Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM


“TAHLILAN”

Disusun Oleh :

Wahyu kenzo putra


Nim : 2014010004
UIN IMAM BONJOL PADANG
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena

berkat karuniaNya lah kami telah dapat menyelesaikan Makalah ini berdasarkan hasil analisis

yang kami lakukan dari berbagai sumber bacaan dan Penelitian lainnya.

Makalah ini berjudul “TAHLILAN” Dengan terselesainya penulisan makalah ini, kami

mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen Yang telah banyak memberikan masukan

kepada kami sehingga terselesainya Makalah ini. Serta kepada Orang tua dan teman-teman

yang telah banyak membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

menyelesaikan Makalah ini.

Penulis menyadari keterbatasan ilmu, Penelitian dan pengalaman dalam membuat

Makalah ini, oleh karena itu, Masukkan berupa saran dan kritikan yang berguna sangat kami

harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini dan semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi

kami sendiri dan juga para pembaca.

Desember, 2021

Penulis
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk yang

lain. Hal ini dikarenakan Allah memberikan akal kepada manusia, dengan akal tersebut

manusia dituntut untuk memikirkansegala sesuatu, baik yang berkaitan dengan agama,

sesuatu, hablum minannas maupun hablum minallah.

Setiap yang bernyawa akan mengalami ajal atau kematian, ajal manusia sudah

menjadi ketentuan, bila sudah waktunya meninggal dunia,maka kita harus bersikap sabar atas

keluarga yang meninggal tersebut.Ketahuilah bahwa mayit disiksa karena ratapan

keluarganya. Dan bila seseorang sampai meneteskan air mata, bila keluarganya meninggal

dunia,maka hal tersebut sudah biasa sebagai rasa duka, yang penting tidak sampai menangis

ketrelaluan.

Bila sudah satu dari keluarga (famili) kita meninggal, maka kita harus tetap bertaqwa

kepada-Nya dan bersikap sabar atas musibah tersebut dan kita berusaha jangan sampai

berputus asa, menggerutu dan bahkan sampai marah-marah, karena semua itu kejadian yang

pasti dan bila sudah waktunya maka tak seorangpun bisa mengelaknya.

Maka atas dasar tersebut di atas, kita dalam menghadapi orang dan keluarga atau

teman yang meninggal janganlah bersikap kurang baik melainkan kita harus mendo’akan baik

secara perorangan ataupun secara bersama-sama.

Tahlilan merupakan tradisi yang dilakukan sebagian umat muslim khususnya di

Indonesia,akan tetapi banyak masyarakat awam yg belum tahu mengenai apa sebenarnya

makna tahlilan itu sendiri. Menurut sebagian umat islam di Indonesia tahlilan merupakan
konsep ibadah bahwa pahala dari bacaan mereka akan sampai kepada si mayat yg akan

mendapat pahala atau logikanya seperti ini kita yang beramal,orang lain (si mayat) yang

mendapat pahala. Padahal,dengan jelas rasullulah menegaskan jika manusia meninggal akan

terputus amalannya kecuali 3 hal yaitu sedekah jariyah,ilmu yang bermanfaat dan anak yang

sholeh yang mendoakannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa dari Pengertian tahlilan ?

2. Bagai manakah Sejarah munculnya tahlilan ?

3. Apa saja Dalil yg membolehkan tahlilan ?

4. Apa saja Dalil yg melarang tahlilan ?

5. Fungsi dan manfaat acara tahlilan bagi masyarakat ?

6. Magaimanakah Pandangan islam mengenai tahlilan ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Apa dari Pengertian tahlilan

2. Untuk mengetahui Bagai manakah Sejarah munculnya tahlilan

3. Untuk mengetahui Apa saja Dalil yg membolehkan tahlilan

4. Untuk mengetahui Apa saja Dalil yg melarang tahlilan

5. Untuk mengetahui Fungsi dan manfaat acara tahlilan bagi masyarakat 6.

Untuk mengetahui Bagaimanakah Pandangan islam mengenai tahlilan


BAB II
PEMBAHASAN

1.

Pengertian Tahlilan

Secara bahasa tahlilan berakar dari kata hallala ( ) yuhallilu ( ) tahlilan ( )

artinya adalah membaca “Laila illallah.” Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah

tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan

harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia. Biasanya tahlilan

dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan

pada hari ke 1000 nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam

jum’at dan malam-malam tertentu lainnya. Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan

untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh dan pahalanya bisa sampai

kepada mayit tersebut.

Sudut pandang lain melihat bahwa kegiatan yang sama merupakan “acara
kumpulkumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit
agar dirahmati oleh Allah,” karena memang penyelenggara memberikan makanan
hidangan dan untuk dibawa pulang.
2. Sejarah Tahlilan

Upacara tahlilan ditengarai merupakan praktik pada abad-abad transisi yang


dilakukan oleh masyarakat yang baru memeluk Islam, tetapi tidak dapat meninggalkan
kebiasaan mereka yang lama. Berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit bukan hanya
terjadi pada masyarakat pra-Islam di Indonesia saja, tetapi di berbagai belahan dunia,
termasuk di jazirah Arab. Oleh para dai (yang dikenal Wali Songo) pada waktu itu ritual
yang lama diubah menjadi ritual yang bernafaskan Islam. Di Indonesia tahlilan masih
membudaya sehingga istilah "tahlilan" dikonotasikan dengan memperingati dan mendoakan

orang yang sudah meninggal.

Tahlilan dilakukan bukan sekadar kumpul-kumpul karena kebiasaan zaman dulu.

Generasi sekarang tidak lagi merasa perlu dan sempat untuk melakukan kegiatan sekadar

kumpul-kumpul seperti itu. Tahlilan yang masih diselenggarakan sampai sekarang itu

karena setiap anak menginginkan orang tuanya yang meninggal masuk surga.

Sebagaimana diketahui oleh semua kaum muslim, bahwa anak saleh yang berdoa untuk

orang tuanya adalah impian semua orang. Oleh karena itu, setiap orang tua

menginginkan anaknya menjadi orang yang saleh dan mendoakan mereka. Dari sinilah,

keluarga mendoakan mayit dan beberapa keluarga merasa lebih senang jika mendoakan

orang tua mereka yang meninggal dilakukan oleh lebih banyak orang (berjamaah).

Diundanglah orang-orang untuk itu.

Menyuguhkan sedekah sekadar suguhan kecil bukanlah hal yang aneh, apalagi tabu,
apalagi haram. Suguhan (sedekah) itu hanya berhak untuk orang miskin, yatim
piatu ,orang cacat, orang yang kesulitan. Berkaitan dengan menghargai tamu yang
mereka undang sendiri dan orang yang berhak mendapat sedekah, yaitu fakir miskin,
orang cacat, anak yatim, orang lanjut usia. Maka, jika ada anak yang tidak ingin atau
tidak senang mendoakan orang tuanya, maka dia (atau keluarganya) tidak akan
melakukannya, dan itu tidak berakibat hukum syareat. Tidak makruh, tapi haram. Anak
seperti ini pasti juga orang yang yang tidak ingin didoakan jika dia telah mati kelak.
3. Dalil Tentang Boleh Melakukan Tahlilan

Tradisi tahlilan dilakukan masyarakat Muslim sampai tujuh hari, empat puluh hari sampai
100 hari yang masih menimbulkan kontroversi. Ustadz Isnan Ansory, Lc dalam

bukunya "Pro Kontra Tahlilan dan Kenduri Kematian" mengatakan, kegiatan tahlilan

seringkali menjadi sebab perdebatan yang tidak produktif.

Di satu sisi, pihak pengamalnya, menganggap remeh orang yang tidak melakukan

tradisi ini. Namun pihak lain, menganggap tradisi ini sebagai kemungkaran yang mesti

diberantas. "Bahkan perdebatan ini sampai pada tuduhan sebagai perbuatan bidah dan

syirik," katanya. Bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa makanan yang disediakan

dalam tradisi ini layaknya sesajen yang dipersembahkan kepada arwah-arwah.

Isnan menyampaikan, bahwa tradisi tahlilan, pada hakikatnya merupakan bagian

dari bidah idhofiyyah, yang melahirkan pro dan kontra dalam keabsahannya. Namun

bagi yang mengamalkannya mereka memiliki dalil atau argumentasi bahwa tradisi ini

dihukumi boleh. Misalnya agumentasi tahlilan tujuh hari berturut-turut pasca wafatnya

almarhum berargumentasi, bahwa tradisi penetapan hari ini memiliki landasan kepada

syariat Islam.

"Dan dalam hal ini, perlu dicatat bahwa yang menjadi sorotan bukan pada aspek

ibadah-ibadah muthlak yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun pada penetapan

waktunya," katanya. Di antara dasar mereka adalah:

Pertama, tangisan makhluk hidup atas wafatnya Nabi Adam AS selama tujuh hari.

Imam Ibnu ‘Asakir (w. 571 H) dalam kitabnya,Tarikh Dimasyq, menceritakan riwayat
tentang tangisan seluruh makhluk selama tujuh hari, atas wafatnya Nabi Adam as dalam

pembahasan biografi Nabi Adam AS.

‫عطاء عن‬ ‫ا‬ ‫ق ال‬: ‫ب كت‬ ‫ح تى دم ع ى‬ ‫ام بعة‬

Dari ‘Atha’ al-Khurasani, ia berkata, “Seluruh makhluk menangis selama tujuh hari

karena Adam AS, ketika dia wafat.


Kedua, riwayat dari Tabiin yang bernama Thawus bin Kaisan, yang mengatakan

bahwa ahli kubur menghadapi serangkaian fitnah kubur selama tujuh hari. Hal ini

sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w 430 H) dengan

sanadnya kepada Thawus. Di mana Thawus sempat bertemu dengan 50 sahabat Nabi

SAW semasa hidupnya.

Thawus berkata, “Sesungguhnya ahli kubur banyak menerima fitnah (ujian) di

dalam kuburnya selama tujuh hari. Maka mereka (para sahabat Nabi SAW), suka

menyediakan makanan bagi jenazah (untuk disedekahkan) pada hari-hari tersebut. “

Riwayat ini diperkuat pula oleh riwayat lainnya yang bersumber dari Ubaid bin Umair

seseorang yang diperselisihkan statusnya antara shahabat atau tabi’in, Sebagaimana

disebutkan Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w 795 H) dalam kitabnya, Ahwal al-Qubur wa

Ahwal Ahliha ila an-Nusyur.

‫ب ن ع ب د وعن‬ ‫ق ال ع‬: ‫ؤمن‬ ‫ف نت‬ ‫و ناف بعا‬

‫ص باحا ب ع ن‬

Dari Ubaid bin Umair, ia berkata: “Seorang mukmin akan diuji (dalam kubur)

selama tujuh hari, dan orang munafik selama 40 hari.”

Imam as-Suyuthi (w. 911 H) juga menjelaskan bahwa, riwayat Thawus di atas

mencakup dua hukum; hukum akidah dan hukum fiqih.

Hadits ini kata Ustadz Isnan mencakup dua urusan: pertama: masalah akidah, yaitu

diujikan ahli kubur selama tujuh hari. Dan kedua: masalah hukum far’iy (fiqih), yaitu

dianjurkannya melakukan sedekah dan pemberian makan atas nama mereka selama tujuh

hari tersebut.
4. Dalil Tentang Melarang Melakukan Tahlilan

Tahlilan (Selamatan Kematian) Adalah Bid’ah Munkar Dengan Ijma Para Shahabat

Dan Seluruh Ulama Islam tahlilan (selamatan kematian ) adalah bid’ah munkar dengan

ijma’ para shahabat dan seluruh ulama islam Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir

Abdat

‫عب‬ ‫ب‬ ‫قال‬:‫نا‬ )‫ة و فى‬ ‫ و‬:‫نا‬ ‫ت ا ( عد‬


‫بن عن‬ ‫د‬

‫ت‬ ‫ب ع د ) ط عا م و ص ن ع ة‬ ‫ن ا ح ة م ن ( د فن‬
‫ى‬

“Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : ” Kami (yakni para shahabat

semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat)

bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah

ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap”

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini

adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua

bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi

Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas.

Saya berkata: Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat

dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim. Dan hadits atau atsar ini telah dishahihkan

oleh jama’ah para Ulama yakni para Ulama Islam telah ijma/sepakat tentang hadits atau

atsar di atas dalam beberapa hal.


• Pertama: Mereka ijma’ atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun

Ulama -sepanjang yang diketahui penulis- wallahu a’lam yang mendloifkan hadits ini.

Dan ini disebabkan seluruh rawi yang ada di sanad hadits ini –sebagaimana saya

katakan dimuka- tsiqoh dan termasuk rawi-rawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan

Muslim.

• Kedua: Mereka ijma’ dalam menerima hadits atau atsar dari ijma’ para shahabat yang

diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorangpun Ulama yang menolak

atsar ini. Yang saya maksud dengan penerimaan (qobul) para Ulama ini ialah mereka

menetapkan adanya ijma’ para shahabat dalam masalah ini dan tidak ada seorangpun di

antara mereka yang menyalahinya.

• Ketiga: Mereka ijma’ dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman

shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa

yang telah di ijma’kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau

rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama ” Selamatan

Kematian atau Tahlilan”.

LUGHOTUL HADITS

• ‫نا‬ ‫عد‬ /‫نا‬ = Kami memandang/menganggap. Maknanya : Menurut madzhab

kami para shahabat semuanya bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan

membuatkan makanan termasuk dari bagian meratap. Ini menunjukkan telah terjadi

ijma’/kesepakatan para shahabat dalam masalah ini. Sedangkan ijma’ para shahabat

menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah dengan

kesepakatan para Ulama Islam seluruhnya.


• ‫ت‬ ‫ط عا م و ص ن عة‬ ‫ت ا‬ ‫ى‬ = Berkumpul-kumpul di tempat atau di
rumah ahli
mayit dan membuatkan makanan yang kemudian mereka makan bersama-sama
• ‫ د ف ن ب ع د‬i = Sesudah mayit itu ditanam/dikubur. Lafadz ini adalah tambahan dari

riwayat Imam Ahmad. Keterangan di atas tidak menunjukkan bolehnya makan-makan

di rumah ahli mayit “sebelum dikubur”!?. Akan tetapi yang dimaksud ialah ingin

menjelaskan kebiasaan yang terjadi mereka makan-makan di rumah ahli mayit

sesudah mayit itu dikubur.

• ‫ن اح ة من‬ = Termasuk dari meratapi mayit Ini menunjukkan bahwa berkumpul-

kumpul di tempat ahli mayit atau yang kita kenal di sini dengan nama “selamatan

kematian/tahlilan” adalah hukumnya haram berdasarkan madzhab dan ijma’ para

sahabat karena mereka telah memasukkan ke dalam bagian meratap sedangkan

merapat adalah dosa besar.

SYARAH HADITS

Hadits ini atau atsar di atas memberikan hukum dan pelajaran yang tinggi kepada kita

bahwa: Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ (ini yang biasa

terjadi) termasuk bid’ah munkar (haram hukumnya). Dan akan bertambah lagi bid’ahnya

apabila di situ diadakan upacara yang biasa kita kenal di sini dengan nama “selamatan

kematian/tahlilan pada hari pertama dan seterusnya”. Hukum diatas berdasarkan ijma’

para shahabat yang telah memasukkan perbuatan tersebut kedalam bagian meratap.

Sedangkan meratapi mayit hukumnya haram (dosa) bahkan dosa besar dan termasuk salah

satu adat jahiliyyah.

Fatwa para ulama islam dan ijma’ mereka dalam masalah ini Apabil para shahabat telah ijma’

tentang sesuatu masalah seperti masalah yang sedang kita bahas ini, maka para tabi’in dan
tabi’ut-tabi’in dan termasuk di dalamnya Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy

dan Ahmad) dan seluruh Ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijma’nya para

sahabat yaitu berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ adalah haram

dan termasuk dari adat/kebiasaan jahiliyyah.

5. Fungsi dan Manfaat Tahlilan

Diantara manfaat dan hikmah tahlilan itu adalah:

• Pertama, melatih dan membiasakan kita untuk membaca kalimah ţayyibah, seperti:

lailaha Illallah, Subhanallah, astaghfirullah dll. Bahkan jika sampai akhir hayat,

(meninggal dunia) kita bisa membaca kalimah tahlil, maka akan dijamin oleh Allah

masuk surga. Sebagaimana sabda Nabi: Man qala lailaha illa Allah fi akhiri kalamihi

dakhala al-jannah. Kita sangat khawatir, jika pada hari akhir hayat kita tidak mampu

mengucapkan kalimah ţayyibah, baik dalam hati maupun lisan, maka celakalah kita.

• Tidak mudah memang untuk dapat mengucapkan kalimah tayyibah menjelang

kematian seseorang, karena pada saat itu godaan syetan luar biasa dengan menjelma

menjadi sosok yang menjadi kesenangan kita saat kita masih hidup sehat (na’uzu

billah min zalik). Maka talqin (menuntun atau membimbing bacaan kalimah tayyibah)

ini amat penting bagi umat Islam. Siapa pun akan takut dengan kondisi sakarat almaut

ini. Dan inilah detik-detik yang paling menentukan, apakah kita husnul khatimah atau

tidak. Jangan sampai kita menjelang wafat mengucapkan kalimah sayyi’ah. (Ya Rabbi

amitni ala din al-Islam wa akhtim li bi husn alkhatimah…).

• Kedua, memelihara dan menjalin hubungan silaturrahim, menyambung hubungan

kekerabatan dan persaudaraan antarumat Islam (ukhuwwah Islamiyyah). Silatuirrahim

ini perlu, sebab sebagaimana Nabi kita menegaskan: Barang siapa beriman kepada

Allah, hendaknya orang itu menjalin hubungan silaturrahim. Bahkan dikatakan oleh
Nabi: Barang siapa yang menjalin hubungan baik (silaturrahim), maka Allah akan
memanjangkan umurnya, dan melapangkan rizkinya. (Man ahabba an yubsaţa lahu fi

rizkihi wa an yunsaa lahu fi atharihi fa al-yaşil rahimahu). Satu contoh kecil, orang

yang sakit berkepanjangan dan tidak sembuh-sembuh, kemudian berkat silaturrahim

ia menemukan obatnya, melalui saran dan petunjuk dari saudara atau temannnya tadi.

Dalam tradisi tahlil kita berjama’ah mengundang tetangga kerabat dan teman sejawat.

Inilah berkat berjama’ah dan silaturrahim.

Ketiga, berbakti kepada orang tua, kerabat kita dan berbuat baik kepada sesama
saudara. Karena dalam tahlil kita mendoakan kepada orang tua kita, keluarga kita dan
saudara-saudara kita, baik yang sudah meninggal maupun yang belum. Seperti doadoa
yang sering kita baca selama ini. Sebagai anak kita wajib berbakti kepada orang tua,
dan berbakti itu tidak saja sewaktu masih hidup tetapi juga ketika sudah meninggal.
Tahlil atau tahlilan (jangan salah paham, keduanya bahasa Arab berbentuk masdar)
merupakan salah satu bukti bakti kita kepada orang tua sepanjang masa. Itulah maka,
ditegaskan oleh Rasulullah Saw., bahwa semua manusia yang sudah mati akan
terputus semua amalnya kecuali tiga hal: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan
anak salih yang mendoakannya (doa anaknya). Bagaimana dengan doa saudara,
handaitolan , kerabat, tetangga dan orang lain? Apakah doanya kesampaian? Memang
di luar anak salih ini ada ikhtilaf. Tetapi lepas dari soal nyampai atau tidaknya doa itu,
tahlil atau kirim doa ini besar manfaatnya. Jika toh tidak nyampai, maka akan kembali
kepada diri orang itu sendiri (diterima doa itu tetapi tidak untuk si mayit, misalnya).
Kemudian, tahlil ini juga bagian dari pembiasaan diri untuk mengucapkan kalimah
tayyibah, doa, zikir, salawat dan qira’at al-Qur’an.
 Keempat, bersedekah. Di samping bertahlil kita juga menjamu hidangan (sesuai kemampuan)
kepada para jama’ah. Seperti kita tahu, bahwa sedekah (şadaqah) itu

dapat menolak balak atau bencana dan dicintai orang lain. Dan harta yang kita

sedekahkan kepada orang lain dan ke jalan Allah itu tidak akan habis, namun justru

menjadi investasi di akhirat kelak.

• Kelima, beribadah dan mencari ridha Allah SWT. Karena tahlil atau tahlilan ini niat kita untuk

beribadah, mencari ilmu dan mencari rida Allah SWT. Bukan karena orang lain atau siapa-siapa,

melainkan hanya semata karena Allah SWT.

6. Pandangan Islam Tentang Tahlilan

Di berbagai daerah di Indonesia, kalangan muslim sering

menggelar Tahlilan, Yasinan, ulang tahun, haul atau selamatan dan ritual lainnya.

Kegiatan ini pun menjadi tradisi bagi sebagian besar masyarakat muslim di Tanah Air.

Bagaimana pandangan Islam terhadap hal ini? Menurut Ustaz Farid Nu'man Hasan, Dai

lulusan Sastra Arab,para ulama fiqh mengatakan bahwa dalam Ushul Fiqih, ada istilah

Al-'Urf (tradisi), yaitu kebiasaan yang terjadi di sebuah daerah. Al-'Urf ini terbagi 2

macam yaitu:

1. Al-'Urf Ash-Shahih, tradisi yang baik lagi benar. Yaitu tradisi yang tidak berasal

dari Al-Qur'an dan

As-Sunnah, tetapi isinya tidak bertentangan dengan Islam baik umum dan khususnya.

Maka, tradisi ini tidak terlarang. Bahkan tradisi jenis ini adalah setara dengan dalil,

seperti yang dikatakan para ulama Syafi'iyah (Mazhab Syafi'i) dan Hanafiyah

(Mazhab Hanafi):

‫ثاب ت ب ا نص‬ ‫ثاب ت ب ا ع ا‬


"Ketetapan hukum karena tradisi itu sama seperti ketetapan hukum dengan nash/dalil."

(Syekh Muhammad 'Amim Al Mujadidiy At Turkiy, Qawa'id Al

Fiqhiyah, No. 101)


Syekh Abu Zuhrah rahimahullah mengatakan, bahwa para ulama yang

menetapkan 'Urf sebagai dalil, itu mensyaratkan sekiranya jika tidak ditemukan dalil

dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan itu pun tidak bertentangan dengannya. Tapi, jika

bertentangan maka 'Urf tersebut mardud (tertolak), seperti minum khamr dan makan

riba. (Ushul Fiqih, Hal. 418)

Ada pun tradisi yang masih debatable fiqihnya, baik Yasinan, Tahlilan, Ushalli,

Nawaitu, dan semisal itu, maka itu bukan zona "kemungkaran". Kemungkaran

hanyalah pada perkara yang disepakati munkar dan haramnya.

Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah memberikan nasihat:

‫غ هف ن‬ ‫و ت‬ ‫ذي ق د خ ت ف ف‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫إذ‬

"Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal

engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya." (Imam Abu

Nu'aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)

Imam Ibnu Daqiq al 'Id rahimahullah juga menasihati kita:

‫ ن‬:‫ت ف ف ف إ ك{ا ف ألن ع ى ح{د ذ ب ن‬ ‫ما‬ ‫عع‬ ‫و ع اء إ ا ن ك ون ما‬

‫ص ب و حد و‬ ‫ ن‬: ‫ذ ب آلخ‬ ‫ وع ى‬.‫ح ق ق ن‬ ‫تا ع ند ث من‬ ‫متدمصبو‬

‫طئ غ م تع ن ن{{ا و إلث م م ض ح س{{ن م ن{{دوب إ ى ف ع ع ن كن ع ى ة ن ص ح{{ة‬

‫ف‬ ‫وج من‬

‫بف‬

"Para ulama hanyalah mengingkari apa-apa yang telah ijma' (kemungkarannya).

Sedangkan perkara yang masih diperselisihkan tidak boleh ada pengingkaran dalam

hal itu. Sebab, bagi seseorang ada dua madzhab yang berlaku:
Pertama, seluruh Mujtahid itu benar. Inilah yang dipilih oleh banyak muhaqqiq

(peneliti). Kedua, yang benar hanya satu yang lainnya salah, namun tidak tentu yang

mana, dan dosa tidak berlaku. Tapi dia dinasihati agar keluar dari perselisihan. Ini

adalah hal yang bagus dan diajurkan melakukannya dengan lembut. (Imam Ibnu

Daqiq al 'Id, Syarah al Arbain an Nawawiyah, Hal. 112 - 113)

2. Al 'Urf Al Fasad,

Tradisi yang rusak. Yaitu tradisi yang tidak berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah, dan isinya

pun bertentangan dengan Islam. Maka ini semua tertolak dan tidak boleh dilestarikan.

Misalnya, kebiasaan lempar sesajen ke laut, atau sesajen lainnya. Tradisi corat-coret seragam

pelajar setalah ujian dan tradisi jelek lainnya. Tradisi semacam ini jelas terlarang, dan tidak

dibenarkan mengikutinya. Justru dianjurkan menghilangkannya dengan cara yang efektif dan

tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar.

Hakikat Tahlil Berdasarkan Pendapat Ulama Muhammadiyah

Para ulama Muhammadiyah menganggap bahwa tahlilan yangdilakukan oleh umat

islam untuk mendo’akan orang yang telah meninggal adalah sesuatu yang bid’ah, karena

menurut mereka masalah tahlilan itu tidak ada dalil yang kuat yang dijelaskan dalam

AlQuran, namun para ulamaMuhammadiyah tidak mengharamkan pelaksanaan tahlilan

tersebut.

Menurut ulama Muhammadiyah bahwa seorang yang telah meninggal dunia maka

segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia yang masih hidup adalah putus tidak ada

kaitan lagi, karena sudah terdapat perbedaan alam yaitu orang yang meninggal ada di alam

barjah, sedangkan orang yang belum meninggal ada di alam dunia.


Hakikat Tahlil Berdasarkan Pendapat Ulama Nahdatul Ulama (NU)

Kaum muslimin Nahdatul Ulama (NU) mengakui bahwa tahlilan tidak ada dalil yang

menguatkan dalam Al-Quran maupun hadis, namun kenapa mereka masih melaksanakan

acara tahlilan tersebut karena kaum muslimin Nahdatul Ulama mempunyai pendapat lain

bahwa tahlilan dilaksanakan dikeluarga yang meninggal mempunyai tujuan-tujuan tertentu di

antaranya adalah sebagai berikut :

1. Tahlilan dilakukan untuk menyebar syiar islam, karena sebelum dilakukantahlilan seorang imam

melakukan ceramah keagamaan.

2. Isi dari tahlilan adalah dzikir dan do’a dengan kata lain melaksanakan tahlilan berarti mendo’akan

kepada yang meninggal dunia.

3. Menghibur keluarga yang ditinggalkan dengan kata lain, kaum muslimin yang berada di sekitar

rumah yang ditinggal, maka terjalinlah silaturahmi diantara umat islam.

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN

Setiap makhluk yang hidup pasti akan mengalami kematian atau ajal, hal ini merupakan satu

ketentuan dari Allah SWT yang tidak bisa diubah lagi, adapun waktunya adalah tidak ada yang

mengetahui selain dari pada Allah SWT. Penyampaian do’a-do’a untuk orang yang meninggal

ada yang dilakukan secara perorangan ataupun sercara bersama-sama (tahlilan).

Acara tahlilan menurut Muhammadiyah adalah tidak diwajibkan namun tidak

diharamkan. Namun menurut pandangan Nahdatul Ulama acara tahlilan disunatkan bagi

kaum muslimin yang ada di sekitar orang yang meninggal dunia untuk mendo’akan orang

yang meniggal.

B. SARAN

Adapun saran-saran dari penulis adalah sebagai berikut : janganlah perbedaan

pendangan dalam pelaksanaan tahlilan ini menjadi permusuhan dan menjadikan salah satu

pandangan yang paling benar, karena menurut penulis bahwa mendo’akan orang yang telah

meninggal baik secara perorangan maupun secara bersama-sama (tahlilan) adalah kaum

muslimin tersebut menunjukan akhlak yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abi Husain Muslim Bin Hajaj, Shohih Muslim, ( Bairut: Darul Fikar, 2005 )

Abi Husain Muslim Bin Hajaj, Shohih Muslim, ( Bairut: Darul Fikar, 2005 )

Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad Dimasqi, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bandung:
Sinar Baru Al Bensido, 2005 )

KH. Muhyidin Abdus Shomad, Tahlilan dalam Perspektif Al Qur’an dan Assunnah,

( Jember: PP. Nurul Islam, 2005) http://eza-rhafiz.blogspot.com/2012/06/tahlil-dalamislam-

makalahpendidikan.html(Diakses

03/12/2021) www.pandanganmuhammadiyah.com (Diakses 03/12/2021)

https://mighamir.wordpress.com/2009/10/10/makalah-hukum-tahlilan/ (Diakses 03/12/2021)

https://pdfcookie.com/documents/makalah-tahlil-dan-tahlilan-rvr7q4dr1w2o(Diakses

03/12/2021)

Anda mungkin juga menyukai