dikirimi, sebab bertentangan dengan firman Allah, ayat 39 An
Najm.

Adalah sangat janggal, kalau kita berbuat mengirimkan pahala


bacaan kepada mayit, yang berarti kita telah melanggar syri’at-
Nya, tetapi kemudian kita memohon agar perbuatan yang
melanggar syari’at itu dipahalai, dan lebih dari itu, mohon lagi,
agar pahalanya disampaikan kepada roh Fulan dan Fulan.

Jadi meskipun sehabis acara tahlilan itu, lalu berdo’a seperti itu,
rasa-nya adalah janggal dan tetap tidak bisa dibenarkan , karena
terjadi hal-hal yang kontradiktif (bertentangan).

Yaitu disatu pihak, do’a adalah ibadah dan dilain pihak, amalan
mengirim pahala bacaan adalah sia-sia, yang berarti melanggar syari’at,
yang kemudian amalan semacam itu kita mohonkan agar dipahalai, dan
pahalanya disampaikan kepada roh.
============

5
BAB KEDUA
SELAMATAN KEMATIAN

Demikian juga SELAMATAN atau berkumpul dengan hidangan


makanan di rumah keluarga mayit, baik pada saat hari kematian,hari
kedua,hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus dsb, maupun
dalam upacara yang sifatnya masal yang lazimnya dilakukan di
pekuburan (maqbarah) yang biasa disebut haul dll yang disitu juga
diadakan acara selamatan atau makan-makan, maka sebenarnya
apabila kita periksa di dalam kitab-kitab Syafi’iyah, baik kitab-kitab
Fiqih, Tafsir maupun Syarah-syarah Hadis, maka amalan tersebut
dinyatakan sebagai amalan “terlarang” atau dengan kata lain
“haram”.

Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan madzab


Syafi’i itu sendiri, atau kalau toh ada yang tahu, maka jumlahnya tidak
banyak, maka marilah kita ikuti bersama bagaimana pandangan mereka
tentang masalah ini.

1. Di dalam Kitab Fiqih I’anatut Thalibin dinyatakan demikian:


“Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di (rumah)
keluarga mayit dan dihidangkan makanan untuk itu,adalah
termasuk bid’ah munkarat (bid’ah yang diingkari agama).yang bagi
orang yang memberantasnya akan diberi pahala.” (I’anatut
Thalibin. syarah Fat-hul Mu’in, juz 2, hal.145).

2. Imam As Syafi’i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul dirumah


ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam Kitab AL UM,
sbb:
“Aku tidak menyukai ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga
mayit), meskipun disitu tidak ada tangisan, karena hal itu malah
akan menimbulkan kesedihan baru”
(As Syafi’i AL UM, juz 1, hal. 248)

3. Selanjutnya dalam kitab I’anatut Thalibin tersebut dikatakan


demikian:
“Dan apa yang dibiasakan orang tentang hidangan makanan oleh
keluarga mayit untuk dihidangkan kepada para undangan, adalah
bid’ah yang tidak disukai dalam Agama, sebagaimana halnya
6
berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena ada hadis
shahih yang diriwayatkan Jarir yang berkata: ”Kami menganggap,
bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan
makanan adalah sama dengan hukum niyahah (meratapi mayit)
yakni haram”. (I’anatut Thalibin, juz 2, hal 146).

4. Juga pengarang I’anah mengutip keterangan dalam Kitab


BAZZAZIYAH sebagai berikut:
“Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari
pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga
memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (seperti
peringatan khaul -pen) (I’anatut Thalibin,juz 2,hal.146).

5. Didalam Kitab Fiqih Mughnil Muhtaj disebutkan demikian:


“Adapun yang menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit
dan berkukmpulnya orang banyak di situ, adalah bid’ah yang itdak
disunatkan, dan dalam hal ini Imam Ahmad yang sah dari Jarir bin
Abdillah, ia berkata, ”Kami menganggap, bahwa berkumpul dirumah
keluarga mayit dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit
untuk acara itu, adalah sama hukumnya dengan niyahah (meratapi
mayit), yakni haram.” (MUGHNIL MUHTAJ, juz 1.hal.268).

6. Di dalam Kitab Fiqih Hasyiyatul Qalyubi, dinyatakan demikian:


“Syekh Ar Ramli berkata, ”Diantara bid’ah yang munkarat (yang
tidak dibenarkan agama), yang tidak disukai dikerjakan, yaitu
sebagai mana diterangkan di dalam Kitab Ar Raudlah, yaitu apa
yang dikerjakan orang, yang disebut: Kifarah”, dan hidangan
makanan untuk acara berkumpul di rumah keluarga mayit, baik
sebelum maupun sesudah kematian, dan juga penyembelihan di
kuburan.” (Hasyiyatul Qalyubi, juz 1, hal.353).

7. Di dalam kitab Fiqih karangan Imam Nawawi, AL MAJMU’ syarah


MUHADZAB, antara lain dikatakan demikian:
“Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya orang banyak disitu, adalah tidak ada nashnya sama
sekali, yang jelas itu adalah bid’ah yang tidak disunatkan.” (An-
Nawawi, AL MAJMU’ SYARAH MUHADZAB, juz 5, hal 286).

8. Juga pengarang I’anatut Thalibin mengutip keterangan dalam Kitab


AL JAMAL SYARAH AL MINHAJ, yang berbunyi demikian:

7
“Dan di antara bid’ah yang mungkarat yang tidak disukai, ialah apa
yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka
cita, berkumpul dan acara hari ke empat puluh, bahkan semua itu
adalah haram.” (I’anatut Thalibin,juz 2,hal.145-146).

9. Selanjutnya pengarang Kitab tersebut mengutip keterangan dalam


Kitab TUHFATUL MUHTAJ SYARAH AL MINHAAJ, sbb:
“Apa yang dibiasakan orang tentang menghidangkan makanan
untuk acara mengundang orang banyak ke rumah keluarga mayit,
adalah bid’ah yang tidak disukai, sebab ada hadis yang diriwayatkan
Jarir, bahwa ia berkata: ”Kami (para Sahabat Nabi saw)
menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan
menghidangkan makanan untuk itu adalah sama hukumnya dengan
niyahah, yakni haram.” (I’anatut Thalibin,juz 2,hal.145-146).

10. Lebih lanjut pengarang kitab tersebut mengutip fatwa Mufti


Madzhhab Syafi’i, Ahmad Zaini bin Dahlan sbb:
“Dan tidak ada keraguan sedikit pun,bahwa mecegah umat dari
bid’ah munkarat ini adalah berarti menghidupkan Sunnah Nabi saw,
mematikan bid’ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan
menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-
oarang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan
membawa kepada hal yang diharamkan.” (I’anatut Thalibin,juz
2,hal. 145-146).

11. Dan didalam kitab Fiqih Alal Madzahibil Arba’ah, dinyatakan


demikian:
“Dan di antara bid’ah yang tidak disukai agama ialah, apa yang
dikerjakan orang tentang memotong binatang-binatang ketika mayit
di keluarga dari tempat bersemayamnya, atau di kuburan, dan juga
menyediakan hidangan makanan yang diperuntukkan bagi orang-
orang yang ta’ziyah (ngelayat = jawa).” (Abdurrahman Al Jazairi, AL
FIQHU ALAL MADZAHIBIL ARABA’AH, JUZ1, HAL 539)

Demikian pendapat Ulama Syafi’iyah tentang SELAMATAN


KEMATIAN, yaitu mereka sepakat bahwa amalan tersebut
adalah BID’AH MUNKARAT / MAKRUHAH.

Dasar mekeka adalah kesepakatan (ijma’) Sahabat Nabi saw, yang


menganggap “haram” hukum amalan tersebut.

8
Timbul pendapat semacam ini: Bahwa sedekah itu akan lebih tepat
mengena pada sasarannya, lebih berarti atau lebih utama, kalau
diwujudkan dalam bentuk selamatan atau walimahan tetapi diberikan
langsung kepada FUQARA’ – MASAKIN.

Sebab dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir atau yang


diundang adalah orang-orang yang mampu, sehingga apa yang
diniatkan sebagai sedekah itu tentu akan kurang berarti bagi mereka,
atau kalau tidak, boleh dikatakan hampir tidak berarti atau tidak berarti
sama sekali. Ini kalau dipandang makna sedekah itu dari segi
kepentingan materiil para fuqara’-masakin.

Tambahan lagi kalau amalan itu diniatkan sedekah, maka akan


terjadi talbisul haq bil bathil (mencampur-adukan antara yang haq
dengan yang bathil). Sebab di satu pihak, sedekah adalah diperintahkan
Agama, sedang dipihak lain yakni berkumpul dengan hidangan
makanan dirumah ahlil mayit adalah haram, dan mengirim pahala
bacaan itu sendiri juga perbuatan sia-sia / tabdzir. Disinilah letaknya,
bahwa kalau hidangan makanan itu diniatkan sebagai sedekah, maka
akan terjadi campuraduk antara yang haq dan yang bathil.

============

9
BAB KETIGA
SANTUNAN UNTUK KELUARGA MAYIT

Menurut Sunnah Nabi saw, kepada jiran (tetangga) dari


keluarga yang ditimpa musibah dengan meninggalnya salah seorang
keluarganya, dinajurkan agar membantu meringankan beban
penderitaan lahir maupun bathin, dengan sekedar memberikan
santunan berupa bahan makanan, lebih-lebih jika keluarga mayit itu
orang-orang yang tidak mampu atau keluarga miskin.

Imam Syafi’i didalam kitabnya AL UM, antara lain mengatakan


demikian: “Dan aku menyukai, bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak
kerabatnya, membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari
datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat
mengenyangkan mereka, dan amalan yang demikian itu adalah
Sunnah.” (As-Syafi’i, Al UM,juz1, hal 247)

Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa hal itu


berdasarkan adanya riwayat dari Abdullah bi Ja’far sbb:
“Abdullah bin Ja’far berkata, tatkala tersiar berita terbunuhnya Ja’far,
Nabi saw bersabda: “Hendaklah kamu membuat makanan utnuk
keluarga Ja’far, sebab mereka telah ditimpa hal yang menyusahkan.”
(HR As Syafi’i / AL UM, juz1, hal 247).

Hadits ini menunjukkan bahwa menurut sunnah Nabi saw,


kaum muslimin, baik dari tetangga mayit atau sanak kerabatnya,
hendaknya berusaha menghibur keluarga mayit yang sedang ditimpa
kesusahan itu dengan memberikan bantuan berupa bahan makanan
dan semacamnya, terutama kepada keluarga mayit yang tidak mampu
atau miskin. Oleh karena itu imam Syafi’i ra menganjurkan juga, agar
mengamalkan ajaran yang mulia ini, karena sesuai sunnah Nabi saw.

Sementara menurut tradisi masyarakat muslim ditanah air kita


ini masih berbuat hal yang bertentangan dengan anjuran imam Syafi’i
tersebut. Yaitu masih berlanjutnya tradisi SELAMATAN HARI KETIGA,
KETUJUH, KEEMPAT PULUH, KESERATUS, KESERIBU dsb, dengan
menyediakan hidangan makanan, yang disamping acara SELAMATAN
juga disertai acara TAHLILAN, yang justru keduanya merupakan amalan
yang tidak dibenarkan oleh ulama –ulama Syafi’iyah yang berpedoman
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul Saw.

10
KESIMPULAN.

1. Menurut pendapat Ulama-ulama dari kalangan madzab Syafi’i,


TAHLILAN atau acara MENGIRIM PAHALA BACAAN kepada mayit/roh,
adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.

2. Bahwa pendapat tersebut berdasarkan firman Allah swt dalam al-


Quranul Karim, ayat 39 surat An Najm, yang artinya, bahwa manusia
tidak memperoleh pahala kecuali dari hasil amal usahanya sendiri.

3. Bahwa MENGIRIM PAHALA BACAAN / TAHLILAN tersebut tidak


dapat sampai kepada roh yang dikirimi, maka amalan-amalan tersebut
apabila tetap dikerjakan berarti SIA-SIA. Sedang Islam melarang
umatnya berbuat sesuatu yang sia-sia (maalaa ya’ni = sesuatu yang
tidak ada gunanya; atau juga dapat diartikan sebagai tabdzir = menyia-
nyiakan harta dsb).

4. Bahwa acara SELAMATAN atau BERKUMPUL DENGAN HIDANGAN


MAKANAN dirumah keluarga mayit, menurut ulama-ulama kalangan
madzab Syafi’i, adalah “terlarang”, diantara mereka ada yang
mengatakan sebagai BID’AH MUNKARAT, yakni bid’ah yang tidak diakui
dalam Islam. Ada yang mengatakan BID’AH GHAIRU MUSTAHAB, yakni
bid’ah yang tidak pernah disunnatkan, dan adapula yang mengatakan
BID’AH MAKRUHAH, yaitu bid’ah yang tidak disukai.

5. Bahwa BID’AH MUNKARAT, dengan kata lain adalah “HARAM”.

6. Haramnya selamatan atau berkumpul dengan hidangan makanan


dirumah keluarga mayit itu adalah berdasarkan hadits shahih yang
diriwayatkan sahabat, Jarir bin Abdillah, yang mengatakan, “Kami (para
sahabat Nabi), menganggap bahwa berkumpul dirumah keluarga mayit
dan menghidangkan makanan untuk acara itu oleh keluarga mayit
adalah sama hukumnya dengan niyahah, yakni haram.”

7. Hukum haramnya berkumpul dengan hidangan makanan dirumah


keluarga mayit itu adalah disepakati (telah menjadi IJMA’) para sahabat
Nabi saw, sebab Jarir mengatakan, “Kami mengangap ... dst dan tidak
ada seorang sahabatpun yang membantahnya.

11
8. Menurut Sunnah Nabi saw, jika ada keluarga yang ditimpa musibah
denga meninggalnya salah seorang anggota keluarganya, maka kepada
kaum Muslimin, baik sebagai sanak saudara maupun sebagai jiran,
hendaknya memberikan bahan makanan sekedarnya, terutama
terhadap keluarga yang tidak mampu atau miskin.

9. Akhirnya dapat dikatakan, bahwa tradisi yang berjalan dimasyarakat


Islam di tanah air kita, yang berupa TAHLILAN dan SELAMATAN
KEMATIAN, seperti hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh dsb, adalah
bertentangan denagn ajaran Islam itu sendiri, yakni Qur’an dab Sunnah
Nabi saw.

10. Bagaimanapun kita kaum muslimin harus menjalin ukhuwah


Islamiyah dan bersikap toleran terhadap sesama muslim, yang beramal
dengan beraneka mcam faham, disamping kita harus terus berusaha
meningkatkan ilmu pengetahuan dan banyak membaca pelbagai buku
agama, sehingga dengan demikian ruang lingkup pandangan kita akan
semakin luas dan tidak sempit, dan lebih dari itu akhirnya kita dapat
memilih mana dari pelbagai pandangan tersebut yang lebih dekat
dengan nash Qur’an dan Sunnah yang sah. Juga akibat dari sikap dan
pandangan yang demikian akan melenyapkan fanatisme (ta’asshub)
terhadap mahdzb tertentu atau pendapat tertentu, dan tali ukhuwah
Islamiyah akan terjalin makin kokoh.

Wabillaahit taufiq wal hidayah, Washallah alan nabiyyi Muhammadin wa


aalihi wa shahbihi.

===============

12

Anda mungkin juga menyukai