Anda di halaman 1dari 5

APAKAH ADA BID’AH HASANAH ?

oleh Ja’far Lc.

Pembicaraan kita kali ini berkenaan dengan perbincangan di seputar ada tidaknya bid’ah
hasanah. Karena dengan adanya istilah ini, banyak menimbulkan kerancuan dalam memahami apa itu
bid’ah dan dalam mewaspadai bahaya bid’ah terhadap Islam dan Muslimin. Oleh sebab itu dalam
edisi ini kami menurunkan pembahasan tentang permasalahan ini untuk kiranya dapat menjadi
nasehat bagi pembaca yang budiman dalam memahami permasalahan yang sangat genting dan
berbahaya tersebut.

Awal Mula Adanya Pendapat Tentang Bid’ah Hasanah :


Mula pertama adanya istilah bid’ah hasanah itu sesungguhnya dari ijtihad Al Imam Muhammad
bin Idris Asy Syafi’i rahimahullah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imam Abu Nu’aim Al
Asfahani rahimahullah dalam kitab beliau Hilyatul Awliya’ jilid 9 halaman 113 dengan sanadnya dari
Harmalah bin Yahya bahwa dia menceritakan : Aku mendengar Muhammad bin Idris Asy Syafi’ie
menyatakan :
(tulis perkataan beliau dalam Hilyah jilid 9 halaman 113 di alinea terakhir)
“Bid’ah itu ada dua : Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Maka apa saja yang mencocoki As
Sunnah, berarti dia itu adalah bid’ah yang terpuji, dan yang menyelisihi As Sunnah maka ia adalah
bid’ah yang tercela”. Kata Abu Nu’aim : “Beliau berpendapat demikian, karena berhujjah dengan
omongan Umar bin Al Khattab yang mengatakan tentang Qiyam Ramadhan (yakni shalat tarawih) :
“Bid’ah yang baik itu adalah yang seperti ini”.
Disamping omongan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu yang menjadi landasan bagi Asy Syafi’i,
juga omongan Al Imam Al Hasan Al Basri rahimahullah, Imam dari kalangan Tabi’ien yang
menyatakan :
(tulis riwayatnya dalam Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu Anil Ibtida’, Al Imam As Suyuthi, halaman 88)
“Membikin majlis di masjid yang isinya kisah-kisah yang mengandung pelajaran adalah perbuatan
bid’ah, akan tetapi betapa bagusnya bid’ah yang satu ini. Berapa banyak saudara kita yang mendapat
manfaat dari majlis ini. Dan betapa do’a yang dipanjatkan di majlis ini dikabulkan oleh Allah Ta’ala”.
Demikian diriwayatkan oleh Al Imam As Suyuthi dalam kitabnya Al Amru Bi Ittiba’ Wan Nahyu Anil
Ibtida’ halaman 88.
Dengan keterangan yang demikian ini, khususnya yang bermadzhab Asy Syafi’ie, mereka sangat
getol dalam berpendapat bahwa bid’ah itu ada yang dinamakan bid’ah Hasanah dan ada pula yang
dinamakan bid’ah madzmumah.(yakni tercela).
Perkataan Imam Asy Syafi’ie tersebut di atas, sangat berbeda dengan sabda Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa aalihi wasallam tentang bid’ah. Beliau bersabda :
(tulis haditsnya)
“Dan hati-hatilah kalian dari perkara agama Islam yang baru diadakan (yakni perkara agama
yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam atau tidak
pernah dikenal oleh para Shahabat beliau). Karena segala perkara yang baru itu adalah bid’ah
dan seluruh yang dinamakan bid’ah itu adalah sesat dan segenap orang yang sesat dan mati
dalam keadaan tidak taubat dari padanya, maka ia di neraka”. HR Bukhari.
Perbedaannya terletak pada sisi, dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa aalhi wasallam menyatakan
bahwa semua bid’ah itu adalah sesat. Sedangkan Imam Syafi’ie menyatakan bahwa tidak semua
bid’ah itu sesat, tetapi ada yang hasanah (baik) dan ada yang madzmumah (tercela). Maka bila kita
konsisten dengan pengakuan kita bahwa kita bermadzhab Syafi’ie, tentunya kita berpegang dengan
apa yang menjadi prinsip Imam Asy Syafi’ie rahimahullah. Prinsip beliau dalam memahami Islam telah
dinyatakan dalam beberapa penegasan beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Hafidl
Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al Asfahani rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Hilyatul
Awliya’ jilid 9 halaman 106 s/d 107 sebagai berikut :

Halaman 1 dari 5
(tulis pernyataannya)
“Bila telah pasti keshahihan satu hadits bahwa itu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam,
maka akupun berpendapat seperti yang tertera di hadits itu dan aku bermadzhab dengannya dan aku
tetap berpendapat dengannya. Dan bila satu hadits itu tidak aku yakini keshahihannya, akupun tidak
berpegang dengannya dalam berpendapat”.
Juga beliau menyatakan :
(tulis riwayatnya di halaman 106 – 107)
“Setiap aku berpendapat dengan suatu pendapat, dan ternyata pendapatku itu berbeda dengan
riwayat shahih dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam, maka hadits Nabi yang shahih itu
lebih utama untuk kamu ikuti dan jangan kalian bertaqlid (yakni ikut membabi buta –pent) kepadaku”.
Juga beliau menegaskan :
(tulis riwayatnya di halaman 107)
“Apabila engkau dapati ajaran dari Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam, maka ikutilah
ajaran itu dan jangan kalian menoleh kepada pendapat seorangpun”.
Al Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi rahimahullah juga
meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Siar A’lamin Nubala’ jilid 10 hal. 34 pernyataan Al Imam
Asy Syafi’ie rahimahullah sebagai berikut :
Ar Rabi’ bin Sulaiman Al Muradie meriwayatkan : Aku mendengar Asy Syafi’ie menyatakan : “Apabila
kalian mendapati dalam kitabku perkara yang berbeda dari Sunnah Rasulillah shallallahu alaihi wa
aalihi wasallam (yakni ajarannya), maka hendaknya kalian berpendapat sesuai dengan Sunnah itu,
dan tinggalkanlah apa yang aku katakan padanya”.
Maka dengan berbagai riwayat pernyataan Al Imam Asy Syafi’ie tersebut, mestinya bila kita konsisten
dengan madzhab Syafi’ie, kita merujuk kepada sabda Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam
tentang kenyataan bahwa bid’ah itu semuanya sesat. Dan kita meninggalkan pendapat Al Imam Asy
Syafi’ie yang menyatakan bahwa bid’ah itu tidaklah semuanya sesat, akan tetapi ada yang sesat dan
ada yang hasanah (yakni baik). Apalagi Imam Syafi’ie dalam berijtihad sehingga melahirkan pendapat
yang demikian itu berdalil dengan omongan Umar bin Khattab dan bukan berdalil dengan Al Qur’an
dan As Sunnah. Kita meninggalkan pendapat seorang Imam karena pendapatnya tidak mencocoki
Sunnah Nabi, bukanlah berarti kita mecerca atau menghina Imam tersebut. Akan tetapi kita
meninggalkan pendapat beliau dalam satu masalah, adalah karena bimbingan beliau juga dalam
menta’ati Sunnah Nabi. Kita juga menilai pendapat seorang Imam itu tidak mencocoki Sunnah Nabi,
bukan berarti kita menilai bahwa Imam tersebut telah menyimpang dari Sunnah Nabi. Akan tetapi kita
menilai demikian karena kita diajari oleh beliau-beliau para Imam itu, bahwa seorang Imam itu tidaklah
ma’shum (ma’shum itu maknanya ialah terjaga dari kemungkinan lupa dan salah dalam berijtihad
memahami Islam) seperti ma’shumnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa aalhi wasallam. Bahkan
Nabi kita mengajari kita bahwa kekeliruan dalam berijtihad itu sebagai orang yang mengemban ilmu Al
Qur’an dan As Sunnah bukanlah tercela bahkan sebagai amalan yang diberi pahala oleh Allah dengan
satu pahala. Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam bersabda :
(tulis haditsnya)
“Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ijtihadnya benar, maka dia mendapat dua pahala. Dan
apabila dia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya salah, maka dia dapat satu pahala”. HR.

Bagaimana Para Shahabat Nabi Memahami Hadits Tersebut :


Bila ada permasalahan dalam memahami hadits Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam,
maka kita dituntunkan beliau untuk merujuk kepada pemahaman para Shahabat beliau. Bahkan beliau
menerangkan, bahwa jalan keselamatan dari fitnah pertikaian dalam memahami agama Allah itu ialah
dengan merujuk kepada pemahaman para Shahabat Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Hal ini
dinyatakan dalam sabda beliau sebagai berikut :
(tulis haditsnya)
“Sungguh akan datang pada ummatku seperti yang telah datang pada Bani Israil, seperti pasangan
sandang satu dengan lainnya. Sampaipun bila dulunya dari mereka ada yang menzinai ibunya dengan

Halaman 2 dari 5
terang-terangan, niscaya akan ada dari ummatku yang berbuat demikian. Dan sesungguhnya Bani
Israiel telah terpecah dalam tujupuluh dua golongan, sedangkan ummatku akan terpecah menjadi
tujupuluh tiga golongan. Semua mereka akan masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat”.
Para Shahabat bertanya kepada beliau : Siapakah satu golongan yang selamat dari api nerak itu
wahai Rasulallah ? Beliaupun menjawab : “Yaitu golongan yang beragama dengan caraku dan cara
para Shahabatku”. HR. Tirmidzi dalam Suanannya, Kitabul Iman Bab Ma Jaa’a Fif Tiraqi Hadzihil
Ummah, hadits ke 2641 dari Abdullah bin ‘Amer.
Demikianlah penegasan Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam bahwa yang selamat dalam
kondisi perpecahan ummat Islam, adalah yang merujukkan pemahaman agamanya kepada
Rasulullah dan para Shahabatnya. Dengan demikian, adalah perkara yang sangat penting untuk
merujuk kepada pemahaman para Shahabat Nabi shallallahu alaihi wa aalhi wasallam dalam mencari
kepastian tentang pengertian satu hadits. Inilah dasar pemikiran yang paling aman dalam mencari
kepastian tentang pengertian satu hadits. Maka dalam memahami apa sesungguhnya pengertian
hadits tentang bid’ah itu sebagai kesesatan seluruhnya, mari kita merujuk kepada penjelasan para
Shahabat.
1. Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqfi bertanya kepada Abdullah bin Ukaim : Bagaimana Umar bin Khattab
menyatakan ? Dijawab oleh Abdullah bi Ukaim : Umar menyatakan : “Sesungguhnya omongan yang
paling benar, adalah omongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya sebaik-baik petunjuk, adalah petunjuk
dari Muhammad dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam perkara agama. Dan
semua yang baru dalam perkara agama adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu adalah sesat”. Riwayat
Al Imam Al Lalikai dalam Syarah I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah riwayat ke 100.
2. Abdullah bin Umar bin Al Khattab rahiyallahu anhuma menegaskan : “Semua bid’ah itu adalah
sesat, walaupun banyak orang memandangnya sebaik hal yang baik”. Riwayat Al Lalikai dalam
Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah riwayat 126
3. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan : “Ikutilah Sunnah Nabi dan jangan kamu
membikin bid’ah. Karena sesungguhnya kalian telah dicukupi dengan Sunnah Nabi dan semua bid’ah
itu adalah sesat”. Riwayat Al Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah riwayat ke 104.
Pemahaman para Shahabat Nabi tersebut karena adanya hadits lain yang meriwayatkan sabda Nabi
shallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang berbunyi :
(tulis haditsnya di Shahih Bukhari hadits ke 2697 dan Shahih Muslim hadits ke 1718)
“Barangsiapa yang membikin sesuatu yang baru dalam agama kami ini, padahal ia bukan bagian dari
agama ini, maka sesuatu yang baru itu adalah sesuatu yang tertolak”. HR. Bukhari dan Muslim dalam
shahih keduanya dari A’isyah radhiyallahu anha.
Jadi disamping dinilai sebagai sesuatu yang sesat, maka sesuatu yang baru itu juga dinilai sebagai
sesuatu yang tidak diterima oleh Allah amalannya. Maka para Shahabat nabi yang tentunya lebih
paham tentang pengertian sabda Nabi, mereka memahami hadits Nabi tersebut sesuai dengan apa
yang tersurat dalam lafadlnya. Yaitu semua yang baru dalam perkara agama itu adalah bid’ah, dan
semua bid’ah itu adalah sesat.

Mendudukkan Omongan Umar bin Al Khattab Tentang Bid’ah :


Dalam menilai ijtihad para Imam itu, ialah dengan memahami dalil yang dipakai sebagai
landasan pengertian tentang bid’ah itu. Dalam hal ini ialah dalil yang dipakai oleh Imam Asy Syafi’ie
untuk menyatakan bahwa bid’ah itu ada yang sayyi’ah dan ada yang hasanah. Dan sebagaimana
diketahui, bahwa dalil beliau dalam hal ini ialah omongan Umar bin Al Khattab yang bunyi riwayatnya
demikian :
(tulis riwayatnya di Fathul Bari jilid 4 halaman halaman 250 riwayat ke 2010)
“Dari Abdurrahman bin Abdul Qari menceritakan : Aku pernah keluar rumah bersama Umar bin Al
Khattab radhiyallahu anhu di malam Ramadhan menuju masjid. Ternyata didapati padanya kaum
Muslimin sedang shalat terpisah-pisah di masjid masing-masing shalat tarawih sendiri-sendiri . Dan
ada pula yang shalat diikuti oleh sekelompok orang. Maka ketika melihat pemandangan demikian,
berkata Umar : Aku berpandangan seandainya mereka disatukan dengan satu imam, niscaya yang

Halaman 3 dari 5
demikian itu lebih bagus. Kemudian beliau bertekat menjalankan pandangannya itu dengan disatukan
dalam satu jama’ah shalat tarawih dengan imam yang beliau pilih, yaitu Ubai bin Ka’ab. Kemudian aku
di malam lain keluar lagi bersama Umar ke masjid dan kaum Muslimin sedang shalat tarawih dengan
satu jama’ah dan satu imam. Maka Umarpun menyatakan : Sebaik-baik bid’ah itu adalah yang
demikian”. HR. Al Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Shalatit Tarawih Bab Fadhlu Man Qaama
Ramadhaan, hadits ke 2010.
Dalam menjelaskan riwayat ini, Al Imam IbnuTaimiyah rahimahullah menyatakan :
“Adapun omongan Umar radhiyallahu anhu : Sebaik-baik bid’ah itu adalah ini”, maka mayoritas orang-
orang yang berhujjah dengannya, bila kita hendak menetapkan suatu hukum dengan omongan Umar
yang omongannya tidak mengandung unsur menyelisihi Sunnah Nabi, niscaya mereka akan
mengatakan : Omongan Shahabat bukanlah hujjah (yakni dalil agama). Tetapi mengapa sekarang
omongan Umar justru menjadi hujjah bagi mereka dalam perkara yang menyelisihi omongan
Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Bahkan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa
omongan Shahabat itu adalah hujjah, maka dia tidaka akan meyakininya sebagai hujjah bila ternyata
omongan itu menyelisihi Hadits Nabi. Maka baik yang berpendapat bahwa omongan Shahabat itu
hujjah, ataukah yang berpendapat bahwa omongan Shahabat itu bukan hujjah, mereka yang
berpendapat dengan kedua pendapat inipun meyakini bahwa tidak boleh mempertentangkan hadits
Nabi dengan omongan seorang Shahabat. Memang benar, boleh menjadikan omongan Shahabat itu
sebagai takhsis (yakni memberi batasan ma’na yang umum menjadi khusus –pent) terhadap makna
yang umum pada hadits Nabi, tetapi hanyalah omongan Shahabat yang tidak menyelisihi hadis Nabi ”.
Demikian Al Imam Ibnu Taimiyah menerangkan dalam kitab beliau Iqtidla’ Shirathal Mustaqim jilid 2
hal. 592. Kemudian beliau menambahkan keterangannya sebagai berikut :
“Kemudian kita mengatakan : Penamaan Umar terhadap perbuatan Shalat Tarawih dengan satu imam
itu sebagai bid’ah hasanah, adalah bid’ah dalam arti bahasa dan bukan bid’ah dalam pengertian
Syari’ah. Dimana pengertian bid’ah secara bahasa ialah segala perbuatan yang baru dilakukan
dengan tidak ada yang menduhuluinya. Sedangkan bid’ah dalam pengertian Syari’ah ialah semua
perkara agama yang tidak dalillnya dari dalil-dalil Syar’ie”. Jilid 2 hal. 593.
Selanjutnya beliau menambahkan :
“Kalau begitu, maka kita dapati kenyataan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan para
Shahabatnya telah pernah menunaikan shalat qiyam Ramadhan (yakni Tarawih -pent) baik dalam
berjama’ah maupun sendiri-sendiri. Ketika mereka shalat Tarawih berjamaah di belakang Nabi
shallallahu alai wa aalihi wasallam sejak hari pertama Ramadhan sampai hari ketiga atau hari
keempat, Beliaupun akhirnya tidak keluar ke masjid ketika mereka sudah berkumpul untuk
melaksanakan shalat Tarawih. Beliau mengemukakan alasannya mengapa tidak keluar ke masjid :
(tulis haditsnya di Fathul Bari jilid 13 halaman 264 hadits ke 7290)
“Sesungguhnya aku mengerti bahwa kalian berkumpul di masjid. Akan tetapi aku takut diwajibkannya
shalat tarawih itu atas kalian. Dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian tidak akan mampu
menunaikannya. Oleh karena itu, silakan kalian shalat di rumah-rumah kalian. Karena seutama-utama
shalatnya seorang pria itu adalah di rumahnya, kecuali shalat yang wajib”.
Maka Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam mengemukakan alasan mengapa beliau tidak keluar
ke masjid untuk memimpin shalat Tarawih, adalah karena takut untuk diwajibkannya shalat Tarawih
tersebut. Maka diketahuilah dengan demikian bahwa beliau tetap ingin keluar ke masjid. Dan beliau
seandainya tidak karena takut diwajibkannya Tarawih itu, niscaya beliau akan keluar ke masjid. Maka
ketika di masa pemerintahan Umar radhiyallahu anhu, beliau menyatukan mereka dengan satu imam.
Dan masjidpun di malam Ramadhan, diberi lampu. Maka jadilah model pengamalan semacam ini,
yaitu berkumpulnya mereka di masjid untuk melaksanakan shalat Tarawih dengan dipimpin oleh satu
imam dan diteranginya masjid, sebagai amalan yang tidak pernah mereka kerjakan sebelumnya.
Sehingga dinamakanlah amalan tersebut sebagai bid’ah. Karena secara bahasa memang demikian
maknanya. Tetapi tidaklah istilah bid’ah yang dipakai dalam perkara ini adalah bid’ah dalam
pengertian Syari’ah. Karena Sunnah Nabi telah mengkatagorikannya (yakni shalat Tarawih dengan
berjama’ah itu –pent) sebagai amalan shaleh, seandainya tidak dikuatirkan untuk diwajibkannya

Halaman 4 dari 5
amalan itu. Dan kekuatiran untuk diwajibkannya amalan shaleh ini telah hilang dengan telah wafatnya
Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam, sehingga penghalang untuk dilaksanakannya amalan
shaleh ini telah hilang”. Demikian Syeikhul Islam Al Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan
dalam Iqtidha’ Shirathal Mustaqim jilid 2 halaman 594.
Cukuplah dengan keterangan ini untuk sebagai kejelasan, bahwa kata bid’ah hasanah yang dipakai
oleh Umar bin Al Khattab itu dalam menilai shalat Tarawih berjama’ah di masjid, bukanlah bid’ah
dalam pengertian syar’ie. Tetapi adalah pengertian semantik (secara bahasa). Karena amalan shalat
Tarawih berjama’ah di masjid itu telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para
Shahabat beliau di masjid beliau. Jadi shalat Tarawih berjama’ah itu tidaklah dikatakan bid’ah secara
syar’ie, bahkan dikatakan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Karena bid’ah dalam
pengertian syar’ie telah dikatakan dhalalah (sesat) semuanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa
aalihi wasallam. Jadi dalam pengertian ini telah dinafikan adanya bid’ah hasanah. Sehingga dengan
demikian, omongan Umar yang menilai shalat Tarawih berjama’ah di masjid itu tidaklah bertentangan
dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang menafikan adanya bid’ah hasanah.
Karena omongan Umar itu adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, sedangkan sabda Nabi shallallahu
alaihi wa aalihi wasallam itu adalah keterengan beliau tentang bid’ah dalam pengertian syar’ie. Umar
menyatakan bahwa shalat Tarawih berjama’ah sebagai “sebaik-baik bid’ah” dalam keadaan mengerti
bahwa amalan tersebut telah penah dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Jadi
tidak mungkin Umar maksudkan dengan pernyataannya itu adalah bid’ah dalam pengertian syar’ie.
Sebab dalam pengertian syar’ie, amalan yang telah dicontohkan oleh nabi shallallahu alaihi wa aalihi
wa sallam itu tidaklah dinamakan bid’ah. Dan lagi Umar juga telah mengerti tentang sabda Nabi
shallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang menegaskan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan
tertolak. Maka dengan demikian mustahil Umar mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan ilmu
yang ada pada dirinya. Dengan cara demikian pula kita memahami perkataan Al Hasan Al Bashri
dalam menilai majlis yang khusus untuk dibawakan padanya berbagai cerita-cerita yang mengandung
nasehat dan pelajaran bagi pendengarnya. Majlis yang demikian ini dikatakan oleh beliau sebagai
“bid’ah yang baik”.
Maka kalau perkataan Umar dan Al Hasan Al Basri tersebut tidak diartikan demikian, maka perkataan
itu berarti menyelisihi sabda Nabi shallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dan semua perkataan yang
menyelisihi sabda Nabi, haruslah kita membuang perkataan yang selain beliau itu.

P E N U T U P :
Demikianlah mestinya dalam bersikap terhadap pendapat para Imam yang mulya. Kita dilarang
mengikuti siapapun dalam menjalankan agama ini, tanpa mengerti dalilnya. Dan dalil yang diterima
dalam keterangan agama Allah ini, hanyalah Al Qur’an dan Al Hadits saja. Perkataan atau pendapat
dan ijtihad siapapun yang menyelisi dalil, haruslah ditinggalkan dalam rangka keta’atan kita kepada
Allah dan RasulNya. Wallahu a’lamu bis shawab.

Halaman 5 dari 5

Anda mungkin juga menyukai