Anda di halaman 1dari 17

Shalat Jenazah

A. Hukum Shalat Jenazah Ulama sepakat bahwa hukum shalat Jenazah hukumnya fardhu kifayah. Dalilnya adalah perintah Rasulullah SAW dan perhatian umat Islam dalam mengerjakannya. Diriwayatkkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Ada seorang laki-laki yang meninggal dunia, sedangkan ia masih dalam keadaan berutang. Berita ini sampai kepada Rasulullah SAW, lalu beliau menanyakan apakah ia meninggalkan kelebihan harta untuk membayar hutangnya. Jika ada orang yang mengatakan bahwa ia meninggalkan harta untuk membayarnnya, maka beliau akan menyembahyangkan mayat itu. Jika tidak, beliau akan bersabda kepada umat Islam, Shalatkanlah temanmu. B. Keutamaan Shalat Jenazah 1. Diriwayatkan oleh Jamaah ahli hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa mengiringi jenazah dan ikut menyembahyangkannya, ia akan mendapatkan pahala sebesar satu qirath, dan barang siapa mengiringinya sampai selesai penyelenggaraannya, ia akan memperoleh dua qirath, yang terkecil, atau salah satu diantaranya, beratnya seperti gunung Uhud. 2. Diriwayatkan oleh Muslim dari Khabbab ra, ia bertanya kepada Abdullah Ibnu Umar, apakah Umar pernah mendengar apa yang telah dikatakan Abu Hurairah?, bahwa ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Orang yang turut keluar bersama jenazah dari rumahnya, menyembahyangkannya lalu mengiringinya sampai dimakamkan, ia akan mendapatkan pahala sebesar dua qirath, yang berat masing-masingnya adalah seperti gunung Uhud, dan orang yang ikut menyembahyangkannya, ia akan memperoleh pahala sebesar gunung Uhud. Lalu Ibnu Umar mengutus Khabbab menemui Aisyah untuk menanyakan ucapan Abu Hurairah tersebut, dan agar segera kembali untuk menceritakan hasilnya. Setelah kembali, Khabbab berkata, Menurut Aisyah, apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah itu adalah benar. Umar berkata, Sungguh, selama ini kita telah mengabaikan pahala yang besarnya berqirath-qirath. C. Syarat mendirikan shalat Jenazah Shalat jenazah termaksud salah satu bentuk ibadah shalat, maka syaratsyaratnya adalah seperti apa yang diwajibkan pada shalat-shalat fardlu lainnya, seperti suci dan bersih dari hadas besar maupun kecil, menghadap kiblat dan menutup aurat. Diriwayatkan Imam Malik dari Nafi, Abdullah bin Umar ra berkata, Seseorang tidak boleh menyembahyangkan jenazah kecuali dalam keadaan suci. Tetapi ada perbedaan antara shalat Jenazah dengan shalat-shalat fardlu lainnya, yaitu mengenai waktu, sebab, dalam shalat jenazah tidak disyaratkan waktu tertentu, tetapi boleh dilakukan kapan saja bila ada jenazah, bahkan menurut mazhab Hanafi dan syafii, shalat Jenazah boleh dikerjakan meskipun pada waktu-waktu terlarang. Menurut Imam Ahmad, Ibnul Mubarak dan Ishak, hukumnya makruh jika melakukan shalat jenazah pada waktu matahari terbit, waktu istiwa dan waktu matahari terbenam, kecuali jika dikhawatirkan mayat akan rusak. D. Rukun-Rukun Shalat Jenazah Shalat jenazah mempunyai rukun-rukun tertentu, jika salah satunya tidak terpenuhi, maka shalatnya menjadi batal. Rukun-rukun shalat jenazah ini adalah sebagai berikut, 1. Berniat Allah berfirman:

Page 1 of 17

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (Al-Bayyinah: 5). Setiap amal perbuatan bergantung pada niatnya, setiap orang akan mendapatkan hasil sesuai dengan niatnya. Hakikat niat ini dan bahwa tempatnya ada di dalam hati. Melafazkan niat adalah tidak disyariatkan. 2. Berdiri bagi yang mampu Ini merupakan rukun shalat jenazah menurut sebagian besar ulama. Menurut mereka, shalat jenazah tidak sah dilakukan di atas kendaraan atau sambil duduk, kecuali jika ada uzur. Penulis kitab Al-Mughni berkata, Shalat jenazah tidak boleh dilakukan di atas kendaraan, sebab bertentangan dengan cara berdiri seperti yang disyariatkan. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Syafii dan Abu Tsaur. Menurut pengetahuan saya, tidak ada satu pun ulama yang menentangnya. Pada waktu berdiri, tangan kanan disunahkan menggenggam tangan kiri, sebagaimana dilakukan pada waktu shalat biasa. Sebagian ulama mengatakan pendapat lain lagi, tapi pendapat di atas adalah pendapat yang lebih kuat. 3. Melakukan empat takbir Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir ra, Rasulullah SAW melakukan shalat bagi jenazah Najasy, beliau membaca takbir empat kali. Imam Tirmidzi berkata, Pendapat ini adalah mazhab sebagian besar ulama, baik dari kalangan sahabat Rasulullah SAW maupun setelahnya. Menurut mereka, takbir pada waktu shalat jenazah dilakukan empat kali. Pendapat ini juga merupakan pendapat Sufyan, Malik, Ahmad, Ibnu Mubarak, Syafii dan Ishak. Mengangkat tangan ketika takbir Sunahnya, tidak mengangkat tangan ketika takbir, kecuali pada waktu takbiratul ihram saja. Tidak ada keterangan apapun dari Rasulullah SAW yang menerangkan beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir pada waktu shalat jenazah, kecuali ketika takbir pertama. Setelah menjelaskan perbedaan ulama dalam masalah ini dan alasan-alasan mereka, Imam Syaukani rhm berkata, Kesimpulannya, tidak ada keterangan yang dapat dijadikan pegangan dari Rasulullah SAW mengenai soal mengangkat kedua tangan ini, kecuali pada saat takbir pertama . Pendapat atau perkataan sahabat dalam hal ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil. Oleh Karena itu, sebaiknya hanya mengangkat tangan pada saat takbir pertama saja, sebab pada takbir-takbir berikutnya tidak disyariatkan, kecuali pada saat perpindahan dari satu rukun ke rukun lainnya, sebagaimana shalat biasa. Sedang pada shalat jenazah, tidak terdapat perpindahan rukun seperti itu. 4. Membaca Al-Fatihah 5. Membaca Shalawat atas Rasulullah SAW dengan pelan Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Syafii dalam musnadnya dari Abu Umammah bin Sahl, bahwa salah seorang laki-laki sahabat Rasulullah SAW menyampaikan kepadanya: Menurut sunnah, dalam shalat jenazah itu hendaklah imam membaca takbir, kemudian setelah takbir pertama, membaca Al-Fatihah dengan pelan, lalu membaca shalawat atas Rasulullah SAW, dan setelah itu, pada takbir-takbir berikutnya, membaca doa bagi jenazah dan tidak membaca apa-apa lagi, kemudian memberi salam dengan pelan. (Menurut penulis kitab Al-Fath, sanad hadits ini shahih). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Thalha bin Abdullah, ia berkata: Saya ikut menyembahyangkan jenazah bersama Ibnu Abbas. Ia membaca Al-Fatihah, lalu ia berkata, Itu adalah sunah. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi. Ia berkata, Hadits ini diamalkan oleh sebagian ulama dari sahabat Rasulullah SAW dan lainnya, mereka lebih suka membaca Al-Fatihah setelah takbir pertama. Ini juga merupakan pendapat Syafii, Ahmad dan Ishak. Ulama lain berpendapat, dalam shalat jenazah ini tidak disyaratkan membaca Al-Fatihah. Rasulullah SAW bersabda:

Page 2 of 17

Bacaan yang dibaca dalam shalat ini hanyalah pujian kepada Allah, sholawat atas Rasulullah SAW, dan doa bagi mayit. Ini merupakan pendapat Tsauri dan ulama lain dari penduduk Kufah. Di antara alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang mewajibkan memebaca Al-Fatihah, adalah karena Rasulullah SAW menamakannya shalat seperti tersebut dalam sabdanya, Shalatkanlah temanmu. Dalam hadits lain, beliau bersabda, Tidaklah sah shalat seseorang yang tidak membaca AlFatihah. Bacaan Shalawat dan Salam atas Rasulullah SAW Shalawat dan salam atas Rasulullah SAW boleh diucapkan dengan kalimat manapun juga. Jika ada orang yang mengucapkan Allahumma Shalli ala Muhammad maka itu sudah cukup. Tetapi, mengikuti apa yang diajarkan Rasulullah SAW adalah lebih utama, yaitu, Ya Allah, limpahkanlah karunia atas Muhammad serta keluarga Muhammad, sebagaimana telah Engkau limpahkan atas Ibrahim serta keluarga Ibrahim, dan berilah berkah kepada Muhammad serta keluaga Muhammad sebagaimana telah Engkau berikan kepada Ibrahim serta keluarga Ibrahim. Di antara seluruh penduduk alam, Engkau adalah Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Shalawat atas Nabi SAW ini dibaca setelah takbir kedua seperti makna yang lahir, walaupun tidak ada keterangan yang menentukan tempat membacanya itu. 6. Berdoa Berdoa adalah rukun menurut kesepakatan ulama berdasarkan hadits Rasulullah SAW Jika kalian menyembahyangkan jenazah, maka berdoalah untuknya dengan tulus Ikhlas. (HR. Abu Daud dan Baihaqi, juga oleh Ibnu Hibban yang menyatakan shahih). a. Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW mengucapkan doa pada waktu shalat Jenazah, sebagai berikut: Ya Allah, Engkaulah Tuhannya, Engkau yang menciptakannya, Engkau yang menunjukkinya menganut Islam, Engkau pula yang mencabut nyawannya dan Engkau yang lebih mengetahui batin dan lahirnya. Kami datang sebagai perantara untuk mohon pertolongan baginya, maka ampunilah dosanya. b. Waila bin Asqa berkata, Rasulullah SAW menyembahyangkan seorang lakilaki muslim bersama kami, lalu saya dengar beliau mengucapkan: Ya Allah, sesungguhnya Fulan bin Fulan adalah dalam tanggungan dan ikatan perlindungan-Mu, maka lindungilah ia dari bencana kubur dan siksa neraka, sesungguhnya, Engkau penepat janji dan penegak kebenaran. Ya Allah, ampunilah dan kasihilah dia, karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Penyayang. (Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud). c. Diriwayatkan dari Auf bin Malik ra, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, yaitu ketika menyembahyangkan jenazah: Ya Allah, ampunilah dia, kasihilah dia, maafkan dia, selamatkan dia, muliakan dia, lapangkan tempatnya, dan bersihkanlah dia dengan air, salju dan embun. Sucikan dia dari dosa sebagaimana kain yang putih bila disucikan dari noda. Gantilah rumahnya dengan tempat kediaman yang lebih baik, gantilah keluarga dan isterinya dengan yang lebih berbakti, dan lindungilah dia dari bencana kubur dan siska neraka. (HR. Muslim).

Page 3 of 17

d. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW pernah menyembahyangkan jenazah, lalu beliau berdoa: Ya Allah, berilah ampunan bagi kami, baik yang hidup maupun yang mati, yang kecil maupun yang besar, laki-laki atau wanita, yang hadir maupun yang sedang bepergian. Ya Allah, orang yang Engkau wafatkan, maka wafatkanlah dalam iman dan orang yang Engkau wafatkan, maka wafatkanlah dalam Islam. Ya Allah, Engkau halangi kami untuk mendapatkan pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan kami setelahnya. (HR. Ahmad dan Ash-Habus Sunan). Jika jenazah itu seorang anak, disunahkan bagi orang yang menyembahyangkannya mengucapakan doa berikut ini, Ya Allah, jadikanlah ia bagi kami sebagai titipan, sebagai imbuhan dan simpanan". (HR. Bukhari dan Baihaqi dari ucapan Hasan). Imam Nawawi berkata, Jika yang meninggal itu anak kecil, laki-laki atau perempuan, cukuplah ia membaca, Ya Allah, berilah ampunan bagi kami, baik yang hidup maupun yang mati.....dan seterusnya, kemudian ditambah dengan, , , . Ya Allah , jadikanlah ia sebagai imbuhan bagi kedua orang tuanya, sebagai titipan dan simpanan, menjadi cermin perbandingan dan pemberi syafaat, beratkanlah dengan timbangan keduanya, limpahkanlah kesabaran atas hati mereka, hindarkanlah fitnah dari mereka sepeninggalnya, dan janganlah mereka terhalang buat mendapatkan pahalanya. Tempat membaca doa-doa Imam Asy-Syaukani berkata, menurut pengetahuan saya, tidak ada keterangan yang menentukan tempat membaca doa-doa ini. Maka jika menghendaki, ia dapat membaca doa yang disenanginya sekaligus, boleh setelah selesai mengucapkan semua takbir, boleh pula setelah takbir pertama, atau takbir kedua atau ketiga, atau doa itu dibagi dua, yaitu membacanya setelah dua kali takbir. Atau agar dapat memenuhi semua doa yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW tersebut, maka setiap doa itu dibaca setelah tiap kali takbir. Ia menambahkan, Menurut makna lahir dari hadits, dalam berdoa hendaklah mengucapkan kata-kata yang disebutkan dalam hadits, baik mayat itu mayat laki-laki atau wanita, tanpa mengubah kata gantinya yang berjenis kelamin laki-laki menjadi jenis kelamin wanita jika mayat itu mayat wanita. Sebab, sebenarnya kata yang diganti adalah kata mayat, sedang kata mayat itu sendiri mencakup pria atau wanita. 7. Berdoa setelah takbir keempat Disunahkan membaca doa setelah takbir keempat, meskipun ia telah berdoa setelah takbir ketiga. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin Abi Aufa, "Bahwa putri Abdullah bin Aufah meninggal dunia, lalu disembahyangkan dengan membaca takbir empat kali. Setelah takbir keempat, ia masih berdiri selama kira-kira antara dua takbir untuk membaca doa. Lalu ia berkata, "Rasulullah SAW biasa melakukan seperti ini terhadap jenazah". Imam Syafii berkata, "Setelah takbir keempat, hendaklah membaca (Allahumma la tahrimnaa ajrahu walaa taftinnaa ba'dahu ) "Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami untuk mendapatkan pahala, dan hindarkanlah fitnah dari kami sepeninggalnya". Abu Hurairah ra berkata, "Orang-orang terdahulu biasa membaca setelah takbir keempat: (Allahuma rabbana atina fid dunya hasanah wafil akhiratihasana waqina 'adzaban nar) "Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia ini dan juga di akhirat, dan jagalah kami dari siksa neraka".

Page 4 of 17

8. Mengucapkan salam Para ulama sepakat bahwa mengucapkan salam hukumnya fardhu. Tetapi, Abu Hanifah mengatakan bahwa membaca salam ke sebelah kanan dan kiri itu hukum memang wajib, tapi tidak merupakan rukun. Alasan mengatakan fardhu adalah karena shalat jenazah termasuk salah satu macam shalat. Sedang mengakhiri shalat adalah dengan membaca salam. Ibnu Masud berkata, Mengucapkan salam pada waktu shalat jenazah, adalah seperti mengucapkan salam pada waktu shalat biasa. Sekurangkurangnya mengucapkan, Assaalamu alaikum" atau Salaamun alaikum. Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca salam satu kali hukumnya sunnah, yaitu dengan menoleh ke sebelah kanan, dan boleh juga jika tetap melihat ke arah depan, berpedoman kepada sunah Rasulullah SAW dan perbuatan para sahabat. Mereka memberi salam hanya satu kali, dan pada waktu itu, tidak ada orang yang membantahnya. Imam Syafii mengatakan sunahnya adalah mengucapkan dua kali salam, dimulai dengan menoleh ke sebelah kanan, lalu dilanjutkan dengan salam kedua dengan menoleh ke sebelah kiri. Ibnu Hazm berkata, Membaca salam yang kedua merupakan zikir dan perbuatan baik. Cara Mengerjakan Shalat Jenazah Jika semua syarat shalat telah terpenuhi, maka orang yang akan mengerjakan shalat jenazah hendaknya berdiri lurus, berniat menyembahyangkan jenazah yang ada di depannya, lalu mengangkat kedua tangan sambil membaca takbiratul ihram. Kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan mulai membaca Al-Fatihah. Setelah itu, membaca takbir lagi lalu membaca shalawat, lalu takbir ketiga dan membaca doa, kemudian takbir keempat dan berdoa lagi, kemudian ditutup dengan mengucapkan salam. Tempat Berdiri Imam Terhadap Mayat Laki-Laki dan Wanita Menurut sunah, imam berdiri setentang kepala jenazah laki-laki, dan setentang pinggang perempuan. Berdasarkan hadits dari Anas ra, Bahwa ia pernah menyambahyangkan jenazah laki-laki, ia berdiri dekat kepalanya. Setelah jenazah itu diangkat, lalu dibawa jenazah wanita, lalu ia menyembahyangkan jenazah itu dengan berdiri dekat pinggangnya. Lalu, ada orang yang bertanya kepadanya, Apakah begitu cara Rasulullah SAW menyembahyangkan jenazah, yaitu bila laki-laki berdiri di tempat seperti anda berdiri itu, dan jika wanita juga seperti anda lakukan?. Anas menjawab, Benar. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah juga oleh Tirmidzi yang menyatakannya sebagai hadits hasan). Imam Thahawi berkata, Cara seperti ini lebih kami sukai, karena dikuatkan oleh bukti-bukti yang telah kami riwayatkan dari Rasulullah SAW. Menyembahyangkan Jenazah Lebih Dari Satu Jika terdapat beberapa mayat, terdiri dari laki-laki dan wanita, maka mayatmayat tersebut dibariskan satu-persatu di antara imam dan kiblat, agar semuanya berada di depan imam. Hendaklah, mayat yang ditaruh dekat imam adalah mayat yang lebih utama, lalu mereka dishalatkan bersama-sama sekaligus. Seandainya mayat-mayat itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, boleh dishalatkan mayat-mayat laki-laki saja terlebih duhulu, kemudian baru mayat-mayat wanita, dan boleh pula semuanya dishalatkan sekaligus. Mayatmayat laki-laki diletakkan dekat imam, seterusnya mayat perempuan ke arah kiblat. Dari Nafi yang meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, Pada suatu kali disembahyangkan sembilan jenazah, terdiri dari laki-laki dan wanita. Mayat lakilaki diletakkan dekat imam, selanjutnya ke arah kiblat, diletakkan mayat-mayat wanita, dibariskan satu-persatu. Di antara mayat-mayat itu, terdapat mayat Ummu Kulsum binti Ali, istri Umar, juga seorang anaknya yang laki-laki bernama Zaid. Yang bertindak sebagai imam ketika itu adalah Said bin Ash, dan diantara makmum terdapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Said dan Abu Qatadah. Awalnya, mayat anak diletakkan dekat imam. Lalu ada seseorang yang berkata, "Aku tidak setuju dengan cara itu, lalu aku melihat kepada Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Said dan Abu Qatadah, aku tanyakan pada mereka, Bagaimana

Page 5 of 17

ini? Mereka menjawab, Itu adalah sunah. (HR. Baihaqi, dan menurut Hafiz, sanadnya shahih). Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa jika mayat anak laki-laki dishalatkan bersama mayat wanita, maka mayat anak laki-laki diletakkan dekat imam, baru berikutnya mayat wanita. Seandainya terdapat mayat laki-laki, wanita dan anak laki-laki, maka mayat anak laki-laki diletakkan setelah mayat laki-laki. Disunahkan Membentuk Tiga Shaf dan Meratakannya Disunahkan bagi orang-orang yang menyembahyangkan jenazah agar membentuk tiga shaf dan membentuk barisan yang lurus. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Hubairah, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, Tidak seorang mukmin pun yang meninggal, kemudian dishalatkan oleh orang Islam yang banyaknya sampai tiga shaf, kecuali akan diampuni dosanya" Oleh sebab itu, Malik bin Hubairah selalu berusaha membentuk tiga shaf, meskipun jumlah orang yang shalat itu tidak banyak. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah juga olah Tirmidzi yang menyatakan hasan, serta oleh Hakim yang menyatakan Shahih). Ahmad berkata, Jika jumlah jamaahnya sedikit, lebih baikmereka dibagi menjadi tiga shaf. Mereka bertanya, Jika jumlah mereka hanya empat orang, bagaimana cara mengaturnya? Ia menjawab, Dijadikan dua shaf saja, masing masing dua orang, dan makruh bila dibentuk tiga shaf, karena ada shaf yang hanya terdiri satu orang. Disunahkan Jamaahnya banyak Disunahkan agar shalat jenazah diikuti oleh jamaah yang banyak. Diriwayatkan dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda, Tidaklah satu mayat pun yang dishalatkan oleh jamaah muslimin yang banyaknya mencapai seratus orang, dan semua mendoakannya dengan tulus ikhlas, kecuali akan dikabulkan mereka terhadapnya. (HR. Ahmad, Muslim dan Tirmidzi). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, Tidak seorang muslim pun yang meninggal lalu dishalatkan oleh sebanyak 40 orang laki-laki yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun juga, kecuali ia akan mendapatkan syafaat dari mereka. (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud). Orang Yang Tertinggal dalam Shalat Jenazah Dalam shalat Jenazah, orang yang tertinggal membaca takbir, disunahkan untuk mengqadlanya secara berturut-turut. Seandainya tidak, maka tidak apaapa. Menurut Ibnu Umar, Hasan, Ayub Sakhyani dan Auzai, ia tidak perlu mengqadla takbir yang tertinggal, tetapi harus memberi salam bersama imam. Ahmad berkata, Jika tidak diqadla, maka tidak apa-apa. Penulis buku AlMughni menguatkan pendapat ini, ia berkata, "Kata-kata Ibnu Umar menjadi alasan kita, pada waktu itu, tidak ada sahabat yang menentangnya. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, Wahai Rasulullah, saya ikut dalam shalat jenazah, tapi kadang-kadang aku tidak mendengar suara takbir?. Rasulullah SAW menjawab, Jika engkau mendengarnya, maka ikutilah dan jika tidak, maka tidak usah mengqadla. Keterangan tersebut memberikan makna yang tegas. Dan juga, takbir dalam shalat jenazah adalah takbir yang berturut-turut, hingga tidak wajib mengerjakan mana-mana yang ketinggalan seperti takbir-takbir shalat Id. Mayat yang Dishalatkan dan mayat yang Tidak Dishalatkan Ulama sepakat bahwa mayat yang dishalatkan itu adalah jenazah orang muslim, baik laki-laki maupun wanita, kecil maupun besar. Ibnu Mundzir berkata, Ulama sepakat bahwa anak kecil bila diketahui hidup dan bergerak, maka hendaklah dishalatkan.

Page 6 of 17

Diriwayatkan dari Mughirah bin Syubah, Rasulullah SAW bersabda: Orang yang naik kendaraan, hendaklah berada di belakang jenazah, dan yang berjalan kaki hendaklah di depannya, dekat dengannya, di sebelah kanan atau kirinya. Anak yang mengalami keguguran juga dishalatkan dan didoakan agar mendapatkan ampunan dan rahmat bagi kedua orang tuanya. (HR. Ahmad dan Abu daud yang menyebutkan, Orang yang berjalan kaki berada di belakang, atau di depan, di sebalah kanan, di sebelah kiri, di dekatnya). Menurut riwayat lain, Orang yang naik kendaraan hendaklah di belakang jenazah, dan yang berjalan kaki berada di mana saja sesuai yang dikehendakinya. Anak kecil juga disembahyangkan. (HR. Ahmad dan Nasai. Tirmidzi menilainya hadits sahis). Shalat Jenazah bagi Bayi yang Keguguran Bayi yang gugur sebelum berumur empat bulan dalm kandungan, tidak perlu dimandikan dan dishalatkan. Ia cukup dibalut dengan secarik kain lalu dikubur. Demikian pendapat para ahli fikih dan tidak ada yang mengingkarinya. Jika ia telah berusia empat bulan atau lebih dan menunjukkan ada tandatanda kehidupan, maka menurut kesepakatan para ahli fikih, hendaklah dimandikan dan dishalatkan. Seandainya tidak ada tanda-tanda kehidupan, maka menurut mazhab Hanafi, Maliki, Auzai dan Hasan, ia tidak perlu dishalatkan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Baihaqi dari Jabir ra, Rasulullah SAW bersabda, Jika bayi yang gugur itu memiliki tanda-tanda hidup, hendaklah dishalatkan dan ia berhak mendapat warisan. Dalam hadits di atas disebutkan bahwa bayi yang dishalatkan adalah bayi yang mempunyai tanda-tanda kehidupan. Tetapi Ahmad, Said, Ibnu Sirin dan Ishak berpendapat bahwa ia dimandikan dan dishalatkan berdasarkan hadits yang disebutkan di atas. Dalam hadits itu diterangkan, Bayi yang gugur hendaklah dishalatkan. Alasan lain, ia juga merupakan manusia yang telah ditiupkan ruh ke dalam tubuhnya hingga harus dishalatkan, sebagaimana bayi yang mempunyai tanda-tanda hidup. Rasulullah SAW menyatakan bahwa pada usia empat bulan, ruh ditiupkan ke dalam tubuh bayi yang ada dalam kandungan ibunya. Hadits yang dikemukakan mazhab pertama, tidak dapat diterima karena sanadnya mudhtharib dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Hadits seperti itu tidak dapat diterima sebagai dalil.

Menyembahyangkan Orang Yang Mati Sahid Syahid adalah orang yang mati dalam peperangan menghadapi orang-orang kafir. Mengenai orang yang mati syahid ini, terdapat banyak hadits yang menegaskan bahwa ia tidak perlu dishalatkan, di antaranya: a. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir ra, Rasulullah SAW menyuruh memakamkan para syuhada Uhud dengan darah mereka, tanpa dimandikan dan dishalatkan b. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi, Para syuhada Uhud tidaklah dimandikan. Mereka dimakamkan dengan darah mereka, dan mereka juga tidak dishalatkan Namun demikian, ada beberapa hadits shahih lainnya yang menyatakan bahwa orang yang mati syahid itu dishalatkan, di antaranya: c. Diriwayatkan oleh Bukhori dari Uqbah bin Amir ra, "Pada suatu hari, Rasulullah SAW pergi keluar dan menyembahyangkan korban perang Uhud seperti sembahyangnya terhadap jenazah lainnya, setelah berselang masa delapan tahun. Bagaikan mengucapakan selamat berpisah, baik bagi yang hidup maupun bagi yang mati d. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Gaffari, ia berkata, Para korban Uhud dibawa kehadapan Rasulullah SAW sebanyak sembilan orang, dan sepuluh dengan Hamzah, lalu mereka dishalatkan oleh Rasulullah SAW, lalu mereka diangkat. Setelah itu, didatangkan lagi sembilan orang dan dishalatkan oleh Nabi SAW, sedang Hamzah tetap di tempatnya semula. Demikianlah seterusnya, sampai Rasulullah SAW selesai menyembahyangkan mereka. (HR. Baihaqi. Ia menilanya hadits yang paling shahih mengenai masalah ini. Hadits ini adalah mursal).

Page 7 of 17

Berdasarkan perbedaan hadits di atas, maka para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukumnya. Diantara mereka ada yang berpegang dengan semua hadits di atas, dan ada pula yang memperbandingkan satu dengan lainnya dan mengamalkan yang lebih kuat. Ibnu Hazm temasuk orang yang berpegang dengan semua hadits. Menurutnya, boleh mengamalkan kedua hadits di atas, apakah akan dishalatkan atau tidak. Jika dishalatkan, maka baik, dan jika tidak, juga tidak apa-apa. Menurut sebagian riwayat, pendapat ini juga merupakan pendapat Ahmad, dan dianggap benar oleh Ibnu Qoyyim. Ia berkata, Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa seseorang diberi kesempatan untuk memilih, apakah akan menyembahyangkannya atau tidak, karena masing-masing mempunyai alasan. Menurut riwayat, pendapat ini juga dianut oleh Ahmad. Pendapat ini nampaknya lebih cocok dengan prinsip-prinsip mazhabnya. Ia menambahkan, Mengenai orang-orang yang mati syahid dalam perang Uhud, ternyata mereka tidak dishalatkan pada waktu pemakaman. Pada waktu itu, orang yang gugur tidak kurang dari tujuh puluh orang. Jika dishalatkan, maka tidak mungkin jika tidak akan diketahui oleh orang banyak. Hadits Jabir bin Abdullah yang menerangkan bahwa mereka tidak dishalatkan, adalah hadits yang shahih dan maknanya sangat jelas. Ayahnya sendiri, yaitu Abdullah, termasuk salah satu korban dalam perang itu. Maka, sudah barang tentu, ia lebih tahu tentang masalah tu dari pada orang lain. Abu Hanifah, Tsauri, Hasan dan Ibnul Musayyab lebih mendukung hadits yang menerangkan dengan perbuatan. Mereka mengatakan bahwa menyembahyangkan orang yang mati syahid hukumnya wajib. Sebaliknya, Malik, Syafii, Ishak dan juga merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Hambali, mereka menguatkan pendapat yang berbeda dengan pendapat di atas. Mereka mengatakan bahwa orang yang mati syahid tidak dishalatkan. Dalam buku Al-Umm, Imam Syafii berkata, Telah diterima berita, seolah-olah berita itu disaksikan secara mutawir, bahwa Rasulullah SAW tidak menyembahyangkan orang-orang yang mati dalam perang Uhud. Riwayat yang mengatakan bahwa mereka dishalatkan, bahkan Hamzah sendiri sampai 70 kali, adalah riwayat yang tidak sah. Sepatutunya, orang yang menolak hadits-hadits shahih di atas dengan riwayat-riwayat lain seperti ini, akan malu sendiri". Ia melanjutkan, Mengenai hadits Uqbah bib Amir, disebutkan dalam hadits itu bahwa peristiwa itu terjadi setelah berselangnya masa delapan tahun. Rupanya Rasulullah SAW mendoakan dan memintakan ampunan bagi mereka, sebagai perpisahan dengan mereka ketika dirasakan bahwa ajal telah dekat. Dengan demikian, kejadian itu tidak berarti menghapus hukum yang telah berlaku. Orang yang Terluka dalam Perang dan Tetap Hidup Orang yang terluka dalam perang dan tetap hidup sampai waktu tertentu, kemudian meninggal, maka ia dimandikan dan dishalatkan, meskipun ia tetap dianggap orang yang mati syahid. Rasulullah SAW memandikan dan menyembahyangkan Saad bin Muadz yang meninggal akibat kena anak panah yang memutus urat tangannya. Setelah itu, Saad tinggal di masjid selama beberapa hari. Kemudian lukanya terbuka sampai ia pun meninggal dunia. Semoga Allah memberi rahmat baginya. Jika hidupnya itu sangat singkat, misalnya hanya sempat berbicara atau minum, lalu meninggal, maka ia tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Penulis kitab Al-Mughni berkata, "Ada orang laki-laki yang menceritakan pengalamannya waktu penaklukan Siria, ia berkata, Aku membawa air minum untuk diberikan kepada saudara sepupuku, seandainya ia masih bernyawa. Akhirnya aku menemukan Harits bin Hisyam itu. Lalu aku mendekatinya untuk memberi minum. Rupanya, ada seorang laki-laki yang melihatnya, sehingga Harits pun memberi isyrat kepadaku agar aku memberi minum orang itu lebih dahulu. Ketika saya pergi menemuinya, tiba-tiba ada lagi orang ketiga yang melihat kepada orang ini, dan ia pun memberi isyarat kepadaku agar aku memberikan air minum itu padanya terlebih dulu. Sampai akhirnya, mereka meninggal semua. Tidak seorang pun di antara mereka yang dimandikan dan dishalatkan. Padahal mereka meninggal setelah perang usai. Shalat terhadap Orang Yang Mati karena Menjalani Hukuman Orang yang mati karena menjalani hukuman, hukumnya tetap dimandikan dan dishalatkan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir ra,

Page 8 of 17

Ada seorang laki-laki dari Aslam datang menemui Rasulullah SAW, ia mengaku telah berzina. Beliau pun berpaling dari orang itu sampai ia mengakui perbuatannya sebanyak empat kali. Lalu Rasulullah SAW bertanya, Apakah kamu sedang terkena penyakit ingatan?. Ia menjawab, "Tidak". Beliau bertanya lagi, Apakah kamu sudah menikah?. Ia menjawab, Sudah". Lalu Rasulullah SAW memerintahkan agar orang itu dihukum. Ia lalu dirajam di tengah lapangan terbuka tempat shalat Id. Ketika badannya telah luka-luka oleh batu, ia pun lari, tetapi dikejar dan dirajam lagi sampai mati. Kemudian, Rasulullah SAW mengucapkan perkataan yang baik baginya dan menyalatkannya. Imam Ahmad berkata, Yang kita ketahui, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyalatkan seorang pun kecuali terhadap orang yang menggelapkan harta rampasan dan yang telah bunuh diri. Shalat Terhadap Orang Yang Menggelapkan Harta Rampasan, Orang Bunuh Diri dan Orang-Orang Berbuat Maksiat Sebagian besar Ulama bependapat bahwa orang yang menggelapkan harta rampasan, orang bunuh diri dan orang-orang yang berbuat maksiat lainnya tetap dishalatkan. Imam Nawawi berkata, "Menurut Al-Qadhi, Mazhab para ulama adalah setiap muslim wajib dishalatkan, termasuk orang yang menjalani hukuman, dirajam, bunuh diri maupun anak zina. Apa yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau tidak melakukan shalat terhadap orang yang menggelapkan harta rampasan dan orang yang bunuh diri, maksudnya sebagai peringatan dan ancaman terhadap perbuatan semacam ini, termasuk juga ketika beliau enggan melakukannya terhadap orang yang mati dalam berhutang, dan menyuruh sahabat untuk menyalatkanya". Ibnu Hazm berkata, "Setiap orang yang beragama Islam hukumnya wajib dishalatkan, baik ia orang saleh maupun pelaku maksiat, mati karena menjalani hukuman, merampok atau durhaka. Orang yang menyalatkan mereka adalah imam dan lainnya. Demikian juga, orang yang berbuat bidah selama tidak menjadi kafir, orang yang bunuh diri atau membunuh orang lain, meskipun ia merupakan orang yang paling jahat di muka bumi. Hukum ini berlaku jika ia meninggal dalam keadaan Islam. Dasarnya adalah hadits Rasulullah SAW yang telah disebutkan di muka, "Shalatkanlah temanmu". Pada dasarnya, setiap orang Islam adalah teman bagi kita. Firman Allah SWT, "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara". "Orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun wanita, sebagian mereka menjadi pembela bagi yang lainnya". Dengan demikian, orang yang melarang menyalatkan sesama muslim, berarti telah mengucapkan perkataan yang berat sekali tanggung jawabnya. Apalagi, orang fasik itu lebih memerlukan doa dari saudara-saudaranya sesama Muslim, dari pada orang saleh yang dirahmati Allah. Disebutkan dalam sebuah riwayat yang shahih, ada orang laki-laki yang meninggal di Khaibar. Lalu Rasulullah SAW bersabda, Shalatkanlah temanmu ini, ia bersalah melakukan penggelapan waktu perang fi sabilillah. Ketika diperiksa, harta yang dijumpai adalah sebuah tas kulit yang harganya kurang dari dua dirham. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa 'Atha telah melakukan shalat jenazah terhadap anak zina, ibunya yang telah berzina, sepasang orang yang dikutuk, orang yang dihukum pancung, dihukum rajam, dan orang yang lari dari medan pertempuran lalu dibunuh. 'Atha berkata, "Saya tidak akan meninggalkan shalat jenazah terhadap orang yang membaca kalimat "La ilaaha illallah". Allah SWT berfirman, "Setelah nyata bagi mereka bahwa orang orang itu adah penduduk neraka". Dalam riwayat yang shahih, disebutkan bahwa Ibrahim An-Nakhi berkata, "Mereka tidak meninggalkan shalat terhadap jenazah orang yang termasuk ahli kiblat, termasuk orang bunuh diri sekalipun". Ia juga berkata, Orang yang dirajam tetap dishalatkan". Firman Allah:

Page 9 of 17

Qatadah berkata, Sepengetahuanku, tidak satu pun ulama yang meninggalkan shalat terhadap jenazah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah. Ibnu Sirin berkata, Tidak ada orang yang merasa berdosa, jika melakukan shalat terhadap jenazah ahli kiblat. Abu Galib pernah bertanya kepada Abu Umamah Al-Bahili, "Apakah peminum arak tetap dishalatkan? Ia menjawab, Iya, mungkin suatu ketika, ia sedang tidur di atas kasur lalu mengucapka La ilaaha illallah, sehingga diampuni oleh Allah. Hasan berkata, Orang yang mengucapaka La ilaha illal lah dan mendirikan shalat dengan menghadap kiblat, hukumnya wajib dishalatkan, sebab, hal itu merupakan syafaat baginya. Shalat Tehadap jenazah Orang Kafir Seorang Muslim tidak dibolehkan melakukan shalat terhadap jenazah orang kafir. Dalilnya adalah firman Allah SWT, Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya (At-Taubah: 84). Dan Firmannya pula : Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. (At Taubah 113-114). Begitu pula, anak-anak mereka juga tidak dishalatkan, sebab bagi mereka berlaku hukum orang tua mereka. Kecuali bagi anak-anak yang telah ditetapkan keislamannya menurut hukum, misalnya jika salah satu dari orang tuanya masuk Islam, atau ia meninggal atau ditawan secara terpisah dari salah satu atau kedua orang tuanya, maka ia dishalatkan. Shalat jenazah di atas Makam Dibolehkan shalat terhadap jenazah yang telah dikubur, kapan saja pelaksanaannya, meskipun ia telah dishalatkan sebelum dikuburkan. Di atas telah disebutkan dulu bahwa Rasulullah SAW menyalatkan syuhada perang Uhud setelah berlalu masa delapan tahun. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, Kami keluar bersama Rasulullah SAW, ketikan kami sampai di Baqi, rupanya beliau melihat kuburan baru. Lalu Rasulullah SAW bertanya tentang kuburan siapakah ini?. Lalu ada yang menjawab itu kuburan Fulanah (seorang wanita). Rupanya, Rasulullah SAW mengenalnya. Lalu beliau bersabda, Kenapa kamu tidak memberitahukannya kepadaku?. Mereka menjawab, Wahai Rasulullah, waktu itu anda sedang tidur siang dan sedang berpuasa. Kami tidak ingin menganggu". Beliau berkata, "Kalian jangan melakukan seperti itu lagi, tidak ada satu pun orang yang meninggal sedangkan aku berada di antara kalian kecuali hendaklah kalian memberitahukan kepadaku, sebab shalatku terhadapnya akan menjadi rahmat". Lalu beliau mendekati kuburan itu dan kami berbaris di belakangnya, kami shalat dengan empat kali takbir". (HR. Ahmad, Nasai dan Baihaqi, juga oleh Hakim dan Ibnu Hibban yang menyatakan hadits shahih). Imam Tirmidzi berkata, "Sebagian besar ulama dari kalangan sahabat dan lainnya mengamalkan hadits ini. Pendapat ini juga merupakan mazhab Syafii, Ahmad dan Ishak. Dalam hadits diterangkan bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat di atas kubur setelah jenazah itu dishalatkan oleh para sahabatnya sebelum dimakamkan. Sebab, tidak mungkin mereka akan memakamkannya sebelum mereka menyembahyangkannya. Keikutsertaan para sahabat dalam shalat bersama Rasulullah SAW di atas kubur itu menjadi bukti bahwa hal itu tidak hanya berlaku khusus bagi Rasulullah SAW saja. Ibnu Qayyim berkata, "Sunah-sunah yang tegas ini

Page 10 of 17

dikembalikan kepada hadits yang serupa, yaitu "Janganlah kalian duduk di atas kubur dan jangan shalat kepadanya". Hadits ini adalah hadits shahih. Orang yang mengatakan hadits ini adalah juga orang yang melakukan shalat di atas kubur. Yang satu dari ucapannya dan lainnya lagi dari perbuatannya. Keduaduanya tidak berarti saling bertentangan. Sebab, kedua shalat itu berbeda. Ini adalah shalat jenazah terhadap mayit yang tidak ditentukan tempatnya, melakukan shalat jenazah di luar masjid lebih utama dari pada melakukannya di dalam masjid. Shalat terhadap mayit di atas kubur adalah sama dengan shalat terhadap mayit di atas kerandanya. Ini adalah yang dimaksud dengan shalat di dua tempat, tidak ada bedanya apakah mengerjakannya di atas keranda dan di atas tanah, ataukah di dalam tanah (kubur). Hal ini berbeda dengan shalatshalat lainnya. Sebab, shalat-shalat tersebut tidak disyariatkan dilakukan di atas kubur, juga tidak disyariatkan sengaja melakukannya di atas kubur. Sebab, hal itu dikhawatirkan akan menjadikan kuburan sebagai masjid, padahal Rasulullah SAW telah melaknat perbuatan seperti itu. Hukumnya jelas berbeda antara perbuatan yang dilaknat dan diancam pelakunya, bahkan disebut sebagai makhluk yang paling jahat, seperti disebutkan dalam hadits, "Sejahat-jahatnya manusia adalah orang yang bertemu dengan hari kiamat pada saat mereka masih hidup dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid", dengan perbuatan yang beliau lakukan sendiri secara berulang-ulang. Shalat Jenazah di Kuburan Mengerjakan shalat jenazah di atas makam yang terletak di kuburan hukumnya makruh menurut sebagian besar ulama. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ali, Abdullah bin Amar dan Ibnu Abbas. Pendapat ini juga menjadi mazhab Atha, An-Nakhi, Syafii, Ishak dan Ibnu Mundzir. Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW, Bumi seluruhnya adalah masjid, kecuali kuburan dan tempat pemandian. Menurut pendapat Ahmad, shalat di atas kuburan hukumnya boleh. Sebab, Rasulullah SAW pernah melakukan shalat di atas kuburan. Abu Hurairah juga pernah shalat terhadap jenazah Aisyah di tengah makam Al-Baqi dan disaksikan oleh Ibnu Umar. Umar bin Abdul Aziz juga pernah melakukan hal serupa. Shalat Ghaib Shalat jenazah boleh dilakukan terhadap mayat yang ghaib yang berada di negeri lain, baik negeri itu dekat maupun jauh. Bagi orang yang melakukannya, hendaknya menghadap kiblat, berniat shalat ghaib, membaca takbir dan melakukan seperti apa yang dilakukan dalam shalat jenazah biasa. Diriwayatkan oleh Jamaah ahli hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW mengumumkan meninggalnya Najasyi kepada orang-orang pada hari wafatnya. Beliau pergi bersama mereka menuju lapangan, lalu para sahabat diluruskan dalam barisan-barisan untuk melakukan shalat dengan empat kali takbir". Ibnu Hazm ra berkata, Mayat yang ghaib dishalatkan secara berjamaah dan dipimpin oleh seorang imam. Rasulullah SAW telah menyembahyangkan Raja Najasyi yang meninggal di Habsyah bersama para sahabatnya, mereka berdiri secara bershaf-shaf. Ini adalah ijmak yang telah disepakati. Dalam hal ini, Abu Hanifah dan Malik mempunyai pendapat lain, tetapi pendapat mereka tidak berdasar pada alasan yang dapat diterima. Shalat Jenazah di Masjid Shalat jenazah di masjid hukumnya boleh, jika tidak dikhawatirkan akan mengotorinya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah ra, ia berkata, Rasulullah SAW menyembahyangkan jenazah Suhail bin Baidha di masjid. Para sahabat Rasulullah SAW juga menyalatkan Abu Bakar dan Umar di masjid, dan tidak ada seorang pun yang membantahnya. Alasannya, karana shalat jenazah sama seperti shalat lainnya. Mengenai pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah yang mengatakan hukumnya makruh, berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW :

Page 11 of 17

Barang siapa menyalatkan jenazah di masjid, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa" Maka, dari satu segi, hadits ini bertentangan dengan perbuatan Rasulullah SAW sendiri dan perbuatan sahabat-sahabatnya. Dari segi lainnya, hadits di atas adalah hadits dhaif (lemah). Imam Ahmad bin Hambal berkata, Hadits itu dhaif, hanya diriwayatkan oleh seorang perawi, yaitu Shaleh Maula Tauamah, ia adalah perawi yang lemah. Tetapi, para ulama menyatakan hadits ini shahih, mereka mengatakan, "Hadits yang terdapat dalam kitab-kitab shahih yang terkenal dari Sunan Abu Daud adalah dengan lafaz, "Maka ia tidak berdosa". Ibnu Qayyim ra berkata, Melakukan shalat jenazah di masjid secara terusmenerus adalah tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Sebab, beliau biasa melakukannya di luar masjid, kecuali bila ada halangan. Kadang-kadang, beliau mengerjakannya di masjid, seperti ketika shalat terhadap jenazah Ibnu Baidha. Jadi, kedua-duanya boleh, tetapi yang lebih utama adalah mengerjakannya di luar masjid. Shalat jenazah bagi Wanita Wanita dibolehkan mengerjakan shalat jenazah seperti laki-laki, baik secara sendirian maupun berjamaah. Umar pernah menunggu Ummu Abdullah untuk mengerjakan shalat bagi jenazah Utbah. Aisyah ra pernah meminta agar didatangkan Saad bin Abi Waqash karena ingin menyalatkannya. Imam Nawawi berkata, Seyogyanya, bagi mereka juga disunahkan berjamaah seperti pada shalat-shalat lainnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Hasan bin Shaleh, Sufyan Tsauri, Ahmad dan mazhab Hanafi. Malik berpendapat agar mereka melakukannya secara perorangan. Orang Yang Lebih Utama Menyalatkan Jenazah Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang lebih utama dan lebih berhak bertindak sebagai imam dalam shalat jenazah. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih berhak adalah orang yang mendapat wasiat, lalu pemerintah, lalu bapak dan seterusnya ke atas, kemudian anak dan seterusnya ke bawah, dan seterusnya golongan ashabah yang terdekat. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Malik dan Hambali. Sebagian ulama mengatakan, Orang yang lebih utama adalah bapak, kemudian kakek, lalu anak, kemudian cucu, lalu anak saudara, paman, lalu anak paman menurut susunan ashabah. Pendapat ini adalah mazhab Syafii dan Abu Yusuf. Sedang mazhab Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan, orang yang lebih utama adalah pemerintahan jika ia hadir, kemudian hakim, kemudian imam di lingkungan tersebut, lalu wali bagi janazah wanita, dan setelah itu keluaga yang terdekat, kemudian seterusnya menurut susunan ashabah, kecuali bapak, karena ia lebih di dahulukan dari anak, jika keduanya sama-sama ada. Membawa Jenazah dan Mengantarkannya Ketika membawa dan mengantarkan jenazah, disyariatkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut, a. Disyariatkan mengantarkan jenazah dan ikut memikulnya. Sunahnya, dilakukan dengan mengelilingi sekitar keranda, dikelilingi dari seluruh sisinya. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Baihaqi dan Abu Daud AthThayalisi dari Ibnu Masud ra, ia berkata, Orang yang mengiringi jenazah, hendaknya ikut memikul dari semua sisi keranda, kerena demikian itu adalah sunnah. Kemudian, jika ia berkehendak, ikutilah perbuatan sunah dan jika tidak, ia boleh meninggalkannya. Dari Abu Said ra, Rasulullah SAW sersabda, Jenguklah orang yang sakit dan iringilah jenazah, niscaya akan mengingatkanmu akan hari akhirat. (HR. Ahmad, para perawinya dapat dipercaya). b. Menyelanggarakan pengurusan jenazah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh jamaah ahli hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, Hendaklah kalian segera menyelanggarakan jenazah. Sebab, jika ia baik, berarti kalian akan cepat mempertemukannya dengan amal kebaikkannya. Dan

Page 12 of 17

jika ia jahat, berarti kalian segera meletakkan kejahatannya di atas pundak kalian. Diriwatkan oleh Imam Ahmad, Nasai dan lain-lain, dari Abu Bakarah ra, ia berkata, Kalian telah melihat bagaimana kami dan Rasulullah SAW seakanakan berlari ketika mengantarkan jenazah". Dalam buku Tarikh, Imam Bukhari meriwayatkan, Pada waktu Saad bin Muaz meninggal dunia, Rasulullah SAW berjalan dengan cepat, sampai-sampai tali sandal kami menjadi terputus karenannya. Penulis buku Al-Fath berkata, Kesimpulannya, disunahkan menyegerakannya, tapi jangan sampai keterlaluan sehingga mengakibatkan mayatnya menjadi rusak, atau menyulitkan pemikul keranda dan orang-orang yang ikut mengantarkannya. Atau, agar tidak bertentangan dengan kebersihan mayat dan tidak menyulitkan bagi orang Islam. Imam Qurthubi berkata, Maksud hadits ini, agar pemakaman jenazah tidak ditunda-tunda, sebab hal itu dikhawatirkan menjadi bahan untuk membanggakan diri. c. Berjalan di depan jenazah, di belakangnya, di sebelah kanan, sebelah kiri atau di dekatnya. Para ulama berbeda pendapat tentang tempat mana di antaranya yang paling utama. Sebagian besar ulama memilih berjalan di depannya. Menurut mereka, berjalan di depan itu lebih utama. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ash-Habus Sunan, Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar biasa berjalan di depan janazah. Mazhab Hanafi berpendapat, lebih utama bagi pengiring jenazah itu berjalan di belakangnya. Alasannya, karena hal itu adalah yang dapat dipahami dari sunah Rasulullah SAW dalam mengiringi jenazah. Sebab, pengiring artinya orang yang mengikuti dari belakang. Menurut Anas bin Malik, semua itu hukumnya sama. Seperti diterangkan dalam hadits di atas, Rasulullah SAW bersabda, Orang yang naik kendaraan hendaknya berjalan di belakang jenazah, dan orang yang bejalan kaki sebaiknya berjalan di belakang, di depan, di sebelah kanan, di sebelah kiri dan di dekatnya. Pendapat yang kuat, semua itu diberi keleluasan. Perbedaan seperti ini termasuk perbedaan yang diperbolehkan dan seyogyanya disikapi dengan lapang dada. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abzi, Abu Bakar dan Umar biasa berjalan di depan jenazah, sedangkan Ali biasa berjalan di belakangnya. Maka, ditanyakan kepada Ali, "Kenapa mereka berjalan di depan jenazah". Ia menjawab, Sebenarnya, mereka tahu bahwa berjalan di belakang jenazah hukumnya lebih utama dari pada berjalan di depan. Hal itu seperti keutamaan shalat berjamaah dibandingkan dengan shalat sendirian. Tetapi, mereka bermaksud memberi kemudahan bagi manusia. (HR. Baihaqi dan Ibnu Abi Syaribah. Menurut Hafizh, sanadnya hasan). Mengenai hukum naik kendaraan ketika mengantarkan jenazah, menurut sebagian besar ulama, hukumnya makruh, kecuali jika uzur. Sedangkan pada saat pulang, maka hukumnya boleh dan tidak makruh. Dalilnya adalah hadits Tsauban, Telah dibawakan suatu kendaraan kepada Rasulullah SAW ketika beliau hendak mengantarkan jenazah, tapi beliau tidak mau mengendarainya. Pada waktu pulang, ada orang yang membawakan kendaraan untuk beliau dan beliau mengendarainya. Ketika hal itu ditanyakan kepadanya, beliau menjawab, Para malaikat berjalan kaki, maka saya tidak ingin naik kendaraan pada saat mereka hadir. Maka setelah mereka pergi, aku pun naik kendaraan itu. (HR. Abu Daud dan Baihaqi, juga Hakim yang menyatakannya hadits shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah SAW pergi mengantarkan jenazah Ibnu Dahdah dengan berjalan kaki, dan pulang dengan mengendarai seekor kuda. (HR. Tirmidzi, menurutnya hadits ini adalah hadits hasan shahih). Pendapat yang mengatakan makruh tidak bertentangan dengan hadits di atas, yaitu Orang yang berkendaraan hendaklah berjalan di belakangnya, karena mungkin maksudnya untuk menyatakan boleh, tapi disertai makruh. Mazhab Hanafi berpendapat, naik kendaraan hukumnya boleh, tapi berjalan kaki hukumnya lebih utama, kecuali jika ada uzur. Sunahnya, orang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah, seperti diterangkan dalam hadits di atas. Mengenai orang yang naik kendaraan ini, Al-Khatabi berkata, Setahu

Page 13 of 17

saya, tidak ada belakangnya.

perbedaan

di

antara

ulama,

bahwa

ia

mengikuti

di

Perbuatan yang makruh dalam pengurusan Jenazah Dalam pengurusan jenazah, dimakruhkan melakukan perbuatan-perbuatan sebagai berikut: a. Berzikir, membaca dan lain sebagainya dengan suara keras. Ibnul Mundzir ra berkata, Ada riwayat yang tegas dari Qais bin Ibad yang mengatakan bahwa para sahabat Rasulullah SAW tidak suka mengeraskan suara pada tiga hal: ketika menghadapi jenazah, ketika berzikir, dan ketika berperang. Menurut Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Hasan, An-Nakhi, Ahmad dan Ishak, hukumnya makruh bila ada orang yang mengucapkan Istaghfiruu lahu (Mohonlah ampunan baginya) di belakang jenazah. Menurut Auzai, perbuatan seperti itu adalah bidah. Fudhail bin Amr berkata, Ketika Ibnu Umar menghadapi jenazah, tiba-tiba ia mendengar orang yang mengucapkan Istaghfiruu lahu . Lalu Ibnu Umar berkata, "semoga Allah tidak memberi ampunamn bagimu. Imam Nawawi berkata, Ketahiulah, yang benar adalah seperti yang dilakukan oleh ulama salaf, yaitu berdiam ketika mengiringi jenazah, tidak mengeluarkan suara keras, baik ketika membaca sesuatu atau berzikir. Sebab, pada saat itu, ia memusatkan seluruh perhatiannya kepada hal-hal yang berhubungan dengan jenazah. Sikap ini adalah hal yang dituntut dalam suasana seperti itu. Inilah yang benar. Jangan sampai teperdaya dengan banyaknya orang yang melakukan sebaliknya. Adapun perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengerti, seperti bacaan-bacaan berirama terhadap jenazah, atau mengucapkan sesuatu yang tidak pada tempatnya, maka hukumnya haram menurut kesepakatan ulama. Syeikh Muhammad Abduh mengeluarkan fatwa mengenai hukumnya berzikir dengan suara keras. Ia berkata, "Berzikir dengan suara keras di hadapan jenazah, maka, seperti disebutkan dalam Al-Fath pada bab jenazah, Hukumnya makruh bagi orang yang mengiringi jenazah berzikir dengan suara keras. Jika ia hendak berzikir, maka berzikirlah dalam hati. Sebab, berzikir dengan suara keras adalah perbuatan bidah, tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, tidak pula pada masa sahabat dan tabiin. Jadi, perbuatan seperti itu harus dicegah. b. Mengiringi jenazah dengan menyalakan api. Perbuatan ini dilarang karena merupakan perbuatan jahiliyah. Ibnu Mundzir berkata, "Perbuatan itu hukumnya makruh menurut ulama yang terkenal". Baihaqi berkata, Di antara wasiat Aisyah, Ubadah bin Shamit, Abu Hurairah, Abu Said Al-Khudri dan Asma binti Abu Bakar ra, Janganlah kalian mengiringi aku dengan api. Dalam riwayat Ibnu Majah, "Ketika Abu Musa Al-Asyari hendak meninggal, ia berpesan, Aku jangan diiringi dengan dupa. Mereka bertanya, Aapakah ia mendengar penjelasan Rasulullah SAW mengenai hal itu?". Ia menjawab, Benar, dari Rasulullah SAW. Jika pemakaman dilakukan pada malam hari, hingga memerlukan penerangan, maka hukumnya tidak apa-apa. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW pernah memasuki kubur pada malam hari, lalu beliau menyalakan lampu. Ia berkata, Hadits Ibnu Abbas ra ini adalah hadits hasan. c. Pengiring jenazah dimakruhkan duduk sebelum jenazah diletakkan di atas tanah. Imam Bukhari berkata, Barangsiapa mengiringkan jenazah, maka janganlah duduk sebelum jenazah itu diletakkan dari bahu orang-orang yang memikulnya. Jika ada yang duduk, maka hendaklah berdiri. Lalu ia meriwayatkan hadits dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda, Jika kalian melihat jenazah, maka hendaklah kalian berdiri. Dan orang yang mengiringinya, hendaklah tidak duduk sebelum diletakkan. Diriwayatkan pula dari Said Al-Makbari, ia meriwayatkan dari ayahnya, Pernah suatu ketika, kami mengantarkan jenazah. Lalu Abu Hurairah

Page 14 of 17

memegang tangan Marwan, lalu mereka duduk sebelum jenazah diletakkan di atas tanah. Kemudian Abu Said ra datang dan menarik tangan Marwan, lalu berkata, "Berdirilah, demi Allah, sebenarnya ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW telah melarang kita melakukan perbuatan seperti itu. Lalu Abu Hurairah berkata, Dia benar". Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim, tetapi ada tambahannya, Ketika mendengar Abu Said menyuruhnya berdiri, maka Marwan pun berdiri". Kemudian ia bertanya, "Kenapa anda menyuruh saya berdiri?". Lalu ia pun menyampaikan hadits tersebut. Setelah itu, Marwan bertanya kepada Abu Hurairah, Kenapa anda tidak menyampaikan hadits itu padaku?. Ia menjawab, Anda adalah pemimpin, maka ketika anda duduk, saya pun ikut duduk. Mazhab ini adalah mazhab para sahabat dan tabiin, dan juga mazhab Hanafi, Hambali, Auzai dan Ishak. Mazhab Syafii mengatakan tidak makruh hukumnya bila pengiring jenazah duduk sebelum mayat diletakkan di tanah. Namun mereka sepakat bahwa orang yang datang lebih dahulu dari jenazah, boleh duduk sebelum jenazah datang. Tirmidzi berkata, "Diriwayatkan dari sebagian sahabat Rasulullah SAW dan lain-lain, mereka sering datang terlebih dahulu dan duduk sebelum jenazah sampai. Ini juga perkataan Imam Syafii. Dan bila jenazah telah tiba, mereka tetap duduk untuk sementara waktu dan tidak perlu berdiri. Tetapi diriwayatkan dari Ahmad, Jika ia berdiri, maka saya tak akan mencelanya, dan jika ia duduk, juga tidak apa-apa. d. Berdiri ketika jenazah lewat. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Waqid bin Amer bin Saad bin Muaz, ia berkata, "Saya menyaksikan jenazah lewat di Bani Salimah, lalu saya berdiri. Lalu Nafi' bin Jubeir berkata, Duduklah, aku akan jelaskan alasan yang kuat dalam masalah ini, yaitu Mas'ud Al-Hakim Az-Zurqi bercerita bahwa ia mendengar Ali bin Abi Thalib ra berkata, "Dahulu, Rasulullah SAW menyuruh kami berdiri bila melihat ada janazah lewat, kemudian setelah itu beliau duduk dan menyuruh kami duduk". Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dengan lafaz sebagai berikut, "Kami melihat Rasulullah SAW berdiri, lalu kami pun ikut berdiri, ketika beliau duduk, maka kami pun ikut duduk", yaitu ketika ada jenazah sedang lewat. Menurut Tirmidzi, hadits Ali ini adalah hadits hasan shahih, di antara para perawinya terdapat empat orang tabiin, mereka saling meriwayatkan dari lainnya, hadits ini juga diamalkan oleh sebagian ulama. Menurut Imam Syafii, hadits di atas adalah hadits yang paling shahih menjelaskan masalah ini. Hadits ini juga menghapuskan hadits pertama, yaitu "Jika kalian melihat jenazah, maka berdirilah". Menurut Imam Ahmad, "Jika ia mau, maka boleh berdiri, dan boleh juga duduk". Alasannya, disebutkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW pada mulanya berdiri, kemudian duduk. Pendapat ini juga mazhab Ishak bin Ibrahim. Pendapat Ahmad dan Ishak ini juga disetujui oleh Habil dan Ibnul Majsyum dari mazhab Maliki. Imam Nawawi berkata, "Pendapat yang lebih kuat, berdiri itu sunah". Pendapat ini juga diucapkan oleh Mutawalli dan penulis kitab AlMuhazzab. Ibnu Hazm berkata, "Berdiri diunahkan jika seorang melihat jenazah sedang lewat, meskipun jenazah itu kafir, sampai jenazah diletakkan atau meninggalkannya. Tetapi, jika ia tidak berdiri, maka hukumnya tidak apa-apa. Mazhab yang mengatakan berdiri hukumnya sunah berpedoman pada hadits yang diriwayatkan oleh jamaah dari Ibnu Umar dari Amir bin Rabiah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jika kamu melihat janazah, maka berdirilah sampai ia meningalkanmu, atau diletakkan di atas tanah". Dalam riwayat Ahmad, "Jika melihat jenazah, Ibnu Umar berdiri sampai jenazah lewat". Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Hanif dan Qais bin Saad, bahwa pada suatu ketika, mereka berdua sedang duduk di kota Qadisiyah. Lalu ada jenazah yang lewat, kemudian mereka pun berdiri. Lalu ada yang berkata bahwa jenazah itu adalah jenazah penduduk setempat, yaitu ahli zimmah. Mereka menjawab, Pada sustu ketika, ada jenazah yang lewat di hadapan Rasulullah SAW, lalu beliau pun berdiri". Lalu ada orang yang berkata, "Jenazah itu adalah jenazah orang Yahudi". Beliau menjawab, "Bukankah ia juga manusia?.

Page 15 of 17

Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dari Abu Laila, bahwa Ibnu Masud dan Qais biasa berdiri bila melihat jenazah. Hikmah dari berdiri itu adalah seperti disebutkan dalam riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim dari Abdullah bin Amar yang bersumber dari Rasulullah SAW, "Sesungguhnya, berdirinya kalian itu adalah untuk mengagungkan Dzat yang mencabut nyawa. Dalam riwayat Ibnu Hibban, lafaznya berbunyi, Berdiri itu adalah untuk mengagungkan Allah SWT yang mencabut nyawa. Kesimpulannya, para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Di antara mereka ada yang berpendapat makruh berdiri bagi jenazah, ada pula yang mengatakan hukumnya sunah, dan sebagian lainnya mengatakan boleh memilih, apakah akan berdiri atau tidak. Masing-masing mazhab mempunyai dalil dan alasannya sendiri. Bagi orang awam ketika menghadapi perbedaan pendapat ini diberi kebebasan untuk memilih mana yang lebih sesuai dengan suara hatinya. Waallaahu a'lam. e. Mengiringi Jenazah wanita. Dalilnya adalah hadits Ummu Athiyyah, ia berkata, Kami dilarang mengiringi jenazah, tapi larangan itu tidak tega. (HR. Ahmad, Bukhari dan Ibnu Majah). Diriwayatkan dari Abdullah bin Amer, ia berkata, "Ketika kami sedang berjalan bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba ada seorang wanita yang menurut dengan kami, beliau tidak mengenalnya. Ketika kami menghadap ke jalan, beliau berhenti sampai wanita itu mendekat padanya. Ternyata ia adalah Fatimah ra. Lalu beliau bertanya, "Kenapa kamu keluar dari rumahmu, wahai Fatimah?. Ia menjawab, Saya mendatangi penghuni rumah ini untuk menyampaikan bela sungkawa atas kematian keluarganya dan berta'ziyah kepada mereka". Lalu beliau bersabda, "Mungkin kamu telah menyertai mereka sampai ke kubur?. Ia menjawab, Aku berlindung kepada Allah, jika aku menyertai mereka, saya telah mendengar apa yang ayah jelaskan mengenai hal itu. Rasulullah SAW menjawab, Seandainya kamu menyertainya sampai ke kubur, maka kamu tidak akan melihat surga sebelum kakek ayahmu melihatnya". (HR. Ahmad, Hakim, Nasai dan Baihaqi). Banyak ulama mengkritik hadits ini dan menilainya tidak shahih, karena di antara sanadnya terdapat Rabiah bin Saif, ia adalah perawi yang lemah dan banyak mengeluarkan hadits-hadits munkar. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Hakim dari Muhammad bin Hanafiyah, ia meriwayatkan dari Ali ra, ia berkata, Rasulullah SAW, pergi keluar, ternyata ada perempuan-perempuan yang sedang duduk, maka bertanya, "Kenapa kalian duduk di sini?. Mereka menjawab, Kami sedang menunggu jenazah. Rasulullah SAW bertanya lagi, "Apakah kalian ikut menyertainya sampai ke kuburan?. Mereka menjawab, "Tidak". Beliau bersabda, "Kalau begitu, pulanglah, kalian berdosa dan tidak mendapat pahala". Dalam sanad hadits ini terdapat Dinar bin Umar. Menurut Abu Hatim, ia adalah perawi yang tidak begitu dikenal. Sedang menurut Adzi, ia adalah perawi yang ditinggalkan. Bahkan menurut Al-Khalili dalam Al-Irsyad, ia adalah pendusta. Pendapat ini adalah mazhab Ibnu Masud, Ibnu Umar, Abu Umamah, Aisyah, Masruq, Hasan, An-Nakhi, Auzai, Ishak, dan ulama mazhab Hanafi, Syafii dan Hambali. Dalam mazhab Maliki, hukumnya tidak makruh jika wanita yang mengantar jenazah itu adalah wanita yang sudah tua, atau wanita-wanita yang masih muda jika orang yang mati itu dirasakan sebagai musibah besar atas dirinya, dengan syarat ia pergi secara sembunyi-sembunyi dan tidak menimbulkan fitnah. Ibnu Hazm berpendapat, dalil yang digunakan oleh sebagian besar ulama itu tidak sa. Menurutnya, tidak ada salahnya bagi wanita ikut mengiringi jenazah. Ia berkata, Kami tidak menganggap makruh jika wanita ikut mengantarkan jenazah dan kami tidak melarang mereka melakukannya". Ada beberapa riwayat yang melarang para wanita ikut mengantarkan jenazah, tetapi riwayat-riwayat itu tidak ada yang shahih, di antaranya ada yang mursal, tidak diketahui atau diriwayatkan dari orang yang tidak didapat dijadikan hujah. Kemudian ia menyebutkan hadits Ummu Athiyah di atas, lalu berkata, "Seandainya sanad hadits itu shahih, tapi ia tidak dapat digunakan sebagai dalil, ia hanya menunjukkan makruh. Bahkan ada riwayat lainnya yang shahih dan isinya bertentangan dengan riwayat tersebut, yaitu diriwayatkan dari Syubah

Page 16 of 17

bin Waqi, ia meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari Wahab bin Kaisan, dari Muhammad bin Amer bin Atha, dari Abu Hurairah ra, bahwa ketika Rasulullah SAW sedang mengantar jenazah, tiba-tiba Umar melihat seorang wanita, lalu ia berteriak memanggilnya. Lalu Rasulullah SAW bersabda, Biarkan dia, wahai Umar, sebab air mata bisa mengucur, jiwa bisa menderita dan saat yang dijanjikan itu sudah dekat". Ia juga berkata, "Diriwayatkan dengan shahih, bahwa Ibnu Abbas tidak memakruhkannya". f. Meninggalkan Jenazah karena ada kemungkaran Penulis kitab Al-Mughni berkata, Seandainya ketika mengantar jenazah, seseorang melihat kemungkaran atau mendengarnya, maka jika ia sanggup mengingkari dan menghilangkannya, maka hendaklah ia menghilangkannya. Jika ia tidak sanggup, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan: Pertama, hendaklah ia menentangnya dan tetap mengiringi jenazah, sehingga kewajibannya menjadi gugur dan meninggalkan kewajiban karena kebatilan. Kedua, hendaklah ia kembali, sebab jika tidak maka akan mengakibatkannya mendengar dan menyaksikan sesuatu yang dilarang, padahal ia mampu meninggalkannya.

Page 17 of 17

Anda mungkin juga menyukai