Anda di halaman 1dari 23

Hari Jumat merupakan sayyidul ayyam atau penghulu hari, hari di mana kaum muslimin yang berkumpul

bersama di masjid untuk menjalankan shalat Jumat. Karena itu hari Jumat merupakan salah satu hari
raya umat Islam. Pada hari itu dianjurkan untuk memperbanyak pelbagai kebajikan seperti sedekah dan
lain-lain.

Sebagian masjid melakukan ibadah yang ajeg dilakukan setelah shalat Jumat. Yakni membaca surat Al-
Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas setelah imam salam sebanyak tujuh kali. Dan menurut para
ulama dari kalangan madzhab Syafii, ibadah ini adalah sunah.

Kesunahan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Al-Hafizh al-Mundziri dari Anas
bin Malik RA. Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Tuhfatul Habib karya Sulaiman
al-Bujairimi.

‫َم ْن َق َر َأ إذا َس َّلَم اإلماُم َي ْو َم الُجُم َع ِة َق ْب َل أّن ُيْث ِنَي ِر ْج َلُه َف اِتَح َة الِك َت اِب وُقْل ُه َو هللا أَح ٌد‬: ‫َو َر َو ى الَح اِفُظ َاْلُم ْن ِذ ِر ُّي َع ْن َأَن ٍس َأَّن الَّن ِبَّي َق اَل‬
‫َو اْلُم َع ِّو َذ َت ْي ِن َس ْبعًا سبعًا َغَف َر هللا له ما َتَقَّد َم ِمْن َذ ْن ِبِه وما َت أَّخ َر وُأْع ِط َي ِمَن األْج ِر ِبَعَدِد ُك ّل مْن آَمَن باهلل وَر ُسوِله‬

Artinya: Al-Hafizh al-Mundziri meriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda: Barang siapa
yang membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq dan surat An-Nas (al-mu`awwidzatain) masing-
masing sebanyak tujuh kali ketika imam selesai membaca salam shalat Jumat, sebelum melipat kakinya,
Allah akan mengampuni dosanya yang lalu dan sekarang, dan diberi pahala sebanyak orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. (Lihat: Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib,
Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz, II, halaman: 422).

Hadits yang dikemukakan di atas dengan sangat gamblang menunjukkan bahwa membaca surat Al-
Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas masing-masing tujuh kali setelah shalat Jumat memiliki
keutamaan yang sangat luar biasa, yaitu bisa menjadi sebab turunnya ampunan Allah SWT. Bahkan selain
ampunan, Allah juga memberikan pahala besar bagi orang yang melakukannya.

Dari sini lah kemudian kesunahan atau ajuran membaca surat-surat tersebut setelah shalat Jumat dapat
dimengerti. Lebih lanjut Sulaiman al-Bujairimi juga mengutip hadits lain yang diriwayatkan Ibnus Sunni
dari hadits riwayat Aisyah RA sebagai berikut:

‫ ( َم ْن َق َر أ َب ْع َد َصالِة الجمعة ) ُقْل ُه َو ُهللا َأَح ٌد (االخالص) وُقْل َأُعوُذ برَّب الَفَلِق‬: ‫َو َر َو ى اْبُن الُّس ِّن ِّي ِمْن َح ِديِث عَاِئَش َة َأَّن الَّن ِبِّي َق اَل‬
‫(الفلق) وَق ْل َأُعوُذ َبرَّب الَّن اِس (الناس) َس ْب َع َمَّر اٍت أَع اِذُه ُهللا ِبَه ا ِمَن الّسُّو ِء ِإَلى اْلُجُم َع ِة اُألْخ َر ى‬

Artinya: Ibnus Sunni meriwayatkan dari hadits riwayat Aisyah ra bahwa Nabi SAW bersabda: Barang
siapa yang membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas masing-masing tujuh kali, maka Allah akan
melindunginya dari kejelekan sampai hari Jumat yang lain. (Lihat: Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib
‘ala Syarh al-Khathib, juz, II, halaman: 422)

Lebih jauh, Sulaiman al-Bujairimi mengemukakan pendapat Abu Thalib al-Makki—seorang sufi besar,
penulis kitab Qutul Qulub fi Mu’amalah al-Mahbub—yang menganjuran membaca ‘Ya ghaniyyu ya
hamid, ya mubdi’u ya mu’id, ya rahimu ya wadud, aghnini bi halalika ‘an haramika wa bi tha’athika ‘an
ma’shiyatika wa bi fadhlika ‘amman siwaka’, setelah shalat Jumat sebanyak empat kali.

‫ َأْغ ِنِني ِبَح اَل ِلَك َع ْن َح َر اِمَك‬، ‫ َو ُيْس َت َح ُّب َلُه َب ْع َد اْلُجُمَعِة َأْن َي ُقوَل َي ا َغ ِنُّي َي ا َح ِم يُد َي ا ُمْبِدىُء َي ا ُمِع يُد َي ا َر ِحيُم َي ا َو ُدوُد‬: ‫َق اَل َأُبو َط اِلٍب َاْلَم ِّك ُّي‬
‫ َأْر َبَع َمَّر اٍت‬، ‫َو ِبَط اَع ِتَك َع ْن َم ْع ِص َيِتَك َو ِبَفْض ِلَك َع َّمْن ِس َو اَك‬

Artinya: Abu Thalib al-Makki berkata: Dan dianjurkan bagi orang yang telah selesai melaksanakan shalat
Jumat untuk membaca ‘Ya ghaniyyu ya hamid, ya mubdi`u ya mu’id, ya rahimu ya wadudu, aghnini bi
halalika ‘an haramika wa bi tha’athika ‘an ma’shiyatika wa bi fadhlika ‘amman siwaka’, sebanyak empat
kali. (Lihat: Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib, juz, II, halaman: 422).

Sholat jumat

Profesor Wahbah Az Zuhaili dalam Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 2 mengatakan, Sholat
Jumat hukumnya adalah wajib tersendiri. Sholat Jumat bukan pengganti Sholat Dzuhur. Dalil
yang mewajibkan sholat Jumat terdapat dalam Al Quran Surat Al-Jumuah ayat 9:

‫َٰٓي َأُّيَه ا ٱَّلِذيَن َء اَم ُنٓو ۟ا ِإَذ ا ُنوِدَى ِللَّص َلٰو ِة ِمن َي ْو ِم ٱْلُجُمَعِة َف ٱْس َع ْو ۟ا ِإَلٰى ِذ ْك ِر ٱِهَّلل َو َذ ُرو۟ا ٱْلَب ْي َع ۚ َٰذ ِلُك ْم َخ ْيٌر َّلُك ْم ِإن ُك نُتْم َت ْع َلُموَن‬

Lafal Arab: Yā ayyuhallażīna āmanū iżā nụdiya liṣ-ṣalāti miy yaumil-jumu'ati fas'au ilā żikrillāhi
wa żarul baī', żālikum khairul lakum ing kuntum ta'lamụn

Yang Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli."

Kata MUI Soal Sholat Jumat Dua Gelombang di Tengah Pandemi Corona
Menurut Prof Wahbah, dalam ayat tersebut orang beriman diperintahkan untuk bersegera, yang
berarti menuntut keharusan. Ada juga kalimat tinggalkan jual beli. "Kalau perintah itu bukan
wajib lantas mengapa dilarang jual beli? Maksud perintah bersegera di sini ialah pergi
mendatangi sholat Jumat, bukan untuk tergesa-gesa," tulis Prof Wabah dalam kitab yang
aslinya berjudul: Fiqhul Islam Wa Adillatuhu itu.
Selain dalam Al Quran, dalil yang mewajibkan Sholat Jumat juga terdapat dalam sejumlah
hadits. Seperti diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam Hadits Imam Muslim, Rasulullah SAW
bersabda:

"Demi Allah, berhentilah para lelaki yang sering meninggalkan sholat Jumat atau Allah akan
mengunci hati mereka dan menjadikannya orang-orang yang lalai."

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Nasaa'i dari hadits Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas.

Rasulullah SAW juga bersabda seperti disebutkan dalam hadits riwayat Imam Nasaa'i: "Pergi
menunaikan sholat Jumat wajib bagi semua laki-laki yang sudah baligh."

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Thariq bin Syihab dengan redaksi:

"Sholat Jumat wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk melakukannya berjamaah, kecuali
empat orang: budak yang belum merdeka, perempuan, bayi atau karena sakit.
Sholat sunnah qobliyah

Para ulama sepakat bahwa shalat sunnat yang di lakukan setelah shalat jum'at adalah
sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. seperti yang di riwayatkan oleh Imam
Muslim dan Imam Bukhari:

‫ َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَذ ا َص َّلى َأَح ُد ُك ْم الُج ْمَع َة َفْلُيَص ِّل َبْعَدَها‬: ‫َع ْن َأِبْي ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهللا َع ْنُه َقاَل‬
‫َأْر َبعًا‬

”Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Jika
salah seorang di antara kalian shalat Jum’at hendaklah shalat empat rakaat
setelahnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan shalat sunnah sebelum shalat Jum'at terdapat dua kemungkinan. Pertama,
shalat sunnah mutlak, hukumnya sunnah. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat
imam memulai khutbah.

Kedua, shalat sunnah qabliyyah Jum'at. Para ulama berbeda pendapat tentang shalat
sunnah qabliyyah Jum’at. Pertama, shalat qabliyyah Jum’ah dianjurkan untuk
dilaksanakan (sunnah). Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah,
Syafi'iyyah (menurut pendapat yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hanabilah
dalam riwayat yang tidak masyhur. Kedua, shalat qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan
menurut pendapat Imam Malik, sebagian Hanabilah dalam riwayat yang masyhur

Adapun dalil yang menyatakan dianjurkannya shalat sunnah qabliyah Jum'at: Hadist
Rasulullah SAW

‫َم ا َص َّح َح ُه اْبُن ِح َّباٍن ِم ْن َحِد ْيِث َع ْبِدِهللا ْبِن الُّز َبْيِر "َم ا ِم ْن َص َالٍة َم ْفُرْو َضٍة ِإَّال َو َبْيَن َيَد ْيَها َر ْك َع َتاِن‬

"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat".
(HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shahih dari hadist Abdullah bin Zubair). Hadist
ini secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa terkecuali shalat
Jum'at.

Hadist Rasulullah SAW

‫َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهللا َع ْنُه َقاَل َج اَء ُس َلْيٌك الَغ َطَفاِنُّي َو َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيْخ ُطُب َفَقاَل َلُه الَّنِبُّي‬
‫ سنن ابن ماجه‬.‫ َقاَل َفَص ِّل َر ْك َع َتْيِن َو َتَجَّو ْز ِفْيِهَم ا‬.‫َص َّلى هللاُ َع َلْيِه َو َس َّلَم َأَص َّلْيَت َر ْك َع َتْيِن َقْبَل َأْن َتِج ْي َء ؟ قَاَل َال‬

"Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke
masjid), sedangkan Rasulullah saw sedang berkhutbah. Lalu Nabi SAW bertanya:
Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi
SAW bersabda: Shalatlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat
panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah: 1104).

Berdasar dalil-dalin tersebut, Imam al Nawawi menegaskan dalam kitab al Majmu’


Syarh al Muhadzdzab:

‫ َو اَألْك َم ُل َأْر َبٌع‬.‫ ُتَس ُّن َقْبَلَها َو َبْعَدَها َص َالٌة َو َأَقُّلَها َر ْك َع َتاِن َقْبَلَها َو َر ْك َع َتاِن َبْعَدَها‬.‫َفْر ٌع ِفْي ُس َّنِة الُج ْمَعِة َبْعَدَها َو َقْبَلَها‬
‫َقْبَلَها َو َأْر َبٌع َبْعَدَها‬
“(Cabang). Menerangkan tentang sunnah shalat Jum’at sebelumnya dan sesudahnya.
Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua
raka’at sebelum dan sesudah shalat jum’at. Namun yang paling sempurna adalah
shalat sunnah empat raka’at sebelum dan sesudah shalat Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4:
9)

Adapun dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at
adalah sbb.:

Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat imam
berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi
setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Utsman
menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam
Bukhari menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R.
riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).

Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, "Ketika Nabi keluar dari
rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah
adzan selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan
khutbah, lantas kapan Nabi SAW dan jama’ah itu melaksanakan shalat sunnat
qabliyah Jum'at?

Dari dua pendapat dan dalilnya di atas jelas bahwa pendapat kedua adalah interpretasi
dari tidak shalatnya Nabi SAW sebelum naik ke mimbar untuk membaca khuthbah.
Sedangkan pendapat pertama berlandaskan dalil yang sudah sharih (argumen tegas
dan jelas). Maka pendapat pertama yang mensunnahkan shalat qabliyyah jum’ah tentu
lebih kuat dan lebih unggul (rajih).

Permasalahan ini semua adalah khilafiyah furu'iyyah (perbedaan dalam cabang


hukum agama) maka tidak boleh menyudutkan di antara dua pendapat di atas. Dalam
kaidah fiqih mengatakan “la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma'
alaih” (Seseorang boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama
dan tidak boleh mencegahnya untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang
telah disepakati). Wallahua’lam bish shawab.

Adzan 2 kali

Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama
Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab
mengumandangkan adzan untuk shalat Jumat hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di
zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib
naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jumat menjadi dua kali.

Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat
tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu
bahwa shalat Jumat hendak dilaksanakan. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan:

‫ َسِم ْع ُت الَس اِئَب بَن َيِز ْيٍد َيُقْو ُل ِإَّن اَألَذ اَن َيْو َم الُج ْمَعِة َك اَن َأَّو ُلُه ِح ْيَن َيْج ِلُس اِإل َم اُم َيْو َم الُج ْمَعِة َع َلى‬, ‫َع ْن َس اِئٍب َقاَل‬
‫الِم ْنَبِر ِفْي َع ْهِد َر ُسْو ِل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو َأِبْي َبْك ٍر َو ُع َم َر َرِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا َفَلَّم ا َك اَن ِفْي ِخ َالَفِة ُع ْثَم اَن َرِض َي‬
‫ُهللا َع ْنُه َو َك َثُرْو ا َأَم َر ُع ْثَم اُن َيْو َم الُج ْمَعِة ِباَألَذ اِن الَّثاِلِث َفَأَذ اَن ِبِه َع َلى الَّز ْو َر اِء َفَثَبَت اَألْم ُر َع َلى َذ اِلَك‬

Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata,
“Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu
Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika
masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau
memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di
atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". ( Shahih
al-Bukhari: 865)

Yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum
khatib naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik
ke mimbar dan adzan kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-
Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu'in, mengatakan bahwa sunnah
mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke mimbar dan yang
kedua dilakukan setelah khatib naik di atas mimbar :

‫ َو َأَذ اَناِن ِلْلُج ْمَعِة َأَح ُدُهَم ا َبْع َد ُصُعْو ِد‬,‫َو ُيَس ُّن َأَذ اَناِن ِلُصْبٍح َو اِح ٍد َقْبَل الَفْج ِر َو آخِر َبْع َد ُه َفِإن اَقَتَص َر َفاَألْو َلى َبْع َد ُه‬
‫الَخ ِط ْيِب الِم ْنَبَر َو اَألَخ ُر اَّلِذ ْي َقْبَلُه‬

"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat ٍٍٍShubuh, yakni sebelum fajar dan
setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan
setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jumat. Salah satunya setelah khatib
naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15)

Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW,
ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh para
sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah yang disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu
kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak
mengingkarinya. Diam berarti setuju pada keputusan hukumnya. Dalam kitab al-
Mawahib al-Ladunniyyah disebutkan :
‫ُثَّم ِإَّن ِفْع َل ُع ْثَم اَن َرِض َي ُهللا َع ْنُه َك اَن ِإْج َم اعًا ُس ُك ْو ِتيًا َِأل َّنُهْم َال ُيْنِكُرْو َنُه َع َلْيِه‬

"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma'
sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang
kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249)

Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah
sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti
ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:

‫َفَع َلْيُك ْم ِبُس َّّنِتْي َو ُس َّنِة الُخَلَفآِء الَّراِش ِد ْيَن ِم ْن َبْع ِد ْي‬

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-
Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)

Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama
sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi
menurut istilah ushul fiqh, adzan Jumat dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”.
Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum
Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan dalam
masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan
umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jumat satu kali atau dua kali demi
melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT. Wallahu a’lam bis-
shawab.

Sunnah memegang tonkat


Jumhur (mayoritas) ulama fiqh mengatakan bahwa sunnah hukumnya khatib
memegang tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah. Dijelaskan
oleh Imam Syafi'i di dalam kitab al-Umm:

‫ َو َقْد ِقْيَل‬.‫َقاَل الَّش اِفِعُّي َر ِح َم ُه ُهللا َتَع اَلى) َبَلَغَنا َأَّن َر ُسْو َل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َك اَن ِإَذ ا َخ َطَب ِاْعَتَم َد َع َلى َع َص ى‬
‫ َأْخ َبَر َنا الَّر ِبْيُع َقاَل َأْخ َبَر َنا الَّش اِفِعُّي َقاَل َأْخ َبَر نَا ِإْبَر اِهْيُم َع ْن‬.‫َخ َطَب ُم ْعَتِم ًدا َع َلى ُع ْنَز ٍة َو َع َلى َقْو ٍس َو ُك ُّل َذ اِلَك ِاْع ِتَم اًدا‬
‫َلْيٍث َع ْن َع َطاٍء َأَّن َر ُسْو َل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َك اَن ِإَذ ا َخ َطَب َيْعَتِم ُد َع َلى ُع ْنَز ِتِه ِاْع ِتَم اًدا‬
t;

Imam Syafi'i RA berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika
Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan,
beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-
benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam
Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah
memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm, juz I, hal 272)

‫َع ْن ُش َع ْيِب ْبِن ُز َر ْيٍق الَطاِئِفِّي َقاَل َش ِهْد نَا ِفْيَها الُج ْمَع َة َم َع َر ُسْو ِل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَقاَم ُم َتَو ِّكًئا َع َلى َع َص ا‬
‫َأْو َقْو ٍس‬

Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat jum'at pada
suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka Beliau berdiri berpegangan pada
sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud hal. 824).

As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa hadits itu menjelaskan tentang


“sunnahnya khatib memegang pedang atan semacamnya pada waktu menyampaikan
khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal 59)
‫ِّّذ‬
‫ُم ْقِبًال َع َلى الَّناِس ِبَو ْج ِهِه َال َيْلَتِفُت َيِم ْيًنا َو َالِش َم اًال َو ُيْش ِغ ُل َيَد ْيِه ِبَقاِئِم الَّسْيِف َأْو الُع ْنَز ِة َو الِم ْنَبِر‬ ‫َفِإَذ ا َفَر َغ الُم َؤ ُن َقاَم‬
‫َيَضَع ِإْح َد اُهَم ا َع َلى اآلَخ ِر‬ ‫َك ْي َال َيْع َبَث ِبِهَم ا َأْو‬

Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama' ah
dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya
memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya
memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau
tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum
al-Din, juz I, hal 180)

Hikmah dianjurkannya memegang tongkat adalah untuk mengikat hati (agar lebih
konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam
kitab Subulus Salam, juz II, hal 59).

Jadi, seorang khatib disunnahkan memegang tongkat saat berkhutbah. Tujuannya,


selain mengikuti jejak Rasulullah SAW juga agar khatib lebih konsentrasi (khusyu’)
dalam membaca khuthbah. Wallahua’lam bishshawab.
Hitungan rakaat dalam sholat tarawih
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
dan sahabatnya. Seringkali masalah jumlah raka’at shalat tarawih dipermasalahkan di tengah-tengah
masyarakat. Sampai-sampai jumlah raka’at ini jadi tolak ukur, apakah si fulan termasuk golongannya
ataukah tidak. Kami pernah mengangkat pembahasan jumlah raka’at shalat tarawih, namun masih ada
saja yang sering mendebat mempertanyakan pendapat pilihan kami. Sekarang kami akan membahas dari
sisi dalil pendukung shalat tarawih 23 raka’at. Hal ini kami kemukakan dengan tujuan supaya kaum
muslimin sadar bahwa beda pendapat yang terjadi sebenarnya tidak perlu sampai meruntuhkan kesatuan
kaum muslimin. Dalil pendukung yang akan kami kemukakan menunjukkan bahwa shalat tarawih 23
raka’at sama sekali bukanlah bid’ah, perkara yang dibuat-buat. Kami akan buktikan dari sisi dalil dan
beberapa alasan. Semoga amalan ini ikhlas karena mengharap wajah-Nya.
Daftar Isi tutup
1. Asal ‘Umar Mulai Mengumpulkan Para Jama’ah dalam Shalat Tarawih
2. Shalat Tarawih 11 Raka’at di Masa ‘Umar
3. Shalat Tarawih 23 Raka’at di Masa ‘Umar
4. Beberapa Atsar Penguat
5. Perkataan Para Ulama Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
6. Dalil Pendukung Lain, Shalat Malam Tidak Ada Batasan Raka’atnya
7. Yang Jadi Masalah
8. Penutup

Asal ‘Umar Mulai Mengumpulkan Para Jama’ah


dalam Shalat Tarawih
Dalam Shahih Al Bukhari pada Bab “Keutamaan Qiyam Ramadhan” disebutkan beberapa riwayat sebagai
berikut.
‫َأ‬
‫َح َّدَثَنا َع ْبُد الَّلِه ْبُن ُيوُسَف ْخ َبَر َنا َماِلٌك َع ِن اْب ِن ِش َهاٍب َع ْن ُح َمْي ِد ْب ِن َع ْب ِد الَّر ْح َم ِن‬
‫َع ْن َأِبى ُهَر ْيَر َة – رضى هللا عنه – َأَّن َر ُسوَل الَّلِه – صلى هللا عليه وسلم – َقاَل‬
‫ َقاَل اْبُن ِش َهاٍب‬. » ‫« َمْن َقاَم َر َمَض اَن ِإيَماًنا َو اْح ِتَساًبا ُغ ِفَر َلُه َما َتَقَّدَم ِم ْن َذْن ِبِه‬
‫ ُثَّم َك اَن اَألْم ُر َع َلى‬، ‫َفُتُو ِّفَى َر ُسوُل الَّلِه – صلى هللا عليه وسلم – َو اَألْم ُر َع َلى َذِلَك‬
– ‫َذِلَك ِفى ِخ َالَفِة َأِبى َبْك ٍر َو َص ْدًر ا ِم ْن ِخ َالَفِة ُعَمَر – رضى هللا عنهما‬
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu
Syihab dari Humaid bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena
iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosanya yang
lalu“. Ibnu Syihab berkata; Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, namun orang-orang
terus melestarikan tradisi menegakkan malam Ramadhan (secara bersama, jamaah), keadaan tersebut
terus berlanjut hingga zaman kekhalifahan Abu Bakar dan awal-awal kekhilafahan ‘Umar bin Al
Khaththob radhiyallahu ‘anhu. (HR. Bukhari no. 2009)

‫َو َع ِن اْب ِن ِش َهاٍب َع ْن ُعْر َو َة ْب ِن الُّز َبْي ِر َع ْن َع ْب ِد الَّر ْح َم ِن ْب ِن َع ْب ٍد اْل َقاِر ِّى َأَّنُه َقاَل‬
، ‫ ِإَلى اْل َمْس ِج ِد‬، ‫َخ َر ْج ُت َمَع ُع َمَر ْب ِن اْل َخ َّطاِب – رضى هللا عنه – َلْي َلًة ِفى َر َمَض اَن‬
‫ َو ُيَص ِّلى الَّر ُج ُل َفُيَص ِّلى ِبَص َالِتِه‬، ‫َفِإَذا الَّناُس َأْو َز اٌع ُم َتَفِّر ُقوَن ُيَص ِّلى الَّر ُج ُل ِلَنْف ِس ِه‬
‫ ُثَّم َع َز َم‬. ‫الَّر ْه ُط َفَقاَل ُع َمُر ِإِّنى َأَر ى َلْو َج َمْع ُت َهُؤ َالِء َع َلى َقاِر ٍئ َو اِحٍد َلَك اَن َأْم َثَل‬
‫ َو الَّناُس ُيَص ُّلوَن ِبَص َالِة‬، ‫ ُثَّم َخ َر ْج ُت َمَع ُه َلْي َلًة ُأْخ َر ى‬، ‫َفَج َمَع ُهْم َع َلى ُأَبِّى ْب ِن َك ْع ٍب‬
. ‫ َو اَّلِتى َيَناُموَن َع ْن َها َأْف َض ُل ِم َن اَّلِتى َيُقوُموَن‬، ‫ َقاَل ُع َمُر ِنْع َم اْل ِبْدَع ُة َهِذِه‬، ‫َقاِر ِئِهْم‬
‫ َو َك اَن الَّناُس َيُقوُموَن َأَّو َلُه‬، ‫ُيِر يُد آِخ َر الَّلْي ِل‬
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata,
“Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid,
ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan
ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar
berkata, “Aku berpikir bagaimana seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu
orang imam, itu lebih baik“. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka
dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada
malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam,
lalu ‘Umar berkata, “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih
baik daripada yang shalat awal malam[1].” Yang beliau maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir
malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (HR. Bukhari no. 2010)
Adapun mengenai jumlah raka’at shalat tarawih yang dilakukan di zaman ‘Umar tidak disebutkan secara
tegas dalam riwayat di atas[2], dan ada perbedaan dalam beberapa riwayat yang nanti akan kami jelaskan
selanjutnya.

Shalat Tarawih 11 Raka’at di Masa ‘Umar


Disebutkan dalam Muwaththo’ Imam Malik riwayat sebagai berikut.

‫َو َح َّدَثِنى َع ْن َماِلٍك َع ْن ُمَح َّم ِد ْب ِن ُيوُسَف َع ِن الَّساِئِب ْب ِن َيِز يَد َأَّنُه َقاَل َأَمَر ُعَمُر ْبُن‬
‫اْل َخ َّطاِب ُأَبَّى ْبَن َك ْع ٍب َو َتِم يًما الَّداِر َّى َأْن َيُقوَما ِللَّناِس ِبِإْح َدى َع ْش َر َة َر ْك َع ًة َقاَل َو َقْد‬
‫َك اَن اْل َقاِر ُئ َيْق َر ُأ ِباْل ِمِئيَن َح َّتى ُكَّنا َنْع َتِمُد َع َلى اْل ِعِص ِّى ِم ْن ُطوِل اْل ِقَياِم َو َما ُكَّنا‬
. ‫َنْن َص ِر ُف ِإَّال ِفى ُفُروِع اْل َفْج ِر‬
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata,
“Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-
orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami
bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang
fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo’ 1/115).
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[3]

Shalat Tarawih 23 Raka’at di Masa ‘Umar


Dalam Musnad ‘Ali bin Al Ja’d terdapat riwayat sebagai berikut.

‫ كانوا‬: ‫حدثنا علي أنا بن أبي ذئب عن يزيد بن خصيفة عن السائب بن يزيد قال‬
‫يقومون على عهد عمر في شهر رمضان بعشرين ركعة وإن كانوا ليقرءون‬
‫بالمئين من القرآن‬
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali, bahwa Ibnu Abi Dzi’b dari Yazid bin Khoshifah dari As Saib bin
Yazid, ia berkata, “Mereka melaksanakan qiyam lail di masa ‘Umar di bulan Ramadhan sebanyak 20
raka’at. Ketika itu mereka membaca 200 ayat Al Qur’an.” (HR. ‘Ali bin Al Ja’d dalam musnadnya, 1/413)
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[4]
Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa riwayat di atas terdapat ‘illah yaitu karena terdapat Yazid
bin Khoshifah. Dalam riwayat Ahmad, beliau menyatakan bahwa Yazid itu munkarul hadits. Namun
pernyataan ini tertolak dengan beberapa alasan:
1. Imam Ahmad sendiri menyatakan Yazid itu tsiqoh dalam riwayat lain.
2. Ulama pakar hadits lainnya menyatakan bahwa Yazid itu tsiqoh. Ulama yang berpendapat seperti
itu adalah Ahmad, Abu Hatim dan An Nasai. Begitu pula yang menyatakan tsiqoh adalah Yahya
bin Ma’in dan Ibnu Sa’ad. Al Hafizh Ibnu Hajar pun menyatakan tsiqoh dalam At Taqrib.
3. Perlu diketahui bahwa Yazid bin Khoshifah adalah perowi yang dipakai oleh Al Jama’ah (banyak
periwayat hadits).
4. Imam Ahmad rahimahullah dan sebagian ulama di banyak keadaan kadang menggunakan istilah
“munkar” untuk riwayat yang bersendirian dan bukan dimaksudkan untuk dho’ifnya hadits.[5]
Hadits di atas juga memiliki jalur yang sama dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (2/496).
Riwayat riwayat di atas memiliki beberapa penguat di antaranya:
Pertama: Riwayat ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4/260).

‫عن داود بن قيس وغيره عن محمد بن يوسف عن السائب بن يزيد أن عمر جمع‬
‫الناس في رمضان على أبي بن كعب وعلى تميم الداري على إحدى وعشرين‬
‫ركعة يقرؤون بالمئين وينصرفون عند فروع الفجر‬
Dari Daud bin Qois dan selainnya, dari Muhammad bin Yusuf, dari As Saib bin Yazid, ia berkata bahwa
‘Umar pernah mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari yang
menjadi imam dengan mengerjakan shalat 21 raka’at. Ketika itu mereka membaca 200 ayat. Shalat
tersebut baru bubar ketika menjelang fajar.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.[6]
Kedua: Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya (2/163).

‫حدثنا وكيع عن مالك بن أنس عن يحيى بن سعيد أن عمر بن الخطاب أمر رجال‬
‫يصلي بهم عشرين ركعة‬
Telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa’id, ia berkata, “’Umar bin Al
Khottob pernah memerintah seseorang shalat dengan mereka sebanyak 20 raka’at.”
Yahya bin Sa’id adalah seorang tabi’in. Sehingga riwayat ini termasuk mursal (artinya tabi’in berkata
langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebut sahabat).[7]
Setelah membawakan beberapa riwayat penguat (yang sengaja penulis menyebutkan beberapa saja),
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah lantas mengatakan, “Riwayat penguat ini semakin menguatkan
riwayat shalat tarawih 20 raka’at.”[8]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perbuatan sahabat di zaman ‘Umar bin Khottob bervariasi, kadang
mereka melaksanakan 11 raka’at, kadang pula –berdasarkan riwayat yang shahih- melaksanakan 23
raka’at. Lalu bagaimana menyikapi riwayat semacam ini? Jawabnya, tidak ada masalah dalam menyikapi
dua riwayat tersebut. Kita bisa katakan bahwa kadangkala mereka melaksanakan 11 raka’at, dan
kadangkala mereka melaksanakan 23 raka’at dilihat dari kondisi mereka masing-masing.
Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro mengatakan,
‫ ُثَّم َك اُنوا َيُقوُموَن‬، ‫ َفِإَّنُهْم َك اُنوا َيُقوُموَن ِبِإْح َدى َع ْش َر َة‬، ‫َو ُيْم ِكُن اْل َج ْم ُع َبْيَن الِّر َو اَيَتْي ِن‬
‫ِبِع ْش ِر يَن َو ُيوِتُر وَن ِبَثَالٍث‬
“Dan mungkin saja kita menggabungkan dua riwayat (yang membicarakan 11 raka’at dan 23 raka’at, -
pen), kita katakan bahwa dulu para sahabat terkadang melakukan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. Di
kesempatan lain, mereka lakukan 20 raka’at ditambah witir 3 raka’at.”[9]
Begitu pula Ibnu Hajar Al Asqolani juga menjelaskan hal yang serupa. Beliau rahimahullah mengatakan,

‫ َو َيْح َتِم ل َأَّن َذِلَك ااِل ْخ ِتاَل َف‬، ‫َو اْل َج ْم ُع َبْين َهِذِه الِّر َو اَيات ُمْم ِك ٌن ِباْخ ِتاَل ِف اَأْلْح َو ال‬
‫ِبَح َس ِب َتْطِو يِل اْل ِقَر اَءة َو َتْخ ِفيِفَها َفَح ْي ُث ُيِط يُل اْل ِقَر اَءة َتِقُّل الَّر َك َعات َو ِباْل َع ْك ِس َو ِبَذِلَك‬
‫َج َز َم الَّداُو ِد ُّي َو َغ ْيره‬
“Kompromi antara riwayat (yang menyebutkan 11 dan 23 raka’at) amat memungkinkan dengan kita
katakan bahwa mereka melaksanakan shalat tarawih tersebut dilihat dari kondisinya. Kita bisa memahami
bahwa perbedaan (jumlah raka’at tersebut) dikarenakan kadangkala bacaan tiap raka’atnya panjang dan
kadangkala pendek. Ketika bacaan tersebut dipanjangkan, maka jumlah raka’atnya semakin sedikit.
Demikian sebaliknya. Inilah yang ditegaskan oleh Ad Dawudi dan ulama lainnya.”[10]

Beberapa Atsar Penguat


Pertama: Atsar Atho’ (seorang tabi’in) yang dikeluarkan dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).

‫حدثنا بن نمير عن عبد الملك عن عطاء قال أدركت الناس وهم يصلون ثالثة‬
‫وعشرين ركعة بالوتر‬
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari ‘Abdul Malik, dari ‘Atho’, ia berkata, “Aku pernah
menemukan manusia ketika itu melaksanakan shalat malam 23 raka’at dan sudah termasuk witir di
dalamnya.”
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[11]
Kedua: Atsar dari Ibnu Abi Mulaikah yang dikeluarkan dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).

‫حدثنا وكيع عن نافع بن عمر قال كان بن أبي مليكة يصلي بنا في رمضان عشرين‬
‫ركعة‬
Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Nafi’ bin ‘Umar, ia berkata, “Ibnu Abi Mulaikah shalat bersama
kami di bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at”.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[12]
Ketiga: Atsar dari ‘Ali bin Robi’ah yang dikeluarkan dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).

‫حدثنا الفضل بن دكين عن سعيد بن عبيد أن علي بن ربيعة كان يصلي بهم في‬
‫رمضان خمس ترويحات ويوتر بثالث‬
Telah menceritakan kepada kami Al Fadhl bin Dakin, dari Sa’id bin ‘Ubaid, ia berkata bahwa ‘Ali bi Robi’ah
pernah shalat bersama mereka di Ramadhan sebanyak 5 kali duduk istirahat (artinya: 5 x 4 = 20 raka’at),
kemudian beliau berwitir dengan 3 raka’at.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[13]
Keempat: Atsar dari ‘Abdurrahman bin Al Aswad yang dikeluarkan dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah
(2/163).

‫حدثنا حفص عن الحسن بن عبيد هللا قال كان عبد الرحمن بن األسود يصلي بنا‬
‫في رمضان أربعين ركعة ويوتر بسبع‬
Telah menceritakan kepada kami Hafsh, dari Al Hasan bin ‘Ubaidillah, ia berkata bahwa dulu
‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 40 raka’at, lalu beliau
berwitir dengan 7 raka’at.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[14]
Kelima: Atsar tentang shalat tarawih di zaman ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz yang dikeluarkan dalam Mushonnaf
Ibni Abi Syaibah (2/163).

‫حدثنا بن مهدي عن داود بن قيس قال أدركت الناس بالمدينة في زمن عمر بن عبد‬
‫العزيز وأبان بن عثمان يصلون ستةة وثالثين ركعة ويوترون بثالث‬
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi, dari Daud bin Qois, ia berkata, “Aku mendapati orang-
orang di Madinah di zaman ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dan Aban bin ‘Utsman melaksanakan shalat malam
sebanyak 36 raka’at dan berwitir dengan 3 raka’at.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[15]

Perkataan Para Ulama Mengenai Jumlah Raka’at


Shalat Tarawih
Disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani,

‫َو َع ْن الَّز ْع َفَر اِنِّي َع ْن الَّش اِفِع ِّي ” َر َأْيت الَّناس َيُقوُموَن ِباْل َم ِد يَنِة ِبِتْس ٍع َو َثاَل ِثيَن َو ِبَم َّك ة‬
‫ َو َلْيَس ِفي َش ْي ء ِم ْن َذِلَك ِض يٌق‬، ‫ِبَثاَل ٍث َو ِع ْش ِر يَن‬
Dari Az Za’faroniy, dari Imam Asy Syafi’i, beliau berkata, “Aku melihat manusia di Madinah melaksanakan
shalat malam sebanyak 39 raka’at dan di Makkah sebanyak 23 raka’at. Dan sama sekali hal ini tidak ada
kesempitan (artinya: boleh saja melakukan seperti itu, -pen).” [16]
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan,

‫وليس في عدد الركعات من صالة الليل حد محدود عند أحد من أهل العلم ال يتعدى‬
‫وإنما الصالة خير موضوع وفعل بر وقربة فمن شاء استكثر ومن شاء استقل‬
“Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat
nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit
raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”[17]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

‫َلْم ُيَو ِّقْت الَّنِبُّي َص َّلى الَّلُه َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِفيِه َع َدًدا ُمَعَّيًنا ؛ َبْل َك اَن ُهَو – َص َّلى الَّلُه َع َلْي ِه‬
‫َو َس َّلَم – اَل َيِز يُد ِفي َر َمَض اَن َو اَل َغ ْي ِر ِه َع َلى َثاَل َث َع ْش َر ِة َر ْك َع ًة َلِك ْن َك اَن ُيِط يُل‬
‫الَّر َك َعاِت َفَلَّما َج َمَع ُهْم ُع َمُر َع َلى أبي ْب ِن َك ْع ٍب َك اَن ُيَص ِّلي ِبِهْم ِع ْش ِر يَن َر ْك َع ًة ُثَّم ُيوِتُر‬
‫ِبَثاَل ِث َو َك اَن ُيِخ ُّف اْل ِقَر اَء َة ِبَقْد ِر َما َز اَد ِم ْن الَّر َك َعاِت َأِلَّن َذِلَك َأَخ ُّف َع َلى اْل َم ْأ ُموِم يَن‬
‫ِم ْن َتْطِو يِل الَّر ْك َع ِة اْل َو اِح َدِة ُثَّم َك اَن َطاِئَفٌة ِم ْن الَّس َلِف َيُقوُموَن ِبَأْر َبِع يَن َر ْك َع ًة‬
‫َو ُيوِتُروَن ِبَثاَل ِث َو آَخ ُر وَن َقاُموا ِبِس ِّت َو َثاَل ِثيَن َو َأْو َتُروا ِبَثاَل ِث َو َهَذا ُكُّلُه َساِئٌغ َفَك ْي َفَما‬
‫ َو اَأْلْف َض ُل َيْخ َتِلُف ِباْخ ِتاَل ِف َأْح َو اِل‬. ‫َقاَم ِفي َر َمَض اَن ِم ْن َهِذِه اْل ُو ُج وِه َفَقْد َأْح َسَن‬
‫ َك َما‬. ‫اْل ُمَص ِّليَن َفِإْن َك اَن ِفيِهْم اْح ِتَماٌل ِلُطوِل اْل ِقَياِم َفاْل ِقَياُم ِبَع ْش ِر َر َك َعاٍت َو َثاَل ٍث َبْعَدَها‬
‫َك اَن الَّنِبُّي َص َّلى الَّلُه َع َلْي ِه َو َس َّلَم ُيَص ِّلي ِلَنْف ِس ِه ِفي َر َمَض اَن َو َغ ْي ِر ِه ُهَو اَأْلْف َض ُل َو ِإْن‬
‫َك اُنوا اَل َيْح َتِم ُلوَنُه َفاْل ِقَياُم ِبِع ْش ِر يَن ُهَو اَأْلْف َض ُل َو ُهَو اَّلِذ ي َيْعَمُل ِبِه َأْكَثُر اْل ُمْس ِلِم يَن‬
‫َفِإَّنُه َو َس ٌط َبْيَن اْل َع ْش ِر َو َبْيَن اَأْلْر َبِع يَن َو ِإْن َقاَم ِبَأْر َبِع يَن َو َغ ْي ِر َها َج اَز َذِلَك َو اَل ُيْك َر ُه‬
‫ َو َمْن َظَّن‬. ‫ َو َقْد َنَّص َع َلى َذِلَك َغ ْيُر َو اِحٍد ِم ْن اَأْلِئَّم ِة َك َأْح َمَد َو َغ ْي ِر ِه‬. ‫َش ْي ٌء ِم ْن َذِلَك‬
‫َأَّن ِقَياَم َر َمَض اَن ِفيِه َع َدٌد ُمَو َّقٌت َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى الَّلُه َع َلْي ِه َو َس َّلَم اَل ُيَز اُد ِفيِه َو اَل‬
‫ُيْنَقُص ِم ْنُه َفَقْد َأْخ َطَأ‬
“Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah
di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at. Akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan
raka’at yang panjang. Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab ditunjuk sebagai imam,
dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun
ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan
semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu
panjang.
Sebagian salaf pun ada yang melaksanakan shalat malam sampai 40 raka’at, lalu mereka berwitir dengan
3 raka’at. Ada lagi ulama yang melaksanakan shalat malam dengan 36 raka’at dan berwitir dengan 3
raka’at.
Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan
berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam
sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang
panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at,
sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan
bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka
melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak
dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah
raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat
malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun.
Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki
batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau
kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[18]
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu
diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak
ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para
sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para
sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus
dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat.
Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah
banyak.”[19]

Dalil Pendukung Lain, Shalat Malam Tidak Ada


Batasan Raka’atnya
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,

‫ ُتوِتُر َلُه َما‬، ‫ َفِإَذا َخ ِش َى َأَح ُدُكُم الُّص ْبَح َص َّلى َر ْك َع ًة َو اِح َدًة‬، ‫َص َالُة الَّلْي ِل َم ْث َنى َم ْث َنى‬
‫َقْد َص َّلى‬
“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh,
maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.”[20] Padahal ini
dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan menjelaskannya.
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫َفَأِع ِّنى َع َلى َنْف ِس َك ِبَكْث َر ِة الُّس ُج وِد‬


“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”[21]
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫َفِإَّنَك َال َتْس ُج ُد ِلَّلِه َس ْج َدًة ِإَّال َر َفَعَك الَّلُه ِبَها َدَر َج ًة َو َح َّط َع ْن َك ِبَها َخ ِط يَئًة‬
“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan
satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.”[22] Dalil-dalil ini dengan sangat jelas
menunjukkan bahwa kita dibolehkan memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak raka’at shalat) dan
sama sekali tidak diberi batasan.
Keempat, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13
raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau
sendiri, sebagaimana kaedah yang diterapkan dalam ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan
tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. … Barangsiapa yang mengira bahwa shalat
malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh
dia telah keliru.”[23]
Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan
shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan
sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan
demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan
di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil
yang bersifat khusus kecuali jika ada dalil yang bertentangan.
Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang
dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika
melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua
puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan.
Keenam, manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka’at dalam waktu 1 jam ataukah
shalat malam 23 raka’at yang dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam?
Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dari segi jumlah raka’at. Namun yang
satu mendekati ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara
ini yang lebih baik?
Jawabannya, tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan raka’at yang lebih banyak.
Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan
sedikit tidurnya. Allah Ta’ala berfirman,

‫َك اُنوا َقِلياًل ِم َن الَّلْي ِل َما َيْه َج ُعوَن‬


“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)
‫َو ِم َن الَّلْي ِل َفاْس ُج ْد َلُه َو َس ِّبْح ُه َلْي اًل َطِو ياًل‬
“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian
yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)
Oleh karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka’at namun dengan
raka’at yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka’at atau 36 raka’at. Ada pula yang
kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Namun yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama).
Sampai-sampai sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama
berdiri dan membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka’at yang
sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat, hendaklah ia menambah raka’atnya.”
Mengapa ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan
Allah ketika shalat malam.[24]

Yang Jadi Masalah


Setelah pemaparan kami di atas, sebenarnya yang jadi masalah bukanlah kuantitas shalat tarawih. Yang
lebih dituntunkan bagi kita adalah mendekati kualitas Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat
tarawih atau shalat malam. Sehingga tidak tepat jika melaksanakan 11 raka’at namun kualitas shalatnya
jauh sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula tidak tepat jika melaksanakan shalat 23
raka’at namun kualitasnya pun amat jauh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena memang pilihan
para sahabat di masa Umar dan ini juga dipilih oleh kebanyakan ulama adalah ingin mendekati kualitas
shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hanya kejar kuantitas. Ini yang benar-benar harus kita
pahami.
Sehingga tidak tepat jika shalat tarawih atau shalat malam yang dilakukan begitu cepat, secepat kilat,
seperti ayam “matuk”. Ini kan sama saja tidak ada thuma’ninah. Padahal thuma’ninah adalah bagian dari
rukun shalat. Artinya jika tidak ada thuma’ninah, shalatnya hanya sia-sia. Namun demikianlah yang sering
terjadi pada shalat tarawih 23 raka’at di tempat kita. Inilah yang jadi masalah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َأْف َض ُل الَّص َالِة ُطوُل اْل ُقُنوِت‬


“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.”[25]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

‫ َأَّنُه َنَهى َأْن ُيَص ِّلَى الَّر ُج ُل ُمْخ َتِص ًر ا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َع ِن الَّنِبِّى‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”[26] Ibnu Hajar –
rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar
khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah
shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud.[27]
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun
kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat
selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan.
Dari sini, jika memang kita dapati imam yang shalatnya terlalu cepat, sebaiknya tidak bermakmum di
belakangnya. Carilah jama’ah yang lebih thuma’ninah.

Penutup
Demikian sajian kami tentang shalat tarawih bahwa sebenarnya tidak ada masalah dalam kuantitas raka’at,
baik 11 atau 23 raka’at tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah sebagaimana yang kami sebutkan di
atas. Sehingga tidaklah tepat jika shalat tarawih 23 raka’at dikatakan bid’ah. Lihat saja sejak masa sahabat
dan tabi’ain mereka pun melaksanakan shalat malam lebih dari 11 raka’at.
Dari sini juga tidaklah tepat jika seseorang bubar terlebih dahulu pada shalat imam padahal masih 8
raka’at karena ia berkeyakinan bahwa shalat malam hanya 11 raka’at sehingga ia tidak mau mengikuti
shalat imam yang 23 raka’at. Jika memang shalat imam itu thuma’ninah, maka bermakmum di
belakangnya adalah pilihan yang tepat. Jika seseorang bubar dulu sebelum imam selesai, sungguh ia telah
kehilangan pahala yang teramat besar sebagaimana disebutkan dalam hadits,

‫ِإَّنُه َمْن َقاَم َمَع اِإلَماِم َح َّتى َيْن َص ِر َف ُكِتَب َلُه ِقَياُم َلْي َلًة‬
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam
penuh.”[28] Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut
menyelesaikan bersama imam, meskipun itu 23 raka’at. Itulah yang lebih tepat selama shalat 23 raka’at itu
thuma’ninah. Jika shalatnya terlalu cepat, sebaiknya cari jama’ah yang lebih thuma’ninah dalam kondisi
seperti itu.
Wallahu ‘alam bish showab. Semoga Allah menjadikan amalan ini ikhlas karena-Nya.

Bulan Ramadan merupakan bulan ibadah, di dalamnya terdapat segudang amalan sunah yang bisa
dikerjakan umat Islam. Di antara amalan sunah yang paling identik dengan Ramadan adalah salat
Tarawih.

Salat Tarawih dikerjakan setelah mengerjakan salat Isya’. Biasanya, usai menyelesaikan salat Isya’,
biasanya imam masjid langsung mengajak makmum untuk melanjutkan salat Tarawih berjamaah.

BACA JUGA:Kumpulan Spanduk Ramadhan 2024, Lengkap dengan Kata-Kata untuk


Menyambutnya

Padahal salat Tarawih sendiri amat besar. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa beribadah di
malam Ramadan karena iman kepada Allah dan mengharap pahala, maka ia dihapus dosanya yang
telah lampau” (HR. Bukhari)

Ada dua pendapat mengenai jumlah rakaat dalam salat Tarawih. Pendapat pertama mengatakan
jumlah rakaatnya 20, ditambah dengan 3 rakaat salat Witir, maka menjadi 23.

Sementara pendapat kedua, adalah 8 rakaat. Menjadi 11 rakaat karena ditambah 3 rakaat salat Witir.
Pendapat kedua ini paling mudah dikerjakan, umumnya pengikut Muhammadiyah mengerjakan 8
rakaat salat Tarawih.

Lantas, apa landasan hukum bagi yang mengerjakan salat Tarawih sebanyak 8 rakaat ini. Berikut
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah RA sebagai landasan hukumnya.

‫َع ْن َعاِئَشَة َز ْو ِج الَّنِبِّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َوَس َّلَم َقاَلْت َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َوَس َّلَم ُيَص ِّلى ِفيَم ا َبْيَن َأْن َيْفُر َغ ِم ْن َص َالِة اْلِع َشاِء َوِهَى‬
‫اَّلِتى َيْد ُعو الَّناُس اْلَع َتَم َة ِإَلى اْلَفْج ِر ِإْح َدى َع ْش َر َة َر ْك َع ًة ُيَس ِّلُم َبْيَن ُك ِّل َر ْك َع َتْيِن َو ُيوِتُر ِبَو اِح َدة‬

Dari A’isyah, istri Nabi Muhammad SAW, ia berkata, "Rasulullah pernah melakukan salat pada
waktu antara setelah selesai Isya yang dikenal orang dengan ‘Atamah hingga Subuh sebanyak sebelas
rakaat di mana beliau salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan beliau salat witir satu rakaat.” (HR.
Muslim)
Sholat id dilapangan
Hukum shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan
tetapi tidak wajib). Meskipun ibadah sunnah muakkadah, Rasulullah SAW tidak
pernah meninggalkannya setiap tahun dua kali.

Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah bahwasanya Nabi SAW terus-menerus


mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari
beberapa Id. Nabi memerintahkan umatnya untuk keluar padanya, hingga menyuruh
wanita, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid.”<>

“Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan
kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak
mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya.”

Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat


Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi
Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau
penghalang lainnya.

Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada
di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang
tertutup.

‫ َك اَن َرُسْو ُل ِهللا صلى هللا عليه وسلم َيْخ ُرُج َيْو َم اْلِفْطِر َو ْاَألْض َح ى ِإَلى‬: ‫َعْن َأِبي َسِعْيِد اْلُخ ْد ِر ي رضي هللا عنه َقاَل‬
‫ َفَيِع ُظُهْم َو‬، ‫ َو الَّناُس ُج ُلْو ٌس َع َلى ُص ُفْو ِفِهْم‬،‫ ُثَّم َيْنَص ِرُف َفَيُقْو ُم ُم َقاِبَل الَّناِس‬،‫ َفَأَّو ُل َشْيٍئ َيْبَد ُأ ِبِه الَّص َالة‬.‫اْلُم َص َّلى‬
‫ َأْو َيْأُم ُر ِبَشْيٍئ َأَم َر ِبِه ُثَّم َيْنَص ِر ُف‬،‫ َفِإْن َك اَن ُيِر ْيُد َأْن َيْقَطَع َبْع ًثا َقَطَعُه‬. ‫ُيْو ِص ْيِهْم َو َيْأُم ُر ُهْم‬

“Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata: "Rasulullah SAW biasa keluar menuju
mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang
beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di
mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran,
wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau)
memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau
memerintahkannya dan kemudian berpaling ...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim
3/20, Nasa`i 1/234; )

Mengerjakan shalat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunnah, kerana dahulu Nabi
SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang
lebih utama dari masjid lainnya. Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan
seperti sekarang ini.

Namun demikian, menunaikan shalat Id di masjid lebih utama. Imam As-Syafi'i


bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk
di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk
mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak
dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan shalat Id di
dalam masjid.

‫ َفِإَذ ا َح َص َل َذ اِلَك َفالَم ْس ِج ُد َأْفَض ُل‬.... ‫َأَّنُه ِإَذ ا كَاَن َم ْس ِج ُد الَبَلِد َو اِس عًا َص ُّلْو ا ِفْيِه َو َال َيْخ ُرُج ْو َن‬

”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat
di Masjid dan tidak perlu keluar.... karena shalat di masjid lebih utama”

Dari fatwa Imam As-Syafi'i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat
kesimpulan seperti berikut: "Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini
sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan
pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana
itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’),
maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam
masjid lebih utama daripada di tanah lapang". (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani,
Fathul Baari, jilid 5, h. 283)

Sebenarnya, melaksanakan shalat Id hukumnya sunnah, baik di masjid maupun di


lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak
menentukan yang lebih afdhal. Shalat di lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak
mampu menampung jema’ah. Akan tetapi menyelenggarakan shalat Id lebih utama di
masjid jika masjid (termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jema’ah.

Sekali lagi, fokus utama dalam hukum shalat Id ini adalah dapat berkumpulnya
masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan kebersamaan.

Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk


menampakkan kemenangan kaum muslimin; untuk menguatkan keimanan dan
memantapkan keyakinan; untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya;
untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT

Anda mungkin juga menyukai