Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“TAHLIL”

2019

SMK BINA RAHAYU


Disusun Oleh :

Rizki Aswangga Adiluhur

X-5

1
َّ
‫من الر ِح ِيم‬‫ح‬ْ َّ ‫هللا‬
‫الر‬ ‫م‬ ْ
ِ ِ ِ ‫ِب‬
‫س‬

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara
makhluk-makhluk yang lain. Hal ini dikarenakan Allah memberikan akal
kepada manusia, dengan akal tersebut manusia dituntut untuk
memikirkansegala sesuatu, baik yang berkaitan dengan agama, sesuatu,
hablum minannas maupun hablum minallah.
Setiap yang bernyawa akan mengalami ajal atau kematian, ajal
manusia sudah menjadi ketentuan, bila sudah waktunya meninggal dunia,
maka kita harus bersikap sabar atas keluarga yang meninggal tersebut.
Ketahuilah bahwa mayit disiksa karena ratapan keluarganya.

A. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan definisi Tahlil ?
2. Bagaimana Analisis dari Tahlil ?
3. Bagaimana Dasar-dasar Bacaan Tahlilan Dan Penjelasannya ?

B. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Definisi Tahlil.
2. Untuk mengetahui Analisa dari Tahlil.
3. Untuk mengetahui Dasar-dasar Bacaan Tahlilan Dan Penjelasannya.

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tahlil

Tahlil adalah bacaan kalimat tauhid: Lā illaha ilallah (Tiada tuhan


selain Allah). Merupakan zikir yang dilakukan oleh umat Islam. Zikir ini
dianggap memiliki nilai yang terbesar dan mempunyai banyak keutamaan.
Adab Tahlil pada umumnya sering dilakukan pada saat suatu keluarga
mengalami kedukaan (ada di antara salah satu familinya yg meninggal
dunia), yang sebenarnya dalam islam sendiri tahlil untuk kematian tidak ada.
Orang melakukan adab tahlil memiliki maksud untuk menghibur sang
keluarga dari duka, dengan makna bahwa semua itu adalah sudah ketentuan
dan taqdir Allah SWT agar keluarga yang ditinggalkan tidak larut dalam
kesedihan. 1

Fenomena bacaan Tahlil di Indonesia khusunya di kalangan kaum


nahdliyin tidak terlepas dari budaya yang dinamakan tahlilan, Tahlil belum
tentu tahlilan, tetapi dalam tahlilan pasti ada bacaan tahlil. Tahlil adalah
nama lafal essensi tauhid laa ilaaha illa-llaah (tidak ada Tuhan selain Allah).
Tahlilan adalah seperangkat formula yang terdiri atas sejumlah kalimah
thayyibah, surat-surat pendek, ayat-ayat, atau bahkan potongan-potongan
ayat Alqur’an yang dibaca baik secara individual maupun komunal (sendiri-
sendiri atau berjamaah/koor), didasari keyakinan bahwa membacanya
memperoleh pahala dari Allah swt. Pahalanya dikirimkan untuk orang yang
sudah mati atau masih hidup tetapi diperlakukan seperti orang yang sudah
mati, umpama seorang yang sedang haji ditahlili sejak hari
pemberangkatannya hingga hari ke tujuh setelah itu tiap malam Jumat
hingga yang haji kembali ke rumah dengan selamat

Yang dimaksud dengan kalimah thayyibah secara literal adalah


kalimat-kalimat yang baik, berasal dari Alqur’an, seperti surat Ikhlas, al-
muta’wwizatain, dan ayat kursi; al-Hadis seperti tahlil, tahmid, takbir,

1
http://id. wikipedia. org/wiki/Tahlil

3
tasbih hauqalah, Shalawat, maupun rumusan ulama, seperti hadlrah, tawasul,
hadiyyah, dan doa (bisa dari Rasulullah maupun dari ulama).

Tahlilan merupakan ritus keagamaan khas Islam santri baik secara


legal atau kultural yang dilaksanakan pada hari pertama hingga hari ketujuh
kematian seseorang, pada hari ke 40, hari ke 100, ulang tahun kematian
pertama (mendhak pisan), ulang tahun kematian kedua (mendhak pindho),
hari ke 1000 (nyewu), dan selanjutnya tiap tahun sekali (haul) sejauh
dikehendaki oleh keluarga si mayyit. Ulama atau kiyai besar biasanya selalu
di-haul-i

Ritus tahlilan biasa dilaksanakan pada malam Jumat (kamis sore) sesudah
shalat ‘Ashar di makam-makam, atau sesudah shalat maghrib atau sesudah
shalat ‘Isya’ di masjid atau di mushalla, atau di majlis-majlis taklim.
Tahlilan bisa dilaksanakan di hari-hari lain atas dasar kesepakatan warga
(partisipan) dan tempatnya bergantian di antara mereka. Ritus ini menjadi
kelengkapan memeriahkan ‘Idul fitri, yakni setelah shalat id kemudian
ramai-ramai ke makam leluhur untuk tahlil di sana, atau paruh terakhir
bulan Sya’ban yang biasa disebut ruwahan atau nyadranan. Dalam
nyadranan juga ada ritus yang disebut kirim arwah jamaah, yaitu masing-
masing jamaah bisa mendaftar nama-nama orang yang sudah meninggal
dari kerabatnya dan untuk masing-masing nama, ia membayar sejumlah
uang (katakanlah RP. 5. 000) kepada ulama atau kiyai atau kepanitiayaan
yang menyelenggarakan upacara tahlilan. Uang ini bisa digunakan untuk
membangun sarana ibadah, santunan kaum Duafa’, santunan anak yatim,
atau tujuan-tujuan lain kepentingan umat. Akan tetapi tidak jarang
penggunaannya untuk yang memimpin upacara arwah jamaah tersebut.
Sesudah upacara tahlilan selesai, biasanya diikuti dengan ramah tamah atau
makan-makan, bisa saja hanya snack ala kadarnya, tetapi pada hari ke tujuh
kematian seseorang dan peringatan-peringatan selanjutnya bisa cukup
istimewa, bahkan sepulang tahlilan partisipan dibawai nasi dos, takir, atau
berkat. Perkembangan selanjutnya berkat tidak berisi nasi, melainkan kue-
kue dengan pertimbangan praktis bisa dikonsumsi lain hari dan kondisi

4
makanan masih tetap baik dan tidak basi, atau berwujud bahan mentah yang
belum dimasak seperti: mie instan, gula pasir, teh bungkus, telur ayam, dan
uang sekedarnya. Khususnya di dalam majlis taklim, tahlilan bisa menyatu
dengan yasinan, pembacaan nazhaman al-asma’ al-husna, mujahadahan,
atau istighasah-an2.

Sebenarnya, tujuan final tahlilan adalah mengirim pahala kepada si


mayyit. Kiriman ini dimohonkan kepada Allah. Manfaat pahala seterusnya
bisa berbentuk ampunan, pembebasan dari siksa kubur, siksa neraka, dan
akhirnya masuk surga penuh dengan kenikmatan, dan kedamaian abadi
tanpa batas. Dengan begitu, tahlilan dihayati sebagai bentuk kesolehan yang
meruncing pada birr al-walidain (berbakti kepada orang tua atau meluas
kepada leluhur dan sanak kerabat yang telah meninggal). Pengertian ini
termasuk dalam konsep hasanah Jawa mikul dhuwur mendhem jero. Akan
tetapi, forum tahlilan sering dimanfaatkan untuk tujuan lain, seperti
penggalangan politik untuk mendukung calon presiden, gubernur,
bupati/walikota, lurah/kepala desa, calon anggota DPR (legislatif), atau
kemenangan pemilu bagi partainya, atau untuk memecahkan problem umat
atau bangsa.

Upacara tahlilan untuk masyarakat luas telah menjadi budaya yang


mapan (devinitif) atau prevalensi (kelaziman/kemestian) sehingga
berimplikasi klaim bahwa, jika ada orang mati dan tidak ditahlili diibaratkan
seperti kematian binatang. ”Wong mati yen ora ditahlili koyo matine kebo
utowo kucing”, klaim seperti itu sering terdengar dari lisan pengamal dan
penghayat tahlilan ketika mengomentari ada peristiwa kematian dari warga
shahibul musibah yang tidak menyelenggarakan prevalensi perjamuan
tahlilan. Implikasi selanjutnya, keluarga si mayyit yang tidak
menyelenggarakan upacara tahlilan tidak disebut sebagai ‘ahlu sunnah
waljamaah’ dan sering didiskriminasikan dalam berbagai kerukunan sosial,
jika keluarga si mayyit tersebut merupakan warga minoritas di kampungnya.

2
Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-
Sunnah Ash-Shahihah, (Pustaka as-Sunnah, 2008), hlm: 132

5
Dalam acara istighasahan, pengajian akbar atau yang sejenisnya,
unsur tahlilan hampir tidak pernah tertinggal, dan biasanya malah
didahulukan dari pada acara yang lain

Dalam ziarah walisongo atau trend kotemporer disebut wisata


religius, tahlilan adalah unsur yang hamper mesti ada, dan ini dikirimkan
kepada wali yang sedang diziarahi, termasuk kerabat wali di makam itu,
3
meluas kepada tokoh-tokoh agama setempat dan umumnya kaum
muslimin laki-laki mauapun perempuan, baik yang masih hidup maupun
yang sudah mati.

B. Analisis Tahlil
Tahlil merupakan tuntunan dari dari Rasulullah, yaitu melafalkan:
laa ilaaha illallaah, sementara tahlilan merupakan kreasi ulama, entah siapa
namanya, telah menjadi upacara keagamaan dan telah menjadi standar
ukuran sholeh dan tidak sholeh keberagamaan seseorang. Sudah barang
pasti ukuran ini meleset. Ukuran sholeh dan tidak sholeh dalam hal ibadah
yang bersifat ritual harus hanya yang berasal dari Allah dan Rasulullah .
Jika dalam hal urusan muamalah atau keduniawian, standar sholeh
dan tidak sholeh bisa saja bersumber dari luar al-Qur’an dan as-Sunnah
seperti dari moral, etika, adat-istiadat setempat sepanjang secara prinsip
tidak bertentangan dengan tauhid dan kemaslahatan umum.
Jika dicermati dalam-dalam, tahlilan yang beredar di tengah-tengah
masyarakat luas ini terdapat unsur-unsur yang sangat krusial, yaitu:

1. Mengirim pahala
Makna mengirim adalah memberikan ‘sesuatu’ kepada orang lain dengan
menggunakan perantara, orang lain, teman, kurir, atau tukang pos. Jika
‘sesuatu’ itu berwujud pahala, Siapa yang menjadi perantara pengiriman?
Tidak ada teks apapun dari Allah dan Rasululah yang menjelaskan tentang
pengiriman pahala. Itulah sebabnya dalam naskah tahlilan yang beredar ini
Allah lah yang menjadi kurir, dengan rumusan di awal-awal upacara itu

3
Op. Cit hlm. 135

6
menggunakan kata-kata : ilaa hadlarati . . . dan di akhir upacara tersebut
mengucapkan ‘doa’ Allahhumma taqabbal wa aushil tsawaaba maa
qaraknaa . . . (Ya Allah terimalah dan sampaikan pahala apa yang aku
baca . . . ) Hakikatnya, perbuatan ini menghina Allah serendah-rendahnya,
meskipun yang bersangkutan tidak merasa menghina-Nya, yaitu
memposisikan Allah sebagai kurir.
Dengan kualitas seperti itu, yang pantas adalah ‘memohon’ kepada-Nya.
Rasulullah bersabda “Man lam yada’ yaghdlab. Rawahu at-Turmudzi ”
(Barang siapa yang tidak memohon, Dia Murka HR. at-Turmudzi). Di
tengah-tengah masyarakat terdapat istilah yang kabur atau barangkali
sengaja dikaburkan oleh oknum-oknum tertentu dengan istilah ‘kirim doa’.
Esensi doa adalah meminta atau memohon. Kegiatan ini dilakukan karena
yang bersangkutan tidak memiliki sesuatu, lalu kepingin memilikinya,
sementara ia tidak mempunyai alat tukar atau membeli untuk memilikinya.
Sementara itu mengirim mempunyai pengertian seperti yang baru saja
dijelaskan terdahulu. Jadi ungkapan ‘kirim doa’ sebenarnya tidak bermakna
(mystical language). Anehnya berkembang luas di masyarakat. Akhirnya,
kita segera tahu bahwa masyarakat itu segera disadarkan esensi kirim,
esensi doa, dan esensi tahlilan.
Dasar hukum bahwa orang mati supaya didoakan adalah hadis berikut:
Ketika Raja Najasyasi meninggal dunia, informasi sampai kepada beliau,
selanjutnya Rasulullah bersabda:
}‫ {رواه البخارى ومسلم عى ابى هريرة‬. . . ‫إستغفروا ألخيكم‬
Mohonkan ampunan untuk saudaramu
(HR. al-Bukhari dan Muslim/Muttafaqun ‘alaih dari Abi Hurairah).

Syariat formal memohonkan ampunan terhadap orang mati adalah


menyalatinya. Di dalam menyalati itu ada doa khusus ampunan si mayit,
yaitu antara lain “Alahummaghfir lahu . . . dan seterusnya” Selanjutya, doa
semacam itu boleh diucapkan/dilakukan di luar shalat jenazah secara formal.
Jika orang tidak bisa berdoa untuk orang mati dengan bahasa Arab
yang secara redaksional dituntunkan oleh Rasulullah, boleh berdoa dengan

7
menggunakan bahasa ibu atau bahasa non Arab. Secara fungsional justru
lebih utama berdoa dengan bahasanya sendiri daripada berdoa dengan
bahasa Arab tetapi tidak mengetahui makna redaksinya. Mengapa? Hakikat
doa adalah meminta. Kalau meminta kok tidak tahu isi permintaannya, ini
perbuatan konyol. Apa bedanya radio dan televisi yang oleh telinga manusia
tampak dan terdengar menyanyi sangat indah, sementara radio dan televisi
tersebut tidak menyadari bahwa ia menyanyi. Akan lebih runyam lagi ketika
mengucapkan hadlrah, hadiah pahala, dan berdoa yang ada unsur redaksi
Allahumma taqabbal wa aushil tsawaaba maa qara’na, . . . dan tidak tahu
arti ucapan doanya itu. Perbuatan ini salah bertumpuk-tumpuk. Doanya
tidak menyambung kepada Allah secara fungsional karena tidak ada
kesadaran bahwa dirinya meminta kepada-Nya, dan tidak ada tuntunannya
dari Rasulullah. Untuk itu, mari sadarlah, , , mari beragama itu yang
fungsional. Fungsionalisasi agama adalah pelaksanaan huda dari agama itu
sendiri.
Banyak ulama Syafiiyyah mengatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah
al-Qulyubi, an-Nawawi, al-Haitami, ad-Dimyati, as-Sarbani. Sebenarnya,
ulama Indonesia yang menulis kitab dan umumnya ulama kotemporer juga
menolaknya 4 . An-Nawawi Bantani mengatakan bahwa mengirim pahala
kepada orang yang telah meninggal adalah haram. Arsyad al-Banjari dan al-
Mawa’iz mengatakan bahwa mengirim pahala untuk orang yang telah mati
adalah bid’ah. Dasar penolakan mereka

Berikut ini saya kutip komentar para ulama mujtahid, antara lain:
a. Imam Syafi’i sebagaimana diintrodusir oleh Imam Nawawi:
‫ ودليل الشافعى‬.‫واما القراة القران فا المشهور من مذهب الشافعى أنه ال يصل ثوابها إلى الميت‬
‫ وان ليس لإلنسان إلى ما سعى وقول النبي إذا مات إبن ادم‬:‫ قول هللا‬. . . . .
Mengenai bacaan al-Qur’an itu, yang popular dari mazhab Syafi’i,
bahwasanya pahala itu tidak sampai kepada mayyit. Dalil Imam Syafi’i
adalah firman Allah

4
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq,( Lentera, 2009), hlm: 47.

8
b. Ibnu Hajar al-Haitami
‫ ألن ثوابها‬.‫الميت ال يقراء عليه مبني على ما اطلقه المتقدمون من أن القراة ال تصله اي الميت‬
‫ والمشهور من مذهب الشافعى أن قرائة القران‬.‫ ودليله وان ليس لإلنسان إال ماسعى‬. . . ‫للقارءى‬
‫ال يصل للميت ثوابها‬
Mayyit itu tidak dibacakan al-Quran untuknya. Para ulama Mutaqaddimun
memutlakkan bahwa pahala membaca al-Qur’an itu tidak sampai ke mayyit.
Pahala itu untuk yang membaca.

Pendapat yang popular dari mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa pahala


pembacaan al-Qur’an itu tidak sampai kepada si mayyit.

c. Ibnu Katsir
‫ ومن هذه‬.‫اي كماال ال يحمل عليه وزر غيره و كذالك ال يحصل من االجر إال ما كسب هو لنفسه‬
‫ أن القراة ال يصل إهدائه ثوابها إلى الموتى ألنه ليس من‬.‫االية الكريمة إستنبط الشافعى ومن اتبعه‬
‫ ولهذا ال يندب إليه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم امته وال حثهم عليه وال‬.‫عملهم وال كسبهم‬
‫ ارشدهم إليه بنص وال ايماء ولم ينقل ذالك عن احد من الصحابة‬.
Jelasnya, seseorang itu tidak menanggung dosa dari orang lain,
demikian juga pahala tidak akan sampai (kepada orang lain) kecuali apa
yang telah dilakukannya oleh dirinya sendiri. Berkenaan dengan ayat yang
mulya itu, Imam Syafi’i dan para pengikutnya beristinbat bahwa hadiah
pahala dari bacaan itu tidak sampai kepada orang mati karena mereka (orang
mati) itu bukanlah yang melakukannya. Rasulullah tidak menganjurkan dan
tidak mendorong umatnya untuk melakukannya (hadiah pahala). Beliau
tidak memberikan petunjuk dengan nash, tidak pula dapat dinukilkan satu
orang pun dari para sahabat.
Selain itu, Surat Yasin ayat 70 menyebutkan bahwa seluruh petunjuk
al-Qur’an, termasuk surat Yasin adalah untuk orang yang masih hidup,
bukan untuk orang mati.

Jika dengan peringatan dan dalil-dalil yang tegas dan jelas ini masih
dilanggar, secara logis pahala yang dikirimkan itu muspro. Mengapa? orang
berbuat tergantung dengan niatnya. Jika niatnya dikirimkan, berarti sudah

9
tidak ada pahala padanya. Akan tetapi, pahala itu tidak sampai kepada mayat
yang dituju. Jadi, yang namanya pahala itu entah ke mana. Perbuatan
tahlilan yang pahalanya dikirimkan itu ternyata sia-sia. Pahala sudah tidak
dimiliki, tetapi juga tidak sampai kepada yang dituju. Selain itu, kesia-siaan
juga terjadi karena ada unsur baru dalam berdoa, yaitu wasilah.

2. Wasilah (Perantara)
Di dalam pelaksanaan tahlian itu biasanya juga mengangkat ruh-ruh tertentu
yang disebut wali. Wali itu lah yang diyakini menyampaikan doa yang
dipanjatkan kepada Allah. Diantara walli-wali perantara itu adalah:
Rasulullah, Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani, Syeikh Junaid al-Baghdadi,
Syeikh Naqshabandi, walisongo dll. Praktik ibadah semacam ini samasekali
tidak diajarkan oleh Rasulullah. Selain itu, arti kata ‘wasilah’ yang termuat
dalam doa yang dilafalkan setelah adzan itu bermakna kedudukan tinggi di
surga. Demikian Sabda Rasul yang menunjukkan pernyataan ini:
‫ إذا‬:‫ أنه سمع رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬,‫عن عبد هللا عمرو بن العاص رضي هللا عنه‬
‫ ثم صلوا علي فإنه من صلى علي صالة صلى هللا عليه عشرا ثم‬,‫سمعت النداء فقولوا مثل ما يقول‬
.‫ وارجوان اكون انا هو‬,‫سلوا هللا لى الوسيلة فإنها منزلة فى الجنة ال تنبغى إال لعبد من عباد هللا‬
)‫فمن سئل هللا لى الوسيلة حلت له الشفاعة (رواه مسلم‬

Hadis dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra. , bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: jika
kamu mendengar panggilan adzan, maka berkatalah seperti apa yang telah ia mengatakan
– maksudnya mengikuti lafal adzan itu – kemudian bershalawatlah untuk ku, karena
sesungguhnya barang siapa bershalawat untuk ku sekali, maka Allah akan bershalawat
(mengaruniai kasih sayang) 10 kali. Selanjutnya mohonlah kepada Allah untuk ku al-
wasilah. Sesungguhnya, wasilah itu adalah suatu tempat di surga, yang tidak pantas
kecuali untuk hamba Allah di antara para hamba-Nya. Aku berharap bahwa aku adalah
dia, hamba yang dimaksud. Barang siapa memohon kepada Allah untuk ku al-wasilah
kebolehan baginya sayafaat (HR. Muslim).

3. Makan-makan bersama setelah Tahlilan


Dalam dialog antara Umar bin Khatab dan Jarir disebutkan sebagai berikut:

10
‫ هل يناح على ميتكم؟‬: ‫عمر‬
‫ ال‬:‫جرير‬
‫ فهل يجتمعون عند اهل الميت ويجعلون الطعام؟‬: ‫عمر‬
‫ نعم‬: ‫جرير‬
‫ ذاك النوح‬: ‫عمر‬
Umar: Apakah kamu meratapi orangmu yang sudah mati?
Jarir : Tidak
Umar: Apakah mereka berkumpul di rumah keluarga si mayyit dan
menyajikan makanan
Jarir : Ya
Umar: Itulah namanya meratapi orang mati.
Berkenaan dengan dialog antara Umar bin Khatab dan Jarir itu, Ibnu Katsir
berkomentar ;Lau kaana khairan lasabaquuna ilaih” (Seandainya prefalensi
itu baik, niscaya mereka (para sahabat Nabi) telah mendahuluinya
(melakukan prefalensi).
Imam Syafi’i dalam kitabnya, al-Umm menulis bahwa:
‫وأكر المأتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذالك يجدد الحزن‬.
Aku memakruhkannya al-ma’tam(prefalensi), yaitu berkumpul, meskipun mereka itu tidak
menangis karena yang demikian itu sebenarnya memperbaharui sungkawa atas kematian
seseorang (al-Umm, I:318)

C. Dasar-dasar Bacaan Tahlilan Dan Penjelasannya


1. Membaca Surat al-Fatihah
Salah satu inti redaksi surat al-Fatihah adalah penyataan hamba kepada
Allah bahwa hanya kepada Allah lah ia menyembah dan memohon
pertolongan, yaitu pada ayat “Iyya-Ka na’budu wa iyya-Ka nasta’iin.
Karena pola kalimat ini adalah kalimat susun balik (konversi), yakni
mendahulukan objek dan mengemudiankan subyek, maka menunjukkan
makna doa langsung tanpa perantara dan hanya satu-satunya permohonan
itu terarahkan kepada Allah.
2. Membaca surat Al-Ihlash
Salah satu inti makna redaksi surat al-Ihlash adalah pernyataan bahwa hanya
kepada Allah kita bergantung. Lagi-lagi lafal ini merupakan kalimat susun

11
balik, Allahu ash-Shamad, mengandung pengertian hanya kepada-Nya,
tidak kepada yang lain dalam bergantung atau menggantungkan sesuatu –
antara lain ampunan (dalam peristiwa tahlilan) atau yang lain.
3. Membaca surat Al-Falaq
Salah satu inti redaksi surat al-Falaq adalah memohon perlindungan kepada
Allah swt dari seluruh kekuatan jahad. Dengan demikian, dalam hajad
berdoa untuk ampunan kerabat, leluhur, nenek moyang yang telah
meninggal tidak tergoda oleh kekuatan jahad apapun, termasuk setan dan
teman-temannya.
4. Membaca surat An-Naas
Salah satu inti redaksi surat an-Naas adalah memohon kepada Allah agar
dalam kita berdoa – antara lain ampunan kepada yang sudah mati – itu
mantap, tidak was-was bahwa Allah pasti mengabulkan permohonan kita,
asal pendoa itu merupakan hamba Allah yang beriman, beramal shaleh, dan
tidak maksiat. Allah adalah Shadiqul wa’dil amiin.
5. Membaca ayat Kursi.
Ayat kursi merupakan ayat khusus yang diberikan kepada Rasulullah,
termasuk dan pasti untuk seluruh pengikutnya yang setia hingga akhir
zaman. Terlalu banyak manfaat ayat kursi, antara lain: Malaikat rahmat
turun untuk menebarkan rahmat dari Allah, dan menjauhkan setan dalam
majlis ketika ayat ini dibaca. Disebutkan juga bahwa ayat Kursi adalah
sayyidnya al-Qur’an (HR at-Turmudzi dari Abi Hurairah). Disebutkan
bahwa sebelum mencipta langit-langit dan bumi, Allah menetapkan dan
menulis segala sesuatu selama 1000 tahun kemudian ditutup dengan dua
ayat terakhir surat al-Baqarah. Barang siapa membaca kedua ayat tersebut
tiga malam berturut-turut, maka setan tidak akan mendekat (HR at-
Turmudzi dari Nu’man bin Basyir). Rasulullah juga mengatakan bahwa
siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah di suatu malam,
maka keduanya mencukupi, HR at-Turmudzi. Maksudnya antara dalam
penjagaan dari setan

12
6. Membaca Shalawat
Dalam surat al-Ahzab ayat 56 menyatakan bahwa Allah bershalawat kepada
Rasulullah, dalam arti menganugerahkan shalawat kepada beliau. Malaikat
bershalawat kepada Rasulullah, dalam arti mereka memohon kepada Allah
agar mengenugerahkan shalawat kepada beliau. Selanjutnya kita diperintah
supaya juga bershalawat, dalam arti berdoa kepada Allah agar Allah
menganugerahkan shalawat kepada beliau. Arti praktis shalawat adalah
kesejahteraan, kesentausaan, dan ketenteraman. Membaca shalwat juga
memiliki keutamaan lain sebagaimana sabda beliau:
‫ جاء ذات‬,‫ أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬,‫ عن ابيه رضي هللا عنه‬, ‫عن عبد هللا بن أبى طلحة‬
,‫ يا محمد‬:‫ فقال‬,‫ إنه اتانى الملك‬:‫ فقال‬, ‫يوم والبشرى فى وجهه فقلنا إنا لنرى البشرى فى وجهك‬
‫أما يرضيك أنه ال يصلى عليك أحد‬
)‫إال صليت عليه عشرا وال يسلم عليك احد إال سلمت عليه عشرا (متفق عليه‬
Dari Abdullah bin Abi Thalhah, dari ayahnya ra, bahwasanya Rasulullah
datang pada suatu hari, sedang ada kegembiraan yang tampak di wajah
beliau. Kami pun berkata: Kami melihat kegembiraan di wajahmu (ya
Rasulullah). Beliau bersabda: Sesungguhnya seorang Malaikat datang
kepadaku, kemudian berkata: Hai Muhammad, tidakkah kamu ridla
bahwasanya tidak ada seorang pun yang mengucapkan shalawat kepadamu
kecuali aku akan mengucapkan shalawat kepadanya 10 kali. Tidak ada
seorang pun yang mengucapkan salam kepadamu kecuali aku akan
mengucapkan salam kepadanya 10 kali (HR Muttafaqun ‘alaih).
Makna praktis hadis ini menunjukkan, bahwa jika kita bershalawat kepada
Rasulullah, yakni membaca shalawat, Malaikat akan bershalawat kepada
kita 10 kali lipat.
7. Membaca tahlil, Laa ilaaha illallah
Rasulullah bersabda: Afdlalu adz-dzikri laa ilaaha illallah; Dzikir yang
paling utama adalah membaca Laa ilaaha illallah (HR at-Turmudzi).
Rasulullah juga bersabda: Man qaala laa ilaaha illallaah dakhala al-jannah
(Barang siapa membaca laa ilaaha illallah ia masuk surga, HR at-Turmudzi
dari az-Zuhri). Samurah bin Jundub juga meriwayatkan bahwa: Ahabbul
kalaami ila-llaah arba’un laa yadlurruka biayyihinna bada’ta: Subhanallaah,

13
walhamdulillaah, walaa ilaaha ila-llaah, wallaahu Akbar Rawahu Muslim
(Ucapan yang paling disukai Allah ada empat, yaitu Subhanallaah,
Walhamdulillah, walaa ilaaha illa-llah, Huwa-llaahu Akbar, HR Muslim).
Tentu, sipembaca juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban agama
seprti shalat, puasa, zakat dan haji kalau memang sudah memiliki istitha’ah
(kemampuan)
8. Membaca Tasbih
Hadis berikut berkenaan dengan keutamaan tasbih:
‫ ثقيلتان فى‬,‫ خفيفتان على اللسان‬,‫ كليمتان حبيبتان إلى الرحمن‬:‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
)‫ (رواه الشيخان عن ابى هريرة‬.‫ سبحان هللا العظيم‬,‫ سبحان هللا وبحمده‬:‫الميزان‬
Rasulullah saw bersabda: Dua kalimah yang keduanya disenangi oleh Allah
Yang Maha Rahman, ringan diucapkan dalam lisan, berat dalam timbangan:
Subhaanallaahi wabihamdihi subhanallaahil ‘Adziim, (HR Syaikhani dari
Abu Hurarairah).
Selain itu Rasulullah juga bersabda:
‫سبحان هللا وبحمده مائة مرة حطت عنه خطاياه‬:‫ من قال‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
)‫وإكان مثل زبد البحر(متفق عليه عن ابى هريرة‬
Rasulullah saw bersabda: Barang siapa membaca Subhaanallaahi
wabihamdih seratus kali, maka leburlah kesalahannya meskipun sebanyak
buih laut (HR Muttafaqun ‘alaih dari Abi Hurairah).
9. Berdoa
Kedudukan berdoa amat sentral dalam ajaran Islam. Doa adalah ibadah itu
sendiri. Rasulullah saw bersabda:
)‫إن الدعاء هو العبادة (رواه االربعة وصححة الترميذى عن النعمان بن بشير‬
Sesungguhnya doa adalah ibadah itu sendiri (HR. al-arba’ah dari Nu’man bin Basyir).
Doa, bahkan otak dari ibadah:
)‫الدعاء مح العبادة (رواه االربعة عن انس بن مالك‬
Doa adalah otak ibadah (HR al-arba’ah dari Anas bin Malik).
Berdoa merupakan derajat yang paling mulia di sisi Allah:
)‫ليس شيئ اكرم على هللا من الدعاء (رواه االربعة وصححه ابن حبان والحاكم عن ابى هريرة‬
Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah dari pada doa (HR. al-
arba’ah dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari Abi Hurairah).

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa, Tradisi tahlil sudah mengakar dimasyarakat,
khususnya umat islam warga nahdiyin khususnya. Menyikapi masalah tahlil
dimasyarakat muncul 2 kelompok:
1. Kelompok yang tidak setuju mengatakan bahwasanya tahlil
merupakan ‘’ bid’ah ‘’ yang tidak diajarkan Rasullulah SAW. Dengan
prinsip ‘’ kullu bid’ahtun dhalalatun ‘’ akibatnya mereka mengikis habis –
habisan dan akan terus berusaha menghilangkan dari islam
2. Kelompok yang melestarikan tradisi tahlil berpendapat bahwa
tidak ada teks dalam al-qur’an dan hadis yang pasti melarang atau
menghalalkan tradisi tahlil. Alasan masyarakat melakukan tradisi yasinan
yang pertama: Mendo’akan simayit dan Mempererat tali silaturahmi antar
warga yang masih hidup.
Sebenarna secara Nash, Yasinan dan Tahlilan ini sama sekali tidak
ada dasarnya dari sunnah, Nabi dan keluarganya serta para sahabat tidak
pernah melakukan hal yang demikian.

15
DAFTAR RUJUKAN

Al-Qur’anul Karim

Dr. musthafa Daib Al-bigha, Tadzhib komplikasi hokum islam ala madhab syafi’I,
Al- hidayah Surabaya. 2008
'Azhim, 'Abdul. Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah. Jakarta: Pustaka as-Sunnah 2008
Jawad, Muhammad. Fiqih Imam Ja’far Shadiq. Jakarta: Lentera.2009
KH. Muhyidin Abdus Shomad, Tahlilan dalam Perspektif Al Qur’an dan Assunnah,
( Jember: PP. Nurul Islam, 2005)

Abi Husain Muslim Bin Hajaj, Shohih Muslim, ( Bairut: Darul Fikar, 2005 )

Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad Dimasqi, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bandung:
Sinar Baru Al Bensido, 2005 )

Mughniyah, Jawad. Fiqih Lima madzab.Jakarta: Penerbit Lentera.2010


Wikipedia. Com diakses 17 November 2013

16

Anda mungkin juga menyukai